Anda di halaman 1dari 3

TAFSIR KLASIK

Perjalanan perkembangan penafsiran ulama kelasik hingga masa kontemporer membuahkan deretan karya-karya besar, ribuan kitab-kitab tafsir yang tebal menghiasi rak-rak perpustakaan, kontribusi luar biasa bagi generasi sekarang dah setelahnya. Itu semua tak terlepas dari warna warni penafsiran. Keberagaman corak, motodologi, dorongan kepentingan politisi idiologis, panatik golongan/madzhab dan sosial budaya yang melatar belakangi para penafsir. Al quran yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad sebagai kalam ilahi yang universal memuat berbagai macam nilai-nilai kemanusian sebagai petunjuk umat hingga akhir jaman. Itu perlu diterjemahkan kedalam bahasa yang dapat dimengerti umat manusia. Dan nabi Muhammad lah interpreter pertama yang kemudian disusul oleh para sahabat sebagai generasi kedua lalu tabiin dan tabi tabiin. Sejalan dengan perkembangan jaman dengan segala macam permasalahan dan ilmu pengetahuan, maka semakin berkembang Keanekaragaman penafsiran yang timbul karna memang al-quran sendiri multi interpretasi seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz dalam AlNaba Al-Azhim: Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat". Tafsir bil matsur adalah ragam penafsiran klasik masa sahabat, tabiin dan tab tabiin yang tak terlepas dari sistem periwayatan, para sahabat meriwayatkan dari Rasul, para tabiin meriwaytakan dari sahabat dan begitu seterusnya tanpa melupakan sandaran sandaran dalam penafsiran mereka, yaitu : al- quran, Hadist nabi, ijtihad dan beristimbat dan ahlul kitab baik yahudi maupun nashroni. Hal yang paling pertama meraka menafsirkan al-quran dengan alquran, tatkaala dalam al-quran tidak ada maka hadist nabi sebagai sandaran kedua dalam penafsiran, apabila di dalam hadist pun tidak ada, maka berijtihad dengan pendapat mereka dengan dibantu oleh pengetahuan bahasa untuk mengetahui dilalatul kalam, pengetahuan akan adat istiadat bangsa arab dan pemahaman yang kuat serta pengetahuan yang luas. Sandaran keempat yaitu ahlul kitab (yahudi atau nashrani)sebagai sumber informasi terutama tentang kisah-kisah para nabi, kisah umat terdahulu, kelahiran nabi isa as dan lain lain. Kitab-kitab klasik yang mengikuti metode ini sebagaimana dikutip dalam Al tafsir wa Al mufassirun yaitu : jamiul bayan fi tafsirul quran karangan ibnu jarir at-thobary, Bahrul Ulum Karangan Ibu laits samarqandi, ad-Darul manstur fi tafsiril ma'tsur karangan Jalaluddin as-syuthy dll. Kemudian berkembanglah ragam penafsiran biro'yi atau bil aqli, motode ini banyak ditunggangi oleh latar belakang penafsir sendiri yaitu dorongan kepentingan politik, idiolagi, fanatik golongan sebagaimana yang terjadi dengan penafsiran Mu'tazilah, Khowarij, Syiah dan Sunny serta keahliannya dalam suatu bidang ilmu seperti nahwu, balaghoh dll. Karya ulama kelasik yang menganut sistem ini misalnya : Mafatihul ghoib buah karya Fachrurrozy, libabutta'wil karya Khozin, al bahrul muhith karya Abi hayyan, ghoroibul quran Karya Naisaburry, tafsir jalalain karya Jalaluddin as sayuthi & Jalaluddin al mahally, ruhul ma'ani karya Alusy, al kasyaf karya Zamachsary dll.

Berkembangnya jaman dan kemajuan keilmuan membuat para ulama tafsir kontemporer mengimbangai penafsirannya dengan berbagai warna dan corak yang belum pernah ada pada periode terdahulu. Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: 1. Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran di bidang ini. 2. Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tecermin dalam penafsiran mereka. 3. Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu. 4. Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. 5. Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakitpenyakit masyarakat berdasarkan petunjuk ayat-ayat al-quran, dengan mengemukakan petunjukpetunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Pada masa ini syaikh Muhammad abduh menyerukan kepada pembaharuan keislaman dan penafsiran yang bebas dan tidak terikat dengan taqlid kepada terdahulu; Dengan menggunakan kebebesan akal untuk berpikir tanpa dibuntuti oleh pemikiran dan pendapat ulama terdahulu. Pemikiran syaikh Muhammad abduh ini banyak diadopsi oleh murid-muridnya yaitu : syaid Muhammad rosyid ridho dan syaikh Muhammad musthofa al maroghi sehingga banyak menghasilkan pemikiran baru yang mempengaruhi corak penafsiran sesuai dengan keadaan dan jaman. Namun, tetap saja penafsiran ala kelasik (tafsir bil matsur dan tafsir biroyi) masih banyak digunakan dizaman modern sekarang ini hanya saja menggunakan gaya bahasa kontemporer agar mudah dipahami oleh generasi sekarang ini. Dan dewasa ini pemikiran barat pun mulai masuk kedalam penafsiran keislaman, Lahirnya berbagai produk interpretasi yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan nilai-nilai modernitas seperti demokrasi, HAM, kesetaraan gender dan pluralisme semakin mendesak dilejitkannya paradigma interpretasi baru yang mampu melampaui metode tafsir yang selama ini

dipakai; Hermeneutika kini telah menjadi begitu populer dan diajukan oleh berbagai pihak sebagai alternatif pengganti metode tafsir klasik dalam memahami Al-Quran.;Sejumlah nama pemikir modernis, neo-modernis, atau post-modernis seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoen, al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zeid, Farid Essac, dan lainnya kini menjadi idola baru dalam memahami al-Quran dan Sunnah Rasul Mereka begitu populer dan dikagumi menggantikan tokoh-tokoh pemikir besar Islam, seperti Syafii, Maliki, Hanafi, Ahmad bin Hanbal, al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan yang lainnya. Menurut adian husaini hermeneutika adalah penomena taqlid baru. Bagiamana tidak, ketika mereka menolak taklid kepada para imam besar, di saat yang sama mereka justru melakukan taklid kepada pemikir modernis atau post-modernis, Muslim atau non-Muslim. Dalam hal hermeneutika juga demikian. Berbagai buku tentang hermeneutika dan aplikasinya dalam pemikiran Islam, menunjukkan adanya fenomena rujukan (taklid) pada pemikiran Scleiermacher dan Dilthey, untuk hermeneutika teoritis; taklid kepada orang seperti Gadamer untuk hermeneutika filosofis; atau taklid kepada Jurgen Habermas untuk metode hermeneutika kritis. Metode-metode tafsir mereka itulah yang dianggap lebih tepat untuk menafsirkan alQuran, ketimbang metode para ulama tafsir. Menurut Nashr Hamid abu zaid, diperlukan hermeneutika sebagai pembacaan baru terhadap teks. Ia hendak membongkar mitos kesakralan al-Quran yang tak mungkin disentuh oleh akal manusia. Ia pun mengeritik diskursus tafsir yang tumbuh subur dalam tradisi Islam. Menurutnya, tafsir yang diproduksi para ulama terdahulu hingga kini hanya sebatas menafsirkan teks, tanpa mempertimbangkan konteks. Bukan hanya itu, subyektivitas pengarang teks (Tuhan) lebih dominan daripada pembaca teks, sehingga yang terkesan adalah al-Quran menafsir alQuran. Al-Quran sebagai subyek dan obyek sekaligus. Nashr menghendaki agar umat Islam mengembangkan takwil sebagai upaya mengembangkan tafsir dalam tradisi Islam. Sebab takwil lebih dekat dengan teori hermeneutika modern, karena menghendaki adanya penjarakan antara subyek dan obyek yang ditafsirkan. Dari sini kita harus berhati-hati terhadap penafsiran yang beredar sekarang, terutama penafsiran yang terlepas dari persyaratan yang ditetapkan dalam ulumuttafsir. Terakhir, jelaslah titik temu antara penafsiran kelasik dan kontemporer terletak pada sama-sama semangat religius menterjemahkan kalam Tuhan dengan tujuan untuk kemaslahatan sesuai jaman. Wallahu alam

Anda mungkin juga menyukai