Anda di halaman 1dari 3

Buruh Menuntut, Investor Lari

Kamis, 8 November 2012 | 00:50 Wita A- A A+ Dibaca: 715 kali -Oleh: Dr Hastin Umi Anisah SE MM Unjuk rasa buruh di berbagai daerah menuntut kenaikan upah minimum regional (UMR). Teriakan dari sejumlah kota besar itu menuntut dua hal: kesejahteraan dan penghapusan sistem outsourcing (alih daya). Sebenarnya hampir di semua negara saat ini, mengalami problem ketenagakerjaan atau perburuhan, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Di negara maju problem ketenagakerjaan berkaitan dengan mahalnya gaji tenaga kerja, bertambahnya pengangguran karena mekanisasi (robotisasi), tenaga kerja ilegal, serta tuntutan penyempurnaan status ekonomi, dan sosial, bahkan politis. Sementara itu, di negara berkembang umumnya problem ketenagakerjaan berkaitan dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah, serta jaminan sosial nyaris tidak ada. Belum lagi perlakuan pengusaha yang merugikan pekerja, seperti perlakuan buruk, tindak asusila, penghinaan, pelecehan seksual, larangan berjilbab, beribadah, dan lain-lain. Walhasil, berbagai problem yang menyangkut hak-hak buruh tidak terselesaikan dengan baik. Lebih ironis, pemerintah dengan aparat keamanannya bertindak represif menekan gerakan buruh.

Untuk membantu mengatasi problem gaji, pemerintah biasanya membuat batas minimal gaji yang harus dibayarkan perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah Upah Minimum Regional (UMR).
Masalah perburuhan bisa dikategorikan dua jenis: Pertama, berkaitan dengan kesejahteraan dan kehidupan yang layak, antara lain terkait pemenuhan kebutuhan pokok, jaminan kesehatan, akses pendidikan, jaminan hari tua, masalah pekerja anak-anak dan wanita. Kedua, berhubungan dengan kontrak kerja pengusaha-pekerja, di antaranya masalah PHK, penyelesaian sengketa perburuhan, dan sebagainya. Permasalahan upah atau gaji/UMR yang diterima buruh yaitu rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Dalam sistem ekonomi kapitalis, rendahnya gaji buruh justru menjadi penarik bagi para investor asing. Termasuk pemerintah, untuk kepentingan peningkatan pendapatan pemerintah (bukan rakyat), justru memelihara kondisi seperti ini.

Kondisi ini menyebabkan pihak pemerintah lebih sering memihak sang investor, dibanding dengan buruh (yang merupakan rakyatnya sendiri) ketika terjadi krisis perburuhan. Rendahnya gaji juga berhubungan dengan rendahnya kualitas SDM. Persoalannya bagaimana, SDM bisa meningkat kalau biaya pendidikan mahal? Untuk membantu mengatasi problem gaji, pemerintah biasanya membuat batas minimal gaji yang harus dibayarkan perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah Upah Minimum Regional (UMR). Intervensi pemerintah dalam hal ini ditujukan menghilangkan kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh karena membayar di bawah standar hidupnya. Nilai UMR biasanya dihitung bersama berbagai pihak yang merujuk kepada Kebutuhan Fisik Minimum Keluarga (KFM), Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), atau kondisi lain di daerah bersangkutan. Penetapan UMR sebenarnya sangat bermasalah dilihat dari realitas terbentuknya kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Penetapan UMR dan upah minum daerah (UMD) di satu sisi dimanfaatkan buruh malas memaksa pengusaha memberi gaji maksimal, meski perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit (meskipun ini sangat jarang terjadi). Di sisi lain UMR dan UMD kerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji agar tidak terlalu tinggi, meskipun si buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya yang sangat banyak dalam proses produksi suatu perusahaan. Bila diteliti lebih jauh, penetapan UMR dan UMD ternyata tidak serta merta menghilangkan problem gaji/ upah ini. Hal ini terjadi setidaknya disebabkan, pertama pihak pekerja, yang mayoritasnya berkualitas SDM rendah berada dalam kuantitas yang banyak sehingga nyaris tidak memiliki posisi tawar cukup dalam menetapkan gaji diinginkan. Walhasil, besaran gaji hanya ditentukan pihak majikan, dan kaum buruh berada pada posisi sulit menolak. Kedua pihak majikan sering merasa keberatan dengan batasan UMR. Hal ini mengingat, meskipun pekerja tersebut bekerja sedikit dan mudah, pengusaha tetap harus membayar sesuai batas tersebut. Ketiga posisi tawar yang rendah dari para buruh semakin memprihatinkan dengan tidak adanya pembinaan dan peningkatan kualitas buruh oleh pemerintah, baik terhadap kualitas keterampilan maupun pengetahuan para buruh terhadap berbagai regulasi perburuhan. Keempat kebutuhan hidup yang memang juga bervariasi dan semakin bertambah, tetap saja tidak mampu dipenuhi dengan gaji sesuai UMR. Pangkal dari masalah ini adalah karena gaji/upah hanya satu-satunya sumber pemasukan dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar kehidupan masyarakat. Solusi terhadap problem UMR dan UMD ini tentu saja harus terus diupayakan dan diharapkan mampu membangun kondisi seideal mungkin. Untuk tujuan itu, setidaknya ada dua kondisi mendesak yang harus diwujudkan, yaitu kondisi normal yang mampu menyetarakan posisi buruh-pengusaha sehingga penentuan besarnya upah disepakati oleh kedua pihak yang

besarnya ditentukan oleh besaran peran serta kerja pihak buruh terhadap jalannya usaha perusahaan yang bersangkutan. Kondisi seperti ini bisa terwujud jika kualitas SDM buruh memadai sesuai dengan kebutuhan, dan besarnya pasar tenaga kerja seimbang. Kondisi seperti ini akan mampu mewujudkan akad ijarah (perjanjian kerja). Kemudian mewujudkan kondisi ideal ketika seluruh rakyat (bukan hanya kaum buruh) memiliki pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal bagi kehidupannya. Standar Gaji Buruh Negara tentu tidak perlu malu untuk mengkaji sistem yang paling ideal di antara yang ada. Dalam Islam, misalnya, standar menentukan gaji buruh, adalah manfaat tenaga yang diberikan buruh di pasar, bukan living cost terendah. Dengan demikian tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh majikan. Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar yang menentukan upah sepadan. Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut. Sehingga negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang yang membedakannya adalah harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa. Sedangkan di dalam kontrak kerja juga harus dijelaskan besaran upahnya. Sistem ini tidak membolehkan negara mematok tingkat upah minimum sebab hal itu adalah haram. Besaran upah itu ditentukan berpatokan pada nilai manfaat yang diberikan oleh pekerja, bukan berpatokan pada kebutuhan hidup minimum seperti dalam model kapitalisme. Dengan semua ketentuan itu, maka seluruh problem perburuhan bisa diselesaikan. Pengusaha tidak terbebani menanggung pemenuhan kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan pekerja. Sebaliknya pekerja juga bisa terjamin pemenuhan kebutuhan pokoknya (pangan, papan dan sandang) dan terjamin kebutuhannya atas pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Kita pun tidak takut akan larinya investor asing dikarenakan Negara mempunyai seperangkat aturan yang jelas mengenai bagaimana mengatur kedudukan investor asing. (*) Dosen FE Unlam Banjarmasin

Editor: Dheny Sumber: Banjarmasin Post Edisi Cetak - See more at: http://banjarmasin.tribunnews.com/2012/11/08/buruh-menuntut-investorlari#sthash.0ONfOFWb.dpuf

Anda mungkin juga menyukai