Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
CONTOH HIKAYAT
merangkaibunga di teras istana. Mengetahui hal itu, raja menjadi sangat sedih. Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu! kata sang raja. Raja memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda itu tak pernah ditemukannya. Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku yang berwarna kuning, kata Puteri Kuning dengan lemah lembut. Yang penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah, ucapnya lagi. Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak- kakaknya berdatangan. Mereka ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya. Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku adalah Puteri Hijau! katanya dengan perasaan iri. Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu, sahut Puteri Kuning. Mendengarnya, Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara- saudaranya dan menghasut mereka. Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya berbuat baik! kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk merampas kalung itu. Tak lama kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak- kakaknya menangkapnya dan memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut menyebabkan Puteri Kuning meninggal. Astaga! Kita harus menguburnya! seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut mengubur kalung batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi. Sewaktu raja mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi. Kakak-kakaknya pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah. Hai para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning! teriaknya. Tentu saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan- bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. Aku ini ayah yang buruk, katanya. Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar dan mengasah budi pekerti! Maka ia pun mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih memikirkan Puteri Kuning yang hilang tak berbekas. Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran melihatnya. Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.! kata raja dengan senang. Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan, bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut. Batangnya dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan kebaikan.
CONTOH MITOS
(2) semua Bupati pesisir utara Jawa, sebelum mulai berfungsi, harus bersumpah setia kepada VOC. Itulah angka tahun ketika kerajaan Jawa secara definitif kehilangan kekuasaan nya atas laut utara. Dan tahun itu (1743), kira kira hanya selang dua dasawarsa saja dari "Babad Karangbolong". Oleh karenanya sejak itu, orang mengadakan selamatan dan upacara, setiap kali sebelum turun ke gua, untuk mengutip sarang burung. Selamatan dan upacara yang dipersembah kan bagi Dewi Lampet. Upacara ini disertai dengan pergelaran wayang kulit yang mengambil lakon "Dewi Lampet", sebuah nama dan versi lain dari tokoh Dewi Laut Selatan yang satu itu juga: Nyai Lara Kidul (baca: "Histoire de Dewi Lampet: Le Mythe de la Deesse de la Mer du Sud a Karang Bolong" , Claude Guillot; Archipel 24/1982; hal. 101-06). Tapi semuanya itu tentu tidak berarti bahwa mitos Lara Kidul ini mulai (di)timbul(kan) pada sekitar tahun tahun tersebut. Jauh jauh hari pada senja riwayat Kerajaan Demak, wawasan tentang keadaan dan pengarahan politik telah dibisik kan Sunan Kalijaga kepada Mas Karebet alias Jaka Tingkir, kelak Sultan Adiwijaya di Pajang. Tanpa menyebut masalah armada dagang berikut ancaman meriam meriam Spanyol, Portugis, Belanda dan Gujarat di laut utara [tapi wali yang arif ini pasti mencatat di ingatan nya dua kali pengalaman kekalahan Pati Unus di Malaka], diperintah nya Karebet: pertama, agar tidak mempertahankan Demak, tapi membangun pusat bakal kerajaan nya di pedalaman; dan kedua, agar kerajaan nya kelak tidak bersandar pada para "dagang layar" di laut, tapi pada kaum "among tani". (baca: Atmodarminto, Babad Demak Jarwa, Penerbit "Pesat" 1954). "Carilah bakal pusat kerajaan mu itu di dekat Prambanan, di pinggir Kali Kuning sana!" Begitu kira kira nasihat Kalijaga pada Mas Karebet. Tinggal kan Laut Utara, mundur dan masuk ke pedalaman. "Arus sudah berbalik!" Kata Pramudya Ananta Toer. Revaluasi atas wawasan situasi objektif, yang meninggalkan konsep wawasan nusantara bahari, diuji penjabaran nya terutama oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (1612-45). Tapi ternyata mengalami kegagalan. Dua kali ekspedisi ke Betawi dikirim (1628 dan 1629), dua kali pula gagal. Bukan saja sama sama dedel duwel dengan VOC di Betawi (konon J.P. Coen berhasil dipenggal kepalanya oleh lasykar Mataram?), tapi juga harus menghadapi pemberontakan "golongan ketiga" yang sedang tumbuh di pedalaman Mataram. Pemicu pemberontakan ini, agaknya, jika kita mencermati dongeng rakyat "Pranacita Rara Mendut", akibat semacam "krismon" yang dicoba hendak diatasi dengan (karena belum ada IMF!) politik perpajakan. Begitu juga oleh sabotase besar besaran dari para "bupati pesisir", sepanjang barat Semarang sampai Rengasdengklok. Sayang "benang merah" tutur Jawa ini kurang diangkat, baik oleh YB. Mangunwijaya maupun oleh Ami Prijono, masing masing dalam novel dan film nya tentang Rara Mendut. Lahir dari konsep defensif G.J.Resink benar, mensinyalir mitos Lara Kidul ini, dengan menghubungkan nya dengan armada armada Spanyol, Portugis dan Belanda yang dalam masa itu sudah malang melintang di Laut Jawa ("Mers Javanaises"; Archipel 24/1982, hal. 97-100). Namun demikian ini tentu saja tidak berarti, bahwa kepercayaan pada ruh penguasa laut belum ada di Jawa sebelum masa itu. Sebutan "nyai" itu sendiri, bentuk feminin untuk "kyai", sejenis honorefik prefiks bagi orang tua yang dimuliakan, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Termasuk dalam yang akhir ini, terutama yaitu arwah "bahureksa" yang di lain tempat disebut "pamali" (Buru), "danyang" (tentu dari "da" dan "hyang"), dan lain lain. Nyai Lara Kidul konon berparas cantik. Beda dengan Durga (Umayi) atau si Janda dari desa Girah, Calon Arang. Tapi
wataknya? Jelas, tidak pernah melempar senyum barang secercah pada "kawula cilik". "Lampor" nya bikin takut anak anak. Ia juga luar biasa pencemburu pada perempuan tani di desa. Jika gadis gadis desa dan gunung itu, satu kali setahun, pada kesempatan hari raya Lebaran ingin bergembira ria di laut, bukan main banyak pantangan mereka. Tidak boleh berbaju warna "gadung", "gadung melati", "jingga", dan sebagainya; tidak boleh berkain "poleng alit", "teluh watu" dan semacam nya. Juga pada penduduk desa umumnya. Ini terjadi sangat hebat, misalnya, di sekitar tahun 1956. Dihamuk nya rakyat Gunungkidul yang miskin tak berdaya itu. Gelombang Laut Selatan bergulung gulung menghempas pantai, sambil melepas berjuta juta balatentara yang berupa tikus tikus. Dan dimangsanya segala apa saja. Bukan saja tumbuhan dan hasil bumi, bahkan ternak dan bayi anak anak manusia juga dimakan. Lalu, sekali lagi terjadi pada tahun 1946. Ketika itu Nyai Lara Kidul memerlukan tambahan balatentara, guna memerangi tentara Nica yang musuh Mataram, dan juga musuh Republik. Maka untuk rekrutering balatentara lelembut itu, dibunuhinya rakyat dengan menyebar wabah pes tanpa pardon!.