MANGROVE KULONPROGO
Replanting Again !
2 Replanting :
Penanaman Mangrove Jangkaran
Replanting PRAKATA
(KKPMSP) Kab Kulonprogo, serta Kelompok Pelestari Mangrove Wana Tirta. Dua bagian acara yang penting pada pelaksanaan penanaman ini yaitu acara seremonial penanaman dan penanaman mangrove (replanging). Seremonial kegiatan ini dilaksanakan pada pukul 09.30 WIB sampai dengan 10.00 WIB yang dipimpin langsung oleh Wakil Bupati Kabupaten Kulonprogo, Drs. H. Sutedjo. Konklusi dari beberapa sambutan ini diantaranya disampaikan tentang pentingnya kegiatan pelestarian ekosistem kawasan pesisir dan rencana ke dapan yang dapat dilaksanakan di Desa Jangkaran. Pelaksanaan penanaman berada di sempadan Sungai Pasir Mendit dan satu buah kawasan hutan arboretum. Keduanya berada di Dusun Pasir Mendit, Jangkaran, Temon. Jenis bibit yang ditanam adalah Rhizophora spp, Avicennia spp, Bruguiera spp. Rincian dari bibit tersebut adalah Tanaman Rhizophora mucronata sebanyak 9.500 batang bibit, di lapak yang berlumpur. Avicennia sp sebanyak 6000 batang bibit, di lapak lumpur berpasir. Terakhir, Bruguiera sp sebanyak 4.500 batang bibit di lapak bagian atas. Sisanya Avicennia spp sebanyak 6.000 batang. Sebagai kawasan arboretum mangrove, ditanam 28 jenis tanaman mangrove, Total jumlah 196 bt bibit dengan jarak tanam per-jenis 2x2 meter. KKPMSP
Essay PRAKATA
Hasil dari penelitiannya menarik. Disampaikan bahwa rerata Sonneratia sp mempunyai jumlah pohon tertinggi sedangkan spesies Rhizophora mucronata dan Avicennia marina adalah jumlah dominan pada strata pancang dan semai. Dapat diartikan, dominasi mangrove yang ada pada masa lalu sebagian besar adalah jenis bogem (nama lokal untuk Sonneratia sp.) yang dibuktikan dengan keberadaan jenis pohon yang dominan. Adapun dominasi bakau (nama populer untuk Rhizophora pada strata pancang dan api-api pada semai dimungkinkan akibat semakin intens nya kegiatan penanaman pada beberapa tahun terakhir. Pendapat diatas turut didukung pula oleh studi faktor fisik lingkungan. Dikatakan dalam penelitiannya bahwa faktor terukur yang meliputi tekstur tanah, bahan organik, pH tanah, salinitas, arus pasang surut mendukung perkembangan mangrove jenis bogem dengan baik. Hal berbeda pada jenis bakau dan api-api dimana dinyatakan kondisi lingkungan dapat mendukung perkembangan dua spesies itu walau tidak optimal. Ironisnya, penanaman mangrove yang dilaksanakan selama ini cenderung menggunakan jenis bakau dan api-api. Total 94.050
batang mangrove sudah ditanam dari Tahun 1989. Apabila asumsi sistem penanaman 1x1 meter pada semua batang, maka total area yang seharusnya tertanami adalah 47.025 m atau 4,7 ha. Dalam kenyataanya, luasan area mangrove keseluruhan di Desa Jangkaran sangat mungkin tidak seluas ini. Pengamatan lapangan terlihat lokasi mangrove dominan berada di sepanjang sempadan sungai temon dan sebagian sungai bogowonto. Selain itu, beberapa blok kawasan bakau di Pasir Mendit. Tentu, banyak hal yang berpengaruh pada tidak sesuainya perencanaan penanaman dengan tutupan area mangrove di Desa Jangkaran. Faktor lingkungan merupakan salah satu sebab dari kesuksesan penanaman. Cuaca juga menjadi satu faktor penting. Lebih jauh faktor kesadaran masyarakat menjadi satu poin penting dalam kesuksesannya. Hasil pengamatan Sawitri Rani sendiri menyatakan kurang berhasilnya rehabilitasi mangrove di Desa Jangkaran disebabkan minimnya kegiatan pemeliharaan pada ekosistem mangrove oleh masyarakat sekitar. Tentang kurangnya kesadaran ini tentu menjadi satu perhatian
penting karena di sisi yang lain masyarakat sudah mempunyai pengetahuan terhadap fungsi dan manfaat ekosistem mangrove. Persepsi kegagalan rehabilitasi mangrove karena tertutupnya muara Sungai Bogowonto juga sudah diketahui dengan baik oleh masyarakat Desa Jangkaran. Kesimpulan dari judul sampai kapan kita akan memananam seharusnya tidak berkaitan dengan tutupan mangrove dan berapa luasan lahan yang ada, tetapi lebih mengarah kepada sampai kapan masyarakat mempunyai karakter yang peduli dengan lingkungan sekitarnya. KKPMSP
Report PRAKATA
pada lokakarya pada acara ini tidak kalah penting. Dua hal yang menjadi titik penting dalam pemaparan materinya yaitu konsep pengelolaan mangrove dan kaitannya dengan peraturan perundangan. Kedua, mangrove DIY sebagai peluang unik pengembangan pesisir DIY. Menarik, karena banyak pendapat baru baik mendukung kegiatan konservasi atau bahkan menolak konservasi mangrove di pesisir Yogyakarta. Bertentangan atau saling mendukung. Materi dan diskusi kali ini sekali lagi membahas tentang kaitan antara rencana tata ruang, peraturan perundangan, keberadaan mangrove, aktivitas perusakan mangrove, alih fungi dan sanksi pelanggaran tata ruang. Bukan hal baru untuk menyatakan bahwa pesisir merupakan satu susunan kompleks dari berbagai kegiatan dan ekosistem. Mangrove merupakan satu hal yang tidak dapat dilupakan karena dalam konteks pengelolaan tata ruang, maka kawasan mangrove termasuk pula didalamnya. Peraturan pertama dalam rangka pengelolaan kawasan pesisir adalah Undang-undang No 26 Tahun 2006 tentang pengelolaan tata ruang dan Undang-undang 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu. Keduanya adalah peraturan yang berbeda tetapi dengan roh yang sama. Perbedaan hanya pada tataran wilayah pengelolaan dengan lingkup UU 27/2007 terbatas pada wilayah pesisir dan pulau kecil. Di tingkat daerah keduanya adalah dwitunggal pengelolaan pesisir berupa Rencana Tata Ruang Daerah dan Rencana Strategis Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil. Tentu, pengelolaan kawasan mangrove tidak cukup hanya dengan peraturan tata ruang yang mengatur dalam rangka tata keruangannya saja. Berbagai peraturan perundangan turut dilakukan dalam rangka pengelolaan kawasan ini, baik secara langsung atau tidak. Salah satu yang tidak langsung tersebut adalah adalah Undangundang Nomor 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Turut pula Peraturan Pemerintah No 38/2007 tentang kewenangan pemerintahan yang mengatur kewenangan pengelola kegiatan berkaitan dengan jenis kegiatan yang sangat berkaitan erat dengan UU 32 /2004 dan Peraturan Pemrerintah Nomor 7/2008. Termasuk pula Peraturan Pemerintah Nomor 76/2008 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan yang mengatur pembautan RTk RHL DAS, RPRHL dan RTnRHL. Selain itu, adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 / 2008 tentang kawasan konservasi wilayah pesisir dan pulau kecil adalah satu peraturan tidak langsung dalam tataran pemanfaatan pengelolaan mangrove. Tentu masih banyak peraturan perundangan lainnya. Secara langsung, setidaknya terdapat tiga peraturan peraturan perundangan yang sangat berkaitan dengan pengelolaan manrove. Peraturan perudangan tersebut diantaranya adalah Keputusan
Presiden Nomor 32/1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Dikatakan dalam peratauran ini bahwa ekosistem mangrove merupakan kawasan lindung. Turut diatur didalamnya adalah kriteria sempadan pantai (Pasal 14) dan kawasan pantai berhutan bakau (Pasal 27). Selanjutnya adalah Perpres 121/2012 tentang rehabilitasi pesisir. Peraturan hasil inisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan ini mengatur kriteria kerusakan ekosistem, tahapan rehabilitasi, monitoring, peran serta dan pembiayaan kegiatan rehabilitasi. Perpres 73/2012 tentang Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SPEM). Peraturan ini bertujuan membentuk kebijakan dan program untuk mencapai tujuan terwujudnya pengelolaan ekosistem mangrove lestari dan masyarakat sejahtera berkelanjutan berdasarkan sumber daya yang tersedia sebagai bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan nasional Tidak cukup disitu, dalam rencana kedepan, akan disusun pula Baku Mutu Kerusakan yang berisi kriteria kerusakan ekosistem dari Kementerian Lingkungan Hidup, Rencana Strategi Mangrove dan Gambut oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Petunjuk teknis Pengelolaan Mangrove Tingkat Kabupaten oleh masing-masing kabupaten. Harus diakui, di satu pihak berbagai peraturan ini mewajibkan stakeholder berjuang ekstra dalam upaya mengelola kawasan mangrove. Di sisi lain, mereka harus mempertimbangkan berbagai kepentingan di mangrove dan kelanjutan ekosistem dengan berbagai problem yang ada. Dalam banyak peraturan, kepentingan dan kelestarian kawasan mangrove ini, maka satu pendapat tentang urgensi pembentukan satu forum tunggal untuk mempertemukan berbagai kepentingan mucul. Forum ini disebut dengan nama kelompok kerja mangrove. Kelompok Kerja Mangrove Nasional (KKMN) merupakan tim kerja lintas sektor/instansi/lembaga swadaya masyarakat pemerhati mangrove yang dibentuk sebagai jembatan penghubung sebelum pembentukan Tim Kerja Koordinasi (Tim Koordinasi Nasional) yang diamanatkan dalam Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Kelompok Kerja Mangrove (KKM) dibentuk di tingkatan nasional (KKMD), provinsi (KKMD Provinsi) dan kabupaten/kota (KKMD Kabupaten/Kota). Motor penggerak pada KKM adalah Kementerian Dalam Negeri, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, Akademisi Perguruan Tinggi dan Lembaga Non Pemerintah seperti Wetlands International Indonesia Program. Saat ini, ketua di tingkat nasional adalah Kementerian Kehutanan dengan wakil ketua Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di tingkat Provinsi, sudah terbentuk 23 KKMD Prov dari 33 dan 16 kabupaten yang sudah terbentuk KKMD dari total 400-an di seluruh Indonesia. KKPMSP
Ideas PRAKATA
Prof Dr. Sukristijono Sukarjo Dsc. adalah seorang peneliti LIPI, alumni IPB dan aktif di organisasi Mangrove For the Future (MFF). Beliau merupakan satu pemikir mangrove garda terdepan di Indonesia. Konsep pengembangan ekoturisme mangrove di pesisir jogja. Tulisan saya berikut ini tentu hanya sebatas intepretasi saya pribadi dalam luasnya pemahaman Prof tentang konsep pengelolaan mangrove secara luas. Tentu, oleh karena keterbatasan pola pikir saya pribadi, sangat dimungkinkan pendapat murni dari Prof bisa bias dan terbelokkan. Kemungkinan penyelewengan ini tentu bukan maksud saya menulis disini.
uasan mangrove di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) tidaklah sampai dalam kisaran berhektar-hektar kilometer. Hanya sedikit titik keberadaan mangrove yang ada di DIY yaitu di Desa Jangkaran Kabupaten Kulonprogo dan Desa Baros Kabupaten Bantul. Juga di Kabupaten Gunungkidul dengan beberapa spesies di kawasan konservasi Wediombo di ujung selatan timur kabupaten. Keberadaan tiga spot mangrove di tiga kabupaten karena ketiganya berada di muara sungai. Bogowonoto, Opak dan Wediombo. Luas kawasan mangrove klaim dari masing-masing kabupaten adalah seluas 4 ha di Kulonprogo dan Bantul. Dengan kecilnya skala mangrove di DIY ini, beberapa ahli menyatakan mangrove yang ada disini tidak membentuk ekosistem. Bahkan, dinyatakan mangrove yang ada di tiga kabupaten ini belum mempunyai fungsi dan perananan penting pada pesisir. Hanya sebatas spesies mangrove. Memang, kondisi geografis pesisir di Yogyakarta dapat dikatakan tidak terlalu mendukung perkembangan ekosistem mangrove. Pantai di Bantul dan Kulonprogo didominasi oleh pasir sedangkan Gunungkidul dengan batuan karang yang tidak sesuai dengan tumbuh kembang mangrove. Faktor karakteristik pesisir DIY, sedikitnya mangrove yang ada dan kemanfaatan yang kurang ini oleh beberapa pihak dianggap sebagai bukti mangrove di DIY tidak sesuai dengan fitrah kepesisirannya. Setiap penanaman mangrove membutuhkan banyak usaha dalam usaha adaptasi dengan keadaan pesisir yang ada. Ikutan teknologi ini merupakan bukti keadaan alam di DIY sebenarnya tidak sesuai dengan karakterisitik mangrove sendiri. Namun demikian, beberapa pendapat lain menyatakan kecilnya luasan mangrove di Jangkaran, Baros dan Wediombo bukanlah satu kelemahan pada pengembangan mangrove di DIY. Walau masih kecil, keberadaan mangrove tentu akan memberi manfaat bagi perkembangan pesisir di DIY sekecil apapun itu. Lebih jauh, peluang mangrove jogja sebagai satu sisi penting pengelolaan pesisir disampaikan oleh Prof. Dr. Sukristijono Sukarjo Dsc. Homesphere adalah satu isitilah baru yang saya dapat dari beliau yang merujuk pada kesatuan pandangan dan pengertian yang terkoordinasi oleh sistem ekosistem. Konsep ini jika dipersempit dalam konsep pengelolaan kawasan mangrove, terdapat empat bingkai konsep yaitu tradisi, sosioetnografi, kemaritiman dan new frontier. Dengan keempatnya, pola pikir pengelolaan mangrove di DIY disampaikan oleh paparan beliau.. Konsep tradisi berkaitan dengan ikatan saling mendukung yang erat. Belum terdapat satu pola pada masyarakat pesisir DIY tentang pentingnya mangrove di kehidupan sehari-hari mereka. Mangrove belum menjadi satu urat nadi kehidupan masyarakat dan belum
terbentuk satu hubungan yang membentuk kultur sosial kemasyarakatan. Beliau memberi contoh tradisi mangrove ini dengan daerah lain dengan kondisi mangrove sangat baik seperti di Papua, Kalimantan, Pantura atau daerah lain. Meskipun demikian, kaitan antara masyarakat Jogja dengan keberadaan mangrove tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Tradisi dan Sosioetnografi mulai terbentuk di DIY. Buktinya adalah persepsi sebagaian besar masyarakat pesisir yang mengangggap penting keberadaan mangrove dan fungsinya sebagai green barrier penting pada kebencanaan pesisir. Pesisir DIY sebagai daerah rawan bencana tsunami, angin kencang, pasang dan abrasi sudah banyak dipahami masyarakat dengan aksi tindak lanjut masyarakat yang secara aktif berswadaya menanam mangrove dan vegetasi pantai lainnya dalam rangka perlindungan alami. Mereka cenderung faham fungsi dan pemahaman hal ini. Dalam hal mangrove dan fungsi dalam kebencanaan ini pula konsep kemaritiman mangrove dan pesisir berada. Mangrove dan vegetasi pantai lain adalah satu kaitan erat dengan keadaan lautnya. Tambak di Jangkaran, pertanian di Baros, atau abrasi pantai di Trisik dan Kuwaru. Ombak, pantai dan vegetasinya adalah satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Konsep mangrove sebagai new frontier terutama dalam fungsinya sebagai penyimpan karbon, kelestarian daur hidup, penemuan keanekaragaman hayati, rehabilitasi dan ekosturisme. Dalam konsep ekoturisme pula agaknya mangrove di DIY mendapat tempat yang strategis. Proses pengkayaan yang dilakukan masyarakat, swasta, lembaga non pemerintah dan pemerintah telah meningkatkan kualitas mangrove dan sosial ethic-nya. Keadaan DIY dengan karakter pesisir yang berbeda dengan daerah lain akan meningkatkan keunikan mangrove yang ada di pesisir DIY. Keberadaan tambak, pertanian, pertambangan, kawasan ekonomi penting, daerah lindung dan pariwisata menambah keunikan dari masing-masing kawasan di tiga kabupaten. Di sisi lain, latar belakang akademis dan keberadaan Keraton Ngayogyakarta adalah nilai tambah penting bagi pengembangan mangrove di sini. Dalam dalam konsep mangrove DIY, keberadaan mangrove di Indonesia akan mendapat satu nilai khas. Mangrove disini akan dianggap sebagai kegiatan konstruktif per hari yang dapat diamati proses pelestariannya. Proses ini lah yang merupakan nilai jual dari mangrove di Jogja. Karena ekoturisme bukan berarti wisata pada satu kawasan yang baik, tetapi bahkan kegiatan penanaman mangrove merupakan satu atraksi wisata yang menarik. Ekoturisme dengan konsep ini lah yang akan membangun satu sistem humanosphere bagi perkembangan mangrove di pesisir Jogja. KKPMSP