Anda di halaman 1dari 4

JEJAS FLEKSUS BRAKHIALIS

1. PALSI BRAKIALIS Jejas pada pleksus brakhialis dapat menyebabkan paralisis lengan atas dengan atau tanpa paralisis lengan bawah atau tangan, atau lebih lazim paralisis seluruh lengan. Jejas ini terjadi pada bayi makrosomik, dan bila penarikan lateral dipaksakan pada kepala dan leher selama persalinan bahu pada persentasi vertex, bila lengan diekstensikan berlebihan di atas kepala pada persentasi bokong, atau bila ada penarikan berlebihan pada bahu. Kira-kira 45% kasus dihubungkan dengan distosia bahu (Nelson, 2000; 579). Pada paralisis Erb-Duchene jejas terbatas pada saraf servikalis ke-5 dan ke-6. Bayi kehilangan kekuatan untuk mengabduksi lengan dari bahu, merotasi lengan keluar dan melakukan supinasi lengan bawah. Posisi yang khas terdiri atas aduksi dan rotasi interna dari lengan, dengan lengan bawah dalam posisi pronasi. Kekuatan ekstensi lengan bawah dipertahankan, tetapi refleks bisep tidak ada; refleks Moro tidak ada pada sisi yang terkena. Mungkin ada beberapa gangguan sensoris pada sisi luar lengan,. Kekuatan pada lengan bawah dan genggaman tangan tetap dipertahankan, kecuali bila bagian bawah pleksus juga terkena jejas; adanya gangguan menggenggam pada tangan merupakan tanda prognosis yang baik. Bila jejas meliputi saraf frenikus, perubahan penyimpangan diafragma dapat diamati melalui fluoroskopi (Nelson, 2000; 579). Paralisis Klumpke adalah bentuk plasi brakhialis yang lebih jarang; jejas terjadi pada saraf servikalis ke-7 dan ke-8 serta saraf trokalis pertama. Jejas ini menyebabkan tangan paralisis, dan ptosis serta miosis ipsilateral (sindrom Horner), jika serabut simpatis akar torakalis pertama juga terkena jejas. Kasus ringan mungkin tidak

terdeteksi segera sesudah lahir. Diferensiasi harus dibuat dari jejas serebral; dari fraktur, klavikula. MRI akan memperlihatkan adanya robekan pada akar saraf atau avulse (Nelson, 2000; 580). Prognosisnya bergantung pada apakah saraf hanya semata-mata mengalami jejas atau luka lecet. Jika paralisis disebabkan karena edema dan perdarahan disekitar serabut saraf, maka akan terjadi pengembalian fungsi dalam beberapa bulan; jika disebabkan oleh luka lecet, dapat mengakibatkan cidera yang permanen. Keterlibatan deltoid biasanya merupakan masalah yang paling serius dan dapat mengakibatkan kelumpuhan bahu akibat atrofi otot. Umumnya paralisis lengan atas mempunyai prognosis yang lebih baik daripada paralisis lengan bawah (Nelson, 2000; 580). Pengobatan terdiri atas imobilisasi parsial dan penempatan posisi secara tepat untuk mencegah perkembangan kontraktur. Pada paralisis lengan atas, lengan harus diabduksi 90 derajat dengan rotasi eksterna pada bahu dan supinasi penuh lengan bawah dan sedikit ekstensi pada pergelangan dengan telapak tangan diputar kearah wajah. Hal ini dapat dilakukan dengan penahan atau bidai selama 1-2 minggu pertama. Imobilisasi harus intermiten dalam sehari saat bayi tidur antara makan. Pada paralisis lengan bawah atau tangan, pergelangan tangan harus dibidai pada posisi netral dan bantalan ditempatkan dalam genggaman. Bila seluruh lengan paralisis, prinsip-prinsip pengobatan yang sama harus diikuti. Pemijatan dan latihan gerakan dalam jangkauan tertentu yang dilakukan secara lembut dapat dimulai pada umur 7-10 hari. Bayi harus diikuti secara ketat dengan latihan korektif aktif dan pasif. Jika paralisis menetap tanpa perbaikan selama 3-6 bulan, neuroplasti, neurolisis, anastomosis dari ujung ke ujung, atau pencangkokan saraf memberi harapan untuk sembuh parsial (Nelson, 2000; 580).

2. PARALISIS SARAF FRENIKUS Jejas pada saraf frenikus (sa-raf servikalis ke-3, k3-4, ke-5) yang mengakibatkan paralisis diafragmatik harus dipikirkan bila terjadi sianosis, dan pernafasan menjadi tidak teratur dan berat. Jejas yang demikian, biasanya unilateral, disertai dengan palsi brakhialis bagian atas ipsilateral. Karena pernafasan bayi adalah tipe dada, abdomen tidak mengembung saat inspirasi. Suara nafas berkurang pada sisi yang terkena. Dorongan diafragma, sering dapat diraba tepat dibawah tepi koasta pada sisi normal, dan hal ini tidak dijumpai pada sisi yang terkena. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasonografi atau fluoroskopi, yang menunjukkan adanya kenaikan posisi diafragma pada sisi yang paralisis dan gerakan naik turun pada kedua sisi diafragma selama pernafasan (Nelson, 2000; 580). Tidak ada pengobatan yang spesifik; bayi harus ditidurkan pada sisi yang terkena dan diberi oksigen jika diperlukan; kemudian, pemberian makanan melalui sonde atau oral secara progresif dapat dimulai, bergantung apada keadaan bayi. Infeksi paru merupakan komplikasi yang serius. Penyembuhan biasanya terjadi secara spontan dalam 1-3 bulan; jarang, namun pelipatan diafragma secara bedah dapat diindikasikan (Nelson, 2000; 580).

3. PARALISIS SARAF FASIALIS Biasanya, palsi fasialis adalah paralisis perifer akibat tekanan pada saraf fasialis dalam uterus., dan upaya selama kelahiran atau dari forsep selama persalinan. Jarang terjadi non-obstetrik, palsi ini dapat merupakan akibat agenesis nucleus saraf fasialis. Paralisis perifer timbul flasid, dan bila total, melibatkan seluruh sisi muka, termasuk dahi. Bila bayi menangis, gerakan hanya terdapat pada sisi muka yang tidak paralisis,

dan mulut tertarik pada sisi tersebut. Pada sisi yang terkena dahi halus, mata tidak dapat ditutup, lipatan nasolabial tidak ada, dan sudut mulut turun. Dahi akan berkerut pada sisi yang terkena pada paralisis sentral, karena hanya dua pertiga bagian bawah muka yang terlibat. Biasanya ada juga manifestasi lain dari jejas intrakranium, paling sering adalah palsi saraf ke-6 (Nelson, 2000; 580). Prognosisnya bergantung pada apakah saraf terkena jejas akibat tekanan atau apakah serabut-serabut saraf terputus. Pada keadaan yang diakibatkan oleh tekanan, perbaikan terjadi dalam waktu beberapa minggu. Perawatan pada mata yang terpajan sangat penting. Neuroplasti mungkin merupakan indikasi bila paralisis menetap. Palsi fasialis dapat terancukan dengan tidak adanya otot-otot depresot mulut, yang merupakan masalah benigna. Saraf perifer yang lain jarang terkena jejas dalam uterus atau pada saat lahir, kecuali jika saraf-saraf tersebut terlibat dalam fraktur atau perdarahan (Nelson, 2000; 580).

SUMBER : Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai