Anda di halaman 1dari 6

Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 merupakan zaman kerajaan dimana hukum yang digunakan bercorak Hindu-Budha

yang berawal dari Jawa Barat. Hukum tersebut terus berkembang tanpa melalui kodifikasi, artinya aturan tersebut berkembang secara tidak tertulis yang dilakukan terus menerus sehingga menjadi kebiasaan atau yang sekarang dikenal dengan hukum adat. Kemudian, sistem hukum di Indonesia mulai mengalami perubahan setelah masuknya Islam sebagai sebuah sistem pemerintahan sekitar abad ke-12. Namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 M. Masuknya Islam tersebut membuat kerajaan berubah menjadi kesultanan. Islam membawa pengaruh yang besar bagi Indonesia karena perkembangannya yang pesat dan cepat. Namun, bukan berarti hukum adat yang dibawa secara turun temurun dilupakan. semuanya diberi kebebasan dengan diperbolehkan memilih agama dan hukum yang ingin mereka anut. Misalnya di Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindunya. salah satu perkembangan Islam yaitu hubungan perdagangan di luar Kesultanan/Kerajaan penting termasuk Samudra Pasai, Kesultanan Banten yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram di Yogja / Jawa Tengah, dan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku di timur. Selanjutnya, Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda

mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. selain itu, Belanda menanamkan aturan-aturannya melalui asas konkordansi.

Pada waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, hukum di Indonesia pada dasarnya sudah mulai mengalami perubahan sedikit demi sedikit, semenjak Jepang tiba di pulau Jawa. Strategi untuk melakukan revolusi sosial atau segenap perubahan sosial hampir tidak disebutkan secara resmi di antara sektor hukum pada masa ini . Indikasi gejala tersebut terlihat dalam ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan

UUD 1945 yang menetapkan bahwa; Semua badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini. Oleh sebab itu, untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, Pemerintah yang baru telah memaksakan untuk memperkenalkan kembali berbagai hukum yang diwarisi dari masa kolonial. Sebagai salah satu contoh adalah ketentuanketentuan yang termuat dalam Wetboek van Starfrecht (WvS) yang dibuat pada Tahun 1915, yang kemudian dilanjutkan menjadi peraturan hukum pidana di Indonesia, kecuali untuk wilayah yang berada di luar pulau Jawa, di mana berbagai peradilan adat masih tetap beroperasi. Pada akhirnya, hanya ada beberapa pasal hukum yang diwarisi dari Belanda yang diberlakukan melalui aturan hukum nomor 80 tahun 1932 . Terdiri dari beribu-ribu pulau , kepulauan Indonesia dihuni oleh berbagai etnis, sosial, agama dan kelompok kebudayaan, yang masing-masingnya mempunyai kebiasaan khas/budaya dan jalan hidup . Untuk merangkul keberagaman ini, Republik Indonesia telah membuat sebuah semboyan Bhineka Tunggal Ika, atau bersatu dalam perbedaan. Perbedaan ini terlihat jelas dalam dualisme hukum yang berlaku di Negara yang dipersatukan. Pada pertengahan masa pasca-kolonial, beberapa kategori hukum bertahan dalam era transisi dari pemerintahan kolonial Belanda: (1) hukum-hukum yang mengatur tentang kependudukan, seperti; Hak Milik Industri dan Hak Paten; (2) hukum adat setempat yang dipakai untuk penduduk pribumi Indonesia; (3) hukum Islam yang dipakai untuk seluruh warga Negara Indonesia yang beragama Islam; (4) hukum yang dikhususkan untuk komunitas tertentu di Indonesia, seperti; hukum perkawinan bagi warga Negara Indonesia yang beragama Kristen; dan (5) ketentuan-ketentuan Burgelijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel, yang ada dasarnya diberlakukan bagi warga negara Eropa saja, namun kemudian mengalami perluasan bagi warga Negara Cina. Ketentuan-ketentuan tertentu yang pada akhirnya, walau bagaimana pun diumumkan agar diberlakukan bagi warga pribumi Indonesia.

Semangat bangkit dari keterpurukan karena kekuatan kolonial, dan tuntutan kedaulatan, para pemimpin baru Indonesia cenderung memandang bahwa hukum adalah bagian rasional-legal dari sebuah Negara. Sebuah politik hukum baru secara natural harus dibentuk untuk menggantikan politik hukum kolonial . Namun demikian, kenyataannya pluralisme hukum negeri ini memberikan semangat untuk melakukan

reformasi hukum yang terasa masih terlalu dini. Berbagai kontroversi hukum yang tidak diharapkan muncul di antara kubu yang saling berlawanan antara kelompok pluralis dengan kelompok uniformis pada satu sisi; dan kelompok nasionalis-sekuler dengan kelompok muslim pada sisi lainnya. Pada masa sebelumnya, perdebatan berpusat pada gagasan unifikasi hukum dan/atau pluralisme antara dalam hukum terhadap hubungannya dengan hukum adat yang pada akhirnya terfokus pada perbincangan mengenai hukum Islam.
Sejak tahun 1950-an, para pemimpin Indonesia telah dihadapkan pada tantangan untuk membangun suatu sistem hukum yang koheren dengan realitas pluralisme negeri ini tanpa mengenyampingkan keberagaman etnis, kebudayaan dan praktek sosial yang berlaku di kalangan masyarakat. Kelompok terdahulu dipresentasikan sebagai orang-orang yang berusaha keras untuk melakukan modernisasi Indonesia, perdebatan bahwa negeri akan menyesuaikan dirinya sendiri dalam bentuk Negara merdeka modern jika pertumbuhan dan perkembangan mereka didukung sepenuhnya. Hal ini hanya dapat terjadi apabila jika suatu sistem hukum terartikulasi dengan baik yang semaksimalnya dapat merefleksikan kesatuan Indonesia ditempatkan dengan tepat. Oleh karena itu, hukum adat sebagai sebuah simbol otonomi daerah bagi mereka seolah-olah terbelakang dan anti-modern. Kalangan pluralis, berpendapat bahwa praktek hukum yang mungkin diberlakukan pada masyarakat seperti Indonesia bersifat pluralistis. Kalangan pendukung hukum adat menyetujui perubahan kondisi sosial semata-mata merupakan proses pembangunan hukum karena pada tingkatan fungsional, hukum harus bisa mengakomodasikan dirinya sendiri pada kondisi sosial. Lebih penting lagi, mereka membantah ketidak-mungkinan memulai usaha unifikasi hukum ketika kondisi sosial yang membantu perkembangannya terpecah menjadi beberapa kepingan. Bagi kalangan ini, hukum adat dilanjutkan untuk dihormati sebagai sebuah simbol kebanggaan nasional yang menggaris-bawahi identitas masyarakat pribumi Indonesia yang harus dihargai dan tetap dipelihara. Itulah dua argumen yang memonopoli perdebatan mengenai hukum di Indonesia sampai akhir tahun 1950-an; tentu saja, sebagai jantung sebuah Negara perkembangan alami hukum di Indonesia yang independen sebagian besar sudah dideterminasi oleh opini-opini --para pengacara Indonesiatentang peran hukum adat . Perkembangan selanjutnya sebagaimana yang terlihat tentu saja akan memudahkan pengenalan hukum adat. Di tengah ledakan konflik antara Indonesia dengan Belanda perihal pembebasan Irian Barat, semangat untuk menghapus semua sisa-sisa kolonial dari Indonesia mendapatkan momentumnya. Pada area hukum, keinginan untuk memelihara hukum adat sebagai sebuah simbol semangat nilai-nilai

pribumi secara mendadak dapat dipercaya. Pergeseran ini ditandai dengan perubahan simbol resmi sistem hukum di Indonesia. Dewi Yustisia, sebuah simbol keadilan Eropa diganti dengan simbol pohon beringin pada tahun 1960 yang dalam kebudayaan Jawa diartikan dengan pengayoman. Pada Tahun yang sama, Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor II/MPRS/1960, secara eksplisit memperkenalkan hukum adat sebagai sumber perkembangan dan elaborasi hukum di Indonesia .

Surat ketetapan yang memperkenalkan hukum adat tidak dengan tegas; di situlah ditegaskan bahwa hukum adat tidak menghambat perkembangan masyarakat yang adil dan makmur. Sebuah frase ambigu, tentu saja tidak dapat dielakkan akan mengundang persaingan interpretasi dan pernyataan dari para sarjana terkemuka. Muhammad Koesnoe, mencontohkan penolakan pengakuan merupakan salah satu belenggu bagi hukum adat pada waktu itu. Sebagai tokoh terkemuka dalam kelompok ini, ia membantah bahwa kondisi yang dipaksakan untuk hukum adat adalah tidak relevan sebagai kondisi mereka sendiri dalam ungkapan karakteristik hukum yang mendesak. Hukum adat adalah suatu hukum dinamis yang berkembang dalam hubungannya dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat. Dalam konsepsinya, hukum adat akan disajikan sebagai dasar hukum nasional, bukan dalam pengertian substanstif, tapi dalam hal prinsip, postulat, dan nilai-nilai dasar. Argumen penentang menyebutkan bahwa karakteristik hukum adat itu terbelakang dan tidak jelas karena bisa jadi ia diakibatkan kesalahan dalam membaca dan memahami hukum. Sarjana lain yang tidak menentang ketetapan secara terbuka, mengajukan argumen melawan kelompok pro-adat. Sebagai contoh adalah Simorangkir, ia membantah bahwa hukum adat terhambat oleh modernisasi masyarakat, sebagai salah satu hukum yang tidak tertulis, hukum adat hanya akan melahirkan ketidak-pastian hukum .

Walau bagaimanapun, pro dan kontra argumen untuk atau melawan pemasukan hukum adat dalam kehidupan publik Indonesia, ambivalensi antara para pemimpin nasional dalam pertanyaan mengenai pluralitas vis--vis keseragaman hukum bisa dikesampingkan. Aktualnya, dilema yang dihadapi oleh pemimpin baru Indonesia pada dasarnya masih sama dengan pembuat politik kolonial yang dihadapi setengah abad sebelumnya, ketika argumen-argumen yang dibicarakan pada hari ini adalah antara kelompok liberal dengan konservatif atau universalis dan partikularis. Perubahan simbol hukum nasional, pergeseran dari lambang Dewi Yustisia menjadi pohon beringin terbukti lebih mudah dibandingkan usaha mengganti substansi hukum itu sendiri .

Antusiasme pemimpin nasional akan upaya rekonstruksi hukum disambut dengan TAP MPR RI Nomor II/MPRS/1960 yang bisa terlihat dalam pembentukan Undang-undang Agraria pada Tahun 1960. Undang-undang ini mampu merefleksikan berbagai kesulitan yang ditemui oleh para sarjana hukum

terkemuka yang mencoba membangun hukum nationally law oriented yang sebenarnya. Secara teoritis, hukum ini menggantikan hukum kolonial yang berkaitan dengan ke-agraria-an. Gautama menegaskan pada waktu itu, prinsip-prinsip orang Barat telah diadopsi secara diam-diam oleh pihak legislator. Penyesuaian kepada prinsip-prinsip modern dan penyelenggaraan di antara sebuah model modern Barat dalam reformasi agraria seperti dikatakan bahwa undang-undang baru berarti bahwa resepsi hukum Barat akan berlanjut di Indonesia .

Perkembangan lebih jauh ditandai dengan adanya pergeseran kekuasaan pemerintahan dari Soekarno ke pemerintahan orde baru pada tahun 1966 yang dalam pandangan politik berarti menimbulkan perubahan pola hukum. Jika hukum dalam era sebelumnya berbentuk hukum sebagai alat revolusi, hukum pada orde baru diasumsikan sebagai hukum sebagai alat pembangunan, hukum sebagai roda untuk mempercepat pembangunan. Lebih jauh lagi, kata pembangunan dalam orde baru mempunyai konotasi progress ekonomi, hukum nasional dirasakan meningkat dalam artian seperti itu. Pada titik waktu ini, artikulasi hukum difungsikan sebagai alat untuk pembangunan sosial, gagasan tersebut dengan cepat menjadi popular. Gagasan ini pada kenyataannya pertama kali dicetuskan oleh Mochtar Kusumaatmadja, orang yang membatah untuk kebutuhan akan kombinasi antara konsiderasi sosiologis dengan kajian hukum dalam pembangunan negeri dalam sebuah usaha untuk mengurangi atau meredakan masalah ekonomi yang mereka hadapi .

Mochtar Kusumaatmadja diasumsikan sebagai sikap netral sebagai penghormatan kepada apakah hukum akan diseragamkan atau dibedakan, kendatipun peran hukum adat dirasakan bertentangan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi. Ia juga mempertanyakan tentang keuntungan meng-impor hukum Barat yang telah ia rasakan pada waktu tersebut beberapa efek pada proses modernisasi adalah sebuah keniscayaan. Ini merupakan konsep hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja yang mempunyai banyak kontribusi dalam pembentukan hukum baru sebagai sarana modernisasi pada orde baru . Konsep selektifnya dalam unifikasi hukum diadopsi menjadi politik pemerintah dalam hukum modern di Indonesia.

Hal penting yang harus dicatat mengenai politik baru ini adalah hukum sekarang secara aktual menjadi alat pemerintah dalam melakukan social control. Pemerintah dengan kekuatan hukum penuh dengan pertimbangan dari kelompok pro-adat yang menolak pemahaman bahwa hukum tidak datang dari atas (kekuatan Negara), melainkan muncul dan lahir dari masyarakat. Era kemerdekaan

Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan Proklamasi pada hari berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.

Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.

Anda mungkin juga menyukai