Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

Masyarakat madani merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifatsifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-maruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi khairu ummah karena mereka menjalankan amar maruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. Masyarakat Madani merupakan masyarakat harapan bagi umat islam, bukan sekedar masyarakat yang lebih banyak menggunakan simbol-simbol islam, melainkan masyarakat yang mampu membawakan substansi islam dalam setiap gerak kehidupan masyarakat. Untuk itu masyarakat islam dituntut ikut berperan dalam rangka mewujudkan masyarakat Madani tersebut. Masyarakat Madani memerlukan adanya pribadi-pribadi yang tulus mengikatkan jiwanya kepada wawasan keadilan. Ketulusan jiwa itu hanya terwujud jika orang tersebut beriman dan menaruh kepercayaan terhadap Allah SWT. Ketulusan tadi juga akan mendatangkan sikap diri yang menyadari bahwa diri sendiri tidak selamanya benar. Dengan demikian lahir sikap tulus mengahargai sesame manusia, memiliki kesedian memandang orang lain dengan penghargaa, walau betapa pun besarnya perbedaan ang ada, tidak ada saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Masyarakat Madani akan terwujud jika umat islam bergerak serempak, saling menghormati dan melindungi,saling membantu dan mendukung, bukan menyerang dan menghancurkan.

BAB II RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pendahuluan di atas,maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. Apa pengertian dari masyarakat madani? Bagaimana sejarah dari peradaban masyarakat madani? Bagaimana karakteristik masyarakat madani? Bagaimana peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani? Bagaimana kehidupan masyarakat madani pada jaman Rasullulah SAW?

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Pengertian Masyarakat Madani Istilah masyarakat madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil society pertama kali dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja Dalam perkembangannya istilah civil society dipahami sebagai organisasi-organisasi masyarakat yang terutama bercirikan kesukarelaan dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara serta keterikatan dengan nilai-nilai atau norma hukum yang dipatuhi masyarakat. Konsep masyarakat madani merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep civil society. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern. Sementara menurut agama islam, masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firmanNya dalam Q.S. Saba ayat 15: Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun.

Dalam istilah lain, referensi masyarakat madani ada pada kota Madinah, sebuah kota yang sebelumnya bernama Yastrib di wilayah arab, dimana masyarakat Islam di bawah kepimpinan Nabi Muhammad SAW di masa lalu pernah membangun masyarakat dengan peradaban tinggi.

3.2 Sejarah Peradaban Masyarakat Madani Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu: 1. Masyarakat Saba, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman AS. Keadaan masyarakat Saba yang dikisahkan dalam al-Quran itu mendiami negeri yang baik, subur, dan nyaman. Di tempat itu terdapat kebun dengan tanaman yang subur, tesedia rizki yang melimpah, terpenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Oleh karena itu, Allah memerintahkan masyarakat Saba untuk bersyukur kepada Allah yang telah menyediakan kebutuhan hidup mereka. Tapi sayangnya, setelah beberapa waktu berlalu, penduduk negeri ini kemudian ingkar (kafir) dan maksiat kepada Allah, sehingga mereka mengalami kebinasaan. ( Qs. Saba:16).

2. Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan AlQuran sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. 3.3 Karakteristik Masyarakat Madani 1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasi kepada publik. 2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi : (1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (2) Pers yang bebas (3) Supremasi hukum (4) Perguruan Tinggi (5) Partai politik

3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain. 4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. 5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya. 6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab. 7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya : (1). Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata (2). Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat (3). Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter (4). Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas (5). Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar (6). Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan jaman, pemberdayaan civil society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya sebagai berikut : 1. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan. 2. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang teraniaya, tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan mereka (masyarakat yang terkena pengangguran, kelompok buruh yang digaji atau di PHK secara sepihak dan lain-lain) 3. Sebagai kontrol terhadap negara 4. Menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan (pressure group) 5. Masyarakat madani pada dasarnya merupakan suatu ruang yang terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Dalam ruang lingkup tersebut terdapat sosialisasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun dari sebuah jaringan hubungan di antara assosiasi tersebut, misalnya berupa perjanjian, koperasi, kalangan bisnis, Rukun Warga, Rukun Tetangga, dan bentuk organisasi-organsasi lainnya. 3.4 Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani 2.1 Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidangbidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama

ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam alGhazali. Dalam konteks masyarakat Indonesia, dimana umat Islam adalah mayoritas, peranan umat Islam untuk mewujudkan masyarakat madani sangat besar. Kondisi masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh umat Islam. Peranan umat Islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-politik, ekonomi, dan yang lain. Sistem hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain di Indonesia memberikan ruang kepada umat Islam untuk menyalurkan aspirasinya secara konstruktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi umat Islam di Indonesia terhadap karakter dasarnya, untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun umat Islam secara kuantitatif mayoritas tetapi secara kualitatif masih rendah, sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis. Sikap amar maruf dan nahi munkar juga masih sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti angka kriminalitas yang tinggi, korupsi yang terjadi di semua sektor, dan kurangnya rasa aman. Jika umat Islam Indonesia benar-benar mencerminkan sikap hidup yang Islami, pasti bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera. 2.1.1 Posisi Umat Islam SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam. 2.1.2 Kualitas SDM Umat Islam Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110 Artinya:Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnyadibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Quran itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil. 3.5 Kehidupan Masyarakat Madani pada Masa Rasulullah SAW Kehidupan masyarakat madani pada jaman Rasulullah SAW, dimulai ketika nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya dari Mekkah ke Yastrib (Madinah). Hal tersebut (hijrah) dilakukan untuk mewujudkan masyarakat yang madaniah (beradab). Pada saat itu, penduduk kota madinah sudah beragam ada penduduk beragama islam dan ada penduduk beragama yahudi dan watsuni. Agar tercipta kerukunan maka dibuat suatu traktat antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj.

1. Masyarakat kota Yastrib setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Madinah adalah nama kota di negara Arab Saudi, sebagai nama baru kota Yastrib, tempat yang didiami oleh Rasulullah SAW sampai akhir hayat beliau sesudah hijrah. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Quran sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusankeputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. DAFTAR PUSTAKA Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia: Jakarta. Suharto, Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung: Bandung. Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran Rakyat: Bandung. Tim Icce UIN Jakarta. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Prenada Media: Jakarta. Aman, Saifuddin. 2000. Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Al Mawardi Prima http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/21/masyarakat-madani-526541.html

TAMBAHAN BUAT PENGERTIAN SECARA BAHASA DAN ISTILAH (TOLONG DI EDIT) MADANI satu kata yang indah. Punya arti yang dalam. Kadang kala banyak juga yang menyalah artikannya. Apa itu sebenarnya madani. Bila diambil dari sisi pendekatan letterlijk maka madani berasal dari kata m u d u n arti sederhananya m a j u atau dipakai juga dengan kata m o d e r n. Tetapi figurlijknya madani mengandung kata maddana al-madaina ( ) artinya, banaa-ha ( ) yakni membangun atau hadhdhara ( ) yaitu memperadabkan dan tamaddana ( ) maknanya menjadi beradab yang nampak dalam kehidupan masyarakatnya berilmu (periksa, rasio), memiliki rasa (emosi) secara individu maupun secara kelompok serta memiliki kemandirian (kedaulatan) dalam tata ruang dan peraturan-peraturan yang saling berkaitan, kemudian taat asas pada kesepakatan (hukum) yang telah ditetapkan dan diterima untuk kemashalahatan bersama. Masyarakat madani ( = al hadhariyyu) adalah masyarakat berbudaya dan almadaniyyah (tamaddun) yang maju, modern, berakhlak dan memiliki peradaban, melaksanakan nilai - nilai agama (etika religi) atau mengamalkan ajaran Islam (syarak) dengan benar. Nilai - nilai agama Islam boleh saja tampak pada umat yang tidak atau belum menyatakan dirinya Islam, akan tetapi telah mengamalkan nilai Islam itu. Sesunguhnya Agama (Islam) tidak dibatasi ruang-ruang masjid, langgar, pesantren, majlis talim semata. TAMBAHAN BUAT SEJARAH NYA

SEJARAH PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI

Wacana masyarakat madani merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses trasnformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapasitas jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana masyarakat madani dapat diruntut mulai dari Ciero sampai Antonio Gramsci dan deTocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemukakan pada masa Aristoteles. Pada masa Aristoteles, 384-322 SM, masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike yang dikemukakan oleh Aristoteles ini degunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebajikan (virtue) dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.

Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Cicero (106-43 SM) dengan istilah societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Terma yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat madani yang aksentuasinya pada sistem kenegaraan ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan Jhon Locke (1632-1704). Menurut Hobbes, masyarakat madani harus memiliki kekuasaan mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (prilaku politik) setiap warga negara. Sementara menurut Jhon Locke, kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah, masyarakat madani tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi setiap warga negara untuk memperoleh haknya secra adil dan proporsional.

Pada tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali despotisme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warganegara secara alamiah.

Kemudian pada tahun 1792, munculnya wacana masyarakat madani yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan sebelumnya. Konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine

(1737-1803) yang menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari negara. Dengan demikian maka negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum. Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut Paine ini adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Paine mengidealkan terciptanya suatu ruang gerak yang menjadi domain masyarakat, dimana interpensi negara di dalamnya merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh karenanya, maka masyarakat madani harus lebih kuat dan mampu mengontrol negara demi kebutuhannya.

Perkembangan civil society selanjutnya dikembangkan oleh .G.W.F. Hegel (1770-1831 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan pada masyarakat madani sebagai elemen ideologi kelas domain. Pemahaman ini lebih merupakan reaksi dari model pemahaman yang dilakukan Paine (yang menganggap masyarakat madani sebagai bagian terpisah dari negara). Menurut Hegel masyarakat madani merupakan kelompok subordinatif dari negara. Pemahaman ini, menurut Ryas Rasyid erat kaitannya dengan fenomena masyarakat borjuasi Eropa (burgerlische gessellschaft) yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan diri dari dominasi negara.

Anda mungkin juga menyukai