Anda di halaman 1dari 3

Memusnahkan Kemiskinan dengan Sistem Perekonomian Kerjasama Menuju Kemakmuran Bangsa

Setiap tahun, 18 juta orang meninggal karena kemiskinan dan umumnya dialami oleh perempuan dan anak. 600 Juta penduduk dunia hidup dalam kemiskinan absolut. Setiap hari, sekitar 800 juta orang tertidur dalam kondisi lapar. Hampir 50% penduduk dunia hidup dalam penghasilan mereka yang kurang dari 2$ per hari. Sekitar lebih dari 1 Miliar lebih penduduk dunia yang mempertahankan hidupnya hanya dengan berpenghasilan sekitar 1$ per hari. Setiap tahun, hampir 11 juta anak meninggal sebelum mencapai usia balita (data MDGs : 2000). Sekilas realita terdeskripsikan mengenai kondisi sosial ekonomi dunia 10 tahun yang lalu. Beberapa alasan yang menjadi komitmen sekitar 178 negara untuk memajukan dunia ini untuk lebih baik, mencapai puncak tujuan tahun 2015. Terlihat bahwa terdapat satu alasan utama dalam pernyataan tersebut. Yang pastinya menjadi faktor dominan yang menjadi sebab munculnya alasan lainnya, dan tentunya memerlukan waktu yang lama dalam memberantasnya. Sehingga menjadi tujuan nomor satu dari konsensus tersebut, yaitu kemiskinan. Kemiskinan, sebuah kata yang pastinya sampai saat ini masih tampak di sekitar kita. Kebanyakan orang menyebutkan bahwa kemiskinan itu identik dengan kondisi ekonomi, selain itu kemiskinan juga diidentikan dengan sektor perekonomian, yaitu sektor pertanian. Dimana, sebuah asumsi timbul pada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa fenomena kemiskinan itu kebanyakan dapat kita temui di sektor pertanian. Asumsi itu pun kenyataannya terlanggar di beberapa negara, dimana yang terjadi malah sebaliknya, kebanyakan masyarakat yang tergolong miskin adalah yang bergerak selain di sektor pertanian. Sepintas, memang tampak bahwa kemiskinan itu selalu menyangkut ekonomi dan sektor pertanian.

Tetapi semua itu hanyalah anomali belaka. Kemiskinan itu secara riil lebih tendensi pada kondisi psikologis, dalam hal ini menyangkut perasaan seseorang terhadap kemampuan, stabilitas dan keberlangsungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Mau tidak mau, kita harus menerima sebuah kenyataan ketika ada seseorang yang taraf hidupnya terhadap orang sekitarnya tergolong sangat rendah atau miskin, tetapi jika diamati, hidupnya terlihat lurus saja, tampak bahagia dan mereka merasa cukup dengan kondisi tersebut. Dari sinilah, bahwa teori kemiskinan itu selalu berhubungan dengan ekonomi terlanggar. Sebenarnya kemiskinan itu lebih merupakan ukuran kebahagiaan dari kehidupan seseorang, artinya ketika seseorang merasa tidak tingkat kebahagiaanya kurang maka saat itulah ia dikatakan miskin. Jadi secara jelas lebih merupakan koreksi perasaan terhadap kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Dewasa ini, mungkin sangat sering banyak pendapat menyatakan kemiskinan adalah dampak adanya ekonomi. Dan anehnya, ekonomi juga sering di identikan dengan sebuah persaingan. Disinilah letak pondasi utama asal permasalahannya, karena mungkin ekonomi dunia itu sering dikaitkan dengan usaha-usaha yang berasaskan kompetisi, yang sebenarnya tidaklah relevan untuk diaplikasikan. Ketika roda perekonomian itu bergerak, disitulah terdapat hukum rimbah yang terjadi dalam arus perekonomian, siapa yang kuat dialah yang menjadi pemenang pertarungan. Yang sebenarnya itu adalah budaya yang dimiliki oleh kapitalis, dimana teori-teori semacam itu sangat tidak mempunyai fleksibilitas, akuntabilitas dan sustainabilitas yang tinggi. Hal tersebut patut untuk diperhatikan oleh semua bangsa di dunia ini, karena sebenarnya yang membangun itu adalah hasil dari bentuk kerjasama, bukan persaingan dan mengalahkan pihak yang lain. Karena dengan adanya aplikasi teori ekonomi yang bersifat kompetitif, tendensinya menjadi sebuah cela ekonomi dalam taraf fragmen mikroekonomi. Celah itulah yang nantinya memunculkan istilah disparitas perekonomian, sehingga menimbulkan dorongan kuat bagi pelaku ekonomi untuk menjadi yang terkuat, memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri. Sebuah konteks egoisme muncul yang kemudian membentuk sebuah

label persaingan dalam dunia usaha dan secara agregat terjadi kompetisi ekonomi di berbagai negara. Celah yang awalnya kecil menjadi semakin membesar dan menjadikan disparitas kemampuan ekonomi negara-negara di dunia menjadi ancaman agregat dan volatilitas ekonomi dunia. Inilah yang menjadikan perbedaan tingkat kemampuan yang melahirkan berbagai jenis pengkategorian negara-negara di dunia. Sesungguhnya, ketika sistem ekonomi tersebut diaplikasikan dengan asas kerjasama, tentu tidak akan muncul berbagai bentuk pengkategorian tersebut. Dengan sistem ekonomi kerjasama setidaknya asumsi open ekonomi itu akan menerobos pengertian otentiknya. Dimana, ketika sebuah negara mengalami keruntuhan perekonomian, secara simultan banyak negara lain yang membantu, bukan mengutamakan egoisme dan nasionalisme. Sepertinya saat ini teori tentang trickle down effect hanyalah tinggal teori, karena sebenarnya jika kita telusuri justru yang terjadi adalah trickle up effect dimana yang menjadikan perekonomian suatu negara menjadi hidup dan berkembang itu adalah adanya peran signifikan dari berbagai sektor mikro, bukan sektor makro yang menjadikan berkembangnya sektor mikro. Ketika dianalogkan dengan fenomena tersebut, tentunya untuk mencapai kesejahteraan dunia dengan mengecilnya jurang perbedaan kemampuan negara-negara dalam perekonomian sehingga mampu memusnahkan kemiskinan, haruslah terjalin hubungan kerjasama antara sektor makro dan sektor mikro

Anda mungkin juga menyukai