Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R
Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R
Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R
Pengantar
menyadarkan kembali akan arti pentingnya riset atau ijtihad dalam terma fiqh dalam
pengembangan keilmuan Islam vis a vis arus global modernitas dan beragam
dan yang lainnya. Dengan begitu klaim Islam sebagai “s}a>lih} li kulli zama>n wa
pada era-era awal merespon situasi sosial budaya kala itu. Akan tetapi pada era pasca
tadwin ketika dihembuskan kabar bahwa pintu riset/ijtihad telah tertutup dan
isu sentral keilmuan Islam yang mempunyai concern terhadap implementasi teks dan
spirit keagamaan ke dalam berbagai lingkup sosial budaya yang terus berkembang.
sebagaimana telah dibakukan di dalam teks-teks klasik atau dalam struktur mental
umat Islam adalah nalar ijtihad yang mempunyai kelemahan metodologis yang
kesejarahan tradisi.2 Nalar ijtihad ini hanya merupakan mekanisme untuk memelihara
tradisi masa lalu dalam konteks kehidupan kekinian dan menghindarkan diri dari titik
tulisan al-Jabiri mencoba menguak genealogi3 Nalar Arab untuk bisa memberikan solusi
yang mengakar terhadap problem tradisi. Buku I dan II al-Jabiri, Takwi>n al-‘Aql
al-‘Arabi dan Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi merupakan kerangka referensial untuk melihat
struktur epistemologis nalar Arab pada masa-masa awal tadwi>n, sementara buku
Muhammad ‘Abid al-Jabiri adalah Filosof Maroko Kontemporer yang lahir pada
tahun 1936 di kota fekik, Maroko tenggara,4 bagian dari wilayah Maghribi yang telah
banyak menelorkan Filosof-Filosof Klasik kenamaan semisal Ibn Rushd, Ibn khaldu>n,
tersebut karena dinilai sebagai motor semangat rasionalisme dalam konstelasi ilmu-
ilmu keislaman. Maroko juga merupakan wilayah yang pernah menjadi daerah
protektoriat Perancis. Karenanya, Bahasa Arab dan Bahasa Perancis merupakan bahasa
resmi wilayah ini. Dan karena itu pula al-Jabiri banyak berdialog dengan tradisi
pemikiran Perancis yang banyak diwarnai oleh analisa sejarah, kritik filsafat dan kritik
nalar serta jauh dari bentuk-bentuk formalisme.5 Pergumulan al-Jabiri dengan dua
3
Dalam perspektif Foucauldian, genealogi adalah sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan
kepedulian (concern) masa kini. Sejarah direkontruksi untuk pemenuhan kebutuhan masa kini. Masa kini
yang selalu dalam proses transformasi mengandung implikasi bahwa masa lalu harus terus menerus
dievaluasi ulang. Genealogi tidak bermaksud memelihara kontinuitas, akan tetapi justru mengidentifikasi
hal-hal yang menyempal, retakan-retakan, tumpang tindihnya pengetahuan dan kenangan-kenangan yang
bersifat lokal. Lihat, Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Integensia Muslim
Indonesia Abad 20 (Jakarta: Mizan, 2005), 9.
4
al-Ja>biri>, Kritik Pemikiran Islam; Wacana Baru Filsafat Islam, ter. Burhan (Yogyakarta: Fakar
Pustaka Baru, 2003), vi.
5
Muhammad Abed al-Ja>biri>, Post Tradisionalisme Islam, ter. Ahmad Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000),
xvi.
Melacak Genealogi Nalar Arab 3
tradisi sekaligus – tradisi Arab dan Perancis – di Maroko bisa disebut sebagai cultural
encounter (perjumpaan dua tradisi) yang mengantarkan al-Jabiri pada pembacaan kritis-
dengan Abu Zayd, Hasan Hanafi dan Arkoun. Luthfi as-Syaukanie menggolongkan
libatkan dalam metodologi mereka adalah semiotika, antropologi dan sejarah dengan
al-Ja>biri adalah seorang dosen, seminaris dan penulis yang cukup produktif.
Ada 17 karya dalam bentuk buku yang telah dihasilkan selain goresan penanya yang
yang cukup popular adalah tiga buku berseri-nya, seri I dirilis tahun 1982 kemudian
seri II tahun 1986 dan seri III tahun 1990, yang mewadahi “kritik nalar Arab-nya” (Naqd
6
A Luthfi al-Syaukanie, "Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer ", Paramadina, Vol. I, No. I
(Juli – Desember 1998), 75 – 76. Baik strukturalisme maupun post-strukturalisme sama-sama menjadikan
bahasa sebagai faktor dominan dalam objek studi. Karena keduanya mementingkan keteraturan logis,
struktur yang mendasar serta makna-makna umum sebagaimana bahasa (linguistic) mempunyai pola-pola
yang serupa, selain bahasa itu sendiri bisa menunjuk pada fenomena-fenomena sosial tertentu. Lihat, Pier
Paolo Giglioli (ed.), Language and Social Context (New York: Penguin Books, 1985), 9.
7
Untuk mengetahui lebih lengkapnya karya-karyanya lihat antara lain, al-Ja>biri, Post, XIII.
8
Buku I triloginya adalah Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi, (Libanon : Markaz Dirasat al-Wah}dah
al-‘Arabiyah, 1989) cet. IV, kemudian disusul buku II dan III-nya, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirâsah
Tahli}liyyah Naqdiyyah li al-Nuz}um al-Ma’rifah fi al-Thaqa>fah al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Markaz al-
Thaqafi al-‘Arabi, 1993) cet. III, dan al-‘Aql al-Siya>si al-‘Arabi; Muh}addidah wa Tajalliyyatuh (Beirut:
al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1991).
Melacak Genealogi Nalar Arab 4
Epistem Baya>ni
9
al-Ja>biri, Takwi>n, 37.
10
Ibid., 15.
11
Al-Ja>biri>, Al-Tura>th wa al-H}ada>thah; Dira>sa>t .. wa Muna>qasha>t (Beirut:
Markaz Dira>sa>t al-Wah}dah al-‘Arabiyah, 1999), 142.
12
al-Ja>biri, Bunyah, 556.
13
Ibid., 17.
Melacak Genealogi Nalar Arab 5
Abu Zaid yang mengatakan bahwa peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks. Itu
artinya bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di
atas landasan teks sebagai titik sumbunya.14 Dalam kajian epistemologi, ada keterkaitan
yang erat antara bahasa dengan pengetahuan. Dalam kerangka ini, genealogi pemikiran
Arab pertama kali harus ditelusuri dari Bahasa Arab dan metode baya>niyah-nya.15
Karena teks merupakan sumber asasi dalam epistem baya>ni, maka bahasa
menepati posisi yang strategis dalam epistem ini. Perhatian yang begitu besar terhadap
bahasa bisa kita lihat sejak awal sejarah Islam dan mencapai puncaknya ketika terjadi
intensifikasi kontak dan komunikasi dengan pihak non-Arab dan melahirkan apa yang
disebut dengan lah}n.16 Hal ini menuntut adanya pembakuan bahasa yang bahan
bakunya diambil dari kalangan pedalaman Badui yang otentisitas bahasanya dianggap
masih terjaga. Pembakuan atau kodifikasi bahasa menurut al-Ja>biri> sangat berperan
terhadap pembentukan pola pemahaman dan penafsiran terhadap teks-teks
keagamaan, selain itu juga merupakan pembentukan bahasa budaya yang tunggal bagi
masyarakat Arab.17
14
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 2002), 1.
15
al-Ja>biri, Takwi>n, 130.
16
Lah}n adalah kesalahan dalam berbahasa baik menyangkut kesalahan gramatika (gramatical mistake),
bacaan, dan penyusunan kata. Lihat Muhammad al-Tiwanji, al-Mu’jam al-Mufas}s}al fi> al-Adab, Vol.
II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 735.
17
Al-Ja>biri>, al-Tura>th, 143.
18
Karakter a-historis bahasa Arab antara lain karena dinamisasi internal bahasa Arab hanya bertumpu pada
derivasi kata. Ini sekaligus memprotek bahasa ini dari perubahan dan perkembangan sesuai dengan
kehendak sejarah. Sedang karakter fisik bahasa Arab jelas merupakan turunan dari kondisi kehidupan, pola
pikir dan persepsi fisikal orang Badui. System bahasa ini tidak memberikan konsep-konsep yang bersifat
abstraktif. Lihat al-Ja>biri, Takwi>n, 79.
Melacak Genealogi Nalar Arab 6
oleh al-Ja>biri>, mengatakan bahwa barang siapa menguasai salah satu konsep dari
ilmu baya>n (bala>ghah), seperti konsep Tashbi>h, kina>yah dan isti’a>rah dan mampu
menggunakannya dalam rangka mencari pengetahuan maka tersingkap baginya jalan
menggunakan sistem penalaran yang sistematis.19
Miqya>s/Far’ Mushabbah
h}ukm
19
Ibid., 150
20
Ibid., 152.
21
Ibid., 155.
Melacak Genealogi Nalar Arab 7
Epistem ‘Irfa>ni
‘Irfa>n dalam terma bahasa Arab bermakna al-‘ilm sebagaimana makna kata al-
ma’rifah dari akar kata yang sama. Kata ini dalam konteks tasawuf dipakai untuk
menunjukkan model pengetahuan yang tertinggi yang ditiupkan ke dalam sanubari
(intuisi) seseorang dengan mekanisme kashf/ilha>m sebagai sumber otoritatif
pengetahuan.22 Sementara al-‘irfa>n dalam bahasa Yunani adalah gnosis yang juga
berarti al-ma’rifah (pengetahuan), al-‘ilm dan al-h}ikmah.23
22
al-Ja>biri, Bunyah, 251.
23
Ibid., 253.
24
Ibid., 254.
25
Ibid., 252.
26
Berturut-turut teks di atas adalah surat al-Wa>qi’ah : 95 dan al-Taka>thu>r : 5, 7. Lihat Ibid.
Melacak Genealogi Nalar Arab 8
al-Ja>biri mempunyai dua sisi yang berkaitan. Satu sisi sebagai world view penganutnya
yang bersifat pribadi dalam mengatur segenap tingkah laku bahkan cara berpikir yang
intinya bermuara pada pelarian diri dari realitas. Di sisi yang lain al-‘irfa>ni juga
menelorkan referensi teoritis untuk menafsirkan alam dan manusia serta realitas
lainnya.
A/B seperti C/D, C/D seperti E/F, E/F seperti G/H dan seterusnya
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas
yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka ni`mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan”.
27
Ibid., 290.
Melacak Genealogi Nalar Arab 9
Kaum Syi’ah menafsirkan al-bah}rayn sebagai ‘Ali dan Fatimah, barzakh sebagai
Muhammad saw dan al-lu`lu` wa al-marja>n sebagai H}asan H}usayn. Model
penalaran mereka adalah bahwa Muhammad dalam hubungannya dengan ‘Ali dan
Fatimah (al-as}l) adalah seperti keterkaitan antara barzakh dengan bah}rayn (al-far’).
Terlihat bahwa penyerupaan di atas lebih pada penyerupaan relasi bukan pada relasi
keserupaan. 28
Epistem Burha>ni
28
Ibid., 305, 306.
29
Ibid., 383.
Melacak Genealogi Nalar Arab 10
hukum-hukum alam. Ini sesuai dengan prinsip yang dikemukan Hegel, sebagaimana
dikutip al-Ja>biri, bahwa setiap hal yang “berbau” waqi’i adalah rasional. Lebih jauh
Hegel menegaskan bahwa hanya melihat kesesuaian antara nalar dengan realitas saja
adalah pandangan yang statis. Menurutnya, pandangan yang dinamis menuntut tidak
saja nalar relevan dengan realitas, tapi juga dengan aspek kesejarahan.30
Peran nalar antara lain dalam melihat realitas adalah memproduk pengetahuan
dengan menyingkap sebab (idra>k al-sabab) atau menemukan hukum kausalitas di balik
sesuatu. Karena pada dasarnya makna “eksistensi sesuatu” adalah kehadirannya yang
didahului oleh sebab, baik sabab fa>’il (aktif) atau sabab gha`iy (tujuan akhir). Karenanya
“menalar sesuatu” maksudnya adalah menemukan kedua sebab tersebut.31 Sebab
menurut Aristoteles terpilah menjadi empat macam; sebab materi, sebab bentuk, sebab
pelaku dan sebab tujuan. Eksistensi kursi, misalnya, mengharuskan empat sebab; materi
(bahan dasar kayu), bentuk (gambaran kursi), pelaku (tukang), tujuan (sebagai tempat
duduk).32
Al-Burha>n sebagai sebuah epistem hadir sejal awal mula muncul disiplin
filsafat dan aktivitas ilmiah di Yunani tiga abad sebelum Aristoteles. Sumbangsih
Aristoteles kemudian adalah mensistematisasi dan menjadikan disiplin ini sebagai
mahkota keilmuan. Pengaruh Aristoteles terhadap pemikiran burha>n dalam konteks
peradaban Arab tidak disangsikan lagi. Epistem Burha>ni masuk dalam tradisi
pemikiran Arab pada abad-abad pertengahan melengkapi dua tradisi pemikiran
sebelumnya yang lebih dulu eksis, epistem bayan>i dan ‘irfa>ni. Wajar bila kemudian,
kehadiran epistem burhani berbenturan keras dengan tradisi pemikiran yang telah
mengakar sebelumnya, utamanya tradisi pemikiran “tuan rumah” (s}a>h}ib al-da>r)
dalam istilah al-Ja>biri. Hal tersebut dibuktikan oleh al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Rushd
dalam usahanya membumikan tradisi burha>ni dalam ranah peradaban Arab.
30
Al-Ja>biri, Takwi>n, 22-23.
31
Ibid., 22.
32
Lihat, al-Ja>biri, Bunyah, 398.
Melacak Genealogi Nalar Arab 11
Dalam interaksinya, tiga epistem dalam peradaban Arab mengalami tiga fase
interaktif. Fase I, al-tada>khul al-takwi>ni dengan ditandai masing-masing epistem
mencari eksistensi dan memberikan pengaruh secara independent terhadap peradaban
Arab yang akhirnya pada abad ke-5 H terjadi benturan antar epistem. Selanjutnya pada
fase II, al-al-tada>khul al-talfi>qi, terjadi rekonsiliasi antar epistem. Rekonsiliasi pertama
terjadi antara epistem baya>ni dan ‘irfa>ni di tangan al-Ha>rith al-Muha>sibi, antara
baya>n dan burha>n di tangan al-Kindi dan antara burhani dan ‘irfani di tangan
Ikhwa>n al-S}afa dan Filosof Isma’ili.33 Pada fase rekonsiliasi ini menurut al-Ja>biri,
nalar Arab tidak mengalami perkembangan signifikan, karena rekonsiliasi hanya
dimaksudkan untuk kepentingan-kepentingan ideologis dan partisan untuk
mengukuhkan salah satu epistem. Ini terlihat umpamanya pada epistemologi al-Ghazali
– epistem yang kemudian menjadi mainstream - yang menjadikan al-burha>n sebagai
alat untuk mentahtakan al-baya>n dan menyerang al-burha>n itu sendiri. Fase yang
terakhir menurut al-Jabiri adalah fase ‘iadah al-ta’si>s, penyusunan ulang relasi antar
epistem.
Qiya>s baya>ni adalah teori sekaligus esensi struktur mental dalam medan
baya>ni, meliputi disiplin bahasa, akidah dan fiqh. Berdasarkan konstruksinya, teori
qiya>s, sebagai produk dari nalar Arab, dapat dikerangkakan pada tiga otoritas
(kekuasaan), otoritas as}l (sult}at as}l), otoritas kata (sult}at al-lafz}) dan otoritas
keserbabolehan (sult}at al-tajwi>z).34
33
al-Ja>biri, Bunyah, 486.
34
Ibid., 560-561.
Melacak Genealogi Nalar Arab 12
Al-Sha>fi’i sebagai Founding Father Us}u>l al-Fiqh, kata al-Ja>biri, adalah orang
yang paling bertanggung jawab terhadap pelembagaan teori qiya>s dalam ranah
peradaban Arab. Ketika al-Sha>fi’i memberikan batasan sumber hukum secara hirarkis;
al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan qiya>s, pada dasarnya ia bermaksud membatasi skop nalar
Arab dalam bingkai sumber-sumber tersebut. Karena sumber-sumber tersebut telah
dikenal sebelum al-Sha>fi’i. Dan yang lebih naif lagi bahwa qiya>s yang ia promosikan
adalah sebuah metode penalaran yang ia timba dari lingkungan bahasa Arab. Sebelum
al-Shafi’I merilis kitabnya al-Risa>lah, qiya>s sudah menjadi kerangka teoritik yang
mapan dalam keilmuan bahasa Arab, dalam ungkapan sederhana al-Kasa`i "إنما النحو
"قياس يتبع. Al-Sha>fi’i bukan pencipta teori qiya>s, tapi megembangkannya dari logika
bahasa.35
Wajar bila kemudian aktivitas nalar peradaban Arab lebih banyak berkisar pada
teks ()حول النص. Produksi pengetahuan lebih banyak didasarkan pada prinsip ‘al-asl fi al-
nas}, la fi al-wa>qi’). Dari perspektif epistemologis, konstruksi nalar Arab berkisar pada
persoalan dila>lat al-khit}ab (petunjuk wacana), baik itu petunjuk teks (dila>lat al-nas})
atau petunjuk kandungan teks (ma’qu>l al-nas}). Dila>lat al-nas} berujung pada
pembahasan hubungan antara lafaz dan makna. Sedangkan ma’qu>l al-nas} bermuara
pada bahasan teori qiya>s. Itu artinya bahwa penyelesaian persoalan baru (al-far’) mesti
dirujukkan pada as}l dengan berpegang pada kandungan teks (ma’qu>l al-nas) dan
dengan tetap berpijak pada persoalan hubungan lafaz dan makna,36 karena tanpa hal ini
mustahil diperoleh kandungan teks.
35
Al-Ja>biri>, Takwi>n, 124.
36
Ibid., 56.
Melacak Genealogi Nalar Arab 13
pasangan lafaz dan makna, asl dan far’, dali>l dan madlu>l adalah relasi spekulatif,
bukan relasi kemestian.
37
lihat. Al-Ja>biri>, al-Tura>th wa al-H}ada>thah, 188.
38
Lihat Al-Ja>biri>, Post Tradisionalisme Islam, ter. Ahmad Baso (Yogyakarta: LkiS, 2000), 149.
Melacak Genealogi Nalar Arab 14
39
M. Amin Abdullah dalam tulisannya “Al-Ta’wil al-‘Ilmi; Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran
Kitab Suci,” Al-Jami’ah, 39 (Juli-Desember 2001), 378.
40
Ibid., 379.
41
Induksi sebagai piranti metode keilmuan pada dasarnya mensyaratkan determinasi analitis dari relasi
sebab-akibat dalam sejumlah fenomena, kemudian diiringi dengan proses generalisasi dari hasil relasi
tersebut. Lihat, John Grier Hibben, Logic; Deductive and Inductive (New York, Chicago, Boston: Charles
Scribner’s Sons, 1905), 195.
42
Inferensia secara esensial adalah proses yang memfasilitasi pemikiran kita untuk mengkombinasikan
elemen-elemen yang didapat dengan cara tertentu di mana konklusinya berisi sesuatu yang tak mungkin
disingkap bila elemen-elemen tersebut dalam keadaan terisolir satu dengan yang lain. Lihat John Grier
Hibben, Logic, 9.
43
Al-Ja>biri>, Bunyah, 567.
44
Lihat, Irving M. Copy, Introduction to Logic (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1978), 3.
45
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2001), 33.
Melacak Genealogi Nalar Arab 15
Penutup
Berdasar paparan genealogi nalar Arab di atas dapat dipahami kenapa ethos
riset/ijtihad dalam konteks keilmuan Islam mengalami stagnasi. Apa yang dilakukan
al-Jabiri dengan kritik epistemologisnya terhadap epistemologi nalar Arab
menyadarkan kita terhadap problem dunia intelektualitas muslim yang selama ini
menjadi bagian dari ketidaksadaran kita dan berpengaruh terhadap banyak segi
kehidupan. Kedalaman wawasan filsafat dan tradisi pemikiran Perancis-nya dan
kemampuan mensistematisasikan gagasan pembaharuan berdasar ketepatan dalam
melihat akar permasalahan patut untuk mendapatkan apresiasi yang layak.
46
Al-Jabiri, al-Bunyah, 427.
47
Ibid., 431.
Melacak Genealogi Nalar Arab 16
Dengan terintegrasnya tiga epistem nalar Arab, akan mudah dipetakan mana
wilayah religiousity sebagai medan burha>ni yang objektif, wilayah religion yang
subjektif sebagai medan baya>ni dan wilayah being religious yang bersifat intersubjektif
sebagai medan ‘irfa>ni.
48
M. Amin Abdullah dalam tulisannya “Al-Ta’wil al-‘Ilmi . . .”, 387.
Melacak Genealogi Nalar Arab 17
DAFTAR PUSTAKA