Anda di halaman 1dari 15

Infeksi Sistem Saraf Pusat A. Infeksi Infeksi ialah invasi dan multiplikasi kuman(mikro-organisme)di dalam jaringan tubuh.

Invasi atau penetrasi berarti penembusan yang bagi tubuh manusia akan dihalangi oleh epitelium permukaan tubuh luar dan dalam (kulit, konjungtiva, dan mukosa). Tahap-tahap terjadinya infeksi diantaranya, penetrasi, multiplikasi kuman, toksemia (toksin diserap oleh aliran darah menimbulkan gejala prodrom), bakteriemia (kuman sudah berada dalam aliran darah sistemik), dan septikemia (kuman berkembang biak dan menetap di aliran darah). Pada tahap bakteriemia dan septikemia, kuman disebar keseluruh tubuh berikut organ-organnya. Setibanya di sebuah organ ia menimbulkan kerusakan (radang)sehingga timbul disfungsi organ yang bersangkutan. Gejala-gejala yang merupakan manifestasi infeksi pada suatu organ dinamakan gejala lokalisatorik. Gejala lokalisatorik berbeda dengan gejala-gejala toksemia. Toksemia terhadap susunan saraf pusat menimbulkan : nyeri kepala, insomnia, iritasi mental, delirium sampai koma. Invasi kuman ke susunan saraf pusat dapat melalui lintasan-lintasan perkontinuitan dan hematogenik melalui arteri intraserebral yang merupakan penyebaran ke otak secara langsung. Penyebaran hematogen secara tidak langsung dapat juga dijumpai, misalnya arteri meningeal yang terkena radang dahulu. Dari arteritis itu kuman dapat tiba di likuor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi melalui penerobosan pia mater. Akhirnya, sarafsaraf tepi dapat digunakan juga sebagai jembatan bagi kuman untuk tiba di susunan saraf pusat. Blood brain barier yang sebelumnya dipersiapkan sebagai penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang datang melalui lintasan hematogen menjadi tidak berfungsi karena terusak pada saat toksemia dan septikemia. 1 B. Infeksi Sistem Saraf Pusat Infeksi sistem saraf pusat telah lama dikenal sebagai penyakit yang paling merugikan. Bahkan sejak tahun 1805 infeksi sistem saraf otak dinyatakan sebagai penyakit fatal. Infeksi sistem saraf pusat bervariasi berdasarkan definisinya. Meningitis didefinisikan sebagai inflamasi dari membran otak dan medula spinalis yang juga dikenal sebagai arachnoiditis atau leptomenigitis. Encefalitis diketahui sebagai inflamasi yang terjadi di otak itu sendiri, sedangkan mielitis merupakan inflamasi yang terjadi pada medula spinalis. Adapun kombinasi istilah dari meningoencefalitis atau ensefalomielitis mengarah pada proses dari infeksi difus.2

Infeksi jaringan otak jarang dikarenakan hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak yang sehat cukup resisten terhadap infeksi. Namun apabila terjadi infeksi di otak, cenderung menjadi sangat virulen dan destruktif.1 C. Meningitis 1. Definisi dan Klasifikasi Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai lapisan meningen yang membungkus otak dan medula spinalis.3 Meningitis terbagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.4 a) Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.4 b) Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.4 Meningitis purulenta ini terbagi lagi berdasarkan lapisan selaput otak yang mengalami radang (pakinmeningitis dan leptomeningitis) dan yang tebagi berdasarkan penyebabnya.5

2. Anatomi dan Fisiologi Meningen Otak dan sumsum otak belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu: a) Pia meter : yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan sumsum tulang belakang dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan menyediakan darah untuk struktur-struktur ini. b) Arachnoid : Merupakan selaput halus yang memisahkan pia meter dan dura meter. c) Dura meter : Merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat.6

3. Manifestasi Klinik a. Meningitis serosa : Awalnya terdapat panas yang tidak terlalu tinggi, nyeri kepala, dan nyeri kuduk. Disamping itu juga terdapat rasa lemah, berat badan menurun, nyeri otot, nyeri punggung, dan mungkin dijumpai kelainan jiwa seperti halusinasi dan waham. Pada pemeriksaan akan dijumpai tanda-tanda rangsangan selaput otak seperti kaku kuduk, tanda kernig dan brudzinsky. Dapat terjadi hemiparesi dan kerusakan saraf otak yaitu N.III, N.IV, N VI, N.VII, dan N.VIII. Akhirnya kesadaran akan menurun. Pada funduskopi akan tanpak sembab papil. Sering juga dijumpai TB di tempat lain seperti paru dan kelenjar linfa di leher.5 b. Meningitis Purulenta : Pada permulaan terdapat gejala panas, mengigil, nyeri kepala yang terus-menerus, mual dan muntah. Disamping itu terdapat hilangnya nafsu makan, kelemahan umum, dan rasa nyeri pada punggung serta sendi. Setelah 12 sampai 24 jam, timbul gambaran klinis yang lebih khas yaitu nyeri pada kuduk dan tanda-tanda rangsangan selaput otak seperti kaku kuduk, tanda kernig, dan tanda brudzinsky. Bila terjadi koma yang dalam, tanda-tanda rangsangan meningen akan menghilang. Penderita takut akan cahaya dan amat peka terhadap rangsangan. Kejang jarang dijumpai pada orang dewasa baik kejang umum, maupun kejang fokal. Kadang dijumpai kelumpuhan N.VI, VII, dan V.III dapat juga terjadi peningkatan refleks fisiologi dan timbulnya refleks patologi. Penderita sering gelisah, mudah terangsang, dan menunjukan perubahan mental seperti bingung, hiperaktif, serta halusinasi. Akhirnya pada keadaan yang berat dapat terjadi herniasi otak sehingga terjadi dilatasi pupil dan koma. Pada meningitis yang disebabkan oleh kuman meningokokus bisa terjadi sindrom waterhouse Friederichsen dengan gejala yang terdiri dari perdarahan pada kulit, dan kelenjar adrenal serta penurunan tekanan darah. Hal ini disebabkan oleh adanya perdarahan intravaskularis menyeluruh atau koagulapatia intravaskularis diseminata akibat terjadi meningokokemia.5 4. Patofisiologi a. Meningitis serosa Meningitis tuberkolusa selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis, fokus primernya terjadi diluar otak. Fokus primer biasanya di paru-paru, tapi bisa juga di kelenjar getah bening, tulang, sinus nasalis, traktus gastrointestinal, ginjal dan sebagainya.7

Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak secara hematogen, tetapi melaui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil (beberapa milimeter sampai satu centimeter) berwarna putih, terdapat pada permukaan otak, sum-sum tulang belakang. Tuberkel tersebut selanjutnya melunak, pecah, dan masuk ke dalam ruang subaraknoid dan ventrikel sehingga terjadi peradangan difus.7 Penyebaran dapat pula terjadi secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan di daerah selaput otak seperti proses di nasofaring, penumonia, endoarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis sinus covernosus, atau spondilitis.7 Penyebaran kuman dalam ruang subaraknid menyebabkan reaksi radang pada pia mater, aranoid, CSS, ruang subaraknoid dan ventrikel.7 Akibat reaksi radang ini maka akan terbentuk eksudat kental, serofibrinosa, dan gelatinosa oleh kuman-kuman serta toksin yang mengandung sel-sel mononuklear, linfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa dan fibroblas. Eksudat ini juga tidak terbatas dalam ruang subaraknoid saja tetapi terutama berkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuuhpembuluh darah pia mater, dan menyerang jaringan otak di bawahnya sehingga proses sebenarnya adalah meningoensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat aquaduktus, visura silvi, foramen magendi, foramen luschka dengan akibatnya adalah terjadinya hidrosefalus, edema papil akibat terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan ini juga terjadi pada pembuluh-pembuluh darah yang berjalan di dalam ruang subaraknoid berupa kongesti, peradangan dan penyumbatan sehingga selain arteritis dan fleblitis, juga menyebabkan infark otak terutaa pada bagian korteks, medula oblongata dan gaglia basalis.7 b. Meningitis Purulenta Secara umum istilah meningitis menunjuk ke infeksi yang menyerang meningen. Infeksi yang ada menyebabkan selaput ini meradang dan membengkak. Bakteri dapat mencapai struktur intrakranial melalui beberapa cara. Secara alami bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen dan dari infeksi di nasofaring atau perluasan infeksi dari struktur intrakranial misalnya sinusitis atau infeksi telinga tengah. Infeksi bakterial pada SSP juga bisa terjadi karena trauma kepala yang merobek durameter atau akibat tindakan bedah saraf.7 Meningitis bakterial bermula dengan kolonisasi bakteri di nasofaring. Bakteri menghasilkan immunoglobulin A protease yang bisa merusak barrier mukosa dan memungkinkan bakteri menempel pada sel epitel nasofaring. Setelah berhasil menempel pada

sel epitel, bakteri akan menyelinap melalui cairan antar sel dan masuk ke aliran darah. Bakteri yang biasa menyebabkan meningitis bakterial akut mempunyai kapsul polisakarida yang bersifat antifagositik dan anti komplimen, sehingga bisa lepas dari mekanisme pertahanan seluler yang umumnya menghadap struktur asing yang masuk ke dalam aliran darah. Bakteri kemudian akan mencapai kapiler susunan saraf pusat lalu masuk ke ruang subarakhnoid. Kurangnya pertahana seluler di dalam ruang subarakhnoid membuat bakteri yang ada akan mudah bermultiplikasi.7 Kerusakan di dalam jaringan otak terjadi okibat peningkatan reaksi inflamasi yang disebabkan adanya komponen dinding sel bakteri. Endotoksin dan asam teichoic akan menyebabkan sel-sel endotelial dan sel glia lainnya melepaskan sitokin pro-inflamasi terutama tumor necrosing factor (TNF) dan interleukin 1 dan (IL-1).7 Selanjutnya akan terjadi proses lebih kompleks dari sitokin yang akan merusak sawar darah otak. Sawar darah otak yang rusak akan memudahkan masuknya leukosit dan komplemen ke dalam ruang subarakhnoid disertai masuknya albumin. Hal ini akan menyebabkan timbulnya edema vasogenik di otak. Leukosit dan mediator-mediator pertahanan tubuh lainnya akan menyebabkan perubahan patologis lebih lanjut sehingga akan terjadi iskemik otak dan dapat menimbulkan edema sitotoksik di otak. 7 Proses inflamasi lebih lanjut akan menyebabkan gangguan reabsorpsi cairan serebrospinal di granula arakhnoid yang berakibat meningkatnya tekanan intrakranial sehingga dapat menimbulkan edema interstisial di otak. Keadaan edema otak itu akan diperberat dengan dihasilkannya asam arakhidonat dan metabolitnya yang dikeluarkan oleh sel otak yang rusak dan adanya asam lemak yang dilepaskan dari leukosit polimorfonuklear.7 5. Diagnosa a. Meningitis Serosa: 1. Pemeriksaan cairan otak: Tekanan: meningkat Warna: jernih atau satokrom Protein: meningkat Gula: menurun Klorida: menurun

Leukosit: meningkat sampai 500/mm3 dengan sel mononuklear yang dominan. Bila didiamkan beberapa jam akan terbentuk pelikuna yang berbentuk sarang laba-laba. Pada pengecatan Ziehl Neelsen dan biakan akan ditemukan kuman mikobakterium tuberkulosa. 2. Darah: jumlah leukosit meningkat sampai 20.000 3. Radiologi: sken tomografi dapat tampak hidrosefalus 4. Test tuberkuli: sering positif.5

b. Meningitis Purulenta 1. Pemeriksaan cairan otak: Tekanan Warna : meningkat diatas 180 mm H2O : cairan otak berwarna mulai dari keruh sampai purulen bergantung pada jumlah selnya. Sel : jumlah leukosit meningkat, biasanya berjumlah 200-10.000 dan 95% terdiri dari sel PMN. Setelah pengobatan dengan antibiotika perbandingan jumlah sel mononuklear (MN) terhadap sel PMN meningkat. Protein Klorida Gula : meningkat, biasanya di atas 75mg/100ml : kadar klorida menurun, kurang dari 700mg/100ml : kadar gula menurun, biasanya kurang dari 40mg% atau kurang dari 40% kadar gula darah yang diambil pada saat yang bersamaan. 2. Pemeriksaan darah tepi: Biasanya terdapat kenaikan jumlah leukosit dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri. 3. Pemeriksaan radiologi: Pada foto thorax mungkin dijumpai sumber infeksi misalnya radang paru atau abses paru. Pada foto tengkorak mungkin dijumpai sinusitis, mastoiditis. Scan tomografik pada meningitis purulenta mungkin akan menunjukkan adanya sembab pada otak dan hidroseflus, berfungsi untuk mengetahui adanya komplikasi seperti abses hati atau efusi subdural. 4. Pemeriksaan EEG: Menunjukkan perlambatan yang menyeluruh di kedua hemisfer dan derajatnya sebanding dengan berat radang.5

5. Pengobatan a. Meningitis serosa Dipakai obat tripel yaitu kombinasi INH dengan 2 dari 3 macam tuberkulostatika selama 2 tahun. INH: dewasa 10-15 mg/kgbb/hari; anak 20 mg/kgbb/hari. Diberikan sekali sehari/oral. Harus ditambah piroksin 50mg/hari Streptomisin: dosis 20 mg/kgbb/hari (maksimal 1gr/hari). Diberikan intarmuskularis selama 3 bulan. Etambutol: dosis 25 mg/kgbb/hari/oral selam 2 bulan pertama lalu dilanjutkan dengan 15 mg/kgbb/hari. Rifampisin: dosis dewasa 600mg/hari; anak 10-20 mg/kgbb/hari. Diberikan per oral sehari sekali. Kortikosteroid Indikasi: tekanan intrakranial yang meningkat, adanya difisit neurologik, mencegah perlekatan araknoid pada jairngan otak. Deksametaso: mula-mula diberikan 10mg intravena lalu 4mg tiap 6 jam. Prednison: 60-80 mg/hari selama 2-3 minggu lalu diturunkan berangsur selama 1 bulan.5

b. Meningitis purulenta Pengobatan dibagi menjadi pengobatan umumn dan pemberian antibiotika.5 1. Umum - Penderita dirawat di RS. - Mula-mula cairan diberikan secara infus dalam jumlah yang cukup dan jangan berlebihan. - Bila gelisah diberi sedativa seperti fenobarbital. - Nyeri kepala diatasi dengan analgetik. - Panas diturunkan dengan kompres es, parasetemol, asam salisilat. 2. Kejang diatasi dengan - Diazepam : dosis 10-20 mg intravena - Fenobarbital: dosis 6-120 mh/hari secara oral - Difenilhidantoin: dosis 300mg/hari secara oral

3. Tekanan intrakranial diberikan - Manitol: dosis 1-1,5 mg/kgBB secara intravena dalam 30-60 menit dan dapat diulang 2x dengan jarak 4 jam - Pernapasan diusahakan sebaik mungkin dengan membersihkan jalan napas. 4. Bila ada hidrosefalus obstruktif dilakukan operasi pemasangan pirau (shunting) 5. Efusi subdural pada anak dikeluarkan 25-30 cc setiap hari selama 2-3 minggu, bila gagal dilakukan operasi. 6. Fisioterapi: diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat. 7. Antibiotika Ampisilin: 8-12 gr/hari dibagi dalam 4x pemberian Gentamisin: 5mg/kgBB/hari dibagi dalam 3x pemberian. Kloramfenikol: 4-8 gr/hari dibagi dalam 4x pemberian secara intravena. Sefalosporin: 1. Sefotaksim: dosis 2 gr setiap 4-6 jam 2. Sefuroksim: 2 gr tiap 6 jam5 6. Komplikasi a. Meningitis serosa - Hidrosefalus - Epilepsi - Gangguan jiwa - Buta karena atrofi N.II - Tuli - Kelumpuhan otot yang disarafi N.III, N.IV, N.VI - Hemiparesis5

b. Meningitis purulenta - Efusi subdural - Abses otak - Hidrosefalus - Epilepsi - Paralisi serebri - Ensefalitis - Renjatan septik5

7. Prognosis a. Meningitis serosa Angka kematian pada umumnya 50%. Prognosis jelek pada bayi dan orang tua. b. Meningitis purulenta Bergantung pada: 1. Umur 2. Kuman penyebab 3. Lama penyakit sebelum diberikan antibiotik 4. Jenis dan dosis antibiotik yang diberikan 5. Penyakit yang menjadi faktor predisposisi5

D. Ensefalitis 1. Definisi Ensefalitis adalah suau proses inflamasi akut pada jaringan otak. Proses peradangan ini jarang terbatas pada otak saja, tetapi hamppir selalu mengenai selaput otak sehingga beberapa ahli sering menggunankan istilah meningoensefalitis.7 2. Etiologi Penyebab yang paling sering pada ensepfalitis adalah infeksi virus, namun pada kasus yang sangat jarang ensefalitis bisa disebkan oleh parasit, bakteri atau karena komplikasi ddari penyakit infeksi lainnya. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus herpes simpleks (31%), yang disusul oleh virus ECHO (17%), arbovirus enterovirus, rhabdovirus.7 3. Epidemiologi Studi epidemiologi memperkirakan insiden terjadinya ensefalitis virus 3,5-7,4 per 100.000 orang setiap tahun. The centres for diseases control and prevention (CDC) memperirakan sedikitnya terdapat 20.000 kasus baru ensefalitis di amerika serikat. Penyebab kasus endemik ensefalitis virus di AS adalah hsv dan rabies. Ensefalitis HSV adaalah jenis ensefalitis virus yang sering terjadi degan insiden sebanyak 2 kasus per 1 juta populasi setiap tahunnya dan 10 % kasus dari semua ensefalitis yang ada di AS. Ensefalitis arbovirus bisa terjadi 150-3000 kasus setiap tahun, tergantung pada banyaknya penularan epidemi.7

4. Patogenesis Ensefalitis dapat bermanifestasi secara cepat begitu terjadi infeksi virus atau baru berkembang ketika virus yang mulanya dalam bentuk dormant tiba-tiba menjadi reaktif. Virus sangat sederhana, namun memiliki kemampuan menginfeksi yang kuat. Virus menginfeksi sel hospes dengan mempenetrasi membran sel lalu memasukkan material genetiknya ke dalam sel (DNA dan RNA virus). DNA atau RNA virus mengambil alih kontrol berbagai proses penting dalam sel, memerintahkan sel untuk memproduksi lebih banyak virus. Kemudian sel ruptur terlepaslah partikel-partikel virus baru yang akan menginfeksi sel lainnya. Terdapat 2 mekanisme bagaimana virus dapat menginfeksi sel otak. 1. Virus menginvasi tubuh seceara perlahan. Tidak ada gejala khas yang timbul. Virus di bawa melalui aliran darah menuju sel saraf otak, selanjutnya akan berkumpul dan menggandakan diri. Virus yang memasuki otak dalam hal ini biasanya menyebar secara luas ke dalam otak, ensefalitis difusa. 2. Virus yang menginfeksi jaringan lain dahulu lalu menginvasi sel otak, biasaya menyebabkan infeksi lokal. Infeksi lokal tersebut akan mengakibatkan kerusakan berat hanya pada area kecil di otak. HSV-1 merupakan virus penyebab ensefalitis akut sporadik tersering. Manusia mendapatkan infeksi virus herpes simpleks ini dari sesamanya. Virus ini ditransmisikan dari seseorang yang terinfeksi ke orang lain yang rentan melalui kontak personal. Virus kontak perlu kontak dengan permukaan mukosa atau kulit yang terkelupas untuk memulai infeksi. Infeksi primer HSV-1 biasanya terjadi pada mukosa orofaring dan tanpa gejala. Gejala dari penyakit tersebut ditandai dengan demam, nyeri, dan ketidakmampuan menelan karena lesi pada mukosa buccal dan gingival. Durasi penyakit selama 2-3 minggu. Setelah infeksi primer, HSV-1 ditransportasikan ke SSP melalui aliran retrograde akson virus dalam percabangan akson N Trigeminus. Gangglion trigeminal akan dikuasai, dan virus membentuk infeksi laten dalam gangglion. Reaktivasi infeksi laten gangglion disertai replikasi virus akan menimbulkan ensefalitis, serta infeksi pada korteks temporal dan struktur sistem limbik. Ensefalitis HSV-1 kemungkinan juga hasil dari infeksi primer yang berasal dari inokulasi intranasal virus, dengan invasi langsung pada bulbul olfaktorius dan menyebar via alur olfaktorius menuju orbitofrontal dan lobus temporal. Apakah infeksi merupakan

akibat reaktifasi atau infeksi primer, inflamasi dan lesi nekrotik terlihat pada lobus temporal medial dan inferior, kortek orbitofrontal, serta strutur limbik. Arthropod-borned virus (arbovirus) diinokulasikan ke dalam hospes secara subkutan melalui gigitan nyamuk atau kutu dan mengalami replikasi lokal di kulit. Viremia akan mengikuti dan jika terdapat inokulasi virus yang cukup luas, invasi dan infeksi SSP terjadi. Sebagian besar arbovirus kecil dan lebih kurang efisien dibersihkan daripada mikroorganisme lain oleh sistem retikuloendotelial. Infeksi awal SSP oleh arbovirus tampak terjadi melalui sel endotel kapiler serebral dengan infeksi berurutan dari neuron-neuron. Virus juga dapat menyebar dari pleksus koroid menuju CSF intraventrikular dan menginfeksi sel ependim ventrikular secara berurutan menyebar ke jaringan subependimal periventrikular otak. Virus menyebar dari satu sel ke sel lain secara tipikal sepanjang dendrit atau prosesus akson. Ensefalitis arboviral adalah penyakit perimer dari korteks gray-matter dan batan otak serta nuklei talamikus. Kemungkinan juga ada inflamasi meningeal ringan, eksdudat terdii atas limfosit, polimorfonuklear leukosit, sel plasma, dan mkrofag. Ensefalitis japanese virus, west nile virus dan eastern equine ensefalitis memiliki predileksi khusus pada gangglia basalis. Neuroimaging menjadi bukti terdapat keterlibatan gangglia basalis dan talami dapat sangat membantu membedakan ensefalitis arbovirus dan ensefalitis virus herpes simpleks. Patofisiologi ensefalitis virus bervariasi tergantung pada familia virus yang menyebabkan infeksi. Virus memasuki SSP dari dua rute yang berbeda: penyebaran hematogen atau penyebaran retrograde neuronal. Penyebaran hematogen adalah alur yang sangat sering. Manusia biasanya merupakan hospes terminal insidental pada banyak virus ensefalitis. Ensefalitis arbovirus sejenis zoonosis, dengan kemampuan bertahan hidupnya dalam siklus infeksi terkait gigitan antropoda dan bermacam vertebrata terutama burung dan tikus. Viremia transien menimbulka pertumbuhan virus pada sistem retikuloendotelial dan otot. Setelah replikasi seara terus menerus, viremia sekunder menimbulkan penyebaran virus pada tempat lain termasuk SSP. Pada kasus yang mematikan, perubahan histopatologis kecil diketahui di luar saraf pusat. Bentuk lain penyebaran ke SSP melalui retrograde neural. Rabies biasanya menyebar ke SSP melalui saraf perifer secara retrograde. Virus rabies cenderung memperlihatkan predileksi pada lobus temporal, memengaruhi Ammon hors. Satu rute yang memungkinkn penyebaran HSV ke SSP ialah melalui traktus olfaktorius. Ensefalitis virus herpes pada bayi sebagian perluasan infeksinya dengan memproduksi lesi nekrotik fokal dengan tipikal inclusion intranuklear pada banyak organ. Pada orag dewasa dan beberapa anak, lesi terbatas

pada otak. Virus herpes memiliki predileksi pada korteks tempporal dan pons, tapi lesinya bisa saja menyebar luas.

5. Gejala Klinis Tanda yang utamanya muncul pada akut viral ensefalitis ialah demam, nyeri kepala, dan perubahan tingkat kesadaran. Tanda lainnya ialah fotofobia, bingung, dan kadang disertai kejang. Meningitis kadangkala tejadi pada ensefalitis sehingga kekakuan leher dapat muncul sebagai gejala tambahan dari ensefalitis Beberapa kasus ensefalitis dengan perantaraan serangga dapat tidak menunjukkan gejalagejala ensefalitis. Gejala yang nampak berupa sedikit demam, mengantuk, gejala mirip flu, malaise, dan mialgia. Kadang diikuti nyeri kepala, muntah dan sensitivitas terhadap cahaya. Beberapa virus dapat berefek pada beberapa area spesifik otak, termasuk gangguan berbicara, pergerakan, dan perubahan tingkah laku (kepribadian). Hal ini tergantung pada bagian otak yang terkena. Ensefalitis herpes simpleks dikenal dapat memberikan tambahan gejala berupa demam, nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan kebingungan. Gejala lainnya antara lain kejang, kesulitan berbicara ketidakmampuan menggerakkan satu sisi tubuh, hilang ingatan dan perubahan tingkah laku.7

6. Diagnosis Dalam banyak kasus, gejala ensefalitis yang terlalu mirip. Tujuan utama dalam mendiagnosis ensefalitis virus adalah untuk menentukan apakah itu disebabkan oleh:

Arbovirus atau virus lainnya yang bisa dikelola hanya oleh gejala menghilangkan Herpes simpleks atau kondisi lain yang berpotensi dapat diobati

Pemeriksaan yang dibutuhkan : - Teknik pencitraan Jika dokter mencurigai ensefalitis, teknik pemindaian sering diambil sebagai langkah diagnostik pertama. Computerized tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) scan dapat menunjukkan tingkat peradangan di otak dan membantu membedakan ensefalitis dari kondisi lain. MRI dianjurkan selama CT scan karena mereka dapat mendeteksi cedera di bagian otak yang menunjukkan infeksi virus herpes pada awal penyakit, sedangkan CT scan tidak bisa.

Electroencephalogram (EEG), yang merekam gelombang otak, dapat mengungkapkan kelainan di lobus temporal yang menunjukkan ensefalitis herpes simplex.

- Cairan serebrospinal Tes Ketika ensefalitis dicurigai, sampel cairan cerebrospinal diambil menggunakan pungsi lumbal, yang melibatkan memasukkan jarum antara dua tulang di belakang pasien yang lebih rendah. Sampel diambil untuk menghitung sel darah putih dan mengidentifikasi jenis sel darah tertentu, untuk mengukur protein dan kadar gula darah, dan untuk menentukan tekanan cairan tulang belakang. Cairan serebrospinal digunakan untuk menguji virus herpes simpleks, virus Epstein-Barr, virus varicella-zoster, enterovirus, dan untuk mencari adanya antibodi terhadap virus West Nile. Selain untuk mendiagsis, digunakan juga sebagai petanda sejauh mana perjalanan penyakit.

- Darah Tes Tes darah digunakan untuk menguji untuk virus West Nile dan infeksi arbovirus lainnya.

- Otak Biopsi Jika perlu, sampel kecil jaringan otak pembedahan untuk pemeriksaan dan pengujian untuk kehadiran virus. Jaringan ini disusun dengan menggunakan teknik pewarnaan dan kemudian dilihat di bawah mikroskop elektron. Dalam beberapa kasus, virus dalam sel-sel otak dibuat kultur. Biopsi otak adalah standar emas untuk mendiagnosa rabies.8 7. Terapi Viral ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi virus, tidak memerlukan pemberian antibiotik. Selain ensefalitis herpes simpleks dan varicella-zoster, bentuk ensefalitis viral yang lain tidak berespons terhadap pengobatan. Sementara itu, vaksin yang tersedia saat ini hanya untuk ensefalitis Japanese. Panduan klinis merekomendasikan pemberian obat antiviral acyclovir intravena secepatnya tanpa perlu menunggu penentuan penyebab penyakit. Antikejang diberikan untuk mengontrol kejang. Terapi obat tergantung pada penyebab ensefalitis. Obat antiviral untuk penyebab spesifik, seperti yang tercantum pada tabel 1. Terapi tambahan lain berfungsi untuk membantu mengurangi gejala berupa :

Kejang yang diatasi dengan obat anti kejang Kejang diterapi dengan lorazapam intravena (ativan) Sedatif dapat diresepkan jika terdapat iritabilitas atau gelisah Antinyeri digunakan untuk demam dan nyeri kepala Jika keadaan pasien sudah stabil, terapi selanjutnya hanya menjaga kepala tetap elevasi dan mengawasi kondisi pasien.

Tabel 1. Terapi antimikroba pada ensefalitis virus


Organisme Antimikroba dan dosisnya

Herpes simpleks Sensitif terhadap asiklovir Resisten terhadap asiklovir Varisella zoster Epstein barrr Cytomegalovirus Asiklovir 10 mg/kg setiap 8 jam selama 3 minggu Foscamet 60mg/kg setiap 8 jam selama 3 minggu Asiklovir 10 mg/kg setiap 8 jam selama minimum 2 minggu Asiklovir 10 mg/kg setiap 8 jam Terapi induksi (2-3 minggu) Gansiklovir 5 mg/kg setiap 12 jam Foscarmet 60mg/kg setiap 8 jam Terapi pemeliharaan Gansiklovir 5 mg/kg setiap hari Foscarmet 60-120 mg/kg sehari HHV, variant A HHV, variant B Rocky mountain spotted fever Foscarmet 60mg/kg setiap 8 jam Foscarmet atau gansiklovir 5mg/kg setiap 12 jam Doxycycline 100 mg setiap 12 jam

Belum ada satupun obat yang efektif dalam mengobati arbovirus, termasuk West Nile virus.7

8. Prognosis Dalam kebanyakan kasus infeksi arbovirus, gejala yang ringan, terakhir 3 - 5 hari, dan sembuh tanpa menjadi serius. Bahkan hanya nampak sebagai flu ringan. Prognosis untuk Ensefalitis berat tergantung pada banyak faktor :

Usia pasien - hasil buruk bagi bayi di bawah usia 12 bulan dan orang dewasa di atas usia 55

Immune Status Yang sudah ada sebelumnya kondisi neurologis Virulensi virus.8

Anda mungkin juga menyukai