Anda di halaman 1dari 36

BAB I Pendahuluan

Definisi infeksi okupasional atau penyakit infeksi akibat kerja adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan pekerjaan dan diakibatkan karena kontak dengan bakteri, virus, parasit atau jamur. Istilah ini sebenarnya sudah muncul sejak jaman Hippocrates, sekitar 400 tahun sebelum masehi, dimana untuk menginvestigasi suatu penyakit haruslah juga meliputi riwayat pekerjaan pasien. Bapak dari ilmu kesehatan kerja, Benardino Ramazzini (1633-1714) mengamati bahwa orang yang sering kontak dengan mayat cenderung untuk menderita demam tinggi. Secara garis besar transmisi penyakit infeksi akibat kerja dapat melalui kontak dengan darah, udara dan terakhir dibantu melalui vector (Lim, 2009). Pekerjaan tertentu memiliki risiko yang lebih tinggi tertular infeksi okupasional karena sifat pekerjaan dan lingkungan kerja seperti yang tampak pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Infeksi yang terkait kelompok pekerja tertentu

Namun perlu ditekankan bahwa tingginya resiko dapat bervariasi meskipun berada dalam kategori pekerja yang sama. Seorang perawat kejiwaan akan lebih rendah risiko tertular infeksi dibandingkan dengan perawat di unit penyakit menular. Resiko infeksi mungkin juga tidak terkait langsung dengan jenis pekerjaannya. Nelayan di banyak negara berkembang misalnya, berada pada risiko tinggi infeksi HIV bukan karena pekerjaannya,

melainkan karena sifat mobile atau sering berpindah tempat. Hal yang sama berlaku untuk pengemudi truk dan personil militer (Kissling et al, 2005) Angka kejadian penyakit infeksi akibat kerja yang terjadi setiap tahun tidak diketahui dengan pasti karena minimnya pelaporan. Namun berdasarkan data dari Occupational Health Statistics Bulletin, pada tahun 2003 di Inggris, dilaporkan sekitar 1100 kasus infeksi akibat kerja, meskipun angka ini hanya merupakan perkiraan kotor saja. Penyakit infeksi akibat kerja bisa saja ditemukan di populasi umum. Selain itu sama seperti penyakit infeksi lainnya, sebagian besar penyakit infeksi akibat kerja juga dapat dicegah. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengenali jenis perkerjaan apa saja yang rentan terhadap penyakit infeksi tertentu sehingga penyebarannya dapat dicegah.

BAB II Pembahasan

Tansmisi penyakit infeksi akibat kerja bermacam-macam seperti misalnya udara, darah atau material infeksius lainnya serta inokulasi atau gigitan serangga. Organisme pathogen dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka dan lecet pada kulit atau melalui selaput mukosa serta inhalasi. Secara garis besar pennularan penyakit infeksi akibat kerja dibagi menjadi 3 yaitu darah, udara serta transmisi yang diperantarai oleh vektor.

A. Bloodborne Disease Lebih dari 500.000 kasus needlesticks injury terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat, dengan setidaknya 5.000 kasus dengan HIV positif. Sayangnya kejadian needlestick injury ataupun kontak dengan cairan terkontaminasi seringkali tidak dilaporkan (Russi, 2011). Pada tindakan operasi kejadian luka ditemukan sekitar 15 % dan 50% diantaranya didapatkan kontak dengan darah sedangkan kasus yang dilaporkan hanya 2 11% saja (Lynch dan White, 1993). Salah satu upaya untuk mengurangi kejadian needlestick injury adalah dengan menggunakan syringe khusus seperti yang ada pada gambar di bawah ini.

Gambar 1(A) Syringe dengan retractable needle (B) Blunt-tipped blood-drawing needle Gambar (A) adalah syringe dengan retractable needle, dimana setelah jarum digunakan sedikit dorongan pada ujung syringe akan menarik jarum ke dalam syringe. Gambar (B) adalah Blunt-tipped blood-drawing needle. Setelah darah diambil, dorongan pada tabung koleksi akan menggerakkan jarum berujung tumpul maju melalui jarum dan melewati titik jarum tajam (Russi, 2011). Pada tahun 1997 Center of Disease Control atau CDC telah menyusun pedoman dan regulasi untuk mengurangi dan mencegah penyebaran infeksi di kalangan pekerja kesehatan terutama yang ditularkan melalui darah. Pedoman dan regulasi dari CDC tersebut telah dimasukkan ke dalam Occupational Safety and Health Administration (OSHA) pada tahun 1991 bersamaan dengan pelatihan tahunan, perencanaan untuk pengurangan paparan serta penyediaan vaksin HBV untuk mereka yang beresiko. Pada tahun 1995 mulai diperkenalkan Standart Precautions, yaitu kombinasi antara Universal Precautions dengan isolasi cairan tubuh yang terkontaminasi. Meskipun infeksi yang ditularkan melalui darah cukup banyak tetapi yang angkanya cukup signifikan untuk tenaga kesehatan hanya ada 3 yaitu HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C. Ketiga penyakit diatas seringkali diakibatkan karena kejadian needlestick injury (Russi, 2011).

1. Hepatitis B Hepatitis B disebabkan oleh Hepatitis B Virus (HBV) yang merupakan virus DNA dari familiae Hepadnaviridae. Manusia yang terinfeksi adalah satu-satunya reservoir

infeksi. Hepatitis B biasanya bersifat self limiting disease dan asmptomatis, meskipun pada beberapa kasus dijumpai infeksi yang persisten serta disertai gangguan fungsi hati derajat ringan sampai berat. Pasien dengan infeksi kronis beresiko terjadinya sirosis dan karsinoma hepatoseluler(Lim, 2009). Pekerja dengan resiko tertinggi penularan Hepatitis B adalah pekerja di sektor kesehatan. Resiko terinfeksi setelah terpapar virus HBV misalnya pada kasus-kasus needlestick injury adalah antara 6 - 30% (Mahoney et al., 1997). Sebelum ditemukan vaksin Hepatitis B pada tahun 1981, kejadian Hepatitis B di kalangan pekerja kesehatan dan petugas laboratorium cukup tinggi sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Hal ini dikarenakan seringnya kontak dengan darah ataupun cairan tubuh lainnya (Mahoney et al., 1997). Virus Hepatitis B tampak dibawah mikroskop elektron sebagai partikel dua lapis. Lapisan luar virus ini terdiri atas antigen, disingkat HbsAg yang membungkus bagian dalam virus yang disebut partikel inti atau core. Partikel inti ini berukuran 27 nm dan dalam darah selalu terbungkus oleh antigen permukaan. Sedangkan antigen permukaan selain merupakan pembungkus patikel inti, juga terdapat dalam bentuk lepas berupa partikel bulat berukuran 22 nm dan partikel tubular yang berukuran sama dengan panjang berkisar antara 50 250 nm. Struktur virus dapat dilihat seperti dibawah ini :

Gambar 2. Struktur virus Hepatitis B

Konsentrasi virus Hepatitis B tertinggi ditemukan di darah diikuti cairan tubuh lainnya seperti cairan serebrospinal, synovial, pleural, perikardial, peritoneal dan cairan amnion serta semen dan sekreni vagina. Transmisi virus yang diakibatkan karena kontak urine, faeces dan ludah jarang terjadi sebab konsentrasi virus Hepatitis B pada cukup rendah kecuali pada kasus-kasus tertentu misalnya gigitan manusia dimana seringkali juga terjadi kontak dengan darah. Transmisi virus melalui kontak seksual dan maternal juga sering terjadi pada populasi umum. CDC memperkirakan bahwa dijumpai 400 kasus infeksi HBV baru akibat kecelakaan kerja diantara tenaga kesehatan di AS pada tahun 1995, turun dari 17.000 pada tahun 1983 (Mahoney et al., 1997). Penurunan dramatis ini terutama disebabkan pengenalan imunisasi Hepatitis B. Semua tenaga kesehatan wajib mendapatkan imunisasi untuk virus Hepatitis B. Penggunaan sistem needleless dan pembuangan benda tajam juga akan mengurangi resiko cedera akibat tertusuk benda tajam (Russi, 2011). Untuk diagnosis infeksi HBV dapat menggunakan pemeriksaan darah atau serum guna deteksi antigen atau antibodi yang diproduksi oleh individu yang terinfeksi. Selain untuk diagnosis pemeriksaan serologis juga dapat digunakan untuk memantau progresifitas penyakit dan monitoring hasil pengobatan. Ada beberapa jenis pemeriksaan serologis yang dapat digunakan antara lain HBsAg dan anti Hbs, HBc dan anti HbcAg, HBe dan anti Hbe serta HBV DNA (Wong et al.,2007). HBsAg Pada infeksi virus Hepatitis B (HBV), hepatitis B surface antigen (HBsAg) merupakan petanda serologik infeksi HBV pertama yang muncul di dalam serum dan mulai

terdeteksi antara 1 sampai 12 minggu pasca infeksi, mendahului munculnya gejala klinik serta meningkatnya SGPT. Selanjutnya HbsAg merupakan satu-satunya petanda serologik selama 3 5 minggu. Pada kasus yang sembuh, HBsAg akan hilang antara 3 sampai 6 bulan pasca infeksi sedangkan pada kasus kronis, HBsAg akan tetap terdeteksi sampai lebih dari 6 bulan. Selain merupakan selubung luar partikel Dane, HBsAg juga merupakan selubung partikel bulat dan partikel tubuler yang masing-masing tidak mengandung protein core serta HBV DNA. Pemeriksaan HBsAg berguna untuk diagnosa infeksi HBV, baik untuk keprluan klinis maupun epidemiologik. skrining darah di unit-unit transfusi darah, serta digunakan pada evaluasi terapi hepatitis B kronis (Dienstag et al., 2005). Anti HBs Anti HBs merupakan antibodi spesifik untuk HBsAg, muncul di darah 1 sampai 4 bulan setelah timbulnya gejala. Munculnya antiHBs menyusul hilangnya HbsAg menandakan kesembuhan dan karena antiHBs dapat menetralisir HBV maka antiHBs disebut antibodi yang protektif (Dienstag et al., 2005). Kadang-kadang, pada 10 20% penderita dengan hepatitis B kronis, bisa ditemukan anti HBs, dikatakan bahwa antiHBs tersebut ditujukan kepada determinan subtipe yang berlainan dengan HBsAg yang ada (Dienstag et al., 2005). HBcAg dan Anti HBc Anti HBc merupakan antibodi pertama yang muncul di dalam darah pasca infeksi, biasanya mulai terdeteksi pada minggu ke 6 8. Mula-mula IgM antiHBc bentuk IgM mendominasi selama 6 bulan pertama dan setelah 6 bulan bentuk IgG yang dominan. IgM

antiHBc merupakan petanda serologik hepatitis B akut atau hepatitis B kronik fase reaktivasi. Pada window period juga didapat IgM antiHBc positif (Dienstag et al., 2005). Pada 1 5% penderita dengan hepatitis B akut, HBsAg tidak terdeteksi karena titer yang rendah. Pada kasus tersebut adanya IgM anti HBc dapat digunakan untuk memastikan diagnosa hepatitis B akut (Dienstag et al., 2005). Kadang-kadang ditemukan IgG antiHBc dengan HBsAg dan anti HBs yang negatif, bila hal ini ditemukan pada individu dengan faktor resiko tertular infeksi HBV yang tinggi atau pada individu yang tinggal di daerah dengan prevalensi HBsAg yang tinggi, besar kemungkinan hasil tersebut positif palsu, akan tetapi sebaliknya bila individu tersebut bukan seseorang dengan faktor resiko tertular infeksi HBV atau tinggal di daerah dengan prevalensi HBsAg rendah, maka kemungkinan individu tersebut baru saja terinfeksi HBV, dengan anti HBs yang belum muncul (window period). Kemungkinan lain, IgG antiHBc positif dengan HBsAg dan anti HBs negatif bisa ditemukan pada occult hepatitis yaitu bila ditemukan HBV DNA positif (Dienstag et al., 2005). HBeAg dan Anti HBe HBeAg tidak ikut membentuk virus utuh, tidak berperan pada proses replikasi virus tetapi disekresi langsung dari hepatosit ke dalam serum. Dalam klinik HBeAg digunakan sebagai indeks replikasi virus, tingkat infektivitas, beratnya penyakit dan respon terapi. Antigen ini muncul pada minggu 3 6 pasca infeksi yang merupakan periode yang paling infeksius. Pada kasus-kasus hepatitis B akut yang self limited, HBeAg akan hilang segera setelah puncak meningkatnya SGPT, sebelum hilangnya HbsAg dan selanjutnya akan

muncul anti Hbe. Persistensi HBeAg positif lebih dari 10 minggu menunjukkan adanya progresi penyakit menuju kronis (Milich dan Liang, 2003). AntiHBe merupakan antibodi spesifik untuk HBeAg. Meskipun terdapat kesamaan yang signifikan dalam susunan asam amino antara HBcAg dan HBeAg, akan tetapi pengenalan kedua antigen oleh sistim imun berbeda. Namun demikian ada suatu cross reactive kedua antigen tersebut pada tingkat CD4+ Tcell (Milich dan Liang, 2003). HBV DNA HBV DNA bisa ditemukan dalam 30 hari pasca infeksi, dengan puncaknya pada 6 minggu. Pemeriksaan HBV DNA dilakukan dengan sampel dari serum dan sel-sel hepar, pemeriksaan tersebut dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemeriksaan HBV DNA kuantitatif di dalam serum penting untuk mengetahui aktifitas penyakit, efektifitas obat antiviral, memprediksi hasil terapi antiviral, deteksi dini timbulnya resistensi serta menentukan adanya occult hepatitis (Dienstag et al, 2005).

Gambar 3. Pola serologis infeksi HBV

Satu-satunya cara yang telah terbukti efektif untuk pencegahan infeksi virus Hepatitis B adalah vaksinasi. Pemberian vaksinasi sebanyak 3 dosis mampu memberikan kekebalan terhadap virus Hepatitis B sebesar 90%. Seseorang yang sudah menerima vaksin Hepatitis B akan tetap memiliki kekebalan terhadap infeksi virus meskipun kadar Anti HBs sudah tidak terdeteksi. Seseorang yang sudah menerima vaksinasi Hepatitis B tetapi pemeriksaan Anti HBs masih negatif maka disarankan untuk pemberian vaksinasi ulangan sebanyak 3 kali. Apabila setelah vaksinasi ulangan Anti HbS masih tetap negatif dapat diberikan vaksinasi dengan Hepatitis B Imunoglobulin (HBIG) dan kemungkinan pemberian vaksinasi tambahan apabila didapatkan kontak dengan cairan yang diduga terkontaminasi virus Hepatitis B (Russi, 2011). Kombinasi HBIG dan vaksin hepatitis mampu memberikan kekebalan pasif terhadap individu yang beresiko untuk terpapar virus Hepatitis B, meskipun HBIG tidak mampu untuk menghentikan replikasi virus tetapi mampu mencegah progresifitas penyakit ke arah kronis (Patel, 2003). Jadwal vaksinasi untuk Hepatitis B adalah pada bulan ke 0, 3 dan 6. Individu yang baru menerima 1 atau 2 dosis vaksin tidak perlu mengulang dari awal tetapi cukup mendapat dosis yang belum diberikan. Karena setelah pemberian vaksin tetap memerlukan waktu untuk pembentukan antibody, seringkali interval pemberian vaksin dipersingkat untuk individu-individu yang beresiko misalnya diberikan pada minggu 0, 1, dan 3 minggu serta terakhir setelah 12 bulan. Regimen seperti ini mampu memberikan kekebalan sebesar 83 % pada minggu keempat dan akan terus naik tanpa dosis vaksin tambahan. Pemberian dosis vaksin terakhir pada bulan ke 6-12 amatlah penting sebab mampu memberikan imunitas jangka panjang (Patel, 2003).

10

2. Hepatitis C Hepatitis C disebabkan oleh Hepatitis C Virus (HCV) yang merupakan virus RNA dari genus Hepacivirus. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada awal tahun 1970, dimana saat itu dijumpai adanya hepatitis yang terkait transfusi tetapi tidak disebabkan virus hepatitis A maupun B dan dapat menyebabkan fibrosis hati yang progresif serta berlanjut ke sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Di Amerika Serikat kejadian Hepatitis C memang sering dikaitkan dengan tranfusi apalagi sebelum ditemukan pemeriksaan EIA pada akhir tahun 80-an. Selain melalui kontak dengan darah HCV juga ditularkan cairan tubuh lain dari orang yang terinfeksi. Resiko terinfeksi virus Hepatitis C setelah kecelakaan yang melibatkan bahan terkontaminasi adalah antara 0,4-1,8%. Kebanyakan kasus yang diperoleh melalui penggunaan narkoba suntikan dan paparan seksual. Namun CDC memperkirakan bahwa sekitar 4 persen kasus di Amerika Serikat terkait dengan pekerjaan dan melibatkan petugas kesehatan. Berdasarkan data dari CDC, prevalensi Infeksi HCV diantara petugas kesehatan adalah sama seperti yang pada populasi umum : 1,5%. setelah kontak dengan bahan infeksius pekerja perawatan kesehatan untuk terinfeksi darah, resiko serokonversi untuk hepatitis C berkisar dari 0% sampai 10%, dengan rata-rata 1,8%. Periode inkubasi untuk hepatitis C bervariasi 2-24 minggu, dengan rata-rata 6 sampai 7 minggu. Antibodi untuk HCV (anti-HCV) dapat terdeteksi setalah 5 sampai 6 minggu infeksi, dan akan permanen tanpa melihat apakah virus tersebut aktif bereplikasi atau tidak.

11

Gambar 4. Pola Serologis pada infeksi HCV

Sebagian besar infeksi hepatitis C tidak bergejala tetapi 85% nya berkembang menjadi kronis. Pemberian Interferon alfa-2b cukup efektif dalam mengobati infeksi HCV kronis. Angka kesembuhannya akan lebih tinggi apabila pengobatan diberikan saat infeksi akut atau awal perjalanan infeksi kronis. (Jaeckal et al., 2001). Sampai saat ini tidak ada vaksin untuk mencegah virus Hepatitis C sehingga tindakan terbaik adalah untuk mencegah penularan virus Hepatitis C di antara tenaga kesehatan adalah melalui dengan kepatuhan terhadap standar pengamanan umum seperti penggunaan sarung tangan atau tindakan aseptik. Individu yang memiliki riwayat kontak darah atau cairan tubuh pasien hepatitis C harus dilakukan monitoring pada 6 minggu, 3 bulan dan 6 bulan untuk melihat adanya serokonversi (Russi, 2011).

12

3. HIV-AIDS Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) ini pertama kali dikenal di Amerika pada tahun 1981, meskipun kuat dugaan bahwa sesungguhya penyakit ini sudah muncul di Afrika pada awal 1930-an. AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merupakan virus RNA dari keluarga retrovirus. Virus HIV pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983, pada waktu itu pertama kali diberi nama LAV (Lymphadenopathy Virus) sedangkan Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu dinamakan HLTV-III. Sedangkan tes untuk memeriksa HIV yaitu ELISA baru tersedia pada tahun 1985 (Djoerban dan Djauzi 2006).

Gambar 5. Struktur HIV

UNAIDS memperkirakan bahwa tahun 2006 ada 39,5 juta orang dengan HIV posotif di seluruh dunia (2,6 juta lebih dari pada 2004). Jumlah infeksi baru pada tahun 2006 juga naik menjadi 4,3 juta (400.000 lebih dari pada 2004). Di Indonesia sendiri kasus AIDS pertama kali dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan AIDS dan dari 3x

13

pemeriksaan ELISA menunjukkan hasil positif. Hanya saat itu ketika dilakukan pemeriksaan Western Blot di Amerika Serikat hasilnya negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Kasus kedua HIV-AIDS di Indonesia dilaporkan pada bulan Maret 1986 di RSCM Jakarta pada pasien Hemofilia dan termasuk jenis non-progressor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik, sampai tahun 2002 pasien tersebut masih menjalani pengobatan di RSCM Jakarta (Djoerban dan Djauzi 2006). Penularan virus HIV sering terjadi melalui darah dan kontak seksual. Tenaga kesehatan termasuk kelompok resiko tinggi untuk terinfeksi HIV (Bell, 1997). Cara penularan yang paling yang sering terjadi adalah melalui darah atau cairan tubuh lainnya. Resiko penularan HIV setelah needle stick injury sekitar 0,25% - 0,4%. Pada tahun 2000 diperkirakan ada 16.000 kasus HCV, 66.000 kasus HBV dan 1.000 kasus HIV di seluruh dunia terjadi di kalangan tenaga kesehatan (Pruss-Utun dan Rapiti, 2005). Resiko infeksi HIV karena kejadian needlestick injury 10 kali lebih rendah dibandingkan dengan HCV dan 100 kali lebih rendah dibandingkan HBV. Hal ini dikarenakan penggunaan ARV baik itu sebagai tindakan Profilaksi Pasca Pajanan pada individu dengan riwayat kontak cairan tubuh yang terkontaminasi HIV maupun pada pasien HIV sehingga kadar viral load-nya tersupresi (Russi, 2011). Ada 3 metode yang umumnya digunakan untuk deteksi HIV, yaitu PCR (Polymerase Chain Reaction), tes antibodi HIV, dan tes antigen HIV. PCR merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat (DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh manusia. Tes ini sering pula dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat (HIV NAAT) (Knipe et al., 2001). PCR DNA biasa

14

merupakan metode kualitatif yang hanya bisa mendeteksi ada atau tidaknya DNA virus (WHO, 2007). Sedangkan, untuk deteksi RNA virus dapat dilakukan dengan metode realtime PCR yang merupakan metode kuantitatif. Deteksi asam nukleat ini dapat mendeteksi keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak awal infeksi terjadi. Tes ini biasanya digunakan untuk mendeteksi HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang digunakan pada individu dewasa karena biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan mengelola dan menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes lainnya (Knipe et al., 2001). Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV yang murah dan akurat. Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi tersebut. Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di darah, saliva (liur), dan urin. Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia (Hung Fan et al., 2001). Sampel dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat uji (test strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul dua pita berwarna ungu kemerahan (Hung Fan et al., 2001). Tingkat akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua hasil positif harus dikonfirmasi kembali dengan ELISA (Hung Fan et al., 2001). Selain ELISA, tes antibodi HIV lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot (Knipe et al., 2001). Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein p24) pada HIV yang memicu respon antibodi. Pada tahap awal infeksi HIV, p24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat ditemukan dalam serum darah. Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara

15

berkesinambungan untuk memberikan hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih awal. Tes ini jarang digunakan sendiri karena sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum antibodi terhadap HIV terbentuk (Knipe et al., 2001). Pencegahan penularan HIV sama seperti pada penyakit infeksi lainnya. Petugas kesehatan yang terpapar oleh bahan infeksius misalnya darah infeksi HIV harus diberikan profilaksis pasca pajanan dengan obat antiretroviral. Saat ini regimen Profilaksi Pasca Pajanan yang sering digunakan adalah pemberian Zidovudine dan Lamivudine selama 4 minggu, dan ada beberapa ahli yang merekomendasikan penambahan Protease Inhibitor. Di Amerika Serikat Profilaksi Pasca Pajanan untuk HIV menggunakan Zidovudine dan Lamivudine (Combivir), Nefilnavir, Idinavir dan Saquinavir gel. (Patel, 2003). Pekerja seks juga berisiko untuk terinfeksi HIV. Prevalensi infeksi HIV antara pekerja seks bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya. Prevalensi HIV pada pekerja seks di Afrika Selatan mencapai 50% di tahun 2000. Tingginya tingkat infeksi di antara pekerja seks di negara berkembang disebabkan oleh kombinasi berbagai macam faktor, termasuk diantaranya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, akses terbatas ke pelayanan kesehatan dan minimnya tindakan pencegahan, kemampuan terbatas untuk menegosiasikan penggunaan kondom, status sosial yang rendah dan hidup bersama penyalahguna narkoba (Lim, 2009).

B. Airborne Diseases Organisme patogen ditularkan oleh pasien yang terinfeksi melalui batuk dan bersin dalam bentuk droplets untuk kemudian dihantarkan melalui udara dan terjadi kontak

16

dengan mukosa atau dihirup oleh seseorang. Setelah kontak dengan mukosa kemudian terjadi proses autoinokulasi yang melengkapi proses penularan. Mayoritas infeksi saluran pernapasan ditularkan melalui kontak dengan droplet dan tindakan pencegahan kontak seringkali cukup untuk mencegah penyebaran salah satunya dengan menggunakan masker (Lim, 2009).

1. Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam. Penularan TBC terjadi melalui inhalasi droplet berisi kuman M. Tuberculosis. Mulai tingginya kasus TBC dan munculnya multi-resistan terhadap Mycobacterium tuberculosis juga mengingatkan kita akan pentingnya TBC nosokomial. Strategi untuk mengendalikan dan mencegah TBCC meliputi program manajemen resiko, pengawasan yang efektif, kontrol lingkungan, penggunaan alat pelindung diri dan vaksinasi BCG (Menzies et al., 1995). Puncak kejadian TBC di Amerika adalah pada tahun 1980 dan awal 1990-an, setelah itu angka kejadian TBC di Amerika terus menurun, meskipun demikian TBC tetap merupakan penyakit menular yang penting dengan angka mortalitas dan morbiditas yang cukup tinggi di seluruh dunia. Adalah penting untuk membedakan apakah itu suatu infeksi TBC yang aktif atau tidak. Sekitar 95% orang yang terinfeksi akan mengandung organisme dengan respon kekebalan tubuh yang sehat dan tidak pernah berkembang menjadi suatu bentuk TBC yang aktif dan tidak akan menular (Patel, 2003).

17

Resiko aktivasi TBC tertinggi pada 2 tahun pertama setelah infeksi. Hal ini akan meningkat apabila respon imun seseorang terganggu, seperti misalnya pada penderita HIV, gizi kurang, kemoterapi kanker, diabetes melitus, atau penyakit lainnya. Pada tahun 2008 di Amerika Serikat, ditemukan 12.898 kasus TBC aktif dengan kejadian 4,2 per 100.000. Angka tersebut mengalami penurunan sebesar 50% jika dibandingkan dengan tahun 1992, saat dimana kasus TBC mencapai puncaknya. Hampir 60% kasus TBC aktif di Amerika Serikat terjadi di antara mereka yang lahir di negara lain. Meksiko, Filipina Vietnam, dan India adalah meyumbang sekitar setengah dari penderita TBC di Amerika Serikat (Russi 2011). Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikit 2 dari 3 pemeriksaan spesimen SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau dalam pemeriksaan radiologi, dada menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada TBC maka yang bersangkutan dianggap positif menderita TBC. Kalau hasil radiologi tidak menunjukkan adanya tanda-tanda TBC, maka pemeriksaan dahak SPS harus diulang (Amin, 2006). Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, maka diberikan antibiotik berspektrum luas selama 1 hingga 2 minggu, amoksilin atau kotrimoksasol. Bila tidak berhasil, dan penderita yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda TBC, maka ulangi pemeriksaan dahak SPS. Selanjutnya prosedur terdahulu dilakukan, yakni kalau dalam pemeriksaan ulang ternyata dahak SPS positif, maka yang bersangkutan adakah positif menderita TBC. Namun, apabila dahak negatif, maka ulangi pemeriksaan radiologi.

18

Apabila hasil radiologi mendukung TBC dianggap sebagai penderita TBC dengan BTA negatif, radiologi positif. Apabila baik radiologi tidak mendukung TBC, spesimen dahak negatif, maka yang bersangkutan bukan TBC (Amin, 2006). Untuk skrining awal TBC sebenarnya dapat dingunakan Mantoux test atau PPD test tetapi karena tingginya prevalensi TBC di Indonesia, maka tes tersebut pada orang dewasa, tidak memiliki makna lagi. Tetapi pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium

tuberculosis (Bloch dan Alan, 2005). Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48 72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:

1. Pembengkakan (Indurasi) : 0 4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis. 2. Pembengkakan (Indurasi) : 5 9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG. 3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Tenaga kesehatan termasuk beresiko untuk tertular TBC dikarenakan seringnya kontak antara tenaga kensehatan dengan penderita TBC. Oleh karena itu CDC menerbitkan pedoman pencegahan penularan TBC untuk tenaga kesehatan yang telah diperbaharui pada

19

tahun 2005. Pedoman CDC tersebut antara lain mencakup identifikasi pasien yang infeksius, penggunaan alat pengaman pribadi, vaksinasi BCG dan pemantauan kesehatan berkala di kalangan tenaga kesehatan. CDC juga menganjurkan untuk meng-isolasi pasien yang beresiko untuk menularkan TBC di ruang isolasi dengan tekanan negatif, penggunaan respirator N 95 untuk tenaga kesehatan yang akan kontak dengan pasien serta meminimalisasi tindakan diagnostik dan terapetik di ruang isolasi (Menzies et al., 1995).

2. Severe Acute Respiratory Distress Syndrome Severe Acute Respiratory Syndrome atau yang lebih dikenal dengan nama SARS penyakit paru akut yang disebabkan oleh coronavirus. SARS pertama kali ditemukan di Hong Kong pada tahun 2002 diawali dengan seorang pria Cina berkunjung dari Cina Selatan dan menyebarkan infeksi ke tamu lain dari hotel tempat ia menginap. Akibatnya wabah SARS menyebar ke seluruh dunia ketika tamu tersebut kembali ke negara asalnya. Cina, Hong Kong, Taiwan, Singapura dan Kanada termasuk negara-negara yang paling parah terkena dampak SARS (Wong, 2004). WHO memperkirakan bahwa sekitar 8000 kasus terjadi di seluruh dunia dan 774 diantaranya berakhir dengan kematian, Case Fatality Rate untuk SARS adalah 9,6%. Asal usul virus ini masih belum diketahui dengan pasti, tetapi studi terbaru menunjukkan bahwa kelelawar mungkin merupakan inang definitif alami. Dari kelelawar virus mungkin telah menular ke hewan liar lainnya termasuk kucing musang yang dijual di pasar China selatan sebagai makanan eksotis (Li et al., 2005).

20

Perjalanan SARS diawali dengan demam mendadak tinggi kadang disertai dengan menggigil, sakit kepala dan mialgia, dan pada beberapa kasus, mungkin dijumpai diare. Gangguan pernafasan ringan sering dijumpai pada beberapa hari berikutnya kadang disertai batuk produktif dan dispnea, dan mungkin juga dijumpai hipoksemia. Pada 80-90% kasus perbaikan terjadi setelah 6-7 hari, tetapi pada ~ 10% kasus terjadi kegagalan pernafasan yang bersifat progresif dan sampai memerlukan ventilator. Pemeriksaan laboratorium untuk SARS juga tidak spesifik seperti leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati dan peningkatan kreatinin phospokinase. Gambaran foto thorax pada SARS bervariasi dan tidak ada yang patognomonis. Pada awal perjalanan penyakit mungkin tidak menunjukkan kelainan tetapi seiring dengan berkembangnya penyakit akan dijumpai gambaran infiltrat yang progresif. Karena tidak adanya simptom dan pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk diagnosis SARS menggunakan kriteria klinis dari WHO. Seseorang dicurigai atau suspected SARS apabila didapatkan 1. Salah satu dari gejala dari infeksi saluran nafas termasuk demam dengan suhu 38 C atau lebih 2. Pernah mengalami salah satu diantara Kontak dengan seseorang yang didiagnosis mengidap SARS pada kurun waktu 10 hari terakhir Mengunjungi salah satu dari daerah yang teridentifikasi oleh WHO sebagai area dengan transmisi lokal SARS (adalah sebagian kawasan Tiongkok, Hong Kong, Singapura dan provinsi Ontario, Kanada).

21

Seseorang yang dicurigai SARS apabila memenuhi kriteria diatas ditambah dengan gambaran radiologi yang mengarah pneumonia atipik atau ARDS disebut probable atau kemungkinan SARS . Seiring dengan kemajuan teknologi diagnostik, WHO menambahkan 1 lagi yaitu laboratory confirmed SARS apabila didapatkan seseorang dengan probable disertai pemeriksaan PCR, ELISA atau immunoflourescence yang mendukung ke arah SARS. Ketiga metode untuk diagnosis SARS seperti yang disebutkan diatas masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Pemeriksaan ELISA cukup dapat diandalkan tetapi hanya dapat dikerjakan setelah 21 hari dari onset penyakit. Pemeriksaan PCR mampu mendeteksi material genetik dari coronavirus akan tetapi meskipun spesifik tetapi tidak sensitif. Artinya apabila seseorang menunjukkan hasil yang positif kemungkinan besar orang tersebut memang menderita SARS akan tetapi apabila hasilnya negatif belum tentu bukan menderita SARS. Sampai sekarang belum ada pengobatan yang efektif untuk SARS. Tindakan yang dapat dikerjakan sementara ini hanya berupa pemberian antipiretik, suplementasi oksigen, dan penggunaan ventilator apabila diperlukan. Penggunaan obat-obat antiretroviral dan steroid masih belum jelas efikasinya. Karena belum adanya terapi yang efektif untuk SARS tindakan pencegahan mempunyai peranan yang sangat penting guna membatasi penyebaran SARS. Terlebih bagi tenaga kesehatan sebab berdasarkan data dari WHO sekitar 22% dari pasien SARS di Hong Kong petugas kesehatan. Jumlah tempat lain bahkan lebih tinggi: 41% di Singapura dan 34% di Guangdong. Langkah-langkah yang digunakan untuk membatasi penyebaran SARS antara lain melakukan skrining dan karantina untuk individu-individu yang diduga

22

mengidap SARS, penggunaan alat pengaman pribadi dan membatasi kontak dengan pasien untuk tenaga kesehatan.

3. Avian Influenza Avian Influenza merupakan infeksi virus yang disebabkan oleh virus influenza sub tipe H5N1 (H=Hemaglutinin, N=Neuramidase) yang pada umumnya menyerang unggas (burung dan ayam). Struktur virus H5N1 dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar 6. Struktur Virus H5N1 Penularan atau transmisi dari virus secara umum dapat terjadi melalui inhalasi, kontak langsung, ataupun kontak tidak langsung (Bridges et.al., 2003). Sebagian besar kasus infeksi H5N1 pada manusia disebabkan penularan virus dari unggas ke manusia (Beigel et.al., 2005). Pada tahun 1997 dari total 18 orang yang didiagnosis telah terinfeksi dengan H5N1 di Hongkong dimana 6 diantaranya meninggal menunjukkan bahwa adanya kontak langsung dari korban dengan unggas yang terinfeksi. Tidak ada risiko yang

23

ditimbulkan dalam mengkonsumsi daging unggas yang telah dimasak dengan baik dan matang (Mounts et.al.,1999). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui risiko terinfeksi H5N1 bagi para pakerja atau peternak unggas (Bridges et.al., 2002), penelitian tentang risiko tenaga kesehatan yang menangani pasien avian influenza A (Schults et.al., 2005), dan juga penelitian tentang kemungkinan transmisi virus H5N1 pada binatang lainnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan cara memberi makan binatang seperti kucing, macan, ataupun macan tutul dengan unggas yang terinfeksi dengan H5N1 terbukti bahwa binatang pemakan daging tersebut dapat mengalami kelainan paru berupa pneumonia, severe diffuse alveolar damage, dan dapat menyebabkan kematian (Keawcharoen et.al., 2004, Kuiken et.al., 2004). Masa inkubasi virus avian influenza A (H5N1) sekitar 2- 4 hari setelah terinfeksi (Yuen et.al., 1998), namun berdasarkan hasil laporan belakangan ini masa inkubasinya bisa mencapai antara 4-8 hari (Chotpitayasunondh et.al., 2005). Sebagian besar pasien memperlihatkan gejala awal berupa demam tinggi (biasanya lebih dari 38o C) dan gejala flu serta kelainan saluran nafas.Gejala lain yang dapat timbul adalah diare, muntah, sakit perut, sakit pada dada, hipotensi, dan juga dapat terjadi perdarahan dari hidung dan gusi. Gejala sesak nafas mulai terjadi setelah 1 minggu berikutnya. Gejala klinik dapat memburuk dengan cepat yang biasanya ditandai dengan pneumonia berat, dispneu, takipneu, gambaran radiografi yang abnormal seperti diffuse, multifocal, patchy infiltrates; interstitial infiltrates; dan kelainan segmental atau lobular. Kematian dan komplikasi biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), ventilator-associated pneumonia, pulmonary hemorrhage, pneumothorax, pansitopenia, Reyes syndrome, sepsis, dan bakteremia

24

(Chotpitayasunondh et.al., 2004). Gambaran lain yang juga sering dijumpai berdasarkan hasil laboratorium adalah, leukopenia, limfopenia, trombositopenia, peningkatan

transaminase, hiperglikemia, dan peningkatan kreatinin (Hien et.al., 2004) Penderita yang terinfeksi H5N1 pada umumnya dilakukan pemeriksaan spesimen klinik berupa swab tenggorokan dan cairan nasal. Untuk uji konfirmasi terhadap infeksi virus H5N1, harus dilakukan pemeriksaan dengan cara : (a) mengisolasi virus, (b) deteksi genom H5N1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan sepasang primer spesifik, (c) tes imunoflouresensi terhadap antigen menggunakan monoklonal antibodi terhadap H5, (d) pemeriksaan adanya peningkatan titer antibodi terhadap H5N1, dan (e) pemeriksaan dengan metode western blott terhadap H5-spesifik(Beigel et.al., 2005 dan WHO, 2005). Untuk diagnosis pasti, salah satu atau beberapa dari uji konfirmasi tersebut diatas harus dinyatakan positif. Dewasa ini terdapat 4 jenis obat antiviral untuk pengobatan ataupun pencegahan terhadap influenza, yaitu amantadine, rimantadine, zanamivir, dan oseltamivir (tamiflu). Mekanisme kerja amantadine dan rimantadine adalah menghambat replikasi virus. Sedangkan zanamivir dan oseltamivir merupakan inhibitor neuraminidase. Sebagaimana kita ketahui bahwa neuraminidase ini diperlukan oleh virus H5N1 untuk lepas dari sel hospes pada fase budding sehingga membentuk virion yang infektif. Bila neuraminidase ini dihambat oleh oseltamivir atau zanamivir, maka replikasi virus tersebut dapat dihentikan. Namun demikian belum ada uji klinik pada manusia yang secara resmi dilakukan untuk mengevaluasi efektifitas dari zanamivir dan oseltamivir untuk pengobatan avian influenza A (H5N1) (Herman dan Strorck., 2005). Secara invitro memang telah diketahui bahwa virus H5N1 sensitif terhadap oseltamivir dan zanamivir, oleh sebab itu dianjurkan bagi

25

penderita yang diduga terinfeksi virus H5N1 dapat diberikan obat oseltamivir atau zanamivir (Leneva et.al.,2000). Namun belakangan ini telah ditemukan bahwa Virus H5N1 yang diisolasi beberapa kasus penderita flu burung telah resisten terhadap oseltamivir (WHO,2005). Disamping pemberian obat antiviral, terapi suportif di dalam perawatan di rumah sakit sangat penting untuk dilaksanakan. Sebagian besar penderita memerlukan oksigenasi, dan pemberian cairan parenteral (infus). Obat lain yang dapat diberikan adalah antibiotika berspektrum luas dan juga kortikosteroid (Beigel et al., 2005). Sampai saat ini belum ada vaksin yang tersedia untuk mencegah manusia terhadap infeksi H5N1. Berbagai upaya pengembangan vaksin H5N1 untuk manusia telah dan sedang dilakukan. The National Institute of Allergy and Infectious Diseases USA (NIAID), menyatakan bahwa uji keamanan terhadap vaksin baru H5N1 telah dilakukan sejak awal tahun 2005. Beberapa perusahaan farmasi antara lain Sanofi Pasteur dan Chiron sedang mengem-bangkan kandidat vaksin yang akan melakukan uji klinik fase I bekerja-sama dengan NIAID. Sebagai upaya pencegahan, WHO merekomendasikan untuk orang-orang yang mempunyai risiko tinggi kontak dengan unggas atau orang yang terinfeksi seperti peternak unggas, tenaga kesehatan, atau dokter hewan untuk diberikan terapi profilaksi dengan 75 mg oseltamivir sekali sehari, selama 7 sampai 10 hari. Beberapa hal yang patut diperhatikan untuk mencegah semakin meluasnya infeksi H5N1 pada manusia adalah dengan menjaga kebersihan lingkungan, menjaga kebersihan diri, gunakan penutup hidung dan sarung tangan apabila memasuki daerah yang telah terjangkiti atau sedang terjangkit virus flu burung, dan amati dengan teliti kesehatan kita apabila telah melakukan kontak dengan

26

unggas/burung. Segeralah cari perhatian medis apa-bila timbul gejala-gejala demam, infeksi mata, dan/atau ada gangguan pernafasan.

C. Vectorborne Diseases Kontak dengan vektor arthropada terutama nyamuk sering terjadi di antara jagawana, pekerja pembibitan,petani, peternak, pekerjaan konstruksi, tentara, dan pekerjaan lain yang bekerja di luar ruangan. Langkah-langkah pencegahan yang harus dilakukan oleh para pekerja di luar ruangan untuk mencegah penyebaran penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk-misalnya malaria- antara lain mengenakan kemeja lengan panjang, menggunakan repellants, memasang kelambu jika tidur di luar pintu, menghindari pekerjaan luar ruangan saat fajar dan senja (Russi, 2011). Selain nyamuk, tikus juga dapat menjadi vektor penyakit misalnya leptospira.

1. Malaria Malaria adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Malaria sering ditemukan di daerah tropis dan subtropis dimana vektornya yaitu nyamuk Anopheles dapat bertahan hidup dan berkembang biak. Umumnya parasit malaria, Plasmodium sp dapat menyelesaikan siklus pertumbuhan dalam nyamuk pada suhu di atas 20 C. Setiap tahun ditemukan sekitar 300350 juta kasus malaria dengan penyumbang terbanyak ada di daerah Sub-Sahara Afrika. Pekerjaan yang beresiko untuk terinfeksi malaria terutama terutama adalah pekerjaan yang berhubungan dengan hutan seperti penebang kayu. Selain itu Pencegahan malaria adalah

27

dengan menggunakan profilaksi obat anti malaria untuk mereka yang bepergian ke daerah endemis serta menghindari gigitan nyamuk baik itu penggunaan kelambu atau repellant (Russi, 2011).

2. Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi . Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus (Okatini et al., 2007). Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di kulit, mulut, cairan urin, kontak seksual dan cairan abortus. Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi (Patel, 2003).

28

Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh . Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada petani, pemulung sampah dan pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira . Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam (Okatini et al., 2007). Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati. Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kematian tubuli ginjal). Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer. Pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi (Speelman, 2005). Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang pada pembuluh darah. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan menetap dalam

29

beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang. Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun (Speelman, 2005). Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari . Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa . Infeksi L. Interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat. Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif. Sekitar 90 persen penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik (Speelman, 2005). Fase Septikemik Fase Septikemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahanotot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati (Speelman, 2005). Fase Imun Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dariurin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi

30

dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal (Speelman, 2005). Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan ikterus, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun. Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis. Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien (Speelman, 2005). Tindakan pencegahan yang dapat dikerjakan antara lain menjaga kebersihan, menghindari kontak dengan air yang berpotensi terkontaminasi Leptospirosis,

menggunakan pakaian pelindung dan alas kaki, mengendalikan populasi hewan pengerat dan imunisasi hewan ternak (Lim, 2009). Doksisiklin 200 mg sekali seminggu telah terbukti efektif untuk kemoprofilaksis (Takafuji et al., 1984). Sampai saat ini belum ada vaksin untuk mencegah infeksi Leptospirosis pada manusia.

31

BAB III Kesimpulan

Penyakit infeksi akibat kerja adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan pekerjaan dan diakibatkan karena kontak dengan bakteri, virus, parasit atau jamur. Secara garis besar transmisi penyakit infeksi akibat kerja dapat melalui kontak dengan darah, transmisi melalui udara dan terakhir dibantu melalui vektor. Pekerjaan yang beresiko antara lain pekerja kesehatan, petani, dokter hewan peternak unggas, militer, pekerja konstruksi dan lain-lain. Sama seperti penyakit infeksi pada umumnya, penyakit infeksi akibat kerja dapat dicegah salah satunya dengan vaksinasi, perlindungan yang memadai, serta meminimalisir kontak dengan bahan-bahan infeksius. Untuk vaksin misalnya, terbukti dapat mengurangi resiko seseorang untuk terinfeksi hepatitis B atau pemberian BCG mampu mencegah bentuk TBC lebih yang berat misalnya meningitis TBC.

32

Daftar Pustaka

Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Departemen Penyakit Dalam FK UI. 2006 :988-994 Amin Z, Bahar A. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Departemen Penyakit Dalam FK UI. 2006 :988-994 Beigel JH, Farrar J, Han AM, et.al. Avian influenza (H5N1) infection in humans. N Engl J Med. 2005 : 1374-1385. Bell DM. Occupational risk of human immunodeficiency virus infection in healthcare workers: an overview. American Journal of Medicine 1997 ; 102 (suppl. 5B ): 9 14. Bloch, Alan B.; Advisory Council for the Elimination of Tuberculosis (September 1995). Screening for tuberculosis and tuberculosis infection in high-risk populations. Recommendations of the Advisory Council for the Elimination of Tuberculosis. MMWR 1995; 44: 1934. Bridges CB, Keurhnet MJ, Hall CB. Transmission of influenza : im-plecation for control in health care setting Clin Infect Dis. 2003; 37 : 1094 1101. Centers for Disease Control and Prevention. Guidelines for preventing the transmission of Mycobacterium tuberculosis in health care facilities, 1994. MMWR 1994; 43: 1 132. Centers for Disease Control and Prevention. Recommendations for follow-up of healthcareworkers after occupational exposure to hepatitis C virus. MMWR 1998; 47: 603 606 . Chotpitayasunondh T, Ungchusak K, Hanshaoworakul W, et al. Hu-man disease from influenza A (H5N1), Thailand, 2004. Emerg Infect Dis 2005; 11 : 201-209. Dienstag JL, Isselbacher KJ. Acute Viral Hepatitis. In Kasper DL,Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL and Jameson JL,Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th ed. Mc Graw-Hill,1822-1838. 2005. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Departemen Penyakit Dalam FK UI. 2006 :1825-1829 Herman RA, and Strock M. Possibel Pandemic Threat on the horizon-Avian influenza A (H5N1). World Drug Infor. 2005; 16(4) : 1-4. Hien TT, Liem NT, Dung NT, et al. Avian influenza A (H5N1) in 10 patients in Vietnam. N Engl J Med 2004; 350: 1179-1188. Hung Fan, Conner RF, Villarreal LP. AIDS: Science and Society. Jones & Bartlett Publishers. : 2010 : 150-151. Jaeckel E, Cornberg M, Wedemeyer H, et al. Treatment of acute hepatitis C with interferon alfa-2b. New England Journal of Medicine 2001; 345: 1452 1457 Keawcharoen J, Oraveerakul K, Kuiken T. Avian influenza H5N1 in tigers and leopards Emerg Infect Dis . 2004 : 2189-2191. Leneva IA, Roberts N, Govorkova EA, Goloubeva OG, Webster RG. The neuraminidase inhibitor GS4104 (oseltamivir phosphate) is efficacious against A/Hong Kong/156/97 (H5N1) and A/ Hong Kong/1074/99 (H9N2) influenza viruses. Antiviral Res 2000;48:101-115.

33

Lim VKE. Occupational Infections. Malaysian J Pathol 2009; 31 : 19 Li W, Shi Z, Yu M, Ren W, Smith C, Epstein J, Wang H, Crameri G, Hu Z, Zhang H, Zhang J, McEachern J, Field H, Daszak P, Eaton B, Zhang S, Wang L. Bats are Natural Reservoirs of SARS-like Coronaviruses. Science 2005; 310: 676-9 Lynch P, White MC. Perioperative blood contact and exposures: A comparison of incident reports and focused studies. American Journal of Infection Control 993; 21: 357 363. Mahoney FJ, Stewart K, Hu H, Coleman P, Alter MJ. Progress toward the elimination of hepatitis B virus transmission among health care workers in the United States. Arch Intern Med 1997; 157:260 1 -3 Kissling E, Allison EH, Seeley JA, Russell S. Fisherfolk are among groups most at risk of HIV: cross-country analysis of prevalence and numbers infected. AIDS 2005; 19: 1939-1946. Knipe DM, Howley PM. Fields virology, Volume 1. Lippincott William & Wilkins. 2001 : 596-598. Menzies D, Fanning A, Yuan L, Fitzgerald M. Tuberculosis among health care workers. N Engl J Med 1995; 332: 92-8. Milich D, Liang T.J.Exploring the Biological Basis of Hepatitis B e Antigen in hepatitis B Virus Infection. Hepatology 2003;38:1075-1086. Mount AW, Kwong H., Isureita HS, et.al. Case control study of risk faktors for avian influenza A(H5N1) disease, Hongkong, 1997. J Infect Dis 1999 : 505-508 Occupational Health Statistics Bulletin 2003/2004. Health and Safety Executive. United Kingdom Okatini M, Purwana R, Djaja I M. Hubungan Faktor Lingkungan dan Karakteristik Individu terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di Jakarta, 2003-2005. Makara kesehatan 2007 : 17-24 Patel D, Occupational Infections. ABC Occupational Infections and Environmental Medicine 2nd Edition. BMJ Publishing Group. 2003 : 86-85 Pruss-Ustun A., Rapiti EHY. Estimation of the global burden of disease attributable to contaminated sharps injuries among health-care workers. Am J Ind Med 2005; 48:482-90 Russi M, Biological Hazards. Occupational and Environmental Health 6th Edition. Oxford University Press. 2011 : 281-295 Spach DH, Hofmann J. Hepatitis B Serologic and Virologic Markers of Hepatitis B Virus Infection, Available at:http://depts.Washington.edu/hepstudy/hepB//clindx/serology/index.html Speelman P. Leptospirosis. In Kasper DL,Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL and Jameson JL,Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th ed. Mc GrawHill,988-991. 2005. Takafuji E, Kirkpatrick J, Miller R, Karwacki J, Kelley P, Gray M, McNeill K, Timboe H, Kane R, Sanchez J. An efficacy trial of doxycycline chemoprophylaxis against leptospirosis. N Engl J Med 1984; 310: 497-500 Tokars JI, McKinley GF, Otten J. Use and efficacy of tuberculosis infection control practices at hospital with previous outbreaks of multidrug-resistant tuberculosis . Infection Control and Hospital Epidemiology 2001; 22: 449 455

34

WHO. (2006) : Cumulative Number of Confirmed Human Cases ofAvian Influenza A/(H5N1) Reported to WHO, 28 Agustus 2006. Available from : http://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/country/cases_table_2006_08_23/e n/index.htm. WHO. WHO inter-country-consultation: influenza A/H5N1 in humans in Asia:Manila, Philippines, 6-7 May65 Vol. III, No.2, Agustus 2005. available from: http://www.who.int/csr/resources/publications/influenza/WHO. WHO meeting on development an evaluation of influenza pandemic vaccines, 2-3 November 2005: http://www.who.int/ vaccine_research/diseases/influenza/mtg_021205/en/index2.html. WHO. Early detection of HIV infection in infants and children: http://www.who.int/hiv/paediatric/EarlydiagnostictestingforHIVVer_Final_May07. pdf Wong O. Severe acute respiratory syndrome (SARS). Occup Environ Med 2004;61 : e1 Wong DK, Tanaka Y, Lai CL, Mizokami M, Fung J, Yuen MF.Hepatitis B Virus CoreRelated Antigens as Markers for Monitoring Chronic Hepatitis B Infection. J of Clin Microb, 2007; 3942-47 WHO. WHO inter-country-consultation: influenza A/H5N1 in humans in Asia:Manila, Philippines, 6-7 May65 Vol. III, No.2, Agustus 2005. available from: http://www.who.int/csr/resources/publications/influenza/WHO. WHO meeting on development an evaluation of influenza pandemic vaccines, 2-3 November 2005: http://www.who.int/ vaccine_research/diseases/influenza/mtg_021205/en/index2.html.

35

36

Anda mungkin juga menyukai