Anda di halaman 1dari 6

DISKUSI

1. POLA MAKAN o Karyadi (1985) mendefinisikan pola asuh makan sebagai praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan cara dan situasi makan. Oleh karena itu, perhatian terhadap makanan dan kesehatan bagi anak pada usia ini sangat diperlukan (Hardinsyah & Martianto 1992). Ditambahkan, Kebutuhan pangan harus diperoleh dalam jumlah yang cukup karena kekurangan atau kelebihan pangan akan berdampak terhadap kesehatan (Hardinsyah 2000). o Hasil penelitian ini mempunyai kesamaan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Nigeria, bahwa perilaku ibu selama memberikan makan atau pola asuh makan yang diberikan ibu berhubungan positif dan signifikan dengan status gizi anak balita (Ogunba, 2006). o Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di Uganda (Joyce, 1998) dikatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama balita dipengaruhi paling banyak oleh pola makan mereka.
2. PENGASUH Menurut Soekirman (2000) pola asuh adalah dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial. Ditambahkan, sebagaimana yang dikatakan Winarno tahun 1995:masa pertumbuhan bayi merupakan masa yang sangat peka atas pengaruh gangguan kurang gizi yang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan otak dan gangguan pertumbuhan intelegensia sehingga kelangsungan hidup anak balita sangat tergantung pada penduduk dewasa terutama keluarga dan ibunya (Sukarni 1989). Dalam penelitian Diana (2004) di Sumatera Barat, pola asuh anak yang kurang akan mempunyai resiko anak balita KEP 1,5 kali dibandingkan dengan anak balita yang dengan pola asuh cukup Menurut Popkin dalam Harsiki, T, tahun 2002 ibu rumah tangga adalah penentu utama dalam pengembangan sumber daya manusia dalam keluarga dan pengembangan diri anak sebelum memasuki usia sekolah. ibuibu telah lama menjadi aktor penting menghidupi anak-anaknya. Sehingga dapat dilihat anak yang dibesarkan dengan pola pengasuhan yang tidak baik ditambah lagi dengan lingkungan yang kurang baik pula maka status gizinya akan lebih buruk dibandingkan dengan anak dengan pola asuh yang baik. Hal ini tidak terlepas dari naluri keibuan yang dimiliki untuk mendapatkan anak yang selalu sehat (Khomsan 2005). Demikian juga hasil penelitian yang diIakukan oleh Begin et al. (1999) menunjukkan bahwa karakteristik ibu sebagai pengasuh utama anak usia 1211 bulan di daerah rural Chad Afrika, berpengaruh terhadap status gizi anak indeks TB/U.

3. SOSIOEKONOMIK Kemiskinan dinilai sebagai penyebab penting masalah kurang gizi karena keluarga miskin tidak dapat memenuhi asupan makanan yang cukup dan berkualitas, dan keluarga miskin biasanya adalah tenaga kerja yang

berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh juga kurang berkualitas. Dengan demikian besar kecilnya pendapatan mempengaruhi pola konsumsi keluarga yang pada akhirnya akan berimbas pada keadaan gizi keluarga, khususnya anak balita yang rawan gizi (Suhardjo,2005). Suhardjo (1989) mengemukakan bahwa meningkatnya besar keluarga tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan, maka pendistribusian konsumsi pangan akan semakin sedikit, sehingga konsumsi pangan keluarga tersebut tidak cukup untuk mencegah kejadian kurang gizi. Kondisi ekonomi keluarga adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan keluarga lainnya, diantaranya pendidikan keluarga, kesehatan dan gizi balita, serta kualitas tumbuh kembang anak balita (Gunarsa & Gunarsa 1985). Dengan demikian, kondisi ini menyebabkan keanekaragaman bahan makanan kurang terjamin, karena dengan keterbatasan uang itu menyebabkan tidak banyaknya pemilihan dalam hal makanan (Madihah 2002). Pendapatan keluarga akan menentukan alokasi pengeluaran pangan dan non pangan sehingga apabila pendapatan keluarga rendah maka akan mengakibatkan penurunan daya beli (Firlie 2001). Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan, terutama bagi warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi (Hardinsyah 1997). Habicht (1974) menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan lingkungan lebih berpengaruh terhadap perbedaan pertumbuhan anak dari pada faktor genetik dan etnik Hasil penelitian di Ghana (Anderson 2010) juga mendukung hal ini, dimana faktor sosioekonomi memang berpengaruh pada status gizi balita.

4. PENDIDIKAN Pengetahuan disini adalah tentang gizi pada balita dimana pengetahuan ibu yang baik dapat menurunkan angka gizi buruk pada balita (Tarwota dan Wartonah, 2006:78). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi (Atmarita & Fallah 2004) Selain itu, Tingkat pendidikan yang rendah mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang relatif tinggi, sehingga kemampuan untuk menyediakan pangan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga terbatas, apalagi dengan tingkat pengetahuan gizi yang rendah (Hartoyo et al. 2000, diacu dalam Nurmiati 2006). Menurut Pranadji (1988), pendidikan formal seseorang dapat mempengaruhi pengetahuan gizinya. Menurut Engle (1995), tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi mempunyai hubungan positif yang kuat dengan kesehatan anak dan gizi, terutama tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu. Pengetahuan tentang gizi dan pangan yang harus dikonsumsi agar

tetap sehat, merupakan faktor penentu kesehatan seseorang (Notoatmodjo 2007). Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga (Madanijah 2003). Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik (Berg 1986). Cicely William diacu dalam Berg (1986) melaporkan studi di Afrika Barat bahwa gizi kurang tidak terjadi karena kemiskinan harta, akan tetapi disebabkan oleh kemiskinan pengetahuan tentang gizi dan kesehatan keluarga khususnya anak-anak. Penelitian serupa, yang dilakukan oleh Ramli 2009, mencatat bahwa di Maluku Utara rendahnya pengetahuan akan gizi bahwa rendahnya perhatian terhadap masalah gizi sebagian besar disebabkan oleh rendahnya pengetahuan atau pemahaman tentang gizi yang baik.

5. ASI EKSKLUSIF Masalah kekurangan gizi pada anak balita ini merupakan dampak dari rendahnya pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan dan pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat, karena diberikan terlalu dini atau terlambat, jumlahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan bayi pada setiap tahapan usia dan tidak bergizi seimbang untuk memenuhi asupan kalori, protein dan gizi mikro (vitamin dan mineral). o Hanya 41 persen keluarga yang mempunyai perilaku pemberian makanan bayi yang benar. Ketersediaan pangan lokal beragam telah dapat diakses oleh sebagian keluarga karena dari 41 persen keluarga yang memberikan makanan pendamping ASI yang benar tersebut ternyata MP-ASI yang berasal dari sumber pangan lokal yang memenuhi 70 persen kebutuhan besidan 87 persen kebutuhan vitamin A. Menurut hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas), cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan hanya berkisar 28.6 persen (2007), 24.3 persen (2008) dan 34.3 persen (2009). o Riskesdas 2010 menunjukkan fakta yang memprihatinkan karena inisiasi menyusu dini (<1 jam setelah bayi lahir) hanya dilakukan pada 29.3 persen bayi dan hanya 74.7 persen mendapat kolostrum. o Persentase bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah hanya 15.3 persen. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, ASI adalah hak asasi bayi dan perorangan atau institusi yang tidak mendukung pemberian ASI akan dikenakan sanksi hukuman dan denda. o Cakupan pemberian ASI eksklusif dipengaruhi beberapa hal, terutama masih sangat terbatasnya tenaga konselor laktasi untuk memberikan informasi yang benar kepada keluarga, serta belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan promosi terkait pemberian ASI maupun MP-ASI

Pemberian ASI eksklusif sangat bermanfaat karena ASI merupakan makanan yang paling sempurna untuk bayi, bahkan sangat mudah dan murah memberikannya kepada bayi (Dinkes DKI Jakarta 2002). Krisnatuti & Yenrina (2000) menyatakan bahwa kolostrum merupakan ASI yang dihasilkan selama beberapa hari pertama setelah kelahiran Ditambahkan, menurut Soekirman (2000) ASI mengandung zat kekebalan yang mampu melindungi anak dari penyakit infeksi terutama diare dan ISPA. Hal senada diungkapkan oleh Masithah, Soekirman dan Martianto (2005) bahwa ASI dapat melindungi bayi dari infeksi intestinal, sehingga dapat mengurangi risiko terserang diare. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif menunjukkan perkembangan sosial dan kognitif yang lebih baik dari bayi yang diberi susu formula (Michael S. Kramer, et al, 2003, Kumar, 2006 India)

6. PELAYANAN KESEHATAN Penyebab kurang gizi yang merupakan faktor penyebab tidak langsung yang lain adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan ini meliputi imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, dan saran lain seperti keberadaan posyandu, puskesmas, praktek bidan, dokter dan rumah sakit (Soekirman, 2000:85). Walaupun posyandu masih merupakan pilihan utama untuk penimbangan anak balita (81 persen), tetapi hanya 56 persen anak balita yang melakukan penimbangan balita 4 kali atau lebih, bahkan 1 dari 5 (20,8 persen) anak balita tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir. Indikator D/S (jumlah anak yang ditimbang terhadap jumlah seluruh anak di wilayah penimbangan tersebut) harus menjadi indikator kinerja utama untuk memantau keberhasilan pemberdayaan keluarga dan masyarakat. Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah alat yang memungkinkan dilakukannya pengamatan terhadap pertumbuhan anak dengan cara sederhana yang berfungsi sebagai alat pemantauan gerak pertumbuhan (Arisman 2009). Menurut Oyelami dan Ogunlesi 2007, tingginya angka malnutris disebabkan oleh kurangnya akses ke pelayanan kesehatan. Hal itu diperparah, menurut Muller dan Krawinkle 2005, dimana orangtua dari balita tidak menggunakan pelayanan kesehatan yang tersedia. Riset yang dilakukan oleh Iqbal Hossain et al., 1999 menunjukkan adanya keterkaitan erat antara peran imunisasi yang dapat menurunkan angka gizi buruk. 7. HIGIENISITAS Menurut Rahayu (2006) pola asuh kesehatan yang dilakukan terhadap anak balita perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena ia belum sanggup untuk merawat dirinya sendiri, kondisi fisik masih lemah, kepekaan terhadap serangan penyakit juga tinggi. Mengingat balita adalah individu pasif, maka penjagaan kesehatannya merupakan tanggung jawab individu dewasa di sekitarnya, terutama oleh orang tuanya (Depkes 1995) Kebersihan adalah faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan, hal ini terlihat dari banyaknya orang yang terkena penyakit karena tidak memperhatikan faktor kebersihan (Depkes RI 1995 diacu dalam Rahayu 2006).

Hastuti (2008) menyebutkan bahwa ada dua usaha yang dapat dilakukan orang tua untuk melakukan pola asuh hidup sehat yaitu preventif dan kuratif. Upaya preventif adalah dengan membiasakan pola hidup sehat, melalui penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur seperti mandi, keramas rambut,gosok gigi,guting kuku, dan cuci tangan sebelum makan. Upaya tersebut perlu ditanamkan sejak usia dini. Upaya kuratif yang dapat dilakukan meliputi upaya orang tua untuk memberikan pengobatan dan perawatan agar anak selalu berada dalam kondisi terbebas dari penyakit infeksi, dan penyakit lain yang umum terjadi pada anak. Air bersih dan sehat merupakan air yang digunakan dalam kehidupan seharihari yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk dikonsumsi dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan (Latifah et al. 2002b). Menurut Subandriyo et al. (1997) sumber air minum yang bersih dan sehat dapat diperoleh dari air pompa, air ledeng, sumur yang terlindungi, dan mata air yang terlindungi. Menurut Sukarni (1989) sarana pembuangan kotoran harus memenuhi persyaratan yaitu bangunan jamban harus mempunyai rumah kakus, lantai yang disemen, pijakan kaki, kloset (lubang tempat masuk feses), sumur penampungan feses dan lubang resapan. Selain itu, jangan membiarkan sampah terlalu lama pada tempat pengumpulan sampah dan sebaiknya tidak melebihi 3x24 jam (Widyati & Yuliarsih 2003). Bahaya sampah yang tidak ditangani dengan baik mengakibatkan tumbuhnya kuman sebagai penyebab terjadinya diare, juga mengandung lalat yang mengakibatkan terjadinya penyakit (Latifah et al. 2002c). Masalah kesehatan yang penting di negara berkembang dan telah diketabui mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan anak. Kenyataan ini ditunjukkan dengan insiden infeksi di daerah miskin pada negara-negara sedang berkembang yang cukup tinggi (Stephensen. 1999). Menurut FAO 1996, lingkungan yang kurang bersih, kurangnya ketersediaan air bersih serta sanitasi yang buruk akan berpengaruh secara langsung dengan timbulnya infeksi. Ditambahkan oleh Perreira 1991, sanitasi lingkungan yang buruk seringkali menjadi penyebab utama dari penyakit terutama di negara berkembang.

8. Penyakit Diare Menurut Latifah et al. (2002d) diare adalah suatu kondisi buang air besar dengan konsistensi yang lembek sampai encer, bahkan dapat berupa air saja yang terjadi lebih sering dari biasanya (3 kali atau lebih dalam sehari). Diare akut lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil daripada anak yang lebih besar (Suharyono 1988 diacu dalam Asad 2002). Menurut Harianto (2004) angka kesakitan diare mencapai 200-400 tiap 1000 penduduk setiap tahunnya. Sebagian besar (70%-80%) penderita diare adalah anak balita dan sebanyak 1%-2% dari penderita akan jatuh ke dalam dehidrasi dan bila tidak tertolong akan meninggal. Kosek et al. (2003) diacu dalam Rimbatmaja (2007), secara umum lebih dari dua juta anak meninggal akibat diare setiap tahunnya. Di Indonesia, diare adalah pembunuh anak balita nomor dua terbesar setelah ISPA (Rimbatmaja 2007)

Penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dapat mengakibatkan asupan gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik sehingga berakibat gizi buruk. Hasil penelitian di Ethopia yang dilakukan oleh Lindtjrn et al (1993) mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara status gizi anak balita (TB/U) dengan insiden kejadian diare.

Diarrhoea causes about 30-50% of deaths in developing countries. The risk of death due to persistent diarrhoea is related to a lack of breastfeeding, systemic infections, malnutrition and young age (Ochoa et al., 2004). GI infections are one of the most common infections in children with PEM (Pereira, 1991, p.144-145)

9. Penyakit ISPA Suhardjo (2005) mengemukakan bahwa antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan. Smith et al (1991) dalam penelitiannya mengenai hubungan infeksi salurah pernafasan bawah dengan pertumbuhan anak balita di Papua New Guinea mendapatkan hasil bahwa terjadi pengurangan berat badan sebesar 12.8 gram perhari selama anak balita mengalami sakit, sehingga dengan berkurangnya berat badan, maka anak balita akan mengalami berat badan kurang (wasting).

Caulfield et al. (2004) found that the principal causes of deaths in young children globally in 2004 were: diarrhoea (60,7%), pneumonia (52,3%), measles (44,8%) and malaria (57,3%). Infections play a major role in the etiology of PEM because they result in increased needs and a high energy expenditure, lower appetite, nutrient losses due to vomiting, diarrhoea, poor digestion, malabsorption and the utilization of nutrients and disruption of metabolic equilibrium (Golden and Golden, 2000, p.515; NDoH, 2005a; Williams, 2005, p.405; Torn, 2006, p.882).

Anda mungkin juga menyukai