Anda di halaman 1dari 97

PRAKATA

Edisi kali ini Volume 11 No. 2 Agustus 2006, kami adakan perubahan jumlah penulis yang selama ini penulisnya 7 (tujuh) sampai dengan 8 (delapan) orang mulai saat ini dan selanjutnya menjadi 10 (sepuluh) orang penulis. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah halaman pada masing-masing nomor setiap terbit nantinya. Jurnal Equality berusaha tetap terbit meskipun banyak kendala terutama dari segi bobot ilmiah tulisan yang dikirimkan ke redaksi oleh para penulis. Untuk itu diharapkan kepada calon-calon penulis berikutnya agar dapat memilih topik-topik yang relevan dan sesuai dengan perkembangan hukum, semoga kiranya tetap terbit dan mendapatkan nilai bobot yang lebih baik. Dewan Penyunting

Jurnal Equality telah terakreditasi sebagai jurnal ilmiah nasional Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi No.39/Dikti/Kep/2004 tanggal 10 Nopember 2004 tentang Hasil Akreditasi Jurnal Ilmiah Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Tahun 2003/2004

JURNAL

ISSN: 1410 5349

EQUALITY
Volume 11 No. 2 Agustus 2006
Halaman
Perlindungan HAKI terhadap Karya-Karya Tradisional Masyarakat Adat Rosnidar Sembiring Fungsi dan Kedudukan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Tambah Sembiring Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya Penegakan Hukum M. Husni Aspek Hukum terhadap Abortus Provocatus dalam Perundang-undangan di Indonesia Lukman Hakim Nainggolan Analisis Perubahan Undang-Undang dalam Sistem Hukum Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Liza Erwina Pelanggaran HAM dan Peranan POLRI dalam Penegakan Hukum di Indonesia Syamsiar Julia Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Fenomena Global: Suatu Kajian Aspek Hukum Hasim Purba Undang-Undang Lalu-Lintas sebagai Regulasi Tertib Lantas Kota Medan Subanindyo Hadiluwih Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara dan Kaitannya dengan Hukum dan Kependudukan Surianingsih Korupsi sebagai Tindakan Kriminal yang Harus Diberantas: Karakter dan Praktek Hukum di Indonesia Otto Cornelis Kaligis Penulis Nomor Ini 67 - 75

76 - 85 86 - 93

94 - 102

103- 114

115 - 122

123 - 130

131 - 142

143- 150

151 - 160 161

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006

PERLINDUNGAN HAKI TERHADAP KARYA-KARYA TRADISIONAL MASYARAKAT ADAT


Rosnidar Sembiring
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara Abstract: An intellectual property right is an exclusive right that is given by the law for someone or a party on their creations. The impact of intellectual property rights on the rights of local communities, consumers and the environmental has become a major source of controversy. This is especially so after the TRIPS Agreement in the World Trade Organization facilitated the worldwide patenting of life forms and biological materials, which has given rise to public concerns over the environment, food security, farmers livelihoods and the rights of indigenous peoples over their knowledge and resources. Kata Kunci: Hak Kekayaan Intelektual, Masyarakat Asli, Pengetahuan Tradisional

Masyarakat negara berkembang di dunia, merupakan masyarakat transformasi dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri. Ketika globalisasi dan pembangunan dan budaya barat kemudian menjadi paradigma yang dipakai dalam pembangunan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia, sistem hukum ekonomi negara bersangkutan tentunya mengimbas baik langsung maupun tidak langsung kepada kehidupan masyarakat. Masyarakat yang masih belum dapat menikmati kue pembangunan ekonomi, terutama yang berada di pedesaan atau hidup di luar urban area, tentunya menghadapi konsekuensi-konsekuensi akibat penerapan hukum HAKI. Karya-karya seni tradisional, teknik-teknik tradisional yang telah lama hidup dalam masyarakat tradisional, dianggap sebagai suatu aset yang bernilai ekonomis. Terdapat beberapa kasus HAKI yang terkenal di mana traditional knowledge merupakan obyek atau sumber perselisihan hukum. Sebagai contoh: masalah pembatalan paten Shisedo atas ramuan tradisional Indonesia, Kasus paten baswati rice antara India dan perusahaan multinasional (MNC) Amerika Serikat, paten tempe di A.S., dll (Ranggalawe, 2004). Hal ini sering dijadikan peluru oleh negara berkembang dalam mengkritik permintaan negara maju dalam penerapan sistem HAKI yang lebih ketat (komprehensif dalam melindungi kepentingan negara maju, seperti: Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, perlindungan merek terkenal, pirati lunak komputer, dll). Salah satu potensi mereka yang bisa digarap untuk perkembangan ekonomi adalah keterampilan dan pemahaman (traditional knowledges) mereka akan seni, termasuk tari-tarian, ukir-ukiran, tenunan, pengetahuan pemuliaan tanaman dan pengetahuan tentang tanaman obatobat. Selain itu juga pemahaman masyarakat adat akan khasiat tumbuhan obat-obatan. Jika pengetahuan mereka akan tumbuhan obat-obatan dikembangkan melalui perlindungan hak eksklusif, tentunya akan memberi semangat kepada mereka untuk tetap mempertahankan. Bahkan meningkatkan pengetahuan itu. Untuk itu perlindungan terhadap pengetahuan dan karya mereka perlu dipikirkan, salah satu caranya adalah dengan memberikan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atas pengetahuan dan buah karya mereka. Di Indonesia sendiri, belum ada
67

Rosnidar Sembiring: Perlindungan HAKI terhadap Karya-Karya

pihak yang khusus mendalami aspek hukum HAKI bagi masyarakat adat. UU tentang HAKI sama sekali tidak mengatur hal di atas. Dari beberapa survey awal, HAKI lebih berkembang untuk melindungi Hak Cipta di bidang musik (dengan adanya Yayasan Karya Cipta Indonesia = YKCI yang memperjuangkan hak cipta pemusik), sementara hak cipta bagi penulis, perupa maupun pelukis masih jauh dari yang diharapkan (Heroepoetri, 1998). Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang menjadi peserta Agreement Establishing the World Trade Organisation. Dengan demikian, Indonesia juga menjadi peserta Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights atau persetujuan TRIPs. Sebagai tindak lanjut dari keikutsertaan Indonesia tersebut, Indonesia telah memiliki sistem Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). HAKI meliputi hak cipta (UU No.19/2002), paten (UU No. 14/2001), dan merk (UU No. 15/2001). Sejak 20 Desember 2000, HaKI di Indonesia telah diperkaya dengan rahasia dagang (UU No.30/2000), desain industri (UU No. 31/ 2001), dan desain tata letak sirkuit terpadu (UU No. 32/2000). Selain mencakup hal tersebut di atas, HAKI juga meliputi konsep indikasi geografis, genetic resources, pengetahuan tradisional, serta masalah folklore. Permasalahan perlindungan HAKI bagi pengetahuan tradisional (traditional knowledges) merupakan hal yang pelik. Di satu sisi pemerintah negara berkembang menganggap bahwa pengetahuan tradisional (traditional knowledges) yang berada di dalam wilayahnya dilihat sebagai suatu economic asset/capital untuk menjawab tantangan kompetisi perdagangan internasional. Untuk lebih jelasnya masalah perlindungan HAKI karya tradisional ini maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah apakah pengetahuan tradisional (traditional knowledge) masyarakat adat, bagaimana perlindungan hukum karya tradisonal dan apakah hambatan-hambatan perlindungan HAKI masyarakat adat tersebut. MASYARAKAT ADAT Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena ke-samaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (geneologis) (Lazar, 2002). Di dalam masyarakat hukum adat sifat bermasyarakat dan berkelompok adalah merupakan ciri pokok yang tidak dapat diingkari, milik bersama masih memegang peranan yang sangat penting, sebagaimana disebutkan oleh Koesnoe yang dikutip oleh Chadidjah Dalimunthe bahwa: di dalam konsep adat tidak terdapat pandangan tentang individu yang pada asasnya merdeka. Di dalam adat individu itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakatnya. Dia ada dan berarti sebagai individu karena ada masyarakat. Bagi hukum adat masyarakatlah yang primer. Masyarakat adalah sebagai organisme di mana bagian-bagiannya adalah bagian-bagian yang hidup dalam kesatuan dengan lainnya (Dalimunthe, 1998). Istilah masyarakat hukum adat banyak digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian belum ada satu peraturan pun yang memberi penjelasan tentang apa makna sebenarnya dari masyarakat hukum adat. Istilah masyarakat hukum adat diambil dari kepustakaan Ilmu Hukum Adat, khususnya setelah penemuan van Vollenhoven tentang hak ulAyat (beschikkingsrecht) yang dikatakan hanya dimiliki oleh komunitas yang disebut sebagai masyarakat hukum adat. Pengertian masyarakat hukum adat menurut Ter Haar adalah kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan dan kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat (www.dephut.go.id). Adanya kemajemukan sistem budaya telah diakui sebagaimana tercermin dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Demikian juga, jika kita menyimak Pasal 18 UUD 1945; Pasal 5 UU Pokok Agraria (UU No. 5 Thn. 1960); dan Pasal 6 UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (UU No. 10 Thn. 1992). Pasal-pasal tersebut di atas memberikan dasar hukum (legal reason) pengakuan eksistensi Masyarakat Adat.
68

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 Bab VI, Pasal UUD 1945 lengkapnya berbunyi: "Pembagian daerah Indonesia atas daerah-daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa". Dalam penjelasan Bab VI UUD 1945 dinyatakan bahwa "Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbestrunde land-schappen dan Volksgemeen-schappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Kemudian dinyatakan pula: "Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut. Dari pernyataan di atas, dapat diartikan bahwa UUD 1945 mengandung pengakuan atas keberadaan 'kesatuan-kesatuan politik tradisi' yang bersumber dari sistem budaya berbagai kelompok masyarakat yang tercakup di dalam teritorial Negara Republik Indonesia. Di mana pengakuan ini tentunya tidak hanya terbatas pada aspek wujud lembaganya saja, tetapi juga aspek-aspek struktur organisasi, mekanisme kerja, peraturan-peraturannya, serta berbagai hak dan kewajiban yang terkandung di dalam sistem kelembagaan di atas. Selain itu, karena susunan asli itu dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa, maka perlakuan terhadapnya tentulah bersifat istimewa pula. artinya, kesatuan-kesatuan teritorial dan sistem kelembagaan yang mengaturnya itu tidaklah dapat diperlakukan sama dengan daerah-daerah kesatuan teritorial lain yang tidak mengandung susunan asli dimaksud. Dengan kata lain, secara tersirat, pengaturan itu mengandung maksud adanya otonomi atau kedaulatan dari susunan asli tersebut. Artinya, masyarakat dengan susunan asli itu memiliki wujud kelembagaan tatanan dan kewajiban yang khas, yang berbeda dengan wujud kelembagaan, tatanan hak dan kewajiban yang berada di luar kesatuan daerah yang dimaksud. Karenanya, sesuatu aturan yang datang dari luar 'susunan asli' itu tidaklah relevan diberlakukan di dalam tatanan 'susunan asli' tertentu. Kalaupun aturan-aturan baru tersebut ingin diberlakukan kedalam tatanan 'susunan asli' itu, pemberlakuan itu mestilah atas izin warga 'susunan asli' itu sendiri (WALHI, 1997). PENGETAHUAN TRADISIONAL (TRADITIONAL KNOWLEDGES) MASYARAKAT ADAT Isu yang menarik dan pada saat ini tengah berkembang dalam lingkup kajian hak kekayaan intelektual (HAKI) adalah perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat asli atau masyarakat tradisional. Salah satu dari hasil kekayaan intelektual masyarakat asli atau masyarakat tradisional adalah sistem pengetahuan tradisional (traditional knowledge). Traditional knowledge, menurut WIPO, definisinya adalah: Tradition based literary, artistic or scientific works, performances, inventions, scientific discoveries, designs, marks, names, and symbols, undisclosed information, and, all other tradition-based innovations and creations resulting from intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields (www.hukumonline.com). Penekanan terhadap kata tradition-based adalah dimaksudkan untuk merujuk kepada sebuah: knowledge systems, creations, innovations, and cultural expressions which have generally been transmitted from generation to generation, are generally regarded as pertaining to a particular people or its territory, have generally been developed in a non-systematic way, and are constantly evolving in response to a changing environment (Ranggalawe, 2004). Lebih jauh, WIPO juga memberikan terminologi yang lebih luas terhadap Traditional knowledge, yaitu: The categories of Traditional Knowledge include agricultural knowledge,
69

Rosnidar Sembiring: Perlindungan HAKI terhadap Karya-Karya

scientific knowledge, technical knowledge, ecological knowledge, medicinal knowledge, including related medicines and remedies, biodiversity-related knowledge, expressions of folklore in the form of music, dance, song, handicrafts, designs, stories, and artwork; element of language, such as names, geographical indications and symbols; and, movable cultural properties (Heroepoetri, 1998). Terdapat 4 (empat) kategori permasalahan yang diidentifikasi dalam pemberian perlindungan HAKI bagi traditional knowledge: 1) Terminological and conceptual issues; 2)Standard concerning the availability, scope, and use of intellectual property rights in traditional knowledge; 3) Certain criteria for the application of technical elements standards, including legal criteria for the definition of prior art and administrative and procedural isssues related to examination of patent application. 4) Enforcement of rights in traditional knowledge; (Heroepoetri, 1998). Keempat permasalahan di atas pada dasarnya timbul dari uniknya karakter dari traditional knowledge itu sendiri. Sebagaimana diketahui banyak dari berbagai pengetahuan tradisional baik itu berupa kesenian rakyat, maupun teknologi-teknologi tradisional tidak diketahui asal muasalnya (siapa yang menciptakan, dll) atau biasa disebut anonim. Suatu pengetahuan atau karya tradisional merupakan pengetahuan yang dituturkan secara turun temurun (intergenerasi), dan sebagian besar dengan cara yang tidak tertulis. Pengetahuan tradisional juga hidup dalam suatu tatanan masyarakat yang menganut faham komunalisme. Hal ini menyebabkan pengetahuan tradisional di tataran masyarakat asli/ tradisional bersifat inklusif. Semua pihak dapat memanfaatkan secara cuma-cuma. Salam satu isu utama lainnya adalah pencarian harta biologi (bio-prospecting) atau pembajakan bio (bio piracy). Banyak masyarakat tradisional selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad mengembangkan berbagai obat-obatan yang membantu merawat kesehatan manusia atau hewan, bahkan menyembuhkan penyakit berat. Masyarakat tradisional juga telah menemukan cara untuk mempercepat dan memperbanyak hasil pertumbuhan tanaman, maupun memberi tanaman ini kekebalan terhadap serangga. Banyak ara pengobatan ini telah dikembangkan dengan melakukan percobaan dengan tanaman dan sumber daya lain yang berada di wilayah masyarakat tradisional. Keanekaragaman hayati merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia yang di dalamnya terkandung berbagai jenis varietas tanaman, hewan, mikroorganisme, dan spesies lainnya. Salah satu kekayaan alam Indonesia yang seringkali dibudidayakan adalah tanaman. Pembudidayaan tanaman salah satunya dilakukan melalui proses yang disebut Bioteknologi. Bioteknologi adalah setiap penerapan teknologi yang menggunakan sistem-sistem hayati, makhluk hidup atau derivatifnya untuk membuat atau memodifikasi produk-produk atau proses-proses bagi penggunaan khusus (www.hukumonline.com, 2005). Bioteknologi sudah dikenal sejak zaman dahulu kala. Pada masa tersebut, manusia telah melakukan perkawinan silang terhadap beberapa jenis tumbuhan, menggunakan ragi untuk pembuatan roti, bir, anggur, dan cuka di negara-negara Eropa. Indonesia juga telah menggunakan proses bioteknologi, yaitu dalam pembuatan tempe, tape, dan kecap. Berkaitan dengan masalah HAKI, varietas tanaman merupakan salah satu hal yang menjadi pembahasan. Masyarakat lokal seringkali terlebih dahulu menemukan jenis dan fungsi dari suatu varietas tanaman, misalnya digunakan untuk obat-obatan, produk makanan, wangiwangian, jamu tradisional, dan kosmetik. Pemakaian bahan-bahan alami tersebut mendorong peningkatan penelitian dan efisiensi dalam mencari tanaman yang berguna untuk industri, misalnya industri farmasi. Sumber daya genetika yang secara alami ada ini, harus juga mendapatkan perlindungan yang memadai, mengingat keunikan dan keunggulan komparatifnya. Terhadap setiap penemuan varietas baru tanaman, perlu diberikan suatu perlindungan, yang tidak diberikan dalam bentuk paten karena penemuan berbentuk sesuatu yang hidup atau bernyawa seharusnya diperlakukan terpisah dengan penemuan yang tidak
70

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 hidup. Perlindungan yang diberikan adalah perlindungan yang disebut Hak Pemuliaan Tanaman (Plant Breeders Rights). Hak Pemuliaan Tanaman adalah sistem sui generis dari HaKI untuk varietas tanaman. PERLINDUNGAN HAKI KARYA-KARYA TRADISIONAL Permasalahan traditional knowledge merupakan aspek yang sangat penting diperjuangkan oleh negara-negara yang memiliki potensi di bidang ini untuk mendapatkan perlindungan hukum. Namun demikian, secara teoretis traditional knowledge sendiri sebenarnya sangat dimungkinkan untuk dilindungi. Ada dua mekanisme yang dapat dilakukan dalam kerangka memberi perlindungan traditional knowledge, yakni: Pertama; Perlindungan dalam bentuk hukum dan perlindungan dalam bentuk non hukum (Riswandi dan Syamsudin, 2004). Bentuk perlindungan dalam bentuk hukum, yaitu upaya melindungi traditional knowledge melalui bentuk hukum yang mengikat, semisal; Hukum Hak Kekayaan Intelektual, peraturan-peraturan yang mengatur masalah sumber genetika, khususnya pengetahuan tradisional, kontrak, dan hukum adat. Perlindungan traditional knowledge melalui rezim Hak Kekayaan Intelektual dimaksudkan untuk melindungi hak hasil penciptaan intelektual. Menurut Riswandi dan Syamsudin, tujuan dari upaya ini adalah: a. Mendorong penciptaan karyakarya intelektual baru (untuk contoh didasarkan pada hukum hak cipta, paten dan desain industri). b. Adanya keterbukaan karya-karya intelektual baru (didasarkan pada hukum paten dan desain industri). c. Memfasilitasi ketertiban pasar melalui penghapus; kebingungan (kebijakan yang didasarkan pada huku merek dan indikasi geografis), dan tindakan unfair competition. d. Melindungi ketertutupan informasi dari pengguna yang tidak beriktikad baik. Kedua; Perlindungan dalam bentuk non hukum, yaitu perlindungan yang diberikan kepada traditional knowledge yang sifatnya tidak mengikat, meliputi code of conduct yang diadopsi melalui internasional, pemerintah dan organisasi non pemerintah, masyarakat profesional dan sektor swasta. Perlindungan lainnya meliputi kompilasi penemuan, pendaftaran, dan database dari traditional knowledge. Di Indonesia, perlindungan hukum terhadap traditional knowledge, baik secara eksplisit maupun implisit, terdapat dalam: a. Undang-Undang Hak Cipta (UU No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987), Pasal 10, dan Pasal 11 Ayat (1); dan b. Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman/PVT (UU No. 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman), Pasal 7. Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional di Indonesia juga terdapat dalam peraturan perUndang-Undangan selain UndangUndang HAKI. Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1994 tentang ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biodiversity/UNCBD), Pasal 8 huruf j UNCBD, menyebutkan bahwa pihak penandatangan konvensi wajib menghormati, melindungi, dan mempertahankan pengetahuan,inovasi-inovasi dan praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup yang berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi dan praktikpraktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek semacam itu (Ranggalawe, 2004) Perlindungan terhadap pengetahuan dan karya tradisionla ini juga dilakukan secara internasional yaitu melalui Konferensi Diplomatik Stockholm 1967, yang dalam salah satu rekomendasinya menetapkan perlu diberikannya perlindungan terhadap perwujudan suatu Folklore melalui Hukum Hak Cipta. Usaha ini, menghasilkan pengaturan tentang
71

Rosnidar Sembiring: Perlindungan HAKI terhadap Karya-Karya

Folklore dalam Revisi Konvensi Bern 1971, Pasal 15 Ayat (4). Pasal ini mengatur perlindungan atas ciptaan-ciptaan yang tidak diterbitkan oleh Pencipta yang tidak diketahui, yang dianggap sebagai warga negara dari negara peserta Konvensi Bern. Negara bersangkutan akan menunjuk Badan Berwenang dalarn negaranya untuk mewakili Pencipta yang tidak diketahui dan melindungi ciptaan-ciptaannya. Badan Berwenang yang dibentuk ini harus dilaporkan keberadaannya kepada WIPO. Meskipun demikian, WIPO sampai tahun 1995 belum pernah menerima satu laporanpun dari negara-negara peserta Konvensi Bern tentang keberadaan badan berwenang di sesuatu negara. Pasal 15 Ayat (4) Konvensi Bern telah mendapat tempat pengaturannya dalam Pasal 10 UUHC 1997 maupun UUHC 2002, walaupun hingga saat in efektivitasnya belum tampak hasilnya dalam memecahkan masalah-masalah Pengetahuan Tradisional atau Folklore seperti dimaksud dalam UUHC. Selain itu, Badan Berwenang yang ditunjuk Pemerintah untuk mewakili Pencipta yang tidak diketahui sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Bern belum menjadi kenyataan. Menurut Lindsey, untuk melindungi ciptaan-ciptaan yang tidak diketahui Penciptanya dan dapat dikategorikan sebagai Folklore, UNESCO dan WIPO telah melaksanakan pelbagai usaha untuk pengaturannya. Atas prakarsa kedua organisasi internasional ini, pada tahun 1976 penga.turan Folklore telah dimuat dalam Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries (Lindsey, 2002). WIPO pada tahun 1985 telah juga mengaturnya dalam Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejetdical Actions. Perlindungan terhadap pengetahuan dan karya tradisional masyarakat adat masih memerlukan waktu yang panjang untuk diterapkan. Hal ini disebabkan beberapa hal sebagai berikut: Pertama; Hukum nasional belum mendukung, Hal ini dapat dilihat dari belum adanya yang mengakomodir apakah sekelompok kekerabatan bisa memperoleh Hak Cipta dan Hak Paten atau tidak adanya pengakuan bahwa pengetahuan tradisional dianggap sebagai temuan (invention) sehingga bisa menjadi obyek Hak Cipta dan Hak Paten. Kedua; Belum ada kesepakatan di antara aktivis pro masyarakat adat mengenai HAKI ini Para aktivis pro masyarakat adat masih ambigu apakah perlu untuk memperjuangkan HAKI bagi masyarakat adat atau tidak. Pandangan bahwa HAKI adalah bagian dari sisem kapitalis yang menegasikan prinsip religio magis yang banyak dianut masyarakat adat, serta bersifat individual karena hanya memberi hak pada seseorang atau sekelompok orang, bertentangan dengan sifat masyarakat adat yang lebih menonjolkan kebersamaan. Pendekatan kapitalis dan individual tersebut dianggap tidak selaras dengan jiwa masyarakat adat. Hal inilah yang melandasi penolakan tersebut di atas (Heroepoetri, 1998). HAMBATAN-HAMBATAN PERLINDUNGAN HAKI MASYARAKAT ADAT Masyarakat asli dan pedesaan di seluruh dunia sering memprotes bahwa hukum HAKI hanya bertujuan melindungi ciptaan dan investasi negara maju, namun gagal melindungi karyakarya tradisional dan pengetahuan mereka. Hal ini dapat dimengerti karena sistem HAKI yang berdasarkan ide liberal barat terhadap kepemilikan berbagai kekayaan intelektual lebih menguntungkan bagi produk seni dan invensi barat. Oleh karena banyak karya dan pengetahuan tradisional yang diciptakan atau yang berasal dari masyarakat adat, telah menjadi populer di seluruh dunia (misalnya karta seni) dan terkadang kebutuhan pokok (misalnya obatobatan), maka perdagangan internasional kekayaan intelektual cukup bernilai sampai berjumlah miliaran dolar setiap tahun di seluruh dunia. Akan tetapi kebanyakan pendapatan dari penjualan ini akhirnya berada di tangan perusahaan dari luar daerah asal karya tersebut, dan lebih sering adalah perusahaan asing. Ada 2 (dua) alasan mengapa kebanyakan masyarakat adat tidak dapat menerima kenyatan yang tidak menyenangkan ini, yaitu: 1) Pengarang, seniman dan pencipta dari masyarakat tradisional jarang menerima imbalan finansial yang memadai untuk kekayaan
72

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 intelektual berupa pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang dieksploitasi. 2) Penggunaan tanpa izin dari karya-karya pengetahuan tradisional yang dieksploitasi ini kadangkadang menyinggung perasaan masyarakat yang mencipta karya pengetahuan tradisional (traditional knowledge) tersebut. Misalnya komersialisasi karya suci yang dilarang agama atau adat (Lindsey, 2002). Kegagalan sistem HAKI untuk melindungi pengetahuan dan karya tradisional berawal dari sikap pandang yang lebih mementingkan pada perlindungan hak individu bukan hak masyarakat. HAKI biasanya dapat dimiliki seorang atau sekelompok individu yang dapat diketahui (baik masyarakat biasa atau perusahaan). Persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh hak milik individu mencerminkan kepercayaan dasar yang biasanya dianggap sebagai hal yang diperhatikan negara barat. Arimbi berpendapat bahwa Undang-Undang mengenai Kekayaan Intelektual di Indonesia, juga tidak melindungi karya cipta dari masyarakat adat. Hambatan utamanya adalah tidak ada pengakuan bagi kelompok masyarakat. Padahal umumnya keahlian suatu masyarakat adat bukanlah keahlian individu melainkan suatu kelompok. Kemudian paten budaya dipegang oleh negara, sehingga masyarakat tradisional tidak dapat mengklaim hasil budayanya. Lebih jauh kearifan tradisional masyarakat tradisional dianggap bukan penemuan dan tidak mengandung unsur teknologi baru. Padahal tren dunia adalah mengakui hak-hak masyarakat tradisional dalam berbagai perjanjian internasional. Selanjutnya Arimbi menjelaskan banyak karya-karya tradisional diciptakan oleh masyarakat tradisional secara berkelompok, berarti orang banyak memberi sumbangan terhadap produk akhir. Banyak pengetahuan tradisional seringkali ditemukan secara kebetulan. Lagipula karya-karya dan pengetahuan tradisonal juga dapat dikembangkan oleh orang berbeda dalam jangka waktu panjang. Bahkan yang lebih penting, banyak masyarakat tradisional tidak mengenal konsep hak individu, harta berfungsi sosial dan bersifat milik umum. Dengan demikian para pencipta dalam masyarakat tradisional tidak berniat atau ingin mementingkan hak individu atau hak kepemilikan atas karya-karya mereka. Kadang-kadang ada seorang wakil masyarakat yang memegang dan mengontrol informasi atau karya atas nama masyarakat, tetapi dapat dikatakan juga bahwa kepemilikan yang sungguh-sungguh tidak dapat dialihkan kepada wakil tersebut sesuai syarat-syarat sistem hukum non tradisional (misalnya, melalui sebuah kontrak). Kebanyakan pemerintah mengakui sistem hukum non tradisional ini. Dengan demikian sering sulit untuk menetapkan pemilik kekayaan tradisional yang dilindungi sistem hukum HAKI. Kelemahan ini merupakan halangan penting dan menyebabkan hampir semua bentuk HAKI tidak dapat diterapkan untuk melindungi karya-karya dan pengetahuan tradisional (Heroepoetri, 1997). Pertama; Hak Cipta dan Pengetahuan Tradisional, Hukum Hak Cipta memiliki beberapa kelemahan penting yang menghambat pengaturan perlindungan atas karya-karya dan pengetahuan tradisional. Untuk dapat dilindungi Hak Cipta, suatu ciptaan harus bersifat asli dan dalam bentuk yang berwujud (syarat fixation). Dengan persyaratan ini karya-karya tradisional tidak mendapat perlindungan Hak Cipta oleh karena karya-karya tradisional ini pada umumnya bersifat lisan atau dapat dilihat, dipertunjukkan dan disampaikan ke generasi berikutnya secara turun temurun (misalnya pertunjukan wayang). Jangka waktu perlindungan dalam Hukum Hak Cipta yang terbatas waktunya juga tidak tepat untuk diterapkan pada karya tradisonal oleh karena kebanyakan karya-karya ini diciptakan beberapa abad yang lalu.Kedua, Merek yang menyinggung, Ada beberapa contoh di beberapa negara di mana suatu perusahaan menggunakan suatu merek yang merupakan lambang atas nama yang berasal dari, dan mempunyai arti bagi masyarakat tradisional. Salah satu yang paling mencolok adalah kasus di Amerika Serikat di mana sebuah perusahaan di New York memproduksi bir dengan membubuhkan kata-kata Minuman keras ragi asli Kuda Gila. Di label botol bir itu ada lukisan seorang kepala suku Indian bernama Kuda Gila serta pola-pola tradisional suku
73

Rosnidar Sembiring: Perlindungan HAKI terhadap Karya-Karya

Indian. Selama hidupnya Kuda Gila menolak menggunakan gambarnya baik dalam lukisan maupun foto, serta menyerukan orang-orang Indian untuk tidak minum minuman berakohol. Ternyata anjuranya digunakan sebagai bagian dari program rehabilitasi alkohol dan narkoba untuk orang Indian di AS di kemudian hari (Heroepoetri, 1997). Kedua; Hak Paten dan pengetahuan tradisional, Untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan Hukum Paten, invensi harus bersifat baru, inventif dan berguna. Banyak pengetahuan tradisonal sulit memenuhi syarat-syarat ini sehingga tidak dapat dipatenkan. Misalnya banyak pengetahuan tradisional digunakan selama berabad-abad oleh suatu masyarakat tradisional. Hal ini sering mengakibatkan pengetahuan tersebut tidak bersifat baru, dan dengan demikian gagal memenuhi syarat kebaharuan. Meskipun barhasil didaftarkan, di kemudian hari invensi ini dapat diampbil oleh pihak luar dan dibatalkan pendaftarannya. KESIMPULAN Sistem pengetahuan tradisional (traditional knowledge) menurut WIPO adalah Tradition based literary, artistic or scientific works, performances, inventions, scientific discoveries, designs, marks, names, and symbols, undisclosed information, and, all other tradition-based innovations and creations resulting from intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields. Ada dua mekanisme yang dapat dilakukan dalam kerangka memberi perlindungan traditional knowledge, yakni perlindungan dalam bentuk hukum, yaitu melalui peraturan perundang-undangan dan konvensi internasional dan perlindungan dalam bentuk non hukum, yaitu perlindungan yang diberikan kepada traditional knowledge yang sifatnya tidak mengikat, meliputi code of conduct yang diadopsi melalui internasional, pemerintah dan organisasi non pemerintah, masyarakat profesional dan sektor swasta. Hambatan dalam perlindungan HAKI masyarakat tradisional yaitu karya dan pengetahuan tradisional umumnya bersifat lisan yang dipertunjukkan ke generasi berikutnya sehingga sulit untuk didaftarkan karena untuk dapat memperoleh hak cipta karya tersebut harus asli dan berwujud. Sedangkan untuk mendapat hak paten karya tersebut harus baru dan inventif. DAFTAR PUSTAKA Dalimunthe, Chadidjah. 1998. Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya. USU Press. Medan. Heroepoetri, Arimbi. 1998. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual dan Masyarakat Adat: Prospek, Peluang dan Tantangan. http://www.pacific.net.id _________________ 1997. Penghancuran Secara Sistematis Sistem-sistem Adat oleh Kelompok Dominan. http://www.jaist.ac.jp. Lindsey, Tim. et.al. 2002. Hak Kakayaan Intelektual Suatu Pengantar. Asian Law Group Pty Ltd. Bekerjasama dengan PT. Alumni. Bandung. Lazar,Alex Seru. 2002. Tanah Suku di NTT. Pos Kupang. http://www.indomedia.com Lokakarya Kepentingan Negara Bekembangan Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis Sumber Daya Genetika dan pengetahuan Tradisonal, http://www.hukumonline.com

74

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 Riswandi, Budi Agus dan Syamsudin, M. 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. PT RajaGrfindo Persada. Jakarta. Ranggalawe, S.TGL. 2004. Masalah Perlindungan HAKI Bagi Traditional Knowledge. http://www.lkht.net Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). 1997. http://www.pacific.net.id Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. 1960. Undang-Undang No. 5. Pokok-pokok Agraria Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang No.10. Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang No. 12. Hak Cipta. Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang No. 29. Perlindungan Varietas Tanaman Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biodiversity /UNCBD) Konferensi Diplomatik Stockholm. 1967 Konvensi Bern. 1971

75

Tambah Sembiring: Fungsi dan Kedudukan Pejabat Penyidik

FUNGSI DAN KEDUDUKAN PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
Tambah Sembiring
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: Environmental problems have been emerged in parallel with the economical and industrial development. Indonesia as a developing country cannot avoid negative effects of the destruction and pollution in environment. One of efforts has been made is by criminalizing the acts of polluting and destroying environment. However in reality, law enforcement on environmental criminal acts always faces difficulties concerning the technical aspects, especially in the process of providing evidence before the court. Therefore, the presence of investigating officers from civil servant is needed, because they have a special expertise and trained to commit criminal acts investigations. Kata Kunci: Pejabat Pegawai Negeri Sipil, Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Pasal 1 butir 1 UU No. 23 Than 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan hidup dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Pembangunan pada hakikatnya merupakan proses perubahan lingkungan yaitu mengurangi resiko lingkungan atau dan memperbesar manfaat lingkungan. Permasalahan lingkungan hidup telah menjadi isu global. Dewasa ini, sejalan dengan pembangunan ekonomi di Indonesia maka terjadinya pencemaran lingkungan tidak dapat terhindari. Masalah lingkungan bagi manusia dapat dilihat dari segi menurunnya kualitas lingkungan yang menyangkut nilai lingkungan untuk kesehatan, kesejahteraan dan keteraman manusia. (Hamzah, 2005: 7) Penegakan hukum di bidang hukum lingkungan mutlak diperlukan untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan di masa yang akan datang. Penegakan hukum ini melibatkan berbagai instansi pemerintah, salah satunya yaitu pihak kepolisian yang bertugas melakukan penyidikan atas tindak pidana lingkungan yang terjadi. Tindak pidana lingkungan hidup menyangkut aspek yang sering bersifat teknis yang memerlukan keahlian tertentu dalam mengumpulkan bukti yang sangat dibutuhkan dalam pembuktian di pengadilan. Untuk itu sangatlah wajar apabila instansi yang berwenang melakukan penyidikan ini mempunyai kemampuan yang baik dan handal. Untuk itu kemampuan ini sangat didukung oleh penguasaan di yang disidik. Dalam Pasal 6 KUHAP ditentukan bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Dari
76

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 ketentuan Pasal 6 KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa pejabat penyidik di Indonesia adalah Pejabat Polri dan Pegawai Negeri Sipil tertentu. Dalam proses penyelsaian penegakan hukum di bidang lingkungan hidup khususnya terhadap pelaku tindak pidana dilakukan melalui suatu sistem yang dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana (criminal justice system). Dalam sistem peradilan pidana ini terdapat 4 (empat) komponen lembaga/instansi yang terkait di dalamnya, Lepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan, di mana bekerjanya keempat komponen tersebut dalam sistem peradilan pidana satu dengan lainnya saling terkait. Sehubungan dengan fakta dan problematika yang dikemukakan dalam tulisan ini dikemukakan dua permasalahan yang akan menjadi acuan dalam analisis selanjutnya, sebagai berikut: 1) Bagaimana peranan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia. 2) Apa hambatan yang dihadapi oleh PPNS dalam upaya penegakan hukum terhadap kasus-kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP Hukum lingkungan kepidanaan jika dibandingkan dari sudut hukum pidana, maka titik berat adanya suatu tindak pidana akan terkait dengan asas legalitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Syarat pertama untuk menindak suatu perbuatan yang tercela adalah adanya suatu ketentuan dalam Undang-Undang pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan sanksi terhadapnya. Berdasarkan Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tindak pidana lingkungan yaitu berupa: 1) melakukan perbuatan yang mengakibatkan: a. pencemaran, dan atau; b. perusakan lingkungan hidup. 2) melakukan perbuatan yang mengakibatkan: pencemaran, dan atau perusakan lingkungan yang mengakibatkan orang mati atau luka berat. 3) melakukan perbuatan melanggar ketentuan perUndang-Undangan berupa: a. melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan; b. impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum (Pasal 43 Ayat (1) dan Psl 44 Ayat (1)UUPLH). 4) melakukan perbuatan berupa: a. memberikan informasi palsu, atau; b. menghilangkan informasi, atau; c. menyembunyikan informasi, atau; d.merusak informasi, yang diperlukan (dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 di atas), yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain. 5) melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat (Pasal 43 Ayat (3) dan Pasal 44 Ayat (2) UUPLH). Dalam rumusan Pasal 41 tersebut tidak dipersoalkan apa unsur maksud di pelaku dan dengan cara apa si pelaku melakukan tindakan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup itu. Yang dituntut sebagai prasyarat terhadap Pasal ini adalah akibat adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menjadi sebab terjadinya tindak pidana itu. Oleh sebab itu, untuk dapat dipertanggungjawabkan pidananya menurut Pasal ini, ialah harus dibuktikan benarbenar tentang telah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan terhadap lingkungan hidup. Sedangkan pada Pasal 41 Ayat (2) adalah merupakan tindak pidana pokok yang ditambah dengan unsur pemberatan (dikualifikasikan). Pasal ini menuntut, selain adanya akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, juga dipersyaratkan adanya akibat orang menjadi mati atau luka berat sebagai bagian dari pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup itu. Yang dipersoalkan di sini yang menjadi sebab adalah kesengajaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan orang mati atau luka berat tersebut. Dalam Pasal 42 UU Nomor 23 Tahun 1997, seskipun unsur melawan
77

Tambah Sembiring: Fungsi dan Kedudukan Pejabat Penyidik

hukumnya dalam Pasal ini tidak dinyatakan secara tegas, namun yang harus dibuktikan ialah tindakan si pelaku yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Yang dipersoalkan menjadi sebab tindakan ini ialah kealpaannya yang menimbulkan akibat yang dimaksud. Kealpaan diartikan apabila si pelaku secara sadar mengetahui bahwa tindakannya pasti akan mendatangkan bahaya, baik dalam bentuk konkret maupun abstrak, akan terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam Pasal 42 Ayat (2) merupakan unsur pemberatan dari pidana pokok (dikualifikasikan), terhadap tindakan yang dilakukan sebagai sebab kealpaannya sehingga menimbulkan akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (Sunarso, 2005: 166). Berdasarkan Pasa1 43 UU No. 23 Tahun 1997, PP Nomor Tahun 1999, PP Nomor 19 Tahun 1994 jo PP Nomor 12 Tahun 1995 yang mengatur ketentuan tentang pembuangan zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya dan beracun masuk di atas, atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan berbahaya, menjalankan instalasi yang berbahaya. Dalam Pasal ini dipersyaratkan adalah si pembuat telah melanggar hukum, dengan ancaman sanksi pidana. Akibat dari sebab si pembuat melakukan perbuatan tersebut, telah menimbulkan akibat, pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Tindakan ini, dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya atas akibat tersebut, yang berakibat pula terhadap kesehatan umum dan nyawa orang lain. Dalam Pasal 43 Ayat (2) yang dipersalahkan dan dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya, ialah sebab memberikan informasi palsu, atau menghilangkan, menyembunyikan atau merusak informasi, yang diperlukan dalam kaitan dengan melepaskan, membuang zat, energi, komponen lain yang berbahaya, serta melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan berbahaya tersebut, dan menjalankan instalasi yang berbahaya. Apabila si pelaku tidak melakukan perbuatan yang menjadi sebab sebagaimana ditentukan di atas, kemungkinan pihak instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup dapat mencegah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Elemen sebab, dari si pelaku yang melanggar aturan perUndang-Undangan tersebut sehingga menimbulkan akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup tersebut, maka si pelaku dapat dituntut pertanggungjawaban pidana, terhadap ketentuan hukum yang mengancam hukuman dengan sanksi pidana. Pada Pasal 43 Ayat (3) adalah elemen yang memberatkan dari pidana pokok (dikualifikasikan) dari sebab melanggar ketentuan perUndang-Undangan atau sengaja memberikan informasi palsu, menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi, yang menimbulkan akibat orang mati atau luka berat, sehingga si pelaku dituntut pertanggungjawaban pidananya. PEJABAT PENYIDIK Pasal 1 butir 1 KUHAP menyebutkan: "Penyidik adalah pejabat negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang oleh UndangUndang untuk melakukan penyidikan". Kemudian dalam Pasal 6 KUHAP diperinci lagi sebagai berikut: 1) Penyidik adalah: a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia ; b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. 2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud KUHAP sebagai peraturan pelaksana adalah peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab II Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Pemerintah dimaksud, syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidik sekurangkurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi, atau yang berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor Kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua, ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Di samping pejabat
78

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 penyidik dari instansi Kepolisian, dari ketentuan Pasal 6 Ayat (1) KUHAP dapat diketahui bahwa Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang, dapat diangkat sebagai pejabat penyidik. Dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "penyidik dalam Ayat ini " adalah misalnya pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi da.n pejabat kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberi oleh Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masingmasing. Dari penjelasan Pasal 7 Ayat (1) KUHAP memang secara tegas ditunjuk siapa pegawai negeri sipil dimaksud, yaitu pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan. Akan tetapi apakah pegawai negeri sipil tertentu yang dimaksudkan oleh Pasal 6 Ayat (1) KUHAP terbatas kepada ketiga instansi pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (2) KUHAP, masih belum jelas. Dalam Pasal 6 Ayat (1) KUHAP disebut bahwa pegawai negeri sipil tertentu yang dimaksud mempunyai lingkup yang lebih luas dibanding dengan penjelasan yang diberikan oleh Pasal 7 Ayat (2) KUHAP. Hanya saja perkembangannya diserahkan kepada perkembangan perUndang-Undangan yang muncul di kemudian hari, di mana dalam perUndang-Undangan itu ditentukan dan ditunjuk suatu instansi pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus penyidikan pada bidang-bidang tertentu. Selain mengenai siapa pegawai negeri sipil tertentu yang dimaksud dalam 6 Ayat (1) KUHAP kurang jelas, dalam KUHAP juga kurang jelas bagaimana kepangkatan dari pegawai negeri sipil tersebut yang dianggap berwenang diangkat sebagai penyidik. Dalam Ayat (2) Pasal 6 KUHAP hanya disebut bahwa Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah PP Nomor 27 Tahun 1983, yang dalam Pasal 2 diatur perihal: a. Pegawai Negeri Sipil tersebut sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda tingkat I (II/b) atau yang disamakan; b. Pegawai Negeri Sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul dari Departemen yang membawahi pegawai negeri tersebut. Tembusan usul disampaikan kepada Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, guna kepentingan pembuatan rekomendasi. c. Wewenang kepangkatan tersebut sudah dilimpahkan kepada Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman. Berdasar Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.06-06.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pelimpahan Wewenang Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Menurut Bambang Waluyo, tidak semua Pegawai Negeri Sipil dapat menjadi Penyidik dan tidak semua Undang-Undang ada klausul yang berkaitan dengan penyidikan(Waluyo, 2000: 52) Sedangkan M. Yahya Harahap mengatakan bahwa "penyidik pegawai negeri sipil yang dimaksud oleh Pasal 6 Ayat (1) huruf b, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai Fungsi dan wewenang sebagai penyidik. (Harahap, 1988: 111) PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN OLEH PEJABAT PEGAWAI NEGERI SIPIL Dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP disebutkan bahwa, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terkadi dan guna menemukan tersangkanya. Apabila ketentuan Pasal tersebut diperhatikan dapat disimpulkan beberapa pengertian dari penyidik yaitu serangkaian tindakan penyidik yang dilakukan untuk mencari dan sekaligus mengumpulkan bukti dari suatu tindak pidana. Bukti yang dikumpulkan tersebut akan digunakan untuk mengungkap suatu tindak pidana yang terjadi sehingga dapat diketahui pelaku dari tindak pidana yang bersangkutan. Kemampuan penyidik dalam kasus tindak pidana lingkungan mempunyai peran dalam keberhasilanya menangani kasus tersebut. Pengajuan alat bukti dalam kasus tindak pidana lingkungan bukan hal yang mudah, karena pencemaran maupun kerusakan lingkungan sering
79

Tambah Sembiring: Fungsi dan Kedudukan Pejabat Penyidik

terjadi dalam keadaan kumulatif, dengan banyak faktor yang berperan sehingga sulit untuk membuktikan sumber dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan tersebut. Berdasarkan petunjuk teknis Bapelda tentang penyidikan tindak pidana perusakan lingkungan hidup, maka yang dimaksud dengan tindak pidana perusakan lingkungan hidup adalah perbuatan yang dapat diancam hukuman sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Untuk kesempurnaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana perusakan lingkungan hidup diperlukan adanya: saksi, laporan, dan tempat terjadinya perkara (TKP). Hal ini akan memudahkan untuk melakukan pemeriksaan, meminta keterangan saksi, dan keterangan ahli, serta penyelesaian dan penyerahan berkas perkara ke penuntut umum untuk diajukan ke proses peradilan selanjutnya. SUBSTANSI PENYIDIKAN Fokus penyidikan terhadap setiap penyidikan tindak pidana lingkungan dalam melakukan tugasnya harus selalu terfokus pada pemenuhan unsur tindak pidana perusakan lingkungan hidup, yaitu: Barang siapa (sebagai unsur pelaku): (a) Yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan pidananya adalah "orang" yaitu seperti yang dianut oleh KUHP yang sekarang berlaku. (b) Yang dapat melakukan tindak pidana adalah "orang" dan/atau "badan hukum". Artinya ialah, bahwa apabila yang melakukan tindak pidana itu adalah badan hukum maka yang bertanggungjawab adalah anggota pengurusnya. (c) Yang dapat melakukan tindak pidana, dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah "orang" dan badan hukum. (1) Dengan sengaja atau karena kelalaiannya (sebagai unsur niat yang berkaitan dengan pemberatan hukuman). Yang dimaksud dengan kesengajaan ialah perbuatan yang diinsyafi, dimengerti, dan diketahui sebagai demikian, sehingga tidak ada unsur salah sangka atau salah paham. Sedangkan yang dimaksud dengan kelalaian ialah delik yang dilakukan dengan kealpaan (akan kewajiban-kewajiban) atas perbuatan yang dilakukan itu tidak diinsyafi, dimengerti dan diketahui (akan berakibat) demikian. Untuk adanya kesalahan (sengaja atau lalai) harus ada hubungan antara keadaan batin dengan perbuatannya. (2) Melakukan perbuatan (sebagai unsur modus operandi). (3) Yang menyebabkan (sebagai unsur penyebab). (4) Rusaknya lingkungan hidup (sebagai unsur akibat). (5) Orang mengalami kematian atau luka berat (sebagai unsur akibat lebih lanjut/tidak langsung). (Harahap:215-216) Kriteria Ekologis Perusakan Lingkungan Dalam pembuktian bahwa lingkungan hidup telah rusak, harus memenuhi kriteria yuridis sesuai yang dimaksud dalam Pasa11 butir 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu bahwa perbuatan/ tindakan pelaku harus dapat memenuhi kriteria: (1) menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati hidup. Berubah sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup diketahui dengan cara mengukur dan membandingkan dengan kriteria baku kerusakan lingkungan. (2) mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.Untuk mengetahui bahwa lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan, harus dikaitkan dengan fungsi dan peruntukan ruang/lahan di mana lokasi peristiwa kerusakan lingkungan itu terjadi. Biasanya dilakukan melalui suatu kajian dan analisis yang dilakukan oleh seorang ahli konservasi lingkungan dan membandingkan dengan kriteria baku kerusakan lingkungan. Alat Bukti Kunci Alat bukti kunci telah terjadinya kerusakan lingkungan antara lain:
80

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 (1) Hasil penelitian di lapangan maupun hasil analisis barang bukti di laboratorium menunjukkantelah memenuhi "ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang" sesuai yang dimaksud pada Pasal l butir 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebagai contoh: misalnya untuk kriteria kerusakan lingkungan hidup bagi usaha atau kegiatan pembangunan bahan galian C (jenis lepas di dataran), dapat dilihat pada Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-43/MEN LH/10/1996 tentang kriteria kerusakan lingkungan bagi usaha atau kegiatan pertambangan bahan galian "golongan C" jenis lepas di dataran. (2) Pendapat ahli yang berdasarkan keahliannya menyatakan bahwa lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Persyaratan Pertama; Ketentuan Hukum, Pasal pidana yang digunakan dasar penyidikan adalah: UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 41, Pasa142, Pasa143, Pasal 44, Pasal 45, serta Pasal 1 butir 13 dan 14. Kedua; Sumber Informasi, Sumber informasi yang menerangkan adanya kejadian yang patut diduga merupakan tindak pidana perusakan lingkungan hidup, antara lain dapat bersumber dari: laporan masyarakat, laporan resmi LSM, liputan media masa, temuan pada waktu pemantauan atau pengawasan oleh petugas dari instansi berwenang, temuan langsung petugas PNS lingkungan hidup maupun penyidik Polri, laporan dari instansi Bapedal maupun Polri. (Harahap, 1988:218) Ketiga; Pentahapan Tindakan, Tindakan oleh PPNS lingkungan hidup, ialah mengambil tindakan yakni menerima informasi laporan, memeriksa tempat kejadian perkara (TKP) untuk mengumpulkan bahan keterangan, mencari dan menemukan barang bukti dan saksi. Dalam rangka tindakan ini, bila diperlukan dapat melakukan tindakan penyitaan baik terhadap benda maupun surat. Apabila diyakini telah terdapat cukup bukti untuk dilakukannya penyidikan, maka PPNS lingkungan hidup menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penyidik Polri. Selanjutnya PPNS melakukan pemeriksaan terhadap saksi, saksi ahli, maupun tersangka. Hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam berita acara pemeriksaan dan ditandatangani oleh yang diperiksa dan yang memeriksa. Sejak melakukan pemeriksaan TKP sampai dengan pembuatan BAP, PPNS lingkungan hidup dapat meminta bantuan ahli. Hasil pembuatan BAP disampaikan kepada penyidik Polri untuk selanjutnya diteruskan ke penuntut umum. Dalam setiap tindakan yang dilakukan PPNS lingkungan hidup harus mengacu kepada KUHAP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tindakan oleh penyidik Polri adalah melakukan penyidikan oleh reserse, melakukan penindakan, dan pemeriksaan serta pemberkasan untuk penyelesaian perkara dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Pelaksanaan Pertama; Pengumpulan bahan keterangan oleh PPNS lingkungan hidup atau Penyidik Polri, informasi yang diperoleh mengenai dugaan terjadinya tindak pidana lingkungan hidup oleh PPNS lingkungan atau Polri untuk dipelajari dan dikaji. Setelah informasi itu dipelajari selanjutnya dilakukan pengecekan atas kebenaran laporan tersebut, kemudian dilakukan pengumpulan bahan keterangan atau penyelidikan terhadap adanya peristiwa perusakan lingkungan sesuai informasi yang didapat dengan mengoptimalkan jalur-jalur koordinasi yang ada, baik internal sektoral maupun lintas sektoral. Pada tahap kegiatan ini fokusnya adalah mendapatkan data kualitas lingkungan dan data kegiatan atau proses produksi. Data tersebut bisa diperoleh dari data sekunder hasil monitoring rutin/berkala atau dari data primer dengan melakukan pengukuran pengambilan sampel dan
81

Tambah Sembiring: Fungsi dan Kedudukan Pejabat Penyidik

menganalisisnya. Selain itu juga perlu dikumpulkan berbagai keterangan yang dapat memperjelas peristiwa perusakan lingkungan yang terjadi. Pada kesempatan pertama, hasil pengumpulan bahan keterangan atau hasil penyelidikan tersebut segera dipaparkan dalam bentuk gelar perkara, yaitu dengan menghadirkan pejabat sektoral yang terkait atau yang dipandang perlu. Tujuannya ialah untuk mendapatkan masukan, saran tindak, dan agar di dalam pelaksanaan penyidikan tidak terjadi hambatan. Apabila dirasakan cukup petunjuk, maka dari berbagai masukan yang didapat selanjutnya dituangkan dalam laporan polisi/laporan resmi PPNS. Kedua; Persiapan, a) Koordinasi, dalam pelaksanaan koordinasi perlu adanya pos komando sebagai tempat pertemuan dan pusat lalulintas informasi mengenai kasus yang tengah disidik. Pada prinsipnya instansi sektoral yang terkait patut diajak berkoordinasi, akan tetapi disesuaikan dengan konteks permasalahannya (misalnya: kasus perusakan lingkungan yang disebabkan oleh penambangan maka instansi di bawah jajaran departemen pertambangan dan energi harus dilibatkan). Dalam pelaksanaan koordinasi setidak-tidaknya unsure-unsur di bawah ini terwakili, yakni: unsur penyidik (penyidik Polri dan PPNS lingkungan hidup), unsur laboratorium, unsur pemerintah daerah, departemen teknis atau departemen sektoral terkait, dan kelompok ahli. b) Pembentukan Tim, Pembentukan ini dimaksudkan sebagai pembagian tugas dan tidak berarti bahwa masing-masing tim bekerja sendiri-sendiri, melainkan tetap terintegrasi. Keanggotaan pada masing-masing tim disesuaikan dengan kebutuhannya, yang meliputi tim yang mengolah TKP, tim yang menganalisis barang bukti, tim yang menangani pemeriksaan saksi ahli, korban, maupun tersangka, tim yang bertanggung jawab dalam menangani pengamanan TKP dan sebagainya, serta tim yang melaksanakan koordinasi antarsektoral. Ketiga; Pelaksanaan Penyidikan, a) Penyelidikan Resers, melakukan kegiatan penyelidikan terhadap penyebab atau sumber terjadinya perusakan lingkungan, mencari petunjuk tentang identitas pelaku, korban, saksisaksi, mengumpulkan barang bukti atau sampel untuk bahan penyitaan. Sebagai barang bukti, fakta dikuatkan dengan foto tentang situasi dan kondisi di lapangan untuk menentukan kerusakan lingkungan yang terjadi. b) Penindakan, Upaya melakukan tindakan hukum setelah diperoleh cukup bukti dan petunjuk dengan melakukan pemanggilan terhadap saksi, penangkapan, penahanan terhadap tersangka, melakukan penggeledahan serta penyitaan, dan kalau perlu dilakukan dengan penyegelan. Setiap tindakan yang dilakukan harus selalu berdasarkan ketentuan KUHAP. c) Pemeriksaan, Pemeriksaan terhadap para saksi, korban, maupun tersangka dilakukan sebagai upaya untuk mencari fakta untuk dapat menentukan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana perusakan lingkungan hidup. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah meliputi: BAP Pelapor, BAP Saksi Masyarakat, BAP Saksi Tokoh Masyarakat, BAP Saksi Pegawai Perusahaan, BAP Saksi Pejabat Instansi Pemerintah, BAP Saksi Pejabat Instansi Teknis terkait, BAP Saksi Ahli yang menjelaskan sirahayati lingkungan hidup, BAP Saksi Ahli yang akar, menjelaskan sifat fisik lingkungan hidup. Pengendalian Pengendalian penyidikan tindak pidana perusakan lingkungan hidup ini, dalam rangka menjamin efektivitas dan efisiensi kegiatan. Pengendalian ini dilakukan oleh Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup untuk di tingkat pusat, sedangkan untuk di tingkat daerah dilakukan oleh Kepala Bapelda. Berdasarkan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: MA/Kumdil/197.A/VI/K/2000 Tanggal 30 Juni 2000 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, bahwa dalam era reformasi yang melanda negara kita, telah membawa dampak yang sangat luas di segala aspek kehidupan bemegara, terutama di bidang ekonomi mengakibatkan kecenderungan meningkatnya kuantitas serta kualitas tindak pidana yang memerlukan
82

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 penanganan serta kebijakan pemidanaan secara khusus. Oleh karena itu, terhadap tindak pidana antara lain: ekonomi, korupsi, narkoba, perkosaan, pelanggaran HAM berat, lingkungan hidup, Mahkamah Agung mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguhsungguh setimpal dan berat, dilihat dari sifat tindak pidana tersebut, dan jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan dalam masyarakat. KEDUDUKAN DAN WEWENANG PENYIDIK PEJABAT PEGAWAI NEGERI SIPIL Dalam Pasal 1 butir 11 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa yang dimaksud Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perUndang-Undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup UndangUndang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Menurut KUHAP dibedakan tugas, tujuan dan petugas penyelidik dengan penyidik. Penyelidik adalah pejabat POLRI yang diberi wewenang oleh KUHAP melakukan penyidikan berupa serangkaian tindakan (proses) penyidik yang bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa pidana yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Sedangkan penyidik adalah pejabat POLRI atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang serangkaian tindakan (proses) penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam KUHAP yang bertujuan untuk dan mengumpulkan bukti sehingga perbuatan pidana menjadi terang guna menemukan tersangkanya. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan Undang-Undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu Pasalnya. Jadi di samping pejabat penyidik POLRI, Undang-Undang pidana khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil yang bersangkutan untuk melakukan penyidikan. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugasnya, sebagai berikut: a. penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah: koordinasi penyidik POLRI, dan di bawah pengawasan penyidik POLRI. a) untuk kepentingan penyidikan, penyidik POLRI memberikan petunjuk kepada pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 Ayat (1). b) penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik POLRI tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidiknya, jika dari penyidikan ini oleh penyidik pegawai negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 Ayat (2). c) apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik POLRI (Pasal 107 Ayat 3). d) apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik POLRI maka penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umum sesuai dengan Pasal 109 Ayat (3). (Harahap,1988:113 114). Dengan demikian pegawai negeri sipil yang melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan, harus berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI. Tindak pidana di bidang lingkungan hidup menyangkut aspek yang sering bersifat teknis, sehingga memerlukan keahlian tertentu untuk melakukan penyidikan, yang sukar diharapkan dari para penyidik pejabat POLRI. Oleh karena itu diperlukan pejabat pegawai negeri sipil yang mengadakan penyidikan di bidang lingkungan hidup yang diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP(Hardjasoemantri,2002:408).Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam tindak pidana khusus tadi. Wewenang pejabat penyidik diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) KUHAP sebagai berikut:a) menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak
83

Tambah Sembiring: Fungsi dan Kedudukan Pejabat Penyidik

pidana, b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, c) menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal diri seseorang tersangka, d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, f) mengambil sidik jari dan memotret seseorang, g) memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, h) mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara, i) mengadakan penghentian penyidikan. j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Kewenangan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil dalam bidang lingkungan hidup diatur dalam Pasal 40 Ayat (2) UUPLH, sebagai berikut: a) Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; b) Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; c) Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup; d) Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; f) Melakukan pemeriksaanm di tempat tertetu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup; g) Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup. Kewenangan penyidik yang dimuat dalam Pasal 7 KUHAP, apabila dibandingkan dengan Pasal 40 Ayat (2) UUPLH, maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup tidak mempunyai kewenangan dalam hal: a. Melakukan penangkapan dan penahanan; b. Melakukan pemeriksaan dan surat; c. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; d. Mendatangkan seorang ahli; d. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Para pejabat negeri sipil di bidang lingkungan hidup melaksanakan tugasnya setelah memperoleh pendidikan dan pelatihan dari POLRI. KESIMPULAN PPNS Bidang Lingkungan Hidup telah diatur dan diberi wewenang khusus dalam penanganan tindak pidana bidang lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam KUHAP 8 tahun 81 jo No. 23 Tahun 1997. Keberadaan PPNS tersebut sangat urgen karena kemampuan khusus dan pelatihan keterampilan teknis yang mereka miliki dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan hidup. Meskipun keberadaan PPNS Bidang LH telah mempunyai landasan hukum yang kuat dan mereka dibekali ilmu dan keterampilan yang bersifat teknis, namun keterbatasan fasilitas, dukungan personil maupun hambatan koordinasi dengan Penyidik Polri masih menjadi kendala yang patut diperhatikan. Bagi Polri sendiri memang mengakui akan perlunya Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan keahlian tertentu untuk melakukan penyidikan sehingga di bidang lingkungan hidup, namun selalu mengeluhkan bahwa pihak PPNS sendiri selalu berjalan sendiri tanpa adanya koordinasi yang tegas. DAFTAR PUSTAKA Harahap, M. Yahya. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta. Pustaka Kartini. Hardjasoemantri, Koesnadi. 2002. Hukum Lingkungan. Cetakan Ketujuh belas. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hamzah, Andi. 2005. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta. Sinar Grafika. Sunarso, Siswanto. 2005. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa. Jakarta. Rineka Cipta.
84

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 Waluyo, Bambang. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta. Sinar Grafika. Republik Indonesia. 1983. Peraturan Pemerintah No.27. Peraturan Pelaksana Hukum Acara Pidana Republik Indonesia. 1983. Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M.06-06.UM.01.06. Pelimpahan Wewenang Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang No. 23. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

85

M. Husni: Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN HUKUM


M. Husni
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: Community law consciousness are influenced by social structure where the law exist to receive the law order in community law conscionsness the social structure should be arranged. To build the community law conscionsness the community inspiration in law should be developed according to Indonesian principles. On the other hand we also need supporting factor, like, good legal enforcers, facilities, legal culture and society as a key role actor. If all those factors above adjusted, we are sure that the society vision on legal enforcement could be happened. Kata Kunci: Pemberdayaan, Masyarakat, Penegakan Hukum

Dalam rangka pencapaian tujuan penegakan hukum yang salah satu di antaranya adalah untuk mewujudkan rasa keadilan di samping tujuan lainnya yaitu menciptakan kepastian hukum dalam masyarakat dan memberikan kemanfaatan bagi anggota masyarakat yang bersangkutan, maka pemeliharaan tertib hukum mutlak diperlukan. Keharusan untuk memelihara ketertiban hukum tidak saja merupakan tugas aparat penegak hukum, tetapi lebih jauh adalah merupakan kewajiban pula bagi para pembuat peraturan hukum itu sendiri (legislatif) dan juga para eksekutif serta anggota masyarakat secara keseluruhan sebagai pemegang peran. Hukum sebagai suatu norma hanya dapat diterapkan dengan baik dan baru mencapai tujuannya apabila semua anggota masyarakat memiliki kemauan untuk memelihara norma hukum yang menjadi ukuran untuk bertingkah laku serta kemauan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata. Salah satu upaya ke arah itu adalah melalui peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Berbicara mengenai kesadaran hukum masyarakat, Scholten memberikan rumusan sebagai berikut; Kesadaran hukum itu tidak lain dari pada suatu kesadaran yang ada dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh dan taat kepada hukum. Sedangkan batasan yang diberikan oleh peserta simposium kesadaran hukum masyarakat pada masa transisi yang dilaksanakan di Universitas IndonesiaJakarta. Bahwa kesadaran hukum meliputi pengetahuan masyarakat tentang hukum, penghayatan masyarakat terhadap hukum, dan ketaatan masyarakat terhadap hukum. Berdasarkan batasan tersebut, maka upaya pemeliharaan tertib hukum untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, haruslah melibatkan ketiga hal tersebut di atas. Untuk itu perlu pula indikator-indikator tertentu yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat kesadaran hukum masyarakat. Adapun indikator itu adalah sebagai berikut:1) Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum; 2) Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum; 3) Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum; 4) Pola perilaku hukum. Jika kesadaran hukum sebagai suatu faktor pendukung upaya pemeliharaan tertib hukum, maka kelanjutan dari upaya itu adalah dengan cara meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap isi peraturan hukum, mengarahkan masyarakat agar bersikap taat dan
86

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 patuh kepada peraturan hukum dan merubah pola perilaku masyarakat agar tetap berperilaku sesuai dengan norma hukum (tidak berperilaku menyimpang). Proses penegakan hukum adalah suatu konsep yang diarahkan kepada perilaku seseorang. Perilaku seseorang itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan sosio-kulturalnya. Orang yang memiliki pengetahuan tentu berbeda dalam caranya untuk berperilaku (hukum) dengan orang yang tidak atau kurang memiliki pengetahuan. Demikian juga halnya orang yang latar belakang kehidupan sosio-kulturalnya yang berbeda akan berbeda pula perilaku hukumnya jika dibandingkan dengan orang lain. Seseorang yang dibesarkan di lingkungan pesantren akan berbeda perilakunya dalam mentaati peraturan hukum dengan orang yang dibesarkan di lingkungan gelandangan. Oleh karena itu kesadaran hukum masyarakat haruslah dilihat secara total bila hendak mengaitkan pemberdayaan masyarakat dengan penegakan hukum. Artinya, pemahaman masyarakat tidak boleh terbatas hanya terhadap kaedah hukumnya saja, tetapi juga lebih jauh harus diarahkan kepada ketiga faktor yang telah dikemukakan pada bahagian pendahuluan, yaitu hal yang berkaitan dengan manusia sebagai subyek (pelaku) hukum yang meliputi, pengetahuannya terhadap peraturan hukum (termasuk) isi peraturannya, penghayatannya terhadap hukum serta ketaatannya terhadap hukum. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka permasalahannya yang perlu mendapat perhatian adalah langkah-langkah apa yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang pada gilirannya tercipta suatu suasana penegakan hukum yang baik. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PENEGAKAN HUKUM Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Donald Black dalam bukunya The Behavior of Law mengemukakan bahwa suatu perilaku hukum (case) mempunyai struktur sosialnya sendiri. Black sendiri mengemukakan teori bahwa kehadiran hukum bervariasi di mana orang-orang itu berada. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang baik pula. Selama struktur sosial masyarakat tidak terkandung kearah susunan masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah kepada perilaku hukum yang baik. Ini sebuah asumsi. Kalau kemudian ini dikembangkan lebih lanjut maka untuk menciptakan perilaku hukum yang baik (baca: kesadaran hukum) maka struktur sosial yang mengitari tempat di mana hukum itu diberlakukan harus diperbaiki terlebih dahulu. Struktur ekonomi harus diperbaiki, struktur politik harus diperbaiki, struktur pendidikan harus diperbaiki, struktur pertahanan keamanan harus diperbaiki, serta struktur-struktur lainnya yang terdapat dalam sistem sosial yang luas. Pandangan ini berkait erat dengan suatu asumsi bahwa hukum adalah sebagai produk sistem sosial. Sedangkan hukum itu sendiri adalah sub sistem dalam sistem sosial yang lebih luas. Bahagian-bahagian atau sub sistem yang lain yang mengitari suasana kehidupan hukum tetap mempengaruhi bekerjanya hukum itu dalam masyarakat. Dalam kaitan inilah selalu di dengar hukum dapat dibeli dengan uang, hukum dapat ditaklukkan dengan kekuasaan, hukum orang kaya tidak akan sama dengan hukum orang miskin, hukum orang pandai tidak akan sama dengan hukum orang bodoh, meskipun hukum sejak awal sudah mengingatkan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama didepan hukum. Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya. Dengan kata lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Ini akan menuntut konsekuensi bahwa
87

M. Husni: Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya

penegakan hukum tidak bisa disamaratakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain yang berbeda struktur sosialnya. Jika politik hukum Indonesia menghendaki adanya satu sistem hukum, maka langkah awal yang harus ditempuh adalah mempersatukan terlebih dahulu struktur sosial yang ada dalam arti homogen. Untuk itu strategi yang dapat di lakukan adalah melalui penyampaian informasi yang benar dan dipercaya. Jika struktur sosial belum memperlihatkan tanda-tanda yang homogenitas, maka selama itu pula penegakan hukum harus selektif dalam arti tidak dapat disamaratakan meskipun kasusnya sama. Langkah ini sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah, misalnya ketika konsep juridis diberlakukannya peraturan tentang lalu lintas. Di sana disebutkan bahwa untuk masing-masing daerah yang berbeda diberlakukan jumlah denda yang berbeda. Besarnya denda untuk Daerah DKI Jakarta akan berbeda dengan besarnya denda untuk wilayah Sumatera Utara. Dalam lapangan hukum perkawinan sendiri juga dikemukakan bahwa bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan dapat memilih ketentuan hukum agama atau hukum adat. Pasal 2 UU No.1 tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut ajaran agama atau kepercayaan masing-masing. Demikian juga dalam hal warisan, para pihak jika terbuka warisan diperkenankan untuk memilih hukum warisan masing-masing. Ini tentu suatu keputusan juridis yang sangat arif, ini adalah politik hukum yang benar-benar bijaksana. Pengetahuan dan pemahaman hukum masyarakat jauh lebih baik untuk lapangan-lapangan hukum yang non-netral jika dibandingkan dengan lapangan hukum netral (catatan: Prof. Mahadi membedakan lapangan hukum non-netral dengan lapangan hukum netral). Lapangan hukum non-netral adalah lapangan hukum yang dekat dengan suasana kehidupan agama dan kepercayaan atau dekat dengan kebudayaan, sedangkan lapangan hukum netral adalah lapangan hukum yang tidak berkaitan erat dengan agama, kepercayaan atau kebudayaan. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama atau hukum adat jauh lebih dipahami oleh masyarakat Indonesia daripada pelaksanaan perkawinan versi hukum perdata Eropa (BW). Ini berarti pula pemahaman masyarakat dengan kaedah (kaedah sosial yang kemudian diangkat menjadi kaedah hukum) hukum yang tumbuh dari bawah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kaedah hukum yang dituangkan dari atas. Jika pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang kaedah hukum itu termasuk tentang isi kaedah hukum itu sudah baik maka kemungkinan masyarakat untuk mematuhi atau mentaatinya lebih terbuka. Ronny Hanitijo Soemitro mengemukakan dalam suatu kesempatan, bahwa kaedah hukum yang tumbuh dari bawah lalu kemudian mendapat pengakuan secara juridis (dari pemerintah) ini jauh lebih baik dan lebih kokoh. Lebih baik dan lebih kokoh dimaksudkannya di sini adalah dalam arti kaedah hukum itu mendapat dukungan yang sepenuhnya dari masyarakat, karenanya kaedah hukumnya lebih terpelihara. Jika ini dikaitkan dengan tipe hukum menurut Selznick dan Nonet, maka tipe hukum yang semacam ini disebutnya dengan tipe hukum yang responsif, di samping tipe hukum yang lain yaitu tipe hukum yang refresif dan tipe hukum yang otonom. Tipe hukum responsif telah menjadi perhatian yang sangat besar yang terus menerus dari teori hukum modern untuk membuat hukum lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial dan untuk memperhitungkan secara lebih lengkap dan cerdas tentang fakta sosial yang menjadi dasar dan tujuan penerapan dan pelaksanaan hukum. Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, bukan oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Satjipto Rahardjo, menyebut hukum responsif sebagai lebih peka terhadap masyarakat. Karakteristik yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah pertama, pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan, kedua pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya. Sedangkan hukum represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan dan tertib sosial yang represif yang artinya, banyak mengandalkan penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada dipihak rakyat. Perhatian paling utama hukum represif adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan
88

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 otoritas, dan penyelesaian pertikaian. Pada umumnya, hukum represif menunjukkan karakteristik sebagai berikut: 1) Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik, hukum diidentifikasikan dengan negara kepada raison detat; 2) Perspektif resmi (Edmon Cahn), mendominasi segalanya. Dalam perspektif ini penguasa cenderung mengidentifikasi kepentingannya dengan kepentingan masyarakat; 3) Kepentingan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan adalah terbatas, di mana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhanya; 4) Badan-badan khusus, seperti polisi misalnya, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang bebas, 5) Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan kelas dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola-pola subordinasi sosial; 6) Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan. Tidak demikian dengan bentuk hukum otonom yang berorientasi pada pengawasan kekuasaan represif. Artinya, hukum otonom merupakan antitesa dari hukum represif. Sifat-sifat yang paling penting dari hukum otonom adalah: pertama, penekanan pada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi; kedua, adanya pengadilan yang dapat didatangi secara bebas, yang tidak dapat di manipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi, serta memiliki otoritas eksklusif untuk mengadili pelanggaran hukum baik oleh pejabat umum maupun individu-individu. Hukum otonom menunjukkan tiga titik kelemahan, yang membatasi potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial, di antaranya: pertama, perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan procedural, mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan menjadi terlepas dari tujuan; kedua, keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif, ketiga penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata tertib di antara rakyat, dan mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu sikap yang konservatif. Hukum seyogianya senantiasa memiliki keterikatan dengan komunitas masyarakat tertentu, dan sulit untuk memahami hukum suatu bangsa akan baik jika dilepaskan dari lingkup masyarakat tempat hukum itu dijalankan. Namun di Indonesia yang terjadi adalah lain dari yang diharapkan. Hukum sebagai sebuah produk politik yang dihasilkan ekskutif dan legislatif semakin jauh dari kepentingan masyarakat. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004, tentang Sumber Daya Air misalnya, begitu besar resistensinya dalam masyarakat dan pada saat bersamaan pemerintah menjamin tidak ada privatisasi sumber daya air dalam pemberlakuan UndangUndang tersebut. Sebaliknya Undang-Undang tersebut justru akan memberi peran pada swasta untuk mengendalikan pengelolaan air. Dalam pandangan masyarakat, Undang-Undang itu seharusnya mengedepankan dimensi sosial dan lingkungan daripada dimensi ekonominya. Ruh Undang-Undang tersebut secara substantif tidak sejalan dengan Pasal 33 Ayat 3 UndangUndang Dasar 1945, dan pemberlakuan Undang-Undang sumber daya air mendorong komersialisasi dan memberi hak pengelolaan kepada swasta. Implikasinya, penguasaan air melalui saluran distribusi akan semakin luas sehingga masyarakat pengguna air terpaksa membayar air untuk keperluan sehari tampak terbuka luas. Dalam perspektif sosiologis mengisyaratkan betapa hukum dijalankan sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu, seperti ekonomi tanpa memihak pada kebutuhan dasar masyarakat. Hukum telah kehilangan fungsi dasarnya sebagai instrumen untuk memberikan perlindungan, kesejahteraan dan keadilan bagi semua orang. Ini uraian tentang pengetahuan dan pemahaman hukum dalam kaitannya dengan pemeliharaan tertib hukum. Selanjutnya tentang kepatuhan atau ketaatan masyarakat terhadap kaedah hukum. Kepatuhan dan ketaatan masyarakat tentang kaedah hukum di samping merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan pemahaman terhadap isinya juga berkaitan pula dengan proses penegakan hukum (law enforcement) itu sendiri. Penegakan
89

M. Husni: Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya

hukum telah lama menjadi agenda yang belum terselesaikan dalam sistem hukum di Indonesia dan dapat dirasakan rendahnya penegakan hukum telah mengakibatkan hukum tidak memiliki kewibawaan dimasyarakat, merebaknya gejala patologis yang bersifat sistematik baik dimasyarakat maupun dikalangan penegak hukum, mulai praktek main hakim sendiri, mafia peradilan adalah beberapa fenomena yang memang sudah menjadi kronik didalam kehidupan sosial sehari-hari, mudahnya pelaku kejahatan melarikan diri keluar negeri dan sulitnya menjerat pelaku pelanggaran Hak Azasi Manusia ke pengadilan adalah fakta hukum yang sukar untuk ditegakkan. Penegakan hukum menjadi sebuah persoalan di dalam kehidupan bangsa sehingga ia mengandung makna yang provokatif. Banyak anggapan yang berada di kehidupan masyarakat bila penegakan hukum di negeri ini ibarat pisau tajam yang ditancapkan secara terbalik, ia efektif menjerat mereka yang lemah tetapi tumpul bila berhadapan dengan elite penguasa formal berwatak kolonial. Bila individu berikut instrumen organisasinya terlepas dari status sosial, ekonomi dan posisi politiknya di masyarakat, menghargai dan mentaati hukum sebagai instrument terhadap terciptanya ketertiban yang meningkatkan kesejahteraan sosial, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah selaku pelaksana kekuasaan negara akan cendrung meningkat. Sebaliknya bila masyarakat cenderung mangabaikan mekanisme penegakan hukum formal akibat konotasi negatif terhadap proses penegakan hukum itu sendiri, maka pemerintahlah yang akan menanggung akibatnya karena ia akan kehilangan legitimasi moral di mata masyarakatnya sendiri, karenanya penegakan hukum secara substansial sangat identik dengan pemulihan kredibilitas masyarakat terhadap pemerintahnya sendiri, dengan demikian persoalan penegakan hukum tidaklah hanya berkaitan pada tataran teknis hukum semata meski harus diakui persoalan teknis banyak mempengaruhi ketidakmapanan penegakan hukum. Artinya penegakan hukum harus juga dipandang sebagai agenda politik. Dalam konteks ini sebaiknya dalam memaknai penegakan hukum (Law Enforcement) tidak sekedar secara tekhnis sebagai rutinitas tindakan aparat penegak hukum didalam memproses tindakan melawan hukum, namun lebih jauh memahaminya dari sudut pandang sosiologi di mana elemen masyarakat berkontribusi aktif dalam penegakan hukum. Sebagaimana rasa keadilan memiliki nilai yang bersifat relatif maka ia merupakan proses yang selalu diupayakan hadir dan bukan merupakan faktor yang dengan sendirinya lahir didalam langkah-langkah penegakan hukum itu sendiri. Karenanya dalam hubungan ini yang harus dipahami bahwa lemahnya penegakan hukum meskipun dapat diartikan sebagai persoalan tekhnis juridis semata, namun hendaknya jangan dipisahkan dari konteks sosialnya artinya ia bersinggungan dengan komitmen seluruh masyarakat dan pemerintah terhadap nilai dan moral yang dianut oleh masyarakat sebagai sebuah entitas. Subjek dan objek hukum dengan kata lain indikasi serta dampak dari lemahnya penegakan hukum tidak hanya dapat dirasakan pada adanya jarak yang semakin jauh terhadap rasa keadilan itu sendiri, tetapi lebih jauh lagi bahwa ia semakin terasa didalam dekadensi dari berbagai sistem-sistem yang ada, artinya sistem sosial, politik dan ekonomi akan semakin rapuh akibat beban sosial yang meluas dan berkepanjangan. Penegakan hukum bukanlah semata-mata bersifat juridis murni, sebab penegakan hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor non-juridis. Aparat penegak hukum sebagai orang terdepan untuk menyelesaikan setiap sengketa hukum adakalanya tidak dapat berbuat apa-apa ketika ia berhadapan dengan kekuasaan. Atau pula ia sendiri dihadapkan kepada persoalan ekonomi yang sulit di samping pengetahuannya terbatas dalam memahami isi peraturan. Ini tentu perlu mendapat perhatian khusus, bilamana kita hendak menciptakan suatu tertib hukum yang baik. Upaya ke arah itu misalnya memang sudah dilakukan oleh pemerintah seperti memberi tunjangan keuangan yang lebih besar kepada para hakim dalam tugasnya dan memberikan perlindungan kepada para hakim dari intimidasi-intimidasi pihak -pihak tertentu terhadap hakim dalam menjalankan profesinya. Namun ini hanya diberikan kepada para hakim saja, bagaimana dengan jaksa, polisi dan sebagainya. Pihak kepolisian sebenarnya yang jauh lebih banyak terlibat dalam proses penegakan hukum dan aktivitas mereka jauh lebih berat
90

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 dan mengandung resiko yang tidak sedikit jika dibandingkan dengan hakim. Kita sering mendengar polisi terbunuh, polisi cidera dan lain sebagainya, tetapi kita jarang mendengar hakim terbunuh namun justru upaya untuk memperbaiki kesejahteraan ekonomi mereka tidak seperti yang dilakukan terhadap para hakim, bahkan akhirnya polisilah yang selalu mendapat sorotan negatif dari masyarakat, padahal apa yang disebut dengan mafia peradilan itu sematamata karena mental sebahagian para hakim yang kurang baik. Meskipun ungkapan ini terlihat terlalu subyektif, namun yang hendak di utarakan adalah bahwa kita harus mampu menangkap realitas sosial yang sesungguhnya. Adalah merupakan fakta empiris, bahwa hukum tidak dapat lagi ditegakkan dengan baik, hanya karena faktor non-juridis lebih banyak berperan. Karena itu melalui tulisan yang sederhana ini ingin mengemukakan pemikiran perlu kiranya diperhatikan faktor-faktor non-juridis seperti faktor ekonomi, politik dan lain sebagainya, dalam rangka memberikan dorongan positif kepada para aparat penegak hukum agar dapat beraktivitas dengan baik. Pada gilirannya menumbuhkan rasa percaya yang dalam kepada masyarakat bahwa benar kiranya aparat penegak hukum bermaksud untuk memperjuangkan keadilan yang mereka idamkan. Sehingga dengan demikian keengganan masyarakat untuk berurusan dengan pihak penegak hukum dapat dihindari. Disisi lain masyarakat tidak lagi mencari alternatif pemecahan yang dapat melemahkan wibawa hukum. Kemudian hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai isi dari kaedah hukum itu dalam rangka menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal ini, Mahadi menyarankan agar dicari azas-azas hukum Indonesia yang diturunkan dari pancasila kemudian dari azas itu diturunkan kaedah hukum yang mengatur masyarakat. Dengan memperhatikan asas-asas hukum yang terdapat dalam struktur kebudayaan bangsa Indonesia, diharapkan kaedah hukum yang kemudian diterapkan terhadap bangsa Indonesia akan sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Soebekti menyatakan bahwa, hukum itu sebagai suatu kebudayaan merupakan suatu refleksi dari cara berpikir, pandangan hidup dan karakter suatu bangsa. Ungkapan ini mengingatkan kita kepada suatu tugas berat yang harus kita tuntaskan. Sebab sampai hari ini masih banyak lapangan hukum (yang besar) yang berlaku di negara kita sebahagian besar bukan refleksi dari cara berfikir, pandangan hidup atau karakter bangsa Indonesia. Sebahagian besar adalah peninggalan kolonial Belanda. Pentingnya pemikiran ini dikemukakan, sebab dalam upaya membangun hukum nasional, mau tidak mau suka atau tidak suka kita harus melihat kepada cermin kebudayaan bangsa kita sendiri. Suatu teori yang patut pula untuk dikemukakan di sini, adalah teori yang dimajukan oleh Chambliss dan Seidman. Dalam penelitiannya tentang masyarakat Afrika bekas jajahan Inggris, ia menyimpulkan bahwa hukum Inggris tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat Afrika tersebut, segera setelah Inggris meninggalkan negara jajahannya itu. Teori yang dikemukakannya adalah, The Law of non Transfeerability of Law, yaitu suatu dalil yang dikemukakan bahwa hukum suatu bangsa itu tidak dapat diambil alih (ditransfer) begitu saja, oleh karena struktur sosial masyarakat tempat di mana hukum itu diberlakukan tidak sama dengan struktur masyarakat di mana hukum itu berasal. Tetapi sebenarnya rule of law, juga mengandung makna hukum yang ditaati itu harus berisi aspirasi masyarakat, bukan aspirasi golongan masyarakat tertentu. Jadi jika dikaitkan dengan kondisi hukum hari ini, pertanyaan yang dapat di ajukan adalah, apakah hukum kita yang ada saat ini telah menampung aspirasi masyarakat Indonesia. Semestinya yang perlu di kembangkan dalam hukum kita substansinya berdasarkan asas kesadaran hukum masyarakat Indonesia. KESIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu, maka pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Bahwa pemberdayaan masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi peningkatan, pengetahuan masyarakat
91

M. Husni: Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya

terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi kaedah hukum itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola perilaku hukum masyarakat itu sendiri; 2) Bahwa pemahaman hukum masyarakat dipengaruhi oleh struktur sosial tempat di mana hukum itu berlaku, karenanya untuk mencapai terpeliharanya tertib hukum melalui kesadaran hukum masyarakat, maka perlu pula dibenahi struktur masyarakat yang bersangkutan, seperti struktur ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan keamanan dan lain sebagainya yang terdapat dalam sistem sosial; 3) Bahwa pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib hukum, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non juridis seperti sikap penegak hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan masyarakat sebagai pemegang peran; 4) Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib hukum terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia dengan kata lain perlu diperhatikan segi substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang berkembang selama ini. DAFTAR PUSTAKA Abdulyani. 2002. SosiologiI, Sistematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara. Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti. Dimyati, Khudzaifah. 2005. Fenomena Penegakan Hukum Di Indonesia: Terpinggirnya Fungsi Hukum Dalam Pembangunan Masyarakat. Newsletter, Pusat Pengkajian Hukum. Husni, M. 1993. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat, Majalah Mahadi Tahun II Nomor 01 April, KSHM, Fak.Hukum USU. Medan. ______________, 2006. Moral dan Keadilan Sebagai Landasan Penegakan Hukum yang Responsif, Jurnal Hukum EQUALITY, Volume 11 Nomor 1, Februari. Fakultas Hukum USU. Medan Mahadi. 1986. Kumpulan Kuliah tentang Filsafat Hukum. Fakultas Hukum USU. Medan. Rahman, Abdul. 1999.Hukum Masyarakat dan Pembangunan. Alumni. Bandung. Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sinaga, Kastorius. 2005. Krisis Penegakan Hukum, Upaya Pencarian Alternatif, Majalah, Newsletter: Pusat Pengkajian Hukum. Soemitro, Ronny Hamitijo. 1984. Masalah-masalah Sosiologi Hukum. Sinar Baru. Bandung. , 1988. Pidato Pengukuhan Guru Besar, UNDIP. Semarang. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung 1988.

92

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 _______________, 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Kajian Hukum, Makalah Pada Penataran Lanjutan Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Kajian Hukum, Fak. Hukum UI. Jakarta. Soekamto, Soerjono. 2002. FaktorFaktor yang mempengaruhi Penegak Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

93

Lukman Hakim Nainggolan: Aspek Hukum terhadap Abortus

ASPEK HUKUM TERHADAP ABORTUS PROVOCATUS DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA


Lukman Hakim Nainggolan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: These days, mass media through newspaper, television news, and radio gives us information about crimes and lawbreaker such as murderer, stealing, deception and rape and abortion. Abortion is one of a serious crime besides others crimes such as murderer, stealing, deception and rape. It can classify as a serious crimes because there is a baby that carriage in a mothers womb become a victim.The person who done the abortion threat in criminal law sanction which is not light sentence. Criminal law (KUHP) has rules about abortion in section 346-349 KUHP. Kata kunci: Aspek Hukum, Abortus Provocatus, Undang-Undang.

Dewasa ini banyak pemberitaan melalui media massa baik media elektronik maupun media cetak yang diwarnai dengan banyaknya kejahatan dan pelanggaran, misalnya pembunuhan, pencurian, penipuan, perkosaan, aborsi dan lain sebagainya. Kata aborsi tentu terbayang kengeerian yang teramat sangat bagi umat manusia di mana janin yang tidak berdosa menjadi korban. Oleh karena itu aborsi diklasifikasikan sebagai kejahatan serius dan bagi pelakunya diancam sanksi pidana. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diundangkan dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 dinilai sebagai salah satu produk hukum bangsa Indonesia yang mempunyai predikat sebagai karya agung di mana KUHAP sangat memperhatikan hak-hak seseorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyidikan, pemeriksaan di depan pengadilan, penjatuhan hukuman sampai pasca persidangan yaitu pelaksanaan putusan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur tentang aborsi yaitu pada Pasal 346 349 KUHP. Pada Pasal 346 KUHP menegaskan bahwa seorang wanita yang sengaja mengugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam pidana penjara paling lama empat tahun. Dengan demikian dapat diketahui aborsi menurut konstruksi yuridis peraturan perUndang-Undangan di Indonesia (KUHP) adalah tindakan menggugurkan atau mematikan kandungan yang dilakukan oleh seorang wanita atau orang yang disuruh melakukan itu. Wanita dalam hal ini adalah wanita hamil yang atas kehendaknya ingin menggugurkan kandungannya, sedangkan tindakan yang menurut KUHP dapat disuruh lakukan untuk itu adalah tabib, bidan atau juru obat. Aborsi yang sudah diatur dalam KUHP sudah sangat memadai dan bahkan sangat serius dalam upaya penegakan tindak pidana aborsi. Perundang-undangan pidana di Indonesia mengenai aborsi mempunyai status hukum yang illegal sifatnya karena melarang aborsi tanpa kecualian. Dengan demikian, KUHP tidak membedakan abortus provocatus criminalis dan abortus provocatus medicinalis/therapeuticus. Dapat diketahui bahwa apapun alas an aborsi itu dilakukan tetap melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Tindak pidana aborsi yang dikategorikan sebagai kejahatan, baik kejahatan terhadap kesusilaan maupun kejahatan terhadap nyawa, dapat diancam dengan sanksi pidana penjara atau denda. Sedangkan tindak
94

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 pidana aborsi yang dikategorikan sebagai pelanggaran diancam dengan pidana kurungan atau denda seperti yang dituangkan dalam Pasal 535 KUHP. Perundang-undangan pidana di Indonesia yang mengatur aborsi tanpa kekecualian sangat meresahkan dokter atau ahli medis Indonesia yang bekerja. Tujuan ahli medis yang utama untuk menyelamatkan nyawa pasien tidak akan tercapai karena jika ahli medis menggugurkan kandungan untuk keselamatan ibu maka ahli medis tersebut terancam sasnksi pidana, tetapi kalau ahli medis tidak melakukan hal itu maka nyawa pasien dalam hal ini ibu dapat terancam kematian, hal ini merupakan perdebatan di dalam hati nurani medis khususnya dan masyarakat pada umumnya. Aborsi dalam perundangan medis baru diatur kemudian di dalam UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dalam Pasal 15 beserta penjelasannya. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa Tenaga kesehatan dapat melakukan tindakan medis dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan ibu dan atau janin atas pertimbangan tim ahli medis dan dengan persetujuan ibu hamil atau keluarganya. Tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis harus berdasarkan indikasi medis dan atas persetujuan tim ahli. Indikasi medis artinya suatu keadaan atau kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu ibu hamil da atau janinnya terancam bahaya kematian, sedangkan yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan yang melakukannya adalah dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Peraturan perundang-undangan pidana tentang aborsi di Indonesia sangat ketat, tetapi dalam perkembangannya tindakan aborsi yang bertentangan dengan hukum terjadi di mana-mana, banyak faktor dan sistem nilai yang menyebabkan meluasnya aborsi di Indonesia, misalnya kegagalan alat kontrasepsi yang dilakukan ibu-ibu yang mempraktikkan keluarga berencana. Faktor lain adalah menyangkut hubungan remaja yang semakin bebas dengan lawan jenis meskipun mereka belum berstatus kawin. Perilaku seksual yang semakin bebas tersebut sangat rentan dengan tingkat aborsi yang tinggi di Indonesia. Perubahan sikap dan perilaku seksual ini dapat mengakibatkan peningkatan masalah-masalah seksual seperti aborsi, penyakit kelamin dan masalah kehamilan yang tidak dikehendaki, walaupun dalam perkembangannya tindakan aborsi tetap dikenai tindak pidana bagi yang melakukannya tetapi masih saja banyak yang melakukannya di Indonesia. Sampai tahun 1998 di Indonesia diperkirakan sejuta aborsi tidak aman (unsafe abortion) dilakukan tiap tahun. Hal ini diungkapkan dalam dikusi terbatas mengenai aborsi tidak aman yang diselenggarakan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tanggal 24 April 1998 di Jakarta. Aborsi pada saat ini memang pro dan kontra di tengah masyrakat, ada yang pro aborsi yaitu masyarakat yang ingin melegalkan aborsi dan ada yang kontra terhadap aborsi yaitu golongan yang menentang tindakan aborsi. Sering kali perdepatan itu terpusat pada dua kutub. Kutub pertama berargumentasi bahwa aborsi merupakan hak, maka aborsi yang aman menjadi hak pula. Kutub kedua mempertahankan aborsi sebagai pelanggaran nilai sosial. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia tidak berada pada kedua-duanya. Pelayanan aborsi tidak ada, tetapi aborsi dilakukan secara diam-diam dan mempunyai ancaman ketidakamanan. Abortus provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah satu dari berbagai macam jenis abortus. Dalam kamus Latin - Indonesia sendiri, abortus diartikan sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran. Pengertian aborsi atau Abortus Provocatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya (Kusmariyanto, 2002: 203). Dengan kata lain pengeluaran itu dimaksudkan bahwa keluarnya janin disengaja dengan campur tangan manusia, baik melalui cara mekanik, obat atau cara lainnya. Pengertian Abortus Provocatus menurut rumusan Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannnya atau menyuruh orang lain untuk itu, dincam dengan pidana penjara maksimal
95

Lukman Hakim Nainggolan: Aspek Hukum terhadap Abortus

empat tahun. Dari pengertian yang dimaksud dalam Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya diatur dala KUHP tersebut, maka yang diancam pidana adalah: 1) Wanita yang dengan sengaja menyebabkan kandungannya menjadi gugur atau mati, atau 2) Wanita yang dengan sengaja menyuruh orang lain menyebabkan kandungannya menjadi gugur atau mati, 3) Orang lain yang disuruh untuk melakukan itu. Dengan demikian dapat diketahui bahwa aborsi menurut konstruksi yuridis peraturan perUndang-Undangan di Indonesia adalah tindakan mengugurkan atau mematikan kandungan yang dilakukan dengan sengaja oleh seoarang wanita atau irang yangdisuruh melakukan untuk itu. Wanita hamil dalam hal ini adalah wanita yang hamil atas kehendaknya ingin mengugurkan kandungannya, sedangkan tindakan yang menurut KUHP dapat dapat disuruh untuk lakukan itu adalah tabib, bidan atau juru obat. Pengguguran kandungan atau pembunuhan janin yang ada di dalam kandungan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya: dengan obat yang diminum atau dengan alat yang dimasukkan ke dalam rahim wanita melalui lubang kemaluan wanita. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dalam Pasal 346 KUHP dapat ditemukan beberapa unsur antara lain: 1) wanita hamil atau orang yang disuruh untuk lakukan itu, 2) dengan sengaja, 3) menyebabkan gugur atau matinya kandungan. Seseorang dikatakan telah lakukan kejahatan aborsi, apabila orang tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 346 KUHP tersebut. Meskipun demikian dalam Pasal 347 Ayat (1) KUHP yang menyebutkan Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau matinya kandungan seorang wanita tidak dengan izin wanita tersebut, dipidana dengan penjara maksimal dua belas tahun. Jadi dari bunyi padal tersebut di atas ditambahkan pelaku aborsi tidak hanya wanita hamil atau orang yang disuruh lakukan itu, tetapi juga oleh orang yang tanpa izin wanita hamil tersebut telah melakukan tindak pidana aborsi. Unsur pertama tindak pidana aborsi yang diatur dalam Pasal 346 KUHP ialah unsur wanita atau orang lain yang disuruh lakukan untuk itu (subjek tindak pidana). Dalam KUHP memang tidak ada penjelasan yang jelas tentang hal ini, namun wanita hamil dapat diartikan yang sel telurnya telah dibuahi oleh sel sperma sehingga tidak mengalami menstruasi hingga melahirkan kandungannya atau dengan kata lain wanita hamil adalah wanita yang dikandungannya terdapat janin dari hari pertama setelah pembuahan sampai melahirkan. Sedangkan orang yang disuruh lakukan untuk itu adalah orang yang dengan persetujuan wanita hamil tersebut melakukan tindak pidana aborsi, misalnya: dokter, bidan, juru obat, dukun, atau orang yang mempunyai kemampuan untuk itu. Unsur kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 346 adalah unsure dengan sengaja. Yang dimaksud dengan sengaja adalah mempunyai niat atau keinginan untuk melakukan sesuatu. Wujud dengan sengaja dalam tindak pidana aborsi bisa berupa meminum obat peluruh haid degan dosis yang tinggi, memasukkan benda tajam kedalam alat kelaminnya untuk menggugurkan kandungan. Unsur ketiga yang diatur dalam Pasal 346 KUHP adalah unsur menyebabkan gugur atau matinya kandungan maksudnya janin yang berada di dalam kandungan wanita tersebut keluar sebelum waktunya tiba akibat paksaan atau tindakan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga janin tersebut gugur atau mati. Aborsi yang diatur dalam Pasal 346 KUHP berbeda dengan kejahatan yang diatur dalam Pasal 341 KUHP yang berbunyi Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Menurut penjelasan Pasal tersebut, yang diancam hukuman dalam Pasal ini adalah seorang ibu yang membunuh anaknya sendiri, ketika anak itu dilahirkan atau beberapa saat kemudian setelah anak itu dilahirkan, kerana takut akan ketahuan oleh orang lain. Aborsi yang dimaksud dalam Pasal 346 KUHP hanya mencakup mengguguran kandungan karena kesengajaan saja abortus provocatus, sedangkan pengguguran kandungan secara alamiah atau keguguran tidak dapat dimaksud sebagai salah satu tindak pidana karena tidak mencakup unsur yang terdapat dalam KUHP yaitu unsur kesengajaan. Ada beberapa istilah
96

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 untuk menyebut keluarnya konsepsi atau pembuahan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang biasa disebut aborsi (abortion), di antaranya: Abortion criminalis, yaitu pengguguran kandungan secara bertentangan dengan hukum; Abortion Eugenic, yaitu pengguguran kandungan untuk mendapat keturunan yang baik; Abortion induced/ provoked/ provocatus, yaitu pengguguran kandungan karena disengaja; Abortion Natural, yaitu pengguguran kandungan secara alamiah; Abortion Spontaneous, yaitu pengguguran kandungan secara tidak disengaja; dan Abortion Therapeutic, yaitu pengguguran kandungan dengan tujuan untuk menjaga kesehatan sang ibu. (Soekanto, 1989, dikutip oleh Ekotama, 2001). Penguguran kandungan dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis yang berbeda: 1) Abortus Spontan, yaitu pengguguran kandungan yang terjadi secara alamiah tanpa ada usaha dari luar atau campur tangan manusia, meliputi abortion spontaneous (pengguguran kandungan secara tidak disengaja)dan abortion natural (pengguguran secara alamiah). Dalam dunia kedokteran juga istilah abortus habitualis untuk menyebut perempuan yang setiap kali mengalami keguguran. Keguguran ini biasanya terjadi pada saat kandungan berusia lima minggu (haid terlambat satu minggu) sampai minggu ke-16. Abortus habitualis merupakan salah satu jenis abortion natural karena terjadi secara alami tanpa diketahui penyebabnya. 2) Abortus Provocatus, yaitu pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan kandungan yang tidak diinginkan, meliputi: a) Abortus Provocatus Medicinalis, Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan berdasarkan alasan/ pertimbangan medis. Contohnya adalah abortus provocatus therapeuticus (pengguguran kandungan untuk menyelamatkan jiwa si ibu). b) Abortus Provocatus Criminalis, Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan dengan sengaja melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Mislanya: abortion induced/abortion provoked (pengguguran kandungan yang disengaja berbagai alasan lainnya, misalnya malu pada tetangga, belum mampu secara ekonomi, dan sebagainya). (Soekanto, 1989). Penguguran kandungan yang terjadi secara alamiah tanpa ada usaha dari luar atau campur tangan manusia menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dapat dipidana karena tidak mengandung unsur kesengajaan. Dalam usia yang sangat muda keguguran dapat saja terjadi, misalnya karena aktivitas ibu yang mengandung terlalu berlebihan, stress berat, berolahraga yang membahayakan keselamatan janin seperti bersepeda dan sebagainya. Walaupun keguguran menimbulkan korban dalma hal ini disebut janin tetapi tidak dapat dipidana karena tidak ada unsur kesengajaan. ABORTUS PROVOCATUS DALAM UU NO.23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN Aturan umum tentang aborsi selain diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Ketentuan mengenai abortus provocatus dalam KUHP dapat dilihat dalam BAB XIV Buku kedua tentang kejahatan kesusilaan khususnya Pasal 229 dan BAB XIX Buku kedua KUHP khususnya Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Pengaturan KUHP mengenai pengguguran kandungan adalah sebagai berikut: a) Pengguguran kandungan oleh si ibu telah diatur dalam Pasal 346 KUHP, b) pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan yang mengandung yang diatur dalam Pasal 347 KUHP, c) penguguran kandungan dengan izin perempuan yang mengandung yang diatur dalam Pasal 348 KUHP. (Marpaung, 2000). Ada persamaan dan perbedaan antara pembunuhan anak dengan pengguguran atau pembunuhan kandungan. Persamaan antara pembunuhan anak dengan pengguguran atau pembunuhan kandungan ialah, bahwa harus ada kandungan (vrucht) dan bayi (kind) yang hidup dan yang kemudian dimatikan. Persamaan inilah yang juga menyebabkan tindak pidana pengguguran (abortus) dimasukkan dalam title XIX buku II KUHP tentang kejahatan teerhadap nyawa orang. Perbedaan pokok antara pembunuhan anak dan pengguguran kandungan ialah, bahwa dalam pembunuhan anak harus
97

Lukman Hakim Nainggolan: Aspek Hukum terhadap Abortus

ada bayi yang lahir dan hidup, sedangkan dalam menggugurkan atau mematilkan kandungan, apa yang keluar dari tubuh ibu adalah suatu kandungan, yang hidup tetapi belum jadi bayi (onvoldragen vrucht) atau belum lahir. Perbedaan inilah yang menyebabkan maksimum pada abortus (empat tahun) lebih ringan pada pembunuhan anak (tujuh tahun). (Prodjodikoro, 1980). Pengguguran kandungan yang dilakukan berdasarkan alasan dan pertimbangan medis telah diatur dalam Pasal 15 UU No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Dalam Ayat (1) Pasal tersebut berbunyi Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Dari bunyi Ayat (1) Pasal tersebut dapat diketahui bahwa pengguguran kandungan dapat dilakukan apabila tindakan medis itu harus dilakukan, yaitu sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya. Adapun penjelasan dari Ayat tersebut menyatakan Tindakan medis tertentu dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun, dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan nyawa ibu hamil dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Melihat rumusan Ayat (1) Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 beserta penjelasannya di atas, tampaklah bahwa pada dasarnya UndangUndang tersebut juga menganut abortus provocatus criminalis, kecuali untuk jenis abortus provocatus therapeuticus. Terlihat kalau pengaturan abortus menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan juga teramat limitatif, sebab berdasarkan uraian di atas, abortus provocatus medicinalis hanya dapat dilakukan jika nyawa ibu terancam bahaya maut. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Darwin, yang menyatakan bahwa UndangUndang Kesehatan No.23 Tahun 1992 hanya dapat membenarkan aborsi jika dilakukan sebagai tindakan darurat untuk menyelamatkan nyawa ibu. Diluar itu, pertolongan abortus dikategorikan sebagai tindak kriminal. Hukum aborsi yang sangat restriktif ini ternyata tidak membuat angka aborsi di Indonesia rendah. Hukum ini hanya membuat pertolongan aborsi yang aman sulit diperoleh oleh perempuan yang mengalami kehamilan tidak dikehendaki. (Darwin, 2000). Pengguguran kandungan yang disengaja dengan melanggar berbagai ketentuan hukum (abortus provocatus criminalis) yang terdapat dalam KUHP menganut prinsip illegal tanpa kecuali dinilai sangat memberatkan paramedis dalam melakukan tugasnya. Pasal tentang aborsi yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga bertentangan dengan Pasal 15 UU No.23 Tentang Kesehatan, di mana dalam satu sisi melarang dilakukannya aborsi dalam segala alasan dan di sisi lain memperbolehkan tetapi atas indikasi medis untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janin. Menurut Kusumo yang dikutip dalam buku Ekotama, menyatakan disini berlaku asas lex posteriori derogate legi priori. Asas ini beranggapan bahwa jika diundangkan peraturan baru dengan tidak mencabut peraturan lama yang mengatur materi yang sama dan keduanya saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan yang baru ini mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama. (Ekotama, 2001: 77). Dengan demikian, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang mengatur tentang abortus provocatus medicinalis tetap dapat berlaku di Indonesia meskipun sebenarnya aturan itu bertentangan dengan rumusan abortus provocatus criminalis menurut KUHP. TUNTUTAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT TERHADAP PENGATURAN HUKUM TENTANG ABORTUS PROVOCATUS DI INDONESIA Dalam peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia memang melarang tindakan aborsi kecuali tindakan abortus provocatus medicinalis/therapeuticus, tetapi dalam kenyataannya di masyarakat masih banyak terjadi kasus aborsi dan ada juga yang secara terang-terangan melakukan praktik aborsi. Ada istilah yang dipakai dalam masyarakat saat ini untuk melakukan aborsi yaitu determinasi kehamilan atau menstruation regulation. Aborsi memang mengundang banyak kontroversi, misalnya mengenai hak janin dan hak ibu hamil,
98

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 atau mengenai konsep awal kehidupan, apakah sejak terjadinya konsepsi atau beberapa minggu/bulan setelah itu. Perbedaaan pandangan inilah yang menyebabkan timbulnya dua aliran yang memperdebatkan masalah aborsi. Menurut K. Bertens, Gerakan Pro Life menekankan hak janin untuk hidup. Bagi mereka mengaborsi janin sama dengan pembunuhan (murder) gerakan Pro Choice mengedepankan pilihan si perempuan mau melanjutkan kehamilannya atau mengakhirinya dengan aborsi. Bagi mereka perempuan mempunyai hak untuk memilih antara dua kemungkinan itu, orang lain dalam masalah ini tidak dapat ikut campur. Forum Kesehatan Perempuan mengusulkan legalisasi aborsi seperti yang dikutip oleh K. Bertens: 1) Aborsi hanya dipraktikkan dalam klinik atau fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah dan organisasi-organisasi profesi medis; 2) Aborsi hanya dilakukan oleh tenaga professional yang terdaftar dan memperoleh izin untuk itu, yaitu dokter spesialis kebidanan dan ginekologi atau dokter umum yang mempunyai kualifikasi untuk itu; 3) Aborsi hanya dilakukan pada usia kehamilan kurang dari 12 minggu (untuk usia di atas 12 minggu bila terdapat indikasi medis); 4) Harus disediakan konseling bagi perempuan sebelum dan sesudah aborsi; 5) Harus ditetapkan tarif baku yang terjangkau oleh segala lapisan masyarakat. (Bertens, 2002). Pertentangan antara pandangan tersebut memang masih dirasakan sampai sekarang, tetapi sampai sekarang belum ada pemecahan yang objektif yang harus dipilih oleh masyarakat khususnya bagi mereka yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki. Sebenarnya, beberapa Negara yang telah melegalkan aborsi memberi pilihan yang layak bagi ibu-ibu yang memiliki anak di luar nikah. Selain tersedianya klinik aborsi di mana-mana, jika perempuan memutuskan menyimpan janin yang dia kandung, biasanya tersedia dua alternatif: sebagai single mother, atau pengaturan adopsi untuk bayi tersebut. Sebagai single mother dia beserta bayinya akan mendapatkan dukungan material, seperti tunjangan makanan, kesehatan, biaya hidup bahkan sekolah bagi anak dari pemerintah. Tetapi pemerintah Indonesia tidak akan mampu melakukan hal tersebut melihat perekonomian Negara yang sedang mengalami krisis, jangankan mengharapkan tunjangan, perlakuan manusiawi pun sulit di dapat bagi perempuan yang bernasib seperti ini. Perdebatan antara pandangan pro life dan pro choice memang tidak akan pernah selesai dan merupakan pilihan sulit bagi masyarakat yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki. Pokok dari permasalahan abortus provocatus ini adalah karena adanya kehamilan yang tidak dikehendaki, dan untuk mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut harus ada upaya-upaya dari pemerintah dan masyarakat dalam mencegah permasalahan ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan perubahan yang lebih progresif kearah perluasan akses penggunaan kontrasepsi kepada semua perempuan yang potensial mengalami kehamilan, tidak hanya pada pasangan resmi. Yanpa adanya keberanian untuk melakukan perubahan seperti itu, angka kehamilan yang tidak dikehendaki akan tetap tinggi. Tetapi apabila perempuan telah terlanjur mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, hal yang perlu dipertimbangkan perempuan tersebut adalah masa depan anak dan masa depan perempuan yang melahirkan anak tersebut. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA ABORTUS PROVOCATUS Abortus provocatus berkembang sangat pesat dalam masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan banyaknya factor yang memaksa pelaku dalam masyarakat untuk melakukan hal tersebut. Pelaku merasa tidak mempunyai pilihan lain yang lebih baik selain melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dan moral yaitu melakukan aborsi. Berikut ini disebutkan beberapa faktor yang mendorong pelaku dalam melakukan tindakan abortus provocatus menurut Ekotama, yaitu: a) Kehamilan sebagai akibat hubungan kelamin di luar perkawinan. Pergaulan bebas dikalangan anak muda menyisakan satu problem yang cukup besar. Angka kehamilan di luar nikah meningakat tajam. Hal ini
99

Lukman Hakim Nainggolan: Aspek Hukum terhadap Abortus

disebabkan karena anak muda Indonesia belum begitu mengenal arti pergaulan bebas yang aman, kesadaran yang amat rendah tentang kesehatan. Minimnya pengetahuan tentang reproduksi dan kontrasepsi maupun hilangnya jati diri akibat terlalu berhaluan bebas seperti negara-negara barat tanpa dasar yang kuat (sekedar tiru-tiru saja). Hamil di luar nikah jelas merupakan suatu aib bagi wanita yang bersangkutan, keluarganya maupun masyarakat pada umumnya. Masyarakat tidak menghendaki kehadiran anak haram seperti itu di dunia. Akibat adanya tekanan psikis yang diderita wanita hamil maupun keluarganya, membuat mereka mengambil jalan pintas untuk menghilangkan sumber/penyebab aib tadi, yakni dengan cara menggugurkan kandungan. b) Alasan-alasan sosio ekonomis. Kondisi masyarakat yang miskin (jasmani maupun rohani) biasanya menimbulkan permasalahan yang cukup kompleks. Karena terhimpit kemiskinan itulah mereka tidak sempat memperhatikan hal-hal lain dalam kehidupan mereka yang bersifat sekunder, kecuali kebutuhan utamanya mencari nafkah. Banyak pasangan usia subur miskin kurang memperhatikan masalah-masalah reproduksi. Mereka tidak menyadari kalau usia subur juga menimbulkan problem lain tanpa alat-alat bukti kontrasepsi. Kehamilan yang terjadi kemudian tidak diinginkan oleh pasangan yang bersangkutan dan diusahakan untuk digugurkan dengan alasan mereka sudah tidak mampu lagi membiayai seandainya anggota mereka bertambah banyak. c) Alasan anak sudah cukup banyak. Alasan ini sebenarnya berkaitan juga dengan sosio-ekonomi di atas. Terlalu banyak anak sering kali memusingkan orang tua. Apalagi jika kondisi ekonomi keluarga mereka pas-pasan. Ada kalanya jika terlanjur hamil mereka sepakat untuk menggugurkan kandungannya dengan alasan sudah tidak mampu mengurusi anak yang sedemikian banyaknya. Dari pada si anak yang akan dilahirkan nanti terlantar dan hanya menyusahkan keluarga maupun orang lain, lebih baik digugurkan saja. d) Alasan belum mampu punya anak. Banyak pasangan-pasangan muda yang tergesa-gesa menikah tanpa persiapan terlebih dahulu. Akibatnya, hidup mereka pas-pasan, hidip menumpang mertua, dsb. Padahal salah satu konsekuensi dari perkawinan adalah lahirnya anak. Lahirnya anak tentu saja akan memperberat tanggung jawab orang tua yang masih kerepotan mengurusinya hidupnya sendiri. Oleh karena itu, mereka biasanya mengadakan kesepakatan untuk tidak mempunyai anak terlebih dahulu dalam jangka waktu tertentu. Jika terlanjur hamil dan betul-betul tidak ada persiapan untuk menyambut kelahiran sang anak, mereka dapat menempuh jalan pintas dengan cara menggugurkan kandungannya. Harapannya, dengan hilangnya embrio/janin tersebut, dimasa-masa mendatang mereka tak akan terbebani oleh kehadiran anak yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk merawatnya sampai besar dan menjadi orang. e) Kehamilan akibat perkosaan. Perkosaan adalah pemaksaan hubungan kelamin (persetubuhan) seorang pria kepada seorang wanita. Konsekuensi logis dari adanya perkosaan adalah terjadinya kehamilan. Kehamilan pada korban ini oleh seorang wanita korban perkosaan yang bersangkutan maupun keluarganya jelas tidak diinginkan. Pada kasus seperti ini, selain trauma pada perkosaan itu sendiri, korban perkosaan juga mengalami trauma terhadap kehamilan yang tidak diinginkan.hal inilah yang menyebabkan si korban menolak keberadaan janin yang tumbuh di rahimnya. Janin dianggap sebagai objek mati, yang pantas dibuang karena membawa sial saja. Janin tidak diangap sebagai bakal manusia yang mempunyai hak-hak hidup. (Ekotama, 2001). KESIMPULAN Semua peraturan yang diatur dalam Pasal demi Pasal dalam KUHP dan Pasal 15 Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan adalah merupakan satu peraturan yang kesemuanya yaitu peraturan yang melarang melakukan suatu tindak pidana Abortus Provocatus. Tetapi ada pengecualian pada hal-hal tertentu dapat dibenarkan oleh UU No.23
100

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 Tahun 1992 tentang Kesehatan itu jelas indikasinya menurut medis yang benar-benar harus dilakukan oleh ahli kandungan karena dalam keadaan bahaya maut terhadap ibu hamil dan atau janinnya. Ini adalah dasar hukum yang jelas harus dilakukan yang menurut indikasi medis atas persetujuan tim ahli medis yang maksudnya tenaga medis kesehatan adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan. Yang memlakukan adalah dokter ahli kandungann dan penyakit kandungan. Itu atas persetujuan ibu hamil dan keluarganya. Jadi, di sini jelas bahwa Pasal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang aborsi pada Pasal 346-349 KUHP. Pada Pasal 346 menegaskan Bila seorang perempuan dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan atau menyuruh orang lain untuk itu diancam hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, itu menurut Pasal-Pasal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tetapi juga ada pengecualian oleh UU No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menyatakan, kalau dalam keadaan terpaksa boleh dilakukan. Sesuai dengan yang tertera dalam Undang-Undang tidak menutup kemungkinan bila melakukan Abortus Provocatus dijerat oleh Pasal-Pasal yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Saran 1) Pemerintah berperan aktif dalam hal mengantisipasi mengenai kehamilan yang tidak dikehendaki. Jelas bahwa mengenai pencegahan kehamilan dengan cara pencanangan program kontrasepsi secara menyeluruh khususnya kepada masyarakat. Pemerintah harus menyampaikan atau mensosialisasikan pencanangan program kontrasepsi tersebut dan menjelaskan risiko-risiko dari tindakan aborsi kepada masyarakat luas. 2) Pemerintah agar dapat mengurangi tingkat angka aborsi dengan cara menampung anak yang tidak dikehendaki di dalam satu badan yayasan sosial. Dengan kasus tertentu hakim benar-benar menuntut ganti rugi kepada terdakwa yang mengobati seorang wanita hamil tanpa persetujuan wanita tersebut. Misal, seorang yang menghamili wanita dan menyuruh atau memberi obat kepada wanita itu agar kandungan gugur. Artinya wanita hamil yang tidak dikehendaki kandungannya mempunyai pilihan selain melakukan aborsi. DAFTAR PUSTAKA Bertens, K. 2002. Aborsi Sebagai Masalah Etika. Grasindo. Jakarta. Darwin, Muhajir. 2000. Aborsi dan Kedudukan Amandemen Undang-Undang Kependudukan dan Kesehatan. www.kompas.co.id. Ekotama, Suryono; Artu Harum, ST Pudji dan Artana, Widi. 2001. Abortus Provokatus bagi Korban Perkosaan. Perspektif Viktimologi Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta. Maleong, Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung. Marpaung, Leden. 2000. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. Sinar Grafika. Jakarta. Purnomo, Bambang. 1993. Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia. Liberti.Yogyakarta. Sunggono, Bambang. 1997. Metodologi Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

101

Lukman Hakim Nainggolan: Aspek Hukum terhadap Abortus

Soekanto, Soerjono. 1989. Suatu Tindakan Sosiologis Terhadap Masalah-Masalah Sosial. Citra Aditya Bakti. Jakarta. SCJ, Kusmaryanto. 2002. Kontroversi Aborsi. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Prodjokoro, Wirjono. 1980. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. PT. Eresco. JakartaBandung. Peraturan Perundang-undangan: Republik Indonesia. 1946. Undang-Undang No.1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Republik Indonesia. 1981. Undang-Undang No.8. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang No. 23. Kesehatan.

102

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006

ANALISIS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Liza Erwina
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: The explanation of First Indonesia Government System through Constitution is that the law of Indonesia is based on Rechtsstaat rather than on morely power (Machtsstaat). After Third amandement to Constitution 2001 Chaphter 1 verse 3 Indonesia is a Law State. Government and Parliament have produced some laws or revised the law. In socialization perspective it is asked what is the Importance of revising the law to people it is not sufficient and in prevention of Corruption suddenly the law changes. For criminal inviting the Concern of Peoples the Decision of trial by Judges does not reflect the Justice and it even distors from the law goal. Kata Kunci: Perubahan Undang-Undang, Sistem Hukum, UUD 1945

Sistem Pemerintahan Negara Indonesia, sebagaimana dimuat dalam penjelasan UndangUndang 1945 Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan Kekuasaan belaka (Machtsstaat). Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum . Ciri-ciri negara hukum antara lain adanya azas legalitas, adanya pengakuan terhadap Hak azasi manusia dan adanya suatu sistem peradilan yang bebas, tidak memihak. Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 1 Ayat (1) menyatakan Tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam Undang-Undang yang ada terdahulu. Ketentuan ini tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana itu diadakan, hal ini di kenal dengan asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli artinya peristiwa pidana tidak akan ada jika ketentuan pidana dalam Undang-Undang tidak ada terlebih dahulu. Dengan adanya ketentuan Pasal 1 Ayat (1) KUHP ini dalam menghukum orang hakim terikat oleh Undang-Undang sehingga terjaminlah hak kemerdekaan diri pribadi orang. Penghargaan kita terhadap azas nullum dellictum itu ditentukan menurut pertimbangan antara 2 hal yang menjadi latar belakang de strijd om hec straafrecht yaitu pertama, kemerdekaan pribadi individu. Kedua, kepentingan kolektiviteit atau masyarakat (Soesilo, 1983 : 28). Dengan adanya ketentuan azas legalitas, negara Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai saat ini telah banyak dikeluarkan Undang-Undang oleh legislatif di DPR Permasalahannya begitu mudahnya suatu Undang-Undang dirubah dan akan dirubah sedangkan ditinjau dari jangka waktu berlaku masih terlalu singkat untuk dievaluasi , kadang Undang-Undang tersebut belum tersosialisasikan ditengah tengah masyarakat sudah berubah. Ditinjau dari azas-azas hukum dalam Undang-Undang serta tujuan hukum dari UndangUndang tersebut dikeluarkan belum terasa manfaat atau kegunaannya untuk memberantas tingkat kejahatan (upaya penegakan supremasi hukum Undang-Undang tersebut masih rendah/masih jauh dari harapan masyarakat), Undang-Undang tersebut sudah berubah atau
103

Liza Erwina: Analisis Perubahan Undang-Undang

akan dirubah. Sehingga menimbulkan pertanyaan apa urgensi (kepentingan ) mengubah-ubah suatu Undang-Undang, bandingkan dengan Undang-Undang produk pemerintahan Hindia Belanda dahulu yang sampai saat ini masih dipergunakan aparat penegak hukum seperti KUHP (Wetboek Van Straafrecht), sebahagian KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), ketentuan hukum acara perdata dalam RBG, dll. Adanya pengakuan terhadap hak azasi manusia dapat dilihat dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang. Pengertian hak azasi manusia menurut Pasal 1 Ayat (1 ) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia . Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 secara terperinci diatur hak-hak azasi manusia seperti : hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak dan hak beragama. Selain hak azasi manusia juga diatur batasan atau kewajiban-kewajiban dasar manusia. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 juga mengatur keberadaan komisi nasional HAM sebagai Lembaga yang mandiri untuk melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang hak azasi manusia. Pada tahun 2000 pemerintah pusat dan DPR RI mengeluarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia. Setelah reformasi Tahun 1998 Undang-Undang Dasar 1945 di amandemen sebanyak 4 (empat) kali yaitu Tahun 1999 , 2000, 2001 dan Tahun 2002. Pada amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 Tahun 2000 dicantumkan pada Bab X A tentang hak azasi manusia secara individual atau perorangan mulai Pasal 28A sampai 28 J. Bila dilihat sejarah ketika perumusan Undang-Undang Dasar 1945 panitia 5 (lima) seperti Wakil Presiden pertama Indonesia Drs. .Mohd Hatta menyatakan Perlu ada keseimbangan antara Individu dan masyarakat sebagaimana Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial , dan anggota panitia 5 (lima) yang lain yaitu Subarjo menyatakan mengenai hak-hak azasi manusia tidak dimasukkan selengkapnya ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 karena sudah termasuk dalam pengertian systematika azas keleluargaan (Hatta, 1977 : 79 ) Ciri negara hukum berikutnya adalah adanya suatu sistem peradilan yang bebas, tidak memihak (independent). Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 dan 25 menyatakan: Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim (Konstitusi, 2003 : 19). Seharusnya tidak boleh diintervensi pengadilan atau keputusan para hakim sebagai pemegang kekuasaan judikatif, karena kepada hakim di pengadilan para pencari keadilan mohon keadilan. Keputusan hakim sesuai irah irah yaitu Demi keadilan berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, artinya pertanggungjawaban para hakim dalam mengambil keputusan selain kepada masyarakat, diri sendiri adalah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tetapi independensi para hakim juga tidak dibenarkan disalahgunakan karena semua ada aturannya bahkan telah dikeluarkan oleh legislatif Undang-Undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudicial sesuai perintah Pasal 24 b Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan , keluhuran martabat , serta perilaku hakim. Selain itu Hakim diatur oleh Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman No 4 Tahun 2004 yang merubah Undang-Undang No 35 Tahun 1999 (sebelumnya dalam UndangUndang No 14 Tahun 1970). Menurut konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 negara Indonesia adalah negara hukum , sistem pemerintahan juga berdasar atas hukum bukan atas dasar kekuasaan tetapi mengapa penegakan supremasi hukum di negara kita masih memprihatinkan? Bagaimana penegakan hukum oleh aparat penegak hukum sampai saat ini
104

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 sesuai maksud dan tujuan ditetapkannya Tap MPR RI No IV / 1999 tentang GBHN Periode 1999 sampai 2004 yaitu dalam memberi arah bagi penyelenggaraan negara untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan sosial, melindungi kak azasi manusia dan menegakkan supremasi hukum? Yang terjadi dimasyarakat dapat disaksikan melalui media cetak atau media elektronika tingkat kejahatan makin tahun bukannya makin berkurang sebaliknya makin meningkat kuantitas dan kualitas kejahatan. Setelah perkara perkara yang mengundang perhatian masyarakat sampai ke Pengadilan, vonis (keputusan hakim yang dijatuhkan terlalu ringan tidak sesuai dengan ancaman hukuman yang dirumuskan dalam Undang-Undang tersebut. Vonis yang ringan ditinjau dari tujuan Undang-Undang yang berlaku tidak bakal membuat jera pelaku. Keputusan hakim seperti itu tidak mencerminkan rasa keadilan ditengah tengah masyarakat. AZAS LEGALITAS ( Azas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli) Pasal 1 Ayat (1) KUHP menyatakan : Tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam Undang-Undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu. Ketentuan Pasal ini untuk melindungi setiap orang dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum dalam menangkap, menahan atau mengajukan seseorang ke depan pengadilan. harus jelas dasar atau landasan hukum Undang-Undang dalam menangkap, menahan serta mengajukan seseorang ke pengadilan. Harus diperhatikan juga unsur subjektif pelakunya dan unsur objektif perbuatannya sebab menurut Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 dalam Penjelasannya menyatakan : Hukum acara pidana nasional wajib didasarkan pada falsafah pandangan hidup bangsa dan dasar negara pancasila, maka sudah seharusnya didalam ketentuan materi Pasal tercermin perlindungan hak azasi manusia serta kewajiban warga negara , azas-azas seperti kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang, keliru mengenai orangnya, keliru ketika hukum yang akan diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan. Aparat penegak hukum yang sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan azas hukum tersebut dilanggar dapat dituntut, dipidana atau hukuman administratif (KUHAP: UU No. 8). Menurut sistem hukum Eropah kontinental yang dianut negara kita atau sistem hukum Romawi Jerman (civil law system) sumber hukum bagi aparat penegak hukum terutama dari Undang-Undang, hukum yang dibuat manusia (enacted Law), hukum perundang undangan atau hukum yang tertulis. Kodifikasi merupakan ide dalam kalangan universitas dan negaranegara dengan sistem Romawi Jerman kepada legislatif positivisme (Raharjo, 1991 : 242 ). Sistem Hukum Eropah Kontinental (Civil Law System ) Seringnya berubahubah suatu Undang-Undang bila ditinjau dari Sistem Hukum negara yang mengutamakan Undang-Undang sebagai sumber hukum bertentangan. Sistem hukum yang dianut negara Indonesia dengan sistem hukum Eropah kontinental (civil law system), sumber hukum terutama bagi aparat penegak hukum dalam menghadapi suatu peristiwa hukum konkrit yang terjadi dimasyarakat adalah melihat pada Undang-Undang yang dikeluarkan legislatif. Seringnya suatu Undang-Undang dirubah atau akan dirubah bila dilihat azas azas hukum dalam Undang-Undang atau Undang-Undang tersebut dikeluarkan dihubungkan dalam upaya penegakan supremasi hukum kelihatannya masih rendah. Ditinjau dari jangka waktu berlaku Undang-Undang yang berubah atau akan dirubah masih terlalu singkat untuk dievaluasi dalam upaya penegakan supremasi hukumnya. Akhir abad 19 menjelang abad ke 21 dengan adanya arus globalisasi informasi dan telekomunikasi dimana hubungan antar negara semakin dekat, masuknya bangsa bangsa lain kenegara Indonesia seperti dari negara negara dengan sistem hukum Anglo Saxon juga mempengaruhi sistem hukum negara kita.
105

Liza Erwina: Analisis Perubahan Undang-Undang

Sumber hukum dinegara negara Anglo Saxon kebanyakan dari keputusan-keputusan hakim di pengadilan (sumber hukum yurisprudensi). Hukum Undang-Undang dikatakan bersifat pasif, diam. Aktifnya suatu peraturan Undang-Undang adalah ketika dihadapkan pada suatu peristiwa hukum konkrit yang terjadi dalam masyarakat , bagaimana aparat penegak hukum melakukan penemuan hukum terutama kepada hakim ketika memutuskan perkara atau peristiwa hukum tersebut. Penemuan hukum yang dilakukan hakim lebih mempunyai wibawa disebut sumber hukum yurisprudensi. Undang-Undang tidak mungkin lengkap dan memenuhi semua keinginan semua pihak pada waktu Undang-Undang tersebut dibentuk atau dikeluarkan, tetapi ketidak lengkapan atau ketidak sempurnaan suatu Undang-Undang tidak mengurangi upaya penegakan hukum. Ketidak sempurnaan suatu Undang-Undang dapat dilengkapi atau disempurnakan oleh para hakim ketika suatu perkara sampai di pengadilan. Hakim ketika melakukan penemuan hukum dengan cara menafsirkan Undang-Undang. Keputusan-keputusan hakim di pengadilan yang membuat suatu peraturan Undang-Undang itu hidup . Dan dari keputusan keputusan para hakim tersebut dapat terlihat perkembangan hukum suatu negara. Azas Hukum dan Tujuan Hukum Azas azas hukum dalam suatu Undang-Undang disebut jantungnya peraturan. Azas Hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang undangan (Mertokusumo, 1988 : 33 ). Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan. Menurut teori etis hukum semata mata bertujuan keadilan . Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis , tentang yang adil dan tidak. Teori utilitis menyatakan hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (Mertokusumo, 1988: 60). Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingankepentingannya dilayani oleh hukum melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat terdapat peraturan peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain. (Raharjo, 1991 : 18) ANALISIS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO.22 TAHUN 1999 TENTANG OTONOMI DAERAH DAN UNDANG-UNDANG NO.25 TAHUN 1999 Keluarnya Undang-Undang No 22 dan 25 Tahun 1999 setelah terjadi reformasi tahun 1998 mengingat : Pertama, TAP MPR No X Tahun 1998 tentang Pokok pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Kedua, TAP MPR No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi , Kolusi dan Nepotisme. Ketiga, TAP MPR No XV Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Ppengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan RI., disebahagian masyarakat didaerah atau propinsi seluruh Indonesia pada waktu itu setelah terjadi reformasi tahun 1998 yang merasa daerahnya memiliki sumber daya alam strategis seperti di Propinsi Aceh, Riau, Sulawesi bahkan sampai sekarang di Maluku, Irian Jaya meminta memisahkan diri dari negara kesatuan RI. Tuntutan ini jelas bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (1) Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Setelah Undang-Undang Dasar 1945 di amandemen Tahun 2002 dalam Pasal 37 Ayat (5) Khusus mengenai bentuk negara kesatuan RI tidak dapat dilakukan perubahan. Undang-Undang No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 4: Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara,
106

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 keutuhan wilayah negara kesatuan RI dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Pasal 5 Undang-Undang No 3 Tahun 2002 : menyatakan pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah negara kesatuan RI sebagai satu kesatuan pertahanan. Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 6 Ayat (1) TNI sebagai alat pertahanan negara berfungsi sebagai penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancamam bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No 34 Tahun 2004 : Tugas Pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah negara kesatuan RI yang berdasar atas pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara . (7) Pasal 7 Ayat (2 b) Undang-Undang No 34 Tahun 2004 menyatakan tugas pokok TNI antara lain dilakukan dengan operasi militer selain perang untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata, pemberontakan, bersenjata, mengatasi aksi terorisme, dan lain-lain. Jelas tuntutan sebagian masyarakat daerah diseluruh Indonesia tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang yang berlaku tetapi waktu itu setelah terjadi reformasi Tahun 1998 menginginkan perubahan dalam pemerintah di pusat dan daerah dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan , selama ini tidak sesuai dengan citacita dan tujuan didirikannya negara RI dalam alinea ke 2 dan ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu : (1) rakyat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, (2) Pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa serta ikut serta dalam perdamaian dunia yang berdasar atas kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan kata lain belum tercipta dimasyarakat seluruh Indonesia kesejahteraan dan keadilan. Belum lagi dengan adanya kedua Undang-Undang tersebut diterapkan kesemua daerah tingkat II kabupaten dan kotamadya seluruh Indonesia dalam meningkatkan taraf hidup rakyat berupa peningkatan kesejahteraan dan rasa keadilan, ketika berakhir pemerintahan ibu Megawati Soekarnoputri Tahun 2004, kedua Undang-Undang tersebut berubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, mengapa secepat itu kedua Undang-Undang tersebut berubah. ANALISIS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO.20 TAHUN 2001 YANG MERUBAH UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI Dalam ketiga Undang-Undang tersebut jelas yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi . Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No 20 Tahun 2001 menyatakan : Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara di pidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun atau Denda minimal 200 juta dan maksimal 1 milyar. Sebelum diubah Undang-Undang No 3 Tahun 1971 dengan Undang-Undang No 31 Tahun 1999 untuk tindak pidana korupsi tidak ada mengatur ancaman Hukuman minimal melainkan maksimal seumur hidup atau hukuman penjara 20 tahun . Begitu juga ketika Undang-Undang No 31 Tahun 1999 dirubah dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 , dalam tempo tidak sampai 2 Tahun Undang-Undang tersebut dirubah, dan memasukkan pengertian pegawai negeri menurut KUHP. Sesungguhnya pengertian pegawai negeri telah diatur dalam UndangUndang No 43 Tahun 1999 yang merubah Undang-Undang No 8 Tahun 1974 tentang Pokok pokok Kepegawaian, perubahan Undang-Undang tersebut juga menjadi tanda tanya. Dalam
107

Liza Erwina: Analisis Perubahan Undang-Undang

Pasal 1 (2) Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Menyatakan : Dalam hal tindak pidana korupsi yang dimaksud Ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Menurut penjelasan Pasal 1 (2) yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, pengulangan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Kpk ) Dalam Undang-Undang No 30 / 2002 Negara Indonesia sejak Tahun 2002 telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Undang-Undang No 30 Tahun 2002 untuk memberantas kejahatan tindak pidana korupsi yang meluas disemua lapisan masyarakat dan disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime). Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2002 adalah untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan para penyelenggara negara diseluruh Indonesia . Tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang luar biasa karena telah meluas diseluruh lapisan masyarakat Indonesia , sehingga pemberantasannya juga harus dilakukan secara luar biasa (dapat dilihat pada pertimbangan keluarnya Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tersebut). Dalam Penjelasan Undang-Undang No 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa tndak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa dan pemberantasannya juga harus dilakukan secara luar biasa pula (Ekstra Ordinary Crime). Negara Indonesia seringkali diberitakan melalui media cetak dan media elektronika sebagai negara terkorup ditingkat dunia, asia dan ASEAN. Seharusnya semua pihak introspeksi diri terutama kepada penyelenggara negara dan pemerintahan di pusat maupun didaerah apalagi sejak tahun 2004 dilakukan pemilu secara langsung oleh rakyat diseluruh Indonesia yang memiliki hak pilih sekitar 110 145 juta jiwa (data dari media elektronika). Juga ketika pemilihan anggota legislatif di pusat dan daerah juga secara langsung oleh rakyat diseluruh Indonesia sebagai perwujudan demokrasi yang diakui dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke 4 yang menyatakan negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan sesuai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia Pancasila , sila ke 4 yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan . Dengan kata lain pertanggungjawaban dalam menyelenggarakan pemerintahan dan negara langsung kepada rakyat diseluruh Indonesia, walau tidak boleh dilupakan aturan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang yang berlaku seperti dari semula disebutnkan egara Indonesia adalah negara hukum dan sistem pemerintahannya juga berdasar atas hukum bukan berdasar atas kekuasaan belaka . Dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang omisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan dapat mengambil alih perkara tindak pidana korupsi yang telah ditangani pihak Kejaksaan negara dan Kepolisian RI yang mengundang perhatian masyarakat tetapi perkaranya tidak dilimpahkan sampai ke pengadilan. KPK adalah suatu badan yang mandiri dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan bangsa yang berkepanjangan sampai saat ini yaitu terjadinya tindak pidana korupsi yang meluas diseluruh lapisan masyarakat Indonesia menyebabkan kesengsaraan rakyat dan keterpurukan bangsa dan negara. Tindak pidana korupsi juga menyebabkan terjadinya reformasi tahun 1998. Setelah reformasi Tahun 1998 dalam penyelenggaraan Pemerintahan dan Negara semua berubah , begitu juga dengan Undang-Undang. Dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan KPK dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai ke Pengadilan terhadap perkara / peristiwa hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
108

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 aparat penegak hukum dan oleh para penyelenggara negara diseluruh Indonesia. Berakhir pemerintahan ibu Megawati Soekarno Putri dan Wapres Hamzah Haz Tahun 2004 dari media elektronika terbaca hutang pemerintah sebesar 72 Milyar $ US , Hutang pihak Swasta mencapai 72 Milyar $ US serta Hutang Negara telah berjumlah 132 Milyar $ US. Seingat penulis ketika terjadi krisis Ekonomi dan moneter Tahun 1997 yang menyebabkan terjadinya Reformasi Tahun 1998 dan berakhir Pemerintahan Orde Baru selama 32 Tahun hutang pemerintah telah mencapai 60 Milyar $ US , dan Hutang oleh pihak swasta telah berjumlah 56 Milyar US (data dari media cetak ). Saat itu dapat dilihat kondisi negara Indonesia yang mengalami krisis multi dimensi dimulai dari krisis ekonomi dan moneter, dilikuidasinya beberapa bank Swasta besar akibat terjadi rush hampir diseluruh perbankan Indonesia, nasabah penyimpan menarik simpanannya di Perbankan secara besar-besaran. Terjadi PHK dikalangan profesional. Krisis dibidang ekonomi dan moneter diikuti dengan krisis dibidang sosial, politik, hukum dan keamanan menyebabkan terjadi krisis ketidakpercayaan sebagian masyarakat pada Pemerintahan yang baru terpilih pada Pemilu Tahun 1997 dimana MPR RI hasil pemilu Tahun 1997 telah memilih dan menetapkan Presiden H. M. Soeharto dan Wapres B.J. Habibi Periode 1998 2003. Karena terjadi krisis multi dimensi , terjadi rush di Perbankan secara besar besaran Pemerintah pada waktu itu bersama Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan memberi bantuan liquiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank besar yang mengalami kesulitan Liquiditas , ada bank -bank yang diliquidasi, bank take over, bank beku operasi, dll. BLBI semula dikeluarkan Bank Indonesia sekitar 120 130 Trilyun. Setelah berganti ganti pemerintahan dimulai dari diulanginya Pemilu Tahun 1997 yaitu Pemilu Tahun 1999 yang diikuti sampai 48 partai politik dimasa Presiden B J. Habibi yang akhirnya terpilih Presiden K H Abdurrahman Wahid dan Wapres Megawati Soekarnoputri periode 1999 2004. Berganti lagi pemerintahan dengan sidang istimewa di MPR RI meminta pertanggung jawaban Presiden K H Abdurrahman Wahid dan digantikan oleh ibu Megawati Soekarno Putri, beban BLBI masih menjadi tanggung jawab pemerintah dimana menurut media elektronika para debitur BLBI telah menyerahkan asset mereka senilai 600 trilyun yang dikelola oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tahun 2003 menurut Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, BPPN berakhir digantikan oleh PPA (Perusahaan Pengelola Asset) yang sampai sekarang seharusnya menyelesaikan BLBI tersebut kepada pemerintah dan Bank Indonesia. Sampai saat ini pada pemerintahan Soesilo Bambang Yudoyono dan Wapres M Yusuf Kalla di APBN Tahun 2005 diharuskan mengembalikan BLBI ke Bank Sentral yaitu Bank Indonesia , artinya dibebankan pada seluruh rakyat Indonesia. Ini tidak adil bagi rakyat diseluruh Indonesia dan tidak ada dasar hukum atau aturannya mengapa kewajiban debitur BLBI dibebankan pada seluruh rakyat Indonesia ? Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menurut konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dalam BAB VIII Pasal 23 (1) menyatakan : Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap Tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat Indonesia . Artinya dengan APBN untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa bukan sebaliknya . PENGAKUAN TERHADAP HAK AZASI MANUSIA DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 / 1999 Ciri negara hukum adalah adanya pengakuan terhadap hak azasi manusia. Sejak sebelum negara Indonesia merdeka telah difikirkan oleh para pendiri bangsa yaitu ketika menyusun rumusan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 di Sidang sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan sidang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Ketika Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan oleh PPKI 18 Agustus 1945 telah tercantum hak-hak dan kewajiban warga negara serta
109

Liza Erwina: Analisis Perubahan Undang-Undang

penduduk di Indonesia mulai Pasal 27, 28, 29, 30, 31,32,33 dan Pasal 34. Sejak reformasi Tahun 1998 Undang-Undang Dasar 1945 di amandemen sebanyak 4 kali yaitu Tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Berubahlah isi Undang-Undang Dasar 1945, saat ini pada Bab X A mencantumkan tentang hak hak azasi manusia secara perorangan mulai Pasal 28A sampai Pasal 28 J. Keberadaan Bab dan Pasal tersebut sepertinya memberi Legitimasi / landasan perundang- undangan atas keberadaan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Dalam Pasal 1 (1) Undang-Undang No 39 Tahun 1999 menyatakan pengertian hak azasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME yang merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi Kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam penjelasan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 secara terperinci mengatur : a) Hak untuk hidup, hak untuk tidak dihilangkan secara paksa dan dihilangkan nyawa. b) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. c) Hak mengembangkan diri. d) Hak memperoleh Keadilan. e) Hak atas kebebasan pribadi. f) Hak atas rasa aman. g). Hak atas kesejahteraan. h). Hak turut serta dalam pemerintahan. i). Hak wanita. j). Hak anak. k).Hak atas kebebasan beragama. Dalam Pasal 76 ( 1 ) Undang-Undang tersebut juga mengatur tentang komisi nasional hak azasi manusia yang melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang hak azasi manusia. Bahkan pemerintah pusat dan DPR RI telah mengeluarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia. Dengan adanya ketentuan tentang hak azasi manusia dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang diakui dan dilindungi oleh negara dan pemerintah hak-hak azasi WNI dan Pendudukvyang ada di Indonesia. NEGARA HUKUM INDONESIA ADALAH NEGARA HUKUM DALAM ARTI MATERIAL. Dengan melihat sistem hukum menurut konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang yang berlaku terutama melihat cita - cita bangsa Indonesia serta tujuan negara Indonesia dalam preambule (pembukaan) Undang-Undang Dasar 1945 di alinea ke 2 dan ke 4 negara hukum Indonesia adalah negara hukum dalam arti material artinya negara Indonesia hendak menciptakan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya bukan negara hukum dalam arti formal, negara hanya sebagai penjaga malam yaitu hanya menjaga jangan sampai terjadi pelanggaran hukum semata dan hanya menindak para pelanggar hukum atau mengutamakan ketenteraman dan ketertiban semata. (BP7 Pusat, 1994 : 21). Saat ini negara Indonesia sejak Tahun 2004 mengalami musibah berkepanjangan seperti Bencana - bencana Alam antara lain Tsunami dan Gempa di Propinsi Aceh, Jawa Barat, Banjir serta Longsor di P. Jawa, Sumatera, Kalimantan . Terjadi konflik Horizontal sesama bangsa atas dasar Suku, Agama, Ras (SARA ). Sejak dahulu di zaman penjajahan pemerintahan Hindia Belanda politik devide et impera, memecah belah dan menguasai yang menyebabkab penjajahan Belanda terhadap bangsa dan negara Indonesia selama 3 setengah abad , seharusnya hal itu perlu diwaspadai dan tidak perlu perbedaan bangsa atas Agama , Suku dan ras ( SARA ) dipertentangkan sebaliknya dirahmati dan itulah ciri ciri negara demokrasi. Sampai saat ini setelah negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 ( telah merdeka selama 62 Tahun ) seharusnya perbedaan manusia Indonesia atas Suku, Agama, Ras ( SARA ) tidak perlu dipertentangkan lagi bahkan sesuai Sila ke 3 dalam Pancasila yaitu persatuan Indonesia , seharusnya perbedaan itu untuk memperkuat bangsa dan negara Indonesia. Dalam masyarakat Indonesia yang terlihat saat ini dari media antara lain makin meningkat tingkat kriminalitas / kejahatan terhadap jiwa, harta benda bahkan meningkat terhadap nilai-nilai kesopanan dan kesusilaan manusia . Belum berkurangnya tingkat kejahatan terhadap keuangan negara dan perekonomian nasional (tindak pidana korupsi), dll .
110

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 Kepada aparat penegak hukum terutama pihak Kepolisian RI , penuntut umum pihak Kejaksan negara dan para hakim di Pengadilan seharusnya tegas dan tidak ragu ragu lagi dalam penegakan supremasi hukum, tidak ada diskriminasi bidang hukum sesuai UNDANGUNDANG No 39 Tahun 1999 Pasal 1(3 ) yaitu Setiap pembatasan, pelecehan dan pengucilan langsung atau tidak langsung yang menbedakan Manusia atas dasar agama, suku, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik mengakibatkan pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan pelaksanaan atau penggunaan aak azasi manusia dan kebebasan dasar individual maupun kollektif dibidang politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya. Adanya Suatu Sistem Peradilan Yang Bebas , Tidak Memihak. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 dan 25 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Harus adanya jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim . Dalam Undang-Undang No.35 tahun 1999 (sekarang telah berubah dengan Undang-Undang No 4 Tahun 2004) tentang kekuasaan kehakiman Pasal 1 menyatakan : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia . Menurut Penjelasan Pasal 1 Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan extra yudicial kecuali dalam hal hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudicial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia . (Media, 2003 : 20). UNDANG-UNDANG NO 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) Bahkan negara Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang No.25 tahun 2003 yang merubah Undang-Undang No.15 tahun 2002 tentang Tindak Pencucian Uang (Money Laundering). Dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tersebut dapat dicurigai transaksi keuangan pelaku tindak pidana korupsi, penyuapan, penyeludupan, tindak pidana perbankan, penyalah gunaan narkotika atau psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, tindak pidana terorisme, penggelapan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, tindak pidana perpajakan , tindak pidana lingkungan hidup, tindak pidana kehutanan . Dalam Pasal 31 UU No 25 Tahun 2003 menyatakan Dalam hal ditemukan adanya petunjuk atas dugaan telah ditemukan transaksi yang mencurigakan dalam waktu paling lama 3 hari kerja sejak ditemukan petunjuk tersebut pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) wajib menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti. Apabila dicurigai melalui transaksi keuangannya melalui perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya didalam maupun di luar negeri dilaporkan ke pusat pelaporan dan analisa transaksi keuangan (PPATK). Menurut Pasal 18 ( 3 ) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden RI . Bila ada petunjuk telah terjadi suatu peristiwa pidana dalam tempo 3 hari kerja sejak ditemukannya petunjuk tersebut PPATK melaporkan kepihak aparat penegak hukum seperti Kepolisian RI untuk dilakukan proses penyelidikan, penyidikan. Kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan sampai ke pengadilan. Pasal 32 (1) menyatakan : Penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang memerintahkan kepada PJK untuk melakukan Pemblokiran terhadap Harta Kekayaan Setiap Orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka atau terdakwa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil
111

Liza Erwina: Analisis Perubahan Undang-Undang

tindak pidana. Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) diberlakukan di negara kita untuk menghindari terganggunya sistem keuangan dan perekonomian egara dari transaksi keuangan haram hasil kejahatan seperti tindak pidana korupsi, penyuapan, penyeludupan, tindak pidana perbankan, penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, tindak pidana terorisme, penggelapan, pemalsuan uang , perjudian, prostitusi, tindak pidana perpajakan ,tindak pidana kehutanan, tindak pidana lingkungan hidup. Dengan adanya Undang-Undang No 25 Tahun 2003 dapat membantu Aparat Penegak Hukum dalam menangkap pelaku kejahatan tersebut didalam negeri dan yang melarikan diri keluar negeri. Banyak negara terutama negaranegara maju juga memberlakukan Undang-Undang indak pidana pencucian uang dinegaranya untuk menjaga, melindungi keuangan serta perekonomian negara tersebut dari transaksi keuangan haram / dilarang karena uang yang ditransaksikan adalah Hasil kejahatan. Apabila terhadap yang melanggar Ketentuan Undang-Undang tersebut tidak ditegakkan supremasi hukumnya dapat mengganggu hubungan antar negara yaitu terhadap pelaku pelaku Kejahatan yang disebutkan dalam Undang-Undang No 25 / 2003 yang melarikan diri atau memindahkan uang hasil kejahatannya keluar negeri. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang dapat diadakan kerjasama regional dan internasional melalui forum bilateral dan multilateral, contoh : Forum Financial Action Task Force (FATF) yaitu sebuah lembaga independent terdiri dari 29 Negara dan 2 organisasi internasional yang terbentuk setelah pertemuan tingkat tinggi G7 Tahun 1989, ADB, interpol dan lain-lainnya. (Duaji, 2002 : 38). KESIMPULAN Telah banyak dikeluarkan Undang-Undang oleh legislatif tetapi kadang belum tersosialisasikan kepada masyarakat sudah dirubah atau akan dirubah sedangkan bila dilihat dari Jangka waktu berlaku Undang-Undang tersebut masih terlalu singkat untuk dievaluasi. Dilihat dari Azasazas Hukum serta tujuan hukum Undang-Undang tersebut dikeluarkan dikaitkan upaya penegakan supremasi hukumnya masih rendah. Tugas DPR selain bidang legislasi membentuk Undang-Undang juga melakukan fungsi pengawasan (kontrol) terhadap kinerja pemerintah di pusat maupun daerah dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan sebagai perwujudan demokrasi perwakilan, kedaulatan ditangan rakyat sesuai Pancasila sila ke 4. Dan fungsi DPR yang lain dibidang budgetting menyetujui atau tidak menyetujui APBN yang diajukan pemerintah setiap tahun (di daerah DPRD membuat PERDA, melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah serta menyetujui atau tidak menyetujui APBD yang diajukan pemerintah daerah karena untuk seluruh Indonesia berlaku Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tentang pemerintahan daerah tetap dalam negara kesatuan RI, tidak dibenarkan ada Negara didalam Negara, yang diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 (sebelumnya diatur dalam Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah) dan UndangUndang No 33 Tahun 2004 (sebelumnya diatur dalam Undang-Undang No 25 Tahun 1999). Perubahan cepat ini juga menimbulkan tanda tanya. Undang-Undang telah banyak dikeluarkan legislatif yang terlihat dimasyarakat tingkat kriminalitas makin tahun bukan makin berkurang sebaliknya meningkat kuantitas dan kualitas kejahatan, bagaimana kinerja aparat penegak hukum dalam upaya penegakan supremasi hukum. Dan setelah perkara - perkara yang mengundang perhatian masyarakat sampai ke pengadilan, vonis (keputusan hakim yang dijatuhkan) terhadap pelaku terlalu ringan, tidak bakal membuat jera pelaku. Tidak memenuhi rasa keadilan ditengah -tengah masyarakat. Setelah terjadi reformasi Tahun 1998 seharusnya terselesaikan permasalahan bangsa dibidang ekonomi, hukum, politik, sosial budaya dan pertahanan/keamanan tetapi walau telah berganti-ganti pemerintahan sebanyak 4 kali masih juga belum selesai bahkan bertambah yaitu sejak Tahun 2004 negara ditimpa musibah berkepanjangan seperti bencana alam gempa dan tsunami, banjir dan longsor. Makin
112

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 bertambah banyak rakyat Indonesia yang hidup tidak sejahtera, tidak menikmati pembangunan, rendahnya sumber daya manusia, tidak tercipta lapangan kerja, meningkat kriminalitas dimasyarakat. Tahun 2004 dari media elektronika dinyatakan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah terjadi 350 kasus tindak pidana pencucian uang. Baru baru ini Tahun 2006 PPATK Jakarta menyampaikan data telah menjadi 3000 Kasus perkara tindak pidana pencucian uang. Menjadi perhatian penulis karena PPATK berencana merubah Undang-Undang No 25 Tahun 2003. Ada apa dengan mau merubah Undang-Undang tersebut bila ditinjau dari segi ilmu hukum tidak pantas pemerintah pusat atau DPR menyalahgunakan kewenangan. Bukan Undang-Undang yang tidak sempurna, bagaimana penegakan supremasi hukum dan harus sampai ke pengadilan. Kepada para hakim UndangUndang yang tidak sempurna itu disempurnakan melalui metode penemuan hukum. Begitu juga menjadi perhatian cepatnya berubah Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral Bank Indonesia dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2004. Setelah Pemilihan Umum secara langsung Tahun 2004 dalam memilih anggota legislatif di DPR RI, DPD, DPRD Propinsi, Kabupaten / Kota serta Presiden dan Wapres yang telah menghabiskan dana besar ditanggung Negara disamping bantuan dan partisipasi negara -negara Asing selayaknya semua pihak menghargai demokrasi secara benar dan elegant karena di Tahun 2004 yang ikut memilih adalah pemilih pemula generasi muda. Diharap pemerintah pusat dan pihak legislatif di DPR dan didaerah DPRD tidak mengkhianati kepercayaan rakyat yang telah memilih. DAFTAR PUSTAKA Arrasyid, Chainur. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. Bahan Penataran Pedoman PenghAyatan dan Pengamalan Pancasila. 1994. BP 7 Pusat. Duaji, Susno. 2002. Peranan Aparat Kepolisian dalam Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang.Makalah dalam Seminar di USU. Medan. Hatta , Mohd, dkk Panitia Lima . 1977. Uraian Pancasila. Mutiara . Jakarta . Lima Undang-Undang Penegak Hukum dan Keadilan. 2003. Fokus Media. Mertokusumo ,Sudikno. 1988. Mengenal Hukum . Liberty . Yogyakarta. Mertokusumo, Sudikno. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti. Jakarta. Raharjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Jakarta. Republik Indonesia , Undang-Undang No 3 Tahun 2004 yang merubah Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral Bank Indonesia. Republik Indonesia , Undang-Undang No 4 Tahun 2004 yang merubah Undang-Undang No.35 Tahun 1999 (sebelumnya Undang-Undang No.14 Tahun 1970) tentang Kekuasaan Kehakiman. Republik Indonesia , Undang-Undang No.10 Tahun 1998 yang merubah Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

113

Liza Erwina: Analisis Perubahan Undang-Undang

Republik Indonesia , Undang-Undang No.2 tahun 2002 yang merubah Undang-Undang No.28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI. Republik Indonesia , Undang-Undang No.20 Tahun 2001 yang merubah Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Republik Indonesia , Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Republik Indonesia , Undang-Undang No.25 Tahun 2003 yang merubah Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering). Republik Indonesia , Undang-Undang No.3 Tahun 2002 yang merubah Undang-Undang No.1 Tahun 1988 tentang Pertahanan Negara. Republik Indonesia , Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Republik Indonesia , Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang merubah Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Republik Indonesia , Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang merubah Undang-Undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Republik Indonesia , Undang-Undang No.34 Tahun 2004 yang merubah Undang-Undang No.2 Tahun 1988 tentang Tentara Nasional Indonesia. Republik Indonesia , Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Republik Indonesia , Undang-Undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI. Republik Indonesia, Undang Undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudicial. Republik Indonesia, Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Sekjen Mahkamah Konstitusi RI Tahun 2003. Republik Indonesia, Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Soesilo, R. 1983. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Politeia. Bogor.

114

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006

PELANGGARAN HAM DAN PERANAN POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA


Syamsiar Julia
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: Talking about Human Right is always related with law, because it needs the facility of law for reliable its existence in real life. Without the facility of law, it is difficult to maintenance the Human Right. The breaking of Human Right can be seen in the form of Human Rights maintenance; the breaking of Human Right by the Society. There are many factors in chasing the covert of Human Right and its maintenance such as paternalistic culture, low awareness of law, etc. The problem of Law and Human Right do not only limit for its meaning and its comprehension but the behaviour of the society is the most important. Kata Kunci: Pelanggaran, HAM, POLRI, Hukum

Berbicara tentang HAM maka akan selalu terkait dengan masalah hukum, hal ini dikarenakan HAM membutuhkan sarana hukum guna menjamin eksistensinya di dalam kehidupan nyata. Tanpa sarana hukum HAM akan sulit diwujudkan dalam penegakannya. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 90 disebutkan bahwa: setiap orang atau sekelompok orang berhak mengajukan laporan di pengadilan baik secara lisan maupun tulisan kepada KOMNAS HAM dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa Pengadilan HAM adalah merupakan Pengadilan Khusus yang berada di Lingkungan Peradilan Umum dan berkedudukan di daerah Kabupaten atau Kota. Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutuskan Perkara Pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genocida dan kejahatan terhadap manusia. Pada bulan Januari 1999 marak dan gencar tuntutan akan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dideklarasikan sebagai kebutuhan utama dalam rangka eksistensi dan pemajuan umat manusia, hal itu terjadi karena dilandasi pendapat bahwa Hak Asasi Manusia melekat pada setiap individu. Hak asasi adalah kodrat manusia yang dikaruniakan Tuhan kepada ciptaannya namun dalam penerapannya ada perbedaan tentang konsep HAM akibat dari perbedaan pendapat budaya, sistem nilai dan norma tetapi disadari bahwa ada sejumlah kesamaan yang bersifat universal sehingga sebagian besar negara telah sepakat untuk menyatukan persepsi tentang halhal yang bersifat universal tersebut dan menuangkannya dalam bentuk deklarasi bersama. Pada saat itu HAM telah berkembang menjadi issuekrusial yang tidak hanya berdimensi nasional melainkan juga internasional. Hal ini berarti bahwa suatu negara tidak dapat lagi mengklaim bahwa persoalan HAM adalah urusan domestik semata-mata akan tetapi masyarakat internasional berhak pula ikut campur dalam persoalan HAM suatu negara, mengingat eksistensi HAM telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai sesuatu yang bersifat universal.(Marbun, 2000:141).Permasalahannya bagaimana pelaksanaan UndangUndang No. 26 tahun 2000 di Indonesia.

115

Syamsiar Julia: Pelanggaran HAM dan Peranan POLRI ...

HUKUM DAN PENCEGAHAN KEKERASAN Masalah kekerasan secara yuridis diatur dalam Pasal 89 KUHP yang isinya adalah: Yang dikatakan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi/lemah. (Hutauruk, 1982: 73) Pasal 89 KUHP ini apabila ditafsirkan lebih jauh dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan dengan mempergunakan tenaga badan yang tidak ringan. Tenaga badan adalah kekuatan fisik, penggunaan kekerasan terwujud dalam tindakan memukul dengan tangan saja, memukul dengan tongkat, mengikat, menahan dan sebagainya. Polisi dapat melakukan kekerasan apabila secara sah dibolehkan oleh hukum/Undang-Undang. Dalam banyak kejadian penggunaan kekerasan pada hakekatnya dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa sekali, sehingga penggunaan kekerasan itu tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, melainkan dibatasi oleh hukum sehingga dapat dikatakan hukum mencegah penggunaan kekerasan yang sewenangwenang. Namun disisi lain hukum juga membolehkan penggunaan kekerasan apabila dalam keadaan terpaksa sekali misalnya diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) KUHP yang isinya adalah sebagai berikut: Barang siapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta sendiri atau kepunyaan orang lain, dari apa serangan yang melawan hak dan mengancam dan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum. (Senoadji, 1998) Penggunaan kekerasan termasuk dengan senjata api oleh POLRI yang pelaksanaannya mempedomani asas legalitas dan asas kewajiban serta kewenangan diskresi Kepolisian untuk menilai situasi yang dihadapi anggota POLRI saat itu. Kewenangan menilai keadaan anggota POLRI yang akan melakukan penindakan terhadap seorang penjahat harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya itu demi untuk kepentingan umum (landasan hukum Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia). Sebelum penggunaan senjata api (dalam kerusuhan massa misalnya) lebih dahulu harus dilakukan dengan memberi peringatan teriakan dan anjuran oleh petugas POLRI melalui cara: (1) Suara anggota POLRI tersebut cukup untuk menghentikan aksi si penjahat. (2) Suara tersebut harus jelas dan dapat dimengerti. (3) Kalimatnya harus singkat dan tegas. (4) Peringatan dengan suara tersebut harus dengan sikap yang sungguh-sungguh. Setelah tindakan dengan seruan teriakan peringatan tersebut dilakukan maka dapat dilakukan tembakan peringatan ke atas tiga kali. Apabila masih belum dapat diatasi situasinya, diberikan tembakan terarah di bawah pinggang dengan peluru karet untuk melumpuhkan. Jika membahayakan jiwa masyarakat/petugas ditembakkan senjata api dengan peluru tajam untuk melumpuhkan dengan sasaran pinggang ke bawah. Urutan-urutan tindakan tersebut di atas diberlakukan POLRI apabila menghadapi pelaku kerusuhan yang membahayakan keselamatan jiwa petugas/masyarakat, merusak tempat ibadah/fasilitas umum/kantor pemerintahan dan markas TNI/melakukan penjarahan massal. Penggunaan kekerasan dengan senjata api dilaksanakan tidak boleh sembarangan tetapi dengan sasaran yang jelas. Dengan kriteria tepat waktu, tepat situasi, tepat sasaran dan tepat prosedur. Secara internasional ada ketentuan yang mengatur tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparat penegak hukum, ketentuan tersebut antara lain: (a) Kode etik untuk para pejabat penegak hukum yang telah disahkan oleh resolusi Majelis Umum PBB tanggal 17 Desember 1979, dalam Pasal (3) ditegaskan bahwa: Para pejabat penegak hukum dapat menggunakan kekerasan hanya apabila sangat perlu dan sebatas dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas mereka. Pengertian Pasal ini mengandung empat hal, yaitu: (1) Bahwa para pejabat penegak hukum dapat diberi wewenang untuk menggunakan kekerasan apabila perlu menurut keadilan untuk mencegah kejahatan, atau dalam melaksanakan penangkapan sah terhadap pelaku kejahatan yang dicurigai sebagai pelaku kejahatan. (2) Sesuai atas keseimbangan antara penggunaan kekerasan dengan tujuan yang hendak dicapai. (3) Pelaku kejahatan memberi perlawanan dengan senjata api atau
116

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 membahayakan jiwa orang lain. (4) Tindakan-tindakan lain yang kurang ekstrim tidak efektif lagi; (b) Kongres VII PBB tanggal 27 Agustus sampai dengan 2 September 1990 di Havana Cuba telah mensahkan prinsip-prinsip penggunaan kekerasan dan senjata api oleh para pejabat penegak hukum. Penggunaan senjata api diatur dalam Pasal 9 yang intinya adalah bahwa penggunaan senjata api dapat dilakukan dalam hal: (1) Untuk membela diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka parah yang segera terjadi. (2) Untuk mencegah dilakukannya suatu tindakan kejahatan yang sangat serius. (3) Untuk mencegah pelaku kejahatan melarikan diri. (4) Dan apabila cara yang kurang ekstrim tidak cukup untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Dalam prinsip dasar tersebut juga diatur tentang bagaimana sikap penegak hukum dalam menjaga ketertiban perhimpunan yang tidak sah namun non-kekerasan (aksi damai) maupun menghadapi perhimpunan keras (brutal). Menghadapi aksi damai, kekerasan dibatasi sekecil mungkin. Untuk menghadapi massa brutal, senjata api dapat digunakan bila cara/sarana yang kurang berbahaya tidak dapat digunakan dan penggunaan senjata api hanya dapat digunakan dalam kondisi seperti di Pasal 9 Konvensi Havana 1999. HAM DALAM BEBERAPA HUKUM POSITIF INDONESIA Undang-Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 dalam penjelasannya menyebutkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Bila kita mencermati keseluruhan gagasan, pemikiran jiwa dan semangat teks Undang-Undang Dasar 1945, mulai pembukaan, batang tubuh sampai penjelasannya serta perkembangan pemahaman kita terhadap hal-hal yang mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pengertian negara hukum yang kita miliki ternyata mengandung makna yang luas dan mendalam, yang memuat prinsipprinsip tertib hukum, serta kesadaran untuk menjunjung tinggi hukum. Prinsip-prinsip tersebut bilamana diterapkan dengan sungguh-sungguh, maka akan mencakup tidak saja segi legalitas tindakan negara/pemerintah, dengan adanya peradilan bebas tetapi juga mencakup penghargaan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. (Alamsyah, 2000) Oleh karena itu setiap penegakan hukum haruslah diartikan tidak saja untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan tetapi juga termasuk di dalamnya tujuan kepastian hukum dan termasuk juga di dalamnya tujuan perlindungan HAM. Ada beberapa Pasal dalam UUD 1945 yang berhubungan dengan HAM dan bisa disarikan setidaknya menjadi 15 prinsip HAM di mana beberapa prinsip yang terpenting dari 15 prinsip HAM tersebut antara lain yaitu: (1) Preambulet: Hak untuk menentukan nasib sendiri, (2) Pasal 26: Hak akan warga negara, (3) Pasal 27: Hak akan kesamaan dan persamaan di depan hukum, (4) Pasal 27: Hak untuk bekerja, (5) Pasal 27: Hak untuk hidup layak, (6) Pasal 29: Hak beragama, (7) Pasal 30: Hak untuk membela negara, (8) Pasal 31: Hak akan pendidikan, (9) Pasal 33: Hak akan kesejahteraan sosial, (10) Pasal 34: Hak akan jaminan sosial, (11) Pasal 24 dan 25: Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan, (12) Pasal 32: Hak mempertahankan tradisi budaya, (13) Pasal 31: Hak mempertahankan bahasa daerah. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Dalam Undang-Undang tentang Hak asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 dalam Pasal-Pasalnya mengatur tentang: (1) Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 mengatur tentang Hak untuk mengembangkan diri, (2) Pasal 17 sampai dengan Pasal 19 mengatur tentang Hak untuk memperoleh keadilan, (3) Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 mengatur tentang Hak atas kebebasan pribadi, (4) Pasal 28 sampai dengan Pasal 35 mengatur tentang Hak atas rasa aman, (5) Pasal 36 sampai dengan Pasal 42 mengatur tentang Hak atas kesejahteraan, (6) Pasal 43 sampai dengan Pasal 44 mengatur tentang Hak untuk turut serta dalam pemerintahan, (7) Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 mengatur tentang Hak-hak wanita, (8) Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 mengatur tentang Hak anak. Di samping itu diatur juga
117

Syamsiar Julia: Pelanggaran HAM dan Peranan POLRI ...

tentang masalah pengadilan hak asasi manusia untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia dan serta terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka dari itu dibentuklah pengadilan hak asasi manusia di lingkungan peradilan umum (Pasal 104). Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; Dalam Undang-Undang tersebut diatur ketentuan-ketentuan antara lain tentang jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat yaitu kejahatan genocida dan kejahatan terhadap manusia (Pasal 7 sampai Pasal 9). Hukum Acara dari Pengadilan Hak Asasi Manusia diatur mulai dari Pasal 10 sampai Pasal 33, yang mengatur tentang cara penangkapan, penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut pada Tahun 2002 populer di Indonesia antara lain karena disidangkannya kasus Pelanggaran HAM berat di Timor-timur pada bulan Maret 2002, di Pengadilan Jakarta Pusat. Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002; Adanya 15 prinsip-prinsip HAM dalam UUD 1945 jelas merupakan Prime Factie Evidence dari komitmen negara ini terhadap HAM, namun bisa juga dilihat sebagai possession paradox dalam artian memiliki HAM tetapi tidak menikmati HAM karena lemahnya rasa hormat terhadap HAM. HAM diatur dalam UndangUndang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 4, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Pasal 14 Ayat (1) menyatakan: Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf I: Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberi bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Pasal 16 Ayat (2): Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf I adalah tindakan penyelidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf E yaitu: Menghormati Hak Asasi Manusia. Pasal 19 Ayat (1): Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hak dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. KUHAP; KUHAP bukanlah produk yang sempurna, tetapi secara umum bisa disebut bahwa KUHAP telah memberikan dasardasar hukum prosedural yang komprehensif bagi perlindungan HAM seperti perlindungan terhadap tersangka antara lain untuk diperlakukan tidak bersalah, hak akan bantuan hukum, hak untuk tidak ditahan semena-mena, hak untuk tidak disiksa dan dianiaya, hak akan pra peradilan dan sebagainya. PENEGAKAN HUKUM DAN PELANGGARAN HAM Pelanggaran HAM oleh oknum POLRI; Pelanggaran HAM dalam Rangka Perlindungan HAM; dalam melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi pelanggaran HAM yang seharusnya ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan berdasarkan ketentuan hukum maka hilanglah sifat melanggar HAM misalnya tugas POLRI dalam menangkap, menahan, memborgol dan sebagainya. Semuanya itu dilaksanakan berdasarkan kewenangannya sebagai penegak hukum. Tindakan kekerasan yang melanggar HAM; Dalam hal-hal tertentu tindakan kekerasan dibenarkan oleh Konvensi HAM yaitu Pasal 29 Deklarasi Umum HAM, tindakan kekerasan tersebut bermaksud untuk menjamin hak orang lain, moral, ketertiban dan keselamatan umum yang harus ditegakkan oleh Undang-Undang. Tetapi harus kita akui juga bahwa kenyataan dalam praktek penegakan hukum tidak sesuai dengan Pasal 29 di atas. Misalnya tindakan kekerasan penegak hukum dalam rangka mendapatkan informasi, atau kadang-kadang karena emosional petugas yang sangat bersemangat menegakkan HAM masyarakat lalu melupakan hak asasi tersangka. Tindakan kekerasan lain yang juga sering kita
118

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 dengar dan lihat adalah tindakan kekerasan terhadap pelaku kejahatan atau petugas, dengan kata lain tersangka tidak lagi membahayakan kepentingan umum, karena sudah tertangkap, tetapi karena masih ada tindak kekerasan main hakim sendiri yang melanggar HAM maka tindakan tersebut tidak kita tolerir/ salah. Pelanggaran HAM oleh masyarakat; Pelanggaran HAM oleh anggota masyarakat terhadap masyarakat lainnya; Tindak kekerasan yang melanggar HAM bukan hanya monopoli aparat, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya, seperti penganiayaan, pembunuhan, penghinaan, perkosaan, dan jenis-jenis kejahatan lain yang mengganggu hak-hak asasi manusia di bidang hak hidup, hak milik dan hak penghormatan. (Atmasasmitha, 2001:39) Hak-hak tersebut menimbulkan pemikiran bagi kita, bahwa pengertian dan pemahaman tentang HAM harus dipahami secara baik oleh setiap anggota masyarakat agar masyarakat tersebut mengerti akan hak-haknya dan juga respon terhadap hak asasi orang lain. Pelanggaran masyarakat terhadap hukum; Pelanggaran masyarakat terhadap hukum antara lain adalah: (1) Perusakan sarana hukum. Dari berbagai sarana dan prasana hukum yang paling menonjol adalah perusakan markas kesatuan POLRI, tidak sedikit kerusakan yang diderita sejumlah markas komando POLRI diberbagai wilayah. (2) Serangan terhadap aparat penegak hukum. Selain merusak sarana POLRI, juga ada tindak kekerasan oleh masyarakat yang ditujukan kepada personel POLRI yang mengakibatkan korban nyawa anggota POLRI. PERANAN POLRI DALAM UPAYA PERLINDUNGAN HAM DAN PENEGAKAN HUKUM Peranan POLRI dalam perlindungan HAM; Peran POLRI sebagai penegak hukum dituntut untuk mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap setiap bentuk tindak pidana, termasuk upaya pembuktian secara ilmiah dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi guna melindungi hak asasi manusia. Aktualisasi dari peran sebagai penegak hukum ini adalah: (1) Menguasai dan mahir dalam hukum acara pidana maupun perdata sehingga mampu menghadapi setiap permasalahan hukum dengan tepat dan dapat mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM pada tingkat pra peradilan. (2) Menguasai teknik dan taktik penyelidikan serta penyidikan sehingga mampu membuat terang dan terungkapnya setiap tindak pidana yang terjadi. (3) Mempunyai semangat dan tekad yang kuat untuk menjadi Crime Hunter dengan motto Walaupun langit esok akan runtuh namun hukum harus tetap ditegakkan. (3) Mampu memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu mengungkapkan pembuktian secara ilmiah kasus kejahatan yang terjadi. (4) Mampu melakukan koordinasi dengan segenap instansi terkait dalam usahanya menegakan hukum menurut sistem peradilan pidana khususnya dan serta mengkoordinasikan dan mengawasi penyidik pegawai negeri sipil dalam rangka perlindungan Hak Asasi Manusia. Bidang Peraturan Dan Instumen; (1) Ratifikasi Konvensi-Konvensi Anti Kekerasan, Dalam TAP MPR Nomor: TAP/X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, ditegaskan bahwa kebijaksanaan reformasi pembangunan hukum antara lain adalah penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan dan ketentraman masyarakat. Salah satu agenda yang harus dijalankan adalah memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh masyarakat. Menindaklanjuti TAP MPR tersebut, pemerintah antara lain telah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan ataupun hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Di samping itu pada tahun 1993 pemerintah telah membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang tugasnya antara lain mengkaji berbagai instumen PBB tentang HAM dengan tujuan
119

Syamsiar Julia: Pelanggaran HAM dan Peranan POLRI ...

memberikan sarana-sarana yang memungkinkan adanya ratifikasi dikaitkan dengan tindak kekerasan yang terdapat dalam beberapa konvensi tentang standard HAM Internasional demi penegakan hukum, peraturan standard minimum, perlakuan terhadap narapidana, serta konvensi HAM internasional tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial. (2) Penyesuaian Hukum Dengan Ratifikasi HAM, Instrumen Hukum Internasional sesungguhnya telah menyatakan bahwa persoalan HAM harus diatur dengan hukum sebagaimana yang termuat dibagian mukaddimah dari Universal Declaration of Human Rights, bahwa: Human Right Should be Protected by The Rule Of Law, dengan demikian terdapatlah suatu amanat yang berisikan bahwasanya HAM sangat mengindahkan akan asas-asas Hukum Internasional yang bersifat universal. (3) Penertiban Profesi POLRI, Upaya penertiban Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain dengan usaha: memberikan tanda pengenal sebagai keabsahan wewenang sebagai pejabat penyidik dengan maksud agar masyarakat mengerti dan/atau memahami bahwa dirinya tengah berhadapan dengan petugas resmi, penataran pengawasan melekat (waskat) kepada eselon pimpinan di lingkungan POLRI dengan tujuan terciptanya mekanisme pengawasan di lingkungan kerjanya, pengadaan Kotak Pos 5000 dan Kotak Pos 777 di Kantor Polisi untuk menampung laporan kasus pungli-korupsi dan penyalahgunaan wewenang serta hal-hal yang tidak terpuji dari anggota POLRI, pengawasan fungsional oleh Irjen POLRI dan Irpolda yang bertugas antara lain menyelenggarakan pengawasan dan pemeriksaan di bidang pembinaan kesiapsiagaan operasional serta menyelenggarakan pengawasan dan pemeriksaan di bidang pelanggaran hukum pelanggaran disiplin pelanggaran tertib anggota POLRI, tindakan hukum disiplin oleh atasan serta pengajuan ke sidang pengadilan umum kasus HAM pada seluruh jajaran anggota POLRI, desiminasi dan sosialisasi HAM pada seluruh jajaran anggota POLRI, memasukkan mata pelajaran HAM pada setiap jajaran anggota POLRI, upaya memandirikan POLRI/memisahkan dari TNI agar tindakan-tindakan POLRI tidak berbau militer tetapi lebih mengutamakan perlindungan dan pelayanan masyarakat. Penindakan Terhadap Anggota POLRI Yang Melanggar Hukum; Dalam praktek masih banyak terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan anggota POLRI terhadap masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut pimpinan POLRI tidak menutup mata terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan anggotanya. Dalam hal ini pada tahun 1997 pimpinan POLRI telah menindak 161 anggotanya yang melakukan pelanggaran HAM antara lain perkelahian dengan masyarakat atau sesama TNI, penganiayaan dan penyalahgunaan senjata api, sedang pada tahun 1998 untuk kasus yang sama seperti di atas pimpinan POLRI telah menindak 212 anggota POLRI namun demikian masih banyak lagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak terdeteksi oleh pimpinan POLRI oleh karena itu diharapkan peningkatan kesadaran masyarakat akan hal kesadaran tentang hak asasi manusia hingga ada kontrol timbal balik antara masyarakat dan kepolisian dalam hal pelaksanaan tugas penegakan hukum tentang HAM. HAMBATAN PERLINDUNGAN HAM DALAM PRAKTEK PENEGAKAN HUKUM Budaya Paternalistik; Budaya Paternalistik masih hidup dan melekat pada sebagian besar masyarakat khususnya di kalangan masyarakat pedesaaan, hal-hal yang diucapkan oleh pimpinan formal maupun informal walaupun terkadang pernyataan itu tidak sesuai dengan HAM namun karena diucapkan oleh pimpinan kharismatik lalu dianggap sebagai suatu kebenaran atau walaupun dalam hati kecilnya menolak namun tidak berani mengungkapkan hak dan perasaannya, hak dan pemikirannya, sehingga menghambat pelaksanaan hak asasinya. Kesadaran Hukum Yang Rendah; Kesadaran hukum yang rendah mengakibatkan keengganan masyarakat untuk melaporkan adanya pelanggaran HAM disekitarnya terutama karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain, keengganan menjadi saksi atau tidak ingin repot karena urusan orang lain. Dalam hal tertentu keengganan (tidak mau) menjadi saksi ini menyulitkan POLRI dalam mengungkap kasus-kasus kejahatan yang terjadi sehingga POLRI lalu
120

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 cenderung untuk mengejar pengakuan tersangka yang kadang-kadang dilakukan dengan dibarengi dengan tindakan-tindakan kekerasan. Budaya Loyalitas; Sikap loyalitas ini juga hidup subur di seluruh lapisan masyarakat, di suatu sisi lain loyalitas mengandung konotasi negatif yakni kepatuhan/kesetiaan yang berlebihan terhadap perintah atau petunjuk pimpinannya baik dalam suatu organisasi resmi maupun dalam suatu organisasi non formal. Seharusnya yang kita kembangkan adalah budaya komitmen terhadap tugas, tanggungjawab terhadap HAM dan masyarakat dalam arti harus ada keberanian anggota untuk menentang perintah pimpinannya apabila perintah tersebut tidak sesuai dengan aturan hukum, moral, ketertiban, keamanan dan terutama tidak sesuai dengan HAM. Kesenjangan; Adanya kesenjangan hukum di dalam masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat ditinjau dari beberapa sisi yaitu antara lain: (1) Teori Hukum dan Praktek Hukum. Walaupun teori hukum dan hukum-hukum tertulis yang kita miliki belum sempurna namun sebenarnya dengan aturan-aturan yang ada pelanggaran HAM seharusnya sudah dapat diminimalkan tetapi dalam praktek terlihat bahwa belum tentu aturan-aturan yang baik itu lalu dalam pelaksanaannya juga baik, manusia-manusia pelaksananya yang masih terlihat tidak sepenuhnya mengaplikasi secara tepat dan benar aturan-aturan tersebut. (2) Sosialisasi Hukum. Masalah hukum khususnya yang menyangkut masalah sosialisasi hukum kepada masyarakat awam belum menggembirakan atau lebih tepatnya belum gencar dilaksanakan, contohnya sosialisasi tentang masalah keluarga berencana atau sosialisasi tentang masalah Hak Asasi Manusia. Sosialisasi perlu agar seluruh lapisan masyarakat mengerti dan paham akan arti dan nilai-nilai yang terkandung dalam pengertian tentang Hak Asasi Manusia agar masyarakat awam lebih pintar dan dapat menghormati Hak Asasi manusia lain. (3) Pembangunan Hukum. Pembangunan bidang-bidang hukum seperti aturan hukum, aparatur hukum, sarana prasarana hukum, budaya hukum belum pernah mencapai sasaran yang diinginkan, semua bidang-bidang hukum yang disebut tadi belum melembaga dalam masyarakat ditambah lagi kelemahan-kelemahan unsurunsur pendukung hukum lainnya seperti psykologi masyarakat, antropologi dan sosiologi yang menyebabkan lambatnya pemajuan dan perlindungan HAM terhadap manusia pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. (4) Interaksi Dalam Pemajuan Dan Perlindungan HAM. Interaksi yang dimaksud disini adalah upaya dari dalam bagaimana supaya HAM dapat ditegakkan yaitu dengan cara membina segala kaitan yang berkenaan dengan HAM antara lain: (1) Dari segi geografis. Dari segi geografis adalah dilihat dari segi penduduk atau lebih jelas lagi dari kondisi penduduknya, di Indonesia perbandingan antara jumlah polisi dan masyarakat yang telah mempunyai intelektualitas tentang hukum dan HAM yang baik dibandingkan dengan yang belum mempunyai pengetahuan hukum dan HAM sangat kurang, sehingga jika ditinjau ke lapangan masih banyak terdapat masyarakat dan aparat yang memilih jalan pintas dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum hal ini sangat berpengaruh buruk terhadap usaha penegakan hukum tentang HAM yang tengah kita tempuh. (2) Dari dalam diri POLRI sendiri. Cara pembinaan dan pendidikan sumber daya atau calon-calon anggota POLRI. Jumlah anggaran yang tidak mencukupi dalam pelaksanaan tugas yaitu dalam usaha penegakan hukum materil, fasilitas yang kurang serta kendala lain yang tidak akan dengan mudah diatasi dalam jangka waktu yang singkat. (3) Dari segi yuridis. Tumpang tindihnya hukum acara pidana, ketidakpastian dan rekayasa hukum, konsistensi yang tidak jelas dalam pelaksanaan hukum serta kecenderungan pembuatan Undang-Undang yang kurang mengacu kepada kepentingan umum melainkan untuk kepentingan golongan atau organisasi masih terus saja berlangsung. KESIMPULAN Uraian tentang pelanggaran-pelanggaran HAM serta pemikiran tentang usaha-usaha penegakan HAM disampaikan dengan maksud dan tujuan agar dapat menyamakan persepsi,
121

Syamsiar Julia: Pelanggaran HAM dan Peranan POLRI ...

visi dan strategi dalam mencari solusi terhadap permasalahan HAM yang dewasa ini banyak terjadi serta dalam kaitannya dengan penegakan hukum di Indonesia. Sosialisasi Hukum Dan HAM; Masalah hukum dan HAM bukan hanya terbatas pada pengertian dan pemahaman, jauh lebih penting dari itu adalah tata nilai perilaku masyarakat dan aparat yang mencerminkan hukum dan HAM untuk sampai pada tahap perilaku, barangkali bukan hal yang mudah, diperlukan kerja keras kita semua yang kontinu dan dalam jangka untuk dapat merubah perilaku dan budaya yang telah berakar dan dapat bertentangan dengan hukum dan HAM. Upaya kerja keras tadi barangkali akan lebih berhasil dan menciptakan suatu sinergi, jika ada kebersamaan dan keterpaduan antara semua lapisan masyarakat, kaum intelektual dan lembaga-lembaga yang punya akses kuat dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Penyesuaian Hukum Positif; Tanpa hukum positif yang memberikan sanksi terhadap pelanggaran HAM dan adanya suatu parameter tentang pelanggaran HAM yang dapat digunakan dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum yang tercantum dalam suatu peraturan perUndang-Undangan yang bersifat legal-formal, maka penegakan HAM akan hanya terbatas angan-angan karena sifat dan wajah HAM yang sangat kompleks sering menimbulkan kerancuan dalam penafsiran oleh berbagai pihak. Peran Mahasiswa; Peran mahasiswa dewasa ini demikian berarti dan penting di dalam setiap usaha mendobrak dinding yang menghambat gerakan masyarakat menuju masyarakat yang demokratis karena itu disarankan kemampuan dan kekuatan dalam menggerakkan pemajuan dan perlindungan HAM hendaknya dioptimalkan baik dalam rangka sosialisasi serta merealisasi Hak Asasi Manusia terutama menghargai hakhak asasi sesama komponen bangsa oleh mahasiswa. Hati Nurani; Yang paling menentukan adalah hati nurani kita, disarankan hendaknya segala tindakan kita ukur dengan kata nurani dalam arti kata dialog dalam pribadi kita menjadi filter dan tingkah laku sebagai anak bangsa yang merasa bertanggungjawab akan kemajuan negeri tercinta ini. DAFTAR PUSTAKA Marbun, BN. 2000. Penegakan Hukum dan Hak Asasi di Indonesia. Bina Cipta. Jakarta. Hutauruk, M. 1982. Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Erlangga. Jakarta. Senoadji, Indriyanto. 1998. Penyidikan dan HAM dalam Prospektif KUHAP Bidang Penyidikan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Alamsyah, Nur. 2000. Peradilan Terhadap Pelaku Kejahatan HAM Yang Berat. LBH Medan Atmasasmitha, Romli. 2001. Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Mandar Maju. Bandung. Republik Indonesia. 2000. Undang Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Citra Umbau. Bandung Republik Indonesia. 1999. Undang Undang tentang Hak Asasi Manusia. Citra Umbau. Bandung.

122

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006

KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) FENOMENA GLOBAL: Suatu Kajian Aspek Hukum
Hasim Purba
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: The Policy of Special Economic Zone (SEZ) is one of the global issu in the legal field and economics. The emergence of various economic cooperation group like GATT/WTO, APEC, NAFTA, AFTA procecuted various state, including Indonesia can join and work along with other nations. The implementation of various international agreement through commerce liberalisasi will bring separate impact to each state. Special Economic Zone as one of the form realize international commercial relation will influence policy at economics field and can become opportunity, at the same time also study of aspect legal and other aspect. Kata Kunci: KEK, Fenomena Global, Aspek Hukum

Salah satu fenomena global yang sedang hangat dibicarakan adalah pelaksanaan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang merupakan modus baru negara-negara maju menanamkan dominasinya dinegara-negara berkembang dan negara terbelakang. Istilah baru Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI/Special Economic Zone/KEK) sebenarnya merupakan proses metamorfosa dari beberapa bentuk kegiatan ekonomi dalam rangka menarik investasi asing seperti Free Trade Zone (kawasan perdagangan bebas), Bended Zone Plus sebagaimana yang sudah dipraktekkan di Pulau Batam, namun dirasakan masih belum memberikan keuntungan yang signifikan baik bagi negara Indonesia maupun bagi para investor asing. Sebagai negara kepulauan yang terletak pada posisi silang dunia, negara Indonesia yang diapit dua Benua yaitu Benua Asia dan Australia serta dua Samudera yaitu Samudera Fasifik dan Samudera Hindia, menjadikan Indonesia berada pada posisi strategis ditengah garis khatulistiwa. Posisi geografis yang strategis tersebut menjadikan Indonesia sangat sulit menghindar dari interaksi masyarakat Internasional dalam lingkup global. Kondisi geografis Indonesia yang sangat strategis serta dukungan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, membuat wilayah Indonesia selalu menjadi pusat perhatian dunia Internasional, bahkan pada masa zaman penjajahan wilayah Indonesia senantiasa menjadi rebutan negara-negara penjajah seperti Belanda, Prancis, Inggris dan Jepang, di mana sejarah mencatat bahwa negara-negara tersebut pernah mencengkraman kuku jajahannya di bumi Indonesia ini. Dari berbagai praktek rezim penjajahan tersebut telah menimbulkan keterbelakangan, penderitaan, kebodohan bahkan pengorbanan nyawa dan tumpah darah para pahlawan yang tidak ternilai harganya. Masuknya kaum penjajah dengan praktek kolonialisme dan kapitalismenya pada masa lalu, sebenarnya adalah suatu proses globalisasi, namun pelaksanaannya dengan pola kekuatan bersenjata dan kekerasan. Proses globalisasi juga berkembang saat ini dengan pola damai melalui pembentukan berbagai organisasi kerjasama perdagangan baik yang bersifat Internasional seperti GATT/WTO, GATS, maupun regional seperti APEC, AFTA, IMT-GT dan lain-lain. Kesepakatan umum tentang dagang dan tarif (GATT) dan kesepakatan mengenai dagang serta
123

Hasim Purba: Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ...

bidang jasa (GATS) mulai menguji keunggulan-keunggulan kompetensi strategis negaranegara berkembang, termasuk Indonesia, yang secara mendasar akan menyentuh sendi-sendi kedaulatan dan kepentingan nasional kita. (Lubis, 1996: 84). Uraian ringkas dalam pendahuluan ini sengaja mengungkap secara ringkas tentang globalisasi masa lalu dengan bentuk penjajahan dengan menggunakan senjata dan kekerasan, untuk menekankan penganalisaan kita apakah program KEK kelak dapat kita jadikan sebagai peluang pemajuan perekonomian nasional kita atau malah menjadi suatu ancaman yang suatu saat akan menyeret bangsa ini kedalam cengkeraman penjajahan baru (neo kolonialism). INDONESIA DAN PERDAGANGAN GLOBAL Awal tahun 1990-an merupakan suatu pembukaan era baru yang sangat historis dalam sejarah dunia modern. Beberapa perkembangan fundamental terjadi pada periode itu baik di bidang ekonomi maupun di bidang politk strategis. Perkembangan yang luas tersebut sangat mempengaruhi baik dalam arti politik maupun ekonomi. (Kartadjoemena, 1996: 39) Pada awal tahun 1990-an pemikiran bahwa mekanisme pasar merupakan instrumen yang efisien untuk melakukan kegiatan ekonomi semakin diterima secara global. Di samping itu semakin ada kesadaran mengenai terbatasnya kemampuan sektor pemerintah untuk memecahkan semua masalah ekonomi. (Kartadjoemena, 1996: 40) Dengan disahkannya persetujuan umum mengenai tarif dan perdagangan melalui The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang merupakan perjanjian Internasional di bidang perdagangan Internasional yang mengikat lebih dari 120 negara ingin menciptakan suatu perdagangan Internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan di dalam penanaman modal, lapangan kerja dan menciptakan iklim perdagangan yang sehat. (Adolf dan Chandrawulan, 1994: 1) Perkembangan kehidupan global yang ditandai dengan timbulnya berbagai kelompok/blok kekuatan kerjasama ekonomi seperti GATT/WTO, Kerjasama Ekonomi Asia Fasifik (APEC), NAFTA (Persetujuan Perdagangan Bebas Amerika Utara), AFTA menuntut berbagai negara termasuk Indonesia untuk dapat bergabung dan bekerjasama dengan negaranegara lain yang tergabung dalam organisasi tersebut. Untuk ruang lingkup yang regional misalnya Indonesia bergabung dalam kerjasama segitiga pertumbuhan Indonesia-MalaysiaThailad yang dikenal dengan singkatan IMT-GT. Liberalisasi perdagangan yang akan dikembangkan sebagai salah satu gagasan yang dilontarkan dalam forum APEC itu, akan menyatukan berbagai dimensi strategis, tidak hanya segi yuridis dan politis, tetapi juga menuntut perhatian dan perhitungan strategis secara ideal, filosofis, berkonotasi kepentingan dan ketahanan Nasional. (Lubis, 1996: 87) Dalam pelaksanaan persetujuan umum perdagangan Internasional melalui liberalisasi perdagangan Internasional tentunya masing-masing negara akan berupaya untuk memanfaatkan berbagai bentuk kerjasama perdagangan untuk dapat memajukan perekonomian negara masing-masing. Namun apabila ditelaah dari kondisi riel tentang adanya kesenjangan yang terjadi antara negara-negara maju yang telah berada pada posisi mapan dan unggul, sementara dipihak lain negara-negara berkembang dan negara terbelakang berada pada posisi lemah, akibatnya bentuk kesepakatan perdagangan Internasional seperti yang diatur dalam GATT/WTO, APEC, NAFTA dan lain-lain dikhawatirkan para pengamat akan menjadikan perangkap bagi negara-negara berkembang dan terbelakang menjadi sasaran eksploitasi ekonomi negara-negara maju, bahkan lebih jauh negara-negara berkembang dan terbelakang akan kehilangan kedaulatan dinegaranya sendiri. Indonesia sebagai bagian dari negara-negara peserta perdagangan Internasional tentunya harus mengkaji secara mendalam dan objektif kemungkinan dampak positif dan dampak negatif berbagai bentuk kerjasama perdagangan Internasional yang dilakukan ; adalah perlu kita cermati uraian M. Solly Lubis, yang
124

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 menyatakan: jangan sampai Indonesia sekedar menjadi limpahan produk sebagai tempat pemasaran hasil-hasil industri negara-negara lebih maju, disaat kita sendiri lebih berbenah untuk pembangunan perdagangan yang bertujuan memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen terutama produsen hasil pertanian rakyat, dalam rangka peningkatan devisa negara. (Lubis,1996: 87) KEK SEBAGAI PELUANG DAN ANCAMAN K E K Sebagai Peluang Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan fenomena global yang sulit kita hindari, karena KEK merupakan salah satu bentuk baru kerjasama Internasional dalam bidang perdagangan sebagai konsekwensi masuknya Indonesia menjadi anggota berbagai organisasi perjanjian perdagangan Internasional baik GATT/WTO, APEC, AFTA maupun IMT-GT. Kerjasama KEK saat ini merupakan perkembangan mutakhir dari berbagai bentuk kerjasama ekonomi sebelumnya. Salah satu bentuk kerjasama ekonomi yang pernah dikembangkan pemerintahan sebelumnya adalah Pembentukan Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) dibeberapa Provinsi di Indonesia seperti: Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (KAPET) di Indonesia (Listiyorini, 2006: 15) Tabel. 1 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Provinsi Irian Jaya (Papua) Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Maluku Tengah Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Nanggroe Aceh Darussalam Nama KAPET Biak Sanggau Kakab Batu Licin, Banjarmasin Sasamba, Samarinda Seram Mbay Bima Pare-pare, Ujungpandang Manado Batui, Luwuk Bukari, Kendari Sabang

Sumber: Diolah dari SK. Harian Analisa Medan, Kamis 6 Juli 2006: 15 Dari 13 (tiga belas) provinsi di Indonesia yang telah mambangun KAPET tersebut, ternyata belum membuahkan hasil yang signifikan, hal ini disebabkan pembangunan beberapa KAPET tersebut tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang. Berbagai kelemahan yang mengakibatkan kurang berhasilnya KAPET yang ada tersebut disebabkan berbagai faktor, misalnya KAPET Mbay di Nusa Tenggara Timur, kesulitan menjaring investor akibat infrastruktur jalan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, air bersih yang kurang menunjang. (Listiyorini,2006:15). Sedangkan Batam yang dikembangkan sejak awal 1970-an dan sempat menikmati sejumlah perlakuan khusus sebagai kawasan industri, perdagangan, pariwisata dan jasa alih kapal dengan status BZP nya tampak tidak terlalu sukses mempertahankan investornya. (Listiyorini, 2006: 15). Pengalaman kurang suksesnya program KAPET ini seyogianya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk mengkaji ulang kekurangan dan kelemahan pada pelaksanaan KAPET sehingga tidak terulang lagi dalam program KEK. Untuk
125

Hasim Purba: Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ...

itu dalam program pembangunan KEK di Indonesia kita harus mengkaji secara matang bagaimana perencanaan dan strategi yang tepat agar KEK dapat sukses, sekaligus juga mengadakan pengkajian kemungkinan dampak positif dan negarif yang ditimbulkan KEK itu sendiri. Oleh karena itu Indonesia harus benar-benar jeli dan bijaksana agar pembentukan KEK di Indonesia selalu mengutamakan kepentingan positif bagi bangsa Indonesia baik jangka pendek maupun jangka panjang serta pentingnya kemampuan kita untuk meminimalisir dampak negatif dari KEK itu. Program KEK apabila ditinjau dari salah satu filosofi pembangunan Nasional yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya terkesan program programatis dan instan karena program KEK diarahkan pada daerah yang bukan hanya memiliki potensi untuk dikembangkan perekonomiannya, namun juga telah memiliki infrakstruktur pendukung kegiatan ekonomi. Dengan demikian jelas bagi kita bahwa KEK tidak akan pernah dibangun di daerah yang masih terbatas pembangunan sarana dan prasarananya, sehingga KEK tidak dapat diharapkan untuk mendorong pembangunan daerah yang masih belum maju. Jelasnya KEK akan nimbrung didaerah yang telah maju dan berkembang pesat dan didukung sarana dan prasarana yang relatif maju. Malahan Menteri Perindustrian RI Fahmi Idris menegaskan beberapa syarat yang harus dimiliki oleh daerah yang akan dikembangkan menjadi KEK antara lain dekat dengan Pelabuhan, Bandar Udara dan sumber daya manusia, selain itu kawasan tersebut juga harus memiliki prasarana dan akses yang dibutuhkan seperti tenaga kerja dan keberadaan industri penunjang dan jasa penunjang diwilayah tersebut. (Listiyorini, 2006: 15) Sebenarnya yang menjadi perhatian pokok bagi kita, di samping KEK harus dapat dijadikan sebagai salah satu solusi bagi pengentasan (erradication) perekonomian nasional, hendaknya program KEK juga jangan hanya sekedar program proyek mercusuar bagi rezim pemerintahan yang sedang berkuasa, tapi harusnya benar-benar dijadikan program yang menjadi kebutuhan pembangunan nasinonal, sehingga kalaupun nantinya terjadi pergantian rezim pemerintahan di Indonesia, program KEK tetap dapat dilanjutkan dan dikembangkan oleh rezim pemerintahan yang baru. Seandainya program KEK bisa berjalan sukses dan langgeng di Indonesia, sebagaimana pengalaman sukses dari beberapa negara yang terlebih dahulu manjalankan program KEK, seperti yang dijalan kerjasama antara Singapura dengan negara Vietnam dan Republik Rakyat Cina (RRC) tentunya akan banyak membawa multiflier effect bagi perekonomian dan kesejahteraan khususnya masyarakat disekitarnya dan Indonesia pada umumnya. Secara imaginer, program KEK kemungkinan dapat membawa dampak positif dalam berbagai hal antara lain: a) Dengan adanya KEK diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan baru dalam jumlah besar, sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi jumlah pengangguran. b) Dengan terserapnya angkatan kerja di masyarakat, akan meningkatkan income perkapita masyarakat, hal ini akan meningkatkan daya beli masyarakat. c) Dengan meningkatnya daya beli masyarakat maka kegiatan sektor ekonomi riel lainnya berupa perdagangan barang dan jasa mengalami kemajuan. d) Selain itu dengan adanya KEK yang akan menjadi tempat beroperasinya berbagai industri dan perdagangan, maka diharapkan akan dapat menampung hasil produksi pertanian, perkebunan, perikanan, kerajinan masyarakat sekitar (hinterland) untuk diolah sebagai bahan baku bagi industri yang ada di KEK. e) Dengan adanya pasar penampungan hasil-hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan masyarakat akan meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat. f) Dengan berkembangnya kegiatan KEK, diharapkan akan mendorong perkembangan industri jasa pendukung lainnya yang menjadi usaha masyarakat sekitar, misalnya jasa angkutan, jasa pelayanan penginapan, jasa hiburan, perhotelan dan lain-lain. Beberapa multiflier effect positif tersebut di atas diharapkan menjadi paket substansi dari visi dan missi pelaksana program KEK di Indonesia, sehingga KEK benar-benar dapat menjadi salah satu solusi alternatif pengentasan perekonomian Indonesia yang masih tetap terpuruk sejak dilanda krisis moneter tahun 1997.
126

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 KEK sebagai Ancaman Di samping kita menelaah KEK sebagai peluang, tentunya program KEK juga mengandung berbagai kelemahan yang dapat menjadi ancaman bagi negara penerima KEK termasuk seperti Indonesia. Berbagai aspek yang rentan berbenturan dengan program KEK perlu mendapat perhatian serius, seperti aspek hukum, aspek sosial budaya, aspek politik termasuk aspek pertahanan dan keamanan, jadi dengan demikian masalah KEK tidak tepat apabila kita hanya tinjau dari perspektif keuntungan ekonomi belaka, tapi berbagai aspek tersebut di atas juga harus mendapat telaahan secara proporsional. (1) Aspek Hukum, dari aspek hukum, program KEK mutlak harus mendapat kajian, karena bagaimanapun program KEK tidak terlepas dari landasan hukum yang akan menjadi dasar aturan main (rule of game) seluruh aktivitas KEK sebagai kegiatan ekonomi khusus tidak mungkin terlepas dari hukum. Sebagaimana dijelaskan Prof. DR. Bismar Nasution, SH., M.H supaya pembangunan ekonomi dilakukan berlandaskan hukum. (Nasution, 2004) Implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap hukum tidak dapat dihindarkan, sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, dalam arti substansi berbagai Undang-Undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara (cross border), (Nasution, 2004) lebih jauh lagi, apabila ditarik dari akar filsafat bangsa Indonesia, Pancasila merupakan sumber hukum Indonesia, hal ini mengandung konsekwensi bahwa hukum di Indonesia itu mengacu kepada Pancasila (Kabul,2005:53) dengan demikian peraturan-peraturan dalam bentuk dan tingkat apapun harus mengacu kepada Pancasila atau tidak dibolehkan bertentangan dengan Pancasila sebagai norma dasar (groundnorm). Apabila program pembangunan KEK ini dikaitkan dengan politik hukum (legal policy) nasional, maka perlu adanya telaah mendalam dan komprehensif, apakah politik hukum yang dilaksanakan dalam rangka KEK masih konsisten pada aspirasi dan norma dasar Pancasila sebagai landasan filosofi sehingga politik hukum yang kita anut bersifat grounded, atau telah terjadi pergeseran kearah yang pragmatis guna menyahuti keinginan dan permintaan dari negara maju dan investor pelaksana KEK. Dari berbagai penjelasan (statement) yang disampaikan para pejabat pemerintah terikat dengan KEK, pemerintah akan berupaya menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di KEK dengan pemberian berbagai fasilitas khusus, seperti pemberian kemudahan perizinan usaha, kelonggaran izin lingkungan, aturan kepabeanan, perpajakan dan pelayanan perdagangan, bahkan KEK akan mendapat otoritas yang terpisah dari daerah setempat. Pemberian insentif dan perlakuan khusus, berlebihan ini sebenarnya kurang tepat apabila ditinjau dari segi kedaulatan hukum Indonesia, namun mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang berada pada posisi lemah, maka Indonesia memilliki ketergantungan yang tinggi terhadap kehadiran investor-investor asing tersebut. Posisi lemah Indonesia paling tidak dalam 3 (tiga) hal; pertama, lemah dalam bidang permodalan (capital); kedua, lemah dalam bidang management, dan ketiga, lemah dalam penguasaan science dan IPTEK menjadikan kita sulit menghindar dari skenario global ala KEK ini. Menurut teori ketergantungan (dependency theory) dijelaskan ketika ekonomi di antara dua kutub dalam perekonomian dunia yang kapitalistik, yakni antara yang mendominasi (dominance) dan yang terdominasi (dependence) (Wicaksono, 2003:9). Dalam dialektika ekonomi tersebut tentu saja the dominace terus menerus mengalami surfllus profit, sementara negara yang berada dalam posisi inferior (the defendence) hanya menikmati surplus pinggiran atau residu yang dari segi kuantitas tidak sebanding dengan dampak sosial yang timbul akibat proses eksploitasi KEK. (Wicaksono, 2003:9). Dengan adanya proses perkembangan yang timpang (unequeal development) tersebut jelas akan memuluskan missi utama kapitalisme dengan berbungkus baju KEK yaitu: pertama berupaya menguasai bahan mentah melalui eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam; kedua, berusaha memperoleh tenaga kerja/buruh yang murah di negara dependence; ketiga, berusaha menguasai pasar/market dengan jalan monopoli baik
127

Hasim Purba: Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ...

pembelian maupun penjualan. Kecenderungan ketiga praktek missi kapitalisme di atas sangat rentan terjadi dalam program KEK di Indonesia apabila kita tidak hati-hati dan bijaksana merumuskan aturan hukum yang menjadi landasan kegiatan KEK tersebut. (2) Aspek Sosial Budaya, Negeri-negeri yang sekarang ini disebut negara-negara maju telah menempuh pembangunannya melalui tiga tingkat: unifikasi, industrialisasi, dan negara kesejateraan. Pada tingkat pertama yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasinonal. Tingkat kedua, perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik, akhirnya dalam tingkat ketiga, tugas negara yang utama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan menekankan kesejahteraan masyarakata (Rajagukguk, 1997:2). Apabila tingkatan perkembangan negara tersebut di atas kita elaborasikan dengan negara Indonesia, nampaknya agak sulit menentukan pada posisi tingkat mana negara kita saat ini berada. Pada tingkat unifakasi yang menekankan pada pencapaian integarasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional, bila di elaborasikan dengan kondisi riel negara Indonesia saat ini, kita masih tetap berjuang keras untuk menciptakan persatuan dan kesatuan yang cenderung terusik dengan berbagai tuntutan daerah yang ingin melepaskan diri dari negara kesatuan RI (lihat kasus Aceh dan Papua). Demikian juga apabila kita kaitkan dengan tingkatan kedua yaitu untuk menjadi negara industri, lagi-lagi kita tidak punya basic modal yang kuat. Kelemahan kita dalam bidang permodalan (dana dan equipment), bidang management (masih tingginya KKN dan Hight Cost Economic) dan lemahnya penguasaan science dan IPTEK memposisikan negara kita belum mampu naik tingkat ke negara industri, malahan ironisnya kita sebagai negara agraris pun kehilangan jati diri, sebab walaupun kita sebutan negara agraris, akan tetapi fakta lain menunjukkan Indonesia adalah negara importir bahan pangan (beras, jagung, kedelai) terbesar di dunia, sehingga terkadang timbul pertanyaan kenapa Indonesia sebagai negara agraris malah harus mengimpor bahan pangan untuk kebutuhan dalam negeri, sungguh menyedihkan bukan. Lain lagi apabila kita elaborasikan negara Indonesia sebagai negara yang berada pada tingkat ketiga, yang menekankan pada tugas negara untuk melindungi rakyat dari sisi negative dari industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dan perwujudan kesejahteraan masyarakat, agaknya saat ini hal tersebut masih menjadi sesuatu yang utopis, atau angan-angan belaka. Kehadiran KEK disadari atau tidak akan merobah perilaku masyarakat, dan juga rentan akan terjadinya perbenturan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat lokal. Perilaku masyarakat yang semula menganut nilai-nilai sosial yang tinggi dengan pola culture paguyuban (gemeinschap, gemeinschaft) dengan nilai dasar mengutamakan pengabdian berobah menjadi pola culture patembayan (geselschaft, gesellschaf) dengan nilai dasar mengutamakan sifat materialistis. Kecenderungan perubahan nilai ini juga sangat dipengaruhi perbauran antara budaya asing yang umumnya sekuler bersinggungan dengan budaya local/daerah yang umumnya religius, terikat adatistiadat, tatakrama dan kebiasaan lainnya. (3) Aspek Politik dan Keamanan, Pengaruh (influence) program KEK juga tidak tertutup akan berimbas pada aspek politik dan keamanan. Dengan adanya perubahan dan perbauran budaya lokal dan budaya asing, apabila tidak dicermati secara benar dan bijaksana, dapat menimbulkan konflik horizontal yang mengganggu stabilitas politik dan keamanan. Perubahan nilai dan perilaku sebagian warga masyarakat kearah materialistis dan sekuleristik (biasanya terimplikasi dalam bentuk kehidupan pergaulan bebas, hura-hura, minuman keras, narkoba dan lain-lain) tentunya akan mendapat perlawanan atau penolakan (resistensi) dari kelompok masyarakat yang tetap komit dan berpegang teguh pada ajaran agama, adat istiadat sebagai pedoman hidupnya. Kondisi ini akan rentan menimbulkan konflik sosial, lain lagi dengan masalah perusakan lingkungan hidup akibat dari industri-industri yang akan beroperasi didalam KEK, yang dikhawatirkan dengan adanya perlakuan-perlakuan khusus yang diberikan kepada
128

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 mereka, akan dapat menimbulkan sikap acuh mereka tehadap kewajiban menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidup yang juga merupakan hak masyarakat untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, bukankah telah banyak pengalaman kasus yang menunjukkan kepada kita betapa rendahnya kepedulian para pengusaha/investor dalam memperhatikan dan menjaga keamanan dan kelestarian lingkungan hidup disekitar tempat mereka berusaha. Selama ini mereka seenaknya melakukan pembalakan hutan, pencemaran sungai, polusi udara tanpa memikirkan masa depan dan keselamatan umat manusia. Eksploitasi besar-besaran hasil tambang yang acapkali mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat lokal (lihat kasus PT. Inti Indorayon Utama; PT. Freeport di Papua; kasus PT. Busang dan lain-lain). Hal lain yang paling rentan menimbulkan konflik dalam program KEK adalah pemenuhan lahan untuk lokasi KEK yang relatif sangat luas, untuk satu KEK diperkirakan membutuhkan lahan seluas + 10.000 Ha. Pemenuhan lahan seluas dimaksud bukanlah merupakan hal yang mudah apalagi mengingat rumitnya masalah pertanahan di Indonesia yang kian hari semakin rumit. Kondisi ini akan menimbulkan masalah baru. Berbagai program membangun yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta hampir tak lepas dari permasalahan pertanahan. Tentunya semua ini patut menjadi kajian mendalam bagi semua pihak terkait dalam program KEK, sehingga KEK tidak menjadi malapetaka bagi bangsa Indonesia di kemudian hari. KESIMPULAN Program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai fenomena global sulit untuk dihempang, karena dalam program KEK terdapat dua pihak yang sebenarnya saling membutuhkan. Negara-negara maju sangat berkepentingan untuk mengembangkan jangkauan kegiatan perekonomiannya baik yang dilakukan secara Goverment to Goverment (G to G) maupun yang dilakukan oleh perusahaan Transnasional sebagai investor; sementara dipihak negara-negara berkembang atau negara-negara terbelakang pada umumnya membutuhkan dukungan investasi asing dalam mengolah sumber daya alam yang ada dinegerinya guna mengembangkan perekonomian negara yang bersangkutan. Namun dalam pelaksanaannya hubungan kerjasama penanaman investasi asing mengalami ketimpangan dalam pembagian keuntungan, di mana porsi keuntungan biasanya jauh lebih besar bagi negara investor, sehingga negara penerima investasi hanya memperoleh bagian yang sangat minimum; hal ini juga dikhawatirkan dalam praktek KEK yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu pemerintah Indonesia harus mampu memperjuangkan posisi tawar kita, sehingga dalam pelaksanaan KEK, Indonesia juga memperoleh manfaat keuntungan yang signifikan dan proporsional, di samping itu Indonesia juga harus terhindar dari sapi perahan negara maju/investor asing dalam program KEK tersebut. DAFTAR PUSTAKA Chandrawulan, A dan Huala Adolf. 1994. Masalah-masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Kabul, Imam. 2005. Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia. Penerbit Kurnia Kalam. Yogyakarta Kartadjoemena, H. S. 1996. GATT dan WTO, Sistem, Forum dan Lembaga Internasional Di bidang Perdagangan. UI Press. Jakarta. Listiyorini, Eko. 2006. Kawasan Ekonomi Khusus. Jurus Baru Tarik Investor. SK. Harian Analisa. Medan
129

Hasim Purba: Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ...

Lubis, M. Solly. 1996. Dimensi-dimensi Manajemen Pembangunan. Penerbit Mandar Maju. Bandung ________. Bahan-bahan Kuliah Trend Globalisasi dan Politik Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU Nasution, Bismar. 2004. Globalisasi dan Pendidikan Tinggi Hukum. Orasi Ilmiah pada Dies Natalis Ke-50 Fakultas Hukum USU. ________. Pengaruh Globalisasi Ekonomi pada Hukum Indonesia, Makalah. Rajagukguk, Erman. 1997. Peranan Hukum Dalam Pembangunan pada Era Globalisasi, Implikasinya bagi Hukum di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum pada Fakultas Hukum Univesitas Indonesia. Jakarta. Wicaksono, Padang. 2003. Sekali Lagi Tentang Ketergantungan Indonesia, Mengenang DR. Sritua Arief. SK. Suara Pembaruan. Jakarta.

130

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006

UNDANG-UNDANG LALU-LINTAS SEBAGAI REGULASI TERTIB LANTAS KOTA MEDAN


Subanindyo Hadiluwih
Dosen Fakultas Hukum USU, Undhar dan UMN Abstract: Research about the traffic on the highway in Medan, facing the many causes of accidents The condition not only because the weakness of traffic regularly, but many cases because the human errors. Must be recognized that many differences between the regulation and the application of that. So, law enforcement was very important to minimized the accident, and of course - the victims. Kata kunci: Jalan Raya, Lalu-Lintas, Korban, Kesalahan Manusia.

Pernahkah orang berpikir bahwa membaca berita kecelakaan di darat, berikut korbankorbannya, baik yang meninggal dunia, luka parah atau bahkan menjadi korban tabrak lari, yang tampil hampir setiap hari melalui berbagai media massa sesungguhnya merupakan peristiwa yang amat mengerikan? Kalau hampir setiap hari peristiwa itu tampil di berbagai media, berapa sesungguhnya yang menjadi korban pada setiap bulan atau tahunnya? Kecelakaan di darat, berikut korban-korbannya, ternyata jauh lebih besar dan lebih banyak dibandingkan dengan kecelakaan di laut maupun di udara. Meskipun kecelakaan di laut, apalagi di udara, dalam makna transportasi laut maupun udara, secara psikologis memang selalu memperoleh perhatian yang lebih besar dari masyarakat. Sayangnya, akurasi dari pada laporan atas peristiwa tersebut, meski berasal dari pihak kepolisian atau pihak yang berwajib lainnya, tidak terjamin ketepatan dan akurasinya. Hal ini disebabkan oleh karena banyaknya pihak-pihak yang terlibat dengan pelanggaran dan atau kecelakaan lalu-lintas itu sendiri tidak semuanya melaporkan kepada polisi atas peristiwa yang dialaminya. Lagi pula, pelanggaran lalu-lintas yang diselesaikan di pinggir jalan, dengan dalih diskresi, salah satu kemungkinan penyelesaian yang dimungkinkan oleh Undang-Undang, juga tidak dibukukan sebagai pelanggaran lalu-lintas. Sebenarnya diskresi memang dimungkinkan berupa denda ditempat, namun pada gilirannya pihak polisi harus melaporkan dan menyetorkan hasilnya ke kas negara. Barang tentu dalam hal ini harus ada berita acara pelanggaran, besarnya denda serta ditandatangani oleh pihak yang terkena penindakan diskresi tersebut. Bagi pihak polisi sendiri, missing link atas data tersebut merupakan black number bagi statistik pelanggaran dan kecelakaan lalu-lintas. Meneliti kondisi perlalu-lintasan di sebuah kota besar di Indonesia, seharusnya merupakan tugas dan pekerjaan yang menarik. Apalagi di kota Medan, yang selain penduduknya amat heterogen, mempunyai temperamen kelompok yang secara stereotip berbeda-beda dengan tingkat kepatuhan kepada peraturan perUndang-Undangan dan peraturan daerah (PERDA) yang terkait lainnya, tidak sama pula. Dengan demikian patut diduga ketika penelitian tersebut akhirnya diselenggarakan juga, hasilnyapun tidak terlalu menggembirakan bagi berbagai pihak. Baik bagi pengguna jalan atau pelaku lalu-lintas, maupun aparat yang bertanggung jawab dalam hal tertib berlalu-lintas. Bukankah korbankorban sedemikian sebenarnya tidak perlu jatuh, kalau semua pihak tunduk pada ketentuan hukum dan atau peraturan yang berlaku. Penelitian ini ternyata membuahkan hasil tak jauh
131

Subanindyo Hadiluwih: Undang-Undang Lalu-Lintas sebagai Regulasi ...

berbeda dari pada apa yang dikhawatirkan tersebut. Wajar apabila sejak berbentuk proposal, semula tak satu lembagapun berkenan mengucurkan bantuannya untuk membiayai penelitian ini. Amat berbeda andaikata dibandingkan dengan pengajuan proposal penelitian yang berlatar belakang ekonomi atau bisnis. Misalnya penelitian pasar untuk suatu produk tertentu. Meskipun produk itu bersifat general, artinya tidak mencantumkan merek tertentu. Atau penelitian untuk mengukur potensi masyarakat dalam hal menggunakan peralatan modern. Misalnya televisi, VCD, DVD player, sampai ke handphone dan jaringan internet. Bahkan penelitian soal politik sekalipun. Misalnya proposal penelitian tentang minat masyarakat untuk mensukseskan Pemilu 2009. Padahal, hasil dari penelitian ini sebenarnya bermanfaat pula bagi banyak pihak. Misalnya Pemerintah Kota (PEMKO) untuk kepentingan penataan kota beserta jalur dan jaringan lalu-lintasnya, perusahaan asuransi Jasa Raharja, dan perusahaan asuransi lainnya, dealer mobil dan sepeda motor, dikaitkan dengan misalnya keterbatasan jalan dibandingkan dengan semakin banyaknya kendaraan yang berada di jalan dan sebagainya. Kondisi mana secara obyektif memang potensial meningkatkan terjadinya pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas. Oleh karenanya perlu pula ditingkatkan kepatuhan pengguna jalan terhadap peraturan lalu lintas, selain perlu pula diperbaiki berbagai sarana rambu lalu lintas dan prasarana jalan untuk menghindarkan kecelakaan yang mungkin terjadi. Peningkatan kepatuhan akan lebih terjamin manakala usaha law enforcement atau penegakan hukum terhadap pelanggaran dan atau kecelakaan dilakukan secara lebih intensif. Kota Medan terletak antara 98-99 derajat Bujur Timur dan antara 3-4 derajat Lintang Utara di lingkungan Provinsi Sumatera Utara. Berada pada ketinggian 11 meter di atas permukaan laut. Terbagi dalam 11 (sebelas) wilayah Kecamatan dengan 116 kelurahan (sebelum perluasan). Secara administratif Daerah Tingkat II ini disebut Kotamadya dan dipimpin oleh seorang Walikota, sebelum Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 berlaku. Sejak ke dua Undang-Undang tersebut berlaku, apalagi setelah adanya Undang-Undang yang baru, berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya ia disebut Daerah Kota dengan pemimpinnya tetap disebut Walikota. Kini kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan dengan 151 Kelurahan (BPS Prov. Sumut, 2001:12-21). Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Timur No.66/III/PSU/1951 tanggal 14 Nopember 1951, Medan dinyatakan sebagai Kota Besar. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dinyatakan sebagai Kotapraja dan berdasarkan Undang-Undang No. 18 tahun 1965 dinyatakan sebagai Kotamadya. Sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1973 di atur pula tentang pemekaran wilayah dari pada 4 Kecamatan menjadi 11 Kecamatan, dengan luas kawasan dari 5.130 hektar menjadi 26.510 hektar, dengan mengambil sebagian dari wilayah Kabupaten Deli Serdang (Usman Pelly, 2002 dan Kanwil Sosial Provinsi Sumut, 2000). Akibatnya, batas dari pada kota Medan juga mengalami penyesuaian menjadi: bagian Utara berbatas dengan Selat Sumatera, sebelah Selatan dengan Pancur Batu, Deli Tua dan Patumbak; bagian Timur berperinggan dengan Tanjung Morawa, Percut Sei Tuan dan Labuhan Deli; sementara di bagian Barat berjiran dengan Labuhan Deli, Hamparan Perak dan Sunggal. Perluasan kawasan ini menimbulkan ciri-ciri perbedaan gaya hidup (lifesyle) dari pada penduduk, terutama berkenaan dengan status penduduk yang semula tergolong luar kota dengan penduduk kota. Paling tidak, mobilitas penduduk luar kota meningkat dengan perlunya pengadaan kendaraan bermotor (sepeda motor), baik yang dipakai sendiri maupun yang dipergunakan sebagai ojek. Alat pengangkutan yang menjangkau bagian pedalaman dari pada kawasan pedesaan dan bagianbagiannya. Demikian pula dengan penggunaan kendaraan berupa Mobil Penumpang Umum (MPU) yang jaringannya juga semakin luas. Hal ini dipergunakan bagi memenuhi kebutuhan untuk menjangkau sarana pendidikan, fasilitas kesehatan, pasar dan keperluan lainnya. Sementara sarana dan prasarana pembangunan jalan, dengan kondisi serta fasilitas yang lebih baik diperlukan untuk mensetarakan kehidupan di antara penduduk dalam kota dan luar kota, yang kini statusnya menjadi sama, kawasan kota Medan. Dari pada Tabel yang akan disajikan
132

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 berikut diketahui bahwa tingkat kepadatan penduduk di berbagai Kecamatan mempunyai tingkat perbedaan yang cukup jauh, terutama melalui perbandingan antara kepadatan penduduk di kawasan perkotaan, pinggir kota dan luar kota, meskipun keseluruhannya masih berada dalam kawasan Kota Medan. Sarana pendidikan tinggi (universitas), fasilitas kesehatan (rumah sakit dengan fasilitas yang relatif lengkap) serta pasar, bagi pusat penjualan hasil produksi maupun pusat pembelian keperluan-keperluan lainnya relatif berubah menjadi semakin dekat, sehingga mobilitas semakin tinggi untuk menjangkau sasaran tersebut dan sebaliknya. Perbedaan sedemikian selain akan berpengaruh pada tingkat mobilitas penduduk, juga berpengaruh pada tingkat kepatuhan dan atau disiplin dalam hal penggunaan jalan. Meskipun harus diakui bahwa tingkat kedisiplinan ini akan menurun pada penduduk luar kota, menyesuaikan dengan perilaku penduduk kota. Di lain pihak, penggunaan dan atau pemilihan kendaraan yang digunakan di luar kota pada umumnya selain lebih besar, misalnya bus, truk, kontainer dan lain-lain, juga berkecepatan lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan potensi timbulnya kecelakaan lalu lintas juga lebih tinggi. Tabel. Luas Kawasan dan Jumlah Penduduk Kota Medan Per Kecamatan Tahun 2000 LUAS KAWASAN DAN JUMLAH PENDUDUK Jumlah Medan Tuntungan 20,68 67.889 Medan Selayang 12,81 75.277 Medan Johor 14,58 101.472 Medan Amplas 11,19 85.571 Medan Denai 9,05 127.404 Medan Tembung 7,99 128.896 Medan Kota 5,27 86.357 Medan Area 5,52 112.667 Medan Baru 5,84 41.233 Medan Polonia 9,01 44.025 Medan Maimun 2,98 48.585 Medan Sunggal 15,44 106.253 Medan Helvetia 13,16 125.596 Medan Barat 6,82 82.626 Medan Petisah 5,33 66.145 Medan Timur 7,76 109.450 Medan Perjuangan 4,09 93.305 Medan Deli 20,84 128.459 Medan Labuhan 36,67 93.543 Medan Marelan 23,82 87.070 Medan Belawan 26,25 92.450 Jumlah 265,10 1.904.273 Sumber: Diolah dari badan Pusat Statistik Kota Medan, 2001 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16 17. 18. 19. 20. 21.
133

No.

Kecamatan

Luas (KM2)

Penduduk Kepadatan 3.283 5.876 6.960 7.649 14.078 16.132 16.387 20.411 7.060 4.886 16.304 6.882 9.544 12.115 12.410 14.104 11.813 6.164 2.551 3.655 3.522 7.183

Subanindyo Hadiluwih: Undang-Undang Lalu-Lintas sebagai Regulasi ...

Peningkatan mobilitas penduduk dengan penggunaan kendaraan di jalan raya, juga berkenaan dengan tradisi okupasi mereka yang akan mempengaruhi pola berlalu lintas di kota Medan. Misalnya pola okupasi petani dan nelayan yang pada umumnya berada di kawasan bekas luar kota; berikutnya okupasi perkantoran, perdagangan serta kegiatan bisnis lainnya; di samping kawasan pegawai, pekerja di pabrik-pabrik serta daerah Kawasan Industri Medan (KIM). Di samping sebagai transit produk barang-barang hasil pertanian dan kerajinan menuju ke pasar-pasar yang tersebar di kawasan kota, juga menuju kawasan kota baru lainnya yang berupa pelabuhan, Belawan. Selanjutnya, dengan mencermati Tabel berikutnya, akan diketahui pula selain mobilitas dan pola okupasi penduduk, juga berkaitan dengan temperamen masingmasing kelompok etnis yang akan mempengaruhi tingkat kepatuhan pada regulasi di bidang lalu-lintas. Barang tentu data kuantitatif ini harus dibandingkan dengan kajian serta paparan secara kualitatif untuk memperoleh dan memperbesar kemungkinan kebenarannya. Studi etnologis menunjukkan bahwa kelompok masyarakat Cina, berikutnya Minangkabau misalnya, memilih okupasi sebagai pedagang dan bergerak di dunia bisnis. Pada umumnya mereka memiliki lebih banyak kendaraan untuk melancarkan urusan bisnisnya. Dengan demikian, selain mereka berada di pusat kota dan pusat perdagangan, juga akan lebih tinggi mobilitasnya dengan berbagai kendaraan yang digunakannya. Kelompok sukubangsa lain, andai kata memilih okupasi usaha, akan menggunakan kendaraan sebagai mobil pengangkutan penumpang dan pengangkutan barang, mulai dari bus, MPU, kontainer, truk sampai ke pangkalan ojek. Tingkat kepatuhan secara stereotip juga berbeda-beda, bukan hanya oleh karena temperamen, lingkungan, dan budaya, akan tetapi juga oleh karena tingkat pendidikan. Dengan tingkat pendidikan yang berbeda, maka moda dari pada pelanggaran pada umumnya juga akan berbeda pula. Kalau penelitian ini memberikan perhatian khusus kepada peningkatan jumlah kendaraan dan jalan, disebabkan ditemukannya kenyataan dilematis antara peningkatan jumlah dan jenis kendaraan yang tidak seimbang dengan peningkatan panjang jalan dan kualitas jalan. Dari segi hukum, selain Undang-Undang, kesadaran hukum masyarakat pengguna jalan raya serta penegak hukumnya sendiri, ternyata kurang memadai. Tingkat kesadaran hukum yang relatif rendah ini akan mengurangi kewibawaan hukum dan perUndang-Undangan di bidang perlalu-lintasan tersebut. Baik dari sisi normatif maupun dalam upaya penegakan hukumnya (law enforcement). Sementara rambu-rambu lalu lintas yang ada terbukti banyak yang sudah kurang sempurna oleh karena rusak atau terlindung oleh pepohonan atau bahkan bangunan. Tabel 2. Komposisi Jumlah Penduduk Kota Medan 2001 No. ETNIS JUMLAH 1. Jawa 629.415,00 2. Tapanuli Utara/Batak Toba 366.063,00 3. Cina 202.945,00 4. Mandailing 178.363,00 5. Minangkabau 163.880,00 6. Melayu 125.578,00 7. Karo 78.129,00 8. Aceh 52.975,00 9. Nias 13.149,00 10. Simalungun 13.149,00 11. Pak-Pak 6.479,00 12. Lain-Lain 75.461,00 Sumber: BPS Medan, 2001 PERSENTASE 33,03 19,21 10,65 9,36 8,60 6,59 4,10 3,78 0,69 0,69 0,34 3,96

134

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 Untuk memahami makna tabel tersebut di atas, maka perlu dikaji pula selain watak etnis (oto maupun heterostereotyp), juga pola okupasi yang menyebabkan pembedaan dalam hal penggunaan kendaraan, baik dalam hal pemilihan kendaraan untuk usaha maupun untuk kendaraan pribadi. Bagi kelompok Cina dan Minangkabau yang pada umumnya memilih okupasi sebagai pedagang dan atau peniaga, tentu memilih kendaraan yang berbeda dibandingkan dengan orang-orang Jawa dan Melayu yang pada umumnya bekerja sebagai petani atau nelayan. Untuk traffic light, selain terlalu sering mati, atau menyala secara tak beraturan, kadang-kadang bahkan menyala bersamaan antara yang merah dan yang hijau, termasuk yang tidak jelas juga oleh karena terlindung dibalik pepohonan di pinggir jalan sebagaimana rambu lalu-lintas yang lain. Hal ini nyaris pula sejalan dengan kondisi jalan yang juga mampu menimbulkan kecelakaan lalu-lintas. Misalnya jalan yang (teramat) rusak, banjir dan terhalang limpahan pasar muntah orang berjualan di pasar-pasar tradisional. UndangUndang yang berkaitan dengan masalah lalu-lintas, meskipun sudah diperbaharui, kelihatannya sudah memerlukan perhatian untuk perbaikannya. Ada beberapa perkembangan baru yang belum diakomodasikan oleh peraturan lalu lintas. Misalnya ragam tanda bahaya yang seharusnya sudah lebih banyak. Demikian pula yang berkenaan dengan ketentuan pengenaan seatbelt dan penyalaan lampu sepeda motor di siang hari. Meski ia sudah diakomodasikan melalui peraturan daerah (PERDA). Banyak ketentuan-ketentuan yang sudah tertinggal oleh perkembangan masyarakat, di samping banyak pula ketentuan-ketentuan hukum yang oleh karena kebiasaan, menjadi tidak dapat ditegakkan. Misalnya keharusan untuk memasang alat penerangan pada malam hari terhadap kendaraan bermesin atau tidak bermesin, nyaris tidak berlaku bagi becak dayung, becak barang dan sepeda. Penindakan terhadap mereka hampir tidak pernah dilakukan, atau kalau dilakukan juga akan menimbulkan reaksi yang kurang nyaman bagi para petugas sendiri. Reaksi sedemikian tidak timbul hanya dari pelaku pelanggaran, akan tetapi juga dari pihak warga masyarakat. Masyarakat mendakwa bahwa penindakan yang dilakukan oleh polisi atau pihak yang berwajib lainnya, berlebihan. Tentu segalanya ini berkaitan dengan manusianya. Dalam setiap kecelakaan lalu-lintas, sedikit banyak unsur manusia berperan. Entah ia pelaku, entah pula korban. Dalam keadaan demikian, tentu saja tidak dapat ditetapkan secara a priori bahwa korban selalu berada di pihak yang benar. Termasuk pejalan kaki. Demikian pula dengan lawan korban, tidak pula boleh dianggap sebagai pihak yang selalu salah. Karena secara hukum ia menjadi tidak proporsional. Dalam kaitan dengan manusia ini, bahkan aparat penegak hukum di bidang lalu-lintaspun dapat melakukan kesalahan-kesalahan yang terkadang berakibat fatal. Selama ini korban secara a priori selalu dianggap yang benar. Empati masyarakat tertumpah kepada korban misalnya pengendara sepeda motor, sepeda atau bahkan pejalan kaki. Apalagi manakala terjadi kecelakaan lalu-lintas di mana seorang pejalan kaki tertabrak mobil, misalnya. Akibatnya, pengemudi mobil dianggap pihak yang selalu bersalah dan bahkan memicu orang untuk melakukan tindakan main hakim sendiri (eigenrichting). Dengan demikian penelitian ini akan mencoba melihat keseluruhan masalah ini dengan mengaitkan tiga unsur pokok yang terkait dengan materi penelitian sebagaimana telah dikemukakan. Di lain pihak, dengan demikian, kemungkinan akan diketemukan pula suatu pola pengembangan kota yang lebih baik, dalam pengertian rasional, sehingga mampu memelihara keseimbangan dalam hal interaksi antara ke tiga unsur pokok tersebut. Sebagai bahan banding, akan disajikan pula data kondisi dan situasi serta permasalahan di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan Bandaraya Kuala Lumpur, Malaysia. Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, pernah menyelenggarakan suatu simposium, bekerjasama dengan Polda Metro Jaya, membicarakan Lalu-lintas Jakarta Tahun 2000. Kesemuanya membawa kepada suatu obsesi bahwa masalah lalu-lintas dengan berbagai aspeknya memang mendesak untuk segera ditangani secara serius. Seminar Urban Transport,
135

Subanindyo Hadiluwih: Undang-Undang Lalu-Lintas sebagai Regulasi ...

selain kini melahirkan konsep transportasi massal berupa Proyek Busway, juga mencatat korban kecelakaan meninggal 443 orang, kasus tabrak lari 97 orang meninggal, korban pejalan kaki 160 orang meninggal, kecelakaan taksi 11 orang meninggal dan kecelakaan bus kota 63 orang meninggal. Semua itu terjadi hanya dalam masa yang relatif singkat, hanya satu tahun. Sementara hasil penelitian PT Idacipta yang berjudul Studi Pengumpulan, Pengolahan Data dan Analisa Tentang Kebijaksanaan Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya mencatat bahwa jumlah kecelakaan lalu-lintas di Indonesia naik sebesar 9,2%. Korban meninggal naik sebesar 18,2%, luka berat naik sebesar 21% dan luka ringan naik sebesar 8,7%. Kerugian material dalam setahun mengalami kenaikan sampai 56,6%. Di Sumatera Utara, termasuk di Medan, menurut data yang dicatat oleh Polda Sumatera Utara Seksi Lalu-lintas, kecelakaan yang terjadi berjumlah 3.362 kasus, korban meninggal 857 orang, luka parah 2.798 orang, dan luka ringan 2.831 orang (Subanindyo, 2006:48). Sementara Seminar tentang Penanggulangan Kecelakaan Lalu-lintas, yang juga diselenggarakan di Jakarta, mencatat bahwa penambahan jumlah kendaraan bermotor lebih dari tiga kali lipat, dengan penambahan panjang jalan yang tidak cukup signifikan dibandingkan dengan penambahan jumlah kendaraan tersebut. Penambahan jumlah kendaraan yang berada di jalan raya akan meningkat pula manakala hari libur. Selain kendaraan setempat akan banyak yang keluar, untuk daerah-daerah tertentu, terutama kota-kota besar, juga akan dikunjungi oleh kendaraan-kendaraan yang berasal dari daerah lain. Hal sedemikian dapat dideteksi pada banyaknya kendaraan dengan nomor polisi daerah lain. Kemalangan (kecelakaan) yang berlaku di Malaysia ini sebahagian besar berpunca dari pada faktor manusia. Boleh berlaku kerana memandu dengan laju hingga hilang kawalan, memotong jalan, melanggar tanda-tanda larangan di jalan, mengekori kenderaan lain terlalu rapat dan sebagainya (Yohan, 2004:155-156). Di Malaysia, diakui bahwa sikap dan kesedaran pemandu-pemandu di Malaysia masih sangat rendah (Yohan, 2004:162). Oleh karena itu disarankan untuk mendidik para pengemudi lebih berhati-hati serta mengawasi perilaku mereka di jalan raya. Bentuk dari pada pengawasan perilaku tersebut adalah dengan pemasangan monitor kecepatan dan monitor jarak antar kendaraan. Sementara untuk melengkapinya diperlukan ujian psikologi pada waktu permohonan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan ujian berkala setiap tiga tahun sekali, pendidikan khusus bagi pengemudi yang juga harus diulang tiap tiga tahun sekali, sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan kesadaran pengemudi akan pentingnya keamanan mengemudi bagi dirinya dan diri orang lain. Dengan demikian maka diharapkan jumlah kecelakaan akan menurun. TRAFFIC LIGHT, DALAM KENDALI DAN KENDALANYA Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk responden tertentu. Pencatatan-pencatatan atas pelanggaran lalu-lintas yang terjadi di berbagai tempat yang sudah ditentukan, juga dilakukan. Sepuluh persimpangan jalan, dipilih secara acak, lima di antaranya dengan traffic light dan lima yang lain tidak. Di antaranya ada yang merupakan jalan protokol, sedang yang lain adalah jalan arteri, atau jalan pintas. Masing-masing simpang jalan di monitor, selama sepekan. Bergilir dengan sistem shifting untuk pagi, siang dan malam hari, dari jam enam pagi sampai jam 10 malam. Termasuk hari libur. Karena frekuensi kendaraan di hari libur juga harus dihitung untuk mengimbangi memuncaknya kendaraan di akhir pekan. Monitoring dan pencatatan juga dilakukan di jalan-jalan biasa. Artinya, bukan simpang jalan. Selanjutnya dilakukan tabulasi data dan mempersiapkan analisa data melalui serangkaian diskusi untuk sampai kepada kesimpulan. Kiranya perlu dilihat pula kemungkinan penggunaan jalan mengingat berbagai jenisnya serta jenis penggunanya. Mulai dari freeways atau yang lebih dikenal dengan jalan bebas hambatan - meski kini sudah timbul hambatan berupa masyarakat setempat menyeberang sambil memotong jalan, kehadiran binatang piaraan (kambing dan lembu) oleh karena rusaknya pagar pembatas, adanya kendaraan parkir di tempat
136

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 yang terlarang atau dikenal juga sebagai jalan tol. Jalan ini biasanya menetapkan pembatasan untuk jenis-jenis kendaraan tertentu. Pada jalan ini biasanya didapati pula ketentuan tentang kelajuan atau kecepatan maksimal dan minimal bagi kendaraan yang melintas. Sayang, dipatuhi atau tidaknya ketentuan tersebut masih sulit dipantau. Pengaturan sedemikian juga dapat diperlakukan buat jenis-jenis jalan lain yang lebih rendah klasifikasinya, seperti arterials, collectors dan local roads yang mencakup primary local roads dan secondary local roads (Subanindyo, 2006: 6). Di Indonesia masih ada jenis-jenis jalan lain yang disebut Jalan Negara, Provinsi dan Kota/Kabupaten. Dengan adanya traffic engineering, maka pengarahan jenis-jenis kendaraan menggunakan jenis-jenis jalan sebagaimana dimaksudkan di atas akan mempunyai efek ganda. Selain menghindarkan kemacetan (jam) oleh karena penumpukan kendaraan di satu jalur jalan, juga akan menghemat perawatan jalan oleh karena terhindar dari kerusakan jalan yang terlalu cepat akibat penggunaan jalan oleh kendaraan yang tidak sesuai dengan klasifikasinya. Sistem perparkiran ternyata juga tidak efisien. Sebagai layaknya kota tua, terhadap kota Medan tidak mungkin dilakukan pelebaran dan atau perluasan jalan secara menyeluruh. Posisi Jalan Kesawan (kini: Jalan Jenderal A.Yani) misalnya, tidak mungkin dilakukan pelebaran secara menyeluruh tanpa melanggar hak dari pada bangunan-bangunan yang juga memperoleh perlindungan hukum untuk tidak merusakkan bangunan-bangunan bersejarah. Akibatnya, jalan-jalan di tengah kota, termasuk sentra-sentra perdagangan yang relatif sempit, terasa semakin sempit ketika sebagian harus dipergunakan sebagai lahan parkir. Dengan diperkenalkannya sistem parkir sejajar dengan jalan, maka kemampuan daya tampung parkir menjadi semakin menyusut. Di lain pihak, hal sedemikian akan menjadi lebih sulit bagi kendaraan di jalan-jalan yang banyak memerlukan lahan parkir. Baik bagi kendaraan yang akan berlalu maupun kendaraan yang hendak parkir. Misalnya di Pajak Ikan Lama, di jalan Zainul Arifin, di jalan Jenderal A. Yani dan lain-lain. Belum lagi diperlukannya pedestrian atau trottoir bagi pejalan kaki yang sebagian habis digunakan menjadi ruang pamer atau etalase oleh toko-toko yang berjajar di kedua sisi jalan. Di jalan-jalan protokol yang meskipun relatif lebih besar, seringkali dipasang pembatas jalan untuk membagi kendaraan yang menggunakan arah yang berlawanan. Akibatnya, selain jalan semakin sempit, juga sering menimbulkan kecelakaan lalu-lintas, terutama bagi kendaraan yang berasal dari luar kota karena pada pembatas jalan tersebut tidak tersedia tanda-tanda dan atau penerangan memadai. Demikian juga dengan pembatasan jalan khusus seperti yang terdapat di Jalan Gatot Subroto, di mana sebagian untuk MPU dan sebagian lainnya untuk kendaraan umum. Ternyata, MPU masuk ke jalan umum, sementara kendaraan umum masuk ke jalur MPU. Akhirnya, tujuan untuk melakukan pembagian dan pembatasan jalan itu menjadi tidak berhasil sebagaimana diharapkan. Apabila penelitian ini memberikan perhatian khusus terhadap traffic light dikarenakan beberapa alasan. Pertama, ada kalanya listrik mati sehingga traffic light tak berfungsi. Oleh karenanya kalau tak ada polisi yang bertugas, akan terjadi kemacetan (crowded), oleh karena kendaraan dari keempat jurusan akan berusaha saling mendahului. Urusan terkadang diselesaikan oleh pak Ogah atau yang kemudian dikenal sebagai bantuan polisi (BANPOL). Kedua, listrik menyala, artinya traffic light berfungsi, namun oleh karena tidak ada petugas, pengguna jalan tetap saja menerobos lampu merah. Peringatan untuk tidak menerobos lampu merah secara persuasif hampir tidak berarti, terutama di jalan-jalan non-protokol. Ketiga, ada persimpangan yang sangat layak atau sepatutnya dipasang traffic light, tetapi justru tidak ada. Demikian pula sebaliknya, di jalan yang tidak terlalu ramai terpasang traffic light, sehingga pemasangan traffic light menjadi terkesan mubazir, selain pengguna jalan terkesan tidak mempedulikannya. Keempat, pembagian waktu antara jalan (lampu hijau) dan berhenti (lampu merah) yang tidak seimbang terlalu cepat atau terlalu lambat-menyebabkan
137

Subanindyo Hadiluwih: Undang-Undang Lalu-Lintas sebagai Regulasi ...

penumpukan deretan kendaraan yang selanjutnya menimbulkan usaha untuk menerobos lampu merah. Sementara sisi yang lain memang lengang, meski lampu petunjuk menyala hijau. Kelihatannya perlu penghitungan yang lebih akurat tentang kuantitas kendaraan yang berbeda pada setiap arah menjelang traffic light tersebut, sehingga waktu yang diperlukan untuk penyalaan lampu merah dan lampu hijau menjadi lebih seimbang. ANALISIS PADA LOKASI RAZIA DINAS PERHUBUNGAN Pendataan yang dihasilkan dari pada berbagai pencatatan memang menarik, akan tetapi bersifat kaku karena memang hanya mencatat. Sementara, komentar dari berbagai pihak terhadap hasil samping dari pada penelitian itu sendiri ternyata lebih memberikan gambaran yang realistik di lapangan. Lagi pula lebih hidup karena tidak terikat secara formalistik. Baik dari segi metodologi maupun sistem penulisan yang ilmiah. Tim peneliti sengaja menyaksikan jalannya sebuah razia yang dilakukan oleh pihak polisi lalu-lintas, dalam bentuk gabungan dengan polisi militer (POM), di Jalan Setiabudi (titi Bobrok). Sementara tim lainnya menyaksikan pula razia lain yang dilakukan oleh petugas dari Dinas Perhubungan (Dep Hub), dulu namanya Dinas Lalu-lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR), dalam bentuk gabungan pula, di jalan Helvetia Raya. Namun oleh karena razia tidak dilakukan setiap hari, maka tim peneliti hanya berhasil mengamati masing-masing hasil satu kali razia yang berlangsung kurang lebih empat jam. Karena ke dua razia itu dilaksanakan tidak di simpang jalan, maka hasilnya dikompilasi pada pos penelitian jalan raya. Di pos razia Dep Hub tercatat, enam puluh persen kendaraan umum pengangkut barang tak lengkap surat-suratnya. Termasuk tanda uji petik. Sepuluh persen di antara 60% tersebut surat uji petiknya telah kedaluwarsa. Sementara surat-surat yang berkaitan dengan barang yang diangkutnya, hanya 10% yang tidak lengkap. Hal itupun oleh karena kesalahan pihak ekspedisi muatan barang dan bukan kesalahan pihak perusahaan pengangkutan barang (truck). Oleh karena razia tidak dilakukan di jembatan timbang, maka salah satu aspek pelanggaran yang sering dilakukan oleh kendaraan pengangkut barang adalah kelebihan beban, tak dapat dicatat. Padahal, kelebihan beban itu pula, kadangkala sampai beberapa ton, manakala ia melalui jalan yang kelasnya tidak sesuai, akan menyebabkan rusaknya jalan. Paling tidak, mempercepat kerusakan jalan. Permasalahan tidak sesederhana keterkaitan antara pengguna jalan dengan muatan yang berlebihan dan kualifikasi kelas jalan. Karena ternyata, sekitar 50-100 meter sebelum maupun sesudah lokasi razia, berderet-deret truk pengangkut barang sengaja istirahat menunggu usainya razia. Pertanyaan yang timbul, bereskah surat-surat mereka? Ketika tim peneliti mencoba untuk menanyakan kepada pengemudi, jawabnya adalah, beres tak beres, dana harus disediakan juga. Benarkah? Pertanyaan berikut, apakah petugas tidak tahu akan kehadiran mereka? Sayangnya, apabila pertanyaan sedemikian disampaikan secara lisan, jawabannya pasti tidak sesuai dengan norma suatu penelitian. Tahu dan tak tahu menjadi jawaban yang sangat subyektif. Artinya, akan terjadi bias apabila dipaksakan menjadi suatu hasil penelitian. Kasus berikutnya berkaitan dengan masuknya truk dan kontainer pengangkut barang lainnya yang masuk ke kota tanpa memindahkannya ke kendaraan lain yang lebih kecil dan atau lebih ringan. Selain merusakkan jalan, juga mengganggu kelancaran lalu-lintas. ANALISIS PADA LOKASI RAZIA POLISI LALU-LINTAS DAN GABUNGAN Di lokasi razia polisi lalu-lintas, masalahnya kelihatan lebih kompleks. Hanya saja, mereka yang terkena razia, artinya disuruh menepikan kendaraannya untuk ditanya surat-surat kelengkapan kendaraan maupun SIM-nya, ternyata dipilih. Umumnya sepeda motor dan mobilmobil (pribadi) tertentu. Kendaraan umum, Sudaco dan taksi dibiarkan berlalu. Catatan: istilah Sudaco sudah menjadi nama jenis bagi kendaraan penumpang umum atau Mobil Penumpang Umum (MPU) di Medan, meski kendaraan tersebut tergabung dalam perusahaan lain. Misalnya Mr-X (Medan Raya Express); KUPJ (Koperasi Usaha Pinggir Jalan); RMC
138

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 (Rahayu Medan Ceria); MAX (Medan Angkutan Express); MJ (Mekar Jaya); Morina dan lainlain. Banyak alasan yang dapat dikemukakan dalam hal pemilihan obyek razia tersebut. Konon kalau MPU/Sudaco di razia, akan terjadi kemacetan, atau stagnasi calon penumpang. Oleh karena Sudaco dan taksi pada umumnya ada organisasi yang bertanggung jawab, maka suratsuratnya dianggap lengkap. Padahal anggapan itu diduga tidak selalu benar. Buktinya, kalau MPU sedemikian ditangkap juga, maka pengurus yang akan datang menyelesaikannya. Biasanya memang selesai juga. Pelanggaran lain, selain kondisi kendaraannya yang ditambah dengan aneka asesori yang berlebihan, sopirnya ternyata seringkali juga sopir serap (cadangan) yang tak mempunyai SIM. Beberapa kasus kecelakaan lalu-lintas terbukti melibatkan sopir serap yang tidak ber-SIM ini. Terhadap pengendara sepeda motor, pada umumnya tak ada masalah dengan SIM ataupun STNK-nya. Meskipun demikian, pada umumnya kesalahannya sudah dapat diduga. Kurang atau ketiadaan kaca spion; knaalpot yang meraung-raung karena dibelah; ketiadaan lampu tangan, plaat nomor polisi yang hanya dipasang di depan, atau menggunakan bahan yang bukan standar; tidak mengenakan helm atau helm-nya bukan yang standar (helm proyek); lampu depan maupun lampu rem yang menyilaukan; mengendarai dengan penumpang lebih banyak dari pada yang diijinkan, dan lain-lain. Ada yang dikendarai tiga orang dewasa, ada pula yang sampai lima orang sekeluarga. Penyelesaiannya melalui dua jalur. Diskresi atau tilang. Diskresi adalah pembayaran denda di tempat, artinya di pinggir jalan. Tilang adalah pemberian bukti pelanggaran, yang akan diselesaikan melalui sidang pengadilan dengan rol system. Di satu pihak, sistem ini dianggap cara praktis untuk menyelesaikan masalah hukum yang berkaitan dengan perkara lalu lintas, sementara di pihak lain dia dianggap merugikan hak-hak bagi tersangka karena tidak berkesempatan untuk berproses sebagaimana layaknya suatu proses peradilan, termasuk membela diri. Cara diskresi sering ditafsirkan lain sebagai penyelesaian di pinggir jalan yang hasilnya tak masuk kas negara akan tetapi untuk petugas bersangkutan. Bagi mereka yang tidak mau repot urusan pengadilan, sering memilih cara ini. Barang tentu hal ini membuka peluang menyimpang bagi ke dua belah pihak. Pihak petugas maupun pihak pengendara. Terjadilah musyawarah dan mufakat, atau tawar menawar. Tidak ada standar tertentu bagi nilai denda. Faktanya, hanya sekitar 10% yang tak punya SIM, atau mengaku ketinggalan. Persentase untuk STNK yang ketinggalan lebih besar. Hampir 20%. Sebab utamanya karena mereka memang mengendarai sepeda motor pinjaman, yang tidak menyertakan STNK bagi peminjam. Yang lebih menarik adalah keadaan perlengkapan kendaraan. Kaca spion, 90% tidak ada lagi. Sebagian lagi tidak ada lampu tangan. Demikian pula cub yang seharusnya ada bagi sepeda motor jenis cub, atau bebek. Sementara penyimpangan lain berupa sayap belakang yang ditanggalkan atau knaalpot yang di modifikasi. Enam puluh persen berikutnya tanda nomor kendaraan tidak beres. Sebagian besar hanya ada nomor kendaraannya di depan, sementara yang di belakang tidak ada. Beberapa orang sempat tertangkap oleh karena mengendarai sepeda motor bertiga. Ketika ada sepeda motor yang dikendarai oleh sebuah keluarga, dengan dua orang anak kecilkecil di antara ayah ibunya, polisi rupanya tak sampai hati menangkapnya. Ia dibiarkan berlalu mengendarai sepeda motor butut-nya. Kasus lain, ketika sebuah mobil jenis sedan diperintahkan minggir, kemudian setelah diketahui siapa pengemudinya, disuruh jalan lagi, tanpa diperiksa. Entah siapa dia. Polisikah? Tentarakah? Atau pejabat? Ada pula di saat yang lain terdengar suara sirine pertanda ada kendaraan yang minta jalan didahulukan. Diketahui bahwa memang ada kendaraan tertentu, misalnya voorrijders polisi yang mengawal tamu agung, mobil ambulans, mobil jenazah, mobil pemadam kebakaran (brandweer), yang boleh membunyikan sirine tersebut. Tapi ternyata ia adalah mobil angkutan penumpang, bahkan mobil sipil belaka. Meski hal sedemikian terlarang namun polisi tak bertindak terhadap pelanggaran sedemikian. Kalau dilakukan razia terprogram atau insidental, pelanggaran sedemikian memang akan mereda, namun dalam waktu singkat akan terjadi lagi. Sama halnya
139

Subanindyo Hadiluwih: Undang-Undang Lalu-Lintas sebagai Regulasi ...

dengan penempelan berbagai stiker bertanda kesatuan-kesatuan militer, yang terkesan menakut-nakuti polisi. ANALISIS LAKA LALU-LINTAS Adegan di simpang jalan ternyata juga beragam. Meski ada papan peringatan dari pihak kepolisian atau sponsor yang mengingatkan untuk mematuhi peraturan lalu-lintas dengan berhenti ketika lampu lalu-lintas menyala merah, namun pelanggaran cukup mencemaskan. Adakalanya lampu mati sebagian. Akibatnya, pengendara yang kebagian mati, menunggu pengguna jalan lain berhenti, baru jalan. Bahayanya kalau ada yang tak sabar menanti. Kecelakaan tak terhindarkan. Dengan dibukanya jalan raya baru yang membentang dari Pulo Brayan sampai simpang Jalan SM Raja menuju Pematang Siantar, ternyata juga menampilkan masalah-masalah baru. Dalam penelitian terdahulu, tentang pembangunan kota Medan, penulis memang pernah menyimpulkan tentang diperlukannya jalan layang, jalan sekunder dan tersier (jalan pintas), di samping sistem rioleering dan pembuangan air yang baik (Subanindyo, 1994). Sayang, hanya di Pulo Brayan saja terdapat jalan layang, setelah dibangun bertahun-tahun, sementara simpang-simpang jalan lain, misalnya simpang Jalan Gaperta, simpang Jalan Binjai, simpang Jalan Setiabudi, simpang Jalan Padang Bulan, simpang Jalan Deli Tua dan lain-lain sama sekali tidak ada jalan layang (fly over) sehingga di setiap kali tiba di simpang-simpang tersebut timbul bahaya kecelakaan yang cukup serius oleh karena kendaraan di jalan raya baru tersebut umumnya berjalan cukup kencang. Bahkan di simpang jalan Setiabudi, traffic light sering mati. Akibatnya, masing-masing kendaraan yang merasa mempunyai prioritas untuk didahulukan berdasarkan kelas jalan, merasa berhak mutlak untuk jalan terus. Belum lagi ketidak patuhan pengguna jalan yang melawan arus dan menyeberang dengan tiba-tiba. Diakui bahwa biaya pembuatan jalan layang memang tidak murah. Namun, dibandingkan dengan kondisi obyektif pengembangan kotaraya (metropolitan) di Jakarta dan Kuala Lumpur, termasuk kepadatan penduduk pengguna jalan raya, maka Medan seharusnya sudah mengarah kesana. Dengan demikian keperluan akan jalan raya, termasuk pembangunan fly over dirasakan sebagai bagian dari traffic engineering yang mustahak. Di simpang ber-traffic light di jalan non-protokol, didapati 90% (!) kendaraan tak berhenti di kala lampu menyala merah. Paling tidak mereka berjalan lebih awal sebelum lampu hijau menyala. Bahkan pengemudi Sudaco sempat marah-marah ketika ada sebuah sedan yang patuh dan berhenti. Di simpang jalan protokol, ketika lampu merah menyala, mereka memang berhenti, namun beberapa sepeda motor segera mengambil posisi menyilang di depan mobil. Ketika lampu hijau sudah menyala, terdapat beberapa kasus di mana sang pengendara sepeda motor masih asyik berhandphone. Ada kalanya oleh karena kendaraan di depan tidak segera berjalan, maka klakson dari kendaraan yang ada di belakang berbunyi bersahut-sahutan. Meski di malam hari sekalipun. Anehnya, pengendara kendaraan yang merasa di depan, seringkali tak memperhatikan lampu. Lagi-lagi, karena asyik ber-handphone. Laporan dari mereka yang bertugas di jalan biasa, bukan simpang, ternyata juga cukup menyeramkan. Mengendarai kendaraan dengan baik-baik, patuh pada tanda-tanda dan atau rambu lalu-lintas, kecepatan sedang, berada di jalur kiri, ternyata tak menjamin keamanan dan keselamatan. Kendaraan besar, bus, truck dan kontainer, cenderung tidak mempedulikan kendaraan yang kecil-kecil. Akibatnya, banyak kendaraan yang harus dan terpaksa mengalah meskipun ia berada pada posisi yang benar. Mendahului dari sebelah kiri sangat banyak dilakukan oleh Sudaco dan sepeda motor. Repotnya, sepeda motor sedemikian selain mendahului dari sebelah kiri dengan kecepatan tinggi, langsung memotong jalan dari kendaraan lain, untuk mendahului dari sebelah kiri lagi pada kendaraan di depan. Nyaris bagaikan akrobat atau hell driver yang berjalan zig-zag. Sementara Sudaco, selain mendahului dari kiri juga berhenti mendadak tanpa memberikan tanda-tanda lampu tangan. Seringkali berhenti terlalu di tengah jalan, ketika menjemput atau menurunkan penumpang persis di
140

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 tempat rambu larangan berhenti. Kadangkala berhenti pula di simpang di mana kendaraan lain boleh jalan terus bilamana hendak membelok ke kiri. Padahal ternyata, ia jalan terus atau bahkan membelok ke kanan. Di malam hari, kasus pelanggaran serupa berjalan terus. Termasuk membunyikan klakson untuk memanggil calon penumpang. Yang juga merupakan pelanggaran lalu-lintas namun tetap saja sering terjadi adalah dalam hal penggunaan penerangan jalan. Banyak kendaraan yang tetap jalan meskipun lampu penerangannya mati. Untuk sepeda motor hal ini sering terjadi sehingga mengejutkan pengguna jalan yang lain. Meskipun demikian, ternyata banyak juga mobil yang tetap berjalan meskipun lampu mati. Mungkin kondisi masih bisa di tolerir manakala lampu depan sebelah kiri yang mati. Kenyataannya, lampu depan sebelah kanan matipun, jalan juga. Sehingga orang menduga sebuah sepeda motor. Padahal ternyata mobil. Bahkan ada beberapa kasus menunjukkan bahwa kendaraan dengan lampu depan mati kedua-duanya, tetap jalan. Ada pula sepeda motor yang sengaja berjalan berjajar, sehingga di kesan bahwa itu sebuah mobil. Kendaraan lain baru sadar kehadiran mobil yang sesungguhnya sepeda motor itu setelah teramat dekat. Seorang profesor dari Universiti Malaya, Malaysia, yang kebetulan sempat mengikuti berlangsungnya penelitian, terkejut melihat kendaraan yang membelok sambil memotong jalan dari kendaraan lain yang berjalan lurus. Padahal beliau seorang pakar di bidang Pembangunan Perbandaran. Entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Yang terdengar hanya seruan masya Allah berulangulang sambil geleng-geleng kepala. Beliau hanya termenung, mungkin segan berkomentar, ketika peneliti memberitahu bahwa Medan termasuk salah satu bandaraya (kota besar) di Indonesia yang memperoleh penghargaan lalu-lintas yang tertib. Dalam catatan kepolisian, kecelakaan yang menyebabkan kematian, tak terlalu banyak di dalam kota. Pada masa penelitian, hal itu tidak terjadi sama sekali. Namun kecelakaan yang menyebabkan matinya orang, terjadi di jalan menuju dan dari luar kota. Baik di Jakarta, Kuala Lumpur maupun di Medan pada umumnya kecelakaan disebabkan oleh kelalaian manusia. Bukan oleh karena kondisi kendaraan maupun kondisi jalan. Mendahului kendaraan lain tanpa memperhitungkan kemungkinan datangnya kendaraan dari depan merupakan kasus tertinggi. Penyebab berikutnya, karena mengemudi dalam keadaan mengantuk. Kasus berikut adalah menabrak kendaraan yang berhenti di pinggir jalan. Kendaraan yang berhenti itupun memang tidak memberikan tanda-tanda yang diwajibkan. Bagaimanapun, faktor manusia (human error) sebagai penyebab utama terjadinya kecelakaan amat dominan (94,18%). Penyebab dari faktor lingkungan adalah 4,5% dan faktor kendaraan adalah 1,31%. Adapun yang dimaksud dengan penyebab faktor manusia antara lain, mengemudi kendaraan terlampau cepat; mengabaikan situasi lalu-lintas; melamun (lost of memorie); ditabrak dan atau menabrak kendaraan lain, seringkali menjadi tabrakan beruntun; berlomba sepeda motor secara tidak resmi di jalan umum (trek-trekan); lelah/mengantuk; mengerem secara mendadak; menerobos lampu merah; dan bertelepon sembari mengemudi. Adapun penyebab lingkungan adalah: hujan; jalan licin atau longsor; tikungan yang terlalu tajam; tidak ada lampu jalan atau mati; tidak ada traffic light atau mati; tidak ada petunjuk kecepatan maksimal; jalan rusak. Seringkali rusak berat. Sedang penyebab pada kendaraan, muatan berlebihan dalam berat maupun ukuran; ban aus; sistem rem rusak; lampu depan/belakang maupun lampu tangan tidak hidup dan mal function yang lain. KESIMPULAN Kesimpulan sementara yang disusun sebagai hasil dari pada penelitian ini adalah sebagai berikut Peningkatan jumlah berbagai jenis kendaraan meningkat cukup tajam dari waktu ke waktu, sementara panjang jalan tidak bertambah secara cukup signifikan. Kondisi jalan berikut pengaturan rambu lalu-lintas kurang memadai sehingga terjadi hambatan dan kemacetan lalu-lintas yang seharusnya tidak perlu terjadi. Sikap mental dan disiplin pengguna
141

Subanindyo Hadiluwih: Undang-Undang Lalu-Lintas sebagai Regulasi ...

jalan raya serta petugas lalu-lintas kurang terpuji sehingga muncul ketidak patuhan yang diyakini dapat diselesaikan dengan uang. DAFTAR PUSTAKA Accident & Safety Research Group (ASRG). 2003. Profil Pemandu Malaysia. Kuala Lumpur. Pusat Pengajian Psikologi dan Pembangunan Manusia. Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Mulkhan, Abdul Munir. 2004. The Power of Angel Dalam Idul Fitri. Harian Kompas. Jakarta. Purnomo, Aloys Budi. 2004. Praksis Peradaban Inklusif-Pluralistik. Harian Kompas. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2000. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan. BPS Prov. Sumut. BPS Medan. 2001. Kota Medan. Medan Badan Pusat Statistik Kota Medan. Dinges, D. 2000. Accidents and Fatigue. Stockholm. Proc. Of the Internet. Conference The Sleepy Driver and Pilot. Damardono, Haryo 2005. Sirkuit Palimanan-Kanci Jalur Tengkorak Baru. Jakarta. Kurniawan, Yohan dan Ismail, Rozmi. 2004. Fakta dan Penyelesaian Kemalangan Jalan Raya di Malaysia. Jurnal Pemikir, Kuala Lumpur. Litbang Kompas. 2001 Luas Kawasan dan Juumlah Penduduk Kota Medan. Kompas dan BPS Kota Medan. Jakarta. Hadiluwih, Subanindyo dan Sunarto. 1994. Pengembangan Kota Medan dengan Perangkat Sarana dan Prasarananya, berikut Rekayasa Budaya, Sosial dan Ekonominya. Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa. Medan. Hadiluwih, Subanindyo. 1989. Masalah Pola Pengembangan Kota, Kesadaran Hukum dan Lalu-lintas Di Kotamadya Medan dan Sekitarnya. Medan. Kopertis Wilayah I dan Fakultas Hukum UISU Medan. ___________________, 2000. Wisata Lintas Kota Medan. Harian Analisa. Medan. ___________________, 2003. Lalu-lintas di Medan. Harian Analisa. Medan. Santosa, Iwan dan Nicholash, Korano. 2005. Arus Mudik, Kecelakaan dan Peradaban Publik. Jakarta. Pelly, Usman. 1984. Hubungan Antar Kelompok Etnis: Beberapa Kerangka Teoritis Dalam Kasus Kota Medan. Makalah Seminar Sejarah Lokal. Medan. ___________________, 2002. Mengkaji Ulang Keseimbangan Tradisional Dalam Kehidupan Masyarakat Kota Medan. Madia & KSPM Medan. Medan.

142

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006

POLA MIGRASI DI PROVINSI SUMATERA UTARA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM DAN KEPENDUDUKAN
Surianingsih
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: Migration is population movement from one to another within one country. There have been various characteristics that can be learned from migration as one of the general forms of population mobility, including its motivation, typology, impact and correlations. Migration is a normal social phenomenon in a country which happens mainly due to the push factor in better fulfilling primary needs in variuos aspects. This behavior is also influenced by ethnic tradition that encourages migration to other communities outside their own territories. Kata Kunci: Migrasi, Hukum, Kependudukan

Migrasi merupakan salah satu bentuk mobilitas penduduk dalam sebuah negara. Pada dasarnya migrasi adalah suatu fenomena sosial yang normal dan biasa saja. Permasalahan timbul apabila migrasi menjadi tidak terkendali dan menimbulkan dampak sosial bagi suatu daerah dan akhirnya dapat mempengaruhi pembangunan masyarakat dalam suatu wilayah serta dapat menimbulkan berbagai rentetan resiko yang ada didalam aktivitas migrasi tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut suatu pemerintahan daerah atau otoritas sebuah wilayah maupun kawasan harus memperhatikan masalah migrasi ini dengan serius dan senantiasa melakukan updating atas informasi dan data sejak dini, dan selanjutnya menerapkan pendekatan, strategi dan metode yang sesuai dalam situasi dan kondisi sehubungan dengan migrasi tersebut. Menurut Soetomo, beberapa negara sedang berkembang menghadapi masalah pemukiman yang dilengkapi sarana dan prasarana yang dapat merupakan dampak migrasi penduduk yang tidak terkontrol terutama dalam bentuk urbanisasi (Soetomo, 2006: 33). Oleh sebab itu timbul pertanyaan mengapa orang pindah dari suatu tempat ke tempat lain? Hal ini merupakan pertanyaan yang cukup mendasar. Dikatakan demikian karena secara prinsipil mobilisasi penduduk tidak terlepas dari upaya memenuhi salah satu atau beberapa kebutuhan dasar manusia yang meliputi 2 hal, baik kebutuhan pangan, sandang, papan, dan sebagainya, semua ini menyangkut karena manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan manusia lain, manusia harus bermasyarakat. Manusia adalah makhluk sosial suka hidup berkelompok. Di dalam kelompoknya mereka saling membutuhkan satu sama lain dalam berbagai macam aspek kehidupan, wilayah, tempat tinggal, dan tempat kegiatan hidup kelompok manusia tersebut, baik berupa desa, pinggiran atau kota. Ketika kehidupan bermasyarakat pada suatu wilayah terganggu, kemungkinan tersebut dapat mendorong mereka untuk melakukan perpindahan dari tempat yang lama ke suatu tempat yang baru. Dengan tujuan, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga mencari kegiatan hidup sehingga kelompok manusia (penduduk) tersebut adakalanya harus memilih bermigrasi keluar dari daerah tempat tinggalnya. Kegiatan migrasi yang dilakukan oleh penduduk Indonesia pada umumnya, karena keadaan kemasyarakatan dan perekonomian yang dapat dikatakan homogen,
143

Surianingsih: Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara ...

misalnya kondisi suatu desa yang menyebabkan kesempatan dan peluang kerja sangat terbatas, sedangkan di kota terdapat kondisi dan situasi yang sebaliknya. Deferensiasi antara desa dan kota sangat tajam, keadaan inilah yang memicu keinginan penduduk untuk bermigrasi keluar dari wilayahnya, karena Kota merupakan tempat berkumpul dan bertemunya aneka ragam kegiatan ekonomi, dan terdapat macam-macam suku, bangsa, agama, kepentingan dan lain sebagainya. Sehingga masyarakatnya sangat heterogen dan kompleks, dan bagi penduduk yang telah meninggalkan pekerjaannya di desa, dengan tujuan mencari nafkah di kota, tidak terlepas dari kemampuan mereka untuk dapat menyesuaikan hidupnya di kota. Lebih-lebih apabila mereka tidak memiliki keterampilan (skill) yang dapat dihandalkan, hal ini merupakan tantangan baru yang tidak ringan bagi mereka yang datang dari desa. Pemenuhan kebutuhan hidup dinegeri orang tentunya sangat dipengaruhi pula oleh tradisi atau sifat umum kesukaan yang mendorong untuk pergi merantau (bermigrasi). Misalnya Suku Minang Kabau dan Batak di Sumatera Utara atau Suku Bugis di Sulawesi. Banyak orang yang pergi merantau di antaranya kaum pria kategori usia muda (20 30 tahun). Di Suku Minang Kabau orang yang pergi merantau merupakan suatu kewajiban, apalagi bila si pria masih belum mampu secara financial untuk memenuhi tanggung jawab keluarga, sementara ia telah berada dalam rentang usia siap menikah. Jika kebiasaan ini tidak dijalankan, si pria bisa dijadikan bahan cemooh oleh masyarakat sekelilingnya. Biasanya dalam periode di negeri orang inilah, orang minang kabau yang merantau mulai mencari suatu bidang usaha untuk menghidupi dirinya bidang usaha yang dipilih adalah berdagang atau membuka restoran Padang. Dan tak jarang pula mereka akhirnya menetap didaerah tujuan, migrasi demikian disebut oleh suku Minang Kabau dengan merantau Cina. (Wiki, 2007). Merantau berarti: a) pergi meninggalkan kampung halaman dan berinteraksi dengan etnik/suku; b) dilakukan dengan suka rela dan atas kemauan sendiri; c) dalam waktu yang singkat maupun lama; d) dalam rangka mencari rezeki, menuntut ilmu atau menambah pengalaman; e) dengan keinginan untuk kembali (non permanen); f) didorong sistem sosial yang ada. (Mantra, 1985: 166-167). Seperti diketahui bahwa sitem kekerabatan suku minang adalah sistem garis keturunan ibu (matrilinial) sehingga harta warisan jatuh kepada keturunan perempuan, sehingga laki-laki merasa tidak berhak, keadaan ini membuat laki-laki minang cenderung merantau. Walaupun perantau laki-laki tersebut membawa serta istrinya seorang perempuan minang pula. Selanjutnya menurut Ensiklopedia Indonesia perilaku migrasi juga dilatarbelakangi keadaan di mana pembangunan yang tidak merata dan lebih banyak terpusat di kota-kota besar terutama di Pulau Jawa, sehingga banyak penduduk Indonesia merantau untuk mencari pekerjaan atau memperoleh pendidikan yang lebih baik di daerah lain. (Merantau, 2007: 1). Berbagai macam aspek kehidupan dapat diketahui sehubungan dengan pola migrasi, baik yang berkaitan dengan hubungan antar individu dan kelompok atau antar kesukuan (etnografis), kesehatan fisik dan mental, dan sebagainya (Weisenberg, 1991: 1). Jika ditinjau dari segi sosiologi, para migran ini cenderung dapat menimbulkan lapisan-lapisan sosial atau stratastrata sosial baru yang nantinya menjadi beban kota dan juga menjadi kerja keras pula bagi pemerintah kota, karena para migran ini, jika tidak berhasil hidup layak di kota maka mereka akan menjadi gelandangan, pengemis, dan pengamen jalanan. Mereka juga sering membentuk daerah atau hunian kumuh dan liar di tengah-tengah kota yang tentunya bertentangan dengan masterplan atau tata ruang perkotaan atau tata ruang daerah. Akibatnya mereka menjadi sasaran penertiban peraturan oleh aparat pemerintah. Mereka sering di kejar-kejar oleh petugas penertiban peraturan karena mengakibatkan keresahan masyarakat, dan juga tidak sedap dipandang mata karena kesemrawutan yang mereka ciptakan tersebut. Keberadaan para migran ini akan mempengaruhi paling tidak empat hal, yakni terhadap penyerapan tenaga kerja, terhadap perkembangan sarana sosial masyarakat sekitar, terhadap perkembangan infrastruktur, dan terhadap pendapatan masyarakat sekitar. Dengan demikian masalah migrasi yang juga
144

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 mencakup urbanisasi merupakan masalah yang kompleks yang meliputi berbagai aspek baik kesehatan, pendidikan, pemukiman, sosial ekonomi dan sosial budaya dan aspek hukum. PENGERTIAN DASAR MIGRASI Migrasi adalah salah satu faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk disuatu wilayah, pengaruh ini dapat dilihat dikota-kota besar seperti di Indonesia, yakni di Jakarta, Surabaya, Medan dan sebagainya. Migrasi adalah gejala gerak horizontal untuk pindah tempat tinggal dan pindahnya bisa tidak terlalu dekat, melainkan melintasi batas administrasi, pindah ke unit administrasi lain, misalnya kelurahan, kabupaten kota, sedangkan yang jauh jaraknya dilakukan melintasi negara. Dengan kata lain migrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu unit geografis ke unit geografis lainnya. Unit geografis tersebut dapat berarti suatu daerah administratif. Migrasi ini disebut juga migrasi internal. Sedangkan Nani Suwondo menyebutnya dengan istilah Migrasi Nasional yakni perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain tetapi dilakukan dalam satu negara. Ada lagi Migrasi keluar negara lain yang disebut migrasi internasional yang terdiri dari emigrasi atau keluar ke negara lain, dan imigrasi yakni masuk ke negara lain. Migrasi Internasional tersebut lebih peka daripada migrasi dalam negeri (Nasional) karena sering menimbulkan masalah politik karena masing-masing negara membuat peraturan-peraturan tentang syarat yang harus dipenuhi oleh warga negara asing yang ingin masuk ke negara tersebut sehingga frekuensi arus migrasi Internasional sangat kecil dan negara Indonesia termasuk negara yang arus migrasi Internasionalnya kecil. (Mantra, 1985: 157 -158). Ada pula migrasi psikososial yakni penduduk yang pindah dari kota dengan alasan terlalu banyak orang dikota, migrasi ini selalu dilakukan golongan menengah ke atas yang memiliki fasilitas dan sarana transport yang memadai, sedangkan migrasi fisiososial yakni migran yang karena alasan kesehatan bermigrasi keluar wilayahnya untuk mempercepat penyembuhan penyakit yang dideritanya selanjutnya migrasi internasional (migrasi antar bangsa) tidak begitu berpengaruh terhadap bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk suatu negara kecuali karena bencana alam atau karena perang dan lain sebagainya. Tidak berpengaruhnya terhadap pertumbuhan penduduk pada negara tujuan di sebabkan peraturan atau Undang-Undang yang diberlakukan oleh banyak negara, biasanya sangat ketat dan amatlah sulit bagi seseorang untuk menjadi warga negara/menetap secara permanen di negara lain. Seperti diketahui negara Indonesia termasuk negara yang ketat peraturannya untuk menerima warga negara lain untuk menjadi warga negara Indonesia. Jika kita melihat sejarah masa lalu bahwa negara Indonesia pada tahun 1959 dengan adanya migrasi internasional tersebut sehingga orang Tionghoa exsodus karena tidak diakuinya berkewarganegaraan ganda sesuai dengan ketentuan PP No. 10 Tahun 1959, akibatnya 150.000 jiwa orang Tionghoa kembali ke RRC (Suhaimi, 1982: 14). Selanjutnya dapat dilihat, jenis migrasi antara lain: (a). Migrasi masuk (in migration) yakni masuknya penduduk ke suatu daerah tempat tujuan (area of distination). (b). Migrasi keluar (out migration) yakni perpindahan penduduk keluar dari satu daerah asal (area of origin). (c). Migrasi netto (net migration) yakni selisih antara migran yang masuk dan yang keluar, apabila migrasi yang masuk lebih dari yang keluar maka disebut migrasi netto positif, dan bila migrasi keluar lebih besar maka disebut netto negatif. (d). Migrasi Bruto (gross migration) yaitu jumlah migrasi keluar dan masuk. (e). Migrasi total (total migration) yaitu seluruh kejadian migrasi semasa hidup (life time migration) dan migrasi pulang (return migration). Menurut Ross Steele, migrasi meliputi perpindahan ke rumah sebelah yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah lama, tetapi mencakup juga perpindahan ke negara lain yang jaraknya beribu-ribu kilometer. Sedangkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyatakan bahwa migrasi adalah suatu perpindahan tempat tinggal dari satu unit administratif ke unit administratif lainnya. (Wahyu. 1985: 35). Dengan demikian migrasi yang dilakukan
145

Surianingsih: Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara ...

oleh penduduk sangat mempengaruhi tertib administrasi disuatu tempat tujuan. Hal ini secara langsung mengakibatkan perubahan komposisi penduduk dalam suatu wilayah tujuan, dengan tidak memandang jarak jauh atau dekatnya tempat yang menjadi tujuan para migran, baik menetap secara permanen maupun non permanen. MIGRASI DI PROVINSI SUMATERA UTARA Aktivitas perpindahan penduduk mempunyai dampak yang sangat berarti bagi daerahdaerah di mana migrasi itu terjadi, baik ditinjau dari segi ekonomi, sosiologi, maupun disiplin kependudukan itu sendiri. Sesuai hal tersebut di atas, Provinsi Sumatera Utara yang letak geografisnya di antara 10 40 Lintang Utara dan 980 1000 Bujur Timur dengan ketinggian daerah permukaan laut) 1418 m sebelah utara berbatasan dengan Nanggroe Aceh Darussalam dan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Riau sebelah Barat dengan Samudera Hindia dan memiliki luas wilayah 71680 km persegi, dengan jumlah penduduk 12.500.000 jiwa. Provinsi Sumatera Utara, sejak zaman penjajahan Belanda telah mengalami arus perpindahan penduduk yang bersifat internasional atau disebut migrasi internasional, yang terjadi pada waktu itu karena migrasi merupakan aktivitas yang sangat penting dampaknya bagi landasan pembangunan daerah Sumatera Utara, khususnya berkaitan dengan sektor pertanian dan perkebunan. Sumatera Utara merupakan provinsi keempat yang terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara keadaan tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,26 juta jiwa, dan dari hasil Sensus Penduduk 2005 jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 11,5 juta jiwa. Dari estimasi jumlah pendudul keadaan juni 2005 menjadi 12.326.678 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Sumatera Utara tahun 2000 2005 adalah 1,50 % pertahun. Namun jika ditinjau dari arus perpindahan penduduk yang bersifat internal, di Provinsi Sumatera Utara, maka yang menjadi daerah sasaran dalam aktivitas perpindahan penduduk antar kabupaten/kota adalah daerah perkotaan, sehingga daerah perkotaan ini bisa dikatakan menjadi primadona masuknya arus migrasi. Lebih spesifik lagi, daerah tersebut paling diminati dan menjadi incaran para migran adalah kota Medan yang merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara. (BKKBN Provsu, 2007: 54) Keadaan tersebut tentunya mempengaruhi persebaran penduduk. Persebaran penduduk ini kemudian sangat berpengaruh pada pola pemukiman suatu daerah yang dipengaruhi pula oleh iklim, letak dan bentuk dataran/tanah, kesuburan tanah, sumber alam, sosial budaya, dan tekhnologi (BKKBN Provsu, 2007: 56). Oleh sebab itu tidak mengherankan bila hasil sensus penduduk kota Medan yang mewakili 6 kota di Sumatera Utara diperoleh angka 27,9%. Angka tersebut merupakan angka tertinggi masuknya arus migrasi dari 13 kabupaten yang mewakili 21 kabupaten di Sumatera Utara. Dengan demikian tidak dipungkiri lagi bahwa Kotamadya Medan memang primadona dalam derasnya arus migrasi di Sumatera Utara. Dalam menganalisa fenomena migrasi di Provinsi Sumatera Utara, pola yang digunakan adalah pola Life Time Migration atau pola migrasi semasa hidup. (BPS Kota Medan, 2003). Di samping migran masuk juga Sumatera Utara mengalami migran keluar di mana penduduk Sumatera Utara pindah dari daerahnya ke provinsi luar dengan berbagai motivasi. DKI Jakarta merupakan tujuan utama migran dari Sumatera Utara karena daya tarik Kota Jakarta yang sangat besar sesuai dengan kedudukannya sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, perdagangan dan sebagainya. Selanjutnya jumlah arus migran terbanyak kedua yang keluar adalah dengan tujuan Provinsi Riau (dahulu mencakup BATAM) yang oleh para ahli disebut dengan istilah migran jarak dekat. Selanjutnya dengan perkembangan pembangunan perekonomian provinsi Sumatera Utara pada tahun tahun terakhir ini memungkinkan kembali arus migrasi masuk ke Sumatera Utara meningkat. Bahwa migran yang masuk saat ini adalah migran non-transmigrasi, yakni migran profesional atau migran
146

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 yang masuk untuk bekerja di sektor pemerintahan dan swasta, karena adanya pengembangan sektor perdagangan, industri, pendidikan dan usaha bisnis lainnya (BKKBN Provsu, 2007: 57). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA MIGRASI ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA Pengaturan hukum yang berkenaan dengan masalah migrasi dapat direfer pada Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Menurut jiwa Undang-Undang tersebut berbagai aspek kependudukan harus dapat dikontrol atau dikendalikan termasuk jumlah dan mobilisasinya atau perpindahannya. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pertumbuhan penduduk diarahkan pada pengendalian kuantitas, perkembangan kualitas serta pengarahan mobilitas penduduk sebagai potensi sumber daya agar menjadi kekuatan pembangunan dengan cara mewujudkan keserasian dan keseimbangan kuantitas, kualitas, dan persebaran penduduk. Sehubungan dengan hal tersebut perlu ada policy yang tepat yang didukung data yang lengkap dan akurat termasuk memahami tentang karakteristiknya. Sehubungan dengan arus migrasi misalnya pemahaman dan kejujuran melihat fakta yang sebenarnya diperlukan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya migrasi. Untuk dapat mengetahui pergerakan migrasi di setiap wilayah di suatu negara, terutama jika ingin membandingkan antara satu daerah dengan daerah lainnya, tentunya perlu ada suatu pemahaman yang sama terlebih dahulu sesuai dengan indikator-indikator yang lazim dipergunakan. Tetapi dalam penulisan ini tidak berpretensi untuk melakukan suatu perbandingan tetapi sekedar memberikan deskripsi di Sumatera Utara. Secara geofrafis terlihat bahwa persebaran penduduk di Provinsi Sumatera Utara tidak merata di wilayah pantai barat, dataran tinggi dan pantai timur. 62,13 persen penduduk tinggal di wilayah pantai timur yang relatif lebih subur bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Secara teoritis ada beberapa teori yang berkaitan dengan faktor-faktor pendorong atau motivasi terjadinya migrasi sebagai berikut: (1) Teori Grativitasi (Teori Tarik). Menurut Ravenstain yang dikenal sebagai bapak migrasi. Teori ini menyatakan: a. Semakin jauh jarak, semakin berkurang volume migrasi. b. Setiap arus migran yang benar, akan menimbulkan arus balik sebagai gantinya. c. Adanya perbedaan desa dengan kota sehingga terjadi migrasi. d. Wanita cenderung bermigrasi ke daerah yang dekat letaknya. e. Kemajuan teknologi akan mengakibatkan intensitas migrasi. f. Motif utama migrasi adalah faktor ekonomi. (Hartono, 1990: 22). Selanjutnya Faktor-faktor penarik lain adalah: a. Ada rasa superior ditempat yang baru, atau kesempatan untuk memasuki lapangan kerja baru yang lebih cocok. b. Kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih baik. c. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. d. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan. Misalnya iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas fasilitas kemasyarakatan lainnya. e. Ajakan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung. f. Adanya aktivitas-aktivitas dikota besar, yakni tempat-tempat hiburan, pasar kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang desa atau kota kecil. (2) Teori dorong yang menyebabkan arus migrasi adalah: a. Makin berkurangnya sumber daya alam, menurunnya permintaan atas barang tertentu yang bahan bakunya makin susah di peroleh seperti hasil kayu, tambang atau pertanian. b. Kurangnya lapangan pekerjaan ditempat asal, misalnya dipedesaan akibat masuknya tekhnologi baru. c. Adanya tekanan diskriminasi politik, agama, suku di daerah asal. d. Tidak cocok lagi dengan adat budaya ditempat asal. (pada umumnya anak-anak remaja). e.Alasan pekerjaan atau perkawinan sehingga sulit mengembangkan karir. f. Karena bencana alam, banjir, gempa bumi, wabah penyakit, perang, dan kemarau panjang dan lain sebagainya. Menurut Everest Lee teori dorong ini ada 4 (empat) faktor penting bagi seseorang untuk bermigrasi yaitu: a. Faktor yang terdapat di daerah asal. b. Faktor yang terdapat di daerah tujuan. c. Faktor rintangan atau penghambat,
147

Surianingsih: Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara ...

hal ini berbeda bagi masing-masing individu, ada yang memandang ringan dan ada pula yang memandangnya sebagai hal yang berat (tidak dapat diatasi), contoh: Jarak yang jauh, dan biaya transport sehingga menjadi penghalang bagi seseorang untuk bermigrasi. d. Faktor Pribadi/Individu yakni kepastian seseorang dalam mengambil keputusan untuk bermigrasi kedaerah lain (Hartono, 1990: 23). Dari teori tersebut mempunyai makna, perpindahan penduduk yang terjadi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dipengaruhi banyak faktor salah satunya bahwa daerah tempat asal yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan, serta lingkungan dan keadaan alamnya tidak mendukung, mengakibatkan terbatasnya sumber daya yang dibutuhkan dari daerah tersebut. Disisi lain dapat dilihat, daya tampung daerah tujuan dan keadaan lingkungannya sangat menjanjikan dengan tersedianya lapangan kerja, peluang meningkatkan pendapatan, sarana hiburan, pendidikan yang lebih baik, kesehatan dan lain sebagainya. Namun pada umumnya, migrasi bersifat selektif artinya bahwa yang pindah dan menempati tempat baru, memiliki karakteristik kependudukan yang khas, yakni mengenai umur, pendidikan, status sosial, kebudayaan dan sebagainya. Banyak golongan penduduk muda dari daerah-daerah luar kota Medan yang pandai dan berkemampuan dalam bidang materi lebih memilih bermigrasi ke kota Medan, dengan tujuan untuk menambah ilmu atau menuntut ilmu di Perguruan Tinggi yang tidak tersedia didesa asalnya. Tetapi, setelah menyelesaikan atau menamatkan studi, mereka lebih suka tinggal di kota Medan. Begitu pula bagi mereka yang memang lahir dan menetap di kota Medan enggan untuk meninggalkan kota Medan. Dengan demikian golongan penduduk yang berilmu di kota Medan terus meningkat jumlahnya bila dibandingkan dengan diluar kota Medan. Tetapi sebaliknya para migran tersebut beraneka ragam watak dan latar belakang kehidupannya datang ke kota Medan, belum tentu bisa ditolerir, sebab kota Medan pun mempunyai batas-batas kemampuan untuk menampung para migran. Jika dipandang dari aspek hukum dan kependudukan maka migrasi yang terjadi di kota Medan dapat mengakibatkan peningkatan angka pengangguran, kemiskinan, pertambahan jumlah penyandang penyakit sosial dan pelanggar hukum seperti gelandangan dan pengemis, pengamen-pengamen dai pinggir jalan dan peningkatan intensitas tindak kriminalitas terhadap harta kekayaan seperti pencurian, perampokan, termasuk tindak kriminalitas berupa pencemaran dan perusakan lingkungan, antara lain membuang sampah maupun limbah disembarangan tempat serta memanipulasi data kependudukan. Keadaan tersebut di atas merupakan problema yang harus diatasi dan dicari solusinya sesuai peraturan yang berlaku juga sekaligus menjadi acuan dan pertimbangan faktual dalam perancangan peraturan yang akan diberlakukan. UPAYA-UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM PENANGGULANGAN ARUS MIGRASI DI KOTA MEDAN Dalam era globalisasi terdapat kecenderungan desentralisasi dan pendelegasian wewenang yang lebih luas. Pemerintah pusat lebih memusatkan perhatiannya pada masalahmasalah yang bersifat makro, dan hal itu akan membuka peluang bagi masyarakat dan pemerintah daerah serta masyarakat lokal dan untuk menangani masalah-masalah lokal dan daerah. Walaupun dari sudut alokasi dana kecenderungan juga semakin kecil yang dialokasikan ke pemerintah daerah bagi keperluan pembanguna daerah. Beberapa pengamat ekonomi memperkirakan bahwa pada era 2000-an, kondisinya tidak memungkinkan bagi pemerintah pusat untuk memperbesar pengeluaran pembangunan guna mempertahankan momentum pembangunan daerah sebagaimana era 1970-an (Tjiptoherijanto, 1987: 113). Dengan demikian apabila momentum pembangunan daerah tersebut ingin dipertahankan maka potensi sumber daya daerah itu sendiri yang harus dimobilisasi (Soetomo, 2006: 33). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, keberadaan Kota Medan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara sekaligus sebagai pusat tujuan pergerakan migrasi khususnya urbanisasi perlu mendapat perhatian serius
148

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 dari pengamat, perguruan tinggi dan khususnya dari pemerintah kota. Penyiapan informasi dan data akurat sejak dini dapat membantu mempersiapkan usulan kebijakan atau policy yang tepat untuk mengantisipasi dan mengatasi problematika yang berakar dari migrasi penduduk. Pengalaman Jakarta perlu menjadi bahan kajian pemerintah kota sehingga berbagai masalah yang sekarang dihadapi Ibu Kota negara Republik Indonesia tersebut dapat diminimalisir oleh kota Medan jika menghadapi masalah serupa. Secara geografis kota Medan terletak antara 020 29 30-020 47 30 dan 980 47 36 Bujur Timur berbatasan dengan Selat Malaka, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Langkat, sebelah selatan dengan kabupaten Deli Serdang luas wilayah 265, 10 KM2 yang terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan. Dan saat ini usia kota Medan sudah 400 tahun lebih menunjukkan bahwa kota Medan keberadaannya sebagai kota terbesar nomor tiga setelah Jakarta dan Surabaya, dengan demikian sebagai kota besar sudah tentu banyak memiliki berbagai daya tarik bagi masyarakat/penduduk di luar dan kota Medan, apalagi kota Medan berkembang begitu cepat menuju Medan Metropolitan mengikuti arus perkembangan zaman, sehingga keinginan penduduk luar kota Medan untuk berimigrasi sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari kepadatan penduduk kota Medan yakni 7.681 per km2 (sensus penduduk 2005). Masuknya migran ke kota Medan apabila tidak dikendalikan, maka dapat berdampak negatif terhadap proses pembangunan kota Medan sendiri. KESIMPULAN Umumnya pelaksanaan pembangunan sosial dalam mengatasi suatu dampak sosial dari suatu permasalahan kemasyarakatan seperti migrasi ini, memerlukan strategi khusus yang merupakan bagian dari strategi untuk melaksanakan kebijakan sosial. Kebijakan sosial itu pada akhirnya merupakan respon terhadap masalah sosial (Soetomo, 2007: 372). Beberapa kebijakan sosial tentatif yang perlu dikaji dan dikembangkan untuk menjadi kebijakan sosial (social policy) dalam peraturan perundang-undangan antara lain: a. Melalui penataan di bidang kependudukan, yang diregistrasikan dalam administrasi kependudukan. Yang artinya setiap penduduk yang bermukim dikota Medan harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang syah. b. Perlu adanya sorotan terhadap migrasi ini, secara sinkronisasi antara kabupaten dan kota antara kabupaten dan desa dan terkoordinasi, sebab kota sudah terlalu padat penduduknya. Sehingga dapat mengakibatkan polusi dan pencemaran lingkungan karena banyaknya pemukiman kumuh dipinggir sungai yang dapat mengakibatkan banjir di kota. Oleh karena itu masyarakat kota harus turun tangan. c. Untuk menanggulanginya diharapkan dengan kesadaran sendiri para migran u kembali ke daerah asal untuk meningkatkan taraf hidup di daerah asalnya. d. Instansi terkait harus berperan dan sungguh-sungguh bekerja untuk memulangkan Migran ke daerah asal tanpa biaya yang memberatkan, dan bila perlu diberi bekal materi secukupnya. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2003. Bintarto, 1984. Urbanisasi dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia. Jakarta. Guy Standing. 1987. Konsep-konsep Mobilitas di Negara Berkembag. Puslit Kependudukan UGM. Haris Abdul Adika Nyoman. 2002. Gelombang Migrasi dan Konflik Kepentingan Regional. Lesti Yokyakarta.

149

Surianingsih: Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara ...

Hartono, H, CS. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Bumi Aksara. Harus Suhaimi. 1981. Lokakarya Kependudukan. USU Http://id.wiki.pedia : org/wiki merantau. 2007 Wahyu. M S, 1986. Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Usaha Nasional.Surabaya. Arif. M. 1990. Migrasi Antar Provinsi. Makalah Seminar ke pendudukan dan lingkungan hidup. Mantra, Ida Bagus. 1985. Pengantar Studi Demografi. Prawiro, Ruslan. 1983. Kependudukan Teori, Fakta dan Masalah. Alumni Bandung. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10/ 1992 tentang Migrasi. Soetomo, 2006. Strategi-starategi Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar Jakarta. Suwondo Nani. 1982. Hukum dan Kependudukan di Indonesia. Bina Cipta Bandung. Tjiptoherijanto, Prijono. 1987. Perspektif Daerah Dalam Pembangunan Nasional. Fakultas Ekonomi UI Jakarta. Witenberg, Abraham A. 1991. Migrasi dan Asimilasi. Terjemahan oleh Tim SPS Ilmu Hukum UI Jakarta.

150

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006

KORUPSI SEBAGAI TINDAKAN KRIMINAL YANG HARUS DIBERANTAS: KARAKTER DAN PRAKTEK HUKUM DI INDONESIA
Otto Cornelis Kaligis
Abstract: To defeat corruption in Indonesia should be started from law enforcement institutions. Corruption happens when someone puts individual need illegally on top of the societys need. Corruptions occur in many forms including misue of political instruments. Defeating corruption in Indonesia is always related to politics. Political force has created a conclusion in the society that corruption is a culture, every beaureaucrat performs corruption to maintain status and position. Formal law system that we own, in particular those related to corruption neglect those possibilities and does not provide facilities which can be used by the suspect, if becomes the victim of unjust law enforcers. Kata Kunci: Pemberantasan, Korupsi, Tindakan Kriminal

Korupsi (Latin: Corruptio atau Corruptus) sudah begitu lama tertanam dalam budaya (Andi Hamzah, 1991: 7). Upeti misalnya, berarti uang (mata uang emas atau mata uang lainnya) yang wajib dibayarkan (dipersembahkan) kepada raja atau negara yang berkuasa (Poerwadarminta, 1982). Sebab itu tidak mencengangkan lagi jika korupsi di Indonesia telah menyerang sampai kepada pemerintah-pemerintah daerah. Tiap provinsi di Indonesia boleh dikatakan tidak lepas dari berita-berita sehubungan dengan kasus korupsi yang dijalankan oleh aparat eksekutif, legislatif dan yudikatifnya. Jawa Tengah, sebagai contoh, adalah provinsi dengan kasus korupsi terbanyak, yaitu 131 kasus (Kompas, 9 Maret 2003). Di masa reformasi ini kita justru dikejutkan dengan pemberitaan tentang korupsi yang terjadi di kalangan legislatif, suatu hal yang sebelumnya tidak Pernah terungkap di masa orde baru (Pembaruan, 2004). Bahkan secara lebih berani lagi, beberapa aktivis lembaga swadaya masyarakat menilai parlemen Indonesia dan Korupsi merupakan dua "makhluk" yang sulit dipisahkan (Amrie. 2003: 91). Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch (ICW) mengharapkan KPK 'membersihkan' korupsi dengan menggunakan 'sapu yang bersih', Pemberantasan korupsi seharusnya dimulai dengan membersihkan orang-orang yang mengusut, menuntut, dan mengadili tindak pidana korupsi (Kompas, 2004). Dapat dikatakan bahwa korupsi sudah menjangkau segala lapisan lembaga negara di segala tingkatan. Selain itu dengan semakin canggihnya cara orang melakukan korupsi, badan hukum konvensional semakin tidak mampu mengungkapkan dan membawa kasus korupsi ke pengadilan. Selain itu, dalam sistem yang dihinggapi penyakit korupsi endemik (wabah), mekanisme penegakan hukum konvensional mungkin penuh dengan pejabat yang korup (Jeremy, 2003: 177). Pernyataan "memberantas korupsi di Indonesia dimulai dari pemberantasan korupsi di lembaga penegak hukum", mengandung pokok pemikiran bahwa: pertama, pemberantasan korupsi di Indonesia mempunyai kaitan sangat erat terhadap kinerja lembaga penegak hukum; kedua, korupsi di lembaga penegak hukum terjadi sebagai akibat dari efek domino8 adanya
151

Otto Cornelius Kaligis: Korupsi sebagai Tindakan Kriminal ...

korupsi yang terjadi di luar lembaga penegak hukum; ketiga, korupsi ada jika seseorang secara tidak sah meletakkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat serta cita-cita yang menurut sumpah akan dilayaninya. Korupsi itu muncul dalam banyak bentuk menyangkut penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan, apakah kebijakan mengenai tarif, sistem penegakan hukum, keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengembalian pinjaman, dan halhal lain, atau menyangkut prosedur-prosedur sederhana. Korupsi bisa jarang atau meluas, bahkan di sejumlah negara sedang berkembang, korupsi telah meresap ke dalam sistem ketatanegaraan (http://www.answers.com/topic/domino-effect>, 10 Maret 2005). Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi permasalahan dalam hal ini bagaimana sebenarnya karakteristik tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia, dan bagaimana perlindungan hukum dan hak asasi manusia tersangka/terdakwa dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Kenyataan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya, bahkan meminjam istilah yang digunakan oleh Jon ST Quah, korupsi sudah menjadi a way of life (Quah, 2003: 64). Pandangan pesimistis akan menyatakan hampir tidak mungkin untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia. Selain itu masalah penyebab korupsi terjadi dan pemberantasan korupsi ternyata tidak pernah sejalan. Hal ini terjadi karena pemberantasan korupsi di Indonesia mempunyai ciri dan karakteristik yang berbeda dari negara lain. Pemberantasan korupsi di Indonesia selalu terkait dengan politik. Kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Akbar Tanjung semasa menjabat menjadi Menteri Sekretaris Negara. Kasus ini tidak bisa ditilik hanya dari sudut hukum semata karena kasus itu sendiri sarat muatan politis sebagai konsekuensi logis posisi Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar (Asrun,2004: 40). Sehingga terlepas dari kebenaran materi perkaranya, kedua kasus ini terlanjur bernuansa politk (Lopa, 2001). Kasus-kasus korupsi yang sarat muatan politis makin meningkat setelah krisis moneter terjadi di Indonesia. Dalam hal ini gejala yang obvious, yaitu kerusuhan sosial dan krisis moneter, dianggap bersumber pada sesuatu yang sama sekali berbeda, remang-remang dan bersifat politik. Adanya unsur politik ini diyakini sebagai indikasi yang menunjukkan keterkaitan antara gejala yang ingin dijelaskan, explanandum, dan pergesekan kekuasaan di Tingkat elite (http:/www-b.tempo.co.id/ang/min/02/50: 14/Feb/1998) Di seluruh dunia korupsi sebetulnya menjadi suatu masalah, Khususnya di negaranegara sedang berkembang, korupsi menyebabkan kerapuhan ekonomi dan sosial. Korupsi mudah menjadi biang keladi pemberontakan yang berakibat coup d'etat terhadap suatu pemerintahan yang sah. Korupsi juga merupakan isu paling menarik yang paling sering digunakan dalam kampanye-kampanye pemilihan umum (Klitgaard, 1998: 2). Sepanjang sejarah berdirinya negara ini, Indonesia sudah membuktikan hal tersebut. Jatuhnya Orde Baru yang berkuasa lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, sedikit banyak terjadi akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh birokrat dan pengusaha yang dekat dengan birokrat. Korupsi adalah suatu perbuatan yang dipolitisir menjadi suatu kejahatan terhadap negara dan masyarakat dalam pengertian seluas-luasnya. Kekuatan politik telah berhasil menciptakan suatu konklusi dalam masyarakat bahwa "korupsi merupakan budaya", "setiap pejabat pasti korupsi demi mempertahankan status dan kedudukannya". Karena itu karakteristik tindak pidana Korupsi di Indonesia memiliki muatan berbeda dari kejahatan umum lainnya. Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak pernah lepas dari pengaruh politik suatu negara. Pengaruh politik tersebut dimulai bahkan sejak saat suatu kekuatan politik berusaha untuk menjadi penguasa di mana korupsi selalu menjadi isu untuk menarik simpati/dukungan
152

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 masyarakat. Pemberantasan korupsi selalu dikaitkan dengan upaya-upaya mempertahankan kekuasaan politik maupun upaya untuk menjatuhkan kekuasaan politik yang sedang berkuasa. Sejak tahun 1950-an sampai hari ini sejarah Indonesia mencatat, penegak hukum merupakan institusi politik paling lemah dan paling mudah terkooptasi secara politis dibandingkan dengan lembaga negara lainnya, penegakan hukum dan Kekuasaan kehakiman by design atau by accident sering menjadi alat politik oleh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Penegakan hukum didisain sedemikian rupa sehingga terjadi kooptasi terhadap kekuasaan kehakiman melalui pembentukan undang-undang yang mengatur wewenang dan hak penegak hukum, seperti UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI", UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Agung, dan UU No, 15 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Proses tekanan terhadap penegakan hukum by accident sering dijumpai dalam peradilan dengan public figure sebagai terdakwa atau pihak yang berperkara, di mana tekanan politik dan penggunaan media massa atau kekuataan massa sebagai alat penekan menjadikan penegakan hukum mudah terjerumus dalam praktik kolusi antara pencari keadilan dan pejabat penegak hukum (Bagir Manan, 2002: 12). Contoh yang dapat di kemukakan antara lain, kasus dakwaan perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Sjahril Sabirin, Gubernur Bank Indonesia. Diseretnya seorang Gubernur Bank Indonesia dalam kasus korupsi tidak lepas dari upaya Presiden Indonesia waktu itu, Abdurrahman Wahid, untuk mengganti Sjahril Sabirin dari kedudukannya sebagai Gubernur BI. Demikian juga dengan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak lepas dari upaya KPK untuk merebut simpati publik. Karakter lain dari pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah bahwa pemberantasan korupsi yang sarat nuansa politik tersebut dijalankan untuk mencari 'tumbal' semata. Seolah-olah jika seorang telah ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian ditahan, maka penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sudah berjalan dengan baik. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak berorientasi kepada keadilan. Akibat dari tujuan pencarian 'tumbal' itu, seorang dituduh sebagai pelaku tindak pidana kehilangan hak-haknya sebagai manusia dan kehilangan hak hukumnya (Sapardjaja, 2002: 229) Dalam kasus seperti ini, seorang yang ditetapkan sebagai tersangka atau tertuduh oleh aparat penegak hukum adalah korban (victim) dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Sistem hukum pidana formal yang kita miliki, khususnya yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi, mengabaikan kemungkinan tersebut dan tidak menyediakan sarana yang dapat dipergunakan oleh si tersangka, apabila ia menjadi korban kesewenang-wenangan penegak hukum. Di dalam praktek, dapat disebutkan antara lain kasus dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Abdul Waris Halid dan Nurdin Halid. Keprihatinan negara-negara di dunia terhadap Korupsi, menjadikan korupsi sebagai suatu kejahatan yang tidak lagi merupakan kejahatan domestik. Kejahatan korupsi dimasukkan golongan "white collar crime", kemudian meningkat lagi menjadi trans-national crime. Istilah "trans-national" ini dipergunakan untuk menunjukkan kejahatan yang sebetulnya dilakukan oleh perorangan, di mana terhadap kejahatannya itu si pelaku dapat dibebani tanggung jawab berdasarkan hukum nasional maupun hukum internasional. Pengertian ini harus dibedakan dengan kejahatan internasional di mana pelakunya adalah negara, dan negara hanya dapat dibebani tanggung jawab kriminal internasional (international criminal resposibility of states) karena melanggar hukum internasional. Sebagaimana telah disepakati di Palermo, Italia, ketika disepakati Convention of Trans-national Organized Crime (TOC). United Nations Convention Against of Transnational

153

Otto Cornelius Kaligis: Korupsi sebagai Tindakan Kriminal ...

Organized Crime sering juga disebut konvensi Palermo, ditandatangani pada tanggal 17 Desember 1999 dan diterima oleh sidang umum PBB berdasarkan Resolusi 54/128. Karena mempengaruhi pembangunan kerjasama internasional, kestabilan politik negara, dan membawa kesengsaraan bagi rakyat. (Kaligis, 2003: 163-165). Diakuinya United Nation Convention Against Corruption (2003), sebagai konvensi, maka kejahatan korupsi sudah memasuki golongan international crime Poernom (t.t). Suap, sebagal contoh, memerlukan pelaku suap (biasanya merupakan pengusaha swasta) dengan penerima suap (umumnya pejabat negara). Oleh karena itu sebagai pelaku dan penerima suap, keduanya dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Forum Keadilan, Mantan Jaksa Agung Baharudin Lopa (alm) pernah mengatakan bahwa, secara teknis, pemberantasan korupsi sulit dilakukan, karena menyangkut pembuktian yang sulit, manakala seseorang memberikan uang sogok atau hadiah kepada seorang pejabat, maka kedua pihak (pihak pemberi dan pihak penerima) tentu saja tidak memberikan tanda terima/kwintansinya. Keduanya juga tentu tidak akan mau mengakuinya, karena berdasarkan UU Anti-korupsi, baik penerima maupun pemberi diancam pidana. Contoh di Indonesia adalah kasus Eddy Tansil yang berkat 'Surat Pengantar' dari Menteri Sudomo berhasil memperoleh kredit dari Bank BAPINDO (kini Bank Mandiri) dan ternyata disalahgunakan, sedangkan negara dirugikan (Tiras, Juni 1996, 10-19; Tiras, May 1996: 11-22) Eddy Tansil dihukum (kemudian melarikan diri) sedangkan Sudomo sebagai pejabat negara tidak sedikit pun disentuh hukum. Hal ini sebagaimana akhir dari kisah Endin Wahyudin (jaksa) yang mengungkapkan suap kepada 2 (dua) orang jaksa agung, dan Kito Irkhamni yang mengungkapkan harta kekayaan Jaksa Agung M.A. Rahman (http://www.liputan6.com/fullnews/42939.html. April 2003). Oleh karena itu tidak salah kalau korupsi juga dapat diartikan dengan penyalahgunaan kekuasaan, Jenis korupsi seperti ini sangat sulit dijangkau oleh proses penegakan hukum (Poernomo, 2005: 6). The 6th United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, taht.m 1980, telah direkomendasikan: "Corruption is a crime ussualy associated with abuse of power, and without moral authority of top leadership it is very difficult to eliminate corruption. It is context a crime and the abuse of power, offences and offenders beyond the reach of the law." Perhatian internasional terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang mengatakan, penanganan korupsi tidak dapat dilakukan dengan cara-cara biasa saja (Ordinary measure) yaitu oleh aparat hukum dengan senjata undang-undang anti korupsi saja (UU No.31 tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi). Karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka penanganannya pun harus dengan cara-cara luar biasa (extra ordinary measure), yaitu dengan penegakan hukum progresif itu semangat yang kuat untuk memberantas korupsi (Kompas Mei 2003). Sifat extra ordinary dari tindak pidana korupsi jika dibandingkan dengan kejahatan biasa, berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis menangani lebih dari 100 kasus tindak pidana korupsi, diakibatkan karena tindak pidana korupsi selalu menyangkut uang dengan jumlah yang sangat besar. Sadar atau tidak jumlah tersebut selalu menjadi ancaman potensial bagi aparat penegak hukum untuk menyalahgunakan kekuasaan/wewenangnya demi kepentingan pribadi atau korpsnya. Contohnya pada perkara dugaan korupsi dengan tersangka Abdullah Puteh (Merdeka Juli 2004; Kompas, Desember 2004; <http:// www.tempointeraktif. com/hg/ Jakarta/2004 /12/29/brk, 20041229-14,id.html> pada tanggal 10 Maret 2005). Di sisi tersangka, jumlah uang yang besar menjadi ancaman potensial juga bagi dirinya sendiri di mana hak-haknya sebagai tersangka/terdakwa diabaikan begitu saja.

154

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAM TERSANGKA/TERDAKWA, MENURUT HUKUM INDONESIA (MUNGKINKAH?) Ketika menangani kasus hukum sering aparat penegak hukum, demi mengejar tujuan pribadi dan nama baik korps, mengorbankan hak-hak tersangka/terdakwa sudah menjadi kasuskasus yang melanda seluruh dunia dan dikenal dengan istilah miscarriage of justice. Apabila seorang pejabat penegak hukum yang mempunyai kuasa dan wewenang untuk mengupayakan tercapainya keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada padanya justru untuk memberikan ketidakadilan. Pada saat itulah terjadi miscarriage of justice atau kegagalan penegakan keadilan telah terjadi (Henry, 1999: 1013). Criminal Cases Review Commission yang dibentuk di Inggris pada tahun 1997 untuk memeriksa kemungkinan terjadinya kegagalan penegakan hukum, mengumumkan bahwa pada awal tugasnya, mereka memeriksa sekitar 250 kasus per tahun. Kini mereka menerima pengaduan lebih dari 800 perkara pertahun (http://www.crimeinfo.org.uklservlet/ factsheetservlet?command?printa) Miscarriage of justice, dikutip pada tanggal 12 Januari 2005). Hampir semua negara mengenal kasus-kasus yang dianggap kasus-kasus miscarriage of justice di dunia umumnya. Sebagai bukti terjadinya kegagalan penegakan keadilan, seperti di Indonesia kita mengenal kasus "Sengkon-Karta". Kasus "Sengkon-Karta" merupakan kasus yang sangat istimewa, karena sebelumnya dalam perkara pidana tidak dikenal upaya hukum luar biasa "Peninjauan Kembali" yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Perhatikan bahwa upaya hukum "Peninjauan Kembali" tidak diatur baik dalam HIR maupun dalam KUHAP. Perkara ini menyebabkan perubahan mendasar terhadap sistem hukum Formal Indonesia, di mana pada tahun 1985 dalam UU Mahkamah Agung, diperkenalkanlah lembaga Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa terhadap putusan peradilan yang telah inkracht dan wajib dijalankan oleh Mahkamah Agung. Kegagalan penegakan keadilan (miscarriage of justice) dalam sistem peradilan pidana, menurut Clive Walker, terjadi apabila: whenever suspect or defendants or convicts are treated by the State in breach if their rights, whether because of, first, deficient processes or, second, the laws which are applied to them or, third, because there is no factual justification for the applied treatment of punishment; fourth, whenever suspects or defendants or convicts are treated adversely by the State to a disproportionate wxtent in comparison with the need to protect rights of others. Or fifth, whenever the rights of other are not effectively or proportionately protected or vindicated by State action against wrongdoers ir sixth, by state law itself (http.//www.leeds.ac.uk/law/ hamlyn/, pada tanggal 15 Februari 2005) Lebih lanjut Walker menjelaskan bahwa keenam kategori yang menyebabkan terjadinya kegagalan penegakan keadilan ini dapat menimbulkan suatu kegagalan yang tidak bersifat langsung (indirect miscarriage) yang mempengaruhi komunitas masyarakat secara keseluruhan. Suatu penghukuman yang lahir dari ketidakjujuran atau rekayasa akan menimbulkan tuntutan terhadap legitimasi negara yang berbasis pada nilai-nilai sistem peradilan pidana yang seharusnya menghormati hak-hak individu. Dalam konteks ini kegagalan penegakan keadilan akan menimbulkan bahaya bagi integritas moral proses pidana (Moral Integrity Of The Criminal Process). Bahkan lebih jauh lagi, dapat merusak kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum. Dari uraian tersebut di atas terdapat 4 (empat) hal penting yang terkandung dalam makna kegagalan penegakan keadilan, yaitu; pertma, kegagalan penegakan keadilan tidak hanya terbatas pada produk pengadilan atau dalam sistem hukum pidana, tetapi juga dapat terjadi di luar pengadilan, tetapi dapat berbentuk seluruh kekuasaan dari penegak hukum yang bersifat memaksa (coercive powers). Kedua, kegagalan penegakan keadilan dapat dilembagakan dalam hukum, misalnya dalam bentuk legalisasi biaya-biaya tidak resmi; ketiga,
155

Otto Cornelius Kaligis: Korupsi sebagai Tindakan Kriminal ...

kegagalan penegakan hukum harus mencakup pula kelemahan negara ketika menjalankan tanggung jawabnya; keempat, kegagalan penegakan keadilan harus ditegaskan pada hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia (http.//www.leeds.ac.uk/law/hamlyn/, pada tanggal 15 Februari 2005). UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi bagian bagi proses pencarian keadilan dalam perkara pidana umum. Bagi perkara tindak pidana korupsi, selain menggunakan KUHAP, digunakan juga ketentuan-ketentuan mengenai hukum acara yang tercantum dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejalan dengan hal itu, maka perlu juga disebutkan berlakunya ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hukum acara dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebagaimana diatur dalam UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisis Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No, 59 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pengadilan TIPIKOR). Sebagai suatu sistem, maka interaksi lembaga sub-sistem peradilan pidana dalam menangani perkara tindak pidana diatur dalam hukum acara pidana atau hukum pidana formal sebagaimana diatur dalam peraturan Perundang-undangan di atas. Interaksi tersebut bukan saja berarti tata cara dalam melakukan penyidikan atau penuntutan, namun termasuk dengan maksud agar tercipta suatu keseimbangan antara hak dan wewenang Penyidik/Penuntut Umum dan hak-hak asasi seorang tersangka/terdakwa ataupun keluarganya. Tetapi dalam prakteknya, hukum acara formal bagi perkara tindak tersangka/terdakwa, sehingga seorang tersangka/terdakwa menjadi korban pelanggaran HAM tanpa dapat berbuat apa-apa, karena secara materil dan formal tidak tersedia upaya hukum bagi mereka untuk membela hak-haknya. Pada titik ini kepentingan penyidikan/penuntutan dan perlindungan HAM tidak boleh dipertentangkan. Keduanya merupakan counter-balance yang harus seimbang, sehingga dalam keseimbangan itulah dapat tercapai keadilan, yaitu suatu keadaan di mana semua kepentingan dapat terakomodasikan dengan baik. Sri Soemantri mengatakan bahwa ciri-ciri negara yang berdasarkan atas hukum sekurang-kurangnya ada empat, yaitu: pertama, adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi manusia (dan warga negara); kedua, adanya pembagian kekuasaan; ketiga, dalam melaksanakan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasarkan hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis; dan keempat, adanya kekuasaan kehakiman yang bebas dalam menjalankan tugas mereka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah (Muqoddas 1992: 29) Suatu negara hukum, pemerintah harus memberi jaminan adanya penegakan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus mendapat perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan atau hasil guna (doelmatigheid), dan kepastian hukum (Mertokusumo dan A. Pitlo:1993:l). Penegakan hukum dalam bidang pidana dapat terlaksana dengan baik, dalam arti dapat terciptanya ketertiban dan ketentraman bagi semua pihak bila dijalankan dalam suatu Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice system) yang baik pula. Maka tidak ada jalan lain, KUHAP harus diperbaiki. Jalan yang terbaik adalah dengan melakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang PRAPERADILAN. Bagi seorang tersangka atau terdakwa yang hak-haknya dilanggar, tersedia upaya hukum yang seharusnya dapat menjadi keseimbangan atas hak dan wewenang penyidik dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa. Dalam kata lain, Praperadilan adalah upaya paksa yang dimiliki oleh Tersangka/Terdakwa untuk membela hak-haknya.
156

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 Lembaga Praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo-Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan, Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut (menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya. Hal itu untuk menjamin bahwa perampasan atau pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan HAM (Loekman, 1982: 54). Sekalipun lembaga praperadilan adalah alat kontrol bagi penegak hukum khususnya penyidik dan penuntut umum (Kompas, November 1982). Tetapi dalam praktek dialami bahwa putusan hakim dalam perkara praperadilan adalah putusan yang bersifat deklaratoir, yaitu menyatakan bahwa penghentian penuntutan Kejaksaan/penuntut umum adalah tidak sah dan memerintahkan kejaksaan untuk meneruskan penuntutan. Terbukti dalam perkara gugatan praperadilan oleh Linda Tani. Terhadap penghentian penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Negeri Jakarta, sekalipun oleh hakim dinyatakan bahwa penghentian penuntutan oleh Kejaksaan Tinggi tidak sah, namun sampai hari ini Kejaksaan tidak meneruskan penuntutan tersebut. kesulitan eksekusi dalam perkara ini dapat dipahami karena fungsi kejaksaan menurut pasal 270 KUHAP, Jaksa merupakan pelaksana putusan pengadilan (eksekutor). Jadi tanpa ada political will dari Kejaksaan sendiri untuk menaati putusan praperadilan tersebut, maka putusan tersebut tidak akan dapat dilaksanakan, sebab tidak ada kekuatan lain atau lembaga lain yang mempunyai wewenang melakukan atau memaksa Jaksa untuk melaksanakan putusan hakim pada perkara praperadilan. Kondisi seperti ini akan sangat merugikan saksi pelapor/penggugat. Karena berbeda dengan praperadilan yang diajukan kepada penyidik/polisi mengenai penangkapan atau penahanan yang tidak sah, di mana pihak ketiga yang dirugikan dapat meminta ganti rugi atas kebebasannya yang dirampas secara tidak sah; maka para gugatan praperadilan yang ditujukan terhadap penghentian penuntutan, tujuan atau maksud saksi pelapor/penggugat bukanlah untuk meminta ganti rugi, tetapi untuk memperoleh keadilan yang benar-benarnya (due process). Dalam suatu RUU (revisi) KUHAP yang diajukan oleh Departemen Kehakiman, maka lembaga praperadilan sudah dihilangkan, dan perannya digantikan oleh Hakim Komisaris (Draft RUU (revisi) KUHAP, Pasal 75-79). Namun, ternyata hampir semua wewenang lembaga praperadilan dialihkan kepada Hakim Komisaris, namun putusannya hanya merupakan penetapan (tidak punya kekuasaan eksekutorial). Dalam sejarahnya pada masa HIR, masalah pengawasan dan penilaian terhadap penangkapan dan penuntutan sama sekali tidak ada. Teman-teman pada masa itu ada semacam pengawasan oleh hakim, yakni dalam hal perpanjangan waktu penahanan sementara yang harus dimintakan persetujuan hakim [vide Pasal 83 C ayat (4) HIR], Namun dalam kenyataannya kontrol hakim ini kurang dirasakan manfaatnya, karena tidak aktif mengingat urusan perpanjangan penahanan oleh hakim itu bersifat tertutup dan semata-mata dianggap urusan birokrasi. Dengan demikian kehadiran lembaga praperadilan menjadi titik balik yang memberikan semangat baru, khususnya mengenai jaminan hak-hak tersangka, karena bersifat transparan (transparancy) dan akuntabilitas publik (public accountability) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung HAM. Tetapi harus juga dilihat bahwa karena dalam KUHAP, praperadilan merupakan barang baru, maka di dalam praktek terdapat kelemahan, antara lain: pertama, tidak semua unsur paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan, misalnya tindakan penggeledahan, penyitaan dan pembukaan serta pemeriksaan surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP; kedua, praperadilan tidak berwenang
157

Otto Cornelius Kaligis: Korupsi sebagai Tindakan Kriminal ...

untuk menguji atau menilai suatu tindakan tanpa permintaan dari tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sehingga sering kali sekalipun suatu tindakan polisi/jaksa sudah jelas sewenang-wenang, tetapi tidak dapat dilakukan praperadilan; ketiga, arahnya, dalam sidang praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan segi formal semata-mata daripada menguji syarat materilnya. Padahal sering kali memperhatikan segi formal sematamata daripada menguji syarat menentukan apakah seseorang dikenakan upaya penangkapan atau penahanan. Putusan praperadilan hanya berupa penetapan, sehingga seringkali diabaikan oleh penegak hukum, khususnya jaksa dalam perkara-perkara di mana jaksalah yang melakukan penyidikan (Nasution, 2001: 6-8). Sementara itu mengenai Hakim Komisaris, tampaknya RUU (revisi) KUHP hendak meniru model yang diterapkan oleh Belanda, yang juga sebetulnya dikenal dalam masa sebelum KUHAP, yaitu dalam Reglement op de strafvoerdering, dan disebut Rechtercommissaris yang dapat melakukan tindakan investigasi (investigating judge) untuk memanggil orang, saksi maupunn tersangka, mendatangi rumah saksi dan juga memeriksa apakah petugas penegak hukum melakukan tugasnya dengan benar. Tetapi setelah HIR berlaku rechter-commissaris tidak digunakan lagi (Loqman, 1982: 47-48) Kemudian istilah ini pernah juga muncul dalam konsep RUU KUHAP diajukan ke DPR pada tahun 1974, pada masa Oemar Seno Adjie menjabat Menteri Kehakiman. Di dalam rancangan tersebut, peran, wewenang dan fungsi hakim komisaris hampir sama dengan lembaga praperadilan saat ini. Jadi sebetulnya fungsi hakim kornisaris dalam sistem Eropa Kontinental seperti di Belanda bertujuan mengawasi jalannya proses hukum acara pidana khususnya pelaksanaan wewenang eksekutif (penyidik dan penuntut umum) dalam upaya mencari kebenaran materil. Dengan demikian pengawasan hakim komisaris ini pada dasarnya merupakan hak kontrol dari pihak yudikatif (control van rechterlijkemacht) terhadap eksekutif. Karena itulah hakim diberi wewenang yang demikian luas mencampuri bidang tugas penyidik maupun penuntut umum dalam hal pemeriksaan pendahuluan. Namun harus diingat juga bahwa pemberlakuan konsep hakim komisaris ini berarti menggantungkan kemerdekaan seseorang kepada belas kasihan negara, khususnya kekuasaan kehakiman untuk melaksanakan fungsi pengawasannya terhadap eksekutif (penyidik dan penuntut hukum). Sedangkan dalam konsep praperadilan, kemerdekaan orang itu memberikan hak fundamental padanya untuk melawan dan menuntut negara (eksekutif yaitu penyidik dan penuntut umum) untuk membuktikan bahwa tindakan upaya paksa (Dwang Middelen) yang mereka jalankan sudah benar dan tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan HAM. Karena itu konsep praperadilan sudah selayaknya dipertahankan, dengan memberikan tambahan wewenang untuk menyelidiki hal-hal yang lebih luas dari sekedar penahanan dan penangkapan tidak sah atau penghentian penuntutan. Demikian juga dalam pelaksanaan putusannya harus merupakan putusan yang memiliki kedudukan sama dengan keputusan eksekutorial. Sehingga eksekutif yang tidak melaksanakannya dapat dituduh melakukan tindakan melawan putusan hakim. DAFTAR PUSTAKA Asrun, A.M., Vonis Bebas Akbar Tanjung: Antitesis Pemberantasan Korupsi, dalam Harian Kompas, 1 Maret 2004. Hakim, Amrie, (Penyunting), "Analisis Hukum 2002, Jangan Tunggu Langit Runtuh", Justika Siar Publika, Jakarta, 2003. Hamzah, Andi, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 1991.
158

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 Harian Kompas 30 Agustus 2004, "KPK Hat-us Bed Terapi Kejut bagi Para Penegak Hukum". Harian Kompas 9 Desember 2004, "Puteh Akan Segera Diajukan ke Pengadilan AdHoc Korupsi". Harian Kompas, 25 April 2003, "Kito Irkhamni dituntut 4 bulan". Harian Kompas, 25 mei 2003, "Reformasi Hukum Tinggal Kenangan". Harian Kompas, Maret 2003, Ramai-ramai Menjarah Uang Rakyat Harian Kompas, 25 Mei 2003, "Reformasi Hukum Tinggal Kenangan" Harian Kompas, 30 November 1982, "Seminar Peradin: Dipersoalkan, Penangkapan bukan oleh Polisi," Harian Suara Merdeka, 15 Juli 2004, "Akhirnya Puteh Penuhi Panggilan KPK". Harian Suara Pembaruan, Agustus 2004, Anggota DPRD pun "Melipat" Uang Rakyat. Henry, Black, et. al., Black Law Dictionary, 7th edition, USA, West Group, 1999. Jeremy, Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003. Kaligis, O.C., The Birth of a Convention (Convention against Corruption), Jakarta: Yarsif Watampone, 2003. Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. Lopa, Baharuddin, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta, Kompas, 2001, Loqman, Loebby, Pra-peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Majalah Tiras No. 17 Tahun 2, 23 May 1996, "Fenomena Eddy Tansil". Majalah Tiras No. 19 Tahun 2, 5 Juni 1996, "Dari Katabelece hingga Moralitas". Manan, Bagir, "Mewujudkan Independensi Kekuasaan Kehakiman dengan Reformasi Mahkamah Agung", dalam Jurnal Keadilan vol. 2, No. 6, Tahun 2002. Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditiya Bakti, Bandung, 1993. Muqoddas, Moh. Busro (Penyunting), Politik Hukum dan Pembangunan Nasional, UII Press, Yokyakarta, 1992. Poernomo, Bambang Upaya Penanggulangan dengan Pendekatan Alternatif Terhadap Kejahatan Korupsi, makalah, tanpa tahun. Poernomo, Bambang, Masyarakat Anti Korupsi Menjadi Dasar Pemerintahan yang Bersih KKN dan Negara Demokrasi Kerakyatan, Makalah, 2005.
159

Otto Cornelius Kaligis: Korupsi sebagai Tindakan Kriminal ...

Poerwadarminta, H,J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1982. Quah, Jon S.T., Curbing Corruption in Asia, A Comparative Study of Six Countries, Singapore, Eastern University Press, 2003. Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Alumni, 2002. Internet: Clive Walker, Miscarriage of Justice in Principle and Practice, dikutip <http://www.leeds.ac.uk/law/hamlyn/>, pada tanggal 15 Pebruari 2005. <http://www.crimeinfo.org.uk/servlet/factsheetservlet/command/printa> Justice, dikutip pada tanggal 12 Januari 2005. Miscarriage dari of

<http://www.tempointeraktif.comlhg/jakarta/2004/12/29/brk,20041229-14,id.html>, "Eksepsi Puteh: KPK Langgar Praduga Tak Bersalah", dikutip dari pada tanggal 10 Maret 2005. <http://www-b.tempo. co.id/ang/min/02/50/kolom2.htm>,Teori Moneter, Edisi 50/02 - 14/Feb/1998. Konspirasi dan Krisis

<http://www.answers. com/topic/domino-effect> dikutip pada tanggal 10 Maret 2005.

160

PENULIS NOMOR INI


Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1990 dan memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Tahun 2002, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Tambah Sembiring, SH, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1974, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. M. Husni, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1986 dan memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Tahun 1997, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Lukman Hakim Nainggolan, SH, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1979, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Liza Erwina, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1987 dan memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Tahun 1996, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Syamsiar Yulia, SH.CN, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1985 dan memperoleh gelar Candidat Notariat Tahun 1995 di Universitas Sumatera Utara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hasim Purba, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1991 dan memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Tahun 2001, sebagai peserta Program Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Suria Ningsih, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1985 dan memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Tahun 1996, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Subanindyo Hadiluwih Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Perguruan Tinggi Swasta di Medan. Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH, MH, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Katholik Parahyangan Bandung Tahun 1966, memperoleh gelar Magister Hukum di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung Tahun 2003 dan memperoleh gelar Doktor Dalam Bidang Hukum Pidana di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung Tahun 2006, Advokat, Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Manado.

161

Anda mungkin juga menyukai