Bahan Sken 2 Repro
Bahan Sken 2 Repro
Skor Apgar merupakan kriteria klinis untuk menentukan keadaan bayi baru lahir. Kriteria ini berguna karena berhubungan erat dengan perubahan keseimbangan asam-basa pada bayi. Di samping itu dapat pula memberikan gambaran beratnya perubahan kardiovaskular yang ditemukan. Penilaian secara Apgar ini juga mempunyai hubungan yang bermakna dengan mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Cara ini dianggap paling ideal dan telah banyak digunakan dimana-mana. Patokan klinis yang dinilai ialah: (1) menghitung frekuensi jantung, (2) melihat usaha bernafas, (3) menilai tonus otot, (4) menilai refleks rangsangan, (5) memperhatikan warna kulit. Setiap kriteria diberi angka tertentu, dan biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap, yaitu saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan pengisapan lendir dengan sempurna. Skor Apgar satu menit ini menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai pedoman untuk menentukan cara resusitasi. Skor Apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat dengan morbiditas dan mortalitas neonatal (Hassan dan Alatas, 1985). Tabel Skor Apgar (Hassan dan Alatas, 1985) Tanda Frekuensi jantung Usaha bernafas Tonus otot Refleks Warna 0 Tidak ada Tidak ada Lumpuh Tidak ada Biru/pucat <100/menit Lambat, tidak teratur Ekstremitas fleksi sedikit Gerakan sedikit Tubuh kemerahan, ekstremitas biru 1 >100/menit Menangis kuat Gerakan aktif Menangis Tubuh dan ekstremitas kemerahan 2
Pada bayi dengan asfiksia berat, untuk mempersingkat waktu, penilaian dilakukan secara cepat dengan (1) menghitung frekuensi jantung dengan cara meraba xifisternum atau a. umbilicalis dan menentukan apakah jumlahnya lebih atau kurang dari 100/menit, (2) menilai tonus otot apakah baik/buruk, (3) melihat warna kulit (Hassan dan Alatas, 1985). Asfiksia neonatorum dapat dibagi dalam (Hassan dan Alatas, 1985).: 1. Vigorous baby. Skor Apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
2.
Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang). Skor Apgar 4-6. Pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
3.
(a) Asfiksia berat. Skor Apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada. (b) Asfiksia berat dengan henti jantung. Henti jantung ialah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada penderita asfiksia berat. diambil dari: Hassan R., Alatas H. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. pp: 1076-7
TINJAUAN PUSTAKA
Hamil 37 Minggu
Cara lain untuk menentukan tuanya kehamilan dan berat badan janin dalam kandungan (Mochtar, 1998): 1. Dihitung dari tanggal haid terakhir
2. Ditambahkan 4,5 bulan dari waktu ibu merasa janin hidup feeling life (quickening) 3. Menurut Spielberg: dengan jalan mengukur tinggi fundus uteri dari simfisis, maka diperoleh tabel. 4. Menurut Mac Donald: adalah modifikasi Spielber, yaitu jarak fundus-simfisis dalam cm dibagi 3,5 merupakan tuanya kehamilan dalam bulan. 5. Menurut Ahfeld: ukuran kepala bokong=0,5 panjang anak sebenarnya. Bila diukur jarak kepala-bokong janin adalah 20cm, maka tua kehamilan adalah 8 bulan. 6. Rumus Johnson-Tausak: BB= (mD-12)x155; BB=berat badan; mD=jarak simfisis-fundus uteri
Lendir darah pervaginam, perut kenceng teratur sejak 4 jam yang lalu
Perdarahan pervaginam trimester III
Definisi perdarahan antepartum menurut WHO adalah perdarahan pervagina setelah 29 minggu kehamilan atau lebih. Insidennya kurang lebih 3% (Yoseph, 1996). Perdarahan yang terjadi umumnya lebih berbahaya dibandingkan perdarahan pada umur kehamilan kurang dari 28 minggu karena biasanya disebabkan faktor plasenta; perdarahan dan plasenta biasanya hebat dan mengganggu sirkulasi O2, CO2, dan nutrisi dari ibu ke janin (Yoseph, 1996). Penyebab utama perdarahan antepartum yaitu plasenta previa dan solusio plasenta; penyebab lainnya biasanya berasal dari lesi lokat pada vagina/servik. Setiap pasien perdarahan antepartum harus dikelota oleh spesialis. Pemeriksaan dalam merupakan kontra indikasi kecuali dilakukan di kamar operasi dengan perlindungan infus atau tranfusi darah. USG sebagai pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis. Bila plasenta previa dapat disingkirkan dengan pemeriksaan USG dan pemeriksaan dengan spekutum dapat menyingkirkan kelainan tokal pada servik/vagina maka kemungkinan sotusio ptasenta harus dipikirkan dan dipersiapkan penanganannya dengan seksama (Yoseph, 1996). Penyebab perdarahan antepartum (Yoseph, 1996): 1. Solusio placenta (30%) 2. Placenta previa (32%) 3. Vasa previa (0,1%) 4. Inpartu biasa (10%) 5. Kelainan local (4%) 6. Tidak diketahui sebabnya (23,9%) Perbedaan solusio placenta dan placenta previa (Yoseph, 1996): Solusio Placenta Perdarahan Merah tua s/d coklat hitam Terus menerus Disertai nyeri Uterus Tegang, bagian janin tak teraba Nyeri tekan Syok/anemia Lebih sering Tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar Fetus 40% fetus sudah mati Tidak disertai kelainan letak Pemeriksaan dalam Ketuban menonjol walaupun tidak khas Placenta Previa Merah segar Berulang Tidak nyeri Tak tegang Tak nyeri tekan Jarang Sesuai dengan jumlah darah yang keluar Biasanya fetus hidup Disertai kelainan letak Teraba plasenta atau perabaan fornik ada bantalan antara bagian janin
Persalinan
Sebab-sebab yang menimbulkan persalinan (Mochtar, 1998): 1. Teori penurunan hormon: 1-2 minggu sebelum partus mulai terjadi penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Progesteron bekerja sebagai penenang otot-otot polos rahim dan akan menyebabkan kekejangan pembuluh darah sehingga timbul his bila kadar progesteron turun. 2. Teori plasenta menjadi tua akan menyebabkan turunnya kadar estrogen dan progesteron yang menyebabkan kekejangan pembuluh darah hal ini akan menimbulkan kontraksi rahim. 3. Teori distensi rahim: rahim yang menjadi besar dan merenggang menyebabkan iskemia otototot rahim sehingga mengganggu sirkulasi utero-plasenter. 4. Teori iritasi mekanik: di belakang serviks terletak ganglion servikale (pleksus Frankenhauser). Bila ganglion ini digeser dan ditekan, misalnya oleh kepala janin, akan timbul kontraksi uterus. 5. Induksi partus (induction of labor), dengan jalan: gagang laminaria (berupa laminaria dimasukkan ke dalam kanalis servikalis dengan tujuan merangsang pleksus Frankenhauser), amniotomi (pemecahan ketuban), oksitoria drips (pemberian oksitosin menurut tetesan per infus). Tanda-tanda permulaan persalinan
Sebelum terjadi persalinan sebenarnya beberapa minggu sebelumnya, wanita memasuki bulannya atau minggunya atau harinya yang disebut dengan kala pendahuluan (prepatory stage of labor). Ini memberikan tanda-tanda sebagai berikut (Mochtar, 1998): 1. Lightening atau settling atau dropping, yaitu kepala turun memasuki pintu atas panggul terutama pada primigravida. Pada multipara tidak begitu kentara. 2. Perut kelihatan lebih melebar, fundus uteri turun. 3. Perasaan sering-sering atau susah kencing (polakisuria) karena kandung kemih tertekan oleh bagian terbawah janin. 4. Perasaan sakit di perut dan di pinggang oleh adanya kontraksi-kontraksi lemah dari uterus, kadang-kadang disebut false labor poins. 5. Serviks menjadi lembek, mulai mendatar, dan sekresinya bertambah bisa bercampur darah (bloody show). Tanda-tanda in partu (Mochtar, 1998): 1. Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering, dan teratur. 2. Keluar lendir bercampur darah (show) yang lebih banyak karena robekan-robekan kecil pada serviks. 3. Kadang-kadang ketuban pecah dengan sendirinya. 4. Pada pemeriksaan dalam: serviks mendatar dan pembukaan telah ada. Faktor-faktor yang berperan dalam persalinan (Mochtar, 1998): 1. Kekuatan yang mendorong janin keluar (power), meliputi: his (kontraksi uterus), kontraksi otot-otot dinding perut, kontraksi diafragma, dan ligamentous action terutama ligamentum rotundum. 2. Faktor janin. 3. Faktor jalan lahir, bahwa pada waktu partus akan terjadi perubahan-perubahan pada uterus, serviks, vagina, dan dasar panggul.
TD 140/90 mmHg
Hipertensi pada kehamilan meliputi hipertensi yang diinduksi kehamilan, hipertensi esensial, dan hipertensi yang disebabkan penyakit ginjal kronik. Semua keadaan hipertensi dapat menyebabkan eklampsia (kejang) (Llewellyn-Jones, 2001).
peningkatannya lebih kecil pada wanita dengan hipertensi esensial dan semakin tinggi tekanan darahnya semakin kecil peningkatannya. Hal ini dapat mengganggu pertumbuhan janin dan meningkatkan kematian perinatal (Llewellyn-Jones, 2001). Kehamilan mempengaruhi jalannya hipertensi esensial. Pada 60% wanita yang terkena, terjadi peningkatan tekanan darah, dan pada 30% ditemukan proteinuria signifikan (>300 mg/l). Perubahan biasanya terjadi setelah kehamilan minggu ke 30. Hipertensi esensial yang disertai proteinuria tidak dapat dibedakan dengan PIH berat (Llewellyn-Jones, 2001). Dalam persalinan (Mochtar, 1998): 1. Kala I akan berlangsung tanpa gangguan 2. Kala II memerlukan pengawasan yang cermat dan teliti. Bila tanda-tanda penyakit bertambah berat dan pembukaan hampir atau sudah lengkap, ibu dilarang mengedan. Kala II diperpendek dengan melakukan ekstraksi vakum atau forceps. 3. Pada primitua dengan anak hidup dilakukan segera seksio sesarea primer. Prognosis (Mochtar, 1998): 1. Prognosis untuk ibu kurang baik. Angka kematian ibu kira-kira 1-2%; biasanya disebabkan oleh perdarahan otak, payah jantung, dan uremia. 2. Prognosis bagi janin kurang baik, karena adanya insufisiensi plasenta, solusio plasenta. Janin bertumbuh kurang sempurna: prematuritas dan dismaturitas. Angka kematian bayi: 20%.
Ketika kehamilan berlanjut, hipoksia plasenta menginduksi proliferasi sitotrofoblas dan penebalan membrane basalis trofoblas yang mungkin mengganggu fungsi metabolic plasenta. Sekresi vasodilator prostasiklin oleh sel-sel endothelial plasenta berkurang dan sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah, sehingga timbul vasokontriksi generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini terjadi pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi ibu, dan penurunan volume plasma ibu. Jika vasospasmenya menetap, mungkin akan terjadi cedera sel epitel trofoblas, dan fragmen-fragmen trofoblas dibawa ke paru-paru dan mengalami destruksi sehingga melepaskan tromboplastin. Selanjutnya, tromboplastin menyebabkan koagulasi intravascular dan deposisi fibrin di dalam glomeruli ginjal (endoteliosis glomerular) yang menurunkan laju filtrasi glomerulus dan secara tidak langsung meningkatkan vasokontriksi. Pada kasus berat dan lanjut, deposit fibrin ini terdapat dalam pembuluh darah SSP, sehingga menyebabkan konvulsi (LlewellynJones, 2001).
Preeklamsia
Klasifikasi Preeklampsia dibagi dalam 2 golongan (Mochtar, 1998): a. Pre-eklampsi ringan, bila keadaan sebagai berikut : - Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi rebah terlentang/tidur berbaring, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 x pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam. - Edema umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat badan 1 kg atau lebih perminggu. - Proteinuria kwantitatif 0,3 gr atau lebih perliter, kwalitatif 1+atau 2+ pada urin kateter atau midstream b. Pre-eklampsi berat: - Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih - Proteinuria 5 gr atau lebih perliter - Oliguria, jmlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam - Adanya gangguan serebral, gangguan visus dan rasa nyeri di epigastrium - Ada edema paru dan sianosis Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan (Mochtar, 1998): 1. Gambaran klinik: pertambahan berat badan yang berlebihan, edema hipertensi dan timbul proteinuria. Gejala subjektif : sakit kepala di daerah frontal, nyeri epigastrium; gangguan visus : penglihatan kabur, skotoma, diplopia; mual dan muntah. Gangguan serebral lainnya : oyong, refleks tinggi dan tidak tenang. 2. Pemeriksaan : tekanan darah tinggi, refleks meninggi, dan proteinuria pada pemeriksaan laboraturium.
Penatalaksanaan (Mochtar, 1998) a. Pencegahan - Pemeriksaan antenatal teratur dan bermutu serta teliti, mengenal tanda-tanda sedini mungkin (pre-eklampsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. - Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya preeklampsi kalau ada faktorfaktor predisposisi. - Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, dan pentingnya mengatur diit rendah garam, lemak, karbohidrat; tinggi protein dan menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan. b. Penanganan Tujuan utama penanganan adalah: - Untuk mencegah terjadinya pre-eklampsi dan eklampsi. - Hendaknya janin lahir hidup. - Trauma pada janin seminimal mungkin. Penatalaksanaan Pre-eklamsi ringan Pengobatan preeklampsia ringan adalah simtiomatis, selain rawat inap penderita dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2 kali seminggu (Mochtar, 1998) Penanganan rawat jalan atau rawat inap adalah dengan istirahat di tempat tidur, diet rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti valium tablet 5 mg dosis 3 kali sehari, atau tablet fenobarbital 30 mg dengan dosis 3 kali 1 sehari. Diuretika dan antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini tidak begitu bermanfaat bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi berat. Dengan cara di atas biasanya pre-eklampsi ringan jadi tenang dan hilang, ibu hamil dapat dipulangkan dan diperiksa ulang lebih sering dari biasa (Mochtar, 1998). Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap. Monitor keadaan janin : kadar estriol urin, amnioskopik dan ultrasografi dan sebagainya. Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan induksi partus pada usia kehamilan minggu 37 ke atas (Mochtar, 1998). Penatalaksanaan Pre-eklamsi berat Pre-eklampsi berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu (Mochtar, 1998): 1. Jika janin belum menunjukkan tanda-tanda maturitas paru-paru, dengan pemeriksaan shake dan rasio L/S maka penangannya adalah sebagai berikut: a. Berikan suntikan sulfas magnesikus dosis 8 gr intramuskuler, kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr intramuskuler setiap 4 jam (selama tidak ada kontra-indikasi). b. Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria preeklampsi ringan (kecuali jika ada kontraindikasi). c. Selanjutnya wanita dirawat diperiksa dan janin dimonitor, penimbangan berat badan seperti pre-eklampsi ringan sambil mengawasi timbul lagi gejala. d. Jika dengan terapi di atas tidak ada perbaikan, dilakukan terminasi kehamilan : induksi partus atau cara tindakan lain, melihat keadaan. 2. Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin, maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan di atas 37 minggu. Pre-eklampsi berat pada kehamilan diatas 37 minggu (Mochtar, 1998): 1. Penderita di rawat inap
a. Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi b. Berikan diit rendah garam dan tinggi protein c. Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskuler 4 gr bokong kanan dan 4 g bokong kiri d. Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam e. Syarat pemberian MgSo4 adalah : refleks patela (+); diurese 100 cc dalam 4 jam yang lalu; respirasi 16 permenit dan harus tersedia antidotumnya: kalsiumg lukonas 10%a mpul 10 cc. f. Infus dekstrosa 5 % dan Ringer laktat 2. Berikan obat antihipertensif : injeksi katapres 1 ampul i.m dan selanjutnya dapat diberikan tablet katapres 3 kali setengah tablet atau 2 kali setengah tablet sehari. 3. Diuretika tidak diberikan, kecuali terdapat edema umum, edema paru dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikkan 1 ampul intravena lasix. 4. Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin (pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes. 5. Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forseps, jadi wanita dilarang mengedan. 6. Jangan berikan methergin postpartum, kecuali terjadi perdarahan disebabkan atonia uteri. 7. Pemberian sulfas magnesikus kalau tidak ada kontraindikasi, diteruskan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jampostpartum. 8. Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio cesaria.
Eklamsi
Eklamsi dalam bahasa Yunani berarti halilintar, karena serangan kejang-kejang timbul tiba-tiba seperti petir. Pada ibu penderita pre-eklamsi berat, timbul konvulsi yang dapat diikuti oleh koma. Menurut saat timbulnya dibagi dalam 1) eklamsi gravidarum (50%); 2) eklamsi parturien (40%); 3) eklamsi puerperium (10%) (Mochtar, 1998). Gejala-gejala eklamsi Biasanya didahului oleh gejala dan tanda pre-eklamsi berat. Serangan eklamsi biasanya dibagi menjadi 4 tingkat (Mochtar, 1998): 1. Stadium invasi (awal atau aurora) Mata terpaku dan terbuka tanpa melihat, kelopak mata dan tangan bergetar, kepala dipalingkan kanan atau kiri yang berlangsung kira-kira 30 detik. 2. Stadium kejang tonik Seluruh otot badan jadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam dan kaki membengkok ke dalam, pemafasan berhenti, muka mulai kelihatan sianosis, lidah dapat tergigit. Stadium ini berlangsung kira-kira 20-30 detik. 3. Stadium kejang klonik Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam waktu yang cepat. Mulut terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa dan lidah dapat tergigit. Mata melotot, muka kelihatan kongesti dan sianosis. Setelah berlangsung selama 1-2 menit kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar, menarik nafas seperti mendengkur. 4. Stadium koma
Lamanya ketidaksadaran (koma) ini beberapa menit sampai berjam-jam. Kadang-kadang antara kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya wanita tetap dalam keadaan koma. Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat dan suhu naik sampai 40C.
Dalam buku-buku, proses membukanya serviks disebut dengan berbagai istilah: melembek (softening), menipis (thinned out), obliterasi (obliterated), mendatar dan tertarik keatas (effaced and taken up) dan membuka (dilatation) (Mochtar, 1998). Kala II (Kala Pengeluaran Janin) His terkoordinir, cepat dan kuat, dan lebih lama, kira-kira 2-3 menit sekali. Kepala janin telah turun masuk ruang panggul sehingga otot dasar panggul tertekan dan menimbulkan rasa mengedan. Tekanan pada rectum membuat ibu merasa seperti ingin buang air besar, dengan tanda anus terbuka. Pada waktu his, kepala janin mulai kelihatan., vulva membuka dan perineum meregang. Dengan his mengedan yang terpimpin, akan lahirlah kepala, diikuti oleh seluruh badan janin. Kala II pada primi: 1,5-2 jam, pada multi 0,5-1 jam (Mochtar, 1998). Kala III (Kala Pengeluaran Uri) Setelah bayi lahir, kontraksi rahim istirahat sebentar, uterus teraba keras, fundus uteri setinggi pusat, dan berisi plasenta menjadi tebal 2x sebelumnya. Beberapa saat kemudian, timbul his pelepasan dan pengeluaran uri. Dalam waktu 5-1 menit seluruh plasenta terlepas, terdorong ke dalam vagina dan akan lahir spontan atau dengan sedikit dorongan dari atas simfisis atau fundus uteri. Seluruh proses biasanya berlangsung 5-30 menit setelah bayi lahir. Pengeluaran plasenta disertai dengan pengeluaran darah kira-kira 100-200 cc (Mochtar, 1998). Kala IV Adalah kala pengawasan selama 1 jam setelah bayi dan uri lahir untuk mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarahan postpartum (Mochtar, 1998). Lamanya persalinan pada primi dan multi adalah (Mochtar, 1998):
Primi
Kala I Kala II Kala III Lama persalinan 13 jam 1 jam 30 menit 14 jam 30 menit
Multi
7 jam 30 menit 15 menit 7 jam 45 menit
PEMBAHASAN
Usia 39 tahun merupakan faktor risiko terjadinya preeclampsia. Lendir darah pervaginam merupakan tanda telah dimulainya Kala I Persalinan. Rasa kencang yang menyusul kemudian merupakan tanda telah masuknya tahap partus dalam Kala II persalinan. Suami yang terkena PHK dapat menjadi salah satu penyebab stress pada ibu hamil, selain itu karena suami terkena PHK mungkin pasien terebut kurang memantau perkembangan kehamilannya karena adanya keterbatasan biaya. Pemeriksaan vital sign menandakan pasien mengalami hipertensi. Besar kemungkinan hipertensi yang terjadi adalah pre-eklamsia ringan, bukan dikarenakan hipertensi esensial yang telah diderita ibu sebelum hamil, karena terdapat tanda-tanda lain selain hipertensi. Namun, peningkatan tekanan darah ini juga bisa fisiologis selama masa persalinan, karena terdapat peningkatan curah jantung selama masa partus. Edema yang ada bisa merupakan tanda pre-eklamsi, namun banyak juga ibu hamil yang mengalami edema tanpa adanya tanda patologis yang lain. Janin tunggal, presentasi sesuai dengan posisi normal partus, denyut jantung baik, sehingga kemungkinan persalinan pervaginam dapat dilakukan.
Fetal well being, berarti fetus dalam keadaan baik dan siap dilahirkan. Bishop score menandakan jika induksi dilakukan pada pasien ini, kemungkinan besar akan berhasil dilakukan partus pervaginam. Mengejan, perineum menonjol dan anus terbuka menandakan tahap partus mulai masuk Kala II persalinan. Sebaiknya segera dilakukan pimpinan persalinan dengan cermat karena adanya adanya gangguan pre-eklamsia tersebut tidak menimbulkan komplikasi lebih lanjut terhadap proses partus.
DAFTAR PUSTAKA
Llewellyn-Jones, Derek. 2001. Dasar-Dasar Obstetri & Ginekologi Edisi 6. Jakarta: Hipokrates. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Edisi 2 Jilid 1. Jakarta: EGC. Widjanarko, Bambang. 2009. Induksi Persalinan. Akses 21 di http://reproduksiumj.blogspot.com/2009/12/induksi-persalinan.html Mei 2010
Yoseph. 1996. Perdarahan Selama Kehamilan dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996. Akses 16 Mei 2010 dihttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12PerdarahanSelamaKehamilan112.pdf/12Perdarahan SelamaKehamilan112.html