Anda di halaman 1dari 4

Pemulihan Pascaerupsi Merapi Kompas, http://koran.kompas.com/read/2010/12/01/ 02483657/pemulihan.pascaerupsi.

merapi Rabu, 1 Desember 2010 | 02:48 WIB Oleh: Mudrajad Kuncoro Guru Besar dan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Ketua Tim Percepatan Pemulihan Ekonomi ISEI Cabang Yogyakarta Erupsi Gunung Merapi telah berdampak luar biasa. Awan panas, hujan abu, dan hujan kerikil mengakibatkan 356.816 penduduk mengungsi dan 270 lainnya tewas. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Yogyakarta menaksir total kerugian Rp 5 triliun. Inilah bencana terburuk Merapi sejak 1870. Setelah masa tanggap darurat selesai, yang terpenting adalah strategi percepatan pemulihan ekonomi keempat kabupaten yang paling menderita: Kabupaten Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali. Erupsi Merapi telah menghancurkan rumah, sekolah, lingkungan, dan infrastruktur ekonomi. Semakin cepat upaya pemulihan dilakukan, semakin rendah kerugian. Itu sebabnya Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X meminta agar pemulihan ekonomi berjalan satu paket dengan masa tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Pascatanggap darurat ada tiga aktivitas utama yang perlu dilakukan. Pertama, pembangunan tempat penampungan sementara bagi para pengungsi dari daerah bahaya pada radius 5 kilometer dari puncak Merapi. Kedua, program back to school bagi siswa SD, SMP, dan SMA di daerah bencana karena 217 sekolah rusak. Di tiga kecamatan yang paling rawan bencana di Sleman, jumlah siswa lebih dari 3.289 anak, padahal 20 TK, 29 SD, 7 SMP, dan 3 SMA rusak. Mereka bisa dibuatkan sekolah darurat atau disalurkan ke sekolah terdekat yang aman. Ketiga, pemberian initial capital atau modal awal untuk para pengungsi yang telah kembali ke rumah masing-masing untuk memulai aktivitas ekonominya. Tidak hanya sapi yang perlu diganti rugi, tapi juga tanaman salak

pondoh, cabai, ikan, dan sektor lain yang rusak. Pekerjaan sektor publik Disaster Response Unit dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM mengusulkan dua kegiatan, yaitu penyediaan pekerjaan di sektor publik dan membuka akses pendapatan bagi usaha mandiri. Pekerjaan di sektor publik bisa berupa proyek padat karya, seperti pembangunan penampungan sementara. Dengan asumsi, jumlah pekerja 15-20 orang pada setiap 200 pengungsi, jumlah total pekerja yang berpotensi difasilitasi aktivitas ini 26.50035.250 orang. Jika mereka mendapat upah Rp 20.000 per hari, maka dalam tiga bulan diperkirakan memakan biaya Rp 67,5 miliar. Fasilitasi akses pendapatan bagi usaha mandiri adalah bantuan pemerintah agar usaha mikro, kecil, dan menengah petani dan peternak bisa segera bangkit. Akibat erupsi, dilaporkan 21 perusahaan di Kabupaten Sleman tidak beroperasi sehingga 5.845 pekerja dirumahkan sementara. Selain itu, ribuan karyawan di 284 hotel dan penginapan di kawasan wisata Kaliurang terpaksa dirumahkan, demikian juga para pedagang di lima pasar tradisional, 22 pengusaha rumah makan, dan 584 pemilik kios yang belum bisa membuka usaha karena ditutupnya kawasan wisata itu. Bantuan sebaiknya tidak hanya modal awal, tetapi juga pendampingan dan pelatihan. Usulannya adalah kredit dengan bunga murah dari dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN. Dengan asumsi ada 10.000 unit usaha yang bisa difasilitasi, dibutuhkan dana Rp 15 miliar untuk tiga bulan. Hasil observasi menunjukkan, pertama, kebanyakan UMKM tidak bisa bangkit sendiri tanpa bantuan. Ini karena aset banyak hancur dan lembaga keuangan enggan menerima agunan dari daerah bencana. Kedua, kendala utama yang dihadapi adalah ketiadaan modal kerja. Untuk bangkit, UMKM membutuhkan terobosan aturan agunan dan kredit mikro. Di tengah kehancuran fasilitas

produksi dan penurunan nilai aset 25-60 persen dan aturan perbankan yang sekarang, tak banyak UMKM di daerah Merapi yang layak menurut perbankan. Memang banyak bank menawarkan kredit mikro tanpa agunan, tetapi prosedur kredit dinilai masih berbelit dan bunganya tinggi. Survei lapangan menunjukkan, kebutuhan modal kerja bagi usaha mikro dan kecil umumnya di bawah Rp 20 juta dan usaha menengah minimal Rp 500 juta. Akselerasi pemulihan Hingga kini, ada perbedaan persepsi pemerintah dan masyarakat korban dalam menilai risiko bencana. Ini akibat perbedaan dalam menilai tingkat bahaya (hazard) dan tingkat kerentanan (vulnerability) sebagai penentu risiko bencana. Masyarakat menganggap kawasannya memiliki tingkat kerentanan rendah dan lebih cenderung melihat dari sisi bahaya. Awan panas Gunung Merapi berbahaya dan dapat merenggut jiwa. Sebaliknya, pemerintah menganggap kawasan permukiman masyarakat Merapi mempunyai tingkat kerentanan tinggi sehingga mempertimbangkan kebijakan relokasi. Tentunya akan amat bijaksana apabila pemerintah berkomunikasi dengan masyarakat di daerah bencana, menanyakan apa keinginan masyarakat. Sebaliknya, pemerintah perlu menyosialisasikan beberapa pilihan berdasarkan masukan dari para pakar vulkanologi, geologi, ekonomi, antropologi, dan pembangunan wilayah. Partisipasi masyarakat di kawasan rawan bencana amat dibutuhkan dalam disaster recovery planning. Dalam konteks inilah formulasi grand design strategi percepatan pemulihan ekonomi pascaerupsi Merapi yang berbasis Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) mendesak untuk disusun. Ciri utama PEL menitikberatkan pada kebijakan endogenous development: menggunakan potensi sumber daya manusia, institusional, dan fisik setempat. Penyusunan PEL perlu menggunakan setidaknya tiga pendekatan. Pertama,

pendekatan sektoral yang intinya mengidentifikasi sektor, subsektor, dan komoditas andalan apa yang dapat menjadi lokomotif penggerak ekonomi rakyat. Prioritaskan bidang yang berorientasi ekspor, menyerap banyak tenaga kerja, menjadi ikon daerah, dan memiliki keunggulan komparatif. Misalnya, agroindustri salak pondoh, pembenihan dan budidaya ikan, pertanian cabai, dan peternakan sapi. Ini karena sebagian besar penduduk di kawasan Kecamatan Tempel, Turi, Pakem, dan Cangkringan hidup sebagai petani, peternak, dan pembudidaya ikan. Berdasarkan data BPS Kabupaten Sleman, jumlah mereka 68.024 orang. Kedua, pendekatan spasial, yang intinya mempertimbangkan di mana lokasi kecamatan, desa, dan dusun yang hancur dan rentan awan panas, lava, dan lahar dingin Merapi. Identifikasi ulang daerah rawan bencana ini untuk perubahan tata ruang. Ketiga, pemasaran daerah. Problem terbesar DIY dan Jateng adalah merosotnya citra daerah ini di mata investor dan wisatawan. Untuk itu, perlu strategi pemulihan citra. Paket wisata lava tour bisa ditawarkan sejalan dengan pengembangan jalur evakuasi dan infrastruktur. Saya menyarankan pembentukan Forum Multistakeholders untuk menghilangkan sekat-sekat dan fanatisme sektoral. Manajemen bencana Selanjutnya pemerintah SBY- Boediono perlu mengkaji ulang manajemen bencana kita. Sejak penetapan status Siaga, mestinya Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan pemerintah sudah bergerak menyusun skenario rencana penanganan bencana, minimal distribusi jaminan hidup serta penentuan lokasi pengungsian. Periode tanggap darurat menunjukkan masih diterapkannya perencanaan yang reaktif, yang masih bertitik berat pada upaya mengurangi dampak buruk kerugian bisnis/industri/masyarakat terhadap perekonomian daerah. Harus disadari, Indonesia berada dalam zona Ring of Fire dan rawan beragam bencana.

Karena itu, yang dibutuhkan adalah perencanaan proaktif, yang membentuk sistem masyarakat yang responsif dalam jangka panjang. Tanggap darurat harus diubah jadi tanggap bencana, di mana mitigasi dan minimisasi risiko bencana dirancang matang, ditambah pendekatan kontingensi agar fleksibilitas terhadap perubahan. Rumusan grand design pemulihan pascaerupsi Merapi perlu ditindaklanjuti dengan implementasi nyata.

MendukungdanmenyesuaikandenganRenca naAksiPemerintah Mengkombinasikanantarakegiatankegiatanberdampakcepatdanpenguatankapa sitasberjangkamenengahdanpanjang Memfokuskanpadamulti sumberbencana Mempertimbangkankeseimbanganwilayah Mendayagunakansumberdayadankelembag aanlokalsejauhmemungkinkanMendukungp engarusutamaanjender

Program ERA ditujukanuntuk: memajukanupayapemulihanawalpascabenc anamenjadimatarantaiyang krusialkegiatankegiatanpemulihandinidanyang berjangkapanjangdengankegiatankegiatanpembangunan Program ERA DukunganterhadapPemerintahdanPBB dalamkoordinasi, perencanaandanpemantauanupayapemuliha nawalDukungankepadaPemerintahdidalam memadukanaspekkesiapsiagaanbencanadanpenguranganrisikokedala mprogram pemulihan.Dukungancepatkepadapendudu kkorbandalamrestorasisumbersumberpenghidupanmerekaDukunganterha dapprogram rekonstruksiyang dijalankanpemerintah(perumahandaninfrast ruktur) Program ERA dilaksanakanmelaluikerjasamadengan: Pemerintahpusatdandaerah Sektorswasta LembagaSwadayaMasyarakatnasional Organisasimasyarakatmadani/sipil Organisasiinternasional Program ERA dilaksanakandenganmenerapkanstrategi:

Ruanglingkupkegiatan Pembangunan kembalitempatusaha Penyediaanperalatanusaha Penyediaanbantuanmodal usaha Penguatanakseskepasar Penguataskapasitaspelakuusaha MRESTORASI SUMBER PENGHIDUPANSECARA CEPAT MendukungBappedadanDinasSektoraldala mpemulihansumberpenghidupan MenyediakanHibahMini bagiLSM danorganisasimasyarakatmadani/sipilgunap emulihansumberpenghidupanmasyarakatter kenadampakbencana StrategiMDUKUNGAN TERHADAP PROGRAMREKONSTRUKSI Memfasilitasiguguskerja(cluster) dalammenggalidanmengalokasikansumberda yasecarastrategisgunamendukungpemerinta hdanmasyarakatterkenabencanagempadala mrekonstruksinian. Mendukungprogram pemerintahdalampenyediaanbantuanrekons truksihunianmasyarakatyang terkenakorbanbencana. Ruang lingkup Penyediaanbantuanrekonstruksihunianatap dulu(roofing first shelter) bagikorbanbencana Penyediaanbantuanteknisdibidangrekonstr uksihunianmelaluiberbagaipelatihanrekonstr uksihunian PengembanganSistemInformasiManajemen 2.3. Pendanaan

Sistem pendanaan penanggulangan bencana dalam mekanisme Bakornas PB dilaksanakan melalui anggaran masing-masing departemen/satuan kerja pemerintah. Apabila dalam pelaksanaan terdapat kekurangan, maka pemerintah melalui ketua Bakornas PB dapat melakukan alih anggaran dan mobilisasi dana. Pada mekanisme tersebut, peranan masyarakat dan lembaga donor tidak terintegrasi dengan memadai. Dengan adanya perubahan sistem khususnya melalui BNPB dan BPBD maka alokasi dana untuk penanggulangan bencana, baik itu di tahap mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksi tetap memiliki alokasi yang cukup melalui BNPB maupun BPBD. Sementara aturan tentang dana cadangan juga sudah diatur oleh UU, namun belum memiliki aturan main yang jelas. Pemerintah perlu merumuskan aturan main ini dengan segera untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan dan juga menyusun mekanisme pencairan terutama untuk dana cadangan tingkat daerah. Namun demikian besar alokasi anggaran untuk bencana masih akan menjadi tanda tanya di kemudian hari mengingat alokasi ini diserahkan kepada kemampuan keuangan daerah, sehingga besar kemungkinan daerah rawan bencana, namun kemampuan keuangan lemah tetap akan mengalokasikan dana untuk penanggulangan bencana seadanya, sehingga akan menimbulkan potensi bencana yang lebih besar lagi. Untuk itu pemerintah perlu mengambil kebijakan tertentu untuk wilayah dengan PAD yang kecil namun memiliki potensi bencana yang cukup besar. Pemulihan (recovery) adalah upaya mengembalikan kondisi

masyarakat, lingkungan hidup dan pelayanan publik yang terkena bencana melalui rehabilitasi. Rehabilitasi (rehabilitation) adalah perbaikan semua aspek pelayanan publik dan kehidupan masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah bencana. Rekonstruksi (reconstruction) adalah upaya perbaikan jangka menengah dan jangka panjang berupa fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan pelayanan publik dan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih baik dari sebelum bencana. TAHAP REHABILITASI Tujuan dari pemulihan/rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali. Belajar dari pengalaman yang telah ada, upaya pemulihan bencana Bab 6 Kegiatan Penanggulangan Bencana di Provinsi Sumatera Barat masih membutuhkan beberapa peningkatan terutama masalah akurasi data dan koordinasi antar institusi. Maka dalam rencana upaya pemulihan di Provinsi Sumatera Barat, program dan kegiatan yang dilakukan adalah: 1. Memulihkan sumber pangan penduduk di daerah korban bencana, dengan kegiatan percepatan pemulihan sumber pangan masyarakat 2. Rehabilitasi perumahan masyarakat dalam skala prioritas, dengan kegiatan: a. Analisis prioritas pemulihan perumahan penduduk b. Pemberian bantuan langsung kepada prioritas utama pemulihan perumahan c. Pemberian bantuan stimulan kepada prioritas non utama pemulihan perumahan

3. Memulihkan sumber penghasilan masyarakat dalam proses perekonomian penduduk, dengan kegiatan utama: a. Pemberian dana pinjaman lunak kepada pelaku ekonomi korban bencana dalam kelancaran aktifitas perekonomian b. Menyelenggarakan fungsi pasar sebagai pusat perekonomian c. Monitoring keberhasilan dalam pemberian pinjaman 4. Rehabilitasi pasar sebagai pendukung perekonomian masyarakat, dengan kegiatan percepatan pemulihan prasarana pasar 5. Pemberdayaan persatuan saudagar rantau dalam upaya pemulihan perekonomian, dengan kegiatan memfasilitasi persatuan saudagar rantau dalam pemulihan aktifitas pasar 6. Perbaikan fasilitas dan utilitas pelayanan umum akibat bencana dalam kewenangan provinsi, dengan kegiatan rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan serta jaringan irigasi kewenangan provinsi 7. Pendampingan pemulihan fasilitas dan utilitas pelayanan umum akibat bencana yang menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota, dengan kegiatan: a. Pembuatan Norma, Standar, Prosedur dan Mekanisme (NSPM) pembangunan dan rehabilitasi fasilitas dan utilitas yang ramah bencana. Lampiran Pergub Nomor 115 Tahun 2008 RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA Provinsi Sumatera Barat 44 Bab 6 Kegiatan Penanggulangan Bencana b. Pendampingan pembangunan dan rehabilitasi kerusakan fasilitas dan utilitas umum di Kabupaten/ Kota (klinik konstruksi)

Disaster recovery planning (DRP) adalah perencanaan untuk pengelolaan secara rasional dan cost-effective bencana terhadap sistem informasi yang akan dan telah terjadi. Di dalamnya terdapat aspek catastrophe in information systems1. Seperti halnya polis asuransi, suatu perencanaan preventif terhadap bencana pada sistem informasi dan pemulihan pasca bencana yang efektif harus dirasakan manfaatnya walaupun bencana tak pernah akan terjadi justru karena efektivitas sistem informasi tersebut. Namun runtuhnya sistem informasi itu sendiri merupakan bencana, terhentinya kegiatan sehari-hari karena kehilangan informasi. Tujuan disaster recovery planning (DRP)2 adalah meminimumkan risiko dan optimalisasi kesinambungan entitas dalam menghadapi risiko bencana. Apabila manajemen tak mampu (tak tahu?) merumuskan manfaat DRP, atau menyimpulkan bahwa manfaat DRP lebih kecil dari biaya DRP, maka program DRP tak akan dilaksanakan. Bagi Pemda, DRP disusun bersama seluruh masyarakat setempat. DRP merupakan strategi sedia payung sebelum hujan, seringkali upaya dan belanja sumber daya kecil-kecil berkesinambungan dan tak terasa, jika dibandingkan dengan besaran bencana. DRP merupakan kesediaan menabung untuk bencana tak terduga. Diskontinuitas administrasi pemerintahan menyebabkan diskontinuitas investasi masuk ke dalam Pemda tersebut. Arsip hutang-piutang dengan pihak ketiga di luar bencana juga hilang lenyap. Apabila hutang, pihak penagih biasanya mempunyai buktilegal lengkap untuk menagih pada penderita bencana. Tidak sebaliknya, karena arsipdokumen piutang lenyap, sangat mungkin pihak

ketiga yang berhutang tak mau membayar hutangnya. DRP administrasi dan akuntansi adalah perencanaan penghindaran-penguranganpemulihan bencana yang meliputi kegiatan back up data, restorasi data, teknik menjalankan kegiatan normal walau sedang mengalami kesusahanbencana, perlindungan catatan tentang pihak ketiga (hutang-piutang), perlindungan catatan harta, perlindungan LAN, proteksi dan restorasi kerusakan perangkat keras, daftar karyawan kunci untuk DRP, Administrasi DRP, Backup powersource dan daftar perangkat lunak yang dibutuhkan untuk DRP. Diantara itu semua, back up dan restorasi data merupakan hal yang paling penting3. Ancangan DRP berguna pula bagi perusahaan komersial dengan akuntansi rawan bencana. PEMULIHAN PASCA BENCANA Rencana pemulihan harus berkualitas, disusun secara lengkap dan disempurnakan dari tahun ketahun. Makin pendek masa pemulihan, makin kecil kerugian akibat bencana. Sebaliknya, makin panjang masa pemulihan, makin lama mulainya kembali masa produktif. Dengan demikian pendek waktu pemulihan merupakan hal yang terpenting, setiap hari perpanjangan waktu pemulihan mungkin adalah satu hari perpanjangan masa tidak produktif entitas tersebut. Kondisi fisik aset belum pulih mengganggu estetika (rasa keindahan), memelihara rasa gamang, dukanestapa, yang menyebabkan semangat membangun terganggu bahkan berisiko menyebabkan kerusakan moral. Strategi pemulihan pasca bencana telah dimulai sebelum6 bencana terjadi, menggunakan ancangan risk management untuk (1) risiko yang tak terduga dan (2) risiko yang diduga pasti akan terjadi dan tak dapat dielakkan. Bila bencana berskala besar, Presiden dapat mengangkat seorang Menteri Khusus untuk pemulihan bencana, untuk mengatasi masalah

lintas departemen pemerintah (Jepang, Kobe) dalam kurun waktu cukup lama. Manajemen Pemda bertanggung jawab menyusun DRP paripurna, mengkomunikasikannya kepada DPRD. Semua persiapan DRP dilakukan, dicadangan dan dialokasikan oleh APBD, sekalipun dalam usulan anggaran defisit. Individu penanggung jawab bencana harus diidentifikasi secara jelas. Bagian peran tanggung jawab tiap individu dan kelembagaan harus jelas, jangan terjadi tumpang tindih. Tumpang tindih tugas kelembagaan antara Departemen Pemerintah Pusat untuk pemulihan bencana harus dibersihkan terus menerus oleh Presiden. MANAJEMEN ASET BERBASIS BENCANA Pada Disaster Recovery Planning, probabilitas dan frekuensi bencana diidentifikasi dan diurutkan, lalu entitas menyusun: (a) daftar aset utama yang harus dijaga kelestariannya dibuat pada masa tenteram dan damai, sebelum bencana, disahkan sebagai basis perencanaan pemulihan bila terjadi bencana. Harga akuisisi aset baru (atau replacement cost) telah diketahui dan diperbarui-dimutakhirkan. Entitas membuat dana khusus untuk penggantian aset yang berisiko terkena bencana yang tak dapat diasuransikan. Dengan demikian tak terjadi kegusaran perebutan sumber daya pemulihan di antara stakeholder, yang pada umumnya minta diprioritaskan pada waktu bencana terjadi. (b) daftar aset utama/kritikal yang dapat diasuransikan, termasuk asuransi jiwa. (c) daftar aset yang dapat dihindarkan dari risiko bencana disusun, dan rencana kerja penghindaran risiko dilaksanakan (relokasi, proteksi fisik dll). 6Tergolong preemptive strategy, anticipative strategy, pada umumnya adalah (1) dialihkan, diasuransikan, (2) penyediaan dana cadangan, (3) minimalisasi kegiatan, dan densitas penduduk diwilayah kemungkinan

terjadinya bencana,(4) adaptasi gaya hidup, misalnya rumah berdinding kertas dan ringan pada wilayah gempa berulang (Jepang). (d) semua aset tersebut di atas, apabila rusak atau malfungsi menyebabkan entitas lumpuh, bangkrut atau tak dapat beroperasi secara normal, harus mendapat prioritas perencanaan perlindungan dan penggantian serta merta: d.1. Proteksi aset dan cacatan/akuntansi aset7. d.2. Proteksi karyawan dan penduduk setempat di sekitar aset. d.3. Kesinambungan manajemen/pengelolaan. d.4. Strategi memperpendek jangka waktu pemulihan. d.5. Strategi pendanaan/pembiayaan pemulihan, antara lain pembentukan dana cadangan penggantian aset kena bencana. Manajemen Pemda bertanggung jawab untuk menyusun DRP paripurna dan mengkomunikasikannya kepada DPRD. Semua persiapan DRP dilakukan, dicadangkan dan dialokasikan pada APBD, sekalipun dalam rencana anggaran defisit. Individu penanggung jawab bencana harus diidentifikasi secara jelas, pada umumnya para pejabat di wilayah administrasi keuangan dan akuntansi Pemda. Bagian peran serta tanggung jawab tiap individu dan kelembagaan harus jelas, jangan terjadi tumpang tindih. Tumpang tindih tugas kelembagaan antara Departemen Pemerintah Pusat dan Pemda untuk pemulihan bencana harus dibersihkan terus menerus oleh Presiden. Manajemen, administrasi, akuntansi dan dokumentasi bencana & pemulihan bencana pada tiap lembaga harus diatur secara tegas dan jelas. Cetak biru nasional harus dibuat oleh Pemerintah Pusat agar semua upaya dan sumber daya yang dialirkan ke daerah bencana

memenuhi syarat tidak tumpang tindih, 3E(efektif, ekonomis, efisien), transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Anda mungkin juga menyukai

  • Ade KG
    Ade KG
    Dokumen5 halaman
    Ade KG
    Ristiana Suci d'Kempon
    Belum ada peringkat
  • Edit LO
    Edit LO
    Dokumen9 halaman
    Edit LO
    Ristiana Suci d'Kempon
    Belum ada peringkat
  • Preskas Jiwa Anggrek2
    Preskas Jiwa Anggrek2
    Dokumen9 halaman
    Preskas Jiwa Anggrek2
    Ristiana Suci d'Kempon
    Belum ada peringkat
  • Tubuh Manusia (Novi)
    Tubuh Manusia (Novi)
    Dokumen3 halaman
    Tubuh Manusia (Novi)
    Ristiana Suci d'Kempon
    Belum ada peringkat
  • Edit LO
    Edit LO
    Dokumen9 halaman
    Edit LO
    Ristiana Suci d'Kempon
    Belum ada peringkat
  • 4
    4
    Dokumen4 halaman
    4
    Ristiana Suci d'Kempon
    Belum ada peringkat
  • Reaper
    Reaper
    Dokumen2 halaman
    Reaper
    Ristiana Suci d'Kempon
    Belum ada peringkat
  • Makalah Yuli
    Makalah Yuli
    Dokumen9 halaman
    Makalah Yuli
    Ristiana Suci d'Kempon
    Belum ada peringkat
  • Refarat Radio
    Refarat Radio
    Dokumen34 halaman
    Refarat Radio
    Ristiana Suci d'Kempon
    Belum ada peringkat