Anda di halaman 1dari 18

Makalah MO - HAM Seorang Pasien yang Menolak Pengobatan

Kelompok 6
Fildzah Dini Safitri Primanda Andyastuty Birri Ifkar Boby Abdul Rahman Chairunnisa Cherlie Marsya Christopher I Simatupang Dedeh Asliah Stephanie M Ciwendro Suryo Nugroho Suhardi Syahreza Manefo Timothea Stephanie Tri Mustikawati Tri Novia Maulani Tri Wahyuningsih Valdila Arcie Gayatri 030.06.092 030.07.204 030.08.061 030.08.062 030.08.067 030.08.068 030.08.069 030.08.073 030.08.232 030.08.235 030.08.236 030.08.241 030.08.242 030.08.243 030.08.244 030.08.247

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta, 20 Juli 2011

BAB I PENDAHULUAN

Pasien dalam menerima pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan diterimanya (undang-undang no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 52). Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan memdapat persetujuan pasien (PERMENKES No.1419/MENKES/PER/2005/tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi pasal 17). Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya. Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan pasien dan bila pasien meminta untuk dihentikan pengobatan, maka terapi harus dihentikan kecuali dengan penghentian terapi akan mengakibatkan keadaan gawat darurat atau kehilangan nyawa pasien.

BAB II LAPORAN KASUS Skenario 1 Ny. S , 35 tahun, datang berobat ke sebuah klinik bedah dengan keluhan utama tidak dapat buang air kecil. Setiap kali ingin BAK, perlu ditolong dengan menggunakan kateter. Setelah dilakukan pemeriksaan lengkap, termasuk dengan kolonoskopi, ditemukan adanya tumor pada daerah kolon yang mendesak vasika urinaria sehingga menyebabkan kesulitan BAK. Dokter menganjurkan untuk dilakukan tindakan pembedahan pengangkatan tumor mengingat tumornya belum seberapa besar. Ny.S dan keluarganya setuju saran dokter dan menandatangani informed consent. Skenario 2 Saat pembedahan dilakukan, dokter menemukan banyak terjadi perlengketan dan ternyata karsinoma primernya ada pada ovarium kiri. Dihadapkan pada kenyataan yang ada pada saat itu dan kondisi pasien yg tampak melemah, dokter segera memutuskan untuk melakukan reseksi kolon dan mengangkat ovariumnya tanpa konsultasi dulu dengan dokter obgyn. Setelah operasi, kondisi pasien tampak membaik dan dokter segera memberikan kemoterapi serta penyinaran. Akibat efek samping kemoterapi dan penyinaran itu, Ny.S merasakan penderitaan yang luar biasa, tidak bisa makan karena sangat mual dan nyeri yang kadang-kadang hampir tidak tertahankan. Ny.S, akhirnya mengambil keputusan untuk menolak terapi apapun dan memilih tinggal dirumah bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa penyakitnya tidak bisa diobati dan hidupnya tidak lama lagi.

BAB III PEMBAHASAN KASUS Anamnesis I. Identitas Pasien : II. Nama Usia Pekerjaan Status : Ny.S : 35 tahun :: Menikah

Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan Utama : Tidak dapat buang air kecil Apakah ada keluhan lain ?

III.

Riwayat Penyakit Dahulu Apakah mempunyai gejala seperti ini sebelumnya? Apakah ada keluarga yang mengalami hal yang sama?

IV.

Riwayat Pengobatan, ditanyakan: Apakah sudah mendapatkan pengobatan sebelumnya?

V.

Riwayat Kehamilan Apakah sudah memiliki anak? Berapa orang? Begaimana kehamilannya?

Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan Umum

2. Kesadaran 3. Tanda Vital 4. Tekanan Darah 5. Nadi 6. Frekuensi napas 7. Suhu Permasalahan Skenario 1 1. Tidak dapat buang air kecil. 2. Ditemukan tumor di kolon yg mendesak vesika urinaria. 3. Dokter menganjurkan pembedahan. Skenario 2 1. Kesalahan diagnosis. 2. Pengambilan keputusan tanpa diketahui oleh pasien dan konsultasi terlebih dahulu oleh dokter spesialis obgyn. 3. Efek samping dari kemoterapi dan penyinaran yang diberikan menyebabkan pasien menderita. 4. Pasien menolak pengobatan terapi medis dan memilih pengobatan alternatif. 5. Pasien mengambil keputusan menolak semua terapi karena semua upaya terapi tidak mendatangkan manfaat malah menimbulkan banyak masalah dan memilih tinggal dengan keluarga. 6. Pasien menyadari bahwa penyakitnya tidak bisa diobati dan hidupnya tidak lama lagi.

Analisa Kasus Tindakan dokter dapat dikatakan sesuai dengan lage artis,apabila memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Izin pasien (informed consent) Sesuai dengan UU kesehatan no.29 tahun 2004 pasal 45 serta PerMenKes no.290 tahun 2008,dokter yang bertindak dalam kasus ini dianggap sudah menjalankan peraturan yang berlaku karena sudah memberikan informed consent sebelum melakukan tindakan pembedahan. Ny.S sebagai pasien juga berkompeten dalam menerima informed consent. Dalam artian, Ny.S sebagai pasien menandatangani informed consent tersebut dalam keadaan sadar tidak dalam pengaruh paksaan, sehat mental, dan juga cukup umur. 2. Alasan Yang dimaksud alasan dalam hal ini adalah indikasi medis. Berdasarkan indikasi medis dalam kasus ini yang ditemukan tumor pada daerah kolon yang mendesak vesika urinaria maka dokter manganjurkan melakukan tindakan pembedahan pada pasien. 3. Cara Dokter dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan standar medis yang berlaku diklinik tempat dokter tersebut bekerja. Dengan penjelasan diatas,kelompok kami menyimpulkan dokter melakukan tindakan yang benar karena memenuhi kriteria lege artis. Unsur-unsur yang harus diinformasikan : Diagnosis, Prosedur yang akan dilakukan, Tujuan tindakan tersebut, Risiko yang mungkin terjadi, Manfaat, Alternatif lain, Kemungkinan yang

timbul bila tidak dilakukan tindakan, Pasien juga berhak mendapatkan informasi mengenai perkiraan biaya pengobatan. Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima : 1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi , diperhitungkan atau dikendalikan ( ex : efek samping obat, perdarahan dll) 2. Risiko yang derajat prbabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu yaitu apabila tindakan medis yang berisiko tersebut harus dilakukan karena satu-satunya cara yang harus ditempuh, terutama dalam keadaan darurat. Kedua jenis risiko diatas apabila terjadi bukan menjadi tanggung jawab dokter sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui. Pada situasi inilah manfaat pelaksanaan informed consent. Suatu risiko atau peristiwa buruk yang tidak dapat diduga atau diperhitungkan sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter atau pemberi layanan medis. Pandangan Hukum Pasal 58 UU 36/2009 tentang Kesehatan : (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatanyang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. Pada kasus ini, dokter melakukan pengangkatan ovarium pasien dikarenakan melihat kondisi pasien yang senakin lemah. Jadi, berdasarkan pasal diatas dokter tidak bisa dikenakan tuntutan ganti rugi apabila nantinya pasien menuntut dokter. Ini dikarenakan indikasi untuk penyelamatan nyawa pasien. Pandangan Bioetik Pasien menolak pengobatan dan memilih terapi alternatif.sebagai dokter kita harus menghormati hak pasien. Ini berdasarkan prinsip bioetika yaitu: Beneficience (prinsip berbuat baik) Nonmaleficience (prinsip tidak merugikan) Prinsip keadilan Prinsip menghormati otonomi pasien

Prinsip menghormati otonomi pasien berarti dokter wajib menghormati pilihan pasien yang kompeten dan dokter wajib mempromosikan pilihan lain kepada pasien. Pada kasus ini,sebagai dokter seharusnya kita memberikan informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang terapi alternatif dari segi baik buruknya serta pihak-pihak yang berkompeten dalam melakukan terapi tersebut. Dalam kondisi ini, terlihat pasien sudah pasrah dengan ketentuan yang berlaku atas dirinya dan memutuskan untuk tidak melakukan terapi apapun baik terapi medis atau terapi alternatif.

Menurut Elisabeth Kubler-Ross, terdapat empat fase pada pasien dengan penyakit yang mematikan yaitu : Fase marah Fase menawar Fase depresi Fase menyerah

Pada kasus ini, pasien sudah termasuk fase keempat yaitu fase menyerah. Pasien sepatutnya tidak boleh menyerah karena belum mendapatkan terapi medis yang optimal. Seperti mana yang diketahui sebelumnya, Pasien telah menolak terapi medis disebabkan efek samping dari pengobatan kemoterapi dan penyinaran tersebut. Selain itu kebanyakan agama menggalakkan penganutnya untuk berusaha berobat dan tidak hanya pasrah. Sebagai dokter sebaiknya kita mengubah pola pemikiran pasien yang merasa hidupnya sudah tidak lama. Peran keluarga yang memberikan sokongan dan dukungan kepada pasien sanagt penting dan membantu dalam mengubah persepsi pasien terhadap hidupnya

Pandangan Agama Islam : Penyakit merupakan ujian iman (Q.S 21:35) Tiap tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu kembali. Hukumnya makruh untuk mengharap kematian.

Ikhlas dan sabar dalam menghadapi penyakit (Q.S Al- Baqarah : 155-156) Wajib hukumnya untuk berobat. (Wajib karena setiap penyakit ada obatnya : HR. Bukhari Muslim). Kaidah berobat : Pada ahlinya, tidak menggunakan hal-hal yang diharamkan, diperbolehkan dengan pengobatan ruqiyah yaitu dengan doa- doa bukan mantera.

Kristen Protestan : Penyebab sakit adalah dosa (first caused) dan ada sebab lainnya seperti akibat ulah manusia sendiri, ulah orang lain atau kuasa roh jahat (second caused). Katolik : Mempercayai manusia diciptakan oleh Tuhan dan nyawa manusia diberikan oleh Tuhan. Jadi, manusia berkewajiban untuk menjaganya. Manusia hendaknya bersyukur atas kehidupan yang diberikan dan mempertahankan kehidupannya demi kemuliaan Allah dan keselamatan manusia itu sendiri. Orang yang terus menerus menderita sakit parah dipandang gereja katolik sebagai misteri. Buddha Sakit, cacat, dan penderitaan adalah buah atau akibat perbuatan buruk di masa lalu Kematian bukan seharusnya ditakutkan karena akan dilahirkan kembali, tetapi sebagai manusia harus melakukan perkara-perkara baik selama hidup. Manfaat sakit parah pada penderita : Merenung perjalanan hidupnya, lalu bisa menganjurkan pasien untuk berbuat baik; Menyadari bahwa hidup adalah dukkha ; Berterima kasih mendapat kesempatan untuk melunasi kamma buruk dari masa lalu; Belajar menerima hidup sebagaimana adanya.

Hindu Sakit atau penyakit yang diderita manusia bukanlah kutukan dari Tuhan ( Sang Hyang Widi Wasa) maupun roh suci leluhur, tapi suatu peringatan, teguran, ujian agar manusia tidak sombong dalam hidupnya, si sakit hendaknya sabar melaksanakan karmanya serta berusaha untuk menyembuhkan penyakit serta memohon anugerah ke hadapan Tuhan.

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 290/MENKES/PER/III/2008 TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

Pasal 2

(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.

Pasal 3 (1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. (2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan. (3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju. (5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.

Pasal 4 (1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. (2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik. (3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN

Pasal 45 (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

1. diagnosis dan tata cara tindakan medis; 2. tujuan tindakan medis yang dilakukan; 3. alternative tindakan laindari risikonya; 4. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan 5. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. (6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. TERAPI ALTERNATIF PERMENKES RI NO.1109/MENKES/PER/IX/2007 Pengobatan komplementer tradisional alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan

dan efektifitas yang tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik dan belum diterima dalam kedokteran konvensional. Jenis pelayanan pengobatan komplementer alternatif berdasarkan Permenkes RI, Nomor : 1109/Menkes/Per/2007 adalah :

1. Intervensi tubuh dan pikiran (mind and body interventions) : Hipnoterapi, mediasi, penyembuhan spiritual, doa dan yoga 2. Sistem pelayanan pengobatan alternatif : akupuntur, akupresur, naturopati, homeopati, aromaterapi, ayurveda 3. Cara penyembuhan manual : chiropractice, healing touch, tuina, shiatsu, osteopati, pijat urut 4. Pengobatan farmakologi dan biologi : jamu, herbal, gurah 5. Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan : diet makro nutrient, mikro nutrient 6. Cara lain dalam diagnosa dan pengobatan : terapi ozon, hiperbarik, EECP

Terapi komplimenter-alternatif dapat dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan apabila aman, bermanfaat,bermutu, dan terjangkau serta memiliki hasil pengkajian yang dilakukan oleh institusi yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.

Harus sesuai dengan standart profesi dan standar pelayanan kesehatan komplementeralternative dengan melakukan anamnesa, Pemeriksaan fisik,pemeriksaan

penunjang,diagnose,terapi, dan proses rujukan.

Tenaga pengobatan komplimenter alternative:

Terdiri dari dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang memiliki pendidikan terstruktur dalam bidang pengobatan komplementer- alternative.

Dalam

memberikan

pengobatan

harus

sesuai

dengan

kompetensi

tenaga

kesehatan,pengetahuan dan keterampilan komplementer-alternatif yang dimiliki. Bila tidak sesuai dengan ilmu biomedik maka dinyatakan sebagai pengobatan tradisional.

BAB V

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta : Penerbit FKUI; 2005. 2. Wiradharma D. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran. Jakarta : Binarupa Aksara ; 1995. 3. Achadiat MC. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran. Jakarta : EGC, 2006.

Anda mungkin juga menyukai