Anda di halaman 1dari 7

PENINGKATAN PENYEDIAAN RTH PUBLIK DI KAWASAN PERKOTAAN DENGAN KERJASAMA PEMERINTAH SWASTA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Oleh : Anis Syarifah

ABSTRAK Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu bentuk dari kepentingan umum, penting untuk disediakan di dalam suatu kawasan karena dapat memberikan dampak positif berupa peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan menjadi pertimbangan penting dalam menentukan tata guna lahan di suatu kota (Keeble, 1959). Penyediaan RTH di kawasan perkotaan pada dasarnya harus memenuhi standar yang telah ditetapkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 yaitu 30% dari luas kota, dimana 20% dari angka tersebut merupakan RTH Publik yang penyediaannya merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai bentuk pelayanan publik (UU No. 25 Tahun 2009). Sampai saat ini ketersediaan RTH publik di kawasan perkotaan pada umumnya belum memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah. Dalam hal ini, keterbatasan anggaran biaya dari pemerintah daerah seringkali menjadi hambatan utama pemerintah daerah dalam memenuhi ketersediaan RTH Publik di Kawasan Perkotaan. Salah satu upaya pemerintah daerah dalam meringankan bebannya untuk memenuhi ketersediaan RTH publik di kawasan perkotaan adalah dengan melakukan kerjasama dengan pihak swasta maupun masyarakat. Pada dasarnya, kerjasama untuk keberlangsungan RTH publik di kawasan perkotaan bukan merupakan hal baru untuk dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun, sampai saat ini pemerintah daerah masih kurang dapat memanfaatkan peluang dari partisipasi/kerjasama seperti pelibatan masyarakat, swasta, maupun pihak-pihak lain dalam investasi penyediaan RTH publik di kawasan perkotaan. Untuk meringankan beban pemerintah dalam penyediaan RTH publik di kawasan perkotaan, pemerintah daerah dapat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penyediaan RTH di kawasan perkotaan, salah satunya dengan melakukan kerjasama yang kreatif dengan pihakpihak lain seperti swasta dan masyarakat. Kerjasama yang dilakukan dalam meringankan beban pemerintah dalam penyediaan RTH publik di kawasan perkotaan yang diidentifikasi dalam studi ini terbagi menjadi 2 bentuk yaitu kerjasama pemerintah dengan pihak swasta dalam bentuk CSR serta partisipasi masyarakat dalam bentuk wakaf. Dengan adanya peringanan beban pemerintah daerah melalui bentuk kerjasama pemerintah-swasta dan partisipasi masyarakat dalam penyediaan RTH publik, diharapkan dapat mengingkatkan ketersediaan RTH publik di kawasan perkotaan.
Kata Kunci : Penyediaan RTH Publik, Partisipasi Masyarakat, Kerjasama Pemerintah-Swasta

Pendahuluan Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan suatu wadah yang dapat mendukung keseimbangan lingkungan kota. RTH memiliki beberapa fungsi yaitu menjaga iklim mikro, nilai estetika dan fungsi resapan air, serta menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota (Departemen Pekerjaan Umum, 2008). Keberadaan dan kualitas ruang terbuka hijau merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan perkotaan. Secara sistem, ruang terbuka hijau perkotaan merupakan bagian dari kota yang tidak terbangun, yang berfungsi menunjang kenyamanan, kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan dan pelestarian alam (Spreigen, 1965). Berdasarkan ketentuan yang tercantum

dalam pasal 29 dan 30 UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, proporsi ruang terbuka hijau untuk menjamin keseimbangan ekosistem pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Proporsi tersebut terdiri dari minimum 20% ruang terbuka hijau publik yang dapat berupa taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau serta minimum 10% ruang terbuka hijau privat. Pada umumnya, RTH privat disediakan oleh pihak swasta dan masyarakat, sedangkan RTH publik dimiliki dan dikelola oleh pemerintah sebagai pihak yang diwajibkan menjamin tercapainya ketersediaan RTH agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Pesatnya pembangunan pada kota-kota besar dan menengah di Indonesia seringkali kurang memprioritaskan kualitas dan keserasian lingkungan. Salah satu contoh dapat dilihat pada Kota Bandung. Berdasarkan data rekapitulasi ruang terbuka hijau di kota bandung tahun 2009 dari Dinas Pemakaman dan Pertamanan, luas total RTH pada tahun 2009 adalah sebesar 1558,55 Ha atau sekitar 9,31% dari luas Kota Bandung. Di sisi lain, pertambahan penduduk di kota besar Adanya batasan seperti tingginya harga lahan dan keterbatasan luas wilayah di kawasan perkotaan menyebabkan pemanfaatan lahan cenderung dikembangkan untuk kegiatan-kegiatan komersial atau kegiatan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan bukan untuk RTH. Persoalan lain yang dihadapi pemerintah daerah dalam penyediaan RTH publik adalah adanya keterbatasan dalam investasi penyediaan RTH publik, dimana alokasi dana pemerintah bagi investasi penyediaan RTH publik sangat terbatas. Di sisi lain, pemerintah memiliki kewajiban dalam menyediakan RTH publik yang merupakan salah satu bentuk pelayanan publik sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Salah satu bentuk upaya pemerintah daerah dalam meringankan bebannya untuk memenuhi ketersediaan RTH di kawasan perkotaan adalah dengan melakukan kerjasama dalam penyediaan RTH publik sebagai bentuk alternatif solusi permasalahan investasi penyediaan RTH publik bagi pemerintah daerah di Indonesia. Dalam hal ini bentuk-bentuk kerjasama dengan pihak-pihak lain dalam investasi penyediaan RTH publik, dilakukan agar dapat meminimalisir biaya yang dikeluarkan pemerintah daerah. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk alternatif solusi agar tercapainya RTH publik di Kota Bandung yang memenuhi standar yaitu 20% dari luas wilayah kota Penyediaan RTH sebagai Bentuk Penyediaan Barang Umum (Public Goods) Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang salah satunya mengatur tentang lingkungan hidup. Pengertian lingkungan hidup sendiri dapat dijelaskan melalui UU No. 32 Tahun 2009 (tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Dalam hal ini, keterkaitan ruang terbuka publik atau ruang terbuka hijau secara umum terhadap lingkungan hidup dapat dilihat dari beberapa tantangan tipikal perkotaan yang berkembang, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan kota dan di lingkungan permukiman warga maupun bencana banjir/ longsor. Dari aspek kondisi lingkungan hidup tersebut, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Di samping itu tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara

ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan dan tingkat harapan hidup masyarakat (Hakim, 2010). Pada dasarnya, ruang terbuka hijau sebagai bagian dari lingkungan mempunyai sifatsifat maupun ciri-ciri tertentu yang perlu dipertimbangkan dalam penyediaan ruang terbuka hijau yang merupakan salah satu bentuk dari pelayanan publik. Hal tersebut perlu disadari dengan baik demi menjaga tersedianya kuantitas ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan. Suparmoko (2002) dalam bukunya Ekonomi Publik Untuk Keuangan & Pembangunan Daerah, menyatakan beberapa sifat-sifat dan ciri tertentu dari lingkungan tersebut antara lain : 1. Nilai ekonomi lingkungan Suatu barang, perlu dibedakan antara barang yang mempunyai nilai ekonomi dan yang tidak mempunyai nilai ekonomi. Suatu barang juga perlu dibedakan sebagai barang ekonomi serta sebagai barang bebas. nilai ekonomi suatu barang akan semakin tinggi dengan semakin langkanya barang yang bersangkutan. Pada umumnya barang atau jasa yang jumlahnya terbatas dibanding dengan jumlah penggunaannya akan berakibat pada tingginya nilai ekonomi barang tersebut. Sebaliknya, barang yang sangat berguna tetapi keberadaannya melebihi kebutuhan masyarakat menjadi barang bebas, dan nilai ekonomi yang diberikan kepada sumberdaya alam tersebut akan sama dengan nol. Nilai-nilai tersebut berlaku terhadap ketersediaan RTH di kota-kota besar di Indonesia, dimana keberadaannya saat ini sangat terbatas. 2. Common property resources Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada umumnya merupakan sumberdaya alam milik bersama (common property). Dengan adanya pemilikan bersama dikhawatirkan akan terjadi tragedy of the common yaitu terkurasnya sumberdaya alam dan memburuknya lingkungan dengan laju yang sangat cepat karena umumnya para individu cenderung untuk mendapatkan keuntungan secepat mungkin sebelum orang lain memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan itu. Dengan demikian pengawasan pemerintah sangatlah diperlukan dalam 3. Public goods Ruang Terbuka Hijau di samping memiliki sifat sebagai common property, juga memiliki sifat sebagai barang publik (public goods). Menurut Due, et, al. (1984), Sifat pokok dari barang publik adalah barang ini tidak dapat dimiliki. Jadi, sekali sudah tersedia, maka barang-barang ini tersedia secara merata bagi semua orang, Manfaat dari barang publik berlaku secara tidak dibagi untuk seluruh masyarakat, dan tidak ada yang dapat dikecualikan dari manfaat-manfaat ini. Manfaatnya berlaku sama bagi semua orang, meskipun mereka dapat mempunyai preferensi yang berbedabeda. Di samping tidak dapat memiliki, barang-barang umum mempunyai dua sifat lain, yaitu : a. Tidak ada persaingan dalam konsumsinya Satu orang dapat meningkatkan kepuasannya dari barang ini tanpa mengurangi kepuasan orang lain. Dengan kata lain, biaya marjinal yang diciptakan oleh satu orang konsumen tambahan dari barang ini adalah nol. Di lihat dari sudut pandang tertentu, barang-barang umum tidak dikonsumsi dalam arti dipakai habis, tertapi barang-barang tersebut dapat dinikmati. b. Tidak dikecualikan Tidak ada cara yang mungkin untuk mengecualikan siapapun agar dapat memanfaatkan barang umum yang murni. Selanjutnya, karena sifat-sifatnya yang tidak bersaingan, membebankan suatu harga dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi karena ada orang-orang yang akan dikecualikan, sehingga barang-barang ini harus disediakan oleh pemerintah.

4. Eksternalitas Barang publik dapat dibagi dua yaitu barang publik murni dan barang publik campuran. Termasuk barang publik murni jika barang tersebut dalam penggunaannya tidak ada pengecualian dan tidak ada persaingan. Barang publik campuran yaitu bila barang dalam penggunaannya tidak ada pengecualian, namun dalam mengkonsumsi bersama dapat terjadi kepadatan, misalkan RTH. Hal tersebut dapat menimbulkan eksternalitas. Dengan adanya eksternalitas, maka kebutuhan akan kegiatan pemerintah timbul karena tidak adanya mekanisme pasar untuk menjamin bahwa pihak yang diuntungkan memberi kompensasi kepada orang atau perusahaan yang memberikan keuntungan-keuntungan itu atau untuk menjamin bahwa pihak yang dirugikan menerima kompensasi dari orang atau perusahaan yang mengakibatkan ongkos-ongkos. Peningkatan jumlah penduduk dengan pesat terutama di kota-kota besar tentunya akan berakibat pada meningkatnya kebutuhan akan barang publik. Barang publik yang dimaksud dalam hal ini adalah sarana dan prasarana, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang dibutuhkan oleh suatu kota. Peningkatan kebutuhan tersebut sering kali tidak dapat dipenuhi secara baik oleh pihak pemerintah setempat mengingat keterbatasan yang dimilikinya terutama pada hal pendanaan. Namun pada dasarnya, permasalahan tersebut dapat ditanggulangi dengan menyadari sifat-sifat dasar dari RTH publik. Kerjasama Pemerintah-Swasta dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyediaan RTH publik di Kawasan Perkotaan Berdasarkan Permendagri No. 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, Pendanaan penataan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), partisipasi swadaya masyarakat dan/atau swasta, serta sumber pendanaan lainnya yang sah dan tidak mengikat. Pada umumnya, pembiayaan dalam rencana penyediaan RTH oleh pemerintah kota didapat dari anggaran pemerintah pusat dan pemasukan dari pembayaran pajak. Untuk itu, demi meringankan beban pemerintah daerah dalam penyediaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan yang memenuhi standar dalam UU No. 26 Tahun 2007, pemerintah daerah perlu melakukan strategi pembiayaan yang tepat dalam penyediaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan. Kerjasama yang kreatif dengan sektor swasta maupun masyarakat tentu akan sangat prospektif demi meringankan beban pemerintah dalam memenuhi standar penyediaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan. Kerjasama dengan sektor swasta dan masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah dapat memberikan dukungan finansial dan/atau dukungan lainnya untuk mengurangi beban sektor publik. Perbedaan kerjasama yang dilakukan dalam penyediaan ruang terbuka hijau publik juga akan memiliki perbedaan dalam pemilihan komponen yang akan dibiayai, dimana pengurangan beban pemerintah dalam penyediaan ruang terbuka hijau publik pada dasarnya tergantung pada pilihan pihak swasta atau masyarakat dalam membiayai komponen pembiayaan RTH. Namun, perlu disadari bahwa pada dasarnya penyediaan RTH publik merupakan suatu investasi publik tidak langsung. Dalam hal ini, manfaat yang didapat dari penyediaan ruang terbuka hijau merupakan manfaat tidak langsung, artinya manfaat tersebut belum tentu dapat dirasakan saat ini tetapi dalam jangka waktu yang akan datang. Tidak seperti investasi dalam proyek-proyek penyediaan infrasturktur lain, dimana jangka waktu dari cost-recovery dapat dihitung berdasarkan retribusi yang ditarik (Altshuler dan Gomez-Ibanez, 1993). Oleh karena itu, pemerintah daerah harus lebih aktif dan kreatif dalam menarik pihak-pihak lain untuk melakukan kerjasama. Semakin kreatif dan aktif pemerintah daerah dalam membuat kerjasama, semakin sedikit juga biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah, sehingga investasi publik

dapat menjadi lebih rendah. Kerjasama Pemerintah-Swasta Sebagai Bentuk Kerjasama Sosial UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatakan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yaitu kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Tanggung jawab sosial dan lingkungan, atau lebih dikenal dengan program CSR (corporate social responsibility) dari perusahaan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Intinya, program CSR merupakan operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan dalam hal ini dapat diterapkan dalam penyediaan RTH. Program CSR dari sebuah perusahaan merupakan program perusahaan yang bertujuan sosial dengan tidak mempertimbangkan keuntungan secara langsung yang dapat dihitung besar serta lama jangka waktu pengembalian investasi. Dalam undang-undang no. 40 Tahun 2007 diatur mengenai ketentuan yang dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat, maka ditentukan bahwa perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Untuk melaksanakan kewajiban perseroan tersebut, kegiatan CSR harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan yang dilaksanakan serta dimuat dalam laporan tahunan perusahaan. Terdapat sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan apabila perusahaan tidak melakukan program CSR. Dalam penyediaan RTH Publik, Program CSR pada dasarnya dapat membiayai seluruh maupun sebagian komponen penyediaan ruang terbuka hijau seperti biaya lahan, desain serta konstruksi ketika proyek tersebut direncanakan dan diusulkan tergantung perjanjian yang dilakukan antara pemerintah dengan perusahaan yang bersangkutan (Zulkaidi, 2010). Kerjasama Pemerintah-Masyarakat Selain kerjasama pemerintah dengan swasta, jenis kerjasama yang juga banyak dilakukan di Indonesia adalah kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat. Bentuk dari kerjasama pemerintah dengan masyarakat dalam penyediaan RTH publik dapat berupa wakaf. Menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Wakaf adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang mewakafkan harta benda miliknya atau donatur) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak seperti : 1. Hak atas tanah, 2. Hak atas bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah yang dimiliki 3. Hak atas tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah 4. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku 5. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sedangkan benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, dalam hal ini meliputi:

Uang; Logam mulia; Surat berharga; Kendaraan; Hak atas kekayaan intelektual; Hak sewa Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kerjasama pemerintah-masyarakat pada dasarnya merupakan bentuk kerjasama sosial, dimana manfaat yang dirasakan bukan merupakan manfaat langsung dengan tujuan untuk kepentingan umum. Dalam penyediaan RTH publik, bentuk wakaf yang merupakan kerjasama pemerintah dengan masyarakat untuk meringankan beban pemerintah dapat dituangkan dalam beberapa cara. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dapat disimpulkan bahwa kerjasama pemerintah dengan masyarakat dalam penyediaan RTH publik dapat berupa penyediaan lahan untuk RTH publik, donasi harta benda yang untuk penyediaan RTH publik, serta partisipasi masyarakat sebagai tenaga ahli dalam perancangan RTH publik, dimana bentuk kerjasama tersebut dapat meringankan beban pemerintah dalam penyediaan RTH publik di kawasan perkotaan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat dalam penyediaan RTH publik dapat membiayai sebagian hingga seluruh komponen biaya dalam penyediaan RTH publik di kawasan perkotaan, tergantung pada kesepakatan yang telah dibuat. Penutup Dengan dilakukannya bentuk kerjasama dalam penyediaan RTH publik yang dalam hal ini dapat meringankan beban pemerintah dalam penyediaan RTH publik di kawasan perkotaan, diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan RTH publik yang memenuhi standar dalam UU No. 26 Tahun 2007 yaitu 20% dari luas wilayah kota. Untuk menarik masyarakat serta pihak swasta agar mau berpartisipasi dalam investasi penyediaan RTH, pemerintah daerah harus lebih aktif dan kreatif dalam melakukan pendekatan dengan sosialisasi terhadap masyarakat serta pemberian insentif terhadap pihak swasta. Dalam hal ini semakin kreatif dan aktif pemerintah daerah dalam membuat kerjasama, maka akan semakin sedikit komponen yang harus dibiayai oleh pemerintah daerah, sehingga investasi publik yang lebih rendah, sehingga keterbatasan APBD yang ditetapkan oleh pemerintah daerah bukan merupakan halangan bagi pemerintah daerah dalam menyediakan RTH publik serta dapat memenuhi ketersediaan RTH publik di kawasan perkotaan yaitu 20% dari luas Kota.

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Daftar Pustaka Altshuler, Alan A.; Gomez-Ibanez, Jose A. 1993. Regulation for Revenue. Washington DC: The Brookings Institution. Carr, Stephen, Mark Francis, Leanne G.Rivlin, Andrew M.Stone. 1992. Public Space. Cambridge University Press Mertes, James D., James R. Hall. 1995. Park, Recreation, Open Space and Greenway Guidelines. National Recreation and Park Association Shirvani, Hamid. 1985. The Urban Design Process. New York : Van Nostrand Reinhold Company, Inc Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Zulkaidi, Denny. 2010. Reinstatement Model of Public Investment in the Provision of Urban Open Space. Bandung : Disampaikan dalam Seminar Internasional Arte-polis 3

Anda mungkin juga menyukai