Anda di halaman 1dari 21

Pola Spasial Pemilihan Tempat Belanja Televisi Penduduk Kota Depok

Alvian Safrizal
Email: al.rizal2011@gmail.com

Abstrak Televisi menjadi sarana yang paling penting di zaman kemajuan teknologi saat ini tidak hanya sebagai media penyampai informasi secara tidak langsung, tetapi juga sebagai media hiburan penduduk dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-harinya. Pola spasial penduduk dalam memilih tempat belanja televisi dipengaruhi oleh faktor yang melekat di dalam diri penduduk, yakni tingkat penghasilan, lama tinggal, profesi serta pola perjalanan belanja yang mempengaruhi penduduk dalam memilih televisi pilihannya (preferensi TV) yang dilihat dari merk dan teknologi bentuk televisi dan memilih jarak tempuh yang diambil dari tempat tinggalnya ke pilihan tempat belanja televisinya sehingga akan membentuk pola spasial penduduk dalam memilih tempat belanja televisi. Penduduk dengan tingkat penghasilan tinggi pada umumnya melakukan perjalanan belanja multi purpose trip akan memilih jarak tempuh yang jauh menuju tempat belanja televisinya yang kecendrungannya melakukan belanja di mall dengan preferensi TV yang dipilih dominan teknologi bentuk TV terkini dari beragam merk TV sedangkan Penduduk dengan tingkat penghasilan rendah pada umumnya melakukan perjalanan belanja single purpose trip akan memilih jarak tempuh yang dekat menuju tempat belanja televisinya yang kecendrungannya melakukan belanja di pasar tradisional dengan preferensi TV yang dipilih dominan teknologi bentuk TV biasa yang cenderung merk TV biasa. Kata kunci : belanja, mall, pasar tradisional, pola spasial, televisi,.

Abstract Television became the most important means in the age of technological advancements today not only as a medium conveys information indirectly, but also as a medium of entertainment residents in performing activities of daily life. Spatial patterns of residents in choosing the TV shopping is influenced by factors inherent within the population, the level of income, length of residence, profession and shopping travel patterns that affect the choice in choosing television (TV preferences) as seen from the form of television brands and technology and choose the distance taken from his home to the television shopping options that will shape the spatial pattern in choosing where to shop TV. Residents with higher incomes generally perform multi-purpose shopping trip trip will choose a far distance to where the television shopping kecendrungannya do some shopping at the mall with the preferences of the selected dominant TV technology updates from various forms of TV brand TVs while the population with low income levels generally travel single-purpose shopping trip mileage will choose close to where the television shopping preference do shopping in traditional markets with a dominant preference selected TV technology that tends to form a regular TV brand. Keywords : mall, shopping television, spatial pattern, traditional market.

PENDAHULUAN/LATAR BELAKANG Pola belanja di pasar tradisional bisa jadi bukan satu-satunya alternatif warga perkotaan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya karena banyaknya pusat perbelanjaan modern yang bermunculan (Mahar, 1995). Pola belanja masyarakat sangat berkaitan erat dengan perilaku serta kebiasaan konsumen dalam memilih tempat berbelanja sesuai kebutuhan hidupnya. Menurut Maruf dalam Novalisa, (2009), pada umumnya terdapat dua perilaku belanja pada masyarakat Indonesia, yang pertama ialah perilaku berbelanja dengan orientasi belanja adalah belanja yang mengandung arti mencari barang yang dibutuhkan atau diinginkan sehingga aspek fungsional pusat perbelanjaan lebih diutamakan daripada suasana tempat belanja. Jenis perilaku belanja yang kedua yaitu perilaku berbelanja dengan orientasi rekreasi yang berarti konsumen dengan pola seperti ini akan mencari pusat perbelanjaan yang menyenangkan. Dengan melihat banyaknya jumlah pusat perbelanjaan, kita mengetahui bahwa konsumen menjadi teliti untuk memilih dimana merekan akan berbelanja. Perhatian konsumen tertuju kepada keputusan untuk memilih pusat perbelanjaan yang lebih menarik dan memiliki banyak jenis barang yang sesuai dengan pilihan dan selera mereka ( Wong & Yuan dalam Novalisa,2009). Dari jumlah pusat perbelanjaan tradisional dan modern tersebut, tidak semuanya terdapat kegiatan penjualan televisi didalamnya. Hanya 3 pusat perbelanjaan tradisional dan 4 pusat perbelanjaan modern yang terdapat penjualan televisi didalamnya, yakni Pasar Lama Dewi Sartika, Pasar Agung, Pasar Cisalak, Depok Town Square, Margo City, ITC Depok dan Depok Town Centre. Berdasarkan fakta di atas, penulis tertarik untuk mengidentifikasi bagaimana pola spasial pemilihan tempat belanja televisi penduduk Kota Depok. Dalam melihat Pola spasial pemilihan tempat belanja televisi penduduk Kota Depok, penulis hanya menggunakan faktor penentu berupa Karakteristik demografi, preferensi televisi, pola

perjalanan belanja, jarak tempat tinggal penduduk (jarak tempuh) terhadap pusat perbelanjaan.

TINJAUAN TEORITIS Berdasarkan pola perjalanan berbelanja yang dikemukakan oleh Hartston dalam
Primanita & Amiani (2009) tedapat tiga pengklasifikasian, yaitu:

o Single Purpose Trip, yaitu perjalanan berbelanja yang diawali di satu titik dan kembali pada titik yang sama. Biasanya rumah dijadikan titik awal dan pusat perbelanjaan sebagai titik yang dituju. Pola ini merupakan pola yang paling sering dilakukan.

Pertimbangan utama dalam pola ini adalah jarak, artinya pusat perbelanjaan dengan jarak terdekatlah yang menjadi titik tujuan. o Multi Purpose Trip, yaitu perjalanan berbelanja dengan titik awal rumah tetapi titik yang dituju lebih dari satu (pusat perbelanjaannya lebih dari satu) dan keragaman barang yang dibeli akan lebih banyak dibandingkan Single Purpose Trip. o Combined Purpose Trip, yaitu perjalanan berbelanja sekaligus melakukan kegiatan bepergian lain seperti perjalanan kerja, baik sebelum atau setelah bekerja.

Menurut Kotler dan Armstrong dalam Hartanto & Sutantri (2010), demografis adalah sebuah ilmu yang mempelajari dan membagi konsumen dan pasar ke dalam kelompok yang didasarkan pada usia, jenis kelamin, ukuran keluarga, tahapan dalam keluarga, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, agama, ras, generasi dan kewarganegaraan. Menurut Wilson dan Gilligan dalam Hartanto & Sutantri (2010), metode segmentasi demografis paling banyak digunakan untuk membagi pasar ke dalam kelompok-kelompok yang didasarkan pada satu atau lebih variable, yaitu: a. Usia b. Jenis kelamin (gender) c. Pendapatan (income) d. Pendidikan (education) e. Pekerjaan (occupation) f. Agama (religion) g. Ras h. Kewarganegaraan i. Ukuran keluarga (family size) j. Tahapan dalam keluarga (family life-cycle)

Berdasarkan

Keputusan

Menteri

Perindustrian

dan

Perdagangan

Nomor

23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-lembaga Usaha Perdagangan, pasar didefinisikan sebagai tempat bertemunya pihak penjual dan pembeli untuk melaksanakan transaksi di mana proses jual beli terbentuk. Pasar menurut kelas pelayanannya dapat digolongkan menjadi pasar tradisional dan pasar modern, sedangkan menurut sifat pendistribusiannya dapat digolongkan menjadi pasar eceran dan pasar perkulakan/grosir. Menurut Mursid dalam Putra (2010), tiga unsur utama dalam sebuah pasar, yaitu konsumen, daya beli dan perilaku

pembelian. Konsumen adalah orang dengan segala kebutuhan dan keinginannya, daya beli

merupakan faktor yang dapat mengubah keinginan menjadi permintaan. Penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak akan menjadi suatu permintaan apabila masyarakat tidak memiliki daya beli yang memadai serta perilaku pembelian berkaitan dengan pola hidup masyarakat dalam hal menjalani kegiatan pasar, seperti pola pengeluaran uang, perubahan selera jenis barang atau jasa, waktu mewujudkan dan membeli, serta fluktasi harga atau nilai. Perkembangan yang sangat signifikan dapat dirasakan yaitu perkembangan televisi dari segi teknologi penampil seperti CRT, LCD, Plasma, DLP dan OLED. Sebelum mengenal LCD TV, televisi-televisi di Indonesia didominasi oleh TV tabung atau CRT TV. Beralih dari TV tabung, dikenal pula Plasma TV. Plasma Display Panel (PDP) atau di Indonesia banyak dikenal sebagai Plasma TV adalah salah satu jenis teknologi dari TV layar datar yang memungkinkan bagi produsen untuk memproduksi TV Layar Datar dengan ukuran yang besar secara massal namun dengan harga yang cukup ekonomis. Berbeda dengan Plasma TV, pada dasarnya LCD TV bekerja dengan memproduksi gambar hitam dan berwarna dengan melakukan seleksi cahaya yang dipancarkan oleh serangkaian lampu teknologi CCFL (Cold Cathode Fluorescent Lamps) di belakang layar. Jutaan lampu tersebut akan dinyalakan dan dimatikan melalui LCD shutter dengan melewatkan cahaya putih dengan intensitas tertentu. Setiap shutter akan digabungkan dengan filter warna yang akan melewatkan warna Red, Green, dan Blue (RGB). Shutter dan Filter yang masing-masing merupakan sub-pixel ini berukuran sangat kecil, dan secara kasat mata membentuk gabungan yang disebut dengan pixel. Pada evolusi selanjutnya, tercipta pula pengembangan dari LCD TV yang dinamakan LED TV. Pada dasarnya sebenarnya LED TV tidak jauh berbeda dari LCD TV. Televisi jenis ini menggunakan LED Backlight sebagai pengganti cahaya fluorescent yang digunakan pada jenis LCD TV sebelumnya. Ada dua macam bentuk LED TV yang beredar di pasaran: RGB LED dengan LED yang diletakkan di belakang panel layar, atau EDGE-LED dimana LED diletakkan di sekeliling layar. Tidak sedikit pula televisi-televisi yang sudah menggunakan hard panel sehingga layarnya tidak riskan terhadap goresan ataupun benturan ringan.

METODE PENELITIAN

Data Primer Dalam rangka mendapatkan data primer yang dibutuhkan bagi kegiatan penelitian ini, dilakukan survey lapangan yang dilakukan oleh peneliti dengan menyebarkan kuisioner ke responden secara simple random sampling (acak sederhana) dengan menggunakan grid sebagai pengontrol. Metode Penentuan Sampel : Lokasi sampel tersebar berdasarkan letak permukiman di Kota Depok dimana untuk mewakili lokasi responden, pengisian kuisoner harus dilakukan di wilayah permukiman yang merupakan domisili responden tersebut. Sampel ditentukan pada grid-grid di peta kerja yang memiliki penggunaan lahan berupa pemukiman. Peta kerja akan dibagi kedalam grid berukuran 1 km x 1 km (1 km2) , dan setiap grid yang memiliki penggunaan lahan permukiman akan diambil respondennya. Dari total 201 grid yang membagi habis Kota Depok hanya sebanyak 162 grid yang penggunaan tanahnya merupakan area permukiman didalamnya. Total sampel didapatkan yakni satu grid diwakili minimal satu sampai dua sampel. Sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 214 sampel. Persiapan survey lapang: Membuat peta kerja dan menentukan lokasi sampel. Membuat daftar pertanyaan dalam bentuk kuisioner pertanyaan tertutup Peralatan yang dibutuhkan adalah GPS, alat tulis, dan kamera.

Metode Survey Lapang : Mendatangi sampel sesuai peta kerja yang telah dibuat oleh peneliti yang nantinya akan mengisi kuisioner dan melakukan ploting pada lokasi sampel dengan menggunakan GPS yang digunakan nantinya untuk mengukur jarak tempuh dari tempat tinggal ke tempat belanja televisi yang dipilih.

Responden akan diberikan daftar pertanyaan berbentuk kuisioner dengan pertanyaan tertutup.

Data Sekunder Dalam mengumpulkan data sekunder digunakan teknik pengumpulan data melalui dokumen atau catatan yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti. Dokumen tersebut diperoleh dari beberapa instansi berikut : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Depok Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Depok Dinas Pasar, Koperasi dan UMKM Kota Depok Bappeda Kota Depok Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Depok

Cara penetapan grid penelitian: Peneliti menggunakan bantuan Google Earth yang telah disisipi dengan shp Kotamadya Depok.

Membuat grid-grid dengan ukuran 1 km x 1 km pada shp. Kotamadya Depok yang telah digabungkan dengan Google Earth tersebut. Setelah membagi habis Kotamadya Depok dengan grid-grid berukuran 1 km2 didapatkan sebanyak 201 grid dimana hanya 162 grid yang dalam grid terdapat penggunaan tanah permukiman dan dijadikan sebagai daerah sampel.

Untuk mempermudah pada saat mengambil sampel di lapangan, setiap sisi di masingmasing-masing sudut dari grid tersebut dicantumkan atau ditampilkan koordinat

sehingga mempermudah peneliti mengontrol daerah penelitian agar sesuai dengan grid yang telah ditentukan sehingga tidak keluar/melebihi area grid yang telah ditentukan. Mencari hal menarik atau khas dalam setiap grid untuk mempermudah peneliti menemukan wilayah permukiman dalam suatu grid yang telah ditentukan serta

melihat batas-batas daerah dari masing-masing grid sehingga tidak mengambil sampel di luar grid yang telah ditentukan (sampelnya tepat). Peneliti juga menggunakan alat GPS untuk membantu dalam melakukan survey lapang. Dalam menentukan sampel dengan menggunakan teknik acak sederhana yang sebelum melakukan survey lapang sudah ditentukan oleh peneliti dimana saja titik sampel yang akan diambil. Jumlah sampel yang diambil disetiap grid akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat kehomogenitasan dari kenampakan fisik perumahan di masing-masing grid.

Kuisioner dibagikan dengan mendatangi langsung sampel yang telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti ke rumahnya masing-masing. Jika sampel yang telah ditentukan tidak bisa (tidak mau, tidak ada ditempat,dll) mengisi kuisioner yang diberikan oleh peneliti, maka peneliti melakukan penentuan sampel baru lagi didalam grid tersebut sebelum membagikan kuisionernya di lapangan

Untuk menjawab pertanyaan penelitian akan dilakukan dua tahapan analisis yang dilakukan secara kuantitatif dan dijelaskan secara deskriptif antara lain sebagai berikut : Analisis Hubungan Keterkaitan Analisis keterkaitan ini melihat bagaimana hubungan antara setiap variabel, yakni karakteristik demografi, bentuk perjalanan belanja ,preferensi produk,, jarak terhadap

pemilihan tempat belanja televisi kemudian mendeskripsikannya dengan menggunakan pendekatan keruangan. Analisis keterkaitan akan dilakukan dengan perhitungan statistik antara karakteristik demografi, yakni penghasilan, lama tinggal dan profesi terhadap pilihan tempat belanja televisi kemudian dikaitkan dan deskripsikan bersama variabel preferensi produk dan jarak. Dari hasil analisis ini akan diketahui variabel mana yang paling berpengaruh dan yang paling sedikit memberikan pengaruh terhadap pola spasial pemilihan tempat belanja televisi penduduk Kota Depok. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis statistic deskriptif crosstab yang menggunakan data nominal dengan output ChiSquare Test dan Contingency Coefficients. a. Metode Chi Square

X = hasil tes statistik yang menunjukan keterkaitan variabel dengan distribusi data (nilai Chi-Square hitung) Oi = frekuensi fenomena yang dikaji Ei = frekuensi variabel penelitian yang diperoleh n = jumlah data b. Koefisien Kontingensi

C (cc) = koefisien kontingensi X = nilai uji Chi Square

Koefisien kontingensi menunjukkan hubungan dua variabel nominal atau variabel nominan dan ordinal. Uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah uji Chi Square. Hipotesis untuk kasus ini adalah: Ho : tidak ada hubungan antara X dan Y. Ha : ada hubungan antara variabek X dan Y. Pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan Chi-Square hitung dan Chi-Square tabel: Ho diterima jika X2hitung < X2tabel Ho ditolak jika X2hitung X2tabel Dapat juga dilakukan berdasarkan Probabilitas: Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima Jika probabilitas 0,05, maka Ho ditolak Namun, hasil korelasi Chi-Square tidak dapat menunjukkan arah korelasi, karena data yang digunakan adalah data nominal yang berkedudukan sama tinggi. Apabila nilai cc semakin mendekati +1 maka variabel tersebut memiliki pengaruh yang semakin besar. Dari nilai cc ini dapat diketahui variabel mana yang memberikan pengaruh yang paling besar dan paling kecil. Analisis yang digunakan adalah analisis keruangan dengan melihat bagaimana pola

pemilihan tempat berbelanja televisi penduduk serta faktor apa yang paling mempengaruhi membentuk pola tersebut lalu kemudian mendeskripsikannya dengan menggunakan

pendekatan keruangan. Menurut Bintarto & Hadisumarno dalam Kusumaningrum (2012) pada hakekatnya analisis keruangan adalah analisis lokasi yang menitikberatkan pada beberapa unsur geografi yaitu jarak (distance) dalam penelitian ini yaitu jarak tempuh penduduk dari tempat tinggalnya menuju tempat belanja dan gerakan (movement) yang dalam penelitian ini berupa arah belanja penduduk dari tempat tinggalnnya menuju tempat belanja televisi. Hasil akhir akan divisualisasikan ke dalam bentuk peta agar lebih mudah dipahami secara spasial.

HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penduduk Kota Depok cenderung memilih pasar tradisional sebagai tempat mereka berbelanja televisi, yakni sebesar 63,55% sedangkan penduduk yang memilih mall sebagai tempat membeli televisi hanya sebesar

36,45%. Berdasarkan hasil penelitian, jarak tempuh yang dipilih oleh penduduk oleh Kota Depok hampir tersebar merata, yakni jarak dekat ( 3 km), sedang (3,01-5 km) dan jauh (> 5km), tetapi memiliki kecendrungan memilih jarak tempuh jauh dari tempat tinggal ke pusat perbelanjaan yang dipilih untuk membeli televisi, yakni sebesar 39,25 %, yang diikuti dengan jarak sedang sebesar 33,18 % dan jarak tempuh dekat dengan 27,57%. Jarak tempuh ini dihitung dengan menarik garis lurus dari tempat tinggal penduduk ke pusat perbelanjaan yang dipilihnya dengan bantuan software ArcGis 9.3. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat penghasilan penduduk Kota Depok cukup beragam dari kelas rendah ( 2 Juta), sedang (2,015 Juta) dan tinggi ( >5 Juta). Pada umumnya responden dalam penelitian ini yang menggambarkan penduduk Kota Depok memiliki tingkat penghasilan di kelas sedang yakni sebesar 44,86 % diikuti dengan kelas rendah 34,11 % dan kelas tinggi dengan besaran 21,03%. Tingkat penghasilan dalam penelitian ini dilihat dari seluruh jumlah pendapatan penduduk setiap bulannya. Penduduk yang berdomisili di Kota Depok pada umumnya sudah lama sekali tinggal di Kota Depok dimana lama sekali didefinisikan dalam penelitian ini yakni selama > 10 tahun telah berdomisili di Kota Depok. Hal ini terlihat dari jumlah responden yang lama tinggal di Depok >10 tahun sebesar 77,1% sedangkan penduduk dalam hal ini diwakili oleh responden yang tinggal di Depok 10 tahun (lama) sebesar 22,9 %. Profesi dalam penelitian ini yaitu jenis mata pencaharian yang dilakukan oleh penduduk. Mata pencaharian dibagi dalam dua jenis yakni formal dan non formal. Penduduk Kota Depok memiliki kecendrungan yang sama dalam memilih profesi formal atau non formal sebagai mata pencahariannya. Penduduk yang memiliki profesi formal memiliki jumlah yang cukup banyak yakni sebesar 57,94% sedangkan penduduk yang berprofesi non formal tidak begitu jauh selisihnya dengan penduduk berprofesi formal, yaitu sebesar 42,06%. Pola perjalanan belanja merupakan bentuk perjalanan belanja penduduk berdasarkan maksud atau tujuan mereka dalam melakukan belanja. Single purpose trip pada umumnya memiliki tujuan belanja yang bersifat tunggal saja atau dalam penelitian ini hanya bermaksud membeli televisi saja dalam melakukan belanja sedangkan multi purpose trip merupakan pola perjalanan belanja yang memiliki maksud atau tujuan yang tidak hanya melakukan belanja televisi saja,tetapi juga melakukan aktivitas lain selain berbelanja televisi. Berdasarkan hasil penelitian penduduk Kota Depok memiliki kecendrungan memilih pola perjalanan belanja single purpose trip yakni sebesar 51,87% sedangkan penduduk yang memiliki pola perjalanan belanja multi purpose trip hanya sebesar 48,13%. Merk televisi pada penelitian ini hanya dibagi dalam dua jenis yakni televisi dengan merk terkenal dan televisi dengan merk tidak terkenal.Berdasarkan hasil penelitian, penduduk Kota Depok memiliki kecendrungan

membeli televisi dengan merk terkenal yakni sebesar 79,44 % sedangkan penduduk Kota Depok yang memilih membeli televisi dengan merk tidak terkenal hanya sebesar 20,56%. Teknologi bentuk televisi pada penelitian ini hanya dibagi dalam dua jenis yakni dan teknologi bentuk televisi biasa.Teknologi bentuk televisi terkini yaitu teknologi bentuk televisi yang tidak menggunakan tabung dalam bentuk televisinya (non tabung), yaitu plasma TV, LCD/LED TV sedangkan teknologi bentuk televisi biasa yaitu teknologi bentuk televisi yang masih menggunakan tabung baik berlayar cembung maupun layar datar. Berdasarkan hasil penelitian, penduduk Kota Depok memiliki kecendrungan membeli televisi dengan teknologi bentuk televisi terkini yakni sebesar 78,97 % sedangkan penduduk Kota Depok yang memilih membeli televisi dengan teknologi bentuk televisi biasa hanya sebesar 21,03%. Pemilihan tempat belanja televisi menghasilkan data yang cukup menarik dimana dari hanya 7 pusat perbelanjaan televisi di Kota Depok , baik yang tersebar di pusat perbelanjaan tradisional maupun modern, Penduduk banyak memilih pusat perbelanjaan di luar Depok sebesar 30,84 %. Pada umumnya pusat perbelanjaan diluar Depok yang dipilih oleh Penduduk berada diluar administrasi Kota Depok diantaranya seperti Pasar Parung yang berlokasi di Kabupaten Bogor, Pasar Cibinong yang berlokasi di Kabupaten Bogor serta beberapa pasar yang berlokasi di Wilayah DKI Jakarta seperti Pasar Pondok labu, Pasar Cibubur, Pasar Minggu bahkan terdapat Penduduk yang memilih Pasar Glodok sebagai lokasi pilihan belanja televisi. Lokasi pusat perbelanjaan di wilayah Kota Depok yang paling banyak dipilih yaitu Pasar Lama Dewi Sartika sebesar 21,03%. Pasar Lama Dewi Sartika yang beralamat di Jalan raya Dewi Sartika merupakan pusat perbelanjaan tradisional yang tertua sekaligus pertama yang berdiri di Kota Depok yakni di sekitar tahun 1990an. Sedangkan pusat perbelanjaan modern yang paling banyak dipilih oleh penduduk Kota Depok dalam melakukan belanja televisi yakni ITC Depok sebesar 14,49%. ITC Depok merupkan pusat perbelanjaan modern yang lokasinya sangat strategis dimana berada disamping terminal Depok dan di depan stasiun kereta api Depok Baru. Pusat perbelanjaan modern ini berlokasi di Jalan raya Margonda.

PEMBAHASAN Pola spasial pemilihan tempat belanja televisi penduduk dengan tingkat penghasilan kelas rendah ( 2 Juta) yang membeli merk televisi terkenal dengan teknologi bentuk televisi biasa (televisi tabung) pada umumnya memilih tempat belanja pasar tradisional sebagai tempat belanja televisinya dengan jarak tempuh yang dipilih jarak dekat ( 3km) sedangkan

pola spasial penduduk dengan tingkat penghasilan kelas rendah yang membeli merk televisi tidak terkenal dengan teknologi bentuk televisi biasa memilih pasar tradisional sebagai tempat melakukan belanja televisinya dengan jarak tempuh yang pada umumnya dipilih memiliki kecendrungan memilih jarak tempuh dari tempat tinggal ke pasar tradisional berjarak sedang (3,01-5 km). Penduduk dengan tingkat penghasilan kelas rendah selain mempertimbangkan faktor jarak juga mempertimbangkan faktor yang lain seperti harga yang lebih murah, meminimalisir biaya transportasi dan kedekatan hubungan personal dengan penjual yang semua hal tersebut didapatkan di pasar tradisional. Penduduk dengan tingkat penghasilan kelas sedang yang membeli televisi merk terkenal dan teknologi bentuk televisi biasa pada umumnya memilih tempat belanja mall dengan jarak tempuh yang memiliki kecenderungan memilih mall dengan jarak tempuh antara tempat tinggal ke tempat belanja berjarak dekat (3 km). Sedangkan penduduk yang memiliki tingkat penghasilan kelas sedang (2,01-5 Juta) yang membeli televisi merk tekenal dan teknologi bentuk televisi terkini pada umumnya memiliki kecendrungan memilih tempat belanja di pasar tradisional dengan jarak tempuh jauh (>5 km) serta penduduk dengan kriteria tingkat penghasilan kelas sedang ( 2,01-5 Juta) yang membeli televisi dengan merk tidak terkenal serta teknologi bentuk televisi biasa memiliki kecendrungan memilih tempat belanja di pasar tradisional dengan jarak tempuh dari tempat tinggal ke tempat belanja jarak dekat ( 3km). Penduduk dengan kriteria tingkat penghasilan kelas sedang yang membeli televisi dengan merk tidak terkenal dan teknologi bnetuk televisi terkini memiliki kecendrungan memilih pasar tradisional yang jarak tempuh dari tempat tinggal hingga tempat belanjannya dari jarak dekat ( 3km) . Pola spasial yang terbentuk ini dikarenakan penduduk dengan tingkat penghasilan kelas sedang (2,01- 5 Juta) tidak begitu mempertimbangkan faktor jarak dan faktor yang lain seperti harga maupun biaya transportasi karena mereka lebih mengutamakan mencari tempat belanja yang dapat memenuhi kebutuhan televisi yang kriterianya sesuai dengan yang mereka inginkan sedangkan penduduk dengan kelas penghasilan sedang yang memilih pasar tradisional memiliki variasi televisinyang dijual dari merk tidak terkenal hingga terkenal dan teknologi bentuk televisi dari biasa hingga terkini yang diimbangi dengan harga jualnya tidak begitu mahal atau terjangkauHal ini dikarenakan pasar tradisional memiliki keragaman variasi televisi yang dijual daripada pusat perbelanjaan modern atau mall yakni tidak hanya merk televisi yang terkenal saja yang dijual, tetapi juga merk televisi yang tidak terkenal karena pasar tradisional berusaha menjangkau semua kalangan dan selera penduduk terhadap sebuah televisi. Penduduk dengan tingkat

penghasilan kelas tinggi ( > 5 Juta) yang membeli televisi dengan merk terkenal dan teknologi bentuk televisi terkini pada umumnya memiliki kecendrungan memilih tempat belanja

modern mall dengan jarak tempuh jauh ( >5 km) . Penduduk dengan tingkat penghasilan kelas tinggi yang membeli televisi dengan merk terkenal dan teknologi bentuk televisi biasa memiliki kecendrungan memilih pusat perbelanjaan modern atau mall dengan jarak tempuh dari tempat tinggal ke tempat belanja 3,01-5 km (sedang) sedangkan penduduk dengan tingkat penghasilan kelas tinggi yang membeli televisi dengan merk tidak terkenal dan teknologi bentuk televisi terkini pada umumnya memilih pasar tradisional dalam membeli televisi karena merk televisi yang tidak terkenal pada umumnya dijual atau dapat dicari di pasar tradisional. Jarak tempuh yang diambil penduduk dari tempat tinggalnya ke pusat perbelanjaan yang dipilihnya yakni jarak sedang (3,01-5 km). Pola spasial yang terbentuk ini penduduk karena tingkat penghasilan kelas tinggi (> 5 Juta) tidak begitu mempertimbangkan faktor jarak dan faktor yang lain seperti harga maupun biaya transportasi karena mereka lebih mengutamakan mencari tempat belanja yang dapat memenuhi kebutuhan televisi yang kriterianya sesuai dengan yang mereka inginkan serta kenyamanan dari tempat belanja televisi itu sendiri. Tingkat penghasilan sangat mempengaruhi penduduk dalam memilih tempat belanja dalam membeli televisi. Pada umumya penduduk yang memiliki tingkat penghasilan tinggi (> 5Juta) memilih mall dalam membeli televisi sedangkan penduduk dengan tingkat penghasilan rendah (2 Juta) pada umumnya memilih pasar tradisional dalam membeli televisi sedangkan penduduk yang memiliki tingkat penghasilan sedang (2,01-5 juta) hampir merata jumlahnya di setiap pusat perbelanjaan yang dipilih, baik tradisional maupun modern, tetapi memiliki kecendrungan lebih banyak memilih pasar tradisional. Dari ouput penghitungan uji SPSS didapatkan bahwa nilai X2 (Chi Square hitung) adalah 58,280

sedangkan nilai Chi Square tabel diperoleh sebesar 5,991 sehingga dapat disimpulkan bahwa jika nilai Chi Square hitung Chi Square tabel maka H0 ditolak. Sehingga ada hubungan antara tingkat penghasilan dengan tempat belanja yang dipilih. Hal ini dapat dilihat melalui hasil data penelitian bahwa makin tinggi tingkat penghasilan maka makin cenderung memilih pusat perbelanjaan modern atau mall dalam membeli televisi serta makin rendah tingkat penghasilan makin cenderung memilih pasar tradisional dalam melakukan tempat belanja televisi. Nilai koefisien kontingensi sebesar 0,463 yang dengan kata lain nilai ini mendekati 1 yang berarti hubungan yang terjadi cukup kuat.

Penduduk yang lama tinggalnya di Kota Depok di kategorikan lama ( 10 tahun) yang membeli televisi merk terkenal dan teknologi bentuk televisi biasa memiliki kecendrungan memilih pusat perbelanjaan pasar tradisional sebagai tempat belanja televisinya yang jarak tempuhnya cenderung jarak dekat ( 3km). Penduduk yang lama tinggalnya di Kota Depok lama ( 10 tahun) yang membeli merk televisi tidak terkenal dan teknologi bentuk televisi terkini memiliki kecendrungan memilih pusat perbelanjaan pasar tradisional sebagai tempat belanja televisinya yang jarak tempuhnya cenderung jarak sedang ( 3,01-5 km). Hal ini dikarenakan pengenalan mengenai pusat perbelanjaan yang ada hanya sebatas pasar tradisional besar dan terkenal saja yang terdapat di Kota Depok. Penduduk yang lama tinggalnya di Kota Depok lama ( 10 tahun) yang membeli merk televisi tidak terkenal dan teknologi bentuk televisi biasa memiliki kecendrungan memilih pusat perbelanjaan pasar tradisional sebagai tempat belanja televisinya yang jarak tempuhnya cenderung jarak sedang ( 3,01-5 km). Hal ini dikarenakan pengenalan mengenai pusat perbelanjaan yang ada hanya sebats pasar tradisional saja yang hanya menjual televisi dengan spesifikasi merk tidak terkenal dan teknologi bentuk televisinya biasa). Sedangkan penduduk yang lama tinggalnya di Kota Depok lama ( 10 tahun) yang membeli merk televisi terkenal dan teknologi bentuk televisi terkini memiliki kecendrungan memilih pusat perbelanjaan mall sebagai tempat belanja televisinya yang jarak tempuhnya cenderung jarak jauh ( >5 km). Hal ini dikarenakan pengenalan mengenai pusat perbelanjaan yang ada hanya sebats pusat perbelanjaan mall besar dan terkenal saja yang terdapat di Kota Depok. Penduduk yang telah lama sekali ( > 10 Tahun) tinggal di Kota Depok yang membeli televisi dengan kategori merk televisi terkenal dan teknologi bentuk televisi biasa pada umumnya memilih tempat belanja televisi di pasar tradisional dimana jarak tempuh dari tempat tinggal ke pusat perbelanjaan yang dipilih sangat beragam yakni dari jarak sedang (3,01-5 km) . Sedangkan penduduk yang telah lama sekali

tinggal di Kota Depok yang membeli televisi dengan merk televisi terkenal dan teknologi bentuk televisi terkini memilih jarak tempuh jauh ( > 5 km) dengan memilih tempat belanja di mall. Penduduk yang telah lama sekali ( > 10 tahun) tinggal di Kota Depok yang membeli televisi dengan spesifikasi merk tidak terkenal dan teknologi bentuk televisi biasa pada umumnya akan cenderung memilih pasar tradisional sebagai tempat berbelanja televisi mereka dimana jarak tempuh yakni Jarak Sedang (3,01- 5 km) dari tempat tinggal ke tempat belanja televisi. Penduduk yang telah lama sekali ( > 10 tahun) tinggal di Kota Depok yang membeli televisi dengan spesifikasi merk tidak terkenal dan teknologi bentuk televisi terkini pada umumnya akan cenderung memilih pasar tradisional sebagai tempat berbelanja televisi mereka dimana jarak tempuh yakni jarak dekat ( 3km) dari tempat tinggal ke tempat belanja televisi. Kaitan antara tempat belanja yang dipilih oleh penduduk kota Depok dalam melakukan belanja televisi dengan lama tinggalnya di Kota Depok ternyata ada hubungan yang mempengaruhinya satu sama lain. Hal ini dikarenakan seiring berjalannya waktu, pusat perbelanjaan di Kota Depok berkembang pesat dalam hal ini pusat perbelanjaan modern sehingga penduduk Kota Depok dapat memiliki alternatif pilihan yang cukup banyak dalam melakukan aktivitas belanja televisinya. Selain dari itu adanya promosi yang cukup gencar dari setiap pusat perbelanjaan dalam menarik pembeli untuk berkunjung ke tempat belanja terkait serta lama tinggal penduduk erat kaitannya dengan loyalitas penduduk dalam memilih tempat belanja. Dari ouput penghitungan uji SPSS didapatkan bahwa nilai X2 (Chi Square hitung) adalah 4,308 sedangkan nilai Chi Square tabel diperoleh sebesar 3,841 sehingga dapat disimpulkan bahwa jika nilai Chi Square hitung Chi Square tabel maka H0 ditolak. Nilai koefisien kontingensi sebesar 0,14. Sehingga ada hubungan antara lama tinggal penduduk dengan tempat belanja yang tidak begitu kuat.

Penduduk dengan profesi formal yang membeli televisi dengan merk terkenal yang teknologi betuk televisinya terkini pada umumnya memilih mall sebagai tempat belanja televisi dengan memilih jarak tempuh jauh (> 5km) untuk menuju tempat belanja pilihannya tersebut. Penduduk dengan profesi formal yang membeli merk televisi terkenal dengan teknologi bentuk televisi biasa cenderung memilih pasar tradisional sebagai tempat belanja televisinya dimana memilih jarak tempuh sedang untuk menuju tempat belanja televisinya. Penduduk berprofesi formal yang membeli televisi dengan merk tidak terkenal yang teknologi bentuk televisi terkini pada umumnya memilih pasar tradisional sebagai tempat belanja televisinya dimana jarak tempuh yang sering mereka pilih yakni jarak sedang (3,01-5 km) hingga (> 5km). Sedangkan penduduk dengan profesi formal yang membeli televisi dengan merk tidak terkenal yang teknologi bentuk televisinya biasa, memiliki kecendrungan lebih memilih pasar tradisional sebagai tempat belanja televisinya dengan jarak tempuh yang dipilih lebih banyak memilih jarak tempuh jauh (> 5 km). Penduduk dengan profesi non formal yang membeli televisi dengan merk terkenal yang teknologi betuk televisinya terkini pada umumnya memilih pasar tradisional sebagai tempat belanja televisi dengan memilih jarak tempuh sedang ( 3,01- 5 km) untuk menuju tempat belanja pilihannya tersebut. Penduduk dengan profesi non formal yang membeli merk televisi terkenal dengan teknologi bentuk televisi biasa cenderung memilih pasar tradisional sebagai tempat belanja televisinya dimana memilih jarak tempuh yang dipilih mulai dari jarak sedang hingga jarak jauh (> 5 km) untuk menuju tempat belanja televisinya. Penduduk berprofesi non formal yang membeli televisi dengan merk tidak terkenal yang teknologi bentuk televisi biasa pada umumnya memilih pasar tradisional sebagai tempat belanja televisinya dimana jarak tempuh yang sering mereka pilih yakni jarak tempuh jauh (> 5km). Hubungan Profesi penduduk dengan tempat belanja televisi yang dipilih oleh penduduk tidak memiliki hubungan satu sama lain. Dari ouput penghitungan uji SPSS didapatkan bahwa nilai X2 (Chi Square hitung) adalah 1,062 sedangkan nilai Chi Square tabel diperoleh sebesar 3,841 sehingga dapat disimpulkan bahwa jika nilai Chi Square hitung < Chi Square tabel maka H0 diterima. Sehingga tidak ada hubungan antara profesi dengan tempat belanja yang dipilih oleh penduduk. Nilai koefisien kontingensi sebesar 0,07. Pola spasial yang terbentuk dari profesi pada umumnya tidak terlihat signifikan perbedaannya antara profesi formal dan non formal jika tidak dikaitkan dengan tingkat penghasilan penduduk yang bersangkutan. Profesi pada umumnya tidak mempengaruhi penduduk dalam memilih preferensi produk televisi tertentu sehingga tidak terlihat pengaruhnya dalam mempengaruhi penduduk memilih tempat belanja televisi.

Penduduk yang dirinya melakukan pola perjalanan belanja multi purpose trip yang membeli televisi merk tidak terkenal dan teknologi bentuk televisi biasa pada umumnya cenderung memilih pasar tradisional dengan jarak tempuh sedang (3,01- 5 km) dari tempat tinggalnya ke tempat belanja televisi. Hal ini dikarenakan televisi yang dibeli merupakan merk tidak terkenal dan teknologi bentuk televisinya biasa yang hanya dapat ditemukan di pasar tradisional yang biasanya melakukan lagi jenis kegiatan lain selain membeli televisi yakni membeli kebutuhan pokok sehari-hari atau bulanan. Penduduk yang dirinya melakukan pola perjalanan belanja multi purpose trip yang membeli televisi merk terkenal dan teknologi bentuk televisi terkini pada umumnya cenderung memilih pusat perbelanjaan modern mall untuk membeli televisi dengan jarak tempuh sedang (3,01- 5 km) dari tempat tinggalnya ke tempat belanja televisi karena penduduk dengan kategori seperti ini tidak mempermasalahkan jarak dalam menuju tempat belanja karena faktor adanya kegiatan lain yang dilakukan seperti rekreasi bersama keluarga atau kumpul bersama keluarga yang kesemua kegiatan lain dari belanja televisi tersedia atau dapat ditemukan di mall dan juga kenyamanan yang mereka cari dalam melakukan belanja televisi. Penduduk yang pola perjalanan belanjanya multi purpose trip dengan pilihan belanja merk televisi terkenal dan teknologi bentuk televisi biasa pada umumnya memilih tempat belanja mall dengan memiliki kecendrungan memilih jarak tempuh sedang ( 3,01- 5 km). Hal utama yang mereka cari selain membeli televisi adalah membeli kebutuhan hidup keluarga lainnya dan sebagai tempat rekreasi dan hiburan keluarga yang hal ini semua tersedia dan dapat ditemukan di mall. Penduduk dengan pola perjalanan belanja single purpose trip yang membeli televisi dengan merk terkenal dan teknologi bentuk televisi

biasa pada umumnya memilih pasar tradisional sebagai tempat berbelanja televisi dengan jarak tempuh dari tempat tinggal ke tempat belanja dengan jarak sedang (3,01-5 km). Hal ini dikarenakan pasar tradisional yang menjual televisi dengan merk terkenal dan teknologi bentuk televisi biasa pada umumnya dijual atau terdapat di pasar-pasar tradisional yang secara kuantitas televisi yang dijual cukup banyak dan banyak variasinya. Sedangkan penduduk yang dirinya melakukan pola perjalanan belanja single purpose trip yang membeli televisi merk terkenal dan teknologi bentuk televisi terkini pada umumnya memilih pasar tradisional dengan jarak tempuh sedang ( 3,01- 5 km) dari tempat tinggalnya ke tempat belanja televisi. Penduduk dengan pola perjalananan belanja single purpose trip yang membeli televisi dengan merk tidak terkenal dan teknologi bentuk televisi biasa pada umumnya menempuh dengan jarak tempuh dari tempat tinggal ke tempat belanja yaitu jarak dekat ( 3 km) hingga sedang (3,01- 5 km) dimana tempat belanjanya di pasar tradisional dengan jarak tempuh tersebut. Hal ini disebabkan penduduk dengan kriteria tingkat penghasilan ini, selain mempertimbangkan faktor jarak juga mempertimbangkan faktor yang lain seperti harga yang lebih murah, meminimalisir biaya transportasi dan kedekatan hubungan personal dengan penjual yang semua hal tersebut didapatkan di pasar tradisional. Sedangkan penduduk yang dirinya melakukan pola perjalanan belanja single purpose trip yang membeli televisi merk tidak terkenal dan teknologi bentuk televisi terkini pada umumnya memilih pasar tradisional dengan jarak tempuh dekat ( 3 km) dari tempat tinggalnya ke tempat belanja televisi. Hubungan antara pola perjalanan belanja dengan tempat belanja yang dipilih oleh penduduk saling memiliki hubungan satu sama lain. Penduduk yang pola perjalanan belanjanya multi purpose trip pada umumnya memilih pusat perbelanjaan modern atau ,mall dalam melakukan aktivitas belanjanya. Hal ini dikarenakan penduduk yang pola perjalanan belanjanya bersifat tersebut akan melakukan aktivitas belanja lain selain membeli televisi,seperti melakukan belanja kebutuhan hidup sehari-hari atau kebutuhan

sekunder/tersier, melakukan kegiatan santai dengan anggota keluarga seperti makan bersama, melakukan karokean bersama keluarga, nonton film di bioskop dan lainnya. Kesemua hal yang disebutkan tadi tersedia di pusat perbelanjaan modern karena pusat perbelanjaan modern memiliki berbagai macam jenis hiburan menarik yang tersedia didalamnya. Sedangkan penduduk yang melakukan pola perjalanan belanja single purpose trip, pada umumnya memilih pusat perbelanjaan tradisional atau pasar tradisional dalam melakukan aktivitas belanja televisi karena tidak ada hal lain yang dilakukaknnya selain hanya membeli kebutuhan televisi serta kurangnya daya tarik pusat perbelanjaan tradisional dalam hal menyediakan sarana hiburan keluarga atau belanja keluarga baik secara kualitas maupun kuantitasnya.

Dari ouput penghitungan uji SPSS didapatkan bahwa nilai X2 (Chi Square hitung) adalah 40,756 sedangkan nilai Chi Square tabel diperoleh sebesar 3,841 sehingga dapat disimpulkan bahwa jika nilai Chi Square hitung Chi Square tabel maka H0 ditolak. Sehingga ada hubungan antara pola perjalanan belanja penduduk dengan tempat belanja yang dipilihnya. Nilai koefisien kontingensi sebesar 0,4, dengan kata lain nilai ini mendekati 1 yang berarti hubungan yang terjadi cukup kuat.

KESIMPULAN Pola spasial penduduk dalam pembelian televisi dipengaruhi oleh karakteristik demografi terutama penghasilan serta pola perjalanan belanja sehingga akan mempengaruhi jarak tempuh serta preferensi televisi yang dipilih/dibeli. Penduduk dengan penghasilan rendah cenderung melakukan pola perjalanan belanja dengan satu tujuan (single purpose trip) dengan menempuh jarak yang dekat. Jenis televisi yang menjadi pilihannyapun adalah jenis televisi dengan bentuk teknologinya biasa dari merk tidak terkenal yang pada umumnya dibeli di pasar tradisional. Penduduk yang berpenghasilan tinggi cenderung melakukan pola perjalanan dengan lebih dari satu tujuan belanja (multi purpose trip) dan menempuh jarak yang relatif jauh dimana jenis televisi yang menjadi pilihannyapun adalah jenis televisi

dengan bentuk teknologinya terkini dari merk terkenal yang pada umumnya dibeli di pusat perbelanjaan modern (mall). Jarak tempuh dalam menuju pusat perbelanjaan dan preferensi televisi yang dipilih/dibeli sangat erat kaitannya dengan tingkat karakteristik demografi yang diikuti dengan pola perjalanan belanja yang dilakukan oleh penduduk. Adanya hubungan antara faktor tingkat penghasilan, lama tinggal, merk televisi, teknologi bentuk televisi, pola perjalanan belanja serta jarak tempuh terhadap tempat pemilihan belanja televisi penduduk Kota Depok yang mengakibatkan timbulnya pola spasial secara signifikan pada pemilihan tempat belanja televisi penduduk Kota Depok.

SARAN Penelitian ini lebih dikembangkan lagi dengan menggunakan metode sampling yang lebih detail dan akurasinya lebih tinggi serta menganalisis faktor eksternal lain, seperti aksesibilitas dalam perkembangan dan penjualan pada pusat perbelanjaan yang menjual televisi. Menganalisis kelebihan serta kekurangan di setiap masing-masing pusat perbelanjaan yang menjual televisi di Kota Depok sehingga informasi yang didapatkan lebih terinci dari penelitian ini.

KEPUSTAKAAN Ardiwinata, Jajat S. (2011). Menuju Masyarakat Pembelajar. Bandung: Lab PLS FIP UPI. Berman, Barry & Evans, Joel R. (2010). Retail Management: A Strategic Approach 11th Edition. New Jersey: Prentice Hall. Daldjoeni, Nathaniel. 1997. Geografi Baru Organisasi Keruangan Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Penerbit Alumni. Damayanti, Kiki. (2003). Tugas Akhir: Identifikasi Permintaan Masyarakat Akan Fasilitas Pasar Melalui Studi Karakteristik dan Pola Perilaku Konsumen dalam Berbelanja di Pasar Tradisional dan Pasar Swalayan di Kota Depok. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Dharmmesta, B.S & Handoko, T.H. (2000). Manajemen Pemasaran: Analisa Perilaku Konsumen (1st ed). Yogyakarta: BPFE. Davidson, W. R, 1988. Retailing Management, 6th ed. New York: John Wiley & Sons. Dwiana, Kartika. (2012). Skripsi: Perubahan Penyebutan Kekerabatan di Kabupaten Ogan Ilir. Depok: Universitas Indonesia. Holt, D.B & Thompson, C.J. (2004). Man of Action Heroes: the Pursuit of Heroic Masculinity in Everyday Consumption. Journal of Consumer Research.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia. (2005). Putusan Perkara No.02/KPPU-L/2005 dalam Dugaan Pelanggaran Terhadap Pasal 19 Huruf a dan Huruf b serta Pasal 25 Ayat 1 Huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta. Kusumaningrum, Dwiyanti. (2012). Skripsi: Implikasi Deurbanisasi Terhadap Konsumsi Lokasi di Wilayah Pinggiran Perkotaan (Studi Kasus di Perkampungan Karawaci, Kabupaten Tangerang, Banten). Depok: Universitas Indonesia. Kottler & Armstrong. (2000). Principles of Marketing 9th Edition. New Jersey: Prentice Hall PTR. Lindquist, Jay D & Kaufman-Scarborough, Carol F. (2004). Polychronic Tendency Analysis: A New Approach to Understanding Womens Shopping Behaviors Volume 21 Iss 5 PP 332342. West Yorkshire: Emerald Group Publishing Limited. Mahar, Ari Indrayono. (1995). Pola Konsumsi dan Belanja Warga DKI Jakarta di Pasar Swalayan. Jakarta: Lembaga Penerbit UI. Novalisa, Emelyn. (2009). Skripsi: Analisa Segementasi Mall City of Tomorrow Berdasarkan Aspek Perilaku Berkunjung Studi Kasus pada Mahasiswa Penghuni Kos di Area Siwalankerto. Surabaya: Universitas Kristen Petra. Pamularsih, Tyas Raharjeng. (2011). Konsumsi dan Gaya Hidup Masyarakat Transisi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM. Pontoh, Nia K & Kustiwan, Iwan. (2009). Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: Penerbit ITB. Primanita & Amiani. (2009). Skripsi: Analisa Perilaku Belanja Pria dan Wanita Usia Produktif di Surabaya. Surabaya: Universitas Kristen Petra. Putra, Wicak hardhika. 2010. Tesis: Keberadaan dan Perkembangan Pasar Kaget Rawajati Jakarta. Semarang: Universitas Diponegoro. Saladin, Djaslim. (2003). Perilaku Konsumen dan Pemasaran Strategik. Bandung: Linda Karya. Salomon, M.R. (2002). Consumer Behavior: Buying, Having and Being. New Jersey: Prentice Hall Upper Saddle River. Sheth, Jagdish N & Mitttal, Banwari. (2004). Customer Behavior: A Managerial Perspective 2th Edition. Mason: Thomson/Southwestern Publishing. Sopiah & Syihabudhin. (2008). Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: Andi Publisher.

Sulistyowati, Dwi Yulita. (1999). Kajian Persaingan Pasar Tradisional dan Pasar Swalayan Berdasarkan Pengamatan Perilaku Berbelanja di Kotamadya Bandung. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Tarigan, Robinson. (2005). Ekonomi Regiona: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. Wardhana, Wisnu. (2010). Analisis Hubungan Antara Brand Image Produk Nissan Grand Livina Automatic 1500 cc dan Respon Pelanggan. Jakarta: Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Unika Atmajaya. Yansen. (2008). Skripsi: Pilihan Lokasi Lembaga Kursus Bahasa Inggris di Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Depok: Universitas Indonesia. Yunus, Hadi Sabari. (2010). Metode Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Menteri Negara Perumahan Rakyat Muhammad Yusuf Asyari. (2007). Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.10/PERMEN/2007 tentang Pedoman Bantuan Stimulan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (PSU) Perumahan dan Permukiman. Jakarta. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia T Ariwibowo. (1998). Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 23/MPP/Kep/1/1998 tentang LembagaLembaga Usaha Perdagangan. Jakarta. Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. (2007). Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Jakarta. Publikasi Dinas Pasar, Koperasi dan UMKM Kota Depok, 2011. Publikasi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Depok, 2011. Publikasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Depok, 2011.

Anda mungkin juga menyukai