Anda di halaman 1dari 15

SEKILAS TENTANG PARTUTURAN (bagian 1) November 22, 2007 in Batak Culture SEKILAS TENTANG PARTUTURAN (bagian 1) A.

Pengertian Partuturan Adapun yang dinamai partuturan ialah hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur DNT (Dalihan Na Tolu). Sesuai dengan adanya 3 unsur itu maka macam hubungan kekeluargaan pun ada tiga, yaitu: 1. Hubungan kita dengan dongan sabutuha. 2. Hubungan kita dengan hulahula. 3. Hubungan kita dengan boru. Sudah barang tentu kita harus menjaga dan memelihara agar ketiga macam hubungan itu selalu berjalan dengan baik dan sempurna. Ada 2 buah filsafat Batak tentang itu: 1) Habang binsusur martolutolu, Malo martutur padenggan ngolu. Artinya: Kebijaksanaan menghadapi ketiga unsur DNT akan memperbaiki penghidupan. 2)Habang sihurhur songgop tu bosar, Na so malo martutur ingkon maos hona osar. Artinya: Kebodohan, kelalaian dan keserakahan dalam menghadapi ketiga unsur DNT akan membuat orang tergeser-geser. Maksud tergeser-geser (bahasa Batak hona osar) ialah terpaksa berpindah-pindah tempat, karena tak disukai orang, akibatnya melarat. Berhubung dengan kedua filsafat itu, maka nenek moyang orang Batak meninggalkan 3 buah petuah atau pesan untuk keturunannya, sebagai berikut: 1) Manat mardongan tubu. Pada waktu ini acap kali diperlengkapi dan berbunyi: Molo naeng ho sanggap, manat ma ho mardongan tubu. Artinya : Jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan dongan sabutuha (teman semarga). Keterangan tentang pesan pertama ini sebagai berikut. Adapun dongan sabutuha itu dipandang oleh orang Batak sebagai dirinya sendiri dan dalam pergaulan antar mereka sehari hari tidak dihiraukan segi basa basi, sehingga adik acap kali tidak hormat terhadap abangnya dan demikian juga anak terhadap paktua dan pakciknya, hal mana acap kali menimbulkan perasaan kurang senang di pihak yang merasa dirugikan. Maka untuk menghindarkan itu diberilah oleh leluhur kita pesan yang tersebut di atas, agar kita hati-hati menghadapi dongan sabutuha kita. Untuk itu harus kita periksa dahulu kedudukan dongan sabutuha itu dalam tarombo (tambo, silsilah keturunan terhadap kita). Pada waktu ini tidak sulit lagi memeriksa hal itu. Tiap orang Batak yang tahu tarombonya mengetahui tingkat generasinya pada tarombo-nya itu. Misalnya dongan sabutuha kita itu bertingkat generasi 16 dan kita sendiri tingkat 17, maka ia masuk golongan ayah kita. sehingga ia harus kita hormati sebagai ayah kita sendiri. Kalau ada jamuan makan janganlah kita mempertahankan tempat duduk

kita di juluan (tempat terhormat) kalau nampak seorang dongan sabutuha dari golongan lebih tinggi (abang, ayah atau nenek) belum mendapat tempat yang layak, tetapi kita harus mempersilakan dia. duduk di tempat duduk kita sendiri, sekalipun menurut umur, kita lebih tua dari dia. Dalam hal kita lebih tua dari dia, maka dongan sabutuha itu yang tentu juga mengetahui pesan leluhur kita itu, tidaklah akan gegabah terus menerima ajakan kita itu, tetapi dengan spontan ia akan menolak serta berkata, Ah, tidak, yang tuatua harus di hormati, tinggallah di situ, terimakasih. Dalam pada itu ia sudah senang dan puas karena penghormatan kita itu. Dalam hal musyawarah pun atau pada rapat menyelesaikan perselisihan hendaklah kita selalu mengindahkan betulbetul basa-basi terhadap dongan sabutuha. Dengan jalan demikian maka semua dongan sabutuha akan selalu solider atas tindakan tindakan kita dan akan menghormati dan menghargai kita dengan sewajarnya; hal ini berpengaruh juga kepada orang disekeliling kita. 2) Somba marhulahula. Biasanya diperpanjang dan berbunyi: Molo naeng ho gabe, somba ma ho marhulahula. Artinya : Jika engkau hendak gabe (berketurunan banyak) hormatilah hulahula-mu. Keterangannya : Untuk orang Batak maka hagabeon lah yang paling diharapkan dan dicita-citakan. Tanpa keturunan ia tak mungkin berbahagia. Hal itu terang nampak pada pantun Batak : Hosuk humosukhosuk, hosuk di tombak ni Batangtoru; Porsuk nina porsuk, sai umporsuk dope na so maranak so marboru. Artinya : Penderitaan yang, paling berat ialah tidak berketurunan. Adapun hulahula itu dipandang oleh orang Batak sebagai media (penengah) yang sangat berkuasa untuk mendoakan hagabeon dari Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini telah menjadi darah daging bagi orang Batak berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Itulah yang membuat penghormatan tinggi dan menonjol terhadap hulahula. Juga dalam hal penyelesaian perselisihan dengan hulahula, penghormatan itu tetap dipertahankan sebagaimana nampak dengan jelas pada suatu sebutan khas Batak, yang berbunyi Sada sala niba, pitu sala ni hulahula, sai hulahula i do na tutu. Artinya : Walau ada 7 buah kesalahan hulahula dan salah kita hanya satu, maka hulahula itulah selalu dipihak yang benar. Maksudnya : Kita harus selalu mengalah terhadap hulahula, karena walaupun nampaknya kita menderita rugi, namun akibatnya selalu menguntungkan kita, karena walaupun hulahula itu kita buat menang dalam perselisihan itu sehingga ia mendapat keuntungan materi, namun ada lagi sebuah sebutan khas Batak yang bunyinya, Anggo tondi ni hulahula i sai tong do mamasumasu iba. Artinya : Namun, roh hulahula itu tetap mendoakan kebahagiaan untuk kita. Dan menurut filsafat Batak: Roh atau jiwa itu lebih berkuasa dari badan. Buat orang Batak yang taat beragama tidaklah berat untuk menuruti sebutan yang tertulis di atas, karena dalam ajaran Alkitab tertulis, Memaafkan kesalahan orang lain tidak cukup hanya satu kali atau 7 kali, tetapi 70 kali 7, artinya tentu terus menerus. 3) Elek marboru. Biasanya diperpanjang: Molo naeng ho mamora, elek ma ho marboru. Artinya : Kalau ingin kaya, berlaku membujuklah terhadap boru. Keterangan: Sebenarnya menurut adat Batak, boru itu dalam hubungan kekeluargaan berada di bawah kita, sehingga boleh kita suruh mengerjakan sesuatu.

Namun anjuran leluhur Batak ialah agar permintaan-permintaan kita kepada boru sekali-kali tak boleh menyerupai perintah tetapi harus berupa dan bersifat bujukan. Leluhur Batak tahu benar bahwa bujukan lebih kuat daripada paksaan dan selain itu bujukan itu dapat tetap memelihara kasih sayang di antara boru dan hulahula, yang tidak dapat dicapai dengan paksaan. Maka dengan bujukan besarlah harapan kita akan memperoleh semua yang kita minta dari boru kita, yang membuat kita kaya. Perkataan kaya di sini harus diartikan perasaan kaya, yang maksudnya perasaan senang. Dan memang orang yang merasa senanglah yang paling kaya di dunia ini dan bukanlah dengan sendirinya yang memiliki uang atau harta yang terbanyak. Dalam hal adanya perselisihanpun dengan boru, maka hal membujuk inipun harus dipertahankan karena pengaruh dan akibatnya ialah: boru itupun dari pihaknya akan menuruti pesan nenek moyang somba marhulahula tersebut diatas, sehingga. penyelesaian persengketaan dapat tercapai dengan mudah dan dalam suasana yang harmonis. 4) Molo naeng ho martua di tano on, pasangap me natorasmu. Artinya: Jika kamu ingin berbahagia. di dunia ini, hormatilah orang tuamu. Adapun petuah ini boleh dikatakan hanyalah tambahan dari ketiga pesan pertama yang tersebut di atas dan baru menonjol setelah banyak orang Batak memeluk agama Kristen atau Islam. Kita maklum, bahwa agama memerintahkan kepada manusia menghormati orang tuanya seperti yang telah dituliskan oleh Nabi Musa dalam Kitabnya yang kelima pasal 5 ayat 16, yang berbunyi: Hormatilah orang tuamu, supaya umurmu lanjut dan selamatlah kamu dalam negeri yang dikaruniakan Tuhan Allah kepadamu. Nasehat nenek moyang orang Batak hampir sama bunyinya, dengan perintah Allah itu, yaitu : Tinaba hau toras bahen sopo tu balian, Na pantun marnatoras ingkon dapotan parsaulian, Alai na tois marnatoras, olo ma i gomahon ni babiat. Artinya : Yang menghormati orang tuanya akan menerima kebahagiaan, tetapi yang durhaka terhadap orang tuanya mungkin akan diterkam harimau. Dalam hal nasihat.yang ke-4 ini agama dan adat kedua-duanya bersifat saling mendukung satu sama lain. Tentang arti luas dari perkataan: natoras (orang tua), maka pendapat ahli-ahli agama dan nenek moyang orang Batak sesuai benar, yaitu: di samping ibu dan ayah-kandung harus juga kita hormati guru-guru, pemimpinpemimpin, pemerintah dan semua orang tua-tua pria dan wanita. Tentang penghormatan terhadap orang tua yang telah meninggal telah dibahas dalam. Dapatkah DNT bertahan sampai akhir zaman ? Nasehat No. 4 inilah yang paling utama harus diperhatikan oleh para pemuda dan pemudi pada zaman sekarang ini. Dengan tidak mengindahkan nasehat ini, tidak mungkin tercapai kebahagiaan yang lama di dunia ini. Di samping yang telah dipaparkan di atas, maka partuturan itu mempunyai lagi peraturan-peraturan lain yang juga harus diperhatikan dan dituruti untuk menjaga dan memelihara hubungan baik antara ketiga unsur DNT, yaitu yang dinamai peraturan parsubangonjo.

SEKILAS TENTANG PARTUTURAN (bagian 2) November 22, 2007 in Batak Culture SEKILAS TENTANG PARTUTURAN (bagian 2) B. Pengertian Parsubangon Adapun yang dimaksud dengan peraturan parsubangon ialah peraturan-peraturan pantangan (parsubangon = yang dipantangkan). Tujuannya ialah menertibkan anggota-anggota keluarga terlebih-lebih yang berlainan jenis kelamin dalam pergaulan sehari-hari agar pergaulan itu tetap berjalan di atas rel yang telah ditetapkan oleh peraturan-peraturan DNT dan terutama mengenai penghormatan terhadap hulahula dan terhadap orang tua. Misalnya, kita dengan istri saudara lelaki istri kita (bahasa Bataknya bao tidak boleh berbicara secara. bebas, apa lagi bersenda guraur. Apa sebab? Saudara istri kita itu adalah hulahula yang paling dekat kepada kita. Maka istrinya pun harus menerima penghormatan sebagai hulahula, malahan harus lebih daripada yang biasa karena dia itu adalah seorang wanita dah tentang Ina (ibu) filsafat Batak berbunyi : a. Sada sangap tu ama, dua sangap tu ina. Artinya : Satu penghormatan terhadap bapak, tetapi dua terhadap ibu. Maksudnya : Di samping menerima penghormatan biasa yang diterima oleh kaum bapak, maka ibu harus lagi menerima penghormatan istimewa, karena ibu itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk melahirkan anak-anak yang membawa kebahagiaan tertinggi dalam rumah tangga orang Batak. Terhadap istri adik laki-laki kita pun kita harus berlaku sama seperti terhadap bao tersebut, sesuai dengan filsafat Batak: b. Marboras ia singkoru, marmutik ia timbaho, Dos do na maranggi boru dohot halak na -marbao. Artinya : Penghormatan terhadap istri adik kita sama dengan penghormatan terhadap istri saudara lelaki istri kita. Tentang penghormatan terhadap istri adik kita itu, orang luar mungkin heran dan bertanya, Kenapa begitu, bukankah istri adik kita itu tidak termasuk hulahula, malahan adik kita itu dalam adat berada di bawah kita dan tentu istrinya pun demikian juga?. Pertanyaan itu memang beralasan benar, karena penghormatan terhadap anggiboru (sebutan dalam bahasa Batak untuk istri adik) itu nampak berlawanan dengan yang diperkirakan. Ini memang benar karena itu perlu diberikan penjelasan ringkas. Adapun kita (diri kita) bukanlah hanya abang dari adik saja, tetapi juga berfungsi sebagai ayah baginya, terlebih-lebih kalau ayah kita telah meninggal. Oleh karena itu istri adik kita itu tidak boleh kita pandang hanya sebagai adik saja, tetapi harus lebih dari itu menurut fungsi kita sebagai ayah suaminya (mertuanya), jadi memandangnya sebagai menantu penuh; perhubungan ini termasuk golongan parsubangon Sudah barang tentu ketertiban pergaulan tersebut diatas bertujuan juga untuk menjauhkan kemesuman yang sering mengancam keluarga-kelarga Batak dahulu kala, oleh karena rumah-rumah biasanya didiami oleh empat atau lima rumah tangga (dalam bahasa Batak ripe) dan rumah-rumah itu tidak mempunyai kamarkamar, sehingga ketertiban didalamnya antara keluarga-keluarga itu bulat-bulat terserah kepada kesadaran ber-DNT.

Sudah barang tentu sudah ada sangsi-sangsi, terhadap orang, yang melanggar ketertiban itu berupa hukuman-hukuman berat. Tetapi disamping itu, untuk mencegah pelanggaran atas ketertiban hidup itu, ada juga kutukan yang berbunyi : c. Habang pidong pua manjoloani sidaodao, Sai mangunsisi do nasa tua sian jolma na so marpaho, Sipalea natuatua na so umboto adat marbao. Artinya : Segala tuah akan menyisih (lari) dari orang yang tidak memperdulikan sopan santun dan yang tidak menghormati orang tua dan tidak tahu adat terhadap bao Pada zaman dahulu parsubangon luar biasa hebatnya. Seorang ibu yang hendak memberi tahukan kepada bao nya, bahwa makanan telah menunggu bao nya itu, tidak akan menujukan panggilannya langsung kepada bao nya itu, tetapi kepada tiang rumah dan akan berkata E tiang, makanlah. Pada zaman sekarang ini hal serupa itu tidak kedapatan lagi. Orang telah mengubahnya dengan cara biasa, tetapi deagan penuh sopan santun. SEKILAS TENTANG PARTUTURAN (bagian 3) November 22, 2007 in Batak Culture SEKILAS TENTANG PARTUTURAN (bagian 3) C. Perkembangan Partuturan Adapun yang menjadikan adanya partuturan itu sebenarya hanya dua dasar, yaitu: 1) Semarga, dan 2) Tidak semarga. Yang pertama (semarga) menjadikan pardongan sabutuhaon (hal berteman semarga) dan yang kedua (tidak semarga) menjadikan parhula ianakkonon (hal ber hulahula dan ber boru). Diantara kedua golongan partuturan itu maka pardongan sabutuhaon lah yang tetap (abadi) dan tak dapat hapus atau hilang, sedang parhula ianakkonon dapat luntur dan pudar jika tidak diulang-ulang oleh generasi-generasi yang berikut dan dapat lenyap kalau terjadi perceraian antara suami istri. Namun parhula ianakkonon itu sama saja kedudukannya dalam DNT dengan pardongan sabutuhaon. Perbedaan yang unik antara kedua macam hubungan kekeluargaan itu ialah: pardongan sabutuhaon boleh dikatakan statis (tak berubah) yaitu kalau saya bermarga Nababan maka hanya orang-orang yang bermarga Nababanlah dongan sabutuha saya. Lain halnya dengan hulahula dan boru yang keduanya berkembang-dengan cepat dan pesat. Ingatlah, bahwa tiap kali ada pesta perkawinan dalam lingkungan keluarga kita berarti perluasan kekeluargaan kita, yaitu bertambahnya hulahula dan boru. Keunikan lain lagi dalam hal ini ialah, perkembangan itu kadang-kadang dapat juga kita atur menurut kehendak kita. Misalnya, pada saat ini dengan perkawinan anakanak saya dengan famili yang lain, saya telah berhubungan keluarga (berhulahula dan berboru) dengan marga-marga Simanjuntak, Siregar, Siahaan, Hutabarat, Silitonga dan lain-lain marga lagi, tetapi belum dengan marga Tobing dan saya kepingin benar berhubungan keluarga dengan marga Tobing itu, karena ada perlunya. Apa daya? Mudah saja. Saya ajak seorang di antara anak-anak saya atau anak-anak saudara-saudara saya (yang dekat atau yang jauh) kawin dengan seorang putra atau putri marga Tobing dan tercapailah keinginan saya itu. Dimanakah batas-batas partuturan itu?

Pertanyaan itu pernah diajukan oleh seorang bangsa asing yang sangat kagum melihat luasnya partuturan Batak itu, kepada penulis, lalu penulis menjawab, Ada filsafat Batak tentang itu bunyinya sebagai berikut : Poda do sibahen na sursuran; Roha do sibahen dao ni partuturan. Artinya : Pelajaran-pelajaran yang diterimalah menentukan kepandaian seseorang dan hatilah yang menentukan batas-batas partuturan. Maksudnya : kemauan dan suka hati oranglah yang menentukan batas-batas pertuturan nya. Mau luas bisa, mau sempit boleh juga. Dengan sempit dimaksud hanya famili dikenal saja. Kalau dikatakan luas, maka turutlah semua famili yang belum dikenal dan yang belakangan inilah yang paling banyak. Dapatlah kita bayangkan betapa banyaknya jumlah itu, bila kita ingat bahwa hulahula dan boru semua teman sermarga kita turut menjadi hulahula dan boru kita. Selain itu ada lagi cara yang sangat unik khas Batak, untuk memperluas bidang kekelurgaannya. Di bawah ini diberikan beberapa buah contoh : A dan B, sama-sama orang Batak, duduk berdampingan dikereta api. Kedua-duanya adalah orang Batak totok (artinya dapat mencium atau mempunyai firasat bahwa kawan yang duduk di sampingnya itu pasti orang Batak juga). Si A bertanya : Apa marga saudara? Siregar, sahut si B. Kebetulan si A pun bermarga Siregar juga, lalu bertanya lagi, Tingkat berapa keluarga saudara? Jawab si B, Tingkat delapanbelas (18). Mendengar itu berkatalah si A. Kalau begitu saya nenekmu karena keluarga saya tingkat enambelas. Hubungan kekeluargaan yang baru saja ditetapkan itu tidak tinggal teori saja, tetapi terus dipraktekkan dengan serius. Mereka itu bersama-sama pergi minum kopi. Waktu tiba saatnya membayar, maka tidaklah terjadi seperti pemeo Batak, Tan taran tante, Masi garar kopina be Artinya: Masing-masing membayar kopinya. Tetapi dengan segera si B membuka dompetnya dan membayar kopi mereka berdua. Kenapa si B membayar? Karena dia merasa bahwa dia adalah cucu si A dan harus menghormati neneknya si A itu sesuai dengan peraturan DNT. Contoh kedua : Dalam hal ini si A dan si B berlainan marga. A bermarga Nababan dan B bermarga Siregar. Maka terjadilah pembicaraan berikut. Karena si A lebih tua maka menurut peraturan DNT dialah yang berhak membuka pembicaraan. Katanya, Santabi, lae. Halak hita do hamu? (Maaf saudara. Orang kitakah saudara?) Jawab si B, Ba i do. (Ya begitulah) Si A melanjutkan, Antong, Jolo hutiptip ma sanggar bahen huruhuruan, Jolo husungkun ma marga, asa binoto partuturan. Artinya : Kalau begitu, saya tanyalah dahulu marga saudara, agar saya dapat menentukan partuturan kita. Sahut si B, Siregar do ahu. (Saya Siregar). Mendengar itu si A agak bingung sebentar karena dia sendiri adalah marga Nababan, dan di antara familinya yang dekat di kampungnya tak ada seorang pun yang bermarga Siregar. Namun dia perlu mengetahui hubungan famili dengan temannya seperjalanan itu, agar selama perjalanan itu dia dapat bergaul dengan si B. Lalu di perasnya otaknya mengingat, apakah ada di antara familinya yang banyak itu yang bermarga Siregar. 0 ya, benar di Padangsidempuan ada seorang marga Nababan beristri putri Siregar. Sebenarnya hubungannya dengan teman semarganya yang di Sidempuan itu sudah jauh di atas, tetapi hal itu tidak menjadi penghalang bagi si A, karena menurut peraturan DNT, dia berhak penuh menyebut orang itu

adik atau kakaknya. Maka dengan muka berseri-seri dia berkata kepada si B, Bo, syukurlah, saudara adalah hulahula saya, karena ada saudara saya di Sidempuan yang beristri boru Siregar. Horaslah, tulang (mamak). Sahut si B, Kalau begitu syukurlah. Horas ma, amangboru (amangboru ialah panggilan terhadap bapak suami saudara perempuan. kita ataupun suami dari saudara perempuan ayah kita).. Juga dalam hal ini A dan B memandang hubungan kekeluargaan yang baru itu serius dan terus dipraktekkan. Ketika mereka pergi ke warung kopi untuk minum, si A mempersilakan si B duduk di tempat yang paling baik. Mula-mula karena merasa dirinya lebih muda, si B menolak walaupun dia tahu bahwa dia boleh menerima tawaran itu sebagai hulahula. Tetapi si A mempertahankan ajakannya, katanya, Tidak mamak, kita baru kali ini berkenalan, karena itu kita harus menurut benarbenar peraturan adat DNT. Pada waktu membayar kopipun si A menmperlihatkan ketaatannya terhadap peraturan DNT dan membayar kopi mereka berdua. Selanjutnya mereka itu terus menerus berpegang pada hubungan kekeluargaan itu, bukan hanya selama perjalanan kali itu, tetapi juga di tempat-tampat lain dimana saja mereka bertemu.

FILSAFAT TENTANG PARTUTURAN J. Adat Batak - Adapun yang dinamai "partuturan" ialah hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur DNT (Dalihan Na Tolu). Sesuai dengan adanya 3 unsur itu maka macam hubungan kekeluargaan pun ada tiga, yaitu: Hubungan kita dengan "dongan sabutuha". Hubungan kita dengan "hulahula". Hubungan kita dengan "boru". Sudah barang tentu kita harus menjaga dan memelihara agar ketiga macam hubungan itu selalu berjalan dengan baik dan sempurna. Ada 2 buah filsafat Batak tentang itu: 1) "Habang binsusur martolutolu, Malo martutur padenggan ngolu." Artinya: Kebijaksanaan menghadapi ketiga unsur DNT akan memperbaiki penghidupan. 2) "Habang sihurhur songgop tu bosar, Na so malo martutur ingkon maos hona osar. Artinya: Kebodohan, kelalaian dan keserakahan dalam menghadapi ketiga unsur DNT akan membuat orang tergeser-geser. Maksud "tergeser-geser" (bahasa Batak "hona osar) ialah terpaksa berpindah-pindah tempat, karena tak disukai orang, akibatnya melarat. Berhubung dengan kedua filsafat itu, maka nenek moyang orang Batak meninggalkan 3 buah petuah atau pesan untuk keturunannya, sebagai berikut: 1) "Manat mardongan tubu."

Pada waktu ini acap kali diperlengkapi dan berbunyi: "Molo naeng ho sanggap, manat ma ho mardongan tubu." Artinya : Jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan "dongan sabutuha" (teman semarga). Keterangan tentang pesan pertama ini sebagai berikut. Adapun "dongan sabutuha" itu dipandang oleh orang Batak sebagai dirinya sendiri dan dalam pergaulan antar mereka sehari hari tidak dihiraukan segi basa basi, sehingga adik acap kali tidak hormat terhadap abangnya dan demikian juga anak terhadap paktua dan pakciknya, hal mana acap kali menimbulkan perasaan kurang senang di pihak yang merasa dirugikan. Maka untuk menghindarkan itu diberilah oleh leluhur kita pesan yang tersebut di atas, agar kita hati-hati menghadapi "dongan sabutuha" kita. Untuk itu harus kita periksa dahulu kedudukan "dongan sabutuha" itu dalam "tarombo" (tambo, silsilah keturunan terhadap kita). Pada waktu ini tidak sulit lagi memeriksa hal itu. Tiap orang Batak yang tahu "tarombo"nya mengetahui tingkat generasinya pada "tarombo"-nya itu. Misalnya "dongan sabutuha" kita itu bertingkat generasi 16 dan kita sendiri tingkat 17, maka ia masuk golongan ayah kita. sehingga ia harus kita hormati sebagai ayah kita sendiri. Kalau ada jamuan makan janganlah kita mempertahankan tempat duduk kita di "juluan" (tempat terhormat) kalau nampak seorang "dongan sabutuha" dari golongan lebih tinggi (abang, ayah atau nenek) belum mendapat tempat yang layak, tetapi kita harus mempersilakan dia. duduk di tempat duduk kita sendiri, sekalipun menurut umur, kita lebih tua dari dia. Dalam hal kita lebih tua dari dia, maka "dongan sabutuha" itu yang tentu juga mengetahui pesan leluhur kita itu, tidaklah akan gegabah terus menerima ajakan kita itu, tetapi dengan spontan ia akan menolak serta berkata, "Ah, tidak, yang tuatua harus di hormati, tinggallah di situ, terimakasih." Dalam pada itu ia sudah senang dan puas karena penghormatan kita itu. Dalam hal musyawarah pun atau pada rapat menyelesaikan perselisihan hendaklah kita selalu mengindahkan betulbetul basa-basi terhadap "dongan sabutuha". Dengan jalan demikian maka semua "dongan sabutuha" akan selalu solider atas tindakan tindakan kita dan akan menghormati dan menghargai kita dengan sewajarnya; hal ini berpengaruh juga kepada orang disekeliling kita. 2) "Somba marhulahula". Biasanya diperpanjang dan berbunyi: "Molo naeng ho gabe, somba ma ho marhulahula." Artinya : Jika engkau hendak "gabe" (berketurunan banyak) hormatilah "hulahula"-mu. Keterangannya : Untuk orang Batak maka "hagabeon" lah yang paling diharapkan dan dicita-citakan. Tanpa keturunan ia tak mungkin berbahagia. Hal itu terang nampak pada pantun Batak : "Hosuk humosukhosuk, hosuk di tombak ni Batangtoru; Porsuk nina porsuk, sai umporsuk dope na so maranak so marboru". Artinya : Penderitaan yang, paling berat ialah tidak berketurunan. Adapun "hulahula" itu dipandang oleh orang Batak sebagai media (penengah) yang sangat berkuasa untuk mendoakan "hagabeon" dari Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini telah menjadi darah daging bagi orang Batak berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Itulah yang membuat penghormatan tinggi dan menonjol terhadap "hulahula". Juga dalam hal penyelesaian perselisihan dengan "hulahula", penghormatan itu tetap dipertahankan sebagaimana nampak dengan jelas pada suatu sebutan khas Batak, yang berbunyi "Sada sala niba, pitu sala ni hulahula, sai hulahula i do na tutu". Artinya : Walau ada 7 buah kesalahan "hulahula" dan salah kita hanya satu, maka "hulahula" itulah selalu dipihak yang benar. Maksudnya : Kita harus selalu mengalah terhadap "hulahula", karena walaupun nampaknya kita

menderita rugi, namun akibatnya selalu menguntungkan kita, karena walaupun "hulahula" itu kita buat menang dalam perselisihan itu sehingga ia mendapat keuntungan materi, namun ada lagi sebuah sebutan khas Batak yang bunyinya, "Anggo tondi ni hulahula i sai tong do mamasumasu iba". Artinya : Namun, roh "hulahula" itu tetap mendoakan kebahagiaan untuk kita. Dan menurut filsafat Batak: Roh atau jiwa itu lebih berkuasa dari badan. Buat orang Batak yang taat beragama tidaklah berat untuk menuruti sebutan yang tertulis di atas, karena dalam ajaran Alkitab tertulis, "Memaafkan kesalahan orang lain tidak cukup hanya satu kali atau 7 kali, tetapi 70 kali 7, artinya tentu terus menerus". 3) "Elek marboru". Biasanya diperpanjang: "Molo naeng ho mamora, elek ma ho marboru." Artinya : Kalau ingin kaya, berlaku membujuklah terhadap "boru". Keterangan: Sebenarnya menurut adat Batak, "boru" itu dalam hubungan kekeluargaan berada di bawah kita, sehingga boleh kita suruh mengerjakan sesuatu. Namun anjuran leluhur Batak ialah agar permintaan-permintaan kita kepada "boru" sekali-kali tak boleh menyerupai perintah tetapi harus berupa dan bersifat bujukan. Leluhur Batak tahu benar bahwa bujukan lebih kuat daripada paksaan dan selain itu bujukan itu dapat tetap memelihara kasih sayang di antara "boru" dan "hulahula", yang tidak dapat dicapai dengan paksaan. Maka dengan bujukan besarlah harapan kita akan memperoleh semua yang kita minta dari boru kita, yang membuat kita kaya. Perkataan "kaya" di sini harus diartikan "perasaan kaya", yang maksudnya "perasaan senang". Dan memang orang yang merasa senanglah yang paling kaya di dunia ini dan bukanlah dengan sendirinya yang memiliki uang atau harta yang terbanyak. Dalam hal adanya perselisihanpun dengan "boru", maka hal membujuk inipun harus dipertahankan karena pengaruh dan akibatnya ialah: boru itupun dari pihaknya akan menuruti pesan nenek moyang "somba marhulahula" tersebut diatas, sehingga. penyelesaian persengketaan dapat tercapai dengan mudah dan dalam suasana yang harmonis. 4) "Molo naeng ho martua di tano on, pasangap me natorasmu." Artinya: Jika kamu ingin berbahagia. di dunia ini, hormatilah orang tuamu. Adapun petuah ini boleh dikatakan hanyalah tambahan dari ketiga pesan pertama yang tersebut di atas dan baru menonjol setelah banyak orang Batak memeluk agama Kristen atau Islam. Kita maklum, bahwa agama memerintahkan kepada manusia menghormati orang tuanya seperti yang telah dituliskan oleh Nabi Musa dalam Kitabnya yang kelima pasal 5 ayat 16, yang berbunyi: "Hormatilah orang tuamu, supaya umurmu lanjut dan selamatlah kamu dalam negeri yang dikaruniakan Tuhan Allah kepadamu." Nasehat nenek moyang orang Batak hampir sama bunyinya, dengan perintah Allah itu, yaitu : "Tinaba hau toras bahen sopo tu balian, Na pantun marnatoras ingkon dapotan parsaulian, Alai na tois marnatoras, olo ma i gomahon ni babiat." Artinya : Yang menghormati orang tuanya akan menerima kebahagiaan, tetapi yang durhaka terhadap orang tuanya mungkin akan diterkam harimau. Dalam hal nasihat.yang ke-4 ini agama dan adat kedua-duanya bersifat saling mendukung satu sama lain. Tentang arti luas dari perkataan: "natoras" (orang tua), maka pendapat ahli-ahli agama dan nenek moyang orang Batak sesuai benar, yaitu:

di samping ibu dan ayah-kandung harus juga kita hormati guru-guru, pemimpinpemimpin, pemerintah dan semua orang tua-tua pria dan wanita. Tentang penghormatan terhadap orang tua yang telah meninggal telah dibahas dalam. "Dapatkah DNT bertahan sampai akhir zaman ?" Nasehat No. 4 inilah yang paling utama harus diperhatikan oleh para pemuda dan pemudi pada zaman sekarang ini. Dengan tidak mengindahkan nasehat ini, tidak mungkin tercapai kebahagiaan yang lama di dunia ini. Di samping yang telah dipaparkan di atas, maka "partuturan" itu mempunyai lagi peraturan-peraturan lain yang juga harus diperhatikan dan dituruti untuk menjaga dan memelihara hubungan baik antara ketiga unsur DNT, yaitu yang dinamai peraturan "parsubangonjo". B. Pengertian Parsubangon Adapun yang dimaksud dengan peraturan "parsubangon" ialah peraturan-peraturan pantangan (parsubangon = yang dipantangkan). Tujuannya ialah menertibkan anggota-anggota keluarga terlebih-lebih yang berlainan jenis kelamin dalam pergaulan sehari-hari agar pergaulan itu tetap berjalan di atas rel yang telah ditetapkan oleh peraturan-peraturan DNT dan terutama mengenai penghormatan terhadap "hulahula" dan terhadap orang tua. Misalnya, kita dengan istri saudara lelaki istri kita (bahasa Bataknya "bao" tidak boleh berbicara secara. bebas, apa lagi bersenda guraur. Apa sebab? Saudara istri kita itu adalah "hulahula" yang paling dekat kepada kita. Maka istrinya pun harus menerima penghormatan sebagai "hulahula", malahan harus lebih daripada yang biasa karena dia itu adalah seorang wanita dah tentang "Ina" (ibu) filsafat Batak berbunyi : "Sada sangap tu ama, dua sangap tu ina." Artinya : Satu penghormatan terhadap bapak, tetapi dua terhadap ibu. Maksudnya : Di samping menerima penghormatan biasa yang diterima oleh kaum bapak, maka ibu harus lagi menerima penghormatan istimewa, karena ibu itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk melahirkan anak-anak yang membawa kebahagiaan tertinggi dalam rumah tangga orang Batak. Terhadap istri adik laki-laki kita pun kita harus berlaku sama seperti terhadap "bao" tersebut, sesuai dengan filsafat Batak: "Marboras ia singkoru, marmutik ia timbaho, Dos do na maranggi boru dohot halak na -marbao." Artinya : Penghormatan terhadap istri adik kita sama dengan penghormatan terhadap istri saudara lelaki istri kita. Tentang penghormatan terhadap istri adik kita itu, orang luar mungkin heran dan bertanya, "Kenapa begitu, bukankah istri adik kita itu tidak termasuk "hulahula", malahan adik kita itu dalam adat berada di bawah kita dan tentu istrinya pun demikian juga?". Pertanyaan itu memang beralasan benar, karena penghormatan terhadap "anggiboru" (sebutan dalam bahasa Batak untuk istri adik) itu nampak berlawanan dengan yang diperkirakan. Ini memang benar karena itu perlu diberikan penjelasan ringkas. Adapun kita (diri kita) bukanlah hanya abang dari adik saja, tetapi juga berfungsi sebagai ayah baginya, terlebih-lebih kalau ayah kita telah meninggal. Oleh karena itu istri adik kita itu tidak boleh kita pandang hanya sebagai adik saja, tetapi harus lebih dari itu menurut fungsi kita sebagai "ayah" suaminya (mertuanya), jadi memandangnya sebagai menantu penuh; perhubungan ini termasuk golongan "parsubangon" Sudah barang tentu ketertiban pergaulan tersebut diatas bertujuan juga untuk menjauhkan kemesuman yang sering mengancam keluarga-kelarga Batak dahulu

kala, oleh karena rumah-rumah biasanya didiami oleh empat atau lima rumah tangga (dalam bahasa Batak "ripe") dan rumah-rumah itu tidak mempunyai kamarkamar, sehingga ketertiban didalamnya antara keluarga-keluarga itu bulat-bulat terserah kepada kesadaran ber-DNT. Sudah barang tentu sudah ada sangsi-sangsi, terhadap orang, yang melanggar ketertiban itu berupa hukuman-hukuman berat. Tetapi disamping itu, untuk mencegah pelanggaran atas ketertiban hidup itu, ada juga kutukan yang berbunyi : "Habang pidong pua manjoloani sidaodao, Sai mangunsisi do nasa tua sian jolma na so marpaho, Sipalea natuatua na so umboto adat marbao." Artinya : Segala tuah akan menyisih (lari) dari orang yang tidak memperdulikan sopan santun dan yang tidak menghormati orang tua dan tidak tahu adat terhadap "bao" Pada zaman dahulu "parsubangon" luar biasa hebatnya. Seorang ibu yang hendak memberi tahukan kepada "bao" nya, bahwa makanan telah menunggu "bao" nya itu, tidak akan menujukan panggilannya langsung kepada "bao" nya itu, tetapi kepada tiang rumah dan akan berkata "E tiang, makanlah." Pada zaman sekarang ini hal serupa itu tidak kedapatan lagi. Orang telah mengubahnya dengan cara biasa, tetapi deagan penuh sopan santun. C. Perkembangan Partuturan Adapun yang menjadikan adanya "partuturan" itu sebenarya hanya dua dasar, yaitu: 1) Semarga, dan 2) Tidak semarga. Yang pertama (semarga) menjadikan "pardongan sabutuhaon" (hal berteman semarga) dan yang kedua (tidak semarga) menjadikan "parhula ianakkonon" (hal ber "hulahula" dan ber "boru"). Diantara kedua golongan "partuturan" itu maka "pardongan sabutuhaon" lah yang tetap (abadi) dan tak dapat hapus atau hilang, sedang "parhula ianakkonon" dapat luntur dan pudar jika tidak diulang-ulang oleh generasi-generasi yang berikut dan dapat lenyap kalau terjadi perceraian antara suami istri. Namun "parhula ianakkonon" itu sama saja kedudukannya dalam DNT dengan "pardongan sabutuhaon". Perbedaan yang unik antara kedua macam hubungan kekeluargaan itu ialah: "pardongan sabutuhaon" boleh dikatakan statis (tak berubah) yaitu kalau saya bermarga Nababan maka hanya orang-orang yang bermarga Nababanlah "dongan sabutuha" saya. Lain halnya dengan "hulahula" dan "boru" yang keduanya berkembang-dengan cepat dan pesat. Ingatlah, bahwa tiap kali ada pesta perkawinan dalam lingkungan keluarga kita berarti perluasan kekeluargaan kita, yaitu bertambahnya "hulahula" dan "boru". Keunikan lain lagi dalam hal ini ialah, perkembangan itu kadang-kadang dapat juga kita atur menurut kehendak kita. Misalnya, pada saat ini dengan perkawinan anakanak saya dengan famili yang lain, saya telah berhubungan keluarga (ber"hulahula" dan ber"boru") dengan marga-marga Simanjuntak, Siregar, Siahaan, Hutabarat, Silitonga dan lain-lain marga lagi, tetapi belum dengan marga Tobing dan saya kepingin benar berhubungan keluarga dengan marga Tobing itu, karena ada perlunya. Apa daya? Mudah saja. Saya ajak seorang di antara anak-anak saya atau anak-anak saudara-saudara saya (yang dekat atau yang jauh) kawin dengan seorang putra atau putri marga Tobing dan tercapailah keinginan saya itu. Dimanakah batas-batas "partuturan" itu? Pertanyaan itu pernah diajukan oleh seorang bangsa asing yang sangat kagum melihat luasnya "partuturan" Batak itu, kepada penulis, lalu penulis menjawab," Ada filsafat Batak tentang itu bunyinya sebagai berikut : Poda do sibahen na sursuran;

Roha do sibahen dao ni partuturan. Artinya : Pelajaran-pelajaran yang diterimalah menentukan kepandaian seseorang dan hatilah yang menentukan batas-batas "partuturan". Maksudnya : kemauan dan suka hati oranglah yang menentukan batas-batas "pertuturan" nya. Mau luas bisa, mau sempit boleh juga. Dengan sempit dimaksud hanya famili dikenal saja. Kalau dikatakan luas, maka turutlah semua famili yang belum dikenal dan yang belakangan inilah yang paling banyak. Dapatlah kita bayangkan betapa banyaknya jumlah itu, bila kita ingat bahwa "hulahula" dan "boru" semua teman sermarga kita turut menjadi "hulahula" dan "boru" kita. Selain itu ada lagi cara yang sangat unik khas Batak, untuk memperluas bidang kekelurgaannya. Di bawah ini diberikan beberapa buah contoh : A dan B, sama-sama orang Batak, duduk berdampingan dikereta api. Kedua-duanya adalah orang Batak totok (artinya dapat mencium atau mempunyai firasat bahwa kawan yang duduk di sampingnya itu pasti orang Batak juga). Si A bertanya : "Apa marga saudara?" "Siregar," sahut si B. Kebetulan si A pun bermarga Siregar juga, lalu bertanya lagi, "Tingkat berapa keluarga saudara?" Jawab si B, "Tingkat delapanbelas (18)". Mendengar itu berkatalah si A. "Kalau begitu saya nenekmu karena keluarga saya tingkat enambelas." Hubungan kekeluargaan yang baru saja ditetapkan itu tidak tinggal teori saja, tetapi terus dipraktekkan dengan serius. Mereka itu bersama-sama pergi minum kopi. Waktu tiba saatnya membayar, maka tidaklah terjadi seperti pemeo Batak, "Tan taran tante, Masi garar kopina be" Artinya: Masing-masing membayar kopinya. Tetapi dengan segera si B membuka dompetnya dan membayar kopi mereka berdua. Kenapa si B membayar? Karena dia merasa bahwa dia adalah "cucu" si A dan harus menghormati "neneknya" si A itu sesuai dengan peraturan DNT. Contoh kedua : Dalam hal ini si A dan si B berlainan marga. A bermarga Nababan dan B bermarga Siregar. Maka terjadilah pembicaraan berikut. Karena si A lebih tua maka menurut peraturan DNT dialah yang berhak membuka pembicaraan. Katanya, "Santabi, lae. Halak hita do hamu?" (Maaf saudara. Orang kitakah saudara?) Jawab si B, "Ba i do." (Ya begitulah) Si A melanjutkan, "Antong, Jolo hutiptip ma sanggar bahen huruhuruan, Jolo husungkun ma marga, asa binoto partuturan." Artinya : Kalau begitu, saya tanyalah dahulu marga saudara, agar saya dapat menentukan "partuturan" kita. Sahut si B, "Siregar do ahu." (Saya Siregar). Mendengar itu si A agak bingung sebentar karena dia sendiri adalah marga Nababan, dan di antara familinya yang dekat di kampungnya tak ada seorang pun yang bermarga Siregar. Namun dia perlu mengetahui hubungan famili dengan temannya seperjalanan itu, agar selama perjalanan itu dia dapat bergaul dengan si B. Lalu di perasnya otaknya mengingat, apakah ada di antara familinya yang banyak itu yang bermarga Siregar. 0 ya, benar di Padangsidempuan ada seorang marga Nababan beristri putri Siregar. Sebenarnya hubungannya dengan teman semarganya yang di Sidempuan itu sudah jauh di atas, tetapi hal itu tidak menjadi penghalang bagi si A, karena menurut peraturan DNT, dia berhak penuh menyebut orang itu adik atau kakaknya. Maka dengan muka berseri-seri dia berkata kepada si B, "Bo, syukurlah, saudara adalah "hulahula" saya, karena ada saudara saya di Sidempuan yang beristri boru Siregar. Horaslah, "tulang" (mamak)." Sahut si B, "Kalau begitu

syukurlah. Horas ma, amangboru (amangboru ialah panggilan terhadap bapak suami saudara perempuan. kita ataupun suami dari saudara perempuan ayah kita).". Juga dalam hal ini A dan B memandang hubungan kekeluargaan yang baru itu serius dan terus dipraktekkan. Ketika mereka pergi ke warung kopi untuk minum, si A mempersilakan si B duduk di tempat yang paling baik. Mula-mula karena merasa dirinya lebih muda, si B menolak walaupun dia tahu bahwa dia boleh menerima tawaran itu sebagai "hulahula". Tetapi si A mempertahankan ajakannya, katanya, "Tidak mamak, kita baru kali ini berkenalan, karena itu kita harus menurut benarbenar peraturan adat DNT. Pada waktu membayar kopipun si A menmperlihatkan ketaatannya terhadap peraturan DNT dan membayar kopi mereka berdua. Selanjutnya mereka itu terus menerus berpegang pada hubungan kekeluargaan itu, bukan hanya selama perjalanan kali itu, tetapi juga di tempat-tampat lain dimana saja mereka bertemu. Sekian penerangan tentang "partuturan".

PEMBAGIAN WARISAN DALAM ADAT BATAK TOBA

Bangsa Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya. Letak geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan perbedaan kebudayaan yang mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku masyarakat. Kita dapat melihat hal ini pada suku-suku yang terdapat di Indonesia. Salah satu contohnya adalah suku Batak. Suku batak terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu batak toba, batak simalungun, batak karo, batak pakpak dan batak mandailing. Dalam hal ini Saya mengambil pembahasan tentang batak toba. Masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah dataran tinggi Batak bagian Utara merupakan suatu suku yang terdapat di provinsi Sumatera Utara. Dalam masyarakat Batak Toba, dibagi lagi dalam suatu komunitas seperti sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang didiami. Seperti wilayah Silindung yang di dalamnya masuk daerah di lembah Silindung yaitu Tarutung, Sipahutar, Pangaribuan, Garoga dan Pahae. Daerah Humbang diantaranya Dolok Sanggul, Onan Ganjang, Lintong Ni huta, Pakkat dan sekitarnya. Sementara Toba meliputi Balige, Porsea, Samosir, Parsoburan dan Huta Julu. Dari ketiga daerah Batak Toba tersebut, juga memiliki perbedaan dalam hal adat istiadat juga, diantaranya perbedaan dalam tata adat perkawinan, pemakaman juga dalam pembagian warisan. Dan dalam adat istiadat juga ada beberapa daerah yang sangat patuh terhadap dalam adat atau dengan kata lain adat istiadat nya sangat kuat, itu dikarenakan daerah dan keadaan daerah yang masih menjunjung tinggi sistem adat- istiadat. Daerah yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat tersebut adalah masyarakat daerah Humbang dan daerah Toba. Masyarakat ini biasanya selalu mempertahankan kehidupan dari budaya dan adat istiadat mereka. Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang Patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah.

Apalagi pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam hal pendidikan. Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan adalah anak laki laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak anak nya dalam pembagian harta warisan. Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian warisannya. Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan. Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua anak laki laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampong halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan). Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga. Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan oleh masyarakat batak. Khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan

warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti di atas. Beberapa hal positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku Batak Toba yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang batak berada adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang. Bagi orang tua dalam suku batak anak sangatlah penting untuk diperjuangkan terutama dalam hal Pendidikan. Karena Ilmu pengetahuan adalah harta warisan yang tidak bisa di hilangkan atau ditiadakan. Dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan maka seseorang akan mendapat harta yang melimpah dan mendapat kedudukan yang lebih baik dikehidupan nya nanti.

Anda mungkin juga menyukai