Anda di halaman 1dari 36

Analisis Cerpen "Anak Kebanggan karya A.A.

Navis"
Semua orang memanggilnya Ompi. Ompi adalah orang kaya, ia punya seorang anak laki-laki bernama Edward. Karena suatu hal, Ompi mengganti nama anaknya menjadi Ismail. Ompi mengganti nama anaknya lagi menjadi Indra Budiman, tapi anaknya memilih nama Eddy. Ompi jengkel, tetapi karena sayang kepada anak satu-satunya itu, Ompi menyetujui nama Eddy tetapi nama belakangnya Indra Budiman. Ompi menginginkan nama depan untuk anaknya, yaitu dokter. Ompi berangan-angan anaknya menjadi seorang dokter. Indra Budiman pergi ke Jakarta. Semenjak itu, Ompi yakin bahwa anaknya akan menjadi seorang dokter. Dan benarlah. Setiap semester Indra Budiman mengirim rapor dengan nilai-nilai yang baik. Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitahukan kemajuannya, Ompi berlinang air mata. Ompi akan melakukan dan membayar sebanyak apa pun agar sang anak menjadi dokter. Semenjak itu, Ompi tidak sabar menunggu anaknya menjadi dokter. Semua orang tahu itu adalah cita-cita Ompi yang hanya akan menjadi mimpi. Indra Budiman selama ini berbohong kepada Ompi. Ompi tidak percaya dengan omongan orang-orang tentang anaknya. Ia terus mengirim banyak uang tanpa memikirkan akibatnya hanya untuk menentang omongan orang tentang anaknya. Ompi terus mengirimi anaknya surat. Orang-orang menjadi kasihan kepada Ompi. Mereka tidak lagi membicarakan hal buruk tentang Indra Budiman di depan Ompi. Ompi berfikir ini adalah saat yang tepat untuk anaknya bertunangan. Tetapi banyak gadis yang menikah tanpa mempedulikan Indra Budiman. Ompi menjadi benci kepada orang-orang yang mempunyai anak gadis itu. Ompi berbohong kepada Indra Budiman dengan mengirimi surat bahwa banyak gadis yang melamar Indra Budiman tetapi ditolak oleh Ompi. Indra Budiman percaya kepada Ompi dan menyuruh Ompi untuk mengirimkan foto gadis-gadis itu. Ompi menjadi cemas karena takut kalau ketahuan oleh Indra Budiman. Kecemasan Ompi mereda karena Indra Budiman tidak mengirim surat, tetapi Ompi juga gelisah karena suratnya tidak dibalas. Sudah beberapa bulan Ompi menunggu surat balasan dari Indra budiman tapi tak datang juga. Ompi putus asa. Saat itu juga Pak Pos datang membawa tumpukan surat Ompi yang dikembalikan. Ompi jatuh sakit. Kini dalam hidupnya, Ompi hanya menunggu

Sinopsis

satu hal, yaitu surat dari anaknya, Indra Budiman. Setiap hari Ompi menengok jendela menunggu Pak Pos mengantar surat dari Indra Budiman, tapi hal itu tidak pernah terjadi. Hingga pada suatu hari, Pak Pos datang mengirimkan surat yang berisi bahwa Indra Budiman sudah meninggal. Ompi tidak sanggup membaca dan mendengar isi surat itu karena ia tidak mau mati lemas karena bahagia mendapat surat dari anaknya. Didekap dan diciumnya surat dari Indra Budiman itu.

Unsur Intrinsik
Tema : Harapan orang tua kepada anak Alur : Maju Sudut Pandang : Orang pertama pelaku sampingan Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. tangannya diulurkannya kepadaku meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi aku tak bisa berbuat lain. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat. Lalu didekapnya di dadanya. Datang juga apa yang ku nantikan, katanya. Latar Tempat 1. Di teras rumah Ompi Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Tergesa-gesa aku menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu 2. Di kamar Ompi Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak. Ia kini menanti dengan telentang di ranjangnya. Sebuah kaca disuruhnya supaya di pasang pada dinding yang dapat memberi pantulan ke ambang pintu depan. Latar Waktu 1. Siang hari Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam sebelas siang. Latar Suasana 1. Menyenangkan Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata Ompi berlinang kegembiraan. Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh kebahagiaan yang datang bergulung ini Dan telegram itu dibawa ke bibirnya. Diciumnya dengan mesra. Lama diciumnya seraya matanya memincing. 2. Menyedihkan

Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal. Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat. 3. Mengharukan / mengenaskan Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh seleranya yang patah, Ompi bertambah menderita juga. Lahir dan batin. Namun kemalangan itu bertambah lagi. Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore. 4. Mengesankan / menakjubkan Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yang kisut. Tangannya berpegang pada sandaran kursi. Dan aku kehilangan kepercayaan pada pandangan mataku sendiri. Kekuatan apakah yang menyebabkan Ompi bisa berdiri dan bahkan berjalan itu. Aku tak tahu. 5. Menegangkan Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat kritis sekali. Tergesa-gesa aku menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram itu untuk mengetahui isinya lebih dulu. Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal. Tokoh 1. Ompi 2. Indra Budiman 3. Aku Perwatakan 1. Ompi a. Penyayang Aku bangga, Anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu. Dengan begitu kau disegani orang. Oooo, perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan ku kirim, Anakku. Mengapa tidak? Tapi karena sayang sama anak, ia terima juga nama itu, asal di tambah dibelakangnya dengan Indra Budiman. b. Sombong Ah, aku merasa lebih berduka cita lagi, karena belum sanggup menghindarkan kemalangan ini. Cpba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti dapat tertolong, katanya bila ada orang meninggal setelah lama menderita sakit. Dan kalau Ompi melihat ada orang membuat rumah, lalu ia berkata, Ah, sayang. Rumah-rumah orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra

Budiman, sudah menjadi insinyur, pastilah ia akan membantu mereka membuat rumah yang lebih indah. c. Suka berbohong Kepada Indra Budiman tak dikatakannya kemarahannya itu. Malah sebaliknya. Dikatakannya, banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang. Tapi semua telah ditolak. Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan. Bahkan juga tidak peduli ia apa gadis itu sudah meninggal. d. Suka bermimpi Pada suatu hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti menjadi kenyataan. Dia yakin itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di muka namanya sekarang. 2. Indra Budiman a. Suka berbohong Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang kampungnya. 3. Aku a. Baik hati Semenjak itu, berganti-ganti orang aku menyediakan diriku selalu di dekat Ompi. Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah berlangsung. Karena aku takut berita itu akan menambah dalam penderitaannya. Konflik 1. Batin Tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena ternyata pengantar surat itu cuma mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan. Kini dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari Indra Budimannya. Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat. 2. Fisik Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore. Amanat : Janganlah menjadi orang yang sombong. Jangan menjadi orang yang suka berbohong. Jadilah orang yang baik dan suka menolong. Jangan suka membuat orang tua kita khawatir.

1. 2. 3. 4.

5. Jadilah orang yang bisa membuat bangga orang tua. 6. Jangan menggunakan sesuatu yang baik untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. 7. Berbaktilah kepada orang tua. 8. Jangan mensia-siakan pengorbanan orang tua untuk hal yang tidak baik. 9. Gapailah cita-citamu setinggi langit. 10. Belajarlah dengan giat untuk mencapai cita-cita. Nilai Sastra Budaya Karena di kampung kami pihak perempuanlah yang datang meminang. Pendidikan Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah yakin, bahwa setahun demi setahun segala cita-citanya pasti tercapai. Dan benarlah. Ternyata setiap semester Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali. Dan setiap tahun ia naik kelas. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yang berangka baik. 3. Moral Tapi Ompi tak mau mengerti. Sikap keangkuhannya mudah tersinggung. Dan bencinya bukan kepalang kepada orang-orang tua yang mempunyai anak gadis cantik. 1. 2.

Unsur Ekstrinsik
Haji Ali Akbar Navis lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November1924. Beliau adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu

mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu. A.A. Navis meninggal pada 22 Maret 2003 karena mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Beliau mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologibersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan olehGramedia Pustaka Utama pada 2002. Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah: Surau Kami (1955) Bianglala (1963) Hujan Panas (1964) Kemarau (1967) Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (1970) Dermaga dengan Empat Sekoci (1975) Di Lintasan Mendung (1983) Dialektika Minangkabau (editor, 1983) Alam Terkembang Jadi Guru (1984) Hujan Panas dan Kabut Musim (1990) Cerita Rakyat Sumbar (1994) Jodoh (1998) Sebagai seorang penulis, ia tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakniJodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep,1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina, 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora, dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an, dan ada yang ditulis tahun 1950-an. Karya tulisnya : Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005) Gerhana: novel (2004) Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002)

Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001) Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001) Dermaga Lima Sekoci (2000) Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999) Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999) Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998) Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996) Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994) Surat dan Kenangan Haji (1994) Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994) Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990) Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986) Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984) Di Lintasan Mendung (1983) Dialektika Minangkabau (editor) (1983) Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975) Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970) Kemarau (1967) Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963) Hudjan Panas (1963) Robohnya Surau Kami (1955)

Diposkan oleh Adhysta P. Putri di 12:49 AM


adhystapputri12.blogspot.com/2011/11/analisis-cerpen-anak-kebanggan-karya-aa.html ooooo

Analisis Cerpen "Anak Kebanggan karya A.A. Navis"

Sinopsis
Semua orang memanggilnya Ompi. Ompi adalah orang kaya, ia punya seorang anak laki-laki bernama Edward. Karena suatu hal, Ompi mengganti nama anaknya menjadi Ismail. Ompi mengganti nama anaknya lagi menjadi Indra Budiman, tapi anaknya memilih nama Eddy. Ompi jengkel, tetapi karena sayang kepada anak satusatunya itu, Ompi menyetujui nama Eddy tetapi nama belakangnya Indra Budiman. Ompi menginginkan nama depan untuk anaknya, yaitu dokter. Ompi berangan-angan anaknya menjadi seorang dokter.

Indra Budiman pergi ke Jakarta. Semenjak itu, Ompi yakin bahwa anaknya akan menjadi seorang dokter. Dan benarlah. Setiap semester Indra Budiman mengirim rapor dengan nilai-nilai yang baik. Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitahukan kemajuannya, Ompi berlinang air mata. Ompi akan melakukan dan membayar sebanyak apa pun agar sang anak menjadi dokter. Semenjak itu, Ompi tidak sabar menunggu anaknya menjadi dokter. Semua orang tahu itu adalah cita-cita Ompi yang hanya akan menjadi mimpi. Indra Budiman selama ini berbohong kepada Ompi. Ompi tidak percaya dengan omongan orang-orang tentang anaknya. Ia terus mengirim banyak uang tanpa memikirkan akibatnya hanya untuk menentang omongan orang tentang anaknya. Ompi terus mengirimi anaknya surat. Orang-orang menjadi kasihan kepada Ompi. Mereka tidak lagi membicarakan hal buruk tentang Indra Budiman di depan Ompi. Ompi berfikir ini adalah saat yang tepat untuk anaknya bertunangan. Tetapi banyak gadis yang menikah tanpa mempedulikan Indra Budiman. Ompi menjadi benci kepada orang-orang yang mempunyai anak gadis itu. Ompi berbohong kepada Indra Budiman dengan mengirimi surat bahwa banyak gadis yang melamar Indra Budiman tetapi ditolak oleh Ompi. Indra Budiman percaya kepada Ompi dan menyuruh Ompi untuk mengirimkan foto gadis-gadis itu. Ompi menjadi cemas karena takut kalau ketahuan oleh Indra Budiman. Kecemasan Ompi mereda karena Indra Budiman tidak mengirim surat, tetapi Ompi juga gelisah karena suratnya tidak dibalas. Sudah beberapa bulan Ompi menunggu surat balasan dari Indra budiman tapi tak datang juga. Ompi putus asa. Saat itu juga Pak Pos datang membawa tumpukan surat Ompi yang dikembalikan. Ompi jatuh sakit. Kini dalam hidupnya, Ompi hanya menunggu satu hal, yaitu surat dari anaknya, Indra Budiman. Setiap hari Ompi menengok jendela menunggu Pak Pos mengantar surat dari Indra Budiman, tapi hal itu tidak pernah terjadi. Hingga pada suatu hari, Pak Pos datang mengirimkan surat yang berisi bahwa Indra Budiman sudah meninggal. Ompi tidak sanggup membaca dan mendengar isi surat itu karena ia tidak mau mati lemas karena bahagia mendapat surat dari anaknya. Didekap dan diciumnya surat dari Indra Budiman itu.

Unsur Intrinsik
Tema : Harapan orang tua kepada anak Alur : Maju Sudut Pandang : Orang pertama pelaku sampingan Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. tangannya diulurkannya kepadaku meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi aku tak bisa berbuat lain. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat. Lalu didekapnya di dadanya. Datang juga apa yang ku nantikan, katanya. Latar Tempat 1. Di teras rumah Ompi Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Tergesa-gesa aku menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu 2. Di kamar Ompi Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak.

1. 1. 2. 3. 4.

5.

1. 2. 3. 1. a.

Ia kini menanti dengan telentang di ranjangnya. Sebuah kaca disuruhnya supaya di pasang pada dinding yang dapat memberi pantulan ke ambang pintu depan. Latar Waktu Siang hari Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam sebelas siang. Latar Suasana Menyenangkan Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata Ompi berlinang kegembiraan. Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh kebahagiaan yang datang bergulung ini Dan telegram itu dibawa ke bibirnya. Diciumnya dengan mesra. Lama diciumnya seraya matanya memincing. Menyedihkan Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal. Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat. Mengharukan / mengenaskan Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh seleranya yang patah, Ompi bertambah menderita juga. Lahir dan batin. Namun kemalangan itu bertambah lagi. Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore. Mengesankan / menakjubkan Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yang kisut. Tangannya berpegang pada sandaran kursi. Dan aku kehilangan kepercayaan pada pandangan mataku sendiri. Kekuatan apakah yang menyebabkan Ompi bisa berdiri dan bahkan berjalan itu. Aku tak tahu. Menegangkan Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat kritis sekali. Tergesa-gesa aku menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram itu untuk mengetahui isinya lebih dulu. Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal. Tokoh Ompi Indra Budiman Aku Perwatakan Ompi Penyayang

b.

c. d. 2. a. 3. a. 1. 2.

Aku bangga, Anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu. Dengan begitu kau disegani orang. Oooo, perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan ku kirim, Anakku. Mengapa tidak? Tapi karena sayang sama anak, ia terima juga nama itu, asal di tambah dibelakangnya dengan Indra Budiman. Sombong Ah, aku merasa lebih berduka cita lagi, karena belum sanggup menghindarkan kemalangan ini. Cpba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti dapat tertolong, katanya bila ada orang meninggal setelah lama menderita sakit. Dan kalau Ompi melihat ada orang membuat rumah, lalu ia berkata, Ah, sayang. Rumah-rumah orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah menjadi insinyur, pastilah ia akan membantu mereka membuat rumah yang lebih indah. Suka berbohong Kepada Indra Budiman tak dikatakannya kemarahannya itu. Malah sebaliknya. Dikatakannya, banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang. Tapi semua telah ditolak. Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan. Bahkan juga tidak peduli ia apa gadis itu sudah meninggal. Suka bermimpi Pada suatu hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti menjadi kenyataan. Dia yakin itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di muka namanya sekarang. Indra Budiman Suka berbohong Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang kampungnya. Aku Baik hati Semenjak itu, berganti-ganti orang aku menyediakan diriku selalu di dekat Ompi. Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah berlangsung. Karena aku takut berita itu akan menambah dalam penderitaannya. Konflik Batin Tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena ternyata pengantar surat itu cuma mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan. Kini dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari Indra Budimannya. Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat. Fisik Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore.

Amanat : 1. Janganlah menjadi orang yang sombong. 2. Jangan menjadi orang yang suka berbohong. 3. Jadilah orang yang baik dan suka menolong. 4. Jangan suka membuat orang tua kita khawatir. 5. Jadilah orang yang bisa membuat bangga orang tua. 6. Jangan menggunakan sesuatu yang baik untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. 7. Berbaktilah kepada orang tua. 8. Jangan mensia-siakan pengorbanan orang tua untuk hal yang tidak baik. 9. Gapailah cita-citamu setinggi langit. 10. Belajarlah dengan giat untuk mencapai cita-cita. Nilai Sastra 1. Budaya Karena di kampung kami pihak perempuanlah yang datang meminang. 2. Pendidikan Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah yakin, bahwa setahun demi setahun segala cita-citanya pasti tercapai. Dan benarlah. Ternyata setiap semester Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali. Dan setiap tahun ia naik kelas. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yang berangka baik. 3. Moral Tapi Ompi tak mau mengerti. Sikap keangkuhannya mudah tersinggung. Dan bencinya bukan kepalang kepada orang-orang tua yang mempunyai anak gadis cantik.

Unsur Ekstrinsik
Haji Ali Akbar Navis lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November1924. Beliau adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritikkritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu. A.A. Navis meninggal pada 22 Maret 2003 karena mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Beliau mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.

Diposkan oleh AnysyaRizkya di 22.27

Ooooooo

Mastereon - Anak Kebanggaan adalah salah satu cerpen dalam novel kumpulan cerpen berjudul 'Robohnya Surau Kami' karangan A. A. Navis yang merupakan salah satu karya sastra klasik kebanggaan bangsa Indonesia. Buku Robohnya Surau Kami ini berisi 10 cerpen: Robohnya Surau Kami, Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi Helm, Datangnya dan Perginya, Pada Pembotakan Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari Masa ke Masa. Di dalam setiap cerpennya di buku ini, A.A. Navis menampilkan wajah Indonesia di zamannya dengan penuh kegetiran. Penuh dengan kata-kata satir dan cemoohan akan kekolotan pemikiran manusia Indonesia saat itu - yang masih relevan pada masa sekarang ini. Kawan tidak perlu lagi men-download novel Robohnya Surau Kami lagi karena Mastereon sudah menyediakan cerpen-cerpen A. A. Navis tersebut dan dapat dibaca di postingan berikut.

Anak Kebanggaan
Semua orang, tua-muda, besar-kecil, memanggilnya Ompi. Hatinya akan kecil bila di panggil lain. Dan semua orang tak hendak mengecilkan hati orang tua

itu. Di waktu mudanya Ompi menjadi klerk di kantor Residen. Maka sempatlah ia mengumpulkan harta yang lumayang banyaknya. Semenjak istrinya meninggal dua belas tahun berselang, perhatiannya tertumpah kepada anak tunggalnya, laki-laki. Mulamula si anak di namainya Edward. Tapi karena raja Inggris itu turun takhta karena perempuan, ditukarnya nama Edward jadi Ismail. Sesuai dengan nama kerajaan Mesir yang pertama. Ketika tersiar pula kabar, bahwa ada seorang Ismail terhukum karena maling dan membunuh, Ompi naik pitam. Nama anaknya seolah ikut tercemar. Dan ia merasa terhina. Dan pada suatu hari yang terpilih menurut kepercayaan orang tua-tua, yakin ketika bulan sedang mengambang naik, Ompi mengadakan kenduri. Maka jadilah Ismail menjadi Indra Budiman. Namun si anak ketagihan dengan nama yang dicarinya sendiri, Eddy. Ompi jadi jengkel. Tapi karena sayang sama anak, ia terima juga nama itu, asal di tambah di belakangnya dengan Indra Budiman itu. Tak beralih lagi. Namun dalam hati Ompi masih mengangankan suatu tambahan nama lagi di muka nama anaknya yang sekarang. Calon dari nama tambahan itu banyak

sekali. Dan salah satunya harus dicapai tanpa peduli kekayaan akan punah. Tapi itu tak dapat dicapai dengan kenduri saja. Masa dan keadaanlah yang menentukan. Ompi yakin, masa itu pasti akan datang. Dan ia menunggu dnegan hati yang disabarsabarkan. Pada suatu hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti menjadi kenyataan. Dia yakin itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di muka namanya sekarang. Atau salah satu titel yang mentereng lainnya. Ketika Ompi mulai mengangankan nama tambahan itu, diambilnya kertas dan potlot. Di tulisnya nama anaknya, dr. Indra Budiman. Dan Ompi merasa bahagia sekali. Ia yakinkan kepada para tetangganya akan cita-citanya yang pasti tercapai itu. "Ah, aku lebih merasa berduka cita lagi, karena belum sanggup menghindarkan kemalangan ini. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti dapat tertolong," katanya bila ada orang meninggal setelah lama menderita sakit. Dan kalau Ompi melihat ada orang membuat rumah, lalu ia berkata, "Ah sayang. Rumah-rumah orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah menjadi insinyur, pastilah ia

akan membantu mereka membuat rumah yang lebih indah." Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah yakin, bahwa setahun demi setahun segala cita-citanya tercapai pasti. Dan benarlah. Ternyata setiap semester Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali. Dan setiap tahun ia naik kelas. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yang berangka baik. Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata Ompi berlinang kegembiraan. "Ah, Anakku," katanya pada diri sendiri, "Aku bangga, Anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu. Dengan begitu kau disegani orang. Oooo, perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim, Anakku. Mengapa tidak?" Dan semenjak itu Ompi kurang punya kesabaran oleh kelambatan jalan hari. Seperti calon pengantin yang sedang menunggu hari perkawinan. Tapi semua orang tahu, bahkan tidak menjadi rahasia lagi bahwa cita-cita Ompi hanyalah akan menjadi mimpi

semata. Namun orang harus bagaimana mengatakannya, kalau orang tua itu tak hendak percaya. Malah ia memaki dan menuduh semua manusia iri hati akan kemajuan yang di capai anaknya. Dan segera ia mengirim uang lebih banyak, tanpa memikirkan segala akibatnya. Dan itu hanya semata untuk menantang omongan yang membusukkan nama baik anaknya. "Sekarang kau diomongi orang-orang yang busuk mulut, Anakku. Tapi ayah mengerti, kalau mereka memfitnahmu itu karena mereka iri pada hidupmu yang mentereng. Cepat-cepatlah kau jadi dokter, biar kita sumpal mulut mereka yang jahat itu," tulisnya dalam sepucuk surat. Dan akhirnya orang jadi kasihan pada Ompi. Tak seorang pun lagi membicarakan Indra Budiman padanya. Malah sebaliknya kini, semua orang seolah sepakat saja untuk memuji-muji. "Ooo, anak Ompi itu. Bukan main dia. Kalau tidak ke sekolah, tentu menghafal di rumah," kata seseorang yang baru pulang dari Jakarta menjawab tanya Ompi. "Ke sekolah? Kenapa ke sekolah dia?" Ompi merasa

tersinggung. "Kalau studen tidak menghafal, tahu? Tapi studi. Tidak ke sekolah. Tapi kuliah." "O, ya, ya, Ompi. Itulah yang kumaksud."

"Aku sudah kira Indra Budiman, anakku anak baik. Ia pasti berhasil. Aku bangga sekali. Ah, kau datanglah ke rumahku makan siang. Aku potong ayam." Dan oleh perantau pulang lainnya dikatakan kepada Ompi. "Siapa yang tak kenal dia. Indra Budiman. Seluruh Jakarta kenal. Seluruh gadis mengharap cintanya." Lalu Ompi geleng-geleng kepala dengan senyumnya. "Bukan main. Bukan main. Indra Budiman anakku itu. Ia memang anak tampan. Perempuan mana yang tak tergila-gila kepadanya. Ha ha ha. Ah, datanglah kau ke rumahku nanti. Ada oleh-oleh buatmu." Kemudian kalau Ompi ketemu gadis cantik yang di kenalnya, ditegurnya: "Hai, kaukenal anakku, studen dokter itu, bukan? Nanti kalau ia pulang, aku perkenalkan padamu. Biar kau dipinangnya. Ha ha ha."

Si gadis tentu saja merah mukanya, karena merasa tersinggung. Tapi menurut Ompi, muka merah itu karena malu tersipu. Dan ia jadi tambah gembira. Akan tetapi ketika Ompi tahu aku bakal kawin, dia dapat ilham baru. Dia pun merasa pula, bahwa Indra Budiman sudah patut di tunangkan. Dan pada sangkanya, tentu Indra Budiman akan gembira dan bertambah rajin menuntut ilmu, sebagai imbangan budi baik ayahnya yang tak pernah melupakan segala kebutuhan anaknya. Dan diharapkannya pula kedatangan orang-orang meminang Indra Budimannya. Karena di kampung kami pihak perempuanlah yang datang meminang. Sudah tentu harapan Ompi tinggal harapan saja. Tapi Ompi tak mau mengerti. Sikap keangkuhannya mudah tersinggung. Dan bencinya bukan kepalang kepada orang-orang tua yang mempunyai anak gadis cantik. Bahkan bukan kepalang meradangnya Ompi, jika ia tahu orang-orang mengawinkan anak gadisnya yang cantik tanpa mempedulikan Indra Budiman lebih dulu. Tak masuk akal, orang-orang tak menginginkan anaknya, si calon dokter itu. Lamalama rasa dendamnya pada mereka bagai membara. "Awaslah nanti. Kalau Indra Budimanku sudah menjadi dokter, akan kuludahi mukamu semua.

Sombong." Kepada Indra Budiman tak dikatakannya kemarahannya itu. Malah sebaliknya. Dikatakannya, banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang. Tapi semua telah ditolak. Karena menurut keyakinannya, Indra Budimannya lebih mementingkan studi daripada perempuan. Apalagi seorang studen dokter tentu takkan mau dengan gadis kampungan yang kolot lagi. "Pilihlah saja gadis di Jakarta, Anakku. Gadis yang sederajat dengan titelmu kelak," penutup suratnya. Celakanya Indra Budiman yang selama ini menyangka bahwa tak mungkin ia dimaui oleh orang kampungnya, lantas jadi membalik pikirannya. Ia jadi sungguh percaya, bahwa sudah banyak orang yang datang melamarnya. Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang kampungnya. Lupa ia bahwa semua mata orang kampungnya yang tinggal di Jakarta selalu saja mempercermin hidupnya yang bejat. Sejak itu berubahlah letak panggung sandiwara. Jika dulu si anak yang berbohong, si ayah yang percaya, maka kini si ayah yang menipu, si anak yang percaya. Lalu si anak mengharapkan kepada ayahnya supaya dikirimu foto-foto gadis

yang

dicalonkan.

Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan. Bahkan juga tidak peduli ia apa gadis itu sudah meninggal. Ia kirim terus dengan harapan semoga anaknya tidak berkenan. Dan alangkah gembiranya Ompi, andaikata tidak ada sebuah pun dari foto-foto itu yang berkenan di hati anaknya. Disamping itu ia sadar juga, bahwa kepalsuan sandiwaranya sudah tentu akan berakhir juga pada suatu masa. Anaknya pasti lama-lama tahu dan dengan begitu akan timbul kesulitan lain yang tak mudah di selesaikan. Tapi rupanya Tuhan mengasihi ayah yang sayang kepada anaknya. Persis ketika Ompi kehabisan foto para gadis itu, dengan tiba-tiba saja surat Indra Budiman tak datang lagi. Antara rusuh dan lega, Ompi gelisah juga menanti surat dari anaknya. Layaknya macan lapar yang terkurung menunggu orang memberikan daging. Pasai ia menunggu, dikiriminya surat. Ditunggunya beberapa hari. Tapi tak datang balasan. Dikiriminya lagi. Ditunggunya. Juga tak terbalas. Dikirim. Ditunggu. Selalu tak berbalas. Bulan datang, bulan pergi, Ompi tinggal

menunggu

terus.

Pada suatu hari yang tak baik, di kala Ompi sudah mulai putus asa, datanglah Pak Pos dengan di tangannya segenggam surat. Maka darah Ompi kencang berdebar. Gemetar karena ia bahagia. Tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena ternyata pengantar surat itu Cuma mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan. Ia tak percaya bahwa surat-suratnya itu kembali. Ia seperti merasa bermimpi dan tubuhnya serasa seringan kapas yang melayang di tiup angin. Dibalik-baliknya surat itu berulang kali. Lalu di bukanya dan dibacanya satu persatu. Dan tahulah ia, bahwa semuanya memang surat untuk anaknya yang ia kirimkan dulu. Tapi ia tak meyakininya dengan sungguh-sungguh. Malah ia coba meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia sedang bermimpi. Dan berdoalah ia kepada Tuhan, agar apa yang terjadi adalah memang mimpi. Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh seleranya yang patah, Ompi bertambah menderita jua. Lahir dan batin. Kini dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari anaknya, Indra Budimannya. Seluruh hidupnya bagai jadi meredup

seperti lampu kemersikan sumbu. Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak. Tapi matanya selalu lebar terbuka memandang langit-langit kelambu. Mata itu kian hari semakin jadi besar tampaknya oleh badannya yang kian mengurus. Tapi mata yang lebar itu tiada cemerlang. Redup. Akan tetapi setiap sore, diantara jam empat dan jam lima, Ompi kelihatan seperti orang sakit yang bakal sembuh. Dan ia sanggup berdiri dan melangkah ke pintu depan. Dan cahaya matanya kembali bersinarsinar. Karena pada jam itu biasanya Pak Pos biasanya mengantarkan surat-surat ke alamatnya masing-masing. Tapi saat-saat seperti itu, yang membiarkan masa bahagia dan harapan, adalah juga masa yang menambah dalam luka hatinya, hingga lebih meroyak. Sebab selamanya Pak Pos itu tak mampir lagi membawakan surat dari Indra Budiman. Dan kalau Pak Pos itu telah lewat tanpa singgah, reduplah lagi mata Ompi. Namun kemalangan itu bertambah lagi. Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore. Ia kini menanti dengan telentang di ranjangnya. Sebuah kaca disuruhnya

supaya di pasang pada dinding yang dapat memberi pantulan ke ambang pintu depan, sehingga ia akan serta-merta dapat melihat Pak Pos mengantarkan surat Indra Budiman. Dan semenjak itu, pada setiap jam empat hingga jam lima sore, matanya akan menatap ke kaca itu. Hanya di waktu itu saja. Sedangkan di waktu lain Ompi seolah tak peduli pada segalanya. Kami tak pernah lagi memanggil dokter setelah tiga kali ia datang. Karena kedatangan dokter hanya akan memperdalam luka hatinya saja. Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat. Kedatangan seorang dokter di pandangnya sebagai suatu sindiran, bahwa anaknya masih juga belum berhasil menjadikan citacitanya tercapai. Ketika terakhir aku menemui dokter yang sudah enggan datang, dokter hanya menggelengkan kepala saja. "Aku tak mampu mengobatinya lagi. Carilah dokter lain saja. Atau bawa ia ke rumah sakit. Kalau semua tak mungkin, jangan tinggalkan dia sendirian. Bila perlu, meski dengan resiko besar, bangunkanlah kembali mahligai angan-angannya."

Semenjak itu, berganti-ganti orang aku menyediakan diriku selalu dekat Ompi. Aku sadar, bahwa tiada harapan lagi buatnya hidup lebih lama. Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah berlangsung. Karena aku takut berita itu akan menambah dalam penderitaannya. Di samping itu secara samar-samar aku elus terus harapannya yang indah bila Indra Budiman kembali. Kukarang cerita masa lalu dan angan-angan masa depan yang menyenangkan. Kuceritakan dengan hati yang kecut. Aku pun tahu, tidak ada gunanya semua. Hanya satu yang dikehendakinya. Surat dari Indra Budiman. Surat yang mengatakan bahwa ia sudah lulus dan telah mendapat titel dokterya. Kadang-kadang terniat olehku hendak menulis sendiri surat itu. Tapi aku selamanya bimbang, malahan takut, kalau-kalau permainan itu akan berakibat yang lebih fatal. Maka tak pernah aku coba menulisnya. Pada suatu hari terjadilah apa yang kuduga bakal terjadi. Tapi tak kuharapkan berlangsungnya. Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam sebelas siang. Aku tahu itu pastilah bukan surat yang dibawanya. Melainkan sepucuk telegram. Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat

kritis sekali. Tergesa-gesa aku menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram itu untuk mengetahui isinya lebih dulu. Dan jika perlu akan kuubah isinya. Agar terelakkan saatsaat yang menyeramkan. Akan tetapi semua kejadian datang dengan serba tiba-tiba. Hingga gagallah recanaku. Tak sempat aku membuka surat itu. Karena di luar segala dugaanku, Ompi yang sudah lumpuh selama ini, telah berada saja di belakangku. Sesaat ketika aku menerima dan menandatangani resi telegram itu. Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yang kisut. Tangannya berpegang pada sandaran kursi. Dan aku kehilangan kepercayaan pada pandangan mataku sendiri. Kekuatan apakah yang menyebabkan Ompi bisa berdiri dan bahkan berjalan itu. Aku tak tahu. "Bukalah. Bacakan segera isinya." Ompi berkata seperti ia memerintah orang-orang di waktu mudanya dulu. Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal.

"Telegram dari anakku? Apa katanya? Pulanglah dia membawa titel dokternya?" Ompi bertanya dengan suara yang mendesis tapi terburu-buru berdesakan keluar. Tak tahulah aku, apa yang harus kukatakan. Dan kuharapkan sebuah keajaiban yang diberikan Tuhan untuk membebaskan aku dari siksa ini. Tapi keajaiban tidak juga datang. Aku mengangguk. Sedang dalam hatiku berteriak, terjadilah apa yang akan terjadi. Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. Tangannya diulurkannya kepadaku meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi aku tak bisa berbuat lain. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat. Lalu didekapkan ke dadanya. "Datang juga apa yang kunantikan," katanya. Sepi begitu mendengar menekan, denyut sehingga aku dapat jantungku sendiri.

"Ah, tidak. Aku takkan membaca telegram ini. Aku takut kegembiraanku akan meledakkan hatiku. Kaubacakan buatku. Bacakan pelan-pelan. Biar

sepatah demi sepatah bisa menjalari segala saraf sarafku," kata Ompi dengan terputus-putus. Dalam kegugupan kususun sebuah taruhan jiwa dan sesalam bagi selama hidupku. Akan kukarang kisah yang menyenangkan hatinya. Tapi telegram itu tak diberikannya padaku. Masih terletak pada dekapan dadanya. Sedangkan bibirnya membariskan senyum, serta matanya menyinarkan cahaya yang cemerlang. "Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh kebahagiaan yang datang bergulung ini. Aku mau sehat. Mau kuat dulu. Sehingga ledakan kegembiraan ini tak membunuhku. Panggilkan dokter. Panggilkan. Biar aku jadi segar bugar pada waktu anakku, Dokter Indra Budiman, datang. Pergilah. Panggilkan dokter," kata Ompi dengan gembira. Dan telegram itu dibawa ke bibirnya. Diciumnya dengan mesra. Lama diciumnya seraya matanya memicing. Selama tangannya sampai terkulai dan matanya terbuka setelah kehilangan cahaya. Dan telegram itu jatuh dan terkapar di pangkuannya. Tweet
www.mastereon.com/2012/04/anak-kebanggaan-cerpen.html

oooooo

SANG KEPALA PENCEMOOH DALAM SEBUAH KISAH PROSES KREATIF A.A NAVIS
PROSES KREATIF A.A NAVIS

A. Profil Ali Akbar Navis Nama lengkapnya adalah Ali Akbar Navis, tetapi sepanjang kariernya ia lebih dikenal dengan namanya yang lebih simpel A.A. Navis. Putera dari St. Marajo Sawiyah ini lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, pada tanggal 17 November 1924. Ia merupakan anak sulung dari lima belas bersaudara.Berbeda dengan kebanyakan putera Minangkabau yang senang merantau, A.A. Navis telah memateri dirinya untuk tetap tinggal di tanah kela hirannya. Ia berpendapat bahwa merantau hanyalah soal pindah tempat dan lingkungan, namun yang menentukan keberhasilan pada akhirnya tetaplah kreativitas itu sendiri. Navis memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesisch Nederiandsch School (INS) di daerah Kayutaman selama 11 tahun. Kebetulan jarak antara rumah dan sekolah Navis cukup jauh. Perjalanan panjang yang ditempuhnya setiap hari itulah yang kemudian dimanfaatkannya untuk membaca buku-buku sastra yang dibelinya itu. Selama sekolah di INS, selain mendapat pelajaran utama, Navis juga men dapat pelajaran kesenian dan berbagai keterampilan.Pendidikan Navis, secara formal,

hanya sampai di INS. Selanjutnya, dia belajar secara otodidak. Akan tetapi, kegemarannya membaca buku (bukan hanya buku sastra, juga berbagai ilmu pe ngetahuan lain) memungkinkan intelektualnya berkembang. Bahkan, terlihat agak menonjol dari teman seusianya. Dari berbagai bacaan yang diperolehnya, Navis kemudian mulai menulis kritik dan esai. Ia berusaha menyoroti kelemahan dari cerpencerpen Indonesia dan mencari ke kuatan-kekuatan dari cerpen-cerpen asing. Ketika menulis cerpennya sendiri, kelemahan cerpen Indonesia itulah yang coba diperbaikinya dengan memadukan dengan kekuatan cerpen asing. Navis pernah berkeinginan menulis tentang peristiwa kemiliteran yang pernah dihadapi bangsa Indonesia dan tentang kebangkitan umat Islam. Akan tetapi, keinginan itu diurungkannya mengingat sulitnya mencari penerbit yang mau menerbitkan cerita yang berisi kedua peris tiwa tersebut. Kalau dipaksakan, hal itu bisa menjadi suatu karya yang mubazir. Navis memang prihatin terhadap situasi bangsa Indonesia saat itu sehingga tidak perlu heran mengapa banyak pengarang lebih memilih mem buat cerita hiburan agar bisa terbit. Keadaan itu menimbulkan kesan bahwa bangsa Indonesia memang lebih menyukai pekerjaan di atas ranjang dari pada pekerjaan bermanfaat bagi manusia. Sesuatu yang sangat mengganggu.

Setelah Navis menikah, istrinya juga ikut membantu pekerjaannnya sebagai sastrawan. Apabila ia sedang menulis sebuah cerita, istrinya selalu mendampinginya dan membaca tiap lembar karangannya. Ia memperhatikan reaksi istri nya ketika membaca

dan itulah yang dibuatnya sebagai ukuran bahwa tulisannya sesuai atau tidak dengan keinginannya. Di hari tuanya, masih saja Navis menyimpan beberapa gagasan untuk menulis cerpen dan memulai menggarap novel. Beberapa dari keinginannya itu sudah selesai, tetapi banyak juga yang terbengkalai. Kendalanya adalah usianya yang bertambah tua yang menye babkan daya tahan tubuh dan pikirannya semakin menurun. A.A. Navis meninggal karena sakit, di Rumah Sakit Pelni, Jakarta, tahun 2004.

B. Proses Kreatif Ali Akbar Navis Navis memulai kariernya sebagai penulis ketika usianya sekitar tiga puluhan. Sebenamya, ia sudah mulai aktif menulis sejak tahun 1950. Akan tetapi, kepenulisannya baru diakui sekitar tahun 1955 sejak cerpennya banyak muncul di beberapa majalah, seperti Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan Roman. Selain cerpen, Navis juga menulis naskah sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti Stasiun RRI Bukittinggi, Padang, Palembang, dan Makassar. Seterusnya, ia juga mulai menulis novel. Tema-tema yang muncul dalam karya-karya A.A. Navis biasanya bernafaskan kedaerahan dan keagamaan sekitar masyarakat Minangkabau. Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah

tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya Ketika A. A Navis menciptakan sebuah karya ia harus berpikir berulang-ulang, kadang ketika ia sudah selesai mencipakan sebuah tulisan ia tidak langsung mengirimkannya pada sebuah penerbit ia diamkan tulisannya untuk beberapa saat kemudian ia member penilaian tentang tulisannya sendiri ,ia seakan-akan menilai tulisan orang lain . Banyak sekali pengalaman yang dialami oleh A. A Navis kadang hasil tulisannya tidak dimuat , meskipun dia sudah menjadi pengarang ternama, berikut ini adalah hasil karangannya yang ditolak oleh penerbit: 1. Cerpen Datang dan Perginya dan cerpen Anak Kebanggaan pada mulanya dikirimkan ke majalah kisah , tetapi ditolak , kemudian ke majalah Mimbar Indonesia dan dimuat. 2. Cerpen Angn dari Gunung dikirimkan ke majalah prosa ditoloak oleh redaksi , kemudian di muatkan dalam kumpulan cerpen robohnya surau kami . Ada beberapa alasan yang mungikin menjadi penyebab kenapa banyak tulisan A. A Navis tidak Dimuat, Sebagai berikut: 1. Mungkin ketika menulis tidak dalam kondsi yang fit , sehingga cepat lelah sedangkan cerita itu belum selesai . kalau dipaksakan cerita mnjadi ngalantur.

2. Mungkin konsep bahan cerita tidak matang sehingga alur cerita tidak menentuatau jalan cerita bertele-tele. 3. Mungkin juga disebabkan hal yang lain , situsi atau suasana yang akan dating mengganggu kemudian .

Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? Soalnya, senjata saya hanya menulis, katanya. Baginya menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen, katanya seperti dikutip Kompas. Minggu, 7 Desember 1997. Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.

Ia juga menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku

menulis

dengan

satu

visi.

Ia

bukan

mencari

ketenaran.

Sebagai seorang pengarang Ali Akbar Navis tentunya tidak lepas dari kesulitan kesulitan selama mengarang . kesulitan yang ia alami terutama menyangkut soal kenahasaan . berikut ini adalah kesulitan yang dialami beliau: 1. Bahasa yang digunakan tidak lancar hal ini mungkin karena A,A Navis jarang bergaul dengan orang-orang yang memakai bahasa Indonesia , sehingga ketika menulis dia menulis dalam stuktur bahasa minang kabau kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Kesuliatan utama adalah ketika menulis dialog. 2. A.A Navis selama dibangku sekolahan tidak diberi pelajaran bagaimana mengungkapkan pikiran yang tepat dengan bahasa Indonesia yang baik. 3. A. A Navis tidak memiliki pengalaman hidup yang penuh avountur sehingga tidak bahan yang luas untuk diberitakan dalam karya karyanya.

C. Kepengarangan Ali Akbar Navis Ali Akbar Navis, lebih dikenal dengan nama AA Navis, yang di kalangan sastrawan digelari sebagai kepala pencemooh. Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.

Tentang kehadirannya di percaturan sastra Indonesia, A. Teeuw berkomentar bahwa Navis sebenarnya bukan seorang pengarang besar, tetapi seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah konsep Jawa (pengarang Jawa) sehingga ia layak disebut sebagai pengarang Angkatan Terbaru. Komentar lain, Abrar Yusra mengatakan bahwa cerpen Navis Robohnya Surau Kami yang mendapat hadiah kedua dari majalah Kisah sebenarnya lebih terkenal daripada cerpen kejantanan di Sumbing karya Subagio Sastrowardoyo. Hidup sebagai sastrawan tidaklah mudah, terutama dalam masalah perekonomian. Hidup dari sekadar mengharapkan upah menulis menjadi suatu hal yang mustahil. Hal ini disadari betul oleh Navis. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa ia menjadi pengarang ha nya ketika saat ia mengarang saja. Setelah itu, ia menjadi orang biasa lagi yang harus bekerja untuk mendapatkan nafkah. Di Luar bidang kepengarangannya itu, Navis bekerja sebagai pemimpin redaksi pada harian Semangat (harian angkat an bersenjata edisi Padang), Dewan Pengurus Badan Wakaf INS, dan pengurus Kelompok Cendekiawan Sumatera Barat (Padang Club). Di samping itu, Navis juga sering menghadiri berbagai seminar masalah sosial dan budaya, sebagai pemakalah atau peserta.

D. Hasil Karya Ali Akbar Navis a. Cerita Pendek

Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen), Jakarta. Gramedia, 1986 (2) Hujan Panas dan Kabut Musim(kump cerpen), Jakarta: Jam batan, 1990 (3) Cerita Tiga Malam, Roman, Thn. V, No.3, 1958:2526 (4) Terasing,Aneka, Thn. VII, No. 33, 1956:12--13 (5) Cinta Buta, Roman, Thn. IV, No. 3, 1957 (6) Man Rabuka, Siasat, Thn. XI, No. 542, 1957:14--15 (7) Tiada Membawa Nyawa, Waktu, Thn. XIV, No.5, 1961 (8) Perebutan,. Star Weekly, Thu. XVI, No. 807, 1961 (9) Jodoh, Kompas, Thu. Xl, No. 236, 6 April 1976:6 b. Puisi Dermaga dengan Empat Sekoci (kumpulan 34 puisi), Bukittinggi: Nusantara. c. Novel Kernarau, Jakarta: GrasIndo, 1992 Saraswati Si Gadis dalarn Sunyi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1970. d. Karya Non Fiksi (1) Surat-Surat Drama, Budaya, Thn.X, Januari-Februari 1961 (2) Hamka Sebagai Pengarang Roman, Berita Bibliografi,Thn.X, No.2, Juni 1964 (3) Warna Lokal dalam Novel Minangkabau, Sinar Harapan,16 Mel 1981 (4) Memadukan Kawasan dengan Karya Sastra., Suara Karya, 1978 Kepenulisan Belum Bisa Diandalkan Sebagai Ladang Hidup, Suara Pembaruan, 1989

(6) Menelaah Orang Minangkabau dari Novel Indonesia Modern, Bahasa dan Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan

Pengembangan Bahasa, 1977 e. Hadiah dan Penghargaan (1) Hadiah kedua lomba cerpen majalah Kisah (1955) untuk cerpen Robohnya Surau Kami. (2) Penghargaan dari UNESCO (1967) untuk kumpulan cerpenSaraswati dalam Sunyi. (3) Hadiah dari Kincir Emas (1975) untuk cerpen Jodoh. 4) Hadiah dari majalah Femina (1978) untuk cerpen Kawin. (5) Hadiah Seni dari Depdikbud (1988) untuk novel Kemarau. (6) SEA Write Awards (1992) dari Pusat Bahasa (bekerja sama dengan Kerajaan Thailand). ahmadali-laskar.blogspot.com/p/sang-kepala-pencemooh-dalam-sebuah.html ooooo

Anda mungkin juga menyukai