Anda di halaman 1dari 2

Jujur Ancur, Curang Menang???

Jika kita perhatikan kejadian sekarang ini sepertinya kita harus mengelus dada. Betapa tidak? Fenomena kekalahan pihak yang jujur dan kemenangan pihak yang curang terjadi di mana-mana, dari level terendah sampai dengan level tertinggi. Dari level rendah kita bisa contohkan walaupun tidak mewakili semuanya, namun cukup kentara ujian nasional (UN). Siswa yang biasanya mendapat prestasi tinggi kadangkala tidak lulus, dan bahkan dikalahkan siswa yang dicap malas dan badung oleh guru. Di berbagai daerah terdapat sekolah dengan disiplin pendidikan ketat, yang harus menelan pil pahit dengan angka kelulusan yang rendah, sedangkan di daerah lainnya sekolah yang siswanya membeli bocoran kunci jawaban dengan congkaknya merayakan kelulusan. Sementara itu, di level atas negeri ini kita bisa mengambil misal dari kasus Bibit-Candra vs. Anggodo. Pihak Bibit-Candra yang oleh insan Indonesia dinilai sebagai orang jujur dikalahkan di Pengadilan Jakarta Selatan oleh Anggodo yang tertangkap basah bermain curang dengan mengobrak-abrik institusi pengadilan. Contoh di atas hanyalah sebagian kecil peristiwa yang terjadi dan kita saksikan langsung. Benarkah sudah saatnya kita harus saling main curang untuk meraih tujuan kita? Benarkah kejujuran sudah tidak punya tempat lagi di bumi Indonesia? Pertanyaan di atas menohok kesadaran kita akan prinsip yang selama ini kita anut. Sebagai manusia kita diberkati Tuhan dengan nafsu dan sekaligus akal sehat. Nah, akal sehat setiap insan inilah yang menuntun manusia pada kesadaran tingginya. Dengan akal sehat manusia dapat memilih yang baik atas yang buruk. Akal sehat pulalah yang memberikan kepada kita bimbingan untuk mengendalikan hawa nafsunya. Kemenangan yang diraih oleh para pelaku kecurangan selaiknya kita tempatkan sebagai kemenangan sesaat, yang pada akhirnya hanya akan menjerumuskan mereka dalam kesesatan yang kian jauh. Satu perbuatan curang akan diikuti oleh perbuatan-perbuatan curang yang lain. Hal ini pada akhirnya akan menggerogoti diri mereka sendiri. Mereka semakin buas mencari cara berbuat curang yang lebih canggih; dan ketika mentok, mereka sudah sampai pada tingkat kecurangan yang sangat tinggi. Dan hukuman berat pun menanti. Para siswa yang mendapatkan nilai UN fantastis dengan menggunakan cara kotor akan mendapati diri mereka dalam kesulitan di kemudian

Tuesday, April 27, 2010

hari. Dengan nilai mereka yang too good to be true mereka bisa saja diterima di universitas favorit. Namun setelah berada di sana, mereka akan jauh tersisih dari teman sekelasnya. Mereka baru tersadar bahwa mereka pada tempat yang salah karena tidak cukup mampu mengikuti perkuliahan. Kalaupun mereka berhasil menempuh perkuliahan, godaan selanjutnya akan muncul untuk membuat karya tulis palsu. Kemungkinan menjadi plagiator sangat besar bagi mereka. Dan jika ini terjadi, hancur sudahlah kredibilitas mereka di mata masyarakat umum. Walhasil, sia-sia lah kemenangan mereka sebelumnya, yang justru menghempaskan diri mereka sendiri. Terhadap kekalahan yang diderita pihak jujur seharusnya kita anggap sebagai kekalahan sementara, dan kemenangan yang tertunda. Hal ini bisa dijadikan cambuk untuk dapat lebih bersemangat meraih kemenangan ke depan dengan tetap berpegang teguh pada nilai kebenaran dan kejujuran. Jika saja dalam anggapan umum tetap saja mereka kalah, toh sejatinya mereka telah mendapatkan kemenangan hakiki, yaitu mengalahkan hawa nafsu dengan akal sehat mereka. Yakinlah bahwa kemenangan yang manis adalah kemenangan yang dihasilkan dengan usaha keras dan cerdas, bukan dengan cara malas dan culas. So, masihkah kita mengatakan, Jujur ancur, curang menang? Hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya.

Fahmi Mubarok Pemerhati Pendidikan Alumni University of Wyoming, USA Tinggal di Tegal

Tuesday, April 27, 2010

Anda mungkin juga menyukai