Anda di halaman 1dari 28

BAB I PENDAHULUAN

Seksualitas pada usia remaja mengacu pada perasaan seksual, perilaku, dan perkembangan pada seorang remaja dan merupakan bagian dari tahapan perkembangan kehidupan manusia. Perilaku seksual pada remaja terpengaruh pada kebudayaan, norma, orientasi seksual. Perilaku seks Berdasarkan data yang dihimpun PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) tahun 2009 menunjukkan 22,6% remaja termasuk penganut seks bebas. Kisaran umur pertama kali melakukan hubungan seks pada umur 1318 tahu, 16% tidak menggunakan alat kontrasepsi, 85% dilakukan dirumah sendiri. Perilaku seks usia dini tanpa didukung pengetahuan kesehatan organ reproduksi dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam masalah seperti penyakit menular seksual (PMS), resiko terinfeksi Human Papilloma Virus (HPV) yang dapat menyebabkan karsinoma serviks dapat mengganggu kesehatan organ reproduksi dan dapat berdampak pada kesehatan reproduksi jangka panjang. Untuk mencegah dampak buruk yang dapat terjadi, sejak tahun 2005, pemerintah Indonesia telah menyusun strategi nasional kesehatan remaja yang memiliki visi yaitu remaja Indonesia sehat fisik, mental dan sosial serta tinggal di lingkungan yang aman yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Program kesehatan reproduksi menjadi perhatian pemerintah terbukti dengan adanya direktorat khusus di BKKBN yang menangani masalah kesehatan reproduksi yaitu Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi di tingkat pusat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 REMAJA Remaja didefinisikan sebagai periode transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Hal ini mencakup perubahan cepat dari banyak aspek seperti biologi, psikologi, dan sosiokultural. World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja sebagai tahapan perkembangan sejak munculnya karakteristik seks sekunder menuju maturitas seksual dan organ reproduksi, proses perkembangan mental dan identitas dan transisi dari ketergantungan sosioekonomi menuju kemandirian relatif. Secara biologis, masuknya individu pada suatu masa pubertas biasanya dianggap sebagai mulainya masa remaja.. Karena tidak ada tanda-tanda biologis yang nyata terhadap mulai dan berakhirnya masa remaja, maka faktor sosial biasanya digunakan untuk menentukan masuknya individu pada masa dewasa. Faktor-faktor tersebut seperti pernikahan, bekerja yang berhubungan dengan kemandirian finansial. Di Indonesia penentuan masuknya individu pada masa kedewasaan biasanya adalah saat individu tersebut menikah atau berkeluarga. Penentuan secara sosial tersebut mengakibatkan rentang umur yang bervariasi bergantung pada kultur dan tujuan tertentu. Studi kesehatan reproduksi remaja di Indonesia mendefinisikan remaja

sebagai individu dengan rentang umur 15-24 tahun. Ini karena banyak orang tua percaya anak yang masih duduk di bangku sekolah primer masih terlalu dini untuk di wawancara mengenai wacana-wacana yang berhubungan dengan seksualitas. Kementrian Kesehatan pada programnya mendefinisikan remaja sebagai individu berusia 10-19 tahun, sementara BKKBN dalam programnya mendefinisikan remaja sebagai individu berusia 10-24 tahun. Pada umumnya di masyarakat

Indonesia, remaja didefinisikan sebagai individu yang belum menikah dan berusia 13-16 tahun atau individu yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada makalah ini definisi remaja yang digunakan adalah individu yang berusia 10-24 tahun, tapi bila berdasarkan pada literature penelitian pengertian remaja adalah individu berusia 15-24 tahun. 2.2 PANDANGAN KULTURAL DAN TRADISIONAL TERHADAP SEKSUALITAS DAN PUBERTAS Masyarakat tradisional di Indonesia menganggap pubertas sebagai kesiapan seseorang menjadi dewasa dan menikah dan siap untuk aktivitas seksual. Pada daerah pedesaan pernikahan setelah menarche umum dilakukan. Walaupun menurut mereka setelah menarche berarti secara seksual menjadi dewasa, namun jarang sekali terjadi diskusi tentang seks pada remaja yang belum menikah. Faktanya, seks jarang sekali dibahas secara terbuka dalam keluarga ataupun dibahas secara serius secara umum. Diantara orang dewasa, terdapat dasar konservatif tentang bagaimana membahas hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas. Informasi yang berhubungan dengan hal-hal seksualitas seringkali biasanya diberikan oleh seorang ibu kepada anak perempuannya terutama ketika anak perempuannya mengalami haid pertama, tetapi setelahnya tidak ada pembahasan tentang seksualitas di dalam keluarga. Untuk remaja pria, pengetahuan tentang seks seringkali didapat melalu seumber-sumber informal seperti majalah, pornografi dan lain-lain. Hampir tidak ada komunikasi antara ayah dan anak laki-laki ataupun ibu dan anak laki-laki tentang seksualitas ini. Fakta-fakta ini, merupakan fakta yang mengejutkan. Kedua orang tua dan anak-anaknya terdapat ketidaknyamanan dalam membicarakan isu-isu seksual. Terpisah dari sensitifitas terhadap isu, studi di Jakarta menemukan banyak orang tua merasa tidak mampu menyampaikan atau menjawab perihal yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi kepada anak-anaknya. Para orang tua tidak tahu bagaimana cara menghadapi situasi yang berhubungan dengan

seksualitas anak remaja mereka dibandingkan anak remaja berhadapan dengan seksualitas mereka sendiri. Dimasa lalu, segera setelah pubertas, penanganan antar individu berbeda jenis kelamin terdapat perbedaan: anak laki-laki tidak lagi bermain bersama anak perempuan. Anak perempuan diharapkan tetap perawan sampai mereka menikah; himen yang intak adalah bukti untuk keperawanan. Keperawanan merupakan sebuah symbol moralitas, karena merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah pernikahan. Kegagalan membuktikan keperawanan (biasanya adanya darah saat malam pertama) dapat menyebabkan kegagalan pernikahan. Anak laki-laki secara umum banyak diberikan kebebasan terhadap seksualitas dibandingkan dengan anak perempuan dan tidak terbeban dengan bukti fisik dari pengalaman seksual. Di kebanyakan masyarakat, pria diharapkan sudah mengetahui tentang hubungan seksual sebelum pernikahan. Hubungan seksual pranikah di antara anak muda sering menjadi alas an kesuksesan pria dalam hubungan seksual dalam pernikahan. Biasanya pria-pria muda belajar tentang seksualitas melalui prostitusi. 2.3 MASALAH DAN TANTANGAN REMAJA Remaja merupakan salah satu komponen terbesar di Indonesia. Data pada tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah remaja usia 10-24 tahun mencapai 64 juta atau 28,6% dari total jumlah penduduk Indonesia sebanyak 222 juta. Pada tahun 2008 Badan Pusat Statistik mencatat ,populasi anak remaja di Indonesia mencapai tidak kurang dari 43,6 juta jiwa atau sekitar 19,64% dari total jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini memang menurun dibanding tahun sebelumnya, hal ini dikarenakan populasi penduduk Indonesia yang makin meningkat (tingkat kelahiran meningkat) dan juga banyak remaja yang umurnya sudah tidak tergolong remaja lagi.

Dengan jumlah yang cukup besar ini, tentunya remaja sebagai generasi penerus bangsa mempunyai potensi yang besar pula bagi negara. Oleh karena itu remaja harus mampu mencetak prestasi di segala bidang sehingga menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas. Untuk bisa menjadi generasi berkualitas, remaja harus mampu menghindari dan mengatasi permasalahanpermasalahan remaja yang cukup kompleks seiring dengan masa transisinya. Permasalahan tersebut diantaranya yaitu masalah seksualitas (kehamilan di luar nikah dan aborsi), terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS), HIV dan AIDS, serta penyalahgunaan Napza .Selain mengatasi masalah-masalah tersebut remaja juga diharapkan dapat menunda usia perkawinan sebagai usaha untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera. Untuk dapat menghindari dan mengatasi permasalahan tersebut, remaja memerlukan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, diantaranya orangtua, lingkungan, institusi pendidikan, serta pemerintah. Namun begitu satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah kesadaran dari individu remaja itu sendiri untuk berubah dan menjadi generasi berprestasi. Dalam upaya menggapai itu semua tentu banyak masalah dan tantangan yang harus dihadapi oleh semua pihak, sehingga benar-benar diperlukan kerjasama yang baik antar pihak. 2.4 PERKEMBANGAN REMAJA Masa remaja merupakan masa transisi di mana seseorang mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini remaja mengalami beberapa proses perubahan, di antaranya perubahan psikologis dan perubahan biologis. Ada beberapa perubahan biologis yang dialami remaja yaitu munculnya ciri-ciri kelamin sekunder,peningkatan pertumbuhan,dan perubahan hormonal. Ciri-ciri kelamin sekunder yang muncul pada remaja ada beberapa misalnya pada laki-laki,dada menjadi bidang, sedangkan pada wanita muncul payudara, tumbuhnya rambut di sekitar alat kelamin dan di ketiak, tumbuhnya kumis pada

laki-laki, munculnya jakun pada laki-laki, perubahan suara,pada laki-laki suara makin membesar,sedangkan pada wanita suara makin nyaring, serta perubahan bentuk tubuh. Peningkatan pertumbuhan yang terjadi dikarenakan meningkatnya jumlah hormon pertumbuhan dan hormon reproduksi dalam tubuh. Hormon -hormon ini bertanggungjawab dalam pertumbuhan. Perubahan hormonal dalam tubuh ditandai dengan meningkatnya kadar hormon reproduksi dalam tubuh seperti hormon testosterone, progesterone dan estrogen. Tiga hormon inilah yang bertanggungjawab dalam pembentukan emosi pada remaja. Pada wanita misalnya estrogen merupakan sad hormone, jadi bila terjadi peningkatan produksi hormon estrogen dalam tubuh misal saat menstruasi,wanita akan lebih sensitif dan sering marah-marah. Selain estrogen,ada juga progesterone yang merupakan happier hormone, jadi bila kadar progesterone meningkat maka level mood seseorang itu akan menjadi baik. Dengan adanya pengaruh hormon ini maka emosi remaja itu menjadi sangat labil. Remaja menjadi mudah marah dan terpengaruh. Emosi yang labil menjadikan remaja susah dalam mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya terutama di dalam menanggapi pengaruh dari lingkungan pergaulan yang belum tentu baik. Dalam hal ini remaja sangat membutuhkan tempat pelarian dari masalah yang dihadapinya. Bila tempat pelariannya itu sesuatu yang baik itu tidak masalah tapi kalau buruk misalnya narkoba, itulah yang menjadi masalah. Bila sudah begini remaja akan mudah sekali terjerumus ke dalam masalah kompleks remaja. Menurut Sigmund Freud, seks adalah naluri dasar yang sudah ada sejak manusia lahir. Sejak lahir, manusia sudah menjadi mahluk yang seksual atau memiliki libido (enerji seksual) yang mengalami perkembangan melalui fase yaitu: oral, anal, falik dan genital.

Berikut masalah-masalah kompleks yang sering di hadapi remaja, yaitu: 1. Seksualitas Masalah seksualitas menyangkut masalah pokok yakni seks pra nikah, Berdasarkan Survey Kesehatan Repoduksi Remaja Indonesia (SKRRI, 2002-2003) didapatkan bahwa remaja mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada usia 14-19 tahun (perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%), sedangkan usia 20-24 tahun (perempuan 48,6%,laki-laki 46,5%). Menurut survey yang dilakukan oleh Komnas Perlindungn Anak di 33 provinsi pada Januari s/d Juni 2008 menyimpulkan 1) 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno, 2) 93,7% remaja SMP dan SMA pernah berciuman, genital stimulation, oral seks 3) 62,7% remaja SMP tidak perawan, 4) 21,2% remaja mengaku penah aborsi. Faktor yang paling mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual (3x lebih besar) adalah : a. Teman sebaya/pacar b. Mempunyai teman yang setuju dengan hubungan seks pra nikah
c. Mempunyai teman yang mempengaruhi untuk melakukan seks pra-

nikah.
2. Kehamilan dan Pernikahan Usia Muda

Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak.

Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Angka kematian ibu usia di bawah 16 tahun di Kamerun, Etiopia, dan Nigeria, bahkan lebih tinggi hingga enam kali lipat. Anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan, sehingga dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula. Data dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan mengalami obstetric fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula akibat hubungan seksual di usia dini. Pernikahan anak berhubungan erat dengan fertilitas yang tinggi, kehamilan dengan jarak yang singkat, juga terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Lebih jauh lagi, perbedaan usia yang terlampau jauh menyebabkan anak hampir tidak mungkin meminta hubungan seks yang aman akibat dominasi pasangan. Pernikahan usia muda juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya karsinoma serviks. Keterbatasan gerak sebagai istri dan kurangnya dukungan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena terbentur kondisi ijin suami, keterbatasan ekonomi, maka penghalang ini tentunya berkontribusi terhadap meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas pada remaja yang hamil. 3. Aborsi Berdasarkan data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI, Rakyat Merdeka, Tahun 2006) yang merujuk pada data Terry Hull dkk. (1993) dan Utomo dkk. (2001) didapatkan bahwa 2,5 juta perempuan

pernah melakukan aborsi per tahun, 27% (sekitar 700 ribu) dilakukan oleh remaja, dan sebagian besar dilakukan secara tidak aman. Sekitar 30-35% aborsi ini adalah penyumbang kematian ibu (307/100 ribu kelahiran) dan tercatat bahwa Angka Kematian Ibu di Indonesia adalah 10 kali lebih besar dari Singapura. 4. Narkoba Narkoba menjadi masalah yang cukup serius bagi generasi muda. Selain perkembangan kasusnya yang begitu pesat, merajalela di mana-mana, nakoba juga dapat meracuni generasi muda baik tubuh maupun pikirannya.Nakoba ini menjadi titk awal dari berbagai masalah sosial dan kriminalitas, misalnya perampokan. Berdasarkan data BNN 2004, menunjukkan bahwa 1,5% dari jumlah penduduk Indonesia (3.2 juta jiwa) adalah pengguna narkoba. Dari jumlah tersebut,78% diantaranya adalah remaja usia 20-29 tahun. Dari data tersebut bisa dilihat bahwa angka pengguna narkoba di Indonesia begitu besar. Hal ini membutuhkan penanganan yang cukup serius. 5. HIV/AIDS Mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertama kali juga meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV. Banyak remaja yang menikah dini berhenti sekolah saat mereka terikat dalam lembaga pernikahan, mereka seringkali tidak memahami dasar kesehatan reproduksi, termasuk di dalamnya risiko terkena infeksi HIV. Infeksi HIV terbesar didapatkan sebagai penularan langsung dari partner seks yang telah terinfeksi sebelumnya. HIV dan AIDS adalah penyakit autoimun yang di sebabkan oleh Retrovirus. Penyakit ini menyerang system kekebalan tubuh penderita, sehingga karena system imunnya melemah penderita akan mudah terserang penyakit lainnya. HIV dan AIDS ini dapat menular lewat hubungan seksual, transfusi darah, jarum

suntik, dan ibu hamil kepada anaknya. HIV dan AIDS ini sangatlah mempengaruhi kehidupan penderitanya,bahkan merubahnya secara total. Penderitanya akan dikucilkan oleh masyarakat sehingga mereka meresa tidak percaya diri dalam melakukan segala aktivitasnya. Di Indonesia kasus ini sudah banyak terjadi,secara kumulatif jumlah kasus AIDS sampai September 2009 sebesar 18.442 kasus. Menurut 4 golongan usia tertinggi adalah usia 20-29 tahun 49,6%,usia 30-39 tahun 29,8%,usia 4049 tahun 8,7%,dan usia 15-19 tahun 3,0%. Survei Depkes tahun 1995/1996 pada remaja 13-19 tahun di Jawa Barat dan Bali didapatkan angka 7% dan 5% kehamilan pada remaja. Data tentang kehamilan tidak dikehendaki (KTD) dari beberapa sumber ada!ah: 61% pada usia 15-19 tahun (N=1310, SDKI oleh Pradono 1997), diantaranya sebesar 12,2% (N=98 orang) melakukan pengguguran dimana 7,2% ditolong oleh dokter dan bidan, 10,2% oleh dukun dan 70,4% tanpa pertolongan. Berdasarkan hasil baseline survey yang dilakukan oleh LDUI di 4 (empat) provinsi (Jatim, Jateng, Jabar dan Lampung) pada tahun 1999, menunjukkan bahwa: 1. hanya 42% remaja mengatakan HIV tidak ditularkan oleh orang yang tampak sehat; 2. hanya 24% remaja mengetahui tentang IMS; 3. hanya 55% mengetahui tentang proses kehamilan; 4. 53% remaja tidak mengetahui bahwa sekali saja berhubungan dapat mengakibatkan kehamilan; 5. 46% remaja beranggapan bahwa HIV/AIDS bisa disembuhkan; dan 6. 26% remaja mengatakan kondom tidak dapat mencegah HIV/AIDS. 7. 57,1% remaja puteri mengidap anemia (SKRT 1995) 8. 23% remaja kekurangan energi kalori (survay Bali, Jabar, 1995) 9. 74% kebiasaan makan tidak teratur (Survai SMU Surabaya, 1998) 10. 61% kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja usia 15-19 tahun dengan melakukan solusi 12 % dari mereka melakukan aborsi yang dilakukan di:

10

a. dilakukan sendiri 70% b. dilakukan dukun 10% c. tenaga medis 7% 11. hanya 45,1% remaja mempunyai pengetahuan yang baik tentang organ reproduksi, pubertas, menstruasi dan kebersihan diri (FKMUI, 2001) 12. hanya 16% remaja yang mengetahui tentang masa subur (SDKI 1997) Masalah reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap remaja itu sendiri, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa pada akhirnya. Permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. perilaku berisiko 2. kurangnya akses pelayanan kesehatan 3. kurangnya informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan 4. banyaknya akses pada informasi yang salah tanpa tapisan 5. masalah IMS termasuk infeksi HIV/AIDS, 6. tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial, 7. kehamilan dan persalinan usia muda yang berisiko kematian ibu dan bayi, dan 8. kehamilan yang tak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada aborsi yang tidak aman dan komplikasinya. Menurut Biran (1980) kehamilan remaja kurang dari 20 tahun berisiko kematian ibu dan bayi 2-4 kali lebih tinggi dibanding ibu berusia 20-35 tahun. Penyebab mendasar dari keadaan tersebut adalah : 1. rendahnya pendidikan remaja 2. kurangnya keterampilan petugas kesehatan

11

3. kurangnya kesadaran semua pihak akan pentingnya penanganan kesehatan remaja.

Tabel 1. Data Statistik seks usia dini di Amerika Serikat Premarital Sex First Experience Median age of first premarital sex, by age group Turned 15 in: Age in 2002-03 1954-63 1964-73 1974-83 1984-93 1994-2003 55-64 45-54 35-44 25-34 15-24 Median age at premarital sex 20.4 18.6 18.0 17.3 17.6 first

Tabel 2. Data Statistik Pengalaman Seksual Remaja Jakarta

Tabel 3. Data Statistik Pengalaman Hubungan Seksual Remaja Jakarta

12

Gambar 1. Distribusi Hubungan Seksual Pertama Kali Terhadap Umur di Jakarta

Tabel 4. Hubungan Seks Pertama Kali Terhadap Umur Berdasarkan Status Relasi, Pendidikan dan Jenis Kelamin

13

2.5 SEKS USIA DINI DAN KANKER SERVIKS Kanker merupakan sel-sel neoplasma ganas yang mengalami kerusakan gen berat serta luas sehingga sel-selnya menyimpang jauh dari sel normal asalnya. Sel Neoplasma adalah sel tubuh kita sendiri yang mengalami perubahan (trasnformasi) sehingga bentuk, sifat, dan kinetiknya berubah, sehingga tumbuhnya menjadi autonom, liar, tidak terkendali, dan terlepas dari koordinasi pertumbuhan normal. Secara sederhana dikenal sel neoplasma jinak dan sel neoplasma ganas (kanker). Transformasi sel itu terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu proto onkogen dan atau supresor gen (Sukardja, 2000). American Cancer Society (2008) menyatakan, kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh pertumbuhan dan perkembangan sel-sel yang tidak terkontrol dan abnormal. Kanker dapat dicetuskan oleh faktor eksternal dan faktor internal yang memicu terjadinya proses karsinogenesis (proses pembentukan kanker). Faktor ekternal dapat juga berupa infeksi, radiasi, zat kimia tertentu dan

14

jua konsumsi tembakau, sedangkan mutasi (baik yang diturunkan maupun akibat metabolism), hormone dan kondisi sistem imun merupakan faktor internal. 2.5.1. Definisi Kanker Serviks Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina (Notodiharjo, 2002). Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim.

2.5.2. Etiologi Kanker Serviks Munoz (2003) menyatakan dengan jelas bahwa HVP merupakan penyebab utama kanker serviks. Pada 90,7% sampel penderita kenker serviks ditemukan DNA HPV. Komponen DNA virus HPV telah terdeteksi dalam lebih dari 90% lesi intarepitel skuamosa (LIS) dan karsinoma serviks uteri invasive dibandingkan dengan persentase yang lebih rendah didapat pada kontrol (Garcia, 2007). Lebih dari 80 tipe HPV telah ditemukan, dan sekitar 40 tipe dapat menginfeksi saluran genitalia (Munoz, 2003). Tipe HVP yang menginfeksi saluran genitalia dapat dibedakan menjadi tipe risiko-rendah, yang banyak ditemukan pada penyakit kutil genitalis, dan tipe resiko-tinggi yang biasanya berasosiasi dengan kejadian karsinoma sekviks uteri. Adapaun HVP ganitalis yang merupakan tipe risiko-tinggi adalah HVP tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73, dan 82. Sedangkan HVP tipe 26, 53, dan 66 diduga karsinogenik (Munoz, 2003). Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu :

15

a. Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker serviks. Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker serviks. Meningkatnya risiko kanker serviks pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia. b. Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia 20 tahun dianggap terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar. Termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bias berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan. c. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan. Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan

16

mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak dan tidak terkendali sehingga menjadi kanker. d. Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker. e. Wanita yang merokok. Nikotin, mempermudah semua selaput lendir selsel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru, maupun serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsinya bias menyebabkan kanker leher rahim. Risiko wanita perokok terkena 4-13 kali lebih besar dibandingkan wanita bukan perokok. f. Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker leher rahim sehingga 2.5.3. Patogenesis Kanker Serviks Kausa utama karsinoma serviks adalah infeksi virus Human Papilloma yang onkogenik. Risiko terinfeksi HPV sendiri meningkat setelah melakukan aktivitas seksual. Pada kebanyakan wanita, infeksi ini akan hilang dengan spontan. Tetapi jika infeksi ini persisten maka akan terjadi integrasi genom dari virus ke dalam genom sel manusia, menyebabkan hilangnya kontrol normal dari pertumbuhan sel serta ekspresi onkoprotein E6 atau E7 yang bertanggung jawab terhadap perubahan maturasi dan differensiasi dari epitel serviks (WHO, 2008). Menurut Budiningsih (2007) dalam Sawono (2007), lokasi awal dari terjadinya karsinoma serviks biasanya pada atau dekat dengan pertemuan epitel kolumner di endoserviks dengan epitel skuamous di ektoserviks atau yang juga dikenal dengan squamocolumnar junction. Terjadinya karsinoma serviks yang invasif berlangsung dalam beberapa tahap. Tahapan pertama dimulai dari lesi pre-invasif, yang

17

ditandai dengan adanya abnormalitas dari sel yang biasa disebut dengan displasia. Displasia ditandai dengan adanya anisositosis (sel dengan ukuran yang berbedabeda), poikilositosis (bentuk sel yang berbeda-beda), hiperkromatik sel, dan adanya gambaran sel yang sedang bermitosis dalam jumlah yang tidak biasa. Displasia ringan bila ditemukan hanya sedikit sel-sel abnormal, sedangkan jika abnormalitas tersebut mencapai setengah ketebalan sel, dinamakan displasia sedang. Displasia berat terjadi bila abnormalitas sel pada seluruh ketebalan sel, namun belum menembus membrana basalis. Perubahan pada displasia ringan sampai sedang ini masih bersifat reversibel dan sering disebut dengan Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) derajat 1-2. Displasia berat (CIN 3) dapat berlanjut menjadi karsinoma in situ. Perubahan dari displasia ke karsinoma in situ sampai karsinoma invasif berjalan lambat (10 sampai 15 tahun). Gejala pada CIN umumnya asimptomatik, seringkali terdeteksi saat pemeriksaan kolposkopi. Sedangkan pada tahap invasif, gejala yang dirasakan lebih nyata seperti perdarahan intermenstrual dan post koitus, discharge vagina purulen yang berlebihan berwarna kekuning-kuningan terutama bila lesi nekrotik, berbau dan dapat bercampur dengan darah , sistisis berulang, dan gejala akan lebih parah pada stadium lanjut di mana penderita akan mengalami cachexia, obstruksi gastrointestinal dan sistem renal. 2.5.4. Patologi dan Stadium Kanker Serviks Kanker serviks timbul di T-Zone atau squamous-collumnar junction (SCJ) yaitu daerah peralihan epitel skuamosa yang terdapat di ektoserviks (porsio) menjadi epitel kolumnar yang terdapat di endoserviks. Serviks yang normal, secara alami mengalami proses metaplasia (erosion) akibat saling desakmendesanya kedua jenis epitel yang melapisi. Dengan masuknya mutagen, porsio yang mengalami metaplasia fisiologik dapat berubah menjadi patologik (displastik-diskariotik). Penyakit ini diawali oleh lesi prakanker, yang disebut juga neoplasia interepitel serviks/NIS (Cervical Intraephitelial Neoplasia/CIN) dengan tingkatan NIS-I, II, III, dan KIS (karsinoma in situ). Periode dari NIS-I s.d KIS

18

disebut periode laten atau fase prainvasif yang masih mengalami regresi spontan dengan atau tanpa pengobatan. Namun bila lesi sudah menjadi mikro invasive atau invasive, proses keganasan akan terus berlanjut. Staging karsinoma seviks merunut pada sistem klasifikasi dari FIGO (Federation of Gyenaecologic and Obstetrics) tahun 2000 dilihat berdasarkan lokasi tumor primer, ukuran besar tumor, dan adanya penyebaran keganasan (table 2.1) oleh Sulaini (2006) dalam Sarwono (2006). Staging ini dibuat untuk mempermudah perencanaan terapi yang efektif dan optimal bagi pasien dan memperkirakan prognosis pasien

Tabel 5. Pembagian Stadium Kanker Serviks berdasarkan Figo

19

2.5.5. Gambaran Klinis Kanker Serviks

20

Kanker serviks umumnya tidak memunculkan gejala hingga sel-sel serviks yang abnormal dan mengganas mulai menginvasi jaringan sekitar. Gejala yang pertama muncul adalah perdarahan pervaginam yang abnormal, biasanya setelah melakukan hubungan seksual. Selain itu, dapat pula terjadi perdarahan spontan yang terjadi di antara dua siklus menstruasi (instrumenstrual bleeding) dan perdarahan pada wanita yang sudah menopause (postmenopausal bleeding). Secret vagina berwarna kekuningan dan berbau busuk juga ditemukan, khususnya pada pasien dengan nekrosis jaringan yang lama. Perdarahan spontan saat defekasi dapat pula ditemukan. Hal ini terjadi akibat tergesernya tomur eksofitik dari serviks oleh skibala. Adanya perdarahan abnormal pervaginam saat devekasi perlu dicurigai kemungkinan adanya karsinoma serviks uteri tingkat lanjut. Gejala-gejala hematuria atau perdarahan per-rektal timbul bila tumor sudah menginvasi vesika urinaria atau rectum. Jika terjadi perdarahan kronik, maka penderita akan mengalami anemia, kehilangan berat badan, lelah dan gejala konstitusional lainnya. Pasien dapat mengeluhkan nyeri yang hebat. Nyeri dapat dirasakan saat pasien melakukan hubungan seksual. Nyeri di pelvic atau di hipogastrium dapat disebabkan oleh tumor yang nekrotik atau radang panggul. Bila muncul nyeri di daerah lumbosakral maka dapat dicurigai terjadi hidronefrosis atau penyebaran ke kelenjar getah bening yang meluas ke akar lumbosakral. Nyeri di epigastrium timbul bila penyebaran mengenai kelenjar getah bening yang lebih tinggi. Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat lesi pada daerah serviks. Beberapa lesi dapat tersembunyi di kanal bagian endoserviks, namun dapat diketahui melalui pemeriksaan bimanual. Semakin lebar diameter lesi maka semakin sempit jarak antara tumor dengan dinding perlvis. 2.5.6. Diagnosa dan Deteksi Dini Kanker Serviks Deteksi dini kanker serviks secara teratur sangat dianjurkan bagi setiap wanita, biasanya dimulai tiga tahun setelah wanita aktif secara seksual atau berusia lebih
21

dari 21 tahun. Selain dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, diperlukan deteksi dini berupa : 1. Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) merupakan metode inspeksi yang sangat sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah. 2. Pemeriksaan pap smear 3. Pemeriksaan DNA HPV Jika diperoleh hasil Pap Smear yang abnormal, maka dibutuhkan beberapa pemeriksaan tambahan untuk mengkonfirmasi diagnosisi, mengetahui penyebaran kanker, dan menentukan pilihan pengobatan. a. Kolposkopi, merupakan pemeriksaan visual serviks uteri dengan menggunakan alat optic khusus yang disebut kolposkop. b. Biopsi, merupakan gold standard dalam menentukan diagnosis kanker. 2.5.7. Penanganan, Prognosa dan Rekurensi Kanker Serviks Pada tingkat klinik (KIS), tidak dibenarkan dilakukan elektrokoagulasi atau elektrofulgerasi, bedah krio atau dengan sinar laser, kecuali penderitanya masih muda dan belum memiliki anak. Biopsi kerucut juga bias digunakan baik sebagai alat dianostik maupun terapi. Namun, bila penderita sudah cukup tua dan sudah mempunyai cukup pemeriksaan, dapat dilakukan histerektomi sederhana untuk mencegah kambuhnya penyakit. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis antara lain unsure penderita, keadaan umum, tingkat klinik keganasan, cirri-ciri histologik sel tumor, kemampuan ahli atau tim ahli yang menangani, serta sarana pengobatan yang ada Kanker serviks primer yang telah diterapi lalu dievaluasi selama 3 bulan untuk melihat respon terapi, setelah itu ditentukan apakah pasien mengalami remisi atau tidak. Penentuan ini dilakukan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dan klinis. Bila setelah pengobatan (radiasi/operasi) dan pasien dinyatakan remisi 16

22

kemudian kanker timbul kembali baik secara histopatologis maupun terlihat secara klinis maka disebut kanker rekuren. Proses rekurensi dapat terjadi lokal yaitu, bila mengenai serviks, vagina 2/3 atau 1/3 proksimal parametrium, regional bila mengenai distal vagina/panggul atau organ disekitarnya yaitu rektum atau vesika urinaria. Metastasis jauh bila timbul jauh di luar panggul. 2.5.8 Pencegahan Kanker Serviks Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari faktor-faktor penyebab kanker meliputi : a. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia

muda, pernikahan pada usia muda, dan berganti-ganti pasangan seks. b. Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai

anak perlu melakukan pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut petunjuk dokter. c. Pilih kontrasepsi dengan metode barrier, seperti diafragma dan

kondom, karena dapat memberi perlindungan terhadap kanker leher rahim. d. Dianjurkan untuk berperilaku hidup sehat, seperti menjaga

kebersihan alat kelamin dan tidak merokok. e. Memperbanyak makan sayur dan buah segar.

2.6 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA 2.6.1 Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja 1. Pemerintah, masyarakat termasuk remaja wajib menciptakan lingkungan yang kondusif agar remaja dapat berperilaku hidup sehat untuk menjamin kesehatan reproduksinya. 2. Setiap remaja mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang berkualitas termasuk
23

pelayanan informasi dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. 3. Upaya kesehatan reproduksi remaja harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan remaja dengan disertai upaya pendidikan kesehatan reproduksi yang seimbang. 4. Upaya pendidikan kesehatan reproduksi remaja dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal, dengan memberdayakan para tenaga pendidik dan pengelola pendidikan pada sistem pendidikan yang ada.
5. Upaya kesehatan remaja harus dilaksanakan secara terkoordinasi dan

berkesinambungan melalui prinsip kemitraan dengan pihak-pihak terkait serta harus mampu membangkitkan dan mendorong keterlibatan dan kemandirian remaja.
2.6.2 Strategi Kesehatan Reproduksi. Remaja

1. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja disesuaikan dengan kebutuhan proses tumbuh kembang remaja dengan menekankan pada upaya promotif dan preventif yaitu penundaan usia perkawinan muda dan pencegahan seks pranikah. 2. Pelaksanaan pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan terpadu lintas program dan lintas sektor dengan melibatkan sektor swasta serta LSM, yang disesuaikan dengan peran dan kompetensi masing-masing sektor sebagaimana yang telah dirumuskan di dalam Pokja Nasional Komisi Kesehatan Reproduksi. 3. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan melalui pola intervensi di sekolah mencakup sekolah formal dan non formal dan

24

di luar sekolah dengan memakai pendekatan pendidik sebaya atau peer conselor. 4. Pemberian pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui penerapan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) atau pendekatan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Integratif ditingkat pelayanan dasar yang bercirikanpeduli remaja dengan melibatkan remaja dalam kegiatan secara penuh. 5. Pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui integrasi materi KRR ke dalam mata pelajaran yang relevan dan mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler seperti: bimbingan dan konseling, Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) dan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). 6. Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi remaja bagi remaja di luar sekolah dapat diterapkan melalui berbagai kelompok remaja yang ada di masyarakat seperti karang taruna, Saka Bhakti Husada (SBH), kelompok anak jalanan di rumah singgah, kelompok remaja mesjid/gereja, kelompok Bina Keluarga Remaja (BKR).

25

BAB III KESIMPULAN


Seks usia dini merupakan masalah nasional bangsa Indonesia yang mencakup biopsikososiokulutral. Elemen-elemen masyarakat dituntut untuk bekerja sama membangun dinamika yang baik untuk membangun pengetahuan, pengertian dan mentalitas yang baik tentang seksualitas supaya mencapai hasil yang baik bagi perkembangan remaja Indonesia yang merupakan masa depan bangsa. Pemerintah telah membentuk Kebijakan dan Strategi terhadap kesehatan reproduksi yang mengajak setiap elemen masyarakat untuk bersama-sama memajukan kesehatan reproduksi bangsa terutama sejak masa remaja dan diharapkan dengan kebijakan dan strategi ini, remaja Indonesia mencapai kesehatan reproduksi yang baik guna mengurangi angka kriminalitas, morbiditas, dan mortalitas yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjikoen P. Tumor ganas alat genital serviks uteri. Editor Wiknjosastro H. Ilmu Kandungan. Ed.2. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;2005.380-9. 2. Kumar V, Cotran RS, dan. Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. Ed.7. Vol.1. Jakarta: EGC;2007.196-8. 3. Edianto D. Kanker Serviks. M.F. Aziz et al, editor. Onkologi Ginekologi. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;2006.443-55. 4. Aziz FM. Deteksi dini kanker, skrining dan deteksi dini kanker serviks; ed Ramli Muchlis dkk. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia;2002. 97-110. 5. Adriane M.H et al, 2010. A cross cultural study of vaginal practices and sexuality: Implications for sexual health, Social Science & Medicine, Vol 70/ 3:Pp. 392-400. 6. Antono Suryoputro, Nicholas J. Ford, Zahroh Shaluhiyah, 2006. Influences on Youth Sexual Behaviour in Central Java: Implication for Sexual and Reproductive Health Policy and Services. Makara, Kesehatan, Vol. 10/1: Pp.: 29-40. 7. Aryanty, R, Forthcoming. Abortion Hospitalization in Yogyakarta: Rates and Characteristics of Abortion Morbidities. Forthcoming, Australian National University, Canberra. 8. Bennett L. 2005. Women, Islam and modernity: Single women, sexuality and reproductive health in contemporary Indonesia. Routledge Curzon, Taylor & Francis Group, London and New York. 9. Bennett, LR. 2005. Patterns of resistance and transgression in Eastern Indonesia: Single women practices of clandestine courtship and cohabitation. Culture Health and Sexuality, Vol. 7/2: pp. 101-112 10. Bennett, LR., 2007. Zina and the enigma of sex education for Indonesian Muslim youth. Sex Education, Vol. 7/4: pp. 371. 11. Blackburn, S. (editor), 2000. Love, Sex and Power: Women in Southeast Asia, Monash Asia Institute, Clayton. 12. Boellstorff, Tom. 2003. Dubbing Culture: Indonesian Gay and Lesbi Subjectivities and Ethnography in an Already Globalized World. American Ethnologist 30(2):225242. 13. Boellstorff, Tom. 2004a. Playing Back the Nation: Waria, Indonesian Transvestites. Cultural Anthropology, 19(2):159195. 14. Boellstorff, Tom. 2004b. Sexual Citizenship in Gay Indonesia. Journal of Asian Studies, 63(2):367402. 15. Boellstorff, Tom. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton: Princeton, University Press.

27

16. Boshier, R. 1989. When it comes to sex: the process is the product.

Human sexuality: research perspectives in a world facing AIDS, Ottawa, Ontario, Canada, 1989, pp. 13-38. 17. Central Bureau of Statistics, National Family Planning Coordinating Board, Ministry of Health Republic of Indonesia and ORC Macro 2004. Indonesia Young Adult Reproductive Health Survey 2003, Jakarta. 18. Central Bureau of Statistics, National Family Planning Coordinating Board, Ministry of Health Republic of Indonesia and ORC Macro 2008. Indonesia Young Adult Reproductive Health Survey 2007, Jakarta. 19. Diarsvitri, W., Utomo, I, Neeman, T and Oktavian, A. Forthcoming. Sexuality among Senior High School students in Papua and West Papua Provinces: the implication on HIV/AIDS prevention. 20. DeLamater, J., and Patricia MacCorquodale. 1975. The effects of interview schedule variations on reported sexual behaviour. Sociological method and research 4. 21. Diarsvitri, W., Utomo, I. and Neeman, T. Forthcoming. Knowledge of sexuality and sexual behaviors among senior high school students in Papua and West Papua Provinces, Indonesia: a gender perspective. 22. Harding, C. 2006. 'Adolescent Sexual and Reproductive Health in Indonesia: Investing in the Future?,' Honours thesis, Asian Studies, School of Social and Cultural Studies, The University of Western Australia, 2006. Susan Blackburn (editor). 23. Herold, E., S. 1989. Report on research on sexual behaviour workshop: 31 May to 3 June 1989, Ottawa. Research on sexual behaviour workshop, Ottawa. 24. Hirschman, C. and R. Rindfuss (1982). The sequence and timing of family formation in Asia. American Sociological Review, 47(5):660-680.

28

Anda mungkin juga menyukai