Anda di halaman 1dari 6

Pressure Sores Definisi: istilah pressure sore, ulkus dekubitus, dan bedsore merupakan sinonim untuk ulserasi paqda

jaringan yang sering terdapat pada pasien yang memiliki keterbatasan gerak. Kata dekubitus berasal dari kata latin decumbere yang berarti berbaring. Walaupun istilah ini cocok pada pasien yang harus terus berbaring di tempat tidur tapi tidak dapat mendeskripsikan ulkus pada pasien yang bergerak aktif seperti ulkus ischial pada pasien pengguna kursi roda. Oleh karena itu istilah pressure sores lebih tepat digunakan untuk menjabarkan semua tipe ulserasi pada pasien. Epidemiologi: insiden pressure sore bervariasi tergantung dari populasi yang dievaluasi. Penelitian yang telah dilakukan dalam 25 tahun terakhir ini menemukan kasus pressure sores pada berbagai macam kondisi secara umum terjadi sebesar 9% pada pasien yang rawat inap di rumah sakit. Dari data keseluruhan 11% diantaranya merupakan kondisi akut. Dari berbagai jenis penelitian didapatkan pressure sores disertai oleh masalah kesehatan lain seperti: penyakit kardiovaskuler (41%), penyakit neurologi (27%), dan kasus ortopedi (15%). Pada kasus di bidang kesehatan didapatkan faktor umur mempengaruhi terjadinya pressure sores. Data melaporkan bahwa 65% kasus pressure sores terjadi pada usia diatas 70 tahun (65%). Etiologi: penekanan pada jaringan adalah merupakan satu-satunya penyebab utama kejadian pressure sore. Penekanan pada jaringan lunak menyebabkan iskemi dan apabila tidak segera ditangani akan cepat berkembang menjadi nekrosis dan kemudian ulserasi. Proses ulserasi dapat dipercepat dengan adanya infeksi, penyakit diabetes, dan pada kasus-kasus neurologi. Patofisiologi: Pressure dari semua kasus ulkus akibat penekanan, 96 % akan terjadi pada level di bawah umbilicus. Untuk sebagian besar pasien, luka berkembang pada daerah atau area duduk. 75% dari semua pressure berlokasi disekitar area pelvic girdle. Penelitian yang dilakukan Lendis tahun 1930 menggunakan sistem mikroinjeksi, dapat menentukan bahwa tekanan pada pembuluh darah kapiler adalah 12 mmHg untuk pembuluh vena kapiler dan 32 mmHg untuk pembuluh end arteri. Jika tekanan dari luar mengubah tekanan pembuluh darah kapiler maka akan terjadi iskemi. Akan tetapi efek dari penekanan ini tidak

terjadi secara instan. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya tekanan dan waktu yang dibutuhkan hingga terjadinya ulserasi. Penelitian yang dilakukan oleh Kosiak mendemonstrasikan bahwa tekanan 70 mmHg pada pembuluh darah kapiler yang terjadi selama 2 jam cukup untuk

menyebabkan kelainan patologik pada anjing. Penelitian serupa yang dilakukan Daniel juga mendemonstrasikan iskemia yang terjadi pada babi yang mengalami paraplegi. Daniel menunjukkan bahwa tekanan 500 mmHg selama 2 jam atau 100 mmHg selama 10 jam adalah cukup untuk menyebabkan terjadinya nekrosis pada otot. Penelitian ini menunjukkan bahwa otot lebih rentan untuk terjadi iskemia dibandingkan dengan kulit. Husain melakukan penelitian mengenai efek besarnya tekanan dan waktu paparan tekan yang mana diantara keduanya ini yang lebih mendominasi untuk terjadinya ulserasi. Husain percaya bahwa tekanan rendah pada waktu yang lama menyebabkan lebih banyak kerusakan jaringan dibandingkan tekanan yang besar tapi dalam waktu yang singkat. Infeksi pada kasus-kasus klinik, kulit terlibat hampir selalau pada pressure sores. Penelitian menunjukkan bahwa kulit yang mengalami kompresi lebih rentan terkena invasi bakteri. Kulit yang mengalami pressure sores dengan cepat mengalami penggantian sel, aktifitas kolagenolitik diikuti masuknya bakteri merupakan kontribusi dalam mempercepat proses nekrosis pada kulit. Dari hasil penelitian, dilakukan insisi pada area kulit yang mengalami pressure sore. Ditemukan konsentrasi bakteri lebih banyak 100 per lapang pandang dibandingkan kulit yang tidak mengalami pressure sores. Edema kulit yang mengalami pressure sores menjadi edem dapat oleh beberapa faktor. Lendis mendemonstrasikan, tekanan pembuluh darah kapiler meningkat akibat pressure sore juga menyebabkan tekanan end arteri meningkat yang mengakibatkan plasma ektravasasi ke jaringan dan terjadi edem. Edema pada pressure sore juga dapat merupakan akibat dari proses inflamasi yang melepaskan berbagai macam mediator sebagai respon terhadap trauma kompresi. Proses homeostasis antara PGF2alfa dan PGE2 terganggu yang menyebabkan peningkatan akumulasi cairan di interstisial. Peningkatan cairan interstisial m,enyebabkan sebum di permukaan kulit delusi. Sebum merupakan pertahanan penting terhadap infeksi bakteri streptokokal dan staphylokokus.

Macam-macam Pressure sores 1. Ischial Pressure sores Ischial pressure sore terjadi pada pasien dengan posisi duduk. Pasien dengan kondisi ini sering terjadi rekurensi. Disain flap harus dapat menutupi ulkus, flap sekunder untuk rekuren pressure sores. Banyak flap dapat digunakan untuk penanganan kasus ini. Contoh: flap muskulokutaneus inferior gluteal , bisep femoris, semimembranous, dan semitendinous muskulokutaneus flap. 2. Sacral Ulcer Luka tekan pada sacral muncul pada pasien dalam posisi terlentang. Ulkus di daerah ini dapat di obati dengan berbagai prosedur mulai dari penutupan primer sederhana sampai dengan free flaps. Seperti ulkus di wilayah lain, penutupan biasanya memberikan hasil jangka pendek dengan tingkat kekambuhan yang signifikan. Ulkus superficial dapat diobati dengan skin grafts, tetapi karena ketidakstabilan dan tekanan kostan di daerah ini , 70% akan terulang kembali. Jenis flaps yang paling sering di kerjakan untuk menutup defek pada sacral adalah musculocutaneous atau fasciocutaneous flaps. Salah satu flap fasciocutaneous pertama adalah rotational flap yang dikemukakan oleh Conway dan Griffith. Dalam penelitian serial mereka terhadap 34 pasien,hanya 16% pasien mengalami kekambuhan . flap musculocutaneous yang paling sering dikerjakan adalah menggunakan otot gluteus maximus berdasarkan ukuran ulkus, operasi sebelumnya dan pergerakan pasien, terdapat berbagai pilihan. Flat gluteal dapat menggunakan bagian superior atau inferior atau seluruh otot atau otot dan kulit, dan dapat dirotasikan, ditarik ke depan, atau di balik. Flap lain termasuk flap lumbosakral transversal dan vertical, berdasarkan pembuluh darah perforate pada area lumbar. Meskipun banyak teknik flap bisa dikerjakan untuk pengobatan ulkus sacral, masalah mendasar yang dihadapi pasien sumsum tulang belakang adalah kurangnya sensasi protektif . dalam upaya untuk mengembalikan sensasi protektif, perluasan jaringan kulit yang dipersarafi kea rah cranial di bagian punggung, telah dikemukakan berbagai teknik seperti penempatan tombol sensasi kecil yang berasal dari interkostal. Walapun konsep ini menarik, komplikasi yang timbul dapat membatasi kegunaan teknik ini.

3. Trochanteric Pressure Ulcer Trochanteric ulcers berkembang pada pasien yang berbaring dengan posisi lateral dekubitus. Masalah lebih lebih menonjol pada pasien yang memiliki kontraktur pada hip sehingga menyebabkan fleksi yang signifikan. Flap yang paling sering digunakan untuk penangan kasus ini adalah tensor fascia latae muskulokutaneus flap. Flap berdasarkan pada pembuluh darah perforating dari otot tensor fascia latae. Pivot poin dari flap adalah 8 cm dibawah anterior superior iliac spine. Tekhnik ini juga dapat berguna untuk menangani ulkus ischial dan sacral. 4. Kondisi lainnya Pada pasien yang memiliki multiple pressure sores, multiple prosedur harus dilakukan. Pada kasus yang ekstrem dapat dilakukan total thigh flap, amputasi, hemipelvektomi, dan hemikorporektomi. Penanganan Pre-Operatif Pengobatan pressure sores merupakan tantangan di bidang bedah plastik untuk saat ini. Sangat penting melakukan konsultasi di beberapa bidang seperti interna, kardiologi, psikiatri, dan gizi dalam memepersiapkan pasien sebelum operasi. Apabila terdapat infeksi harus ditangani terlebih dahulu dengan pemberian antibiotic untuk bakteri gram-positif, gram negatife, dan organism anaerobic. Organism yang paling sering ditemukan dalam kultur umumnya seperti staphylococcus, streptococcus, corynebacterium, Ecoli, dan Pseudomonas. Pengurangan tekanan juga penting dilakukan untuk mengurangi perkembangan dari pressure sore itu sendiri. Tindakan yang dapat dilakukan dengan pemberian matras yang didisain khusus untuk mengurang beban tubuh pasien agar tidak terfokus pada beberapa titi tetapi didistribusikan secara merata. Atau dapat juga dengan perubahan posisi selama 5 menit setiap 2 jam untuk menghilangkan efek pressure sores. Hal ini telah didemonstasikan oleh Dinsdale. Spastisitik umum terjadi pada pasien dengan jejas pada spinal cordnya. Medikasi dapat digunakan untuk mengurangi spastisitas seperti: valium 10 mg diberikan setiap 8 jam atau

dikombinasikan dengan baclofen. Baclofen biasanya dimulai dari dosis 10 mg setiap 6 jam dan ditingkatkan menjadi 25 mg setiap 6 jam. Dapat juga digunakan dantrolen 25 mg setiap 12 jam. Tetapi pemberian medikasi ini harus memperhatikan peningkatan serum transaminase. Contraktur dapat terjadi dan umumnya pada trochanteric, lutut, dan pergelangan kaki. Physical terapi awal diperlukan untuk mencegah terjadinya kontraktur. Terapi Non-Pembedahan Tidak semua pasien yang mengalami pressure sore harus melakukan terapi pembedahan. Hal ini dikarenakan ulkus yang terbentuk dapat menutup tanpa perlu tindakan pembedahan. Dari penelitian yang dilakukan Phillips dan Robson, didemonstrasikan penyembuhan ulkus dengan pemberian rekombinan human platelet growth factor BB dan basic fibroblast growth factor. Tetapi pengobatan ini terbatas dikarenakan biaya yang mahal dan akses untuk pengobatan tersebut masih terbatas. Terapi Pembedahan Terapi pembedahan pada pressure sore mengikuti tiga prinsip. Pertama, eksisional debridement dari ulkus, bursa, dan heterotrofik kalsifikasi. Kedua, parsial atau complit osteotomi untuk mengurangi penonjolan dari tulang. Terakhir penutupan luka. Terapi pasca-Pembedahan Terapi pasca-pembedahan merupakan kelanjutan dari terapi pre-Operatif. Gizi, medikasi (spastic, diabetes, hipertensi), psikologis, dan rehabilitasi harus berkelanjutan dan diperlukan selama periode akut penyembuhan pasca-operasi. Tidak diperbolehkan ada penekanan pada area yang dilakukan operasi. Hal ini berlangsung selama 2 sampai 3 minggu. Bila sudah terjadi penyembuhan luka diperkenankan mendapatkan tekanan pada area yang diporasi tetapiu dilakukan secara bertahap. Komplikasi Komplikasi yang paling sering terjadi adalah rekurensi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh tingkah laku, kontraktur, contaminasi bakteri. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah infeksi, pebrdarahan, pulmonary dan cardiac komplikasi.

Anda mungkin juga menyukai