Anda di halaman 1dari 7

1

TEKNOLOGI MARKA MOLEKULER TANAMAN

Oleh: GATI WINDIASTIKA, SP. MP (Calon Pengawas Benih Tanaman) Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya

Ilmu pengetahuan telah berkembang sangat pesat. Pada awal tahun 1980-an, ditemukan teknologi molekuler yang

berbasis pada DNA. Marka molekuler merupakan alat yang sangat baik bagi pemulia dan ahli genetik untuk Marka

menganalisis

genom tanaman.

molekuler dapat diartikan pula sebagai upaya untuk membedakan karakteristik tanaman pada tingkat gen. Penggunaan marka molekuler utamanya untuk memonitor variasi susunan DNA di dalam dan pada sejumlah spesies serta merekayasa sumber baru variasi genetik dengan mengintroduksi karakter-karakter yang baik. Identifikasi galur-galur dengan bantuan marka molekuler juga sangat bermanfaat dalam analisis sidikjari (fingerprinting), karena dapat memberikan informasi untuk perencanaan program pemuliaan, terutama dalam

pembentukan segregasi baru, varietas hibrida dan sintetik unggul baru serta dalam menentukan tetua yang digunakan untuk memilih pasangan persilangan baru. Teknologi pembeda pada tingkat genetika ini menjadi penting terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual. Para pemulia dapat melindungi varietas temuannya tidak hanya teridentifikasi secara anatomi namun juga secara genetika. Pemilihan marka molekuler yang akan digunakan dalam analisis genetik perlu mempertimbangkan tujuan yang diinginkan, sumber dana yang dimiliki, fasilitas yang tersedia serta kelebihan dan kekurangan masing-masing tipe marka. Langkah awal pelaksanaan marka molekuler adalah mengambil bagian tanaman, biasanya berasal dari daun muda. Kemudian diisolasi DNA-

nya dan dicari bagian yang bertanggung jawab terhadap karakter unggul pada tanaman. Biasanya DNA yang diisolasi kemudian akan dihubungkan dengan bank data genetika, untuk mengidentifikasi gen dan menduga karakter yang diekspresikan. Melalui marka molekuler maka kepemilikan varietas akan diperkuat dengan identitas tanamannya secara spesifik dalam bentuk gambar atau karakter gen. Dan informasi tersebut menjadi data pendukung deskripsi fisik yang diperoleh dari hasil observasi langsung di lapangan. Oleh karena itu marka molekuler menjadi penting karena karakter tanaman pada dasarnya hasil interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan. Sehingga tanaman yang pada dasarnya masih satu jenis menjadi dapat berbeda secara fisik karena perbedaan perlakukan atau lingkungan. Oleh sebab itu salah satu cara mengindentifikasi persamaan atau perbedaan jenis dibalik keragaman karateristik fisik adalah melihat variasi pada tingkat gen. Dan hal ini tepat untuk mencegah double claim terhadap kepemilikan sebuah varietas tanaman. Maka para produsen benih perlu

mempertimbangkan marka molekuler sebagai penanda dari bahan tanaman yang diklaim. Setidaknya ini bermanfaat untuk melindungi varietas yang dimiliki serta mencegah timbulnya masalah terkait hak kepemilikan sebuah temuan varietas, agar bahan tanam yang diklaim benar-benar tidak pernah dihasilkan sebelumnya. Jenis marka molekuler pada tanaman ada dua yaitu penanda yang berdasarkan teknik PCR dan yang tidak berdasarkan teknik PCR. Penanda molekuler yang berdasarkan teknik PCR antara lain RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length

Polymorphism) dan SSR (Simple Sequence Repeats). Sedangkan Penanda molekuler yang tidak berdasarkan teknik PCR hanya ada satu jenis yaitu RFLP (Restriction Fragment Lenght Polymorphisme (Azrai, 2005; Chawla, 2004). Setiap penanda molekuler memiliki teknik yang berbeda-beda baik dalam hal jumlah DNA yang dibutuhkan, dana, waktu, prosedur pelaksanaan, tingkatan polimorfisme dan pengujian secara statistik (Garcia et al., 2004). Berikut ini adalah beberapa jenis marka molekuler yang sering dipakai dalam berbagai analisis genetik:

1. PCR (Polymerase Chain Reaction) Reaksi berantai polimerase atau dikenal sebagai PCR adalah suatu proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi suatu sekuen nukleotida tertentu secara invitro. Teknik PCR biasanya memiliki sensivitas yang sangat tinggi, sehingga kontaminasi sampel DNA dapat mempengaruhi hasil analisis. Ada 5 (lima) komponen utama PCR yaitu oligonukleotida primer, buffer amplifikasi, deoxyribonucleoside triphosphates (dNTP), sekuen target

(template DNA) dan Taq DNA polimerase. Dalam analisis keragaman, hal penting yang perlu diperhatikan adalah pemilihan primer yang dapat menampilkan polimorfisme pita-pita DNA diantara individu yang diuji serta kualitas pita DNA untuk memudahkan dalam interpretasi data (Fatchiyah, 2008). Keunggulan metode PCR dapat meningkatkan jumlah urutan basa nukleotida ribuan bahkan jutaan kali dari jumlah semula. Setiap urutan basa nukleotida yang diamplifikasi akan menjadi dua kali jumlahnya. Pada setiap n siklus PCR akan diperoleh 2n kali banyaknya DNA target. Kunci utama pengembangan PCR adalah menemukan bagaimana cara amplifikasi hanya pada urutan DNA target dan meminimalkan amplifikasi urutan non-target (Fatchiyah, 2008). Pada umumnya PCR dilakukan dengan mengulangi siklus reaksi pelipatgandaan sebanyak 20-30 siklus. Akan tetapi, banyaknya siklus yang diperlukan terutama tergantung pada konsentrasi awal molekul DNA target yang akan dilipatgandakan. Siklus yang terlalu banyak justru akan meningkatkan konsentrasi produk yang tidak spesifik. Sedangkan siklus yang terlalu sedikit akan mengurangi kuantitas produk yang diharapkan.

2. Penanda Molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) RAPD atau teknologi polimorpisme amplifikasi fragmen DNA dalam pelaksanaannya membutuhkan bantuan PCR adalah sebuah metode in vitro yang efektif untuk memperbanyak sekuen DNA spesifik, sehingga sering dinamakan metode analisis RAPD-PCR. Teknik PCR ini memanfaatkan dua sifat utama DNA, yaitu komplementasi basa-basanya (A=T; G=C) dan anti paralelisme dari kedua rantai DNA-nya. Amplifikasi DNA dengan teknik ini secara teknis dapat memberikan keuntungan dibandingkan metode-metode lainnya. Untuk mendapatkan karakterisasi sampel, metode ini dapat dikatakan sederhana, cepat dan akurat.

Marka RAPD dapat dilakukan dengan mengamplifikasi DNA secara random primer. Adanya polimorphic DNA dapat dideteksi di bawah cahaya ultraviolet setelah sebelumnya gel elektroforesis diberi Etidhium Bromida (EtBr) sehingga dapat menimbulkan pendaran. Semakin banyak jenis primer yang digunakan akan menambah besar kemampuan mendeteksi perubahan yang kecil dan pasangan basa DNA genom (Ishak, 1998). Beberapa kelebihan dari teknik analisa RAPD ialah pelaksanaannya lebih cepat, hanya membutuhkan sampel DNA dalam jumlah sedikit (0,5-50 nm) dan tidak membutuhkan radioisotop (Demeke dan Adam, 1994). Selain itu menurut Yu dan Pauls (1994), RAPD tidak membutuhkan informasi sekuen DNA lebih dulu dan prosedurnya lebih sederhana. Sedangkan kelemahan dari teknik RAPD adalah tidak dapat

membedakan individu homozigot dan heterozigot karena bersifat sebagai penanda dominan serta sulit mendeteksi perubahan yang kecil pada struktur DNA (gen), kecuali jika menggunakan lebih dari 500 jenis primer (Schmidt et al., 1993 dalam Ishak, 1998). Selain itu RAPD menghasilkan data yang tidak spesifik dan tidak kodomain, namun karena kemudahan dan kecepatan dalam menganalisa data, maka teknik ini banyak digunakan (Bustaman dan Moeljopawiro, 1998).

3. Penanda Molekuler AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) Pada dasarnya AFLP merupakan gabungan dari teknik RLFP dan teknik PCR, yang dikembangkan pertama kali oleh Vost et al. pada tahun 1995. Teknik ini sedikit rumit karena melibatkan enzim restriksi dan amplifikasi. Prosedur AFLP lebih banyak membutuhkan tenaga dan lebih mahal daripada analisis RAPD, namun jumlah lokus yang diperoleh dari setiap reaksi lebih banyak, hal ini disebabkan karena penggunaan primer PCR yang lebih panjang sehingga memungkinkan dilakukannya reaksi pada suhu yang tinggi. Marka AFLP mirip dengan RAPD, tetapi primernya spesifik dan jumlah pitanya lebih banyak. Marka AFLP dikategorikan 18-25 nukleotida.

Reproduksibilitas dan kegunaan sebagai marka kodominan, walaupun pada kenyataannya seringkali diperlakukan sebagai marka dominan. Hal ini

diakibatkan sulitnya membedakan intensitas pita antara dominan homozigot dari heterozigot.

4. Penanda Molekuler SSR (Simple Sequence Repeats) SSR yang juga sering disebut dengan mikrosatelit merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotip untuk karakter yang diinginkan. SSR tergolong sebagai penanda molekuler yang sangat efektif, yakni sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang secara tandem dengan 2 sampai 5 unit basa nukleotida (dikenal sebagai motif) yang tersebar dan meliputi seluruh genom. Motif ini misalnya urutan ATT (tri nukleotida) yang kemudian diulang 9-30 kali (ATTATTATTATTATTATTATTATTATTATT). Marka ini sangat berguna sebagai marka genetik karena bersifat kodominan sehingga tingkat heterozigositasnya tinggi yang berarti memiliki daya pembeda antar individu sangat tinggi serta dapat diketahui lokasinya pada DNA sehingga dapat mendeteksi keragaman alel pada level yang tinggi, mudah dan ekonomis dalam pengaplikasiannya karena menggunakan proses PCR (Prasetiyono dan Tasliah, 2004). SSR memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi stabil secara somatik dan diwariskan secara Mendelian oleh karena potensi SSR dalam melakukan kesalahan replikasi yang mengakibatkan bertambahnya pengulangan basa nukleotida. Penambahan pengulangan ini terjadi sebanyak 10 3 per lokus per gamet (satu pada setiap 1000 gamet). Oleh karena itu, SSR dapat dikatakan relatif stabil sehingga dapat dijadikan marka DNA dan akan konsisten menampilkan suatu fragmen yang sama apabila menggunakan primer yang sama (Hartwell et al., 2004). Penanda SSR bersifat multialellik dan mudah diulangi, sehingga baik digunakan untuk mempelajari keragaman genetik diantara genotip-genotip yang berbeda. Selain itu SSR juga bermanfaat dalam mendeteksi tingkat heterosigositas dari genotip-genotip yang akan dijadikan sebagai calon tetua hibrida. Sedangkan kelemahan teknik ini adalah marka SSR tidak tersedia pada semua spesies tanaman, sehingga untuk merancang primer yang baru dibutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal (Powell et al., 1996 dalam Azrai, 2005).

5. Penanda Molekuler RFLP (Restriction Fragment Lenght Polymorphisme) Penanda RFLP ini telah digunakan sejak tahun 1980 yang mempunyai kemampuan menandai suatu segmen dari genom yang mengandung sifat ekonomi penting. Metode ini dapat digunakan untuk menganalisa secara molekuler keragaman genetik diantara individu dalam suatu populasi. Selain itu teknik ini mempunyai spesifitas sampai tingkat inter spesies dimana adanya mutasi pada daerah non coding DNA menyebabkan perbedaan tempat pemotongan oleh enzim tersebut dapat dipisahkan melalui

elektroforesis gel agarosa. Perbedaan pola potongan DNA atau polimorfisme tersebut akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Metode analisa ini juga dapat digunakan untuk menentukan kesamaan dan perbedaan kedua gen (Primarck et al., 1998). Kelebihan lain dari penggunaan metode ini adalah kemampuan dalam menandai adanya polymorphisme pada sites sequences nucleotid yang ditunjukkan melalui pola pemotongan restriksi enzim endonuklease. Polymorphisme akan menghasilkan perbedaan ukuran fragmen yang terpotong, sehingga setiap siklus restriksi dapat dipetakan (Adam et al., 1992).

DAFTAR PUSTAKA

Adams, R.L.P., J.T. Knowle dan D.P. Leader. 1992. The Biochemistry of The Nucleid Acids (11th ed). Chapman dan Hall Publishing. London. P.117-120. Azrai, M. 2005. Sinergi Teknologi Marka Molekuler Dalam Pemuliaan Tanaman Jagung. Jurnal Litbang Pertanian 25(3):81-89. Bustaman, M dan S. Moeljopawiro. 1998. Pemanfaatan Teknologi Sidik Jari DNA di Bidang Pertanian. Zuriat. 9 (2):77-90. Chawla, H.S. 2004. Introduction to Plant Biotechnology. Second Edition. Science Publisher, Inc. India. Demeke, T and R.P. Adams. 1994. PCR Technology Current Innovation: The Use PCR RAPD Analysis in Plant Taxonomy and Evolution. CRC Press. Inc. Fatchiyah. 2008. Amplifikasi DNA: Fungsi Dasar dan Aplikasinya. Disampaikan pada Kursus Singkat Analisis Variabilitas Genetik Tanaman Menggunakan PCR (RAPD) Tanggal 19-20 Agustus 2008. Laboratorium Sentral Ilmu Hayati Universitas Brawijaya. Malang. pp.9. Garcia, A.A.F., L. Luciana, Benchimol, A.M.M. Barbosa, I.O. Geraldi, C.L. Souza Jr. And A.P. de Souza. 2004. Comparison of RAPD, RFLP,

AFLP and SSR Markers for Diversity Studies in Tropical Maize Inbred Lines, Genetics and Molecular Biology 27(4):579-588. Hartwell, L.H., L. Hood, M.L. Goldberg, A.E. Reynolds, L.M. Silver and R.C. Veres. 2004. Genetics: from Genes to Genoms Seconds Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York. Ishak. 1998. Identifikasi DNA Genom Mutan Padi Atomita-2 dan Tetuanya Menggunakan RAPD Markers. Zuriat. 9 (2):71-83. Prasetiyono, J. dan Tasliah. 2004. Marka Mikrosatelit: Marka Molekuler yang Menjanjikan. Buletin AgroBio: Jurnal Tinjauan Ilmiah Riset Biologi dan Bioteknologi Pertanian 6(2):45-51. Primarck, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Yu and K.P. Pauls. 1994. PCR Technology Current Innovation: Optimation of DNA-Extraction and Procedures For RAPD Analysis in Plants. CRC. Press Inc.

Anda mungkin juga menyukai