Anda di halaman 1dari 32

Peranan musik dalam mengurangi kecemasan anak selama perawatan gigi

Soesilo Soeparmin, I Kt. Suarjaya, Melati Purwakaning Tyas


Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK Kecemasan anak pada perawatan gigi dapat menimbulkan sikap yang tidak kooperatif sehingga akan menghambat proses perawatan gigi. Maka diperlukan pendekatan untuk mengatasi kecemasan anak. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan distraksi pendengaran. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme musik dapat mengurangi kecemasan anak selama perawatan gigi. Musik dapat merangsang pengeluaran gamma amino butyric acid (GABA), enkephalin, dan beta endorphin. Zat zat tersebut memberikan efek analgesia, menenangkan, dan menyenangkan. Musik yang dianjurkan adalah musik klasik karena memberikan efek relaksasi yang optimal. Musik merupakan cara termudah untuk mengalihkan perhatian anak khususnya anak usia 8-10 tahun sehingga dapat mengurangi kecemasan, dan diharapkan anak dapat bersikap kooperatif selama perawatan gigi. Kata Kunci : Musik, kecemasan anak, perawatan gigi anak. Korespondensi : Soesilo Soeparmin, Bagian Pedodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Masalah kesehatan gigi anak di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Banyak orang tua yang berpendapat bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat, sehingga mereka tidak tahu bahwa akan banyak akibat yang terjadi bila gigi sulung tidak dirawat dengan baik. Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk memperetahankan gigi sulung, salah satunya adalah melakukan perawatan rutin ke dokter gigi. Namun perawatan gigi seringkali menimbulkan kecemasan pada anak Kecemasan anak selama perawatan gigi dapat menyebabkan anak bersikap tidak kooperatif sehingga hal ini dapat menghambat proses perawatan.1,2,3 Pengelolaan tingkah laku yang tepat diperlukan untuk mengatasi kecemasan anak terhadap perawatan gigi. Berbagai cara penanganan tingkah laku anak antara lain melalui pendekatan komunikasi, modeling, tell-show-do, home, dan distraksi. Pendekatan secara distraksi merupakan salah satu pengelolaan tingkah laku yang dapat mengurangi rasa takut dengan cara mengalihkan perhatian dari sesuatu yang tidak menyenangkan kepada hal hal lain yang lebih menyenangkan. Salah satu bentuk distraksi adalah mendengarkan musik dan dapat dikatakan bahwa stimulus audio dengan musik dapat memberikan efek analgesia. Maka itu musik juga dapat dipakai selama perawatan gigi anak untuk mengurangi kecemasan anak.2,4 Maka yang menjadi masalah bagaimanakah mekanisme musik dalam mengurangi kecemasan anak selama perawatan gigi. Kajian pustaka ini bertujuan untuk menelaah peranan musik dalam mengurangi kecemasan anak selama perawatan gigi. PERAWATAN GIGI ANAK Banyak yang mengeluhkan bahwa perawatan gigi anak terlebih pada balita, sulit dan memerlukan banyak waktu. Keluhan tersebut dapat dimengerti karena sebagian besar anak terkadang tidak mau diperiksa giginya.5 Pentingnya mempertahankan gigi sulung, mengharuskan orang tua dapat berperan aktif dalam menjaga kesehatan rongga mulut anak. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah melakukan kunjungan rutin ke dokter gigi. Usia ideal untuk memulai kunjungan ke dokter gigi adalah 2-3 tahun. Manfaat memperkenalkan anak ke dokter gigi di usia dini adalah untuk mendapatkan pencegahan dini terhadap kebiasaan yang dapat merusak gigi dan mendapatkan pendidikan kesehatan gigi sehingga tercipta kesadaran pada anak akan pentingnya menjaga kesehatan rongga mulut.6,7,8 Karies merupakan faktor utama penyebab kehilangan gigi pada anak. Pemicunya adalah kombinasi faktor jenis makanan anak, lamanya sisa makanan berada dalam mulut, dan cara perawatan gigi anak. Biasanya anak hanya akan dibawa ke dokter gigi ketika mengeluh sakit gigi, boleh dipastikan bahwa gigi anak berlubang bahkan sudah cukup dalam. Untuk perawatan karies dengan diagnosa iritasi pulpa dan hiperemi pulpa biasanya hanya dilakukan penambalan menggunakan amalgam, komposit atau ionomer kaca. Penambalan dengan ionomer kaca baik untuk gigi sulung karena saat preparasi tidak perlu dibuatkan retensi yang sempurna, sehingga saat preparasi penggunaan bur

terbatas hanya pada pengambilan jaringan kariesnya saja. Pada karies yang lebih dalam bila tidak dapat dilakukan pulp capping maka dapat dipilihkan perawatan endodonti seperti pulpotomi atau pulpektomi. Pada pasien dengan karies pada gigi yang masih vital, bila tidak dapat dilakukan pulpektomi dikarenakan pasien tidak dapat menerima anestesi, maka dapat dilakukan mummifikasi. Namun bila gigi anak tidak dapat dipertahankan dan harus dicabut sebelum gigi tetapnya erupsi, maka setelah pencabutan dapat dilakukan space maintainer, tujuannya adalah untuk menjaga agar tidak terjadi penyempitan ruang. Bila sudah terjadi penyempitan ruang karena pencabutan dini sebaiknya digunakan space regainer.1,5,8 KECEMASAN Kecemasan berasal dari kata cemas yang artinya khawatir, gelisah, dan takut. Kecemasan juga dapat didefinisikan sebagai suatu kekhawatiran atau ketegangan yang berasal dari sumber yang tidak diketahui. Dalam hal ini kecemasan pada anak dapat dimaksudkan sebagai rasa takut terhadap perawatan gigi. Hal ini merupakan hambatan bagi dokter gigi.2 Banyak hal yang dapat menyebabkan timbulnya kecemasan atau rasa takut anak terhadap perawatan gigi, antara lain : a) pengalaman negatif selama kunjungan ke dokter gigi sebelumnya, b) kesan negatif dari perawatan gigi yang di dapatkan dari pengalaman keluarga atau temannya, c) perasaan yang asing selama perawatan gigi misalnya penggunaan sarung tangan latex, masker dan pelindung mata oleh dokter gigi, d) merasa diejek atau disalahkan oleh karena keadaan kesehatan rongga mulut yang tidak baik, e) bunyi dari alat alat kedokteran gigi yang sangat memilukan, misalnya bunyi bur, ultra skeler, dll, f) kecemasan yang tidak diketahui penyebabnya.4 Kecemasan atau rasa takut pada anak merupakan suatu keadaan yang multifaktorial. Kecemasan terhadap perawatan gigi seringkali dinyatakan dengan penolakan perawatan gigi atau ketakutan terhadap dokter gigi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa mereka secara tidak langsung mempunyai peranan dalam mewujudkan tingkah laku anak. Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua ketika berencana membawa anak ke praktek dokter gigi, yaitu jangan membawa anak anak ke dokter gigi ketika mendekati waktu tidurnya, karena anak akan merasa mengantuk, lekas marah, dan sulit kooperatif. Jangan menunggu sampai gigi anak sakit, bawalah mereka ke dokter gigi sebelum giginya sakit. Sehingga kunjungan dapat dijadikan sebagai perjalanan yang menyenangkan. Jangan menjadikan kunjungan sebagai hukuman karena hal tersebut akan membuat anak berfikir negatif terhadap dokter gigi. Selain itu orang tua juga berperan untuk tidak membiarkan anak mendengarkan cerita yang menakutkan tentang perawatan gigi, hal ini dapat menyebabkan anak merasa cemas bila akan mengunjungi dokter gigi.4,8 Dalam penanganan kecemasan pada anak, dokter gigi memerlukan suatu pemahaman terhadap perkembangan anak dan rasa takut yang berkaitan dengan usia, penanganan pada kunjungan pertama, dan pendekatan selama perawatan. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan oleh dokter gigi dalam pengelolaan tingkah laku anak, antara lain: a) komunikasi, pengaturan suara dalam berkomunikasi dapat mempengaruhi perhatian anak; b) modeling, dilakukan dengan cara mengajak anak mengamati anak lain, hal ini bertujuan agar anak dapat bersikap kooperatif seperti yang ditunjukkan oleh model; c) tell-show-do, suatu cara pendekatan yang berurutan, dokter terlebih dahulu memberikan penjelasan tentang apa yang akan dilakukan pada anak, selanjutnya dokter memperkenalkan instrumen yang akan digunakan selama perawatan gigi, kemudian dokter melakukan prosedur sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dan diperlihatkan pada anak, d) HOME (Hand Over Mouth Exercise), tehnik ini hanya digunakan sebagai usaha terakhir bila usaha-usaha lain tidak memberikan hasil, e) distraksi, pada tehnik ini dilakukan pengalihan dari hal yang tidak menyenangkan ke stimulus lain, distraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain Visual distraction, Auditory distraction, Tactil kinesthetic distraction, dan Project distraction.4,9,10 PERANAN MUSIK Musik merupakan sebuah rangsangan pendengaran yang terorganisir yang terdiri dari melodi, ritme dan harmoni. Melodi mempengaruhi tubuh, ritme atau irama mempengaruhi jiwa, sedangkan harmoni mempengaruhi roh. Banyak dari proses kehidupan kita yang berakar dari irama, sebagai contoh, irama detak jantung, pernafasan, sampai berbagai aktivitas otak. Musik dalam bidang kedokteran memiliki hubungan sejarah yang erat dan panjang. Sejak zaman Yunani kuno musik digunakan sebagai sarana untuk meringankan penyakit dan membantu pasien dalam mengatasi emosi yang menyakitkan seperti kecemasan, kesedihan, dan kemarahan.11.12 Ketika musik diaplikasikan sebagai salah satu cara distraksi untuk mengurangi kecemasan, musik dapat memberikan kenyamanan dan relaksasi yang merupakan salah satu cara menurunkan kecemasan psikologis dan prilaku individual yang menunggu perawatan ataupun yang sedang dalam perawatan. Pada saat musik diperdengarkan, musik mampu merangsang pengeluaran gamma amino butric acid (GABA), enkephalin, beta

endorphin. Zat zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia sehingga dapat mengurangi tingkat kecemasan pasien.11,13 Musik sebagai gelombang suara dapat meningkatkan suatu respon seperti peningkatan endorphin yang dapat mempengaruhi suasana hati dan dapat menurunkan kecemasan pasien. Musik memiliki sifat yang universal dan sangat mudah diterima oleh organ pendengaran dan tidak dibatasi pula oleh fungsi intelektual. Maka itu musik sangat mudah digunakan untuk mengalihkan perhatian anak dari hal yang dianggap asing dalam praktek kedokteran gigi. Pada penelitian terdahulu, penggunaan musik selama perawatan gigi dilakukan pada anak usia 8-10 tahun. Anak pada usia tersebut umumnya sudah dapat bekerja sama dan bersikap terbuka pada tindakan medik dan pada usia ini mereka mulai belajar mandiri serta mulai memiliki kegemaran tersendiri, termasuk memiliki jenis musik yang disukainya, karena efek musik dalam mengurangi kecemasan ditentukan oleh respon tiap individu.2,11,12,14,15 Kita semua memiliki musik favorit dan terpukau akan efek yang ditimbulkannya. Beberapa jenis musik dan efek yang ditimbulkannya antara lain: lagu-lagu Gregorian, menggunakan ritme pernapasan alamiah untuk menciptakan perasaan lapang dan santai; Jazz, blues, Dixieland, soul, calypso, reggae dan jenis musik dansa lain memberi ilham yang membawa pada kecerdasan sekaligus melepaskan rasa gembira maupun sedih yang mendalam; musik rock dari Elvis Presley, Rolling Stone, dan Michael Jakcson dapat menggugah nafsu, merangsang gerakan aktif, melepas ketegangan dan menutupi rasa sakit; musik klasik memiliki kejernihan keanggunan, dan kebeningan, musik ini mampu memperbaiki konsentrasi, ingatan, dan persepsi; musik romantik menekankan ekspresi dan perasaan, seringkali memunculkan tematema individualisme, nasionalisme, atau mistisme, musik semacam ini paling baik digunakan untuk meningkatkan simpati, rasa sependeritaan, dan kasih saying; musik heavy, metal, punk, rap, hip hop, dan grunge dapat menggugah system saraf, menjurus pada prilaku dinamis maupun pengungkapan diri.14 Pada dasarnya semua jenis musik sebenarnya dapat digunakan dalam usaha menurunkan kecemasan anak. Seringkali dianjurkan memilih musik relaksasi dengan tempo sekitar 60 ketukan/menit, sehingga didapatkan keadaan istirahat yang optimal. Musik klasik sering menjadi acuan karena berirama tenang dan mengalun lembut. Pemilihan musik klasik lebih didasarkan pada keyakinan banyak ahli bahwa irama dan tempo kebanyakan musik klasik mengikuti kecepatan detak jantung manusia yaitu sekitar 60 detak/menit.12,16 PEMBAHASAN Dalam merawat gigi anak perlu kita ketahui perkembangan psikologisnya sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat dan dapat mengetahui reaksi anak selama perawatan gigi. Kebanyakan anak akan merasa cemas bila akan melakukan kunjungan ke dokter gigi. Kecemasan ini timbul oleh berbagai faktor penyebab. Salah satu penyebab yang sering terjadi dalam praktek kedokteran gigi adalah bunyi bur yang sangat memilukan dan rasa nyeri atau pengalaman yang tidak menyenangkan pada perawatan sebelumnya. Bila kecemasan anak tidak dapat teratasi maka dapat membuat anak menjadi tidak kooperatif selama proses perawatan gigi anak.2,5 Kecemasan pada anak akan meningkatkan rangsang nyeri yang diterima dan akan menyebabkan zat penghambat rasa nyeri tidak disekresi. Banyak pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecemasan anak, salah satu diantaranya adalah tehnik distraksi. Tehnik distraksi adalah suatu pendekatan dengan cara mengalihkan perhatian anak dari sesuatu yang tidak disukai ke hal lain yang lebih menyenangkan. Tehnik distraksi yang efektif pada anak anak antara lain Visual distraction yaitu memfokuskan pada satu subjek seperti menjelaskan sesuatu secara detail, menghitung objek, membaca atau menonton televisi, Auditory distraction yaitu mendengarkan musik, dan mendengarkan cerita, Tactil kinesthetic distraction contohnya memeluk orang yang dicintai, atau memeluk boneka, dan yang terakhir adalah Project distraction yaitu memainkan permainan yang menantang seperti puzzle, computer game dan lain-lain. Pada perawatan gigi anak tehnik Auditory distraction adalah pilihan yang tepat, karena tehnik ini tidak mengganggu proses perawatan dan aplikasinya sangat mudah. Selain itu pada beberapa penelitian terdahulu dikatakan bahwa stimulus audio dengan musik dapat memberikan efek relaksasi dan analgesia.2,9,11,13 Terapi musik sangat efektif digunakan untuk mengurangi kecemasan pada pasien yang akan menjalani prosedur medik termasuk pasien anak, khususnya pada anak usia 8-10 tahun selama perawatan gigi. Kita semua pasti memilki musik favorit, begitu juga dengan anak-anak, mereka juga memiliki musik favorit sendiri yang dapat memberikan rasa senang dan nyaman. Musik pada dasarnya adalah hal yang menyenangkan dan dapat memberikan rasa relaksasi yang menenangkan. Musik adalah bahasa yang mengandung unsure-unsur universal, bahasa yang melintasi batas-batas usia, jenis kelamin, ras, agama, dan kebangsaan.12,13 Sebelum proses perawatan dimulai, pasien anak diberikan kebebasan untuk memilih jenis musik yang disukainya, namun yang sering dianjurkan adalah musik klasik, karena irama dan ketukan yang dihasilkan dari musik klasik sama dengan irama detak jantung manusia, maka musik klasik dapat memberikan efek relaksasi yang optimal. Musik sebagai gelombang suara dapat meningkatkan suatu respon seperti peningkatan endorphin, yang dapat mempengaruhi suasana hati dan dapat menurunkan kecemasan pasien. Ketika musik diperdengarkan, suara diterima

oleh meatus akustikus eksternus sehingga menyebabkan membran timpani bergetar. Getaran-getaran tersebut selanjutnya diteruskan menuju inkus dan stapes, melalui malleus yang terkait pada membran itu. Dengan aksi hidrolik dan mengungkit, energi bunyi diperbesar untuk menggerakkan medium cairan perilimfe dan endolimfe. Setelah itu getaran diteruskan hingga ke organ corti dalam kokhlea dimana getaran diubah dari system konduksi ke system saraf melalui nervus auditorius untuk kemudian diantarkan menuju otak. Impuls pendengaran tersebut, selanjutnya berlanjut ke sistem limbik dan merangsang pengeluaran gamma amino butric acid ( GABA ), enkephalin, beta endorphin. Zat-zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia sehingga dapat mengurangi tingkat kecemasan pasien. Selain itu terdapat penelitian yang mengatakan endorfin dapat mengurangi rasa sakit dan menimbulkan keadaan fly alamiah atau perasaan puncak yaitu rasa yang ditimbulkan karena kegembiraan dan rasa bahagia yang dihasilkan dari mendengarkan musik tertentu.11,14,15 Banyak dari proses kehidupan kita yang berakar dari irama, sebagai contoh, pernafasan, detak jantung, dan pulsasi. Pada keadaan cemas, denyut jantung dan tekanan darah akan meningkat hal ini sangat berbahaya karena akan memperberat sistem kardiovaskuler dan meningkatkan kebutuhan akan oksigen dan kerja jantung. Pemberian fasilitas musik pada pasien yang mengalami kecemasan, menunjukkan penurunan denyut jantung, tingkat respirasi dan tingkat kebutuhan oksigen. Musik juga mampu mengurangi persepsi dan pengalaman rasa nyeri sebelumnya sehingga dapat mengalihkan pasien dari rasa nyeri dan bunyi bur yang memilukan.11,16,17 Jika pasien anak telah mendapatkan keadaan rileks sebelum menerima perawatan akan mempermudah jalannya proses perawatan dan diharapkan anak akan bersikap kooperatif selama perawatan berlangsung. Hasil dari sebuah penelitian menyatakan bahwa kecemasan pada anak meningkat saat perawatan gigi tanpa musik, selain itu peningkatan kecemasan saat perawatan gigi pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Namun kecemasan anak berkurang pada perawatan gigi dengan menggunakan fasilitas musik, dan penurunan kecemasan pada anak perempuan lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Anak yang mengalami penurunan kecemasan lebih banyak dibandingkan anak yang mengalami peningkatan kecemasan saat perawatan gigi dengan menggunakan fasilitas musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik memilki efek menguntungkan yang signifikan dalam menanggulangi dan menurunkan tingkat kecemasan pasien anak selama perawatan gigi berlangsung.2,11 SIMPULAN Kecemasan pada anak selama perawatan gigi dapat menyebabkan anak tidak dapat bersikap kooperatif yang akan menghambat proses perawatan gigi anak. Tehnik distraksi pendengaran merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi kecemasan anak, khususnya usia 8-10 tahun dengan menggunakan fasilitas musik. Musik dapat merangsang pengeluaran gamma amino butryric acid (GABA), enkephalin, dan beta endorphin yang memberikan efek analgesia, kenyamanan, dan ketenangan. Musik yang dianjurkan adalah musik klasik karena dapat memberikan efek relaksasi yang optimal. Musik diharapkan dapat mengurangi kecemasan anak, sehingga anak dapat bersikap kooperatif selama perawatan gigi. DAFTAR PUSTAKA 1. Andajani, L. Mengapa gigi sulung harus dirawat. J Kedokteran Gigi PDGI 2000; 50(1): 52-5. 2. Latifa W, Soemartono SH, Sutadi H. Pengaruh musik terhadap perubahan kecemasan dalam perawatan gigi anak usia 8-10 tahun. JITEKGI 2006; 3(3): 125-28. 3. Pratiw D. Gigi sehat : merawat gigi sehari-hari. Jakarta: Kompas, 2007: 8-11. 4. Soeparmin S, Suarjaya, Antara W. Rasa takut anak dalam perawatan gigi. J Kedokteran Gigi Mahasaraswati 2004; 2(1): 30-4. 5. Suwelo IS. Penanggulangan pelayanan kesehatan gigi anak dalam menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang. J PDGI 1997; 46(2): 35-43. 6. Alyamom. Perawatan gigi anak. [Homepage of Ayahbunda-online]. December 7, 2007. Available from: http//www.mail-archive.com.html. Accessed July 22, 2008. 7. Kemp J, Walters C. Gigi Si Kecil : cara menjaga kesehatan gigi dan gusi anak. Rudijanto (penterjemah), Jakarta: Erlangga, 2004: 28-9, 32. 8. Srigupta AA. Panduan Singkat Perawatan Gigi dan Mulut. Masrudi I (penterjemah), Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2004: 46-9. 9. Qittun. Tehnik distraksi. Available from: http//qittun.blogspot.com. Accessed Nov 29, 2008. 10. Winddyasih. Tindakan non invasif penatalaksanaan nyeri. September 26, 2008. Available from: http//widdyasih. wordpress.com. Accessed Nov 25, 2008. 11. Prasetyo EP. Peran musik sebagai fasilitas dalam praktek dokter gigi untuk mengurangi kecemasan pasien. Available from: www.journal.Unair.ac.id. Accessed Nov 25, 2008.

12. Turana Y. Stress, hipertensi dan terapi musik. November 28, 2004. Available from: http//www.medikaholistik. com. Accessed Nov 25, 2008. 13. Adronafis H. Terapi musik mampu hilangkan depresi. July 3, 2008. Available from: http//www.wikimu.com. Accessed Nov 25, 2008. 14. Campbell D. Efek Mozart : memanfaatkan kekuatan musik untuk mempertajam pikiran, meningkatkan kreatifitas dan menyehatkan tubuh. Hermaya T (penterjemah), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002: 38, 878, 96-8. 15. Pearce EC. Anatomi dan fisiologi untuk paramedic. Handoyo S (penterjemah), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004: 329. 16. Yuanitasari L. Terapi musik untuk anak balita. Yogyakarta: Cemerlang Publishing, 2008: 40-9,105. 17. Halim S. Efek mozart dan terapi dalam dunia kesehatan. January, 2003. Available from: http//www.tempointeraktif.com/medika/arsip/htm. Accessed Juli 29, 2008.

Peran epstein-barr virus pada squamous cell carcinoma (SCC)


M. Taha Maruf
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK Squamous cell carcinoma (SCC) merupakan salah satu tumor ganas yang sering menyerang rongga mulut dan salah satu penyebabnya adalah infeksi Epstein-Barr virus (EBV). Peran EBV terhadap SCC rongga mulut adalah terjadinya mutasi gen p53 dan penghambatan DNA repair sehingga terjadi pembelahan sel tanpa batas. Terjadinya mutasi yang terus menerus tanpa penghentian siklus sel menyebabkan terjadinya proses keganasan. Perencanaan perawatan tergantung hasil biopsi histologi, lokasi, tingkat radiosensitifitasnya, derajat metastasis, umur serta kondisi fisik pasien. Penanggulangan SCC bisa dilakukan dengan tindakan bedah, radiasi, atau kombinasi. Proses patogenesis dimulai dengan terjadinya infeksi EBV melalui saliva yang kemudian berpenetrasi ke dalam mukosa faring. EBV berikatan dengan sel inang melalui reseptor CD21 dan terjadi transport DNA virus ke dalam inti sel. Kata kunci: epstein-barr virus, squamous cell carcinoma. Korespondensi: M. Taha Maruf. Bagian Bedah Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jalan Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Squamous Cell Carcinoma (SCC) merupakan salah satu jenis kanker yang sering dijumpai pada mukosa rongga mulut yang merupakan tumor ganas yang berasal dari sel epitel skuamous.1 Sifat letal dari kanker ini adalah kemampuan untuk menginvasi pada jaringan sekitar, menyebar ke seluruh tubuh dengan cara metastasis pada daerah lain.2 Dari total seluruh kanker rongga mulut, SCC menunjukkan sekitar 4% dari total kaum pria dan 2% pada kaum wanita.3 Lima belas persen dari pasien SCC disebabkan oleh adanya infeksi virus, salah satunya adalah Epstein-Barr Virus (EBV) yang juga terlibat dalam perkembangan dari karsinoma nasopharingeal.4 Infeksi EBV sudah sering terjadi, di Amerika Serikat sekitar 50% anak-anak yang berumur lima tahun dan 95% orang dewasa pernah mengalami infeksi EBV. Kebanyakan dari infeksi yang terjadi memiliki gejala yang hampir sama seperti flu atau demam biasa, tapi terkadang berkembang menjadi keadaan yang lebih parah. Keadaan ini sering disebut dengan infeksi mononukleosis (terdapatnya sel darah putih dengan jumlah yang sangat banyak di dalam aliran darah). Para remaja dan orang dewasa, infeksi mononukleosis biasanya terjadi dengan cara kontak langsung melalui saliva pada saat berciuman.5,6 Organisme yang muncul pada EBV memiliki potensi karsinogenik yaitu mampu mengubah gen suppresor (p53) dan berikatan dengan epitel sehingga terjadi transport DNA virus ke sel epitel.7 Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui peranan Epstein-barr virus pada Squamous Cell Carcinoma. EPSTEIN-BARR VIRUS (EBV) Epstein-barr virus (EBV) adalah bagian dari kelompok virus herpes pada manusia, terdiri dari DNA untai ganda yang tersebar luas pada populasi normal. Sekitar 90% orang dewasa memiliki antibodi terhadap virus ini.8 Virion yang dimiliki EBV berbentuk spherical (bulat menyerupai bola) dan envelope, dengan diameter sekitar 120-220 nm. Pada permukaan virionnya terdapat tonjolan-tonjolan yang menyerupai duri-duri kecil yang menyebabkan tekstur virus ini menjadi kasar (Gambar 1).9

Gambar 1. Epstein-Barr Virus.10

Michael Epstein, Yvonne Barr dan Bert Achong (1964) menemukan EBV di dalam kultur sel pada jaringan Burkitts Lymphoma dengan menggunakan mikroskop elektron dan dikenal juga dengan Human Herpes Virus 4 (HHV-4).10 Pada tahun 1968, EBV ditunjuk sebagai agen penyebab heterophile-positive pada infeksi mononukleosis dan pada tahun 1970, EBV DNA dideteksi dalam jaringan pada pasien dengan nasopharingeal carcinoma. Pada tahun 1980-an, EBV ditemukan berhubungan dengan Hodgkins Lymphoma dan Hairy Leukoplakia pada pasien AIDS. Semenjak saat itu, EBV DNA ditemukan pada jaringan kanker lainnya termasuk T-cell lymphoma dan penyakit Hodgkins.11 Gejala klinis. Sama seperti herpes virus lainnya, EBV juga tinggal di dalam tubuh manusia untuk bertahan hidup. Pada beberapa kasus, EBV bisa menjadi reaktif apabila pertahanan tubuh melemah dan dapat menyebabkan beberapa orang terinfeksi virus ini dua kali atau bahkan juga kambuhan.12 EBV dapat menimbulkan berbagai macam gejala, tergantung dari kekuatan virus dan beberapa faktor lainnya seperti kurangnya pengetahuan masyarakat tentang virus ini. Pada anak yang berumur kurang dari lima tahun, biasanya infeksi tidak menimbulkan gejala; sebaliknya pada orang dewasa dan remaja mungkin terlihat atau mungkin juga tanpa menimbulkan gejala. Periode inkubasi infeksi ini berkisar antara 30 sampai 50 hari.6 Menurut Wholistic Therapy Centre (2007), ada beberapa gejala yang timbul karena infeksi EBV, yaitu: pembengkakan kelenjar di leher, ketiak atau selangkangan; demam yang dimulai dari sedang sampai parah; kelelahan yang terkadang sangat ekstrim; luka dan nyeri pada tenggorokan, menyerupai tonsilitis. Gejala lain yang sering ditemukan pada beberapa pasien adalah: pelebaran tonsil, sakit kepala, nyeri pada otot dan di bagian perut, nafsu makan berkurang, terdapat ruam pada kulit, bengkak pada kelopak mata, peka terhadap cahaya, batuk dan hidung berair, pembesaran hati dan limpa. Tidak semua gejala tersebut dirasakan oleh penderita, biasanya infeksi dimulai dari keadaan sakit seperti umumnya dan kelelahan yang berlangsung beberapa hari sampai seminggu (malaise). Gejala yang tidak jelas ini diikuti dengan terjadinya demam, luka nyeri pada tenggorokan dan pembengkakan nodus limpa. Demam biasanya mencapai puncak pada 1030 F (sekitar 390 C) di sore hari atau menjelang malam. Tenggorokan sering akan terasa sangat sakit, dan bahan menyerupai nanah (pus) mungkin dapat terlihat di tenggorokan. Pada beberapa orang, gejala yang timbul mungkin hanya pembengkakan nodus limpa saja. Pembesaran limpa terjadi pada 50% dari orang-orang dengan infeksi mononukleosis.12 Patogenesis. Patogenesis timbulnya penyakit dimulai dari virus berikatan dengan sel epitel nasofaring yang terinfeksi dan kemudian dengan limfosit B.13 Diduga limfosit terinfeksi dalam perjalanannya melalui jaringan limfatik orofaring yang berdekatan dengan epitel yang terinfeksi. Di dalam limfosit B inilah virus menetap dalam keadaan laten yang tidak pernah mengeluarkan virus yang infeksius. Hanya sebagian kecil virus ini yang berlanjut dan menimbulkan gejala klinis. Perkembangan ini dipengaruhi oleh gabungan berbagai faktor, yaitu umur, status imun, faktor lingkungan, genetik, sosial dan geografis. 14 Diagnosis. Tes antibodi spesifik membantu dalam diagnosis pasien yaitu antibodi heterofil negatif atau dengan gejala yang tidak khas. Antibodi IgM terhadap viral capsid antigen (VCA) terutama bermanfaat untuk diagnosis infeksi akut karena antibodi ini hanya meningkat selama infeksi akut. Antibodi terhadap early antigens (EA) manfaatnya kurang karena dapat meningkat kurang dari 70%. Serokonversi terhadap IgG VCA atau antibodi yang positif terhadap EBV nuclear antigen (EBNA) juga bermanfaat untuk mendiagnosis EBV akut, karena IgG VCA dan antibodi EBNA biasanya menetap seumur hidup. Temuan EBV dari sekret oral bernilai rendah karena virus dapat dilepaskan oleh sebagian besar orang sehat. Cara terbaru, dengan polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA EBV dalam serum atau plasma. Viremia plasma hanya dapat terjadi pada kasus infeksi primer, sedangkan DNA EBV normal tidak ditemukan dalam plasma seorang sehat yang seropositif EBV.14 Perawatan. Perawatan hanya bertujuan untuk mengurangi gejala yaitu antara lain: istirahat yang cukup, mengkonsumsi cairan lebih banyak, berkumur dengan menggunakan air garam atau menghisap obat lozenges untuk mengurangi rasa sakit pada tenggorokan. Untuk mengurangi nyeri dan demam dianjurkan menggunakan asetaminofen atau ibuprofen.12 Pengobatan pada infeksi mononukleosis biasanya dilakukan berdasarkan pada gejala yang dialami. Obat anti inflamasi golongan non-steroid (NSAIDs) dapat digunakan untuk mengurangi demam dan rasa tidak nyaman lainnya. Ada beberapa jenis obat yang dapat menghambat terjadinya replikasi EBV secara in vitro, antara lain: aciclovir, desciclovir, ganciclovir, interferon-alfa, interferon-gamma, adenine arabinoside, dan phosphonoacetic acid. Aciclovir merupakan antivirus yang dapat menghambat penyebaran virus dari orofaring, dan juga merupakan antivirus yang dapat mengobati IM. Agen antivirus aciclovir dapat menghambat replikasi DNA EBV yang selanjutnya akan menghambat DNA polimerase virus. Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa yaitu 5 800 mg/hari secara peroral untuk 10 hari.15 Kombinasi aciclovir intravena dengan prednisolon pernah dicobakan pada kasus-kasus IM berat dan menunjukkan pengurangan lamanya gejala klinik misalnya demam dan perbaikan dalam kesehatan umumnya.14 Penicillin kurang begitu membantu bila terjadi IM, sebab

EBV disebabkan oleh virus sehingga antibiotik tidak mampu melawan virusnya.12 Penggunaan interferon alpha dan infusi dari donor T sel atau EBV-specific cytotoxic T cells, kini masih sedang dipelajari lebih lanjut.15 SQUAMOUS CELL CARCINOMA (SCC) Squamous cell carcinoma merupakan 5% dari seluruh tumor ganas pada tubuh dan 90% dari seluruh keganasan di rongga mulut.17 Histological Typing of Oral and Oropharyngeal Tumours yang diterbitkan oleh WHO menunjukkan bahwa SCC sebagai tumor yang terdiri dari sarang-sarang tidak teratur atau kolum, atau benang-benang sel epitelial ganas yang menginfiltrasi subepitelial. Sel tumor ini mirip dengan lapisan epitelium squamous stratifikasi, ditandai dengan abnormalitas seluler, adanya sel-sel abnormal di seluruh ketebalan epiteliumnya dan terputusnya kontinuitas membran basalis oleh sarang sel-sel abnormal yang meluas sampai ke dalam jaringan ikat di bawahnya.18,19 Seperti halnya dengan karsinoma lainnya, SCC mempunyai sifat mampu menyerang jaringan ikat di bawahnya dan melakukan metastasis ke lokasi yang lebih jauh. Proses invasi dengan cara infiltrasi ke dalam jaringan pembatas, merusak membran basalis, matriks ekstraseluler dan merusak arsitektur jaringan bahkan kadang-kadang fungsi organ juga terganggu.2 Karsinoma muncul sehubungan dengan adanya permukaan kulit pada wajah dan membran mukosa pada rongga mulut, dimana pembentukan sel basal karsinoma berkembang di kulit pada bibir dan wajah. 20 Etiologi. Faktor penyebab yang pasti belum diketahui, namun diduga faktor karsinogen sebagai pemicu untuk meningkatkan resiko terjadinya karsinoma. Faktor penyebab diduga antara lain: 1. Kebiasaan Merokok dan Minum Alkohol. Asap rokok mengandung bahan karsinogen (nitrosamin) dan alkohol menyebabkan rasa panas yang mempengaruhi selaput lendir mulut. Terjadinya rangsangan menahun menyebabkan kerusakan jaringan berulang-ulang sehingga mengganggu keseimbangan sel dan terjadinya displasia.16 Penggunaan cerutu dan rokok dengan pipa menyebabkan resiko yang lebih besar pada perkembangan kanker dibandingkan dengan rokok biasa. Dari seluruh peningkatan resiko perkembangan kanker pada semua regio rongga mulut, merokok dengan pipa memiliki kecenderungan yang khusus mengarah ke SCC pada bibir bawah (Gambar 2). Hubungan antara penggunaan alkohol dan kanker pada manusia telah diteliti sejak tahun 1910, dimana dilaporkan di Paris sekitar 80% pasien dengan karsinoma esofagus adalah seorang peminum berat.3 Individu peminum alkohol yang juga perokok berat akan menyebabkan aksi sinergis untuk merangsang atau mendorong terjadinya kanker mulut.

Gambar 2. Squamous Cell Carcinoma pada bibir. (?)

2.

3.

Makanan dan Status Nutrisi; Vitamin A, D dan E dipercaya dapat digunakan pada perawatan atau pencegahan karsinoma dan kekurangan vitamin A juga vitamin C, Zinc (Zn) dan Selenium dapat mempengaruhi insiden kanker.16,21 Beberapa makanan juga diketahui dapat menyebabkan terjadinya SCC, seperti: telur gosong, berbagai makanan manis dan bertepung yang diproses secara berlebihan, produkproduk asam lemak seperti margarin yang diproses secara hidrogenasi, zat pewarna dan pengawet pada makanan atau minuman, Heterocyclic amine (HCA) yang terdapat pada daging yang digoreng atau dibakar secara berlebihan dalam waktu lama matang, logam berat seperti merkuri yang sering terdapat pada makanan laut tercemar seperti kerang dan ikan.22 Sinar Ultraviolet (UV); Sinar matahari (radiasi ultraviolet) seringkali dianggap sebagai faktor penting, karena bibir bawah biasanya lebih protrusi daripada bibir atas sehingga lebih mudah berkontak dengan radiasi dan karena itu mudah terserang kanker.18 Sinar ultraviolet (UV) juga diketahui sebagai agen karsinogenik yang merupakan faktor signifikan pada basal sel karsinoma dan SCC pada kulit dan bibir (Gambar 3)

Gambar 3. Squamous Cell Carcinoma karena paparan sinar matahari berlebih pada kulit di pelipis.4

4.

5.

6.

Iritasi Kronis, iritasi kronis umumnya juga dapat menyebabkan kanker, seperti trauma mekanis dari gigi tiruan yang tidak pas, tambalan yang pecah, kebersihan mulut yang buruk, restorasi yang tidak tepat dan tepi-tepi gigi yang tajam.18 Infeksi Virus dan Jamur, Infeksi virus dan jamur yang tidak sembuh-sembuh meskipun sudah diobati juga dapat menyebabkan kanker. Jika hal ini terus menerus berlanjut dan dalam jangka waktu yang lama maka akan dapat memicu terjadinya karsinoma.16 Beberapa virus penyebab SCC antara lain Syphillis, EpsteinBarr Virus (EBV), Herpes Simplex Virus (HSV) dan Human Papiloma Virus (HPV). Virus yang ikut bertanggung jawab terhadap karsinogenesis pada manusia termasuk virus EBV.7 Debu Industri, beberapa penelitian menyatakan bahwa kanker terjadi berhubungan dengan beberapa jenis pekerjaan dan adanya pemaparan. Seseorang yang bekerja pada industri logam berat, tekstil atau industri elektronik yang mana terkena paparan asbestos atau debu-debu dari kayu, memiliki resiko peningkatan pada kanker.21 Penelitian lain juga menyebutkan bahwa ada peningkatan resiko terserang kanker mulut pada pekerja yang berkontak dengan debu dari pemintalan kapas kasar dan wool.18

Lokasi. Karsinoma dapat terjadi di setiap tempat dalam mulut, daerah-daerah yang paling umum adalah sepertiga posterior dari tepi lateral lidah dan dasar mulut (Gambar 4). 23

Gambar 4. Squamous Cell Carcinoma pada lidah. (?)

Squamous cell carcinoma umumnya ditemukan di kulit, terutama daerah yang terekspose dan juga dapat terjadi di daerah epitelium. Lokasi paling sering adalah mukosa bukal, lidah, gingiva, palatum, bibir, daerah sublingual dan biasanya muncul sebagai pembengkakan atau ulser. Lokasi SCC di bibir bawah ditemukan 25-30% dari kanker rongga mulut yang kemungkinan disebabkan karena merokok, di lidah ada 20% karena tergigit ataupun iritasi lokal kronik dan sisanya terdapat di pipi (Gambar 5) karena tergigit atau menyuntil (makan sirih).

Gambar 5. Squamous Cell Carcinoma pada pipi.(?)

Macam-macam bentuk kanker rongga mulut, seperti ulserasi, pembesaran papila ataupun leukoplakia terdapat pada gingiva dan palatum.16 GEJALA KLINIS Gambaran klinis SCC pada stadium awal sering tidak menunjukkan gejala yang jelas, tidak ada keluhan dan tidak sakit, umumnya berupa leukoplakia, eritroplakia ataupun erosi.18 Pada stadium lanjut, biasanya terdapat beberapa gejala klinis seperti gambaran eksofilik atau noduler, peninggian dan indurasi yang keras, ulser yang tidak sembuh, permukaan kasar, granular dengan tepi ireguler, warna heterogen dari warna putih, merah muda dan merah; apabila lesi membesar dapat timbul rasa sakit dan mudah berdarah (Gambar 6).3,16

Gambar 6. Squamous Cell Carcinoma pada regio anterior gingiva

Bila tumor bertambah besar, tumor akan mudah terkena trauma selama pengunyahan, sehingga menjadi terulserasi. Infeksi dapat menimbulkan pembengkakan pipi dan menimbulkan rasa sakit. Pembesaran tumor akan mengganggu gerakan membuka mulut dan pengunyahan. Karsinoma pada mukosa bukal dapat meluas ke sulkus bukal bawah, kadang-kadang meluas ke sulkus bukal atas dan pada beberapa pasien, dapat terjadi metastase ke tulang sekitarnya. Pada SCC di lidah, gejala yang dialami penderita tergantung pada letak tumor. Bila tumor terletak pada duapertiga anterior lidah, keluhan utama adalah adanya massa yang seringkali tidak terasa sakit. Bila muncul pada sepertiga posterior lidah (misalnya di belakang papila sirkumvalata), tumor tidak selalu dilihat oleh pasien dan rasa sakit yang timbul biasanya disebabkan oleh radang tenggorokan. Kadang-kadang metastase limfe node regional merupakan indikasi pertama dari kanker kecil pada basis lidah.18 Gambaran histopatologi SCC rongga mulut secara umum tidak berbeda dengan SCC kulit maupun organ tubuh lainnya. Ada beberapa SCC rongga mulut yang berdifferensiasi baik, menyerupai epitel skuamous stratifikasi yang normal dan menghasilkan keratin, namun pada beberapa kasus, terjadi diferensiasi yang buruk.10 Berdasarkan derajat diferensiasinya, SCC rongga mulut dapat dibagi atas diferensiasi baik, sedang dan buruk.24 Gambaran SCC yang berdiferensiasi baik adalah adanya sel keratinisasi, pertumbuhan sejumlah epitel, atau gambaran keratin seperti mutiara dengan besar yang bervariasi. Pertumbuhannya lambat dan tidak mengalami metastase yang cepat, atau memiliki prognosa baik. Pada lesi tipikal, kelompok sel malignan ini dapat dijumpai secara aktif menginvasi jaringan konektif dengan bentuk yang tidak teratur (Gambar 7).

Gambar 7. Histopatologi SCC dengan diferensiasi baik pada specimen exsisional biopsi, dengan pewarnaan Hematoxylin-eosin. (?)

Bentuk karakteristik dari sel dengan diferensisi sedang berubah dari satu dengan yang lainnya, tersusun secara tipikal, sehingga epithelium squamosa juga kurang jelas. Laju pertumbuhan sel individu lebih cepat, mitosis

yang lebih besar, dan bahkan lebih bervariasi dalam ukuran bentuk. Gambaran SCC dengan diferensiasi buruk menghasilkan sedikit petunjuk sel-sel asal sehingga sering menimbulkan kesulitan dalam mendiagnosis. Sel-sel ini bahkan menunjukkan kurangnya daya kohesif yang sangat tidak teratur, adanya anaplasia, pembentukan sel tumor raksasa dan sejumlah mitosis, serta tidak ada pembentukan keratin. Tumor berdiferensiasi baik lebih sering dijumpai dan biasanya bersifat radioresisten (tidak peka terhadap penyinaran), sedangkan tipe yang berdiferensiasi buruk bersifat radiosensitif (peka terhadap penyinaran).17 Radiograf biasanya akan menunjukkan daerah radiolusensi dengan batas kabur pada daerah trabekula tulang (Gambar 8). Gambaran radiograf juga memperlihatkan suatu gigi yang melayang di mana kerusakan tulang pada rahang yang parah mengisolasi gigi-gigi di dekatnya dan menimbulkan pergeseran (Gambar 9).18

Gambar 8. Radiografis SCC yang menyerang alveolar ridge pada rahang atas. 25

Gambar 9. Radiograf menunjukkan gigi yang melayang dengan daerah tulang alveolar terkikis yang terlokalisir karena invasi karsinoma gingiva.18

Pemeriksaan tanda dan gejala klinis yang teliti serta pemeriksaan laboratoris dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan klinis dapat diklasifikasikan dengan sistem simbol TNM (Tumor, Nodes, Metastasis) yang juga merupakan indikator prognosis yang sangat penting dalam perawatan SCC.3 Kriteria tersebut adalah: Pemeriksaan ukuran tumor ( T ); yaitu: T1 ( < 2 cm), T2 ( 2 4 cm), T3 ( > 4 cm), T4 (tumor menyerang struktur yang berdekatan). Pemeriksaan kelenjar limfe nodus ( N ); yaitu: N0 (tidak teraba), N1 (teraba pada sisi ipsilateral), N2 (kontralateral atau bilateral), N3 (teraba dengan pasti dan melekat). Pemeriksaan adanya metastase ( M ), yaitu: M0 (tidak ada metastase), M1 (secara klinis dan radiografis menunjukkan adanya metastase melewati kelenjar limfe servikal). Hasil pemeriksaan di atas dapat digunakan untuk menentukan stadium dari SCC, yaitu: Stadium I(T1 N0 M0), Stadium II (T2 N0 M0), Stadium III (T3 N0 M0 atau T1, 2, 3 N1 M0), Stadium IV (T1, 2, 3 N2 M0 atau T1, 2, 3 N3 M0 atau T4 N0 M0 atau setiap T atau N dengan M1). PERAWATAN Pada prinsipnya, penanggulangan SCC ataupun tumor ganas lainnya dilakukan dengan tindakan pengambilan jaringan tumor secara bedah semaksimal mungkin dengan efek samping minimal terhadap jaringan sehat. Perencanaan perawatan tergantung hasil biopsi histologi, lokasi, tingkat radiosensitivitasnya, derajat metastasis, umur serta kondisi fisik pasien. Lokasi tumor dapat menjadi faktor penyulit perawatan, yaitu bila terletak di bagian posterior rongga mulut lebih sulit untuk diambil dan biasanya mengganggu struktur vital.20 Penanggulangan SCC dilakukan dengan tindakan bedah, radiasi atau kombinasi.1 Terapi Radiasi, sensitivitas tumor pada terapi radiasi sangat berpengaruh pada perawatan, dimana radiosensitif tumor bisa sangat berguna pada perawatan dengan sinar X, atau dapat juga dikombinasikan dengan tindakan pembedahan.20 Pemberian

radiasi dilakukan pascabedah pada kasus-kasus yang meluas ke kelenjar limfe dan invasi ke pembuluh darah serta saraf-saraf tertentu (perineural). Pada penderita SCC stadium lanjut (III dan IV), umumnya dipersiapkan tindakan perawatan kombinasi antara bedah dan radiasi pascabedah ; kecuali pada penderita dengan kondisi T3, N0, M0, dimana tindakan bedah saja ataupun radiasi saja merupakan tindakan yang memadai.1 Bedah Krio (Cryosurgery), beberapa penderita kanker mulut sudah dirawat menggunakan prosedur ini sejak peralatan bedah krio (cryosurgery) mulai dipasarkan tahun 1963. Salah satu penelitian pertama dari prosedur dan efeknya terhadap kanker mulut ini, menyimpulkan bahwa kegunaan utama bedah krio adalah pengkontrolan dan sebagai prosedur paliatif dari rekurensi setelah perawatan konvensional gagal, sebagai perawatan utama untuk tumor yang mudah dijangkau tanpa penyebaran ke limfe node regional, dan pada kasus bila keadaan umum pasien atau kualitas hidup tidak memungkinkan dilakukannya operasi, radioterapi intensif atau kemoterapi.18 Kemoterapi, obat methotrexate sitostatik paling sering diberikan, biasanya dikombinasikan dengan bentuk perawatan lainnya. Pada 76% kasus, methotrexate dapat mengurangi volume tumor sebesar 25 90%, meskipun selalu ada dampak kecil terhadap tingkat kesembuhan, karena tumor yang tersisa tetap mempunyai kemampuan reproduksi. Penggunaan bleomysin pada perawatan SCC berasal terutama dari Jepang dan Jerman, namun bleomysin dapat menyebabkan efek samping yang parah seperti fibrosis paru-paru.18 PEMBAHASAN Kegagalan imunitas spesifik EBV dapat berperan terhadap patogenesis tumor dan juga pada penderita imunodefisiensi tanpa adanya gejala klinis. Proses malignansi dapat terjadi karena perilaku sel yang abnormal akibat adanya mutasi gen. Mutasi dapat terjadi akibat respon terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor lingkungan seperti zat kimia, radiasi dan virus. Mutasi gen terjadi pada gen p53 karena berikatan dengan onkogen virus seperti EBV.7 P53 merupakan suatu gen supresor tumor yang mengkodekan sebuah protein dengan massa molekul 53 kDa, dengan salah satu fungsinya adalah berpartisipasi dalam mengawali apoptosis, yaitu suatu kejadian yang dikendalikan secara genetik yang menghasilkan penghilangan sel yang tidak dikehendaki tanpa menyebabkan gangguan pada jaringan. Apoptosis dapat juga diartikan sebagai kematian sel yang terprogram dan dikontrol pada kejadian yang diatur oleh gen serta terjadi pada banyak kondisi fisiologik.28 Bila sel kehilangan kemampuan untuk melakukan apoptosis (misalnya karena mutasi) atau bila inisiatif untuk melakukan apoptosis dihambat oleh virus, maka sel yang rusak dapat terus membelah tanpa terbatas yang akhirnya dapat menjadi kanker.10 Apoptosis merupakan hal penting dalam perkembangan dan homeostasis jaringan normal. Kegagalan sel tumor untuk melaksanakan mekanisme apoptosis merupakan salah satu faktor yang mendasari pertumbuhan sel tumor yang makin lama makin besar. Akibat defek mekanisme apoptosis yang lain adalah kemungkinan terjadinya keganasan.7 Proses patogenesis dimulai dengan terjadinya infeksi EBV melalui saliva yang kemudian berpenetrasi ke dalam mukosa faring. EBV berikatan dengan sel inang melalui reseptor CD21 dan terjadi transport DNA virus ke dalam inti sel. Adanya insersi DNA virus mengakibatkan gangguan pada DNA sel yang seharusnya diperbaiki oleh gen p53 dengan cara merangsang p21 untuk menekan cyclin dependent kinase agar cyclin tidak dapat bekerja, sehingga siklus sel akan terhenti. Pada saat terhentinya siklus sel akan memberikan waktu terjadinya DNA repair sehingga dapat dihindari terbentuknya sel yang mengandung defek DNA. Namun pada infeksi EBV, sel tidak terhenti untuk dapat melakukan DNA repair karena terjadi mutasi pada gen p53, maka p21 yang seharusnya diaktivasi oleh gen p53 mengalami gangguan. Gangguan yang terjadi adalah siklus sel tetap berjalan dengan defek DNA yang diturunkan pada sel turunan, sehingga mengganggu proses apoptosis dan mengakibatkan sel menjadi immortal. Selanjutnya tidak terjadi penghentian siklus sel dan mutasi akan terus terbentuk (berproliferasi) sehingga terjadi proses keganasan.7 SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa SCC merupakan salah satu tumor ganas yang sering menyerang rongga mulut dan salah satu etiologi penyebabnya adalah infeksi oleh EBV, yang merupakan bagian dari kelompok virus herpes pada manusia. Peran EBV untuk terjadinya SCC rongga mulut yaitu menyebabkan terjadinya mutasi gen p53 dan penghambatan DNA repair sehingga terjadi pembelahan sel tanpa batas. Tidak terjadinya penghentian siklus sel dan mutasi yang terus menerus menyebabkan terjadinya proses keganasan. Pencegahan SCC merupakan hal yang penting untuk dilakukan dan dokter gigi berperan penting dalam mendeteksi kanker rongga mulut sedini mungkin sehingga perawatan dapat terlaksana. Vitamin sangat dibutuhkan tubuh sebagai salah satu unsur untuk pembentukan sistem kekebalan tubuh, untuk itu dianjurkan banyak makan buah-buahan dan sayuran yang kaya akan vitamin A dan C, serta pemberian suplemen untuk mencegah terjadinya karsinoma ini. Untuk mengurangi gejala dari EBV dapat dilakukan beberapa hal, antara lain: istirahat yang cukup, berkumur dengan menggunakan air garam atau menghisap obat lozenges untuk mengurangi rasa sakit pada tenggorokan, serta untuk mengurangi nyeri dan demam, obat asetaminofen atau ibuprofen.

DAFTAR PUSTAKA 1. Rahmadsyah A. Perawatan karsinoma sel skuamous di bibir. Dentika Dental Journal 2001;6(1):159. 2. Revianti S dan Parisihni K. Peranan MMPS pada metastasis karsinoma sel skuamosa rongga mulut. J PDG. 2005; (ed. Khusus):232-36. 3. Regesi JA dan Sciuba JJ. Oral pathology clinical-pathologic correlations. Philadelphia: WB. Saunders Company, 1989:70-2. 4. Torre J. Head and neck cancer : Squamous cell carcinoma. Homepage of emedicine [Online]. Available from: http://www.emedicine.com/plastic/topic376.htm. Accessed May 25, 2006 5. Samaranayake LP. Essential microbiology for dentistry. ed. 2 London: Churchill Livingstone, 2002: 13637. 6. Urban M. Epstein-barr virus (EBV) infection, Available from: http://www.merck.com/ mmhe/sec17/ch198/ch198g.html. Accessed September19, 2007 7. Puteri MM. Peran epstein barr virus pada kejadian squamous cell carcinoma rongga mulut (Role of epstein barr virus in oral squamous cell carcinoma). Homepage of PDGI [Online]. Available from: http://www.pdgi-online.com/web/index.php?option=content &task= view&id=600. Accessed 2007 8. Sand LP, Jalouli J, Larsson PA, Hirsch JM. Prevalence of epstein-barr virus in oral squamous cell carcinoma, oral lichen planus, and normal oral mucosa. Dalam Oral surgery, Oral medicine, Oral pathology. 5ed. 2002. (93). St. Louis: Mosby Inc. 9. Robertson ES. Epstein-barr virus. Homepage of WorldNet Dictionary [Online]. Available from: http://www.bookrags.com/Epstein-barrVirus. Accessed October 7, 2007 10. Anonim. Epstein-barr virus. Homepage of Wikipedia [Online]. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Epstein-Barr_Virus. Accessed October 3, 2007 11. Cohen JI. Epstein-barr virus infection. Homepage of National Intitutes of Health [Online]. Available from: http://conten.nejm.org/cgi/content/full/343/7/481. Accessed September 30, 2007 12. Wholistic Therapy Centre. Epstein-barr virus information Homepage of Wholistic Therapy Centre [Online]. Available from: http://www-epstein-barrvirus.com/Epstein-barr-facts.htm#Cause of_epstein _barr. Accessed September 9, 2007 13. Pringgoutomo S, Himawan S, Tjarta A. Buku ajar patologi I (umum). 1st ed. Jakarta: Sagung Seto, 2002. 14. Makes WIB. Infeksi virus herpes: manifestasi klinis infeksi epstein-barr virus. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002:273-80. 15. Bennett NJ. Mononucleosis and epstein-barr virus infection. Homepage of Emedicine [Online]. Available from: http://www.emedicine.com/ped/topic705.htm. Accessed September 30, 2007 16. Pitojo S. Karsinoma sel skuamosa di rongga mulut, Dentika Dental Journal 2001;6(1):222. 17. Sudiono J, Kurniadhi B, Hendrawan A, Djimantoro B. Penuntun praktikum patologi anatomi. Jakarta: EGC, 2001 18. Pindborg JJ. Kanker dan prakanker rongga mulut. Lilian Yuwono (penterjemah), Jakarta: EGC, 1991 19. Lynch MA, Brightman VJ, Greenberg MS. Ilmu penyakit mulut diagnosa dan terapi. 8th ed. Jakarta: Binarupa Aksara, 1993 20. Kruger GO. Textbook of oral and maxillofacial surgery, 6th ed. St. Louis: The C.V. Mosby Company, 1984 21. Domanowski G. Pathology: Squamous cell carcinoma. Homepage of Emedicine [Online]. Available from: http//www.emedicine.com/ent/topic671.htm. Accessed September 16, 2007 22. Junaidi I. Kanker. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007 23. Langlais RP, Miller CS. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim. Jakarta: Hipokrates, 1998 24. Ginting R. Gambaran histologi karsinoma sel skuamosa rongga mulut, Dentika Dental Journal 2001;6(1):100. 25. Wuehrmann, Manson-Hing. Dental Radiology. St. Louis: C.V. Mosby Company, 1981 26. Langlais RP, Kasle MJ. Latihan Membaca Foto Rongga Mulut. 3th ed. Jakarta: Hipokrates, 1996 27. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology). Edi Nogroho, RF Maulany (penterjemah), 20th ed. Jakarta: EGC, 1996 28. Murray RK, Granner DK, Mayes PA. Rodwell VW. Biokimia Harper (Harpers Biochemistry). Andry Hartono (penterjemah), 25th ed. Jakarta: EGC, 2003: 750-62.

Penanganan Dislokasi TMJ Post Odontectomy


Hendri Poernomo
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK Tindakan pembedahan untuk mengambil gigi molar ketiga rahang bawah yang mempunyai posisi impaksi total ataupun yang erupsi sebagian dengan berbagai kategori klasifikasi lebih kita kenal dengan istilah odontectomy. Gangguan fungsi TMJ sebagai suatu yang kompleks gejala yang rumit. Salah satu komplikasi tindakan odontectomy dapat terjadi dislokasi TMJ. Dislokasi dapat terjadi pada satu sisi (unilateral) atau kedua sisi (bilateral), dan terkadang secara spontan bila penderita buka mulut terlalu lebar, dapat juga ditimbulkan olehkarena trauma. Untuk mengatasi dislokasi TMJ dapat dilakukan tindakan konvensional dan pembedahan. Penanganan dislokasi TMJ harus dilakukan dengan segera agar fungsi mandibula dapat berfungsi normal kembali. Kata Kunci : odontectomy, dislokasi TMJ. Korespondensi : Hendri Poernomo, drg., Bagian Bedah Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Sindrom sendi temporomandibula merupakan permasalahan yang sering dibicarakan dalam terbitan kesehatan, tetapi kurang mendapat perhatian bahwa ketidakberfungsian dari sendi temporomandibula bukan merupakan sindrom yang tunggal tetapi lebih dari sejumlah keadaan dengan tanda-tanda dan gejala yang berbeda. Diagnosis dari penyakit atau gangguan fungsi sendi temporomandibula tergantung pada pemeriksaan klinis dan riwayat penyakit yang menyeruluh, serta evaluasi gambaran radiografis. Kelainan bentuk kepala processus condylaris jenis kongenital ataupun perkembangan dapat menimbulkan gangguan fungsi dan gangguan pertumbuhan serta perkembangan mandibula yang parah. Sendi temporomandibula, sebagaimana sendi-sendi lainnya pada tubuh, merupakan sasaran dari arthritis baik rheumatoid arthritis maupun penyakit degenerasi sendi (osteoarthritis). Region sendi temporomandibula seringkali menanggung akibat trauma pada mandibula, yang menimbulkan hemartrosis, dislokasi, fraktur processus condylaris dan processus subcondylaris, serta dislokasi akibat fraktur processus condylaris. Fungsi sendi bisa berjalan dengan baik apabila terdapat keserasian antara unsur-unsur tulang dan diskus dari sendi. Pergerakan yang harmonis antara sendi bilateral juga penting untuk berfungsinya mandibula secara normal. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran gigi khususnya, banyak dijumpai kasus-kasus yang terlihat sebagai suatu hal yang remeh namun sulit ditanggulangi. Beberapa kasus yang sering dijumpai adalah adanya gigi molar ketiga yang menyebabkan gangguan keharmonisan alat pengunyah dan status kesehatan umum, dimana tindakan pencabutan gigi molar ketiga ini merupakan pembedahan yang sering dilakukan pada praktek dokter gigi.1 Tindakan pembedahan untuk mengambil gigi molar ketiga rahang bawah yang mempunyai posisi impaksi total ataupun yang erupsi sebagian dengan berbagai kategori klasifikasi lebih kita kenal dengan istilah odontectomy yaitu merupakan suatu pengambilan sebagian atau seluruh gigi dengan cara pembedahan melalui pembuatan flap mukoperiosteal yang adekuat dan pengambilan tulang di bawahnya dan juga tulang antara akar bukal molar, menggunakan chisel, bur dan/atau rongeur.2 Namun hal ini bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan karena harus benar-benar diperhatikan indikasi dan kontraindikasi dari pencabutan gigi molar ketiga ini. Beberapa hal perlu dipersiapkan untuk menjamin keberhasilan operasi termasuk kondisi kesehatan pasien serta komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul setelah pembedahan seperti adanya dislokasi TMJ, rasa sakit, perdarahan dan lain-lain. Komplikasi digolongkan menjadi intraoperatif, segera sesudah operasi dan jauh setelah operasi. Komplikasi post odontectomy dapat terjadi dari yang ringan sampai yang berat, dimana komplikasi dari

tindakan odontectomy ini banyak jumlahnya dan bervariasi. Beberapa di antaranya dapat terjadi meski sudah dilakukan tindakan sebaik mungkin, dan ada pula dengan persiapan yang baik dan dengan ketrampilan operator komplikasi yang berat dapat dicegah. Untuk itu sangat diperlukan pengetahuan khusus dan ketrampilan dari operator untuk bisa menangani berbagai hal yang mungkin timbul selama operasi berlangsung maupun setelah operasi, karena komplikasi yang timbul tanpa penanganan yang cepat akan dapat memberi dampak yang negatif pada keberhasilan operasi.3 Pengambilan gigi molar ketiga rahang bawah atau odontektomi yang dapat berlangsung lama, dari hitungan menit ke jam, bias menimbulkan suatu komplikasi saat berlangsungnya atau selesai operasi yang salah satunya dislokasi mandibula. Evaluasi struktur ekstra-artikular yang terkait merupakan bagian kesatuan pemeriksaan klinis lengkap, karena penyakit atau gangguan sendi temporomandibula berhubungan erat dengan oklusi. Sedangkan pemeriksaan otot-otot yang berhubungan dilakukan karena gangguan fungsi otot dan ketidaknyamanan merupakan unsur yang paling sering terjadi pada kelompok sindrom tersebut. Walaupun gejala dan hasil pemeriksaan seringkali salingberhubungan dan menunjang, penentuan diagnosis banding antara penyakit intra-artikular dan ekstra-artikular tetap diperlukan, agar didapat pendekatan perawatan yang benar. Setelah didapat gambaran klinis dan diagnosis kerja, maka terdapat dua kategori umum upenangannya, yaitu : perawatan konservatif dan perawatan bedah. Perawatan konservatif meliputi cara terapi fisik, obat-obatan, dan mekanis, sedangkan perawatan dengan bedah ditujukan untuk kasus trauma dan patologi tertentu, untuk rekontruksi dan untuk kelainan susunan bagian dalam. Perawatan odontectomy adalah pengambilan sebagian atau seluruh gigi dengan cara pembedahan melalui pembuatan flap mukoperiosteal yang adekuat dan pengambilan tulang di bawahnya dan juga tulang antara akar bukal molar, menggunakan chisel, bur dan atau ronguer.2 Pengertian lain tentang odontectomy adalah merupakan tindakan pengambilan gigi yang mengalami kesukaran tumbuh atau terpendam dengan mengambil tulang.4 Menurut Medical Dictionary Search Engine 2003, odontectomy adalah pengambilan gigi melalui refleksi flap mukoperiosteal dan eksisi tulang dari sekeliling akar sebelum menggunakan daya yang mempengaruhi pengambilan gigi.5 SENDI TEMPOROMANDIBULA Sendi temporomandibula adalah suatu persendian yang terbentuk oleh mandibula atau rahang bawah bersama dengan tulang temporal pada tengkorak.6 Persendian ini merupakan suatu struktur biokimiawi yang rumit yang pergerakannya dipersulit oleh adanya suatu sistem koordinasi otot dan geligi yang saling berlawanan dan rumit pula.7 Sendi temporomandibula terletak di bawah telinga dan merupakan persendian yang menyatukan tulang temporal dengan mandibula.8 Secara anatomis, sendi temporomandibula merupakan suatu persendian yang unik bila dibandingkan dengan persendian penyangga beban yang lain.7 Berbeda dengan persendian fibrous maupun dengan persendian kartilago yang lain, sendi temporomandibula tidak memiliki elemen-elemen kartilago yang saling berhadapan, tetapi memiliki suatu elemen fibrokartilago. Bila dilihat dari aspek anatomi ini, sendi temporomandibula terdiri dari komponen-komponen tulang yaitu prosesus condyl, fossa mandibularis, artikular tuberkel, kapsul artikular dan lempeng artikular atau diskus artikularis. Processus condyle. Processus condyle terdiri dari kepala condyle dan leher. Bagian ini merupakan suatu penonjolan yang memiliki ukuran dan bentuk yang bervariasi, serta memiliki dimensi yang lebih lebar ke arah transversal dibandingkan ke arah anteroposterior.9 Kepala condyle memiliki bentuk konveks atau cembung ke arah anteroposterior dan memanjang ke arah mediolateral.7 Bila dilihat dari anterior, condyle mandibula akan tampak seperti spindel atau bentuk kecil memanjang.10 Fossa Mandibularis. Fossa Mandibularis pada tulang temporal memiliki peranan yang sangat besar dalam fungsi sendi temporomandibula terutama pada bagian anterior. Bagian posterior dari fossa ini terletak di belakang bawah dari kepala condyle. Ruangan yang tedapat pada kepala condyle dan bagian timpanik dari fossa mandibula diinvasi oleh lobulus dari kelenjar parotid.9 Artikular Tuberkel. Artikular Tuberkel membentuk batas anterior dari fossa mandibularis dan mengalami perluasan ke arah depan sehingga menyatu dengan fossa intratemporal dan perluasan ke arah lateral sehingga mengalami penyatuan dengan prosesus zygomaticus. Bagian ini dilapisi oleh kartilago, memiliki bentuk kurve seperempat lingkaran.9 Kapsul Artikular. Kapsul Artikular adalah suatu bentukan kantung yang kendur yang membungkus sendi temporomandibula. Serat-serat temporomandibula ligamen dan kapsul ini menyatu satu dengan yang

lainnya sebagai suatu unit. Kapsul ini mengadakan perlekatan dengan tengkorak pada bagian tepi fossa dan meluas menuju ke bagian depan dari eminence. Pada bagian anterior perlekatan ini berkaitan kembali dengan insersio dari otot-otot pterygoid external yang berada sedikit di bawah tepi permukaan artikular dari condyle. Pada bagian posterior, kapsul ini meluas ke bawah menuju leher condyle sampai pada tepi posterior ramus.9 Lempeng Intra Artikular. Lempeng artikularis mengadakan perlekatan dengan permukaan bagian dalam kapsul artikular, di antara permukaan tulang dari persendian diskus ini selanjutnya akan membagi persendian menjadi dua bagian yaitu satu bagian berada di atas diskus dan bagian yang lain berada di bawah diskus. Permukaan atas dari diskus ini berbentuk konkaf atau cekung yang merupakan penyesuaian terhadap bentuk konveks atau cembung pada fossa, sedangkan permukaan bagain bawah dari diskus ini adalah juga berbentuk konkaf yang merupakan penyesuaian terhadap permukaan kepala condyle yang konveks. Dengan demikian akan dapat dilihat bahwa bagian tepi dari diskus ini adalah lebih tebal dibandingkan dengan bagian tengahnya, terutama pada bagian posterior.9 Arah pergerakan mandibula. Dalam membahas fungsi normal dari sendi temporomandibula, maka yang menjadi bahan pembahasan utama adalah pergerakan mandibula secara normal. Pergerakan mandibula secara keseluruhan adalah suatu proses yang kompleks.10 Bagian anterior dari fossa mandibularis pada tulang temporal dan prosesus condyle pada mandibula adalah tulang-tulang yang membentuk persendian ini. Persendian ini memiliki suatu pergerakan yang luas bila dibandingkan dengan kisaran pergerakan yang mampu dilakukan oleh persendian yang lain pada tubuh. Selain pergerakan menyerupai engsel atau hynge movement yang digunakan untuk mengangkat dan menurunkan mandibula, persendian ini juga memiliki kemampuan untuk menggerakkan mandibula ke arah depan, belakang, pergerakan rotasi dari satu sisi ke sisi yang lain, dan pergerakan-pergerakan yang bersifat intermediat.9 Pergerakan pada sendi ini terutama dimungkinkan oleh adanya perlekatan diskus pada prosesus condyle melalui suatu ligamentum. 3 Pergerakan membuka rongga mulut terdiri dari pergerakan yang menyerupai engsel pada mandibula, yang disertai dengan gerakan menggelincir ke arah depan dan ke arah bawah yang terjadi di antara diskus dan eminence. Pada pergerakan ekstensi dan pergerakan retraksi yang menggerakkan mandibula ke arah depan dan kembali ke arah belakang melibatkan suatu pergerakan menggelincir dengan arah horizontal. Pada pergerakan ini, kedua condyl akan mengalami pergerakan yang sama dan simultan. Pergerakan ke arah lateral atau pergerakan triturasi terjadi dalam suatu arah yang oblique atau menyerong, yang meliputi suatu rotasi condyle di dalam fossa serta penggelinciran kartilago ke arah depan dan ke arah luar secara oblique pada satu sisi disertai dengan penggelinciran ke arah belakang dan ke arah dalam pada sisi yang lain.9 Ukuran besar pergerakan mandibula. Selain dilihat dari arah pergerakannya, kisaran normal dari pergerakan mandibula juga ditentukan dari besarnya pergerakan yang dapat dilakukan. Terdapat beberapa pendapat mengenai besar pergerakan mandibula secara normal. Terlepas dari berbagai penelitian yang menyebutkan nilai rata-rata dan kisaran pergerakan mandibula, Agerber pada tahun 1974 memberikan cara yang paling baik untuk mengetahui adanya penurunan pergerakan ke arah vertikal yaitu dilihat dari ketidakmampuan penderita untuk memasukkan tiga jarinya di antara insisivus rahang atas dan insisivus rahang bawah.10 DISLOKASI TMJ Dislokasi dinyatakan sebagai suatu displacement atau luksasi condyle mandibula dan glenoid fossa yang terjadi baik secara sebagian maupun secara keseluruhan. Walaupun dislokasi ini dapat terjadi ke arah belakang, ke arah atas maupun ke arah samping tetapi secara klinis yang sering dijumpai adalah dislokasi ke arah depan dan bilateral.9 Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya. Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi. 10 Dislokasi dapat terjadi pada satu sisi (unilateral) atau kedua sisi (bilateral), dan terkadang secara spontan bila penderita buka mulut terlalu lebar, dapat juga ditimbulkan olehkarena trauma saat penahanan mandibula waktu dilakukan anestesi umum atau akibat pukulan. Dislokasi pada sendi temporomandibula biasanya bersifat akut, walaupun kasus-kasus yang bersifat kronis dan kambuhan sering pula ditemukan, dimana penderita akan mengalami serangkaian serangan yang menyebabkan kelemahan abnormal kapsula pendukung dan ligamen. Penyebab yang paling umum dari keadaan ini adalah akibat dari pencabutan gigi molar ketiga rahang bawah sehingga menyebabkan dislokasi unilateral dan bilateral dari TMJ. Pada keadaan ini, pasien

tidak dapat menutup mulutnya. Pada palpasi dan inspeksi radiograf ditemukan fossa yang kosong. Dislokasi unilaeral menyebabkan pergeseran mandibula ke arah yang tidak terkena, sehingga menyebabkan pergeseran garis median. Selain disebabkan oleh pencabutan gigi molar tiga rahang bawah, dislokasi TMJ juga merupakan akibat membuka mulut yang lebar dan menguap yang terlalu sering.7 Keadaan lain yang dapat menyebabkan terjadinya dislokasi pada sendi temporomandibula, antara lain : pada persendian yang normal dan terjadi dislokasi tiba-tiba misalnya terjadi benturan pada rahang yang sedang terbuka atau rahang dengan suatu penyangga rahang pada prosedur yang menggunakan anastesi umum dan pada kelainan persendian seperti terdapat ligamen yang telah kendur yang memungkinkan terjadinya pergerakan condylei secara berlebihan. Pada keadaan ini tidak diperlukan adanya suatu kejadian yang spesifik untuk memungkinkan terjadinya dislokasi kronis kambuhan ini.10 Selain dari keadaan tersebut, penyebab terjadinya dislokasi ini adalah maloklusi atau kehilangan gigi posterior dalam jangka waktu yang lama dan membuka mulut dalam jangka waktu yang lama misalnya dalam prosedur perawatan gigi, tertawa dan menguap yang disertai dengan membuka mulut terlalu lebar.7 Patogenesa. Pada saat terjadinya dislokasi persendian temporomandibula, condyle mangalami displasi ke arah anterior sehingga secara keseluruhan keluar dari sistem persendian dan berada di sebelah anterior dari articular eminence.9 Dislokasi pada persendian temporomandibula dapat terjadi pada keadaan persendian yang normal dimana benturan terjadi pada bagian tersebut pada saat rahang dalam keadaan terbuka sehingga dapat menyebabkan pergeseran pada condyle.10 Keadaan ini selanjutnyan akan menyebabkan terkuncinya rahang yaitu rongga mulut terbuka dan tertahan yang ditandai dengan penonjolan pada dagu, yang disertai dengan ketegangan pada otot-otot pengunyahan dan ketidakmampuan untuk menutup mulut.9 Diagnosis. Pada dasarnya, dislokasi pada persendian temporomandibula dapat dikenali secara klinis yaitu ketidakmampuan penderita membuka rongga mulutnya dan dapat ditemukan adanya suatu jarak permanen sekitar 1 inci antara gigi rahang atas dan gigi rahang bawah. Penonjolan dagu yang tidak umum disertai dengan ketegangan pada otot-otot pengunyahan juga dapat dipertimbangkan dalam menegakkan diagnosis pada dislokasi sendi temporomandibula.9 Gambaran klinis dislokasi sendi temporomandibula meliputi : rasa sakit yang parah pada sendi temporomandibula, rahang terdorong ke depan dari posisinya yang normal, penderita tidak dapat menggigitkan giginya, deviasi asimetris pada dagu bila terjadi dislokasi unilateral, protrusi pada rahang pada dislokasi bilateral. 11 PEMBAHASAN Dislokasi rahang saat berlangsungnya atau setelah operasi gigi impaksi molar ketiga dapat disebabkan buka mulut yang terlalu lama. Ini ditandai dengan ketidakmampuan pasien menutup mulutnya dengan sempurna dimana terjadi penonjolan sendi rahang satu sisi atau kedua sisi dan disertai bunyi klik atau gemeretak mengikuti pembukaan ataupun penutupan rahang. Perawatan sederhana dapat dilakukan dengan membuat relaks otot rahang dan otot muka. Keberhasilan dalam melakukan penanganan terhadap dislokasi TMJ sangat tergantung pada pengenalan anatomi, fungsi secara normal dan diagnosis kelainan pada persendian ini, serta kemauan penderita dalam mengikuti instruksi dalam mencegah kekambuhan dislokasi TMJ sehingga pelaksanaan odontectomy harus dilakukan dengan hati-hati dan secara tepat untuk meminimalkan resiko yang terjadi dalam hal ini dislokasi TMJ. Bila terjadi suatu komplikasi, dokter gigi diharapkan mampu memberikan penanganan yang memadai bagi penderita untuk mengembalikan posisi mandibula seperti semula. Penentuan klasifikasi gigi impaksi molar ketiga rahang bawah mempunyai manfaat terbatas, tetapi berguna sebagai dasar penentuan tingkat kesulitan operasi dan sebagai pedoman dalam melakukan perencanaan tindakan bedah. Dislokasi TMJ merupakan salah satu komplikasi post odontectomy yang memerlukan suatu penanganan khusus. Penanganan dislokasi TMJ post odontectomy yang terjadi secara unilateral dan bilateral dapat dilakukan secara konvensional dan bila hal itu tidak memungkinkan maka penanganan dengan pembedahan harus dilakukan.10 Penanganan secara konvensional. Penanganan dislokasi pada persendian temporomandibula terutama ditujukan untuk melakukan relokasi terhadap persendian temporomandibula karena penundaan pelaksanaan relokasi ini akan mempersulit penatalaksanaan berikutnya. Reduksi tutup dapat dilakukan dengan efektif dengan prosedur sebagai berikut : tempatkan ibu jari di atas molar rahang atas dengan jari yang lain berada pada sisi dagu dan sekitarnya. Selanjutnya dilakukan penekanan ke arah bawah dan belakang pada kondili dengan menggunakan ibu jari tadi sehingga kondili mencapai posisi di belakang artikular eminence, penekan harus mantap tetapi pelan-pelan bersamaan dengan penekanan tersebut, jari-jari yang lain mengangkat dagu penderita ke atas. Tindakan ini dikatakan berhasil bila rahang menutup dengan cepat dan

keras, untuk beberapa saat penderita tidak boleh membuka mulut terlalu lebar.Setelah reduksi berhasil dilakukan, selanjutnya dapat dilakukan imobilisasi pada rahang selama empat minggu.10 Penanganan dengan pembedahan. Bila penanganan secara konvensional tidak berhasil dalam penanganan dislokasi sendi temporomandibula, maka penanganan dengan melibatkan pembedahan harus dilakukan. Tujuan dari pembedahan adalah : memperkuat kapsul meliputi tindakan restrukturisasi kembali kekenduran pada ligamen kapsul sehingga akan terbentuk jaringan parut fibrous yang membantu menyangga dan membatasi pergerakan mandibula; membentuk hambatan mekanis pada articular eminence yang mencegah terjadinya pergerakan condyle secara berlebihan ke arah depan, hambatan tersebut dapat berupa graft tulang, pemasangan pin, dan alat-alat prostetik. Pengambilan ketinggian articular eminence yang memungkinkan pergerakan condyle secara bebas ke arah depan dan ke arah belakang juga dapat dilakukan; memodifikasi aksi otot dapat dilakukan dengan miotomi pada otot pterigoideus external, pada prosedur ini, perlekatan otot pada leher condyle dan sisi anterior lempeng artikular dibuka, dan serat-serat otot secara keseluruhan dipecah, dan perlekatan kembali dapat dicegah dengan meletakkan lapisan pada leher condyle.10

SIMPULAN Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada tindakan odontectomy dapat menimbulkan dislokasi TMJ. Penanganan dislokasi TMJ baik dengan cara konvensional maupun tindakan pembedahan bertujuan untuk mengembalikan TMJ ke posisi semula dan dapat berfungsi normal. DAFTAR PUSTAKA 1. Tetsh P, Wagner W. Pencabutan Gigi Molar Ketiga. Agus Djaya (penterjemah), Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran, 1992. 2. Archer. WH. Oral dan Maxillofacial Surgery. 5th ed. vol. 1. Philadelphia: W.B Saunders Co., 1975. 3. Pedersen GW. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Purwanto dan Basoeseno (penterjemah), Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 1996. 4. Zulkarnain, Rudhy, Benny, Abdul, Eddy. Uji klinis ibuprofen dan asam mefenamat pada pasca bedah odontectomy molar tiga bawah. Medan: Kongres Nasional ke-V PABM I, Desember 3-4, 1987. 5. Medical Dictionary Search Engire [HomepageofHome/O/od/Odontectomy][online]. Available:http//www.books.md/o/dic/ odontektomy.php. [2 December 2003]. 6. Lott M. Normal versus pathological joints. Homepage of Dr. Michael Lott. Available from: http://www.michaeliott.com. Accessed 2003. 7. Waite DE. The temporomandibular joint. In: Text Book of Practical Oral Surgery. Philadelphia: Lea dan Febinger, 1972:315-333. 8. Thomson JC. Temporomandibularjoint (TMJ): anatomy and causes tmj. March 21, 2004-last update. Available from: http://www.tmjreport.com. Accessed 2003. 9. Mead SV. Oral Surgery. 4th ed. The CV Mosby Company, 1954. 10. Moore JR. Surgery of the mouth and jaws. Blackwell Scientific Publication chapter 29 General Consideration, 1985:547-574. 11. Lawrence N. TMJ dislocation. HB Emergencies in General Practices, 1997.

Penatalaksanaan enamel hipoplasia geligi sulung sebagai dampak infeksi rubela intrauterin
Eko Sri Yuni Astuti, Putu Yetty Nugraha, Ni Made Elya Ardikasari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK Rubela merupakan penyakit infeksi yang sangat menular melalui droplet penderita. Infeksi rubela tidak terlalu berbahaya bila mengenai anak-anak dan orang dewasa, namun bila mengenai ibu hamil pada trimester pertama kehamilan dapat menyebabkan enamel hipoplasia geligi sulung. Enamel hipoplasia geligi sulung adalah kelainan struktur jaringan keras geligi sulung dan pada umumnya mengenai gigi insisivus dan molar pertama sulung. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui mekanisme terjadinya enamel hipoplasia geligi sulung oleh karena infeksi rubela intrauterin. Enamel hipoplasia terjadi karena adanya gangguan selama proses pembentukan matrik enamel, infeksi rubela intrauterin mengakibatkan timbulnya vakuola-vakuola dalam sel ameloblas, untuk mengatasi enamel hipoplasia geligi sulung dapat dilakukan aplikasi fluor dan perawatan konservasi. Kata Kunci: Rubela, Enamel Hipoplasia, Geligi Sulung. Korespondensi: Eko Sri Yuni Astuti, drg., Sp. KGA., Bagian Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi Anak, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Infeksi virus rubela merupakan penyakit yang diupayakan pemberantasannya dan merupakan penyakit yang harus dicegah terutama bagi wanita hamil karena dapat menyebabkan cacat bawaan pada bayi yang disebut Congenital Rubella Syndrome, yang umumnya dialami oleh bayi yang terinfeksi pada trimester pertama kehamilan.1 Infeksi rubela intrauterin juga dapat menimbulkan kelainan pada geligi sulung seperti enamel hipoplasia, keterlambatan erupsi, dan agenesis.2 Guggenheimer dkk (1977) merupakan peneliti pertama yang melaporkan tentang kelainan geligi sebagai hasil dari epidemik rubela yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1964-1965, dari 14 anak dengan ibu yang terinfeksi rubela selama minggu kedua sampai minggu ke empat belas kehamilan, 12 anak mengalami enamel hipoplasia.3 Enamel hipoplasia biasanya mengenai daerah pit, berbentuk seperti sumur-sumur kecil yang tersusun horizontal dan dijumpai pada permukaan geligi insisivus, serta geligi molar pertama.2 Enamel hipoplasia yang terjadi menyebabkan geligi dilapisi oleh selapis tipis enamel yang berwarna putih susu, kuning, dan coklat.4 Tujuan dari penulisan untuk mengetahui terjadinya enamel hipoplasia pada geligi sulung akibat infeksi virus rubela. RUBELA Rubela pertama kali ditemukan pada abad ke 18 oleh dua ilmuwan Jerman, De Bergan di tahun 1752 dan Orlow di tahun 1758.5 Virus rubela ditularkan melalui percikan ludah yang mengandung virus atau karena menghirup udara yang telah terkontaminasi virus6. Virus ini dapat menyerang anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Virus rubela pertama kali masuk ke tubuh hospes melalui saluran nafas, kemudian menginfeksi nasofaring dan paru-paru lalu menyebar ke kelenjar getah bening dan sistem retikuloendotelial. Periode dari penularan rubela sampai dengan timbulnya gejalagejala disebut dengan masa inkubasi, yang bervariasi dari 12 sampai 23 hari dengan rata-rata 16-18 hari.7 Infeksi rubela seringkali bersifat asimptomatis, tetapi kadang-kadang ditunjukkan dengan timbulnya ruam (rash), limpadenopati, dan demam sekitar 38 C yang biasanya berlangsung dua hari. Pada ibu hamil yang tidak memiliki kekebalan terhadap virus rubela, menyebabkan virus dapat dengan mudah menginfeksi plasenta sehingga akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan normal anomali struktural pada neonatus.8 Gambaran klinik CRS ( Congenital Rubella Syndrome) seperti hepatomegali atau splenomegali dan anemia hemolitik, tuli saraf, mental terbelakang, diare dan pneumonia disebut sebagai gejala yang paling banyak menyebabkan kematian, serta insulin-dependent-diabetes melitus (IDDM), kelainan jantung seperti duktus arteriosus paten, stenosis aorta dan pulmonalis, stenosis katup pulmoner, dan cacat septum atrium dan ventrikel.8 Virus rubela intrauterin tidak hanya menyebabkan kelainan pada organ tubuh utama, tetapi juga dapat menyebabkan kelainan pada geligi sulung apabila terjadi pada fase pertumbuhan gigi geligi. Pertumbuhan geligi sulung terjadi pada minggu keempat kehamilan, tahap pertumbuhannya dikategorikan menjadi: 1) Tahap Inisiasi, disebut bud stage dimana lengkung gigi terbentuk akibat sel yang berproliferasi pada basal layer epitelium rongga mulut;9 2) Tahap Proliferasi, disebut cap stage, enamel organ terdiri dari dua bagian, enamel epitelium terluar berfungsi sebagai pelindung dan enamel epitelium terdalam berfungsi untuk mempertegas bentuk cap;10 3) Tahap Histodiferensiasi, pada tahap ini terjadi perubahan bentuk dari organ enamel yang khas untuk gigi sulung dan gigi permanen; 4) Tahap

2
Morfodiferensiasi, pola morfologi atau bentuk dasar dan ukuran relatif dari gigi yang akan tumbuh dibentuk pada tahap morfodiferensiasi;9 5) Tahap Aposisi, Pengendapan matrik dari struktur jaringan keras gigi, pertumbuhan aposisi dari enamel dan dentin adalah pengendapan yang berlapis-lapis dari matriks ekstraselular.9 Matrik ini diendapkan oleh selsel formatif, ameloblas, dan odontoblas yang berupa lapisan di sepanjang bagian yang akan menjadi dentino enamel junction.10 Apabila pada tahap ini virus rubela menginfeksi janin dalam kandungan, dapat menyebabkan enamel hipoplasia geligi sulung yang akan erupsi, sel ameloblas yang sangat sensitif terhadap rangsangan pada tahap pembentukan matrik enamel dapat terinfeksi sehingga menyebabkan timbulnya vakuola-vakuola dalam sel, fungsi sel ameloblas menjadi terganggu sehingga dapat menyebabkan enamel hipoplasia geligi sulung. Infeksi rubela postnatal dapat mengakibatkan kelainan pada geligi permanen, pada kasus seorang wanita berumur 40 tahun ketika usia 6 tahun mengalami infeksi rubela terlihat geligi permanennya mengalami enamel hipoplasia.10 Anak-anak ataupun orang dewasa yang telah terinfeksi virus rubela akan memiliki kekebalan seumur hidup.11 Vaksin rubela yang digunakan berjenis RA 27/3, diberikan secara subkutan dan dilakukan sebanyak dua kali yaitu saat bayi berumur 12 bulan dan saat umur 12 tahun.12 Vaksin rubela juga diberikan pada orang-orang yang beresiko tertular virus ini seperti perawat, dokter, guru, dan wanita dewasa yang dalam tubuhnya ditemukan serum aktif.13 ENAMEL HIPOPLASIA Enamel hipoplasia adalah suatu kelainan enamel yang merupakan hasil dari susunan matrik enamel yang tidak lengkap karena adanya masalah pada ameloblas.4 Enamel hipoplasia dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1) Infeksi rubela pada ibu hamil, penelitian menemukan hubungan yang jelas antara infeksi rubela pada ibu hamil dengan enamel hipoplasia yang dialami oleh anak yang dilahirkan. Geligi sulung dapat mengalami enamel hipoplasia bila pada janin berusia 7 minggu intrauterin terinfeksi virus rubela yaitu saat tahap aposisi berlangsung sel ameloblas akan mengalami gangguan. Sel ameloblas mensekresikan potein pembentuk marik enamel yang disebut amelogenin dan enamelin.14 Sel ameloblas sangat sensitif terhadap rangsangan, bila pada saat pembentukan matrik enamel janin dalam kandungan terinfeksi virus rubela, maka pertumbuhan sel ameloblas menjadi terhambat;15 2) Hipoplasia Akibat Hipovitaminosis A, Sweeney menemukan cekungan kecil pada enamel yang tersusun dalam baris-baris pada 31 dari 73 anak yang kekurangan vitamin A pada waktu lahir;2 3) Hipoplasia Akibat Hipovitaminosis C, kekurangan vitamin C merupakan dasar dari enamel hipoplasia. Vitamin C berfungsi untuk sintesis kolagen dan untuk hidroksilasi prolin, kedua zat tersebut terkandung dalam matrik enamel.2 Gigi yang mengalami enamel hipoplasia memiliki struktur enamel yang lebih lunak dibanding dengan enamel normal. Enamel yang mengalami kelainan menyebabkan gigi menjadi lebih sensitif dan memiliki kemungkinan lebih besar terjadinya karies.16 Perawatan konservatif dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan enamel hipoplasia seperti: Pemberian fluor secara topikal dan fissure sealant pada gigi yang mengalami enamel hipoplasia yang ringan, mengembalikan bentuk email yang rusak dengan restorasi menggunakan komposit, apabila perawatan lebih mengutamakan faktor estetik menggunakan direct atau indirect veneer komposit, memperkecil rangsangan pada gigi dengan menggunakan mahkota stainless steel, gigi molar yang mengalami hipoplasia dengan tingkat keparahan sedang dapat diaplikasikan fissure sealant pada permukaaan oklusal, pada kasus molar pertama permanen mengalami kelainan yang parah, tindakan pencabutan merupakan pilihan utama.16 Enamel hipoplasia adalah kelainan pada ketebalan enamel akibat adanya gangguan terhadap sel ameloblas selama secretory stage.17 Enamel hipoplasia dapat timbul bila pada tahap aposisi terjadi gangguan. Tahap pembentukan enamel merupakan salah satu proses dari keseluruhan proses perkembangan gigi geligi. Amelogenesis adalah proses terbentuknya enamel yang terjadi setelah dentin terbentuk, proses ini dilakukan oleh sel yang dikenal dengan sel ameloblas. Sel ameloblas berasal dari lapisan ektodermal epithelium sebagai hasil dari sel ektomesensimal dental papila, berdiameter 4 mikrometer dan panjang 40 mikrometer.18 Enamel manusia terbentuk pada bulan ketiga atau keempat kehamilan, rata-rata terbentuk 4m perhari. Proses terbentuknya enamel sangat kompleks dan dibagi dalam 2 tahap yaitu : 1) Secretory Stage, sel ameloblas terbentuk dari epitel sebelah dalam lonceng gigi, sel ameloblas berbentuk kolumnar berpolarisasi. Protein enamel disekresikan oleh retikulum endoplasma kasar sel ameloblas, kemudian menuju daerah sekelilingnya dan mendukung terbentuknya matrik enamel. 2). Maturation Stage, tahap ini menunjukkan perubahan fungsi sel ameloblas dari mengeluarkan protein matrik enamel pada secretory stage menjadi transportasi ion kalsium dan phospat yang membentuk kalsium hidroksiapatit. Protein digunakan untuk mineralisasi akhir, protein enamel antara lain amelogenin, ameloblastin, enamelin, dan tuftelin. Selama proses ini amelogenin dan ameloblastin menghilang sesudah digunakan, sedangkan enamelin dan tuftelin tetap berada dalam enamel.18 Setelah enzim alkaline phospatase menghancurkan amelogenin, kristal mulai tumbuh dan membentuk enamel matur.19 PEMBAHASAN

3
Sel ameloblas merupakan sel yang sangat peka terhadap rangsangan, bila pada tahap pembentukan matrik enamel sel ameloblas terinfeksi virus rubela, dalam sel ameloblas akan menunjukkan vakuola-vakuola. Demam yang timbul sebagai reaksi terhadap infeksi rubela dapat menyebabkan sel ameloblas mengalami dehidrasi, menghambat aktivitas sel ameloblas sehingga berpengaruh terhadap pembentukan enamel, perubahan suhu tubuh juga dapat merubah struktur protein enamel mengakibatkan protein tidak dapat melakukan fungsinya semula sehingga geligi mengalami enamel hipoplasia.20 Hasil penelitian menyatakan bahwa kelainan enamel hipoplasia terjadi akibat perubahan histologi yang tidak normal pada garis Retzius, yaitu ditunjukkan dengan permukaan yang tidak teratur, terlihat tipis dengan morfologi prisma yang tidak normal.17 Garis Retzius disebut juga garis pertumbuhan yang terlihat secara inkremental dan berwarna coklat, yang terlihat secara mikroskopik pada enamel dan oblik pada sumbu panjang prisma enamel.14 Geligi yang mengalami enamel hipoplasia lebih rentan mengalami karies dibandingkan dengan geligi yang sehat, untuk mengatasinya dapat dilakukan pemberian fluor secara topikal, penggunaan komposit atau pemakaian mahkota stainnless stell. Namun vaksinasi merupakan upaya pencegahan yang juga harus dilakukan mengetahui bahaya infeksi virus rubela ini serta akibat dari kelainan-kelainan yang terjadi. Vaksinasi rubela harus diberikan pada anak usia 12 bulan dan selanjutnya pada usia 12 tahun,vaksin juga diberikan pada orang dewasa yang beresiko tertular virus rubela seperti dokter, perawat, wanita dewasa serta remaja putri baik yang telah mendapatkan vaksinasi rubela sebelumnya maupun yang belum sama sekali mendapatkan vaksinasi rubela. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim. Campak Jerman. Homepage of Google [Online]. 2007. Available from: http//tanaya. wordpress.com/2007/01/05/campak-jerman. Accessed January 26, 2007. 2. Schuurs AHB. Kelainan-kelainan Jaringan Keras Gigi. Dalam: Patologi Gigi Geligi, Sutatmi Suryo (penterjemah). Ed. ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993 3. Loos Kim. Enamel hipoplasia Homepage of Google [Online]. 2007. Available from: http// parenting.invillage.com/baby/bhealth/0,,3xdv,00.html. Accessed Pebruary 23, 2007. 4. Anonim. White spots on teeth-enamel hypoplsia. Homepage of Google [Online]. 2006. Available from: http//cyberdentist.blogspot.com/2006/08/white-spots-on-teeth-enamel-hypoplasia.htm. Accessed pebruary 23, 2007. 5. Bowden D, Scott, Lee Jia-yee. Rubella virus replication and link to teratogenicity Homepage of Google [Online]. 2000. Available from: http//www.gsbs.utmb.edu/microbook/cho55.htm. Accessed January 20, 2007. 6. Mc Ghee, Jerry R, Michalek, Suzanne M, Cassell Gail. Dental Microbiology. Philadelphia: Harper & Row Publisher, 1982. 7. Anonim. Rubella (German Measles). Homepage of Google [Online]. March 9, 1995-last up date. Available from: http//www.babybag.com/articles/cdl-rbla.htm. Accessed Pebruary 23, 2007. 8. Jawetz Ernest, Melnick, Joseph L, Adelberg, Edward A. Mikrobiologi Kedokteran. Edi Nugroho RF, Maulany (penterjemah). Ed. ke-20. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1996. 9. Harshanur, Itjingningsih Wangidjaja. Anatomi Gigi. Ed. ke-1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1991. 10. Finn, Sidney B. Clinical Pedodontics. 4th ed. Philadelphia: W. B. Saunders Company, 2003. 11. Entjang, Indan. Mikrobiologi dan Parasitologi. Ed. ke-2. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003 12. Parkman, Paul D. Togaviruses: rubella virus Homepage of Google [Online]. 2006. Available from: http//pathmicro.med.sc.edu/mhunt/rubella.htm. Accessed January 19, 2007. 13. Anonim. Manual pemberantasan penyakit menular Homepage of Google [Online]. 2005 Available from: http//www.ppmp/p.depkes.go.id. Accessed January 5, 2007. 14. Bloom, William, Fawcett, Don W. A Text Book of Histology. 10th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1976. 15. Anonim. Pediatric Dental Healt Homepage of Google [Online]. 1998. Available from: http//dentalresource.org/topic10.htm. Accessed Pebruari 28, 2007. 16. Anonim. Enamel hypoplasia: causes and treatment option Homepage of Google [Online]. March 10, 2003-last update. Available from: http//www.uiowa.edu/~c090247/ENAMEL%20HYPOPLASIA.htm. Accessed Juni 3, 2007. 17. Goodman, Alan H, Rose, Jerome C. Assessment of Systemic Physiological Pertubations from Dental Enamel Hypoplasias and Associated Histological Structures Homepage of Google [Online]. 2007. Available from: http//www.Intersience.wiley.com/cgi-bln/abstract/110541633/ ABSTRAC?ORETRY=12skets=0. Accessed Juni 9, 2007 . 18. Anonim. Ameloblast Homepage of Google [Online]. 2007. Available from: http//en.wikipedia. org/wiki/Ameloblast. Accessed Juli 3, 2007. 19. Anonim. Natures hardest puzzle researchers closing making tooth enamel Homepage of Google [Online]. 1998. Available from: http//www.sciencedaily.com/releases/1998/12/981215080914 .htm. Accessed Juli 4, 2007.

4
20. Pudyani Pinandi Sri. Pengaruh kekurangan protein pre dan postnatal terhadap mineralisasi gigi, JKGUI 2001;8(2):54-59.

Penanganan ankilosis sendi rahang dengan kondilektomi


Wiwekowati, Norman Hidajah, Syanne Abednego
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT Temporomandibular joint ankylosis is a fused of bone, fibrous or cartilaginous tissue between glenoid fossa os temporale and condyle of mandible. Generally, the usual treatment of TMJ ankylosis classified in three groups; condylectomy, gap arthroplasty and interpositional arthroplasty. From the function of mandible, condylectomy technique is satisfied enough. The location of mandible rotation point is near as originally and it has a minimal balance disturbance of neuromuscular, so it doesnt need a long physio-therapy correction. Keywords : temporomandibular joint, ankylosis, condylectomy. Korespondensi : Wiwekowati, Bagian Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Selama bertahun-tahun disfungsi sendi temporomandibula adalah bidang yang tak bertuan dalam dunia kedokteran. Banyak teori mengenai disfungsi sendi temporomandibula. Ada yang mengatakan bahwa perawatan Ortodonsi menyebabkan masalah pada sendi temporomandibula sehingga diperlukan perawatan multidisiplin. Padahal kasus-kasus tentang sendi temporomandibula (temporomandibular joint atau disingkat TMJ) tidak hanya terdapat di bidang Ortodonsi, melainkan juga ditemui di seluruh bidang kedokteran gigi. Hal tersebut menjadi masalah dalam bidang Ortodonsi, disebabkan karena pemeriksaan Ortodonsi juga meliputi pemeriksaan sendi rahang (TMJ). Prosentase pasien dewasa yang meningkat pada hampir setiap praktek Ortodonsi, merupakan tantangan bagi klinisi untuk mempelajari terapi sendi temporomandibula seluas mungkin.1 Salah satu kelainan sendi temporomandibula adalah ankilosis. Ankilosis dipandang dari segi fungsional dan estetika merupakan suatu kelainan yang serius.2 Temporomandibular Disorders (TMD) sampai sekarang masih belum banyak terungkap, baik yang berkaitan dengan diagnosa, penyebab, serta penanggulangannya.3 Klasifikasi dari kelainan-kelainan yang mengenai sendi temporomandibula dapat dibagi dalam kelainan-kelainan yang sering terjadi dan jarang terjadi. Ankilosis termasuk kelainan yang jarang terjadi.4 Ankilosis TMJ adalah penyatuan tulang, jaringan fibrous atau kartilaginosa antara fossa glenoid tulang temporal dengan kondilus mandibula.5 Ankilosis sendi rahang bisa terjadi pada unilateral maupun bilateral. Karena sentrum pertumbuhan rahang terletak pada TMJ, maka pada ankilosis sendi rahang pertumbuhan rahang menjadi terhambat, sehingga menimbulkan maloklusi dan malposisi gigi. Gejala- gejala yang timbul pada ankilosis sendi rahang sepaerti kemampuan membuka mulut yang terbatas, problema psikis, dan yang lainnya dapat mengganggu dan mempengaruhi perawatan Ortodonsi. 2 Secara luas perawatan ankilosis TMJ diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu kondilektomi, gap arthroplasty, dan interpositional arthoplasty.6 Kondilektomi adalah eksisi kondilus.7 Perawatan ankilosis menggunakan teknik kondilektomi memberikan keuntungan yaitu titik perputaran yang baru dari osteoartrotomi terletak sedekat mungkin dari sendi rahang yang asli. Keseimbangan neuromuskular oleh teknik kondilektomi ini hanya terganggu minimal.2 SENDI TEMPOROMANDIBULA Sendi temporomandibula adalah suatu persendian diarthrodial (ginglymoarthrodial) yang terdiri dari kondilus mandibula, fossa mandibula, artikular eminensia dari tulang temporal dan kapsul ligamen, yang terbentang secara obliq dari lateral ekstremitas artikular eminensia ke permukaan posterolateral leher mandibula.8 TMJ berguna untuk pergerakan rahang dan secara khusus diperlukan untuk fungsi pengunyahan dan bicara.3 Persendian kraniomandibula merupakan persendian bilateral, satu sendi di kanan dan satu sendi di kiri, yang membentuk suatu unit fungsional. Masing-masing dari dua sendi digabungkan dan diklasifikasikan sebagai suatu sendi ginglymoarthrodial (engsel dan luncur).9,10,11 Jika meletakkan jari pada sisi wajah di depan telinga, lalu membuka dan menutup mulut, maka akan terasa pergerakan-pergerakan TMJ. Sendi-sendi ini bergerak pada setiap waktu mengunyah, berbicara atau bahkan menelan.12 Secara normal saat membuka mulut selebar-lebarnya maka kita dapat menempatkan tiga jari tangan terakhir (jari tengah, jari manis, jari kelingking) secara tegak lurus (dengan ibu jari menunjuk pada langitlangit) di antara gigi depan atas bawah, dengan ketentuan bahwa kita dapat melakukannya tanpa rasa sakit dan tegangan. Pada umumnya, dua jari atau lebih, merupakan suatu batas jangkauan dari bukaan mulut.12

ANATOMI NORMAL TMJ Tengkorak manusia mempunyai dua TMJ, satu pada sisi kanan, dan satu pada sisi kiri dan terletak di depan telinga. TMJ adalah sendi luncur yang dibentuk oleh kondilus mandibula dan bagian squamous dari tulang temporal, pada tengkorak kepada rahang bawah (mandibula) sehingga mulut dapat membuka dan menutup.12, 13 Diskus. Permukaan artikular yang cekung dari temporal dibatasi di bagian anterior oleh eminensia artikularis yang cembung, dan bagian posterior dibatasi oleh labrum articulare. Di antara struktur tulang tersebut terdapat meniscus articularis (discus artikularis) yang terbentuk dari jaringan ikat fibrous (gambar 1).14

Gambar 1. Komponen utama dari sendi temporomandibula: discus artikular, kapsul ligamen, eminensia artikular, kondilus mandibula, fossa glenoidea.15

Gambar 2. Potongan sendi temporomandibula dilihat dari depan. 4

Discus interartikular, membagi rongga sendi menjadi dua ruang, bagian sendi atas dan bawah, yang secara normal tidak berhubungan (gambar 2).8,11,13 Diskus tersebut fleksibel tetapi merupakan suatu jaringan ikat rapat kolagen yang kuat dan bersatu dengan bagian perifer sekelilingnya dengan kapsul yang mengelilinginya.11 Terutama terbuat dari kartilago yang melindungi dari saling mengasahnya tulang rahang bawah dan tengkorak.16 Pada discus terdapat jaringan sensitif (jaringan retrodiscial) berfungsi sebagai penangkal benturan serta mencegah friksi antara kondil dan tulang temporalis. 3 Discus artikular, juga dikenal sebagai meniscus, adalah suatu struktur fibrokartilaginous yang bikonkav, yang membagi permukaan luncur untuk kondilus mandibula, dan memperlancar pergerakan sendi. Tersusun dari tiga bagian, yaitu pita posterior (zona bilaminar) dengan ketebalan 3 mm, zona intermediet yang tipis (1 mm), dan pita anterior dengan ketebalan 2 mm. 4,11,13,14 Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 4. Di sebelah posteroanterior terhadap processus condylaris dan anterior dari zona bilaminar, meniscus mengandung banyak pembuluh darah, disebut tonjolan pembuluh darah (vascular knee). Daerah perlekatan muskulus pterygoideus lateralis superior di anterior dari meniskus juga bersifat vascular.14 Fungsi utama diskus artikular sebagai penyangga yang mendistribusikan gaya di antara kondilus dan eminensia. Diskus yang bersifat lentur ini akan mencegah pecahnya permukaan artikular karena beban berlebihan pada sendi.3

Gambar 3. ACL (anterior capsular ligament), AS (articular surface), IC (inferior joint cavity), ILP (inferior lateral pterygoid muscle), IRL (inferior retrodiscal tissues), RT (retrodiscal tissues), SC (superior joint cavity), SLP (superior and lateral pterygoid muscle), SRL (superior retrodiscal lamina). 17

Gambar 4. Potongan sendi temporomandibula dilihat dari samping. 4

Kondilus. Dengan menutupnya mulut, kondilus dipisahkan dari fossa artikular tulang temporal oleh band posterior yang tebal. Saat mulut terbuka, kondilus dipisahkan dari artikular eminensia tulang oleh zone intermediet yang tipis (gambar 5 dan 6).13

Gambar 5. Anatomi Temporomandibular joint, Articulatio temporomandibularis (penampang sagital) dengan mulut yang hampir tertutup pada pandangan lateral.18

Gambar 6. Anatomi Temporomandibular joint, Articulatio temporomandibularis (penampang sagital) dengan mulut yang terbuka pada pandangan lateral.18

Kapsul. Merupakan suatu kapsul yang longgar atau lepas dari mandibula; dipegang oleh otot-otot pengunyahan.8 Merupakan struktur ligamen tipis yang memanjang dari bagian temporal fossa glenoidalis di bagian atas (gambar 7), bergabung dengan tepi meniskus, dan mencapai bawah leher processus condylaris untuk mengelilingi seluruh sendi.14 Memperdekatkan diskus dan kondilus, dan melekatakan bagian bawah kondilus dan bagian atas leher kondilar.11

Gambar 7. Diagram sagital sendi temporomandibula, yang memperlihatkan rongga sendi superior (A), meniskus (B), rongga sendi inferior (C), kapsula (D), dan muskulus pterigoideus lateralis superior (E).14

Ligamen. Tersusun dari serabut jaringan ikat superficial yang obliq dan profundus yang horizontal, keluar dari basis arcus zygomaticus, memanjang posteroinferior hingga melekat pada posterior dari leher processus condylaris. Ligamen berfungsi menahan atau membatasi gerak satuan discus-processus condylaris. Ligamen stylomandibula menghubungkan processus styloideus dengan angulus mandibula, tapi peranananya ataupun fungsinya belum jelas (gambar 8 dan 9).14

Gambar 8. Anatomi Temporomandibular Joint, Articulatio Temporomandibularis pada pandangan lateral.18

Gambar 9. Kapsul sendi temporomandibula dari bagian tengah. 4

INERVASI DAN NUTRISI TMJ Inervasi. Serat rasa sakit yang berdiameter kecil masuk ke daerah yang berhubungan dengan cabang artikular dari saraf aurikulotemporal, maseterik, temporal dan kadang-kadang saraf lateral pterigoid, serta berjalan ke akar sensoris dan saluran spinal dari saraf trigeminal.4 Suplai saraf sensoris ke sendi temporomandibula didapat dari nervus auriculotemporalis dan nervus masseter cabang dari nervus mandibularis.14 Harus ditekankan disini bahwa seperti seluruh sendi sinovial yang lain, tidak ada ujung saraf dari tipe apapun pada permukaan fibrous artikular, fibrokartilago, diskus, dan sinovia. Oleh karena itu, struktur-struktur ini pasti tidak dapat menimbulkan rasa sakit artikular primer.4 Nutrisi. Melalui arteri internal maksila, terutama melalui cabang auricular yang terletak di dalam, tetapi sebagian besar struktur yang ada (meniskus, lapisan fibrous dan fibrokartilago) umumnya tidak memiliki suplai darah dan metabolismenya tergantung pada difusi dari tulang yang terletak di dalam dan cairan sinovial yang terletak di permukaan.4 Jaringan pembuluh darah untuk sendi berasal dari arteri temporalis superfisialis cabang dari arteri carotis eksterna.14 ANKILOSIS TMJ Pengertian ankilosis, berasal dari kata Yunani ankylos, berarti menjadi kakunya sendi dimana suatu hubungan dari satu atau lebih tulang atau bagian yang keras menjadi satu kesatuan, sehingga kehilangan kemampuan artikulasi dari mandibula dengan tulang temporal.2 Jadi ankilosis sendi temporomandibula adalah suatu keterbatasan pergerakan oleh jaringan tulang atau jaringan fibrous.19 Ankilosis TMJ dapat diklasifikasikan menurut jenis jaringan yang terlibat, atau menurut lokasinya.20 Ankilosis dibedakan ke dalam 3 kelompok, yaitu ankilosis fibrosa, ankilosis muskulosa, ankilosis ossea.2 Penyebab hambatan pembukaan mulut dapat terjadi akibat adanya jaringan ikat fibrous atau jaringan tulang. Bila terjadi di luar kapsul sendi disebut ankilosis falsa atau ankilosis eksterna, bila di dalam kapsul disebut ankilosis vera atau ankilosis interna. 21 Penggolongan ankilosis menurut Kazanjian dibedakan menjadi ankilosis ossea (bertulang) dan ankilosis fibrous.21 Sendi yang ankilosis dapat dikelompokkan menurut hubungan penyebaran ankilosis pada struktur sekelilingnya, terutama pada dasar tengkorak ke dalam 5 kelas.22 Fraktur kondilus yang dirawat secara konservatif dapat terjadi komplikasi ankilosis. Pasien yang berumur kurang dari sepuluh tahun dengan fraktur kondilus merupakan predisposisi terbentuknya ankilosis.21 Ankilosis TMJ dihasilkan dari trauma, infeksi, metastase tumor, irradiasi, luka bakar, dan lain-lain.23 Penyebab ankilosis sendi rahang yang paling sering adalah trauma, radang, dan tumor.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi prosentase kejadian ankilosis adalah: 1) Usia: ankilosis pada usia muda, akan mengakibatkan deformitas maksilofasial-skeletal yang menyebabkan maloklusi. Ankilosis sendi rahang dapat tampil pada setiap usia. Tetapi yang terberat dan terbanyak sebelum usia 10 tahun dan yang terberat bila terjadi pada usia sebelum 2,5 tahun. 2, 21 Bila ankilosis terjadi setelah pertumbuhan selesai, maka tidak terjadi deformasi dari skelet maksilo-fasial, maloklusi dan malposisi dari unsur-unsur geligi, kecuali bila ankilosisnya adalah akibat suatu fraktur kaput mandibulae yang tidak dirawat, dengan dislokasi besar;2 2) Jenis kelamin: prosentase ankilosis hampir sama pada setiap jenis kelamin. Jika dilihat dari kejadian ankilosis yang etiologinya menunjukkan trauma, maka kecenderungan terdapat pada jenis kelamin laki-laki.2 Ankilosis memiliki simptom eksra oral dan simptom intra oral. Simptom ekstra oral meliputi: deformasi skelet maksilofasial pada ankilosis unilateral, deformasi skelet maksilofasial pada ankilosis bilateral, deformasi skelet maksilofasial dalam angka-angka maka dilakukan tracing pada rontgen foto teleprofil yang dibuat preoperatif (gambar 10), mobilitas, jaringan parut, atrofi dan atau fibrosis muskulatur pengunyahan, problema psikis, pada umumnya tidak mengalami nyeri , kondisi fisik yang buruk.2 Simptom intra oral meliputi : bukaan mulut terbatas, karies dan kerusakan periodontal, maloklusi dan malposisi dari unsur gigi.2

Gambar 10. Tracing dari rontgen rofil dengan ankilosis bertulang unilateral terlihat LSNB jauh lebih kecil dari normal yaitu 780 - 800.2

Gambar 11. Bukaan mulut penderita ankilosis yang tercatat pre-operatif 12 mm, diukur antara pinggir insisal dari 11 kanan atas dan 11 kanan bawah. 2

Ankilosis sendi rahang terdapat pada unilateral maupun bilateral dan dapat dari jenis fibrous atau tulang. Dan dari data-data yang dikumpulkan dapat diketahui bahwa ankilosis paling sering terdapat dalam bentuk unilateral.2 Pasien berusia muda dengan ankilosis unilateral, fibrous atau bertulang, timbul suatu laterognati dengan deviasi ujung dagu ke arah sendi yang ankilosis. Hal tersebut dapat diamati pada gambar 12 dan 13. Karena imobilitas mandibula terjadilah suatu atrofi inaktivitas dari otot-otot, sehingga terdapat penampilan wajah yang mendatar pada sisi kontralateral dari sendi yang ankilosis. Pada pandangan profil, pada pasien dengan ankilosis unilateral dapat dilihat suatu dagu yang terletak ke belakang (gambar 14).2, 21

Gambar 12. Wajah penderita ankilosis fibrous unilateral kanan. Terjadi laterognati dengan deviasi dagu, dengan pendataran wajah pada sisi yang sehat.2

Gambar 13. Wajah penderita ankilosis dalam usaha membuka mulut terjadi suatu deviasi dari cekung dagu ke arah sisi sendi rahang yang ankilosis.2

Gambar 14. Wajah dan profil dengan dagu yang terbelakang sebagai akibat dari retrognati mandibula tampak jelas.2

Penyimpangan yang dapat terjadi pada ankilosis unilateral : Gigitan silang, Pergeseran garis median, Suatu gigitan kelas II/1 Angle, Suatu malposisi geligi sebagai akibat dari basis apikal yang sempit.2 Deformitas ankilosis bilateral bila terjadi pada usia muda, maka terbentuk suatu mikrogenia yang menyerupai wajah burung (bird face) yaitu dagu terletak hampir pada ketinggian yang sama dengan tulang hyoid.21 Hal ini adalah akibat pertumbuhan mandibula yang terhambat.2, 24 Lihat gambar 15 dan 16 di bawah ini. Pasien yang mengalami ankilosis bilateral pada usia muda, dapat ditemukan malformasi sebagai berikut (gambar 17 dan 18) : Sebuah kelas II/1 oklusi Angle, Rahang bawah yang ekstrim kecil terjadi kekurangan tempat bagi unsur-unsur geliginya.2

Gambar 15. Wajah dan profil penderita ankilosis bertulang bilateral, yang tumbuh post-partum menjadi mikrogenia, juga disebut wajah burung. Dagunya terletak kurang lebih pada ketinggian os hyoideum. 2

Gambar 16. Bentuk wajah burung (bird face) penderita ankilosis.24

Gambar 17. Gigitan melintas sagital yang membesar sebagai akibat kurang bertumbuhnya rahang bawah pada penderita ankilosis.2

Gambar 18. Pergeseran garis median, gigitan silang dari M1 atas kanan M1 bawah kiri dan kekurangan tempat bagi unsur-unsur geliginya di rahang bawah.2

Bila terdapat suatu ankilosis sendi rahang, dapat dilakukan pemeriksaan klinis dimana pada palpasi di porus akustikus eksternus tidak terasa mobilitas dari sendi rahang yang telah menjadi kaku. Pemeriksaan pelengkap yaitu foto Panoramik, memberikan gambaran menyeluruh dari mandibula pada gambar ankilosis usia muda.2 PENANGANAN ANKILOSIS SENDI RAHANG DENGAN KONDILEKTOMI Kondilektomi adalah pembelahan leher kondilus dan pengangkatan seluruh kondilus mandibula secara pembedahan.16, 25 Jadi, kondilektomi adalah eksisi kondilus.7 Kondilektomi diindikasikan pada fraktur kondilus yang tidak biasa, perawatan ankilosis partial, actinomycosis, osteomyelitis, hipertropi kondilus, tumor yang menyertakan kondilus, dan sebagainya.25 Pada ankilosis sendi rahang khususnya, kondilektomi hanya dapat dilakukan bila prosesus kondiloideus diikat dengan fosa glenoidea oleh adhesi fibrous, yaitu ankilosis fibrosa.2 Harus dihindari penatalaksanaan bilateral.14 Biasanya hal tersebut paling baik dilakukan operasi unilateral.25 Pada ektstirpasi prosesus kondiloideus dari segi anatomi terdapat beberapa keberatan, yaitu : suatu perdarahan dari arteri maksilaris interna yang terletak bersandar langsung pada ramus asendens, perforasi dengan terowongan pendengaran luar.2 Prosedur operasi kondilektomi dilakukan dengan mengikuti tahapan kerja sebagai berikut : persiapan operasi, pelaksanaan tahapan operasi, perawatan post operasi. 1. Persiapan operasi : rambut dicukur untuk melakukan tehnik operasi yang bersih. Rambut yang panjang dicuci dan ditutup. Kapas steril pada eksternal auditori meatus.4 2. Tahapan operasi meliputi : a) anastesi; b) insisi dibuat dalam dua bagian, B ke C dan B ke A, seperti terlihat pada gambar 20; c) dipilih regio temporal untuk insisi. Batas superior (A) melengkung ke depan 1 cm pada pertemuan tepi superior helik dan kulit (gambar 19); d) Bagian superior dari insisi diperluas. Di inferior, dilakukan pemotongan pada bidang depan terhadap kartilago kanal eksternal auditorium. Perlekatan otot aurikular dipotong (lihat anatomi otot aurikular pada gambar 21). Dengan cara ini, pembuluh darah temporal permukaan dapat ditarik ke depan pada flap; e) Fascia temporal dipotong dari titik 2 cm di depan helik dan 1 cm di atas lengkung zigomatik, ke bawah dan ke belakang akar zigoma. Insisi diteruskan melalui periosteum, ke tulang. Kemudian mengangkat periosteum dari lengkung zigomatik sampai ke artikular eminensia; f) Memeriksa letak sendi dengan merabanya, ketika rahang digerakkan secara menual menutup dan membuka. Dengan pisau tumpul, kutup superior parotid dan jaringan lunak dibuka ke depan dan ke inferior, sehingga kapsul terlihat. Pembukaan lebih lanjut dari kapsul, terutama ke belakang. Kapsul sekarang terbuka (Lihat gambar 22); g) Retraktor kondilar atau wide flat retractor diletakkan di belakang leher kondilus terlihat pada gambar 23; h) Tulang dibelah dengan suatu osteotome atau bur bedah, yaitu bur tapered fisur dengan ujung tungsten carbide yang runcing dan dengan shank yang panjang; i) Tepi tulang harus dihaluskan; j) Setelah leher kondilus dipotong dan diangkat Perdarahan dikendalikan dengan kasa; k)

Kapsul diperbaiki dan daerah operasi dijahit selapis demi selapis; l) Catgut digunakan untuk jaringan subkutaneus dan kulit dengan jahitan subkutikular, m) Tabung rubberdam diinsersikan sebagai saluran.4,25, 26

Gambar 19. Anatomi telinga luar dilihat dari sisi kanan. 18

Gambar 20. Insisi pada regio temporal dekat kanal auditorium eksternal.4

Gambar 21. Anatomi muskulus aurikularis dilihat dari sisi kiri.18

Gambar 22. Fascia parotidomasseterik diinsersi untuk menemukan kapsul sendi.25

Gambar 23. Retraktor yang diletakkan di belakang kepala kondilus.26

Gambar 24. Pembelahan kondilus menggunakan bur bedah. 26

Gambar 25. Kapsul ligamen ditutup dengan sutura catgut.25

3.

Perawatan post operasi Perawatan post operasi adalah sebagai berikut: Suatu dressing kasa tebal dipegang pada tempatnya oleh suatu tekanan perban. Keluarkan kapas dari meatus auditorium eksternal dan periksa telinga. Ruang yang terjadi, terisi sendiri oleh jaringan fibrous dan terbentuklah suatu pseudartrosis, Penisilin diberikan 4 sampai 7 hari, Suatu jaringan infus intravenus larutan dextrosa 5% dari 1000cc saline dapat diberikan juga, Dalam 24 jam perban diganti dan saluran diangkat, Pasien dianjurkan untuk mengistirahatkan rahang dan mengkonsumsi diet lunak selama 2 minggu, Pasien diajak melatih rahang.2, 4, 25

Komplikasi. Ketulian, Sindroma Auriculotemporale, kerusakan pada terminal nervus fasial dan terbukanya kelenjar parotid.2, 25 Dengan prosedur ini, akan terdapat banyak komplikasi post pembedahan, yang ditandai perubahan oklusi.16 Keuntungan. Fungsi mandibula, yang mengalami kondilektomi cukup memuaskan.2 Kondilektomi dengan insisi di depan telinga untuk pengambilan kepala kondilus mempunyai keuntungan, titik rotasi mandibula terletak dekat pada asalnya (asli) sehingga gangguan keseimbangan neuromuskular hampir tidak ada, mengakibatkan latihan koreksi deviasi buka-tutup mulut tidak dilakukan.21 Pada pembedahan dengan kondilektomi bagian atas dan diisi silastik, menempatkan titik rotasi seperti asalnya, sehingga tidak memerlukan koreksi fisioterapi yang lama.21 Kerugian. Oklusi seringkali berubah pada periode awal pasca bedah.4 Deformitas atau gangguan fungsi yang ditimbulkan oleh kondilektomi, sebagian besar disebabkan oleh pemendekan tinggi ramus dan hilangnya perlekatan muskulus pterigoideus eksternus.14 Dengan mengambil prosesus kondiloideus, dapat terjadi penyimpangan post-operatif pada jangka panjang.2 PEMBAHASAN Persendian temporomandibula merupakan suatu persendian diarthrodial. Tengkorak manusia mempunyai dua TMJ, satu sendi pada setiap sisi dari wajah, terletak di depan telinga. Ankilosis temporomandibular joint adalah suatu keterbatasan pergerakan TMJ oleh jaringan tulang atau jaringan fibrous. Ankilosis TMJ dapat diklasifikasikan menurut jenis jaringan yang terlibat yaitu tulang, fibrous atau fibro-osseus, atau menurut lokasinya, intra-kapsular atau ekstra-kapsular.20 Ankilosis dibedakan ke dalam 3 kelompok yaitu ankilosis fibrosa, ankilosis muskulosa, ankilosis ossea.2 Ankilosis TMJ dihasilkan dari trauma, infeksi, metastase tumor, irradiasi, luka bakar, dan lain-lain. Diantara penyebab ankilosis sendi rahang yang paling sering adalah trauma, radang, dan tumor. Pasien yang berumur kurang dari sepuluh tahun dengan fraktur kondilus merupakan predisposisi terbentuknya ankilosis. Prosentase kejadian ankilosis dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Ankilosis sendi rahang terdapat pada unilateral maupun bilateral dan bisa terjadi dari jenis fibrous atau tulang. Dari data-data yang dikumpulkan dapat diketahui bahwa ankilosis paling sering terdapat dalam bentuk unilateral.2 Pada ankilosis bilateral bila terjadi pada usia muda, dapat terjadi deformitas yaitu terbentuk suatu mikrogenia yang menyerupai wajah burung (bird face) yaitu dagu terletak hampir pada ketinggian yang sama dengan tulang hyoid. Salah satu teknik perawatan ankilosis sendi rahang adalah dengan kondilektomi. Kondilektomi adalah pembelahan leher kondilus dan pengangkatan kondilus. Kondilektomi diindikasikan pada fraktur kondilus yang tidak biasa, perawatan ankilosis partial, actinomycosis, osteomyelitis, hipertropi kondilus, tumor yang menyertakan kondilus, dsb. 25 Kondilektomi hanya dapat dilakukan bila prosesus kondiloideus diikat dengan fosa glenoidea oleh adhesi fibrous.2 Banyak yang mengatakan bahwa sebaiknya dilakukan operasi unilateral. Perawatan ankilosis menggunakan teknik kondilektomi memberikan keuntungan yaitu titik perputaran yang baru dari osteoartrotomi terletak sedekat mungkin dari sendi rahang yang asli. Keseimbangan neuromuskular oleh teknik kondilektomi ini hanya terganggu minimal.2 Penanganan ankilosis sendi rahang dengan teknik kondilektomi secara garis besar terdiri dari prosedur persiapan operasi (pembersihan daerah operasi dan persiapan alat-alat), tahapan operasi (anastesi, insisi, pembelahan kondilus, penghalusan tepi tulang, pengangkatan kondilus dan penjahitan), dan perawatan post operasi (dressing dengan tekanan perban, pemberian obat-obatan dan infus, istirahat dan pelatihan rahang).

Jika dilihat dari fungsi mandibula, teknik kondilektomi cukup memuaskan. Titik rotasi mandibula terletak dekat pada asalnya dan keseimbangan neuromuskular hanya terganggu minimal, sehingga tidak memerlukan koreksi fisioterapi yang lama. DAFTAR PUSTAKA 1. Alexander RGW. Teknik Alexander dan Filosofi Kontemporer. B. Susetyo (penterjemah), Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001:299. 2. Van Der Wal KGH. Ankylosis Sendi Rahang. RM Soelarko (penterjemah), Bandung: Penerbit Binacipta, 1982: xi, 1, 7, 9, 26-35, 70-72. 3. Masbirin PI. Gangguan tmj pada penderita mloklusi: pemeriksaan dan hubungannya dengan perawatan ortodontik. JKGUI 2000; 7: 599-601. 4. Ogus HD, Toller PA. Gangguan Sendi Temporomandibula. Lilian Yowono (penterjemah), Jakarta: Penerbit Hipokrates, 1990:4, 5, 7-9, 11, 12, 112-117. 5. Mercado MF. Total condylar replacement as temporomandibular ankylosis treatment. Report of two bilateral cases [Online]. 2002. Available from: http://www.medigraphic.com/ingles/i-htms/i-adm/i-od2002/iod02-1/im-od021g.htm. Accessed May 7, 2008. 6. Ahmad QG, Siddiqui RA, Khan AH, Sharma SC. Interposition arthroplasty in temporomandibular joint ankylosis [Online]. 2004. Available from: http://google.co.id/search?q=temporomandibular+ankylosis+ treated+by+condylectomy&hl=id&client=firefox-a&channel=s&rls=org.mozilla:en-us:official&start= 10&sa=N. Accessed March 19, 2008. 7. The American Heritage. Condylectomy [Online]. 2007. Available from: http//medical-dictionary. thefreedictionary.com/condylectomy. Accessed July 2, 2008. 8. Salzmann JA. Orthodontics in Daily Practice. Philadelphia: JB Lippincott Co, 1974:99. 9. Bell WE. Clinical Management of Temporomandibular Disorders. Chicago: Year Book Medical Publishers Inc., 1982:12. 10. Syahrul D, Wiwekowati, Nasutianto H, Utami LPTB. Pengaruh pengunyahan satu sisi terhadap terjadinya gangguan sendi temporomandibular yang disertai nyeri telinga. JKGM 2004; 2(3):92. 11. Khan AN. Temporomandibular joint, meniscus abnormalities [Online]. 2005. Available from: http://www.emedicine.com/ radio/topic697.htm. June 17-last updated. Accessed March 19, 2008. 12. George A. The temporomandibular joints (TMJ) [Online]. 2000. Available from: http://members.rediff.com/ dental/tmj.html Accessed February 21, 2008. 13. Berman SA. Temporomandibular disorders, [Online]. 2006. Available from: http://www.emedicine.com/ neuro/topic366.htm. June 30-last updated. Accessed December 11, 2007. 14. Pedersen GW. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Purwanto dan Basoeseno (penterjemah), Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1996:294-296, 318, 319. 15. Toller PA. Surgery of temporomandibular joint. In: Moore JR. Surgery of The Mouth and Jaws. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 1985:601. 16. George A. The temporomandibular joints; what is TMJ ankylosis, what are the causes of TMJ ankylosis?, what are the problems associated with TMJ ankylosis?, what are the treatments for TMJ ankylosis? [Online]. 2000. Available from: http://faciomaxillary.tripod.com/ankylosis.html Accessed on March 11, 2008. 17. Okeson JP. Joint intracapsular disorders: diagnostic and nonsurgical management considerations. In: Gremillion HA, Temporomandibular Disorders and Orofacial Pain, Dental Clinics of North America. Philadelphia: WB Saunders Co., 2007;51(1):86. 18. Urban, Schwarzenberg. Atlas of Human Anatomy Sobotta Electronic. German, 1993. 19. Weteid AA, Ekrish AE, Mutairi KA, Foghm SA. Temporomandibular joint ankylosis caused by mastoiditis [Online]. Available from: http://google.co.id/search?q=temporomandibular+ankylosis+treated+by+ condylectomy&hl=id&client=firefox-a&channel=s&rls=org.mozilla:en-us:official&start=10&sa=N. Accessed March 19, 2008. 20. Casanova MS, Tuji FM, Ortega AI, Yoo HJ, Neto FH. Oral medicine and pathology: computed tomography of the TMJ in diagnosis of ankylosis: two reports [Online]. 2006. Available from: http://scielo.iscii.es/scielo.php?Script=Sciarttext&pid=S1698=69462006000500006&lng=pt&Arm=&tlng =en. Accessed February 3, 2008. 21. Sudjana N. Laporan kasus kondilektomi ankilosis TMJ. Dalam : Kumpulan Makalah Ilmiah Kongres PDGI XVIII. 1992:187-190. 22. El-Hakim IE, Metwalli SA. Imaging of temporomandibular joint ankylosis. A new radiographic classification [Online]. 2002. Available from: http://www.googole.co.id/search?client=firefox-a&rls =org.mozilla%3Aen-US%3Aofficial&channel=s&hl=id&q=CONDYLECTOMY+AT+ANKYLOSIS+ MANDIBULAR&meta=&bttnG=Telusuri+dengan+Google. Accessed March 10, 2008.

23. Lee YH, Lee SC, Kim YG, Ryu DM, Lee BS, Yoon OB. Clinical cases of true tmj ankylosis using various operative methods [Online]. 1999. Available from: http//www.koreamed.org/SearchBasic.php?DT=1 &RID=78836. Accessed February 3, 2008. 24. Aydin Y, Gzel MZ, inar C. Long term results in 32 temporomandibular joint ankylosis treated with condilectomy and silicon interposition [Online]. 2001. Available from: http://www.ctf.istanbul.edu.tr/dergi/ online/2001v32/s2/012a5.htm. Accessed September 28, 2007. 25. Mead SV. Oral Surgery. St. Louis: CV Mosby Co., 1954:980-983. 26. Moos KF. Osteotomy technique- mandible. In: Moore JR, Surgery of The Mouth and Jaws. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 1985:114. 27. Ramfjord S, Ash MM. Occlusion. Philadelphia: WB Saunders Co., 1983:9.

Anda mungkin juga menyukai