Anda di halaman 1dari 5

Teknologi Pertanian Organik, Solusi Aktif Membangun Negeri

Satya Daya Mahasiswa Indonesia, Berkarya Nyata dan Tepat Guna bagi Pembangunan Bangsa

Teknologi, sebuah kata yang sudah tidak asing lagi terdengar di seluruh penjuru negeri ini. Sebuah kata yang mendeskripsikan satu hal yang berhubungan dengan penemuan atau inovasi, ide atau gagasan, yang terstruktur secara sistematis, logis, terintegrasi, komprehensif dan selaras dengan perkembangan zaman. Itulah teknologi. Menyinggung masalah teknologi, saat ini terdapat pembahasan intensif mengenai apa yang disebut dengan teknologi hijau. Sebuah sistem aplikatif yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sebuah model yang telah didesain negeri ini dalam mencapai goal ke-7 Millenium Development Goals, yaitu Enviroment and Sustainability yang ditetapkan oleh United Nations Millenium Summit pada 2002 lalu. Sebuah langkah awal sebagai batu lompatan, negeri ini telah banyak menggores berbagai peraturan perundangundangan yang khusus menangani masalah lingkungan, diataranya adalah hasil amandemen UUD 1945 pasal 28 H ayat 1, UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta PP No.41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara. Sebagai reaksinya, telah banyak dilakukan penelitian yang menghasilkan inovasi dalam berbagai bidang. Khususnya dalam sektor pertanian, pemerintah telah menggalakkan sebuah teknologi hijau bekerjasama dengan stakeholder, masyarakat, para peneliti terkait bidang pertanian serta beberapa komunitas guna merancang sistem tersebut. Salah satu sistem yang hingga kini digalakkan berbagai kelompok inovator, peneliti dan instansi pemerintah adalah teknologi pertanian organik. Melihat kondisi dan iklim negeri ini yang tropis, sangat cocok sekali untuk dijadikan sebagai lumbung pertanian, terutama yang berbasis pertanian pangan, seperti padi. Sehingga, membuat sebagian kecil pelopor pertanian organik mulai menggerakkan kreativitas jemarinya di sektor pertanian pangan, terutama untuk mencapai swasembada pangan dalam negeri. Hal tersebut sangat perlu dilakukan mengingat sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menyumbang lebih dari separuh dari total perekonomian negeri ini, yaitu sebesar 55.8% (2007), 56.3% (2008), 54.9% (2009), 53.9% (2010) dan 53.4% di tahun 2011. Sementara secara independen,
Joko Ade Nur/Sekolah Tinggi Ilmu Statistik/Essay Pekan Raya Statistik ITS 2012 | 1

sektor pertanian menyumbang sebesar 15.3% terhadap total perekonomian tahun 2010 dan sebesar 15.5% di tahun 2011 (Data Strategis BPS RI, Agustus 2011). Ketika data berbicara, mungkin membuat negeri ini merenung. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2011 lalu telah mempublikasikan data strategis negeri ini, dengan uraian menurut lapangan pekerjaan utama, dari 111,3 juta orang (hasil Sensus Penduduk 2010) yang bekerja, paling banyak adalah penduduk yang bergerak dalam sektor pertanian, yaitu sebesar 42,5 juta orang atau sekitar 38,16%. Kemudian dilihat dari segi output yang dihasilkan sektor pertanian, total produksi padi tahun 2010 adalah sebesar 66,47 juta ton gabah kering giling, meningkat sebanyak 2,07 juta ton dibanding tahun 2009 (3,22%). Dimana peningkatan output produksi di Jawa sebesar 1,49 juta ton dan di luar Jawa sebesar 0,58 juta ton, dengan angka ramalan untuk akhir tahun 2011 diperkirakan sekitar 68,06 juta ton gabah kering giling (Data Strategis BPS, 2011). Sebagai hasil estimasi di tahun 2011, kenaikan output dari sektor pertanian sendiri disebabkan oleh meningkatnya luas panen sebesar 313,15 juta hektar (2,36%) dengan potensial produktivitas sebesar 0,02 kwintal/hektar atau sekitar 0,04% (BPS dan Kementrian Pertanian, 2011) dan pertumbuhan produksi padi sebesar 2,4% di tahun 2011 (Berita Resmi Statistik BPS, 2011). Sedikit berbeda dengan kenyataan di tahun 2010, dimana kepala BPS menyatakan telah terjadi penyusutan luas panen lahan padi nasional seluas 12,63 ribu hektar atau 0,1% dari total luas lahan, sementara secara rata-rata tingkat penurunan luas lahan nasional sebesar 27.000 hektar/ tahun, untuk tingkat produksi padi nasional yang meningkat tersebut, mungkin karena penggunaan dan bibit unggul (Media Indonesia, Juli 2010). Berdasarkan beberapa informasi tersebut, aspek luas panen sektor pertanian perlu digarisbawahi, karena dengan luas lahan panen yang meningkat, maka akan berdampak dengan meningkatnya volume limbah sektor pertanian yang umumnya berasal dari sawah tergenang, penggunaan pupuk dan dekomposisi pertanian berupa gas metana atau CH4 (Holzapfel, 2003), baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi ekuivalensitas lingkungan, lingkungan menjadi ter-deplesi dan ter-degradasi. Apalagi menurut hasil penelitian empiris menyatakan bahwa secara umum limbah sektor pertanian mampu menghasilkan emisi gas rumah kaca atau Green House Effect sebesar 8% daripada

sektor lain (The First National Communication). Dengan demikian, berdasarkan hasil estimasi bahwa luasan panen meningkat pada tahun 2011 mengindikasikan adanya kenaikan jumlah emisi gas rumah kaca dari limbah sektor pertanian. Hal ini mungkin berpotensi sebagai ancaman keseimbangan lingkungan negeri ini, sebab gas yang paling ber-efek terhadap lingkungan salah satunya adalah gas metana (CH4) dari limbah pertanian. Kemudian terdapat fenomena yang menarik di negeri ini, ketika revolver mata ini terbuka, menfokuskan untuk memandang ketahanan pangannya. Sudah jelas dan gamblang, bahwa proyeksi statistik produktivitas sektor pertanian akan mengalami peningkatan, buktinya saja terjadi peningkatan kuantitas padi hasil panen nasional tahun 2011. Melihat kenyataan tersebut, tentunya untuk menjaga aspek sustainability produktivitas pertanian, negeri ini sejak tahun 2007 sudah mengeluarkan UU No. 17 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, yang menegaskan bahwa pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektoral meliputi produksi, pengolahan, distribusi harga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang serta terjamin keamanannya. Seuntai harapan agar masyarakat negeri ini mengkonsumsi pangan secara sehat dan aman. Sebuah kerangka pikir pula mengenai konsep bagaimana pangan yang sehat sangat dipengaruhi oleh budidaya produk pangan tersebut. Yang barangkali bertautan dengan laju pertumbuhan penduduk yang diasumsikan 1,3% - 1,5% per tahun, dengan implikasi pemenuhan kebutuhan akan pangan juga harus seimbang. Hal lain yang menarik pula untuk diangkat ke permukaan adalah aspek struktur ongkos petani, dimana masalah utama yang sampai detik ini masih saja mengusik sebagian besar petani adalah biaya input yang sulit dijangkau, mulai dari biaya proses pembenihan, maintenance, sampai pada proses pemanenan hasil. Itu belum ditambah masalah ketersediaan pupuk dan bibit unggul serta tingkat pengembalian modalnya, dengan fluktuasi harga output yang selalu merugikan, sebab pembentukan harga pada level petani yang kurang menguntungkan. Betapa tidak, jika melihat kualitas output yang memang terbilang kurang mempunyai daya saing kompetitif dan daya saing komparatif. Inilah sekelumit realita dari sekian banyak masalah yang dihadapi oleh petani negeri ini.
Joko Ade Nur/Sekolah Tinggi Ilmu Statistik/Essay Pekan Raya Statistik ITS 2012 | 3

Saatnya menuju perubahan berwawasan lingkungan, dengan menawarkan teknologi hijau yang ekonomis, efisien dan ramah lingkungan kepada petani negeri ini. Yaitu dengan mengenalkan dan memberikan pemahaman kepada petani tentang teknologi pertanian organik. Karena berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan oleh para pakar pertanian, teknologi organik terbukti ramah lingkungan. Mengingat pula, sekarang negeri ini telah merancang sebuah sistem guna menuju globalisasi berwawasan lingkungan, yaitu Green GDP (Gross Domestic Product) atau PDB hijau. Dimana dalam PDB (Produk Domestik Bruto) hijau tersebut mengaitkan adanya faktor pengurangan fisik lingkungan atau deplesi dan pengurangan kualitas lingkungan atau degradasi lingkungan sampai tahun 2025 kedepan. Dengan pertanian organik inilah, paling tidak mampu mengembalikan senyum para petani negeri ini, karena dalam kenyataannya pertanian organik memang mempunyai berbagai keunggulan. Pertama, menghasilkan produk yang berkualitas dengan kuantitas yang memadai, membudidayakan tanaman secara alami, meningkatkan ekologis dan siklus hidup biologis dalam ekosistem pertanian, memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah dalam jangka panjang, menghindarkan berbagai bentuk pencemaran yang diakibatkan oleh penerapan teknik pertanian, memelihara keragaman genetik sistem pertanian dan lingkungan serta mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam sistem usaha tani (The International Federation of Organic Movements). Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan konsep teknologi hijau yang teraplikasi dengan metode organik, diharapkan mampu diterapkan dan ditumbuhkembangkan dalam mencapai pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Dengan teknologi pertanian organik, tanah yang umumnya di bersifat masam atau pH-nya kurang dari 7 dalam jangka panjang, akan mampu berfungsi secara optimal terhadap tanaman. Mengingat tingkat ketergantungan petani negeri ini terhadap pupuk anorganik masih terbilang tinggi, yang berdampak pada ongkos produksi yang mahal, sementara hasil panennya belum terjamin menguntungkan. Kedua, teknologi pertanian organik juga mampu mengatasi masalah yang diakibatkan kondisi tanah, misalnya di Jawa yang umumnya bereaksi masam dan rendahnya kandungan organiknya, seperti N, P, K, Mg, Mo, Zn dan Cu, ditambah dengan kandungan Al dan Mn yang tinggi, kejenuhan basa rendah serta rentan terhadap erosi. Selain manfaat tersebut, berdasarkan penelitian, terbukti bahwa bahan organik merupakan

sumber pengikat unsur hara dan sebagai substrat bagi mikroba dalam tanah, dimana aktivitas mikroorganisme tanah dapat membantu terjadinya agregasi tanah. Sehingga pemilihan bahan organik atas dasar kualitasnya, akan meningkatkan efisiensi penggunaan unsur hara yang berasal dari bahan organik itu sendiri. Demikian sekelumit keunggulan yang ditawarkan pertanian organik, didukung oleh seperangkat prospeknya yang menjanjikan dimasa yang akan datang, apalagi konsepnya yang memang sudah berkembang sekitar 10 tahun yang lalu. Meskipun pelaku dari pertanian organik sendiri masih dapat dihitung dengan jari (Trubus No.363, 2000). Tetapi urgensi terhadap perluasan aplikasi konsep tersebut masih perlu dikembangkan dan ditingkatkan. Ditinjau dari segi ekonomisnya, kedepannya kebutuhan pertanian organik diestimasikan akan terus meningkat hingga 10% di Eropa dan meningkat rata-rata 20% per tahun di Asia (termasuk di Indonesia). Belum lagi permintaan terhadap produk-produk organik berpotensi menjadi peluang dunia usaha baru, baik untuk tujuan ekspor maupun impor. Terakhir, untuk menanggapi persoalan dampak emisi Green House Effect dan upaya mengurangi gas Nitrogen Dioxide atau NOx, para pakar pertanian telah melakukan berbagai studi empiris untuk mengatasi efek samping tersebut, diantaranya dengan menggunakan teknologi dekomposisi limbah pertanian pada media Biodigester. Dengan berbagai manfaat dan keunggulan yang ditawarkan teknologi hijau dengan pertanian organik, paling tidak mampu menjadi pondasi kuat sekaligus sebagai aksi solutif dalam membangun negeri ini. Sehingga harapan kedepannya, petani negeri ini tidak lagi tergantung dan terpengaruh oleh bahan anorganik yang justru membuat kecanduan, sementara hasil kurang optimal. Saatnya menuju perubahan, perubahan bukan suatu keperluan, melainkan perubahan adalah suatu keharusan. Go Green, Go Technology, Go Organic. Dengan organik, mari kita kembalikan senyum petani negeri ini.

Joko Ade Nur/Sekolah Tinggi Ilmu Statistik/Essay Pekan Raya Statistik ITS 2012 |

Anda mungkin juga menyukai