Anda di halaman 1dari 89

`Kemungkinan Rincian, Sebab, dan Akibat Permasalahan yang Terkandung di dalam Setiap Kasus

1.

Prestasi belajar rendah ; di bawah rata-rata ; merosot ( Kasus I, II, III, IV, V, VI, VII, dan VIII ) Gambaran yang lebih rinci : - Nilai rapor banyak merahnya; - Nilai tugas, ulangan dan ujian rendah; - Dari waktu ke waktu nilai menurun; - Mendapat peringkat di bawah rata-rata untuk berbagai atau setiap mata pelajaran; - Mendapat peringkat di bawah rata-rata untuk keseluruhan murid dalam satu kelas.

Kemungkinan sebab : - Tingkat kecerdasan di bawah rata-rata; - Malas belajar; - Kurang minat dan perhatina; - Kekurangan sarana belajar; - Kekurangan kesempatan, atau waktu untuk belajar; - Suasana sosio-emosional dirumah kurang memungkinkan untuk belajar lebih baik; - Proses belajar mengajar di sekolah kurang merangsang; - Suasana sosio-emosional sekolah kurang memungkinkan siswa belajar dengan baik;

Kemungkinan akibat : - Minat belajar semakin berkurang; - Tidak naik kelas; - Dikeluarkan dari sekolah; - Frustasi yang mendalam;

- Tidak mampu melanjutkan pelajaran; - Kesulitan mencari kerja.

2.

Kurang berminat pada program studi tertentu ( Kasus I ) Gambaran yang lebih rinci : - Tidak dapat memusatkan perhatian untuk mempelajari materi-materi yang terkait pada bidang studi tersebut; - Berusaha tidak mengikuti mata pelajaran yang bersangkutan dengan bidang studi tersebut; - Tidak mengerjakan tugas-tugas dalam mata pelajaran tersebut.

Kemungkinan sebab : - Tidak memiliki bakat dalam bidang tersebut; - Lingkungan tidak menyokong untuk pengembangan bidang tersebut; - Proses belajar mengajar untuk bidang tersebut tidak menyenangkan; - Dengan guru kurang menyenangkan; - Siswa sudah berusaha sekuat tenaga, tapi hasilnya selalu rendah; - Dorongan dari guru dan sekolah kurang; - Sarana belajar kurang menunjang; - Memilih bidang tersebut dari ikut-ikutan, atau dorongan orang tua atau orang lain.

Kemungkinan akibat : - Pindah jurusan; - Terjadi ketidaksesuaian antara keinginan orang tua dan pilihan siswa; - Kegiatan untuk bidang studi lain menjadi terganggu.

3.

Bentrok dengan guru ( Kasus I ) Gambaran yang lebih rinci : - Tidak mengikuti pelajaran dengan guru tersebut; - Tidak mau bertemu dengan guru tersebut;

- Jika bertemu tidak mau menegur guru tersebut; - Memakai kata-kata ataupun bersikap tidak sopan terhadap guru tersebut; - Mempengaruhi kawan-kawannya untuk bersikap serupa terhadap guru tersebut.

Kemungkinan sebab : - Tidak menyukai bidang studi yang diajarkan guru tersebut; - Siswa berbuat kesalahan dan ketika di tegur oleh guru tersebut siswa tidak mau menerima teguran itu; - Berwatak pembangkang; - Kurang memahami aturan dan sopan santun yang berlaku di sekolah; - Aturan dan sopan santun yang berlaku di lingkungan ( dan di rumah ) berbeda dengan yang berlaku dirumah.

Kemungkinan akibat : - Memperoleh nilai mati dari guru yang bersangkutan; - Hubungan dan kegiatan belajar dengan guru-gurulain menjadi terganggu; - Tidak naik kelas; - Dikeluarkan dari sekolah.

4.

Melanggar tata tertib ( Kasus I ) Gambaran yang lebih rinci : - Sejumlah tata tertib disekolah tidak dipatuhi, misalnya : tentang kehadiran di sekolah, baju seragam, tempat duduk dalam kelas, penyelesaian tugastugas; - Perlanggaran tersebut kelihatannya bukan tanpa disengaja; - Pelanggaran dilakukan berkali-kali.

Kemungkinan sebab :

- Tidak begitu memahami kegunaan masing-masing aturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah, aturan tersebut tidak didiskusikan dengan siswa sehinga siswa hanya terpaksa mengikuti; - Siswa yang bersangkutan terbiasa hidup terlalu bebas, baik di rumah maupun masyaraka; - Tindakan yang dilakukan terhadap pelanggaran terlalu keras sehingga siswa mereaksi secara tidak wajar( Negatif ); - Cirri khusus perkembangan remaja agak sukar diatur tetapi belum dapat mengatur diri sendiri; - Ketidaksukaan pada mata pelajaran tertentu dilampiaskan pada

pelanggaran terhadap tata tertib sekolah.

Kemungkinan akibat : - Tingkah laku siswa makin tidak terkendali; - Terjadi kerenggangan antara guru dan murid; - Suasana di sekolah dirasakan kurang menyenangkan bagi siswa; - Proses belajar-mengajar terganggu; - Kegiatan belajar siswa terganggu; - Nilai rendah; - Tidak naik kelas, di keluarkan dari sekolah.

5.

Membolos ( kasus I ) Gambaran yang lebih rinci : - Berhari-hari tidak masuk sekolah; - Tidak masuk sekolah tanpa izin; - Sering keluar pada jam pelajaran tertentu; - Tidak masuk kembali seteleh izin; - Masuk sekolah berganti hari; - Mengajak teman-teman untuk keluar pada mata pelajaran yang tidak disenangi; - Minta izin keluar dengan berpura-pura sakit atau alasan yang lainnya;

- Mengirimkan surat izin tidak masuk dengan alas an yang dibuat-buat; - Tidak masuk kelas lagi setelah istirahat.

Kemungkinan sebab : - Tidak senang dengan sikap dan perilaku guru; - Merasa kurang mendapatkan perhatian guru; - Merasa dibeda-bedakan oleh guru; - Proses belajar-mengajar membosankan; - Merasa gagal dalam belajar; - Kurang berminat terhadap mata pelajaran; - Terpengaruh oleh teman yang suka membolos; - Takut masuk karena tidak membuat tugas; - Tidak membayar kewajiban (SPP) tepat pada waktunya.

Kemungkinan akibat : - Minat terhadap pelajaran akan semakin berkurang; - Gagal dalam ujian; - Hasil belajar yang diperoleh tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki; - Tidak naik kelas; - Penguasaan terhadap materi pelajaran tertinggal dari teman-teman lainnya; - Dikeluarkan dari sekolah.

6.

Terlambat masuk sekolah ( Kasus I, dan IV ) Gambaran yang terpeinci : - Sering tiba disekolah setelah jam pelajaran dimulai; - Memakai waktu istirahat melebihi waktu yang telah ditentukan; - Sengaja melambat-lambatkan dari masuk kelas meskipun tahu jam pelajaran sudah dimulai.

Kemungkianan sebab : - Jarak antara rumah dan sekolah jauh;

- Kesulitan kendaraan; - Terlalu banyak kegiatan dirumah, membantu orang tua; - Terlambat bangun; - Gangguan kesehatan; - Tidak menyukai suasana di sekolah; - Tidak menyukai datu atau lebih mata pelajaran; - Tidak menyiapkan pekerjaan rumah (PR); - Kurang mempunyai persiapan untuk kegiatan di kelas; - Terlalu asyik dengan kegiatan diluar sekolah.

Kemungkinan akibat : - Nilai rendah; - Tidak naik kelas; - Hubungan dengan guru terganggu; - Hubungan dengan kawan sekelas terganggu; - Kegiatan di luar kelas tidak terkendali.

7.

Pendiam ( Kasus II ) Gambaran yang lebih rinci : - Kurang mau berbicara atau bertegur sapa; - Kurang akrab terhadap teman atau guru; - Tidak ceria.

Kemungkinan sebab : - Berwatak introvert; - Kurang sehat; - Mengalami gangguan dengan organ bicara; - Malu atau takut pada orang lain; - Merasa tidak perlu atau tidak ada gunanya berbicara; - Mengalami kesulitan bahasa;

- Sedang dirundung kesedihan atau suasana emosional lainnya yang cukup dalam.

Kemungkinan akibat : - Tidak disukai kawan dan pergaulan teganggu; - Kurang mampu mengembangkan penalaran melalui komunikasi lisan.

8.

Kesulitan alat pelajaran ( Kasus III ) Gambaran yang lebih rinci : - Tidak memiliki buku-buku untuk berbagai mata pelajaran; - Tidak cukup memiliki buku dan alat-alat tulis; - Tidak mampu membeli alat-alat pelajaran, seperti alat-alat untuk praktek berbagai mata pelajaran.

Kemungkinan sebab : - Orang tua tidak mampu; - Pemborosan sehingga uang yang tersedia untuk alat-alat pelajaran terbelanjakan untuk yang lain; - Kurang akrab dengan kawan sehingga tidak dapat meminjam alat pelajaran yang diperlukan dari kawan; - Tidak mengetahui tersedianya dan cara memanfaatkan sumber belajar yang ada ( misalnya perpustakaan ).; - Kurang rapid an teliti sehingga alat-alat pelajaran yang dimiliki lekas rusak atau hilang.

Kemungkinan akibat : - Tertinggal dalam pelajaran; - Tugas-tugas tidak sesuai; - Nilai rendah; - Semangat belajar menurun.

9.

Bertengkar atau berkelahi Gambaran yang lebih rinci : - Sering salah paham dengan kawan; - Sombong; - Memperolokan, mengejek dan menantang orang lain; - Tidak mau dilarang; - Ditakuti kawan-kawannya; - Tidak mau menerima pendapat orang lain; - Membentuk kliek keras yang tindakannya merugikan siswa-siswa yang lemah.

Kemungkinan Sebab : - Pengendalian diri kurang; - Mau menang sendiri; - Kerasa jagoan; - Hiperaktif; - Suasana rumah yang keras atau sebaliknya terlampau memberi hati ( permisif ).

Kemungkinan akibat : - Tidak disukai kawan dan guru; - Luka; - Melalaikan pelajaran; - Nilai rendah; - Tidak naik kelas; - Berurusan dengan polisi; - Dikeluarkan dari sekolah.

10. Sukar menyesuaikan diri ( Kasus III ) Gambaran yang lebih rinci : - Seing terjadi salah paham dengan kawan;

- Sombong atau tinggi hati; - Suka membanding-bandingkan dan menjelekan orang lain; - Tidak mau menerima pendapat orang lain; - Curiga dan kurang percaya pada orang lain; - Pergaulan sangat terbatas.

Kemungkinan sebab : - Mau menang sendiri; - Memiliki standar yang berbeda dengan standar orang lain; - Banyak mengalami kekecewaan dalam hubungan dengan orang lain; - Terlalu bergaul lama dengan sekelompok orang orang dalam suasana tertentu; - Suasana keluarga terlalu keras.

Kemungkinan akibat: - Sosialitas kurang berkembang sehingga kurang mendapat keuntungan dari pergaulannya dengan orang lain; - Tidak dapat mengambil manfaat dari lingkungan demi pengembangan dirinya.

11. Pemalu, takut, canggung, kaku, gugup ( Kasus III, dan IV ) Gambaran yang lebih rinci : - Berbicara tersendat-sendat, gagap; - Tidak berani bertatap muka dan berwawancara dengan orang lain; - Sering tertegun-tegun; - Salah tingkah; - Tidak pandai mengemukakan pendapat; - Terlalu perasa.

Kemungkinan sebab : - Diperlakukan terlalu keras, tidak bebas, tertekan;

- Kurang bergaul; - Sering ditakut-takuti; - Selalu berada dalam keadaan kekurangan ( misalnya dalam status sosialekonomi ); - Frustasi yang dalam.

Kemungkinan akibat ; - Sosialitas kurang berkembang, sering dirugikan dalam berhubungan dengan orang; - Kemampuan dan bakat yang ada pada dirinya tidak dapat berkembang secara optimal, tidak ada yang dapat ditonjolkan pada dirinya.

12. Dimanjakan ( Kasus III, IV, dan VII ) Gambaran yang lebih rinci : - Terlalu bebas, tidak dapat dikendalikan, bertindak semaunya sendiri; - Pemboros dan suka berfoya-foya; - Kurang memahami sopan santun dan aturan; - Kurang bertenggang rasa; - Ingin dipuji.

Kemungkinan sebab : - Memiliki kedudukan khusus dalam keluarga, seperti anak bungsu, anak tunggal, satu-satunya laki-laki atau perempuan, satu-satunya cucu tersayang yang dipelihara neneknya; - Mempunyai keistimewaan yang di bangga-banggakan orang tuanya, seperti sangat cantik, sangat pintar.

Kemungkinan akibat : - Pergaulan terlalu bebas, sehingga menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan; - Tidak dapat mengatur diri sendiri, sehingga sukar diharapkan mandiri;

- Pelajaran yang terlalaikan dengan akibat nilai jelek, tidak naik kelas, tidak lulus ujian.

13. Diperlakukan seperti anak kecil ( Kasus III ) Gambaran yang lebih rinci : - Orang lain mengganggu dan memperlakukannya seperti anak kecil, digoda, dipermainkan, harus patuh, pendapatnya diremehkan; - Mereaksi negative terhadap perlakuan orang tersebut, sehingga timbul dua jenis kontra-reaksi : makin dipermainkan oleh orang lain, atau tidak disenangi oleh orang lain.

Kemungkinan sebab : - Tingkah laku memang kekanak-kanakan; - Tinggal ditempat orang-orang yang kurang menghargai dan menyayangi orang lain, ( khususnya orang yang lebih muda ); - Kurang pandai bergaul.

Kemungkinan akibat : - Bersikap pemberontak; - Sukar menyesuaikan diri; - Perkembangan sosialitas terganggu; - Rendah diri.

14. Menyendiri, kurang bergaul ( Kasus IV ) Gambaran yang lebih rinci : - Seing memisahkan diri dari kawan, duduk sendiri; - Kurang mau dibawaserta dalam kegiatan kelompok; - Pendiam; - Tudak ceria, tertutup; - Suka termenung; - Tampak lemah.

Kemungkinan sebab : - Sedang mengalami suasana emosional yang cukup mendalam, sedih, frustasi, marah, kecewa, malu; - Merasa rendah diri; - Diperlakukan terlalu keras.

Kemungkinan akibat : - Perkembangan sosialitas terganggu; - Pelajaran terabaikan dengan berbagai akibatnya.

15. Berlaku kasar ( Kasus V, dan VI ) Gambaran yang lebih rinci : - Suka melontarkan kata-kata yang menyakitkan hati orang lain; - Suka mencaci maki orang lain; - Suka memberikan hukuman yang bersifat fisik; - Suka dimarahi orang lain di depan orang banyak; - Suka menyerang orang lain untuk mempertahankan dirinya; - Suka memojokan orang lain dengan kata-kata yang tidak senonoh untuk memperlihatkan kelemahannya; - Menolak dengan kata-kata keji permintaan maaf orang lain; - Suka menyampaikan kata-kata kotor pada orang lain bila marah; - Tidak mau minta maaf.

Kemungkinan sebab : - Terbiasa diperlakukan secara kasar dalam keluarga; - Sering diperlakukan secara kasar dalam pergaulannya; - Sering bergaul dengan orang-orang yang kasar; - Kompensasi terhadap kelemahan yang dia miliki; - Merasa mendapat pengalaman sukses dengan cara berlaku kasar dalam mencapai tujuannya;

- Untuk melindungi dirinya dari kesalahan yang dia lakukan ( mekanisme pertahanan diri ).

Kemungkinan akibat : - Sukar mencari teman bergaul, dibenci oleh orang lain; - Dipencilkan dari pergaulan oleh masyarakat atau lingkungan; - Tidak dilibatkan dalam berbagai kegiatan oleh lingkungannya; - Nilai rendah, tidak naik kelas, dikelurkan dari sekolah; - Bisa mengalami stress dan darah tinggi karena hidupnya tidak tenang.

16. Tidak senonoh ( Kasus V ) Gambaran yang lebih rinci : - Suka berkata cabul; - Menggoda dengan kasar jenis kelamin lain; - Suka mengintip; - Suka membaca buku cabul; - Membawa buku-buku cabul; - Mebuat coret-coret yang bernada cabul; - Memamerkan alat kelamin kepada orang lain.

Kemungkinan sebab : - Merasa iri terhadap orang lain; - Gangguan kepribadian/gangguan mental; - Kurang perhatian atau kurang kasih sayang; - Merasa tidak dihargai atau mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya; - Frustasi karena kegagalan cinta, kegagalan belajar; - Terpengaruh dengan teman sebaya atau lingkungan tempat tinggal; - Mengalami penyimpangan seksual.

Kemungkinan akibat : - Dibenci orang lain; disisihkan dari lingkungan sosial;

- Hubungan dengan teman sebaya, terutama dengan jenis kelamin lain, terganggu; - Terbiasa dengan perbuatan kiji atau amoral; - Kegiatan belajar terganggu; - Nilai rendah, tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah.

17. Kurus dan pucat ( Kasus VI ) Gambaran yang lebih rinci : - Berat badan merosot; - Sering tidak enak badan (sakit), lemah ; - Tidak suka berolah raga; - Kurang enak makan; - Kurang bergairah, tidak ceria.

Kemungkinan sebab : - Mengidap penyakit tertentu; - Kebiasaan hidup tidak sehat, seperti kurang tidur, merokok, makan tidak teratur dan kurang gizi.

Kemungkinan akibat : - Minat belajar berkurang dan pelajaran terganggu dengan berbagai akibatnya.

18. Diperlakukan sangat keras ( Kasus VI ) Gambaran yang lebih rinci : - Harus patuh pada perintah dan larangan; - Sring kali dimarahi, di hokum, bahkan kadang-kadang di hokum secara fisik; - Apabila yang bersangkutan bereaksi, larangan dan hukuman malah diperkeras.

Kemungkinan sebab : - Sejak awalnya yang bersangkutan memang nakal, sehingga reaksi orang lain menjadi keras; - Orang tua atau guru yang otoriter.

Kemungkinan akibat : - Menjadi pasrah, kehilangan inisiatif; - Rendah diri; - Mencari kompensasi; - Terbawa menjadi bersikap dan berperilaku keras pada orang lain, tidak mengenal kelembutan; - Anti sosial.

19. Tidak bebas ( Kasus VI ) Gambaran yang lebih rinci adalah : - Selalu diatur tentang apa yang akan dikerjakan; - Selalu dicurigai kemana akan pergi; - Tidak mendapat kesempatan bergaul dengan teman sebaya; - Dilarang pergi kerumah teman; - Tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau ide; - Tidak diperbolehkan berpacaran; - Harus tinggal di rumah sepulang sekolah; - Harus tepat waktu pulang dari sekolah; - Berteman harus disukai orang tua; - Tidak diperbolehkan karyawisata; - Pilihan sekolah lanjutan ditentukan oleh orang tua; - Orang tua selalu menuntut patuh ateu menurut perintahnnya.

Kemungkinan sebab : - Orang tua terlalu ketat menerapkan disiplin dan otoriter; - Sekolah terlalu ketat menerapkan disiplin dan guru otoriter;

- Pernah berdusta sehingga tidak dipercaya; - Orang tua sangat menyayangi sehingga khawatir atas kesehatan dan keselamatannya; - Orang tua menginginkan anaknya seperti apa yang mereka dambakan; - Orang tua kurang mengerti tentang aktivitas yang dilakukan di sekolah; - Orang tua kurang mengerti tentang kebutuhan anaknya.

Kemungkinan akibat : - Tidak luwes dalam bergaul; - Kurang berani berpendapat, akan muncul perasaan rendah diri, kurang percaya terhadap dirinya sendiri; - Bakat akan tidak terealisasikan secara optimal; - Cenderung pasif atau bekerja cenderung menunggu perintah; - Timbul reaksi melawan dan menentang.

20. Menyimpan ganja ( Kasus VI ) Gambaran yang lebih rinci : - Menyimpan daun ganja, di bungkus rapi, dalam lipatan buku yang tidak pernah di keluarkan dari tas sekolah; - Daun ganja itu dari seseorang yang tidak diketahui namanya; - Daun ganja itu baru sekedar disimpan, belum pernah diapa-apakan.

Kemungkinan sebab : - Dia hendak dijadikan alat untuk pengedar ganja di lingkungan pelajar; - Ingin mencoba ganja, meskipun belum terlaksana; - Sebagai akibat pergaulan dengan gang sesama anak nakal; - Sebagai kompensasi lebih lanjut ataupun pelarian dari kehidupan keras dan mengecewakan yang dialaminya selama ini; - Belum tahu apa sebenarnya barang yang disimpannya, dan mau diapakan atau dikemanakan.

Kemungkinan akibat : - Terperangkap ke dalam jaringan pengedar ganja; - Mulai menghisap ganja dengan segala akibatnya; - Kalau ternyata terlibat dalam jaringan pengedar ganja mesti berurusan dengan polisi, karena pengedar ganja dan sejenisnya adalah tindak kriminal; - Kalau ternyata sudah menghisap ganja harus berurusan dengan dokter, karena hal itu dapat mengakibatkan ketidakseimbangan fisik; - Pelajaran akan sangat terganggu dengan segenap implikasinya.

21. Minggat ( Kasus VI ) Gambaran yang lebih rinci : - Meninggalkan rumah tanpa izin/ pemberitahuan mau kemana; - Meninggalkan rumah beberapa hari/ bulan, kemudian pulang; - Menyembunyikan diri di tempat family.

Kemungkinan sebab : - Dimarahi oleh orang tua; - Tidak betah dengan suasana rumah; - Menampilkan ketidaksetujuan terhadap keputusan orang tua; - Mencoba-coba hidup diluar pengawasan orang tua; - Dorongan teman untuk berontak; - Ingin bergabung dengan suatu kelompok/geng; - Tidak tahan akan kelakuan keluarga; - Malu yang berlebihan karena berbuat kesalahan.

Kemungkinan akibat : - Terjerumus pada tempat-tempat maksiat; - Menjadi korban tindakan criminal; - Keluarga menjadi risau; - Pelajaran terganggu dengan berbagai akibatnya.

22. Mabuk-mabukan (Kasus VI ) Gambaran yang lebih rinci : - Sering minum-minuman sehingga mabuk; - Berbuat demikian bersama geng-nya, di luar rumah; - Dapat memperoleh minuman yang demikian meskipun tidak diberi uang dari rumah; - Gejala mabuk kadang-kadang terbawa pulang kerumah, seperti agak teller, muntah, dan tidur berlama-lama.

Kemungkinan sebab : - Sebagai kompensasi atau pelarian dari kehidupan keras dan

mengecewakan yang dialaminya selama ini; - Pengaruh kawan se-geng-nya yang member fasilitas, dorongan dan penguatan untuk berbuat demikian itu.

Kemungkinan akibat : - Terjerumus lebih dalam lagi dalam dunia geng yang penuh dengan kekerasan, kekotoran, kegelapan; - Terlambatnya pengembangan pribadi secara menyeluruh; - Nilai rendah, tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah.

23. Nakal ( Kasus VI ) Gambaran yang lebih rinci : - Membuat coret-coretan pada dinding sekolah; - Berkelahi dengan teman; - Mengganggu teman dalam belajar; - Melawan kepada orang tua atau guru; - Tidak mau membayar sewa mobil secara bersama-sama sepulang sekolah; - Mabuk-mabukan di pinggir jalan pada malam hari;

- Dengan sengaja melanggar peraturan, seperti peraturan lalu lintas, peraturan sekolah; - Mencuri buah-buahan, atau barang-barang lainnya; - Mengganggu teman wanita.

Kemungkinan sebab : - Kurang perhatian dari keluarga atau kurang kasih saying; - Ingin menarik perhatian orang lain; - Ingin di anggap jagoan; - Merasa tidak puas dengan lingkungannya; - Tidak mendapat perhatian atau perlakuan yang baik dari guru dan kawankawan; Merasa disepelekan oleh lingkungannya;

- Disiplin yang terlalu keras; - Gangguan emosional atau gangguan mental ringan atau salah asuh; - Kompensasi atas kekurangannya; - Menguji identitas diri; - Pengaruh lingkungan sebaya yang nakal.

Kemungkinan akibat : - Merusak keindahan lingkungan; - Menggangu ketentraman umum; - Menjadi bahan pengujian orang lain; - Jalannya peraturan sekolah terganggu; - Peralatan sekolah rusak; - Mengakibatkan cidera fisik pada mereka; - Berurusan dengan pihak yang berwajib; - Kegiatan belajar terganggu; nilai-nilai dengan berbagai akibatnya; - Terjerumus pada tindakan criminal.

24. Kurang perhatian terhadap kehidupan beragama ( Kasus VII )

Gambaran yang lebih rinci : - Nilai pelajaran agama merah; - Penunaian kewajiban agama oleh anak kurang menjadi perhatian orang tuanya; - Perhatina terhadap pelajaran agama disepelekan, jauh diselakang perhatiannya terhadap pelajaran-pelajaran lain.

Kemungkinan sebab : - Contoh dan control dari orang tua tentang penunaian kewajiban agama kurang kuat; - Pelajaran agama kurang menarik; - Belum tertanam kebiasaan menunaikan kewajiban agama; - Tidak mengetahui konsekuensi kalau nilai agama merah; - Tidak memahami kaitan antara kehidupan keagamaan dengan hidup sehari-hari.

Kemungkinan akibat : - Kalau ketentuan nilai mati untuk pelajaran agama tetap diberlakukan secara konsekuen maka siswa tersebut akan tidak naik kelas; - Dikhawatirkan siswa tersebut akan makin kurang peduli terhadap keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta penunaian kewajiban agama; atau bahkan melecehkan agama; pengembangan religious terhambat.

25. Tidak enak kepada orang tua ( Kasus VIII ) Gambaran yang lebih rinci : - Orang tua mereaksi terlalu keras terhadap tingkah laku anaknya yang dianggap menyimpang; - Anak mereaksi agak negative terhadap sikap dan tindakan orang tuanya itu.

Kemungkinan sebab : - Tingkah laku anak yang menyimpang itu di anggap orang tua terlalu berat; - Teguran awal yang cukup lunak mungkin telah terlebih dahulu dikemukakan oleh orang tua, tapi anak tidak menghiraukannya; - Orang tua terlalu keras memberikan teguran; - Anak kurang memahami makna teguran orang tua dan tidak menerimanya secara wajarsebagai teguran yang tujuannya baik; - Refkesi dari gejolak perkembangan remaja yang ingin berdiri sendiri tapi sebenarnya belum mampu.

Kemungkinan akibat : - Hubungan antara orang tua semakin renggang; - Anak semakin tidak menghormati orang tua; - Nilai-nilai keluarga semakin lemah.

26. Tidak melakukan shalat ( Kasus VIII ) Gambaran yang lebih rinci : - Tadinya rajin shalat, sekarang tidak rajin, bahkan tidak shalat sama sekali.

Kemungkinan sebab : - Belum tertanam secara kuat pemahaman makna shalat yang sesungguhsungguhnya sehingga terkena bias tertentu sedikit saja sudah luntur.

Kemungkinan akibat : - Makin terkikisnya kebiasaan dan pemahaman makna shalat yang sudah ada sebelumnya, serta berhenti shalat secara tetap; - Melemahnya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pelaksanaan kewajiban agama; - Melupakan sama sekali kehidupan keberagamaan dan melakukan pada kehidupan keduniaan

C.

Penanganan Kasus Penanganan kasus pada umunya dapat dilihat sebagai keseluruhan perhatian

dan tindakan seseorang terhadap kasus (yang dialami oleh seseorang) yang dihadapkan kepadanya sejak awal sampai dengan diakhirinya perhatian dan tindakan tersebut. Dalam pengertian itu penanganan kasus meliputi : (1) Pengenalan awal tentang kasus (dimulai sejak mula kasus itu dihadapkan); (2) Pengembangan ide-ide tentang rincian masalah yang terkandung di dalam kasus itu; (3) Penjelajahan lebih lanjut tentang segala seluk-beluk kasus tersebut, dan akhirnya; (4) Mengupayakan upaya-upaya kasus untuk mengatasi atau memecahkan seumber pokok permasalahan itu. Dilihat secara lebih lanjut, penanganan kasus dapat dipandang sebagai upaya-upaya khusus untuk secara langsung menangani sumber pokok

permasalahan dengan tujuan utama teratasinya atau terpecahkannya permasalahan yang dimaksudkan. Sebagai contoh, kita lihat kembali kasus mahasiswa yang telah dibicarakan dimuka. Setelah diadakan pernjelajahan lanjut terhadap permasalahan yangdihadapi oleh mahasiswa itu, ternyata sumber pokok permasalahan ialah keadaaan sering pusing kalau ia teringat orang tuany; keadaan sering pusing ini sangat mengganggu kegiatan belajaranya. Dalam kaitan itu, pertanyaan pokok yang harus dijawab adalah : upaya apakah yang perlu dilakukan agar keadaan sering pusing itu dapat diatasi? Pertanyaan itulah yang sebenarnya menjadi inti penannganan kasus tersebut. Apabila mahasiswa tersebut tidak lagi diganggu oleh pusing kepala yang acap kali menimpanya, sangat mungkin dihadapkan kegiatan belajarnya dapat berjalan lebih baik. Dalam menangani inti permasalahan mahasiswa itu, dua hal perlu mandapat perhatian utama, pusing kepalanya perlu dihilangkan, dan kedua ia harus tetap mengingat orang tuanya. Sepintas lalu kedua hal itu bertentangan : bukankah teringat pada orang tua itu menimbulkan sakit kepala? Namun demikian, selalu mengingat orang tua merupakan hal yang amat penting bagi anak. Adalah suatu

kebahagiaan bagi orang tua apabila anaknya selalu teringat kepada orang tuanya; dan sebaliknya, adalah suatu nilai tambah tersendiri apabila anak selalu mengingat orang tuanya. Mengingat (dan menghormati) orang tua merupakan sesuatu yang wajib bagi anank menurut adat ketimuran. Masalahnya sekarang ialah, bagaimana menghilangkan gejala pusing atau sakit kepala pada mahasiswa itu tanpa menghilangkan ingatannya kepada orang tuanya? Dengan kata lain, bagaimana agar mahasiswa itu tetap teringat kepada orang tuanya tetapi kepalanya tidak pusing? Untuk menjawab pertanyaan itu, pelayanan konseling menyediakan tejnik yang disebut desensitisasi. Dengan teknik ini mahasiswa itu akan dibawa untuk tetap mampu teringat kepada orang tuanya tanpa dampak timbulnya pusing kepala. Demikian, penanganan kasus dalam pengertian yang khusus menghendaki strategi dan teknik-teknik yangsifatnya khas sesuai dengan pokok permasalahan yang akan ditangani itu. Setiap permasalahan pokok biasanya memerlukan strategi dan teknik tersendiri. Untuk itu diperlukan keahlian konselor dalam menjelajahi masalah, penetapan masalah pokok yang menjadi sumber permasalahan secara umum, pemilihan strategi dan teknik penanganan atau pemecahan masalah pokok itu, serta penerapan/pelaksanaan strategi dan teknik yang dipilihnya itu. Sebagai gambaran umum, matrik 2 di halaman 79 memperlihatkan urutan penanganan kasus dalam pengertiannya yang umum sampai dengan penanganan secara khusus delapan buah kasus para pembaca dapat membayangkan berbagai permasalahan yang dapat dikenali pada mulanya melalui : (1) Deskripsi awal kasus, (2) Ide-ide tentang rincian permasalahan, kemungkinan sebab dan kemungkinan akibat, (3) Upaya dan hasil penjelajahan lebih lanjut terhadap setiap permasalahan yang terkanduing pada kasus yang dimaksud, dan (4) Upaya penanganan secara khusus terhadap permasalahan pokok yang menjadi sumber permasalahan pada umumnya.

Seperti disinggung pada awal bab ini, perjelajahan masalah atau studi kasus yang elbih menyeluruh dan lengkap dapat ditempuh melalui berbagai cara, seperti wawancara, analisis onecdotal report, casehistory, cumulative records, oto biografi, deskripsi tingkah laku dan perkembangannya serta melakuakn case conference.

Matriks 2 Keterkaitan Antara Permaslahan Awal, Konsep/Ide-ide Tentang Rincian, Kemungkinan Sebab dan Akibat, Serta Penanganan Masalah Secara Khusus

KASUS

Sesuai dengan deskripsi awal

Bayangan/ide tentang rincian sebab dan akibat

Hasil penjelajahan lebih lanjut

Penanganan secara khusus

Prestasi belajar rendah Bentrok dengan guru KASUS I Melanggar tata tertib Membolos Terlambat masuk sekolah KASUS II Nilai-nilai Pendiam Prestasi belajar rendah Kesulitan alat pelajaran Sering bertengkar Sukar menyesuaikan diri KASUS III Dimajakan Pemalu, taku, canggung, kaku Diperlukan seperti anak kecil .. ? ? .. ? ? ? ?

Prestasi belajar cenderung rendah KASUS IV Menyendiri, kuarang bergaul Gugup Dimanjakan Nilai di bawah rata-rata KASUS V Berlaku kasar Terlambat Tidak senonoh KASUS VI Nilai rendah Kurus dan pucat Suka berkelahi Kasar Diperlakukan amat keras Tidak bebas Jarang masuk sekolah Menyimpan ganja Minggat Mabuk-mabukan Nakal KASUS VII Mendapat nilai merah Dimanjakan Perhatian kehidupan dipertanyakan KASUS VIII Khawatir nilai merosot Tidak enak pada orang tua Tidak shalat lagi melakukan .. ? ? terhadap beragama .. ? ? .. ? ? .. ? ? .. ? ?

A. Pengertian Bimbingan dan Konseling Mengikuti uraian pada Bab I dan Bab II dapat diambil pengertian bahwa pelatanan bimbingan dan konseling dilaksanakan dari manusia, untuk manusia, dan oleh manusia. Dari manusia, artinya pelayanan itu diselenggarakan berdasarkan hakikat keberadaan manusia dengan segenap dimensi

kemanusiaannya. Untuk manusia, dimaksudkan bahwa pelayanan tersebut di selenggarakan demi tujuan-tujuan yang agung, mulia dan positif bagi kehidupan kemanusiaan menuju manusia seutuhnya, baik manusia sebagai individu atau kelompok. Oleh manusia mengandung pengertian penyelenggaraan kegiatan itu oleh manusia dengan segenap derajat, martabat, dan keunikan masing-masing yang terlibat didalamnya. Proses bimbingan dan konseling seperti itu melibatkan manusia dan kemanusiaannya sebagai totalitas, yang menyangkut segenap potensi-potensi dan kecenderungan-kecenderungannya, perkembangannya, dan interaksi dinamis antara berbagai unsure yang ada itu. Dalam kehidupan sehari-hari, seiring dengan penyelenggaraan pendidikan pada umumnya, dan dalam hubungan saling pengaruh antara orang yang satu dengan yang lainnya, peristiwa bimbingan setiap kali dapat terjadi. Orang tua membimbing anak-anaknya; guru membimbing murid-muridnya, baik melalui kegiatan pengajaran maupun non pengajaran; para pemimpin membimbing warga yang dipimpinnya melalui berbagai kegiatan, misalnya berupa pidato, santiaji, rapat, diskusi, dan instruksi. Prosess bimbingan dapat pula terjadi melalui media cetak (buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain), dan media elektronika (radio, televise, film, video, tele komperensi, tele diskusi, dan lain-lain). Semua peristiwa bimbingan yang terlaksana seperti itu dapat disebut sebagai bimbingan informal yang bentuk, isi dan tujuan, serta aspek-aspek penyelenggaraan tidak terumuskan secara nyata. Sesuai dengan tingkat perkembangan budaya manusia, muncullah kemudian upaya-upaya bimbingan yang selanjutnya disebut bimbingan formal. Bentuk, isi dan tujuan, serta aspek-aspek penyelenggaraan bimbingan (dan konseling) dormal itu mempunyai rumusan yang nyata.

Bentuk nyata dari gerakan bimbingan (dan konseling) yang formal berasal dari Amerika Serikat yang telah dimulai perkembangannya sejak Frank Parson mendirikan sebuah badan bimbingan yang disebut Vocational Bureau di Boston pada tahun 1908. Badan itu selanjutnya diubah namanya menjadi Vocational Guidance Bureau (Jones, 1951). Usaha Parson inilah yang menjadi cikal-bakal pengembangan gerakan bimbingan (dan konseling) di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Oleh sebab itu, dalam rangka lebih memahami pengertian bimbingan (dan konseling) secara lebih luas untuk dijadikan pangkal tolak bagi pembahasan seluk beluk bimbingan dan konseling lebih jauh.

1.

Pengertian Bimbingan Rumusan tentang bimbingan formal telah diusahakan orang setidaknya

sejak awal abad ke-20, yaitu sebagaimana telah di singgung di atas, sejak dimulainya bimbingan yang diprakarsai oleh Frank Parson pada tahun 1908. Sejak itu, rumusan demi rumusan tentang bimbingan bermunculan sesuai dengan perkembanagn pelayanan bimbingan itu sendiri sebagai suatu pekerjaan khas yang ditekuni oleh para peminat dan ahlinya. Berbagai rumusan tersebut dikemukakan sebagai berikut : Bimbingan sebagai bantuan yang diberikan kepada individu untuk dapat memilih, mempersiapkan diri, dan memangku suatu jabatan serta mendapat kemajuan dalam jabatan yang dipilihnya itu (Frank Parson, dalam Jones, 1951). bimbingan membantu individu untuk memahami dan menggunakan secara luas kesempatan-kesempatan pendidikan, jabatan, dan pribadi yang mereka miliki atau dapat mereka kembangkan, dan sebagai satu bentuk bantuan yang sistematik melalui mana siswa dibantu untuk dapat memperoleh penyesuaianyang baik terhadap sekolah dan terhadap kehidupan. (Dunsmoor & Miller, dalam McDaniel, 1959). Bimbingan membantu setiap individu untuk lebih mengenali berbagai informasi tentang dirinya sendiri. (Chiskolm, dalam McDaniel, 1959).

Bimbingan adalah bagian dari proses pendidikan yang teratur dan sistematik guna membantu pertumbuhan anak muda atas kekuatannya dalam menentukan dan mengarahkan hidupnya sendiri yang pada akhirnya ia memperoleh pengalaman-pengalaman yang dapat

memberikan sumbangan yang berarti bagi masyarakat. (Lefever, dalam McDaciel, 1959). Bimbingan sebagai proses layanan yang diberikan kepada individuindividu guna membantu mereka memperoleh pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam membuat pilihanpilihan, rencana-rencana, dan interpretasi-interpretasi yang diperlukan untuk penyesuaian diri yang baik. (Smith, dalam McDaniel, 1959). Bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan, yang memiliki kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik kepada individu-individu setiap usia untuk membantunya mengatur kegiatan hidupnya sendiri, mengembangkan pandangan hidupnya sendiri, membuat keputusan sendiri dan menanggung bebannya sendiri. (Crow & Crow,1960). bimbingan membantu seseorang agar menjadi berguna, tidak sekedar mengikuti kegiatan yang berguna. (Tiedeman, dalam Bernard & Fullmer, 1969). Bimbingan dapat diartikan sebagai bagian dari keseluruhan pendidikan yang membantu menyediakan kesempatan-kesempatan pribadi dan layanan staf ahli dengan cara mana setiap dan individu dapat

mengembangkan

kemampuan-kemampuan

kesanggupannya

sepenuh-penuhnya sesuai dengan ide-ide demokrasi. (Mortensen & schmuller, 1976). Bimbingan merupakan segala kegiatan yang bertujuan meningkatkan realisasi pribadi setiap individu. (Bernard & fullmer, 1969). Bimbingan sebagai pendidikan dan perkembangan yang menekan proses belajar yang sistematik. (Mathewson, dalam Bernard & fullmer, 1969).

Bimbingan adalah bantuan yang dierikan kepada individu dalam membuat pilihan-pilihan dan penyesuaian-penyesuaian yang bijaksana. Bantuan itu berdasarkan atas prinsip demokrasi yang merupakan tugas dan hak setiap individu untuk memilih jalan hiudpnya sendiri sejauh tidak mencampuri hak orang lain. Kemampuan membuat pilihan seperti itu tidak diturunkan (diwarisi), tetapi harus dikembangkan. (Jones, Staffire & Stewart, 1970). Hal-hal pokok yang terdapat dalam rumusan bimbingan tersebut ialah : Rumusan 1 (Frank Parson, dalam Jones, 1951) a. b. c. Bimbignan diberikan kepada individu. Bimbingan mempersiapkan individu untuk memasuki suatu jabatan. Bimbingan menyiapkan individu agar lebih mencapai kemajuan dalam jabatan. Rumusan 2 (Dunsmoor & Miller, dalam McDaniel, 1959) a. b. Bimbingan berusaha membantu individu. Bimbingan berusaha memahami dan menggunakan secara luas kesempatan-kesempatan yang tersedia yang meliputi kesempatan pendidikan, jabatan. c. d. Bimbingan dilakukan secara sistematik. Bimbingan bertujuan agar menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dan kehidupan. Rumusan 3 (Chiskolm, dalam McDaniek, 1959) a. b. Bimbingan membantu setiap individu. Bimbingan berusaha agar klien memahami diri sendiri.

Rumusan 4 (Lefever, dalam McDaniel, 1959) a. b. c. d. e. Bimbingan merupakan bagian dari proses pendidikan. Bimbingan dilakukan secara teratur dan sistematik. Bimbingan diberikan kepada anak muda. Bimbingan menentukan dan mengarahkan dirinya sendiri. Bimbingan berusaha agar klien memperoleh pengalaman-pengalaman yang berguna.

Rumusan 5 (Smith, dalam McDaniel, 1959) a. b. c. Bimbingan merupakan suatu proses layanan. Bimbingan memberikan bantuan kepada individu. Bimbingan bertujuan agar klien memperoleh pengetahuan dan

keterampilan. d. Bantuan yang diberikan melalui bimbingan digunakan untuk membuat pilihan-pilihan, rencana-rencana, dan interpretasi-interpretasi. e. Bantuan untuk penyesuaian diri yang baik.

Rumusan 6 (Crow & crow, 1960) a. Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan seorang laki-laki atau perempuan. b. Bimbingan berguna agar klien memiliki kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik. c. d. e. Bantuan melalui bimbingan diberikan kepada individu. Bimbingan untuk klien diberikan sembarang usia. Bimbingan bertujuan agar klien bertanggung jawab terhadap atas keputusan-keputusan yang dibuat. Rumusan 7 (Tiederman, dalam Bernard & fullmer, 1969) Bimbingan membantu seseorang menjadi berguna. Rumusan 8 (Mortensen & Schmuller, 1976) a. b. c. d. e. Bimbingan merupakan bagian dari keseluruhan usaha pendidikan. Bimbingan menyediakan berbagai kesempatan. Bimbingan dilakukan oleh orang yang ahli. Bimbingan mengembangkan kemampuan secara optimal. Bimbingan sesuai dengan ide-ide demokratisasi bahwa masing-masing anak memiliki bakat, kemampuan, dan minat yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Rumusan 9 (Bernard & Fullmer, 1969) a. b. c. Bimbingan itu dilakukan dengan berbagai cara. Bimbingan itu dilakukan untuk meningkatkan perwujudan diri. Bimbingan itu diberikan kepada individu.

Rumusan 10 (Matehwson, dalam Bernard & Fullmer) a. b. Bimbingan merupakan pendidikan dan perkembangan. Bimbingan ditekankan pada proses belajar.

Rumusan 11 (Jones, dkk, 1970) a. b. c. Bimbingan merupakan proses bantuan. Bimbingan diberikan kepada individu. Bimbingan bertujuan agar klien dapat membuat pilihan-pilihan dan keputusan secara bijaksana. d. Bimbingan dilaksanakan berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban memilih jalan hidupnya sendiri. e. Dalam memilih jalan hidupnya, individu tidak boleh mencampuri hak orang lain. f. Kemampuan membuat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan tidak diturunkan/diwarisi, melainkan harus dikembangkan sendiri oleh yang bersangkutan. Memperhatikan hal-hal pokok yang terkandung dalam setiap rumusan tentang bimbingan yang dikemukakan diatas, tampak bahwa pelayanan bimbingan mengalami perkembangan yang cukup berarti dari masa ke masa, yaitu dari hanya sekedar mempersiapkan seseorang memasuki suatu jabatan atau pekerjaan tertentu sampai dengan pemberian bantuan dalam pengentasan maslah-masalah di berbagai bidang, seperti masalah-masalah pendidikan, sosial, dan pribadi. Dengan demikian pelayanan bimbingan telah menjangkau berbagai aspek yang lebih luas dari perkembangan dan kehidupan manusia. Merangkum keseluruhan isi yang terdapat didalam semua rumusan tentang bimbingan diatas, dapat dikemukakan unsur-unsur pokok bimbingan sebagai berikut : 1. Pelayanan bimbingan merupakan suatu proses. Ini berarti bahwa pelayanan bimbingan bukan sesuatu yang sekali jadi, malainkan melalui liku-liku tertentu sesuai dengan dinamika yang terjadi dalam pelayanan ini.

2.

Bimbingan merupakan proses pemberian bantuan. bantuan disini tidak diartikan sebagai bantuan materiil (seperti uang, hadiah, sumbanagn, dan lainlain), melainkan bantuan yang bersifat menunjang bagi pengembangan pribadi bagi individu yang dibimbing.

3.

Bantuan itu diberikan kepada individu, baik perseorangan maupun kelompok. Sasaran pelayanan bimbingan adalah orang yang diberi bantuan, baik orang serang secara indicidual maupun kelompok.

4.

Pemecahan masalah dalam bimbingan dilakukan oleh dan atas kekuatan klien sendiri. Dalam kaitan ini, tujuan bimbingan adalah memperkembangkan kemampuan klien (orang yang dibimbing) untuk dapat mengatasi sendiri masalah-masalah kemandirian. yang dihadapinya, dan akhirnya dapat mencapai

5.

Bimbingan dilaksanakn dengan menggunakan berbagai bahan, interaksi, nasihat ataupun gagasan, serta alat-alat tertentu baik yang berasal dari klien sendiri, konselor maupun dari lingkungan. Bahan-bahan yang berasal dari klien sendiri dapat berupa masalah-masalah yang sedang dihadapi, data tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya, serta sumbersumber yang dimilikinya; sedangkan bahan-bahan yang berasal dari lingkungannya dapat berupa informasi tentang pendidikan, informasi tentang jabatan, informasio tentang keadaan sosial-budaya dan latar belakang kehidupan keluarga, dan lain-lain. Interaksi dimaksudkan suasana hubungan antara orang yang satu dengan orang lainnya. Dalam interaksi ini dapat berkembang dan dipetik hal-hal yang menguntungkan bagi individu yang dibimbing. Nasihat biasanya berasal dari orang yang membimbing (konselor), sedangakn gagasan dapat muncul baik dari pembimbing maupun dari orang yang dibimbing. Alat-alat dapat berupa sarana penunjang yang dapat lebih memperlancar atau mempercepat proses pencapaian suatu tujuan.

6.

Bimbingan tidak hanya diberikan untuk kelompok-kelompok umur tertentu saja, tetapi meliputi semua usia, mulai dari anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Dengan demikian bimbingan dapat diberikan di semua lingkungan kehidupan, di dalam keluarga, di sekolah, dan di luar sekolah.

7.

Bimbingan diberikan oleh orang-orang yang ahli, yaitu orang-orang yang memiliki kepribadian yang terpilih dan telah memperoleh pendidikan serta latihan yang memadai dalam bidang bimbingan dan konseling.

8.

Pembimbing tidak selayaknya memaksakan keinginan-keinginannya kepada klien karena mempunyai hak dan kewajiban untuk menentukan arah dan jalan hidupnya sendiri, sepanjang dia tidak mencampuri hak-hak orang lain.

9.

Satu hal yang belum tersurat secara langsung dalam rumusan-rumusan diatas ialah : bimbingan dilaksanakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dalam kaitan ini, upaya bimbingan, baik bentuk, isi dan tujuan, serta aspekaspek penyelenggaraannya tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, bahkan justru menunjang kemampuan klien untuk dapat mengikuti norma-norma tersebut. Norma tersebut berupa berbagai aturan, nilai dan ketentuan yang bersumber dari agama, adat, hokum, ilmu dan kebiasaan yang diberlakukan dan berlaku di masyarakat. Berdasarkan butir-butir pokok tersebut maka yang dimaksud dengan

bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan; berdasarkan norma-norma yang berlaku.

2.

Pengertian Konseling Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin, yaitu

consilium yang berarti dengan atau bersama yang dirangkai dengan menerima atau memahami. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari Sellan yang berarti menyerahkan atau menyampaikan. Apakah yang dimaksud dengan konseling? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, apalagi jika jawaban itu harus dapat diterima dan memuaskan semua pihak yang berkepentingan dengan istilah tersebut. Ebagaimana istilah

bimbingan, istilah konseling pun mengalami perubahan dan perkembangan. Kutipan dibawah ini menampilkan perkembangan sejumlah rumusan konseling. konseling adalah kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan, dimana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah itu. Konselor tidak memecahkan masalah untuk klien. Konseling harus ditujukan pada perkembangan yang prograsif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri tanpa bantuan. (Jones, 1951). interaksi yang (a) terjadi antara dua orang indovidu, masing-masing disebut konselor dank lien; (b) terjadi dalam suasana yang professional; (c) dilakukan dan dijaga sebagai alat memudahkan perubahan0perubahan dalam tingkah laku klien. (Pepinsky & Pepinsky, dalam Shertzer & Stone, 1974). suatu proses yang terjadi dalam hubungan tatap muka antara seorang individu yang terganggu oleh karena madalah-masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja yang professional, yaitu yang telah terlatih dan berpengalaman membantu orang lain mencapai pemecahan-pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi. (Maclean, dalam Sherzer & Stone, 1974). suatu proses dimana konselor membantu kenseli mambuat interpretasiinterpretasi tentang fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan dengan pilihan, rencana, atau penyesuaian-penyesuaian yang perlu dibuatnya. (Smith, Sherzer & Stone, 1974). Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkebangan dirinya, dan untuk mencapai

perkembangan optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya, proses tersebut dapat terjadi setiap waktu. (Division of Conseling Psychology). suatu rangkaian pertemuan langsung dengan individu yang ditujukan pada pemberian bantuan kepadanya untuk dapat menyesuaikan dirinya

secara lebih efektif dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungannya. (McDaniel, 1956). .. proes dalam mana konselor membantu konseli membuat interpretasiinterpretasi tentang fakta-fakta yang berhubungan denga pilihan, rencana, atau penyesuaian yang perlu dibuatnya. (A.C. English, dalam Shertzer & Stone, 1974). Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang dalam masa konselor melalui hubungan itu dengan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini konseli dibantu untuk memahami dirinya sendiri, keadaanya sekarang, dan kemungkiann keadaanya masa depan yang dapat ia ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menentukan kebutuhan-kebutuhan yang akan dating. (Tolbert, 1959). membantu individu agar dapat manyadari dirinya sendiri dan memberikan reaksi terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan yang diterimanya, selanjutnya, membantu yang bersangkutan menentukan beberapa makna pribadi bagi tingkah laku tersebut dan mengembangkan serta memperjelas tujuan-tujuan dan nilai-nilai untuk perilaku di masa yang akan dating. (Blocher, dalam Shertzer & Stone, 1974). Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk

mengungkapkan kebutuhuan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasi ketiga hal tersebut. (Bernard & Fullmer, 1969). proses mengenai seseorang individu yang sedang mengalami masalah (klien) dibantu untuk merasa dan bertingkah laku dalam suasana yang lebih menyenangkan melalui interaksi dengan seseorang yang tidak bermasalah, yang menyediakan informasi dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan tingkah laku yang

memungkinkannyaberperan secara lebih efektif bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. (Lewis, dalam Shertzer & Stone, 1974). Hal-hal pokok yang terkandung dalam masing-masing rumusan konseling teresebut adalah sebagai berikut : Rumusan 1 (Jones, 1951) a. Konseling terdiri atas kegiatan : pengungkapan fakta atau data tentang siswa, serta pengarahan kepada siswa untuk dapat mengatasi sendiri masalahmasalah yang dihadapinya. b. c. Bantuan itu diberikan escara langsung kepada siswa. Tujuan konseling adalah agar siswa dapat mencapai perkembangan yang semakin baik, semakin maju. Rumusan 2 (Pepinsky & Pepinsky, dalam Shertzer & Stone,1974) a. Konseling merupakan proses interaksi antara dua orang individu, masingmasing disebut konselor dan klien. b. c. Dilakukan dalam suasana professional. Berfungsi dan bertujuan sebagai alat (wadah) untuk memudahkan perubahan tingkah laku klien. Rumusan 3 (Mclean, dalam Shertzer & Stone. 1974) a. b. c. Konseling merupakan suatu proses pemberian bantuan. Dilakukan dalam suasana hubungan tatap muka. Individu yang konseling adalah individu yang sedang mengalami gangguan atau masalah. d. Dilakukan oleh orang ahli (professional), yaitu orang yang telah terlatih baik dan telah memiliki pengalaman. e. Bertujuan untuk mengatasi suatu masalah/gangguan.

Rumusan 4 (Smith, dalam Shertzer & Stone. 1974) a. b. Konseling merupakan suatu proses memberikan bantuan Bantuan itu dilakukan dengan menginterpretasikan fakta-fakta atau data, baik mengenai diri individu yang dibimbing sendiri maupun lingkungannya, khususnya yang menyangkut pilihan-pilihan, dan rencana-rencana yang akan dibuat.

Rumusan 5 (Devision of Counseling Psychology ) a. b. Konseling merupakan proses pemberian bantuan. Bantaun yang diberikan kepada individu-individu yang sedang mengalami hambatan atau gangguan dalam proses perkembangannya. c. d. Konseling dapat dilakukan pada setiap waktu . Konseling bertujuan agar individu dapat mencapai perkembangan yang optimal. Rumusan 6 (McDaniel, 1965) a. b. Konseling merupakan rangkaian pertemuan antara konselor dengan klien. Dalam pertemuan itu konselor membantu klien mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. c. Tujuan dan pemberian bantuan itu adalah agar klien dapat menyesuaikan dirinya, baik dengan diri sendiri maupun dengan lingkungannya. Rumusan 7 (Tolbert, 1959) a. b. Konseling dilakukan dalam suasana hubungan tatap muka antara dua orang. Konseling dilakukan oleh orang yang ahli (memiliki kemampuan khusus dibidang konseling). c. Konseling merupakan wahana proses belajar bagi klien, yaitu belajar memahami diri sendiri, membuat rencana untuk masa depan, dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. d. Pemahaman diri dan perbuatanrencana untuk masa depan itu dilakukan dengan menggunakan kekuatan-kekuatan klien itu sendiri. e. Hasil-hasil konseling harus dapat mewujudkan keejahteraan, baik bagi diri pribadi maupun masyarakat. Rumusan 8 (Tolbert, 1959) a. b. Konseling merupakan bantuan yang diberikan kepada individu. Tujuan konseling adalah agar individu dapat memahami dirinya sendiri, dapat memberikan reaksi (tanggapan) terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan, dan dapat mengembangkan serta memperjelas tujuan-tujuan hidupnya. Rumusan 9 (Bernard & Fullmer, 1969)

a.

Konseling meliputi hubungan antar individu untuk mengungkapkan kebutuhan, motivasi, dan potensi.

b.

Konseling bertujuan agar individu yang dibimbing mampu mengapresiasi kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensinya.

Rumusan 10 (lewis, dalam Shertzer& Stone, 1974) a. b. c. Konselin merupakan proses pemberian bantuan kepada individu. Dilakukan dalam suasana yang menyenangkan klien. Konselor memberikan informasi dan reaksi-reaksi yang dapat merangsang klirn untuk bertingkah laku secara efektif. d. Berguna bagi diri pribadi dan masyarakat.

Dengan memperhatikan satu-persatu rumusan-rumusan yang disajikan tersebut, terlihat perubahan-perubahan dalam konsep tentang konseling, yaitu sebagai berikut : a. Rumusan yang paling awal lebih menekankan pada masalah-masalah kognitif (yaitu membuat interpretasi-interpretasi tentang data atau fakta) sedangkan definisi mutakhir lebih menekankan pada pengalaman-pengalaman afektif (menetapkan beberapa makna terhadap perilaku-perilaku). b. Rumusan yang lebih awal pada umumnya mengidentifikasi konseling sebagai hubungan empat mata (antara seorang konselor dengan seseorang klien), sedangkan pada definisi yang mutakhir dimungkinkan diselenggarakan konseling lebih dari seorang klien. c. Semua rumusan, baik langsung maupun tidak langsung, menyatakan bahwa konseling adalah suatu proses. Ini berarti bahwa konseling bukanlah kejadian tunggal tetapi melibatkan tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian yang sekuinsial menuju kearah pencapaian suatu tujuan. d. Rumusan-rumusan itu pada umunya memperlihatkan bahwa hubungan dalam konseling itu ditandai oleh adanya kehangatan, pemahaman, penerimaan, kebebasan, dan keterbukaan. e. Sebagian dari definisi itu menggambarkan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan konseling (koselor dan klien) konselor sebagai ahli, sebagai orang

yang lebih tua, sebagai orang yang lebih matang, sebagai orang yang memiliki pengetahuan; sedangkan klien sebagai orang yang sedang mengalami gangguan, masalah, kebingungan, atau frustasi. f. Hamper semua urusan konseling menyatakan bahwa pengaruh dari konseling adalah peningkatan atau perubahan dalam tingkah laku klien. Kendatipun dikemukakan dengan cara dan gaya yang berbeda-beda, namun diantara berbagai rumusan itu terdapat beberapa kesamaan. Kesamaan itu menyangkut cirri-ciri pkok berikut ini : a. Konseling melibatkan dua orang yang saling berinteraksi dengan jalan mengadakan komunikasi langsung, mengemukakan dan memperhatikan dengan seksama isi pembicaraan, gerakan-gerakan isyarat, pandangan mata, dan gerakan-gerakan lain dengan maksud untuk meningkatkan pemahaman kedua belah pihak yang terlibat di dalam interaksi itu. b. Model interaksi didalam konseling itu terbatas pada dimensi verbal, yaitu konselor dank lien saling berbicara. Klien berbicara tentang pikiranpikirannya, tentang perasaan-perasaannya, tentang perilaku-perilakunya, dan banyak lagi tentang dirinya. Dipihak lain, konselor mendengarkan dan menanggapi hal-hal yang dikemukakan klien dengan maksud agar klien memberikan reaksinya dan berbicara lagi lebih lanjut. Keduanya terlibat dalam memikirkan, berbicara dan mengemukakan gagasan-gagasan yang akhirnya bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. c. Interaksi antara konselor dank lien berlangsung dalam waktu yang relatif lama dan terarah kepada pencapaian tujuan. Berlainan dengan pembicaraan biasa, misalnya pembicaraan antara dua orang yang sudah bersahabat dan sudah lama tidak bertemu; arah pembicaraan dua sahabat itu bisa menjadi tidak begitu jelas dan tidak begitu disadari, biasanya disatu segi dapat bersifat seketika, dan di segi lain dapat melantur ke mana-mana. d. Tujuan dari hubungan konseling adalah terjadinya perubahan pada tingkah laku klien. Konselor memusatkan perhatiannya kepada klien dengan mencurahkan segala daya dan upayanya demi perubahan pada diri klien, yaitu perubahan kearah yang lebih baik, teratasinya masalah yang dihadapi klien.

e.

Konseling disadari atas penerimaan konselor sacara wajar tentang diri klien, yaitu atas dasar penghargaan terhadap harkat dan martabat klien. Dengan cirri-ciri pokok demikian itu dapat dirumuskan bahwa dengan

singkat pengertian konseling, yaitu : Konseling adalah proses pemberian batuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien. Dalam wawancara konseling itu klien mengemukakan masalah-masalah yang sedang dihadapinya kepada konselor, dan konselor menciptakan seuasana hubungan yang akrab dengan menerapkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik wawancara konseling sedemikian rupa, sehingga masalahnyaitu terjelajahi segenap seginya dan pribadi klien terpasang untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi dengan menggunakan kekuatannya sendiri. Proses konseling pada dasarnya adalah usaha menghidupkan dan mendayagunakan secara penuh fungsi-fungsi yang minimal secara potensial organismik ada pada diri klien itu. Jika fungsi ini berjalan dengan baik dapat diharapkan dinamika kehidupan klien kembali berjalan dengan wajar mengarah kepada tujuan yang positif.

B. Istilah Penyuluhan dan Konseling Istilah konseling dalam buku ini digunakan untuk menggantikan istilah penyuluhan yang selama ini menyertai kata bimbingan, yaitu kesatuan istilah bimbingan dan penyuluhan. Masyarakat umum telah mengenal istilah bimbingan dan penyuluhan sebagai terjemahan dari istilah asing Guidance dan Counseling. Dengan demikian yang dimaksud dengan penyuluhan disini adalah sesuatu yang sama artinya dengan konseling. Istilah mana yang dipakai, penyuluhan atau konseling, memang masih menjadi bahan ketidaksesuaian diantara berbagai pihak, baik mereka yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Istilah mana yang sebaiknya dipakai, penyuluhan atau konseling? Apabila profesi bimbingan dan konseling akan ditegakan secara kukuh, maka kesatuan istilah yang dipakai semua pihak yang bergerak dalam

profesi tersebut, harus dimantapkan. Apabila profesi bimbingan dan konseling hendak ditawarkan secara jelas kepada masyarakat luas, maka satu istilah untuk satu pengertian yang amat mejadi dalah paham. Istilah penyuluhan memang secara historis telah dipakai sejak tahun 1960-an, yaitu tahun-tahun awal dimulainya gerakan bimbingan di Indonesia. Istilah ini dipakai terus menerus sampai sekarang. Sejak tahun 1960-an istilah bimbingan dan penyuluhan seperti telah memasyarakat, khusus dikalangan persekolahan. Namun sejak awal tahun 1970an muncul pemakaian istilah penyuluhan yang sama sekali diluar pengertian konseling sebagaimana dimaksudkan semula (Prayitno, 1987). Penyuluhan dalam pengertiannya yang kemudian itu lebih mengarah pada usaha-usaha suatu badan, baik pemerintah maupun swasta untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman, seikap dan keterampilan warga masyarakat berkenaan dengan hal tertentu. Misalnya penyuluhan pertanian bermaksud meningkatkan kesadaran, pemahaman, sikap dan keterampilan warga masyarakat, khususnya petani, berkenaan dengan aspek pertanian tertentu, seperti cara-cara bertanam, memilih bibit, penggunaan pupuk, pemberantasan hama dan sebagainya. Demikian berbagai usaha penyuluhan muncul, antara penyuluhan gizi, penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan hokum, penyuluhan kesehatan. Tidak

disangsikan bahwa di masa mendatang berbagai penyuluhan yang lain akan diperkenalkan dan dilancarkan di tengah-tengah masyarakat. Penggunaan istilah penyuluhan dalam arti Konseling dan penuyuluhan dalam arti Pembinaan masyarakat seolah-olah berlomba dan saling mempertahankan keberadaan masing-masing. Dalam perlombaan ini dapat dimengerti bahwa penyuluhan dalam arti yang kedua lebih memperoleh pasaran, dalam arti konseling makin tertinggal dan terkukung dalam lingkungannya sendiri, khususnya lingkungan sekolah. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah peyuluhan dalam arti konseling itu ternyata steril, kurang mampu memantapkan diri sendiri maupun pelayanannya kepada masyarakat. Dalam keadaan seperti ini dikhawatirkan pengertian penyuluhan dalam arti konseling makin luntur atau

mungkin tidak dikenal disatu

pihak, dan pihak lain penggunaan penyuluhan

dalam arti yang lainnya makin meluas dan sama sekali tidak dapat dibendung. Akibat yang lebih jauh adalah masyarakat akan menyamaratakan saja pengertian penyuluhan untuk konseling dan penyuluhan dalam arti yang lin itu. Tidak perlu diherankan apabila masyarakat akan menganggap bahwa tugas guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan) diseklah adalah sama seperti tugas para penyuluh pertanian, penyuluh kesehatan dan sebagainya. Padahal, pekerjaan konseling dan pekerjaan penyuluhan pertanian dan sebagainya itu sangat berbeda. Persamaanya memang ada, tetapi perbedaanya lebih menonjol dan substansial dari pada persamaannya itu. Adalah semacam kemustahilan apabila ada orang yang mengharapkan agar masyarakat dididik supaya mereka memahami perbedaan antara penyuluhan dalam bimbingan dan penyuluhan dan penyuluhan dalam arti kata lain, misalnya penyuluhan pertanian, yang satu artinyanya konseling sedang lain pembinaan. Sejak tahun 1980-an, gerakan bimbingan mulai digalakan dengan penggunaan istilah konseling. Para pemakai istilah ini sengaja memakainya untuk benar-benar menampilkan pelayanan yang sebenarnyadari usaha yang

dimaksudkan itu. Lebih jauh, pemakaian istilah konseling juga dimaksudkan untuk menggantikan istilah penyuluhan yang ternyata sudah dipakai secara lebih meluas untuk pengertian yang lebih bersifat non-konseling. Digalakan penggunaan istilah konseling itu menimbulkan semacam dua aliran dalam gerakan bimbingan di tanah air, yang pertama ingin tetap mempertahankan istilah bimbingan dan penyuluhan, sedangkan yang lain berkehendak memakai istilah bimbingan dan konseling. Keinginan yang pertama bertumpu pada alas an kesejahteraan dan kemurnian istilah yang khas di Indonesia, disamping itu mereka terpaksa mengingikan suatu status quo; sedangkan kehendak yang lain mengacu pada ketetapan makna arti konseling dari satu segi, dan di segi lain mengingat sudah dipakainya secara meluas istilah penyuluhan untuk kegiatan non-konseling di masyarakat. Alas an lain yang kiranya mendasari kehendak lain mereka yang lebih menyukai istilah konseling adalah istilah itu tampak lebih modern. Bukankah banyak diantara jabatan ateu pekerjaan yang bergengsi

memakai nama asli dari luar negeri, seperti psikiater, insinyur, manajer? Dalam hal ini, tampaknya akan lebih menarik dan bergengsi pula memakai nama konselor sekolah atau konselor pendidikan daripada petugas BP atau guru BP. Tidak disangsikan bahwa kedudukan seorang konselor, berdasarkan mereka sama derajatnya dengan psikolog, psikiater, atau dokter. Masih dalam rangka ketidaksepakatan dam penggunaan istilah penyuluhan atau konseling, ada sejumlah orang yang berusaha mencari jalan tengah. Dengan mencari istilah baru yang bersifat asli Indonesia. Sayangnya, istilah ini, kalau memang ada, belum di tampilkan secara luas dan memasyarakat. Jalan tengah yang kedua adalah dengan membagi dua tingkat pelayanan bimbingan. Untuk tingkat sekolah dasar dan menengah dipakai istilah bimbingan dan penyuluhan, dan untuk perguruan tinggi dipakai istilah bimbingan dan konseling. Jalan tengah kedua ini tidak tepat. Pertama, karena pelayanan bimbingan untuk siswa-siswa di sekolah dasar / menengah dan mahasiswa pada dasarnya tidak berbeda. Pengertian, prinsip, asas dan aspek-aspek

penyelenggaraannya pada dasarnya sama, yang berbeda hanyalah penyesuaian terhadap mereka yang dilayani. Pelayanan terhadap anak-anak, remaja, pemuda, dan juga orang dewasa harus disesuaikan dengan keadaan pribadi dan lingkungan orang yang dilayani itu. Penyesuaian pelayanan ini sudah dengan sendirinya merupakan salah satu variasi dalam praktek bimbingan, dan konseling harus diantisipasi melalui variasi kompetensi seorang konselor. Kedua, jika untuk siswa-siswa sekolah dasar dan sekolah menengah dipakai istilah penyuluhan dan untuk mahasiswa dipakai istilah konseling, istilah apa yang dipergunakan untuk masyarakat umum atau mereka yang berada di luar lingkungan sekolah? Untuk ini tidak ada jawaban yang dapat diberikan. Berdasarkan uraian singkat terebut, demi kemantapan profesi yang didambakan oleh semua, kiranya perlu dipakai satu istilah. Istilah yang dimaksud disini adalah konseling. Kalau ada istilah asli Indonesia yang belum pernah dipakai untuk pengertian-pengertian non-konseling, sebenarnya akan baik juga. Istilah baru ini, kalau memang ada, tentulah harus dikaji terlebih dahulu ketepatannya.

C. Perkembangan Konsepsi Bimbingan dan Konseling Di negara-negara yang bimbingan dan kenselingnya telah maju, terutama Amerika Serikat, perkembangan gerakan tentang bimbingan dan konseling yang memberikan makna berbeda terus berlangsung. Miller (1961) meringkaskan perkembangan bimbingan dan konseling ke dalam lima periode. Pada awal perkembangan gerakan bimbingan yang diprakarsai oleh Frank Parson, pengertian bimbingan baru mencakup bimbingan jabatan. Pada tahap awal ini, yang umumnya disebut sebagai periode personian, bimbingan dilihat sebagai usaha mengumpulkan berbagai keterangan tantang individu dan tentang jabatan; kedua jenis keterangan itu kemudian dipasang dicocokan yang pada akhirnya menentukan jabatan apa yang paling cocok untuk individu yang dimaksudkan. Pada periode kedua, gerakan bimbingan lebih menekankan pada bimbingan pendidikan. Dalam tahapan ini bimbingan dirumuskan sebagai suatu totalitas pelayanan yang secara keseluruhan dapat diitegerasikan kedalam upaya pendidikan. Pada kedua periode ini, rumusan tentang konseling belum dimunculkan. Pada periode ketiga, pelayanan untuk penyelesaian diri mendapat perhatian utama. Pada periode ini disadari benar bahwa pelayanan bimbingan tidak hanya disangkutpautkan dengan usaha-usaha pendidikan saja, tidak pula hanya mencocokan individu untuk jabatan-jabatan tertentu saja, melainkan juga bagi meningkatkan kehidupan mental. Dalam kaitan itu, pada keseluruhan upaya bimbingan ditekankan adanya upaya untuk membantu penyesuaian diri individu terhadap dirinya sendiri, lingkunga, dan masyarakat. Pada periode inilah rumusan rumusan tentang konseling dimunculkan. Para ahli bimbingan pada periode ketiga menyadari bahwa apa yang mereka lakuakan bukan hanya sekedar menyediakan bimbingan atau memberikan latihan; mereka membantu individu memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan individu itu yang kadang-kadang amat pelik dan mendasar (Belkin, 1975). Rumusan konseling yang muncul pada periode ketiga itu secara nyata memperlihatkan bahwa konseling merupakan salah satu bentuk pelayanan bimbingan di antara sejumlah pelayanan lainnya, seperti bimbignan jabatan dan bimbingan pendidikan. Perkembangan yang lebih lanjut

pada periode ketiga itu bahkan lebih menonjolkan bagi peranan pentingnya konseling diantara keseluruhan bentuk-bentuk pelayanan bimbingan; sampaisampai konseling dianggap sebagai jantung hatinya bimbingan. Periode keempat gerakan bimbingan menekankan pentingnya proses perkembangan individu. Pada periode ini pelayanan bimbingan dihubungkan dengan usaha individu dalam mengembangkan potensi dan kemampuannya dalam mencapai kematangan dan kedewasaan menjadi tujuan utama. Periode berikutnya, ditandai sebagai periode kelima, tampak adanya dua arah yang berbeda, yaitu kecenderungan yang ingin kembai ke periode pertama dan kecenderungan yang lebih menekankan pada rekonstruksi sosial (dan personal) dalam rangka membantu memecahkan masalah yang dihadapi individu. Pada dua tahap yang terakhir itu Nampak tumpang tindihnya pengertian bimbingan dan konseling, yang satu dapat dibedakan dari yang lain, tapi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Perkembangan yang lebih lanjut tentang rumusan bimbingan dan konseling memperlihatkan gejala yang amat menarik. (Belkin, 1975) secara tegas menolak konsep, rumusan ataupun penjelasan yang mengecilkan istilah konseling. Ia bahkan mengusulkan, daripada meletakan konseling sebagai bagian dari bimbingan, adalah akan lebih baik dan menguntungkan untuk membangun rumusan tentang konseling yang meliputi juga segala sesuatu yang selama ini disebutkan sebagai pelayanan bimbingan. Seluruh pengertian bimbingan dilebur kedalam pengertian konseling. Istilah bimbingan tidak lagi dipakai. Dalam kaitan ini tidak dapat dielakan bahwa para konselor tidak mau terlibat dalam masalah pertumbuhan dan perkembangan individu, serta segenap permasalahannya, dengan keseluruhan totalitas perwujudannya. Itu semua adalah pekerjaan konseling. Berdasarkan uraian diatas secara praktis, tidak ada gunanya membedakan tugas atau ruang lingkup kerja konseling di satu sisi dan bimbingan di sisilain. Keduanya disatukan saja dan digunakan satu istilah, yaitu konseling. Keseluruhan kerja konselor termasuk segenap pendekatan, teknik, langkah-langkah, peralatan dan berbagai bahan dan sarana lain yang di gunakan untuk membantu klien,

adalah pekerjaan konseling. Dengan digunakannya konseling engan arti yang lebih luas dan menyeluruh itu, sekarang pekerjaan konseling mencakup dimensi yang lebih luas dan tugas-tugas yang lebih kaya. Profesi konseling memiliki tujuan dan arah yang lebih luas. Lebih jauh kegiatan konseling tidak hanya terikat dan terbatas pada lingkungan sekolah saja, melainkan meluas sampai meliputi pekerjaan dengan sasaran keseluruhan kehidupan kemanusiaan di masyarakat luas. Dengan demikian, profesi konseling memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menghadapi hari esok. Untuk menggambarkan perkembangan gerakan bimbingan dan konseling dari waktu ke waktu perhatikanlah gambar berikut ini :

Gambar 6 Perkembangan Konsepsi Bimbingan dan Konseling


Keterangan : Gambar 1 = pelayanan bimbingan yang belum mencakup pelayanan konseling (periode pertama dan kedua) Gambar 2 = pelayanan bimbingan yang sudah meliputi konseling sebagai salah satu bentuk pelayanan bimbingan ( periode ketiga). Gambar 3 = Pelayanan bimbingan dan konseling yang saling berhimpitan (periode keempat dan kelima). Gambar 4 = Pelayanan konseling yang meliputi seluruh pelayanan yang dahulu disebut bimbingan dan konseling (perkembangan yang terakhir).

Bagaimanakah di Indonesia? Apakah sudah perlu mengganti rangkaian istilah bimbingan dan konseling dengan konseling saja? Mengingat perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia belum cukup mantap (ingat istilah bimbingan baru diakui secara legal dalam undang-undang Sistem Pendidikan

Nasional), beserta perangkat perundangan pelaksanaanya, maka istilah bimbingan dan konseling masih perlu dipertahankan, namun segi pelayanannya hendaknya menekankan porsi yang lebih besar pada konseling.

D. Tujuan Bimbingan dan Konseling Sejalan dengan perkembangannya konsepsi bimbingan dan konseling, maka tujuan bimbingan dan konseling pun mengalami perubahan, dari yang sederhana sampai ke yang lebih komprehensif. Perkembangan itu dari waktu ke waktu dapat dilihat pada kutipan dibawah ini : untuk membantu individu membuat pilihan-pilihan, penyesuaianpenyesuaian, dan interpretasi-interpretasi dalam hubungannya dengan situasi-situasi tertentu. (Hamrin & Clifford, dalam Jones, 1951) untuk memperkuat fungsi-fungsi pendidikan (Bradshow, dalam McDaniel, 1956) untuk membantu orang-orang menjadi insan yang berguna, tidak hanya sekedar mengikuti kegiatan-kegiatan yang berguna saja. (Tiedeman, dalam Bernard & Fullmer, 1969) Dengan proses konseling klien dapat : Mendapat dukungan selafi klien memadukan segenap kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Memperoleh wawasan baru yang lebih segar tentang berbagai alternative, padangan dan pemahaman-pemahaman, serta keterampilan-keterampilan baru. Menghadapi ketakutan-ketakutan sendiri; mencapai kemampuan untuk mengambil keputusan dan keberanian untuk melaksanakannya; kemampuan untuk mengambil resiko yang mungkin ada dalam proses pencapaian tujuantujuan yang dikehendaki. (Coleman, dalam Thompson & Rudolph, 1983) Tujuan konseling dapat terentang dari sekedar klien mengikuti kemauankemauan konselor sampai pada masalah pengambilan keputusan,

pengembangan kesadaran, pengembangan pribadi, penyembuhan, dan penerimaan diri sendiri. (Thompson dan Rudolph, 1983). pengembangan yang mengacu pada perubahan positif pada diri individu merupakan tujuan dari semua upaya bimbingan dan konseling. (Myers, 1992) Setiap rumusan tujuan tersebut mngandung hal-hal pokok sebagai berikut : Rumusan 1 (Hamrin & Clifford, dalam Jones 1951) Agar individu dapat : - Membuat pilihan-pilihan. - Membuat penyesuaian-penyesuaian - Membuat interpretasi-interpretasi Rumusan 2 (Broadshow dalam McDaniel, 1956) Memperkuat fungsi-fungsi pendidikan Rumusan 3 (Shoben, dalam Bernard Fullmer, 1969) Rekonstruksi budaya sekolah Rumusan 4 (Tiedeman, dalam Bernard & Fullmer, 1969) Membantu orang agar menjadi insan yang berguna. Rumusan 5 (Coleman, dalam Thompson & Rudolph, 1983) Bimbingan dan konseling bertujuan : - Memberikan dukungan - Memberikan wawasan, pandangan, pemahaman, keterampilan dan alternative baru - Mengatasi permasalahan yang di hadapi Rumusan 6 (Thompson & Rudolph, 1983) Bimbingan dan konseling bertujuan agar klien : - Mengikuti kemauan-kemauan/saran-saran konselor - Mengadakan perubahan tingkah laku secara positif - Melakukan pemecahan masalah - Melakukan pengambilan keputusan, pengembangan kesadaran, dan pengembangan diri.

- Mengembangkan penerimaan diri - Memberikan pengukuhan Rumusan 7 (Myers, 1992) Membantu individu untuk memperkembangkan dirinya, dalam arti

mengadakan perubahan-perubahan positif pada diri individu tersebut. Dengan memperhatikan butir-butir tujuan bimbingan dan konseling sebagaimana tercantum dalam rumusan-rumusan tersebut, tampak bahwa tujuan umu bimbingan dan konseling adalah untuk membantu individu

memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengantahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (seperti kemampuan dasar dan bakat-bakatnya), berbagai latar belakang yang ada (seperti latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial-ekonomi), serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya. Dalam kaitan ini, bimbingan dan konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam kehidupannya yang memiliki berbagai wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungannya. Insane seperti itu adalah insan yang mandiri yang memiliki kemampuan untuk memahami diri sendiri dan lingkungannya secarea tepat dan objektif, menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis, mampu mengambil keputusan secara tepat dan bijaksana, mengarahkan diri sendiri sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu, serta akhirnya mampu mewujudkan diri sendiri secara optimal. Hal ini semua dalam rangka pengembangan keemapt perwujudan keempat dimensi kemanusiaan individu. Adapun tujuan khusus bimbingan dan kknseling merupakan penjabaran tujuan umum tersebut yang dikaitkan secara langsung dengan permasalahan yang dialami oleh individu yang bersangkutan, sesuai dengan kompleksitas permaslahannya itu. Masalah-masalah individu bermacam ragam jenis, intensitas, dan sangkut-pautnya, serta masing-masing bersifat unik pula. Tujuan bimbingan dan konseling untuk seorang individu berbeda dari (dan tidak boleh disamakan dengan) tujuan bimbingan dan konseling untuk individu lainnya.

E. Asas-asas Bimbingan dan Konseling

Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan professional. Sesuai dengan makna uraian tentang pamahaman, penanganan dan penyikapan (yang meliputi unsur-unsur kognitif, afeksi dan perlakuan) konselor terhadap kasus, pekerjaan professional itu harus dilaksanakan dengan mengikuti kaidah-kaidah yang menjamin efisien dan efektifitas proes dan lain-lainnya. Kaidah-kaidah tersebut didasarkan atas tuntutan keilmuan layanan disatu segi (antara lain bahwa layanan harus didasarkan atas data dan tingkat perkembangan klien), dan tuntutan optimalisasi proses penyelenggaraan layanan disegi lain (yaitu antara lain suasana konseling ditandai oleh adanya kehangatan, pemahaman, penerimaan, kebebasan, dan keterbukaan, serta berbagai sumber daya yang perlu diaktifkan). Dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan adan konseling kaidah-kaidah tersebut dikenal dengan asas-asas bimbingan dan konseling, yaitu ketentuanketentuan yang harus diterapkan dalam penyelenggaraan pelayanan itu. Apabila asas-asas itu diikuti dan terselenggara dengan baik sangat dapat diharapkan proses pelayanan mengarah pada pencapaian tujuan yang diharapkan; sebaliknya, apabila asas-asas itu diabaikan atau dilanggar sangat dikhawatirkan kegiatan yang terlaksana itu justru berlawanan dengan tujuan bimbingan dan konseling, bahkan akan dapat merugikan orang-orang yang terlibat didalam pelayanan, serta profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Asas-asas yang dimaksudkan adalah asas kerahasiaanm kesukarelaan, keterbukaan, kekinian, kemandirian, kegiatan, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, ahli tangan, dan tut wuri handayani (Prayitno, 1987).

1.

Asas kerahasiaan Segala sesuatu yang dibicarakan klien kepada konselor tidak boleh

disampaikan kepada orang lain, atau lebih-lebih hal atau keterangan yang tidak boleh atau tidak layak diketahui orang lain. Asas kerahasiaan ini merupakan asas kunci dalam usaha bimbingan gan konseling. Jika asas ini benar-benar dilaksanakan, maka penyelenggara atau pemberi bimbingan akan mendapat kepercayaan dari semua pihak; terutama penerima bimbingan klien sehingga mereka akan mau memanfaatkan jasa bimbingan dan konseling dengan sebaik-

baiknya. Sebaliknya, jika konselor tidak dapat memegang asas kerahasiaan dengan baik, maka hilanglah kepercayaan klien dan para calon klien; mereka takut meminta bantuan, sebab khawatir masalah dan diri mereka akan menjadi bahan gunjingan. Apabila hal terakhir into terjadi, maka tamatlah riwayat pelayanan bimbingan dan konseling di tangan konselor yang tidak dapat dipercaya oleh klien itu.

2.

Asas Kesukarelaan Proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan,

baik dari pihak di terbimbing atau klien, maupun dari pihak konselor. Klien diharapkan secara suka dan rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa, menyampaikan masalah yang dihadapinya, serta mengungkapkan segenap fakta, data, dan seluk-beluk berkenaan dengan masalahnya itu kepada konselor; dan konselor juga hendaknya dapat memberikan bantuan dengan tidak terpaksa, atau dengan kata lain konselor memberikan bantuan dengan ikhlas.

3.

Asa keterbukaan Dalam pelaksanaan bimbingan konseling sangat diperlukan suasana

keterbukaan, baik keterbukaan dari konselor maupun keterbukaan dari klien. Keterbukaan ini bukan hanya sekedar bersedia menerima saran-saran dari luar, malahan lebih dari, diharapkan masing-masing pihak yang bersangkutan bersedia membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah. Individu yang

membutuhkan bimbingan diharapkan dapat berbicara sejujur mungkin dan berterus terang tentang dirinya sendiri sehingga dengan keterbukaan ini penelaahan serta pengkajian berbagai kekuatan dan kelemahan si terbimbing dapat dilaksanakan. Keterusterangan dan kejujuran si terbimbing akan terjadi jika si terbimbing tidak lagi mempersoalkan asas kerahasiaan dan kesukarelaan; maksudnya, si terbimbing telah betul-betul mempercayai konselornya dan benar-benar

mengharapkan bantuan dari konselornya. Lebih jauh, keterbukaan akan semakin berkembang apabila klien tahu bahwa konselornya pun terbuka.

Keterbukaan disini ditinjau dari dua arah. Dari pihak klien diharapkan pertama-tama mau membuka diri sendiri sehingga apa yang ada pada dirinya dapat diketahui oleh orang lain(dalam hal ini konselor), dan kedua mau membuka diri dalam arti mau menerima saran-saran dan masukan lainnya dari pihak luar. Dari pihak konselor, keterbukaan terwujud dengan kesediaan konselor menjawab pertanyaan-pertanyaan klien dan mengungkapkan diri konselor sendiri jika hal itu memang dikehendaki oleh klien. Dalam hubungan yang bersuasana seperti itu, masing-masing pihak bersifat transparan (terbuka) terhadap pihak lain.

4.

Asas Kekijian Masalah individu yang di tanggulangi adalah masalah-masalah yang sedang

dirasakan bukan masalah yang sudah lampau, dan juga bukan masalah yang mungkin akan dialami dimasa yang akan dating. Apabila ada hal-hal tertentu yang menyangkut masa lampau dan/atau masa yang akan dating yang perlu dibahas dalam upaya bimbingan yang sedang diselenggarakan itu, pembahasan tersebut hanyalah merupakan latar belakang dan/atau latar belakang dari masalah yangdihadapi sekarang. Dalam usaha yang bersifat pencegahan, pada dasarnya pertanyaan yang perlu di jawab adalah apa yang perlu dilakukan

sekarangsehingga kemungkinan kurang baik dimasa datang dapat dihindari. Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-nunda pemberian bantuan. Jika diminta bantuan oleh klien atau jelas terlihat misalnya adanya siswa yang mengalami masalah, maka konselor hendaklah segera member bantuan. Konselor tidak selanyaknya menunda-nunda member bantuan dengan berbagai dalih. Dia harus mendahulukan kepentingan klien daripada yang lain-lain. Jika dia benar-benar memiliki alasan yang kuat untuk tidak memberikan bantuannya kini, maka dia harus dapat

mempertanggungjawabkan bahwa penundaan yang dilakukan itu justru untuk kepentingan klien. 5. Asas Kemandirian Pelayanan bimbingan dan konseling bertujuan menjadikan si terbimbing dapat berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain atau tergantung pada

konselor. Individu yang dibimbing setelah dibantu diharapkan dapat mandiri dengan ciri-ciri pokok mampu : (a) Mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaimana adanya; (b) Menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis; (c) Mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri; (d) Mengarahkan diri sesuai dengan keputusan itu; dan (e) Mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat dan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Kemandirian dengan cirri-ciri umum diatas haruslah disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan peranan klien dalam kehidupannya sehari-hari. Kemandirian sebagai hasil konseling menjadi arah dari keseluruhan proses konseling, dan hali itu didasari baik oleh konselor maupun klien.

6.

Asas kegiatan Usaha bimbingan dan konseling tidak akan memberikan buah yang berarti

bila klien tidak melakukan kegiatan dalam pencapaian tujuan bimbingan dan konseling. Hasil usaha bimbingan dan konseling tidak akan tercapai dengan sendirinya, melainkan harus dengan kerja giat dari klien sendiri. Konselor hendaklah membangkitkan semangat klien sehingga ia mampu dan mau melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam penyelesaian masalah yang menjadi pokok pembiacaraan dalam konseling. Asas ini merujuk pada pola konseling multi dimensional yang tidak hanya mengandalkan transaksi verbal antara klien dan konselor. Dalam konseling yang berdimensi verbal pun asas kegiatan masih harus terselenggara, yaitu klien aktif menjalani proses konseling dan aktif pula melaksanakan/menerapkan hasil-hasil konseling.

7.

Asas Kedinamisan Usaha pelayanan bimbingan dan konseling menghendaki terjadinya

perubahan pada diri klien, yaitu perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik. Perubahan itu tidaklah sekedar mengulang hal yang lama, yang bersifat monoton,

melainkan perubahan yang selalu ke suatu pembaruan, sesuatu yang lebih maju, dinamis sesuai dengan arah perkembangan klien yang dikehendaki. Asas kedinamisan mengacu pada hal-hal baru yang hendaknya terdapat pada dan menjadi cirri-ciri dari proses konseling dan hasil-hasilnya.

8.

Asas Keterpaduan Pelayanan bimbingan dan konseling berusaha memadukan sebagai aspek

kepribadian klien. Sebagaimana diketahui individu memiliki berbagai aspek kepribadian yang kalau keadaannya tidak seimbang, serasi dan terpadu justru akan menimbulkan masalah. Disamping keterpaduan pada diri klien, juga harus diperhatikan keterpaduan isi dan proses layanan yang diberikan. Jangan hendaknya aspek layanan yang satu tidak serasi dengan aspek layanan yang lain. Untuk terselenggaranya asas keterpaduan, konselor perlu memiliki wawasan yang luas tentang perkembangan klien dan aspek-aspek lingkungan klien, serta berbagai sumber yang dapat diaktifkan untuk menangani masalah klien, kesemuanya itu dipadukan dalam keadaan serasi dan saling menunjang dalam upaya bimbingan dan konseling.

9.

Asas Kenormatifan Usaha bimbingan dan konseling tidak boleh bertentangan dengan norma-

norma yang berlaku, baik ditinjau dari norma agama, norma adat, norma hukum/Negara, norma ilmu, maupun kebiasaan sehari-hari. Asas kenormatifan ini diterapkan terhadap isi maupun proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Seluruh isi layanan harus sesuai dengan norma-norma yang ada. Demikian pula prosedur, teknik, dan peralatan yang dipakai tidak menyimpang dari norma-norma yang dimaksudkan. Ditilik dari permasalahan klien, barangkali pada awalnya ada materi bimbingan dan konseling yang tidak bersesuaian dengan norma (misalnya klien mengalami masalah melanggar norma-norma tertentu), namun justru dengan pelayanan bimbingan dan konselinglah tingkah laku yang melanggar norma itu diarahkan kepada yang lebih bersesuaian dengan norma.

10. Asas Keahlian Usaha bimbingan konseling perlu dilakukan asas keahlian secara teratur dan sistematik dengan menggunakan prosedur, tekhnik dan alat (instrumentasi bimbingan dan konseling) yang memadai. Untuk itu para konselor perlu mendapat latihan secukupnya, sehingga dengan itu akan dapat dicapai keberhasilan usaha pemberian layanan. Pelayanan bimbingan dan konseling adlah pelayanan professional yang diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang khusus dididik untuk perkejaan itu. Asas keahlian selain mengacu kepada kualifikasi konselor (misalnya pendidikan sarjana dibidang bimbingan dan konseling), juga kepada pengalaman. Teori dan praktek bimbingan dan konseling perlu dipadukan. Oleh karena itu, seorang konselor ahli harus benar-benar menguasai teori dan praktek konseing secara baik.

11. Asas Alih Tangan Dalam pemberian palayan bimbingan dan konseling, asas alih tangan jika konselor sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membantu individu, namun individu yang bersangkutan belum dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka konselor dapat mengirim individu tersebut kepada petugas atau badan yang lebih ahli. Di samping itu asas alih tangan juga mengisyaratkan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling hanya menangani maslah-masalah individu dengan kewenangan petugas yang bersangkutan, dan setiap masalah ditangani oleh ahli yang berwenang untuk itu. Hal yang terakhir itu secara langsung mengacu kepada batasan yang telah diuraikan pada Bab II, bahwa bimbingan dan konseling hanya memberikan kepada individu-individu yang pada dasarnya normal (tidak jasmani dan rohani) dan bekerja dengan kasus-kasus yang terbebas dari masalah-masalah kriminal dataupun perdata.

12. Asas Tutwuri Handayani

Asas ini menunjukan pada suasana umum yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan kesekuruhan antara konselor dank lien. Lebih-lebih di lingkungan sekolah, asas ini makin dirasakan keperluannya dan bahkan perlu dilengkapi dengan ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso. Asas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan pada waktu klien mengalami masalah dan menghadap kepada konselor saja, namun diluar hubungan proses bantuan bimbingan dan konseling pun hendaknya dirasakan adanya dan manfaatnya pelayanan bimbingan dan konseling itu.

Rangkuman Bimbingan dan konseling yang merupakan pelayanan dari, untuk, dan oleh manusia memiliki pengertian-pengertian yang khas. Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu dengan menggunakan berbagai prosedur, cara dan bahan agar individu tersebut mampu mandiri dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Sedangkan konseling merupakan proses pemberian bantuan yang didasarkan pada prosedur wawancara konseling oleh seorang ahli (konselor) kepada individu (klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Untuk pengertian konseling sering digunakan istilah penyuluhan, padahal istilah penyuluhan telah terlanjur digunakan secara luas di masyarakat untuk pengertian-pengertian yang tidak begitu relevan dengan makna konseling yang sebenarnya. Untuk itu menimbulkan kerancuan diantara istilah0istilah

professional dalam bidang bimbingan dan konseling, dan sekaligus untuk memurnikan pengertian konseling itu sendiri maka, istilah yang hendaknya dipakai dalam pengembangan dan gerakan bimbingan dan konseling di Indonesia adalah istilah konseling. Kensepsi bimbingan dan konseling ternyata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada awalnya istilah bimbingan berdiri sendiri dan tidak mengandung di dalamnya pengertian konseling. Pada periode berikutnya istilah bimbingan dan konseling dipakai secara kebersamaan dan yang satu memuat yang

lain. Pada perkembangan yang lebih lanjut istilah konseling berdiri sendiri dan sekaligus ia memuat pengertian bimbingan. Bimbingan dan konseling memiliki tujuan yang terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum bimbingan dan konseling membantu individu agar dapat mencapai perkembangan secara optimal sesuai dengan bakat, kemampuan, minat dan nilai-nilai, serta terpecahkan masalah-masalah yang dihadapi individu (klien). Termasuk kedalam tujuan umum bimbingan dan konseling adalah membantu individu agar dapat mendiri dengan cirri-ciri mampu memahami dan menerima dirinya sendiri dan lungkungannya, serta membuat keputusan dan rencana yang relistik, mengarahkan diri sendiri dengan keputusan dan rencananya itu serta pada akhirnya mewujudkan diri sendiri. Tujuan khusus bimbingan dan konseling langsung terkait pada arah perkembangan klien dan masalah-masalah yang dihadapi. Tujuan-tujuan khusus itu merupakan penjabaran tujuan-tujuan umum yang dikaitkan pada permasalahan klien, baik yang menyangkut perkembangan maupun kehidupannya. Sesuai dengan tuntutan keilmuan dan prosedur pelaksanaannya, bimbingan dan konselingdiselenggarakan menurut berbagai asas, yaitu asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, kekinian, kemandirian, kegiatan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, ahli tangan, dan tut wuri handayani. Asas-asas ini perlu terlaksana dengan baik demi kelancaran penyelenggaraan serta tercapainya tujuan bimbingan dan koneling yang diharapkan. Berbagai hal dalam pelayanan bimbingan dan konseling sering ditafsirkan secara salah sehingga menimbulkan berbagai kesalahpahaman antara lain menyangkut hubungan antara bimbingan dan konseling dengan pendidikan, peranan konselor, jenis pemberian bantuan dan karakteristik masalah yang ditangani, prosedur kerja, kualifikasi keahlian, hasil yang harus dicapai, serta penggunaan instrumentasi bimbingan dan konseling.

Tugas

1.

Pengertian tentang bimbingan dan konseling merupakan dasar bagi pemahaman lebih lanjut tentang seluk-beluk bimbingan dan konseling. Untuk memahami kedua istilah itu dengan leih konkret, ada orang yang menggunakan akronim tertentu. Yaitu : a. Bimbingan Huruf-huruf bimbingan dijadikan akronim dengan arti : B I = bantuan = individu

M = mandiri B I N G A N = bahan = interaksi = nasihat = gagasan = asuhan = norma

Dengan demikian, pengertian bimbingan adalah : bantuan yang diberikan kepada individu agar individu itu mandiri, dengan mempergunakan bahan, interaksi, nasihat, dan gagasan, dalam suasana asuhan, dan berdasarkan norma-norma yang berlaku. b. Konseling (1) Huruf-huruf penyuluhan dijadikan akronim dengan arti : P = pertemuan E = empat mata N = klien Y = penyuluh U = usaha L = laras U = unik H = human (manusiawi) A = ahli N = norma

Dengan demikian, pengertian penyuluhan adalah : pertemuan empat mata antara klien dan penyuluh yang sedang menempuh usaha, dengan cara yang laras, unik, dan manusiawi, yang bersifat keahlian, berdasarkan norma-norma yang berlaku. (2) Huruf-huruf konseling dijadikan akronim dengan arti : K = kontak O = orang N = menangani S = masalah E = expert (ahli) L = laras I = integrasi N = norma G = guna Dengan demikian, pengertian konseling adalah : kontak antara dua orang (yaitu konselor dank lien) untuk menangani masalah klien, dalam suasana keahlian yang laras dan terintegrasi, berdasarkan norma-norma yang berlaku, untuk tujuan-tujuan yang berguna bagi klien. Tugas : Bagaimanakah pendapat anda tentang pemakaian akronim tersebut, dan apakah pengertian yang dibawakannya tepat ? apa dasar anda menilai tepat atau tidak tepat ? diskusikanlah!

2.

Carilah sebuah masalah yang pernah dialami oleh seseorang. Kemudian rumuskanlah tujuan-tujuan yang hendak dicapai apabila pelayanan bimbingan dan konseling dilaksanakan terhadap masalah itu : a. Tujuan umum berkenaan dengan perkembangan individu tersebut b. Tujuan umum berkenaan kemandirian individu tersebut c. Tujuan khusus berkenaan dengan masalah nyata yang dialami oleh individu tersebut.

3.

Pertimbangkanlah kembali, istilah mana yang lebih tepat dipakai, konseling atau penyuluhan, apabila kita hendak mengembangkan profesi bimbingan dan konseling secara mantap? Jelaskan jawaban anda dengan alasan-alasan dan contoh!

4.

Mempelajari kembali perkembangan konsep bimbingan dan konseling dari satu period eke periode lainnya, istilah menakah yang sebaiknya dipakai untuk mewadahi segenap seluk-beluk (teori dan praktek) bimbingan dan konseling? Pilihlah : a. Bimbingan b. Bimbingan dan konseling c. Konseling Jelaskan jawaban anda dengan alasan-alasan dan contoh!

5.

Asas-asas bimbingan dan konseling dilaksanakan untuk memenuhi dua tuntutan utama, yaitu : (a) Keilmuan bimbingan dan konseling, dan (b) Efektivitas dan efisiensi penyelenggaraannya. Untuk keduabelas asas bimbingan dan konseling yang diuraikan pada Bab III, jelaskanlah untuk memenuhi tuntutan yang mana (a, atau b, atau a dan b) masing-masing asas tersebut! Lengkapilah jawaban anda disertai dengan contoh!

6.

Apakah yang akan terjadi apabila masing-masing asas bimbingan dan konseling itu tidak terselenggara dengan baik ? uraikan jawaban anda unutk masing-masing asas dengan disertai contoh-contoh!

7.

Kesalahpahaman dalam bimbingan dan konseling perlu dicegah dan diluruskan. a. Apakah yang akan terjadi apabila masing-masing kesalahpahaman it uterus berlanjut? Jelaskan masing-masing jawaban anda dengan disertai contoh! b. Usaha apakah yang perlu dilakukan untuk mencegah dan/atau meluruskan masing-masing kesalahpahaman itu ? jelaskan masingmasing jawaban disertai dengan contoh!

Daftar Pustaka Prayitno. (1987). Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: P2LPTK Depdikbud.

KASUS I Seorang siswa SMA kelas III-IPS, laki-laki menunjukan gejala jarang masuk sekolah, sering melanggar tata tertib seklah, dan prestasi belajarnya rendah. Siswa tersebut sering bolos, terutama kalau akan menghadapi mata pelajaran matematika. Pada akhir tahun yang lalu yang bersangkutan termasuk salah seorang siswa yang dipermasalahkan untuk kenaikan kelasnya. Di rumah, siswa tersebut tidak mempunyai tempat belajar sendiri; dia belajar di tempat tidurnya. Ia banyak membantu kegiatan keluarga sehingga sering kali terlambat masuk sekolah. Data lain menunjukan bahwa siswa yang bersangkutan adalah anak keenam dari sebelas saudara. Tiga orang saudaranya sudah berada di perguruan tinggi, dan salah seorang adiknya di kelas III bagian IPA disekolah yang sama. Siswa yang bersangkutan sebenarnya kurang berminat terhadap bidang studi IPa. Dalam menyelesaikan salah satu tugas rumahnya pernah terjadi bentrok dengan salah seorang gurunya.

KASUS II ES berumur 16 tahun, duduk di kelas I SMA di kota B. disana ia tinggal bersama dengan kakak laki-lakinya yang seayah, tetapi berlainan ibu. Dalam rumah tersebut tinggal pula ibu tirinya. Ibu kandungnya tinggal di kota P sebagai pedagang. Nilai yang diperoleh ES sangat jelek dalam mata pelajaran matematika dan fisika, sedangkan dalam mata pelajaran lain nilainya cukup baik, yaitu rata-rata diatas 6. Kecerdasannya (berdasarkan hasil tes PM) tergolong sedikit diatas rata-rata. Hasil tes bakat menunjukan bahwa ia cukup baik dalam penalaran berhitung, penalaran mekanika dan penalaran abstrak. Menurut guru-gurunya siswa tersebut termasuk anak pendiam dan selalu mengambil tempat duduk di deretan paling belakang. Dia bercita-cita menjadi insinyur pertanian.

KASUS III Seorang siswa di kota J memeroleh prestasi belajar sangat kurang, terutama dalam mata pelajaran ilmu sosial. Yang bersangkutan adalah siswa jurusan A1 (fisika). Dia sering bertengkar dengan teman-teman sekelasnyadan sukar menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Orang tuanya bercita-cita agar anak itu menjadi seorang dokter yang berhasil. Dalam keluarganya, ia sering dimanjakan oleh kakak-kakak dan neneknya. Tingkat ekonomi orang tuanya tergolong sedang sehingga ia sering mendapat kesulitan dalam memenugi alat-alat pelajarannya. Terhadap guru, siswa tersebut sangat pemalu, segan dan bahkan takut, sehingga tampak canggung. Demikian juga hubungannya dengan orang-orang dewasa lainnya, ia tampak sangat kaku dan sering diperlakukan seperti anak kecil.

KASUS IV An (13 tahun) siswa SMP di kota M, memperoleh prestasi belajar sedang-sedang saja, bahkan cenderung rendah. Dia jarang mau bermain dengan teman-teman sekelasnya. Pada waktu istirahat dia lebih suka bermain sendirian. Siswa tersebut sukar sekali diajak berbicara. Kalau tiba gilirannya untuk tampil di depan kelas, dia tampak gugup, gemetar, dan suaranya tidak jelas terdengar. Di rumah, An adalah satu-satunya yang perempuan, karena itu ibunya sering memanjakannya, tetapi An sering tidak dibenarkan keluar rumah, baik untuk bermain dengan teman-temannya maupun untuk keperluan lain. Jika sekali-sekali dia keluar rumah dan bermain, apabila oleh sesuatu hal dia menangis maka ibunya langsung campur tangan dan tidak jarang memarahi temannya itu.

KASUS V Seorang siswa SMA sering terlambat dating ke sekolah. Nilai rapor semester yang batu lalu kebanyakan berada dibawah nilai rata-rata kelas. Dia sering berlaku kasar bila ditegur oleh teman-temannya. Oleh sebab itu, kebanyakan teman-teman sekelasnya enggan bergaul dengan M. disamping kasar, dia juga sering mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh dan menyinggung perasaan orang lain. Di rumah, M adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya sering tidak dirumah karena terlalu sibuk dengan pekerjaanya. Demikian pula ibunya sering bepergian. Segala urusan rumah tangga diserahkan kepada pembantu.

KASUS VI K murid kelas II SMA di kota P. semester ini ia jarang masuk sekolah, dan nilainya berantakan. Dia tampak kurus dan mukanya pucat. Pada waktu diadakan razia disekolahnya, kedapatan daun ganja dalam amplop yang diselipkan dalam buku pelajarannya. Dia suka berke;ahi dengan temantemannya. Demikian juga terhadap gurunya, apabila guru menegurnya, maka dia bereaksi dengan kasar. Dia adalah siswa pindahan dari kota J. di kota ini dia tinggal bersama dengan orang tuanya. Ayahnya seorang anggota ABRI, berpangkat perwira menengah. Karena kesibukannya, ayahnya jarang dirumah, dan ibunya kurang memberikan perhatian yang penuh terhadapnya, bahkan sering marah-marah apabila K berada di rumah. K pernah minggat dari rumah; sejak saat itu dia jarang sekali pulang ke rumah. Dia bersama kawan-kawannya sering terlihat mabuk-mabukan dan kekerasan. Mengetahui K seperti itu, orang tuanya mengirimkannya ke kota P agar bersekolah dengan baik disana. Dikota P dia tinggal bersama dengan tantenya. Oleh tantenya K diperlakukan dengan sangat keras. Sepulang sekolah ia tidak boleh keluar rumah. Dengan perlakuan seperti ini dia merasa dirinya berada dalam penjara. Perasaan yang dideritanya itu sering dilampiaskannya kepada kawan-kawan dan gurunya. Di sekolah dia di cap sebagai anak nakal.

KASUS VII ES berumur 16 tahun dan tinggal bersama dengan orang tuanyadi kota P. ia merupakan anak tunggal dalam keluarganya; karena itu ia sangat dimanjakan. Ternyata ia anak pandai. Msekipun hidupnya agak kurang teratur, baik dirumah maupun di luar rumah, namun prestasinya di sekolah cukup dibanggakan. Satu-satunya hal yang menjadi ganjalan bagi siswa itu, dan juga bagi owing tua dan guru-gurunya adalah nilai pelajaran agama, dia mendapat nilai merah. Perhatian ES terhadap kehidupan beragama dipertanyakan.

KASUS VIII Seorang siswa STM, laki-laki, merasa tidak enak larena dimarahi oleh orang tuanya, gara-gara tidak lagi melakukan shalat sebagaimana mestinya. Tadinya ia rajin shalat tepat pada waktunya, bahkan seringkali shalat berjamaah. Siswa tersebut mengalami kebimbangan; pertama alasannya untuk menghentikan atau memulai shalat lagi, kedua tentang amarah orang tuanya, dan ketiga kalau-kalau kebimbangannya itu mempengaruhi prestasinya di sekolah.

Bagaimana kesan anda tentang masing-masing kasus tersebut? Kesan umum yang dapat kita tangkap adalah bahwa pada masing-masing kasus ada permasalahan tertentu yang perlu mendapat perhatian dan ditangani secara seksama. Permasalahan yang ada pada masing-masing kasus itu dapat dilihat dalam kaitannya dengan keempat dimensi kemanusiaan. Dalam rangka itu permasalahan utama yang secara langsung ditampilkan deskripsi masing-masing kasus itu dapat dicatatkan sebagai berikut :

Kasus I Individualitas : - Prestasi belajar rendah - Kurang minat pada IPA

Sosialitas Moralitas

: - Bentrok dengan guru : - Melanggar tata tertib - membolos

Religiusitas

Kasus II Individualitas Sosialitas Moralitas Religiusitas : - nilai-nilai jelek : - pendiam : : -

Kasus III Individualitas : - Prestasi belajar sangat rendah - Kesulitan alat belajar Sosialitas : - Sering bertengkar - Sukar menyesuaikan diri - Dimanjakan - Pemalu, taku, canggung, kaku - Diperlakukan bagai anak kecil Moralitas Religiusitas : : -

Kasus IV Individualitas Sosialitas : - Hasil belajar cenderung rendah : - Menyendiri, kurang bergaul - Gugup - Dimanjakan Moralitas : -

Religiusitas

: -

Kasus V Individualitas Sosialitas Moralitas : - Nilai di bawah rata-rata : - Berlaku kasar : - Terlambat - Tidak senonoh Religiusitas : -

Kasus VI Individualitas : - Nilai rendah - Kurus dan pucat Sosialitas : - Suka berkelahi - Kasar terhadap orang lain - Diperlakukan dangat keras - Tidak bebas Moralitas : - Jarang masuk sekolah - Menyimpan ganja - Minggat - Mabuk-mabukan - Nakal - Kasar Religiusitas : -

Kasus VII Individualitas Sosialitas Moralitas : - Mendapat nilai merah : - Dimanjakan : -

Religiusitas

: - Kurang perhatian terhadap kehidupan beragama

Kasus VIII Individualitas Sosialitas Moralitas Religiusitas : - Khawatir nilai merosot : - Tidak enak pada orang tua : : - Tidak lagi melakukan shalat

D. Layanan Bimbingan Belajar Bimbingan belajar merupakan salah satu bentuk layanan bimbingan yang penting diselenggarakan disekolah. Pengalaman menunjukan bahwa kegagalankegagalan yang dialami siswa dalam belajar tidak selalu disebabkan oleh kebodohan atau rendahnya intelegensi. Sering kegagalan itu terjadi disebabkan mereka tidak mendapat layanan bimbingan yang memadai. Layanan bimbingan belajar dilaksanakan melalui tahap-tahap : (a) pengenalan siswa yang mengalami masalah belajar, (b) pengungkapan sebabsebab tuimbulnya masalah belajar, dan (c) pemberian bantuan pengetasan masalah belajar. 1. Pengenalan Siswa yang Mengalami Masalah Belajar Disekolah, disamping banyaknya siswa yang berhasil secara gemilang dalam belajar, sering pula dijumpai adanya siswa yang gagal, seperti, angka-angka rapor rendah, tidak naik kelas, tidak lulus ujian akhir, dan sebagainya. Secara umum, siswa-siswa yang mengalami masalah belajar. Secara lebih laus, masalah belajar terbatas pada contoh-contoh yang disebutkan itu. Masalah belajar memiliki bentuk yang banyak ragamnya, yang pada umumnya dapat digolongkan atas :

a.

Keterlambatan akademik, yaitu keadaan siswa yang diperkirakan memiliki intelegensi yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat memanfaatkan secara optimal.

b.

Ketercepatan dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memiliki bakat akademik yang cukup tinggi atau memiliki IQ 130 atau lebih, tetapi masih memerlukan tugas-tugas khusus untuk memnuhi kebutuhan dan kemampuan belajarnya yang amat tinggi itu.

c.

Sangat lambat dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memiliki bakat akademik yang kurang memadai dan perlu dipertimbangkan untuk mendapat pendidikan atau pengajaran khusus.

d.

Kurang motivasi dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang kurang bersemangay dalam belajar; mereka seolah-olah tampak jera dan malas.

e.

Bersikap dan berkebiasaan buruk dalam belajar, yaitu kondisi siswa yang kegiatan atau perbuatan belajarnya sehari-hari antagonistic dengan yang seharusnya, seperti suka menunda-nunda tugas, mengulur-ngulkur waktu, membenci guru, tidak mau bertanya untuk hal-hal yang tidak diketahuinya. Siswa yang mengalami masalah belajar seperti tersebut dapat dikenali

melalui prosedur pengungkapan melalui tes hasil belajar, tes kemampuan dasar, skala pengungkapan sikap dan kebiasaan belajar, dan pengamatan.

Tes Hasil Belajar Tes hasil belajar adalah suatu alat yang disusun untuk mengungkapkan sejauh mana siswa telah mencapai tujuan-tujuan pengajaran yang ditetapkan sebelumnya. Siswa-siswa dikatakan telah mencapai tujuan pengajaran apabila dia telah menguasai sebagian besar materi yang berhubungan dengan tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Ketentuan ini merupakan penerapan dari konsep belajar tuntas (mastery learning) yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap siswa dapat mencapai hasil belajar sebagai yang diharapkan jika dia diberi eaktu yang cukup dan bimbingan yang memadai untuk mampelajari bahan yang disajikan. Ketuntasan penguasaan bahan ditentukan dengan menetapkan patokan, yaitu presentase minimal yang harus dicapai oleh siswa. Siswa yang belum menguasai

bahan pelajaran sesuai dengan patokan yang ditetapkan, dikatakan belum menguasai tujuan-tujuan pengajaran. Siswa yang seperti ini digolongkan sebagai siswa yang mengalami masalah dalam belajar dan memerlukan bantuan khusus. Sedangkan siswa yang sudah menguasai secara tuntas semua bahan yang disajikan sebelum batas waktu yang ditetapkan berakhir, disolongkan sebagai siswa yang sangat cepat dalam belajar. Mereka ini patut mendapat tugas-tugas tambahan sebagai pengayaan. Cara lain untuk melihat derajat keberhasilan siswa belajar adalah dengan memperhatikan kurva yang dibentuk oleh nilai-nilai hasil belajar yang dicapai oleh kelompok siswa (misalnya siswa dalam satu kelas, atau dalam satu tingkatan kelas). Anggota kelompok itu menyebar pada keseluruhan kurva seperti tampak pada gambar 9.

Gambar 9 Kurva hasil belajar

Tingkat keberhasilan siswa dalam belajar ditentukan dengan melihat kedudukan nilai siswa yang bersangkutan pada kurva. Nilai yang terletak ditengah kurva menandakan bahwa siswa yang mencapai nilai itu tergolonga sedang, yang di sebelah kanan kurva tergolong pandai, dan yang berada diujung sebelah kanan tergolong amat pandai. Sebaliknya yang berada di ujung kurva sebelah kiri tergolong lambat, dan yang diujung kiri termasuk lambat sekali. Dengan pertolongan itu dapatlah diketahui siapa-siapa yang memerlukan bantuan khusus, dan siapa-siapa yang memerlukan materi pengayaan.

Tes Kemampuan Dasar

Setiap siswa memiliki kemampuan dasar atau inteligensi tertentu. Tingkat kemampuan dasar ini biasanya diukur atau diungkapkan dengan

mengadministrasikan tes inteligensi yang sudah baku. Beberapa tes yang terkenal dalam bidang ini antara lain adalah progressive Matrics (PM), Wechler Intelligence Scale (WAIS dan WISC), Stanford Binet Intelligence Scale (SBIS). Dalam banyak skala inteligensi, kemampuan dasar manusia diklasifikasikan sebagai berikut : I.Q. 140 ke atas 120 139 110 129 90 109 80 89 70 79 - Sangat cerdas - Cerdas - Di atas rata-rata - Normal atau rata-rata - di bawah rata-rata - bodoh

Di bawah 70 - sangat bodoh Hasil belajar yang dicapai siswa seyogianya dapat mencerminkan tingkat kemampuan dasar yang dimilikinya. Siswa yang kemampuan dasarnya tinggi akan mencapai hasil belajar tinggi pula. Bilamana seseorang siswa mencapai hasil belajar lebih rendah dari teraan inteligensi yang dimilikinya, maka siswa yang bersangkutan digolongkan sebagai siswa yang mengalami masalah dalam belajar. Sikap skala dan kebiasaan belajar Sikap dan kebiasaan merupakan salah satu faktor yang penting dalam belajar. Sebagian dari hari belajar ditentukan oleh sikap dan kebiasaan yyang dilakukan siswa dalam belajar. Dari berbagai penelitian yang pernah diadakan di tanah air terdapat hubungan yang berarti antara sikap dan kebiasaan belajar dengan hasil belajar. Sebagian dari sikap dan kebiasaan siswa belajar itu dapat diketahui dengan mengadakan pengamatan dalam kelas. Misalnya, dalam hal mengerjakan tugastugas, membaca buku, membuat catatan, dan kegiatan-kegiatan lain

yangberhubungan dengan belajar siswa. Tetapi pengamatan biasanya terbatas pada sikap dan kebiasaan yang dapat diterima oleh alat indra.

Untuk mengungkapkan sikap dan kebiasaan yang lebih luas telah dikembangkan beberapa alat yang berupa Skala sikap dan kebiasaan nelajar. Salah satu di antaranya yang paling popular adalah Survey of StudyHabits and Attitudes (SSHA) yang disusun oleh W.F. Brown dan W.h. Holtzman (versi 1954 dan 1960), yang telah disadur kedalam bahasa Indonesia. Alat ini dapat mengungkapkan derajat cara siswa mengerjakan tugas-tugas sekolah, sikap terhadap guru, sikap dalam menerima pengajaran, dan kebiasaan dalam melaksanakan kegiatan belajar. Dengan memperhatikan derajat sikap dan kebiasaan belajar siswa itu akan dapat diketahui siswa-siswa mana yang sikap dan kebiasaan belajarnya sudah memadai dan perlu terus dipelihara, serta siswa-siswa mana yang memerlukan bantuan khusus dalam meningkatkan sikap dan kebiasaan belajar yang belum sebagaimana dikehendaki itu. Tes Diagnostik Tes diagnostic merupakan untuk mengungkapkan adanya kesalahankesalahan yan dialami oleh siswa dalam bidang pelajaran tertentu. Misalnya untuk mata pelajaran berhitung/matematika akan dijumpai kesalahan-kesalahan dalam oprasi berhitung, atau pemakaian rumus-rumus; untuk pelajaran bahasa dijumpai kesalahan-kesalahan dalam penerapan tata bahasa dan pemakaian ejaan. Untuk semua mata pelajaran diharapkan dapat disusun dan dibuatkan tes diagnostiknya masing-masing. Dengan tes diagnostic sebenarnya sekaligus dapat diketahui kekuatan dan kelemahan siswa. Makin sedikit siswa membuat kesalahan pada tes diagnostic, makin kuatlah siswa pada materi pelajaran yang bersangkutan; dan sebaliknya. Siswa-siswa yang ternyata sudah cukup kuat dalam mata pelajaran yang dimasud dianjurkan untuk terus memupuk kekuatan mereka itu, sedangkan siswa yang masih mengalami banyak kesalahan berarti memerlukan bantuan khusus. Analisa Hasil belajar atau Karya Analisa hasil belajar atau karya merupakan bentuk lain dari tes diagnostic. Tujuannya sama, yaitu mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang dialami oleh siswa dalam mata pelajaran tertentu. Apabila tes diagnostic disusun, dibakukan,

dan diselenggarakan dalam bentuk tes (sebagian tes tertulis), analisis hasil belajar merupakan prosedur yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan memeriksa secara langsung materi hasil belajar yang ditampilkan siswa, baik melalui tulisan, bentuk grafik atau gambar, bentuk tiga dimensi yang berupa model, maket, dan bentuk-bentuk tiga dimensi hasil kerajinan dan keterampilan tangan lainnya, serta gerak dan suara. Bentuk hasil belajar yang lain dapat berupa foto, film, atau rekaman video. Dalam analisis hasil belajar atau hanya materi yang dimaksudkan dicermati melalui pengamatan yang sistematik dengan mempergunakan pedoman tertentu. Hasil pengamatan itu dibandingkan dengan criteria yang telah ditetapkan atau bahkan telah dilakukan. Perbandingan hasil pengamatan terhadap criteria itu akan memperlihatkan sekaligus kekuatan dan kelemahan di pembuat hasil karya itu. Dari hasil analisis karya (tertulis) siswa misalnya, dapat diketahui sampai seberapa jauh siswa telah memahami dan mampu menggunakan tata bahasa dan ejaan secara tepat pada karangan mereka. Analisis hasil pengerjaan soal berhitung atau matematika secara terurai akan memperlihatkan sampai berapa jauh siswa telah memahami operasi hitung atau pemakaian rumus-rumus berkenaan dengan soal tersebut. Analisis hasil karya seni rupa (seperti gambar, patung) akan memperlihatkan kelemahan (dan sekaligus kekuatan) siswa yang bersangkutan dalam menggambar atau mematung, dan lain sebagainya. Kekuatan akan dijumpai dalam hasil karya itu merupakan sesuatu yang perlu dipupuk, sedangakan kelemahan-kelemahan merupakan sesuatu yang memerlukan perhatian khusus untuk diperbaiki.

2.

Upaya membantu Siswa yang mengalami Masalah Belajar Siswa yang mengalami masalah belajar seperti diutarakan didepan perlu

mendapat bantuan agar masalahnya tidak berlarut-larut yang nantinya dapat mempengaruhi proses perkembangan siswa. Beberapa upaya yang dilakukan adalah dengan (a) pengajaran perbaikan, (b) kegiatan pengayaan, (c) peningkatan motivasi belajar, dan (d) pengembangan sikap dan kebiasaan belajar secara efektif.

a.

Pengajaran Perbaikan Pengajaran perbaikan merupakan suatu bentuk bantuan yang diberikan

kepada seesorang atau sekelompok siswa yang mengalami masalah belajar dengan maksud untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam proses dan hasil belajar mereka. Dalam hal ini bentuk kesalahan yang paling pokok berupa kesalahpengertian, dan tidak menguasai konsep-konsep dasar. Apabila kesalahankesalahan diperbaiki, maka siswa mempunyai kesempatan untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Dibandingkan dengan pengajaran biasa, pengajaran perbaikan sifatnya lebih khusus, karena bahan, metode dan pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis, sifat dan latar belakang masalah yang dihadapi siswa. Disamping itu, bekerja dengan siswa-siswa yang mengikuti pelajaran dikelas biasa. Kalau didalam kelas biasa unsure emosional dapat dikurangi sedemikian rupa, maka siswa yang sedang menghadapi masalah belajar justru sebaliknya. Ia (mereka) mungkin dihinggapi berbagai perasaan takut, cemas, tidak tentera, bingung, bimbang, dan sebagainya. Dalam hal ini adalah amat penting bagi guru dan konselor memahami perasaan-perasaan siswa yang seperti itu. Tingkah laku yang ditampilkan oleh siswa menghendaki adanya perhatian dari guru dan konselor. Tidak dapat disangsikan bahwa yang utama harus diupayakan oleh guru dan konselor adalah mendorong siswa untuk mau belajar.

b.

Kegiatan Pengayaan Kegiatan pengayaan merupakan suatu bentuk layanan yang diberikan

kepada seseorang atau beberapa orang siswa yang sangat cerdas dalam belajar. Mereka memerlukan tugas-tugas tambahan yang terencana untuk menambah memperluas pengetahuan dan keterampilan yang telah dimilikinya dalam kegiatan belajar sebelumnya. Siswa-siswa seperti ini sering muncul dalam kegiatan belajar dengan menggunakan sistem pengajaran yang terencana secara baik. Misalnya, sistem pengajaran dengan modul, paket belajar, dan pengajaran yang berprogram lainnya. Siswa yang amat cepat belajar hamper selalu dapat mengerjakan tugastugas lebih cepat dari rekan-rekan mereka dalam waktu yang ditetapkan.

Dilihat dari segi prestasi atau hasil belajar mereka, siswa-siswa yang amat cepat belajar itu sebenarnya tidak tergolong sebagai siswa yang menghadapi masalah belajar. Bahkan semua siswa harus didorong untuk dapat mencapai hasil belajar yang baik seperti itu. Masalah yang akan muncul terletak pada kemungkinan dampak yang timbul sebagai akibat dari kecepatan belajar yang tinggi itu. Dampaknya dapat positif dan dapat negative. Kecepatan belajar yang tinggi akan mempunyai dampak positif siswa apabila siswa merasa dirinya diperhatikan dan tihargai atas keberhasilan dan kemampuannya dalam belajar. Selanjutnya ia akan berusaha dan potensi yang dimilikinya. Sebaliknya, kecepatan belajar itu akan mempunyai dampak yang negatif apabila siswa merasa kurang diperhatikan dan di hargai. Mereka cenderung menjadi patah hati, tidak semangat, jera, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan siswa-siswa lain, mereka mungkin menjadi siswa yang mengganggu atau salah tingkah. Hal ini kemungkinan besar justru menurunkan prestasi belajar mereka.

c.

Peningkatan Motivasi Belajar Apabila kepada siswa ditanyakan mengapa mereka belajar, maka akan

diperoleh berbagai jawaban. Si Ani mengatakan ia belajar karena ingin pandai. Si Badrun mengatakan ia belajar karena ingin lulus dalam ujian. Si Candra mungkin mengatakan ia belajar karena melihat teman-teman semuanya belajar, dan lain sebagainya. Jadi alasan mengapa siswa belajar sangat bersifat subjektif. Semua alasan itu merupakan hal-hal yang mendorong ( atau motif) siswa untuk belajar. Disekolah sebagian siswa mengkin telah memiliki motif yang kuat, untuk belajar, tetapi sebagian lagi mungkin belum. Disisi lain, mungkin juga ada siswa yang semula motifnya sangat kuat, tetapi menjadi pudar. Tingkah laku seperti kurang bersemangat, jera, malas, dan sebagainya, dapat dijadikan indicator kurang kuatnya motif (motivasi) dalam belajar. Guru, konselor dan staff sekolah lainnya berkewajiban membantu siswa meningkatkan motivasinya dalam belajar. Prosedur-prosedur yang dapat dilakukan adalah dengan :

1) Memperjelas tujuan-tujuan belajar. Siswa akan terdorong untuk lebih giat belajar apabila mengetahui tujuan-tujuan atau sasaran yang hendak dicapainya. 2) Menyesuaikan pengajaran dengan bakat, kemampuan dan minat siswa. 3) Menciptakan suswana pembelajaran yang menantang, merangsang, dan menyenangkan. 4) Memberikan hadiah (penguatan) dan hukuman bilamana perlu* 5) Menciptakan suasana hubungan yang hangat dinamis antara guru dan murid, serta antara murid dan murid. 6) Menghindari tekanan-tekanan dan suasana tidak menentu (seperti Susana yang menakutkan, mengecewakan, membingungkan, menjengkelkan) 7) Melengkapi sumber dan peralatan belajar.

d.

Pengembangan Sikap dan Kebiasaan belajar yang Baik. Setiap siswa diharapkan menerapkan sikap dan kebiasaan belajar yang

efektif. Tetapi tidak tertutup kemungkinan ada siswa yang mengamalkan sikap dan kebiasaan yang tidak diharakan dan tidak efektif. Apabila siswa memiliki sikap dan kebiasaan seperti itu, maka dikhawatirkan siswa yang bersangkutan tidak akan mencapai hasil belajar yang baik, karena hasil belajar yang baik itu diperoleh melalui usaha atau bahkan perjuangan yang keras. Sebagian siswa memang memerlukan bantuan untuk mampu melihat secara kritis sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan belajar yang mereka miliki. Melalui bantuan itu mereka diharapkan dapat menemukan kelemahan-kelemahan mereka dalam belajar, dan selanjutnya berusaha mengubah atau memperbaiki kelemahankelemahannya itu. Utntuk itu siswa hendaknya didorong untuk meninjau sikap dan kebiasaannya dalam hubungannya dengan prinsip-prinsip belajar dibawah ini: 1) Belajar berarti melibatkan diri secara penuh, lebih dari sekedar membaca bahan-bahan yang tercetak dalam buku-buku teks. 2) Efisiensi belajar akan meningkat apabila perbuatan belajar itu didasarkan atas rencana atau tujuan yang nyata dan hasil dapat diukur.

3) Kata-kata, ungkapan-ungkapan, dan kalimat-kalimat yang ada dalam bahan yang dipelajari baru dibaca dengan penuh pengertian. 4) Sebagai bahan belajar hanya dapat dipelajari dengan baik kalau menggunakan seluruh metode belajar. 5) Belajar dalam suasana terpaksa tidak memberikan harapan besar untuk berhasil dengan baik. 6) Untuk dapat melaksanakan kegiatan dan mencapai hasil belajar yang baik diperlukan adanya suasana hati yang aman, kesehatan yang baik, tidak teratur, dan rekreasi yang memadai. Lebih jauh, sikap dan kebiasaan belajar yang baik tidak tumbuh secara kebetulan, melainkan seringkali perlu ditumbuhkan melalui bantuan yang terencana, terutama oleh guru-guru konselor, dan orang tua siswa. Untuk itu hendaklah siswa di bantu dalam hal : 1) Menemukan motif-motif yang tepat dalam belajar. 2) Memelihara kondisi kesehatan yang baik. 3) Mengatur waktu belajar, baik disekolah maupun dirumah. 4) Memilih waktu belajar yang baik. 5) Belajar dengan menggunakan sumber belajar yang kaya, seperti buku-buku teks dan referensi yang lainnya. 6) Membaca secara baik sesuai dengan kebutuhan, misalnya, kapan membaca secara garis besar, kapan secara rinci, dan sebagainya. 7) Tidak segan-segan bertanya untuk hal-hal yang tidak diketahui kepada guru, teman atau siapa pun juga. Dalam layanan bimbingan belajar peranan guru dan konselor adalah saling membantu, mengisi, dan menunjang. Sebagaimana disebutkan terdahulu, guru sebagai penguasa lapangan dan penggerak kegiatan pembelajaran siswa, sedangkan konselor sebagai arstitek, penasihat dan penyumbang data, masukan dan pertimbangan bagi diterapkannya layanan bimbingan belajar. Konselor dapat membantu penyelenggaraan, mengolah dan menafsirkan nilai-nilai tes hasil belajar, tetapi tes itu sendiri dibuat oleh guru. Dalam hasil itu memang diharapkan

adanya tes hasil belajar yang sudah dibakukan, tetapi sambil menunggu tersedianya tes baku itu, tes buatan guru adalah sangat penting. Tes kemampuan dasar (inteligensi) dan skala sikap dan kebiasaan belajar harus dibakukab terlebih dahulu. Konselor secara langsung menyelenggarakan tes dan skala itu (dengan bantuan guru) sampai didapatkannya hasil dan penafsiran yang dapat diterapkan bagi pelayanan bimbingan belajar. Tes diagnostic dan analisis hasil belajar lebih banyak dilakukan oleh guru, karena materi kedua instrument/prosedur itu secara langsung terkait pada hasil usaha pembelajaran yang dikelola oleh guru. Konselor membantu merancang dan memberikan pertimbangan tentang penyelenggaraan tes diagnostic dan analisis hasil kerja. Berdasarkan hasil-hasil pengungkapan kelemahan dan kekuatan siswa dengan menggunakan instrument/prosedur di atas, konselor dan guru merancang layanan bimbingan belajar bagi siswa yang memerlukannya, baik layanan individual maupun kelompok, baik dalam bentuk lpenyajian individual, ataupun kegiatan yang lainnya. Dalam pelaksanaannya peranan konselor dan guru masingmasing atau bersama-sama tergantung pada materi layana. Layanan yang materinya lebih banyak menyangkut penguasaan bahan pelajaran (seperti pengajaran perbaikan dana kegiatan pengayaan) menuntut peranan guru lebih besar, sedangkan pelayanan yang menuntut pengembangan motivasi, minat, sikap dan kebiasaan belajar menuntut lebih banyak peranan konselor. Keadaan yang lebih dikehendaki adalah apabila kedua pihak selalu bahu-membahu

meningkatkan kemampuan siswa belajar, baik di sekolah maupun diluar sekolah.

E. Layanan Koseling Perorangan Pada bagian-bagian terdahulu konseling telah banyak disebut. Pada bagian ini konseling dimaksudkan sebagai pelayanan khusus dalam hubungan langsung tatap muka antara konselor dan klien. Dalam hubungan itu masalah klien disermati dan diupayakan pengentasannya, sedapat-dapatnya dengan kekuatan klien sendiri. Dalam kaitan itu, konseling dianggap sebagai upaya layanan paling utama dalam pelaksanaan fungsi pengentasan masalah klien. Bahkan dikatakan bahwa konseling merupakan jantung hatinya pelayanan bimbingan secara

menyeluruh. Hal itu berarti agaknya bahwa apabila layan konseling telah memberikan jasanya, maka masalah klien akan teratasi secara efektif dan upayaupaya bimbingan lainnya tinggal mengikuti atau berperan sebagai pendamping. Atau dengan kata lain, konseling merupakan layanan inti yang pelaksanaannya menuntut persyaratan dan usaha mutu yang benar-benar tinggi. Ibarat seorang jejaka yang menaksir seorang gadis, apabila jejak itu telah mampu memikat jantung hati gadis itu, maka segala urusan dan kehendak akan dapat diselenggarakan dan dicapai dengan lancar. Implikasi lain pengertian jantung hati itu adalah, apabila seorang konselor telah menguasai dengan sebaik-baiknya apa, mengapa dan bagaimana pelayanan konseling itu (dalam arti memahami, menghayati, teknik dan teknologinya), maka dapat diharapkan ia akan dapat menyelenggarakan layanan-layanan bimbingan lainnya dengan tidak mengalami banyak kesulitan. Hal itu dapat dimengerti karena, layanan konseling yang tuntas telah mencakup sebagian fungsi-fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan, serta pemeliharaan dan pengembangan. Di samping itu, perlu dipahami pula bahwa konseling multidimensional, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, menjangkau aspek-aspek yang lebih luas daripada apa yang muncul pada saat wawancara konseling. Isi konseling menyangkut berbagai segi kehidupan dan perkembangan klien yang mungkin perlu dikaitkan pada layanan-layanan orientasi dan informasi, penempatan dan penyaluran, serta bimbingan belajar. Dalam hubunganitu semua dapat dimengerti bahwa layanan koseling bersangkutan dengan jenis-jenis layanan bimbingan lainnya, dan dengan segenap fungsi bimbingan konseling. Keterkaitan antara layanan konseling dan berbagai layanan lainnya serta fungsi bimbingan dan konseling tampak pada gambar 1. Untuk dapat menguasai jantung hati bimbingan sebagaimana dijabarkan di atas konselor perlu mempelajari, menerapkan, dan berpengalaman luas dalam layanan konseling itu dengan segenap seluk-beluknya (lihat gambar 10). 1. Layanan Konseling Diselenggarakan Secara Resmi Konseling merupakan layanan yang teratur, terarah, terkontrol, serta tidak diselenggarakan secara acak ataupun seadanya. Sasaran (subjek penerima

layanan), tujuan, kondisi, dan metodologi penyelenggaraan layanan telah digariskan dengan jelas. Apabila rambu-rambu pokok dalam

Gambar 10 Keterkaitan Antara layanan Konseling, Layanan Lain, dan Fungsi-fungsi Bimbingan dan Konseling Pelaksanaan layanan konseling, Munro dkk. (1979) mengemukakan tiga dasar etika konseling, yaitu (a) kerahasiaan, (b) keterbukaan, dan (c) tanggung jawab pribadi klien. Konseling yang berhasil dan bersifat etis hanya apabila didasarkan pada ketiga hal itu. Tidaklah pelayanan konseling bersifat etis apabila kerahasiaan klien terlanggar; demikian pula tidaklah etis suatu layanan konseling apabila tanggung jawab klien atas tingkah lakunya sendiri dikebiri atau dikurangi. Adalah tanggung jawab dan kewajiban konselor sepenuhnya untuk mengusahakan terlaksananya ketiga dasar ketiga konseling itu. Pelaksanaan asa bimbingan dan konseling sebagaimana tersebut pada Bab III dengan baik hanya mungkin apabila ketiga dasar etika konseling itu telah diamalkan sebagaimana mestinya.

Di atas landasan sebagaimana telah diutarakan itu, sifat resmi layanan konseling ditandai dengan adanya cirri-ciri yang melekat pada pelaksanaan layanan itu, yaitu bahwa : a. b. Layanan itu merupakan usaha yang disengaja. Tujuan layanan tidak boleh lain daripada untuk kepentingan dan kebahagiaan klien. c. d. e. Kegiatan layanan diselenggarakan dalam format yang telah ditetapkan. Metode dan teknologi dalam layanan berdasar teori yang telah teruji. Hasil layanan dinilai dan diberi tindak lanjut. Ketika akan mengawali hubungan konseling konselor perlu memasang niat dengan motivasi yang kuat untuk mambantu klien. Niat itu merupakan wujud kesengajaan yang bersifat batiniah yang kalau diikuti oleh kesadaran yang mendalam akan mampu memberikan arah yang tepat bagi pekerjaan yang akan dilakukan. Sebagai refleksi landasan keagamaan dalam konseling, maka niat itu dibarengi dengan permohonan rida, rahmat, danpetunjuk dari tuhan agar layanan yang akan segera dilakukan itu berjalan dengan lancer dan memberikan hasil dengan manfaat yang sebesar-besarnya. Ucapan dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang menyertai niat yang tulus itu. Bekal konselor dalam mengawali layanan konselingnya tentulah tidak hanya niat yang tulus sendiri itu saja, namun terikautkan pula berbagai wawasan dan seikap positif tentang klien dan seluk-beluk serta dimensi metodologi layanan itu sendiri yang sejak semula telah tertanam pada dirikonselor. Dengan niat, wawasan dan sikap serta dimensi teknologi layanan yang ada pada diri konselor, maka mantaplah kesengajaan konselor dalam mengawasi upaya layanan konseling. Sebagaimana telah dikemukakan di depan, tujuan konseling umum bimbingan dan konseling adalah pemeliharaan dan pengembangan diri klien seutuhnya. Kpentingan dan kebahagiaan klien menjadi arah layanan konseling secar langsung mengacu kepada pemeliharaan pengembangan klien itu. Apa pun yang muncul dalam layanan bimbingan dan konseling harus diarahkan pada tujuan tersebut; dan apapun yang menjadi persepsi, sikap dan tindakan konselor harus berorientasi pada tujuan positif bagi klien itu. Lebih jauh, sebuah kondisi

yang terbangun selama hubungan konseling berlangsung dan berbagai kemungkinan implikasinya, baik ditinjau di sisi klien, konselor, maupun kondisi hubungan itu sendiri, tidak lain adalah untuk kepentingan dan kebahagiaan klien. Format konseling meliputi terutama jarak, arak, dan sikap duduk konselor dan klien, sebenarnya format standar berkenaan dengan duduk dan tahapan wajah itu adalah konselor dan klien duduk berhadap-hadapan; konselor duduk denga sikap sempurna (tidak membungkuk ataupun menyandarkan pinggang ke kursi); dan wajah konselor menatap klien tanpa adu pandang antara konselor dank lien. Sekali lagi format tersebut adalah format standar. Apabila format standar itu dapat diterapkan tanpa menimbulkan reaksi-reaksi negative pada pihak klien, agakanya manfaat yang dapat diberikannya cukup banyak. Namun demikian, mengingat berbagai alasan yang menyangkut keunikan klien, adat istiadat dan kebiasaan setempat, serta aspek-aspek sosial budaya lainnya, format standar itu dapat dimodifikasi tanpa mengurangi tujuan dari pengembangan format hubungan konseling yang tepat. Format apa pun yang terbentuk, standar atau hasil modifikasi, efek yang diharapkan dari terbentuknya format adalah : a. Konselor sepenuhnya menghadapi (dan mencurahkan perhatian kepada) klien; dan sebaliknya klien dapat sepenuhnya memperhatikan konselor dalam ini baik klien maupun konselor menyediakan diri dalam kondisi transparan (tidak ada yang ditutup-tutupi). b. Klien benar-benar melihat dan merasakan bahwa konselor dalam sikap sempurna selalu memperhatikan (dalam arti positif) diri klien dan permasalahannya. c. Suara, mimic, dan gerak-gerik klien dan konselor jelas ditangkap oleh pihak lain. d. e. Klien dan konselor mudah bergerak. Klien dan konselor merasa dekat satu sama lain, sambil tetap menjaga jarak. Format hubungan konseling yang diterapkan oleh seorang konselor boleh jadi tidak sama untuk semua kliennya. Format standard an berbagai

modofikasinya dipakai secara bervariasi sesuai dengan kondisi klien, kondisi

kosial budaya, kondisi ruangan dan peralatan yang ada, dan kondisi konselor sendiri. Kondisi (dan juga hasil) hubungan konselor amat ditentukan oleh metodologi (dan teknologi) konseling yang dimiliki dan diterapkan oleh konselor. Konselor yang berhasil pada umumnya adalah konselor yang memiliki khasanah metode dan cara-cara yang kaya dalam mengembangkan hubungan konseling dan sekaligus dalam menangani masalah klien. Variasi masalah dan keunikan klien itu menuntut variasi dalam metode yang kaya itu tidak mudah, memerlukan upaya pembelajaran dan pengalaman yang cukup lama. Karena layanan konseling bukan layanan acak ataupun layanan yang dapat diselenggarakan sambil lalu, maka sebagai konsekuensinya ialah bahwa layanan itu perlu dievaluasi dan diberikan tindak lanjutnya. Mengingat bahwa hubungan konseling merupakan proses dinamis, unik, dan tidak terprogram sebagaimana kegiatan mengajar ataupun kegiatan darmawisata misalnya, maka penilaian hasil konseling memiliki kekhasan sendiri yang menampung cirri-ciri kedinamisan dan keunikan. Demikian juga dengan upaya tindak lanjutnya; cirri-ciri kedinamisan dan keunikan tetap mewarnai upaya tindak lanjut itu.

2.

Pengentasan Masalah melalui Konseling Melalui konseling klien mengharapkan agar masalah yang dideritanya dapat

dientaskan. Langkah-langkah umum upaya pengentasan masalah melalui konseling pada dasarnya adalah : a. b. c. d. e. Pemahaman masalah; Analisis sebab-sebab timbulnya masalah; Apliakasi metode khusus; Evaluasi; Tindak lanjut. Kegiatan pengenalan dan pemahaman masalah secara umum telah dibahas pada bagian terdahulu. Dalam konseling klien dan konselor harus benar-benar memahami masalah yang dihadapi klien, sedapat-dapatnya secara lengkap dan rinci. Pemahaman maslah oleh klien harus benar-benar persis sama dengan

pemahaman konselornya dan objektif sebagaimana adanya masalah itu. Hal itu perlu justru untuk menjamin ketetapan, efektivitas, dan efisiensi proses konseling. Unsure-unsur pengenalan klien dan masalahnya yang diperoleh konselor di luar proses konseling (misalnya laporan pihak ketiga, data dalam cumulative record, keterangan dari klien sendirisebelum proses konseling), khususnya yang ada sangkut-pautnya dengan masalah yang sedang dibahas, harus dicek kebenarannya kepada klien sendiri dalam proses konseling. Konselor tidak seyogianya meyakini kebenaran suatu pendapat konselot sendiri, apalagi pendapat atau keterangan dari pihak ketiga, tentang klien dan permasalahannya, sbelum dicek terlebih dahulu kepada klien yang bersangkutan. Usaha pemahaman masalah klien biasanya terkait langsung dengan kajian tentang dumber penyebab masalah itu. Meskipun upaya pemahaman masalah dan pengkajian tentang sumber-sumebr penyebabnya dapat dipilih, namun

pembahasan keduanya sering kali sukar dipisahkan. Dengan mengkaji sebabsebab tibul masalah, klien dan konselor memperoleh pemahaman yang lebih lengkap dan mendalam tentang masalah klien. Sebagaimana telah dibahas pada Bab III, dalam rangka memahami masalah klien (beserta sebab-sebabnya) konselor tidak boleh terpukau oleh deskripsi awal masalah yang dikemukakan klien (atau yang dikemukakan oleh pihak ketiga). Permasalahan tersebut dan sebab-sebabnya harus benar-benar dialami. Masalah dan sumber penyebab yang sebenarnya sering kali berada berbeda dari deskripsi awal itu. Oleh karena itu, pembahasan tentang masalah yang dihadapi itu beserta sumber-sumber penyebabnya antara klien dan konselorperlu dilakukan secara intensif dan terbuka. Untuk itu perlu diterapkan berbagai teknik konseling oleh konselor. Hubungan konseling adalah hubungan pribadi yang terbuka dan dinamis anatara klien dan konselor. Hubungan ini ditandai oleh adanya kehangatan, kebebasan dan suasana yang memperkenankan klien menampilkan diri sebagaimana adanya. Dalam proses konseling tidak ada kata-kata seperti anda salah, harus begini atau begitu, tidak boleh begini atau beitu, kok sampai begitu, atau kata-kata yang mencemooh, merendahkan atau menyesalkan,

menilai negative atau menyalahkan, atau kata-kata yang mencela dan bermakna negative lainnya. Sebaliknya, juga tidak ada kata-kata seperti semua terserah anda, yang akan menanggung resiko kan anda sendiri, saya tidak mau mencampuri urusan anda atau kata-kata yang sebenarnya palsu, seperti anda sebenarnya memang hebat, anda dapat menyelesaikan semua urusan sendiri, anda sebenarnya tidak memerlukan bantuan, anda tidak berdosa, anda tidak perlu menyesali diri sendiri dan sebagainya. Contoh-contoh tersebut sengaja dikemukakan untuk menekan betapa pentingnya isi dan suasana wawancara konseling itu. Setiap kata yang dilancarkan dan diluncurkan oleh konselor hendaknya benar-benar tepat dan benar-benar mengenai permasalahannya, dapat menggugah hati serta pikiran klien, tanpa menimbulkan reaksi-reaksi negative pada diri klien (seperti ragu-ragu, cemas, perasaan tersinggung, bengga yang berlebihan atau sombong, sikap mempertahankan diri, masa bodoh, dan lain sebagainya). Wawancara konseling bukanlah pembicaraan biasa, melainkan dialog teraputik untuk membantu klien. Apabila hati dan pikiran klien dapat digugah, besarlah harapan kekuatan yang ada di dalam diri klien terbangkitkan untuk mengentaskan permasalahan yang dialaminya. Tergugahnya hati dan pikiran klien itulah yang merupakan awal pengetasan masalah secara nyata. Tidak jarang terjadi, terutama bagi klien yang cerdas dan motivasinya amat kuat untuk memecahkan masalah, titik awal itu menjadi pemicu yang menggelindingkan sendiri kekuatan klien. Klien telah amat terbantu, sebagaimana pernah disingung dimuka, setelah ia pahami secara mendalam seluk-beluk masalah dan sumber-sumber penyebabnya. Ia menyatakan kepada konselor bahwa dirinya telah sanggup memecahkan masalahnya sendiri. Dengan demikian ia merasa proses konseling sudah dapat diakhiri. Hali itu semua dapat terjadi berkat keterampilan konselor menyelenggarakan proses konseling dengan teknik-teknik yang jitu. Terpahaminya masalah klien dengan baik serta tergugahnya hati dan pikiran klien belum tentu serta merta membuahkan hasil terpecahkannya masalah. Dalam hal ini proses konseling masih perlu dilanjutkan sengan penerapan metode sesuai dengan rincian masalah dan sumber-sumber penyebabnya. Metode-metode khusus

bervariasi dari pengembangan penalaran dan kata hati, peneguhan hasrat untuk mencapai tujuan tertentu (dalam rangka pemecahan masalah), latihan merencana suatu kegiatan, pemberian contoh, latihan bersikap dan bertindak, desensitisasi, samapi dengan penerapan program-program computer dalam konseling (Brammer & Shostrom, 1982). Penerapan metode khusus ini menjadikan proses konseling tidak semata-mata berdimensi verbal melainkan berkembang menjadi proses multi-dimensional sebagaimana pernah disinggung pada bab terdahulu. Kegiatan evaluasi ditujukan untuk menilai kemangkusan proses konseling pada umumnya, dan khususnya untuk melihat sampai berapa jauh masalah klien terentaskan, dan lebih khusus lagi untuk mengetahui keaktifan metode khusus yang dipakai. Dua pendekatan penilaian dapat ditempuh, yaitu penilaian dalam proses dan penilaian pasca proses. Penilaian dalam proses dilakukan ketika proses konseling masih berjalan. Penialaian ini sangat memerlukan keterampilan konselor; konselor dituntut secara simultan melancarkan dialog dengan klien dalam suasana seperti digambarkan diatas, sambil sekaligus mengasakan penilaian atas kelancaran, ketepantan dan kebermaknaan prose situ sendiri. Demikian juga ketika berlangsungnya penerapan metode-metode khusus. Demikian juga ketika berlangsungnya penerapan metode-metode khusus. Labih jauh lagi, atas hasil penilaian itukonselor diharapkan secara bijaksana dapat memberikan tindak lanjut agar proses konseling yang dijalankannya itu tetap berlangsung dengan sebaikbaiknya sampai akhir. Upaya evaluasi dalam proses diakhiri dengan evaluasi akhir proses konselor dapat meminta klien mnyampaikan kesan-kesan dan perasaannya terhadap proses konseling yang baru saja dijalaninya, hal-hal apa yang sudah dan belum ia peroleh, dan harapan-harapannya, khususnya dengan masalah yang dihadapinya. Hasil evaluasi akhir ini dapat pula dikaitkan dengan rencana lebih lanjut klien, termasuk didalamnya kemungkianan penerapan hasil-hasil konseling (seperti beberapa alternative tindakan untuk mancapai tujuan, latihan-latihan bertingkah laku) dalam kehidupan * sehari-hari, dan konseling lebih lanjut. Evaluasi pasca proses konseling biasanya lebih sukar dilakukan, lebih-lebih dengan klien-klien yang berada diluar lembaga tempat konselor bekerja. Konselor

sukar menjangkau mereka sehingga evaluasi sistematik sukar dilakukan. Evaluasi insidentil dapat berlangsung apabila konselor bertemu mereka dan menanyakan dampak konseling yang pernah terlaksana, atau melalui pihak ketiga yang mengenal klien. Evaluasi seperti ini derajat kesahihan dan keteladanannya tidak cukup tinggi atau bahkan diragukan. Untuk klien-klien yang berada dalam lembaga tempat konselor bekerja evaluasi pasca proses lebih mungkin dilaksanakan; apalagi kalau untuk mereka disediakan program pelayanan yang terjadwal sehingga antara klien dan konselor dapat diatur pertemuan berskala. Evaluasi melalui instrumen tertulis (misalnya angket) juga dapat dilakukan. Hasil evaluasi itu dipakai sebagai masukan dan bahan pertimbangan baik bagi rencana tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam pertemuan terjadwal dengan masingmasing klien, maupun bagi penyusutan program-program pelayanan periodeperiode berikutnya.

3.

Tahap-tahap Keefektifan Pengentasan Masalah Melalui Konseling Sangat diinginkan oleh semua pihak bahwa proses tahap konseling dapat

memberikan hasil yang sebesar-besarnya untuk menunjang perkembangan dan kehidupan klien pada umumnya, dan khususnya untuk mengentaskan masalah klien. Keefektifan pengentasan masalah. Dari keadaan awal itu sampai konseling yang paling akhir nantinya pada waktu masalah klien terentaskan, dapat diidentifikasi lima tahap. Dengan memperhatikan tahap-tahap tersebut akan terlihat apakah klien sejak awalnya sampai dengan akhirnya memang menjalani tahap dan tidak melanjutkannya ketahap berikutnya, sehingga keefektifan pengentasan masalah tidak meningkat kepada taraf keefektifan yang lebih tinggi. Tahap pertama dimulai ketika klien menyadari bahwa dirinya mengalami masalah. Ini adalah tingkat keefektifan yang pertama, mengingat apabila kklien tidak menyadari bahwa dirinya tidak bermasalah (padahal sebenarnya bermasalah), maka konseling yang diberikan kepada klien yang merasa dirinya tidak bermasalah itu tidak akan member hasil apa-apa. Bahkan mungkin justru sebaliknya yang terjadi, klien bersikap antagonistic dan menolak pelayanan konseling, tidak menyukai konselor, dan yang lebih parah lagi, klien

mempertahankan diri dengan menutupi rapat-rapat atau bertingkah laku edemikian rupa agar tampak oleh orang lain dirinya tidak bermasalah. Konseling degan orang-orang yang tidak menyadari masalah jelas tidak efektif. Jangankan efektif, konseling dapat berjalan pun tidak. Individu-individu yang menyadari bahwa dirinya bermasalah agaknya memiliki kemungkinan yag lebih baik dalam hal pemecahan masalahnyaitu. Mula-mula mungkin ia akan menimbang-nimbang bagaimana masalah itu dapat diatasi; mungkin ia akan mencoba mengatasi masalahnya itu sendiri. Syukur kalau masalahnya itu teratasi dengan usaha sendiri. Usaha pemecahan masalah selesaisudah. Pesoalannya adalah, apabila diri sendiri tidak mampu mengatasi masalah itu. Bagaimana selanjutnya? Ada dua kemungkinan. Berhenti dan membiarkan masalah itu sebagaimana adanya dengan kemungkinan akibat akan menimbulkan kesulitan atau kerugian tertentu. Individu tersebut menutup dari bagi kemungkinan pemecahan masalah. Kemungkinan yang lain adalah, individu menyadari bahwa dirinya tidak mampu memcahkan masalah dan menyadari pula bahwa ia memerlukan bantuan orang lain. Kesadaran bahwa individu memerlukan bantuan orang lain itulah yang merupakan tahap keefektifan kedua. Proses pemecahan masalah tetap etrbuka, dan keefektifan konseling boleh jadi akan terwujud. Namun, bagaimana seterusnya? Apakah individu memang mencari orang lain untuk membantunya?? Atau hanya sekedar berhenti pada kesadaran akan perlunya bantuan orang lain. Kalau individu berhenti disana, berarti riwayat pemecahan masalah hanya samapi disana, keefektifan konseling tidak akan terwujud. Sebaliknya, kalau individu itu memang gigih dalam mengupayakan pemecahan masalahnya, maka ia benar-benar mencari orang lain untuk membantu dirinya. Lebih baik lagi apabila mencari orang-orang yang benar-benar mampu dan bertanggung jawab dalam membantu pemecahan masalah klien itu. Disinilah tampilnya tahap keefektifan yang ketiga. Dengan mencapai (dan menemukan) orang lain yang dapat membantunya, terbukalah bagi klien kemungkinan untuk memecahkan masalah itu. Namun keefektifan konseling tidak begitu saja. Klien dituntut untuk aktif dalam proses konseling. Keaktifan klien inilah yang justru menentukan tahap keempat

keefektifan konseling. Partisipasi aktif klien itu diharapkan dapat terselenggara dari awal proses konseling sampai konseling itu dinyatakan berakhir. Setelah berakhirnya prose konseling, pertanyaan yang masih tersisa ialah, apakah konseling itu telah memberikan hasil yang benar-benar efektif? Pertanyaan itu mengacu pada tahap keefektifan konseling yang kelima. Konseling yang telah terselenggara itu benar-benar menjalankan (menerapkan) hasil-hasil yag telah dicapai melalui konseling dalam kehidupan sehari-hari klien. Dengan kata lain, hsil koneling itu benar-benar mengubah tingkah laku klien, dan dengan demikian masalah klien secara berangsur-angsur teratasi. Kelima tahap keefektifan konseling itu dapat digambarkan melalui diagram sebagai berikut (diagram 1).

Diagram 2 Lima Tahap Keefektifan Konseling Catatan : sering kali individu dating kepada konselor tanpa memahami masalah yang sebenarnya ada pada dirinya. Pemahaman masalah baru terjadi dalam proses konseling.

4.

Pendekatan dan Teori Konseing Pada bab V telah disinggung sedikit tentang adanya sejumlah teori

konseling. Apabila ditilik lebih lanjut teori-teori tersebut pada dasarnya dapat dikelompokan ke dalam tiga pendekatan, yaitu pendekatan konseling direktif, konseling non-direktif, dan konseling elektrik. Pendekatan-pendekatan itu terutama pendekatan direktif dan non-direktif, masing-masing memiliki pandangan yang berbeda, bahkan disana-sini bertolak belakang, terutama tentang hakikat tingkah laku individu dan timbulnya masalah. Perbedaan-perbedaan tersebut mengakibatkan timbulnya yang secara langsung diterapkan terhadap klien.

5. 6. 7. 8.

Aa A A

F. Aa G. A H. Aa I. J. K. A Aa

Anda mungkin juga menyukai