Anda di halaman 1dari 54

DISPEPSIA Dispepsia berasal dari bahasa Yunani "-" (Dys-), berarti sulit , dan "" (Pepse), berarti pencernaan

(N.Talley, et al., 2005). Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu : 1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain. 2. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan). Definisi lain, dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau dada, yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh atau rasa sakit atau rasa terbakar di perut. Setiap orang dari berbagai usia dapat terkena dispepsia, baik pria maupun wanita. Sekitar satu dari empat orang dapat terkena dispepsia dalam beberapa waktu (Bazaldua, et al, 1999).

Etiologi

a. Perubahan pola makan

b. Pengaruh obat-obatan yang dimakan secara berlebihan dan dalam waktu yang lama

c. Alkohol dan nikotin rokok

d. Stres

e. Tumor atau kanker saluran pencernaan

Manifestasi Klinik

a. nyeri perut (abdominal discomfort)

b. Rasa perih di ulu hati

c. Mual, kadang-kadang sampai muntah

d. Nafsu makan berkurang

e. Rasa lekas kenyang

f. Perut kembung

g. Rasa panas di dada dan perut

h. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba)

Patofisiologi

Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla

oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan.

7. Pencegahan

Pola makan yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak mengkomsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol, dan pantang rokok, bila harus makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung.

8. Penatalaksanaan Medik

a. Penatalaksanaan non farmakologis

1) Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung

2) Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang peda, obat-obatan yang berlebihan, nikotin rokok, dan stres

3) Atur pola makan

b. Penatalaksanaan farmakologis yaitu:

Sampai saat ini belum ada regimen pengobatan yang memuaskan terutama dalam mengantisipasi kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena pross patofisiologinya pun masih belum jelas. Dilaporkan bahwa sampai 70 % kasus DF reponsif terhadap placebo.

Obat-obatan yang diberikan meliputi antacid (menetralkan asam lambung) golongan antikolinergik (menghambat pengeluaran asam lambung) dan prokinetik (mencegah terjadinya muntah)

9. Test Diagnostik

Berbagai macam penyakit dapat menimbulkan keluhan yang sama, seperti halnya pada sindrom dispepsia, oleh karena dispepsia hanya merupakan kumpulan gejala dan penyakit disaluran pencernaan, maka perlu dipastikan penyakitnya. Untuk memastikan penyakitnya, maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan, selain pengamatan jasmani, juga perlu diperiksa : laboratorium, radiologis, endoskopi, USG, dan lain-lain.

a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti: pankreatitis kronik, diabets mellitus, dan lainnya. Pada dispepsia fungsional biasanya hasil laboratorium dalam batas normal.

b. Radiologis

Pemeriksaan radiologis banyak menunjang dignosis suatu penyakit di saluran makan. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran makan bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda.

c. Endoskopi (Esofago-Gastro-Duodenoskopi)

Sesuai dengan definisi bahwa pada dispepsia fungsional, gambaran endoskopinya normal atau sangat tidak spesifik.

d. USG (ultrasonografi)

Merupakan diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi klien yang beratpun dapat dimanfaatkan

e. Waktu Pengosongan Lambung

Dapat dilakukan dengan scintigafi atau dengan pellet radioopak. Pada dispepsia fungsional terdapat pengosongan lambung pada 30 40 % kasus.

Terapi Farmakologi 1. Antasid Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Campuran yang biasanya terdapat didalam antacid adalah Na Bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan MG trisilikat. Pemakaian obat ini sebaiknya jangan diberikan terus menerus, sifatnya hanya sistematis untuk mengurangi rasa nyeri Antasid mempunyai durasi yang singkat, membutuhkan pemberian berulang ulang dalam sehari untuk menghasilkan penetralan asam yang terus menerus.

Pemberiannya sesudah makan dan pada saat akan tidur. 2. Antagonis reseptor H2

Ransangan reseptor H2 akan memicu eksresi asam lambung, antagnis berfungsi dalam menghambat proses ini. Contoh obatnya adalah : Ranitidin, Simetidin,

Famotidin dan Nizatidin ) biasanya diberikan dalam dosis standar 2 x sehari. 3. Penghambat pompa proton PPI menghambat sekresi lambung dengan cara menghambat H
+

/ K

ATPase yang

ada dalam sel parietal lambung yang menimbulkan efek anti sekresi yang kuat dan tahan lama. PPI terurai dalam lingkungan asam oleh karena itu PPI diformulasi dalam bentuk kapsul atau tablet lepas lambat. Contoh obatnya : omeprazol, esomeprazol dan lansoprazol. Pasien disarankan untuk menggunakan PPI oral pada pagi hari sekitar 15 30 menit sebelum sarapan untuk mencapai hasil yang maksimal, karena obat ini hanya menghambat pompa proton yang diaktifkan. 4. Stimulan Motilitas Metoklopramida dan domperidon bermanfaat untuk pengobatan dyspepsia non tukak. Kedua obat tersebut bermanfaat untuk mengatasi mual dan muntah non spesifik. 5. Pelindung Mukosa / Sitoprotektif Sukralfat adalah garam aluminium dari sucrose sulfat yang bekerja lokal pada T raiktus gastro intestinal dan hamper tidak diabsorpsi, membentuk suatu rintangan sitoprotektif pada sisi ulkus sehingga menahan degradasi oleh asam dan pepsin. Sukralfate bekerja dengan 3 cara : a. Membentuk suatu kompleks kimiawi pada sisi ulkus dan menghasilkan suatu rintangan pelindung. b. c. Menghambat kerja dari asam, pepsin dan empedu secara langsung Memblok diffusi asam lambung melintasi rintangan mukosa.

Obat golongan penekan asam lambung

(antasida, H2 blocker, dan proton pump inhibitor) Obat golongan sitoproteksi : sukralfat,rebamipid Antibiotika : infeksi Helicobacter pylori (amoksisilin, Claritromisin, dan metronidazol)

ASKEP APENDISITIS Pengertian Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).

Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks ( Anonim, Apendisitis, 2007)

Klasifikasi Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni : Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.

Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua. Anatomi dan Fisiologi Appendiks merupakan organ yang kecil dan vestigial (organ yang tidak berfungsi) yang melekat sepertiga jari. Letak apendiks. Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat.

Etiologi Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid. (Irga, 2007) Patofisiologi Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang terinflamasi berisi pus. Manifestasi Klinik Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita

merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8 Celsius.

Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok. (Anonim, Apendisitis, 2007) Pemeriksaan diagnostik Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah: Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Muntah oleh karena nyeri viseral. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus). Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri. Pemeriksaan yang lain Lokalisasi. Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi paling terasa nyeri pada daerah titik Mc. Burney. Jika sudah infiltrat, lokal infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan sakit, dan kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc. Burney. Test rektal. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi. Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang.

Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal. Pemeriksaan radiologi Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma. Penatalaksanaan

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Konsep Asuhan Keperawatan Sebelum operasi dilakukan klien perlu dipersiapkan secara fisik maupun psikis, disamping itu juga klien perlu diberikan pengetahuan tentang peristiwa yang akan dialami setelah dioperasi dan diberikan latihan-latihan fisik (pernafasan dalam, gerakan kaki dan duduk) untuk digunakan dalam periode post operatif. Hal ini penting oleh karena banyak klien merasa cemas atau khawatir bila akan dioperasi dan juga terhadap penerimaan anastesi. IBD - Penyakit Radang Usus Artikel Gambar Penyakit Radang Usus : Panduan Visual IBD

Penyakit Radang Usus Itu Apa? Penyakit radang usus (IBD) mengacu pada kondisi kronis yang menyebabkan peradangan pada beberapa bagian usus. Dinding usus menjadi bengkak, meradang, dan mengembangkan bisul, yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan masalah pencernaan serius. Gejala yang tepat tergantung pada bagian mana dari saluran pencernaan yang terlibat.

Jenis IBD: Penyakit Crohn Penyakit Crohn adalah bentuk IBD yang dapat terjadi di mana saja di sepanjang saluran pencernaan mulai dari mulut hingga anus. Hal ini mempengaruhi lapisan yang lebih dalam pada lapisan pencernaan dan dapat terjadi sebagai "skip lesions " antara daerah yang sehat. Crohn sering melibatkan usus kecil, usus besar, atau keduanya. jaringan Internal dapat mengembangkan dangkal, daerah seperti kawah atau luka yang lebih dalam dan berpola batu bulat, seperti yang terlihat di sini.

Jenis IBD: Ulcerative Colitis Tidak seperti penyakit Crohn, ulcerative colitis hanya melibatkan usus besar dan rektum. Peradangan dan bisul biasanya hanya mempengaruhi lapisan terdalam di wilayah ini, dibandingkan dengan luka yang lebih dalam yang terlihat pada penyakit Crohn. Seringkali hanya usus bagian bawah (sigmoid) yang terpengaruhi, tetapi juga dapat terjadi pada bagian lebih atas. Semakin banyak usus besar yang terkena, akan semakin buruk gejalanya.

Gejala IBD Gejala-gejala kolitis ulserativa dan penyakit Crohn serupa:


Sakit perut atau kram Diare beberapa kali sehari Berak Darah Kehilangan Berat badan

Gejala IBD lainnya Orang dengan IBD mungkin mengalami gejala di luar saluran pencernaan, seperti: Masalah kulit dan sariawan Arthritis Masalah mata yang mempengaruhi penglihatan

Apa Penyebab IBD? Dokter tidak yakin apa yang menyebabkan IBD. Tetapi kebanyakan orang percaya bahwa telah terjadi sesuatu yang memicu sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan reaksi inflamasi yang tidak sehat di saluran pencernaan. Penelitian yang sedang berlangsung telah menemukan gen spesifik yang terkait dengan ulcerative colitis dan penyakit Crohn.

Siapa Yang Mendapat IBD? IBD menyerang pria dan wanita secara sama. Hal ini paling sering dimulai pada usia remaja atau menuju dewasa, namun dapat berkembang pada saat lain juga. Orang dengan riwayat keluarga IBD paling tidak 10 kali lebih mungkin untuk mengembangkan kondisi ini dibandingkan dengan yang tidak memiliki sejarah keluarga. Orang kaukasia dan orang-orang keturunan Yahudi juga memiliki risiko tinggi.

IBD Bukanlah IBS IBD kadang-kadang dibingungkan dengan IBS, singkatan dari irritable bowel syndrome (sindrom iritasi usus besar). Kedua kondisi dapat menyebabkan masalah pencernaan kronis, tetapi ada perbedaan yang signifikan antara keduanya. Orang dengan IBD memiliki peradangan, luka, dan kerusakan lainnya yang terlihat di dalam saluran pencernaan. Sebaliknya, tidak ada kerusakan di IBS, meskipun gejala seperti kram, diare, dan sembelit. IBS lebih umum tetapi kurang serius dibanding IBD.

Pengobatan IBD (Inflammatory Bowel Disease) Pasien IBD biasanya makannya harus diatur. Makan makanan tertentu seperti buah-buahan dan sayuran yang menimbulkan gas, kafein dan makanan berlemak, dapat memperburuk keadaan. IBD dengan kondisi ringan sampai moderat biasanya diobati dengan sulfasalazine atau 5-ASAs. Peradangan yang lebih serius mula-mula diobati dengan steroid, lalu terapi jangka panjang dengan obat anti peradangan. Modulator sistem kekebalan juga efektif untuk pengobatan penyakit yang parah. Dalam pengobatan, para dokter biasanya juga meresepkan antibiotik untuk mengendalikan bakteria yang bisa lebih memperburuk keadaan. Penderita penyakit IBD yang parah biasanya dianjurkan untuk menjalani diet makanan cair atau diinfus untuk memberikan kesempatan sembuh kepada pencernaannya. Walaupun obat-obatan bisa meringankan gejala penyakit, tapi cara paling baik adalah colectomy, atau operasi untuk mengangkat colon. Operasi ini dilakukan dengan membuang 10 sampai 15 persen colon. Di masa lalu, pasien biasanya menjalani ileostomy atau pembedahan pada perut, dimana kotoran pasien ditampung dalam kantung plastik. Tapi sekarang ini telah ada dua macam prosedur baru untuk menghindari penggunaan kantung plastik penampung yang merepotkan itu. Begitu pula pasien yang telah menjalani ileostomy dapat menjalani pembedahan kedua untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Prosedur pertama adalah apa yang disebut 'fecal continent ileostomy, yakni penggunaan sebagian dari usus kecil untuk dijadikan sebagai penampungan kotoran di dalam perut, Beberapa kali dalam sehari, pasien memasukkan suatu selang ke dalam lubang kecil pada perutnya untuk mengeluarkan kotoran cair. Pasien yang memiliki otot usus yang berfungsi baik, bisa menjalani ileo-anal pouch anastomosis, yang dalam prosesnya juga dilakukan pembuatan kantung, tapi dipasang pada anus sehingga pasien dapat buang kotoran dengan cara normal. Walaupun demikian, frekuensi buang air akan tetap lebih Bering dan kotorannya akan lebih banyak berwujud cair. Walaupun pembedahan tidak bisa menyembuhkan penyakit secara tuntas, tapi hal itu tetap perlu dilakukan. Bila tidak ditempuh, bisa terjadi komplikasi seperti penyumbatan usus atau terjadinya lubang pada usus. Read more: http://www.heqris.com/2009/08/IBS dan IBD, Dua Jenis Penyakit Perut#ixzz2MfnWrNx3

Apakah IBD? IBD adalah penyakit yang baru dikenali pada kucing dan disebutkan dalam literatur-literatur veteriner terbaru. Penyebab penyakit ini belum ditentukan secara pasti, namun berbagai teori telah dikemukakan. Di antara teori-teori tersebut yang banyak mendapat dukungan dari para akademisi mengatakan bahwa IBD adalah penyakit yang secara tidak langsung diakibatkan oleh sistem reaksi sistem imune hipersensitif yang tidak mampu membedakan antigen-antigen, termasuk bakteri saluran pencernaan dan makanan.

Adapun di antara hal-hal yang mengakibatkan aktivitas sistem imune berlebihan adalah; cedera, infeksi, parasit, alergi makanan, jamur atau kanker. Secara mikroskopis IBD ditandai dengan perembesan sel-sel yang meradang ke dalam dinding (mucosa) saluran pencernaan. Perembesan ini dapat mengakibatkan infeksi lebih lanjut atau merembesnya protein ke dalam dinding saluran pencernaan. Gejala-gejala IBD: 1. Muntah

2. Diare

3. Kehilangan berat badan

4. Nafsu makan yang normal / bertambah

5. Suara perut

6. Kotoran yang berwarna kehitaman dan lembek

7. Kembung (karena pendarahan di saluran pencernaan)

8. Nafas yang bau (halitosis)

9. Rasa haus berlebihan

10. Rasa sakit di perut

Inflammatory Bowel Disease adalah suatu kondisi pada usus yang terinfiltrasi secara kronis oleh sel radang. Adanya sel radang mengindikasikan adanya peradangan pada usus akibat respon tubuh. Sel radang yang terlibat yaitu eosinofil yang umum terdapat pada radang, neutrofil yang berperan pada infeksi bakteri, dan limfosit berperan dalam respon imun. Ketika organisme asing menyebabkan iritasi mengakibatkan pergerakan usus lebih cepat. Jika terjadi terus menerus menyebabkan usus menjadi radang dan menebal. Infeksi pada usus mengakibatkan usus menjadi rapuh dan rentan terhadap organisme asing. Perubahan ini mengakibatkan gangguan terhadap penyerapan makanan . Pada anjing, perkembangan IBD diduga sebagai akibat dari deregulasi kekebalan mukosa yang cenderung pada hewan . Hilangnya toleransi terhadap antigen (makanan, bakteri usus, dll) adalah salah satu mekanisme yang paling banyak dipelajari yang bisa memperjelas perkembangan peradangan usus kronis. Dasar imunmediasi dari penyakit ini adalah pemberian obat immunomodulant, kehadiran meningkatkan sel IgE positif pada anjing sakit dibandingkan

dengan anjing sehat adalah aspek lebih lanjut yang menunjukkan keterlibatan reaksi hipersensitivitas dalam patogenesis IBD anjing, serta peningkatan konsentrasi eosinofil dan sel mast banyak pada anjing dengan EGE. Gangguan penghalang mukosa, terlepas dari penyebab primer (bakteri, kimia, dll), juga dapat menyebabkan paparan antigen lebih lanjut, yang memungkinkan proses untuk menjadi kronis , dan diberlakukan oleh apoptosis limfosit menurun, seperti yang ditunjukkan dalam anjing dengan IBD dibandingkan dengan anjing kontrol. Mirip dengan manusia, studi tentang IBD pada anjing yang terkena dampak telah menyebabkan hipotesis bahwa faktor genetik dan bakteri enterik dapat memainkan peran penting dalam patogenesis gangguan ini, karena respon abnormal terhadap mikroflora usus komensalSelain itu, karena sudah terkenal pada manusia, penelitian terbaru menunjukkan bahwa pada anjing IBD, bakteri usus kecil adalah berbeda dengan yang ditemukan pada anjing sehat, memperkuat gagasan tentang korelasi antara mikroflora dan IBD. Infiltrasi dari IBD adalah:

Lymphocytic-plasmacytic Eosinofilik Histiocytic

Gejala klinis dari IBD pada anjing banyak dan spesifik; tanda-tanda klinis yang paling umum adalah penurunan berat badan, terus-menerus atau muntah berulang dan / atau diare [, sering dikaitkan dengan gejala yang merupakan ekspresi komplikasi akhirnya, seperti asites (jika hypoal-buminemia hadir) atau pucat pada membran mukosa (dalam kasus perdarahan gastrointestinal kronis)], pembesaran abdomen dan darah serta lendir pada feses, PLE : albumin rendah, globulin rendah, + / Asites. Penyebab dari IBD antara lain nutrisi yang buruk, infeksi parasit, genetik dan gangguan sistim imun. Gejala paling umum dari IBD pada anjing adalah DIARE KRONIS (usus kecil atau kolitis) Diagnosa IBD penting tanpa pengecualian karena semua kemungkinan penyebab lain dari enteritis kronis hampir sama. Pemeriksaan yag dilakukan adalah pemeriksaan klinis lengkap, tes laboratorium dan investigasi instrumental, termasuk sampel biopsi untuk penilaian histologis. Diagnosis histologis :

Perbedaan antara normal dan ringan IBD sangat sulit Perbedaan antara L / P IBD dan lymphosarcoma masih sangat sulit

Pada anjing, diagnosis IBD dilakukan tanpa terkecuali, jelas bahwa banyak tes dilakukan selama diagnostic iter (misalnya darah, urin dan tinja pemeriksaan) yang diperlukan untuk menyingkirkan penyebab lain dari peradangan, dan jarang ada penyebab khusus untuk IBD. Dengan demikian, tidak ada dugaan awal pada saat diagnosa. Aspek ini sangat penting, karena jika penyebab IBD salah didiagnosa dan diperlakukan sebagai enteritis kronis, hal ini tidak mungkin untuk diselesaikan. Dalam mendiagnosis IBD, diagnostik Instrumental sangat penting . Tiga teknik yang paling sering digunakan , yaitu radiologi (XR), ultrasonografi (AS) dan endoskopi, tetapi hasil akhir informasi lebih spesifik untuk diagnosis IBD, terutama yang menggunakan sampel biopsi, karena sangat diperlukan untuk membedakan berbagai subtipe infiltrasi mukosa. XR dan US (yang memberikan info penting tentang lapisan usus dan ketebalan dinding) tampaknya lebih

bermanfaat untuk mengesampingkan kemungkinan penyebab lain, dan karena pentingnya informasi tentang penebalan dinding usus pada anjing menderita IBD dapat dijadikan acuan. Ada 3 dasar dalam mendiagnosa IBD :

tanda-tanda klinis harus berkorelasi dengan bukti histologis gastroenteritis Penyakit lain menyebabkan peradangan usus sudah dihilangkan infiltrat sel radang ( Sedang hingga parah )

Inflammatory Bowel Disease dapat diatasi dengan cara :

Pengaturan diet makanan : cara ini digunakan bila penyebab berasal dari faktor makanan. Penggantian sumber protein dan karbohidrat yang sebelumnya tidak pernah diberikan seperti kentang dan keju. Pengobatan imunosupresan : obat-obatan dapat digunakan untuk mengurangi peradangan seperti obat-obatan yang tergolong kortikosteroid. Antibiotik : antibiotik diberikan untuk mengurangi jumlah bakteri yang menyebabkan penyakit. Deworming : diberikan pada infeksi cacing Prebiotik dan Probiotik : diberikan uintuk meningkatkan bakteri yang menguntungkan pada usus. Diet makanan yang mengandung serat tinggi : makanan yang mengandung serat tinggi menguntungkan pada kasus IBD, karena serat akan meningkatkan pengeluaran feses sehingga merangsang pergerakan usus menjadi normal.

Langkah Perawatan IBD :


diet modifikasi Metronidazole (Flagyl) Kortikosteroid obat imunosupresif (azathioprine = Imuran)

Antimikroba terapi :

Pilihan terbaik dalam IBD pada usus kecil diare: Metronidazol - Anaerobik aktivitas - Menghambat imunitas seluler - Antiprotozoal aktivitas pada dosis lebih tinggi Tylosin (Tylan) untuk IBD colitis

Terapi imunosupresif :

Prednison atau prednisolon Dosis tinggi untuk mulai pemberian

Anjing: 1-2 mg / kg PO q 24 jam CATS: 2-3 mg / kg PO q 24 Pred + azathioprine

Anjing dan kucing dosis dan frekuensi pemberian sangat berbeda Terapi lain :

Anti-inflamasi retensi enema (5 ASA atau hidrokortison) Antioksidan (vitamin E, vitamin C, zat besi, seng, SAMe) Ursodeoxycholic acid (Ursodial) - Mengurangi asam empedu beracun enterik

Pengobatan dilakukan berdasarkan penyebab penyakit sebaiknya konsultasikan dengan dokter hewan anda. Share this:

Twitter Facebook Lintas Berita infoGue

Like this:

2 Komentar Posted by Asri Rizky pada Februari 22, 2012 in Vet Info Vaginitis in Dogs Viral Infections in Cats 2 Respon untuk Penyakit radang usus (IBD)

1. irwansjah Maret 18, 2012 at 10:34 pm

ki kau dapat dari mana aja bahan gini? Balas

Asri Rizky Maret 21, 2012 at 4:26 pm dari bahan2 yang di kasih bapak itu dil,, yang bahan2 bahasa inggris Balas

Tinggalkan Balasan

Arsip November 2012 Juli 2012 Juni 2012 Mei 2012 April 2012 Maret 2012 Februari 2012 Januari 2012 Desember 2011 Tulisan Terkini o Singkatan Resep Farmasi o Menghitung Mikroba pada Bahan Makanan o GANGGUAN SATWA LIAR
o o o o o o o o o

Kelainan Alat Kelamin Jantan Aritmia Kalender Februari 2012 M S S R K J S Jan Mar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29

o o

Live Traffic Feed

1 Referat Gastroenterologi Dr. Aslinar DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANPENYAKIT CROHN PADA ANAK PENDAHULUAN Penyakit crohn (PC) merupakan suatu penyakit kronis, transmural dan proses inflamasinyadapat mengenai berbagai segmen saluran cerna mulai dari mulut sampai anus. Penyakit crohnmerupakan satu dari dua kelainan utama inflammatory bowel disease . Penyakit ini lebih banyakterjadi pada orang berkulit putih, mengenai pria dan wanita sama banyak. Sekitar 25% kasusbaru PC terjadi pada usia <20 tahun. Puncak insiden PC muncul pada dekade 2 dan 3 kehidupan,kurang dari 5% kasus anak terjadi pada usia di bawah 5 tahun. 1,2 Etiologi PC masih belum diketahui pasti. Diperkirakan akibat hiperaktivitas sistem imunintestinal disebabkan oleh faktor lingkungan yang masih belum diketahui. 2 Terdapat inflamasiaktif pada usus besar dan usus kecil menyebabkan sejumlah perubahan fisiologis yang berakhirdengan diare, perdarahan saluran cerna dan nyeri perut. Diagnosis penyakit crohn ditegakkanberdasarkan kombinasi pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologis, endoskopi dan histologi. 1 Tujuan tatalaksana penyakit crohn adalah mengobati penyakit aktif/mempercepatremisi, mempertahankan remisi, mencegah relaps, memacu pertumbuhan dan perkembangan,meningkatkan kualitas hidup. 3,4 Terapi penyakit crohn dibagi dalam 4 kategori dasar yaitufarmakologis, nutrisi, bedah dan psikologis. Penyakit crohn merupakan penyakit kronik denganperiode eksaserbasi dan remisi, hanya 1% pasien yang mengalami 1 kali relaps setelah diagnosisdan terapi awal. Mortalitas PC berbeda pada beberapa penelitian, bervariasi dari 0 sampai 2kali lipat dari populasi normal. Kematian akibat PC pada anak sangat jarang. 1 Tujuan penulisanreferat ini adalah untuk mengingat kembali tentang penyakit crohn, diagnosis danpenatalaksanaannya pada anak. DEFINISI

Penyakit crohn adalah proses peradangan kronis transmural yang dapat ditemukan di salah satubagian dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Penyakit crohn merupakan satudari dua kelainan utama inflammatory bowel disease (IBD). Penyakit crohn pertama kalidiperkenalkan oleh Crohn tahun 1932 dengan istilah regional ileitis . Penyakit crohn kemudianmenjadi lebih heterogen termasuk dalam perubahan anatomi dan histologinya. Penyakit crohndapat mengenai bagian manapun dari saluran cerna, tidak hanya regional, merupakan penyakitmultisistem dengan manifestasi pada kulit dan membran mukosa. 1,2 Walaupun sama-samamerupakan kelainan IBD, terdapat banyak perbedaan antara PC dengan kolitis ulseratif (KU). Tabel 1. Perbedaan antara PC dan KU 1,5 Lokasi Penyakit Penyakit crohn Kolitis ulseratif Sal Cerna atas 0 % 20%Ileum 0% 19%Ileum & Kolon Backwash ileitis 52%Kolon 90% (predominan pada kolon Distal) 9% (predominan pada kolon proksimal), 50% 100%Rektum Jarang 25%Radiologi Continous involment, forehortening, Segmental involvement, skip region,loss of haustra, irregular mucosal mural thickening, stenotic separatemargin, normal terminal ileum loops, abnormal terminal ileumSigmoidoskopi Hemorrhagic mucosa, diffuse continous Patchy involvement, skip regions,Inflammation, pseudopolyps relative rectal sparing, linear ulcersHistologi Mucosal & submucosal inflammation, Transmural inflammation, nonCryptitis, crypt abcess, distortion of caseating granulomas, prominentArchitecture lymphoid tissue,

BAB IPENDAHU LUAN


I.PENDAHU LUAN Istilah

Inflammatory Bowel Disease (IBD, penyakit inflamsi usus)dipakai secara umum untuk menggabungkan

dua jenis penyakit, yaitu KolitisUlseratif (UK) dan Penyakit Chorn (PC) dalam satu istilah yang belumdiketahui

penyebab pastinya. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lain yang telah

diketahui penyebabnyasep erti infeksi, iskemia, dan radiasi. Pada beberapa keadaan, PC dan KU

mempunyai gambaran klinis yang tumpang

tindih sehingga tidak jarangsulit dibedakan. Dalam beberapa kepustakaan, selain kedua penyakittersebut juga dimasukkan

intermedinate colitis atau non-spesific colitis kedalam kelompok IBD, bila gejalanya

tidak jelas masuk ke diagnosis KU atauPC. (Stenson, 1995)

REFERAT Inflammatory bowel disease (IBD)


FAKULTAS KEDOKTERAN 2006

BAB I PENDAHULUAN Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi traktus gastrointestinal , yaitu Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa. Kedua kelainan tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal yang beragam dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepato-bilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh kembang, maka klinisi harus memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD. Penyakit Crohn pertama kali dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 sebagai ileitis regional. Saat ini, penyakit Crohn diketahui sebagai suatu proses inflamasi kronis transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum. Wilks dan Moxon telah lebih dari satu abad mengenal Kolitis Ulserativa sebagai proses inflamasi idiopatik yang bersifat kronis dan hilang timbul serta terbatas pada mukosa kolon dan rektum. Proses inflamasi yang terjadi pada Kolitis Ulserativa relatif homogen pada mukosa yang dimulai pada rektum dan melibatkan kolon kearah proksimal. Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa merupakan 2 kelainan yang berbeda, akan tetapi memiliki banyak kesamaan gejala klinis dan histopatologi. Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa telah dikenal selama satu setengah abad namun proses inflamasi kronis yang terjadi menimbulkan kerusakan usus dan sampai saat ini masih merupakan suatu misteri.

Pada referat ini akan dibahas mengenai etiologi, patologi, epidemiologi, gejala klinis, komplikasi, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ETIOLOGI Sampai saat ini etiologi Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa belum jelas. Namun diduga penyakit ini disebabkan oleh. multifaktor, yang meliputi genetik, pengaruh lingkungan, integritas mukosa, dan faktor imunologis Beberapa faktor pencetus seperti infeksi, toksin dapat memicu proses inflamasi dan akan menyebabkan disregulasi respon imunologi mukosa traktus gastrointestinal pada individu yang rentan. PATOGENESIS Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah: A. Faktor Genetik Penderita IBD mempunyai faktor predisposisi genetik. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa 25% penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD. (penulis lain 10-25%). Pada kembar monozigot peluang untuk Penyakit Crohn sekitar 42%-58% dan peluang untuk Kolitis Ulserativa sekitar 6%-17%. Sampai saat ini telah ditemukan beberapa kelainan kromosom yang berhubungan dengan Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa atau keduanya. Kromosom 16 (gen IBDI) atau gen CARD15 berhubungan dengan Penyakit Crohn. Perinuclear antinetrophil antibody (pANCA) ditemukan pada 70% penderita Kolitis Ulserativa. Kromosom 5 (5q31), 6 (6p21 dan 19p) sering ditemukan pada penderita IBD. B. Faktor Lingkungan

Beberapa agen infeksius diduga sebagai penyebab IBD. Akan tetapi, isolasi agen infeksius dari jaringan IBD tidak dapat membuktikan hubungan antara agen infeksius sebagai etiologi IBD karena pada IBD sering disertai koloni bakteri oportunistik pada mukosa yang mengalami inflamasi. Selain itu pemberian antibiotika tidak mempengaruhi perjalanan penyakit IBD. Sampai ini belum ada data mengenai transmisi secara epidemik agen infeksius pada IBD. Faktor lingkungan lain yang diduga pencetus IBD adalah stres psikososial, faktor makanan, seperti pajanan susu sapi atau food additives, asupan serat kurang dan zat toksin lingkungan. C. Faktor Imunologi Kelainan respon kekebalan telah diduga mempunyai peranan dalam patogenesis IBD. Pada IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, sistem kekebalan akan mengalami kelainan regulasi yang bersifat menetap dan bertindak sebagai lingkaran setan yang mengakibatkan proses inflamasi. Sel T helper/CD4+ mempunyai peran penting dalam kelainan regulasi sistem kekebalan pada IBD. Sel Th1 menghasilkan interleukin (IL)-2, interferon (INF)-, dan tumor necrosis factor (TNF)- yang merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin yang dihasilkan akan merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan granuloma, merupakan gambaran histologi yang sering ditemukan pada Penyakit Crohn.. Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan sitokin seperti IL-4. IL-5, Il-6 dan Il-10, akan merangsang antibody-mediated immune respons. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan oleh aktivasi antibodi dan komplemen lebih sering ditemukan pada Kolitis Ulserativa. Beberapa penelitian telah membuktikan kelainan autoimun dengan adanya antibodi, immunecomplex complement atau aktifitas limfosit terhadap mukosa kolon, namun semua fenomena ini tidak berlangsung secara konsisten dan tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit. Selain itu, adanya kerusakan sel mukosa tanpa disertai adanya agen eksogen spesifik, dan respon terhadap pemberian kortikosteroid dan obat imunosupresif mendukung kemungkinan mekanisme kelainan kekebalan. Pada Kolitis Ulserativa ternyata berhubungan dengan prevalens atopi keluarga, dan umumnya disertai dengan kelainan ekstraintestinal seperti eritema nodusum, artritis, dan uveitis. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum dapat dibuktikan apakah kelainan

kekebalan tersebut mempunyai peranan primer atau sekunder pada patogenesis IBD. Diduga, kelainan kekebalan poligenik, yang menjelaskan manifestasi klinis yang beragam pada IBD. Sistem kekebalan humoral lokal saluran gastrointestinal pada IBD diduga mempunyai kelainan. Pada periode neonatus, defisiensi immunoglobulin A (IgA) sekretori atau fungsi barier mukosa yang imatur akan menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein di lumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi peningkatan pajanan terhadap makromolekul dan sensitasi sistem kekebalan saluran pencernaan terhadap antigen, bakteri atau alergen makanan dan perubahan sekresi dan komposisi mukus. Pendapat lain mengatakan bahwa local gut associated lymphoid tissue mengalami sensitasi terhadap antigen, kemudian membentuk tahapan/dasar yang kemudian hari teraktivasi oleh pajanan cross-reacting antigents melalui respon imun antibody-dependent cell-mediated. D. Integritas Epitel Kelainan barier epitel mukosa akan menyebabkan peningkatan pajanan antigen terhadap sistem kekebalan traktus gastrointestinal diduga sebagai faktor inisial pada IBD. Pada Penyakit Crohn dijumpai adanya gangguan integritas mukosa yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein dilumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi perubahan sekresi dan komposisi mukus. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan antibodi spesifik terhadap protein susu sapi, produk-produk bakteri enterik, dan protein luminal pada penderita Penyakit Crohn. PATOLOGI Inflamasi pada Penyakit Crohn ditandai dengan karakteristik area inflamasi diskret, ulserasi fokal, aphtae, atau striktur disertai area mukosa yang normal (skip area). Jika mengenai kolon, sering mengenai kolon ascendens dan jika mengenai daerah anal sering timbul skin tags, fisura anal, abses serta fistula dan terjadi pada 25% penderita Penyakit Crohn. Pada Penyakit Crohn terjadi proses inflamasi transmural yang dapat meluas keseluruh lapisan dinding traktus gastrointestinal dan menyebabkan fibrosis, adhesi striktur, dan fistula. Perubahan pada mukosa traktus gastrointestinal berupa kriptitis, dan/atau distorsi striktur kripta. Granuloma nonkaseosus pada lamina propria atau submukosa dapat ditemukan pada lebih dari 50%

penderita. Ditemukannya fibrosis dan proliferasi histiosit di submukosa spesifik untuk Penyakit Crohn, walaupun perubahan mukosa tersebut dapat terjadi pada penyakit inflamasi usus yang lain. Pada Kolitis Ulserativa, proses inflamasi terbatas pada lapisan mukosa rektum dan kolon. Inflamasi terbatas pada mukosa dan dan secara kontinyu sepanjang kolon dengan berbagai macam derajat ulserasi, perdarahan, edema, dan regenerasi epitel. Selain itu pada Kolitis Ulserativa, terjadi kriptitis, abses kripta, dan terjadi distorsi kripta serta hilangnya sel goblet. Kelainan pada rektum hampir terjadi pada seluruh penderita Kolitis Ulserativa. Inflamsai dapat terjadi sampai daerah sekum dan mungkin terjadi pada ileum terminal (backwash ileitis). Pada Kolitis Ulserativa yang berat, setelah epitel mukosa dihancurkan, proses inflamasi melibatkan daerah submukosa selanjutnya ke bawah menuju daerah muskularis daerah yang terlibat akan membentuk jaringan pulau-pulau yang dinamakan Pseudopolyps. Penebalan dan fibrosis dari dinding usus besar sangat jarang terjadi, namun dapat terjadi pemendekan kolon dan striktur fokal dikolon pada penyakit yang berlangsung lama. Tidak terjadi pembentukan granuloma dan fibrosis.

Gambar. Inflammatory Bowel Disease

EPIDEMIOLOGI. Insidens IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara berkembang. Di Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000 populasi/tahun dan 2,3 kasus baru Kolitis Ulserativa pada kelompok usia 10-19 tahun. Secara umum, prevalens IBD hampir sama

angka kejadiannya pada laki-laki dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, didaerah urban, dan terutama bangsa Yahudi, akan tetapi laki-laki mempunyai insidens 20% lebih tinggi pada Penyakit Crohn. Puncak onset usia IBD bersifat bimodal, dan kasus paling sering terjadi pada usia dekade ke-2 dan ke-3. Pada anak, Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia 10-16 tahun, dan sekitar 25% kasus baru di populasi berusia <20> Pada populasi anak, penelitian epidemiologi pospektif dan retrospektif telah dilakukan di beberapa negara dalam 10 tahun terakhir. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa insidens Penyakit Crohn 0,2-5,9 per 100.000 anak/tahun, dan insidens Kolitis Ulserativa 0,5-3,2 per 100.000 anak/tahun. GEJALA KLINIS Gejala klinis IBD pada anak berbeda dibanding dewasa. Pada anak, gejala klinis yang sering dikeluhkan adalah nyeri perut. Selain itu beberapa gejala klinis gastrointestinal yang sering ditemukan adalah diare, perdarahan rektum, massa abdomen dan kelainan perianal. Onset klinis IBD dapat terjadi perlahan (insidious), dengan gejala klinis tidak spesifik gastrointestinal atau gejala ekstraintestinal seperti gagal tumbuh. Hal ini sering menyebabkan terlambat diagnosis atau diagnosis yang tidak tepat. Gagal tumbuh terjadi pada 10-40% penderita IBD. Gambaran klinis IBD pada anak tegantung dari lokasi dan luasnsya proses inflamasi traktus gastrointestinal, gejala klinis ekstrainterstinal, dan akibat penyakit pada tumbuh kembang harus dipertimbangkan dalam evaluasi diagnosis. Gambaran gejala klinis IBD pada anak dan dewasa seperti tabel dibawah ini. Gejala Klinis Nyeri perut Diare Perdarahan Rektum Kolitis Ulserativa Anak Dewasa 71% 33-53% 67% 52% 37-80% 80-90% Penyakit Crohn Anak Dewasa 62-95% 60% 66-77% 80-92% 60-100% 20%

Penurunan berat Badan Demam Gagal tumbuh Artritis Tabel Gambaran klinis IBD

39% 12% 6% 16%

43% 27% 13%

22-83% 14-60% 30-33% 15-25%

34% 26-51% 4-7%

Pada Penyakit Crohn diare, nyeri perut (sering dirasakan setelah makan), kram periumbilikal, demam, dan penurunan berat badan adalah gejala klinis yang paling umum dan menandakan adanya inflamasi di usus halus. Perdarahan rektum terjadi jika mengenai kolon. Gejala klinis ekstraintestinal atau gagal tumbuh mungkin sebagai gejala awal dari Penyakit Crohn. Diare yang terjadi terutama disebabkan oleh malabsorbsi akibat inflamasi pada mukosa, obstruksi parsial yang menyebabkan stasis dan pertumbuhan berlebih dari bakteri, atau dengan adanya fistula enteroenteral atau enterokolika. Diduga prevalens malabsorbsi pada anak dengan penyakit Crohn sekitar 17% terhadap laktosa, 29% terhadap lemak, 70% terhadap protein. Diare berdarah yang menandakan keterlibatan kolon, biasanya disertai nyeri perut dan urgensi untuk defekasi karena terjadi peningkatan kecepatan transit di kolon dan distensi dari bagian kolon yang mengalami inflamasi. Pada umumnya gejala klinis Kolitis Ulserativa berupa diare, peradarahan rektum, nyeri perut, tenesmus ani dan tinja berdarah yang terjadi secara perlahan (insidious) tanpa disertai gejala sistemik, berat badan turun, atau hipoalbuminemia. Sekitar 30% anak dengan gejala sistemik dan disertai diare berdarah, kram, urgensi anoreksi, penurunan berat badan dan demam. Sebagian dari anak dengan derajat berat akan mengalami kolektomi karena tidak berespon terhadap terapi medikamentosa. Gejala ekstraintestinal pada IBD terjadi pada 25-35% penderita. Gejala Klinis ekstraintestinal yang sering terjadi berupa: Tempat Kulit Manifestasi Eritema nodusum, pioderma gangrenosum

Hati Tulang

Infiltrasi lemak, kolelitiasis

sclerosing

cholangitis,

hepatitis

kronis,

Osteopenia, aseptik nekrosis Sendi Artritis, ankylosing spondilitis, sakro-ilitis Mata Uveitis, episkleritis, kerastitis Ginjal/urologi Hematologi Vaskular Pankreas Lain-lain Nefrolitiasis, hidronefrosis obstruktif, fistula enterovesikal, glomerulonefritis Anemia (defisiensi zat besi, folat, vitamin B12) Tromboflebitis, vaskulitis, trombosis vena portal Pankreatitis Gagal tumbuh, terlambat maturasi seksual

Gambar. Gejala Klinis Ekstra intestinal pada IBD

Gejala ekstraintestinal tersebut terbagi menjadi 4 kelompok: Kelompok 1 : Secara langsung berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus gastrointestinal, biasanya respon pada terapi kelainan gastrointestinal (seperti demam dan anemia) Kelompok 2 : Tidak berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus gastrointestinal (seperti sclerosis cholangitis) Kelompok 3 : Akibat dari kelainan traktus gastrointestinal (seperti obstruksi uretra)

Kelompok 4 : Timbul akibat dari terapi (seperti drug-induced pancreatitis) Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah, peripheral form (10% penderita) umumnya mengenai sendi besar (lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, sendi siku) dan biasanya berhubungan dengan inflamasi kolon yang aktif. Yang kedua, adalah bentuk aksial berupa ankylosing spondilitis atau sakroilitis. Bentuk aksial jarang terjadi pada anak. Gambaran ekstraintestinal yang dapat timbul sebagai gejala awal dan petunjuk pada Penyakit Crohn adalah kelainan perianal, stomatitis, eritema nodusum, eritema sendi besar, uveitis, dan jari tabuh serta gagal tumbuh. Kelainan perianal lebih sering terjadi pada penyakit Crohn dibanding Kolitis Ulserativa berupa skin tags, abses perianal, atau fisura dan fistula yang tidak nyeri. Artritis dapat terjadi pada 11% kasus dan bersifat monoartikular terutama pada lutut dan pergelangan kaki atau poliartritis migran tanpa disertai kerusakan sendi atau deformitas. Artritis sering terjadi pada penderita dengan kelainan kolon dan cenderung berhubungan dengan aktifitas penyakit. Eritema nodusum terjadi pada 5% kasus dan berhubungan dengan aktivitas penyakit terutama inflamasi pada kolon. Uveitis yang terjadi berupa simtomatik pada 3% anak dan asimtomatik pada 30% anak. Gagal tumbuh terjadi pada 87% anak, dan disertai dengan osteoporosis serta gangguan maturasi seksual. Seperti halnya pada penyakit Crohn, pada Kolitis Ulserativa terjadi gejala klinis ekstraintestinal. Gejala ekstraintestinal yan sering dijumpai seperti artritis sendi besar, lesi kulit pioderma gangrenosum atau eritema nodusum (lebih sering pada Penyakit Crohn) dan gagal tumbuh. Selain itu, insidens kelainan hepatobilier pada Kolitis Ulserativa mencapai 5-10% dan kelainan yang sering ditemukan adalah sclerosing cholangitis. Derajat berat gejala klinis Penyakit Crohn terbagi 3 kriteria yaitu: Ringan-sedang Dapat mentoleransi diet secara oral tanpa dehidrasi, demam, nyeri perut, massa abdomen, obstruksi, atau penurunan berat badan >10% Sedang-berat

Tidak respon terhadap terapi derajat ringan-sedang atau gejala demam menetap, penurunan berat badan yang tidak signifikan, nyeri perut, mual dan muntah intermiten (tanpa adanya obstruksi), atau anemia yang signifikan. Berat-fulminan Gejala klinis yang persisten meskipun telah mendapat kortikosteroid, atau penderita dengan demam tinggi, muntah persisten, obstruksi intestinal, kaheksia atau abses intra abdominal. Pada Kolitis Ulserativa, setidaknya terdapat 4 bentuk gejala dan tanda klinis yang berhubungan dengan derajat peradangan mukosa dan gangguan sistemik. Prodromal (<5%) Kegagalan pertumbuhan, artropati, eritema nodusum, occult fecal blood. Peningkatan LED, nyeri perut tidak khas, atau perubahan pola defekasi. Ringan (50-60%) Diare, perdarahan rektum ringan, nyeri perut, tidak ada gangguan sistemik Sedang (30%) Diare berdarah, kram, urgensi, abdominal tenderness Gangguan sistemik: anoreksia, penurunan berat badan, panas badan, anemia ringan Berat (10%) Defekasi berdarah >6x/hari, abdominal tenderness dengan atau tanpa distensi, takikardia, panas badan, penurunan berat badan, anemia yang signifikan, lekositosis dan hipoalbuminemia KOMPLIKASI Inflamasi transmural dari lapisan mukosa hingga serosa merupakan penyebab komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, sehingga terjadi adhesi, striktur, dan abses, yang meningkatkan resiko obstruksi serta pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan fistula. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa keganasan, malnutrisi dan gagal tumbuh. Fistula dapat terjadi enterokutan, enteroenteral, enterokolika, perirektal, labial, enterovaginal, dan

enterovesikal.

Komplikasi Kolitis Ulserativa yang mengancam jiwa adalah megakolon toksik dan merupakan kasus kegawatan medis dan kegawatan bedah. Anak dengan megakolon toksik mempunyai risiko tinggi untuk perforasi kolon, sepsis akibat bakteri gram negatif dan perdarahan masif. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi berupa striktur dan keganasan. DIAGNOSIS Diagnosis penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi, gambaran mukosa dengan endoskopi, dan histopatologi. A. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik Anamnesis yang lengkap tentang gejala gastrointestinal, gejala sistemik, riwayat keluarga, gagal tumbuh, adanya keterlambatan perkembangan dan kematangan seksual serta manifestasi ekstraintestinal. Pemeriksaan fisik tanda-tanda dehidrasi, status nutrisi dan gejala ekstraintestinal. Adanya hipotensi ortostatik, takikardia, distensi abdomen dan adanya massa merupakan indikasi parahnya penyakit dan memerlukan perawatan. B. Pemeriksaan Laboratorium Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk IBD. Pemeriksaan laboratorium dapat membantu dalam menilai keberhasilan pengobatan, petanda inflamasi, petanda gejala klinis ekstraintestinal dan status nutrisi. Pemeriksaan feses rutin dan biakan mikroorganisme feses dilakukan untuk eksklusi penyakit infeksi Dua petanda antibodi spesifik IBD telah diketahui antibodi tersebut adalah perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) dan antibodi anti saccharomyces cervisiae (ASCA). Antibodi pANCA ditemukan pada 80% Kolitis Ulserativa dan 45% pada Penyakit Crohn. Sedangkan antibodi ASCA ditemukan pada 60-70% Penyakit Crohn dan 14% pada Kolitis Ulserativa. Pada 2 penelitian seroepidemiologi menunjukkan bahwa kombinasi pANCA positif dan ASCA negatif mempunyai prediksi positif Kolitis Ulserativa sebesar 88-92%. Sedangkan kombinasi pANCA negatif dan ASCA positif mempunyai nilai prediksi positif Penyakit Crohn 95-96%.

C. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi abdomen posisi tegak dan terlentang untuk mengevaluasi dilatasi kolon dan eksklusi obstruksi yang berhubungan dengan ileus, obstruksi, pneumoperitonium karena perforasi. Barium enema dapat menilai karakteristik dan luas kelainan kolon, akan tetapi tidak boleh dilakukan pada penyakit akut (active disease), yaitu kolitis aktif karena dapat menyebabkan dilatasi toksik. Pada kolitis ringan dan sedang tanpa distensi abdomen, barium enema dengan double contrast dapat mendeteksi kelainan mukosa berupa karakteristik lesi, deformitas sekum, kelainan segmental/seluruh kolon. Pemeriksaan barium enema dapat menentukan adanya pemendekan vili, hilangnya haustrae, pseudopoli, striktur dan spasme pada IBD. Pemeriksaan radiologi traktus gastrointestinal atas dengan follow trough sampai dengan usus halus dapat menentukan ada/tidaknya kelainan pada usus halus. Pada Penyakit Crohn, ileum terminal tampak rigid, konstriksi, dan nodular dengan deformitas akibat proses inflamasi transmural. Pada Kolitis Ulserativa dapat ditemukan backwash-ileitis, berupa gambaran mukosa yang menghilang dan ileum terminal dilatasi tanpa disertai penebalan dinding. Selain itu, tidak ditemukan kelainan lain dari usus halus pada Kolitis Ulserativa. Kelainan yang dapat dilihat pada pemeriksaan barium enema dengan double contrast kolon penderita IBD adalah.

Gambaran stove-pipe Gambaran rectal sparing Gambaran thumbprinting Gambaran skip lesion Gambaran string sign Gambaran collar button Pemeriksaan lain yang dapat membantu adalah ultrasonografi dan CT scan. Pemeriksaan

tersebut terutama untuk menentukan adanya abses intra abdomen.

D. Pemeriksaan Endoskopi Kolonoskopi secara visual langsung mukosa dengan biopsi mukosa pada kolon dan ileum termminal merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik pada IBD. Kontraindikasi kolonoskopi pada kolitis yang berat, karena resiko perforasi, perdarahan dan menginduksi megakolon toksik. Kelainan mukosa pada Penyakit Crohn berupa lesi diskret atau aphthae pada mukosa dengan eksudat sentral dan eritema dan gambaran cobblestone-like appearance. Diantara daerah lesi terdapat daerah mukosa yang normal (skip area). Pada Kolitis Ulserativa, kelainan mukosa difus dan kontinyu dengan edema, eritema, dan erosi mukosa serta pseudopolyp. Kolonoskopi pada penderita IBD dapat digunakan untuk tindakan terapi. Tindakan yang sering dilakukan berupa dilatasi striktur pada Penyakit Crohn dan injeksi intralesi kortikosteroid (triamnisolon 5 mg pada 4 kuadran) dapat membantu untuk mencegah pembentukan striktur berulang.

DIAGNOSIS BANDING Gejala klinis dan ektraintestinal yang beragam menyebabkan diagnosis Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa sulit ditegakkan. Beberapa kelainan yang menyerupai IBD adalah Chronic

inflamatory-like intestinal disorder seperti enterokolitis karena infeksi (bakteri dan parasit, kelainan sistem imunitas (seperti gastroenteritis eosinofilik), kelainan vaskular (seperti vaskulitis sistemik, Henoch-Scholein Purpura, sindrom hemolitik-uremik) dan kolitis Hisrchsprung serta limfoma intestinal, serta keganasan. PENATALAKSANAAN Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah komplikasi dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memeperbaiki status nutrisi dan kualitas hidup. Konsultasi ke bagian Gizi dilakukan karena gagal tumbuh sering terjadi pada penderita IBD. Tujuan dari dukungan nutrisi adalah pemulihan hemostasis metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti ongoing losses; kecukupan energi, protein dan mineral untuk keseimbangan positif nitrogen dan penyembuhan. Sampai saat belum diketahui zat makanan tertentu yang menyebabkan aktivasi IBD. Pemberian nutrisi enteral mungkin mempengaruhi proses inflamasi pada Penyakit Crohn, tetapi tidak mempunyai penranan dalam proses inflamasi pada Kolitis Ulserativa. A. Terapi Medikamentosa Medikamentosa yang digunakan untuk induksi remisi, mempertahankan remisi, mencegah dan mengurangi relaps adalah: 1. Aminosalisilat (ASA), terutama untuk mempertahankan remisi. Dosis tinggi digunakan untuk induksi remisi. Sulfasalasin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis, dapat ditingkatkan sampai 75 mg/kg Mesalamin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam2-4 dosis (maksimal 3,2g/hari) Olsalazin, dosis 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis 2. Kortikosteroid, untuk induksi remisi. Tidak berperan dalam mempertahankan remisi.

Prednison, dosis: 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal atau dosis terbagi Metilprednisolon, dosis: 2 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis 3. Imunomodulator, digunakan untuk induksi dan mempertahankan remisi. Azathioprine, dosis: 2-2,5 mg/kg/hari dosis tunggal 6-Mercatopurin, dosis: 1,5 mg/kg/hari dosis tunggal 4. Anti-tumor necrosis factor untuk induksi remisi infliximab merupakan antibodi monoklonal anti-TNF-alfa. Infliximab, dosis: 5 mg/kg dilarutkan dengan 250 ml NaCl fisiologis secara intravena. Infliximab dosis tunggal untuk Penyakit Crohn derajat moderat-berat atau pada fistula dengan dosis 5mg/kg dalam 2 jam 3 kali pada minggu 0, 2, dan 6, sering diikuti pemberian setiap 8 minggu. Data penggunaan infliximab pada Kolitis Ulserativa tidak sebaik pada Penyakit Crohn. 5. Antibiotika Metronidazole, dosis: 30-50 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Metronidazole diberikan pada kelainan perianal Penyakit Crohn Terapi medikamentosa pada Kolitis Ulserativa tergantung dari derajat berat dan luasnya inflamasi. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk mengendalikan proses inflamasi, menghilangkan gejala klinis, mencegah komplikasi, dan mencegah relaps, serta mempersiapkan untuk tindakan bedah karena 20% penderita akan mengalami tindakan bedah. Luasnya inflamasi terbagi menjadi 2 tipe yaitu: Tipe distal, inflamasi terbatas pada kolon dibawah fleksura llienalis dan dapat dicapai dengan terapi topikal

Tipe ekstensif, inflamasi meluas kearah proksimal dari fleksura lienalis dan memerlukan terapi sistemik Pada Penyakit Crohn sampai saat ini belum ada terapi definitif, penatalaksanaan umumnya terdiri dari terapi medikamentosa dan dukungan nutrisi. Sampai saat ini, belum ada regimen medikamentosa yang dapat mempengaruhi outcome jangka panjang Penyakit Crohn. Oleh karena itu, medika mentosa digunakan untuk serangan eksaserbasi dan mengurangi frekuensi serangan eksaserbasi. B.Terapi Bedah Pendekatan terapi bedah pada IBD tergantung dari jenis dan berat penyakit. Tujuan terapi bedah pada Kolitis Ulserativa dan Penyakit Crohn berbeda. Karena kelainan Kolitis Ulserativa terbatas pada kolon, maka total kolektomi merupakan terapi definitif. Akan tetapi, pada Penyakit Crohn dimana kelainan traktus gastrointestinal dapat terjadi mulai dari mulut sampai anus, saat ini belum ada terapi bedah definitif. Indikasi bedah Penyakit Crohn adalah: Obstruksi traktus gastrointestinal Fistula Abses Perdarahan yang tidak terkontrol Megakolon toksik Perforasi Penyakit fulminan yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa

Gagal tumbuh dengan kelainan mukosa traktus gastrointestinal yang terbatas (localized disease) Indikasi bedah untuk Kolitis Ulserativa adalah: Megakolon toksik Perdarahan yang masif/tidak terkontrol Perforasi Prolonged corticostreoid dependent Komplikasi akibat kortikosteroid pada penyakit kronis aktif Gagal tumbuh setelah mendapat dukungan nutrisi Displasia epitel dan resiko tinggi keganasan Penyakit yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa Striktur C.Peran Probiotik dan Prebiotik Peranan probiotik dan prebiotik pada IBD masih belum jelas. Akhir-akhir ini banyak penelitian pemberian probiotik dan prebiotik pada penderita IBD. Probiotik dapat mengubah flora traktus gastrointestinal dengan mekanisme kompetitif, menghasilkan zat antimikroba, atau mempengaruhi respon kekebalan lokal. Ada juga yang mengatakan bahwa interaksi probiotik dengan sel epitel dapat mempercepat penyembuhan proses inflamasi. Efek prebiotik dapat ditingkatkan dengan pemberian prebiotik yang dapat merangsang pertumbuhan probiotik Pada anak, penelitian probiotik pada IBD menunjukkan bahwa pemberian Lactobacillus casei strain GG pada Penyakit Crohn meningkatkan respons kekebalan IgA traktus gastrointestinal. Penelitian lain menunjukkan bahwa probiotik dapat memperbaiki gejala kllinis

dan permeabilitas traktus gastrointestinal pada pada penyakit Crohn. Penelitian pemberian prebiotik dan probiotik (sinbiotik) pada penderita Kolitis Ulserativa mempercepat perbaikan gejala klinis. PROGNOSIS Inflamatory bowel disease ditandai dengan periode eksaserbasi dan remisi. Sebagian besar anak (70%) dengan Kolitis Ulserativa mengalami remisi dalam 3 bulan setelah terapi inisial dan kurang lebih 50% remisi dalam 2 tahun. Koletomi dalam 5 tahun setelah diagnosis terjadi pada 26% kasus derajat berat dibanding 10% kasus derajat ringan. Anak dengan proktitis, 70% akan mengalami penyakit lebih ekstensif dikemudian hari. Hanya 1% anak dengan penyakit Crohn tidak mengalami relaps setelah didiagnosis dan terapi inisial. Anak dengan ileokolitis cenderung untuk mengalami respon buruk terhadap terapi medikamentosa. Sekitar 70% anak dengan Penyakit Crohn akan mengalami tindakan bedah dalam 10-20 tahun setelah diagnosis. Selain itu, pada IBD cenderung untuk terjadi keganasan pada kolorektal. Resiko keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis Ulserativa. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk adenokarsinoma adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun) dan luas colitis (pankolitis > left-sided colitis > proktitis). BAB III KESIMPULAN Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi traktus gastrointestinal , yaitu Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa. Kedua kelainan tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal yang beragam dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal,

hepato-bilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh kembang, maka klinisi harus memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD. Sampai saat ini etiologi Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa belum jelas. Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah: Penderita IBD mempunyai faktor predisposisi genetik, faktor Lingkungan (stres psikososial, faktor makanan, seperti pajanan susu sapi atau pengawet makanan, asupan serat kurang dan zat toksin lingkungan), faktor imunologi, integritas epitel. Insidens IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara berkembang. Di Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000 populasi/tahun dan 2,3 kasus baru Kolitis Ulserativa pada kelompok usia 10-19 tahun. Secara umum, prevalens IBD hampir sama angka kejadiannya pada laki-laki dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, didaerah urban, dan terutama bangsa Yahudi, akan tetapi laki-laki mempunyai insidens 20% lebih tinggi pada Penyakit Crohn. . Pada ana k, Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia 10-16 tahun, dan sekitar 25% kasus baru di populasi berusia <20> Gejala klinis IBD pada anak berbeda dibanding dewasa. Pada anak, gejala klinis yang sering dikeluhkan adalah nyeri perut. Selain itu beberapa gejala klinis gastrointestinal yang sering ditemukan adalah diare, perdarahan rektum, massa abdomen dan kelainan perianal Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah, peripheral form (10% penderita) umumnya mengenai sendi besar (lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, sendi siku) dan biasanya berhubungan dengan inflamasi kolon yang aktif. Yang kedua, adalah bentuk aksial berupa ankylosing spondilitis atau sakroilitis. Bentuk aksial jarang terjadi pada anak. Inflamasi transmural dari lapisan mukosa hingga serosa merupakan penyebab komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, komplikasi Kolitis Ulserativa yang mengancam jiwa adalah megakolon toksik dan merupakan kasus kegawatan medis dan kegawatan bedah

Diagnosis penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi, gambaran mukosa dengan endoskopi, dan histopatologi. Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah komplikasi dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memeperbaiki status nutrisi dan kualitas hidup. Konsultasi ke bagian Gizi dilakukan karena gagal tumbuh sering terjadi pada penderita IBD. Tujuan dari dukungan nutrisi adalah pemulihan hemostasis metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti ongoing losses; kecukupan energi, protein dan mineral untuk keseimbangan positif nitrogen dan penyembuhan Resiko keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis Ulserativa. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk adenokarsinoma adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun) dan luas colitis (pankolitis > left-sided colitis > proktitis). Alur Diagnosis IBD

Keadaan umum Antropometri Abdomen Ekstraintestinal Perianal

Darah Feses BAB IV Serologi:pANCA &ASCA DAFTAR PUSTAKA 1. Kathleen a.

Calendra, W.Daniel J,

Richard JG. Inflammator y Bowel Disease. M.Gracey, Valerie B,

editor Pediatric 1. Penyakit Crohn 2. Kolitis Ulserativa gastroentero logy and

hepatology. Edisi ke-3. Boston: Blackwell,1993. Hlm 859-879. 2. Hyams J. Inflammatory Bowel Disease. Richard EB, Robert MK, Hal BJ, editor. Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. Hal 12481255 3. William A Rowe. Inflammatory Bowel Disease. Htttp://www.emedicine.com 4. V.Alin Botoman, Gregory F. Bonner, Daniella A. Bootman. Management of Inflammatory Bowel Disease. http//www.aafp.org/

5. Doug Knutson, Gregg G, Holly C. Management of Crohn Disease. http//www.aafp.org/

Anda mungkin juga menyukai