Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan trombositopenia yang menetap atau angka trombosit darah perifer kurang dari 150.000/l yang disebabkan karena adanya autoantibodi yang mengikat antigen trombosit sehingga menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limfa. Penyakit ini ditandai dengan adanya ekstravasasi sel darah merah ke kulit dan selaput lendir dengan manifestasi berupa macula kemerahan yang tak hilang dengan penekanan. Hal ini diebabkan karena jumlah tro,bosit dalam darah kurang dari normal. Pada anak-anak tipe PTI yang terjadi adalah tipe akut yang sering mengikuti suatu infeksi dan sembuh dengan sendirinya (self limited). Pada orang dewasa umumnya merupakan tipe kronis. Insidensi pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000. Kelainan ini dapat terjadi secara akut dan umumnya terjadi pada anak-anak dengan usia antara 2-6 tahun. Selain itu, pada 7-28 % anak-anak dengan kelainan PTI akut dapat berkembang menjadi bentuk kronik sebanyak 15-20%. Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak pertahun. Trombosit disebut juga sebagai keeping darah, dan berfunsgi sebagai penutup luka dengan jalan membentuk gumpalan trombosit pada tempat kerusakan pembuluh darah, membentuk faktor pembekuan, dan mengeluarkan sitokinin untuk konsentrasi pembuluh darah dan untuk mempercepat pembentukan gumpalan trombosit.

B. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk: 1. Dapat mengetahui etiologi PTI 2. Dapat mengetahui tanda dan gejala klinis PTI pada anak 3. Dapat mengetahui jenis-jenis PTI dan penyebabnya 4. Dapat menegakan diagnosis penyakit PTI 5. Dapat memberikan penatalaksanaan PTI

C. Manfaat

1. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang penyakit ITP dan gejalagejala klinisnya. 2. Untuk menambah pengetahuan mengenai penatalaksanaan yang tepat agar penderita ITP mendapatkan penatalaksanaan yang berhasil guna.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi

Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu keadaan perdarahan yang disifatkan oleh timbulnya petekie atau ekimosis di kulit ataupun pada selaput lendir dan adakalanya terjadi pada berbagai jaringan dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak diketahui. Trombositopenia tersebut terjadi karena adanya penghancuran trombosit secara dini dalam system retikuloendotelial akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Imunoglobulin G (IgG) yang bersikulasi dalam darah.Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/mm3. Jumlah trombosit yang rendah ini dapat merupakan akibat berkurangnya produksi atau meningkatnya penghancuran trombosit. Namun, umumnya tidak ada manifestasi klinis hingga jumlahnya kurang dari 100.000/mm3. Ekimosis yang bertambah dan perdarahan yang memanjang akibat trauma ringan terjadi pada kadar trombosit kurang dari 50.000/mm3. Sedangkanpetekie merupakan manifestasi utama dengan jumlah trombosit kurang dari 30.000/mm3. Pada perdarahan mukosa, jaringan dalam, dan intrakranial jumlah trombosit kurang dari 20.000/mm3, dan hal ini membutuhkan tindakan segera untuk mencegah perdarahan dan kematian. Ciri khas dari penyakit PTI adalah adanya trombositopenia, jumlah megakariosit normal atau meningkat, dan tidak ditemui keadaan-keadaan yang merupakan penyebab seperti reaksi obat, infeksi aktif, Disseminata Intravascular Coagulation (DIC), splenomegali, dan penyakit-penyakit jaringan ikat. Kategori PTI dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu akut, kronis, dan refractory. Pada bentuk akut didefinisikan sebagai kelainan yang kurang dari 6 bulan. Bentuk kronik didefinisikan sebagai kelainan yang menetap lebih dari 6 bulan. Sedangkan refractory merupakan bentuk PTI yang

persisten walaupun telah diberikan pengobatan steroid yang adekuat dan splenektomi. Sedangkan berdasarkan etiologi, klasifikasi PTI dibagi menjadi dua, yaitu primer (idiopatik) dan sekunder. Penyebab PTI tersering adalah pada penyakit SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) dan CLL (Chronic Lymphocytic Leukemia).

B. Trombosit

Trombosit bukan merupakan sel, tetapi merupakan fragmen-fragmen sel granular, berbentuk cakram, tidak berinti. Trombosit ini merupakan unsur seluler sumsum tulang terkecil dan penting untuk homeostasis dan koagulasi. Trombosit berasal dari sel induk pluripoten yang tidak terikat (noncommitted pluripoten stem cell), yang jika ada permintaan dan dalam keadaan adanya faktor perangsang trombosit (Mk-CSF) yang merupakan faktor perangsang koloni megakariosit, interleukin dan TPO (faktor pertumbuhan dan perkembangan megakariosit) berdiferensiasi menjadi kelompok sel induk yang terikat (committed stem cellpool) untuk mrmbentuk megakariobals. Sel ini melalui serangkaian prosesmaturasi, menjadi megakariosit raksasa. Tidak seperti unsur sel lainnya,megakariosit mengalami endomitosis, terjadi pembelahan inti di dalam sel tetapi 5 sel itu sendiri tidak membelah. Sel dapat membesar karena sintesis DNA meningkat. Sitoplasma sel akhirnya memisahkan diri menjadi trombosittrombosit. Trombosit berdiameter 14 m dan memiliki siklus hidup kira-kira 10 hari. dan lebih kurang sepertiganya berada di dalam lien sebagai sumber cadangan dan sisanya berada dalam sirkulasi. Jumlahnya antara 150.000400.000 /mm3. Jika apusan darah perifer menggunakan pewarnaan Wright, maka sel-sel ini terlihat biru muda dengan granula berwarna merah-ungu.

Gambar 1.Trombopoietin

Fungsi trombosit antara lain sebagai faktor hemostasis (peristiwa penghentian perdarahan akibat putusnya atau robeknya pembuluh darah) dan thrombosis (peristiwapenghentian perdarahan ketika endothelium yang melapisipembuluh darah rusak atau hilang), prosesnya mencakup pembekuan darah atau koagulasi dan melibatkan pembuluh darah, agregasi trombosit, serta protein plasma yang menyebabkan pembekuan maupun yang melarutkan pembekuan. Dalam prosesnya melibatkan dua lintasan, yaitu :

1. Lintasan intrinsik Lintasan intrinsik ini melibatkan faktor XII, XI, IX, VIII, dan X di samping prekalikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi, ion Ca2+ dan fosfolipid trombosit. Lintasan ini membentuk faktor Xa (aktif). Lintasan ini dimulai dengan fase kontak dengan prekalikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi, faktor XII dan XI terpajan pada permukaan pengaktif

yang bermuatan negative. Secara in vivo, kemungkinan protein tersebut teraktif pada permukaan sel endotel. Kalau komponen dalam fase kontak terakit pada permukaan pengaktif, faktor XII akan diaktifkan menjadi faktor XIIIa pada saat proteolisis oleh kalikrein. Faktor XIIa ini akan menyerang prekalikrein untuk menghasilkan lebih banyak kalikrein lagi dengan menimbulkan aktivasi timbal balik. Begitu terbentuk, faktor XIIa mengaktifkan faktor XI menjadi Xia dan juga melepaskan bradikinin (vasodilator) dari kininogen dengan berat molekul tinggi.1 Faktor XIa dengan adanya ion Ca2+ mengaktifkan faktor IX menjadi enzim serin protease, yaitu faktor IXa. Faktor ini selanjutnya memutuskan ikatan Arg-Ile dalam faktor X untuk menghasilkan serin protease 2-rantai, yaitu faktor Xa. Rekasi yang belakangan ini memerlukan perakitan komponen, yang dinamakan kompleks tenase, pada permukan trombosit aktif, yaitu Ca2+,faktor IXa, dan faktor X. bagi perakitan kompleks tenase, kali pertama trombosit harus diaktifkan untuk membuka fosfolipid asidik (anionik) fofatidil serindan fosfatoidil inositol yang normalnya terdapat pada sisi keadaan inaktif. Faktor VIII, suatu glikoprotein, bukan merupakan precursor protease, tetapi kofaktor yang berfungsi sebagai reseptor untuk faktor IXa dan X pada permukaan trombosit. Fakto VIII diaktifkan oleh thrombin dengan junlah yang sangat kecil sehingga terbentuk faktor VIIIa, yang selanjutnya diinaktifkan oleh thrombin dalam proses pemecahan yang lebih lanjut.

2. Lintasan ekstrinsik Lintasan ekstrinsik melibatkan faktor jaringan, faktor VII, X, serta Ca2+ dan menghasilkan faktor Xa. Produksi faktor Xa dimulai pada tempat cedera jaringan dengan ekspresi faktor jaringan pada sel endotel. Faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VII dan mengaktifkannya. Faktor VII merupakan glikoprotein yang mengandung Gla, beredar dalam darah dan disintesis di hati. Residu Gla dalam region terminal amino pada molekul tersebut berfungsi sebagai tempat pengikatan berafinitas tinggi utuk Ca2+. Faktor jaringan bekerja sebagai kofaktor untuk faktor VIIa dengan Arg-Ile yang sama dalam faktor X yang diptong oleh kompleks tenase pada lintasan intrinsic. Aktivasi faktor X menciptakan hubungan yang penting antara lintasa intrinsic dan ekstrinsik. Pada lintasan terakhir yang sama, faktor Xa yang dihasilkan oleh lintasan intrinsic dan ekstrinsik akan mengaktifkan protrombin (faktor II) menjadi thrombin (IIa) kemudian mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Pengaktifan protrombin terjadi pada permukaan trombosit aktif dan

memerlukan perakitan kompleks protrombinase yang terdisi atas fosfolipid anionik platelet, Ca2+m faktor Va, faktor Xa, dan protrombin.

Bagan 1. Kaskade Faktor

C. Etiologi

1. Genetik Sindrom PTI telah didiagnosis pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga diketahui adanya kecenderungan menghasilkan antibodi pada anggota keluarga yang sama. Autoantibodi ini ditemukan pada 75% pasien PTI. Peningkatan jumlah IgG terlihat di permukaan trombosit dan kecepatan destruksi trombosit pada PTI proporsional terhadap kadar yang menyerupai trombosit yang berhubungan dengan immunoglobulin. Autoantibodi dengan mudah ditemukan dalam plasma atau dalam elusi trombosit pada pasien dengan penyakit yang aktif dan jarang ditemukan pada pasien yang mengalami remisi. Hilangnya antigen-antibodi berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang normal. Masa hidup trombosit memendek pada PTI berkisar 2-3 hari sampai beberapa menit. Pasien yang trombositopenia ringan sampai sedang mempunyai masa hidup terukur yang lebih lama dibandingkan dengan pasien dengan trombositopenia berat. 2. Non-Genetik Selain antibodi, penyebab PTI yang lain adalah hipersplenisme, infeksi virus (demam berdarah, morbili, varisela), intoksikasi makanan atau obat (asetosal, fenibutazon, diamox, kina, sedormid) atau bahan kimia, pengaruh fisik (radiasi dan panas), kekurangan faktor pematangan (malnutrisi), DIC (misalnyapa DSS, leukemia, respiratory distress syndrome pada neonatus).

D. Patofisiologi Gejala dan Tanda

Gambar 2. Patofisiologi PTI

Sindrom PTI disebabkan oleh antibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit mononuklir melalaui reseptor Fc makrofag. Trombosit yang diselimuti oleh antibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar pasien, akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagian kecil yang lain, produksi trombosit akan terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang diselimuti antibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang (intramedullary), sebagian karena adanya hambatan pembentukan megakariosit (megacaryocytopoiesis), kadar trombopoietin tidak meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit yang normal. Antigen pertama yang berhasil

diidentifikasi berasal dari kegagalan antibody PTI untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurangan kompleks glikoprotein Iib/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein Ib/IX, Ia/Iia, IV dan V dan determinan trombosit yang lain, serta ditemukan beberapa antiobodi yang bereaksi dengan berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang diperkirakan dipicu oleh antibodi akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopeni. Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein Iib/IIIa memperlihatkan restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibodi yang berasal dari display phage menunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen dari antigen-antibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi antibodi. Pasien PTI dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR + T cells, peningkatan jumlah reseptor interleukin 2, dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi antibodi sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis antibody setelah terpapar fragmen glikoprotein Iib/IIIa tetapi bukan karena terpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang bertahan lama tidak diketahui dengan pasti. Pada umumnya, faktor yang memicu produksi antibodi tidak diketahui. Kebanyakan pasien mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein Iib/IIIa dikenali oleh antibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini. Trombosit yang diselimuti antibody akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses internalisasi dan degradasi. Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein Iib/IIIa, tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain. Sel penyaji antigen yang teraktivasi akan mengekspresikan peptide baru pada permukaan sel dengan bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4positif T cell clone (T-cell clone-1) dan spesifitas tambahan (T-cell clone-2). Reseptor immunoglobulin sel B yang mengenali antigen trombosit (B-cell clone-2) dengan demikian akan menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein Ib/IX antibody dan juga meningkatkan produksi anti-glikoprotein Iib/IIIa antobodi oleh B-cell clone-2.1

E. Gambaran Klinis

Awitan sering terjadi perlahan dengan perdarahan berupa petekie dan mudah memar, pada wanita pubertas dan dewasa dapat terjadi menoragia. Sedangkan pada perdarahan mukosa, misalnya epistaksis atau perdarahan gusi terjadi pada kasus berat. Perdarahan intracranial dapat juga terjadi pada kasus berat, tetapi jarang. Beratnya perdarahan pada PTI biasanya tidak seberat pada penderita trombositopenia yang sebanding akibat kegagalan sumsum tulang, hal ini disebabkan karena beredarnya trombosit yang sebagian besar muda dengan fungsi yang lebih unggul pada PTI. Gejala dapat timbul mendadak, terutama pada anak tetapi dapat pula hanya berupa kebiruan atau epistaksis selama jangka waktu yang berbeda-beda. Tidak jarang terjadi gejala timbul setelah suatu peradangan atau infeksi saluran nafas bagian atas akut. Pada PTI akut dan berat dapat timbul pula pada selaput lendir yang berisi darah atau bula hemoragik. Gejala lainnya adalah perdarahan traktur genitourinarius (menoragia dan hematuria), traktus digestivus (hematemesis dan melena), pada mata terutama pada konjungtiva dan retina, dan yang terberat namun jarang terjadi adalah perdarahan pada Sistem Saraf Pusat (SSP) berupaperdarahan subdural. Pada pemeriksaan fisik, umumnya tidak banyak dijumpai kelainan, kecuali adanya petekie dan ekimosis. Pada kira-kira 20% kasus dapat dijumpai splenomegali ringan, terutama pada hipersplenisme. Dapat pula ditemukan demam ringan apabila terdapat perdarahan berat atau perdarahan traktus gastrointestinalis. Jika kehilangan darah yang banyak dapat terjadi renjatan atau syok.Kelainan PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa dengan awitan mendadak dan didahului riwayat infeksi, terutama penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh virus. Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah Varisella zoster dan Eibstein barr. Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi kurang dari 1% pasien. Penyakit akut pada anak biasanya self limiting, remisi spontan terjadi pada 90% pasien, 60% pasien sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh alam 3-6 bulan. Kelainan PTI kronis jarang terjadi pada anak, insidensi tertinggi diperkirakan terjadi pada wanita berusia 15-50 tahun. Penyakit ini biasa ditemukan terkait dengan penyakit lain seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), infeksi HIV/AIDS, leukemia limfositik kronis (CLL), penyakit Hodgkin, dan anemia hemolitik autoimun. Pada dasarnya, gambaran klinis dari PTI dibagi menjadi dua, yaitu

1. PTI akut PTI akut lebih sering dijumpai pada anak-anak, jarang pada orang dewasa. Awitan penyakit biasanya mendadak, riwayat infeksi sering mengawali terjadinya perdarahan berulang, sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus yang merupakan 90% dari kasus kelainan trombositopenia imunologik. Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah Varisella zoster dan Ebstein barr. Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi kurang dari 1% pasien. Pada PTI dewasa, bentuk akut jarang terjadi, namun dapat mengalami perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulminan. Sindrom PTI akut pada anak biasanya self limiting, remisi spontan terjadi pada 90% pasien, 60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.32. 2. PTI kronik Awitan PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat perdarahan sering, dari kualitas ringan hingga sedang. Infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi serta memiliki perjalanan klinis yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, mungkin intermiten atau bahkan terus-menerus. Remisi spontan jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak lengkap.1 Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, petekie, purpura, dan pada umumnya berat dan frekuensi perdarahan berkolerasi dengan jumlah trombosit. Secara umum hubungan antara jumlah trombosit dengan gejala antara lain bila pasien dengan AT > 50.000/l biasanya asimptmatik, AT 30.000-50.000/l terdapat luka memar atau hematom, AT 10.00030.000/l terdapat perdarahan spontan, menoragia, dan perdarahan memanjang apabila terdapat luka. AT < 10.000/l terjadi perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gastrointesitinal, dan genitourinaria) dan risiko perdarahan system saraf pusat. Perdarahan gusi dan epistaksis sering terjadi, dan dapat berasal dari lesi petekie pada mukosa nasal, juga dapat ditemukan pada tenggorokan dan mulut. Traktus genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang paling sering dan bisa bermanifestasi melena dan kadang-kadang dengan hematemesis. Sedangkan menoragia dapat merupakan gejala satu-satunya dari PTI dan mungkin tampak pertama kali pada pubertas. Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang paling serius pada PTI. Hal ini hampir mengenai 1% pasien dengan trombositopenia berat.Perdarahan biasanya di subarachnoid, sering multiple dan ukuran bervariasi dari petekie sampai ekstravasasi darah yang luas.

.F. Langkah Diagnostik

1. Anamnesis a. Trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi bakteri atau virus (infeksi saluran nafas atau saluran cerna), misalnya rubella, rubeola, varisela atau setelah vaksinasi dengan virus hidup. b. Riwayat perdarahan, gejala dan tipe perdarahan, lama perdarahan, riwayat sebelum perdarahan. c. Riwayat pemberian obat-obatan, misalnya heparin, sulfonamide, kuinidin/kuinin, dan aspirin. d. Riwayat ibu menderita HIV, riwayat keluarga yang menderita trombositopenia atau kelainan hematologi.

2. Pemeriksaan Fisik a. Perhatikan manifestasi perdarahan, tipe perdarahan termasuk perdarahan retina, dan beratnya perdarahan. Stadium Trombosit (x103/ul) Gejala dan pemeriksaan fisik Rekomendasi 1 50-150 Tidak ada Tidak ada 2 >20 Tidak ada Pengobatan individual (terapi preventif) 3 >20 dan atau <10 Perdarahan mukosa Perdarahan minor

Dirawat di RS dan IVIG atau kortikosteroid Stadium 1 2 Trombosit 50- 150 20 Tidak ada Tidak ada Gejala dan pemeriksaan fisik Rekomendasi Tidak ada Tindakan individual ( terapi prefentif ) 3 20 dan atau Pendarahan mukosa < 10 Pendarahan minor Di rawat di RS atau IVIG kortikostreoid atau

Tabel. Stadium Perdarahan Trombositopenia

b. Perabaan hati, limpa, kelenjar getah bening. c. Adanya infeksi. d. Adanya gambaran dismorfik yang diduga sebagai kelainan tulang, kehilangan pendengaran. 3. Pemeriksaan Penunjang a. Morfologi eritrosit, leukosit, dan retikulosit biasanya normal.hemoglobin, indeks eritrosit, dan jumlah leukosit normal. b. Trombositopenia, besar trombosit normal atau lebih besar (giant platelet), masa perdarahan memanjang. c. Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang tidak perlu dilakukan bila gambaran klinis dan laboratory klasi, tapi perlu dilakukan bila ditemukan limfadenopati, organomegali, anemia atau kelainan jumlah leukosit.

F. Diagnosis Banding

Trombositopenia dapat dihasilkan baik oleh sumsum tulang yang berfungsi abnormal atau kerusakan perifer. Meskipun sebagian besar gangguan sumsum tulang menghasilkan kelainan di samping adanya trombositopenia, diagnosisseperti myelodysplasia baru dapat dihilangkan hanya setelah dengan memeriksakan sumsum tulang. Sebagian besar penyebab trombositopenia akibat kerusakan perifer dapat dikesampingkan oleh evaluasi awal. Kelainan seperti DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), trombotik trombositopenia purpura, sindrom hemolitik uremic, hipersplenisme, dan sepsis mudah dihilangkan oleh tidak adanya penyakit sistemik. Penyakit harus ditanya mengenai penggunaan narkoba, terutama sulfonamide, kina, thiazides, cimetidine, emas, dan heparin. Heparin sekarang merupakan penyebab paling umum obat yang menginduksi trombositopenia pada pasien yang dirawat. Sistemik lupus eritematosus dan CLL merupakan penyebab yang sering trombositopenia purpura sekunder yang secara hematologis identik dengan PTI. Dari gejala klinis yang tampak, diagnosis banding dari PTI adalah vaskulitis alergika. Pada vakulitis alergika didapatkan bercak merah yang miliar, gatal, dan panas sedangkan pada pemeriksaan darah tampak normal.

H. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium yang khas adalah adanya trombositopenia. Jumlah trombosit dapat mencapai nol. Anemia biasanya normositik dan sesuai dengan jumlah darah yang hilang. Bila berlangsung lama maka dapat berjenis mikrositik hipokromik, bila sebelumnya terdapat perdarahan yang cukup hebat. Leukosit biasanya normal, tetapi bila perdarahan hebat dapat terjadi leukositosis ringan dengan pergeseran ke kiri. Pada keadaah yang lama dapat ditemukan limfositosis relatif atau bahkanleukopenia ringan.

2. Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan sumsum tulang biasanya memberikan gambaran yang normal, tetapi dapat pula bertambah, banyak dijumpai megakariosit muda berinti metamegalialuariosit satu, sitoplasma

lebar, dan granulasi sedikit (megakariosit yang mengandung trombosit), tetapi jarang ditemukan, sehingga terdapat maturation arrest pada stadium megakariosit.

3. Pemeriksaan Rumple Leede dan Fungsi Trombosit Pemeriksaan Rumple-Leede umumnya positif, tetapi masa pembekuan normal, retraksi bekuan abnormal, dan prothrombin consumption time memendek.

I.

Pengobatan

Pada dasarnya, metode yang saat ini digunakan untuk penatalaksanaan PTI diarahkan secara langsung pada berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibody dan sensitisasi, klirens, dan produksi trombosit. Umumnya, obat yang dipakai pada awal PTI menghambat terjadinya klirens antibody yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor FcG pada makrofag jaringan. Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian kecil mekanisme ini, namun dapat juga mengganggu interaksi sel T dan sel B yang terlibat dalam sintesis antibody pada beberapa pasien. Kortikosteroid dapat meningkatkan produksi trombosit dengan cara menghalangi kemampuan sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoietin berperan merangsang progenitor megakariosit. Beberapa imunosupresan nonspesifik seperti azathiorin dan siklosforin bekerja pada tingkat sel T. Antibody monoclonal terhadap CD 154 yang saat in menjadi target uji klinik merupakan kostimulasi molekulyang diperlukan untuk mengoptimalkan sell T makrofag dan interakis sel T dan sel B yang terlibat dalam produksi dan pertukaran kelas. Immunoglobulin IV mengandung antiidiopatik antibody yang dapat menghambat produksi antibody. Antobodi monoclonal yang mengenali ekspresi CD 20 pada sel-sel B juga masih dalam penelitian. Plasmafaresis dapat mengeluarkan antibody sementara dari dalam plasma. Transfusi trombosit diperlukan pada kondisi daurat untuk terapi perdarahan.

1. Pengobatan PTI akut a. Tanpa pengobatan, karena dapat sembuh secara spontan4 b. Pada keadaan yang berat, dapat diberikan kortikosteroid (prednisone) peroral dengan atau tanpa transfusi darah. Bila setelah dua minggu tanpa pengobatan belum terlihat tanda kenaikan jumlah trombosit, dapat dianjurkan pemberian kortikosteroid, karena

biasanya perjalanan penyakit sudah menjurus kepada PTI menahun. Terapi awal PTI dengan prednisone atau prednisolon dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi terjadi dalam 2 minggu dan pada umumnya terjadi pada minggu pertama, bila respons baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudia tapering off. Kriteria respon awal adalah peningkatan AT (Angka Trombosit) < 30.000/mL, AT> 50.000/L setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila peningkatan AT < 30.000/L, AT < 50.000/ L setelah terapi 10 hari. respons menetap bila AT > 50.000/ L setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simtomatik persisten dan trombositopenia berat (AT < 10.000/ L) setelah mendapat terapi prednisone perlu dipertimbangkan untuk splenektomi. Sebagian besar trombositopenia akan kambuh jika prednisone benar-benar dihentikan, sehingga tujuan pengobatannya adalah untuk menemukan juga dosis prednisone yang tepat dan dapat mempertahankan jumlah platelet yang memadai. c. Pada trombositopenia yang disebabkan oleh DIC, dapat diberikan heparin intravena. Pada pemberian heparin ini sebaiknya selalu disiapkan antidotumnya, yaitu protamin sulfat. d. Bila keadaan sangat gawat, yaitu terjadinya perdarahan otak, hendaknya diberikan transfusi suspensi trombosit.e. Apabila terjadi perdarahan internal saat AT < 5.000/ L meskipun telah mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau apabila terjadinya purpura yang progresif, maka pemberian immunoglobulin intravena (IgIV) dosis 1g/kgB/hari selama 2-3 hari berturut-turut dapat dipertimbangkan. Hampir 80% pasien berespons baik dengan cepat meningkatakan AT. Efek samping yang terjadi yaitu gagal ginjal dan insufisiensi paru serta syok anafilaktik, hal ini dapat terjadi pada pasien yang mempunyai defisiensi IgA kongenital. Mekanisme kerja IgIV masih belum banyak diketahui, tetapi diduga melibatkan blockade Fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan autoantibody dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.

2. Pengobatan PTI menahun a. Kortikosteroid diberikan selama enam bulan. 4 Untuk pasien dengan terapi standar kortikosteroid yang tidak membaik, terdapat beberapa pilihan terapi lainnya. Steroid dosis tinggi merupakan terapi pada pasien PTI refrakter, selain prednisolon dapat digunakan deksametason oral dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4 hari diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus. Pasien yang tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya. Steroid parenteral seperti metilprednisoslon digunakan

sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dosis yang digunakan 30 mg/kg IV kemudian diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kgBB sekali sehari. Respon steroid intravena bersifat sementara pada semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekuat.1 b. Obat imunosupresif, misalnya 6-merkaptopurin, azatioprin, siklofosfamid dapat diberikan. Pemberian golongan ini didasarkan atas adanya peranan proses imunologis pada PTI menahun. c. Splenektomi dianjurkan bila tidak diperoleh hasil dengan penambahan imunosupresif selama 2-3 bulan. Kasus seperti ini dianggap telah resisten terhadap prednisone dan obat imunosupresif, hal ini sebagai akibat produksi antibodi terhadap trombosit yang berlebihan oleh limpa. Splenektomi seharusnya dikerjakan dalam waktu satu tahun sejak permulaan timbulnya penyakit, karena akan memberikan angka remisi sebesar 60-80%. Jika terlambat hanya akan memberikan remisi sebesar 50%. Indikasi splenektomi adalah : 1) Resisten setelah pemberian kombinasi kortikosteroid dan obat imunosupresif selama 2-3 bulan. 2) Remisi spontan tidak terjadi dalam waktu enam bulan pemberian kortikosteroid saja dengan gambaran klinis sedang sampai berat.4 3) Penderita yang menunjukkan respons terhadap kortikosteroid namun memerlukan dosis yang tinggi untuk mempertahankan keadaan klinis yang baik tanpa adanya perdarahan. Sedangkan kontraindikasi splenektomi adalah anak di bawah umur dua tahun, karena sebelum umur dua tahun, fungsi limpa terhadap infeksi belum dapat diambil alih oleh alat tubuh yang lain (hati, kelenjar getah bening, dan timus).

J. Prognosis Pada ITP akut bergantung kepada penyakit primernya. Bila penyakit primernya ringan, 90% akan sembuh secara spontan. Prognosis ITP menahun kurang baik, terutama bila merupakan stadium praleukemia karena akan berakibat fatal. Pada ITP menahun yang bukan merupakan stadium praleukemia, bila dilakukan splenektomi pada waktunya akan didapatkan angka remisi sekitar 90%.3

Anda mungkin juga menyukai