Anda di halaman 1dari 10

TRADISI IJTIHAD:

Mengembuiikatt Semangat Progresivitas Islam

Afrmaf Fowaif
Sekotah Tinggi Agama lslam Negeri Pamekasan Jatan Raya Pangtegur KM 4 Tlanakan-Pamekasan,

Telp.

081

7322770 e-mail: fawaid.siadzili@gmail'com

Abstract The tradition of ijdhadbecame a rare actirtity condwctecl. This tradition on the other hand seems

to be the authoritl

of

the rel"igious elite

and

anoth.er hand, yet the traditiott

of ijtihad whiclt

should be furrher deueloped..

It

became the spirit of Islamic progressiuity. \'Yithou.t this tradition,

Islom seems to be froTen and s1ttter for the chollenges of the times. It must be realized that the current challenge ma1 be rescslued. not merely refer to the creatiuity of the past. Contemporctry
ch.alLenges must be

faced and

soLved

b1 the present creatiuit^1 as

weLL.

Creativit"l is a time onLl in

the context of time resolqte the probl.em and not al,ways iust as dravun to the m&tter dt, different rirnes. An1 period has a different wa.J and solution in accordance with the chal"Lenges o/ his

time. Similarl:1, eacl't community l'ns a differefi solution wl'ten faced with problems, eL)en LLt gaue birth to the th.e same time and same problem. This is where the interpretation of reality diuersity of interpretation of a role as well. as the diversity of truth. And mouing the traclition of
ijtihad is
one

cf

th.e

efforrs ro mobilize IsLam.

Key ruords: ijtihad, mujtahid, taqlid, progresittitas

Pendahuluan

Seiring dengan rnunculnya gerakan pembaharttan pemikiran cli dunia Islam,

otoritas salaf mulai digugat.

Gerakan pembai-raruan ini mendesak untuk dihadip kannya semangat ijtihacl yang telah terkubur
Ulul Albab, Vol.
11,

cli bawah kesaclaran Llmat. Tunttttan zarlan ditambah lagi dengan melttasnya medan persoalan, mendesak pentingnya interpretasi ulang seluruh ajaran agema clengan ijtihac{ sebagai perangkatnya. Kebebasan berflkir' sebagaimana diajarkan Islam hendaknya tidak

No.1, Tahun 2010

Ahmad Fawaid

hanya diladikan sebagai slogan, akan tetrpi semestinya juga clirryatakan clalam wujr-rcl konkret, yaitr-r sebagai kekayaan yang patllt didayagunakan. Pendayagunaan kebebasan berfikir ini clengan senclirinya membarrtal-r pengabsahan satll rnodel nalar tertentll, dan mengl-raclirkan kekayaan dan pluralitas gagirsan (aI ta'addwdfiah aI fikriyah). Namun, kebebasan berfikir ternyata harus siap berhadapan dengan kuatnya'otoritas resrni' eht politik atallplln elit agarna yang senantiasa rnengasalkan lrak definitif dalarn menafs irkan agama p acla d iri nya. U s al-ra-usaha kreirtif yang ciilanclasi setnlngrt mementthi kebuttihan hidup saat ini selalu divonis sebagai musabab pendangkalan agama. Apa yang dialarni oleh Mahr-r'ror-rcl Mtthammed Taha cli Sudan, Subhi al Shalih di Libanon, dan Farag Fuda di Mesir, misalnya, menjadi bukti nyata betapa iezim pemaknaau hanyalah 'hak suci' otoritas tertentu. Hadirrrya gagasan kreatif yang berupaya mendobrak kekakuan doktrinal pemaknaan agama clicap sebagai 'tneneutang kehendak Tuhan'. Stigrna 'tnenentrng kehendak Tul-ran' tampak menjacli senjata arnpuh untnk memasllng nalar kritis yeng diman' faatkan untuk lnengLlsung statLls quo pernikiran di satu pihak dan 'mengamankan' posisi politis c1i pihak yar-rg 1ain. lronis memang, Islam yang secara aktr-ral hadir dalam rangka membebaskan manusia cleri 'kuasa-kltasa', namllll clalam struktur sosialnya serat dengan pelrlasllngan yang luar biasa terhaclap nalar dengan mengalihkan wilayal-r otoritas rnanttsia pacla wilayah wahyu llahi yang t:rk dapat disentuh, clibanteh, clan didebat (ghoirtt qabil Ii al niqas). Ijtihed yang semestinya ciilaclikan rnoclal clasar bagi setiap umat lslam untuk memahami agan'ranya, kini dibatasi hanya pada kalangan kelas tertcntu saja. Dalam traclisi Islam, persoelan ijtihatl dianggap sebagai hak istimewa dan rnonopoii para ahli hukum yang terlembaga dalam komnnitas para imam mujtahicl (Arkotrn, 1997, ZB3). Oleh karena itu, satu hai yang patlrt dilakukan adalah keluar dari hegemoni lembaga-lembaga tersebr-rt, mengingat lembagv

lembaga tersebut merttpakan titik mematikan claianr analisa berfiklr ihnial-i (nuqtdnLn qarilah fil bahsi al'ilml) yang pada akhirnya tidak acla ruang tintuk melakukan ijtil-rad (Sya1-rrur, 1997: 47). Karena, kelompok elit iniiah yalrg clengan wewenangnya beltinclak sebagai'pentashl-rih agama' yang memandar-rg keputusannyalah yang paiing tepat clan sesuai tlengnn kehenclak

Tr-rhan. Mereka bertindak seolah sebagai tentara Tuhan yang merasa paling berhak men-relihara clan memahami otoriters ilahiyal-r (Fadl, 2003: 35). Tulisan ini I'rendak mengttrai betapa ijtihacl sejatinya menjatli meclittm clalan-r progresivitas niiai dan ajaran Islarn. Ijtihad rnenjadi moclal intelekttral yang mendinamisasikan ajaran Islam agar tetap baik dalam (,shalihunlikulli zdman setiap wakftr rlan tempat
q.ua

makan).

Penyangkalan Ters elubung Kemungkinan Adanya Ijtihad

ijtihad adalal-r salah sattr cara yang dilakukan unruk menyelesaikan persoalan, termasuk persoalan hukttnt.
Pacla rnulanya,

Namun, dalam perkembangannya, ijtihacl dipa' datkan artinya menjadi Lrpaya yang diten'rpnh s eseorel-rg clalam tn ertt m usk an httku n-r. Dal an't konteks ini, orang yang rnelakukan ijtihacl disebr-rt sebagai mlrjtahid, yaitu ahli fiqh yang berusaha maksirnal tlelam merumuskan hukum syara' (Umari, 1986: 57). Biasanya, ijdhad dilakukan ketika al Quran ticlak tremberikan jarvaban konkret terhaclap persoiln yang terjadi. lni misalnya terjadi pacla Nabi ketika al Qttran tidak

memberikan jawaban terhaclap masalal-r konkret yang dihadapinya atau para sahabatnya. Nabi kemudian melakukar-r ijtil-rad untuk sesegera rnungkin menjewab persoalan riil umatnya saat itu. Sungguhpun clernikian, tidak seluruh pemecahan masalah oleh Nabi disetujui oleh Allah. Terbukti rnisalnya, Nabi juga clisanggah olel'r wahyu yang hadir untuk
merevisi hasil ijtihadnya. Salah satu contohnya aclalah bagaimana ijtihacl Nabi Muhammatl

Ului Albab, Vol.

11,

No.1, Tahun Z01C

Tradisi ljtihad: Mengembalikan Semangat Progresivitas /s/am

permintaan tebttsan (ficlyah) bagi tawanan perang Badar saat itlt, yang direspon langsung oleh A11al-r dalam a1 Quran surah al Anfal ayat 67. Ijtihacl Nabi tersebut diclasarkan pada pendapat Abu Bakar agar mengari-rbil tebusan bagi tawanan perang Badar dan mengesampingkan panclangan LJmar Ibnu Kl-rattab yang lnengusulkan agar tawanan iltt dibuntrlr saja (Abu Nrshr, 1950,128-129).
clalan-r kasus

para sahabat (al Namr, 1978, 180). Nabl memberikan nilai positif bagi pelaku ijtihad yang berhasil melaktikannya, yaitu nilai dua nnttik ijtihacl yang tepat, clan satti untr-tk yang
tidak tepat. Karakter keterbukaan untuk melakukan ijtil-racl sebagaimana tampak clari sabcla Nabi, tetapi kemuclian tidak serta merta dipahami sebrrgai pengabsahan dan pemberian wewenang LlntLlk melakr-rkan ijtil-nci pacla sirpr pun. Oleh karena alasln itu, pala ulama masa lalu pun merumuskan syarat-syarat dalam melakukan ijtihacl agar ticlak terjacli arogansi dalarn pernberian ototitas ijtihad, clan ijtihad tidak n-renjadi proses yang dapat dilakukan
sembarangan.

Demikian pnla pacia masa pasca kenabian, para sahabat setelah lnel'asa tidak menemukan rujukan hukum clalam al Quran clan Sttnnah melaktrkar-r ijtihacl untuk rnernberikan jawaban atas persoalan
yang menyita aktivitas Lrnratnyx. Kenyataan ini rrembtiktikan pecla kita bahwa ijtihacl adalah "aktivitas wajar" yang dilakukan oleh Nabi, para sahabatnya, dan seharusnya menjacli aktivitas urratnya clikemudialr l-rari. Tidak ada syarat yang mesti dlmillki oleh oreng yang hendak melakukan ijtihad kecuali kesLu-rgguhan clan kenrlttsan niat karena A1lah untuk menernukan cara yang terbaik dalarn menyelesaikan persoalan dan pengakuan publik tentang kapasitas intelektr"ral clan integritas rnoralnya, atau dalam istilah yang populer di kalangar-r Ahli Hadis dikenal clengan, tsiqah (Mun'im, 19iB: 180). Na.mnn, pada lrasa-masa berikutrrya

Dalam konteks ijtihad, perllmusan hukum syara', memerinci setidaknya ada tiga syarat ntarna yang harr-rs clipenuhi seorang rnujtahicl (Umari, 1986, 59), (1) syarat'syarat
LrmLlrn (aL syurwrh aL 'ammah). (Z) syarat-syarat prinsipii (aI sJururh" aL ctsasilah). (3) syarat syarat

aktivitas ijtihad mengalami

perubal-ian.

Aktivitas ijtihacl mengalami pengetatan clan tampak menjadi 'aktivitas tidak rvajar' unttik dilakukan setiap orang. Disan'rping irarrya
clipahami sebatas upaya merumuskan hukr-rn-r syara', ijtil-rad juga tampak menjadi proses yang sulit, yang l-ranya dapat dilakukan olel-r orang. orang tertentu, yang memiliki kualifikasi clan kelengkapan syarat tertentu. Uraian berikutbermaksud menampilkan syarat syarat apa saja yang mesti climiliki oleh seseorang yang hendak melakukan ijtihacl. Perlu ditegaskan bahwa syarat-syarat ini muncul pacla era belakangan seiring t-lengan terkodifikas inya ru musan-m mu san serta n-retodologi perumusan hukum, br,rkan pada masa Nabi yang clengan terbuka clan leh-rasa menr. berikan l-rak untuk melakukan ijtihad kepada

pelengkap (aI syurwth aI rakmilfioh). Syaratsyarat umum meliputi tiga l-ral, yaitu Islam, baligl-r, clan akal. Secara norn"ratif, seorang rnujtal-rid bertujuan untuk mernaharni clan merumuskan persorlen-pcrsoahn hukum lslam, n-raka beragarna Islen-i menjacli prasyarat yang patut dipenuhi. Baligh clan ber. akal dlladlkan standar Lrmlrm yang harus di. penul-ri seorang r-nujtahic-l karena ir-ri terkait dengan kemarnpuannya untuk memilah dan memahami persoalan. Hadits rir,vayat Ahmad, Abu Dar.vucl, clan al Hakirn yang menjelaskan balrwr rige kelornpok yrrrg ti.lak.lisrnksi lnitu anatraanak hingga ia baligh, orang tidLrr hingga terjaga (saclar), clan orang gila 1-ringga waras, .lapat dilaJikrn ACLIrn norrnltifnyr. Syarat.syarat prinsipil yaitu syarat yang harus dimiliki oleh sesorang mujtahicl serelah rneme nr-rhi syarat-syarat u mu m rnelipu ti empat ha1. Pertama, mengetahui dan memal-rami al Quran clan segala yang terkait clengannya. Dalam l-ral ini, ulama berselisil-r penclapat apakah seorang mujtahid harus mengetahr,ri dan memahami seh-rruh ayat al Qurar-r atar.r hanya
ayat-ayat yang terka it dengan huku m. Yang j elas,

Uh-r1

Albab, Vol. 11, No.1, Tahun 2010

Ahmad Fawaid

mengetahui dnn memahami ayat'ayat al Quran

persyaratan yang patut

dimiliki oieh muj'

hal yang wajib dimiliki seorang mujtahid.


Selain itu, seorang mujtahid harus memahami persoalan-persoal:rn yang terkait dengan irl Qtrran semisal IImu Asbab aI Nuztr.l', Mwhkam' Mutasy abilt, Nasikh-Mansakh, dan sebagainya. Keclua, mengetahui clirn memahami Sunnah Nabi, termasuk juga aclalah mengetahur ll'mu Dirayah. dan Rituayah Haclits, nasiklvmansukh

tahid. Ticlak diketahui motivasi apa yang melatarbelakangi ttlama untuk merumuskan
persyaratan tersebut, tapi yang jel:rs munculnya

hadits, clan sebagainya. Ketiga, mengetahui dan tnemahami selr-rlcbeh-rk Bahasa Arab, termasuk diantaranya adalah mengetahui dan memnhami Ilmu Gramatika Arab (Nahwu dan Sharafl, Balaghah, dan sebagainya. Dan, yang keempat adalah mengetahui dan memahami Ushul Fiqih. lni menjacli penting climrhki oleh seorang mr-rjtahid karena sebagaimana

dlyakini ulama perLtmus persyaratan ini


clengan Ihnu Ushul Fiqh kita bisa mengetahui

hakikat hukurn clan pernikpernik hukum


yang 1'rendak dipecahkannya'

Seclangkan syar:rt-syarat pelengkap


rnelipr-rti beberapa hai, antara lain: rnengetahui tujuan syarial'r (maqashid al' slari'ah), kaiclahknidah universal clalanr biclang fiqh (al qawa'id

al" kulLiyah), mengetahui cluduk persoalan perbedaan pendapat (mat'uaclhi' aL khilafl,


mengetahui traclisi setempat, ctlan sebagei'rya. Syarat syarat ini hany:r penopang kesernpur' naan produk ijrtihacl, dan tidak harus dimiliki seorang mujtlhicl. Syara?synrat ir-rilah yang patut dipenuhi generasi selanjutnya dalam melakukan ijtihad. Adanya pembatasirn atns cakup:rn cian ruang lingkup ijtihacl ini tarnpak sebagai Lrpaya setengah hati atas pemberian ruang untuk berijtil-racl. Seiain itu, peliknya persyaratan yrng parlrt dipenr-rhi oleh seorang mujtahid menjadikan ijtihad sebagai proses yang sangat sulit clan ticlak popular, sehingga ijtih:icl yang sebenarnya rnenjadi alat dinamisasi lslarn menjadi tidak dapat digiatkan. Pacla mulanya, ijtihacl menjadi tinclakan wajar yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Dalam perkembangannnya, ijtihad menjadi hak istimeu'a kalirngan tertentu, yang .lengan otoritasnya mereka meruinttskan perangkat

sejr-rrnlah persyaratan dengan segala kepelikannya menjadi penghalang mental bagi generasi belnkang:rn unluk memfr-rngsikan ljtlhaLl. Tanpaberpretens i menghindari sejumlah persyaratan tersebul, ijtihacl memang bukan tindakan sewenang-wenang yang dengan rrlu' dah dilakukan oleh siapa saja, tetapi mungkin tlapat clilakukan oleh siapa saja' Ijtiirad sebagai Llpaya seritts rnenyelesaikan persoalan pr-rblik meniscayakan adanya kesungguhan dan keseriusan. Hirmbatan'ha.mb:rtan memang mllng' kin dijumpai, tetapi harnbatan'hambatan itu br,rkanlah sesuatu yang diciptakan untuk mengingkari kemungkinar-r terjadinyr ijtihacl misalnya persyaratan yang dernikian ketatnya demi sahnya melakukan ijtihad. Sel'Larusnya, persyaratan-persyaratiln itu bukan unluk mengendaiikan, melainkan tlalam rangka menempatkan peran ijitl-rad pada posisi yang se' mestinya, sehingga mungkin dilakukan siapa saja dalam rnenyelesaikan persoalan kekinian umat. Se iring c'lengan perkembangan kehitlupan tlari berbagai dirnensinya, sudah seharustrya dilakukan pembenahan'pembenahan atas segala hal, termasuk perumusan syttrat ijtihacl. Persyaratan yang dirumuskan para ttlama pada masa lalu semestinya didudukkan pada situasi cfirnirna syarat-syarat itu clirurnuskan. Begitu pula implen-rentasi persyaratan itu

pada kontcks saat

ini.

Persoalan-persoalan

yang clihaclapi parir ulama masa lalu bukanlah persoalan yang dihaclapi umat saat ini. Oleh karena itu, rlrmttsan-rumtlsan para ulama

masa 1alu, termasuk rLtmusan persyaratan melakukan ijtihad, patut Lrntlrk dilakukan. Berdasarkan standardisasi persyaratan patut dirniliki seorang mujtahid, sejarah yang saat ini belum lnalnplt menunjukkan tokoh yang dianggap memenuhi kriteria mujtahid (mutlak). Keddakmr,rngkinan melahirk:rn sosok mujtahid tarnpaknya dibenarkan oleh

Uiul Albab, Vol.

11,

No.1, Tahun 2010

Tradisi ljtihad: Mengembalikan Semangat Progresivitas /s/am

lbnu Burhan al Maliki sebagaimana dikutip Hisyam Ayyubi. Ibnu Burhan mengatakan bahwa kaidah-kaiclah hukurn dan prinsipprinsip madzhab yang diwarisi dari generasi
salaf, dan generasi selanjutnya tidak dibenarkan

menyalahi prinsip-prinsip tersebut (A1yubi, tr..:767).lni artinya bahwa taqlid merupakan keharusan agama menggantikan posisi ijtihad yang clibenarkan, bahkan clicontohkan Nabi dan para sahabatnya. Prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum tersebut, termasuk juga kriteria mujtahid, clitempatkan pada wilayah
keilmuanyang'matangdan terbakar' dan dianggap

final. Dan perbincangan tentang persyaratan mujtahid yang diharapkan melahirkan sosok
mujtahid dalam setiap masa hanya sebuah fiksi yang mustahil menjadi fakta.

Dengan demikian, finalitas keilmuan

dan menjadikan taqlid sebagai

pegangan

menggantikan ijtihad tentu mereduksi peran manusia yang dianugerahi potensi akal yang sarna. Ketika potensi akal (iltlhad) dilemahkan atas dasar keharusan agama (taqlid), maka disinllah awal krisis terjadi; ticlak saja clalam hukum lslam, tetapi juga pemikiran Islam secara umrrm. ljtihad sebagai modal utama Islam hanyalah sebuah simbol yang kehiiangan substansi, ditambah lagi peliknya memenuhi persyaratan ijithad yang seolah merupakan penyangkalan terselubllng atas kemungkinan melakukan ijtil-rad.

Ijtihad Adalah Sebuah Keharusan


Persoalannya adalah apakah kita takluk dihadapan realitas yang terus berkembang

dengan segala persoaiannya tanpa ada upqya serius untuk menyelesaikannyal Apakah kita merasa cukup clengan tumpukan-tumpukan radisi yang diwarisikan oleh para pendahulu kita yang salih (al saLaf aL shalth), tanpa ada upaya serius untuk membenahinyal Atau, kita merasa cukup dengan warisan-warisan tradisi itu hanya dengan melakukan analogi atau qiyas dan dari situ kita menghaclirkan jawaban baru atas persoalan-persoalan baru kita? Jawaban atas serangkain pertalryaan

mendasar itu tidak seialu positif. Artinya, bagaimana mungkin kita membutuhkan procluk ijtihacl baru sementara kekayaar-r tradisi kita telah dengan tepat dan cermat memberikan jalan dan jawaban atas segala persoalan-persolan kekinian umat. Bagi Yusuf al Qaradhawi, dan juga bagi orang yang merasa terpanggil untuk terus menyegarkan keberagamaan dengan munculnya beragam persoaian yang tidak hadil pada masa lalu, merasa perlu menjawabnya dengan cara dan hasil yang berbecla. Kita tidak hendak me. nafikan kekayaan warisan tradisi itr-r dengan keragaman madzhabnya, berikut acuannya yang beragam. Tapi, kltab-kitab produk para pendahulu itu sudah cukup memadai untuk menjawab seluruh persoalan. Bahkan per. soalan yang terbaru sekalipun, jelas mengabaikan realitas yang terus berubah dan berkembang (al Qaradhawi, 1994:5). Al Qaraclhawi berpanclangan lebih realistis. Ia rneyakinkan kita bahwa kesimpulankesimpulan hukurn yang dirumuskan para pendahulu kita adalah jawaban masanya yang akan terus ben-rbah dan berkembang seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Sebuah aclagium yang cukup populer yang patut kita perl-ratikan adalah bahwa Islam pantas di setiap ruang dan waktu, (al Islam shalih likulli zamanin wd makanin) pertanyaannya adalah bagaimana mungkin pesan.pesan Islam itu memadai dalam ruang dan waktu yang berlainan tanpa ada Lrpaya untuk menghadirkan pembaca lain dalam konteks yang berlainan pulal Sebagaimana para pendahulu kita mempraktikkan ijtihad pacla masanya, maka kewajiban kita yang l-ridup dimasa yang berbeda adalah terus menerus bertindak dan berupaya menjawab persoalan masanya. Dalam konteks ini, ijtihad tampak menjadi sesuatu yang setiap saat dilakukan sepanjang realitas kehiclupan terus mengalir dan sepanjang keadaan masyarakat terus
berubah. Menghadapi clinan-risasi persoalan yang terLls bermunculan, pada saat yang sama rumlrsan-rumusan masa lalu tidak lagi leluasa

Ulul Albab, Vol.

ll,

No.l, Tahun 2010

Ahmad Fawaid

menuntaskan persoalan-persoalan baru tep sebut, ijtihad yang dianggap sebagai medium progresivitas Islam yang mutlak digiatkan terus-menerus (Madzkur, 1984: 77-90). Thnpa cliupayakan dengan serius dan berkesinam' bungan, ijtihad menjadi upaya yang mustahil di. wujudkan. Jika ini yang terjadi, kreativitas Islam akan terbelenggu, dan mewujuclkan Islam yang
pantas dan layak dalam segala ruang dan waktu hanyalah sebuah slogan.

Fenomena yang tergelar dihadapan kita adalah munculnya kecenderungan mengekal-

kan sebuah gagasan, termasuk

gagasan'gaga'

dengan masa dan wilayah yang berbeda pula. Dalam konteks sejarah wahyu, pesan'pesan yang hadir dalam konteks Mekkah jelas akan berbeda dengan pesan yang hadlr dalam konteks Madinah. Gambaran ini juga menjeiaskan bahwa betapa pun al Quran adalah kitab suci, namttn ia haclir clan bergulat dalam sejarah clengan. segala dinamikanya. Dalarn konteks inilah, penafsiran atas wahyu menemukan ruang geraknya, dan keragarnan tafsir merupakan kenyataan yang tidak bisa c{ipungkiri. Dapat dipastikan bahwa munculnya beragam tafsir

san sebagaimana clirumuskan para ulama ter-

dahulu. Begitu kuatnya kecenderungan sema' cam itu, seolah tidak ada produk pemikiran yang berubah dan bisa diubah. Masa lalu seolah menjadi pusaka keramat yang tidak bisa disentuh, apalagi dipersoalkan. Menyikapi hal ini, dinamisme ijtihacl perlu senantisa digiatkan. Ijtihad adalah pusaka umat Islam yang harus senantiasa diabadikan dan difungsikan. Ijtihad tidak hendak mengubah keabadian kitab suci. Ijtihad hanya henclak mempersoalkan keabadian tafsiran atas kitab suci. Tapi, mengapa kemudian dalam per' kembangannya tafsir atas kitab suci seolah ditempatkan sebagai kitab suci baru yang tidak dapat didebatl Ini semua terjadi karena nalar ditundukkan clan peran ijtihad dihilangkan. Mengembalikan posisi nalar dan peran ijtihad
adalah jawaban yang ticlak bisa ditawar.

Menuju Progresivitas Islam


Belajar dari sejarah proses turunnya al Quran, yang terentang waktunya kurang lebih clua puluh tiga tahun, clipahami bahwa kehadirannya adalah dalam kerangka lnelespons realitas. lni juga menunjukkanbahwa ada interaksi kreatif antara teks di satu pihak dan konteks yang mengitarinya di pihak yang lain. Proses interaksi yang terjadi secara serentak ini menunjukkan progresivitas wahyu dalam
mencermati realitas yang dihadapinya. Isu'isu strategis yang diusung wahyu pada satu masa clan wilayah akan berbeda ketika berhadapan

dalam tradisi keilmuwan Islam sebenarnya mengindikasikan bahwa mufassir tidak di atur clalam satu model nalar tertentu' me' lainkan ia hadir sebagai manusia yang hidup dan berkembang clalam locus tertenttt dengan problematika sosial tertentu pula, yang pada akhirrrya memiliki cara baca dan cara pandang yang berbeda sesuai dengan pandangan dunianya. NamLrn, perlu dicatat bahwa perbedaan tersebut tidaklah terletak pada makna oblektif, tetapi pada latar situasi, kondisi, dan kepentingan sosial seorang mufassir (Hanafi, tt., 117). Seorang mufassir tidak pernah haclir dengan kesadaran kosong, melainkan senantiasa dilatari oleh cara pan' dang yar-rg mengawali aktivitas pembacaan, atau istilah Amina 'Wadud, prior text. Prior text inilah kemudian yang akan menunjukkan keragaman yang clitemukan dikalangan mufassir disamping juga memperlihatkan ke' unikan masing-masing penafsir (!iladud, 1994, T. Demikianlah munculnya komentar terhadap al Quran tidaklah berkutat pada sattt mainstream, melainkan mewakili kecenderu'
ngan yang beragam.

Tindakan rnenafsirkan

al Quran ini

pada dasarnya merupakan aktivitas ijtihad yang

memungkinkan seseorang memahami maksud dan kehendak Tuhen sebagai pencipta wa$u' Ta.npa dipal-rami bahwa kehadiran al Quran sebagai kitab petunjuk, menjacli ticlak berarti dan sia-sia. Sebagai produk pemahaman, tafsir al Qr-rran tidaldah kekal dan abadi. Mr-rnculnya beragam dlsiphn keilmuan dalam Islam hampir

Ulul Albab, Vol. i1, No.1, Tahun 2010

Tradisi tjtihad: Mengembalikan Semangat Progresivitas lslam

bisa dipastikan mengacr,r pada kitab suci ini. A1 Quran rnerupakan sumber pertama yang menjadi acuan umatnyu dalam berbagai disiplin yang ditekuninya sekaligus pada saat yang sama membiakkan khazanah keilmuan dalam berbagai disiplinnya. Oleh karen:r itu, mustahil rasanya mernbatasi hak rnenafsir pada otoritas tertentLl dan memtilus akses bagi lainnya untuk
melakukan tindakan serupa.

Islam, ciengan ai Quran sebagai kitab sucinya, tidak menyangkal fungsi berfikir. Bahkirn, al Quran menjunjung fungsionaiisasi akal sebagai rnedir-rm berfikir clan mencela orang yang enggan dan mengabaikan peran akal. Celaan trl Quran terhac'lap tradisi Arab jahiliyah yang menLlnclukkan nalar dan lnenggantikannya dengan ketaatan penuh pada traclisi clan keyakinan nenek moyirng dirlarn

mencari kebenaran agama.


"

Sebagairnana

dicontohkan dalam surat al Baqarah ayat 170:


D

an

a1t ob iI

r)"ik a

ak

ctn k e p a tl

m er ek a

Ikutii ah

$pd l,ang teLah. ditwrurtkctn


dpa Jarg
mereka
teLah.

AJLah, mereka

n'tenjowab, (ticlak), tetupi knmi harrla rnengikr'iri

kami tlapatt dari (perbuatan)

rturek moyang kami, wolaupLln nenek nroyong itu tidak mengetahui suatw 6pa pun, dan tidak ntencla P at P etuniuk" .

Kecaman tersebut ticlak saja

pacla

masyarakat Arab yang diacu ayat tersebut, tetapi

nasyalakat lainnya climasa yang berbeda pun :ercakup dalam konteks ayat ini. Sayangrrya, :renjeclikan masa lalu sebagai monlltrten rJeal, atati clalam istilal-r Syahrur "sindrom me' :gagungkan nenek moyang" (aL da'u aL u"Lfatr
..'. oba'i"1ah), sebagairnana cligarnbar:kan ayat cli

umat Islam s:rat ini. Bahkan, sinclrom semacam ini kerap -iikr-ikuhkan clengan argLlmentasi normatif '...rng menjelaskan bahwa masa Nabi adalah .rbaikbaiknya masa tlan masa selilnjutnya tidak .rbaik pada masa itu. Logika sejarah regresif
-,tas, ternyata masih mengl-ringgapi

baik. Betapapun gernilangnya masa lalu, tetap saja ia telah berlalu, dan memaksanya tradir kembali saat ini jelas berlawanan tlengirn akirl sehat. Tugas kita semestinya adalah bagairnana mengukir masa depan sesuai dengan alur se' jarah yirng senantiasa berubah. Dalan-r hal ini, ijtihad henclaknya dlladikan modal dasar menggerakkan progresivitas Islam mengglrntikan ttrqlicl yang mengukuhkan kemaplnau. Dengan demikian, ijtil-rad meniscayakan nalar dinamts (aql alhawwi clan nalar inklusif ('oql aL infitah). Dengan nalar dinamis, ijtihad di1adil<an sarana untuk mencari kebenaran dengan berpijak pada fiqih yang membebirskan (fiqh tahririn), bukan fiqih yang mengekang (fiq\, mqliitin) (Kl-ralil, 1993, Z9q. Dengan nalar inklusif, ijtihad cliladlkan sarana untuk rnernbuka diri pada sejumlah kebenaran, tanpa memperdulikan asal'usul kebenaran itu. ini artitrya, tidak ada wewenang untuk mernaksakan kebenaran, sebagaimana ticlak ada halangan untuk menerima kebenaran dari ln anapun asal-muas:rlnya. Kebenirrirr-r teoritik adalah plr,rral, semetltara kebenaran praktis tunggal, yaitu kebenaran yang mencerminkan kepentingan publik secara umu m. Kepentir-rgan publik iniiah yang selnestinya dijadikan acuan sekaligus tujuan ijtil-rad (Hanafi, 1988: 229). Dengnn perangkat n:rlar itulah, ijtihacl hadir untuk inenggelakkan tradisi sekaligus menampik pengekalan setiap bentuk tafsir. Tafsir adaiah produk ij ti hacl yang n eniscayakan ijtihad lanjutan, tanpa henti, ad infinirum. Di sinilah progresivitas Islam dapat menjadi kenyltaan. Pada saat yang sam:l' seiring dengan keleiuasaan peran akal dalarn ijtihad, jihad sebuah istilah yang memiliki akar kata sama yang lebih mengeclepankan olah fisik akan tergantikan dengan ijtihad yang lebih mengedepankan olah nalar.

::idacliyalt) dan retrogadatif ftaqahqttriyall -rr'ngen menjadikan masa lalu sebagai sejarah .jeai menggantikan logika sejarah progresif
mengandaikan bahwa setiap :riisA memiliki logika dan nalarnya sendiri ..:-rtuk terus berproses ke arah yang lebih
.-;,1addum1) yang

Membuka Nalar, Membuka Pintu Ijtihad


Sebagaimana Nabi t{engan leiuasa membuka pintu ijtil-rad, maka tidak ada seorang pun yang pantas dan berhak untuk

- .-:. Albab, Vol.

11,

No.1, Tahun 2010

Ahmad Fawaid

menutupnya (Qardhawi, 2001: 273). Namun, mengapa kenyataan sejarah mennnjutr<kan realitas yang berbeda, di mana kelesuan intelektual merajalela, dan umat pun takluk bersamarrya. Kita pun merasa plras dengan karya-karya agLlng masa lalu, tanpa ada upaya serupa untuk berkarya dan mencipta sejarah agung yang baru dengan segala tantangannya. Harus disadari bahwa tantangan saat ini tidak mungkin terselesaikan semata-mata mengacu pacla kreativitas masa lalu. Tantangan lnasa kini harus dil-radapi dan diselesaikan dengan kreativitas masa kini pula. Kreativitas suatri

yang patut dilakukan, sehingga pintu ijtihad yang clengan rapat ciitutup akan clengan mudah dibuka. Thnpa mernbuka nalar, maka seruan tintuk membuka pintu ijtihad hanyalah angin lalu saja. Ini karena pacla dasarnya, ijtihad tidaklah tertutup, tapi ia akan terturup dengan sendirinya ketika kran berfikir bebas clengan nalar sebagai mecliumrrya clitutup

rrase hanya benar clalam konteks menyelesaikan persoalan masanya, dan tidak selalu
tepatketika ditarikpada persoalan di masayang berlainan. Setiap masa atau waktu memiiiki cara dan strategi penyelesaian yang berbeda sesuai dengan tantangan masanya. Demikian pula masingmasing komunitas memiliki cara penyelesaian yang berbeda ketika menghadapi persoalan, bahkan pada masa yang sama dan persoalan yang sama pula. Di sinilair tafsir atas realitas berperan rnelahirkan keragaman penafsiran sekaligus keragaman kebenaran. Oleh karena itu, ticlak salah apa yang dikatakan Ali Harb bahwa setiap tafsir

Selain itu. membuka nalar juga meniscayakan kesiapan menerirna kritik dan peinbenahan. Kiisis yang terjadi dalam l-rukurr Islam (fiqh), bahkan dalam pemikiran Islam secara Llmlllr, aclaiah akibat pemapanan yang
berlebihan terhadap khazanal-r masa lalu yang pada akhirnya meh-rpakan ruang dan waktu yang terus berubah (Syahrur, 1990, 549). Le. bih lanjut, Syahrur mengatakan bahwa kesa. lahan yang terjadi daiam pembacaan hukum Islam aclalah terletak pada kesalahan mero. dologi yang terlrs clibakukan hingga saat ini Kenyataan tersebut diperparah dengan raibnya ruang kritik yang konclusif akibat "pengawasan icieologis" (ideological sr-rpervisicn), demikian Arkoun mengistilahkannya, yang merata di semua kelornpok masyarakat clan cli semlla tingkat kebudayaan di negeri-negen Islarn. Tertutupnya ruang kritik inilah yang menga. kibatkan raibnya traclisi ijtihacl dalam traclisi islam seiring dengan sistematisnya penlrtupan ruang gerak akal (Arkoun, 1987 17). Dalam konteks ini, akal menjadi nodal Lrtama manusia, sekaligus saudara kadung ijtihad (al aqlu shinnu al iitihad), sebagaimana clikatakan Hassan Hanafi, suclah separLltnya difungsikan secara maksimal (Hanafi, 1988,

Qabirl, 1997

57).

memiliki perspektif dan justifikasinya sendiri, bahkan memiliki strategi tersencliri cla, lam menghadirkan kebenaran. Begitu pula
setiap komunitas, masingmasing komunitas memiliki raclisinya sencliri clan menghaclapi tantangan sejarahnya sendiri, sebagai konsekuensi dari pergr-rlatannya dengan lainnya (Harb, 1995: 6$. Dengan ijtihaclnya, masingmasing sampai pada kesirnpulan yang berbeda sesuai clcngan tantangan dan pergr-riatan yang clihaclapir-rya. Ijtihad memang n-reniscayakan perbedaan, karena ijtihad hanya berkutat pada wilayah kemungkinan (dzanniyun), dan c-li wilayah kemungkinan inilah perbedaan
tergelar.

497). Dengan memfungsikan akal sesuai clengan kapasitasnya, sebenarnya kita telah
mensyukuri salah satu anugerah Tul-ran yang paling utama. Sebaliknya, mengingkari peran
akal pada dasarnya juga n'rengingkari anr-rgerah Tuhan, sebuah anugerair yang semata-mata

Menyikapi beragamnya kebenaran inilah cliperlukan "nalar inklusif' sehingga kita tidak terjebak pada penghakiman kebenaran lainnya di luar kebenarannya sendiri.
Membuka nalar merupakan langkah pertama

dilimpahkan pada manusia. Mengingat situasi yang terLls bergerak dan berubah, sernentara teks yang dlladikan actlan normatif telah berakhir, maka membuka akal menjadi niscaya. Dengan membuka dan

UlulAlbab, Vol.

ll, No.l,

TahLrn 2010

Tradisi ljtihad: Mengembalikan Semangat Progresivitas Islam

menggerakkan akal sekaligus cliharapkan kita mampu mempertemukan kesenjangan persoalan antara kasus yang tertuang dalam kitab suci clan realitas kekilrian. Peran akal tentu sangat lnenentukan dalarn proses ini. Begitu pentingnya posisi akal, maka Jamal al Banna menjadikannya sebagai prinsip syariah yang pertama sebelum sistem nilai al Quran, Sunnah, dan'Ur/(kebiasaan) (Banna, 1995: 195). Meskipun ticlak n-renampik posisi al Quran sebagai sumber pertama syariah, Jamal meyakini bahwa tanpa memanfaatkan akal mustahil al Quran dapat clipahami. Dalam konteks inilah Jamal al Banna rnemposisikan
akal sebagai dasar syarial-r yang pertama.

berkeyakinan serLlpa hadir sebagai sosok


yang berperan sebagai 'm&ndgers of the sacred',

pengelola wewenang Tuhan dan pengawal tradisi bagi komunitas ttmat secara umum (Arkoun, 1987 IZ).

Simpulan
Fakta semacam itu tidak layak didiamkan

begitu saja. Namun demikian, warisan masa lalu dengan segala nilai positif dan negatifnya bukan untuk ditampik begitu saja. Ia sejatinya cliiadikan sebagai teman dialog, tepatnya pertemanan kritis (al ta'amuL aL naqrl), dan menempatkannya pada ruang sejarah yang
semestirrya. Begitu pula peran ulama pada masa

Kenyataan buruk akibat raibnya peran akal dan semangat kritik dikalangan urnat Islam, utamanya setelah mapannya keilmuan clalarn Islam, hendakrrya jangan sampai ten u la n g ke mbal i. Kele s u a n nalar (aL t ak o sul aL aqb) sebagai dampak dari perasaan puas diri Gei/ sufficient) nmat terhadap warisan sejarahnya pada rnasa berkibarnya keilmuan di dunia Islam menjadi sindrom yang menghambat perkembangan lslam. Sinclrom masa lalu yang terus menghibur perasaan bawah sadarnya dengan kuasa melenakan umat, bahkan n-relelapkan mereka dalam ticlur palrjang. hnpian indah masa lalu kian menyenyakkan kesadaran

lalu. Bagaimanapun mereka telah meletakkan

kaidah-kaidah dalam sejumlah katyanya


sebagai respon terhaclap situasi clan konteks

mereka dalam buaian romantis, sehingga akhirnya mereka tak kuasa Lrnfttk bangkit kembali. Bukannya berjalan maju, sejarah diyakini berjalan mundur. Sejarah regresif
menggantikan sejarah progresif, clan masa lalu adalah segala-galanya. Kenyataan ini masih dijumpai saat ini.

Praktikpraktif represif otoritas agama yang bergandeng mesra dengan otoritas polltik

untuk

menanggalkan peran aqal karena terseclianya naqal efektif menciptakan "tirani pemikiran" (istibdad al, fikry) dalam kesadaran umat Islam. Bahkan, produk aktifitas akal yang diperankan para pemikir kita di masa lalu didalcva sebagai naqal baru yang memiLiki kekuatan aksiomatik yang tak terbantah kebenarannya. Dalam konteks ini, para ulama masa lalu dan ulama masa kini yang

masanya, dan adalah kewajiban kita pula memposisikan mereka sebagai manusia yang bergulat dalam duniarrya. Ilmu pengetahuan betapa pun banyak jumlahnya, ujung-ujungnya adalah bahtera yang tidak diketahui dalamrrya, gunung yang tinggi menjulang yang tidak bisa didakinya (al Syuyuti, tt.: 3). Di sinilah peluang bagi generasi berikumya untuk mengisi kekurangan yang belum clilakukan pendal-rulunya. Tidak s aj a mengis i kekttrangan, bahkan tugas generasi selanjutnya adalah menciptakan temuan-temuan baru yang belum dilakukan para pendahulu kita. Kreativitas semacam ini harrya mungkin clilakukan clengan mernbuka nalar clan menjadikannya sebagai medium mencari kebenaran. Ijtihad yang dianggap sebagai saudara kanclung akal bergerak clalam wilayah pencarian ini. Sebagai objek yang diupayakan, kebenaran tidak pernair final, dan kesalahan bisa saja terjadi. Kesalahan yang terjadi clalam proses pergulatan akal akan lebih berwibawa ketimbang kebenaran yang diperoleh secara cuma-clrma, tanpa acla proses pencarian. Atas dasar ini pula, kekeliruan melakukan ijtihad pr-rn dihargai.

Ulul Aibab, Vol.

11,

No.1, Thhun 2010

10

Ahmad Fawaid

Daftar Pustaka
Khalil, Ahrnad. 1993. Al'Aql fi aL Islam: Bahrsun Falsafiyun fi Hudud aL Syarakah bayra aL'Aql aL'AmaI i wa aI'Aql aL Dini. Beirut: Dal ai Thali'ah. Abu Nasl-rr, Abdul J alil Is a. 1 9 5 0. Ij tihacl aI Rasul" Sallallal:;'"' Alaih w a SaLIam. Kairo: Dar Ihya' al Kr,rtr-rb al 'Arabilyah. AlAyyuby, Mul-rammad Hisyam. T.t. Al Ijtihad WaMuqtadlayat aI ?shri. Oman' Dar ai Fik. A1 Namr, Abdul Mun'im. 1978. AL ljtihad.

Harb,

Ali. 1995. Naqd aI Haqiqah. Beirut: Al


Markaz al Tsaqafi al Araby.
aL

Jabiri, Muhammad Abid. 1992. Wijh"at

Nadzar: Nahwa I'adatu Bina'i Qadlay aL Fikr al 'Arabi aL Mu' ashir. Beirut: Al

Kairo:

al

Hay'ah

al Mishriyah al

'Ammah li al Kitab. Arkotrn. 1997. Nalar Islami I'Jal.ar Modenv. Rerbagai Tantangan clan Jalan Baru. Jakarra, INIS.
1987. Rethinking IslamToday, O ccasional
Papers Series for Center for Contemporary

Arab

Studies. Washington DC:

Georgetown University. Banna, Jarnal. 1995. Nahwa Fiqhin Jadidin. Kairo: Dar al Fikr al Islarny. El Fadl, Khalid M. Abou. 2003. Melawan
"Tentcrrd Twhan": Yang Beru,enang dart

lang

Setue n

ctng-wendng clalam Wacana

islam. Jakarta: Serambi.

Hanafi, Hassan. 1988. Humum al Fikri wa ol Wathan: Al. Turats wa al. 'Ashr wa al Hadatsah. Kairo: Dal Qubba'. T.r. Al Din wa aI Tsawrah. fi Mislva 19 5Z-l9Bl,Vol. VII, Cairo: Maktabah Madbuli.

Markaz al Tsaqafal'r al Arabi. Madzkur, Muhammad Salam. 1984. Al ljtihacl fi aI Tasyri' at, Islaml. T.tm: Dar al Nahdlah al 'Arabiyah. Qaradhawi, Yusuf. 1994. AL ljrilwd aIMu'ashir Bayna aI Indhibat c.ud aL Infirar. Kairo: Dar al Thwzi' wa al Nasyr al Islamiyah. 700I. Madkhal Lidirasati al" Slari'ah al .lfahbah. Islamiy ah. Kairo : Maktabah Syahrur, Muhammad. 1990. AL Kitttb wa aL Quran: Qira' ahMu' ashirah. Dam askus r al Ahali li al Tiba'ah lva al Nasyri r.va al Tauzi'. *--*---.1997. Dirasat aL Islamfiah Mu'ashirah fi aI DawLah. wa aLMujtarna'. Damaskus: Al Ahali li at Thiba'ah wa al Thuzi'. Sytryuti, Jalalurldir-r. T.t. Al lrqan fi ULum aI Quron. Beirutr Dar al Fikr. Umari, Nadia Syarif. 1986. Al ljtilwdfi aLIslam. Beirut: Mu' assah Al-Risalah. 'Wadtrcl, Arnina. 1994. Wanita dalam aL Quran. Terjemahan olel-r Raziar Radianti, Banclung, Pustaka.

Uhrl Albab, Vol.

il,

No.l, TahLrn

2010

Anda mungkin juga menyukai