Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS I

RINOSINUSITIS MAKSILARIS KRONIS

Oleh :
Nama NIM : Lis Dekayanti : 04.06.0007

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2011

BAB I PENDAHULUAN Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi. Sinus sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis. (Higler, 1997) Sinus yang alam keadaan fisiologis adalah steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau tersumbat, akan menimbulkan lingkungan yang baik untuk perkembangan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis. (Mangunkusumo, 2007) Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia. Sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat. Berdasarkan fakta tersebut diatas, sinusitis adalah penyakit yang penting untuk diketahui oleh seorang praktisi kesehatan. Dan sinusitis yang paling banyak ditemukan adalah sinusitis maksilaris. Oleh karena itu tema ini diangkat agar diagnosis, dan penanganan sinusitis maksilaris bisa dimengerti dengan lebih baik. (Patel, 2005)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Anatomi Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi. Sinus sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi, yang mampu mengkasilkan mukus, dan bersilia. Sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam kavum nasi. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara. (Higler, 1997)

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksilla yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semi lunaris melalui infundibulum etmoid. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilari. Inervasi mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris (Mangunkusumo, 2007)

2. Definisi Rinosinusitis Maksilaris

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter seharihari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus parasanal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (Mangunkusumo, 2007)

3. Epideomologi

Rinosinusitis merupakan penyakit sinus paranasal yang paling ditemukan menyerang 14% atau 31 juta orang dewasa tiap tahun di Eropa, rinosinusitis diperkirakan mengenai 1030% populasi. Di Amerika, lebih dari 30 juta penduduk per tahun menderita rinosinusitis. Insidens di Amerika dilaporkan sebesar 135 per 1000 populasi pertahun.

4. Etiologi Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi dalam terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan kimia. Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan juga penyakit granulomatus (Wegeners granulomatosis atau rhinoskleroma) juga dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis dengan mengganggu pengeluaran mukus. Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor untuk infeksi nosokomial di unit perawatan intensif. (Rubin, 2005) Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza.3 Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan moraxella catarrali. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar. Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun,

yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium. (Rubin, 2005)

Patogenesis Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mokosiliar (muccociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang bersifat sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan ( Mangunkusumo, 2007). Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis nonbacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan (Mangunkusumo, 2007). Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik (Mangunkusumo, 2007). Jika terapi ini tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid, atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi (Mangunkusumo, 2007). Manifestasi Klinis Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas biasanya reda dengan pemberian analgetika biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, seperti sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau

busuk. Batuk inisiatif non-produktif seringkali ada. Transluminasi berkurang bila sinus penuh cairan (Higler, 1997)

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskoi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid) (Mangunkusumo, 2007). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius (Mangunkusumo, 2007).

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa (Mangunkusumo, 2007). CT scan sinus merupakan gold standartd diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karema hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusits kronik yang tidak membaik dengan pengobatan dan pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusumo, 2007). Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan suda jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya (Mangunkusumo, 2007). Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotikyang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusumo, 2007). Sinuskopi dilakukan dengan pungsi yang menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop, bisa dilihat kodisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusumo, 2007).

Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Mangunkusumo, 2007). Sinusitis juga dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada tahun 1997, American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS), menerbitkan kriteria diagnosis berdasarkan gejala dan tanda sinonasal, yang dibagi menjadi kriteria mayor dan minor. Terdapatnya 2 atau lebih tanda mayor, atau 1 mayor dan 2 minor, maka dikatakan sugestif sinusitis (Lane, 1997) Tabel 1. Kriteria diagnosis sinusitis Mayor Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sekret nasal purulen Demam Kongesti nasal Obstruksi nasal Minor Sakit kepala Batuk Rasa lelah Halitosis Nyeri gigi

Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan pada telinga Diagnosis memerlukan dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

Tatalaksana Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan 2) mencegah komplikasi dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami (Mangunkusumo, 2007). Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan embengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan pinisilin seperti amoksisislin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selam 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Mangunkusumo, 2007).

Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika perlukan seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proesz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat (Mangunkusumo, 2007). Pemilihan antibiotik yang sesuai harus didasarkan pada organisme penyebab yang paling sering ditemukan, keadaan klinis pasien dan kemungkinan resistensi pada komunitas. Pemberian terapi antibiotik biasanya selama 14 hari. Terapi lini pertama pada banyak center biasanya adalah golongan penisilin atau makrolida pada pasien yang alergi terhadap penisilin, karena pertimbangan harga, ketersediaan dan toksisitas yang rendah dari agen tersebut. Amoksisilin harus diberikan 2 kali dari dosis biasanya (80-90 mg/kg/hari), khususnya pada daerah yang diketahui terdapat resistensi dari S. pneumonia (Sobol, 2009).

Pasien yang tinggal pada komunitas dengan insiden resistensi organisme yang tinggi, yang gagal memberikan respon terhadap terapi awal selama 48-72 jam, dan pada pasien

dengan gejala yang persisten selama 10-14 hari, harus dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi lini kedua. Agen lini kedua yang paling banyak digunakan adalah amoksisilin-asam klavulanat, sefalosporin genetasi kedua atau ketiga (cefuroxime, cefpodoxime, cefdinir), makrolida (clalithromycin), fluoroquinolon (ciprofloxacin, levofloxacin) dan klindamisin (Sobol, 2009).

Pada pasien dengan sinusitis dentogen, dengan pengeluaran discharge yang berbau busuk, pemberian antibiotik seperti klindamisin atau amoksisilin ditambah dengan metronidazole untuk kuman anaerob perlu untuk diberikan. Sedangkan untuk pasien dengan sinusitis aku nosokomial, diperlukan antibiotik intravena yang adekuat terhadap kuman gram negatif. Antibiotik aminoglikosida adalah obat yang sering digunakan, karena aktivitas yang sangat baik pada kuman gram negatif dan penetrasinya ke dalam sinus. Pemilihan antibiotik biasanya didasarkan pada hasil kultur bakteri yang berasal sekresi maksila. Pada penatalaksanaan bedah, pencegahan komplikasi pada sinusitis akut dapat diantisipasi dengan pemberian antibiotik intravena. Sefalosporin generasi ketiga (cefotaxime, ceftriaksone) yang dikombinasikan dengan vancomycin, dapat menghasilkan penetrasi yang adekuat ke intrakranial, sehingga membuat obat tersebut sebagai lini pertama yang dapat digunakan (Sobol, 2009).

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tindakan radikal (Mangunkusumo, 2007). Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur (Mangunkusumo, 2007). Komplikasi Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial (Mangunkusumo, 2007).

Kelainan orbita

disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid kemudian

sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus Kelainan intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus Osteomielitis dan Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral aau fistula pada pipi Kelainan paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

abses subperiostal.

BAB III LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama pasien Umur Jenis kelamin Alamat Tanggal Pemeriksaan ANAMNESIS Keluhan utama: Keluar cairan kental berwarna kehijauan : Ny. SN : 47 tahun : Perempuan : Bima : 22 November 2011

Riwayat penyakit sekarang: Os datang dengan keluhan keluar cairan kental berwarna kehijauan dari rongga hidung sejak 3 hari yang lalu pada kedua hidung. Pasien mengaku cairan yang keluar berbau amis. Terkadang cairan masuk sampai ke tenggorokan. Pasien sering mengalami batuk dan pilek berulang sejak 5 bulan yang lalu. Selain itu, pasien juga mengeluh sering merasakan pusing seperti ditusuk-tusuk dan kepala terasa berat. Kepala dirasakan terasa berat terutama pada saat bangun pagi hari. Tidak terdapat keluhan demam, mual dan muntah.

Riwayat penyakit dahulu: Riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus (-), riwayat menderita sakit gigi (-). Tidak terdapat riwayat trauma atau dirawat dirumah sakit

Riwayat penyakit keluarga/sosial: -

Riwayat pengobatan: -

Riwayat alergi: Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan, tidak pernah meler dan bersin-bersin saat terkena debu atau dingin.

PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Keadaan umum : Baik Kesadaran : Compos mentis Tanda vital : Tensi : 130/80 mmHg Nadi : 74 x/menit Respirasi : 16 x/menit Suhu : 36,9C Status Lokalis Pemeriksaan telinga No. Pemeriksaan Telinga 1. 2. Tragus Daun telinga Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-) Telinga kanan Telinga kiri

Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas normal, hematoma (-), nyeri normal, hematoma (-), nyeri tarik aurikula (-) tarik aurikula (-)

3.

Liang telinga

Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-), furunkel (-), edema (-), otorhea furunkel (-), edema (-), otorhea (-) (-)

4.

Membran timpani

Retraksi hiperemi

(-), (-),

bulging edema

(-), Retraksi (-), hiperemi

(-), (-),

bulging edema

(-), (-),

perforasi (-),cone of light (+)

perforasi (-),cone of light (+)

Pemeriksaan hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung luar

Hidung kanan Bentuk (normal), hiperemi (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)

Hidung kiri Bentuk (normal), hiperemi (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)

Rinoskopi anterior Vestibulum nasi Cavum nasi Meatus nasi media Hiperemis (+), sekret (+) Bentuk (normal), hiperemia (+) Mukosa hiperemis, sekret (+, Hiperemis (+), sekret (+) Bentuk (normal), hiperemia (+) Mukosa hiperemis, sekret (+,

kehijauan kental), massa berwarna kehijauan kental), massa putih mengkilat (-). Konka nasi inferior Septum nasi Edema (+), mukosa hiperemi (+) berwarna putih mengkilat (-). Edema (+), mukosa hiperemi (+)

Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus (-) (-)

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir Mulut Geligi Lidah Uvula Palatum mole Faring

Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N) Mukosa mulut basah berwarna merah muda Normal Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-) Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-) Ulkus (-), hiperemi (-) Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-), lender (-)

Tonsila palatine

kanan T1

Kiri T1 hiperemi (-)

Fossa Tonsillaris dan Arkus Faringeus

hiperemi (-)

Terdapat nyeri tekan pada kedua pipi

DIAGNOSIS Rinosinusitis maksilaris kronis dextra et sinistra DIAGNOSIS BANDING Rhinitis kronis

PEMERIKSAAN PENUNJANG Foto polos (posisi Waters) CT scan

Pada tanggal 23 November 2011 pasien kembali datang membawa hasil foto polos

Interpretasi hasil foto polos: Kesimpulan: sinusitis maksila dextra et sinistra

RENCANA TERAPI (sementara/simtomatik) Pro irigasi antibiotik : Amoksisilin 3 x 500 mg

Nasal Dekongestan: Pseudoefedrine HCl 3 x 60 mg

Analgetika: KIE pasien pasien dianjurkan untuk bed rest, agar kondisi tubuh dapat prima, sehingga proses penyembuhan penyakit dapat cepat berjalan. Diet seimbang dan tingkatkan konsumsi makanan tinggi vitamin Kompres air hangat pada wajah untuk meringankan gejala Paracetamol 3 x 500 mg

PROGNOSIS Dubia ad bonam

BAB IV PEMBAHASAN Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar dan juga paling sering mengalami infeksi atau peradangan. Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan sinusitis maksilaris kronis yang ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta didukung dengan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan keluar cairan kental berwarna kehijauan dari rongga hidung sejak 3 hari yang lalu pada kedua hidung. Pasien mengaku cairan yang keluar berbau amis. Terkadang cairan masuk sampai ke tenggorokan. Pasien sering mengalami batuk dan pilek berulang sejak 5 bulan yang lalu. Pasien dengan sinusitis maksilaris biasanya mengeluh hidung tersumbat dan keluar cairan hidung yang sedikit kental, yang kadang kadang disertai bau busuk dan bercampur darah. Selain itu, pasien juga mengeluh sering merasakan pusing seperti ditusuk-tusuk dan kepala terasa berat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan cavum nasi kiri sempit, discharge positif pada hidung bagian kiri dan kanan, konka. Pada pemeriksaan penunjang foto Rontgen dengan posisi Waters didapatkan gambaran perselubungan pada sinus maksilaris kiri. Akumulasi pus menyebabkan gambaran perselubungan atau air-fluid level yang khas pada sinusitis maksilaris. Penanganan yang dilakukan pada penderita ini pada intinya adalah untuk mengeluarkan sekret dari sinus dengan cara irigasi. Selain itu pasien juga diberikan antibiotik spektrum luas, dekongestan dan analgetik. Sinusitis maksilaris kronis umumnya diterapi dengan antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin, ampisilin atau eritromisin ditambah dengan sulfunamid. Dekongestan seperti pseudoefedrin juga bermanfaat dan tetes hidung poten seperti fenilefrin atau oksimetazolin dapat digunakan selama beberapa hari pertama infeksi. Kompres hangat pada wajah dan analgetik seperti aspirin dan asetaminofen juga berguna untuk meringankan gejala.

DAFTAR PUSTAKA

Higler, P.,A. 1997. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta: EGC.

Higler, P.,A. 1997. Penyakit Sinus Paranasal. dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta: EGC.

Lane, Andrew P., David W. Kennedy. 1997. Sinusitis dan polip, dalam Ballenger: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Mangunkusumo, Endang., Damajanti Soetjipto. 2007. Sinusitis, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: FKUI.

Patel AM, Vaughan WC. 2005. Chronic Maxillary Sinusitis Surgical Treatment. Medscape Refference. Available at: http://www.emedicine.com. Accessed November 26, 2011

Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. 2005. Infections of the Upper Respiratory Tract. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill.

Sobol, Steven E. 2009. Sinusitis, Acute, Medical Treatment Medication. Medscape Refference. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/861646-medication. accessed November 28, 2011

Anda mungkin juga menyukai