Anda di halaman 1dari 26

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Adenomiosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya kelenjar dan stroma endometrium di miometrium. Etiologi adenomiosis sendiri belum diketahui secara pasti. Beberapa teori menyatakan pertumbuhan sel endometrium abnormal pada miometrium disebabkan oleh trauma pasca operasi, peradangan akibat persalinan, dan adanya sel endometrium di miometrium sejak janin. Sering kali adenomiosis ditemukan bersama dengan patologi lain, seperti leiomioma, endometriosis, dan pelvic inflammation disease. Beberapa kasus adenomiosis juga ditemukan menyertai kanker endometrium. Kanker endometrium adalah kanker yang berasal dari lapisan

endometrium. Kanker endometrium merupakan keganasan ginekologi paling umum Amerika Serikat. Insidensi kanker endometrium di Amerika Serikat pada tahun 2012 sebanyak 98% dari 47.130 kasus kanker corpus uterus yang terdiagnosis. Di Asia Tenggara, dimana Indonesia termasuk di dalamnya, insiden kanker endometrium mencapai 4,8% dari 670.587 kasus. Penyebab kanker endometrium belum diketahui pasti, tetapi kanker endometrium sering dikaitkan dengan endometrium yang terpapar estrogen dalam jangka panjang. Pada beberapa penelitian, adenomiosis dapat ditemukan pada pasien dengan kanker endometrium terdapat kemungkinan transformasi malignan dari fokal

adenomiosis. Tetapi belum diketahui pasti hubungan antara adenomiosis dengan kanker endometrium.

B. Tujuan Penulisan Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kejadian adenomiosis dengan kejadian kanker endometrium pada spesimen histerektomi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Histologi Uterus 1. Anatomi Uterus Uterus adalah sebuah organ muscular yang berdinding tebal, berbentuk seperti buah pir, dan terletak antara vesica urinaria dan rectum. Uterus biasanya tertekuk ke ventral (antefleksi) di atas vesica urinaria, tetapi kedudukannya berubah dengan penuh kosongnya vesica urinaria dan rectum. Uterus terdiri dari beberapa bagian: a. Corpus uteri, bagian dua pertiga cranial yang menyebar. Corpus uteri terletak antara kedua lembar ligamentum latum dan dapat dipindah-pindahkan secara bebas. b. Cervix uteri, bagian sepertiga kaudal yang berupa tabung. Cervix uteri dapat dibedakan atas portio vaginalis cervicis dan pars supravaginalis cervicis. Portio vaginalis cervicis yang membulat berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri. c. Isthmus ialah bagian yang menyempit antara corpus uteri dan cervix uteri. d. Fundus ialah bagian cranial corpus uteri yang mencembung. e. Cornu uteri ialah daerah supralateral tempat masuknya tuba uterine.

Gambar 2.1 Uterus

Uterus memiliki beberapa ligamentum yang berfungsi untuk menggantung uterus dan menjaga posisinya. Ligamentum penggantung uterus terdiri dari: a. Ligamentum ovarii proprium: melekat pada uterus dorsokaudal terhadap persatuan uterotubal. b. Ligamentum teres uteri: melekat disebelah ventrokaudal persatuan uterotubal. c. Ligamentum transversum colli uteri: meluas dari cervix uteri dan pars lateralis forrnicis vagina ke dinding pelvis lateral. d. Ligamentum sacrouterina: melintas ke arah cranial dan agak ke dorsal dari sisi-sisi cervix uteri ke pertengahan Os. sacrum. e. Ligamentum latum uteri: lembar ganda peritoneum yang meluas dari sisi uterus ke dinding pelvis lateral dan dasar pelvis. f. Ligamentum suspensorium ovarii: berada di sebelah lateral peritoneum ligamentum latum uteri berlanjut ke cranial menutupi pembuluh darah. (Moore, 2002)

2. Histologi Uterus Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan yaitu sebelah dalam endometrium atau membran mukosa, tengah yaitu miometrium atau muskularis, dan luar yaitu perimetrium. Aktivitas uterus non pregnan dibagi dalam tiga stadium yaitu stadium proliferasi, stadium sekretori atau luteal, dan stadium menstruasi. a. Stadium proliferasi Pada endometrium terdiri dari 2 zona atau lapisan yaitu stratum basalis dan stratum fungsionalis endometrium. Lapisan endometrium terdiri dari epitel selapis kolumner bersilia terletak pada lamina propria yang lebar. Lamina propria terdiri dari kelenjar tubuler yang panjang dan kelenjar uterine. Kelenjar tersebut biasanya lurus pada bagian superfisial endometrium, tetapi berkelok pada bagian dalam sehingga nampak terpotong melintang. Pada endometrium terdapat stroma dan arteri

spiralis. Endometrium melekat pada miometrium dibawahnya, yang terdiri dari berkas serat otot polos, tersusun secara kompak dipisahkan oleh bagian tipis jaringan ikat dan tersusun ke dalam tiga lapisan yang tak jelas (Eroschenko, 2010).

Gambar 2.2 Uterus Stadium Proliferasi

b. Stadium sekretoris Selama stadium ini endometrium bertambah tebal karena sebagian besar aktivitas sekretoris kelenjar bertambah dan terdapat edema akibat akumulasi cairan pada stroma cairan. Sel-sel kelenjar mengalami hipertrofi karena terkumpulnya hasil sekresi. Kelenjar menjadi berkelokkelok, lumen melebar, dan sering terisi sekret. Dalam stroma, cairan jaringan bertambah banyak menyebabkan edema. Arteri spiralis menjulur melalui endometrium ke dalam bagian superficialis (Eroschenko, 2010).

Gambar 2.3 Uterus Stadium Sekretori

c. Stadium menstruasi/haid Selama menstruasi, permukaan endometrium melepaskan epitel dan jaringan dibawahnya. Permukaan endometrium lepas tertutup bekuan darah bersama sisa stroma yang terlepas dan kelenjar. Stratum basale utuh. Pada lamina propria daerah spongiosa kebanyakan berkumpul eritrosit bebas yang dikeluarkan oleh pembuluh darah yang terlepas. Terdapat infiltrasi sedang dari limfosit dan netrofil. Bagian distal arteri spiralis mengalami nekrosis dan hanya tertinggal bagian dalam (Eroschenko, 2010).

Gambar 2.4 Uterus Stadium Menstruasi

B. Adenomiosis 1. Pengertian Adenomiosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya kelenjar dan stroma endometrium di miometrium.

2. Epidemiologi Prevalensi adenomiosis sulit diketahui karena diagnosis pastinya baru dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Di dunia, diperkirakan 20% perempuan di dunia menderita adenomiosis. Dalam analisis

histopatologi, sekitar 65% wanita dengan adenomiosis disertai dengan kelainan panggul organik lainnya seperti leiomioma, endometriosis dan pelvic infection disease. Adenomiosis biasanya ditemukan pada wanita 35 - 50 tahun

yang multipara dan ditandai dengan perdarahan uterus abnormal, biasanya hypermenorrhea dan dismenore sekunder (Enakpene, 2012). Di Indonesia, adenomiosis ditemukan 2.39-11.7% pada semua pasien ginekologik yang dirawat. Selain itu dilaporkan juga ditemukan pada kurang lebih 20-25% wanita usia reproduksi dan meningkat 40% pada usia lebih dari 35 tahun (Joedosapoetra, 2005).

3. Etiologi Penyebab pasti adenomiosis tidak diketahui. Terdapat beberapa teori yang diduga penyebabnya: a. Jaringan endometrium yang menyusup ke dinding rahim. Ketika dilakukan operasi sectio caesaria, sel endometrium menyusup ke dinding uterus, lalu tumbuh dan berkembang disana. Beberapa ahli percaya bahwa adenomiosis merupakan hasil invasi langsung dari sel-sel endometrium dari permukaan uterus ke dalam miometrium. Insisi uterus yang dilakukan selama operasi mempromosikan invasi langsung dari sel-sel endometrium ke dalam miometrium. b. Teori pertumbuhan. Teori ini meyakini bahwa sejak awal jaringan endometrium memang sudah ada saat janin mulai tumbuh. Ahli lainnya berspekulasi adenomiosis berasal dari jaringan endometrium yang disimpan di miometrium ketika rahim pertama kali terbentuk pada janin perempuan. c. Peradangan rahim akibat proses persalinan. Teori ini menyatakan ada hubungan antara adenomiosis dan proses persalinan. Proses deklamasi endometrium pada periode paska persalinan dapat menyebabkan pecahnya atau putusnya ikatan sel pada endometrium. (Enakpene dan Muneyyirci-Delale, 2012)

4. Faktor Resiko a. Usia > 40 tahun b. Multiparitas c. Mempunyai riwayat kuretase berulang

5. Patofisiologi Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan dan invaginasi stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga dapat terlihat adanya hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah ekstra uteri, misalnya plica rectovagina, adenomiosis dapat berkembang de novo secara embriologis dari ductus Mller (Ferenczy, 1998). Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium belum diketahui secara jelas. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan sintesis DNA dan ciliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada lapisan basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan sel stroma endometrium yang membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraseluler dan gambaran sitoplasma pseudopodia (Ferenczy, 1998). Dalam studi yang menggunakan hibridisasi dan immunohistokimia in situ menunjukkan kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih

mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium yang normal, kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH sehingga kemampuan untuk menembus miometrium dan membentuk fokal adenomiosis jarang ada (Ferenczy, 1998).

6. Penegakan Diagnosis a. Anamnesis Sekitar 35% kasus adenomiosis tidak menimbulkan gejala. Gejala yang sering ditemukan adalah menorrhagia (50%), dismenorrhea (30%), dan metrorhargi (20%). Keluhan lainnya dapat ditemukan nyeri perut bawah dan nyeri ketika bersenggama (dispareunia) (Ferenczy, 1998). b. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik abdomen dapat menemukan adanya pembesaran pada perut bawah, uterus dapat membesar hingga menyerupai usia kehamilan 12 minggu. Pada palpasi dapat ditemukan perut yang supel dan disertai nyeri tekan. Pemeriksaan fisik belum dapat menegakkan diagnosis adenomiosis (Ferenczy, 1998). c. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan imaging, seperti USG dan MRI, dan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan USG trasvaginal memiliki kemampuan diagnostic yang lebih baik dibandingkan dengan USG perabdominal. MRI dapat mmperlihatkan gambaran yang lebih jelas dimana dapat ditemukan gambaran miometrium dengan intensitas rendah yang dikelilingi dengan sel endometrium dengan intensitas tinggi. Pada beberapa kasus, terdapat gambaran honeycomb akibat adanya ruang kistik ireguler di miometrium. Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan dengan memeriksa jaringan miometrium. Jaringan miometrium dapat diambil dengan teknik biopsy, tetapi diagnosis utama histopatologi adenomiosis adalah dari spesimen histerktomi (Ferenczy, 1998).

7. Penatalaksanaan a. Farmakologi 1) Anti inflamasi

Obat anti inflamasi, seperti golongan NSAID, dapat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. 2) Terapi hormonal. Terapi hormonal bertujuan untuk mengontrol siklus menstruasi melalui kombinasi kontrasepsi estrogen-progestin oral yang dapat mengurangi perdarahan berat dan rasa sakit akibat adenomiosis. Penggunaan kontrasepsi progestin-only akan menyebabkan kondisi amenore yang mampu mencegah perkembangan adenomiosis. b. Non farmakologi/Operatif Terapi operatif yang dilakukan adalah histerektomi. Histerektomi adalah operasi pengangkatan uterus, sehingga setelah menjalani operasi ini dia tidak bisa lagi hamil dan mempunyai anak. Pada prosedur histerektomi pada pasien adenomiosis, sering diikuti dengan pemeriksaan histopatologis adenomiosis. sehingga dapat ditegakkan diagnosis klinis dari

C. Kanker Endometrium 1. Pengertian Kanker endometrium adalah kanker yang berasal dari sel

endometrium. Kanker endometrium

tersering adalah adenokarsinoma

endometrioid yang berasal dari sel epitel glandula endometrium. Berdasarkan histopatologi, profil molekuler dan gambaran klinis, kanker endometrium dibagi menjadi dua, Tipe I dan Tipe II. Perbedaan kanker endometrium tipe I dan tipe II dijelaskan pada Tabel 2.1. The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) (2010) menetapkan stadium untuk kanker endometrium. Stadium kanker endometrium menurut FIGO adalah sebagai berikut: Stage I : Kanker hanya tumbuh di korpus uterus. Kanker dapat tumbuh hingga servix tetapi tidak keluar dari uterus

10

Stage IA

: Kanker berada pada lapisan endometrium dan belum mencapai miometrium. Kanker belum menyebar ke limfonodi.

Stage IB

: Kanker tumbuh di endometrium hingga ke miometrium tetapi tidak tumbuh di luar uterus.

Stage II

: Kanker telah menyebar hingga ke stroma serviks. Kanker belum menyebar keluar dari uterus maupun limfonodi.

Stage III

: Kanker sudah menyebar keluar dari uterus ke jaringan terdekat di pelvis.

Stage IIIA

: Kanker menyebar ke lapisan serosa uterus dan/atau tuba falopii atau ovarium (adneksa). Kanker belum menyebar ke limfonodi.

Stage IIIB

: Kanker menyebar ke vagina atau jaringan di sekitar uterus (parametrium). Kanker belum menyebar ke limfonodi.

Stage IIIC1

: Kanker tumbuh di korpus uterus. Kanker mungkin sudah menyebar ke jaringan sekitar uterus tetapi tidak menyebar ke vesica urinarius atau rectum. Kanker telah menyebar ke limfonodi pelvis tetapi belum mencapai limfonodi paraaortikus atau tempat yang jauh.

Stage IIIC2

: Kanker tumbuh di korpus uterus. Kanker mungkin sudah menyebar ke jaringan sekitar uterus tetapi tidak menyebar ke vesica urinarius atau rectum. Kanker telah menyebar ke limfonodi pelvis dan sudah mencapai limfonodi paraaortikus tetapi belum menyebar ke tempat yang jauh.

Stage IV

: Kanker menyebar ke permukaan vesika urinaria atau rectum, limfonodi pada genitalia, dan/atau organ jauh seperti tulang, omentum, atau paru.

Stage IVA

: Kanker telah menyebar ke lapisan mukosa rectum dan vesika urinaria. Kanker mungkin sudah menyebar ke limfonodi terdekat tetapi tidak ke tempat yang jauh.

11

Stage IVB

: Kanker telah menyebar ke limfonodi yang jauh, abdomen bagian atas, atau organ yang letaknya jauh dari uterus seperti tulang, omentum, atau paru. Ukuran kanker bermacam-macam dan mungkin telah menyebar ke limfonodi.

Pada kanker endometrium tipe I atau adenokarsinoma endometrial, FIGO (2010) mengklasifikasikan tiga grade: Grade 1: 5% pola pertumbuhan nonskuamous, nonmorular Grade 2: 6-50% pola pertumbuhan nonskuamous, nonmorular Grade 3: > 50% pola pertumbuhan nonskuamous, nonmorular

Tabel 2.1 Perbedaan Kanker Endometrium Tipe I dan Tipe II Tipe I Premenopause dan perimenopause Keterkaitan dengan estrogen Ya Reseptor estrogen atau progesteron Ada Histologi daerah yang berbatasan Hiperplastik dengan endometrium Lesi prekursor Hiperplasi atipikal Obesitas Ya Paritas Nullipartas Grade atau stadium Rendah (I-II) Subtipe histologis Endometrioid Status menopause Perkembangan gambaran klinis (Horn et.al., 2007) Lambat Tipe II Postmenopause Tidak Tidak ada Atopi/polip kistik EIC Tidak Multiparitas Tinggi (III-IV) Karsinoma sel serosa, Karsinoma clear-cell Cepat

2. Epidemiologi Kanker endometrium merupakan keganasan ginekologi paling umum di Eropa dan Amerika Serikat. Penyakit ini merupakan menyebabkan sebanyak 1-2% dari seluruh kematian yang diakibatkan kanker di Eropa Barat. Sekitar 81.500 wanita mengalami kanker endometrium di Uni Eropa setiap tahunnya dan insidensinya mengalami peningkatan. Rata-rata usia yang terkena adalah 63 tahun dimana 90% penderita berusia lebih dari 50 tahun.

12

Sebagian besar kanker endometrium terjadi setelah menopause, hanya sekitar 25% kasus terjadi sebelum menopause (Plataniotis dan Castiglione, 2010). American Cancer Society memperkirakan insidensi kanker

endometrium di Amerika Serikat pada tahun 2012 sebanyak 98% dari 47.130 kasus kanker corpus uterus yang telah terdiagnosis. Kanker endometrium jarang ditemukan pada wanita berusia kurang dari 40 tahun. Sebagian besar kasus ditemukan pada wanita berusia lebih dari 50 tahun (American Cancer Society, 2012). Di Asia Tenggara, dimana Indonesia termasuk di dalamnya, insiden kanker endometrium mencapai 4,8% dari 670.587 kasus kanker pada perempuan.

3. Etiologi Penyebab kanker endometrium belum diketahui pasti. Tetapi faktor risiko yang paling mempengaruhi adalah ketidakseimbangan hormon. Interaksi reseptor hormon pada permukaan sel kanker endometrium dengan hormon estrogen yang lebih banyak dibandingkan dengan progesteron memicu perkembangan sel tersebut.

4. Faktor Risiko a. Faktor risiko reproduksi dan menstruasi Nullipara memiliki risiko terkena kanker endometrium dibanding multipara. Hal tersebut berhubungan dengan infertilitas. Perubahan biologis pada infertilitas berhubungan dengan siklus anovulasi (terekspose estrogen jangka panjang tanpa progesteron yang cukup), kadar androstenedion serum yang tinggi sehingga terjadi konversi menjadi estron, dan tidak luruhnya lapisan endometrium tiap bulan yang menyebabkan sisa jaringan menjadi hiperplastik (American Cancer Society, 2012). Usia menarche dini (kurang dari 12 tahun) menyebabkan seseorang mengalami menopause lebih lama. Usia saat menopause

13

mempunyai

hubungan

langsung

terhadap

meningkatnya

kanker

endometrium. Wanita yang menopause di atas 52 tahun 2.4 kali lebih berisiko terkena kanker endometrium dibandingkan wanita yang menopause sebelum 49 tahun (American Cancer Society, 2012). b. Faktor hormon Beberapa faktor hormon yang berkaitan dengan kejadian kanker endometrium adalah sebagai berikut: 1) Terapi estrogen pada saat menopause berguna untuk mengurangi gejala yang muncul pada saat menopause. Tetapi pemberian terapi estrogen tunggal tanpa diikuti pemberian progesteron ternyata dapat memicu terjadinya kanker endometrium. 2) Sebagian besar estrogen diproduksi oleh ovarium, tetapi jaringan lemak dapat mengubah hormone lain menjadi estrogen. Kanker endometrium terjadi dua kali lebih sering pada wanita yang overweight dan tiga kali lebih sering pada wanita obese dibanding wanita dengan berat badan ideal. 3) Tamoxifen adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati kanker payudara. Tamoxifen bekerja sebagai anti-estrogen pada jaringan di payudara tetapi bekerja seperti estrogen di uterus. Hal tersebut dapat meningkatkan risiko kanker endometrium. Tetapi kemungkinannya 1:500. 4) Tumor ovarium spesifik yaitu tumor sel granulose-theca sering memproduksi estrogen yang tidak terkontrol. Kadar estrogen meningkat dan menyebabkan ketidakseimbangan hormon yang dapat menstimulasi endometrium dan berisiko terhadap kejadian kanker endometrium. 5) Sindrom ovarian polikistik (polycystic ovarian syndrome) dapat menyebabkan kada androgen dan estrogen yang meningkat dan progesteron yang menurun. Ketidakseimbangan hormoe ini

14

meningkatkan risiko kejadian kanker endometrium (American Cancer Society, 2012). c. Faktor kondisi medis Wanita yang menderita diabetes lebih berisiko empat kali menderita kanker endometrium. Tingginya kadar estron dan lemak dalam plasma pada penderita diabetes memicu terjadinya kanker endometrium. Wanita dengan riwayat kanker kolon hereditary nonpolyposis colon cancer (HNPCC) atau Lynch syndrome dan kanker payudara juga berisiko lebih tinggi. Pasien dengan HNPCC 40-60% lebih berisiko terkena kanker endometrium (American Cancer Society, 2012).

5. Patofisiologi Pada kanker endometrium tipe 1, kelenjar endometrium normal mengalami hiperplasi baik hiperplasia simple atau kompleks karena pengaruh berbagai macam faktor. Terjadinya mutasi ras dan mutasi PTEN menyebabkan berkembangnya kanker endometrium endometrioid grade 1/2. Pada kanker endometrium endometrioid grade 3 kerusakan lebih berat ditandai dengan adanya mutasi p53 (Horn et.al., 2007).

Gambar 2.5 Hipotesis Pathogenesis Kanker Endometrium Tipe 1

15

Pada kanker endometrium tipe 2, proliferasi terjadi dari sel endometrium yang atrofi atau polip kistik yang dipengaruhi oleh faktor risiko lain. Mutasi p53 menyebabkan sel tersebut menjadi karsinoma intraepitel endometrium. Mutasi p53 yang terus berlanjut ditambah adanya amplifikasi HER-2/neu dan kehilangan p16 menyebabkan sel kanker berkembang menjadi karsinoma clear cell atau serosa (Horn et.al., 2007).

Gambar 2.6 Hipotesis Pathogenesis Kanker Endometrium Tipe 2

6. Penegakan Diagnosis a. Anamnesis Sekitar 90% pasien didiagnosis menderita kanker endometrium mengalami perdarahan pervaginam yang tidak normal, seperti perdarahan di antara dua siklus menstruasi atau setelah menopause. Gejala dan tanda seperti itu dapat terjadi bahkan pada penyakit non kanker, tetapi bagi wanita yang sudah mengalami menopause, setiap perdarahan pervagina, spotting, atau abnormal discharge perlu dicurigai. Pada kanker endometrium juga dapat ditemukan nyeri pada bagian pelvis, terdapat benjolan, dan penurunan berat badan. Tanda dan gejala ini lebih sering ditemukan pada kanker stadium lanjut. Riwayat penyakit dahulu atau riwayat penyakit keluarga yang termasuk ke dalam faktor risiko kanker

16

endometrium juga dapat mendukung penegakan diagnosis kanker endometrium (American Cancer Society, 2012). b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan pelvis dilakukan baik dengan pemeriksaan dalam dan inspeculo. Pada pemeriksaan pelvis, tanda-tanda seperti nyeri perut bagian bawah, adanya discharge yang abnormal, dan lesi atau benjolan pada daerah pemeriksaan. Pemeriksaan fisik saja belum dapat menegakkan diagnosis dari kanker endometrium (American Cancer Society, 2012). c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung penegakkan diagnosis kanker endometrium antara lain pemeriksaan darah,

pemeriksaan imaging, dan pemeriksaan sampel jaringan endometrium. 1) Pemeriksaan darah Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan tanda-tanda anemia akibat perdarahan yang terjadi. Pemeriksaan CA 125 dapat menunjukkan adanya keganasan yang berasal dari ovarium dan endometrium. Pada kanker endometrium, kadar CA 125 yang sangat tinggi menunjukkan adanya kemungkinan kanker telah menyebar hingga ke luar dari uterus (American Cancer Society, 2012). 2) Pemeriksaan imaging Pemeriksaan abdomen USG atau transvaginal USG dapat digunakan untuk melihat ketebalan endometrium. Pada kanker endometrium, lapisan endometrium terlihat lebih tebal dari endometrium (>5 mm). Pada USG, kanker endometrium terlihat lesi hiperekoik pada endometrium yang inhomogen, bertepi rata, dan berbatas tegas. Dapat pula dilakukan hysterosonogram dengan memasukkan larutan saline ke dalam uterus sebelum dilakukan USG. Pemeriksaan MRI dapat dilakukan untuk melihat gambaran yang lebih jelas dibandingkan pemeriksaan USG (American Cancer Society, 2012). 3) Pemeriksaan sampel jaringan endometrium

17

Pemeriksaan hisopatologi dapat dilakukan dari sampel jaringan endometrium. Beberapa teknik yang digunakan untuk mengambil sampel jaringan endometrium antara lain: a) Biopsi endometrium b) Histeroskopi c) Kuretase 7. Penatalaksanaan a. Operatif Terapi operatif dapat dilakukan pada kanker endometriosis stage I dan II. Terapi operatif yang dilakukan adalah histerektomi total (TAH), bilateral salphingo-ooforektomi (BSO), dan limfadenektomi. Histerektomi total sering dilanjutkan dengan bilateral salphingo-ooforektomi untuk mencegah kemungkinan adanya sel kanker yang tidak terdeteksi pada ovarium dan tuba falopii yang dapat berkembang. Limfadenektomi dilakukan jika ditemukan sel kanker dalam limfonodi sekitar tumor (Plataniotis dan Castiglione, 2010). Pada kanker endometrium stage I dan II yang tidak dapat dioperasi akibat adanya penyulit seperti obesitas, penyakit jantung, atau diabetes, dapat diobati dengan radioterapi. Pada pasien dengan penyakit intra abdomen seperti asites atau yang berkaitan dengan peritoneum, omentum, ovarium, dan limfonodi, operasi TAH/BSO dan debulking perlu dipertimbangkan. Operasi dapat diikuti dengan radioterapi dan/atau kemoterapi (Plataniotis dan Castiglione, 2010). b. Radioterapi Radioterapi menggunakan sinar radiasi seperti sinar X untuk membunuh sel kanker. Radioterapi dapat diberikan dengan memasukkan materi radioaktif ke dalam tubuh atau radioterapi internal yang disebut brachytherapy atau diberikan dari luar tubuh atau radioterapi eksternal. 1) Vaginal Brachyteraphy (VB) merupakan cincin dengan sumber radiasi yang dimasukkan ke dalam vagina. Terdapat dua jenis VB, low-dose

18

rate (LDR) dan high-dose rate (HDR). Pada LDR VB cincin diletakkan sekitar 1-4 hari dan pasien diminta untuk tidak bergerak, sedangkan pada HDR VB pasien diberikan dalam waktu singkat kurang dari satu jam 2) External beam radiation therapy (radioterapi eksternal). Radioterapi eksternal diberikan lima hari dalam satu minggu selama 4-6 minggu. (American Cancer Society, 2012) c. Kemoterapi Kemoterapi merupakan terapi sistemik yang diberikan untuk membunuh sel kanker maupun menghambat pertumbuhan sel kanker termasuk untuk sel kanker yang sudah bermetastasis jauh. Cara kerja obat kemoterapi adalah dengan mengganggu perkembangan siklus sel tumor. Obat kemoterapi aktif pada saat sel bereproduksi. Namun, efek samping obat kemoterapi juga dapat mengganggu siklus sel yang sehat. Terdapat beberapa jenis kemoterapi: 1) Terapi adjuvan, merupakan kemoterapi yang diberikan setelah operasi. Dapat diberikan tunggal atau bersamaan dengan radioterapi untuk membunuh sel kanker yang bermetastasis. 2) Terapi neoadjuvan, merupakan kemoterapi yang diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan massa tumor. 3) Kemoterapi primer, merupakan kemoterapi yang diberikan tunggal hanya untuk mengontrol gejalanya pada kasus kanker dengan kemungkinan kecil untuk diobati. 4) Kemoterapi induksi, merupakan kemoterapi pertama yang digunakan sebelum terapi berikutnya. 5) Kemoterapi kombinasi, merupakan kemoterapi dengan 2 atau lebih agen kemoterapi. Pemberian kemoterapi dapat secara per oral seperti chlorambucil dan etoposide, intramuskulus (IM) seperti bleomicin dan methotreaxate, intravena (IV), intraarteri, dan intraperitoneal.

19

Syarat pemberian kemoterapi adalah pasien harus memiliki keadaan umum yang cukup baik, pasien memahami tujuan pengobatan dan efek samping yang dapat ditimbulkan, fungsi ginjal dan hati baik, sesuai antara diagnosis histopatologi dengan terapi yang diberikan, jenis kanker cukup sensitiv, pemeriksaan lab Hb>10gr/dL, leukosit >5000/mm3, trombosit >150.000/mm3. Beberapa sediaan kemoterapi yang digunakan pada kanker endometrium adalah: 1) Kemoterapi adjuvan: Doxorubicin 50-60 mg/m2, Cis-platinum 60 mg/m2 dengan interval 3 minggu. 2) Kemoradiasi: Cis-platinum 20-40 mg/m2 setiap minggu diberikan selama 5-6 minggu, Xeloda 500-1000 mg/hari per oral, Gemcitabine 300 mg/m2, Paclitacel 60-80 mg/m2 setiap minggu diberikan selama 5-6 minggu, dan Docetaxel 20 mg/m2 setiap minggu diberikan selama 5-6 minggu Rekomendasi pemberian kemoterapi adalah sebagai berikut: 1) Tumor stadium lanjut atau rekuren diberikan kemoterapi dengan cisplatin/doxorubicin/paclitaxel. 2) Tumor stadium lanjut atau rekuren dengan respetor positif dan/atau grade I atau II diberikan terapi hormonal berupa oral progestin atau magestrol asetat. 3) Tumor stadium III-IVA dilakukan operasi dan kemoterapi adjuvan. d. Terapi hormonal Terapi dengan menggunakan hormon atau penghalang hormon bertujuan untuk melawan perkembangan kanker. Berikut terapi hormon yang dapat diberikan: 1) Progestin. Merupakan analog progesteron. Obat paling sering diberikan adalah medroxyprogesterone acetate dan megestrol acetate. Obat ini bekerja untuk memperlambat pertumbuhan sel kanker.

20

2) Tamoxifen. Merupakan anti-estrogen yang biasa digunakan untuk kanker payudara, Tujuan pemberian tamoxifen adalah untuk mencegah sirkulasi estrogen yang membantu pertumbuhan sel kanker. 3) Agonis GnRH. Merupakan obat yang bekerja untuk menurunkan produksi estrogen sehingga kadar estrogen akan berkurang. Contoh agonis GnRH antara lain goserelin dan leuprolide yang diinjeksi setipa 1 hingga 3 bulan. 4) Aromatase inhibitor. Aromatase inhibitor bekerja untuk mencegah sintesis estrogen. Contoh aromatase inhibitor antara lain letrozole, anastrozole, dan exemestane. (American Cancer Society, 2012) Tatalaksana kanker endometrium menurut staging: a. Stage I Kanker endometrium stage I dapat diterapi dengan operasi. Kanker endometrium dengan grade tinggi dapat diterapi operatif TH/BSO, limfadenektomi, dan omentektomi. Setelah operasi, kemoterapi dan/atau radioterapi diberikan untuk mencegah kanker kambuh lagi. b. Stage II Kanker endometrium stage II dapat diterapi dengan operasi seperti pada stage I. Radikal histerektomi, BSO, dan limfadenektomi dapat dilakukan. Radioterapi dapat diberikan sesudah operasi untuk mencegah kanker kambuh lagi atau diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan kanker sehingga histerektomi yang dilakukan lebih sederhana. Kemoterapi juga setelah operasi untuk mencegah kanker kambuh lagi. c. Stage III Kanker endometrium stage III diterapi seperti kanker endometrium grade tinggi. d. Stage IV Kanker endometrium stage IV dapat diterapi operatif dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan. Terapi operatif diikuti dengan radioterapi dan

21

kemoterapi. Apabila kanker endometrium sudah menyebar jauh maka terapi hormonal dapat digunakan. Terapi hormonal yang digunakan antara lain progestin dan tamoxifen. Penggunaan aromatase inhibitor masih dalam penelitian. e. Kanker endometrium rekuren Kanker endometrium dapat kambuh kembali dan bersifat lokal maupun jauh. Kanker endometrium kambuh yang bersifat lokal dapat diterapi dengan operasi yang diikuti dengan radioterapi. Apabila operasi tidak memungkinkan, kombinasi radioterapi dan terapi hormon dapat diberikan. Kanker endometrium kambuh yang menyebar jauh dapat diterapi dengan operasi dan radioterapi yang terfokus. Apabila kanker sudah menyebar luas maka terapi yang diberikan sama dengan kanker stage IV. (American Cancer Society, 2012)

22

BAB III PEMBAHASAN

Adenomiosis adalah kondisi non-malignan dari uterus yang ditandai dengan adanya kelenjar atau stroma endometrium di miometrium. Adenomiosis juga dikenal sebagai endometriosis interna atau endometriosis uteri. Pada pasien adenomiosis sering ditemukan hiperplasi dan hipertrofi dari uterus yang menyebabkan pembesaran uterus. Gejala klinik yang sering muncul adalah perdarahan abnormal uterus dan nyeri pelvis yang kronik, walaupun sering kali adenomiosis asimptomatis. Adenomiosis didiagnosis setelah dilakukan pemeriksaan histopatologis pada spesimen histerektomi meskipun diagnosis melalui MRI saat ini semakin dipergunakan (Shrestha et.al., 2012). Pada pemeriksaan histopatologis, adenomiosis sering ditemukan bersamaan dengan patologi uterus yang lain seperti leiomioma (3555%), endometriosis pelvis (6-20%), salphingitis (1.4-19.8%), polip endometrium (2.3%), hiperplasia endometrium dengan atau tanpa atipia (10.5%), dan kanker endometrium (1.4%) (Ferenczy, 1998) Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa adenomiosis paling sering ditemukan bersama dengan mioma uteri (52%) dan polip uteri (16.3%) (Gn et.al., 2012). Hal tersebut dapat disebabkan adanya kesamaan patogenesis antara adenomiosis, mioma uteri, dan polip uteri. Ketiga penyakit tersebut mampu berkembang karena adanya ketidakseimbangan hormonal. Paparan hormon estrogen yang tinggi dan dalam waktu yang lama yang menyebabkan perkembangan ketiga penyakit tersebut. Bahkan seringkali adenomiosis yang berkembang secara fokal tidak dapat dibedakan dengan leiomioma atau mioma uteri hanya dari gambaran klinisnya (Ferenczy, 1998). Kanker endometrium merupakan kanker ginekologi yang sering ditemukan, terutama di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, kanker endometrium merupakan kanker ginekologi paling umum ditemukan dan menempati urutan keempat dalam penyebab kematian akibat kanker. Insidensi kanker endometrium masih rendah pada beberapa daerah seperti di India dan Asia Tenggara. Kanker endometrium yang

23

paling umum ditemukan merupakan tipe adenokarsinoma (61-71%), karsinoma adenoskuamosa dan adenoacanthoma (14-24%), serta tumor serosa papiler dan karsinoma clear cell. Diagnosis kanker endometrium dapat ditegakkan dengan bantuan beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan marker CA 125, USG transvaginal, dan MRI. Gold standard penegakan diagnosis kanker endometrium adalah pemeriksaan histopatologi spesimen endometrium (Chhabra dan Tembhare, 2009). Penelitian Gn et.al. (2012) menunjukkan bahwa kanker endometrium dapat ditemukan dengan beberapa patologi lain seperti mioma uteri (19.3%) dan hiperplasia endometrium (12.3%). Kesamaan faktor risiko berupa ketidakseimbangan hormonal masih menjadi hal yang digunakan untuk menjelaskan kondisi tersebut. Bahkan terdapat hipotesis bahwa kanker endometrium dapat berasal dari hiperplasia endometrium (Chhabra dan Tembhare, 2009). Adenomiosis sangat jarang ditemukan bersamaan dengan kanker

endometrium. Kedua penyakit itu secara statistik tidak berhubungan ditunjukkan dengan hanya ditemukannya 11 dari 472 kasus adenomiosis yang disertai dengan kanker endometrium (p=0.771) (Gn et.al., 2012). Sebuah kasus kanker endometrium berasal dari adenomiosis didasarkan pada tiga kriteria Sampson: 1. Karsinoma tidak berasal dari endometrium atau pelvis. 2. Karsinoma harus menunjukkan transisi dari benigna ke maligna. 3. Terdapat sel stroma endometrium (Kazandi et.al., 2010; Puppa et.al., 2007) Ketidakterkaitan kedua penyakit ini dapat ditinjau dari patofisiologi kedua penyakit tersebut yang berbeda. Adenomiosis merupakan kondisi non-malignan dimana terjadi perkembangan sel endometrium pada miometrium akibat invasi sel endometrium ke miometrium sehingga terjadi kerancuan batas pada pertemuan lapisan endometrium dan miometrium. Kanker endometrium dihipotesiskan berkembang dari hiperplasia endometrium atau terjadinya mutasi p53. Penemuan adenomiosis yang ditemukan bersama dengan kanker endometrium dibahas dalam beberapa penelitian case report. Puppa et.al. (2007) melaporkan kasus adenokarsinoma endometrioid diferensiasi moderat yang berkembang dari

adenomiosis dengan metastasis ke limfonodi iliaka. Kasus tersebut dapat terjadi

24

karena diyakini bahwa baik kondisi benigna dan maligna pada uterus dipengaruhi oleh hormon dan memiliki fakor risiko yang sama seperti obesitas dan pemberian terapi pengganti hormon. Pada adenomiosis (endometriosis interna) terjadi produksi berlebih estrogen lokal yang dapat disebabkan aktivitas aromatase. Aromatase distimulasi oleh peningkatan enzim cyclo-oxygenase-2 (COX-2). COX-2 ternyata memiliki peran pada proses terbentuknya kanker endometrium terutama pada progresifitas tumor dan fase transformasi neoplastik pada hiperplasi endometrium. Mutasi p53 sebagai gen suppressor tumor terjadi pada kanker endometrium ternyata dapat ditemukan pula pada glandula adenomiosis. Hal tersebut mendukung hipotesis bahwa terdapat karsinogenesis pada adenomiosis. Pada kasus lain dimana adenokarsinoma berasal dari adenomiosis tanpa adanya keterlibatan endometrium, hipotesis didasarkan kembali pada pengaruh hormonal. Fokal adenomiosis berasal dari lapisan basal endometrium yang memiliki kemampuan untuk tumbuh. Apabila terdapat stimulasi estrogen, perubahan proliferasi dapat mengarah pada hiperplasi dan kemudian menjadi karsinoma. Kasus sejenis yang dilaporkan Toshiki et.al. (2001) ditemukan ekspresi fokal p53 (gen suppressor tumor) dan antigen Ki-67 (onkogen) yang mengarah pada adanya karsinogenesis kanker endometrium dari adenomiosis (Cuoto et.al., 2004). Sebagian besar kasus kanker endometrium yang berasal dari fokal adenomiosis merupakan adenokarsinoma dimana keterlibatan hormon masih berperan besar. Tetapi, pada beberapa penelitian dapat pula ditemukan kasus adenokarsinoma yang muncul dari adenomiosis yang memiliki sedikit estrogen receptor (ER) maupun progesterone receptor (PR) yang mengindikasikan pertumbuhan kanker endometrium yang non-hormonal-dependent (Kazandi et.al., 2010). Kasus kanker endometrium yang berasal dari adenomiosis masih sangat sulit untuk ditemukan. Oleh karena itu, belum dapat ditemukan pathogenesis pasti bagaimana adenomiosis yang bersifat jinak dapat menjadi sebuah keganasan. Kelangkaan kasus juga menyebabkan hubungan antara kedua kasus tersebut tidak signifikan secara statistik.

25

BAB IV KESIMPULAN

1. Adenomiosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya kelenjar dan stroma endometrium di miometrium. Kanker endometrium adalah kanker yang berasal dari sel endometrium. 2. Tidak terdapat hubungan antara frekuensi kejadian adenomiosis dengan kejadian kanker endometrium pada spesimen histerektomi secara statistik. 3. Adenomiosis lebih sering tidak berubah menjadi kanker endometrium karena perbedaan pathogenesis kedua penyakit tersebut. 4. Adenomiosis dapat berubah menjadi kanker endometrium karena adanya kesamaan faktor risiko dan keterlibatan gen suppressor tumor yang menyebabkan karsinogenesis dapat terjadi.

26

DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. 2012. Endometrial (Uterine) Cancer. Available at www.cancer.org Chhabra S. dan Tembhare A. 2009. Current Status of Endometrial Carcinoma (Risk to Reccurence). J MGIMS, 14, No (ii):18 - 23 Cuotto D., Mota F., Silva T., dan deOliveira C. 2004. Adenocarcinoma Arising in Adenomyosis: Report of An Unusual Case. Acta Obstet Gynecol Scand, 83: 406-408 Enakpene C.A. dan Muneyyirci-Delale O. 2012. Association between Etiopathogenesis of Morbidly Adherent Placenta and Adenomyosis. Open Journal of Obstetrics and Gynecology, 2:321-324 Eroschenko, V.P. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional Edisi 11. Jakarta: EGC Ferenczy, A. 1998. Pathophysiology of Adenomyosis. Human Reproduction Update, 4(4):312-322 Gn , ner , Bodur S, zdamar , dan Atay V. 2012. Is Adenomyosis Associated with The Risk of Endometrial Cancer? Medicinski Glasnik; 9(2):268-272 Horn L., Meinel A., Handzel R., dan Einenkel J. 2007. Histopathology of Endometrial Hyperplasia and Endometrial Carcinoma: An Update. Annals of Diagnostic Pathology, 11:297311 Kazandi M., Zeybek B., Terek M.C., Zekioglu O., Ozdemir N., Oztekin K. 2010. Grade 2 Endometrioid Adenocarcinoma Arising from Adenomyosis of The Uterus: Report of A Case. Eur. J. Gynaec. Oncol., 6: 719-721 Moore, K. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipocrates Plataniotis G. dan Castiglione M. 2010. Endometrial Cancer: ESMO Clinical Practical Guidelines for Diagnosis, Treatment, and Follow-Up. Annals of Oncology (Supplement 5): v41-v45 Puppa G., Shozu M., Perin T., Nomura K., Gloghini A., Compagnutta E., dan Canzioneri U. 2007. Small Primary Adenocarcinoma in Adenomyosis with Nodal Metastasis: A Case Report. BMC Cancer, 7: 103 Shrestha A., Shrestha R., Sedhai LB., dan Pandit U. 2012. Adenomyosis at Hysterectomy: Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopathological Findings. Kathmandu Univ Med J; 37(1):53-6

Anda mungkin juga menyukai