Anda di halaman 1dari 14

Proses subtitusi teknologi biasanya berbentuk kurva.S.

Pada tahap permulaan, pertumbuhannya masih rendah, kemudian berubah dengan cepat pada saatmengadopsi teknologi baru. Pada fase berikutnya akan terjadi kenaikan yang tajam, untuk kemudian menurun secara tajam pula setelah teknologi mencapai titik jenuh (maturity). Karena itu, tidak akan ada satupun teknologi yang digunakan secara terus menerus tanpa adanya inovasi. 2. Difusi Teknologi Seperti halnya teknologi, difusi (penyebaran) sebuah teknologi baru juga mempunyai karakteristik yang unik. Biasanya difusi teknologi terjadi melalui individu, kelompok, atau organisasi. Besarnya difusi teknologi dapat diukur berdasarkan banyaknya pengadopsi suatu teknologi baru atau seberapa besar persentase output yang dihasilkan diolah dengan menggunakan teknologi baru tersebut. Negara-negara berkembang tidak dapat membiarkan berlangsungnya penyebaran teknologi hanya oleh difusi teknologi, sebab hal ini akan memakan waktu yang sangat lama(Filino Harahap, 1993:6) Hasil kajian mengenai proses perubahan teknologi dapat dimanfaatkan oleh wilayah-wilayah yang tengah berkembang untuk melakukan lompatan dalam proses perubahan teknologi misalnya dengan cara mengintegrasikan teknologi baru yang diimpor ke dalam berbagai proses transformasi yang dikembangkan oleh wilayah tersebut. 413. Siklus Hidup Teknologi Dari waktu ke waktu, proses perubahan teknologi akan senantiasa berlangsung, sehingga perubahan tersebut membentuk serangkaian tahapan yang disebut dengan siklus hidup teknologi(technology life cycle)2. Siklus hidup teknologi itu sendiri berkaitan erat dengan konsep siklus hidup produk (product life cycle). Apabila suatu industri menghasilkan produk tunggal, maka siklus hidup teknologinya persis sama dengan siklus hidup produk yang dihasilkan. Jika industri tadi menghasilkan berbagai macam komoditas, maka siklus hidup teknologi merupakan envelop dari beberapa siklus hidup komoditas yang beraneka ragam tersebut (Frederick Betz, 1986:74). Indicator yang bias dijadikan ukuran dalam mengkaji status teknologi berdasarkan siklus hidup teknologi di antaranya adalah lamanya waktu suatu siklus dan tingkat produktivitas. Semakin cepat siklus hidup suatu teknologi dan semakin tinggi tingkat produktivitasnya, maka kian tinggi status teknologi di wilayah yang bersangkutan. Sebagai contoh, dari Tabel 4.5 tampak dengan jelas bahwa dalam memproduksi padi Korea Selatan telah mampu meningkatkan status teknologinya lebih cepat ketimbang Malaysia maupun Nepal. Jika tahun 1948-1952 Korea Selatan sanggup memproduksi padi 2750 kg/ha, Malaysia 2807 kg/ha, sementara Nepal relative statis karena meningkat menjadi hanya 2000 kg/ha. Dengan kata lain, untuk memproduksi pada dalam
2

Pembahasan mengenai siklus hidup teknologi ini akan diuraikan secara lebih mendetail pada Bab 7

jumlah yang setara , yakni sekitar 2700kg/ha, Korea Selatan sudah mencapainya sekitar tahun 1948-1952, sedangkan Malaysia pada tahun 1966, sementara itu Nepal hingga tahun 1985 baru bias menghasilkan padi sekitar 2000 kg/ha. Tabel 4.5 Pengukuran Status Teknologi Berdasarkan Siklus Hidup Teknologi dalam Memproduksi Padi di Beberapa Negara Asia Produktivitas Padi (kg/ha) Negara 1948-1952 1966 1972 1985 Korea Selatan 2750 3850 4590 6350 Jepang 4250 4950 5920 6225 Cina 2170 Dtt 3090 5346 Indonesia 1610 1800 2440 4052 Sri Lanka 1420 1770 2190 3066 Malaysia 1930 2710 Dtt 2807 Fillipina 1180 1310 1490 2440 Pakistan 1380 1680 2260 2250 India 1110 1310 1620 2179 Thailand 1310 1610 1770 2037 Nepal 1900 2010 1460 2000 4.2 Langkah-langkah Pengkajian Status Teknologi Untuk mengkaji status teknologi suatu industri di sebuah wilayah, terlebih dahulu harus ditelaah beberapa aspek yang terkait. Aspek-aspek tersebut di antaranya berhubungan dengan karakteristik komponen teknologi, nilai tambah kandungan teknologi, kandungan impor, kandungan ekspor, tahapan pengembangan teknologi, dan tingkat inovasi teknologi di industri yang bersangkutan. Secara singkat keenam aspek ini akan dibahas sebagai berikut, a. Karakteristik Komponen Teknologi Penelaahan karakteristik komponen teknologi pada leval industri dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan analisis kandungan teknologi serta dapat diperkaya dengan kajian iklim teknologi yang mempengaruhi efektivitas proses transformasi di industri yang bersangkutan. b. Nilai Tambah Kandungan Teknologi Seperti telah disinggung pada bab sebelumnya, nilai tambah kandungan teknologi (TCA) pada level industri dapat dihitung atau diukur jika struktur keempat komponen teknologi sudah diketahui. Konstribusi setiap komponen dapat diagregasi untuk mendapatkan total TCA. Namun demikian, dalam konsep pembangunan berdimensi teknologi, nilai tambah kandungan teknologi belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh ekonom atau pihak lainnya yang berkepentingan sebagai salah satu indicator untuk mengkaji status

teknologi. Hal ini disebabkan nlai tambah kandungan teknologi tidak mampu menjelaskan sejauhmana tingkat kepercayaan diri (selrellant) suatu wilayah dalam memperoleh input dan mengembangkan komponen teknologi. c. Kandungan Impor Kandungan impor yang terdapat pada input dan komponen teknologi yang dipakai dalam proses transformasi mengambarkan tingkat ketergantungan suatu wilayah pada natureware, semiware, serta tecnoware, humanware, inforware, dan orgaware yang berasal dari luar wilayah tersebut. Dengan kata lain, kandungan impor mencerminkan tingkat ketergantungan industri di suatu wilayah terhadap industri lain diluar wilayah tadi. Rasio antara komponen teknologi yang diimpor dengan total komponen teknologi yang dipakai mengindikasikan kandungan impor setiap komponen teknologi di sebuah industri .Indicator-indikator yang dipakai untuk mengkaji kandungan impor dari suatu input maupun komponen teknologi pada level industri dapat dilihat dalam Table 4.6. Hasil analisis mengenai kandungan impor setiap input dan komponen teknologi akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai staus teknologi suatu wilayah dibandingkan hasil analisis terhadap angka-angka yang tercantum pada neraca perdagangan yang biasa dipergunakan dalam konsep pembangunan konvensional.3 Tabel 4.6 Indikator Kandungan Impor yang Terdapat pada Input dan Komponen Teknologi yang Dibutuhkan
Input dan Komponen Teknologi Natureware Semiware Consumware Techoware Humanware Infoware Orgaware Rasio Impor Total penggunaan Impor Total penggunaan Impor Total penggunaan Impor Total penggunaan Tenaga kerja dari wilayah lain Total tenaga kerja Royalti yang dibayar kepada wilayah lain-pengeluaran litbang Nilai tambah yang dihasilkan oleh industri dari wilayah lain Total nilai tambah Ukuran Jumlah fisik atau nilai uang Jumlah fisik atau nilai uang Jumlah fisik atau nilai uang Nilai uang dari aktiva tetap Jumlah tenaga kerja terampil/ahli Nilai uang Nilai uang

d. Kandungan Ekspor
3

Dalam konsep pembangunan konvensional (pembangunan berdimensi ekonomi), para ekonom selama ini menganggap teknologi sebagai residual di luar konstribusi tenaga kerja (labor) dan modal (capital), Baca : Tulus T.H Tambunan (1996:24-29)

Kandungan ekspor mencerminkan tingkat output dan komponen teknologi yang dihasilkan dapat bersaing dalam pasar dunia. Untuk menghitung kandungan ekspor, ada beberapa rasio yang dapat dipergunakan. Misalnya rasio ekspor-total produksi, rasio pekerja asing-total tenaga kerja, dan lainlain (lihat Tabel 4.7) Tabel 4.7 Indikator Kandungan Ekspor yang Terdapat pada pada Output dan Komponen Teknologi yang Dihasilkan
Output dan Komponen Teknologi Natureware Semiware Consumware Techoware Humanware Infoware Orgaware Rasio Ekspor Total produksi Ekspor Total produksi Ekspor Total produksi Ekspor Total produksi Tenaga kerja local yang bekerja di wilayah lain total tenaga kerja Royalti yang diterima dari wilayah lain tota royalty yang diterima Nilai tambah industri local di wilayah lain-total nilai tambah Ukuran Jumlah fisik atau nilai uang Jumlah fisik atau nilai uang Jumlah fisik atau nilai uang Jumlah fisik atau nilai uang Jumlah tenaga ahli Nilai Uang Nilai Uang

e. Tahap Pengembangan Teknologi Analisis kandungan impor dan kandungan ekspor secara bersama-sama dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi karakteristik pengembangan teknologi suatu wilayah pada level industri. Untuk wilayah, dalam hal ini Negara-negara berkembang, ciri pengembangan teknologinya adalah : Industri manufaktur di Negara-negara berkembang sebagian besar menghasilkan barang konsumsi dimana TCA-nya relatif rendah. Sebagian besar ekspor Negara-negara berkembang didominasi oleh komoditas primer (hasil pertanian dan pertambangan) dimana TCAnya juga relative rendah. Untuk mengembangkan proses transformasi teknologi, sebagian besar Negara berkembang mengimpor technoware, humanware, dan inforware. Sedangkan pengembangan teknologi di Negara-negara maju mempunyai karateristik sebagai berikut : Industri manufaktur di Negara-negara maju juga memproduksi barang konsumsi, tetapi dengan TCA yang tinggi. Industri manukfaktur di Negara-negara maju menghasilkan techoware (barang-barang modal) dengan TCA yang semakin meningkat. Pengembangan teknologi di Negara-negara maju sudah memasuki tahap mengekspor techoware, humanware, inforware dan orgaware.

f. Tingkat Inovasi Teknologi Analisis kandungan impor dan kandungan ekspor saja belum cukup sebagai indicator bagi pengkajian status teknologi suatu industri di sebuah wilayah. Sebagai contoh, industri elektronika A yang terdapat di wilayah x mungkin menggunakan teknologi yang siklus hidupnya sudah mencapai fase titik jenuh, sedangkan industri elektronika B yang berlokasi di wilayah z menggunakan teknologi yang modern dan efisien, tetapi masih berada pada fase pertumbuhan (growth). Dengan perbedaan teknologi seperti ini, tentu saja kedua industri elektronika tersebut akan menghasilkan output yang berbeda. Bahkan mungkin industri elektronika A akan menghasilkan output yang lebih besar karena daya serap pasarnya sudah luas, namun dalam jangka panjang akan mengalami peningkatan output dan pangsa pasar, sehingga berpeluang menggeser pasar pangsa pasar industri elektronika A. Seberapa jauh tingkat inovasi teknologi pada suatu industri, dapat ditelusuri melalui tiga indicator, yaitu inovasi produk, inovasi proses, dan aplikasi (system). Sebagai contoh, dalam sebuah industri elektronika, kaset rekaman video yang dihasilkan merupakan inovasi produk, electron beam lithography adalah inovasi proses, dan system jaringan digital yang terintegrasi merupakan aplikasinya. Di samping ketiga indicator tadi, bisa pula digunakan indicator tingkat alih teknologi (transfer of technology)secara horizontal dan vertical di industri tertentu (Jantsch, 1968). Setelah melaksanakan penelaah mengenai aspek-aspek diatas, maka selanjutnya pengkajian status teknologi sudah bisa dilakukan. Langkahlangkah yang harus ditempuh dan mengkaji status teknologi pada level industri dapat dipilah menjadi sembilan langkah. Kesembilan langkah tersebut akan diuraikan secara singkat dibawah ini. Langkah I. Mengkaji kinerja industri secara umum. Tinjauan umum terhadap kinerja suatu industri di sebuah wilayah bertujuan untuk melihat posisi industri tersebut di kancah yang lebih luas (global). Aspek-aspek yang ditinjau pada umumnya berkaitan dengan tren produksi, kecendrungan ekspor, perubahan teknologi, pola investasi, karakteristik tenaga kerja, penyebaran teknologi baru, serta kegiatan penelitian dan Krakatau Steel bisa ditelaah mengenai kecenderungan perkembangan produksinya dari tahun ke tahun. Kemudian bisa pula menyangkut berbagai jenis produk baja yang dihasilkannya, lalu tentang perkembangan ekspor beraneka macam produk baja dan perkembangan impor bahan baku, bahan setengah jadi, dan bahan impor lainnya. Aspek lainnya adalah mengenai jumlah tenaga kerja local dan tenaga kerja asing di industri tersebut, alokasi tenaga kerja menurut unit kerja, tingkat pendidikan, bidang keahlian, dan lain-lain. Besarnya nilai investasi yang telah dikeluarkan PT. Krakatau Steel, baik yang

bersumber dari penanam modal pemerintah danswasta domestic maupun pemerintah dan swasta asing, dapat pula diulas dalam tinjauan umum tersebut. Langkah 2. Mengkaji karakteristik teknologi secara kualitatif Karakteristik teknologi di suatu industri yang akan dikaji secara kualitatif mencakup empat komponen teknologi berdasarkan pendekatan derajat kecanggihan dan factor-faktor yang mempengaruhi iklim teknologi. Di PT. Krakatau Steel, misalnya, derajat kecanggihan technowarenya sudah pada tingkah fasilitas/peralatan otomatis atau sebagian besar produksi berupa baja khusus. Jika data memungkinkan derajat kecanggihan technoware PT. Krakatau Steel ini bisa diperbandingkan dengan industri sejenis di Negara lain seperti India sebagai sesame Negara berkembang atau Jepang sebagai Negara yang telah maju industri bajanya, kemudian pada komponen humanware, dapat ditelusuri sejauhmana derajat kecanggihan sumberdaya manusianya (pekerja), apakah rata-rata sudah pada derajat mampu melakukan inovasi, atau mengadaptasi, atau malah baru mampu pada derajat mengoperasikan fasilitas produksi (technoware). Selanjutnya, karakteristik komponen inforware dapat dikaji berdasarkan parameter system informasi, database, system pengawasan, maupun penggunaan model-model simulasi yang diterapkan. Kajian serupa dapat pula dilakukan terhadap derajat kecanggihan orgaware yang dimiliki PT. Krakatau Steel. Misalnya, seberapa besar PT. Krakatau Steel menguasai pangsa pasar baja di dalam maupun diluar negeri, sejauhamana industri tersebut mengetahui kekuatan dan kelemahan industri baja lainnya yang menjadi pesaingpesaing dan lain-lain. Langkah 3. Menghitung dan menganalisis nilai tambah kandungan teknologi. Sebagaimana telah diuraikan pada Bab 3, bahwa apabila koefisien kandungan teknologi (TCC), indeks iklim teknologi ( ,)dan total nilai tambah (VA) pada sebuah proses transformasi sudah diketahui, maka nilai tambah kandungan teknologi (TCA) dapat di hitung. TCA untuk industri baja di Indonesia, misalnya, dapat diperoleh dengan mengagregasi TCA PT. Krakatau Steel dan TCA perusahaanperusahaan lain yang termasuk dalam katagori industri baja. Langkah 4. Menghitung dan menganalisis kandungan impor. Formula untuk menghitung besarnya persentase kandungan impor (KI) yang terdapat pada input dan komponen teknologi yang dilibatkan dalam proses transformasi adalah sebagai berikut : Kl Naturware = Jumlah impor bahan baku dari wilayah lain x 100% Total penggunaan bahan baku

Kl Semiware = Jumlah impor bahan setengah jadi dari wilayah lain x 100% Total penggunaan bahan setengah jadi Kl Consumware = Jumlah impor barang konsumsi dari wilayah lain x 100% Total penggunaan barang konsumsi Kl Technoware = Jumlah impor Technoware dari wilayah lain x 100% Total penggunaan Technoware Kl Humanware = Jumlah tenaga kerja dari wilayah lain x 100% Total tenaga kerja yang dipekerjakan Kl Infoware = Jumlah royalty dan biaya yang diterima dari wilayah lain x 100% Total royalty dan biaya yang diterima Kl Orgaware = Nilai tambah yang didapat industri lokal di wilayah lain x 100% Total nilai tambah industri Sebagai ilustrasi, biaya yang telah dikeluarkan PT. Krakatau Steel untuk mendatangkan techoware (barang modal) dari luar negeri mencapai US$ 18 juta per tahun, sementara nilai produksi technoware-nya sendiri hanya US$ 5,5 juta setiap tahunnya, sehingga dapat dihitung bahwa kandungan impor di PT. Krakatau Steel mencapai 76,6%. Dalam hal tenaga kerja, PT. Krakatau Steel memiliki 100 orang teknisi local dan 25 orang teknisi asing, sehingga kandungan impor humanware(teknisi) di perusahaan baja ini sebesar 25%. Pada umumnya, kandungan impor inforware sulit diperoleh karena sebagian besar data dan informasi diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan. Contoh, rasio dari paen yang dihasilkan oleh industri local terhadap jumlah paten uang yang digunakan dalam industri itu sulit didapatkan karena berhubungan dengan nilai pembayaran lisensi atas paten yang dipakai. Akibatnya, perhitungan kandungan impor inforware sulit dilakukan. Langkah 5. Menghitung dan menganalisis kandungan ekspor produk Untuk menghitung persentase kandungan ekspor (KE) yang terdapat pada cutput maupun komponen teknologi yang dihasilkan suatu industri di sebuah wilayah, dapat digunakan formulasi-formulasi berikut: X

Langkah 6. Menganalisasi tahap pengembangan teknologi Seperti telah dikemukakan sebelumnya, sejauhmana tahap pengembangan teknologi sudah berlangsung pada suatu industri di sebuah wilayah, dapat di analisis dari kandungan impor dan kandungan ekspor secara bersama-sama. Pafa fase awal pengembangan teknologi, mungkin PT. Krakatau Steel lebih banyak mengimpor bahan baku baja, peralatan, tenaga ahli, dan komponen teknologi lainnya dari luar negeri. Sedangkan pada fase berikutnya perusahaan tersebut sudah mencapai tahap mengekspor jenis produk baja tertentu yang berdaya saing tinggi di pasar dunia. Langkah 7. Mengkaji dan menganalisis tingkat inovasi teknologi secara kualitatif. Pada tahap permulaan, analisis kualitatif dapat ditelusuri melalui pengklasifikasian inovasi teknologi di sebuah industri ke dalam beberapa kategori, misalnya inovasi produk, proses, dan aplikasi. Setelah itu dikaitkan dengan tahapan siklus hidup teknologi yang dimiliki setiap kategori inovasi. Hasilnya bisa berupa matrik antara jenis inovasi (produk, proses, aplikasi) dan fase siklus hidup teknologi (pengenalan, pertumbuhan, kematangan). Hasil dari nalisis kuatitatif tersebut dapat pula dijadikan sebagai salah satu indikasi peningkatan status teknologi di sebuah industri. Untuk inovasi produk, PT. Krakatau Steel sudah mencapai fase pertumbuhan dalam beberapa jenis produk, seperti baja silicon, besi baja, dan baja brekarbon tinggi.

Tahap 8. Menghitung dan menganalisis inovasi teknologi secara kuantitatif Analisis kuantitatif mengenal tingkat inovasi teknologi di suatu industri dapat dihitung dengan cara mengestimasi proporsi relative output per kapita dalam berbagai tahapan siklus hidup teknologi. Mulai dari fase permulaan, fase pertumbuhan, hingga fase kematangan. Dalam menghitung tingkat inovasi teknologi secara kuantitatifini, fase pengembangan diabaikan karena sulit untuk mengestimasi outputnya. Tahap 9. Pemetaan status teknologi. Berdasarkan semua indicator atau parameter yang telah diperoleh pada langkah pertama hingga langkah ke delapan di atas, maka status teknologi suatu industri di sebuah wilayah dapat dipetakan, baik dalam bentuk table maupun grafik. Dari peta dan / atau table tersebut, dapat diketahui secara komprehensif mengenai volume produksi, aktivitas litbang, TCA, kandungan impor, kandungan ekspor, hingga tingkat inovasi teknologi yang telah dilaksanakan. Semua indicator atau parameter yang dimiliki PT. Krakatau Steel, misalnya, diberi skor berdasarkan criteria tertentu, untuk kemudian diperbandingkan dengan skor-skor industri sejenis di Negara lain. Dari komparasi tersebut, akan diketahui dimana posisi status teknologi PT. Krakatau Steel di tingkat Internasional.

4.3. Contoh Kasus Pada bagian ini akan dikemukakan sebuah contoh pengkajian status teknologi, tepatnya di perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat. Mengingat tidak memadainya ketersediaan data-baik primer maupun sekunder mengenai perkebunan kelapa sawit di Provinsi itu, maka tidak semua langkah sebagaimana dipaparkan di atas bisa diterapkan pada perkebunan kelapa sawit. Langkah 1. Ulasan umum kinerja perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat. Kelapa sawit memang bukan tanaman asli Indonesia, tetapi mampu tumbuh dan berkembang dengan baik, bahkan produk olahannya minyak kelapa sawit (crude palm oil, CPO) menjadi salah satu komoditas yang bisa diandalkan untuk memenuhi pasar dalam dan luar negeri. Kalimantan Barat merupakan salah satu penghasil kelapa sawit berskala besar di Indonesia, tepatnya setelah Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan. Di bawah Kalimantan Barat terdapat Sumatra Barat, Nangroe Acel Merdeka, Lampung, Kalimantan Timur, dan beberapa Provinsi lainnya. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat tersebar di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang, masing-masing 40,88% dan 36,41% dari luas perkebunan kelapa sawit di provinsi paling barat Pulau Kalimantan itu. Perkembangan luas areal perkebunan dan hasil produksi kelapa sawit di Provinsi ini selengkapnya dapat disimak melalui table 4.8. Dari table 4.8 terlihat dengan jelas bahwa selama kurun waktu 1994-1998 luas areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat selalu meningkat, yakni dari 65.917 hektar tahun 1994 menjadi 135.176 hektar tahun 1998. Begitupula produksinya, yang naik dari 107.587 ton (1994) menjadi 136.971 ton (1997) dan 126.207 ton (1998). Dari sisi sumberdaya manusianya, sampai dengan tahun 1997, jumlah petani kelapa sawit di Kalimantan Barat mencapai 62.710 orang- kesemuanya merupakan petani yang terlibat dalam perkebunan rakyat. Tabel 4.8 Perkembangan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Di Kalimantan Barat, 1994-1998
Kesempatan Kab. Sambas Kab. Pontianak Kab.Sanggau Kab. Ketapang Kab. Sintang Luas Areal 10.786 10.621 55.258 49.223 9.288 Produksi (ton) 1.493 10.036 103.635 8.652 2.391 Produktivitas (ton/ha) 0,14 0,94 1,88 0,18 0,26

Kalimantan Barat-1998 - 1997 - 1996 - 1995 - 1994

135.176 98.896 81.966 71.771 65.917

126.207 136.971 117.492 102.892 107.587

0,93 1,39 1,43 1,43 1,63

Langkah 2. Karakteristik teknologi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Secara kuatitaf, karekteristik teknologi di perkebunan kelapa sawit dapat dilihat dari derajat kecanggihan setiap komponen teknologi. Sedangkan secara kuantitatif dapat didekati melalui indicator tingkat produktivitas. Berdasarkan derajat kecanggihan komponen teknologinya, karakteristik technoware (untuk tahap pembukaan lahan) baru sampai pada tahap peralatan untuk pemakaian khusus (spesifik), sebagaimana diperlihatkan oleh perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sambas. Sedangkan humanware (petani), derajat kecanggihan tertinggi telaah mencapai tahap mampu memperbaiki peralatan yang rusak, yang hanya diperlihatkan oleh petani di Kabupaten Sanggau. Selanjutnya, derajat kecanggihan inforware tertinggi adalah telah dimilikinya perangkat informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan sumberdaya manusia yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit, khususnya di Kabupaten Sanggau. Sementara itu, derajat kecanggihan untuk komponen orgaware yang paling tinggi mencapai tahap mampu bersaing melalui penciptaan pasar-pasar baru, seperti yang ditunjukkan oleh perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak(Direktorat KTPW BPPT, 2000a) Sementara itu, produktivitas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat cenderung menurun dari semula 1,63 ton/ha pada tahun 1994 menjadi hanya 0,93 ton/ha pada tahun 1998. Artinya , kemampuan teknologi di perkebunan kelapa sawit tidak menunjukkan perbaikan yang berarti selama periode 1994-1998, baik dalam hal techoware, humanware, maupun orgaware. Penurunan produktivitas tersebut merupakan salah satu persoalan yang harus diatasi segera. Caranya antara lain dengan melakukan pengkajian kandungan teknologi, sebagaimana telah dikemukakan pada Subbab 3.6. Langkah 3. Nilai tambah kandungan teknologi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat Sebagaimana telah dipaparkan pada Subbab 3.6.7, nilai tambah kandungan teknologi yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sanggau mencapai 2,064. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan nilai tambah kandungan teknologi yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit di dua kabupaten lainnya, yakni 0,025 untuk Kabupaten Sambas dan 0,018 untuk Kabupaten Pontianak. Langkah 4. Analisis kandungan impor pada perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat

Di antara perkebunan kelapa sawit yang disurvei di tiga kabupaten di Kalimantan Barat, ada yang mendatangkan bahan baku dan tenaga kerja dari wilayah lain, khususnya dari Malayasia. Akan tetapi, karena data yang tidak memadai, seberapa besar persentase kandungan imporkhususnya kandungan impor natureware dan humanware tidak dapat dihitung. Langkah 5. Analisis kandungan ekspor pada perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat. Beberapa perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat telah mampu menjual tandan buah segar (TBS) ke Negara tetangga terdekat, Malaysia. Akan tetapi, sekali lagi, karena data yang tidak memadai, seberapa besar persentase kandungan ekspor pada TBS tersebut tidak dapat dihitung. Langkah 6. Analisis perkembangan teknologi di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat Pengembangan teknologi dapat dipilah menjadi tiga tahap, sebagaimana telah dikemukaka pada Subbab 4.2. Ketersediaan data runtut waktu yang tidak tersedia menyebabkan kapan terjadinya pengembangkan teknologi di perkebunan kelapa sawit dari tahap satu ke tahap berikutnya tida bisa dianalisis secara mendetail. Secara garis besar, dapat dinyatakan bahwa pada fase permulaan sebagian besar perkebunan kelapa sawit yang disurvei tidak satu pun yang mendatangkan input maupun komponen teknologi dari luar wilayah Kalimantan Barat. Akan tetapi, pada fase berikutnya, dimana modal asing mulai mengalir ke provinsi ini, termasuk di bidang perkebunan kelapa sawit, aliran impor bahan baku maupun kehadiran tenaga kerja dari luar wilayah mulai berdatangan, dan sebaliknya aliran hasil produksi dari wilayah ini juga telah mampu menembus pasar wilayah lain, termasuk pasar luar negeri. Langkah 7. Analisis kualitatif inovasi teknologi di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat Seperti telah disinggung pada Bab 3, kegiatan inovasi teknologi, baik dalam bentuk produk, proses, maupun aplikasi, di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat dapat dikatakan hamper tidak ada. Dari beberapa perkebunan yang disurvei, teknologi proses produksi yang dipergunakan lebih banyak dalam bentuk peralatan produksi manual, atau paling tinggi berupa peralatan produksi mekanik/elektrik. Sementara itu, tandan buah segar yang dihasilkan sebagian besar diolah menjadi minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (KPO) Langkah 8. Analisis kuantitatif inovasi teknologi di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.

Disamping karena ketiadaan data, hamper tidak adanya kegiatan inovasi teknologi yang dilakukan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat juga telah menyebabkan penghitungan dan analisis inovasi m (06uteknlogi secara kuantitatif tidak dapat dilaksanakan. Langkah 9. Peta status teknologi di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat. Merajuk pada beberapa analisis dan hasil perhitungan yang telah diuraikan di atas, maka secara keseluruhan pemetaan status teknologi yang dimiliki perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat sulit ditampilkan. Apalagi peta status teknologi perkebunan kelapa sawit yang terdapat di wilayah lain juga tidak tersedia. 4.4. Implikasi Kebijakan Pengkajian status teknologi pada level industri dapat membantu para perencana dan pembuat untuk menentukan posisi industrinya dan sekaligus untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan industri tersebut. Disamping itu, status teknologi bisa pula membantu para perencana and pengambil keputusan untuk memperbaiki teknologi, misalnya dengan cara mencari mitra (joint venture) dalam rangka memperoleh teknologi (technology acquisition) dari Negara lain. Pada prinsipnya, untuk memperbaiki teknologi, dapat dilakukan dengan meningkatkan status keempat komponen teknologi. Peningkatan status technoware, misalnya, dapat ditempuh dengan cara melihat terlebih dahulu sejauhmana inovasi produk, proses, dan aplikasi yang telah diraih suatu industri. Apakah masih pada fase pengenalan, atau mencapai tahap pertumbuhan atau malah sudah masuk pada fase titik jenuh. Kemudian lihat pula kandungan impor dan kandungan ekspor di industri tersebut. Pada komponen humanware, perlu diperbandingkan degree of sophistication industri yang dikaji dengan industri pembanding. Sebagai contoh, industri yang dikaji masih dominant pada tingkat reproducing, sedangkan industri sejenis di wilayah lain sudah mencapai innovating. Berdasarkan temuan ini, maka dapat ditempuh berbagai upaya untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Misalnya dengan memperketat kualifikasi karyawan yang baru direkrut. Mengembangkan system pelatihan, system standarisasi jenjang karier, atau upaya-upaya lainnya yang bisa menciptakan iklim yang kondusif bagi setiap sumberdaya manusia di industri yang bersangkutan untuk berinovasi. Selanjutnya, implikasi dari status inforware dapat berupa pengembangan simulasi modal, pengembangan database, pengembangan pusat informasi, atau perbaruan model. Sedasngkan kajian terhadap status orgaware memberikan implikasi antara lain perlu dikembangkannya system operasi, mekanisme koordinasi dan integrasi yang lebih baik, efisiensi operasi, dan sebagainya. Pengkajian status teknologi bisa pula dilaksanakan untuk melihat posisi suatu industri di tingkat nasional atau provinsi, yaitu dengan cara

membandingkan status teknologi antar wilayah di dalam sebuah Negara/provinsi untuk perusahaa/industri sejenis. Di Indonesia terdapat beberapa pabrik semen, di antaranya PT. Semen Padang di Sumatera Barat, PT. Indocement di Jawa Barat, PT. Semen Gresik di Jawa Timur, dan PT. SemenTonasa di Sulawesi Selatan. Apabila PT. semen Padang dianggap paling baik status teknologinya di antara sesame pabrik semen di Indonesia untuk jenis produk semen yang sama, maka status teknologi PT. Semen Tonasa dapat dikaji dengan cara membandingkan indicator-indikator dan parameter-parameter status teknologi di antara kedua pabrik semen tersebut. Hal serupa dapat pula dilakukan terhadap beberapa perkebunan kelapa sawit di berbagai kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat. Namun demikian, patut dikemukakan di sini tidak semua indicator dan parameter status teknologi pada level wilayah sebagaimana telah diuraikan di atas dapat diturunkan begitu saja untuk menganalisis status teknologi suatu wialayah,. Dalam hal mengukur kandungan impor atau kandungan ekspor, misalnya perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian variable dalam formulasi penghitungan, abaik untuk komponen techoware, humanware, maupun orgaware. Bagaimanapun perilaku impor atau ekspor suatu wilayah akan berbeda dengan impor atau ekspor suatu bentuk wilayah lainnya. Apalagi ketersediaan data sangat tidak memadai.

Opini
Setiap masa, teknologi pasti selalu berubah dan berkembang. Pekembangan itu dinamakan siklus hidup teknologi. Siklus hidup teknologi pun merupakan indikator untuk mengkaji status teknologi. Diantaranya seperti lamanya waktu suatu siklus dan tingkat produktifitas. Semakin cepat siklus hidup teknologi dan semakin tinggi tingkat produktifitasnya, semakin tinggi pula status teknologi di wilayah yang bersangkutan. Dan status teknologi pun mempunyai tahapan demi tahapan untuk mengkajinya. Untuk mengkaji status teknologi, sebelumnya harus ditelaah aspek-aspek yang terkait. Aspek yang pertama adalah kerakter komponen teknologi. Lalu yang kedua adalah nilai tambah kandungan teknologi. Yang ketiga adalah kandungan impor. Yang keempat adalah kandungan ekspor. Yang kelima adalah tahap pengembangan teknologi. Dan yang terakhir adalah tingkat inovasi teknologi. Setelah aspek di atas telah ditelaah, pengkajian status teknologi sudah dapat dilaksanakan dengan berbagai langkah. Langkah-langkah pengkajian status teknologi sendiri pelaksanaannya ada 9 langkah. Kesembilan langkah itu yang pertama adalah mengkaji kinerja industri secara umum. Dan yang kedua adalah mengkaji karakteristik teknologi secara kualitatif. Lalu yang ketiga adalah menghitung dan menganalisis nilai tambah kandungan teknologi. Yang keempat adalah menghitung dan menganalisis kandungan impor. Yang kelima adalah menghitung dan menganalisis kandungan ekspor. Yang keenam adalah menganalisis tahap pengembangan teknologi. Yang ketujuh adalah mengkaji

dan meganalisis tingkat inovasi teknologi secara kualitatif. Yang kedelapan adalah menghitung dan menganalisis inovasi teknologi secara kuantitatif. Dan yang terakhir adalah pemetaan status teknologi. Setelah kita lihat aspek dan langkah pengkajian status teknologi, tujuan dan fungsinya juga dapat dirasakan para perencana dan pembuat keputusan. Yang mereka rasakan adalah mereka dapat menentukan posisi industrinya dan sekaligus untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan industri tersebut. Selain itu, dengan pengkajian status teknologi, mereka juga bisa memperbaiki teknologi, misalnya dengan cara mencari mitra dalam rangka memperoleh teknlogi dari Negara lain.

Tugas II : Konsep Teknologi (Ir. Moh. Isman Tumiwa Msi) Nama : Tommy Juliansyah Marseno NRP : 123.10.0004

Anda mungkin juga menyukai