Anda di halaman 1dari 639

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL
AVoER IV Tahun 2012



Universitas Sriwijaya
Fakultas Teknik


Gedung Serba Guna Program PascaSarjana
Jl. Srijaya Negara Kampus UNSRI Bukit Pesar Palembang
Rabu-Kamis/28 - 29 November 2012
Supported by :





Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya i



PROSIDING




ISBN : 979-587-440-3



Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya







Gedung Serba Guna Program PascaSarjana
Jl. Srijaya Negara Kampus UNSRI Bukit Pesar Palembang
Rabu-Kamis/28 - 29 November 2012
Supported by :










SEMINAR NASIONAL
AVoER IV Tahun 2012

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya ii


SEMINAR NASIONAL ADDED VALUE OF ENERGY RESOURCES (AVoER) KE-4
Gedung Serba Guna Program Pascasarjana
Jalan Srijaya Negara Kampus UNSRI Bukit Besar Palembang
Rabu-Kamis / 28-29 November 2012



Untuk segala pertanyaan mengenai AVoER ke-4 tahun 2012
Silahkan hubungi :
Sekretariat :
Gedung H-5 fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
Kampus bukit besar Palembang
Telp. : 0711 370178
Fax. : 0711 352870
Website : http://avoer.unsri.ac.id
Contact Person :
Dr. Ir. Riman Sipahutar, MSc. (0811787782)
Dr. Ir. Diah Kusuma Pratiwi, MT (081373002626)
Rendra Maha Putra Jf (085273043945)



Reviewer :
Prof. Dr. Eddy Ibrahim, MS.
Prof. Dr. Ir. Hj. Erika Buchari, MSc
Dr. Ir. Subriyer Nasir, MS.
Dr. Ir. Nukman, MT
Dr. Irfan Jambak, ST, MT
Dr. Ir. Endang Wiwik Dyah Hastuti, MSc
Dr. Johannes Adiyanto, ST, MT
Dr. Novia, ST, MT
Dr. Budhi Setiawan, ST, MT
Dr. Ir. Hendri Chandra, MT

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya iii


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya
sehingga Seminar Nasional AVoER IV 2012 ini dapat dilaksanakan sesuai jadwal.
Seminar Nasional Added Value of Energy Resources (AVoER) dilaksanakan
oleh Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya sebagai salah satu bentuk kepedulian
Perguruan Tinggi terhadap usaha mencari nilai tambah, atau penambahan nilai dari
suatu sumberdaya energi. Oleh karena itu, Seminar Nasional AVoER IV 2012,
digunakan sebagai suatu forum ilmiah untuk membicarakan masalah nilai tambah
atau pertambahan nilai dari suatu sumberdaya energi baik energi baru, maupun energi
terbarukan.
Forum ini diharapkan akan dapat menjembatani semua unsur terkait dari
pihak pemerintahan, industri, instansi, dan praktisi yang peduli terhadap pemanfaatan
energi, penganekaragaman penyediaan dan pemanfaatan berbagai sumber energi
dalam rangka optimasi penyediaan energi, termasuk yang dihasilkan oleh teknologi
baru baik yang berasal dari energi tak terbarukan dan energi terbarukan dimana
teknologi dalam pengolahan dan penggunaan energi termasuk pengolahan limbah
untuk mengatasi masalah lingkungan hidup akan menentukan effisiensi system secara
keseluruhan. Hal ini amat ditentukan oleh manajemen energi sehingga diharapkan
akan bermanfaat untuk umat manusia dalam rangka mengurangi laju pemanasan
global. Oleh karena itu tema pada seminar AVoER tahun ini adalah Teknologi dan
Managemen Energi Berwawasan Lingkungan dalam Rangka Mengatasi Krisis
Energi. Pelaksanaan Seminar Nasional AVoER IV 2012 bertujuan :
1. Merupakan wadah untuk mendiskusikan kegiatan riset dan penelitian oleh para
akademisi dan praktisi dari berbagai sektor antar industri, pemerintah dan
perusahaan untuk mengurangi limbah dan pemanasan global.
2. Menjadi wadah untuk mendiskusikan hasil-hasil riset dan penelitian
3. Menjadi forum pertemuan komunikasi dan informasi untuk membahas
perkembangan ilmu pengetahuan dan hasil riset dalam bidang teknologi dan
managemen yang berkaitan dengan energi dan lingkungan.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terimakasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada para Nara Sumber:
1. Ir. Tatang Sabaruddin, MT., Direktur Pembinaan Program
MINERBAPABUM Kementrian ESDM
2. Dr. Ir. Halim Abdurrahim, dari Institute Teknologi Bandung
3. Ir. Syaiful Islam, Genaeral Manager Pengembangan Daerah Tambang Pranap
Riau PT. Bukit Asam Pesero (Tbk).
4. Ir. H. Eddy Santana Putra, MT., Wali Kota Palembang
5. Ir. Eddy Prabowo, General Manager RU III PT. Pertamina
yang telah berkenan untuk berpartisipasi sebagai Key Note Speaker dan
menyampaikan materi pada acara seminar yang telah dilaksanakan pada tanggal 28-29
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya iv


Nopember 2012. Selanjutnya kami juga menyampaikan amat terimakasih kepada para
sponsor : Fakultas Teknik UNSRI, PT. Bukit Asam Persero (Tbk)., Pemerintah Kota
Palembang, APERSI, PT. Pertamina RU III, yang telah berpartisipasi dan mambantu
sehingga acara Seminar Nasional AVoER IV 2012 ini dapat dilaksanakan.
Akhir kata, kami berharap Seminar Nasional ini bermanfaat bagi kita semua
dan tujuan dari pelaksaan seminar ini akan tercapai.

Palembang, 28 Nopember 2012
Dekan Fakultas Teknik Unsri,


Prof. Dr. Ir. H. Taufik Toha, DEA
NIP. 19530814 198503 1 002


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya v



PANITIA PELAKSANA
SEMINAR NASIONAL AVoER IV 2012

Pengarah : Prof. Dr. Ir. H. M Taufik Toha, DEA
(Dekan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya)
Penanggung Jawab : Dr. Tuty Emilia Agustina, ST, MT (Pembantu Dekan I FT
Unsri)
Dr. Ir. Amrifan S. M, Dipl, Ing ((Pembantu Dekan II FT
Unsri)
Ir. H. Hairul Alwani, HA, MT (Pembantu Dekan III FT Unsri)
Ketua : Dr. Ir. Riman Sipahutar, MSc
Wakil Ketua : Dr. Ir. Diah Kusuma Pratiwi, MT
Sekretaris : Bochori, ST, MT
Bendahara : Ir. Marwani, MT
Wakil Bendahara : Ir. H. Djuki Sudarmono, DESS
Seksi-seksi :
1. Seksi Makalah : Prof. Dr. Ir. Eddy Ibrahim, MS
2. Seksi Publikasi : M. Baitullah Al Amin, ST, MT
3. Seksi Dana : Ir. Irwin Bizzy, MT
4. Seksi Acara : Prof. Dr. Ir. H. Kaprawi, DEA
5. Seksi transportasi : Ir. H. Teguh Budi, SA, MT
6. Seksi Tata Tempat : Ir. Firmansyah Burlian, MT
7. Seksi Konsumsi : Astuti, ST, MT
8. Seksi Pembantu Umum : Rendra Maha Putra
BEM Fakultas Teknik Unsri

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya vi



UCAPAN TERIMA KASIH
Panitia AVoER Ke-3 Tahun 2011 mengucapakan banyak terimah kasih kepada
sponsor, keynote speaker dan semua pihak yang membantu terlaksananya kegiatan
ini.

Sponsor
Universitas Sriwijaya
PT. Pertamina RU III
PT. Tambang Batubara Bukit Asam, (Persero) Tbk
Pemerintah Kota Palembang
Asosiasi Perumahan seluruh Indonesia



Keynote Speaker
Ir. Tatang Sabaruddin, MT., Direktur Pembinaan Program MINERBAPABUM
Kementrian ESDM
Dr. Ir. Halim Abdurrahim, dari Institute Teknologi Bandung
Ir. Syaiful Islam, Genaeral Manager Pengembangan Daerah Tambang Pranap Riau
PT. Bukit Asam Pesero (Tbk).
Ir. H. Eddy Santana Putra, MT., Wali Kota Palembang
Ir. Eddy Prabowo, General Manager RU III PT. Pertamina

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya vii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vii

No Paper Kode Judul Hal

A. BIDANG KEBIJAKAN, PRENCANAAN DAN MANAJEMEN ENERGI
(KPM)


402 KMP 1 Kajian Efektivitas Metode Geolistrik
Tahanan Jenis Untuk Identifikasi Lapisan
Batubara Sebagai Reservoar Coal Bed Methane
(Cbm) Di Tanjung Enim Sumatera Selatan.
Eddy Ibrahim (UNSRI)
1

410 KMP 2 Penerapan Metode Cadzow Filtering Dan R-G-B
Blending Dalam Meningkatkan Kualitas Data
Seismik Untuk Eksplorasi Hidrokarbon
Aldo Noviardo, Khairul Ummah, Bagus Sapto
Mulyatno (UNILA, PT WAVIV Technologies)
9

413 KMP 3 Faktor-faktor penentu dalam Penerapan Green
Supply Chain Management: Perspektif Budaya
dan Teori Institusi
Baihaqi, Rici Cakra Perwira (ITS)
22

418 KMP 4 Pengaruh Ukuran Dan Waktu Perendaman
Batubara Dalam Dimetil Eter Terhadap Free
Moisture Batubara Musi Banyuasin
Dzuhazhzhin Azhim, Dian Y. Sari, David Bahrin,
M. Faizal, Trisaksono B. Priambodo (UNSRI,
BPPT)
31

421 KMP 5 Penyesuaian Gaya Hidup Sebagai Langkah
Penghematan Energi
Franky Liauw (UNTAR)
40


428 KMP 6 Mengatasi Kehilangan Energi Primer Yang
Berlebihan Pada Jaringan Pipa Distribusi Air
Menggunakan Model Komputer Watergems
M. Baitullah Al Amin (UNSRI)
49

429 KMP 7 Pembuatan Etanol Dari Serat Buah Bintaro
Dengan Proses Hidrolisa Asam Dan Fermentasi
M. Hatta Dahlan, Masayu Nuraini R, Rahmat
Feri Fernando (UNSRI)
57

430 KMP 8 Energy Efficiency Concept Of Green
Architecture:Improving Imagination Of
Comprehensive, Dinamic, Innovative, And
Futuristic Architecture Design
Meivirina Hanum, Chairul Murod (UNSRI)
58
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya viii



433 KMP 9 Pemanfaatan Gas Suar Bakar Melalui Lng Mini
Untuk Sektor Transportasi
M. Mirza, Y. Muharam (UI)
78

444 KMP 10 Green Building Perancangan Bangunan Hemat
Energi yang dilakukan di Jakarta
Sani Heryanto (UNTAR)
95

446 KMP 11 Design Of Automatic Sleeve For Transfer Nut
Clutch Using Programmable Logic Controller
Syahril Ardi, Agus Ponco, Adhari Faried Ardin
(PMA)
107

447 KMP 12 Optimasi Rasio SiO
2
/Al
2
O
3
Pada Sintesis ZSM-5
Dari Zeolit Alam Lampung Dengan Sumber Silika
Penambah Dari Sekam Padi
Tika Damayanti, Suhesti Forsela, Chindy
Feryandy HB,

Simparmin Br Ginting, Hens
Saputra (UNILA, TIRBR, PUSPIPTEK)
116

448 KMP 13 Perbaikan Sistem Pengetanahan Dengan
Penambahan Low Range Coal Di Tanah
Laboratorium Teknik Universitas Bengkulu
Yuli Rodiah (UNIB)
128

450 KMP 14 Perancangan Pembangkit Listrik Gelombang
Laut Menggunakan Sistem Pneumatik Selinder
Tabung
Anizar Indriani, Ika Novia Anggraini (UNIB)


451 KMP 15 Analisis Eksergi Pada Sistem Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi (PLTP) UBP Kamojang Unit
PLTP Darajat Jawa Barat
Dyos Santoso, Randy Maulana Yusuf (UNSRI)
134

455 KMP 16 Optimalisasi Penyerapan Panas Flue Gas Pada
Mixed Feed Dan Steam Air Coil Convection
Section Primary Reformer (101-B) Pabrik
Amoniak Pusri-II
Filius Yuliandi, Yuliana (PT. PUSRI)
140

456 KMP 17 Analisis Operasi Optimal Manajemen Pembangkitan
Di Propinsi Bengkulu Dalam Rangka Mengatasi
Krisis Energi
Afriyastuti Herawati, Yuli Rodiah (UNIB)
148

457 KMP 18 Analisis Pengaruh Waktu Dan Temperatur
Bubbling Terhadap Penurunan Kadar Fe Pada
Proses Dry Refining Di Departemen Metalurgi PT
KOBA TIN
Fitleny Pendi, A. Taufik Arief (UBB, UNSRI)
154

461 KMP 19 Pembuatan Biodiesel Dari Dedak Padi Dengan
Metode Esterifikasi-Transesterifikasi Insitu
Abdul Kadir J, Panji Fajar Maulana, Abdullah
168
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya ix


Saleh (UNSRI)

462 KMP 20 Kekuatan Adhesi Dan Ketahanan Korosi Lapisan
Cat Yang Mengandung Pigmen Zink Kromat
Sari Katili, Mulyo Handono (UI)

174

463 KMP 21 Pengaruh Tekanan Injeksi Dan Temperatur
Nozzel Terhadap Kecenderungan Terjadinya
Cacat Serapan Cat Pada Side Cover L
Sari Katili, Randy S. Chandra

(UI)
180

467 KMP 22 Model Pelayanan Transportasi Umum Bus
Antar Kota Fleksibel Untuk Pengurangan
Kemacetan Fasilitas Pada Hari Puncak
Ibnu Hisyam (ITS)
187


B. BIDANG TEKNOLOGI & PEMANFAATAN ENERGI (TL)




405 TL 1 Pengaruh Temperatur Dan Lama Pirolisis
Terhadap Kualitas Dan Kuantitas Asap Cair Dari
Eceng Gondok
Achmad Rasyidi Fachry, Dedi Chandra, Harry
Margatama (UNSRI)
196

406 TL 2 Pengaruh Suhu Karbonisasi Dan Komposisi
Pembuatan Briket Bioarang Campuran Kulit
Durian Dan Kulit Kacang Tanah
Afifah Shalihah, Riska Hasnela W, A. Rasyidi
Fachry (UNSRI)
209

407 TL 3 Pengaruh Parameter ArusListrikTerhadapKekasaran
PermukaanPadaElectro Discharge Machining (Edm)
Al Antoni Akhmad, Ai Ruchiat (UNSRI, TRISAKTI)
214

408 TL 4 Alkaline Pretreatment Dan Proses Simultan
Sakarifikasi-Fermentasi (SSF) Untuk
Memproduksi Bioetanol Berbahan Baku Jerami
Padi
Novia, Elizabeth Theresia Mathilda, Puti Dwi
Septia (UNSRI)
226

411 TL 5 Pembuatan Bioetanol Berbahan Baku Biji
Nangka (Artocarpus Integra) Dengan Variasi
Berat Ragi Dan Waktu Fermentasi
Arief Falullah, Rr. Miranti Wisesa A,
Muhammad Said (UNSRI)

236

416 TL 6 Optimasi Rasio SiO
2
/Al
2
O
3
Pada Sintesis ZSM-5
Dari Zeolit Alam Lampung Dengan Sumber Silika
Penambah Dari Sekam Padi
Tika Damayanti, Suhesti Forsela, Chindy
Feryandy HB,

Simparmin Br Ginting, Hens
Saputra (UNILA, PUSPIPTEK)

248

417 TL 7 Pengaruh Temperatur Dan Lama Karbonisasi 260
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya x


Terhadap Kualitas Dan Kuantitas Asap Cair Dari
Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes)
Dedi Chandra, Harry Margatama, Achmad
Rasyidi Fachry (UNSRI)


419 TL 8 Pengaruh Suhu Pirolisis Dan Ukuran Tempurung
Kelapa Sawit Terhadap Rendemen Dan
Karakteristik Bio-Oil
Fatah Sulaiman, Endang Suhendi, Andreas, dan
Nurita Fatmawati (UNTIRTA)
268

423 TL 9 Pembuatan Karbon Aktif Dari Biji Kelor Untuk
Meningkatkan Kualitas Minyak Jelantah
M. Hatta Dahlan, Harriman P Siregar,
Maswardi Yusra (UNSRI)
278

425 TL 10 Pengaruh Laju Alir Gas, Liquid, Dan Temperatur
Pada Absorpsi CO
2
Dengan Penyerap Air Dalam
Packed Column
Leedsey Hosanna, Dwi Aprillia K, A. Rasyidi
Fachry (UNSRI)

288

426 TL 11 Optimasi Bilangan Reynold (Nre) Dan Waktu
Pengadukan Terhadap Sifat Fisik Dan Mekanik
Dalam Pembuatan Bioplastik
Listya Sari
,
, Anggita Sari,Yuli Darni (UNILA)
299

431 TL 12 Pengaruh Kecepatan Pengadukan Dan Formulasi
Pati Sorgum - Kitosan Terhadap Sifat Fisik Dan
Mekanik Bioplastik Berbasis Pati Sorgum
Melania Yusmina C, Yuli Darni (UNILA)
310

435 TL 13 Pembuatan Bioetanol Dari Koran Bekas Dengan
Hidrolisis Enzimatik Dan Fermentasi
Oktarini, Nurfika Putri Utami, Tuti Indah Sari
(UNSRI)
320

436 TL 14 Fenomena Variasi Konsentrasi Substrat Dan
Kecepatan Pengadukan Pada Fermentasi Etanol
Dari Limbah Cair Hasil Pengepresan Kulit Nenas
Menggunakan Schizosaccharomyces Pombe
Panca Nugrahini F.

, Qori Nasrul Ulum (UNILA)
330

438 TL 15 Pengaruh Laju Alir Oksigen Dan Waktu Kontak
Terhadap Delignifikasi Tandan Kosong Kelapa
Sawit Dengan Metode Ozonasi
I.K. Perni Novita, Novia,Hermansyah (UNSRI)
341

439 TL 16 Produksi Glukosa Dari Tandan Kosong Kelapa
Sawit Yang Didelignifikasi Dengan Ozonolysis
Pretreatment Melalui Metode Hidrolisis
Enzimatik
Puja Intan Soraya, Novia, Hermansyah
(UNSRI)
348

440 TL 17 Pemisahan Getah (Gum) Pada Minyak 356

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya xi


Nyamplung (Crude Calophyllum Oil )
Menggunakan Zeolit Dan Karbon Aktif Menjadi
RCO (Refine Calophyllum Oil )
Puspitahati, Edward Saleh, Eko Sutrisno

(UNSRI)

441 TL 18 Pengaruh Massa Ragi Dan Lama Fermentasi
Terhadap Pembuatan Etanol Dari Enceng
Gondok (Eicchornia Crassipes)
Riezky Amanda, Miftahul Djana, Muhammad
Said (UNSRI)
365

443 TL 19 Daya Toleran Rhizopus Oryzae Yang
Dienkapsulasi Dengan Kalsium-Alginat Terhadap
Suhu Dan pH
Sahlan M, Muryanto, Gozan M (UI)
373

445 TL 20 Potensi Gas Metana Dari Limbah Cair
Pengolahan Karet Sebagai Sumber Energi (The
Potential Of Methane Gas From Liquid Waste
Rubber Processing As A Source Of Energy)
Sherly Hanifarianty. Afrizal Vachlepi Dan Didin
Suwardin (BALAI PENELITIAN SUMBAWA)
383

454 TL 21 Potensi Kandungan Biji Durian (Durio Zibethinus)
Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bahan Bakar
Hidrokarbon.
Sri Haryati, Abraham Abimanyu Kristiyono
Putro, Yudi Saputra (UNSRI)
391

458 TL 22 Degradasi Pewarna Sintetis Procion Biru
Menggunakan Metode Fotokatalisis Dengan
Bantuan Sinar Matahari
Tuty Emilia Agustina (UNSRI)
398

C. BIDANG ENERGI & LINGKUNGAN (EL)


401 EL 1 Darrieus Water Turbine Of Six Blades
Combination Of Naca 0015 And 0025 Airfoil
Kaprawi, Dyos Santoso, Ilyas (UNSRI)

406

403 EL 2 Eliminasi Noise Melalui Pengolahan Sinyal Untuk
Identifikasi Geometri Dan Kadar Air Seam
Batubara
Eddy Ibrahim, Syamsul Komar, Marwan Asoff
(UNSRI)
413

404 EL 3 Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH)
Sudu Lurus Dan Melengkung Skala Laboratorium
Irwin Bizzy, Astuti (UNSRI)
424

409 EL 4 Aplikasi Perendaman Asap Cair Pada Blanket
Karet Alam(The Soaking Application Of Liquid
Smoke On Natural Rubber Blanket)
Afrizal Vachlepi, Didin Suwardin, M.Solichin,
Mili Purbaya Dan Sherly Hanifarianty (BALAI
430
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya xii


PENELITIAN SUMBAWA)

412 EL 5 Pengaruh Suhu Perendaman Terhadap Kadar
Air, Kadar Asetil Dan Rendemen Pada
Pembuatan Selulosa Asetat Dari Limbah Cair
Pabrik Tahu
Athiek Sri Redjeki, Alvika Meta Sari
437

414 EL 6 Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas Sebagai
Subsitusi Bahan Bakar Motor Diesel
Burhanuddin, Irwin Bizzy (UNSRI)
443

415 EL 7 Degradasi Lignoselulosa (Limbah Kertas)
menjadi Bioetanol dengan Metode Hidrolisis
Asam dan Fermentasi
Cindi Ramayanti, Ketty Ramadhany G, Tuti
Indah Sari (UNSRI)
449

420 EL 8 Pemanfaatan Limbah Tulang Daun Tembakau
Menjadi Biobriket Sebagai Bahan Bakar
Alternatif Kompor Rumah Tangga
EndangSuhendi, Fatah Sulaiman, Juan Mikael
dan Taufiqurakhman (UNTIRTA)
458

422 EL 9 Pengaruh Waktu Pengapian (Ignition Timing)
Terhadap Emisi Gas Buang Pada Mobil Dengan
Sistem Bahan Bakar Injeksi (EFI)
Gunadi, Agus Budiman (UNY)
465

424 EL 10 Pembuatan Bahan Bakar Cair Dari Limbah
Kemasan Plastik Jenis Polipropilen Dengan
Proses Catalytic Cracking Menggunakan Katalis
Cu/Al
2
O
3

Hendri, Pamilia Coniwanti, Supadi

(UNSRI)

479

427 EL 11 Pengaruh Dosis KoAgulan FeCl
3
Terhadap
Kualitas Air Dan Fluks Permeat Yang Dihasilkan
Pada Pengolahan Air Sungai Musi Menggunakan
Filter Keramik
Muhammad Arifin, Anang Suhendar, Subriyer
Nasir (UNSRI)
489

432 EL 12 Pengaruh Massa Ragi Dan Lama Fermentasi
Terhadap Pembuatan Etanol Dari Enceng
Gondok (Eicchornia Crassipes)
Riezky Amanda, Miftahul Djana, Muhammad
Said (UNSRI)
501

434 EL 13 Freon Ramah Lingkungan, Musicool
Normaliaty Fithri (UBD)
509

437 EL 14 PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DI
PERKOTAAN Pendekatan Ekosistem Pada
Pengendalian Di Kota Jakarta
Parino Rahardjo (UNTAR)
517

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya xiii


442 EL 15 Pengaruh Emisi CO
2
Di Atmosfer Pada
Kehidupan Manusia
Ristika Wulandari (UNILA)
528

449 EL 16 Korelasi Antara Karakter Katalis Cr/ZAA
Terhadap Produksi Bahan Bakar Terbarukan
Zainal Fanani, Muhammad Said, Vipy Anugrah
(UNSRI)
536

452 EL 17 Pengaruh Pemakaian Minyak Solar, Biodisesel
Minyak Sawit (CPO), Dan Minyak Jarak Pagar
(CJO) Terhadap Performansi Motor Diesel
Didacta Italia Testbed T 85 D
Ellyanie (UNSRI)
548

453 EL 18 Rancang Bangun Swirling Pressurized Fluidized
Bed Combustor (SPFBC) Sebagai Alat Gasifikasi
Bahan Biomassa
Nukman (UNSRI)
558

459 EL 19 Kajian Literatur Pembakaran Briket Batubara
Kalori Rendah Dengan Pengayaan Oksigen Udara
Pembakaran (Oxy-Combustion)
Diah K. Pratiwi

, Valentino Ch (UNSRI)
568

460 EL 20 Pemanfaatan Elemen Peltier Tipe Cp1-12730
Sebagai Sumber Daya Emergency Charger
Ponsel
Ismail Thamrin, Irham Hizrata (UNSRI)
574

464 EL 21 Pembuatan Dan Pengujian Prototipe Turbin
Pelton Untuk Pembangkit Listrik Tenaga
Mikrohidro(Skala Laboratorium)
SA Teguh Budi, Muhammad Nur Hasbi (UNSRI)
584

465 EL 22 Studi Pengaruh Penambahan Aditif Metanol
Terhadap Angka Oktan Dan Konsumsi Bahan
Bakar Pada Bahan Bakar Pertamax
Riman Sipahutar, Dyos Santoso (UNSRI)
594

466 EL 23 Optimasi Temperatur Pada Proses Sintesis Zeolit
Analsim Dari Abu Terbang Batubara
Anhairona Rozaria, Grafellia Sudarman,
Simparmin Br Ginting, Abdul Ghofar (UNILA,
TIRBR, PUSPITEK)
607

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 1



KMP-1

KAJIAN EFEKTIVITAS METODE GEOLISTRIK
TAHANAN JENIS UNTUK IDENTIFIKASI LAPISAN
BATUBARA SEBAGAI RESERVOAR COAL BED METHANE
(CBM) DI TANJUNG ENIM SUMATERA SELATAN.


Eddy Ibrahim


Guru Besar Teknik Pertambangan
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
Jalan Raya Palembang Prabumulih, Ogan Ilir, Indralaya,
E-mail : eddy_ibrahim@yahoo.com

ABSTRAK
CBM merupakan gas non-konvensional yang terbentuk dan terperangkap pada lapisan
batubara (coal seam), yang secara geologi lapisan ini biasanya berada pada kedalaman antara
300-1000 m. Gas tersebut terjebak pada lapisan batubara karena tekanan air dalam matrik,
sehingga dalam rangka memproduksi gas metana harus dilakukan dewathering (mengeluarkan
air dari lapisan batubara) terlebih dahulu agar gas dapat mengalir di dalam reservoirnya. Oleh
karena itu, kegiatan eksplorasi CBM memerlukan waktu cukup lama dan biaya tinggi.
Kegiatan eksplorasi yang dilakukan sekarang lebih banyak menggunakan sistem trial and
error, sehingga memerlukan waktu. Metoda geofisika merupakan salah bagian tahapan
untuk mereduksi waktu eksplorasi. Metoda geofisika yang digunakan dalam identifikasi
reservoal CBM yaitu geolistrik tahanan jenis. Survey geolistrik tahanan jenis di lokasi
Lapangan X menggunakan konfigurasi Schlumberger sebanyak 12 titik log listrik yaitu
dari titik log listrik 1 hingga titik log listrik 12 memiliki nilai tahanan jenis yang berbeda-
beda. Dari hasil pencitraan dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai Lithologi, Indikasi
reservoar CBM dan Indikasi Struktur. Hasil interpretasi terhadap titik-titik pengukuran dapat
memperlihatkan sebaran lithologi baik secara vertikal maupun horizontal di daerah penelitian.
Pada kedalaman 0-200 m terdapat Kasai shale dengan nilai tahanan jenis 3-5 Ohm.m. Formasi
Muaraenim yang dimulai dengan Mangoes Coal, Suban Coal dan Petai Coal dengan nilai
tahanan jenis antara 4 Ohm.m hingga lebih dari 10 Ohm.m. Keberadaan batubara dengan nilai
tahanan jenis tinggi 10 Ohm.m diantara batupasir (tahanan jenis 2-10 Ohm.m), dan lempung
(tahanan jenis kurang dari 2 Ohm.m). Nilai- nilai tahanan jenis ini menunjukkan bahwa
metoda geolistrik cukup efektif dalam memetakan zona prospek gas metana pada kedalaman
besar dari 300 meter.

Kata kunci : geolistrik tahanan jenis, konfigurasi Wenner, titik sounding, lintasan, reservoar
CBM


1. LATAR BELAKANG
Secara tektonik cekungan Sumatra Selatan terletak pada daerah tektonik aktif,
dimana lapisan batubara telah mengalami setidaknya satu kali periode perlipatan dan
pensesaran, bahkan di beberapa lokasi telah mengalami intrusi dan ekstrusi dari
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 2



aktivitas magmatik. Aktivitas magma ini menyebabkan metamorfosa lokal, yang
ditunjukkan oleh peningkatan peringkat atau rank batubara dari lignit ke antrasit.
Dengan demikian akan didapatkan rank maupun karakteristik batubara yang
bervariasi baik secara vertikal maupun horisontal. Proses metamorfosa tersebut secara
teoritis dipengaruhi oleh panas dan tekanan yang cukup besar dimana membentuk
metana biogenik dan selanjutnya metana thermogenik yang disebut dengan CBM
(coal bed methane). CBM yang terbentuk tersebut mengalir ke permukaan atau
berpindah tempat kedalam reservoar yang bersebelahan dan terperangkap didalam
reservoar batubara, terutama didalam mikropori batubara.
Sampai saat ini eksplorasi CBM lebih banyak dilakukan dengan metode trial
and error terutama pada perusahaan-perusahan, hal tersebut dikarenakan masih
sedikitnya penelitian CBM, sebagai konsekuensinya akses data geologi yang
memberikan informasi sistem jebakan CBM di suatu daerah sangat terbatas dan belum
memadai untuk mendukung kegiatan eksplorasi yang efisien. Integrasi data geologi
dan hasil pengukuran geofisika akan memberikan paket informasi yang lebih
komprehensif untuk kegiatan eksplorasi CBM. Seperti telah diketahui bahwa setiap
batuan memiliki nilai resistivitas yang berbeda, bergantung pada jenis mineral,
densitas, porositas, temperatur, dan kandungan air di dalamnya. Dengan penerapan
metoda Geolistrik yang memanfaatkan arus listrik sebagai sumber tegangan, maka
informasi nilai resistivitas batuan bawah permukaan dapat diketahui.
Tulisan ini menjelaskan bagaimana cara pengukuran geolistrik tahanan jenis
serta cara interpretasinya dalam rangka mengidentifikasi serta karakterisasi reservoar
CBM.

2. METODA

Metode penelitian ini dirancang untuk dapat memberikan hasil efektif dalam
pemanfaatan model geolistrik tahanan jenis untuk identifikasi lapisan batubara
sebagai reservoar CBM dibawah permukaan.
Lokasi penelitian merupakan tambang batubara PT. Batubara Bukit Asam,
Tanjung Enim, Sumatera Selatan (Gambar 1)


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 3



Gambar 1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini terdiri beberapa tahap dengan pentahapan tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Tahap Studi Literatur dan Pengumpulan Data-Data Sekunder
Hasil penelitian terdahulu (publish, inhouse report) :
Data geologi daerah penelitian ;
Data log Listrik
Data core (data hasil pemboran) terdahulu
2. Tahap Persiapan
Studi tentang geologi regional dan kontrol hidrogeologi dari terbentuknya
CBM
Analisis resistivitas dan sifat fisika batubara pada batubara penghasil gas
methana
3. Tahap Akuisis data lapangan, analisis dan interpretasi
Akusisi survey geolistrik ; perhitungan panjang lintasan 1100 meter dengan
jarak elektroda 10 meter dengan target kedalaman penampang isoresistivitas
dari 0 800 meter
Pemrosesan data geolistrik dengan menggunakan teknik inversi
Hasil yang didapat adalah penampang 2 dimensi nilai resistivitas daerah
penelitian.
Nilai resistivitas yang didapat diikat dengan analisis log listrik untuk melihat
pengaruh variasi litologi dan struktur geologi terhadap nilai resistivitas yang
didapat dari survey geolistrik.
Analisa harga resistivitas kemudian di korelasikan dengan analisis data
geologi.
Didapatkan karakterisasi nilai resistivitas yang tinggi (lapisan batubara) dan
nilai yang bervariasi pada nilai resistivitas yang tinggi tersebut (sebaran gas
metan batubara (CBM)) mewakili nilai geologi dari reservoir CBM.
4. Evaluasi efektifitas metode geolistrik tahanan jenis


3. HASIL

3. 1. Umum

Untuk mendapatkan hasil interpretasi yang optimal, hasil penyelidikan log
listrik dikalibrasikan dengan data-data geologi yang ada. Stratigrafi daerah studi
hampir sama dengan stratigrafi regional, yaitu tidak munculnya Formasi Baturaja
anggota batu gamping terumbu. Di daerah penelitian, Formasi Talang Akar dan
Formasi Lemat merupakan reservoir utama untuk minyak, sedangkan target penelitian
saat ini adalah penyebaran seam batubara di Formasi Muaraenim.
Berdasarkan studi dari referensi, hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai
lapisan penghantar carrier bed yang dianggap bisa menghantar munculnya seam
batubara dari kitchen beds melalui tight platform sediment ke kantong-kantong
perangkap terjebaknya gas metana dalam seam batubara. Sementara ini ditafsirkan
terjebaknya gas metana melalui rekahan atau cleat dalam seam batubara.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 4




3.2. Kalibrasi dan Validasi Hasil Geolistrik

Hasil log listrik untuk tiap kedalaman yang dilakukan menggunakan Konsep
Anisotropy, dikalibrasikan dengan bor KME-XI yang terletak pada lintasan Y. Ratio
perbandingan antara LLD dari data tahanan jenis lubang bor (KME-XI) dan log listrik
105 untuk kedalaman yang sama dengan data log listrik memperlihatkan
perbandingan yang konsisten mengikuti persamaan exponensial:
y = 12.588e
-0.0024x
(Gambar 2),
sedangkan kalibrasi total dapat dilihat pada Gambar 3, terlihat adanya fitting kurva
keduanya yang berorde pertama atau kedua, sedang yang detail hanya dapat diperoleh
dari data sumur.
Seluruh data log listrik dikalibrasikan dengan bor KME-XI memperlihatkan
persamaan ratio yang sama dan konsisten. Hasil dari inversi log listrik menghasilkan
logging tahanan jenis yang disebut Inversion log listrik vertikal. Harga terakhir ini
merupakan harga yang sebenarnya (true resistivity) dan selanjutnya dapat dilakukan
imaging dan korelasi, dengan contoh di Gambar 4 pada Lintasan X.

3. 3. Pencitraan Hasil Inversion log listrik vertikal

Hasil akuisisi tahanan jenis menggunakan Konfigurasi Schlumberger
kemudian diinversikan terhadap kedalaman dengan menggunakan metoda Inversi
Anisotropy. Metoda Inversi Anisotropy dilakukan berdasarkan konsep Anisotropy
dari Raymond Maillet, 1947, Hasil inversi kedalaman akan mendapatkan Pseudo
Transversal Resistivity (t), Pseudo Media Resistivity (m), dan Pseudo
Longitudinal Resistivity (l).
Interpretasi terhadap penampang pencitraan (imaging) dilakukan berdasarkan
penampang iso - t, iso - m dan iso - l untuk mendapatkan (1) interpretasi litologi ,
(2) gas metana indikasi dan (3) struktur indikasi.
Hasil Interpretasi litologi berdasarkan sifat tahanan jenis batuan di daerah
penelitian, dapat disimpulkan keberadaan batubara/lignit menunjukkan harga
resistivity yang sejenis, tapi umumnya quick look menunjukkan harga resistivitas
batubara diatas 10 Ohm.m.
Interpretasi geologi dan litolologi secara keseluruhan, dilakukan dengan
melakukan pengikatan pencitraan resistivity dengan data sumur yang ada, sehingga
merupakan interpretasi kombinasi, yang ada kalanya dapat memberikan informasi
tambahan atau informasi baru.




Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 5



KIV - 104 = KME XI
y = 10.525e
-0.0031x
0
1
10
100
1000
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700 750 800 850 900 950 1000
kedalaman dalam m
h
a
r
g
a

W
m








Gambar 2. Ratio Perbandingan LLD Data tahanan jenis Sumur
KME-XI Dengan Kedalaman Yang Sama Dengan Data
log listrik Yang Konsisten
















Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 6



Gambar 3 Validasi Bor KME-X1 dengan IVEL 105

Gambar 4 Penampang IVEL di lintasan X, hasil kalibrasi log listrik di target utama
Formasi Muaraenim, struktur diperoleh dari intrapolasi peta struktur seismik 2-D

3.4. Interpretasi dan hasil IVEL
Secara umum dengan melihat lintasan X, (Gambar 4), pada kedalaman 0-200
m terdapat Kasai shale, dari log umum terdiri dari shale dan secara setempat terdapat
selingan sandstone, harga resistivitas 3-5 Ohm.m. Dibawahnya terdapat Formasi
Muaraenim yang dimulai dengan Mangoes Coal, Suban Coal dan Petai Coal. Harga
yang menonjol antara 4 Ohm.m hingga lebih dari 10 Ohm.m. Terlihat bahwa
keberadaan batubara dengan nilai resistivitas tinggi 10 Ohm.m (warna hitam/merah),
diantara batupasir (resistivitas 2-10 Ohm.m), dan lempung (resistivitas kurang dari 2
Ohm.m). Pada penampang pencitraan resistivity Line X terdiri dari 12 titik log listrik
dengan panjang line 1100 m. Hasil pencitraan Line X pada bagian atas mulai
kedalaman 0 250 m memperlihatkan nilai resistivity medium sampai 5 ohm
dimana dalam satuan ini didominasi warna coklat , coklat muda, serta hijau diduga
lithologinya yaitu perselingan sandstone - shale. Pada kedalaman antara 250 520 m
memperlihatkan nilai resistivity rendah 0 - 5 ohm dalam satuan ini didominasi warna
biru dan hijau, satuan ini diduga lithologinya shale., dominasi batubara dengan
resistivitas tinggi, 10 Ohm.m dan berwarna merah.
3.5. Peta Isoresistivity

Peta isoresistivity dibuat dari horizon-horizon di Formasi Muaraenim (Gambar
5). Peta ini menggambarkan resistivitas true litologi di horizon yang telah terkalibrasi
dengan data resistivitas di lubang bor. Pada horizon Suban Coal terlihat bahwa
terdapat beberapa tahanan jenis tinggi diatas 10 Ohm.m yang terklasifikasi sebagai
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 7



batubara, dibawahnya merupakan sandstone hingga resistivitas 8 Ohm.m. Walaupun
hasil resisvitas ini perlu dikonfirmasi oleh data petrofisik di sumur, sebaran dengan
resistivitas yang diduga memenuhi daerah target yaitu potensial gas metana (CBM)
terletak di bagian tengah dan timur peta, peta akuisisi resistivitas menunjukkan di
sebelah timur line X Sementara di bagian barat line X, diperkirakan kurang memenuhi
target. Jadi jelas bahwa metode geolitrik tahanan jenis cukup efektif dalam
memetakan zona prospek gas metana.

Gambar 5. Peta isoresistivitas horizon Suban Coal
4. KESIMPULAN

Dari tulisan ini menggunakan metode geolistrik tahanan jenis dapat disimpulkan
antara lain :
1. Belum ada kejelasan mengenai lapisan penghantar carrier bed yang dianggap
bisa menghantar munculnya seam batubara dari kitchen beds melalui tight
platform sediment ke kantong-kantong perangkap terjebaknya gas metane dalam
seam batubara
2. Diperolehnya variasi kedalaman dari macam- macam seam batubara (pada
formasi yang sama) yaitu suban, petai, merapi dan mangus antara 200 m sampai
800 m
3. Dari hasil pencitraan di daerah penelitian memiliki karakteristik umum harga
resistivitas sebagai berikut:
Shale/lempung memiliki resistivitas kurang dari 2 Ohm.m
Batupasir memiliki resistivitas 2-10 Ohm.m
Batubara memiliki resistivitas diatas 10 Ohm.m
4 Walaupun sebaran harga resistivitas dari penelitian geolistrik tahanan jenis
memerlukan data pendukung lain dari log sumur, hasil umum menunjukkan
bahwa sebaran daerah yang memenuhi target terletak di sebelah timur line X
sementara di bagian barat line X, kurang memenuhi target.

UCAPAN TERIMAKASIH
Kerja yang telah dilakukan ini dibantu oleh Laboratorium Eksplorasi Jurusan Teknik
Pertambangan Fakultas Teknik Unsri dan Laboratorium Geofisika FMIPA Unsri.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 8



Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Teknik Unsri yang telah
mendanai Penelitian yang bersumber dari DIPA FT Unsri 2012 serta teman-teman
yang membantu dan tidak bisa disebutkan satu persatu dalam penyelesaian tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Eddy Ibrahim dkk., 2010., Identifikasi dan Karakterisasi Potensi Coal Seam Sebagai
Reservoar Coal Bed Methane (CBM) Berdasarkan Sifat Resisitivitas Batuan di
Tanjung Enim Sumatera Selatan. Laporan Penelitian Kompetitif. UNSRI.
Eddy Ibrahim., 2011., Model Inversi Respon Geolistrik lapisan batubara Sebagai
Reservoar Coal Bed Methane (CBM). Laporan Penelitian Guru Besar, Fakultas
Teknik UNSRI.
Bramastra Lalean, 2010 Launching A First Coalbed Nethane (CBM) Project in
Indonesia A Case Study. Proceeding Indonesian Petroleum Association,
Thrty-Fourth Annual IPA Convention & Exhibition,
Ferian Anggara, dkk., 2010. CO
2
Injection in Coal Seams, an Option For Geological
CO2 Stroge and Enhached Coal Bed Methane Recovery (ECBM), Proceeding
Indonesian Petroleum Association, Thrty-Fourth Annual IPA Convention &
Exhibition,
Gautier, D.L., Dolton, G.L., Takahashi, K.I., and Varnes, K.L., eds., 1996, 1995
National Assessment of United States Oil and Gas Resources Results,
methodology, and supporting data: U.S. Geological Survey Digital Data
Series DDS30, release 2, oneCD-ROM.
Abdul haris dkk, 2010. Evaluation of Coal Bed Mtehane Potential of Bentian Besar,
Kutei Basin. Proceeding Indonesian Petroleum Association, Thrty-Fourth
Annual IPA Convention & Exhibition,
Migas dan ADB, 2003, Daerah Penghasil Batu Bara di Indonesia, Direktorat batu
bara, Departemen Energi dan Sumber Daya Alam Daerah Penghasil Coal
Bed Mathane di Indonesia, Departemen Energi dan Sumber Daya Alam
Kuuskraa, V.A., and Brandenberg, C.F., 1989, Coalbed methane sparks a new energy
industry: Oil and Gas Journal, v. 87, no. 41, p. 4956.
Rice, D.D., 1997, Coalbed methaneAn untapped energy resource and an
environmental concern: U.S. Geological Survey Fact Sheet FS01997.
(Available only on the web at http://energy.usgs.gov/
factsheets/Coalbed/coalmeth.html)
Richard Tymotheus Purba, 2010. Predicting the Production Profile od Gas and
Water of Coal Bed Methane (CBM) Field Using Material Balance of Modified
G.R. Kings Iteration Procedure. Proceeding Indonesian Petroleum
Association, Thrty-Fourth Annual IPA Convention & Exhibition.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 9



KMP-2

PENERAPAN METODE CADZOW FI LTERI NG DAN R-G-B
BLENDI NG DALAM MENINGKATKAN KUALITAS DATA
SEISMIK UNTUK EKSPLORASI HIDROKARBON


Aldo Noviardo
1*
, Khairul Ummah
2*
, Bagus Sapto Mulyatno
3*

1
Mahasiswa Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Universitas Lampung, Jl Prof.
Dr. Sumantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung 35145
2
Chief Operating Officer PT WAVIV Technologies, Jl Bahureksa No.9 Bandung
40155
3
Dosen Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Universitas Lampung, Jl Prof. Dr.
Sumantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung 35145
*
Korespondensi Pembicara. Telepon: +62 817 6605501
Email: aldonoviardo@yahoo.co.id


ABSTRACT
Optimize and enhancement data seismic quality become main target in hydrocarbon
exploration using new idea and method. One of them is Cadzow filtering which
effective to reduce random noise. Cadzow filtering formed one dimension series of
seismic trace along frequency constant slice then it setted into hankel matrix.
Afterwards, it combinated with eigenimage filtering so that increase signal to noise
ratio which discreate fourier transform (DFT) process has important role. Processed
result data can be display as simultaneous analysis with three colour merged
frequency become one image based on spectral decomposition. That technique known
as R-G-B blending. Both of above methods may be an alternative way to get geology
subsurface information more accurately.


Keywords: Cadzow filtering, R-G-B blending, Signal to noise.


ABSTRAK
Optimalisasi dan peningkatan kualitas data seismik menjadi target utama dalam
eksplorasi hidrokarbon dengan menggunakan ide serta metode baru. Salah satunya
adalah Cadzow filtering yang efektif dalam mereduksi random noise. Cadzow
filtering membentuk deret satu dimensi dari tras seismik di sepanjang slice frekuensi
konstan lalu ditempatkan ke dalam suatu matriks hankel. Kemudian dikombinasikan
dengan eigenimage filtering sehingga meningkatkan rasio signal to noise dimana
proses discreate fourier transform (DFT) berperan penting. Data hasil pemrosesan
tersebut dapat ditampilkan secara analisis simultan dengan penggabungan tiga warna
frekuensi menjadi satu pencitraan berdasarkan dekomposisi spektral. Cara tersebut
dikenal sebagai R-G-B blending. Kedua metode di atas dapat menjadi alternatif untuk
mendapatkan informasi geologi bawah permukaan bumi yang lebih akurat.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 10




Kata Kunci: Cadzow filtering, R-G-B blending, Signal to noise.
Latar Belakang

Pertumbuhan masyarakat dunia yang pesat menyebabkan kebutuhan akan energi juga
ikut meningkat, terutama energi minyak dan gas bumi. Berbagai usaha dilakukan
manusia untuk memenuhinya, salah satunya dengan kegiatan eksplorasi daerah
prospek hidrokarbon yang baru. Dalam tahap ini, peranan metode geofisika terutama
metode seismik sangat penting karena dapat menggambarkan kondisi bawah
permukaan bumi. Namun, metode seismik tidak selalu dapat memberikan pencitraan
yang mendekati keadaan sebenarnya. Para geofisikawan seringkali dihadapkan
dengan struktur bumi yang sangat kompleks sehingga menjadi tantangan dalam
pengolahan dan interpretasi data seismik. Optimalisasi dan peningkatan kualitas data
menjadi target utama dengan menggunakan ide dan metode baru, agar didapatkan
informasi geologi bawah permukaan bumi yang lebih akurat. Salah satu metode baru
tersebut adalah Cadzow filtering.

James Cadzow (1988) mencetuskan ide untuk membuat series satu dimensi dari trace
seismik yang memiliki nilai di sepanjang slice frekuensi konstan (constant frequency
slice), ke dalam suatu matriks Hankel yang dikenal sebagai metode Cadzow filtering.
Kemudian Trickett (2003, 2009) mengembangkan matriks Hankel lain dari matriks
Hankel awal sehingga Cadzow filtering dapat juga diterapkan pada penampang
seismik dua dan tiga dimensi. Dalam beberapa kasus, Cadzow filtering dapat
memberikan peningkatan rasio S/N (signal to noise) yang signifikan dengan
menggunakan rank parameter. Semakin kompleks strukturnya, maka semakin besar
rank parameter yang digunakan.

Atribut seismik memiliki peranan penting setelah data diterapkan Cadzow filtering.
Penampang seismik yang masih dalam domain waktu terkadang belum dapat
memberikan informasi karena keterbatasan pada resolusi, maka atribut seismik
menjadi salah satu alternatif. Atribut seismik dapat ditampilkan dalam bentuk gambar
berwarna sesuai dengan tipe atributnya. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak
atribut seismik baru ditemukan sehingga sangat membantu dalam tahap interpretasi
data seismik. Salah satunya adalah analisis simultan dengan penggabungan tiga warna
frekuensi menjadi satu pencitraan berdasarkan dekomposisi spektral yang dikenal
sebagai R-G-B blending.


Isi Makalah

Seismik refleksi merupakan salah satu metode geofisika yang digunakan untuk
mengetahui keadaan di bawah permukaan bumi. Metode ini menggunakan gelombang
akustik yang dihasilkan oleh sumber gelombang (dapat berupa dinamit, vibroseis,
palu, airgun, dan lainnya) dan direkam oleh receiver (berupa geophone atau
hydrophone). Gelombang yang dihasilkan oleh source akan merambat ke segala arah,
termasuk kedalam bumi. Gelombang seismik akan membawa informasi mengenai
litologi dan fluida bawah permukaan dalam bentuk waktu rambat (travel time),
amplitudo refleksi, dan variasi fasa.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 11














Gambar 1. Prinsip Kerja Seismik Refleksi (Telford, 1990)

Cadzow filtering adalah suatu cara untuk meredam noise dan meningkatkan trace
strength yang dikemukakan oleh James Cadzow (1988). Metode lain yang memiliki
prinsip sama yaitu singular spectrum analysis yang ditemukan oleh Golyandina et al
(2001). Cadzow filtering membentuk deret satu dimensi dari tras seismik yang
memiliki nilai di sepanjang slice frekuensi konstan (c
i
, i = 1n dengan c adalah
constant frequency slice) ke dalam suatu matriks Hankel.






Gambar 2. Matriks Hankel

Trickett (2008) mengembangkan Cadzow filtering menjadi dua dimensi spasial
dengan cara membuat matriks Hankel lain dari matriks Hankel awal.






dimana







Gambar 3. Pengembangan Matriks Hankel

Dengan cara tersebut, Cadzow filtering dapat diterapkan untuk data dua dan tiga
dimensi, serta dapat dikombinasikan dengan eigenimage filtering menjadi hybrid
filtering. Secara umum, pemrosesan hybrid filtering adalah :
1. Membuat Discreate Fourier Transform (DFT) untuk setiap trace.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 12



2. Untuk setiap frekuensi dengan rentang sinyal band pass :
a. Tempatkan nilai trace kompleks ke dalam matriks Hankel.
b. Mereduksi matriks menjadi suatu rank k yang telah dibobotkan
eigenimage.
c. Recover setiap nilai trace dalam matriks Hankel dengan merata-
ratakan setiap element matriks sesuai dengan posisi awal
ditempatkan.
3. Membuat inverse DFT setiap tras seismik.

Cadzow filtering dapat dilakukan setelah koreksi NMO lalu distacking. Terlihat pada
data orisinal, kemenerusan lapisan yang tidak terlihat begitu detail sedangkan pada
penampang stack Cadzow filtering kemenerusan lapisan tersebut dapat terlihat lebih
mendetail.

















Gambar 4. Data Seismik Original

















Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 13




Gambar 5. Hasil Cadzow filtering
Berikutnya adalah menampilkan struktur kemenerusan lapisan tersebut dengan R-G-B
Blending. Penentuan input frekuensi dilihat berdasarkan spektrum frekuensi data
seismik. Nilai frekuensi rendah merupakan puncak pertama spektrum dan nilai
frekuensi tinggi merupakan puncak terakhir spektrum. Daerah memanjang berwarna
biru diperkirakan adalah channel. Channel merupakan daerah pengendapan
hidrokarbon yang berasosiasi dengan saluran sungai. Dibandingkan data orisinal, data
seismik Cadzow filtering menampilkan penyebaran frekuensi yang lebih smoothing
sehingga struktur terlihat lebih jelas.


















Gambar 6. R-G-B Blending Hasil Cadzow filtering


















Gambar 7. R-G-B Blending Hasil Cadzow filtering
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 14



Kesimpulan dan Saran

Penerapan Cadzow filtering serta R-G-B Blending dapat menjadi salah satu solusi
dalam meningkatkan kualitas data seismik karena menampilkan resolusi cukup lebih
baik daripada data seismik orisinal. Jika ingin melakukan karakterisasi yang lebih
baik, maka perlu dilakukan integrasi dengan data sumur.


Daftar Pustaka

Cadzow, J., 1988. Signal Enhancement A Composite Property Mapping Algorithm:
IEEE Transactions on Acoustics, Speech and Signal Processing, 36, 49-62.
De Bruin, Geert., et all. 2010. Training Manual. dGB Earth Sciences B.V.
Netherlands
Telford, W.M, Geldart, L.P, Sheriff, R.E, 1976. Applied Geophysics, New York:
Cambridge University Press.
Trickett, S. R. 2003. F-xy eigenimage noise suppression : Geophysics, 68, 751759.
Trickett, S., 2009. Prestack Rank Reduction - Based Noise Suppression: CSEG
Recorder, November, 24-31.
Trickett, S. R., L. Burroughs, A. Milton, L. Walton, and R. Dack. 2010. Rank-
reduction-based trace interpolation : SEG, Expanded Abstracts, 30, 38293833.




Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 15
KMP-3

Faktor-faktor penentu dalam Penerapan Green Supply Chain
Management: Perspektif Budaya dan Teori Institusi


Imam Baihaqi*, Rici Cakra Perwira
Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
*Korespondensi Pembicara: +62 31 5939361 Fax +62 31 5939362
Email: ibaihaqi@ie.its.ac.id
ABSTRAK
Berkurangnya cadangan energy tak terbarukan serta meningkatnya dampak negative dari
industri menyebabkan meningkatkan perhatian berbagai kalangan akan praktek bisnis
yang ramah lingkungan. Green supply chain management (GSCM) menekankan
pentingnya kerjasama suatu perusahaan dengan seluruh partner rantai pasoknya dalam
rangka terjaganya praktek-praktek bisnis yang ramah lingkungan. Menggunakan
Institutional Theory, paper ini menganalisis pengaruh budaya perusahaan dan intuitional
pressure dalam penerapan praktek-praktek GSCM serta dampaknya terhadap kinerja
perusahaan di industry manufaktur. Data diperoleh dari hasil survey perusahaan pada
industri manufaktur di Jawa Timur. Analisis dilakukan dengan menggunakan Structural
Equation Modeling (SEM) dan didapatkan bahwa institutional pressure, budaya
perusahaan dan komitmen pimpinan berkorelasi positif pada penerapan GSCM.
Disamping itu, analisa juga menunjukkan bahwa penerapan GSCM mempunyai pengaruh
yang positif pada kinerja perusahaan.

Kewords: green supply chain management, sustainable manufacturing, structured
equation modeling
1. PENDAHULUAN
Kesadaran masyarakat akan isu-isu lingkungan akhir-akhir ini semakin meningkat.
Masyarakat dari berbagai kelompok mulai sadar akan dampak negatif dari pengelolaan
lingkungan yang buruk terhadap keberlangsungnan kehidupan manusia. Dunia industry
sudah dihadapkan pada berbagai hal yang berhubungan dengan lingkungan, misalnya
berkurangnya cadangan energy yang dapat mengakibatkan semakin tingginya ongkos
operasi. Masyarakat konsumenpun dewasa ini sudah mulai menuntut agar produk yang
dibeli dihasilkan oleh suatu sistem produksi yang ramah lingkungan (green production).
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 16
International Organization for Standardization (ISO) telah lama mengeluarkan
ISO14000 yang merupakan pedoman praktis bagi perusahaan bagaimana meminimalkan
efek negatif dari operasi usaha dan melakukan perbaikan berkelanjutan dalam
pengelolaan lingkungan (International Organization for Standardization, 2004). Berbagai
negara bahkan banyak yang mengeluarkan peraturan yang ketat akan dampak lingkungan
dari operasi perusahaan. Bahkan, dalam perdagangan internasional, compliance terhadap
ISO 14000 merupakan suatu prasyarat untuk masuk dalam persaingan (misalnya menjadi
pemasok dari perusahaan besar). Akibatnya, dewasa ini banyak perusahaan telah
menjadikan isu pengelolaan lingkungan sebagai suatu isu yang strategis. Zhu, Sarkis,d an
Gend (2005) menegaskan bahwa kesuksesan dalam mengelola lingkungan dapat
meningkatkan keunggulan bersaing dan membuka cara baru dalam meningkatkan nilai
tambah dari usaha inti.
Dalam konsep Supply Chain Management (SCM), keberhasilan suatu entitas perusahaan
tidak terlebas dari bagaimana perusahaan tersebut mengelola hubungan usahanya dengan
pemasok maupun pembeli (Cooper, Lambert, & Pagh, 1997). Ross (1998) mengatakan
bahwa persaingan dewasa ini bukanlah antar perusahaan tetapi antar supply chain (rantai
pasok). Mereka yang dapat mengelola rantai pasoknya secara efektif dan efisianlah yang
dapat memenangkan persaingan. SCM sendiri didefinisikan sebagai perencanaan dan
pengelolaan seluruh aktivitas mulai dari pengadaan, pembelian, produksi, dan seluruh
aktivitas logistik serta mengkoordinasikan/mengintegrasikannya dengan seluruh
perusahaan yang terlibat dalam pemenuhan kebutuhan konsumen akan barang/jasa mulai
dari bahan baku sampai pada pengiriman barang ke konsumen akhir (Cooper, et al., 1997;
Li, Ragu-Nathan, Ragu-Nathan, & Subba Rao, 2006; Mentzer et al., 2001). Tujuan utama
dari SCM adalah untuk meningkatkan kinerja suatu perusahaan dan juga seluruh mitra
usahanya (Li, et al., 2006). Berdasarkan pada konsep SCM ini, maka ramah tidaknya
aktivitas perusahaan terhadap lingkungan juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas
perusahaan lain dalam seluruh rantai pasok. Untuk itulah muncul konsep untuk
mengintegrasikan praktek ramah lingkungan kedalam SCM. Konsep ini kemudian
dikenal sebagai Green Supply Chain Management (GSCM). GSCM muncul sebagai
suatu pendekatan baru bagi perusahaan untuk meningkatkan keuntungan dan pangsa
pasar dengan menurunkan dampak negative pada lingkungan serta meningkatkan
efisiensi (Zhu, et al., 2005). GSCM menjanjikan efisiensi dan sinergi antara rekan bisnis
dan korporat, membantu meningkatkan performansi lingkungan, meminimalis waste dan
menghemat biaya yang muncul (Bowen, Cousins, Lamming, & Faruk, 2001).
Beberapa penelitian telah dilakukan pada berbagai isu yang berkaitan dengan
implementasi GSCM. Misalnya, Bowen (2001) menyimpulkan bahwa kemampuan
perusahaan dalam kemampuan dalam mengelola rantai pasok mempunyai korelasi yang
positif dengan tingkat proaktif perusahaan dalam mengelola lingkungannya. Penilitian
Rao dan Holt (2005) menyimpulkan bahwa praktek-praktek GSCM dapat meningkatkan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 17
daya saing dan memberikan manfaat ekonomi pada perusahaan. Namun demikian,
penerapan GSCM lebih banyak dianggap sebagai biaya karena keuntungan yang
diberikan tidaklah secara langsung (Lee, 2008). Untuk itu perlu dilakukan lebih banyak
kajian tentang berbagai aspek yang dapat mendorong perusahaan untuk melakukan
investasi pada GSCM (Sarkis, Zhu, & Lai, 2011).
Sebagaimana yang disarankan oleh (Sarkis, et al., 2011), paper ini mengkaji faktor-faktor
yang mendorong perusahaan menerapkan GSCM. Serupa dengan Cai et al. (2008), paper
ini menggunakan teori institusi (DiMaggio & Powell, 1983) untuk mengevaluasi
bagaimana peran tekanan eksternal dalam penerapan GSCM. Menurut teori institusi,
perusahaan menerapkan suatu praktek pengelolaan perusahaan karena ada tekanan dari
lingkungan dimana perusahaan itu berapa. Berbeda dengan (Cai, et al., 2008), paper ini
juga mengevaluasi bagaimana pengaruh internal perusahaan, dalam hal ini budaya, pada
penerapan GSCM.
2. KERANGKA TEORITIS
Sebagaimana disebutkan diatas, paper ini mengidentifikasi dan mengevaluasi tiga aspek
yang mendorong perusahaan menerapkan GSCM: tekanan institusi eksternal dan budaya
perusahaan (lihat gambar 1). Hal ini sesuai yang disarankan oleh Sarkis (2011) tentang
perlunya riset yang menggabungkan pengaruh tekanan institusi external dengan faktor
internal perusahaan (budaya dan dukungan manajemen puncak).

Gambar 1. Model Teoritis
Teori institusi (DiMaggio & Powell, 1983) menyatakan bahwa suatu organisasi adalah
bagian dari jaringan socio-economy yang menerima tekanan dari lingkungan atau
jaringan socio-econominya untuk berperilaku sesuasi dengan norma-norma yang ada di
lingkungannya. Karena perusahaan ingin menjaga keberlangsungannya, maka ia akan
berusaha mengikuti (isomorphic pressure) apa yang telah menjadi norma atau kebiasaan
Tekanan
Institusi
Praktek
GSCM
Kinerja
Perusahaan
Budaya
H1
H2
H3
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 18
dalam lingkungan institusinya. Ada tiga macam tekanan isomorphic pressure ini yakni:
coercive, normative dan mimetic pressure. Tekanan coercive adalah tekanan untuk harus
mengikuti aturan atau perilaku yang ada dalam lingkungan tertentu. Misalnya pasar
export atau peraturan pemerintah mewajibkan perusahaan exportir untuk memiliki
sertifikasi ISO 14000. Normative pressure adalah tekanan yang berasal dari norma-norma
yang berlaku didalam suatu lingkungan. Misalnya konsumen lebih menyukai produk-
produk yang ramah lingkungan membuat perusahaan berupaya membuat produknya
ramah lingkungan. Sedangkan mimetic pressure adalah suatu usaha untuk meniru apa
yang sudah diterapkan oleh organisasi lain dalam lingkungan social-economy tertentu.
Budaya perusahaan dapat didefinisikan sebagai kumpulan norma, kepercayaan, nilai-nilai
yang diakui secara kolektif dan terefleksikan dalam bagaimana perusahaan beroperasi
(Liu, Ke, Wei, Gu, & Chen, 2010). Secara umum, budaya perusahaan juga bisa
definisikan sebagai cara atau kebiasaan anggota perusahaan melakukan berbagai
kegiatan. Sudah barang tentu, Berbagai penelitian menyebutkan bahwa budaya organisasi
sangat berpengaruh terhadap kesuksesan penerapan suatu praktek manajemen baru seperti
GSCM dalam perusahaan.
Berdasarkan pada teori tersebut diatas, maka disusun beberapa hipotesis berikut:
H1: Tekanan institusi berpengaruh positif pada penerapan GSCM
H2: Budaya organisasi berpengaruh positif pada penarapan GSCM
H3: Penerapan GSCM berkorelasi positif pada kinerja perusahaan.
3. METODOLOGI
3.1. Pengumpulan data dan skala pengukuran
Data dikumpulkan melalui survey dengan kuessioner yang disebarkan pada 100
perusahan yang tersebar diseluruh Jawa Timur. Berdasarkan data, respondent yang
menjawab pertanyaan kuessioner adalah pimpinan perusahaan, sehingga data yang
terkumpul bisa dipertanggung jawabkan. Distribusi jenis industry dari respondent adalah
sebagai berikut:
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 19

Tabel 1. Penyebaran Respondent Berdasarkan Jenis Industri
Kuesioner dibuat dengan menggunakan skala pengukuran yang telah dipakai dan teruji
dalam literature. Skala pengukuran untuk praktek GSCM di adopsi dari Paulraj (2011)
yang terdiri dari: Enviropreunership, Supplier Selection, Enviromental Collaboration,
dan Supplier Evaluation. Untuk skala budaya diadopsi dari Lieu, et al. (2010) yang terdiri
dari: kemantapan, inovasi, dan kepercayaan. Sedangkan skala ukuran kinerja perusahaan
diadopsi dari Li, et al. (2006)
3.2. Pengolahan data
Data yang dikumpulkan kemudian diuji kesesuaian terhadap asumsi normality dan
linearity. Selanjutnya kemudian uji validiatas dan reliabilitas dari masin-masing skala
pengukuran (tekanan institusi, budaya, praktek GSCM dan kinerja perusahaan). Sejalan
dengan rekomendasi Ahire dan Devaraj (2001) uji validitas dilakukan melalui
exploratory factor analysis dengan varimax rotation. Hasil analisis menujukkan bahwa
semua dimensi skala pengukuran adalah valid dan sesuai dengan apa yang diinginkan.
Selanjutnya setiap dimensi pengurkuan dilakuakn uji reliabliitas menggunakan
Cronbachs Alpha. Dari hasil pengolahan data didapat bahwa semua dimensi pengukuran
mempunyai nilai Cronbachs Alpha diatas 0.6.
Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas maka seluruh data kemudian diolah
menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) menggunakan software AMOS.
Hasil dari SEM ini yang akan dipakai untuk menguji hipotesa.
4. HASIL ANALISIS
Hasil pengolahan data dengan SEM menunjukkan bahwa semua hipotesis terbukti
didukung oleh data secara significant dengan besaran nilai koefision bervariasi (lihat
gambar 2). Koefisien terbesar tampak pada hubungan antara: (1) tekanan institusi dan
Praktek GSCM dan (2) Praktek GSCM dan kinerja perusahaan. Sedangkan Budaya
Perusahaan bergerak di bidang Jumlah Responden Persentase (%)
Energi 6 6%
Elektrikal 5 5%
Elektronik dan household 10 10%
Kayu & hasil olah bumi 2 2%
Makanan, minuman & tembakau 32 32%
Kimia & produk kimia 9 9%
Baja metal & produk besi 7 7%
Aluminum, kaca, &pipa 2 2%
Kontruksi 6 6%
Rubber 4 4%
kertas & bahan kertas 3 3%
Permesinan 8 8%
Tekstil 4 4%
Peralatan transportasi 2 2%
Total 100 100%
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 20
perusahaan, meskipun significant, tetapi memiliki nilai koefesian yang lebih dari separo
kedua koefisien sebelumnya.

Gambar 2. Path Diagram
Dari analisa terhadap data menunjukkan bahwa tekanan institusi sangat berpengaruh
terhadap penerapan praktek-praktek GSCM dalam perusahaan. Hal ini menunjukkan
bahwa alasan perusahaan untuk menerapkan GSCM lebih banyak karena kebutuhan akan
legitimacy dari lingkungan sosio-ekonominya. Tekanan instusional ini dapat berupa
diantaranya: aturan pemerintah, permintaan organisasi lain, keinginan konsumen, dan
norma yang berlaku dilingkungan dimana usaha berdiri. Hasil ini mengkonfirmasi
penelitian-penilitian lain yang berkaitan dengan teori institusi.
Dibadingkan dengan tekanan institusi, data analysis menunjukkan bahwa faktor budaya
perusahaan mempunyai pengaruh lebih kecil terhadap penerapan praktek-praktek GSCM
dalam persusahaan. Namun demikin, hasil yang significant ini juga menunjukkan peran
besar budaya perusahaan dalam penerapan praktek-praktek GSCM. Budaya yang tidak
fleksibel dan tidak inovatif tentu akan memperlambat kesuksesan penerapan praktek-
praktek GSCM.
Analisis SEM terhadap data juga menunjukkan hal yang menarik dimana penerapan
GSCM yang baik akan berakibat pada peningkatan kinerja perusahaan. Hasil ini
diharapkan dapat menjadikan daya dorong baru bagi perusahaan dalam menerapkan
GSCM selain budaya dan tekanan institusi luar.
5. KESIMPULAN
Paper ini telah memaparkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan GSCM.
Dengan mendasarkan pada teori institusi, paper ini mencoba mengidentifikasi peran
tekanan institusi atau isomorphic pressure dan budaya pada penerapan praktek-praktek
Tekanan
Institusi
Praktek
GSCM
Kinerja
Perusahaan
Budaya
0.543*
0.228*
0.597
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 21
GSCM perusahaan. Dengan menggunakan data dari survey, paper membuktikan bahwa
kedua faktor tersebut diatas sangat menentukan dalam penerapan praktek-praktek GSCM.
Namun demikian penelitian ini belum melihat bagaimana pengaruh interaksi budaya dan
tekanan institusi terhadap praktek-praktek GSCM. Menarik pula untuk diteliti lebih
lanjut, peranan budaya sebagai moderator (moderating variable) terhadap hubungan
antara tekanan institusi dan praktek GSCM.
6. DAFTAR PUSTAKA

Ahire, S. L., & Devaraj, S. (2001). An Empirical Comparison of Statistical
Construct Validation Approaches. IEEE Transactions on Engineering
Management, 48(3), 319-329.
Bowen, F. E., Cousins, P. D., Lamming, R. C., & Faruk, A. C. (2001). The role of
supply management capabilities in green supply chain. Production and
Operations Management, 10(2), 174-189.
Cai, S., De Souza, R., Goh, M., Li, W., Lu, Q., & Sundarakani, B. (2008). The
adoption of green supply chain strategy: An institutional perspective. Paper
presented at the 4th IEEE International Conference on Management of
Innovation and Technology, 2008. ICMIT 2008. .
Cooper, M. C., Lambert, D. M., & Pagh, J. D. (1997). Supply Chain Management:
More Than a New Name for Logistics. The International Journal of
Logistics Management, 8(1), 1-14.
DiMaggio, P. J., & Powell, W. W. (1983). The Iron Cage Revisited: Institutional
Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields. American
Sociological Review, 48(2), 147-160.
International Organization for Standardization. (2004). ISO 14000 -
Environmental management. Retrieved 11 July 2012, 2012, from
http://www.iso.org/iso/iso14000
Lee, S.-Y. (2008). Drivers for the participation of small and medium-sized
suppliers in green supply chain initiatives. Supply Chain Management: An
International Journal, 13(3), 185-198.
Li, S., Ragu-Nathan, B., Ragu-Nathan, T. S., & Subba Rao, S. (2006). The impact
of supply chain management practices on competitive advantage and
organizational performance. Omega, 34(2), 107-124.
Liu, H., Ke, W., Wei, K. K., Gu, J., & Chen, H. (2010). The role of institutional
pressures and organizational culture in the firm's intention to adopt internet-
enabled supply chain management systems. Journal of Operations
Management, 28(5), 372-384.
Mentzer, J. T., DeWitt, W., Keebler, J. S., Min, S., Nix, N. W., Smith, C. D., et al.
(2001). Defining supply chain management. Journal of Business Logistics,
22(2), 1-25.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 22
Paulraj, A. (2011). Understanding The Relationships Between Internal Resources
And Capabilities, Sustainable Supply Management And Organizational
Sustainability. Journal of Supply Chain Management, 47(1), 19-37.
Rao, P., & Holt, D. (2005). Do green supply chains lead to competitiveness and
economic performance? International Journal of Operations & Production
Management, 25(9), 898-916.
Ross, D. F. (1998). Competing through supply chain management: creating
market-winning strategies through supply chain partnerships. New York:
Chapman & Hall.
Sarkis, J., Zhu, Q., & Lai, K.-h. (2011). An organizational theoretic review of
green supply chain management literature. International Journal of
Production Economics, 130(1), 1-15.
Zhu, Q., Sarkis, J., & Geng, Y. (2005). Green supply chain management in China:
pressures, practices and performance. International Journal of Operations
& Production Management, 25(5), 449-468.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 23
KMP-4

PENGARUH UKURAN DAN WAKTU PERENDAMAN
BATUBARA DALAM DIMETIL ETER TERHADAP FREE
MOI STURE BATUBARA MUSI BANYUASIN


Dzuhazhzhin Azhim
1*
, Dian Y. Sari
1
, David Bahrin
2
, M. Faizal
2
, Trisaksono B.
Priambodo
3
1
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jl. Raya
Inderalaya Km.32, Inderalaya
2
Dosen Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jl. RayaInderalaya
Km.32, Inderalaya
3
Balai Besar Teknologi Energi BPPT, Serpong, Tangerang
*
Email : dzuhazhin@gmail.com


ABSTRAK
Kualitas batubara dapat diukur dari parameter kandungan air dan nilai
kalornya. Salah satu metode yang efisien, dan realtif murah yang dapat digunakan
untuk mengurangi kandungan air adalah substitusi pelarut dengan menggunakan
teknologi coal dewatering. Pelarut yang digunakan adalah Dimetil Eter (DME). DME
dapat melarutkan air sebanyak 7% dari beratnya pada temperatur kamar. Perendaman
batubara di dalam DME dilakukan selama 10 menit, 20 menit, dan 30 menit dengan
variasi ukuran -4 mesh, +4-8 mesh, +8-16 mesh, +16-60 mesh, dan +60
mesh.Berdasarkan hasil penelitian, seiring lamanya perendaman batubara di dalam
DME, kandungan airnya akan semakin kecil. Semakin kecil ukuran batubara,
kandungan air akan semakin berkurang hingga mencapai ukuran maksimumnya yaitu
+4-8 mesh mm. Kondisi optimal dapat dicapai pada batubara dengan ukuran +4-8
mesh (3,57 mm) dengan massa 75 gram yang direndam selama 30 menit, dimana
pengurangan air bebasnya mencapai 6,91% . Metode ini dapat meningkatkan
peringkat batubara Musi Banyuasin dari peringkat lignite hingga menjadi
subbituminous.


Kata kunci : batubara, coal dewatering, dimetil eter, substitusi pelarut.

1. PENDAHULUAN
Dari segi kuantitas, batubara merupakan salah satu cadangan energi fosil
terbanyak bagi Indonesia. Cadangan batubara di Indonesia sebanyak 105,187 miliar
ton. Provinsi Sumatera Selatan memiliki cadangan batubara terbesar untuk wilayah
Sumatera yaitu mencapai 80 % dari cadangan sumber batubara di pulau Sumatera dan
sekitar 48% dari sumberdaya batubara Indonesia, (Tribun Sumsel, 2012). Dari
cadangan batubara di Indonesia tersebut, mayoritas berupa lignite yang mencapai
59%.
Lignite merupakan batubara yang memiliki kadar air yang sangat tinggi (di atas
30%) dan nilai bakar di bawah 5.000 kcal/kg. Hal inilah yang menyebabkan nilai jual
batubara muda dari Indonesia sangat rendah. Akan tetapi umumnya mempunyai
kandungan abu dan sulfur yang rendah. Karena itu apabila nilai kalornya dapat
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 24
ditingkatkan dengan memanfaatkan teknologi tertentu yang dapat mengurangi jumlah
kandungan airnya secara signifikan, batubara jenis ini akan sangat diminati pasar
karena termasuk katagori batubara yang bersih.
Agar dapat memanfaatkan potensi batubara di Indonesia secara maksimal, perlu
dikembangkan teknologi untuk meng-upgrade batubara tersebut. Terutama dalam
penghilangan kandungan air (moisture) di dalam batubara sehingga dapat
meningkatkan nilai kalor batubara yaitu coal dewatering. Maka dari itu, perlu
dikembangkan teknologi yang lebih murah, tidak membutuhkan energi yang begitu
besar, tidak merusak batubara itu sendiri dan juga ramah lingkungan.
Pada batubara terdapat 2 (dua) jenis moisture, surface moisture (air permukaan
atau air eksternal) dan inherent moisture (air tertambat atau air internal). Air
permukaan atau eksternal merupakan air yang menempel pada permukaan batubara
(Sukandarrumidi, 2006). Sejauh ini, pengurangan kadar air pada batubara banyak
dilakukan melalui proses pengeringan dengan pemanasan. Namun metode tersebut
membutuhkan energi yang cukup besar dan biaya mahal. Maka dari itu, perlu
dikembangkan metode lainnya yang lebih efesien dan relatif murah.
Ketika air dalam batubara dilarutkan dalam suatu pelarut, kemudian air dan
pelarut dipisahkan melalui distilasi misalnya, dan kemudian air dihilangkan, maka
proses ini disebut dengan substitusi pelarut (solvent substitution). Cara ini termasuk
dalam metode non evaporasi. Dari sisi seperti tingkat keterlarutan air pada pelarut,
kemudahan kondisi pemisahan pelarut dengan air, dan lain-lainnya, maka hal yang
sangat penting pada metode ini adalah bagaimana memilih pelarut yang tepat
(Budiraharjo, 2011). Dimetil eter (DME) adalah pelarut yang dapat digunakan pada
metode subtitusi pelarut, karena zat ini berbentuk gas pada suhu dan tekanan normal,
memiliki titik didih sebesar -25C sehingga hanya memerlukan sedikit energi untuk
penguapannnya, serta DME cair adalah zat yang mudah larut dalam air. Selain itu,
DME juga merupakan bahan bakar yang bersifat aman seperti tidak beracun misalnya,
sehingga tidak bermasalah bila tertinggal dan menempel pada batubara (Kanda dkk,
2008).
DME dapat menghilangkan air dengan cara melarutkan air yang ada di pori-pori
batubara. Jika dikontakkan dengan batubara, DME akan mengalir ke pori-pori
batubara dan menyerap air dan keluar dari batubara dengan membawa air. DME pada
suhu normal akan menguap sehingga tidak sulit dipisahkan dari batubara. Kanda dkk,
2009 dalam penelitiannya menggunakan batubara yang berasal dari Warra, Indonesia
dengan memvariasikan waktu kontak batubara dengan DME pada rentang waktu 500,
1000, 1500, 2500dan 3000 detik, dengan ukuran sampel 0,85 2,8 mm siklus tertutup
dimana DME dapat digunakan kembali. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
DME dapat melarutkan 7-8% berat air bebas dalam batubara secara optimum.
Sedangkan penelitian ini menggunakan batubara jenis lignit yang berasal dari Musi
Banyuasin, Indonesia dengan memvariasikan ukuran dan waktu perendaman batubara
dalam DME dan menggunakan sistem terbuka dimana DME langsung dibuang.
Batubara Sumatera Selatan, khususnya yang berasal dari Musi Banyuasin merupakan
batubara muda yang memiliki kandungan air yang tinggi, sehingga nilai kalornya
sangat rendah. Maka dengan penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai kalor
batubara tersebut.
Parameter yang diteliti adalah ukuran sampel batubara dan waktu perendaman
batubara. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh ukuran sampel
batubara dan waktu perendaman batubara terhadap kandungan air bebas (free
moisture) dalam batubara Musi Banyuasin. Maka didapatkan ukuran dan waktu
perendaman batubara yang optimal untuk mengurangi kandungan air bebas batubara.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 25
Penurunan kandungan air batubara secara tidak langsung mampu menaikkan nilai
kalor dari batubara sehingga dapat meningkatkan peringkat batubara tersebut.

2. BAHAN, ALAT DAN METODE ANALISA
Bahan yang digunakan :
1. Batubara lignite, dari Musi Banyuasin
2. Dimetil Eter

Alat yang digunakan :
1. Coal Dewatering Apparatus
2. Ayakan Standar ASTM
3. Neraca analitis
4. Oven
5. Penggerus Batubara
6. Kasa












Gambar 1. Coal Dewatering Apparatus

Keterangan gambar :
1. Tabung DME
2. Kolom absorbsi
3. Keluaran Batubara
4. DME Drain Out
5. Pengukur Tekanan/Pressure Gauge
6. Pengukur Level DME dalam kolom absorbsi

Metode Analisa :
1. Analisa free moisture menggunakan Teknik Analisa Gravimetri Berdasarkan
Metode ASTM D 3174 03 (Reapproved 2008), menggunakan alat oven
pengering
2. Analisa nilai kalor menggunakan Teknik Analisa Isopentol Berdasarkan
Metode ASTM D 5865 04. 2006, menggunakan alat bom kalorimeter

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisa Awal Batubara Sungai Lilin, Musi Banyuasin
Tabel 1.
Hasil Analisa Awal Batubara Sungai Lilin Musi Banyuasin
1
3
2
4
5
6
\\
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 26
Parameter Nilai
Kandungan free moisture (% gr) 28,85 %
Nilai kalor (cal/gr) 4287 kal/gr
Hasil analisa di Laboraturium dan Peralatan Eksplorasi, Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera
Selatan, 2012
Hasil Analisa Penelitian
Hasil penelitian ini dianalisa untuk mengetahui pengaruh ukuran batubara dan
waktu perendaman dimetil eter terhadap kualitas batubara. Berikut data hasil
pengamatan di Laboraturium dan Peralatan Eksplorasi Dinas Pertambangan dan
Energi Sumatera Selatan,dari penelitian yang telah dilakukan. Hasil pengamatan
meliputi free moisture dan nilai kalor yang terkandung dalam batubara.

Tabel 2.
Hasil Analisa Kualitas Batubara

No. Ukuran (mesh)
Massa
(gr)
Waktu
Perendaman
(menit)
Free Moisture
(% gr)
Nilai Kalor
(cal/g)
1
-4
(4,76 mm)

75

10 26.71 4445
2 20 25.09 4616
3 30 22.7 4734
4
150

10 27.35 4460
5 20 26.4 4504
6 30 26.17 4517
7
+4-8
(2,38 - 4,76 mm)

75

10 25.55 4592
8 20 23.4 4674
9 30 21.94 4778
10
150
10 24.22 4634
11 20 24.04 4637
12 30 22.93 4673
13
+8-16
(1,19 - 2,38 mm)

75

10 24.28 4616
14 20 23.46 4680
15 30 22.48 4694
16
150

10 28.7 4408
17 20 24.08 4711
18 30 23.48 4730
19
+16-60
(0,25 - 1,19 mm)

75

10 26.2 4568
20 20 25.55 4588
21 30 23.74 4620
22 150 10 26.92 4462
No. Ukuran (mesh)
Massa
(gr)
Waktu
Perendaman
(menit)
Free Moisture
(% gr)
Nilai Kalor
(cal/g)
23 +16-60
(0,25 - 1,19 mm)
150
20 25.86 4522
24 30 25.71 4562
25
+60
( 0,25 mm)

75

10 28.08 4406
26 20 24.3 4457
27 30 23.92 4679
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 27
28
150
10 27 4420
29 20 26.85 4450
30 30 26.82 4472
Hasil analisa di Laboraturium dan Peralatan Eksplorasi, Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera
Selatan, 2012

Pengaruh Ukuran dan Waktu Perendaman Batubara dalam Dimetil Eter
Terhadap Kandungan Free Moisture-nya


Gambar 2. Pengaruh ukuran dan waktu perendaman batubara dalam dimetil eter
terhadap free moisture dengan massa sampel 75 gram.

Pada Gambar 2 memperlihatkan pengaruh ukuran batubara terhadap free moisture
ialah semakin kecil ukuran batubara semakin rendah free moisture, tetapi ketika
mencapai titik optimum, free moisture batubara kembali naik. Penyerapan optimal
untuk waktu rendam 10 menit terjadi pada sampel dengan ukuran -8+16 (1,19 - 2,38
mm), sedangkan untuk waktu rendam 20 menit dan 30 menit terjadi pada sampel
dengan ukuran -4+8 mesh (2,38 - 4,76 mm).
Pada Gambar 2 juga menunjukkan hubungan pengaruh waktu perendaman
batubara dalam dimetil eter terhadap free moisture dari batubara untuk sampel dengan
massa 75 gr. Pada gambar 2 terlihat bahwa nilai free moisture semakin menurun
seiring makin lamanya waktu perendaman untuk semua ukuran sampel. Kandungan
free moisture menunjukkan peringkat batubara, semakin rendah free moisture maka
peringkat batubara akan meningkat. Dari data yang didapat, dapat dikatakan bahwa
pengurangan free moisture mencapai 7% (paling optimal) pada batubara dengan
ukuran -4+8 mesh (2,38 - 4,76 mm) dengan waktu perendaman 30 menit (21,94%).
Pengurangan optimal ini sesuai dengan riset yang dilakukan Kanda dkk pada tahun
2009 (7-8%).
Pada perendaman 20 menit dengan ukuran -4 mesh (< 0,25 mm), terjadi
penurunan free moisture, padahal seharusnya didapatkan kandungan air yang juga
meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh ukuran batubara yang seperti bubuk (< 0,25
mm). Ketika pengisian DME ke dalam reaktor, tekanan harus dijaga dengan cara
membuka keran (valve) untuk mengeluarkan DME sedikit demi sedikit hingga
mencapai volume yang telah ditentukan (sampel terendam sepenuhnya). Saat
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
0 1 2 3 4 5
F
r
e
e

M
o
i
s
t
u
r
e

(
%
g
r
)

Ukuran Batubara (mesh)
10 menit
20 menit
30 menit
-4 +4-8 +8-16 +16-60 +60
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 28
pengeluaran DME inilah sampel batubara yang halus ini ikut keluar dari reaktor,
sehingga massa sampel akan berkurang. Hal ini menyebabkan semakin besar
kemampuan DME untuk menyerap air dari batubara akibat pengurangan sampel
tersebut dan air yang terserap akan lebih banyak.


Gambar 3.Pengaruh ukuran dan waktu perendaman batubara dalam dimetil eter
terhadap kandungan free moisture dengan massa sampel 150 gram.

Pada gambar 3 menunjukkan hubungan pengaruh ukuran dan waktu perendaman
batubara dalam dimetil eter terhadap free moisture dari batubara untuk sampel dengan
massa 150 gr. Secara keseluruhan kandungan free moisture batubara menurun seiring
lamanya waktu perendaman batubara dalam dimetil eter, sama seperti yang
ditampilkan pada Gambar 2. Jika dibandingkan terhadap perendaman dengan massa
75 gram, perendaman dengan massa 150 gram lebih sedikit pengurangan air
tertambatnya. Dengan kata lain, perbedaan massa dapat mempengaruhi penurunan
kandungan free moisture. Hal ini disebabkan karena berkurangnya kemampuan DME
untuk melarutkan air seiring bertambahnya massa sampel yang direndam, sedangkan
volume DME yang digunakan tetap, baik pada massa sampel 75 gram maupun 150
gram, sehingga penurunan free moisturebatubara untuk massa 75 gram lebih optimal
dibandingkan dengan menggunakan massa 150 gram.
Untuk pengaruh ukuran batubara, hal yang sama juga didapat pada massa 150
gram. Free moisture berkurang seiring semakin kecilnya ukuran batubara hingga
mencapai ukuran optimalnya, free moisture kembali meningkat. Penyerapan optimal
terjadi pada ukuran sampel -4+8 mesh (2,38 - 4,76 mm) untuk masing-masing waktu
perendaman.
Pengurangan kandungan air yang berbeda ini dapat dipengaruhi oleh keseragaman
ukuran untuk masing-masing ukuran tidak sama (heterogen) sehingga menyebabkan
tidak optimalnya pelarutan air oleh dimetil eter (sumbernya). Pada umumnya,
penurunan free moisture optimal terjadi pada ukuran sampel 4+8 mesh (2,38 - 4,76
mm), ketika ukurannya semakin kecil, free moisture semakin meningkat. Hal ini dapat
terjadi karena semakin kecilnya ukuran partikel batubara, maka semakin besar luar
permukaannya, dan ini akan mengakibatkan semakin tinggi free moisture, hal ini
menyebabkan kemampuan DME untuk melarutkan akan semakin berkurang karena
DME ikut melarutkan free moisture yang bertambah (Kanda dkk, 2009).
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
0 1 2 3 4 5
F
r
e
e

M
o
i
s
t
u
r
e

(
%
g
r
)

Ukuran Batubara (mesh)
10 menit
20 menit
30 menit
-4 +4-8 +8-16 +16-60 +60
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 29
.
Pengaruh Ukuran dan Waktu Perendaman Batubara Dalam Dimetil Eter
Terhadap Nilai Kalor


Gambar 4. Pengaruh ukuran dan waktu perendaman batubara dalam dimetil eter
terhadap nilai kalor dengan massa sampel 75 gram.
Pada Gambar 4 menunjukkan hubungan antara pengaruh ukuran dan waktu
perendaman batubara dalam dimetil eter terhadap nilai kalor dari batubara untuk
sampel dengan massa 75 gram. Pada gambar 4terlihat bahwa nilai kalor semakin
meningkat seiring makin lamanya waktu perendaman untuk semua ukuran sampel.
Peningkatan nilai kalor ini disebabkan oleh pengurangan air tertambat batubara yang
meningkat seiring lamanya waktu perendaman. Peningkatan nilai kalor batubara
paling optimal pada sampel 75 gram yaitu mencapai 491 cal/gr (dari 4287 menjadi
4778 cal/gr)pada ukuran -4+8 mesh (2,38 - 4,76 mm) dengan waktu perendaman 30
menit.
Pengaruh ukuran batubara terhadap nilai kalor dengan massa 75 gram ialah
semakin kecil ukuran batubara semakin tinggi nilai kalornya, tetapi ketika mencapai
titik optimum, nilai kalor batubara kembali turun. Peningkatan nilai kalor optimal
untuk waktu rendam 10 menit dan 20 menit terjadi pada sampel dengan ukuran -8+16
mesh (1,19 - 2,38 mm) sedangkan untuk waktu rendam 30 menit terjadi pada ukuran
-4+8 mesh (38 - 4,76 mm).
Ada beberapa kejanggalan yang ditemui dimana kandungan free moisture dan
nilai kalor yang seharusnya saling berhubungan. Pada perendaman 20 menit dengan
ukuran +60 mesh (< 0,25 mm),free moisture mengalami penurunan (Gambar 2), yang
berartinilai kalor seharusnya mengalami kenaikan. Sedangkan pada Gambar 4
didapatkan nilai kalor yang semakin menurun.Hal ini dapat disebabkan oleh
perbedaan waku pelaksanaan analisa kandungan air tertambat dan nilai
kalornya.Analisa kandungan air dilakukan lebih dahulu, sedangkan analisa kalor baru
dilakukan 2-3 hari setelahnya dan sampel disimpan dalam ruangan yang lembab
(ruangan ber-AC). Hal ini menyebabkan terjadinya kenaikan kandungan free moisture
sampel yang akan diuji, dan akan menurunkan nilai kalornya.
Kasus yang hampir sama di temui pada perendaman 10 menit ukuran < 0,25 mm.
Free moisture sampel mengalami kenaikan (Gambar 2) dan seharusnya didapatkan
4200
4300
4400
4500
4600
4700
4800
4900
0 1 2 3 4 5
N
i
l
a
i

K
a
l
o
r

(
c
a
l
/
g
r
)

Ukuran Batubara (mesh)
10 menit
20 menit
30 menit
-4 +4-8 +8-16
+16-60 +60
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 30
nilaikalor yang menurun. Sedangkan pada Gambar 4 didapatkan nilai kalor yang
semakinmeningkat.Hal ini juga disebabkan oleh perbedaan waktu analisa.Pada saat
analisa, seringkali ditemukan perbedaan jarak yang cukup jauh antara hasil duplo
(analisa dilakukan dua kali untuk satu sampel) yang dilakukan, dan ini harus diulang
lagi hingga didapatkan nilai yang hampir mendekati. Setelah analisa kandungan air
tertambat dilakukan, ternyata perendaman 10 menit ukuran < 0,25 mm harus diulang,
sehingga didapatkan kandungan air yang meningkat. Padahal analisa kalor telah
dilakukan 2 (dua) hari sebelumnya, dimana sampel belum bertambah kandungan
airnya.


Gambar 5. Pengaruh ukuran dan waktu perendaman batubara dalam dimetil eter
terhadap nilai kalor dengan massa sampel 150 gram.
Pada Gambar 5 menunjukkan hubungan pengaruh ukuran dan waktu perendaman
batubara dalam dimetil eter terhadap nilai kalor dari batubara untuk sampel dengan
massa 150 gram. Pada grafik terlihat bahwa nilai kalor semakin meningkat seiring
makin lamanya waktu perendaman untuk semua ukuran sampel. Pada umumnya,
peningkatan kalor yang diperoleh oleh massa sampel 150 gram lebih sedikit jika
dibandingkan dengan massa sampel 75 gram. Hal ini juga disebabkan oleh penurunan
free moisture yang lebih sedikit daripada massa sampel 75 gram. Peningkatan paling
optimal nilai kalor batubara pada sampel 150 gram yaitu mencapai 443 cal/gr pada
ukuran -8+16 mesh (1,19 - 2,38 mm) dengan waktu perendaman DME 30 menit.
Pengaruh ukuran batubara terhadap nilai kalor dengan massa 150 gram, semakin
kecil ukuran batubara semakin tinggi nilai, tetapi ketika mencapai titik optimum, nilai
kalor batubara kembali turun. Peningkatan nilai kalor optimal untuk waktu rendam 10
menit terjadi pada sampel dengan ukuran -4+8 mesh (2,38 - 4,76 mm) sedangkan
untuk waktu rendam 20 dan 30 menit terjadi pada ukuran -8+16 (1,19 - 2,38 mm).
Hubungan ukuran batubara dengan nilai kalor sangat tergantung pada free
moisture pada batubara. Semakin tinggi kandungan air tertambat maka nilai kalornya
semakin rendah, dapat dikatakan nilai kalor berbanding terbalik dengan free moisture.
Nilai kalor menunjukkan peringkat batubara, semakin tinggi nilai kalor maka
peringkat batubara akan meningkat. Maka, dapat disimpulkan bahwa peningkatan
nilai kalor batubara ini sangat dipengaruhi oleh kandungan air tertambatnya, semakin
rendah kandungan air tertambat semakin tinggi nilai kalor batubara. Dari hasil ini,
terjadi peningkatan peringkat sampel batubara yang digunakan, dari batubara jenis
lignite menjadi jenis sub bituminous.
4250
4300
4350
4400
4450
4500
4550
4600
4650
4700
4750
4800
0 1 2 3 4 5
N
i
l
a
i

K
a
l
o
r

(
c
a
l
/
g
r
)

Ukuran Batubara (mesh)
10 menit
20 menit
30 menit
-4 +4-8 +8-16 +16-60 +60
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 31

4. KESIMPULAN
1. Semakin lama waktu perendaman batubara di dalam DME berarti semakin banyak
kesempatan waktu untuk DME melarutkan free moisture dari batubara, hal ini
akan menyebabkan semakin banyak juga free moisture yang akan terlarut oleh
DME. Dengan volume DME yang sama, semakin banyak massa batubara yang
direndam, maka akan menurunkan kemampuan DME untuk melarutkan air.
Kondisi optimal, dimana diperoleh kandungan air tertambat paling kecil yaitu
21,94 % didapat pada kondisi dengan ukuran +4-8 (4,76 -2,38 mm) waktu rendam
DME selama 30 menit dengan massa sampel 75 gram.
2. Peningkatan nilai kalor batubara sangat dipengaruhi oleh kandungan airnya,
semakin rendah kandungan free moisture semakin tinggi nilai kalor batubara.
Kandungan air pada batubara akan berkurang seiring mengecilnya ukuran
batubara hingga mencapai ukuran optimalnya. Jika lebih kecil dari ukuran
optimal, maka kandungan air bebasakan kembali meningkat. Hal ini dapat terjadi
karena semakin kecilnya ukuran partikel batubara, maka semakin besar luas
permukaannya, dan ini akan mengakibatkan semakin tinggi kandungan free
moisture-nya. Hal ini menyebabkan kemampuan DME untuk melarutkan akan
semakin berkurang. Kondisi optimal, dimana diperoleh nilai kalor yang paling
besar yaitu 4778 kal/gr, juga didapat pada kondisi dengan ukuran +4-8 (2,38 -
4,76 mm), waktu rendam DME selama 30 menit dengan massa sampel 75 gram.

5. DAFTAR PUSTAKA

Budiraharjo, Imam. (2009). Analisis MikroBatubara.
(http://imambudiraharjo.wordpress. com/2009/03/11/analisis-mikro-batubara/,
diakses 20 Juli 2012 pukul 12.50 WIB)
Budiraharjo, Imam. (2011). Teknologi Pengeringan Lignite. (http://imambudiraharjo.
wordpress.com/2011/06/17/teknologi-pengeringan-lignit/#more-637, diakses 20
Juli 2012 pukul 12.43 WIB)
Kanda, H., Makino, H., and Miyahara, M. (2007). Energy-saving drying technology
for porous media using liquefied DME gas.Adsorbtion (2008). 467-473.
Kanda, H., Makino, H. (2009). Energy-efficient coal dewatering using liquefied
dimethyl ether.Fuel. 2104-2109.
Kanda, H., Shirai, H. (2009). Method for removing water contained in solid using
liquid material. United States Patent.US 7,537,700 B2.
Sukandarrumidi (2006). Batubara dan Pemanfaatannya. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 32
KMP-5

PENYESUAIAN GAYA HIDUP SEBAGAI LANGKAH
PENGHEMATAN ENERGI


Franky Liauw
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara, Kampus 1, Jl. LetJen.
S. Parman No. 1, Jakarta Barat
Email: d.dan5656@yahoo.com


ABSTRAK
Dalam melakukan kegiatannya, manusia selalu menggunakan energi yang
menimbulkan dampak terhadap lingkungan, besar atau kecil. Dampak negatif akan
mengganggu lingkungan, banyak atau sedikit. Dengan jumlah manusia yang semakin
banyak secara cepat, dampak negatif akan berlipat-lipat kali besarnya. Banyak
kerusakan lingkungan sudah terjadi. Kegiatan manusia tidak dapat dihentikan. Agar
bumi tidak terancam kelangsungan hidupnya, salah satu caranya adalah dengan
mengurangi konsumsi energi dan sumber daya alam setiap orang. Selama ini manusia
terlalu boros dalam menggunakan energi, banyak kebutuhan yang sudah berlebihan,
banyak keinginan dan kesenangan yang berubah menjadi kebutuhan. Dunia industri
banyak mendorong penciptaan kebutuhan-kebutuhan baru, karena industri harus
terus menjual produknya, dan memenangkan persaingan, agar perusahaannya dapat
bertahan hidup. Produksi dunia industri tidak dapat dihentikan. Namun semua pihak
perlu menyadari kondisi bumi yang sedang krisis dan terancam kelangsungan
hidupnya. Semua pihak perlu bertindak bersama untuk menyelamatkan bumi. Dalam
bidang arsitektur, ada aspek kenyamanan yang saat ini sudah jauh meningkat
dibanding dulu. Untuk memperoleh kenyamanan, dibutuhkan energi. Semakin tinggi
kenyamanan, semakin banyak energi dan sumber daya alam dihabiskan. Saat ini
banyak bangunan umum yang terlalu dingin. Pengunjung terpaksa menggunakan jaket
atau jas. Ini adalah pemborosan energi yang tidak perlu, boros tapi tidak nyaman.
Selain suhu udara dalam ruangan, banyak tingkat kenyamanan dalam perancangan
arsitektur dapat diturunkan tanpa mengganggu kegiatan pengguna bangunan. Hal ini
membutuhkan pengkajian ulang. Kebiasaan berpakaian yang banyak meniru bangsa
barat, seperti menggunakan dasi dan jas, juga memboroskan energi, karena suhu
ruangan terpaksa disetel dingin. Mungkin agak melawan norma, tapi bila kita tidak
terjebak pada anggapan tentang kegiatan formal yang harus disertai cara berpakaian
formal, yang berarti pakaian lengkap, berjas, mungkin banyak energi dapat dihemat.
Di perguruan tinggi, sebagai contoh, harus berpakaian rapi, dalam arti celana panjang
bagi pria, bersepatu. Andai dibolehkan bercelana pendek, berkaos oblong, bersandal,
mungkin tidak diperlukan AC. Dalam proses belajar, yang penting pakaian, atau otak.

Keywords: gaya hidup, hemat energi, kenyamanan


1. KECENDERUNGAN POLA PENGGUNAAN ENERGI

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 33
Dalam melakukan semua kegiatannya manusia membutuhkan energi. Energi
untuk menggerakkan tubuh ketika berjalan, berlari, atau gerakan lainnya. Ketika
menggunakan alat, terutama elektronik, dibutuhkan energi listrik. Manusia sangat
tergantung pada energi, dalam berbagai bentuknya, untuk tetap dapat hidup dengan
nyaman.
Untuk mendapatkan energi diperlukan biaya. Tingkat kemampuan ekonomi sangat
menentukan tingkat penggunaan energi. Rumah sederhana biasanya menggunakan
jumlah tenaga listrik yang lebih kecil dibanding rumah besar atau mewah. Hal ini
dengan mudah dapat dilihat dari rekening listrik yang dibayar tiap bulannya.
Orang berpunya mampu membeli berbagai peralatan dan teknologi yang
mempermudah dan memberikan kenyamanan hidupnya. Hampir semua peralatan ini
membutuhkan tenaga listrik, misalnya kulkas, AC, TV, komputer, kompor, penghisap
debu, dan sebagainya. Jadi orang kaya mengkonsumsi energi listrik lebih besar, bukan
hanya di rumah, tapi juga untuk kendaraannya.
Kecenderungan ini berlaku di manapun, dalam masyarakat semua negara di dunia.
Ini adalah situasi yang normal. Selama ini siapapun bebas menggunakan energi
sesuai kemampuan dan daya belinya. Namun setelah kita semua menyadari terjadinya
krisis dan kerusakan bumi, yang salah satu penyebabnya adalah penggunaan teknologi
dan energi yang berlebihan, apakah pola hidup seperti ini masih dapat dibiarkan terus
dan dianggap wajar. Apakah kita semua tidak perlu mengubah gaya hidup kita ?


2. PENGARUH DUNIA INDUSTRI TERHADAP PEMBENTUKAN GAYA
HIDUP MASYARAKAT

Dunia industri memproduksi berbagai barang yang dijual kepada konsumen.
Kehidupan perusahaan tergantung pada penjualan barang-barang tersebut. Semakin
banyak akan semakin baik. Persaingan dengan perusahaan lain mendorong
diciptakannya berbagai kelebihan dan keunggulan dari produk-produk yang sudah
ada, terus menerus. Masyarakat terus digoda dengan berbagai keunggulan produk
tanpa henti. Belum puas kita menikmati komputer yang dibeli, sudah muncul produk
komputer baru dengan berbagai kelebihannya.
Konsumen terjebak pada nilai-nilai yang telanjur dianut masyarakat, tidak
mengikuti dan memiliki teknologi baru dapat dianggap sebagai ketinggalan, kalah
dalam persaingan, kalah gengsi, kuno, tidak modern, atau anggapan-anggapan lainnya
yang bernada negatif. Hal ini biasanya mendorong masyarakat terus mengkonsumsi
setiap produk baru. Belum terlalu lama sempat beredar berita dalam media informasi
tentang masyarakat yang rela berbondong-bondong, lama sebelum toko buka, dan
berdesak-desakan berebutan untuk membeli produk mobile phone yang sedang
digandrungi.
Banyak produk dari berbagai perusahaan sudah berhasil menyihir masyarakat
konsumen. Apa saja yang dilempar ke pasar akan segera diperebutkan. Banyak
perusahaan industri bahkan mampu menarik dana dari masyarakat jauh sebelum
barang yang diproduksi sampai ke tangan pembelinya. Merk barang tertentu sudah
mampu mengendalikan gaya hidup, selera masyarakat, bahkan membuat
penggemarnya tergila-gila.
Konsumsi produk, barang, atau apapun bentuknya, sering tidak lagi berdasarkan
kebutuhan, terutama di kalangan atas dan menengah. Pembelian juga dipermudah
dengan sistem cicil. Kelompok masyarakat yang sebenarnya kurang mampu menjadi
tergoda untuk membeli, seolah mereka mampu. Terjadi percepatan kepemilikan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 34
berbagai produk. Hal ini berakibat pada percepatan penggunaan energi di semua
bidang dan jenis produksi.


3. MENGUBAH GAYA HIDUP DAPAT MEMBANTU KURANGI
PEMBOROSAN ENERGI

Manusia adalah pihak yang menggunakan energi paling banyak di bumi, dan
memiliki kecenderungan terus bertambah. Secara individu, sejalan dengan
pertambahan usia, bertambah pula ragam kegiatan dan kebutuhan, serta keinginan dan
mobilitas.
Ketika bayi, yang dibutuhkan hanya makanan dan pakaian serta tempat tinggal.
Ketika dewasa, dibutuhkan berbagai peralatan penunjang kegiatan, pergerakan yang
semakin jauh, bahkan ke berbagai negara menggunakan pesawat terbang. Ketika
menjadi tua, mobilitas berkurang, kegiatan juga berkurang, penggunaan energi
berkurang pula.
Kebutuhan energi setiap individu bertambah sejalan dengan pertambahan usia dan
bertambahnya kegiatan, kebutuhan dan keinginan, serta kemampuan untuk
mendapatkannya. Kebutuhan energi seluruh manusia di bumi bertambah sejalan
dengan pertambahan populasi.
Untuk memenuhi kebutuhan dasar, tentu saja setiap manusia berhak
memperoleh sumber daya alam yang mencukupi. Namun bila jumlah manusia
bertambah terlalu banyak, penggunaan sumber daya alam untuk manusia akan
mengurangi jatah bagi mahluk hidup lain. Sudah banyak negara menjalankan
program keluarga berencana, namun kenyataannya populasi manusia di muka bumi
terus bertambah dengan kecepatan semakin tinggi. Sebenarnya keberhasilan dalam
pembatasan jumlah manusia akan menyumbang banyak dalam penghematan
penggunaan energi dan sumber daya alam lainnya. Diperlukan usaha lebih serius dari
semua pihak untuk mengurangi populasi manusia agar tidak terlalu berat membebani
daya dukung bumi.
Uang merupakan penemuan yang sangat membantu dalam kehidupan manusia.
Uang dapat dipakai membeli berbagai barang dan jasa. Untuk mendapatkan uang, kita
harus bekerja. Orang yang memiliki uang banyak dari usaha kerasnya bekerja tentu
merasa berhak menikmati hidup dengan hasil jerih payahnya tersebut. Kelompok
orang seperti ini akan memiliki harta benda yang jauh melebihi kebutuhannya, untuk
seumur hidupnya, bahkan bagi anak cucunya.
Di lain pihak, orang miskin tidak mempunyai cukup uang untuk membeli barang.
Terutama di perkotaan, orang miskin tidak dapat lagi menyambung hidupnya dari
alam, mereka tidak dapat masuk hutan untuk memetik daun atau buah, atau berburu
hewan untuk dimakan. Di beberapa negara bahkan kondisi ini diperparah karena alam
di sana memang tidak menghasilkan makanan.
Mengingat jumlah manusia yang sudah sangat besar, gaya hidup dari setiap
individu dapat memberi dampak sangat penting, ke arah negatif maupun positif. Gaya
hidup yang cenderung berlebihan karena merasa mampu mendapatkan apa yang
diinginkan, sebenarnya memboroskan banyak sumber daya alam dan energi, yang
dibutuhkan oleh pihak yang kurang mampu, juga sebagai cadangan bagi generasi
mendatang. Uang sebaiknya tidak dibiarkan dapat membeli segalanya.
Perubahan gaya hidup ke arah memenuhi kebutuhan secara secukupnya akan
berdampak besar bagi penghematan sumber daya alam dan energi. Kondisi bumi yang
sedang dalam keadaan krisis sebaiknya menyadarkan pihak yang selama ini
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 35
menjalankan gaya hidup berlebihan agar menguranginya. Dunia kita cenderung
membebaskan masing-masing individu untuk berkegiatan, bersaing satu dengan
lainnya, memuaskan keinginannya sesuai kemampuannya. Kebebasan dianggap
sebagai hal positif. Namun kebebasan tanpa batas mungkin juga dapat berdampak
buruk, juga terhadap lingkungan hidup kita bersama. Kebebasan yang mengganggu
kepentingan bersama mungkin sudah harus dibatasi.
Dunia arsitektur juga terkena dampak gaya hidup berlebihan ini. Banyak pihak
misalnya latah meniru gaya arsitektur negara lain yang tidak cocok dengan iklim
lokal, sehingga membutuhkan energi besar untuk menyejukkan ruangannya. Rumah
juga sering menjadi alat untuk menonjolkan kelebihannya dalam kekayaan. Rumah
berubah menjadi istana, sangat besar dan sangat mewah, yang tentu saja jauh melebihi
kebutuhan sebenarnya. Gengsi dan prestise sudah dianggap sebagai kebutuhan, dan
semua berlomba untuk saling lebih unggul.
Melalui proses perijinan, hal-hal seperti ini sebenarnya dapat dibatasi dan
dikurangi, agar program penghematan energi dan penyelamatan lingkungan dapat
dicapai. Bidang bangunan adalah pengguna energi terbesar dibanding berbagai bidang
kehidupan lainnya. Dengan demikian, penghematan energi di bidang ini akan
memberi sumbangan cukup besar. Cukup banyak aspek dalam bangunan yang dapat
digarap, beberapa di antaranya dibahas di bawah ini.


4. PENGURANGAN TINGKAT KENYAMANAN DALAM BANGUNAN

Sejalan dengan perkembangan teknologi bangunan, standar kenyamanan
penghuni terus meningkat. Peningkatan ini dapat berasal dari pihak industri yang
harus terus memanjakan konsumen agar produknya laku dan menang dalam
persaingan bisnis, atau memang tuntutan dari masyarakat yang semakin mampu dan
tak pernah terpuaskan.
Bila dulu ventilasi silang sangat diandalkan dan menjadi ciri bangunan di iklim
tropis, kini tergantikan oleh AC, atau exhaust fan. Ventilasi alami memang tergantung
pada kondisi angin, yang kadang kencang, kadang pelan, dan kadang tidak ada,
sementara pengudaraan buatan lebih menjanjikan kenyamanan yang stabil, bahkan
dapat diatur tingkatnya, serta tidak tergantung pada kondisi cuaca di luar bangunan.
Sistem pengudaraan buatan menciptakan dunia nyaman di dalam bangunan, tidak
peduli dan tidak terpengaruh cuaca di luar bangunan bila sedang tidak ramah. Namun
sistem ini juga membuat penghuni tidak peduli bila sebenarnya cuaca di luar
bangunan sedang ramah. Pengudaraan buatan tetap dijalankan dan ruangan tetap
tertutup lepas dari dunia luar. Terjadilah pemborosan energi yang sebenarnya tidak
perlu terjadi.
Sekarang ini tidak sulit untuk memperoleh suhu udara pegunungan di tengah kota
Jakarta. Ruang tidur menjadi sangat sejuk (dingin) sehingga kita harus berselimut
tebal. Ini sebenarnya menandakan kenyamanan yang berlebihan. Memang standar
tingkat kenyamanan terus bertambah bila dibandingkan dengan masa dulu. Ruang
kelas berAC sekarang sudah menjadi standar. Sekolah atau universitas dengan ruang
kelas tanpa AC tidak akan laku. Dulu kelas ber AC sempat menjadi alat promosi
universitas dalam menjaring calon mahasiswa, kini sudah menjadi kebutuhan dasar.
Dulu internet masih merupakan fasilitas mewah, kini mulai menjadi keharusan di
setiap lembaga pendidikan, bahkan di restoran, cafe, dan semua fasilitas umum
lainnya.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 36
Kenaikan tingkat kenyamanan selalu diikuti dengan penggunaan tambahan
teknologi yang lebih tinggi dan biasanya lebih mahal. Misalnya dengan tambahan AC,
sambungan internet, bahan bangunan yang lebih bermutu tinggi, dan sebagainya. Jadi
penambahan kenyamanan berarti sama dengan penambahan energi untuk menciptakan
semua kenyamanan tersebut.
Mungkin membutuhkan evaluasi tentang tingkat kenyamanan kompromi. Berapa
sebenarnya tingkat kenyamanan yang masih dapat ditoleransi atau diterima oleh
manusia. Mungkin kita juga tidak seharusnya terus menuntut kenyamanan yang
bertambah, karena akibatnya memboroskan energi dan sumber daya alam dengan
lebih cepat. Sementara lingkungan hidup dan bumi sedang berada dalam keadaan
kritis dan membutuhkan langkah nyata, salah satunya dengan penghematan energi.


5. PEMBATASAN STANDAR LUASAN RUANGAN DALAM BANGUNAN

Dalam berbagai buku arsitektur, sudah banyak ditentukan berbagai standar tentang
bangunan, ruangan dan ruang gerak manusia dan peralatan yang digunakan. Dalam
proses perancangan, semua standar ini tentu dijadikan pertimbangan, namun belum
tentu diikuti sepenuhnya. Dalam hal luasan ruangan dan bangunan, dianggap wajar
bila standar bagi masyarakat golongan miskin lebih kecil, sedangkan bagi golongan
kaya, standar ini dapat dibuat berlipat kali, selama mereka mampu dan mau.
Pemerintah biasanya membatasi hanya masyarakat berpenghasilan rendah yang
boleh menempati rusunawa atau hunian murah bersubsidi lainnya. Namun masyarakat
golongan menengah dan atas sering mencoba memanfaatkan kemurahan harga hunian
ini sebagai alat berbisnis mencari untung. Mereka membeli, tapi bukan untuk
ditempati, hanya untuk dijadikan barang dagangan.
Dengan pembatasan seperti di atas, terlihat sikap pemerintah yang membantu
masyarakat kurang mampu, dengan membatasi gerak masyarakat mampu. Dalam
menjaga keberadaan, kecukupan dan keberlangsungan sumber daya alam serta energi,
mungkin diperlukan pembatasan-pembatasan dalam berbagai bidang lainnya, agar
kekayaan sekelompok masyarakat tidak menyebabkan pemborosan.
Luas ruangan yang berlebihan tidak selalu menambah kenyamanan. Memang kita
membutuhkan kebebasan gerak dalam berkegiatan di suatu ruangan, namun tambahan
luas ruangan berkali lipat tidak menambah kita lebih bebas bergerak. Memang kita
membutuhkan ketinggian ruangan yang cukup agar tidak merasa tertekan, namun
penambahan ketinggian yang jauh melampaui kebutuhan malah akan menimbulkan
rasa tidak nyaman karena kehilangan skala.
Ukuran ruangan lebih tepat ditentukan berdasarkan jenis kegiatan, variasi gerakan,
alat yang digunakan, kebebasan secukupnya agar kegiatan dapat berlangsung dengan
baik, bukan oleh keinginan menunjukkan kemampuan keuangannya. Begitu pula
sebenarnya dalam menentukan bahan bangunan, sebaiknya yang sesuai dengan sifat
kegiatan, karakter perabotan, serta kondisi iklim, bukan berdasar kemampuan
mendatangkan bahan bangunan dari negara lain yang membutuhkan biaya besar
berlebihan.


6. OTOMATISASI DAN SISTEM CERDAS DALAM BANGUNAN

Teknologi otomatis dan cerdas diyakini dapat menghemat banyak energi.
Teknologi ini mampu menyesuaikan kebutuhan dan tingkat kenyamanan di dalam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 37
ruangan dengan menyesuaikan kerja alat terhadap perubahan kondisi lingkungan di
luar ataupun dalam bangunan.
Bila cahaya matahari mencukupi, maka lampu di dalam ruangan otomatis akan
padam. Sebaliknya bila langit mendung atau matahari mulai tenggelam, maka lampu
akan otomatis menyala, sehingga kegiatan di dalam ruangan tidak terganggu, dan
pengguna ruangan tidak perlu repot-repot menyalakan dan mematikan lampu. Begitu
juga dengan suhu udara di dalam ruangan, sehingga pengguna ruangan bahkan
mungkin tidak menyadari perubahan ini, karena keadaan dan kenyamanan di dalam
ruangan tetap konstan. Bila tamu meninggalkan kamar tidur hotel, maka sambungan
listrik akan mati dengan sendirinya. Dan banyak lagi contoh kecerdasan bangunan
yang jauh lebih canggih dari cerita di atas. Namun bukan itu yang menjadi fokus
tulisan ini.
Pasti, dan tidak diragukan lagi manfaat dari sistem cerdas ini. Manusia sangat
terbantu, termudahkan, dan juga jangan lupa, termanjakan. Ada kondisi dimana
teknologi cerdas ini menjadi penting dan sebaiknya digunakan, misalnya bila terkait
dengan sistem keamanan, seperti pemadaman api secara otomatis pada kasus
kebakaran, atau sistem alarm yang memberi peringatan pada berbagai kondisi adanya
ancaman keamanan dan keselamatan penghuni. Dan banyak lagi kondisi lainnya.
Di sisi lain, bila hal-hal yang sangat sederhanapun diserahkan kepada teknologi
cerdas, dapat berakibat kurang baik bagi penghuni. Misalnya untuk mematikan semua
peralatan elektronik cukup dari tempat tidur dengan menggunakan remote control,
atau kemudahan-kemudahan sederhana lainnya. Semua ini akan membuat penghuni
menjadi malas dan manja. Di samping kurang baik bagi penghuni yang kurang
bergerak badan, hal ini dapat menjadi kebiasaan, seolah semua langkah penghematan
energi dapat diserahkan sepenuhnya pada teknologi. Sementara tidak semua bangunan
menggunakan sistem cerdas.
Penghematan energi dan sumber daya alam, serta penyelamatan lingkungan
membutuhkan peran aktif masyarakat semuanya, berupa kebiasaan dan perilaku yang
ramah lingkungan. Gerakan ini tidak dapat diserahkan kepada teknologi yang sifatnya
netral. Bila suatu ruangan menggunakan lampu hemat energi, tapi penggunanya tidak
terbiasa mematikannya saat meninggalkan ruangan, akan percuma saja. Ini hanya
contoh kecil.


7. PENYESUAIAN NORMA DENGAN KEBUTUHAN HEMAT ENERGI

Entah mana yang lebih dulu, antara suhu ruangan yang terlalu dingin karena AC
yang distel terlalu rendah untuk memberi kenyamanan bagi pengunjung yang
menggunakan pakaian berjas, atau pengunjung terpaksa menggunakan jas atau jaket
atau pakaian pelapis lainnya karena tahu betapa dinginnya ruangan yang akan
dimasukinya.
Berpakaian jas, atau berjaket di daerah beriklim tropis memang sebenarnya kurang
tepat, berpakaian satu lapis saja masih sering terasa kepanasan, kecuali tentu saja bila
sedang sakit. Namun sekarang banyak ruangan dan bangunan sudah terlanjur
dirancang sangat dingin, misalnya hotel, ruang konvensi, bioskop, mal, atau fungsi
lainnya, sehingga banyak orang terpaksa mengenakan pakaian tambahan ketika
masuk ruangan-ruangan tersebut. Kita terpaksa menyesuaikan gaya berpakaian
dengan kondisi ruangan. Ketika keluar ruangan tersebut, jas terpaksa dilepas karena
udara luar memang tidak ramah terhadap jas. Maka kita menjadi serba salah dan
repot.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 38
Dalam masyarakat, berlaku banyak aturan yang mengikat dalam hal
berpakaian. Dalam undangan berbagai acara resmi, sering dicantumkan di sudut
bawah undangan jenis pakaian yang harus dikenakan (dress code). Karena dianggap
bersifat resmi, para undangan diharapkan berpakaian resmi pula. Ini biasanya
diartikan sebagai pakaian dengan jas dan dasi bagi pria, bagi wanita biasanya agak
bebas namun tetap diharapkan rapi, kadang dengan blazer.
Bila acara diadakan dalam ruangan ber AC, masalahnya adalah ruangan tersebut
harus ber AC cukup dingin, yang berarti dibutuhkan energi listrik yang besar. Bila
acara diadakan di ruangan, dalam maupun luar, yang tidak cukup sejuk, maka
masalahnya adalah para undangan akan kepanasan dan tidak nyaman. Karena sudah
menjadi kebiasaan, ruang ber AC pun dibuat kedap agar hemat listrik, namun
akibatnya AC di ruangan tersebut harus terus dinyalakan, dan bila listrik mati,
ruangan akan pengap dan panas.
Dalam berbagai kegiatan, misalnya sekolah, kuliah, kerja, atau banyak kegiatan
lainnya, sering juga berlaku aturan yang mengharuskan berpakaian rapi, artinya
minimal bercelana panjang, berkemeja, bersepatu, bagi pria, dan rapi bagi wanita. Di
beberapa tempat bahkan sangat ketat, pengunjung tidak bersepatu tidak boleh masuk.
Mungkin berbagai aturan ini dianggap positif, menandakan kemajuan, modern,
atau apapun lainnya. Namun yang jelas kurang hemat energi. Bila kita tidak harus
berjas, mungkin ruang pertemuan tidak perlu terlalu dingin, bila kita bercelana pendek
dan bersandal, mungkin ventilasi alam sudah lebih dari cukup. Dan yang penting kita
tidak merasa kurang nyaman dibanding kondisi sekarang.
Mungkin memang sulit membayangkan datang ke pesta perkawinan bercelana
pendek dan bersandal, atau bertemu dengan rektor, atau rapat dengan para pejabat
pemerintahan, dan berbagai acara resmi lainnya. Kelihatannya gaya berpakaian
dianggap dapat menunjang keberhasilan berbagai acara resmi tersebut. Apakah
memang benar demikian? Apakah para peserta seminar berjas dapat lebih intensif
berdiskusi, apakah mahasiswa berpakaian rapi dan bersepatu dapat lebih menyerap
ilmu yang diajarkan dosennya, dan sederet pertanyaan sejenis membutuhkan jawaban.
Bila dimungkinkan terjadi perubahan mendasar dalam hal berpakaian, mungkin
pengaruh terhadap perancangan bangunan akan cukup besar, dan dapat menghasilkan
penghematan energi yang lumayan. Tentu saja akan sulit mengubah kebiasaan yang
sudah berlangsung lama dan mengakar dalam semua kebiasaan masyarakat.
Mungkin dapat dimulai dari gedung-gedung yang sudah mendapat sertifikat hijau,
atau faktor ini dapat juga sebagai salah satu kriteria penilaian akan kehijauan suatu
bangunan.


8. PENUTUP

Langkah penghematan energi sudah cukup lama dicanangkan, oleh berbagai
pihak, di berbagai negara, di berbagai kesempatan, namun tetap saja krisis energi
masih berlanjut. Teknologi baru terus dicari, anjuran untuk berhemat selalu
didengungkan, berbagai usaha lain juga terus dilakukan. Setiap peluang yang
memungkinkan tetap harus dicari dan dijalankan.
Berbagai pembatasan oleh pemerintah telah dijalankan, misalnya pengaturan
besaran tarif listrik yang berbeda bagi berbagai kegiatan dan golongan masyarakat,
besaran pajak yang berbeda berdasar golongan pendapatan yang mewakili tingkat
ekonomi dalam masyarakat, begitu pula pajak terhadap barang mewah, pajak
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 39
bangunan pun demikian pula. Namun semua ini kelihatannya belum membuat
masyarakat terdorong untuk melakukan penghematan berarti.
Berbagai informasi tentang kondisi menipisnya cadangan energi alami yang
tersedia, tentang krisis energi yang disertai sering padamnya listrik, tentang polusi
yang dihasilkan dari penggunaan teknologi, tentang keuntungan langsung yang dapat
diperoleh dengan sikap berhemat, hingga perhitungan rinci yang sering dipaparkan
dalam acara-acara green festival atau acara lainnya, sudah dan tetap rutin dijalankan
oleh berbagai pihak, pemerintah maupun swasta.
Pasti sudah banyak pihak yang melakukan penghematan energi, baik masyarakat
golongan miskin mapun kaya, karena memang penghematan ini menguntungkan
mereka. Namun mungkin tidak kurang banyaknya masyarakat yang tetap tidak peduli
akan gerakan penghematan ini. Mungkin mereka mempunyai alasan sendiri untuk
bersikap seperti itu, misalnya mereka ingin menikmati kehidupan dengan kekayaan
yang dimilikinya, toh mereka tidak akan (belum tentu) mengalami ketika bencana
yang ditakutkan terjadi, atau mereka sekedar tidak peduli, nikmati saja saat ini, urusan
nanti tidak perlu dijadikan beban pikiran, atau mereka tetap optimis akan ada pihak
yang dapat memecahkan masalah ini, bukan urusan mereka, atau banyak alasan
lainnya.
Golongan masyarakat yang belakangan inilah yang perlu dirangkul dan diajak
berpartisipasi, agar seluruh masyarakat satu langkah. Bila anjuran saja tidak
dipedulikan, mungkin perlu dicari cara-cara yang agak memaksa terhadap kelompok
ini, karena penghematan energi dan sumber daya alam sudah menjadi kepentingan
dan menyangkut keberlangsungan hidup kita semua, bahkan hingga generasi-generasi
mendatang.


9. REFERENCES
Beder, Sharon (2006). Environmental Principles and Policies. An Interdisciplinary
Approach. University of New South Wales Press Ltd.: Sydney.
Bell, David and Joanne Hollows. Eds. (2006). Historicizing Lifestyle. Mediating
Taste, Consumpton and Identity from the 1900s to 1970s. Ashgate Publishing
Limited: Hampshire.
Elliott, David (2003). Energy, Society and Environment. 2nd ed. Routledge, Taylor &
Francis Group: London.
Harrison, Paul (1993). The Third Revolution. Population, Environment and a
Sustainable World. Penguin Books: London.
Huddart, david and Tim Stott (2010). Earth Environments. Past, Present and Future.
John Wiley & Sons, Ltd.: Chichester.
Kemp, David D. (2004). Exploring Environmental Issues. An Integrated Approach.
Routledge, Taylor & Francis Group: London.
Kornberger, Martin (2010). Brand Society. How Brands Transform Management and
Lifestyle. Cambridge University Press: Cambridge.
Lange, Hellmuth and Lars Meier. Eds. (2009). The New Middle Classes. Globalizing
Lifestyles, Consumerism and Environmental Concern. Springer: London.
Maser, Chris and Carol A. Pollio (2012). Resolving Environmental Conflicts. 2nd ed.
CRC Press, Taylor & Francis Group: London.
Naess, Arne (2001). Ecology, Community and Lifestyle. Outline of an Ecosophy.
Cambridge University Press: Cambridge.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 40
Olson, Robert and David Rejeski. Eds. (2004). Environmentalism and the
Technologies of Tomorrow. Shaping the Next Industrial Revolution. Island Press:
Washington.
Postma, Dirk Willem (2006). Why Care for Nature ? In Search of an Ethical
Framework for Environmental Responsibility and Education. Springer: Dordrecht.
Rosengren, Karl Erik. Ed. (1994). Media Effecs and Beyond. Culture, Socialization
and Lifestyles. Routledge: London.
Rovers, Ronald, Jacques Kimman and Christoph Ravesloot. Eds. (2010). Toward 0-
Impact Buildings and Built Environments. Techne Press: Amsterdam.
Simmons, I.G. (2008). Global Environmental History. 10000 BC to AD 2000.
Edinburgh University Press: Edinburgh.
Steemers, Koen and Mary Ann Steane. Eds. (2004). Environmental Diversity and
Architecture. Spon Press, Taylor & Francis Group: London.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 41
KMP-6

MENGATASI KEHILANGAN ENERGI PRIMER YANG
BERLEBIHAN PADA JARINGAN PIPA DISTRIBUSI AIR
MENGGUNAKAN MODEL KOMPUTER WATERGEMS


M. Baitullah Al Amin
1

1
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya,
Jl. Raya Palembang - Prabumulih Km.32, Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan
Telp: 081368768186, Fax: (0711) 580139
Email: baitullah@unsri.ac.id


ABSTRAK

Kehilangan energi yang berlebihan (terlalu besar) mengakibatkan penurunan energi
tekanan pada air yang mengalir di sepanjang pipa secara drastis sehingga energi
tekanan sisa di hilir saluran menjadi sangat kecil dan bahkan dapat menjadi negatif.
Hal ini dapat menyebabkan sistem jaringan pipa tidak mampu mendistribusikan air ke
semua titik dengan tekanan yang cukup. Makalah ini membahas cara untuk mengatasi
kehilangan energi primer yang berlebihan pada jaringan pipa distribusi air melalui
pemodelan komputer. Program yang digunakan adalah WaterGEMS v8i. Hasil
simulasi menunjukkan bahwa tekanan negatif di setiap node sangat dipengaruhi oleh
besarnya kehilangan energi primer. Pembesaran diameter pipa secara tepat dapat
memperbaiki kapasitas sistem jaringan pipa sehingga kehilangan energi primer
menjadi relatif kecil serta tekanan di setiap node menjadi positif.

Kata kunci: Jaringan pipa, kehilangan energi, sistem distribusi, WaterGEMS.


1. PENDAHULUAN
Tujuan utama sistem distribusi air adalah untuk mendistribusikan air kepada
konsumen dengan kuantitas yang disyaratkan dan tekanan yang cukup. Oleh karena
itu, prinsip-prinsip perencanaan, rancangan, dan konstruksinya perlu untuk dipahami
dengan baik agar sistem dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Sistem distribusi air yang umumnya diterapkan di Indonesia merupakan sistem
aliran pipa bertekanan (pressurized pipe flow) dengan konfigurasi cabang, loop, atau
kombinasi dari keduanya. Permasalahan klasik yang masih sering terjadi di banyak
sistem distribusi air diantaranya adalah pengaliran air yang belum sesuai dengan
kebutuhan baik dari segi kuantitas, kualitas, maupun tekanan air. Dari segi kuantitas,
masalah umum yang paling sering terjadi adalah pengaliran bergilir dimana distribusi
air pada suatu daerah pelayanan tidak dapat dilakukan selama 24 jam. Artinya,
sebagian daerah pelayanan tidak terairi pada waktu-waktu tertentu, atau bahkan di
daerah yang lain tidak memperoleh air sama sekali. Hal ini dapat disebabkan karena
jumlah air yang tersedia di sumber air tidak sesuai (kurang) dari jumlah yang
dibutuhkan oleh konsumen, misalnya pada musim kemarau. Penyebab lainnya adalah
karena kapasitas dari jaringan pipa yang memang tidak memadai untuk mengalirkan
air dengan jumlah yang dibutuhkan. Pada kasus ini, air yang tersedia di sumber air
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 42
lebih dari cukup dibandingkan dengan yang dibutuhkan, namun karena perencanaan
dan perancangan jaringan pipa yang dibangun tidak tepat sehingga jaringan pipa tidak
dapat bekerja optimal. Misalnya, pipa yang direncanakan tidak memperhatikan aspek
ketersediaan energi tekanan sisa. Padahal, pipa merupakan faktor utama yang
menentukan energi tekanan sisa karena adanya pengaruh gesekan antara air dengan
dinding pipa selama pengaliran air yang menyebabkan terjadi kehilangan energi.
Kehilangan energi pada sistem distribusi air dibedakan menjadi dua, yaitu
kehilangan energi primer dan kehilangan energi sekunder. Kehilangan energi primer
disebabkan oleh adanya gesekan air dengan dinding pipa selama pengaliran,
sedangkan kehilangan energi sekunder dapat terjadi akibat penggunaan katup,
sambungan, belokan, pembesaran dan penyempitan penampang pipa, dan sebagainya.
Untuk pipa yang sangat panjang, kehilangan energi primer lebih dominan sehingga
pengaruh kehilangan energi sekunder dapat diabaikan.
Triatmadja (2000) dalam Al Amin (2009) menyebutkan bahwa kehilangan energi
sebesar 10 m/1.000 m atau kemiringan kehilangan energi pada pipa melebihi 1%
dianggap cukup besar atau mungkin terlalu besar bagi pipa dengan selisih elevasi
antara ujung hulu dan hilirnya yang relatif kecil. Kehilangan energi yang berlebihan
(terlalu besar) dapat menyebabkan penurunan energi tekanan secara drastis sehingga
energi tekanan sisa di hilir saluran menjadi sangat kecil bahkan negatif. Hal ini
ditunjukkan pada air mengalir dengan tekanan yang sangat kecil sehingga tidak cukup
untuk mengaliri air pada rumah-rumah yang berlantai dua atau lebih jika tidak dibantu
dengan pompa. Bahkan, mungkin air tidak mengalir sama sekali ke rumah-rumah
konsumen yang letaknya cukup jauh karena memang tidak lagi tersedia tekanan sisa.
Oleh karena itu, jaringan pipa harus direncanakan dan dirancang dengan tepat.
Namun, apabila sistem distribusi terlanjur telah diterapkan di lapangan, maka evaluasi
jaringan dirasa perlu dilakukan terhadap jaringan pipa yang telah beroperasi namun
tidak bekerja secara optimal.

2. DASAR TEORI
Pada zat cair (fluida) yang mengalir di dalam bidang batas (pipa) akan terjadi
tegangan geser dan gradien kecepatan pada seluruh medan aliran karena adanya gaya
kekentalan (viskositas). Tegangan geser tersebut akan menyebabkan terjadinya
kehilangan energi selama pengaliran fluida. Salah satu persamaan kehilangan energi
primer yang umumnya sering digunakan adalah persamaan Darcy-Weisbach.

0
1

2

p
1
/
v
1
2
/2g
z
1
h
f
v
2
2
/2g
p
2
/
z
2
L
W

garis referensi

HGL
EGL
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 43
Gambar 1. Ilustrasi persamaan Bernoulli
Persamaan Bernoulli atau persamaan energi pada suatu pipa tunggal dapat
diturunkan dari Gambar 1 di atas yang harus dipenuhi dalam analisis jaringan pipa,
yaitu:

2 2
2
2 2
2
2
1 1
1 f
h
g
v p
z
g
v p
z + + + = + +

... (1)
dimana
1
z

dan
2
z masing-masing adalah elevasi pada titik 1 dan titik 2,
1
p
dan
2
p adalah tinggi energi tekanan (pressure head) pada titik 1 dan titik 2,
g v 2
2
1
dan g v 2
2
2

adalah tinggi energi kecepatan (velocity head) pada titik 1 dan
titik 2, dan
f
h adalah kehilangan energi primer. Nilai p z + disebut sebagai tinggi
piezometrik (piezometric head), sedangkan nilai g v p z 2
2
+ + disebut sebagai
total tinggi energi (total head). Plot tinggi piezometrik di sepanjang jalur pipa disebut
sebagai garis energi hidraulik (hydraulic grade line) atau yang disingkat sebagai
HGL. Sedangkan plot total tinggi energi di sepanjang jalur pipa disebut sebagai garis
total energi (energy grade line) atau yang disingkat sebagai EGL. Pada penerapan di
lapangan secara luas, tinggi energi kecepatan dapat diabaikan sehingga HGL dan EGL
adalah sama.
Persamaan kehilangan energi primer yang diusulkan oleh Darcy-Weisbach adalah
sebagai berikut:

8
5 2
2
gD
fLQ
h
f
t
= ... (2)
dimana f

merupakan koefisien gesekan Darcy-Weisbach yang bergantung pada nilai
kekasaran pipa dan angka Reynolds, L adalah panjang pipa, D

adalah diameter pipa,
dan Q

adalah debit aliran. Nilai f

dapat diperoleh menggunakan persamaan Hagen-
Poiseuille untuk aliran laminer, sedangkan untuk aliran turbulen dapat menggunakan
persamaan yang diusulkan oleh Colebrook (1938) yang diselesaikan secara iterasi.
Karena proses iterasi memakan waktu yang cukup lama, Moody (1944) membuat
kelompok kurva hubungan antara nilai f dan angka Reynolds untuk variasi nilai
kekasaran relatif yang kemudian disebut sebagai diagram Moody. Dengan demikian,
penyelesaian nilai f secara grafis menjadi lebih mudah. Namun, dengan semakin
berkembangnya ilmu mekanika fluida dan penggunaan model komputer, diagram
Moody mulai ditinggalkan.
Swamee dan Jain (1976) dalam Mays (2000) mengusulkan persamaan koefisien
gesekan f yang terkenal dan banyak digunakan pada model komputer yaitu sebagai
berikut:

Re
74 , 5
7 , 3
log
25 , 0
2
9 , 0
(

|
.
|

\
|
+
=
D
k
f

... (3)
dimana k

adalah nilai kekasaran pipa yang tergantung dari jenis dan umur pipa, dan
Re adalah angka Reynolds. Berbeda dengan persamaan Colebrook, persamaan
Swamee dan Jain tidak membutuhkan iterasi dalam memperoleh nilai f .
Model komputer merupakan tiruan sistem jaringan pipa yang sesungguhnya yang
dibangun dalam suatu program komputer. Model tersebut terdiri dari kumpulan pipa
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 44
yang disebut sebagai links yang terhubungkan secara bersama-sama pada tiap
ujungnya yang disebut sebagai nodes seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.
Dalam skema tersebut, links merepresentasikan pipa-pipa, pompa, atau katup
pengatur, sedangkan nodes merepresentasikan sambungan pipa (junction), reservoir,
dan tangki.

Gambar 2. Representasi node-link dalam sistem jaringan pipa
Aliran masuk dan keluar dalam sistem biasanya dianggap terjadi pada node. Pada
jaringan pipa dengan konfigurasi loop harus dipenuhi persamaan kontinuitas dan
persamaan energi sebagai berikut.
1. Aliran di dalam pipa harus memenuhi hukum gesekan pipa untuk aliran dalam
pipa tunggal seperti yang ditunjukkan dalam persamaan (2).
2. Aliran masuk ke dalam tiap-tiap node harus sama dengan aliran yang keluar.
0 =
i
Q ... (4)
3. Jumlah aljabar kehilangan energi dalam suatu loop harus sama dengan nol.
0 =
f
h ... (5)
Setiap pipa dari sistem jaringan terdapat hubungan antara kehilangan energi dan
debit aliran. Secara umum hubungan tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk:
2
KQ h
f
= ... (6)
dengan:
5 2
8
D g
fL
K
t
=

Persamaan-persamaan di atas diselesaikan secara iterasi menggunakan beberapa
metode diantaranya metode Hardy Cross, Newton-Raphson, dan teori linier (linear
theory method).

3. METODE
Makalah ini membahas cara mengatasi kehilangan energi primer yang berlebihan
melalui pemodelan komputer. Program komputer yang digunakan adalah
WaterGEMS V8i. Program tersebut sudah dikenal secara luas untuk memodelkan
jaringan pipa terutama jaringan pipa yang sangat rumit dan kompleks untuk
diselesaikan secara manual.
Tahap awal dalam pemodelan adalah mempersiapkan sistem jaringan pipa yang
akan ditirukan. Data dasar yang diperlukan diantaranya adalah layout jaringan pipa,
karakteristik node, reservoir dan pipa, serta kebutuhan air konsumen. Selanjutnya
dilakukan pembangunan model menggunaan WaterGEMS V8i, menentukan pilihan
simulasi, dan menjalankan simulasi. Pengamatan dilakukan terhadap node yang
memiliki tekanan negatif dan kehilangan energi primer yang terlalu besar pada setiap
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 45
link. Optimasi dilakukan terhadap jaringan tersebut agar tidak terdapat tekanan yang
negatif dan kehilangan energi yang terlalu besar.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Jaringan pipa yang ditinjau dalam makalah ini ditunjukkan dalam Gambar 3.
Jaringan tersebut terdiri dari konfigurasi cabang dan loop yang memiliki satu buah
sumber air (reservoir). Elevasi reservoir lebih tinggi dibandingkan dengan node
lainnya di dalam jaringan, sehingga pengaliran air terjadi secara gravitasi. Tabel 1 dan
2 masing-masing memberikan nilai untuk karateristik setiap node dan pipa.

Gambar 3. Jaringan pipa yang ditinjau
Tabel 1. Karakteristik node
Node Elevasi
(m)
Kebutuhan Air
(L/det)
Node Elevasi
(m)
Kebutuhan Air
(L/det)
R-1 175 - J-7 120 3,0
J-1 120 3,5 J-8 115 2,0
J-2 125 2,0 J-9 120 2,5
J-3 115 1,0 J-10 110 1,5
J-4 115 0,0 J-11 115 0,0
J-5 120 2,0 J-12 120 2,0
J-6 115 3,0 J-13 120 2,5
Tabel 2. Karakteristik pipa
Pipa Panjang
(m)
Diameter
(mm)
c
(m)
Pipa Panjang
(m)
Diameter
(mm)
c
(m)
P-1 2.000 150 0,0015 P-9 1.500 100 0,0015

P-2 3.000 100 0,0015 P-10 2.000 100 0,0015

P-3 3.000 100 0,0015 P-11 2.000 150 0,0015

P-4 1.000 100 0,0015 P-12 1.500 100 0,0015

P-5 1.000 150 0,0015 P-13 3.000 150 0,0015

P-6 3.000 150 0,0015 P-14 2.000 100 0,0015

P-7 2.000 100 0,0015 P-15 2.000 100 0,0015

P-8 3.000 150 0,0015
Hasil simulasi menggunakan WaterGEMS V8i menunjukkan sistem tidak mampu
mengaliri air ke seluruh node dengan tekanan yang cukup. Tekanan negatif terjadi di
sebagian besar node seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 4. Tekanan negatif
tersebut dipengaruhi kehilangan energi yang terlalu besar di beberapa pipa. Hasil
simulasi terhadap kehilangan energi pada pipa ditunjukkan dalam Gambar 5.
Keterangan:
R-1 : No. Reservoir
P-1 : No. Pipa
J-1 : No. Junction/Node
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 46

Gambar 4. Tekanan negatif pada node setelah proses simulasi

Gambar 5. Kehilangan energi berlebihan pada pipa setelah proses simulasi
Upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi kehilangan energi yang berlebihan
adalah dengan mengganti diameter pipa yang bermasalah. Perhatikan persamaan
kehilangan energi Darcy-Weisbach pada persamaan (2), dimana dengan memperbesar
nilai D sedikit saja akan berpengaruh signifikan terhadap pengurangan nilai
f
h .
Namun, sebelum menentukan pipa mana yang akan diperbesar diameternya, terlebih
dahulu harus diamati profil garis energi hidraulik (hydraulic grade line) terhadap
elevasinya. Langkah ini diperlukan agar penggantian diameter pipa menjadi tepat.
Pada kasus sistem di atas, ditetapkan dua jalur (path) yang akan diamati profil
garis energi hidraulik terhadap elevasinya, yaitu jalur atas yang diberi nama Path-1
dan jalur bawah Path-2. Jalur atas (Path-1) secara berurutan adalah R-1>P-1>J-1>P-
2>J-2>P-3>J-3>P-4>J-4>P-13>J-11, sedangkan jalur bawah (Path-2) secara
berurutan adalah R-1>P-1>J-1>P-11>J-7>P-8>J-6>P-6>J-5>P-9>J-9. Profil untuk
Path-1 dan Path-2 masing-masing ditunjukkan dalam Gambar 6 dan Gambar 7.

R-1 P-1 J-1 P-2 J-2 P-3 J-3 P-4 J-4 P-13 J-11
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 47
Gambar 6. Profil garis energi hidraulik terhadap elevasi untuk Path-1

Gambar 7. Profil garis energi hidraulik terhadap elevasi untuk Path-2
Dari pengamatan profil untuk setiap jalur di atas, ditentukan pipa yang bermasalah
dan harus diperbesar diameternya adalah pipa P-1, P-2, dan P-11. Hal ini disebabkan
karena pada pipa P-1 untuk Path-1 (Gambar 6), kehilangan energi yang terlalu besar
menyisakan tekanan di hilir saluran (node J-1) hanya sebesar 2,61 m (122,61 120,00
m) sehingga tekanan di hilir pipa P-2 sudah menjadi negatif yang ditunjukkan oleh
garis energi hidraulik berada di bawah elevasinya. Begitu juga halnya untuk Path-2
(Gambar 7), dimana tekanan sisa di hilir pipa P-1 telah menjadi menjadi negatif di
hilir pipa P-11. Dengan demikian, diameter pipa P-1, P-2, dan P-11 masing-masing
diperbesar menjadi 200 mm, 150 mm, dan 175 mm. Hasil simulasi untuk tekanan di
setiap node dan kehilangan energi di setiap pipa setelah dilakukan pembesaran pipa
ditunjukkan dalam Gambar 8 dan Gambar 9. Sedangkan profil Path-1 dan Path-2
setelah perbaikan masing-masing ditunjukkan dalam Gambar 10 dan Gambar 11.

Gambar 8. Tekanan positif pada setiap node setelah pembesaran diameter pipa
R-1 P-1 J-1 P-11 J-7 P-8 J-6 P-6 J-5 P-9 J-9
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 48

Gambar 9. Kehilangan energi yang kecil pada pipa setelah pembesaran diameter

Gambar 10. Profil Path-1 setelah pembesaran diameter pipa

Gambar 11. Profil Path-2 setelah pembesaran diameter pipa
Setelah dilakukan perbaikan sistem dengan cara memperbesar pipa yang
bermasalah, diperoleh tekanan yang positif di setiap node dan kehilangan energi yang
relatif kecil (< 10 m/1.000 m) pada setiap pipa. Profil aliran di sepanjang Path-1 dan
Path-2 juga menunjukkan bahwa sistem mampu mengalirkan air dengan tekanan yang
cukup ke setiap node.
Langkah-langkah di atas pada dasarnya dapat diterapkan pada sistem jaringan pipa
yang lebih luas dan kompleks. Pengamatan menggunakan model komputer akan
R-1 P-1 J-1 P-2 J-2 P-3 J-3 P-4 J-4 P-13 J-11
R-1 P-1 J-1 P-11 J-7 P-8 J-6 P-6 J-5 P-9 J-9
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 49
sangat memudahkan pengguna sehingga penyelesaian masalah kehilangan energi
primer yang berlebihan menjadi tepat dan cepat.

5. KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan di atas diantaranya adalah:
1. Pengamatan terhadap kehilangan energi yang berlebihan dapat dilakukan
dengan sangat mudah apabila dibantu dengan model komputer.
2. Perbaikan kehilangan energi yang berlebihan dapat dilakukan dengan
pembesaran pipa setelah dilakukan pengamatan terhadap profil garis energi
hidraulik terhadap elevasi pada jalur pipa yang ditetapkan.
3. Apabila sistem jaringan pipa menggunakan pompa, maka kehilangan energi
yang relatif kecil akan menjadikan penggunaan pompa lebih efisien dari segi
penyediaan tekanan sisa.

6. DAFTAR PUSTAKA
Al Amin, M.B., 2009, Simulasi Konsentrasi Sisa Klorin pada Jaringan Distribusi
Air Minum (Studi Kasus Zona Air Minum Prima PDAM Kabupaten
Magelang), Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Al Amin, M.B., 2011, Komputasi Analisis Hidraulika Jaringan Pipa Air Minum,
Prosiding Seminar Nasional Kebumian 2011, 3: 18 29, Yogyakarta.
Mays, L.W., 2000, Water Distribution System Handbook, McGraw-Hill Co.,
USA.
Mays, L.W., 2001, Water Resources Engineering, John Wiley & Sons, Inc., USA.
Munson, B. R., dkk., 2009, Fundamentals of Fluid Mechanics, John Wiley &
Sons, Inc., USA.
Swamee, K.P., dan Ashok, K.S., 2008, Design of Water Supply Pipe Networks,
John Wiley & Sons, Inc., USA.
Triatmadja, R., 2009, Hidraulika Sistem Jaringan Perpipaan Air Minum, Penerbit
Beta Offset, Yogyakarta.
Triatmodjo, B., 2003, Hidraulika II, Penerbit Beta Offset, Yogyakarta.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 50
KMP-7
Pembuatan Etanol Dari Serat Buah Bintaro Dengan Proses Hidrolisa
Asam Dan Fermentasi

M. Hatta Dahlan
1*
, Masayu Nuraini R
2
, Rahmat Feri Fernando
2
,
1
Dosen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
2
Mahasiswa Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
Korespondensi Pembicara. Phone: +62 853 67668266
Jl. Raya Palembang Km.32, Inderalaya
Email : halogenated@hotmail.com

Abstrak

Buah bintaro merupakan buah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan
bakar alternatif. Pada buah bintaro ini terdapat kandungan lignoselulosa yang dapat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari pengaruh variasi konsentrasi asam sulfat, waktu hidrolisa, dan waktu
fermentasi terhadap kadar etanol. Pada tahap awal dilakukan proses, pengecilan
ukuran dan pengeringan serat buah bintaro. Setelah itu, dilakukan proses delignifikasi
dengan NaOH 4% b/b dan dilanjutkan proses hidrolisa menggunakan asam dengan
variasi penambahan konsentrasi H
2
SO
4
(2 % b/b, 3 % b/b dan 4 % b/b) dan waktu
hidrolisa (30 menit dan 60 menit). Kemudian dilanjutkan proses fermentasi dengan
waktu fermentasi (1, 2, 3, 4, 5 dan 6 hari), berat ragi (S. Cerevisiae) 3 gr, pH 4 dan
berat nutrien 1 gr. Selanjutnya analisa kadar etanol menggunakan piknometer dan
analisa dengan alat kromatografi gas. Hasil percobaan menunjukkan kadar etanol
tertinggi 4,12 % b/b pada waktu hidrolisa 60 menit, penambahan konsentrasi H
2
SO
4
2
% b/b dan waktu fermentasi 5 hari.

Kata kunci : Buah bintaro, fermentasi, hidrolisis asam, kadar etanol.

Abstract

Bintaro fruit is a fruit that can be used as an alternative fuel source. Bintaro
fruit contains lignocellulose that can be used as a raw materials source to produce
bioethanol. This research aims to study the effect of variations in the concentration of
sulfuric acid, hydrolysis time, and fermentation time on ethanol content. The In the
early stages carried size reduction and drying of bintaro fruit fiber. Then,
delignification process was carried with NaOH 4 % b/b and followed by acid
hydrolysis process with variations of addition concentration of H
2
SO
4
( 2% b/b, 3%
b/b and 4% b/b) and hydrolysis time (30 minutes and 60 minutes). Then proceed with
fermentation process, fermentation time (1, 2, 3, 4, 5 and 6 days), yeast (S.
Cerevisiae) 3 gr, pH 4 and nutrients 1gr. Furthermore, analysis of ethanol content
using pycnometer and gas chromatography. The experimental results showed the
highest ethanol content 4.12 % b/b at the hydrolysis time of 60 minutes, addition of
H
2
SO
4
2% b/b and fermentation time 5 days.

Key words : Acid hydrolysis, bintaro fruit, ethanol content, fermentation.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 51
1. Pendahuluan
Tanaman bintaro merupakan salah satu tanaman mangrove yang dapat tumbuh
di tanah yang kurang nutrisi dan tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia
sehingga mudah untuk dibudidayakan. Buah bintaro merupakan buah drupa (berbiji)
dengan serat lignoselulosa yang menyerupai buah kelapa (Iman dan Handoko., 2011).
Selama ini masyarakat hanya mengenal tanaman bintaro sebagai tanaman
peneduh kota dan belum banyak dimanfaatkan sehingga nilai ekonomisnya masih
rendah. Buah bintaro merupakan biomassa yang kandungan lignoselulosa tinggi.
Adanya kandungan selulosa menjadikan buah bintaro berpotensi dalam pembuatan
bioetanol melalui proses hidrolisis yang memecah selulosa menjadi glukosa yang
merupakan bahan baku fermentasi bioetanol. Komposisi lignoselulosa dari buah
bintaro seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1. Komposisi Lignoselulosa dari Serat Buah Bintaro
No. Komposisi Liqnoselulosa % Kandungan
1. Selulosa 36,94
2. Hemiselulosa 25,06
3. Liqnin 38
Sumber : Hengki Mulyana & Toni Handoko, 2010.
Oleh karena itu, pada penelitian ini kami akan meniliti tentang pengaruh
penambahan variasi konsentrasi asam sulfat (H
2
SO
4
), waktu hidrolisa dan fermentasi
terhadap kadar etanol dari serat buah bintaro. Penelitian ini diharapkan bermanfaat
dalam pengembangan bioethanol di Indonesia sehingga dapat mengurangi dampak
krisis energi dan mampu menghasilkan sendiri sumber energi dari kekayaan alam
yang beraneka ragam.
Adanya kandungan selulosa menjadikan buah bintaro berpotensi dalam
pembuatan bioetanol melalui proses hidrolisis yang memecah selulosa menjadi
glukosa yang merupakan bahan baku fermentasi bioetanol. Selulosa adalah polimer
glukosa (hanya glukosa) yang tidak bercabang. Bentuk polimer ini memungkinkan
selulosa saling menumpuk atau terikat menjadi bentuk serat yang sangat kuat.
Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam atau enzim.
Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasi menjadi etanol.
Hidrolisis selulosa menjadi glukosa dapat dilakukan menggunakan cara
kimiawi dan hayati. Hidrolisis dengan cara kimiawi menggunakan asam kuat,
sedangkan dengan cara hayati menggunakan enzim murni atau mikroorganisme
penghasil enzim selulase. Kendala yang dihadapi yaitu rendahnya laju hidrolisis
karena adanya kandungan lignin dalam bahan lignoselulosa. Oleh karena itu
dilakukan proses delignifikasi sebelum dihidrolisis.
Beberapa asam yang umum digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah
asam sulfat (H
2
SO
4
), asam perklorat dan HCl. Asam sulfat merupakan asam yang
paling banyak diteliti dan dimanfaatkan untuk hidrolisis asam. Hidrolisis asam dapat
dikelompokkan menjadi hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer (Isroi, 2008).
Di dalam metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dipaparkan dengan
asam pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu, dan menghasilkan
monomer gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Beberapa asam yang umum
digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat (H2SO4), asam
perklorat, dan HCl. Asam sulfat merupakan asam yang paling banyak diteliti dan
dimanfaatkan untuk hidrolisis asam.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 52
Fermentasi Alkohol adalah proses penguraian karbohidrat menjadi etanol dan
CO
2
yang dihasilkan oleh aktivitas suatu jenis mikroba yang disebut khamir dan
keadaan anaerob (Proscott dan Dunn, 1959) yaitu mengubah glukosa menjadi alkohol,
tetapi dalam pembuatan starter dibutuhkan suasana aerob dimana oksigen diperlukan
untuk pembiakan sel.
Reaksi yang terjadi pada proses produksi bioetanol secara sederhana
ditunjukkan pada reaksi 1 dan 2.
H
2
SO
4

(C
6
H
10
O
5
)n + nH
2
O nC
6
H
12
O
6

(1)
Polisakarida Air Glukosa
yeast (ragi)
(C
6
H
12
O
6
) 2C
2
H
5
OH + 2CO
2

(2)
Glukosa Etanol
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah eksperimental, dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana serat buah bintaro dapat menghasilkan alkohol (etanol) melalui proses
Hidrolisa Asam dan Fermentasi. Proses konversi lignoselulosa dari serat buah bintaro
menjadi bioetanol melalui beberapa tahapan yaitu persiapan bahan baku meliputi
pemotongan serat buah bintaro dan pengeringan pada suhu 100 C selama 48 jam,
dilanjutkan dengan pretreatment atau delignifikasi yaitu penambahan NaOH 4 % b/b
(350 ml) pada suhu 121 C selama 60 menit.
Kemudan campuran didinginkan dan disaring untuk memisahkan larutan
NaOH 4% dan ligninnya. Selanjutnya dilakukan proses hidrolisis dengan
menggunakan asam sulfat (H
2
SO
4
) dengan variasi konsentrasi (2 % b/b, 3 % b/b dan 4
% b/b) per sampelnya dengan waktu hidrolisa 30 & 60 (menit) pada temperatur 121
o
C. Setelah itu dilanjutkan dengan proses fermentasi, dimana sampel diatur tingkat
keasamannya dengan menambahkan larutan NaOH sehingga pH = 4.
Pada proses fermentasi ditambahkan ragi roti sebanyak 3 gram
(Sacharomyces Sereviceae) per sampel serta waktu fermentasi divariasikan 1, 2, 3, 4,
5 dan 6 hari . Kemudian sampel yang telah difermentasi disaring kembali dan
dilanjutkan dengan proses evaporasi pada suhu 78 80
o
C untuk memisahkan etanol
dari larutan sampel. Etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi di analisa
menggunakan metode piknometer dan GC.
3. Hasil dan Pembahasan
Penelitian pembentukan bioetanol dari serat buah bintaro dilakukan uji
kuantitatif (volume dan massa etanol) dan uji kualitatif (kadar etanol). Dari penelitian
yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa variasi konsentrasi asam sulfat (H
2
SO
4
),
waktu hidrolisa dan fermentasi mempengaruhi volume etanol, massa etanol dan kadar
etanol. Dalam penelitian ini, waktu hidrolisa divariasikan 30 menit dan 60 menit.
Penambahan konsentrasi asam yang divariasikan 2% b/b, 3% b/b, dan 4% b/b.
Kemudian untuk waktu fermentasi divariasikan 1 hari, 2 hari, 3 hari, 4 hari, 5 hari dan
6 hari
3.1 Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Volume Etanol pada Berbagai
Konsentrasi Asam Sulfat dengan Waktu Hidrolisa 30 Menit
Dari gambar terlihat bahwa semakin lama waktu fermentasi maka volume
etanol yang dihasilkan semakin besar sampai batasan maksimum. Setelah melewati
batasan maksimum volume etanol yang dihasilkan menurun. Volume etanol terbesar
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 53
diperoleh adalah 14,2 ml pada waktu fermentasi 5 hari dan konsentrasi asam sulfat
H
2
SO
4
2 % b/b.

Gambar 1. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Volume Etanol pada Berbagai
Konsentrasi Asam Sulfat dengan Waktu Hidrolisa 30 Menit
Volume etanol yang dihasilkan menurun pada hari ke 6, hal ini disebabkan
oleh aktifitas dari mikroba yaitu saccharomyces ceriviseae, dimana selama waktu
fermentasi hari pertama sampai dengan hari kelima mikroba tersebut mengalami fase
pertumbuhan yang menyebabkan masa dan volume dari mikroba tersebut meningkat,
sedangkan pada hari keenam jumlah sel menurun karena kehabisan nutrien dan subtrat
yang menyebabkan beberapa mikroba mati yang dapat menurunkan volume etanol.
Sedangkan penambahan konsentrasi asam sulfat yang digunakan pada proses
hidrolisa asam berpengaruh terhadap volume etanol yang dihasilkan, semakin encer
konsentrasi asam sulfat yang digunakan maka semakin besar glukosa yang terbentuk
dari proses hidrolisa, dimana berpeangaruh terhadap besarnya volume etanol yang
didapatkan. Pada penelitian ini terlihat bahwa volume etanol terbesar pada konsentrasi
asam sulfat 2% b/b.
3.2 Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Volume Etanol pada Berbagai
Konsentrasi Asam Sulfat dengan Waktu Hidrolisa 60 Menit

Gambar 2. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Volume Etanol pada Berbagai
Konsentrasi Asam Sulfat dengan Waktu Hidrolisa 60 Menit
Dari gambar terlihat bahwa semakin lama waktu fermentasi maka volume
etanol yang dihasilkan semakin besar sampai batasan maksimum. Setelah melewati
batasan maksimum volume etanol yang dihasilkan menurun. Volume etanol terbesar
adalah 16,4 ml pada waktu fermentasi 5 hari dan konsentrasi asam sulfat 2 % b/b.
Volume etanol yang dihasilkan menurun pada hari ke 6, hal ini disebabkan
oleh aktifitas dari mikroba yaitu saccharomyces ceriviseae, dimana selama waktu
fermentasi hari pertama sampai dengan hari kelima mikroba tersebut mengalami fase
pertumbuhan yang menyebabkan masa dan volume dari mikroba tersebut meningkat,
0
5
10
15
0 1 2 3 4 5 6 7 8
V
o
l
u
m
e


E
t
a
n
o
l

m
l
)

Waktu Fermentasi (Hari)
2% H2SO4
3% H2SO4
4% H2SO4
Konsentrasi Asam
0
3
6
9
12
15
18
0 1 2 3 4 5 6 7
V
o
l
u
m
e


E
t
a
n
o
l

(
m
l
)

Waktu Fermentasi (Hari)
2% H2SO4
3% H2SO4
4% H2SO4
Konsentrasi Asam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 54
sedangkan pada hari ke-enam jumlah sel menurun karena kehabisan nutrien yang
menyebabkan beberapa mikroba mati yang dapat menurunkan volume etanol.
Sedangkan penambahan konsentrasi asam sulfat yang digunakan pada proses
hidrolisa asam berpengaruh terhadap volume etanol yang dihasilkan, semakin encer
konsentrasi asam sulfat yang digunakan maka semakin besar glukosa yang terbentuk
dari proses hidrolisa, sehingga pada waktu fermentasi volume etanol yang dihasilkan
semakin besar. Pada penelitian ini terlihat bahwa volume etanol terbesar pada
konsentrasi asam sulfat 2% b/b.
3.3 Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Etanol pada Berbagai
Konsentrasi Asam Sulfat dengan Waktu Hidrolisa 30 Menit

Gambar 3. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Etanol pada Berbagai
Konsentrasi Asam Sulfat dengan Waktu Hidrolisa 30 menit
Pada gambar tersebut terlihat bahwa kadar etanol yang terbesar adalah 2.64 %
b/b pada waktu fermentasi 5 hari dengan konsentrasi asam 2% b/b. Sedangkan kadar
etanol terkecil adalah 0,71% b/b pada waktu fermentasi 1 hari dengan konsentrasi
asam 4 % b/b. Tingginya kadar etanol yang dihasilkan pada hari ke-5 menunjukan
khamir yang terdapat pada ragi roti telah optimal mengubah gula menjadi etanol.
Semakin lama waktu fermentasi, maka semakin banyak glukosa yang dirombak
menjadi etanol, sehingga kadar etanol yang dihasilkan semakin tinggi. Sedikitnya
kadar etanol yang dihasilkan pada proses fermentasi sebelum hari ke-5 menunjukan
bahwa khamir belum optimal dalam merombak glukosa menjadi etanol. Akan tetapi
setelah hari kelima, kadar etanol pada masing-masing sampel akan mengalami
penurunan. Hal ini disebabkan karena proses fermentasi telah mencapai optimum
pada waktu 5 hari., kadar etanol akan mengalami penurunan setelah melewati waktu
optimumnya.
Hal ini sesuai dengan hipotesa bahwa proses fermentasi akan mencapai waktu
maksimum pada saat tertentu. Kenaikan kadar etanol ini juga terjadi karena lama
fermentasi berhubungan erat dengan kurva pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan
mikroba terdiri dari enam fase, yaitu fase adaptasi, fase permulaan pembiakan, fase
pembiakan cepat, fase konstan atau stasioner dan fase terakhir adalah fase kematian
(Said, EG, 1994)
Sedangkan untuk konsentrasi asam yang digunakan pada proses hidrolisa asam
berpengaruh terhadap kadar etanol yang dihasilkan, semakin kecil konsentrasi asam
sulfat yang digunakan maka semakin besar glukosa yang terbentuk dari proses
hidrolisa asam. Sehingga berpengaruh terhadap besarnya kadar etanol yang
didapatkan dari proses fermentasi. Dalam penelitian ini terlihat bahwa pada
konsentrasi asam sulfat 2 % b/b kadar etanol yang dihasilkan lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi asam 3% b/b dan 4% b/b.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
0 1 2 3 4 5 6 7 8
K
a
d
a
r

E
t
a
n
o
l

(
%
)

Waktu Fermentasi (Hari)
2% H2SO4
3% H2SO4
4% H2SO4
Konsentrasi Asam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 55
Pada konsentrasi asam sulfat yang semakin pekat, maka akan semakin memicu
terbetuknya inhibitor yang bersifat racun. Glukosa yang akan terdegdradasi
membentuk hydroxymethylfurfural dan bereaksi lebih lanjut membentuk asam
formiat (Palmqvit and Hahn-Hagerdal., 2000). Sehingga kadar etanol yang paling
tinggi terbentuk pada saat konsentrasi asam sulfat yang paling encer karena glukosa
yang dihasilkan banyak dan sedikit mengandung senyawa-senyawa inhibitor seperi
asam formiat.
3.4 Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Etanol pada Berbagai
Konsentrasi Asam Sulfat dengan Waktu Hidrolisa 60 menit

Gambar 3. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Etanol pada Berbagai
Konsentrasi Asam Sulfat dengan Waktu Hidrolisa 60 menit
Pada gambar tersebut terlihat bahwa kadar etanol yang terbesar adalah 4,12 %
b/b pada saat waktu fermentasi 5 hari dan konsentrasi asam sulfat 2 % b/b.
Sedangkan kadar etanol terkecil adalah 1,43 % b/b pada saat konsentrasi asam 4 %
b/b dengan waktu fermentasi 1 hari. Tingginya kadar etanol yang dihasilkan pada hari
ke-5 menunjukan khamir yang terdapat pada ragi roti telah optimal mengubah gula
menjadi etanol. Semakin lama waktu fermentasi, maka semakin banyak glukosa yang
dirombak menjadi etanol, sehingga kadar etanol yang dihasilkan semakin tinggi.
Sedikitnya kadar etanol yang dihasilkan pada proses fermentasi sebelum hari
ke-5 menunjukan bahwa khamir belum optimal dalam merombak glukosa menjadi
etanol. Akan tetapi setelah hari kelima, kadar etanol pada masing-masing sampel
akan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena proses fermentasi telah
mencapai optimum pada waktu 5 hari., kadar etanol akan mengalami penurunan
setelah melewati waktu optimumnya.
Hal ini sesuai dengan hipotesa bahwa proses fermentasi akan mencapai waktu
maksimum pada saat tertentu. Kenaikan kadar etanol ini juga terjadi karena lama
fermentasi berhubungan erat dengan kurva pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan
mikroba terdiri dari enam fase, yaitu fase adaptasi, fase permulaan pembiakan, fase
pembiakan cepat, fase konstan atau stasioner dan fase terakhir adalah fase kematian
(Said, EG, 1994)
Sedangkan untuk konsentrasi asam yang digunakan pada proses hidrolisa asam
berpengaruh terhadap kadar etanol yang dihasilkan, semakin kecil konsentrasi asam
sulfat yang digunakan maka semakin besar glukosa yang terbentuk dari proses
hidrolisa. Sehingga pada saat proses fermentasi, glukosa yang dikonversi menjadi
etanol lebih banyak dan kadar etanol yang dihasilkan lebih besar. Dalam penelitian ini
terlihat bahwa pada konsentrasi asam sulfat 2 % b/b kadar etanol yang dihasilkan
lebih tinggi dibandingkan konsentrasi asam 3% b/b dan 4% b/b.
Dari kedua grafik dapat dilihat pengaruh masing-masing variabel terhadap
kadar etanol, pada waktu hidrolisa yang divariasikan yaitu 30 menit dan 60 menit,
0
1
2
3
4
5
0 1 2 3 4 5 6 7
K
a
d
a
r

E
t
a
n
o
l

(
%
)

Waktu Fermentasi (Hari)
2% H2SO4
3% H2SO4
4% H2SO4
Konsentrasi Asam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 56
kadar etanol yang tertinggi diperoleh pada saat waktu hidrolisa 60 menit yaitu sebesar
4,12 % b/b. Hal ini menunjukan adanya pengaruh waktu hidrolisa terhadap kadar
etanol.
Pada penelitian ini uji kadar ethanol dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
cara metoda pengukuran densitas sampel menggunakan piknometer yang kemudian
membandingkanya dengan tabel alkoholmetrik (Farmakope Indonesia, 1979) dan cara
yang kedua menggunakan alat gas kromatografi.
3.5. Analisa Kadar Etanol Dengan Menggunakan Gas Chromatograph
Pada penelitian ini jumlah sampel yang kami analisa menggunakan alat Gas
Chromatograph hanya 4 sampel saja. Pilihan sampel didasarkan pada kondisi yang
terbaik yang diukur dengan menggunakan piknometer.
Tabel 2. Pebandingan Kadar Etanol Hasil Analisa GC dan Piknometer
Dari analisa kadar etanol menggunakan Gas Chromatograph (GC) diperoleh
perbedaan nilai dengan analisa kadar etanol menggunakan piknometer. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor:
a. Analisa piknometer bersifat kotor, nilai hasil analisa merupakan densitas
campuran sehingga lebih besar jika dibandingkan dengan analisa GC. Sedangkan
dengan analisa GC, hanya etanol murni yang dihasilkan.
b. Jarak waktu antara analisa piknometer dengan analisa GC cukup lama. Sehingga
kemungkinan kandungan etanol yang terdapat di dalam sampel menguap.
4. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut :
a. Waktu hidrolisa terhadap kadar etanol berbanding lurus. Dimana kadar etanol
yang dihasilkan pada waktu hidrolisa 60 menit lebih besar dari pada kadar etanol
yang dihasilkan pada waktu 30 menit
b. Semakin encer konsentrasi asam sulfat H
2
SO
4
yang ditambahkan pada proses
hidrolisa asam maka kadar etanol yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini karena
semakin banyak glukosa yang dirombak menjadi etanol pada saat proses
fermentasi. Kadar Etanol tertinggi yang dihasilkan yaitu pada saat penambahan
konsentrasi asam sulfat 2 % b/b.
c. Semakin lama waktu fermentasi maka kadar etanol yang dihasilkan semakin
tinggi sampai batasan waktu optimalnya. Setelah melewati batasan waktu
optimalnya maka kadar etanol yang dihasilkan turun. Kadar etanol tertinggi
dihasilkan pada waktu 5 hari.
d. Pada penelitian ini kondisi terbaik proses pembuatan etanol dari serat buah
bintaro adalah pada waktu hidrolisa 60 menit, waktu fermentasi 5 hari dan
konsentrasi asam sulfat 2% b/b yang menghasilkan persentase kadar etanol
sebesar 4,12 % b/b.

Berat
Sampel
(gr)
Waktu
Hidrolisa
Konsentrasi
H
2
SO
4

(% b/b)
Waktu
Fermentasi
(hari)
Kadar Etanol
Analisa GC
(%)
Analisa
Piknometer
(%)
20 60 menit 2
3 0.4650 2.84
4 0.5750 3.17
5 1.5574 4.12
6 0.5868 3.25
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 57
Daftar Pustaka
Daru., Meilinda. 2011. Pembuatan Bioetanol dari Tandan Kosong Kelapa Sawit
Menggunakan Metode Hidrolisis Enzimatik dan Fermentasi. Jurusan Teknik
Kimia Fakultas Teknik UNSRI: Indralaya.
Dibyo, Pranowo. 2010. Majalah Semi Populer TREE Tanaman Rempah dan Industri,
November 2010, Vol. 1, No. 23. BALITTRI: Sukabumi.
Gusmailina. 2010. Prospek Bioethanol sebagai Pengganti Minyak Tanah. Diakses
pada 23 April 2011 dari http://www.indobioethanol.com
Hidayat, Achmad N. 2008. Produksi Etanol. Diakses pada 6 April 2012 dari
http://ujangky.blogspot.com/2012/12/produksi-etanol.html
Hambali, Erliza. dkk., 2008. Teknologi Bioenergi. Jakarta : Agromedia Pustaka
Iman, Greg. dan Handoko, Tony., Pengolahan Buah Bintaro sebagai Sumber
Bioethanol dan Karbon Aktif, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia.
Yogyakarta, 22 Februari 2011. Yogyakarta, 2011.
Isroi. 2008. Produksi Bioetanol Berbahan Baku Biomassa Lignoselulosa : Hidrolisis
Asam. Diakses pada 6 April 2012 dari http://www. isroi.wordpress.com
Kumar, P., Barrett, D.M., Delwiche, M.J., and Stroeve, P. 2009. Methods for
Pretreatment of Lignocellulosic Biomass for Efficient Hydrolysis and Biofuel
Production, Ind. Eng. Chem. Res., 48(8), 3713-3729.
Muljono, Judoamidjojo, Darwis, Aziz, A., dan Gumbira, E. 2002. Teknologi
Fermentasi. Rajawali pers: Jakarta
Orpahdt, Charles E. 2003. Organic and Biochemistry. Diakses pada 6 April 2012 dari
http://www.elmhurst.edu/~chm/vchembook
Sun, Y., dan Cheng, J., 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol
production: a review. Bioresource Technology 83: 1 11


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 58
KMP-8

ENERGY EFFICIENCY CONCEPT OF GREEN
ARCHITECTURE:
IMPROVING IMAGINATION OF COMPREHENSIVE,
DINAMIC, INNOVATIVE, AND FUTURISTIC ARCHITECTURE
DESIGN


Meivirina Hanum,.
1*
. Chairul Murod.
2

Prodi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya,
Jl. Raya Palembang - Inderalaya Km.32, Inderalaya
Korespondensi Pembicara
Email : hanumimauro@yahoo.com.
Phone : +62 812 7343280, Fax : +62 711 360352



ABSTRACT


he fact that almost all of skyscrapers and other high-scaled buildings using 100%
artificial energy affected in destroying environment, increasing earth - temperature,
and exploiting the natural sources encourages the existence of Green Architecture.
More people now concerns in comprehensive architecture design that keeping the
energy used efficient to the number 50%. Researches and developments in
construction industry, innovations of energy-efficient and eco-friendly materials,
inventions of material technology alternatives that more economically and effective,
are some of real proofs of this concern.
What people didnt get yet is, that this energy efficient concept not only speaking
about efficiency, but also speaking about being inspired by the nature; about
becoming more creative in designing buildings. Green architecture not only speaking
of saving the earth, but also speaking that earth is our real Guru. The great design,
futuristic design, is not one which totally separated from the nature or leaving it
vanished, but the one which united and get along with the nature. Because this means
that our world and our life will last longer.
This paper will show how this orientation in energy-efficient concept would improve
our ideas in designing dynamic, innovative, and futuristic architecture projectsnot
in contrary, limit the ideas. This paper will describe the analysis of any points and
elements of this concept that inspiring the design process.





Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 59
KEY WORDS:
COMPREHENSI VE , DI NAMI C, ENERGY EFFI CI ENT CONCEPT, FUTURI STI C DESI GN, GREEN
ARCHI TECTURE, and I NNOVATI VE.


KONSEP HEMAT ENERGI UNTUK ARSITEKTUR HIJAU
MERANGSANG IMAJINASI DESIGN ARSITEKTUR
BERKELANJUTAN
YANG DINAMIS, INOVATIF DAN FUTURISTIK


Meivirina Hanum, Chairul Murod.

Prodi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya,
Jl. Raya Palembang - Inderalaya Km.32, Inderalaya
Korespondensi Pembicara
Email : hanumimauro@yahoo.com.
Phone : +62 812 7343280, Fax : +62 711 360352



ABSTRAK


rsitektur Hijau atau yang lebih populer Green Architecture, hadir karena fakta di
lapangan yang menunjukkan bahwa bangunan bangunan pencakar langit dan bagunan
berskala besar, hampir semuanya menggunakan 100 % energi buatan. Ketergantungan
akan Energi buatan memicu rusaknya lingkungan, terkurasnya sumber alam,
eksploitasi energi bumi besar besaran, dan memanasnya bumi karena tergerusnya
lapisan ozon oleh energi buatan dan efek rumah kaca.
Green Architecture, menjadi alternatif landasan konsep Design Arsitektur,
merangsang imajinasi para arsitek untuk merancang Arsitektur yang berkelanjutan
dengan Design yang Dinamis dan Futuristik, dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi di bidang Energi yang Inovatif, untuk target penggunaan Efiseiensi Energi
menjadi 50 %.
Eksplorasi Design Arsitektur, kemajuan teknologi industri Jasa Konstrusi dan
munculnya berbagai produsen material konstruksi yang memiliki spesifikasi hemat
energi, ramah lingkungan, menggunakan teknologi bahan alternatif, ekonomis,
effisien dan efektif dari sisi pelaksanaan berjalan sinergi, paralel menuju pada
semangat yang satu yaitu penggunaan Material dan teknologi konstruksi yang
berlandaskan pada konsep Hemat Energi dan Inovasi Material Konstruksi.
Design Arsitektur berkelanjutan yang Dinamis dari bentuk yang merespon potensi
alam, menggunakan Teknologi Konstruksi, Pelaksanaan Konstruksi, Utilitas
Bangunan yang Inovatif, serta Design yang menunjang Futuristik ( Ke Kinian ),
sehingga bangunan memilki Life Time yang optimal, dan memangkas pemborosan di
segala aspek yang tidak perlu.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 60
KATA KUNCI :
COMPREHENSI VE , DI NAMI C, ENERGY EFFI CI ENT CONCEPT, FUTURI STI C DESI GN, GREEN
ARCHI TECTURE, and I NNOVATI VE.

I. PENDAHULUAN.
Ketersedian energi dunia mendatang merupakan permasalahan yang
senantiasa menjadi perhatian semua bangsa, karena bagaimanapun juga
kesejahteraan manusia dalam kehidupan modern berbanding lurus dengan jumlah
dan mutu energi yang dimanfaatkan. Indonesia misalnya, yang merupakan salah
satu negara sedang berkembang, penyediaan energi merupakan faktor yang
sangat penting dalam mendorong pembangunan. Dengan semakin meningkatnya
jumlah penduduk dan membaiknya pertumbuhan ekonomi domestik maka
pertumbuhan konsumsi BBM di masa mendatang diperkirakan terus mengalami
kenaikan yang memicu kebutuhan energi meningkat.
3
Sampai saat ini minyak
bumi masih menjadi primadona sumber energi Indonesia. Penyediaan BBM
dalam negeri sebagian besar diperoleh dari kilang dalam negeri (sekitar 72%),
sedangkan sisanya diperoleh dari pasar impor. Di samping impor dalam bentuk
BBM, Indonesia juga mengimpor minyak mentah untuk diolah di kilang-kilang
dalam negeri. Saat ini impor minyak mentah mencapai sekitar 360 ribu barrel per
hari (hampir 50% dari produksi); Konsumsi BBM domestik dalam 10 tahun
terakhir menunjukkan kenaikan rata-rata sebesar, 4,8 % per tahun.
4

Bangunan merupakan salah satu sektor penting yang sangat berpengaruh
terhadap penggunaan bahan bakar minyak, umumnya mengkonsumsi BBM dalam
bentuk Energi Listrik sekitar 30-60 persen
5
(dapat dilihat pada diagram
dibawah ), dari total konsumsi BBM di suatu negara. Penghematan energi
melalui rancangan bangunan menjadi solusi alternatif untuk mengarah pada
penghematan penggunaan listrik, baik bagi pendinginan udara, penerangan
buatan, maupun peralatan listrik lain. Dengan strategi konsep perancangan yang
berpijak pada semangat untuk mengoptimalkan sumber daya alam dan mendaya
gunakan kemajuan teknologi utilitas bangunan maka penghematan energi pada
bangunan dapat tercapai.

6









3
Cetak biru Dirjenmigas,Kondisi Pasar Usaha Hilir Migas,hal.35,www.bphmigas.go.id.
4
Idem Ditto
5
http://ndyteen.blogspot.com/2012/07/rancangan-arsitektur-pasif-dan.html
6
Climat Responsive Architecture, A Design Handbook For Energy Efficient Buildings, Editor Arvind Krishan, dkk, Tata
McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi.
GLOBAL ENERGY USE (1986 )
CONSUMPTION BY SECTOR
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 61
Eksplorasi Imajinasi Design Arsitektur juga dapat berpijak dari modifikasi
iklim luar yang tidak nyaman menjadi iklim ruang yang nyaman tanpa banyak
mengonsumsi Energi Listrik, dengan mengoptimalkan kinerja elemen bangunan,
mulai dari jumlah dan luas bukaan, pemakaian sunshading, overhang atau
awning, akan meningkatkan udara yangmasuk melalui bukaan, juga bentukan
masa bangunan, pemanfaatan ruang ruang transisi dlsb.
Konsep hemat Energi juga dapat merangsang imajinasi arsitek untuk olah
bentuk dan masa yang menyesuaikan dengan konsep hemat energy. Eksplorasi
design berkaitan dengan penggunan konsumsi energy, dapat dilakukan dengan 2
proses perancangan arsitektur, yaitu proses perancangan arsitektur aktif dan
proses perancangan pasif. Untuk, lebih jelasnya tentang bagaimana keterkaitan
antara perancangan, bentuk masa / bangunan, konsep hemat energy dan
menghadirkan energy alternative dapat saling melengkapi menuju satu integrasi
yang saling bergantungan satu sama lainnya - simbiose mutualistis
Kebutuhan Energi per - kapita dan nasional dapat ditekan jika secara nasional
diberlakukan kebijakan di dalam metode rancang-bangun dengan konsep hemat
energi. Bangunan juga dapat berfungsi sebagai penyaring faktor alamiah
penyebab ketidak nyamanan, seperti hujan, terik matahari, angin kencang, dan
udara panas tropis, agar tidak masuk ke dalam bangunan. Udara luar yang panas
dimodifikasi/diubah bangunan menjadi udara dingin, tidak hanya oleh energi
buatan, seperti AC, tetapi juga dapat mengoptimalkan udara alam. Sehingga
kebutuhan energi listrik untuk menggerakkan mesin AC dapat ditekan.
Demikian juga halnya bagi penerangan malam hari atau ketika langit
mendung, selain diperlukan energi listrik untuk lampu penerang, design bangunan
juga berperan aktif dalam pengadaan pencahayaan alamai dengan berbagai
konsep design bukaan.


Arsitektur Hijau & Arsitektur Berkelanjutan.

Green Architecture atau sering disebut sebagai Arsitektur Hijau pada
prinsipnya adalah arsitektur yang minim mengkonsumsi sumber daya alam,
ternasuk energi, air, dan material yang berasal dari alam, serta minim
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, dan materialnya dapat dibuat
daur ulang, difungsikan kembali, atau mengurangi, yang akrap di kenal dengan
Triple R Re Use, Re Duce dan Re Cycle. Penjabaran prinsi-prinsip green
architecture untuk suatu proses perancangan arsitektur, juga tidak melupakan
landasan konsep green building
7
yang antara lain memiliki beberapa kriteria
dalam konsep perancangan arsitekturnya, antara lain :
1. Conserving Energy (Hemat Energi)
Sebagai dasar konsep Desing Bangunan, yang mampu mengekplorasi
penggunaan Energi se Efisien mungkin, dan mengoptimalkan Energi Alami.
2. Working with Climate(Memanfaatkan kondisi dan sumber energi alami)
Pemanfaatan potensi alam, mulai dari matahari, angin, hujan, tumbuhan, yang
dapat diintegrasikan dalam elemen elemen bangunan
3. Respect for Site (Menanggapi keadaan tapak pada bangunan)

7
Green Architecture Design untuk For Sustainable Future . Brenda dan Robert Vale, 1991, :
(http://www.w3.directory.com/directory-Science-and-technology-of-art.php).

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 62
Posisioning, arah tapak bangunan terhadap kondisi lingkungan, termasuk
penggunaan
material yang ramah lingkungan
4. Respect for User (Memperhatikan pengguna bangunan)
Antara pemakai dan green architecture mempunyai keterkaitan yang sangat
erat. Kebutuhan akan green architecture harus memperhatikan kondisi
pemakai yang didirikan di dalam perencanaan dan pengoperasiannya.
5. Limitting New Resources (Meminimalkan Sumber Daya Baru)
Suatu bangunan seharusnya dirancang mengoptimalkan material yang ada
dengan meminimalkan penggunaan material baru, dimana pada akhir umur
bangunan dapat digunakan kembali unutk membentuk tatanan arsitektur
lainnya.
6. Holistic
Memiliki pengertian mendesain bangunan dengan menerapkan 5 poin di atas
menjadi satu dalam proses perancangan. Prinsip-prinsip green architecture
pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, karena saling berhubungan satu sama
lain. Tentu secar parsial akan lebih mudah menerapkan prinsip-prinsip
tersebut. Oleh karena itu, sebanyak mungkin dapat mengaplikasikan green
architecture yang ada secara keseluruhan sesuai potensi yang ada di dalam
site.

Arsitektur berkelanjutan, pengertiannya pembangunan bukan hanya masalah
fisik saja, tetapi juga membahas masalah ekonomi dan sosial, dan penekanan
pembangunan berkelanjutan lebih kepada perubahan pola konsumsi dan produksi
serta perubahan perilaku. Jelas bahwa perubahan perilaku sebagai akhir dari
konsep pembangunan berkelanjutan, maka Arsitektur berkelanjutan analoginya
adalah bagaimana merubah pola pikir dalam konsep perancangan, untuk
konsentrasi pada konsep perancangan yang hemat energi, baik dalam pelaksanaan
konstruksi, pemilihan material yang ramah lingkungan dan dapat memenuhi,
aspek Reuse, Reduce dan Recycle. Design Arsitektur berkelanjutan yang
merefleksikan dinamika bentuk yang merupakan respon terhadap iklim/cuaca,
terhadap potensi tapak, juga terhadap kemajuan teknologi material dan utilitas
bangunan.


Pendekatan Pada Design
Eksplorasi Design.

Eksplorasi Imajinasi Design Arsitektur yang berpijak pada hemat energi baik
yang mengacu pada energi buatan maupun energi alam, memberikan sumbangan
yang tidak sedikit pada penghawaan, pencahayaan, yang masuk ke dalam
bangunan melaui bukaan , bentuk bangunan, posisi bangunan terhadap waktu
edar matahari, dapat dilihat pada gambar berikut ini.
8





8
Climat Responsive Architecture, A Design Handbook For Energy Efficient Buildings, Editor Arvind Krishan, dkk, Tata
McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi, hal 121

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 63












Dalam pendekatan Design, selain posisi bangunan terhadap waktu edar
matahari, posisi bukan pada bagunan, juga akan mempengaruhi kualitas
penghawaan dan pencahayaan, termasuk detail bukaan tersebut, misal seperti
disebutkan diatas, adanya overhanging, awning, dan sunshading, seperti yang
terlihat pada gambar dibawah ini.












Rancangan Pasif
Merancang bangunan secara pasif, yang dimaksud adalah, cara penghematan
energi melalui pemanfaatan energi matahari secara pasif, yaitu tanpa
mengkonversikan energi matahari menjadi energi listrik. Rancangan pasif lebih
mengandalkan kemampuan arsitek bagaimana rancangan bangunan dengan
sendirinya mampu mengantisipasi permasalahan iklim luar.
Salah satunya dengan mempertimbangkan rancangan dengan kondisi iklim,
dimana bangunan tersebut berada, faktor utama yang harus diperhatikan dalam
perancangan terhadap pertimbangan iklim adalah; bentuk masa bangunan,
posisioning bangunan terhadap masa edar matahari, design dan perletakan tabir
pada bukaan, juga sistim ventilasi pada bangunan yang juga akan berpengaruh
pada tampilan bangunan,
9
sebagimana contoh sketsa pada halaman berikut ini.







9
Climate Responsive Architecture, A design Handbook for Energy Efficient Buildings, Editor Arvind Krishan, dkk, penerbit
Tata
McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi, halaman 108, 116.
SOLAR MOVEMENT
DURING A YEARLY CYCLE
SEASONAL VARIATION
IN SOLAR ALTITUTE
EXPOSURE VARIATION
SUMMER / WINTER
DES 21
DES 21
JUNE 21
JUNE 21
PERUBAHAN POSISI BUKAAN
BERPENGARUH PADA POLA
SIRKULASI UDARA
OVERHANG DAN AWNING
MENINGKATKAN KECEPATAN
UDARA MASUK KE RUANGAN
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 64




Perancangan pasif di wilayah tropis basah seperti Indonesia umumnya
dilakukan untuk mengupayakan bagaimana pemanasan bangunan karena radiasi
matahari dapat dicegah, tanpa harus mengorbankan kebutuhan penerangan alami.
Sinar matahari yang terdiri atas cahaya dan panas hanya akan dimanfaatkan
komponen cahayanya dan menepis panasnya. Beberapa contoh perancangan
pasif baik yang ada di Indonesia maupun negara lain, yang merupakan akibat
design arsitekturnya, sehingga dapat merespon dan mereduksi panas,
mengoptimalkan angin, yang berujung pada berkurangnya energi buatan yang ada
di dalam bangunan, seperti yang ada pada gambar dibawah ini.
Wisma Dharmala Sakti (Intiland Tower) di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta,
karya arsitek Paul Rudolf ini adalah salah satu contoh Design Arsitektur, yang
konsep perancangannya merespon terhadap iklim tropis yang beredar di
Indonesia yang ada di area katulistiwa,
10
dimana potensi panas dan hujan
memiliki waktu edar setiap 6 bulan ( untuk kondisi normal ), secara bergantian.
















Rancangan Pasif ini terlihat, saat sang arsitek mengusung atap Tritisan, ke
dalam bangunan tinggi, sebagai jawaban dari rancangan terhadap iklim tropis di
Indonesia.
Contoh lainnya adalah gedung Mesiniaga, Malaysia karya arsitek Kenneth
Yeang
11
ini juga merupakan salah satu gedung dimana konsep perancangannya
mengacu kepada bangunan hemat energi, dengan memanfaatkan potensi sumber
daya alam, yang secara geografis, iklimnya hampir sama dengan di Indonesia,
panas dan hujan sepanjang tahun secara bergantian, di tiap 6 bulan sekali.





10
http://ndyteen.blogspot.com/2012/07/rancangan-arsitektur-pasif-dan.html
11
http://en.wikipedia.org/wiki/Ken_Yeang

WISMA DHARMALA SAKTI - (INTILAND TOWER)
24 Lt. 100 M Tinggi di Jalan Jenderal Sudirman
JAKARTA
PERGERAKAN PANAS DAN ANGIN
PADA SIANG DAN MALAM HARI
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 65












Perancangan pasif di wilayah tropis basah seperti Indonesia umumnya
dilakukan untuk mengupayakan bagaimana pemanasan bangunan karena radiasi
matahari dapat dicegah, tanpa harus mengorbankan kebutuhan penerangan alami.
Sinar matahari yang terdiri atas cahaya dan panas hanya akan dimanfaatkan
komponen cahayanya dan menepis panasnya.


Pendekatan Teknologi Bahan
Rancangan Aktif - (Solar Cell).

Dalam rancangan arsitektur aktif (Solar Cell), pada dasarnya adalah semangat
untuk memanfaatkan energi alternatif, berdasarkan pada kemajuan teknologi di
bidang rancang bangun, terutama material / bahan bangunan yang dapat
memberikan konstribusi energi.
Rancangan arsitektur aktif, berpijak pada kemajuan teknologi bahan
bangunan ini, berkaitan dengan efisiensi energi. Rancangan arsitektur aktif,
adalah juga memanfaatkan sumber daya alam ( panas matahari misalnya ), untuk
diolah menjadi sumber energi alternatif, pemanfaatan energi matahari tidak
secara langsung, akan tetapi dikonversi menjadi energi listrik melalui teknologi
Photovoltaic ( solar cell / panel surya), kemudian energi listrik yang dihasilkan
dari Solar Cell ini dipakai untuk memenuhi sebagian kebutuhan energi pada
bangunan.

1. Garbage Recycling Laboratory, Sleman Indonesia.




























MESINIAGA TOWER, PETALING SELANGOR MALAYSIA
GARBAGE RECYCLING LABORATORY - UNIVERSITAS
GADJAH MADA
BERBAH, SLEMAN - DI YOGYAKARTA - INDONESIA
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 66

Dalam perancangan arsitektur aktif, secara simultan arsitek tetap harus
menerapkan strategi perancangan arsitektur pasif. Tanpa penerapan strategi
perancangan arsitektur pasif, penggunaan energi dalam bangunan akan tetap
tinggi apabila tingkat kenyamanan termal dan visual yang diinginkan berat untuk
dapat dicapai. Strategi perancangan aktif dalam bangunan dengan panel surya di
Indonesia dapat dijumpai pada bangunan Garbage Recycling Laboratory,
kepunyaan Universitas Gadjah mada, yang lokasinya di Berbah, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Meskipun penggunaan dan penerapan
panel surya untuk bangunan, sebagai pemasok energi alternatif masih dapat
dibilang langka untuk bangsa Indonesia, karena masih terbatasnya pada
kebutuhan penerangan bagi masyarakat yang terbatas di desa-desa terpencil
Indonesia, yang notabene belum adanya listrik masuk desa.
Bangunan Garbage Recycling Laboratory ini, dirancang justru untuk
menghasilkan panas tertentu, untuk proses permentasi harus mencapai pada
tingkat suhu 70 derajat Celcius. Bangunan ini berhasil mensuplai 60 % energi
alternatif, dan hanya mengkonsumsi listrik 40 %. Energi listrik. Untuk dapat
mencapai kapasitas energi alternatif sampai dengan 60% tersebut maka bangunan
Garbage Recycling Laboratory ini memerlukan 792 M2 Photovoltaic Panels,
setara dengan 39.000 Wp.
12












Bangunan ini juga merupakan perpaduan antara Rancangan Pasif &
Rancangan Aktif, sehingga memiliki optimalisasi energi yang dibutuhkan untuk
memenuhi fungsi bangunan sebagai bangunan Laboratorium daur ulang sampah.
Garbage Recycling Laboratory, selain mengemban fungsi utama sebagai
laboratorium, juga bentuknya itu sendiri mempresentasikan pola sirkulasi udara
yang cukup tinggi sebagai kebutuhan untuk fermentasi dan mengubah sampah
organik menjadi pupuk. Bangunan ini juga mengkombinasikan antara edukasi,
studi, riset dan kepentingan turis.
Proses perancangan pasif terlihat pada pemanfaatan kisi kisi untuk sirkulasi
udara, pengkondisian panas yang di dukung oleh penerapan material Metal Sheet
Spandex, juga pemanfaatan tanaman pada kedua sisi bangunan, sehingga
pemanfaatan sumber daya alam secara langsung juga berjalan lancar, hal ini
karena dukungan design yang sedemikian rupa representatif dan fungsional,

12
Futurarc, Volume 18 3 Q . (2010).Architecture Design Sustainability Asia Pacific, Green Issue 2010.PT BCI Indonesia.
Manggala
Wanabakti Building, 8 th Floor, wing A. Jl. Jend Gatot Subroto Jakarta 10270. Indonesia.








PENERAPAN KONSEP ARSITEKTUR ORGANIK, PADA GARBAGE RECYCLING LABORATORY,
BREBAH, SLEMAN YOGYAKARTA
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 67
sehingga konsep eko arsitekturnya dapat dirasakan dengan design yang memiliki
konsep organik arsoitektur dimana antara alam dan bangunan laoratorium ini bisa
berintegrasi dengan alam, yang direpresentasikan daalam detail designnya,
keleluasaan bangunan menghirup dan bernafas leluasa melalui bukaan dan kisi
kisi yang mengacu pada kerajinan tradisional (Batik Nitik dan Batik Ceplok),
Garbage Recycling Laboratory ini jauh dari, bau, kotor dan kumuh, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar di halaman berikut ini.


2. The Age of Discovery, British Pavillion Expo92

Bangunan lainnya yang akan dijadikan sebagai kasus di dalam makalah ini
adalah arsitektur hasil rancangan arsitek inggris, Nicholas Grimshaw & Partner,
Bangunan Paviliun Inggris The Age of Discovery milik Departemen of Trade
Industry Duration , di kompleks Expo 1992 di kota Seville, Spanyol yang
merupakan hasil sayembara tahun 1989. Bangunan tersebut menerapkan konsep
perancangan arsitektur Pasif dan konsep perancangan arsitektur Aktif,
merupakan salah satu bangunan yang dianggap paling berhasil menerapkan
teknik perancangan pasif dan aktif secara simultan dan sangat berhasil dalam
mengeksploitasi proses perancangan megoptimalkan semua sisi bangunan untuk
kepentingan modifikasi energy yang sangat ekstrim untuk kota Seville Spanyol.
Paviliun ini seluruh permukan atapnya dirancang dengan menggunakan panel
Surya.

















Bangunan Paviliun dirancang dengan pertimbangan iklim setempat ( sub tropis
), yang memiliki temperatur udara musim panas saat Expo berlangsung mencapai
45 derajat Celsius, serta meminimalkan penggunaan energi yang mengemisi
karbondioksida. Strategi untuk perancangan arsitektur Pasif, yaitu
mengantisipasi kondisi udara panas ini dengan memanfaatkan sumber alam air
secara langsung, yaitu dengan cara mencurahkan air pada dinding kaca
(menggunakan tabir air) pada dinding timur yang berfungsi sebagai filter radiasi
matahari pagi untuk pendingin bangunan tanpa menghilangkan potensi
penerangan alami pagi hari. Tabir air dijatuhkan dari dinding bagian atas
bangunan mengalir di seluruh dinding kaca sepanjang 65 meter ke kolam di dasar
DINDING KACA YANG DIALIRI AIR, SEBAGAI FILTER UDARA DALAM RUANG
AGAR TIDAK KENA RADIASI PANAS DI PAGI HARI
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 68
bangunan. Aliran air sebagai tabir dinding kaca ini berhasil menekan udara panas
serta menurunkan temperatur lingkungan di sekitar bangunan secara evaporatif,
sehingga humidity udara pada ruangan relatif rendah, sekitar 50-70 persen.
13













Dinding kaca terbuat dari bahan yang 20 persennya merupakan komponen
keramik dan berfungsi mengurangi panas matahari tanpa mengorbankan cahaya
yang masuk ke dalam bangunan. Penggunaan tabir air pada dinding timur ini
mampu menurunkan temperatur udara di dalamnya hingga 10 derajat Celsius.
Demikian juga halnya untuk sisi barat bangunan ini, dinding bangunan dilapis
kontainer berisi air yang berfungsi sebagai penyerap panas matahari sore. Panas
yang diserap kontainer mengurangi pemanasan bangunan siang dan sore hari.
Selanjutnya kontainer akan menghangatkan bangunan pada malam hari
(temperatur udara luar malam hari cenderung rendah di bawah batas nyaman).
Air panas dalam kontainer ini juga dimanfaatkan bagi keperluan pengguna
bangunan.
Pada sisi selatan bagian dindingnya diberi lembaran semi transparan dari
bahan polyester fabric yang dilapisi dengan PVC, sementara rangkanya dari
konstruksi baja. Selain sebagai elemen estetika yang mencitrakan layar kapal
yang menjadi simbol kejayaan Inggris di laut, juga berfungsi mengurangi radiasi
panas pada sisi selatan.
Pada bagian atap bangunan Paviliun Expo ini, konsep perancangan arsitektur
aktif di persandingkan dengan konsep perancangan arsitektur pasif yang
aplikasinya pada dinding sisi barat dan timur, sementara sisi utara selatan dan
bagian atap konsep perancangan arsitekturnya aktif, menggunakan teknologi
Photovoltaic untuk bagian atap, sementara pada sisi utara dan selatan,
menggunakan material polyester fabricdilapisi PVC.












13
http://www.tensinet.com/database/literature/filter/typeId,2
BAGIAN SISI UTARA & SELATAN DITUTUP MEMBRAN
DARI BAHAN POLYESTER FABRIC SERTA DILAPISI PVC,
SEMENTARA RANGKANYA DARI BAJA











PENGGUNAAN PHOTOVOLTAIC PADA ATAP BANGUNAN
PAVILIUN EXPO 1992 DI SEVLLE, SPANYOL
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 69

Sejumlah 1.040 panel sel solar di bagian atap bangunan yang - membentuk
semacam deretan layar kapal dan mampu menghasilkan daya listrik sebesar 46
kW dapat digunakan untuk sebagian besar keperluan listrik bangunan.
Konstruksi panel sel solar ini diletakkan sedemikian rupa sehingga dapat
melindungi atap terhadap radiasi matahari dari sisi selatan. Paviliun Inggris ini
menggunakan energi listrik sekitar 24 persen lebih rendah daripada energi yang
seharusnya digunakan bangunan yang dirancang tanpa strategi semacam ini.
14

Perletakan 1.040 panel sel solar tersebut pada bagian atap selain
mempertimbangkan bagian atap yang maksimum pada posisioning menangkap
cahaya matahari, juga pertimbangan konsep design dari Nicholas Grimshaw &
Partners, yang memiliki tema pada ekspo Spanol 1992 ini The Age of Discovery
mengusung pada konsep kapal laut , Sistim konstruksi melalui fabrikasi dan di
rangkai di site. Proyek ini menelan biaya sekitar satu juta Pound Sterling di tahun
1992.



3. Kaohsiung National Stadium, Taiwan.

Kaohsiung salah satu kota di Taiwan. Kota ini menjadi terkenal setelah
diselenggarakannya acara world games 2009. Untuk menyambut hajatan besar ini
taiwan membangun infra struktur dan fasilitas olah raga, salah satunya adalah fasilitas
olah raga adalah Stadium Nasional. Menjamu masyarakat olah raga dunia yang tidak
setiap tahun diselenggarakan, Taiwan memanfaatkan kesempatan ini untuk
membakukan dirinya menjadi salah satu negara yang tidak dapat dipandang sebelah
mata oleh negara negara lain termasuk negara negara super power, terutama fasilitas
untuk acara tersebut.
Stadium Nasional Taiwan yang terletak di kota Kaohsiung ini, dirancanga oleh
arsitek Toyo Ito . Stadion tersebut memiliki kapasitas sebesar 55.000 orang
penonton, luas atap sekitar 229.314 kaki persegi.
15














Stadion Nasional Former tersebut merupakan satu-satunya stadion yang
menggunakan tenaga surya 100 % untuk penutup atapnya, dan merupakan bangunan

14
http://courses.arch.hku.hk/bss/01-02/students/British%20Pavilion/
15
http://terus.trik.blogspot.com/2012/01/stadion-bertenaga-surya-terbesar-di.














TAMPAK DARI ATAS, TAMPILAN BENTUK STADIUM DAN LOKASI NYA
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 70
terbesar di dunia yang menggunakan Solar Cell. Total Solar cell yang dibutuhkan
untuk menutupi semua bidang atap tersebut sebanyak 8844 solar panel yang
menghasilkan daya listrik sebesar 1,1 juta kilowatt-jam (kWh) pertahun. Dengan
taksiran biaya fisik sekitar 108 juta dollar Amerika, atau hampir setara 1,8 trilyun
rupiah.
Energi sebesar itu diperkirakan cukup untuk mensuplai listrik bagi 80% bangunan
yang ada di sekitar stadion ketika stadion tidak sedang di gunakan. Stadion ini jg
sudah melewati 9 indikator utama dalam " gold level green building " certification ,
termasuk, keanekaragaman hayati, penghijauan, tanah air konten, penghematan
energi sehari-hari, pengurangan CO2, pengurangan limbah, lingkungan indoor,
sumber air , serta limbah dan pembuangan sampah."
Bahkan surplus listrik yang dihasilkan stadion tersebut rencananya akan dijual ke
perusahaan listrik Taiwan Power Co, setidaknya hampir 5 juta Taiwan dolar atau
sekitar 1,5 milyar rupiah akan diterima pemerintah setempat setiap tahunnya dari
penjualan tersebut.











II. PEMBAHASAN

Pada bagian pembahasan ini, kerangka pembahasan yang akan dipakai untuk
melakukan tinjauan pada beberapa obyek yang akan di bahas, yaitu melalui /
berdasarkan beberapa titik pijak antara lain :
A. Prinsip dasar Arsitektur Hijau ( Green Architecture ), yang terdiri dari 6 butir
bahasan
B. Konsep Perancangan Arsitektur, yaitu Perancangan Arsitektur Pasif dan
Perancangan Arsitektur Aktif.
Sementara obyek yang akan dilakukan tinjauan adalah :
- Garbage Recycling Laboratory Berbah Kab Sleman, DI Yogyakarta.
- British Pavilion, EXPO 1992 Seville, Spanyol.
- Kaohsiung National Stadium, Taiwan

1. Garbage Recycling Laboratory Berbah Kab Sleman, DI Yogyakarta.
Arsitek RBB.Diwangkoro, dkk - Wasnadipta
Garbage Recycling Laboratory
Berbah Kab Sleman, DI Yogyakarta.
H
I
J
A
U
CONSERVING
ENERGY

BAIK
Design Bangunan, mampu mengekplorasi penggunaan Energi
Listrik hanya 40 %, Energi melalui Solar Cell / Photovoltaic
mencapai 60 % , optimalisasi penghawaan alami.













POLA TATA LETAK SOLAR CELL SEBAGAI PENUTUP ATAP
JUGA MEMPERTIMBANGKAN FAKTOR ESTETIKA
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 71
WORKING
WITH CLIMATE

EXCELLENT
Pemanfaatan potensi alam, mulai dari matahari, angin, hujan,
tumbuhan, yang dapat diintegrasikan dalam elemen elemen
bangunan
A
R
S
I
T
E
K
T
U
R

RESPECT
FOR SITE

BAIK
Posisioning, arah tapak bangunan terhadap kondisi lingkungan,
termasuk penggunaan material yang ramah lingkungan

RESPECT
FOR USER

BAIK
Antara pemakai dan green architecture mempunyai keterkaitan
yang sangat erat. Dalam perencanaan dan
pengoperasiannya.Garbage Recycling Laboratory dirancang untuk
tujuan Riset, studi, penelitian, dan karya wisata.
R
E
S
P
O
N





K
E
LIMITTING
NEW
RESOURCES

BAIK
Garbage Recycling Laboratory dirancang mengoptimalkan
Teknologi 3 R untuk material yang dipakai, dan meminimalkan
penggunaan material baru tidak ramah lingkungan, diperhitungkan
akhir umur bangunan dapat digunakan kembali untuk membentuk
tatanan arsitektur lainnya.

HOLISTIC

BAIK
Bangunan Garbage Recycling Laboratory, menerapkan dengan
baik prinsip 5 langkah Green Architecture
R
E
S
P
O
N

D
E
S
I
G
N

RANCANGAN
PASIF
Design memiliki konsep Organik,
dan diaplikasikan dalam bangunan

CONSERVING
AKTIF
Penggunaan teknologi Photovoltaic
pada atap bangunan.
RESPON
TERHADAP HEMAT
ENERGI
BAIK
Menerapkan prinsip hemat energi,
dengan menerapkan pada bangunan
sejumlah 792 M2 Photovoltaic
Panels, apabila dikonversikan
dengan tenaga listrik, setara dengan
39.000 Wp


2. The Age of Discovery, British Pavillion Expo92 Arsitek Nicolas Grimshaw and Partners
The Age of Discovery
British Pavillion Expo92 - Seville, Spanyol
H
I
J
A
U

CONSERVING
ENERGY

EXCELLENT
Minimal use of mechanical air conditioning; air
conditioning where essential
Natural ventilation for the rest of the pavilion
Reduce the effect of direct solar gain
Reduce cooling load and energy consumption



WORKING
WITH CLIMATE

EXCELLENT
Water wall modified the internal temperature of the building
to 82 F from 102 F outside
Western side of building is a piled-up wall of water tanks
filled with sand acting as a massive barrier from the Western
sun in the afternoon
Pumps lift the water to the top of the fall and then allows it to
fall down the wall cooling the eastern side of the building
West faade takes the full force of afternoon sun
A
R
S
I
T
E
K
T
U
R

RESPECT
FOR SITE

EXCELLENT
Heavy-weight wall composed of water tanks filled with
water or sand that acts a barrier to the sun on the west side of
the building

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 72
RESPECT
FOR USER

EXCELLENT
North side courtyard (in Spain) allows people to sit/stand in
the cool while being protected from the sun
Stretched fabric is shaded by another layer of fabric which
prevents sun from directly falling onto the lower levels,
which serves as the VIP entrance
R
E
S
P
O
N





K
E

LIMITTING
NEW
RESOURCES

EXCELLENT
Solar panels shade the roof from direct sunlight
Photocells collecting sun and using electricity to keep
building cool and power the water wall
Solar cells face South and pick up the full rays of the
southern sun
Energy collected by the solar cells on the roof also power
water wall pumps

HOLISTIC

EXCELLENT
Building as living organisms -grow, change, adapt,and
react to internal and external forces
Energy conservation/avoidance of waste
Integration of the building within the city; the
building must take part in the web of the city
City organisms that need a rich mix of activities,
which cannot be created artificially

R
E
S
P
O
N

D
E
S
I
G
N

RANCANGAN
PASIF
EXCELLENT

CONSERVING
AKTIF

EXCELLENT
Buildings as Living Organisms
Principle generator of design
Shade and coolness
RESPON
TERHADAP
HEMAT ENERGI

EXCELLENT
The external skin of the structure varies to
respond to climate conditions.
The east facade supports a 65m x 18m water
wall, which cools the glass surface.
Solar cells on the roof panels harness solar
energy to drive pumps that supply the water.
The Pavilions west wall is comprised of
stacked steel freight containers that are lined
with an impermeable membrane and filled with
water.







3. Kaohsiung National Stadium, Taiwan
Arsitek : Toyo Ito

Stadion Nasional Former
Kaohsiung, Taiwan
H
I
J
A
U

CONSERVING
ENERGY

EXCELLENT
Arsitek mampu mewujutkan design yang inovative,
Dinamic dan Futuristic, melalui ekplorasi Teknologi
Energi, yang tidak saja memenuhi kebutuhan stadium,
tetapi juga lingkungannya. Penggunaan Solar Cell /
Photovoltaic mencapai 100 % , dan optimalisasi
penghawaan alami.

WORKING
WITH CLIMATE

EXCELLENT
Perancangan yang genius, Stadium terbuka ini, tentunya
sangat menyatu dengan lingkungan, sehingga pemanfaatan
iklim yang sempurna.
A
R
S
I
T
E
K
T
U
R

RESPECT
FOR SITE

EXCELLENT
Posisioning Design Stadium Nasional Former di Kaohsiung
ini, sangat mengakomodasi / merespon tapak bangunan
terhadap kondisi lingkungan, termasuk penggunaan
material yang ramah lingkungan

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 73
RESPECT
FOR USER

EXCELLENT
Stadion berkapasitas 55.000 orang penonton, Hasil
Rancangan arsitek Toyo Ito ini sangat memperhatikan user
dengan detail, kareana design tersebut berhasil
mengurangan CO2, mengurangan limbah, lingkungan
indoor, sumber air , serta limbah dan pembuangan sampah.
R
E
S
P
O
N





K
E


LIMITTING
NEW
RESOURCES
EXCELLENT

HOLISTIC

EXCELLENT
Stadium Nasional Taiwan yang terletak di kota
Kaohsiung ini, tentu saja menerapkan dengan baik prinsip
5 langkah Green Architecture, karena Hasil rancangan
arsitek Toyo Ito ini telah mendapat sertifikat " Gold Level
Green Building " certification yang sudah melewati 9
indikator utama dalam pemberian sertifikat Green
Building.

R
E
S
P
O
N

D
E
S
I
G
N

RANCANGAN
PASIF
EXCELLENT






CONSERVING
AKTIF
EXCELLENT
RESPON
TERHADAP
HEMAT ENERGI

EXCELLENT
Stadium Nasional Taiwan yang
terletak di kota Kaohsiung ini, Stadion
Nasional Former tersebut merupakan
satu-satunya stadion yang menggunakan
tenaga surya 100 % untuk penutup
atapnya, dan merupakan bangunan
terbesar di dunia yang menggunakan
Solar Cell. Total Solar cell yang
dibutuhkan untuk menutupi semua bidang
atap tersebut sebanyak 8844 solar panel
yang menghasilkan daya listrik sebesar
1,1 juta kilowatt-jam (kWh) pertahun.














III. KESIMPULAN.

1. Jika dalam waktu dekat Indonesia menjadi negara pengimpor minyak neto
dan harga BBM dan tarif listrik dalam negeri melambung, sebagian besar
bangunan yang boros energi tidak lagi dapat berfungsi. Pemakai bangunan
akan menemui kesulitan menanggung biaya listrik untuk lift, AC, pompa,
dan peralatan lain, yang tinggi.
2. Sudah saatnya peran arsitek di dalam mengambil langkah melakukan
proses perancangan, keputusan untuk merancang bangunan hemat energi
baik secara pasif maupun aktif seperti di atas merupakan langkah yang
bijaksana dan cerdas. Masih ada waktu untuk menghindari situasi buruk
semacam ini dengan memulai merancang bangunan yang hemat energi,
hemat listrik, dan melaksanakan konsep 3R, Reuse, Reduce, dan Recycle,
sejak sekarang.
3. Idealnya, semua stake holder yang bergabung dalam industri jasa
konstruksi, mulai dari produsen material bangunan, perencana dan
perancang lingkungan binaan, para pelaksanan bangunan, beserta
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 74
pemerintah bersatu padu untuk membulatkan tekat, sudah harus
mengurangi material dengan sumber alam yang membutuhkan waktu yang
lama untuk menghasilkannya kembali.
4. Solusi yang dapat mengatasinya adalah desain bangunan harus mampu
memodifikasi iklim dan dibuat beradaptasi dengan lingkungan bukan
merubah lingkungan yang sudah ada. Lebih jelasnya dengan
memanfaatkan potensi matahari sebagai sumber energi.Cara mendesain
bangunan agar hemat energi, yang sebagai eksekusinya adalah regulasi /
peraturan dari pemerintah yang jelas dan tegas beserta petunjuk
pelaksanaan teknis di lapangan.
5. Sesuai dengan pokok bahasan pada judul makalah ini, bahwa inti dari
konsep hemat energi yang harus diterapkan dalam bangunan, harus
memenuhi kriteria Green Architecture dan menghasilkan karya cipta yang
imajinatif, inovatif dan futuristik, dengan tetap berpijak pada arsitektur
yang berkelanjutan.
6. Dalam konsep perancangan harus memiliki suatu keputusan design yang
berlandaskan antara lain :
Prinsip hemat energi yang ditransformasi pada design arsitektural,
dengan mengoptimalkan Energi Alam.
a. Bangunan dibuat memanjang dan tipis untuk memaksimalkan
pencahayaan dan menghemat energi listrik.
b. Menggunakan Sunscreen, Overhang, atau awning pada
jendela yang secara otomatis dapat mengatur intensitas cahaya
dan energi panas yang berlebihan masuk ke dalam ruangan,
dan meningkatkan kecepatan dan volume udara yang masuk
melalui jendela, serta mengoptimalkan lubang Ventilasi, agar
udara ruangan dapat dikondisikan suhunya, secara alami.
c. Orientasi bangunan terhadap sinar matahari, dan
mempertahankan
kondisi tapak dengan membuat desain yang mengikuti bentuk
tapak
yang ada.
Prinsip-prinsip green architecture pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan, karena saling berhubungan satu sama lain. Tentu secar
parsial akan lebih mudah menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Oleh
karena itu, sebanyak mungkin dapat mengaplikasikan green
architectureyang ada secara keseluruhan sesuai potensi yang ada
di dalam site.
7. Melalui pendekatan green architecture bangunan beradaptasi dengan
lingkungannya. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kondisi alam,
iklim dan lingkungannya sekitar ke dalam bentuk serta pengoperasian
bangunan
8. Saatnya beralih pada material yang ramah lingkungan, bangunan utama
dan atap dari material kayu sudah mulai digantikan dengan material baja
ringan. Isu penebangan liar (illegal logging) akibat pembabatan kayu hutan
yang tak terkendali menempatkan bangunan berbahan kayu mulai
berkurang sebagai wujud kepedulian dan keprihatinan terhadap
penebangan kayu dan kelestarian bumi. Peran kayu pun perlahan mulai
digantikan oleh baja ringan dan aluminium. Batu bata, semen, batu alam,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 75
keramik lokal, kayu, dan sebagainya, termasuk kategori material yang
ramah lingkungan.
16









Bahan dinding dipilih yang mampu menyerap panas matahari dengan
baik. Batu bata alami atau fabrikasi batu bata ringan (campuran pasir,
kapur, semen, dan bahan lain) memiliki karakteristik tahan api, kuat
terhadap tekanan tinggi, daya serap air rendah, kedap suara, dan menyerap
panas matahari secara signifikan.








Dalam hal sanitasi, septic tank dengan penyaring biologis (biological filter
septic tank) berbahan fiberglass dirancang dengan teknologi khusus untuk
tidak mencemari lingkungan, memiliki sistem penguraian secara bertahap,
dilengkapi dengan sistem desinfektan, hemat lahan, antibocor atau tidak
rembes, tahan korosi, pemasangan mudah dan cepat, serta tidak
membutuhkan perawatan khusus.


16
http://ndyteen.blogspot.com/2012/07/material-bangunan-ramah-lingkungan.html, Sumber: Setiawan, Agus. Herbal Plant
Research
Center in Karangpandan : Sebagai Tempat Wisata Edukasi Herbal. FT Arsitektur UMS. 2011














BATU BATA RINGAN, SEBAGAI
BAHAN DINDING ALTERNATIF YANG
MASUK KATEGORI RAMAH
LINGKUNGAN






KONSTRUKSI ATAP BAJA RINGAN
PENGGANTI KAYU













BERBAGAI VARIANT PRODUK KACA SEBAGAI PENYERAP
PANAS, DENGAN BERBAGAI RAGAM INTENSITAS DAYA
SERAPNYA
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 76









9. Material ramah lingkungan memiliki kriteria sebagai berikut menurut I
Putu Gede Andy Pandy:
17

tidak beracun, sebelum maupun sesudah digunakan
dalam proses pembuatannya tidak memproduksi zat-zat berbahaya bagi
lingkungan
dapat menghubungkan kita dengan alam, dalam arti kita makin dekat
dengan alam karena kesan alami dari material tersebut (misalnya bata
mengingatkan kita pada tanah, kayu pada pepohonan)
bisa didapatkan dengan mudah dan dekat (tidak memerlukan ongkos
atau proses memindahkan yang besar, karena menghemat energi BBM
untuk memindahkan material tersebut ke lokasi pembangunan)
bahan material yang dapat terurai dengan mudah secara alami.



IV. REFERENCES.

A. Literatur, Buku Tesis, Desertasi, Jurnal, Majalah.
1. Cetak biru Dirjenmigas,Kondisi Pasar Usaha Hilir Migas, hal.35.
www.bphmigas.go.id.
2. Climat Responsive Architecture, A Design Handbook For Energy Efficient
Buildings, Editor Arvind Krishan, dkk, Tata McGraw-Hill Publishing
Company
Limited, New Delhi.

17
http://ndyteen.blogspot.com/2012/07/material-bangunan-ramah-lingkungan.html

















BIOFIL
KOTORAN DIPROSES DENGAN SISTIM PENGURAIAN SECARA
BIOLOGIS DAN
LIMBAH KOTORAN TIDAK MENYEBABKAN PENCEMARAN
LINGKUNGAN
DIRANCANG DENGAN SISTIM 3 KOMPARTEMEN DARI BAHAN
YANG SUDAH DI PROSES DG DESINFEKTAN
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 77
3. Design With Nature, MCHARG Ian L and Lewis Numford (2001). `National
Book
Network Inc 4720, Boston Way Lanham, Maryland 20706.
4. Futurarc, Volume 18 3 Q . (2010). Architecture Design Sustainability Asia
Pacific,
Green Issue 2010.PT BCI Indonesia. Manggala Wanabakti Building, 8 th
Floor,
wing A. Jl. Jend Gatot Subroto Jakarta 10270. Indonesia.
5. Green Architecture, Wines James. (2008). Taschen Gmbh Hohenzollernring
53, D-
50672 Koln, www.taschen.com : Printed in China ISBN 978-8365-0321-
1
6. Statistik Energi Nuklir, th 2005, oleh Badan Pengembangan Energi Nuklir,
Badan
Tenaga Nuklir Nasional, penerbit Pusat Pengembangan Energi Nuklir
BATAN,
Jl. Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta 12710, Web :
www.batan.go.id.
7. Proyeksi, majalah Bisnis Rancang Bangun & Investasi, Edisi XXIV.Th 2. 16
Agustus 16 September 2006.




B. Internet, Web, Blog, dll
2. Green Architecture Design untuk For Sustainable Future. Brenda dan
Robert
Vale,1991 : (http://www.w3.directory.com/directory-Science-and-
technology-of-art.php).
3. http://ndyteen.blogspot.com/2012/07/material-bangunan-ramah-
lingkungan.html,
Sumber: Setiawan, Agus. Herbal Plant Research Center in
Karangpandan :
Sebagai Tempat Wisata Edukasi Herbal. FT Arsitektur UMS. 2011.
4. http://terus.trik.blogspot.com/2012/01/stadion-bertenaga-surya-terbesar-di.
5. http://courses.arch.hku.hk/bss/01-02/students/British%20Pavilion/
6. http://www.tensinet.com/database/literature/filter/typeId,2.
7. http://en.wikipedia.org/wiki/Ken_Yeang











Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 78
KMP-9

PEMANFAATAN GAS SUAR BAKAR MELALUI LNG MINI
UNTUK SEKTOR TRANSPORTASI


M. Mirza
1*
, Y. Muharam
2

1
Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Teknik Univesitas Indonesia
2
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Kampus UI
Depok 16424 Indonesia
*
Koresponensi Pembicara. Phone: +62 811 917648
Email: mirza_mahendra@yahoo.com


ABSTRAK
Pemanfaatan gas bumi sebagai bahan bakar alternatif dapat meningkatkan ketahanan
energi nasional, mengurangi beban subsidi negara dan mengurangi emisi gas buang.
Gas suar bakar adalah energi yang hingga saat ini pemanfaatannya masih belum
maksimal dilakukan. Pemanfaatan gas suar bakar seringkali terkendala oleh volume
gas yang relatif kecil dan lokasinya menyebar serta jauh dari infrastruktur pipa
transmisi atau distribusi. Dengan adanya kendala-kendala tersebut maka perlu dikaji
alternatif transportasi gas bumi seperti pengangkutan dalam bentuk LNG. Untuk gas
suar bakar dan lapangan-lapangan gas marginal yang volumenya tidak terlalu besar,
kilang LNG mini merupakan salah satu pilihan yang sesuai untuk dikaji.
Pada tulisan ini dibuat dua kasus pengembangan kilang LNG mini dengan
memanfaatkan gas suar bakar dari lapangan Cemara Barat, Jawa Barat dengan gas
umpan 1,4 MMSCFD. Dari hasil simulasi yang dilakukan dengan menggunakan suatu
simulator proses dan diperoleh produk LNG sebesar 0,8833 MMSCFD dari lapangan
Cemara Barat.


Keywords: Gas Suar Bakar, Mini LNG.

1. PENDAHULUAN

Dalam rangka menekan laju pertumbuhan konsumsi BBM, pemerintah telah
mengambil kebijakan diversifikasi sumber energi di semua sektor kegiatan. Sektor
industri dan transportasi darat merupakan sektor penting dalam rangka menunjang
kelancaraan kegiatan ekonomi. Sektor ini merupakan sektor yang membutuhkan BBM
dalam jumlah yang besar. Keberhasilan pemenuhan target substitusi BBM pada dua
sektor ini akan berarti besar bagi keberhasilan upaya diversifikasi energi secara
nasional.
Penggunaan sumber energi sampai dengan saat ini masih mengandalkan pemanfaatan
sumber daya alam, yaitu minyak bumi, gas bumi, batubara, dan lain sebagainya.
Penemuan cadangan minyak dan gas bumi di Indonesia pada dasawarsa terakhir
didominasi oleh penemuan cadangan gas dibandingkan dengan penemuan minyak
bumi. Beberapa struktur temuan gas memiliki cadangan yang cukup besar/raksasa
namun sebagian besar memiliki cadangan gas relatif kecil dan tersebar secara
geografis.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 79
Sebagai negara yang mempunyai cadangan sumber gas bumi besar, sudah selayaknya
bila Indonesia memanfaatkan sumber energi tersebut secara optimal dan tidak lagi
diorientasikan untuk ekspor. Melalui optimalisasi pemanfaatan bahan bakar gas di
dalam negeri dapat mengurangi subsidi BBM sekaligus mengurangi beban keuangan
negara.
Gas bumi karena sifat kegunaannya merupakan komoditi yang mempunyai pasar
sangat besar. Sifat fisik gas bumi yang berwujud gas sehingga proses penyalurannya
memerlukan sarana penyaluran khusus melalui pipa atau dalam bentuk CNG, LNG
dan lain sebagainya.
Pemanfaatan gas bumi dari tahun ke tahun semakin meningkat secara signifikan,
sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi
dalam negeri menjadikan kebutuhan gas bumi. Peningkatan permintaan gas bumi
tersebut terutama didominasi oleh kebutuhan energi sebagai pembangkit listrik, gas
bumi sebagai bahan baku industri petrokimia dan penggunaan sebagai bahan bakar
sektor transportasi.
Peningkatan permintaan gas bumi sampai saat ini masih terkendala oleh letak
geografis konsumen terhadap sumber gas serta terbatasnya infrastruktur yang
menghubungkan sumber-sumber gas dan pemakainya sehingga di beberapa daerah
terjadi kekurangan pasokan gas (shortage). Oleh karena itu saat ini mulai
dikembangkan pemanfaatan gas suar bakar dari sisa pembakaran sebagai salah satu
alternatif pemanfaatan gas bumi. Gas suar bakar adalah gas terproduksi yang terpaksa
dibakar karena tidak dapat ditangani oleh fasilitas lapangan yang tersedia (definisi
berdasarkan kamus minyak dan gas bumi).
Pemanfaatan gas suar bakar seringkali terkendala oleh volume gas yang relatif kecil
dan lokasinya menyebar serta jauh dari infrastruktur pipa transmisi atau distribusi.
Selain gas suar bakar, Indonesia juga memiliki cukup banyak lapangan-lapangan gas
marginal yang sampai saat ini belum termanfaatkan karena terkendala oleh faktor
lokasi, transportasi dan jumlah cadangan.
Dengan adanya kendala-kendala tersebut khususnya kendala transportasi melalui pipa,
perlu dikaji alternatif transportasi gas bumi lainnya yang selama ini tidak bisa
dijangkau atau dilakukan dengan menggunakan pipa seperti pengangkutan dalam
bentuk LNG maupun CNG. Untuk gas suar bakar dan lapangan-lapangan gas
marginal yang volumenya tidak terlalu besar, kilang LNG mini merupakan salah satu
pilihan yang sesuai untuk dikaji. Dari sisi resiko teknologi, LNG mempunyai resiko
yang rendah dibandingkan dengan teknologi gas lainnya, sebagaimana terlihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Simulasi Resiko Teknologi Gas
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 80
Pada Tabel 1. menjelaskan perbedaan macam-macam jenis produk gas alam dari
sisi segi infrastruktur, kapasitas, jangkauan komposisi mayoritas dan resiko.
Seperti kita ketahui bahwa meskipun Indonesia merupakan salah satu eksportir
terbesar dalam bisnis LNG dunia, akan tetapi hingga saat ini pemakaian LNG
untuk memenuhi kebutuhan gas domestik belum terlaksana.

Tabel 1 Matriks Gas Alam
LNG LPG CNG Pipa
Infrastruktur Komplex Standar Sederhana Standar
Kapasitas Kecil & Besar Kecil & Besar Kecil Besar
Jangkauan Luas Luas Luas Terbatas
Komposisi Mayoritas C1 & C2 C3 & C4 C1 & C2 C1, C2, C3, C4 & C5+
Resiko Rendah Rendah Tinggi Tinggi
Pada tahun 2007, utilisasi gas Indonesia terbesar digunakan sebagai umpan LNG
Plant 46,3 % (3562,6 MMSCFD) yang sebagian besar LNG digunakan untuk
bahan bakar pembangkit tenaga listrik di negara pengimpor LNG. Sedangkan di
dalam negeri, pemakai gas terbesar adalah PT PGN 11,5% (880,2 MMSCFD) gas
bumi tersebut sebagian besar disalurkan ke industri, komersial dan rumah tangga.
Pemakai gas bumi domestik terbesar berikutnya adalah industri lain, dimana gas
bumi digunakan sebagai bahan bakar dan bahan baku. Utilisasi gas berdasarkan
konsumen untuk tahun 2007 ditunjukkan oleh Gambar 2.








Dalam tulisan ini membahas mengenai latar belakang, tinjauan pustaka, rancangan
kilang mini LNG menggunakan gas suar bakar dan kesimpulan.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LNG (Liquefied Natural Gas)
Liquified Natural Gas (LNG) adalah gas bumi yang dicairkan proses pendinginan
hingga mencapai suhu -160
o
C pada tekanan 1 atm. LNG memiliki densitas
sekitar 45% dari densitas air, dengan reduksi volume mencapai 1/600 dibanding
kondisi gasnya. Tujuan utama dari pencairan gas bumi adalah untuk memudahkan
transportasinya dari daerah produksi ke konsumen.
Dari sisi teknologi pencairan, gas suar bakar dengan volume gas yang relatif kecil
dapat dimanfaatkan sebagai gas umpan. Beberapa teknologi pencairan yang banyak
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 81
digunakan untuk kilang LNG mini diantaranya adalah menggunakan Siklus Gas
(Stirling Refrigerator, TADOPTR Liquefier, Vortex Tube Refrigerator, dan Simple
Brayton Cycle) dan Siklus refrigerant campuran/Mixed Refrigerants Cycles (seperti
Simple Prico Process, Linde maupun sistem Cascade).
Dengan semakin majunya teknologi kilang LNG, saat ini pengembangannya mulai
diarahkan untuk memproduksi LNG dari lapangan-lapangan gas marginal atau yang
cadangan gasnya tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan karena jumlah lapangan-
lapangan gas yang cadangan gasnya kecil jauh lebih banyak dibandingkan dengan
lapangan-lapangan gas yang mempunyai cadangan gas besar. Kapasitas kilang Kilang
LNG skala kecil dan sedang atau small- to mid-scale liquefaction (SMSL) yang
tersedia saat ini dibawah 2,5 MMSCFD atau 600-700 Kton/tahun. Dengan tersedianya
kapasitas tersebut, diharapkan gas suar bakar yang jumlahnya cukup banyak dan
tersebar diberbagai lapangan minyak dan gas bumi di Indonesia dapat dimanfaatkan
melalui kilang LNG mini. Pengembangan kilang LNG mini tersebut lebih cocok
diterapkan untuk lapangan-lapangan gas yang lokasinya satu daratan dengan lokasi
konsumen gas (tidak dipisahkan oleh lautan). Kondisi demikian dianggap lebih
kompetitif dibandingkan dengan pipa khususnya untuk lapangan-lapangan gas yang
cadangannya kecil.
Komposisi LNG pada umumnya terdiri dari 85-90% mol metana ditambah etana dan
sebagian kecil propana, butana, dan nitrogen, Komposisi LNG yang sebenarnya
tergantung dari sumber gas dan teknologi pemrosesannya. LNG memiliki kandungan
energi per volume lebih besar dibandingkan dengan jenis bahan bakar lain yang
bersumber dari gas. Tabel 2 berikut memperlihatkan densitas energi persatuan volume
dari beberapa bentuk energi.
Tabel 2 Kandungan Kalor Beberapa Jenis Bahan Bakar

2.2 LNG MINI
Pada awalnya kilang SMSL digunakan untuk memasok permintaan peakshaving serta
untuk memasok gas bumi ke daerah-daerah yang memerlukannya karena pipa baru
secara ekonomis dan teknis tidak fisibel dibangun. LNG ini digunakan untuk
memasok gas bumi (berkompetisi dengan LPG dan fuel oil) ke industri, komersial dan
perumahan yang jauh. Di beberapa negara, LNG juga digunakan sebagai bahan bakar
bus kota, truk, perahu motor, lokomotif, dan kendaraan bermotor lain. Titik berat
desain kilang SMSL terletak pada minimisasi biaya kapital, bukan efisiensi
termodinamika.
Peta moda transportasi yang ditunjukkan dalam Gambar 3 berikut memperlihatkan
kelaikan LNG terhadap jarak (dari kilang sampai konsumen akhir) dan kuantitas yang
ditransportasikan dibandingkan dengan teknologi-teknologi lain.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 82

Gambar 3 Moda Transportasi Gas Bumi (Hetland)
Area CNG dan small-scale LNG menarik khususnya untuk suplai gas didaerah-daerah
yang kekurangan atau tidak memiliki infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi
pipa. Dalam beberapa kasus, LNG juga berfungsi sebagai perluasan dari pipa yang
sudah ada dan bahkan digunakan untuk mendorong tekanan dalam sistem distribusi
gas.
Small scale LNG secara ekonomis layak untuk jarak transportasi sekitar 500 km dan
volume suplai dibawah 2,5 MMSCFD atau 600-700 ton/tahun. Small scall LNG
sangat cocok diterapkan di negara-negara yang memiliki geografis yang kompleks
seperti pegunungan, rawa-rawa, hutan. Pada kondisi geografis tersebut, cukup sulit
untuk mengangkut gas melalui pipa. Dengan LNG, gas dapat diangkut melalui truk
yang relatif lebih fleksibel dalam pemilihan jalur transportasinya.
2.3 Model Kilang LNG Mini
Konsep dasar small-scale LNG dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu Kilang Peak
Saving dan Kilang LNG mini untuk produksi LNG yang terdesentralisasi.
Perbedaan kedua konsep tersebut ada pada sistem transportasinya. Pada aplikasi peak
saving, sejumlah besar LNG disimpan dalam tangki penyimpanan LNG selama
operasi musim dingin. Gas selanjutnya dipompakan dan diregasifikasi untuk dikirim
kekonsumen melalui pipa. Pada konsep kedua, tangki penyimpanan LNG jauh lebih
kecil dan dapat diangkut langsung melalui truk. Dengan demikian, LNG dapat
didistribusikan ke konsumen secara menyebar karena menggunakan truk. Kapasitas
kilang LNG untuk kedua jenis tersebut berkisar antara 10 500 ton LNG/hari seperti
ditunjukkan dalam Tabel 3 berikut. Untuk negara Indonesia yang tidak memiliki
musim dingin dan dengan lokasi konsumen yang menyebar maka konsep small scale
LNG dengan pengangkutan melalui truk atau sungai lebih sesuai.
Tabel 3 Perbandingan Konsep Small-Scale LNG
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 83

Pada prinsipnya, seluruh proses pencairan LNG didasarkan pada konsep yang umum
sama yaitu menurunkan suhu gas bumi pada tekanan atmosferik hingga suhu
mencapai kurang lebih 161
o
C (- 258
o
F). Cara untuk mencapai suhu pencairan
inilah yang membedakan teknologi proses LNG satu dengan yang lainnya. Sebelum
proses pencairan, gas harus menjalani proses pengolahan terlebih dahulu untuk
menghilangkan kandungan senyawa yang tidak diharapkan seperti CO
2
, H
2
S, Hg,
H
2
O, dan hidrokarbon berat. Proses pengolahan ini merupakan salah satu komponen
biaya investasi yang cukup tinggi dari kilang pencairan gas bumi. Spesifikasi produk
LNG yang diharapkan adalah sesuai dengan spesifikasi gas jual pada umumnya
dimana kandungan panasnya minimum 950 Btu/Scf.
Kilang SMSL tersedia dalam bentuk modular dan dapat dibeli di pasar
internasional. Kilang ini didominasi oleh teknologi dengan mixed refrigerant dan
proses kompresi pendinginan-ekspansi. Teknologi yang menggunakan refrijeran
merupakan teknologi jenis loop tertutup, sedangkan proses kompresi-pendinginan-
ekspansi merupakan teknologi jenis loop terbuka. Pada teknologi jenis loop terbuka
sebagian gas bumi digunakan sebagai refrijeran. Pada beberapa teknologi, turbo-
ekspander digunakan untuk menghasilkan kerja poros. Teknologi ini memanfaatkan
tekanan tinggi di dalam pipa transmisi untuk menghasilkan LNG dalam jumlah sedikit
saat gas bumi tersebut diekspansi di turboekspander. Teknologi kilang LNG SMSL
terus berkembang menghasilkan teknologi baru dengan biaya yang kompetitif.
Gambar 4 berikut memperlihatkan biaya produksi kilang LNG pada beberapa
kapasitas.

Gambar 4 Perbandingan Biaya Produksi LNG Mini
Sampai saat ini, berbagai teknologi kilang LNG mini telah dikembangkan baik
hanya yang sebatas konsep sampai dengan yang sudah komersial. Beberapa teknologi
kilang LNG yang berkembang antara lain Air Product and Chemical Industries
(USAI), Black and Veatch Pritchard (US), Chart (USA), Hamworthly KSE (Norway),
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 84
KryoPack Inc (USA), GTI (USA), Linde (German) dan Curtin Contamination
Tolerant Process (CCTP) Australia.
Teknologi Mixed-Refrigerant Cycle (MRC) merupakan teknologi yang paling
banyak diterapkan, baik untuk kilang LNG skala besar (base load) maupun kilang
LNG skala kecil (small-scale). Keuntungan dari penggunaan teknologi ini adalah
kehandalannya tinggi dan biaya investasinya dapat ditekan serta fleksibitas terhadap
gas umpan yang digunakan. Jenis penggerak yang digunakan adalah elektric motor
atau gas engine. Teknologi ini didesain untuk kapasitas antara 5000 10.000 gallon
LNG/hari .
Pada prinsipnya, untuk memproduksi LNG dari gas bumi sampai digunakan oleh
konsumen (rantai LNG) diperlukan empat tahapan proses yaitu Eksplorasi dan
Produksi, Pencairan (liquefaction), Transportasi dan Penyimpanan dan Regasifikasi.
Pada kilang LNG baseload, keempat tahap proses tersebut harus dipenuhi seperti di
perlihatkan dalam gambar 5 berikut.

Gambar 5 Tahapan Rantai Proses LNG
Sedangkan untuk kilang LNG mini khususnya jika sumber gasnya dari gas suar bakar
atau dari pipa gas maka ada tahapan proses yang tidak perlu dilakukan yaitu tahapan
eksplorasi dan produksi. Tahapan transportasinya pun akan berbeda karena untuk
kilang LNG mini, transportasi yang digunakan biasanya menggunakan truk karena
kapasitasnya yang memang tergolong jauh lebih kecil dibandingkan dengan kilang
LNG baseload. Pada kilang LNG mini, proses penyimpanan dan proses
regasifikasinya pun berbeda dengan kilang LNG baseload. Proses penyimpanan
biasanya dilakukan pada tabung-tabung yang siap untuk diangkut/dikirim ke
konsumen atau melalui pipa sedangkan pada kilang LNG baseload, penyimpanannya
dilakukan pada tangki-tangki timbun berukuran sangat besar yang dibangun baik di
lokasi kilang maupun di lokasi konsumen. Disamping itu, kilang LNG baseload
memerlukan terminal laut yang berkapasitas besar.
2.4 Potensi Gas Suar Bakar
Sampai saat ini, Indonesia memiliki lapangan-lapangan gas marginal dan gas
suar bakar dalam jumlah yang cukup besar yang belum termanfaatkan.
Beberapa kendala yang menyebabkan gas tersebut belum bisa dimanfaatkan
adalah kendala volume cadangan dan kendala transportasi. Berdasarkan data
pemanfaatan gas bumi tahun 2007, jumlah flare gas (gas suar bakar) di
Indonesia masih cukup besar yaitu sebesar 268, 3 MMSCFD atau sekitar
3,5% dari total utilisasi gas Indonesia.
Lapangan-lapangan marginal yang ada di Indonesia didefinisikan sebagai
reservoir gas atau minyak yang tidak ekonomis untuk dieksploitasi dibawah
kebijakan Pemerintah dan teknologi yang tersedia. Beberapa pertimbangan
keekonomian sehingga lapangan-lapangan tersebut belum bisa dikembangkan
sampai saat ini adalah:
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 85
- Jumlah cadangannya yang tidak besar
- Kurang tersedianya teknologi yang sesuai untuk pengembangan lapangan tersebut
- Lokasinya yang terpencil
- Kurangnya infrastruktur yang memadai
Salah satu produsen gas bumi di Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten yang memasok
kebutuhan energi bagi konsumennya dengan jumlah cukup besar adalah PT Pertamina
EP Region Jawa Bagian Barat. Produksi gas tersebut bersumber dari berbagai
lapangan dan dialirkan kepada konsumen melalui jaringan pipa gas. Selain
memproduksi gas bumi untuk memenuhi kebutuhan energi bagi konsumennya, masih
terdapat lapangan-lapangan gas yang hingga saat ini masih dibakar atau lebih dikenal
sebagai gas suar bakar (gas flare). Kondisi ini dapat disebabkan oleh volume gas yang
relatif kecil dan lokasinya menyebar serta jauh dari infrastruktur pipa transmisi atau
distribusi. Sebagian besar lapangan gas suar bakar volumenya dibawah 1 MMSCFD
dan hanya terdapat 3 (tiga) lapangan yang volumenya diatas 1 MMSCFD, diantaranya
yaitu Cemara Barat (1,44 MMSCFD), Tugu BaratC (2,49 MMSCFD) dan Tambun
(7,79 MMSCFD). Dalam kajian ini, volume gas minimum yang akan dimanfaatkan
adalah sebesar 1 MMSCFD. Untuk lapangan gas Tugu BaratC, kandungan CO
2

sebesar 40% yang jika dimanfaatkan membutuhkan proses lanjut sehingga tidak
ekonomis sedangkan lapangan gas Tambun, gas suar bakar merupakan excess gas
yang pemanfaatannya masih menunggu selesainya infrastruktur gas. Komposisi gas
suar bakar lapangan Cemara Barat dapat terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi Gas Suar Bakar Lapangan Cemara Barat
No. Komposisi % mol No. Komposisi % mol
1. H
2
S 0 7.
I
C
4
1,66
2. CO
2
2,45 8.
N
C
4
2,88
3. N
2
6,06 9.
I
C
5
0,98
4. C
1
68,54 10.
N
C
5
0,87
5. C
2
5,59 11.
N
C
6
1,42
6. C
3
9,55 12. GHV (Btu/Scf) 1320


3. RANCANGAN KILANG LNG MINI DENGAN SUMBER GAS SUAR
BAKAR
3.1 Pemilihan Teknologi Mini LNG
Kilang LNG skala kecil dan sedang atau small- to mid-scale liquefaction (SMSL)
berbeda dari kilang LNG skala besar dalam beberapa aspek sehingga mempengaruhi
desain. Titik berat desain kilang SMSL terletak pada minimisasi biaya kapital, bukan
efisiensi termodinamika. Kilang SMSL didominasi oleh teknologi dengan mixed
refrigerant dan proses kompresi pendinginan-ekspansi. Teknologi yang menggunakan
refrijeran merupakan teknologi jenis loop tertutup, sedangkan proses kompresi-
pendinginan-ekspansi merupakan teknologi jenis loop terbuka. Pada teknologi jenis
loop terbuka sebagian gas bumi digunakan sebagai refrijeran. Pada beberapa
teknologi, turbo-ekspander digunakan untuk menghasilkan kerja poros.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 86
Proses yang direkomendasikan untuk digunakan untuk proses pencairan LNG skala
rendah adalah proses yang menggunakan turboekspander gas. Sekalipun siklus
ekspander memiliki efisiensi yang lebih rendah dibandingkan dengan proses mixed
refrigerant dan proses bertingkat dengan refrigerant murni yang biasa digunakan di
onshore, akan tetapi proses ini memenuhi banyak kriteria untuk pengembangan
lapangan marginal. Perbandingan antara proses ekspander dengan proses mixed
refrigerant dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perbandingan Teknologi Expander dan Liquid Refrigerant

Berdasarkan penjelasan tersebut si atas, proses pencairan yang disarankan
untuk digunakan adalah expander. Dari macam-macam proses yang menggunakan
expander, Kryopak EXP merupakan proses yang akan dipilih karena meskipun
konsumsi energi sedikit lebih tinggi dibandingkan menggunakan license refrigerant,
akan tetapi memiliki beberapa kelebihan di antaranya lebih fleksibel terhadap
perubahan komposisi gas umpan, proses dan peralatan sederhana, mudah dipabrikasi,
instalasi dan start up relatif cepat.

3.2 Blok Diagram
Sesuai dengan tujuannya yaitu untuk memanfaatkan gas suar bakar, maka kilang LNG
akan didesain dengan kapasitas rendah sesuai dengan volume gas umpan. Kilang
LNG ini juga didesain untuk memudahkan pemindahan kilang dari satu lokasi ke
lokasi lain jika dibutuhkan (portable). Hal lain yang akan dijadikan sebagai dasar
acuan dalam melakukan desain adalah teknologi sederhana yang handal, investasi
yang murah dan mudah dalam pengoperasian serta perawatan. Model kilang LNG
mini adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 6.







Gambar 6 Model Kilang LNG Mini
GAS UMPAN DARI GAS SUAR BAKAR
KOMPRESI
SEPARATION
ACID GAS REMOVAL
DEHIDRASI
HYDROCARBON SEPARATION
PENCAIRAN
LNG STORAGE
UTILITIES :
WATER
POWER
AIR
NITROGEN, ETC

FRACTIONATION
NGL TREATMENT
NGL STORAGE
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 87
Kilang LNG mini ini secara umum akan dikelompokkan menjadi 5 (lima) bagian,
yaitu fasilitas penerimaan (kompresi dan separasi); fasilitas pemurnian; fasilitas
fraksinasi; fasilitas pencairan; dan fasilitas penyimpanan. Blok diagram dari kilang
LNG mini ini adalah seperti yang terilihat pada Gambar 7.
Compression Separation
Acid Gas
Removal
Dehydration
Liquid Acid Gas Water
Max. 100
ppm CO2 H2O < 1 ppm
Deethanizer
Liquefaction
Flash
Drum
JT Valve
Ref. Makeup
LNG to Tank
Debutanizer
LPG to Tank
Condensate
to Tank
Compression Cooling
Expansion
Cooling
Gas Flare
Supply

Gambar 7 Blok Diagram Kilang LNG Mini
3.3 Proses Kilang LNG Mini
Kilang LNG mini didesain untuk memproduksi LNG sesuai dengan spesifikasi gas
jual. Gas bumi yang dihasilkan dari gas suar bakar pada fasilitas existing mengandung
komponen metana, etana, propana, butana sampai heksana plus. Selain komponen di
atas, gas suar bakar juga sering mengandung komponen ikutan seperti H
2
S, CO
2
, N
2

dan H
2
O. Untuk dapat mengolah gas suar bakar menjadi LNG, komponen-komponen
ikutan tersebut harus dibuang terlebih dahulu.
Teknologi proses pencairan LNG saat ini sudah berkembang pesat sesuai dengan
perkembangan pengetahuan di bidang pengolahan minyak dan gas bumi. Metoda
untuk mencairkan gas bumi didasarkan pada sifat-sifat campuran hidrokarbon. Prinsip
utamanya adalah mendinginkan gas bumi sampai pada titik embunnya pada tekanan
atmosferik. Untuk mencapai kondisi tersebut, diperlukan fluida pendingin
(refrigerant) dan/atau expander.
Gas umpan untuk kilang LNG tidak boleh mengandung komponen-komponen ikutan
yang dapat membeku dalam jumlah tertentu seperti CO
2
, N
2
dan H
2
O dan hidrokarbon
berat (C5+). Oleh karenanya, pada bagian upstream dari unit pencairan LNG
diperlukan unit-unit yang berfungsi untuk membuang gas-gas ikutan tersebut seperti
unit pemisahan gas/kondensat, unit pemisah gas asam dan unit dehidrasi. Pada
simulasi ini, gas umpan diasumsikan tidak mengandung logam merkuri. Gambar 4.3
mempelihatkan skema proses kilang LNG mini.


Gambar 8 Skema Proses Kilang LNG Mini
3.3.1 Separasi dan kompresi
Proses separasi digunakan untuk memisahkan kandungan gas, air dan/atau kondensat.
Gas dari lapangan-lapangan gas khususnya dari gas suar bakar pada umumnya
memiliki tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan tekanan gas yang
diharapkan masuk ke kilang LNG. Oleh karenanya, hampir sebagian besar kilang
SEPARASI
&
KOMPRESI
UNIT PEMISAH GAS ASAM
MEMBRAN DEA
DEHIDRASI PENCAIRAN
GAS UMPAN
LNG, LPG & CONDENSAT
SEPARASI
&
KOMPRESI
UNIT PEMISAH GAS ASAM
MEMBRAN DEA
DEHIDRASI PENCAIRAN
GAS UMPAN
LNG, LPG & CONDENSAT
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 88
LNG memiliki unit kompresi gas. Unit kompresi gas secara umum terdiri dari Suction
dan Discharge Scrubbers; Kompresor; Air fan cooler; Tangki Kondensat; dan
Aksesoris.
From Flare System
H2O
To Acid Gas Treating+DHP
To Drain
To Flare
System
From debutanizer
To Drain 3 Phase
Separator
1
st
Suction
Scrubber
1
st
Compressor
1
st
Intercooler
2
nd
Suction
Scrubber
3
rd
Suction
Scrubber
Discharge
Scrubber
2
nd
Intercooler
3
rd
Intercooler
Degassing Boot
Condensate
Tank
2
nd

Compressor
3
rd

Compressor

Gambar 9 Diagram Alir Proses Separasi dan Kompresi
Berdasarkan diagram alir proses pada Gambar 4.4, LP Separator (3 Phase Separator)
digunakan untuk memisahkan kandungan gas, air dan kondensat. Air dari hasil
pemisahan akan di alirkan kesaluran pembuangan, kondensat akan dialirkan ke
kondensat stabilizer dan selanjutnya dialirkan ke tangki kondensat. Setelah itu aliran
gas masuk kedalam Scrubber yang berfungsi untuk memisahkan cairan pada aliran
gas sebelum melewati unit kompresor.
Kompresor digunakan untuk mengkompresi gas sehingga dicapai tekanan yang lebih
tinggi. Sesuai dengan karakteristik bahwa gas harus dikompresi dengan rasio
kompresi yang cukup tinggi, maka pada proses ini digunakan kompresor torak
(reciprocating) sebanyak 3 (tiga) buah. Setelah gas dikompresi, maka temperatur gas
akan naik sehingga perlu di dinginkan sampai temperatur kamar. Pendingin yang
digunakan adalah pendingin udara (Air fan cooler). HP Separator digunakan untuk
memisahkan cairan dari gas yang masih terdapat dalam aliran gas sebelum memasuki
post treatment/purifikasi.

3.3.2 Acid Gas Removal Unit (AGRU)
AGRU Merupakan fasilitas untuk membersihkan gas dari kandungan CO
2
, H
2
S dan
H
2
O. Pada fasilitas pemurnian gas untuk fasilitas LNG, kandungan dari material-
material ikutan yang akan dicapai antara lain adalah:
Sulfur < 3.5 ppmv
Sulfur total < 20 mg/Nm3
CO
2
< 100 ppmv
H
2
O < 0.5 ppmv
Merkuri < 0.01 mg/Nm3
Pada proses Acid Gas Removal Unit atau Unit Pemisah Gas Asam ini terdiri CO
2

Removel Unit (Membran) dan Sistem Amine (DEA).
Seperti diketahui bahwa gas umpan yang akan diproses mengandung CO
2
yang
cukup tinggi. Dengan sistem membran (Gambar 10), kandungan CO
2
akan dapat
diturunkan dari 21% menjadi 10%, sebelum diproses lebih lanjut dengan sistem
amine. Penggunaan sistem membran ini sudah dikenal luas didalam proses
pemisahan gas asam.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 89

Gambar 10 Sistem Membran
Pada proses ini, sistem amine digunakan untuk menurunkan kandungan CO
2
dari
10% menjadi < 100 ppm. Amine sistem menggunakan larutan DEA.
From Membran Unit
C.W
C.W
18 18
To Inlet Separator
To Fuel System
E-01
REGENERATOR
COLUMN
ABSORBER
COLUMN
REFUX
SEPARA
TOR
REBOILER
RICH AMINE
SWEET GAS
1B
Acid Gas
Sweet Gas to DHP
MAKEUP PUMP
D-01
FILTER
FILTER
SEPARATOR
AMINE PUMP
FILTER FILTER
AMINE COOLER
AMINE TANK
AMINE/AMINE HE

Gambar 11 Diagram Alir Proses AGRU
Gas dari unit membran mula-mula dilewatkan Feed Gas Scrubber untuk memisahkan
cairan/padatan yang terbawa dalam aliran gas. Selanjutnya aliran gas diumpankan ke
kolom absorber. Pada kolom ini terjadi kontak antara gas yang masuk dengan larutan
DEA dalam kolom absorber. Larutan DEA akan menyerap CO
2
dari gas umpan. Gas
yang keluar dari atas kolom akan melalui kolom separator dan masuk kedalam sistem
dehidrasi. Diagram alir proses AGRU terlihat pada Gambar 11.
3.3.2 Dehidrasi
Unit dehidrasi di desain untuk memisahkan air hingga gas yang keluar dari unit ini
memiliki kandungan gas kurang dari 1 lb/MMscf. Media penyerap air yang mampu
menyerap air hingga spesifikasi tersebut adalah media padatan seperti molsieve.
Gambar 12 berikut memperlihatkan diagram alir proses unit dehidrasi.


Gambar 12 Diagram alir proses unit dehidrasi
Gas dari unit AGRU mula-mula dilewatkan ke discharge scrubber untuk memisahkan
cairan atau padatan yang terbawa. Selanjutnya aliran gas masuk ke dalam kolom
molecular sieve yang berfungsi untuk mengurangi jumlah air dalam aliran gas. Aliran
gas yang keluar dari kolom tersebut akan dilewatkan ke dalam filter sebelum di kirim
ke unit pencairan.
Proses dehidrasi ini didasarkan pada sifat-sifat padatan yang mampu menyerap
molekul air secara cepat pada permukaannya (adsorpsi). Proses adsorpsi dilakukan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 90
dalam kolom yang mengandung adsorben. Pada saat gas dilewatkan melalui adsorben,
seluruh air yang terkandung dalam gas tersebut akan terserap. Bila adsorben yang
digunakan telah mencapai batas jenuh maka kolom tersebut harus diregenerasi.
Regenerasi dilakukan melalui dua tahap, yaitu:
- Pemanasan kolom dengan mensirkulasikan gas panas untuk melepas dan
menangkap air dari adsorben; dan
- Pendinginan kolom untuk mendapatkan kondisi awal kapasitas penyerapan.

4.3.4 Pencairan
Pencairan gas bumi terdiri dari unit fraksinasi dan unit pencairan gas bumi. Gambar
13 berikut memperlihatkan diagram alir proses unit pencairan. Aliran gas dari unit
dehidrasi akan masuk ke dalam kolom deethanizer. Aliran gas yang memiliki
komponen lebih ringan akan melalui coldbox dan JT Valve hingga aliran gas tersebut
mencair lalu masuk ke dalam tangki penyimpanan.
LPG
From DHP
DEETHANIZER
REF.
MAKEUP
CONDENSATE
LNG
COLD BOX
COLD BOX
1st
COMPRESSOR
FAN
TURBO
EXPANDER
LNG
TANK
DEBUTANIZER
LPG TANK
CONDENSATE
TANK
JT VALVE
JT VALVE FLASH
DRUM

Gambar 13 Diagram Alir Proses Pencairan
Unit fraksinasi terdiri dari kolom deethanizer dan kolom debutanizer. Kolom
deethanizer digunakan untuk memisahkan etana dan komponen yang lebih ringan dari
fraksi yang lebih berat, sedangkan kolom debutanizer digunakan untuk memisahkan
fraksi LPG dari komponen yang lebih berat.
Proses pencairan gas bumi dilakukan dalam suatu alat penukar panas berefisiensi
tinggi yang disebut coldbox. Media pendingian yang digunakan adalah gas umpan itu
sendiri, dengan demikian tidak diperlukan unit-unit penghasil refrigerant. Selain itu,
selama siklus pendinginan dan media pendingin akan selalu berfasa gas sehingga
tidak diperlukan unit penyimpan refrigerant.


3.4 Simulasi Proses
Dalam simulasi ini akan digunakan sumber gas dari lokasi di lapangan Pertamina EP
Jawa Barat. Spesifikasi produk LNG yang diharapkan disini disesuaikan dengan nilai
kalor dan komposisi yang aman bagi proses kriogenik. Adapun nilai kalor yang
diharapkan adalah berkisar antara 900 1200 Btu/Scf dengan komposisi CO
2

maksimum 100 ppm.
Lapangan gas Cemara Barat merupakan salah satu lapangan gas yang tersebar di
wilayah Operasi Pertamina EP Jawa Barat. Dalam studi ini sengaja dipilih lapangan
gas Cemara Barat sebagai salah satu kasus sumber gas untuk kilang LNG mini karena
dari beberapa kriteria seperti kriteria volume dan kriteria komposisi cukup memenuhi
dibandingkan dengan lapangan-lapangan gas lainnya. Komposisi gas lapangan
Cemara Barat seperti pada Tabel 4 si atas dengan flow rate gas umpan yang masuk
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 91
pada kilang LNG mini sebesar 1,44 MMSCFD.






Gambar 14 Simulasi Proses Kilang LNG Mini Cemara Barat
Berdasarkan simulasi proses kilang LNG mini Cemara Barat pada Gambar 14, gas
dari sistem gas suar bakar mula-mula dilewatkan ke 1st suction scrubber (F-01A)
untuk memisahkan cairan atau padatan yang masih terbawa dalam aliran gas. Aliran
Gas selanjutnya dikompresi oleh 1st compressor (C-01A) sampai tekanan 8,437
kg/cm2 kemudian di dinginkan oleh fin-fan cooler (E-01A) sampai suhu 43 C. Aliran
gas yang sebagian terkondensasi dipisahkan dalam 2nd suction scrubber (F-2A).
Produk bawah scrubber digunakan kembali pada 1st suction scrubber. Gas selanjutnya
dikompresi lagi oleh 2nd compressor (C-2A) sampai tekanan 21,09 kg/cm2 dan di
dinginkan oleh fin-fan cooler (E-2A) sampai suhu 43 C. Aliran gas yang sebagian
terkondensasi dipisahkan dalam 3rd suction scrubber (F-3A). Produk bawah scrubber
digunakan kembalipada 2nd suction scrubber. Aliran gas selanjutnya dikompresi lagi
oleh 3rd compressor (C-3A) sampai tekanan 59,76 kg/cm2 kemudian didinginkan
oleh fin-fan cooler (E-3A) sampai suhu 43 C dan dipisahkan dalam discharge
scrubber (F-04A).
Setelah melalui unit kompresi dan separasi, gas masuk kedalam unit membrane.
Dalam unit membrane ini gas CO2 dipisahkan, sehingga kandungan CO2 dalam aliran
gas diturunkan dari 21% menjadi 10%. Gas dari unit membran masuk kedalam system
amine pada tekanan 58,71 kg/cm2 dan suhu 43 C. Aliran gas mula-mula dilewatkan
ke dalam inlet separator (F-01B) untuk memisahkan cairan/padatan yang terbawa
dalam aliran gas. Gas selanjutnya diumpankan ke kolom absorber (T-01B) dari bagian
bawah (bottom). Dalam kolom absorber akan terjadi kontak antara gas yang mengalir
dari bagian bawah kolom dengan larutan lean DEA yang mengalir dari bagian atas
kolom. Larutan DEA akan menyerap CO2 dari gas umpan. Gas yang keluar dari
bagian atas kolom akan memiliki komposisi CO2 < 100 ppm. Gas yang keluar dari
bagian atas kolom selanjutnya didinginkan dalam heat exchanger (E-03B) dan
dipisahkan dalam separator (F-03B). Aliran gas yang keluar dari bagian atas separator
selanjutnya dikirim ke unit dehidrasi. Rich DEA (DEA yang kaya akan CO2) yang
keluar dari bagian bawah kolom absorber selanjutnya diturunkan tekanannya dan
dilewatkan ke Flash Drum (F-02B) untuk melepas gas yang terikut. Produk bawah
flash drum selanjutnya dipanaskan sampai suhu kira-kira 80o C dalam amine/amine
heat exchanger (E-01B) dimana sebagai media pemanasnya adalah produk bawah dari
kolom regenerator (T-02B). Rich DEA yang telah dipanaskan selanjutnya
diumpankan ke kolom regenerator (T-02B). Dalam kolom regenerator terjadi
pemisahan CO2 dari larutan DEA. Gas CO2 dan H2S keluar dari bagian atas kolom
sedangkan larutan DEA yang telah bebas dari gas CO2 (Lean DEA) keluar dari
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 92
bagian bawah kolom dan digunakan untuk memanaskan Rich DEA melalui
DEA/DEA Heat Exchanger (E-01B). Lean DEA selanjutnya dipompa sampai tekanan
3,87 kg/cm2 melalui booster pump (E-02B) dan selanjutnya didinginkan dalam heat
exchanger (E-02B) sampai temperatur 43 C. Lean DEA selanjutnya dilewatkan ke
mechanical filter (F-04B) dan Charcoal Filter (F-05B) untuk menyaring partikel-
partikel yang tidak diinginkan. Lean DEA yang keluar dari filter selanjutnya dipompa
sampai tekanan 33,65 kg/cm2. Lean MEA selanjutnya diumpankan ke bagian atas
kolom absorber (T-01B).
Gas dari HP Discharge Scrubber mula-mula dilewatkan ke inlet filter (V-1C) guna
memisahkan cairan atau padatan yang masih terbawa. Gas yang keluar dari inlet filter
selanjutkan dilewatkan ke kolom adsorpsi (V-2C-A/B) yang berisi molecular sieve
dari bagian atas. Didalam kolom ini, air yang terkandung dalam gas diserap oleh
molecular sieve. Pada saat yang sama, dilakukan regenerasi kolom lainnya (V-2C-B).
Gas yang sudah kering selanjutnya dilewatkan ke filter guna memisahkan partikel-
partikel padat yang terbawa. Gas kering selanjutnya dikirim ke unit pencairan.
Sebagian kecil dari aliran gas kering dilewatkan ke heater (E-1C) dan dipanaskan
sampai suhu 204 C. Gas tersebut kemudian dikompresi dan dilewatkan ke kolom
adsorpsi (V-2C-B) yang berisi molecular sieve yang telah jenuh. Didalam kolom, air
yang terkandung dalam molecular sieve akan menguap dan terbawa oleh aliran gas
panas. Gas yang telah digunakan untuk proses regenerasi selanjutnya didinginkan
dalam air cooler (E-2C) dan kemudian dilewatkan ke separator (V-3C) untuk
memisahkan air yang terkondensasi. Gas tersebut selanjutnya dikembalikan ke aliran
gas umpan.
Aliran gas (1d) dari unit dehidrasi pada tekanan 58 kg/cm2 mula-mula diditurunkan
tekanannya hingga 31,64 kg/cm2 melalui JT Valve (V-01D). Gas (2d) selanjutnya
diumpankan ke kolom deethanizer (T-1D). Produk atas kolom deethanizer (3d) berupa
senyawa etana dan yang lebih ringan dikirim ke unit Coldbox (E-03D), sedangkan
produk bawahnya (4d) berupa senyawa propana dan yang lebih berat diturunkan
tekanannya melalui JT Valve (V-03D) hingga 9.84 kg/cm2. Produk bawah dari kolom
deethanizer dikirim ke kolom debutanizer (T-2D). Didalam kolom debutanizer, fraksi
LPG dipisahkan dari fraksi yang lebih berat berdasarkan titik didihnya. Produk atas
kolom debutanizer (9d) berupa LPG dialirkan ke tanki penyimpanan LPG (D-1D)
sedangkan produk bawah (10d) berupa kondensat dikirim ke tangki penyimpanan
kondensat (D-2D).
Aliran pendingin (1R) pada tekanan 1,758 kg/cm2 dan suhu -157,5 C mula-mula
digunakan untuk mendinginkan produk atas (3d) kolom deethanizer (T-01D) dalam
coldbox (E-03D). Gas yang telah didinginkan tersebut (5d) mencair dan selanjutnya
diturunkan tekanannya hingga 1,033 kg/cm2 melalui JT Valve (V-02D) dan dikirim
ke LNG flash drum (F-01D). Produk atas flash drum digunakan untuk makeup
pendingin sedangkan produk bawahnya (8d) berupa LNG dipompakan ke tanki LNG
(D-1D). Aliran pendingin (2R) yang telah digunakan untuk mendinginkan gas
kemudian digunakan sebagai pendingin pada deethanizer condenser (E-01D). Aliran
pendingin (3R) yang keluar dari condenser selanjutnya digunakan untuk
mendinginkan aliran pendingin (16R) yang keluar dari 5st After cooler (E-11D).
Aliran pendingin selanjutnya dikompresi melalui lima tahapan kompresi (Kompresor
C-1D sampai Kompresor C-5D) hingga tekanan 57,27 kg/cm2. Setiap tahapan
kompresi dipasang unit intercooler (E-3D sampai dengan E-7D). Aliran gas pendingin
yang telah dikompresi (17R) selanjutnya didinginkan dalam coldbox (E-03D) hingg
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 93
suhu -29,65 oC dan selanjutnya diekspansi oleh turbo expander (EX-1D dan EX-2D)
hingga tekanan 1,758 kg/cm2. Gas pendingian hasil ekspansi (19R) memiliki
temperatur sekitar -157,5 oC. Gas pendingin tersebut selanjutnya digunakan untuk
mendinginkan aliran gas yang keluar dari kolom deethanizer pada coldbox (E-03D)
dan demikian seterusnya.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil rancangan dari Kilang LNG Mini Cemara Barat menggunakan gas
suar bakar, di dapat neraca energi sebagaimana pada Tabel 6 di bawah.
Tabel 6 Neraca Energi Kilang LNG Mini Cemara Barat
Unit Code Mmbtu/hr HP
1 1st Compressor C-01A 90
2 2nd Compressor C-02A 84
3 3rd Compressor C-03A 92
4 1st Cooler E-01A 0.23
5 2nd Cooler E-02A 0.21
6 3rd Cooler E-03A 0.23
Unit Code Mmbtu/hr HP
1 Deethanizer Condenser E-01D 0.36
2 Deethanizer Reboiler E-02D 0.15
3 Debutanizer Condenser E-04D 0.18
4 Debuthanizer Rebolier E-05D 0.10
5 Coldbox E-03D 0.80
6 Condensate Cooler E-06D 0.02
7 1st Air Cooler E-07D 0.87
8 2nd Air Cooler E-08D 1.00
9 3rd Air Cooler E-09D 0.95
10 4th Air Cooler E-10D 0.31
11 5th Air Cooler E-11D 0.49
12 1st Compressor C-01D 350
13 2nd Compressor C-02D 347
14 3rd Compressor C-03D 353
15 4th Compressor C-04D 111
16 5th Compressor C-05D 170
17 1st Expander EX-01D (111)
18 2st Expander EX-02D (170)
19 Deethanizer Reflux Pump P-02D 0.13
20 Debutanizer Reflux Pump P-03D 0.13
Load
UNIT PENCAIRAN
UNIT KOMPRESI & SEPARASI
Load

Sedangkan Produk LNG hasil dari kilang LNG mini Cemara Barat mempunyai
komposisi sesuai pada Tabel 7.

Tabel 7 Komposisi LNG Cemara Barat
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 94
Name LNG
Vapour Fraction -
Temperature [F] (268)
Pressure [psia] 14,696
Molar Flow [MMSCFD] 0.88
Mass Flow [tonne/d] 18.82
Liquid Volume Flow [barrel/day] 356
Heat Flow [MMBtu/hr] -
Composition (Mol %)
H2S -
CO2 -
Nitrogen 2.11
Methane 89.52
Ethane 7.48
Propane 0.88
i-Butane 0.00
n-Butane 0.00
i-Pentane 0.00
n-Pentane 0.00
n-Hexane 0.00
n-Heptane -
n-Octane -
n-Nonane -
H2O -

Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini sebagai berikut:
1. Rancangan kilang LNG mini Cemara Barat menggunakan gas suar bakar dan
fleksibel terhadap perubahan komposisi gas umpan.
2. Produksi kilang LNG mini Cemara Barat adalah LNG 0,8833 MMSCFD, LPG
9,59 ton/hari dan Kondensat 42,47 bbl/hari.
3. Untuk dapat dimanfaatkan bagi sektor transportasi, diperlukan penelitian lanjutan
untuk mengkaji teknologi regasifikasi LNG dan/atau pmanfaatan LNG untuk
Kendaraan bermotor.

5. DAFTAR PUSTAKA
1. Campbell, John. M., Gas Conditioning and Processing, Volume 2: The
Equipment Modules, 6
th
ed, Campbell Petroleum Series, Oklahoma. 1988
2. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Laporan 2006
3. Duncan Seddon, Gas Usage & Value, Oklahoma: PennWell Cooperation,
2006
4. Energy Outlook, 2007
5. Jeff Beale, Non-Traditional Soueces and Uses of LNG, CH-IV International
6. John M Campbell, Gas Condition and Processing, Oklahoma: JMC, 2001
7. GTI Report, Small Scale Liquefier Development
8. M.Klin Kanbijl, M.L.DiIlon, E.C Heyman : " Gas Treatment and their impact
on Liquifaction ; Shell International Oil Product, Research & Technology
Center Association, presented ata GPA Nashville, TE Meeting, 2nd March
1999
9. Viviek Chandra, Fundamentals of Natural Gas, Oklahoma: PennWell
Cooperation, 2006
10. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif dan R&D, Bandung:
Alfabeta, 2006
11. www.soundenergysolutions.com
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 95
KMP-10

Green Building Perancangan Bangunan Hemat Energi
yang dilakukan di Jakarta

Sani Heryanto
Jurusan Arsitektur, FT, Universitas Tarumanagara, Jakarta
sanikuo@yahoo.com

Abstract:
The Oil Crisis in 1973 was the introduction of the energy crisis in the modern city that
intensively consuming energy to support its establishment. Conservation of electrical
power in every aspect of urban life becomes imperative aims avoid the similar crisis.
The greatest electrical power consumption in modern city is building by HVAC
system. The way of electrical usage in a building requires to be revisited to reduce its
dependency. This paper discusses the methods of Green Design and the technical
guidelines or rules to generate an energy efficient building took place in the city of
Jakarta.
Key word: Energy, electrical power, conservation, technical standard, rule.

Abstrak:
Krisis bahan bakar tahun 1973 merupakan awal krisis energy kota modern yang
intensif menggunakan energi untuk mendukung keberlangsungannya. Pembatasan
penggunaan daya listrik dalam setiap aspek kehidupan perkotaan menjadi keharusan
agar krisis serupa tidak terjadi lagi. Komsumsi energy listrik terbesar kota adalah
bangunan gedung melalui komponen peralatan HVAC-nta. Model konsumsi listrik
pada suatu bangunan gedung perlu ditinjau kembali sehingga mampu mengurangi
ketergantungannya terhadap daya listrik. Tulisan ini membahas metode Green
Design atau Perancangan yang Ramah Lingkungan dan pedoman teknis atau
peraturan terkait untuk menghasilkan suatu bangunan yang hemat menggunakan
energy listrik yang terjadi di kota Jakarta.
Kata kunci: Energi, daya listrik, penghematan, standar teknis, peraturan.

1. Latar Belakang:
Krisis bahan bakar yang dialami langsung oleh banyak negara Barat pada
Oktober tahun 1973 yang dikenal dengan 1973 Oil crisis disebabkan oleh
pengurangan produksi minyak mentah, embargo pengiriman bahan bakar, dan
penaikan harga minyak mentah mencapai 70% oleh 15 negara Arab pengekspor bahan
bakar utama organisasi OAPEC ke negara Barat telah menyebabkan krisis bahan
bakar yang sangat serius di berbagai sektor kehidupannya. Negara Barat dan Amerika
sangat bergantung kepada konsumsi bahan bakar bersumber dari minyak mentah
pada waktu itu [1]. Krisis tahun 1973 juga merupakan titik awal krisis energy dunia
modern, karena setiap aktifitas modern membutuhkan minyak mentah sebagai sumber
energi untuk mendukung keberlangsungannya, mulai dari sistem transportasi,
produksi, komersial, pelayanan sosial sampai dengan kegiatan rumah tangga sehari-
hari seperti peralatan pendingin/ pemanas ruangan terhadap kondisi iklim ekstrim
(HVAC system) dan lain-lain bersumber dari pembangkit listrik dari bahan bakar.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 96
Pasokan energy yang bergantung kepada impor bahan bakar fosil memberikan
pelajaran dan pengalaman sangat berharga bahwa energy listrik yang diproduksi dari
minyak bumi merupakan sumber dayaterbatas, tidak terbarukan dan mahal dari waktu
ke waktun (lihat gambar 1), sehingga perlu dilakukan pembatasan penggunaan energy
(hemat energi) dalam setiap aspek kehidupan modern yang telah menggantungkan
kemudahan dan kenyamanannya kepada energy listrik.

Gambar 1: Harga minyak 1861-2007 [1].

2. Konsumsi Energi dalam Kehidupan Kota Modern
Kebudayaan atau kehidupan yang intensif konsumsi energi dapat dijumpai
pada perkembangan kota-kota besar modern. Kota modern secara umum ditandai
dengan keraganman aktivitas dan eskalasi pertumbuhan perekonomian luar biasa
tanpa mengenal waktu. Kota seolah beroperasi 24 jam penuh, the city never sleep
(lihat gambar 2). Perkembangan kota modern menjadi model yang ideal bagi
perkembangan kota bagi negara berkembang. Ciri-ciri kota modern adalah kota yang
terus melakukan pembangunan, lengkap dengan berbagai dsarana-prasarana
(infrastruktur), beragam moda transportasi dengan konsumsi energy tang sangat besar
untuk menjalankan fungsi dan mempertahankan perannya. Sayangnya, sumber energy
untuk kebutuhan pembangunan tersebut tidak selalu tersedia di dalam negeri dan
masih diimppor dari negara lain. Misalnya, kebutuhan energi domestik negara
Amerika untuk pembangkit listrik masih mengandalkan pasokan minyak mentah dari
beberapa negara lain di Timur Tengah dan Afika Utara yang merupakan negara
pengekspor minyak mentah utama pemasok 2/3 kebutuhan dunia (lihat gambar 3 dan
4). Beberapa kota modern di negara Barat ternyata menjalankan model yang sama
dengan negara Amerika dalam hal konsumsi dan pasokan energy.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 97

Gambar 2. Pusat kota Toronto [2]
Gambar 3. United States Oil Imports [3].


Gambar 4. Sources of US Oil Import 2006 -2007 [4],

Gambar 5. Global energy consumption by source, as can be seen fossil fuels account for over
3/4th of the world's total energy supply [5].
Kebutuhan akan daya listrik untuk menunjang kehidupan suatu kota modern memang
sangat besar dan apabila kebutuhan tersebut mengandalkan pasokan energi dari pihak
lain (negara lain) berpotensi untuk mengulang krisis energy baru. Selain itu proses
produksi energy listrik juga menimbulkan masalah lingkungan seperti polusi udara
akibat sisa pembakaran (CO
2
emission), pemanasan global dan efek rumah kaca
(green house effect).
3. Konsumsi Energy pada Bangunan Gedung
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 98
Bangunan gedung merupakan salah satu proyek yang paling besar
mengkomsumsi energy listrik. Peta konsumsi energy by sector tahun 2007 Amerika
menunjukan konsumsi energy bangunan gedung mencapai 40% dari total pemakaian
energy di negara tersebut (gambar 6). Sedangkan, apabila penggunaan energy tersebut
setelah dikonversi menjadi daya listrk, penggunaan daya listrik terbesar terdapat pada
bangunan gedung mencapai 76% dari total penggunaan daya listrik negara tersebut
(gambar 7).

Gambar 6. Energy consumption by sector [6]; Gambar 7: U.S. Electrical Energy Consumption [7].
Di Malaysia, konsumsi energy bangunan gedung adalah sebesar 14% dan 90%
energy tersebut dikonversi menjadi daya listrik. Konsumsi daya listrik bangunan
gedung terbesar adalah Residential and Commercial sebesar 53%. Sedangkan
komponen utama pada bangunan gedung yang menggunakan daya listrik terbesar
adalah peralatan pendingin ruangan (Air conditioning) yang berfungsi untuk
menurunkan suhu interior mencapai 45% untuk bangunan hunian dan 65% untuk
bangunan kantor (lihat gambar 8).



Gambar 8. Malaysia Building Energy Consumption Stats [8], Sumber:
http://www.colourcoil.com/enewsvol6issue5/enews.htm, 10/11/2012.
The energy consumed in buildings in Malaysia is 90% in the form of electricity.
Buildings in Malaysia consume more than industry and transport combined.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 99
Malaysias commercial and residential buildings alone, account for about 14% of
total energy consumption and 53% of electricity consumption
Berdasarkan profil penggunaan energy (energy use) di atas maka konsumsi
energy oleh bangunan gedung adalah 40% - 53%, konsumsi daya listrik oleh
bangunan gedung adalah 76% - 90%, sedangkan peralatan di dalam gedung yang
mengkonsumsi listrik terbesar adalah system AC (65%).

4. Produksi dan Konsumsi Energy Indonesia
Negara berkembang seperti Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 230
juta jiwa memiliki profile produksi energy tahun 2009 adalah sebagai berikut [9]:
95,2% energi untuk konsumsi dalam negeri berasal dari sumber energy fossil yang
sebagian besar diproduksi dari pembakaran minyak bumi (49,5%) dengan emisi gas
CO
2
yang dihasilkan

456 MTon dan hanya 4.8% energi yang dihasilkan dari sumber
energy terbarukan (renewable energy share). Bandingkan dengan rata-rata
penggunaan energy dunia sebagai berikut:


Tabel 1. Profil Produksi Energi Indonesia tahin 2009 [9].
Energy Indonesia World
Fossil Energy share 95.20% 88.10%
Oil Energy share 49.50% 36.30%
Renewable Energy share 4.80% 5.10%
CO2 Emission 456 Mton 27347 Mton

Pada tahun 2008, pemakaian minyak mentah sebagai sumber energy dalam
negeri masih 23% meningkat menjadi 49,5% pada tahun 2009. Hal ini menunjukan
adanya peningkatan konsumsi daya listrik kota Jakarta. Pemakaian energy tersebut
dibagi atas beberapa sektor yaitu untuk pembangkit listrik sebesar 30% dan untuk
kebutuhan langsung bangunan gedung (residential & commercial) mencapai 20%
(lihat gambar 9).



Coal
48%
Oil
23%
Natural
gas
24%
Renewa
ble
energy
5%
Domestic Energy Production 2008
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 100

Gambar 9. Indonesia domestic energy consumption 2008 [9].
5. Knsumsi Energi untuk Bangunan Gedung di Jakarta
Jakarta sebagai ibukota negara menjadi parameter bagi perkembangan kota di
Indonesia sekaligus sebagai contoh pembelajaran ideal bagi kota-kota lainnya. Jakarta
dengan jumlah penduduk mencapai 9,6 juta jiwa pada malam hari dan menjadi 12 juta
jiwa pada siang hari akibat penambahan penduduk komuter karena Jakarta adalah
pusat dari berbagai kegiatan ekonomi, pemerintahan dan sebagainya. Kota Jakarta
merupakan contoh yang menarik untuk dibahas terkait dengan profil penggunaan
energy listrik dan metode konservasi penghematan daya listrik yang dilakukan.

5.1 Profil Konsumsi Daya Listrik Jakarta
Secara nasional, profil konsumsi energi final didominasi oleh bangunan
gedung yakni sebesar 39%, masing-masing digunakan untuk konsumsi bangunan
rumah tangga (36%) dan bangunan komersial (3%) seperti yang ditampilkan pada
Tabel II. Sedangkan kosentrasi konsumsi energy final secara nasional terdapat di
pulau Jawa sebagai pulau dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Demikian
dengan profil konsumsi energy yang dikonversikan menjadi daya listrik, pulau Jawa
menjadi kosentrasi pengunaan daya listrik terbesar pula.

Tabel II. Konsumsi Energi Final Nasional per Sektor [10].

Menurut data tahun 2007 [11]: konsumsi listrik pulau Jawa mencapai 77% dari
total pasokan listrik nasional dan sekitar 20% pengguna daya listrik tersebut berada di
ibu kota Jakarta. Total konsumsi daya listrik untuk wilayah DKI Jakarta dan
Tangerang adalah 23%, dengan komposisi terbesar sebagai berikut : 34% berasal dari
sektor rumah tangga (sebagian besar di DKI Jakarta), 30% berasal dari sektor industri
(sebagian besar di Tangerang) dan 29% dari sektor bisnis (sebagian besar di DKI
Jakarta), lihat gambar 10.
Power
generati
on
30%
Industry
29%
Transpor
tation
21%
Resident
ial +
Commer
cial
20%
Domestic Energy Consumption
by Sector 2008
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 101

Gambar 10. Peta konsumsi daya listrik untuk wilayah DKI Jakarta dan Tangerang [11].

5.2 Konservasi Energi pada Bangunan Gedung di Jakarta
Besarnya konsumsi energy final yang kemudian dikonversikan menjadi daya
listrik untuk kebutuhan operasional berbagai peralatan dan kemudahan pada bangunan
gedung menurut kebutuhan masyarakat di Jakarta, dapat menimbulkan masalah krisis
energy apabila tidak segera dilakukan penghematan pemakaian daya listrik tersebut
atau konservasi energy. Upaya konservasi energy pada bangunan gedung sejalan
dengan perkembangan trend Green Building yang sedang berkembang pada saat ini.
Secara nasional, kita memiliki banyak Standard Teknis tau peraturan untuk
melakukan penghematan energy yang sejalan dengan standar Green Building atau
Bangunan Ramah Lingkungan.
Peraturan Gubenur DKI Jakarta No. 38 tahun 2012 tentang Bangunan Gedung
Hijau [12] atau Green Building yang berlaku untuk bangunan gedung di kota Jakarta
sejak tanggal 23 April 2012 merupakan sebuah contoh peraturan daerah yang
mengatur secara lengkap agar bangunan gedung di kota Jakarta, baik bangunan dalam
proses perancangan (bangunan baru) atau bangunan yang sudah terbangun (bangunan
eksisting) yang memiliki dampak penggunaan sumber daya dan energy yang besar
untuk mematuhi atau menjalankan/ menerapkan prinsip penghematan sumber daya
dan energy (daya listrik). Pergub tersebut juga mencakup persyaratan teknis bagi
pelaksanan konservasi menurut standar teknis yang berlaku secara nasional yaitu
Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk bangunan gedung.
Persyaratan Teknis bangunan gedung yang diatur dalam Pergub tersebut
berkaitan dengan penghematan konsumsi daya listrik bangunan gedung antara lain:
a. Efisiensi sistem selubung bangunan untuk gedung baru yaitu mengefisienkan
beban pendingin ruangan atau system AC melalui perancangan selubung
bangunan yang dikenal dengan nilai OTTV45 watt/m2 yang mengacu kepada
SNI 03-6389.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 102

Gambar 11. Rumus OTTV menjadi parameter bangunan hemat energi melalui
perhitungan orientasi dan pemakaian bahan pada fasade bangunan gedung [13].
b. Efisiensi sistem ventilasi dengan menggunakan sistem sistem ventilasi alami
atau mekanis jika memungkinkan yang mengacu kepada SNI 03-6572.

Gambar 12. Natural Ventilation and Exhauts Ventilation [14][15].

c. Efisiensi sistem pengkondisian udara yang ditetapkan serendah-rendahnya
25
0
C dengan RH 60% 10% dan menggunakan peralatan sensor temperatur
yang mengacu kepada SNI 03-6572 dan SNI 03-6390.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 103

Gambar 13. Efisiensi system pendinginan AC pada bangunan [16].

d. Efisiensi sistem pencahayaan yaitu dengan menggabungkan sistem
pencahayaan alami sebagai bagian integral dari sistem pencahayaan buatan
dan dengan menggunakan sensor photoelectric yang mengacu kepada SNI 03-
2396 dan SNI 03-6197.


Gambar 14. Integrasi hoisontal light duct dengan pencahayaan buatan [17].
Gambar 15. Use of on/off photoelectric daylight sensors for 30 Hudson Street,
Goldman Sachs Tower, Jersey City, New Jersey [18].

e. Efisiensi pemakaian daya listrik bagi sistem transportasi dalam gedung secara
vertical yang mengacu kepada SNI 03-6573.

f. Efisiensi sistem kelistrikan mengacu kepada pemakaian peralatan listrik yang
hemat energy, pengontrolan energy listrik, pengendalian energy gedung secara
terintegrasi dengan menggunakan BMS (Buidlign Management System)
terutama pada kelompok pemakai daya listrik substantive/ utama seperti mesin
Chiller, AHU, Lift dan sistem penerangan buatan.

g. Pembatasan rentang acuan konsumsi energy pada suatu bangunan gedung
menurut fungsi pelayanannya atau yang disebut dengan Indeks Konsumsi
Energi (IKE).
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 104
5.3 Peningkatan Pasokan dan Konsumsi Energi Terbarukan di Indonesia
Konsumsi energy terbarukan di Indonesia pada saat ini masih sangat rendah.
Hal ini disebabkan oleh produksi energy terbarukan hanya 4,8% dari produksi energy
final [9]. Potensi pengembangan terhadap energy terbarukan seperti energy panas
matahari untuk negara Indonesia yang membentang di sepanjang garis Katulistiwa
yang beriklim Tropis adalah sangat besar karena memiliki Solar Heat Gain Factor
(SHGF) yang cukup besar dan merata sepanjang hari. Potensi pengembangan energy
tenaga angin pun di beberapa wilayah Indonesia sangat besar. Pemerintah wajib
melakukan sosialisasi dan induksi program pengembangan dan pemakaian energy
alternative atau energy terbarukan yang belum dimanfaatkan namun memiliki banyak
keuntungan antara lain ramah lingkungan, berkelanjutan (sustainable) dan tidak
menimbulkan polusi dan ketergantungan. Kendala atas penguasaan teknologi dan
biaya investasi menjadi tanggung jawan dan insentif dari Pemerintah.

Gambar 19. Institutional organizations solar pv installation [19].

Gambar 20. Indonesia to develop wind energy power plant [20].
Kesimpulan
1. Penggunaan daya listrik oleh bangunan gedung merupakan konsumsi energy
final terbesar dalam profil pemakaian energy suatu negara. Konsumsi energy
final oleh bangunan gedung mencapai 40% dari total energy yang diproduksi.
Konsumsi atas i energy final yang dikonversi menjadi daya listrik agar dapat
langsung digunakan oleh bangunan gedung mencapai 77%.
2. 95% Energy final yang dihasilkan di Indonesia berasal dari bahan bakar fossil
dan 49,5% menggunakan bahan bakar minyak yang merupakan sumber daya
terbatas dan sebagian dipasok dari negara lain sehingga menimbulkan
ketergantungan terhadap pasokan energy. Untuk itu harus dilakukan
konservasi energy penghematan konsumsi energy terutama penghematan
pemakaian daya listrik pada bangunan gedung di kota-kota besar di pulau
Jawa (77%) dan kota Jakarta yang merupakan kota konsumsi daya listrik
terbesar (23%).
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 105
3. Kota Jakarta telah memiliki peraturan dan sekumpulan standar teknis yang
lengkap terkait konservasi energy dan daya listrik untuk bangunan gedung
seperti Pergub No. 38 tahun 2012 dan SNI pendukung. Induksi/ sosialisasi
program dan pengawasan atas pelaksanaan terhadap peraturan dan standar
teknis Green Building tersebut perlu dilaksanakan secara konsisten agar
mencapai tujuan yang diinginkan.
4. Konsumsi energy final di Indonesia cenderung meningkat, sehingga konsumsi
daya listrik bangunan gedung pun akan terus meningkat sejalan dengan
kemajuan dan perkembangan kota besar menjadi kota yang lebih besar dan
modern. Pemakaian energy alternative (renewable energy) dari sumber
terbarukan seperti energy tenaga surya, energy tenaga angin atau energy
terbarukan lainnya perlu terus ditingkatkan, mengingat potensi pemanfaatan
energy terbarukan sangat besar sedangkan renewable energy share hanya
4,8% dari konsumsi energy final.
Referensi:
[1] Wikipedia, 1973 Oil Crisis, http://en.wikipedia.org/wiki/1973_oil_crisis,
26/12/2012.
[2] Wikipedia, Urbanisasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Urbanisasi, 26/10/2012.
[3] The Lugar Energy Initiative, United States Oil Imports,
http://lugar.senate.gov/energy/graphs/oilimport.html, 26/10/2012.
[4] Texas.Gov, Crude Oil,
http://www.window.state.tx.us/specialrpt/energy/nonrenewable/crude.php,
26/10/12.
[5] Whiticar, MJ (2012), A Brief History of Energy Usage,
http://www.energybc.ca/matters/historyofenergyuse.html, 10/11/2012.
[6] Wikipedia, Energy in the United States,
http://en.wikipedia.org/wiki/Energy_in_the_United_States, 10/11/2012.
[7] Manaugh, Geoff (2011), Inhabitant Interview: Ed Mazria from Architecture
2030, http://inhabitat.com/interview-ed-mazria-from-architecture-2030/6/,
10/11/2012.
[8] Colourcoil (2008), Malaysia Building Energy Consumption Stats,
http://www.colourcoil.com/enewsvol6issue5/enews.htm, 10/11/2012.
[9] Ibrahim, Herman Daniel (2012), Handbook of Energy and Economic Statistics
in Japan 2009, The EDMC Japan 2010, 2006, Temu Ilmiah Nasional
Unibversitas Tarumanagara, Jakarta 29 Maret 2012.
[10] Abdillah, Rifqi (2010), Teknologi Mikrohidro : Mendorong Pembangunan
Berbasis Masyarakat, http://satulnyor.blogspot.com/2010/05/v-
behaviorurldefaultvml-o.html, 14/11/2012.
[11] Nadiafriza (2009), Berikan waktu kita untuk Bumi,
http://www.earthhour.wwf.or.id/about.html;http://nadiafriza.wordpress.com/2009
/03/page/2/, 14/11/2012.
[12] Pemprov DKI Jakarta (2012), Peraturan Gubenur DKI Jakarta No. 38 tahun
2012 tentang Bangunan Gedung Hijau, Jakarta.
[13] Greenzains (2012), Kalkulasi OTTV dengan Bantuan Ecotect,
http://greenzains.wordpress.com/, 14/11/2012.
[14] Scottish Water Limited (2011), Passive Design Approach,
http://www.scottishwater.co.uk/investment-and-communities/closed-
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 106
consultations/stepps-community-consultation/stepps-indicative-proposals-2;
14/11/2012.
[15] Firestone, Rebecca (2011), New Ventilation systems for Airtight Homes,
http://greencomplianceplus.markenglisharchitects.com/technical/ventilation/new-
ventilation-systems-todays-airtight-homes/, 14/11/12.
[16] Aline Home Works (2012), Air Conditioning,
http://www.alinehomeworks.com/en/air_conditioning.html, 14/11/2012.
[17] SPIE (2012), Splitting up anidolic daylighting systems,
http://spie.org/x36474.xml?ArticleID=x36474, 14/11/2012.
[18] US Green Building Council (2008), Energy,
http://leedcasestudies.usgbc.org/energy.cfm?ProjectID=716, 14/11/2012.
[19] Charlotte Solar Power ( 2012), Institutional organizations solar pv
installation, http://www.solarnc.net/institutional, 15/11/2012.
[20] Republika Online (2012), Indonesia to develop wind energy power plant,
http://en.republika.co.id/berita/en/national-politics/12/04/21/m2u5cr-indonesia-
to-develop-wind-energy-power-plant. 15/11/20.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 107
KMP-11

Design of Automatic Sleeve for Transfer Nut Clutch
using Programmable Logic Controller


Syahril Ardi
1*
, Agus Ponco
1
, Adhari Faried Ardin
2

1
Manufacturing Production and Process (Mechatronic) Department
Politeknik Manufaktur Astra, Jl. Gaya Motor Raya No. 8, Sunter II, Jakarta
2
Graduated student of Mechatronic, Politeknik Manufaktur Astra, Jakarta
*Contact Speaker. Phone: (62-21) 6519555, Fax: (62-21) 6519821
Email: syahril.ardi@polman.astra.ac.id



ABSTRACT
The equipment transfer press products after processing that controlled by Mitsubishi
Programmable Logic Controller (PLC) FX0-20MT is one manifestation of the
application of the theory has been obtained regarding the automation control system
using Programmable Logic Controller to control the pneumatic system. This
switching device made on a machine press operator aims to replace the dangerous task
and less effective if it is done manually by humans, which move products from the
dies after the press as well as the presence of these tools can help to increase
production capacity expected by firms. The operation of this simulator to do after
being given power and ready to operate, so the system has a high work rate as in the
working process does not require a relatively long time as in a matter of minutes or
hours. The transfer nut clutch system is automated using Programmable Logic
Controller have been able to make effective use of energy by increasing the amount of
production to 470,000 pieces per month initially only 180,000 pieces per month. To
ensure operator safety, the safety sensor mounted on press machines and machining
operations using two start buttons.


Keywords: automatic control, machine press, Programmable Logic Controller,
transfer nut clutch system

INTRODUCTION
One of the components contained in a motorcycle clutch is the clutch nut. Coupling
nut type 261-04E06-00S serves as a binder or a unifying component in the clutch. To
produce these components must go through several stages, where the main stage is the
formation of the coupling nut material or printing the form of sheet plate coil in the
press with a mold (dies) that have been established (design) with a size so that the
material can be shaped nut plate type clutch 261-04E06-00S. The process uses a
machine press 160 Ton AIDA type.
In order to increase production capacity, product removal process after the press is
still done manually should be converted into an automated process. Problems
experienced in producing clutch nut manually, operators quickly exhausted because
the production process is still manual and done repeatedly.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 108
Based on the data obtained from the production department in May to June of 2010,
produced a special nut production has yet to reach its target of a standard, 450,000
pieces per month. Based on the above background, the authors conducted a study
related to the development of control systems on the stamping press machine. How to
make the tools of production that can replace the role of the operator in the process of
moving the nut products after the press. How to improve the coupling nut production
in the press and ensure operator safety during conditions that are not in accordance
with the standards of the work tool. How to create a system of controls on the transfer
tool nut products if there is an error in the process of working tools. How does
coupling nut removal product after the press can be run automatically without having
to be done by the operator. Previously, we have researched about control system by
using PLC (Syahril, A & Meylati, N, 2012; Syahril, A& Cokro, S, 2012). In addition,
we have also research about communication control using GSM (Global System for
Mobile Communication) SIM300C and Microcontroller PIC 16F877 (Syahril, A,
Muhammad, H, & Arum Y, 2010).

2. METHODOLOGY
Research methodologies in this study were:
Observation Field. That process of collecting data with direct observations in the
field, studying and analyzing the situation on the ground, and find problems and
data processing problems to find solutions to these problems.
Bibliographical Studies. Research methods for obtaining data from books, papers,
and other literature sources to get the basics of the theory behind the product
transfer equipment manufacturing special nuts.
Interview. The process of obtaining data by direct questioning by the competent
authorities to provide information about the data that is needed. This activity is
carried directly to the operator, group leaders, and supervisors about the condition
and existing problems.
Design, manufacture, and testing of the system. The process of determining the
design development and testing tools transfer nut products specifically tailored to
the tasks of stamping machines that get the best design to be implemented in the
machine.

Clutch Nut Products
Nut on automotive components precisely motorcycle clutch components used in
motor vehicles serves as a unifying bond or other component parts found in a motor
vehicle clutch. Figure 1 shows coupling nut 261-04E06-00S on a motorcycle clutch.








Figure 1. Coupling nut 261-04E06-00S on a motorcycle clutch

Press material Process
press material process is the running such as sheet material roll width 40 mm plate
that begins from uncoiled machine that serves as stretching rolls of material, when
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 109
touching the sensor plate material feeder machine will pull the nut plate material 261-
04E06-00S to measure the distance that has been adapted with size (setting) coupling
nut products on the machine feeder. After that, the sheet material will be pressed so
that the coupling nut products 261-04E06-00S.

Operating mode Aida 160 Ton Press Machine
Inch mode. How to operate the machine manually press.
One cycle mode (single mode). How to operate a machine press is by one full
rotation (360
0
) and press the 2 key once operation of the machine, if the second
operation button is not pressed the machine will stop.
Auto Mode. How to operate continuously press machine, provided the machine
has spun a full one-time (360
0
). If the 2 button is not pressed, the operation of the
machine press machine continues to run.

Basic Concept Design Tool Product Shifters (Automatic Sleeve)
Design tools transfer coupling nut products 261-04E06-00S (arm automatic) based on
the increase of the demand for these types of nut products and there are problems in
the production process i.e. making process of the product is still press machine dies
manual (taken by the operator) that throw production time with the result that
production is not maximized. To avoid the risk of accidents by implementing manual
processes in decision and move nut products after the press then be made a tool that
can replace the assignment operator in the decision and move nut products.

The processes of production before a product removal tool coupling nut 261-
04E06-00S
Manual: the product after the press was taken from the dies and transferred to the
product container operator, using the "inching mode" in the operation of the
machine press each round process stop.
Given the output of the relay to the solenoid as wind settings for the product
launch of dies using a "one-cycle mode" that his process must hold 2 running the
engine, if the button is released or not pressed then the process stops.

Press Machine
Press machine used to produce the coupling nut is a type of machine presses 160 Ton
AIDA. That the machine can work automatically, then use other automated machines
to assist the production process such as: uncoiler machine that serves as stretching
material, and machine feeder that serves to pull the material through a process of press
material. This machine has been the unity of the working process press machine.
Figure 2 shows the schematic of press machine.
But the processes of making the clutch nut products rely on the operator to be done
manually which takes product already pressed and then move it to container
production. While the process has been automated using tools and product transfer
loop sensor that delivers the signal from the sensor that goes into the product and then
the signal is received by Digital Cam PS-701 (control signal) if the signal has been
entered in accordance with the setting of the output cam product on PS- 701 then the
process continues, but if no signal is received products to PS-701 the engine will
automatically emergency stop (stop), and the production process stops. The process is
highly automated safety for machine operators safety, rather than the operator shall
take the product and process with the workings of the machine manually presses for
the production of low or minimal levels of safety.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 110











Figure 2. The Schematic of Press Machine

Control System Design
Designing the control system transfer tool nut products tailored to the concepts that
have been made, with the aim of replacing the operator's role in the removal of the
product. Figure 3 shows the design of the control system transfer tool products.


















Figure 3. The design of the control system transfer tool products

Mover Tool Nut Products (Automatic Sleeve)
Shifters tool coupling nut products are tools that operate automatically, it is because
the process is controlled by using PLC Mitsubishi type Fx0-20MT. As the name
implies, this tool was made to move the product from the product material dies after
experiencing the press. Figure 4 shows the tool coupling nut products Mover 261-
04E06-00S.







Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 111
Figure 4. The tool coupling nut products Mover 261-04E06-00S

The work process equipment is governed by sequences in synergy with machine press.
These devices are controlled using a PLC while not using a press machine PLC
control. Plate material products into the press dies according to the distance set by the
machine feeder. Then, the material having the press, after the signal from the encoder
rotary engine in accordance with the value set on the ps-701 (digital cam). As input
PLC, automatically switching devices is going forward to take a product that is still
present in upper dies. Products will fall on the transfer tool dies after upper stopper
mounted on the machine press. We make the transfer tool to assist in the production
of the clutch nut with Mitsubishi PLC control using FX0-20MT type, then there are
significant changes to the process of production press the clutch nut with the engine
type AIDA 160-ton press. Figure 5 shows the process flow coupling nut production
261-04E06-00S.


























Figure 5. Flow coupling nut production process 261-04E06-00S

Before starting mass production using the auto mode, the operator should have tried
doing the clutch nut production to produce a good product quality standard. In this
process, the operator uses inching mode press machine. After getting the product, then
the operator can run the automated process by: operators enable auto selector press
machine, then turn on auto mode for product transfer equipment (automatic arms
transfer products). Rod-less cylinder will move back and forth when the digital cam
ps-701 that serves to read the signals from the rotary encoder engine speed by reading
the previous machine has been set up. Digital cam ps-701 rev encoder reading press
Start on/off
Putar Selektor ke mode
Otomatis
RESET
YA
A
A
Proses Press
Turun
Proses Press
Naik
Stopper Press
mengelurkan
produk dari
dies
Lengan
Rodless Maju
Front reed
switch rodless
input = ON
Lengan Rodless
Mundur
Rear reed
switch rodlesss
input = ON
YA
Peran operator
Peran Alat Pemindah
STOP Mesin
Tidak
Tidak
Produk masuk sensor loop
Ps 661 signal masuk
YA
STOP Mesin
Tidak
Produk keluar dari
upper dies
PB Start Running
mesin press
YA
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 112
machine will provide input signals to the PLC program so cylinder rod-less will move
forward and move backwards. If the magnet is detected by the sensor rod-less
cylinder reed switch located on the front and back of the product and the transfer
apparatus rod-less error occurs when the forward and backward, then press machine
will stop. The production process will automatically continue to run if the sensor
detects the product loop signal sensor products that enter the loop. If not, then the
process stops production in the absence of the input signal from the sensor loop
(sensor products) to 661 ps (safety device). If an error occurs, then the operator what
to do is to press the reset button to restore to its original state, and then press the
button to restart the machine running the production process.

3. RESULTS AND TESTING
Programs that have been made to go through the testing phase, both hardware and
software. The purpose of this test was to find a variety of potential failures in the
production process or in the system control. The percentage of error is usually found
on a wired connection, sensor, or actuator. Testing the PLC program to transfer tools
work processes nut products (auto arm switching products) include: test input, test
output, auto testing program, testing program and manual.

Input Testing
How to test the input device can be done in two ways: by connecting the PLC to the
personal computer and with a direct view through the existing status LED on the PLC.
On the PC or the status LED, we can monitor the input is entered into the PLC. Tests
conducted by pressing the push button, turn selector switch, and activate the reed
switch sensor products and the product transfer equipment. Here is a table that can be
used in testing the product input switcher tool to check the functionality of each
device connected to the PLC. Table 1 shows hail input device testing program transfer
tool products.

Output Testing
Just as the testing input, output testing can also be monitored via a PC or status LED
that exist in the PLC. Tests conducted by giving input to the solenoid which serves to
move the rod-less cylinder. By way of giving input, it can be output to the PLC. Table
2 shows the results of testing the output of the program transfer tool nut products.

Table 1
The results of the testing program input switcher tool products
Input Address Explanation Function Good NG
X000 Proximity cylinder rod-
less front
Indicator cylinder
rod-less back
-
X001 Prox. Cylinder rod-less
rear
Indicator cylinder
rod-less forward
-
X002 Manual Button Manual operation -
X003 Reset Reset internal error -
X004 Digital Cam Indicator signal
encoder rotary press
machine
-
X005 On-Off On -off tool -
X006 Selector switch Auto Mode auto -
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 113
X007 Inching Inching process -
X011 DH.Up Signal Signal continue prod.
Auto
-
X012 Selector switch Single Mode single -
X013 Sensor product signal Indicator signal
sensor loop
-


Table 2
Output device testing program transfer tool products
output Address Explanation Function Good NG
Y000 Alarm Indicator Lamp Emergency -
Y001 Solenoid rod-less Cylinder rod-less forward -
Y003 alarm Machine indicator off -

Cycle Time Testing
Once the tool automatically switching products designed to help improve the
production process that uses nut clutch press machine in the early stages of the
production process, the cycle time to produce the nut must be tested. This test is to see
how long it takes transfer press machines and tools to produce nut products per pieces
by using the formula velocity = SPM struck per minute. Standard high speed press
machine for producing clutch nut is 35 Spm, 1 minute to produce = 30 pieces = 2
seconds to 1 product. In the manual process, requiring a relatively longer time is 6-10
seconds to produce 1 product. With the tools of production to move the coupling nut
products, the production targets to maximize the achievable nut products, 450,000
pieces per month. By calculation: workmanship 16jam per day = 2 Shift produces
approximately 20,000 pieces per day clutch nut products. If done during the 24 days,
the number of products (product quantity) is = 20,000 x 24 days = 480,000 pieces per
month. Based on the calculation of production when production has reached the target
month but has not been able to achieve a job that should have been a month to reach
480,000 pieces per month with this tool can only reach a maximum production of
460,000 pieces per month has reached the target month, but has not yet reached
production should is 480,000 pieces production yield reached 85%, due to production
time 8 hours should only be done 6-7 hours because there is a process engine
maintenance, component installation, maintenance dies, and the trial before mass
production process.
Calculation of production:
30 x 60 minutes = 1800 pieces | 1800 x 14 hours = 25 200 pieces | 25,200 x 24 =
604,800 pieces per month.

Mover Tool Testing Products
In this assay test in the movement of transfer tool nut products (arm automatic),
whether it is in accordance with the design and process flow as shown in Figure 5,
which had been planned before construction. Testing is done by operating press
machines and tools transfer products (arm automatic) in manual mode and automatic
mode and press the buttons that you want to test and see the results, according to Input
Output devices that have been in the wiring and programmed the PLC Mitsubishi
Fx0-20MT. Table 3 shows result of the mover tool product testing.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 114

Table 3
Result of the mover tool product testing (arm automatic)
Testing Action Standard Result Test
Point
Mover Tool to
move forward
manually
Pressing the
forward
button
Move forward Move forward X002 =
ON
Shifters tool can
work continuously
(automatic)
Rotate the
selector
switch in
Auto mode
Work continuously,
without operator
pressing the
running
Work
automatically
X006 =
ON
M3 = ON

Testing the Program
In this test, the test is whether or not the program that created the tools to operate the
transfer product, and if it is in accordance with the work function of the tool. Testing
is done by running the necessary functions to operate the tools (automatic arm) as
well as the feedback given to the operator if there is an error in the process.

The Output Data of Coupling Nut 261-04E06-00S with Automatic Mover Tool
Figure 6 shows the data produced by automatic transfer tool. In Figure 6, with the
establishment of production tools for the removal of the nut products after the press
showed positive results consistent with the objectives before the instrument is made.
An increase in product output coupling nut 261-04E06-00S in June until December
2010 production results even exceed the target per-month, 450,000 pieces per month.
Dies very supportive condition factor of production because if dies in good yield may
exceed its production target of coupling nut 261-04E06-00S per month. The
production process is done 16 hours a day 2 in 8-hour working shift its (1 shift)
produces about 10,000 pieces coupling nut products press machine spin speed is 30
SPM. Working time-shift operator per 8 hour clean time yet to do the production,
because the operator 8 hours working time is reduced with the installation of coil plate
material products, checking production machinery and tools, checking the condition
dies, then the trial product to product in accordance with the standards or OK and
mass production feasible.











Figure 6. The data produced by automatic transfer tool


IV. CONCLUSION
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 115
The design of tool in the production process in the form of automatic arms transfer
products after the press run using a mechanical arm with pneumatic and PLC control
system. By using the PLC as a control tool that can work automatically and
continuously in the removal of the product after the press can help to increase
production capacity to 470,000 pieces per month initially only 180,000 pieces per
month using a manual process done by the operator, to ensure security operator safety
sensors mounted on the machine press and also to operate the machine installed 2
button start (running) engine. System control is created by using the PLC type FX0-
20MT Mitsubishi type, which is used as many as 11 input consists of a sensor reed
switches, push buttons, selector switches and rotary cam (digital cam) and PLC
outputs consisting of as many as 3 alarm indicator in the form of emergency lighting
(biken), rod-less cylinder to drive the solenoid and relay to contact emergency stop
engine. A product can be run automatically by the movement of arms transfer system
is controlled and programmed using a PLC with a program such as ladder diagrams
that have been made in accordance with the work on the machine tool and the
movement on the press.

REFERENCES
Syahril, A & Meylati, N (2012). Design of Gasket Loading and Crimping Machine
Control System for Oxygen Sensor Products 2 Wheel Vehicle Based PLC. Page: 79-
85; Proceeding ISSTIN 2012; ISBN: 978-602-19043-0-5
Syahril, A& Cokro, S (2012). Control System Design of the Machine Pump
Inspection using PLC-LG Glofa G7M DR60A in PT XYZ. Technologic Vol.3 No.1;
ISSN: 2085-8507; pp. 38-43
Syahril, A, Muhammad, H, & Arum Y (2010). Alat Kontrol Jarak Jauh Menggunakan
GSM (Global System for Mobile Communication) SIM300C dan Mikrokontroler PIC
16F877. Halaman 65-71, Proceeding Seminar Nasional SNEEMO 2010, Tahun 2010,
ISSN 2085-8507.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 116
KMP-12

OPTIMASI RASIO SiO
2
/Al
2
O
3
PADA SINTESIS ZSM-5 DARI
ZEOLIT ALAM LAMPUNG DENGAN SUMBER SILIKA
PENAMBAH DARI SEKAM PADI


Tika Damayanti
1*
, Suhesti Forsela
1
, Chindy Feryandy HB
1
,

Simparmin Br Ginting
1
dan Hens Saputra
2

1
Jurusan Teknik Kimia Universitas Lampung, Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro
No.1 Bandar Lampung 35145
2
Pusat Teknologi Industri Proses - TIRBR, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi
Gedung Teknologi 2 Lt.3 PUSPIPTEK Tangerang Selatan
*
Korespondensi Pembicara. Phone: +62 821 7600 5354
Email: ir.tikadamayanti@yahoo.com


ABSTRAK

Rasio SiO
2
/Al
2
O
3
merupakan parameter proses yang sangat menentukan kualitas
produk ZSM-5. Zeolit alam Lampung dapat dijadikan bahan baku pembuatan zeolit
sintetik ZSM-5 dengan cara hidrotermal dan penambahan silika yang diperoleh dari
limbah sekam padi. Silika dapat diperoleh dari limbah sekam padi dengan 2 metode,
yaitu ekstraksi dan pengabuan. Sebagai agen pengarah terbentuknya struktur ZSM-5
tersebut digunakan template TPABr (Tetra Prophyl Ammonium Bromide). Sintesis
ZSM-5 dilakukan di dalam autoklaf pada suhu 180C dan tekanan autogenous dengan
variasi rasio molar SiO
2
/Al
2
O
3
yaitu 20, 40 dan 60. Sebagai variabel tetap adalah rasio
molar template TPABr/SiO
2
0,05 dan waktu reaksi selama 24 jam. Karakterisasi
ZSM-5 yang dilakukan antara lain analisis struktur dan kristalinitas, obsevasi
morfologi permukaan, dan sifat pori menggunakan metode Difraksi Sinar X, Scanning
Electron Microscopy, dan Brunauer- Emmett-Teller. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ZSM-5 terbentuk pada semua variasi SiO
2
/Al
2
O
3
dengan kristalinitas tertinggi
sebesar 110,20 % pada rasio 60 mol/mol untuk sampel dengan sumber silika
penambah dari sekam ekstrak dan 48,32 % pada rasio 40 mol/mol untuk sampel
dengan sumber silika penambah dari abu sekam. Teridentifikasi pula adanya struktur
ZSM-8 dan Analcime yang merupakan produk antara pada sintesis ini. Kristal ZSM-5
yang dihasilkan berbentuk kubus dengan luas permukaan tertinggi sebesar 283,8 m
2
/g,
ukuran pori dan volume pori sekitar 34,472 dan 0,125 cc/g.


Kata kunci : kristalinitas, sekam padi, hidrotermal, zeolit alam Lampung, ZSM-5.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 117
1. PENDAHULUAN
Zeolit alam banyak ditemukan di beberapa daerah di Indonesia dengan jumlah
yang besar, salah satunya di Lampung. Zeolit alam banyak dimanfaatkan di
berbagai bidang seperti; bidang pertanian sebagai pupuk, bidang peternakan
sebagai penggemuk ternak, bidang lingkungan untuk pengolahan air, dan bidang
industri sebagai penukar ion, adsorben dan katalis. Tetapi dalam penggunaannya
di bidang industri, zeolit sintetis lebih diminati dibanding zeolit alam, karena
zeolit sintetis mempunyai kemurnian yang tinggi, lebih stabil, lebih aktif, memiliki
distribusi ukuran pori yang sempit, selektif, luas permukaan dan volume pori yang
lebih besar, serta tidak mudah terdeaktivasi.
Pemanfaatan zeolit alam yang lebih berdayaguna dilakukan dengan cara
merekayasa zeolit alam menjadi zeolit sintetis sehingga lebih bernilai ekonomis.
Salah satu zeolit sintetis yang saat ini banyak dibutuhkan di Industri adalah
ZSM-5. ZSM-5 merupakan zeolit kaya silika dan memiliki stabilitas thermal dan
hidrothermal yang tinggi, sehingga baik digunakan sebagai katalis pada temperatur
tinggi. ZSM-5 memiliki pusat asam, rongga dan pori dengan bentuk dan ukuran
yang seragam sehingga dapat dipakai sebagai katalis yang selektif terhadap bentuk
dan ukuran zat yang terlibat reaksi.
Di industri, ZSM-5 terutama digunakan untuk interkonversi hidrokarbon,
contohnya adalah orto- dan meta-xylena menjadi para-xylena, konversi metanol
menjadi benzene, konversi senyawa hidrokarbon beroksigen (alkohol/metanol)
dalam biomassa menjadi bensin, dan beberapa proses katalitik lainnya.
Selama ini sudah banyak dilakukan penelitian sintesis zeolit dengan sumber
silika penambah yang berasal dari cabocyl dan hasilnya cukup baik. Seperti yang
telah dilakukan oleh Elia (2010), berhasil mensintesis ZSM-5 menggunakan bahan
baku zeolit alam Kalianda Lampung Selatan dengan template Tetra Propyl
Ammonium Bromide (TPABr) dan menghasilkan persen kristalinitas relatif
tertinggi sebesar 61,327% pada kondisi rasio SiO
2
/Al
2
O
3
sebesar 40 mol/mol.
Pada tahun 2007, Andhi dan Didik telah melakukan sintesis ZSM-5 dengan
sumber silika penambah yang berbeda, yaitu abu sekam padi, tanpa menggunakan
template organik dan dihasilkan fasa tunggal ZSM-5 pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3 -
sebesar 50 mol/mol, tetapi persen kristalinitas relatifnya masih sangat rendah yaitu
sebesar 50,19%.
Di sisi lain Metta,dkk (2003) juga telah berhasil mensintesis ZSM-5 dengan
menggunakan bahan baku alumina dan silika yang berasal dari abu layang
batubara (lignite fly ash) dan abu sekam padi (rice husk ash), serta menggunakan
template TPABr, menghasilkan ZSM-5 dengan yield maksimum sebesar 59%
berat, pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3
sebesar 40 mol/mol.
Sekam padi memiliki kandungan silika yang cukup tinggi, yaitu berkisar
antara 86,9%-97,3% (Houston, 1972). Kandungan silika yang tinggi pada sekam
padi tersebut menjadi salah satu alasan pemanfaatannya menggantikan sumber
silika lain yang lebih mahal, seperti cabocyl yang digunakan oleh Elia (2010).
Selain itu, sekam padi merupakan limbah pertanian yang apabila tidak
ditanggulangi dapat mencemari lingkungan. Alternatif penanggulangan limbah
sekam padi adalah dengan menjadikannya sebagai bahan baku penambah silika
dalam sintesis zeolit seperti yang dilakukan oleh Metta, dkk (2003) dan Andhi,
dkk (2007).

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 118
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 2'
40 mol/mol
Dilatarbelakangi tingginya kebutuhan ZSM-5 di Industri dan pemanfaatan
limbah sekam padi, maka perlu dilakukan sintesis ZSM-5 dari zeolit alam
Lampung dengan sekam padi sebagai sumber silika penambah. Variabel yang
akan dikaji adalah rasio SiO
2
/Al
2
O
3
yang merupakan precursor atau pemicu
utama terbentuknya kristal zeolit, yang dipelajari pengaruhnya terhadap persen
kristalinitas produk dan karakteristik produk yang dihasilkan, seperti luas
permukaan, ukuran pori, serta volume porinya.

2. BAHAN DAN ALAT
2.1 Bahan
Bahan yang digunakan yaitu : Sekam Padi, KOH, HNO
3
, HCl, Zeolit alam asal
Kalianda Lampung Selatan, NaOH, TPABr (tetra propil ammonium bromide),
H
2
SO
4
, dan Aquades.

2.2 Alat
Alat yang digunakan antara lain : X-ray diffraction (XRD), Scanning Electron
Microscopy (SEM), BET, SEM-EDS, autoclave, pHmeter, neraca digital, oven,
furnace, desikator, seperangkat set refluks (magnetic stirrer, condenser, labu leher
3), kertas saring, gelas kimia, gelas ukur, Erlenmeyer, dan pipet tetes.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Analisis Kualitatif
Produk sintesis dikarakterisasi untuk mengetahui struktur yang dihasilkan dengan
metoda difraksi sinar-X (XRD). Hasil analisis XRD yang merupakan pola
difraktogram ZSM-5 pada setiap run dapat dilihat pada Gambar 1, 2, 3 dan 4.
Berdasarkan Gambar 1-4 dapat diketahui adanya struktur ZSM-5 pada bubuk yang
dihasilkan. Struktur ZSM-5 ini dicirikan dengan sepuluh pola difraksi XRD sesuai
dengan pola difraksi ZSM-5 standar. Selain struktur ZSM-5, dapat teridentifikasi
adanya puncak - puncak zeolit lain yaitu kristal ZSM-8 dan analcime, yang
merupakan produk antara pada sintesis ini.













Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 119
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 1
20 mol/mol
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 2
40 mol/mol








Gambar 1. Pola Difraksi ZSM-5 Produk (RUN 2, Silika Abu, Sebelum
Kalsinasi)












0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
ZSM-5 Standar

6
7
8
1
2
I
n
t
e
n
s
i
t
a
s

(
c
p
s
)

5
4
3
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 120
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 3
60 mol/mol
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
ZSM-5 Standar

1
2
3
4
5
6
8
7
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 1
20 mol/mol











Gambar 2. Pola Difraksi ZSM-5 Produk (RUN 1-3, Silika Ekstrak, Sebelum
Kalsinasi)










Sudut 2 ()
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 121
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 2
40 mol/mol
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 3
60 mol/mol

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
ZSM-5 Standar

1
2
3
4
5
6
7
8























Gambar 3. Pola Difraksi ZSM-5 Produk (RUN 1-3, Silika Ekstrak, Setelah Kalsinasi)



Sudut 2 ()
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 122
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 1'
20 mol/mol

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 2'
40 mol/mol
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 3'
60 mol/mol




























Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 123
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
ZSM-5 Standar

I
n
t
e
n
s
i
t
a
s

(
c
p
s
)

1
2
3
4
5
7
6
8








Gambar 4. Pola Difraksi ZSM-5 Produk (RUN 1-3, Silika Abu, Setelah Kalsinasi)

Observasi menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dilakukan untuk
mengetahui morfologi permukaan dan keseragaman ukuran partikel.
Analisis SEM tersebut dilakukan pada sampel Run 3 (rasio SiO
2
/Al
2
O
3
60
mol/mol, silika abu, setelah kalsinasi), yaitu sampel yang memiliki persen
kristalinitas tertinggi berdasarkan analisis XRD. Berdasarkan gambar 5 (a) dan (b),
dapat dilihat adanya ketidakteraturan ukuran kristal zeolit. Masih terdapat struktur
berupa serabut dan gumpalan - gumpalan. Diperkirakan adanya gumpalan tersebut
mengindikasikan bahwa masih terdapatnya kandungan air terikat pada kristal yang
dihasilkan.
Keseragaman dan keteraturan morfologi kristal akan memberikan aksesibilitas
yang baik ke situs pusat aktif dan dapat memberikan mobilitas yang tinggi
terhadap produk reaksi (Setiadi dan Nasikin, 2011).
Berdasarkan gambar 5(c) dapat dilihat bahwa sampel yang dihasilkan berbentuk
kubus yang merupakan ciri khas ZSM-5. (Metta dkk, 2003)







(a)
Sudut 2 ()
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 124





(b)





(c)

Gambar 5. SEM Mikrograph ZSM-5
(a) Perbesaran 500 kali (b) Perbesaran 1.500 kali (c) Perbesaran 3.000
kali



Luas permukaan spesifik pori, volume pori, dan ukuran pori dari produk yang
dihasilkan dianalisis mengunakan metode BET (Brunauer, Emmett, Teller).
Sifat-sifat pori seperti volume pori dan ukuran pori menjadi parameter penting
terutama untuk katalis yang bersifat selektif terhadap bentuk dan ukuran pori
(Istadi, 2004).
Dapat dilihat pada tabel 1 bahwa semakin besar rasio SiO
2
/Al
2
O
3
semakin besar
pula luas permukaan dan volume pori ZSM-5 yang dihasilkan. Luas permukaan
tertinggi diperoleh pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3
60 mol/mol sebesar 283,8 m
2
/g. Ukuran
pori paling besar dihasilkan pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3
40 mol/mol yaitu sebesar
34,472 , dan turun pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3
60 mol/mol menjadi 34,462 . Namun
ukuran tersebut tidak selektif terhadap molekul hidrokarbon aromatik seperti
benzene, toluene, xilena, maupun grup senyawa C9 aromatis lainnya yang
memiliki diameter kinetik jauh lebih kecil yaitu sekitar 0,6 nm atau 6 .

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 125
Tabel 1. Hasil analisis luas permukaan spesifik BET, volume pori dan ukuran
pori
Run
(Rasio SiO
2
/Al
2
O
3
)
Surface Area
(m
2
/g)
Volume Pori
(cc/g)
Ukuran Pori
()
1 (20 mol/mol) 170,6

0,0769 34,265
2 (40 mol/mol) 233,8

0,1025 34,472
3 (60 mol/mol) 283,8

0,1254 34,462
Keterangan : Run 1 (sumber : abu silika, setelah kalsinasi, based amorf)
Run 2 (sumber : silika ekstrak, setelah kalsinasi, based amorf)
Run 3 (sumber : abu silika, setelah kalsinasi, based amorf)



3.2 Hasil Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui persen kristalinitas produk.
Nilai kristalinitas yang dikaji pada penelitian ini ada 2, yaitu :
1. berdasarkan basis amorf, yaitu dengan membandingkan luas kristalin
terhadap
luas keseluruhan area di bawah kurva (amorf+kristalin)
2. berdasarkan metode ASTM No D3906-85A, yaitu dengan cara
membandingan
8 puncak tertinggi dari pola difraktogram sinar-X hasil sintesis terhadap 8
puncak tertinggi difraktogram sinar-X ZSM-5 standar.

Hasil perhitungan persen kristalinitas berdasarkan kedua metode tersebut
dapat dilihat pada tabel 2. Berdasarkan perhitungan basis amorf, persen
kristalinitas produk cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya rasio
SiO
2
/Al
2
O
3
. Perhitungan ini didasarkan pada perbandingan luas area kristal pada
hasil analisis XRD terhadap luas area keseluruhan. Luas area keseluruhan yang
dimaksud adalah luas area kristalin dan luas area amorf, yang masing-masing
nilainya langsung dapat diketahui pada hasil analisis XRD. Untuk sampel yang
belum dikalsinasi, dengan sumber silika penambah yang berasal dari sekam
ekstrak, persen kristalinitas pada Run 1, 2, dan 3 berturut-turut sebesar 30,73%;
31,32%; 31,69%. Hal ini menunjukkan bahwa pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3
60 mol/mol,
larutan basa organik maupun anorganik yang jumlahnya tetap, masih mampu
melarutkan silika dan alumina tersebut untuk kemudian memicu terbentuknya inti
kristal, terduplikasi, dan tumbuh menjadi kristal - kristal ZSM-5.
Sedangkan untuk sampel dengan sumber silika penambah yang berasal dari abu
sekam, hanya 1 yang dianalisis yaitu sampel Run 2 dengan nilai persen
kristalinitas sebesar 30,98%.
Pada sampel yang sudah dikalsinasi, nilai persen kristalinitasnya lebih kecil
dibandingkan sampel sebelum kalsinasi. Persen kristalinitas sampel setelah
kalsinasi untuk Run 1-3 (sumber silika penambah dari sekam ekstrak) adalah
sebesar 24,29%; 31,22%; dan 26,83% secara berturut-turut. Sedangkan untuk
sampel dengan sumber silika penambah yang berasal dari abu sekam, nilai persen
kritalinitas pada Run1-3 secara berturut-turut yaitu 25%; 30,53; dan 32,75%.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 126
Berdasarkan perhitungan menggunakan metode ASTM No D3906-85A, nilai
persen kristalinitas tertinggi ada pada sampel dengan rasio SiO
2
/Al
2
O
3
60 mol/mol,
yaitu sebesar 75,31% (sebelum kalsinasi) dan 110,20% (setelah kalsinasi).
Pada sampel yang sudah dikalsinasi dengan sumber silika penambah dari abu
sekam, persen kristalinitas tertinggi berada pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3
40 mol/mol
yaitu sebesar 48,32%; kemudian turun pada rasio yang lebih tinggi yaitu 60
mol/mol menjadi 38,49%. Semakin besar rasio SiO
2
/Al
2
O
3
atau dengan kata lain
semakin sedikit jumlah mol Al
2
O
3
dalam reaktan, maka berkurang pula jumlah
pusat anion dalam rangka. Kation Na
+
(yang berasal dari NaOH) dan TPA
+
yang
jumlahnya tetap dan telah jenuh akan bersaing untuk menetralkan pusat anion
tersebut. Hal ini akan mengurangi efek templating TPA sehingga kristal ZSM-5
yang dihasilkan menurun. Kristalinitas ZSM-5 menurun bila rasio SiO
2
/Al
2
O
3
lebih dari 40 mol/mol. Data ini didukung oleh penelitian Metta, dkk (2003).

Tabel 2. Persen Kristalinitas Produk


SAMPEL
% Kristalinitas Produk
Based Amorf ASTM
Sebelum
Kalsinasi
Setelah
Kalsinasi
Sebelum
Kalsinasi
Setelah
Kalsinasi
RUN 1 30,73 24,29 74,29 47,52
RUN 2 31,32 31,22 69,08 45,93
RUN 3 31,69 26,83 75,31 110,20
RUN 1 - 25 - 48,19
RUN 2 30,98 30,53 66,34 48,32
RUN 3 - 32,75 - 38,49
Keterangan : RUN 1-3 (SiO
2
/Al
2
O
3
berturut-turut 20mol/mol, 40mol/mol, 60mol/mol;
sumber : silika ekstrak)
RUN 1-3 (SiO
2
/Al
2
O
3
berturut-turut 20mol/mol, 40mol/mol, 60mol/mol;
sumber : silika abu)

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Zeolit sintetis ZSM-5 dapat dibuat dari zeolit alam Lampung dengan sumber
silika penambah dari sekam padi, dengan produk antara ZSM-8 dan analcime.
2. Kondisi optimum untuk proses sintesis ZSM-5 adalah pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3

40 mol/mol dengan persen kristalinitas 31,69% berdasarkan analisis based
amorf atau 75,31% berdasarkan anaisis ASTM D3906-85A. Kristalinitasnya
meningkat menjadi 110,20% setelah proses kalsinasi.
4. Berdasarkan pengamatan menggunakan SEM, bentuk kristal ZSM-5 yang
dihasilkan adalah kubik.
5. Luas permukaan spesifik BET dan volume pori paling besar diperoleh pada
kondisi optimum rasio SiO
2
/Al
2
O
3
60 mol/mol, masing-masing adalah 283,8
m2/g dan 0,1254 cc/g.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 127
5. REFERENCES
Andhi, L.P & Didik, P (2007). Abu Sekam Padi Sebagai Sumber Silika Pada
Sintesis Zeolit ZSM-5 Tanpa Menggunakan Templat Organik. Akta Kimia
Indonesia Vol.3 No.1 Oktober 2007, 33-36.
Elia, N (2010). Sintesis ZSM-5 Dari Zeolit Alam Kalianda-Pengaruh Rasio Si/Al
Terhadap Kristalinitas Produk. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Houston, D.F. (1972) dimuat dalam Joddy, A.L. Pemanfaatan Abu Sekam Padi
Sebagai Bahan Baku Silika.
Istadi (2004). Fundamental dan Aplikasi Teknologi Katalis untuk Konversi
Energi. Universitas Diponegoro.
Metta C., Teerapong, N., Paisan K., & Jumras L. (2003). Synthesis of ZSM-5
zeolite from lignite fly ash and rice husk ash. Kasetsart University, Bangkok.
Pandiangan,K.D., Wasinton S, Irwan G.S., & Novesar J. (2009). Metode Ekstraksi
Silika dari Sekam Padi. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Setiadi, S. & Muhammad, N. (2011). Catalytic Conversion of Acetone to
Monoaromatic Chemicals Using HZSM-5. University of Indonesia.
Simparmin, Br.G. (1999). Konversi Zeolit Alam Bayah menjadi ZSM-5. Institut
Teknologi Bandung.






Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 118
KMP-13

Perbaikan Sistem Pengetanahan dengan Penambahan Low Range
Coal di Tanah Laboratorium Teknik Universitas Bengkulu



Yuli Rodiah
1*

1
Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Bengkulu,
Jl. WR Supratman Kandang Limun, Bengkulu
*
Korespondensi Pembicara. Phone: +62 8153900996, Fax: +62 736349134
Email: yulirodiah_2000@yahoo.com


ABSTRAK
Potensi batubara Indonesia umumnya dan propinsi Bengkulu khususnya sangat besar.
Pemikiran untuk mengembalikan batubara kedalam tanah sehingga dapat mengurangi
dampak pembakaran batubara secara langsung mendasari penelitian penambahan
batubara sebagai bahan adiktif untuk perbaikan nilai tahanan pengetanahan. Telah
dilakukan pengujian resistansi tanah pengetanahan dan usaha perbaikan nilai
pengetanahannya pada areal tanah gedung laboratorium Fakultas Teknik Universitas
Bengkulu. Pengujian dilakukan dengan menambahkan batubara pada tanah
pengetanahan dengan variasi kondisi kedalaman, variasi diameter luasan,
pengkondisian lembab-kering dan variasi waktu pengetanahan. Hasil penelitian
menunjukan bahwa perbaikan nilai pengetanahan yang terjadi mencapai 81% yaitu
terjadi pada penambahan batubara dengan volume 23,9 liter pada kedalaman elektroda
3 m.
Keywords: batubara, pengetanahan, resitivitas tanah.

1. PENDAHULUAN
Pembakaran batubara menyumbang pada perubahan iklim lebih dari bahan bakar
fosil lainnya. Pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara melepas jumlah CO
2

sebanyak 1 milyar ton, jumlah setara dengan 72% emisi CO
2
dari PLTU (
International Energy Agency, 2008) dan 41% total emisi CO
2
global dari bahan bakar
fosil (International Energy Agency,2007). Dalam rangka usaha mengurangi dampak
pembakaran batubara secara langsung dan pemikiran untuk mengembalikan batubara
kedalam tanah maka dilakukan penelitian energi baru terbarukan dan penelitian
penggunaan batubara untuk bahan lain yang tidak dibakar misalnya penambahan
batubara sebagai bahan adiktif untuk perbaikan sistem pengetanahan.
Tahanan jenis tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: jenis tanah
seperti jenis tanah rawa, tanah liat atau lempung, pasir basah, kerikil basah, pasir dan
kerikil kering, dan tanah berbatu, suhu, kelembaban tanah, lapisan tanah serta
kandungan elektrolit tanah (Hutauruk, 1991). Besar kecilnya nilai tahanan tanah
sangat bergantung pada tahanan jenis tanah dan untuk mendapatkan nilai tahanan
tanah yang rendah batang elektroda pentanahan ditanamkan sedalam mungkin (Ihsan
dan Aris Rakhmadi, 2002 ), dan perbaikan sistem pengetanahan dengan
menambahkan adiktif seperti bentonit dan garam telah dilakukan dengan hasil yang
baik (Janadarna,2005).
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 119
Jenis tekstur tanah yang dominan di Universitas Bengkulu yaitu jenis tanah liat
atau lempung dengan komposisi 41,22 persen, tanah rawa dengan komposisi 20,71
persen dan pasir basah dengan komposisi 15,18 persen. (Supriotno, 2009). Khususnya
tekstur tanah yang pasir di laboratorium fakultas teknik Universitas didominasi pasir,
hal ini tidak begitu baik untuk sistem pengetanahan sehingga dapat dilakukan
rancangan sistem pentanahan lain.

2. BAHAN DAN ALAT
A. Lokasi Penelitian
Tanah disekitar Gedung Laboratorium Fakultas Teknik dengan arah utara
tepatnya pada posisi koordinat 30 45 33.5 LS dan 1020 16 36.5 BT,Fakultas
Teknik UNIB dapat dilihat pada Gambar.1.




Gambar 1. Lokasi penelitian

B. ALAT DAN RANGKAIAN PENGUKURAN
Alat utama yang dipergunakan dalam penelitian adalah Earthing Meter Digital
merk Kyoritsu model 4105A untuk pengukuran tahanan tanah , Soil Tester Model
DM-15 digunakan untuk mengukur kelembaban permukaan tanah, serta termometer
suhu digunakan untuk mengukur temperature permukaan tanah.


Gambar 2. Rangkaian pengujian

Pengujian dilakukan dengan mengukur tahanan tanah masing-masing lubang
seperti pada Gambar.2. Kemudian dilakukan perhitungan nilai tahanan jenisnya
dengan menggunakan persamaan (1). Low Range Coal ditambahkan dalam tanah
disekitar elektroda pentanahan secara melingkar. Pengukuran dilakukan pada 2
kondisi tanah yaitu kering dan basah. Pengamatan dilakukan selama 7 minggu
terhadap nilai tahanan tanah.

Lokasi
Penelitian
Gedung
Laboratorium
Fakultas Teknik
UNIB
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 120
|
.
|

\
|
= 1
4
ln
2 a
L
L
R
t

(1)


3. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tahanan pentanahan (R) tanpa zat aditif
Keadaan tanah diperlukan sebagai acuan untuk perbaikan sistem pengetanahan.
Pengukuran keadaan sebelum penambahan adiktif batubara dilakukan pada masing-
masing lubang dengan panjang elektroda berbeda. Hasil pengukuran nilai tahanan
tanah tanpa penambahan zat aditif pada masing-masing lubang dengan variasi
ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel .1. Nilai tahanan pentanahan (R) tanpa zat aditif
Elektroda 1 m Elektroda 2 m Elektroda 3 m
Keadaan Nama
lubang
Tahanan
tanah ()
Keadaan Nama
lubang
Tahanan
tanah ()
Keadaan Nama
lubang
Tahanan
tanah ()
Basah
1 593
Basah
1 303
Basah
1 221
2 594 2 304 2 222
3 596 3 305 3 221
Kering
4 592
Kering
4 304
Kering
4 220
5 599 5 307 5 223
6 598 6 308 6 223

Semakin dalam elektroda ditanamkan keadaan sistem pentanahan akan semakin
baik yaitu nilai tahanan tanah mengecil. Keadaan basah juga dapat menurunkan nilai
tahanan tanah, walaupun dalam penelitian ini selisih nilainya tidak terlalu besar
karena jarak 3 meter lapisan tanah tidak terlalu berbeda. Pada gambar 3 terlihat bahwa
nilai tahanan tanahnya menjadi rendah dengan pengaruh pengkondisian tanah
terhadap tahanan tanah melalui pemberian atau membasahi permukaan tanah, hal ini
karena tahanan jenis tanah dipengaruhi oleh besar kecilnya konsentrasi air tanah atau
kelembaban tanah.

Gambar 3. Grafik pengaruh kedalaman elektroda terhadap tahanan tanah.

Jika konduktivitas tanah semakin besar maka tahanan tanah semakin kecil yang
membuat sistem pengetanahan jadi lebih baik, selain itu dengan menambahkan jumlah
batang elektroda yang ditanam secara paralel dapat menurunkan nilai tahanan tanah.
Pada lokasi ini dapat digolongkan struktur tanah adalah tanah liat timbunan yang
bercampur krikil selain itu sumber air tanahnya terletak dikedalaman yang lebih
dalam, sehingga batang elektroda tidak dapat mencapai sumber air tanah.
B. Pengaruh Adiktif Batubara pada Sistem Pengetanahan
0
100
200
300
400
500
600
700
1 m 2 m 3 m
t
a
n
a
h
a
n

t
a
n
a
h

(

)

kedalaman elektroda
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 121
Hasil pengukuran selama 7 minggu nilai tahanan tanah dengan menambahkan zat
aditif berupa batubara dengan variasi volume dan kedalaman yang berbeda,
ditampilkan pada tabel 2.
Nilai tahanan tanah terkecil yang menunjukan pentanahan terbaik adalah pada
saat elektroda yang ditanamkan 3 m. Penambahan zat adiktif batubara dapat
menurunkan nilai tahanan jenis tanah, hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa
pengkondisian kandungan elektrolit tanah dapat menurunkan tahanan jenis tanah
(Pabla,1986).
Tabel 2. Tahanan tanah setelah diberi adiktif batubara
waktu 1 m 2 m 3 m
minggu
Tahanan
tanah(O)
Kering
Tahanan
tanah(O)
Basah
Tahanan
tanah(O)
Kering
Tahanan
tanah(O)
Basah
Tahanan
tanah(O)
Kering
Tahanan
tanah(O)
Basah
1 120,7 112,7 105,9 99,9 80,7
2 120,1 110,2 105,5 99,4 80,5 72,3
3 118 109 104,3 96,9 77,6 73,9
4 114 108,4 104 95,6 75,2 73,8
5 113,6 107,4 102,5 95,5 74,8 73,5
6 109,3 105,7 100,2 93,5 74,6 71,3
7 108,5

100

74,4 70,8
Batubara merupakan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk menurunkan
tahanan jenis tanah. Jika dibuat perbandingan nilai tahanan tanah dengan sebelum
diberi adiktif batubara maka terlihat bahwa terjadi penurunan nilai tahanan tanah
(gambar 4.).

Gambar 4. Grafik Kedalaman elektroda terhadap tahanan tanah dengan pengaruh
adiktif batubara.
Tahanan jenis tanah dihitung dengan persamaan (1). Penurunan nilai tahanan
jenis tanah antara pentanahan tanpa adiktif dan pentanahan dengan menggunakan
aditif batubara adalah sebagai berikut:

- Volume 3,1 liter sebesar 346,30 m (52%);
- Volume 6,1 liter sebesar 441,76 m (66%);
- Volume 8 liter sebesar 383,72 m (59%);
- Volume 9,1 liter sebesar 439,80 m (67%);
- Volume 16 liter sebesar 560,74 m (78 %); dan
- Volume 23,9 liter sebesar 587,31 m (81%).
Besarnya penurunan nilai tahanan jenis tanah setiap volume adiktif berbeda-beda.
Nilai tahanan jenis tanah yang terbaik terjadi pada adiktif batubara, antara volume
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
600
650
1 m 2m 3 m
T
a
h
a
n
a
n

t
a
n
a
h
(
o
h
m
)

kedalaman elektroda (m)
adiktif BB (kering)
non adiktif (kering)
adiktif BB(basah)
non adiktif (basah)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 122
23,9 liter dan 9,1 liter yaitu sebesar 92,47 m, sedangkan penurunan terkecil terjadi
pada aditif bentonit, antara volume 3 liter yaitu sebesar 0,24 m (tabel. 3).

Tabel 3. Nilai tahanan pentanahan dengan tambahan aditif pada kondisi kering

Volume adiktif batubara
Minggu 3,1 liter 6,1 liter 8 liter 9,1 liter 16 liter 23,9 liter
1 138,5 131,6 120,7 127,6 105,9 80,7
2 136,1 132,2 120,1 121,5 105,5 80,5
3 129,1 129,4 118 104,3 77,6
4 127,5 128,8 114 102,8 104 75,2
5 128,8 125,9 113,6 106,7 74,8
6 126,5 120,8 109,3 99,4 100,2 74,6
7 118,2 108,5 97,6 100 74,4

Keadaan basah dalam tanah merupakan faktor yang paling besar memperbaiki
kualitas pentanahan (Gambar. 5 dan Gambar. 6). Menurut Hutauruk (1987) dan Pabla
(1986), tahanan jenis tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : jenis
tanah,lapisan tanah, suhu, kelembaban tanah, serta kandungan elektrolit tanah. Bahwa
dalam kenyataannya komposisi tanah menjadi homogen pada seluruh volume tanah
ketika ditambahkan adiktif batubara membuat tahanan tanah secara linier menurun.
Kandungan kimia dan sifat fisisnya, adiktif batubara pada dasarnya memiliki
unsur karbon, unsur karbon berpotensi menurunkan nilai tahanan jenis tanah dengan
cara menaikan nilai konduktivitas tanah sekitar elektroda yang berfungsi memperluas
area elektroda. Kandungan air yang banyak dalam batubara mempengaruhi
karakteristik zat batubara itu sendiri, sehingga dapat mengurangi unsur karbon yang
ada dalam batubara tersebut.
Pengaruh lamanya zat aditif ditanam dapat diketahui bahwa nilai tahanan tanah
semakin menurun seiring pertambahan waktu, namun pada pengukuran panjang
elektroda. Hal ini bisa terjadi dikarenakan beberapa faktor kualitas batubara jenis low
range coal yang kandungan nilai kalornya rendah dan mengandung air didalamnya
semakin baik dari hari ke hari, dengan potensi untuk lebih banyak menjadi karbon.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi penurunan nilai tahanan tanah (kenaikan
kualitas pengetanahan) dari hari ke hari yaitu bentuk fisik dari bahan aditif itu sendiri,
bahan aditif memiliki bentuk fisik serbuk, sehingga dengan bentuk serbuk bahan aditif
ini sangat mudah tercampur dengan tanah disekitarnya dan mudah menjadi padatan.



50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
150
0 1 2 3 4 5 6 7 8
T
A
H
A
N
A
N

T
A
N
A
H

(

)

WAKTU(MINGGU)
3,1 liter
6,1 liter
8 liter
9,1 liter
16 liter
23,9 liter
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 123
Gambar 5. Grafik pengaruh volume adiktif terhadap tanahan tanah dengan variasi
volume pada kondisi kering



Gambar 6. Grafik pengaruh volume adiktif terhadap tanahan tanah dengan variasi
volume pada kondisi basah

Batubara merupakan bahan galian yang terbentuk dari endapan fosil selama
berjuta-juta tahun lamanya, semakin lama batubara mengendap, maka kandungan
kalori dan unsur karbonnya semakin baik. Dengan karakteristik batubara tersebut,
maka ketika batubara ditanam dalam jangka waktu relatif lama, akan meningkatkan
kualitas batubara tersebut, yang dampaknya jika digunakan pada sistem pentanahan
sebagai zat aditif, tahanan tanah dengan menggunakan aditif batubara akan
memberikan nilai yang semakin baik dari hari ke hari. Salah satu faktor yang
mempengaruhi tahanan pembumian adalah suhu dan kandungan air, pada kedalaman
yang lebih dalam kandungan air dan suhu lebih stabil. Untuk memperoleh nilai
tahanan tanah/pembumian yang lebih baik/rendah, maka sebaiknya elektroda harus
ditanam mencapai tingkat kandungan air yang tetap. Dari hasil pengujian didapat
semakin dalam elektroda ditanam , maka tahanan tanahnya akan semakin kecil.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Faktor yang mempengaruhi kualitas perbaikan pengetanahan adalah jenis
tanah, volume dan umur adiktif yang ditambahkan serta kedalaman
elektroda pengetanahan.
2. Batubara dapat menurunkan nilai tahanan tanah sampai 81% dengan
volume 23,9liter.



5. REFERENCES
ANSI / IEEE Std 80-1956. (1985) IEEE Guide for safety in AC Substation
Grounding. New York : The Institute of Electrical and Electronics Engineers Inc.
BPN Provinsi Bengkulu. (2009). Profil Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Dhimas Dhesah Kharismah. (2009). Pengaruh Kedalaman Penanaman Dan Jarak
Elektroda Tambahan Terhadap Nilai Tahanan Pembumian. http
//www.elektroindonesia.com/elektro.
Dinas ESDM. (2005). Potensi Sumber Daya Mineral dan Energi Propinsi Bengkulu.
Bengkulu.
Ihsan, Aris Rakhmadi. (2002). Analisis pengaruh jenis tanah terhadap Tegangan
permukaan tanah. JURNAL TEKNIK ELEKTRO EMITOR Vol. 2, No. 2,
September.2002
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
0 1 2 3 4 5 6 7 8
T
A
H
A
N
A
N

T
A
N
A
H

(

)

WAKTU (MINGGU)
3,1liter
6,1liter
8liter
9,1 liter
16liter
23,9 liter
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 124
Hutauruk, T. S.(1991). Pengetanahan netral sistem tenaga dan Pengetanahan
peralatan. Jakarta : Erlangga. Jakarta.
International Energy Agency.( 2008). Emisi CO2 dari pembakaran batubara.
Janardana. (2005) Perbedaan Penambahan Garam Dengan Penambahan Bentonit
Terhadap Nilai Tahanan Pentanahan Pada Sistem Pentanahan. Jurnal Vol.4 No.1.
Universitas Udayana.
Key World Energy Statistics. (2007), OECD/IEA global dari bahan bakar fosil.
PUIL. (2000). Persyaratan Umum Instalasi Listrik Indonesia. Jakarta : Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Tadjuddin. (1998). Analisa Perbandingan Kemampuan Elektroda Batang (Rod) dan
Kombinasinya Dalam Mereduksi Nilai Tahanan Pentanahan Berdasarkan Struktur
Tanah.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 125
KMP-14

Perancangan Pembangkit Listrik Gelombang Laut Menggunakan
Sistem Pneumatik Selinder Tabung


Anizar Indriani
1
, Ika Novia Anggraini
1
Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Bengkulu Kota Bengkulu
Jl. Kandang limun, Bengkulu 38371,
Email: aniz_raimin@yahoo.com

Abstrask
Satu hikmah positif dari terjadinya krisis energi di tanah air sebagai akibat dari imbas krisis
energi global adalah mulai semaraknya kajian-kajian mengenai sumber energi alternatif terbarukan
yang dapat menggantikan sumber energi fosil yang semakin mahal, menipis dan mencemarkan
lingkungan. Diantaranya kajian mengenai pemanfaatan energi gelombang laut sebagai sumber energi
listrik alternatif. Meskipun penelitian mengenai pembangkitan listrik energi gelombang sudah pernah
dilakukan namun penelitian-penelitian lanjutan atau kajian-kajian pembanding masih perlu dilakukan
untuk mengatasi berbagai kendala terutama dalam hal pembangkitan dan pemanfaatan energi
gelombang laut tersebut. Pemanfaatkan energi gelombang laut sebagai sumber energi listrik skala kecil
yang dapat digunakan untuk membangkitkan daya listrik menggunakan sistem pneumatik selinder
tabung. Parameter-parameter yang berpengaruh terhadap rancangan sistem pembangkit listrik
gelombang laut menggunakan sistem pneumatik selinder tabung adalah panjang gelombang, periode
gelombang dan tinggi gelombang. Nilai-nilai parameter optimal dari setiap parameter tersebut untuk
selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam rancang bangun sistem pembangkit listrik gelombang laut
menggunakan sistem pneumatik selinder tabung. Hasil rancangan menghasilkan daya keluaran sebesar
1033 w/s sangat efektif dan effisien.

Kata Kunci : pembangkit listrik gelombang laut, sistem pneumatik, tabung silinder pembangkit.

Since the effect of the crisis energy that appears at the world some researcher doing study about others
resources of energy alternative such as ocean wave energy to replace the fossil energy as resources
electrical alternative energy because fossil energy is more expensive, decreasing in the quantity and the
environmental unfriendly. Since they have problem in the research about of resources ocean wave
energy such as design of power generation system and utilization of ocean wave energy with
cylindrical tube pneumatic system and etc. In this research we are focus on utilization of ocean wave
energy by cylindrical tube pneumatic system and we used some parameter such as wavelength.
Wavelength parameter can be used to calculate and designing of system generation power and
utilization of ocean wave energy for electrical energy with pneumatic tube system. In Indonesia this
parameter can be applied in the small scale design for electrical energy alternative because Indonesia
has resources marine such as sea and high of wave power potential. Attention should be given in this
parameter for design of ocean wave energy because this parameter can be give more information and
using it as reference for design and utilization of ocean wave for electrical generation technology. In
this design they can arrange and make of design more efficiency and effective with the output power
results is 1033w/s.

Keywords: ocean wave for electrical generation, pneumatic system, cylindrical tube

1. PENDAHULUAN
Pemanfaatan energi terbarukan
seperti energy gelombang laut memiliki
prospek yang sangat baik untuk
dikembangkan di Indonesia. Hal
ini disebabkan karena negara
Indonesia memiliki garis pantai
terpanjang kedua setelah
Norwegia (panjang pantai
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 126
Indonesia 80.000 km Dengan
perkiraan potensi tersebut, seluruh
pantai di Indonesia diperkirakan dapat
menghasilkan lebih dari 2 hingga 3
Terra Watt ekivalensi listrik atau tidak
lebih dari 1% panjang pantai Indonesia
(800 km) dapat memasok minimal 16
giga watt atau sama dengan pasokan
seluruh listrik di Indonesia tahun ini.
Data lain menyebutkan bahwa
berdasarkan survei yang dilakukan
Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) dan Pemerintah
Norwegia sejak tahun 1987, terlihat
bahwa banyak daerah-daerah pantai di
Indonesia yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai pembangkit
listrik tenaga gelombang. Diantaranya
sepanjang Pantai Selatan Pulau Jawa,
di atas Kepala Burung Irian Jaya, dan
sebelah barat Pulau Sumatera. Dengan
tinggi rata-rata gelombang laut
mencapai lebih dari 2 meter.
Propinsi Bengkulu adalah salah
satu propinsi yang terletak di ujung
sebelah barat pulau sumatera yang
berbatasan langsung dengan Samudera
Hindia. Sebagian masyarakat
Bengkulu, terutama yang berada di
daerah pesisir, masih menggantungkan
potensi kekayaan laut sebagai sumber
utama kehidupan. Untuk mendapatkan
hasil laut, masyarakat nelayan masih
mengandalkan bahan bakar minyak
sebagai energi penggerak mesin-mesin
yang dimiliki nelayan. Penggunaan
bahan bakar minyak sebagai energi
penggerak mesin-mesin yang dimiliki
nelayan ini, selain akan menimbulkan
dampak terhadap pencemaran udara
juga akan menyebabkan tingginya
biaya operasional nelayan terlebih lagi
disaat adanya kenaikan dan kelangkaan
bahan bakar minyak dipasaran.
Oleh karena itu, penelitian-
penelitian yang berkaitan dengan
pengembangan teknologi tepat guna
pemanfaaatan teknologi gelombang
laut sebagai sumber energi terbarukan
merupakan hal yang penting dan perlu
mendapat dukungan. Melalui
penelitian ini akan diperoleh
suatu desain teknologi tepat guna
pembangkit listrik tenaga
gelombang skala menengah.

2. METODE PENELITIAN
Riset ini didasari oleh
pemanfaatan energi gelombang
laut dengan menggunakan prinsip
dasar konversi energi, yakni
mengubah energi gelombang laut
menjadi aliran udara yang
menghasilkan energi mekanik.
Kemudian energi mekanik ini
diubah menjadi energi listrik.
Perancangan sistem pembangkit
terdiri atas beberapa tabung
silinder yang dihubungkan
dengan sambungan bola. Silinder
ini diletakkan di permukaan laut
dan akan bergerak mengikuti
pergerakan gelombang laut. Pada
penelitian ini akan dianalisis
jumlah tabung yang dibutuhkan
dalam panjang gelombang 3 m
untuk menghasilkan energi
mekanik optimum. Pada tabung
yang paling ujung diberi kabel
penyangga yang dikaitkan
dengan badan perahu. agar
gelombang yang dihasilkan dapat
dikendalikan. Salah satu dari
tabung ini merupakan tabung
pembangkit. Tabung pembangkit
ini akan menghasilkan energi
listrik yang akan dialirkan ke
mesin perahu nelayan. Skema
pengujian dalam penelitian ini
diperlihatkan pada Gambar 1.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 127
4 m
Kabel Penyangga
P
E
R
A
H
U
Kabel Penyangga
Kabel Power
Silinder
Gambar 1. Skema Pengujian
Pembangkit Energi Alternatif
Gelombang Laut
(tampak atas)

Sistem pembangkit listrik tenaga
gelombang yang dirancang dalam
penelitian ini terdiri dari beberapa
segmen tabung silinder yang
dihubungkan satu dengan yang lain
dengan sambungan engsel yang
memungkinkan tabung-tabung ini
bergerak bebas dipermukaan laut. Dari
beberapa segmen tabung silinder
tersebut hanya terdapat satu silinder
(hollow) yang berfungsi sebagai tempat
terjadinya proses konversi energi
mekanik ke listrik. Sedangkan silinder
yang lain berfungsi untuk mempercepat
pergerakan sistem pneumatik pada
tabung pembangkit. Prinsip kerja dari
sistem pembnagkit energi geliombang
laut pada penelitian ini diperlihatkan
pada Gambar 2.
Kabel Power
K
a
b
e
l P
e
n
y
a
n
g
g
a
Tabung Pembangkit

ARAH GELOMBANG LAUT

Gambar 2. Prinsip Kerja Pembangkit
Energi Alternatif Gelombang Laut

Tabung silinder yang digunakan
berjumlah empat buah masing-masing
berdiameter 50 cm dan panjang 70 cm.
Sedangkan silinder penghubung
berdiameter 50 cm dengan panjang 10
cm. Salah satu dari tabung tersebut
merupakan silinder pembangkit.
Komponen-komponen yang
terdapat dalam silinder
pembangkit antara lain : piston
hidrolik, akumulator bertekanan
tinggi, turbin udara, rotor
elektrik, reservoar, dan stator.
Sebagai penggerak piston
memanfaatkan pergerakan antar
tabung pembangkit dan tabung
sambungan, piston ini
menghasilkan udara bertekanan
yang akan menggerakkan turbin
udara. Di sini digunakan dua
buah piston yang berfungsi untuk
menjaga aliran uadara agar kerja
turbin semakin cepat dan
kontinu. Mekanisme kerja dari
tabung pembangkit secara
sederhana diperlihatkan pada
Gambar 3.

M
Stator
Turbin
Piston
J
o
i
n
t
Rotor
Elektrik
e
i
n
d
u
k
s
i
Reservoar
+
-
Piston
70 cm
50 cm

Gambar 3. Mekanisme pada
Tabung Pembangkit

Berdasarkan Gambar 2 dan
3 menunjukkan bahwa proses
terjadinya konversi energi pada
penelitian ini diawali dengan
sederetan tabung silinder yang
diletakkan di permukaan laut dan
akan bergerak mengikuti
pergerakan gelombang laut.
Setiap gelombang yang melalui
alat ini akan menyebabkan
tabung silinder tersebut bergerak
secara vertikal maupun lateral.
Gerakan yang ditimbulkan akan
mendorong piston diantara tiap
sambungan segmen untuk
memompakan fluida bertekanan
tinggi memberikan gerak putar
terhadap turbin. Putaran turbin
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 128
ini menjadi motor penggerak bagi
batang konduktor pada rotor generator
induksi. Batang konduktor pada rotor
ini akan berpotongan dengan medan
putar stator yang dihasilkan setelah
kumparan stator generator
dihubungkan dengan power modul.
Sesuai dengan hukum Lentz dan
Faraday, perpotongan batang
konduktor pada rotor terhadap medan
putar stator akan menghasilkan
tegangan yang terinduksi. Selanjutnya
tegangan yang terinduksi ini akan
dialirkan menuju mesin-mesin nelayan
dalam bentuk arus listrik yang
mengalir. Supaya tidak ikut terbawa
arus gelombang laut, tabung ditahan
menggunakan jangkar atau pengikat
lain.
Energi listrik yang dihasilkan oleh
gelombang laut ini masih dalam bentuk
energi listrik arus bolak balik. selain
bisa dipakai langsung, sumber energi
ini dapat disimpan sebagai batere
(Charging) dengan mengubah arus DC
menjadi AC dengan menggunakan
konverter. Sehingga energi yang
dihasilkan dapat dipergunakan dalam
kehidupan rumah tangga sehari-hari.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian yang dilakukan pada
tahun pertama meliputi perancangan
dan pembuatan komponen alat
pembangkit seperti yang disajikan pada
Tabel 1.
Pada sistem konversi secara
pnuematik, keadaan gelombang laut
sangat berpengaruh terhadap kecepatan
dan tekanan piston yang dihasilkan.
Dimana telah diketahui bahwa keadaan
gelombang laut rata-rata untk daerah
sekitar pantai padang adalah :
1. Tinggi gelombang (H) = 1,3 meter
2. Periode gelombang (T) = 5 detik
3. Panjang gelombang (L) = 39 meter
Energi gelombang laut
didefinisikan sebagai energi getaran
yang merambat. Dalam kehidupan
sehari-hari banyak orang berfikir
bahwa yang merambat dalam
gelombang adalah getarannya
atau partikelnya, hal ini sedikit
tidak benar karena yang
merambat dalam gelombang
adalah energi yang dipunyai
getaran tersebut. Gelombang
berdasarkan mediumnya
dibedakan menjadi 2 macam,
yaitu:
Gelombang mekanik;
gelombang yang dalam
perambatannya membutuhkan
medium. Contoh: gelombang
bunyi.
Gelombangelektromagnetik;
yang dalam perambatannya
tidak membutuhkan medium.
Contoh: gelombang cahaya.
Gelombang berdasarkan
arah rambatnya dibedakan
menjadi 2 macam, yaitu:
Gelombang Longitudinal;
gelombang yang arah
rambatnya sejajar dengan
arah getarnya. Contoh:
gelombang bunyi.
Gelombang Transversal;
gelombang yang arah
rambatnya tegak lurus dengan
arah getarnya. Contoh:
gelombang cahaya. Besaran
dalam gelombang laut hampir
sama dengan besaran dalam
getaran. Besarannya adalah
sebagai berikut:
1. Periode (T) adalah banyaknya
waktu yang diperlukan untuk
satu gelombang.
2. Frekuensi (f) adalah
banyaknya gelombang yang
terjadi dalam waktu 1 sekon.
3. Amplitudo (A) adalah
simpangan maksimum suatu
gelombang
4. Cepat rambat (v) adalah
besarnya jarak yang
ditempuh gelombang tiap
satuan waktu.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 129
5. Panjang gelombang () adalah jarak
yang ditempuh gelombang dalam 1
periode. Atau besarnya jarak satu
bukit satu lembah.
Energi gelombang didapatkan
dengan mengetahui tinggi, panjang,
dan periode waktunya. Energi ini dapat
dikonversi ke listrik lewat 2 kategori
yaitu off-shore (lepas pantai) dan on-
shore (pantai). Daya yang terkandung
dalam gelombang laut mempunyai
bentuk (Abdul,1995):
Dari data diatas maka dapat
diketahui beberapa pengaruh keadaan
gelombang laut terhadap daya secara
teoritis yang dapat dihasilkan dari
keadaan gelombang laut di adalah:
P =
2
2
12 , 5
16
. .
T x
T
B H g

P= 0,32.g.H
2
.L.T (Watt/detik)
P = 1033 Watt/detik

Perancangan Sistem Mekanik
Prinsip kerja dari gelombang laut
Rancangan sistem mekanik yang terdiri
atas sambungan antar silinder tabung,
piston dan turbin (Gambar 4.)

Gambar 4. Skema rancangan system
mekanik PLTGL

Dari data diatas maka dapat
diketahui beberapa pengaruh keadaan
gelombang laut terhadap kecepatan
piston:
Kecepatan putaran piston (nc) =
T
60

nc =
dtk 5
60
= 12 rpm
Kecepatan piston (vc) =
nc
L

vc = menit m
rpm
m
/ 25 , 3
12
39

Jarak gerak piston (sc) =
nc
vc

sc = m
rpm
menit m
27 , 0
12
/ 25 , 3

Untuk memperbesar gaya
tekan yang dihasilkan oleh poros
ayunan bandul maka disini dapat
digunakan gir. Dimana gir ini
yang akan memindahkan atau
menstransmisikan gaya dan dapat
mengubah besar gaya, laju dan
arah gerak benda. Rasio gir ini
diasumsikan 1 : 50. Maksudnya
adalah 1 kali putaran pada poros
ayunan maka 50 kali putaran
pada gir yang terhubung
langsung ke piston.
Adapun piston yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah jenis piston yang terbuat
terbuat dari aluminium karena
sifat mekanik aluminium itu
sendiri yang ringan, tahan aus
dan memiliki nilai ketahanan
korosi yang cukup tinggi
sehingga sangat cocok digunakan
dalam lingkungan yang korosif
terlihat pada Gambar 5.3 . Puring
yang digunakan terbuat dari
bahan coran yang juga memiliki
nilai ketahanan korosi yang
cukup tinggi serta tahan terhadap
gesekan. Dimensi piston dan
puring dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Dimensi Piston dan
Puring
No Spesifikasi Ukuran
(cm)
1 Diameter piston 7,4 cm
2 Diameter pin piston 2,5 cm
3 Tinggi piston 5 cm
4 Diameter dalam puring 7,42 cm
5 Diameter luar puring 7,9 cm
6 Tinggi puring 15 cm

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 130

`
Gambar 5. Dudukan Piston dan Puring



Gambar 6. Rancangan dimensi piston
dan puring

Dudukan piston dan puring
memiliki diameter 50 cm dan tebal 4
mm, penempatan titik dudukan stang
seher didesain sedemikian rupa
sehingga menjadi 4 titik yang simetris,
adapun diameter stang seher adalah
sebasar 3,5 cm dan panjang stang seher
adalah 12,5 cm seperti tampak pada
Gambar 6.
Turbin yang direncanakan untuk
Energi Gelombang Laut ini adalah
turbin aliran diagonal (crossflow) yang
merupakan salah satu jenis turbin yang
termasuk golongan turbin impuls.
Turbin ini dipilih karena cocok
digunakan untuk tinggi jatuh efektif
yang kecil dibawah 6 meter dan tidak
membutuhkan ruang yang luas
serta banyak terdapat di pasaran.
Perhitungan ukuran dan
dimensi turbin yang
direncanakan adalah sebagai
berikut:

a. Lebar dan diameter runner
turbin
Dengan konstanta tetapan
C = 0,98 (untuk kecepatan air)
dan k = 0,087 maka lebar turbin (
l ) dapat ditentukan sebagai
berikut:
l =
l = 144QN / (862 . 0,087 . 0,98 .
. H )
l = 0,244 Q . N / H
l = 0,244 . 6,33 . N / 13,19
l = 1,54 . N / 13,19
l = 0,11 . N
Kecepatan putar turbin (N)
ditentukan dengan rumus :
N =
N = (862/D) X ft
N = (862 . 3,63 ft) / D
N = 3129 / D
sehingga :
l = 0,11 . (3129 / D) inci
l . D = 344,19 inci
dimana :
D = diameter runner (inci)
C = 0,98
= 16
o

l = lebar runner (inci)
Q = debit air(ft
3
/s) = 0,18 m
3
/ s =
6,33 ft
3
/s
N = putaran turbin (rpm)
Hn = tinggi jatuh efektif (ft) =
4,02 m = 13,19 ft
g = konstanta gravitasi (ft/s
2
)
k = konstanta (0.087)
Berdasarkan perhitungan di
atas diperoleh beberapa nilai
perbandingan diameter runner
turbin sebagai berikut :
Berdasarkan tabel di atas dipilih
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 131
lebar turbin (l) sama dengan 5 cm atau
1.96 inci sehingga diameter runner
turbin (D) sama dengan 35 cm atau
13.77 inci. Pemilihan lebar dan
diameter turbin ini akan berpengaruh
pada putaran turbin (N), jarak antar
sudu (t).

b. Putaran turbin
Nilai putaran turbin (N)
ditentukan dengan persamaan :
N =
N = (862 / 13,77 inci) (3,63 ft)
N = 227.23 rpm 227.3 rpm
c. Jarak antar sudu turbin
Jarak antar sudu turbin dapat
dihitung dengan persamaan :
x = s
1
/ sin
dimana :
x = jarak antar sudu turbin (inci)
s
1
= tebal pancaran air = k . D (inci)
k = 0,087
D = diameter runner (inci)
= sudut sudu turbin
Sudu turbin direncanakan
membentuk sudut 30
0
agar jarak sudu
tidak terlalu rapat atau renggang,
sehingga jarak antar sudu turbin (x)
berdasarkan persamaan diatas adalah :
x = s
1
/ sin
x = 1,89/sin 30
0

x = 3,78 inci = 9,56 cm
d. Jumlah sudu turbin
Jumlah sudu turbin (n) adalah :
n =
n = 3,14 (21,77 inci)/3,78 inci
n = 18 buah
e. Kelengkungan sudu turbin ()
Kelengkungan sudu turbin () dapat
dihitung sebagai berikut :
= 0,326 . r
= 0,326 . 10,88 inci
= 3,54 inci = 8,96 cm
f. Lebar sudu turbin (a)
Lebar sudu turbin adalah :
a = 0,17 X D
a = 0,17 X 13,77 inci
a = 2.34 inci = 5.9 cm
dimana :
a = lebar sudu turbin (inci)
D = diameter runner turbin
(inci)


Gambar 7. Hasil rancangan
turbin

Turbin yang digunakan
adalah jenis turbin crossflow,
turbin yang digunakan dibuat
dari bahan plat aluminium
dengan tebal 0,8 mm. Plat
aluminium yang berupa lambaran
di potong menjadi beberapa
bagian sesuai dengan spesifikasi
yang di perlukan kemudian
masing-masing disambung
menjadi satu kesatuan yang utuh
dengan menggunakan paku
keling, seperti terlihat pada
gambar 7. Adapun dimensi turbin
dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Dimensi turbin
No Spesifikasi Ukuran
(cm)
1 Dimeter luar 35 cm
2 Diameter dalam 29 cm
3 Lebar turbin 5,5 cm
4 Jarak antar sudu 9,5 cm

Perancangan Generator
Generator yang digunakan
adalah generator AC (Alternator)
karena sebagian besar peralatan
listrik penduduk menggunakan
sumber arus bolak-balik seperti
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 132
tampak pada gambar 8. Generator
tersebut adalah generator sinkron 3
phasa 4 kutub menggunakan magnet
permanen dan tidak menggunakan sikat
arang (brushless). Tipe generator ini
dipilih karena mudah dalam perawatan
dan banyak terdapat di pasaran, selain
itu 3 buah phasa generator akan
menggurangi drop tegangan pada
saluran dan dapat digunakan untuk
perencanaan jangka panjang.
Kecepatan putar generator
sinkron (ns) adalah 1500 rpm dan
frekuensi tegangan keluaran 50 hz.
Tegangan keluaran generator 220
V/380 V dengan faktor daya (cos ) =
0,8 sebagai tetapan rancangan pabrik
yang mampu mampu menyuplai daya
aktif (P) sebesar :
P = 0,8 X 1 kVA = 800 W
dan daya reaktif (Q) sebesar :
Q = 0,6 X 1 kVA = 600 VAR
Untuk menaikkan putaran
generator menjadi 1500 rpm maka
turbin dikopel dengan penaik kecepatan
(speed increaser) menggunakan sabuk.
Perbandingan antara ukuran gear
(gearing ratio) antara turbin dan
generator adalah :
Gr = ns / nt
Gr =
Gr =10,34
dimana :
nt = kecepatan putaran tubin (rpm)
ns = kecepatan putaran generator
(rpm)
Gr = gearing ratio
Jika gear pemutar pada turbin
berdiameter 55 cm. Maka ukuran gear
pada pemutar generator dapat dihitung
sebagai berikut :
Gs = Gt/Gr
Gs = 55 cm / 10,34
Gs = 5,31 cm
dimana :
Gs = diameter gear generator (cm)
Gt = diameter gear turbin (cm)

Gambar 8. Generator

Penelitian yang dilakukan
untuk pembangkit listrik energi
gelombang laut ini baru
mencapai tahap persiapan
pembuatan alat, belum masuk
pada tahap pengujian. Hal ini
terjadi karena keterbatasan waktu
yang tersedia. Oleh karena itu
hasil keluaran daya belum
diperoleh secara langsung,
namun daya dari hasil
perhitungan seacara teoritis
sudah diperoleh melalui
perancangan.





4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Hasil penelitian yang telah
dilakukan dapat ditarik
kesimpulan bahwa pada penelitan
ini baru dihasilkan rangkaian
sistem mekanik pembangkit
dengan daya kelauran sebesar
1033 w/s. yang tersedia tidak
memadai.

4.2. Saran
Setelah selesai merancang
dan melakukan pengujian alat,
terdapat beberapa kekurangan
dalam perancangan alat ini yaitu
waktu pelaksana yang tidak
memadai dan sebaiknya
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 133
dilanjutkan dengan membuat sistem
charging.

DAFTAR PUSTAKA
J. Arifin, Sistem Akuisisi Data Suhu
Menggunakan Mikrokontroller
AT89S51 Dengan Penampilan
LCD, www.electroniclab.com,
accessed May 2008
L. Rodrigues, Wave power conversion
systems for electrical energy
production, Department of
Electrical Engineering Nova
University of Lisbon, Portugal
Muhammad H.Rashid, (2004), Power
Electronics, Circuits, Devices,
and Application Third Edition.,
Prentice-Hall of India
N. I. Supardi, I. Priyadi, (2007),
Pengembangan Teknologi Tepat
Guna Pembangkitan Listrik
Tenaga Angin Skala Kecil, Lap.
Penelitian, Univ. Bengkulu
N. Mohan, T.M. Undeland, W.P.
Robbins, (1995), Power
Electronics: Converters,
Applications and Design, John
Wiley & Sons, US-New York
Sullivan, R. Kevin, (2006), Battery
Basics and Battery Service,
www.autoshop101.com, accessed
March 13



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 134
KMP-15

ANALISIS EKSERGI PADA SISTEM PEMBANGKIT LISTRIK
TENAGA PANAS BUMI (PLTP) UBP KAMOJANG UNIT PLTP
DARAJAT
JAWA BARAT

1
Ir. Dyos Santoso, M.T,
2
Randy Maulana Yusuf, S.T
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya
INDRALAYA
dyos_santoso@yahoo.com
randy.maulana.yusuf@gmail.com

ABSTRACT
This paper presents the performance analysis of geothermal power plant which consist of
some main components such as final separator, steam turbine, condensor, cooling tower and
others. Observed geothermal power plant is the one that is dominated by working fluid, which
vapour-dominated system. Based on the result of the performance analysis using exergy
analysis method, the irreversibility at final separator, steam turbin, condensor and cooling
tower consecutively is 12.80 MW, 24.65 MW, 3.084 MW and 3.823 MW.
Keyword: energy analysis, exergy analysis, irreversibility, efficiency.

1. PENDAHULUAN
Peningkatan kebutuhan akan energi,
ketersedian energi yang terbatas, serta
pemanfaatan energi dan dampak
lingkungan, sehingga perlu dilakukan
pengolahan sumber daya energi [1].
Dengan sumber daya energi yang terbatas
dan kebutuhan akan energi yang terus
meningkat, sehingga penting untuk
memahami mekanisme penurunan kualitas
sumber daya energi untuk
mengembangkan pendekatan sistematis
untuk meningkatkan sistem [2]. Sistem
dan proses yang menurunkan kualitas
sumber daya energi hanya dapat
diidentifikasi melalui analisis rinci dari
keseluruhan sistem. Instalasi pembangkit
tenaga biasanya diuji dengan analisis
energi tetapi pemahaman yang lebih baik
dapat dicapai bila diambil tinjauan
termodinamika yang lebih lengkap yang
menggunakan hukum kedua
termodinamika dengan menggunakan
metode analisis eksergi. Metode analisis
eksergi merupakan metode analisis sistem
termal yang mengkombinasikan antara
hukum pertama dan kedua termodinamika.
Dengan menggunakan metode ini akan
didapatkan gambaran yang sesungguhnya
tentang besarnya kerugian dari suatu
sistem, penyebabnya dan lokasinya,
sehingga dapat melakukan peningkatan
sistem secara keseluruhan ataupun hanya
pada komponen-komponennya.

2. ANALISIS TEORI
2.1 Konsep Eksergi
Eksergi adalah kerja maksimum teoritis
yang dapat digunakan (kerja poros atau
kerja elektrik) yang diperoleh sebagai
selisih antara sistem dan lingkungan
hingga didapat suatu keadaan setimbang
dengan lingkungan [3]. Eksergi adalah
ukuran seberapa jauh perbedaan antara
sistem dari lingkungannya, dengan
demikian eksergi merupakan suatu sifat
dari sistem dan lingkungannya [4].

2.2 Eksergi dan Energi
Energi adalah ukuran dari kuantitas dan
eksergi adalah ukuran dari kualitas dan
kuantitas. Energi itu tidak pernah bernilai
nol sedangkan eksergi dapat bernilai nol
pada keadaan mati (dead state) atau
keadaan setimbang dengan lingkungan [5].

2.3 Sistem Lingkungan dan Keadaan
Mati
Dalam termodinamika, sistem adalah
segala sesuatu yang ingin kita kaji untuk
dijadikan objek analisis [5]. Dalam sistem
pembangkit tenaga panas bumi, uap dan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 135
gas yang bersirkulasi yang diambil dari
dalam bumi (geothermal) adalah sistem.
Diasaat sistem berubah menuju lingkungan
maka kerja yang dihasilkan terus
berkurang hingga didapati keadaan
setimbang antara sistem dan lingkungan.
Keadaan seperti inilah yang disebut
Keadaan Mati (dead state). Pada keadaan
mati, sistem dan lingkungan memiliki nilai
eksergi nol [5].

2.4 Komponen Eksergi
Komponen eksergi fisik yang menyertai
arus/aliran suatu zat [3] adalah:

(1)

2.5 Pemusnahan Eksergi dan Kerugian
Eksergi
Irreversibilitas akibat gesekan,
pencampuran, reaksi kimia, dan
sebagainya selalu memusnahkan eksergi
[3]. Pemusnahan eksergi itu berbanding
lurus dengan pembentukan entropi.
Pemusnahan eksergi disimbolkan dengan


(irreversibility), pada beberapa literatur
lain pemusnahan eksergi disimbolkan
dengan

(exergy destruction).



3. METODOLOGI
3.1 Pendekatan Umum
Kajian sistem didasarkan pada kajian
komponen-komponen penyusun sistem.
Komponen sistem yang dianalisis adalah
komponen sistem secara umum, yang
mana komponen komponen tersebut yaitu:
final separator, transmisi uap, turbin uap,
kondensor, sistem ekstraksi gas (GES),
dan sistem pendinginan.

3.2 Ruang Lingkup dan Batasan
Proses analisis ini mencakup fluida kerja
yang dihasilkan dari reservoir-geothermal
dan proses pemisahan antara uap (final
separator), transmisi uap, ekspansi uap
(turbin uap), kondensor, gas extraction
system (GES), dan sistem pendinginan
(Cooling Tower).

3.3 Sumber Data
Data-data yang digunakan dalam analisis
ini nantinya adalah data-data meliputi :
1. Data operasi keseluruhan Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi UBP
Kamojang Unit PLTP Darajat pada saat
performance test. Meliputi data
komponen-komponen/subsistem
instalasi pembangkit selama 24 jam.
2. Data teknis PLTP Unit Bisnis
Pembangkit Kamojang Unit PLTP
Darajat meliputi : tekanan, temperatur,
laju aliran massa, dan data teksin
lainnya yang mendukung dalam
penelitian.
3. Buku pedoman operasi PLTP UBP
Kamojang Unit PLTP Darajat (Manual
Design).

3.4 Asumsi Umum
Asumsi umum yang digunakan dalam
perhitungan analisis eksergi pada instalasi
PLTP adalah :
1. Kadar non-condensable gas (NCG)
yang terkandung dalam uap panas bumi
tersebut 0,85 % (sumber : PT.
Indonesia Power PLTP UBP
Kamojang Unit PLTP Darajat).
2. Setiap komponen/subsistem
diasumsikan pada steady state.
3. Semua komponen/subsistem
diasumsikan beroperasi tanpa
memperhitungkan kerugian kalor.
4. Uap geothermal diasumsikan sama
dengan uap air.
5. Eksergi kinetik, eksergi potensial dan
eksergi kimia diabaikan.
6. Sistem pada keadaan steady-state
volume kontrol.
3.5 Analisi dan Pengolahan Data
Data-data yang ada disusun dan kemudian
diolah menggunakan lembar kerja program
microsoft excel untuk menghitung eksergi
spesifik, laju aliran eksergi,
irreversibilitas, efisiensi energi dan
efisiensi eksergi. Dalam perhitungan ini
satuan internasional (SI) digunakan untuk
semua satuan hasil perhitungan.

4. DESKRIPSI PROSES
PEMBANGKIT LISTRIK
TENAGA PANAS BUMI UBP
KAMOJANG UNIT PLTP
DARAJAT
4.1 Deskripsi Sistem
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
UBP Kamojang Unit PLTP Darajat terdiri
dari beberapa komponen utama, yaitu :
final separator, turbin uap, kondensor,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 136
sistem ekstraksi gas, cooling tower,dsb.
Flowsheet pembangkit listrik tenaga panas
bumi Unit Bisnis Pembangkit Kamojang
Unit PLTP Darajat Jawa Barat dapat
dilihat pada gambar 1. Proses unit
pembangkit ini dimulai dari uap dan gas
yang di hasilkan oleh sumur-sumur bor
(production well) yang selanjutnya
disalurkan dengan menggunakan pipa-pipa
penghubung ke pembangkit.














Gambar 1 Diagram Alir PLTP UBP Kamojang Unit PLTP
Darajat

4.2 Data Operasi Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi Unit Bisnis
Pembangkit Kamojang Unit
PLTP Darajat Jawa Barat
Tabel 1 Data Operasi Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi Unit PLTP Darajat
(Sumber : PT. Indonesia Power UBP
Kamojang Unit PLTP Darajat)
Ti
ti
k
Tekanan Temperatur Uap Air
P (MPa) T (
o
C)
Q (kg/
s)
Q (kg/ s)
1 12 200
341,99
8

2 9,8 179,9 341,68
3 9,8 179,9 0,318
4 9,8 179,9 10,5
5 10 179,9 10,5
6 9,8 179,9 4,98
7 9,8 179,9 0,43
8 9,8 179,9 315,12
9 0,0105 43 315,12
10 1,3 150,9 0,58
11 0,854 95,3 0,58
12 1,1 131,32 1,01
13 0,105 43,8 91,7712
14 2,35 43,8 91,7712
15 2,35 43,8 0,34
16 2,35 43,8 91,4312
17 3,35 141,4 0,34
18 0,0098 27,5 1,23
19 0,22 149,7 6,21
20 1,014 25,5 94,92
21 1,014 25,5 5,82
22 1,014 25,5 89,1
23 2,5 25,5 5,82
24 2,5 25,5 3,6
25 2,5 30 3,6
26 2,5 25,5 0,49
27 2,5 25,5 1,73
28 0,22 45,5 1,7838
29 0,022 37,7 0,83
30 0,095 45,8 0,53
31 0,95 45,8 0,493
32 1,014 40,8 34,565
33 5,53 70 10,5

5. ANALISIS ENERGI DAN
EKSERGI PADA PEMBANGKIT
LISTRIK TENAGA PANAS BUMI
UBP KAMOJANG UNIT PLTP
DARAJAT
5.1 Entropi, Entalpi, Analisis Energi
dan Analisis Eksergi pada masing-
masing kondisi

Kondisi Lingkungan


Berdasarkan gambar 1 dan tabel 1, maka
besarnya entalpi, entropi, analisis energi,
dan analisis eksergi disajikan pada tabel
beriku ini :
Tabel 2 Entalpi dan Entropi Masing-Masing
Kondisi
Titi
k
Entalpi Entropi Aliran
Energi
Aliran
Eksergi
kJ/kg kJ/kg.
o
C (MW) (MW)
1
2816,0631
01
6,5908357
99
963,08
79
109,57592
53
2
2778,7468
25
6,5972455
26
949,44
22
96,684391
77
3
2778,7468
25
6,5972455
26
0,8836
0,0899837
17
4
2778,7468
25
6,5972455
26
29,176
8
2,9711604
82
5
2777,1585
43
6,5850650
92
29,160
2
2,9567856
21
6
2778,7468
25
6,5972455
26
13,838
2
1,4091789
72
7
2778,7468
25
6,5972455
26
1,1949
0,1216760
96
8
2778,7468
25
6,5972455
26
875,63
87
89,168770
59
9
2581,2608
19
9,1793859
06
813,40
69
9,5166818
54
10
2776,1889
8
7,4937827
54
1,6102
0,1532778
47
11
2668,1165
38
7,4121493
8
1,5475
0,0914480
83
12 2701,2932
7,3848990
47
2,7283
0,1932496
39
13 183,42325
0,6228319
28
16,833
0
9,3134547
82
14
183,62015
75
0,6227382
43
16,851
0
9,3316799
72
15
183,62015
75
0,6227382
43
0,0624
0,0345726
24
16
183,62015
75
0,6227382
43
16,788
6
9,2971073
48
17
2739,1998
8
6,9771187
79
0,9313
0,0804382
21
18 2552,2444 9,1171087 3,1393 0,0136625
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 137
FINAL SEPARATOR STEAM TRANSMISION
IN PIPE LINE STEAM TURBINE
GLAND STEAM
EJECTOR
Wgross electric = 51.392,02 kW
CONDENSOR MCWP
COOLING TOWER
TO INJECTION
PIP
M
A
I N
S
T
E
A
M
1ST STAGE
EJECTOR INTERCONDENSOR
VACUM PUMP
&
SEAL WATER SEPARATOR
TURBINE
WASHING HEAT
EXCHANGER
1
2
3
EXERGY FLOWOF THE SYSTEMGEOTHERMAL POWER PLANT
DARAJ AT UNIT, 55.000 kW
DRAWN DATE SIGNATURE
RANDY MAULANA YUSUF
PUMP OF TURBINE WASHING
HEAT EXCHANGER
8
7
12
4
5
6
18
19
11
10
9
32
33
15 17
20
22
21
24 25 P.I
13 16 14
27
28
29
26
30
31
01 May 2012
NOTE :
= IRRIVERSIBILTY
= EXERGY FLOW (STEAM)
= EXERGY FLOW (ELECTRIC)
= EXERGY FLOW (WATER)
56 27 43
19
2668,2172
67
8,0336019
09
16,569
6
0,9102847
3
20
107,02025
45
0,3742380
04
10,158
4
2,8055779
15
21
107,02025
45
0,3742380
04
0,6229
0,1720234
25
22
107,02025
45
0,3742380
04
9,5355
2,6335544
9
23
107,15765
6
0,3741989
85
0,6237
0,1728271
89
24
107,15765
6
0,3741989
85
0,3858
0,1069034
16
25
125,96932
11
0,4367181
77
0,4535
0,1705741
67
26
107,15765
6
0,3741989
85
0,0525
0,0145507
43
27
107,15765
6
0,3741989
85
0,1854
0,0513730
3
28
190,53751
11
0,6451814
1
0,3399
0,1930028
16
29
2570,9556
33
8,8053324
35
2,1339
0,0294076
54
30
2584,0335
78
8,1729476
75
1,3695
0,0317426
43
31
191,85490
06
0,6490824
37
0,0946
0,0539562
55
32
170,96721
85
0,5830543
97
5,9095
3,1020552
27
33
293,44462
83
0,9546810
56
3,0812
2,1581037
28

5.2 Irriversibilitas dan Efisiensi
Komponen /Subsistem Unit PLTP
Darajat
Tabel 3 Eksergi yang Dimusnahkan pada
Subsistem Unit PLTP Darajat
No.
Subsistem/
Komponen
Eksergi yang
Dimusnahkan
(MW)
Efisiensi
Kerja
(%)
1
Final Sep. & Mist
Eliminator
12,80154984 88,23
2
Gland Steam
Ejector
0,01987454 90,67
3 Steam turbine 24,65208873 72,35
4
Seal of Saft
Turbine
0,061829764 59,66
5 Condensor 3,083740633 95,53
6 1st Stage Ejector 0,512556784 63,98
7 Intercondensor 0,739247291 23,13
8
Vacum Pump and
Seal Water
Separator
1,958259499 4,19
9
Pump of Turbine
Washing HE
0,006874862 99,26
10
Main Cooling
Water Pump
1,35822519 87,59
11
Primary
Intercooler Pump
0,00229282 61,28
12
Primary
Intercooler
0,063670751 -
13
Turbine Washing
Heat Exchanger
0,045865597 74,83
14
Cooling Tower +
W
fan

3,822709237 61,79

Berdasarkan hasil perhitungan analisis
eksergi yang ditampilkan pada tabel 3
yakni besarnya nilai irriversibilitas
komponen/subsistem pada pembangkit
listrik tenaga panas bumi secara
keseluruhan disajikan dalam bentuk
diagram seperti yang perlihatkan pada
Gambar 2 sebagai berikut : pada setiap
komponen/subsistem didalam pembangkit
listrik tenaga panas bumi UBP Kamojang
Unit PLTP Darajat Jawa Barat.










Gambar 2 Diagram Grassman Aliran Eksergi pada
Instalasi Pembangkit Listrik Panas Bumi Unit Darajat

5.3 Pembahasan
Dari hasil perhitungan analisis
instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas
Bumi (PLTP) UBP Kamojang Unit PLTP
Darajat terdapat perbedaan mengenai
besarnya energi yang dapat dimanfaatkan
oleh sistem pembangkit. Hal ini telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa
perhitungan dengan menggunakan metode
analisis energi tidak dibatasi oleh kondisi
lingkungan (dead state).
Berdasarkan tabel 3 dan gambar 2
bagian terbesar pemusnahan eksergi terjadi
pada turbin uap, yaitu sebesar 24,65 MW.
Pemusnahan eksergi pada komponen
tersebut berasal dari terjadinya gesekan
antara fluida kerja dengan sudu-sudu
turbin uap yang menyebabkan terjadinya
pembangkitan entropi pada fluida kerja.
Pada tingkatan pertama pembangkitan
entropi sangat menguntungkan untuk
tingkat selanjutnya akan tetapi
pembangkitan entropi pada tingkatan
terakhir merugikan karena pembangkitan
entropi ini tidak dimanfaatkan seperti pada
tingkatan-tingkatan sebelumnya melainkan
langsung dimasukkan kedalam kondensor
[5].
Berdasarkan efisiensi dari
komponen tersebut, subsistem/komponen-
komponen dari pembangkit yang paling
tidak efisien adalah pada bagian sistem
ekstraksi gas (GES). Besarnya efisiensi
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 138
komponen tersebut adalah 4,193 %.
Pompa vakum yang digunakan
membutuhkan konsumsi daya yang sangat
besar yakni 2 MW dengan 1 MW untuk
maasing-masing pompa vakum tersebut.



Gambar 3 Kurva Efisiensi Kerja Komponen/Subsistem
Unit PLTP Darajat
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Bagian terbesar terjadinya pemusnahan
eksergi terjadi didalam turbin uap
sebesar 24,65 MW dengan efisiensi
72,35 %.
2. Komponen/subsistem yang paling tidak
efisien selama proses berlangsung
yakni pompa vakum sebesar 4,19 %.
3. Besarnya laju aliran eksergi yang
dibuang kelingkungan dari sistem
melalui cooling tower juga masih
cukup besar yakni 3,1 MW.

6.2 Saran
Analisis energi dan analisis eksergi
rinci pada instalasi Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi (PLTP) Unit Bisnis
Pembangkit Kamojang Unit PLTP Darajat
Jawa Barat sebaiknya dilaksanakan secara
keseluruhan dengan menggunakan kondisi
operasi performance test dan data manual
desain dari instalasi pembangkit tersebut.
Selain itu, langkah-langkah untuk
meningkatkan performansi termodinamika
selalu mempunyai konsekuensi secara
ekonomi. Untuk itu kajian peningkatan
performansi termodinamika sebaiknya
disertai dengan kajian ekonomi, misalnya
dengan analisis termoekonomi atau eksergi
ekonomi.

DAFTAR NOTASI
Simbol Umum
E, e Energi, energi spesifik
H,h Entalpi, entalpi spesifik
H
o
Entalpi dari reaksi
I,i Ireversibilitas
M Massa
Laju aliran massa
P Tekanan
S,s Entropi, spesifik entropi
T Temperatur
X Kualitas uap

Greek symbol
E, Exergi, spesifik eksergi

Singkatan
COP Coeficient of Performance
CS Cooling System
CT Cooling Tower
CWP Circulating Water Pump
EJ Ejector
GES Gas Extraction System
IC Inter Condensor
MCWP Main Cooling Water Pump
NCG Non-Condensable Gas
PIP Primary Intercooling Pump
PI Primary Intercooler
ST Steam Turbine
SWS Seal Water Separator
TS Transmision of Steam
TWHE Turbine Washing Heat Exchanger

DAFTAR PUSTAKA
1. Dincer Ibrahim., Rosen A. Marc., Thermal
Enenrgy Storage System and Aplications.
Canada : A John Wiley and Sons Ltd
2. Gong, M., and Wall, G., 1997: On
exergetics, economics and optimization of
technical processes to meet environmental
conditions. Proceedings of the conference:
Thermodynamic analysis and
improvement of energy systems, Beijing,
China, 453-460.
3. Kotas, T. J., 1985. The exergy method of
thermal plant analysis. London:
Butterworths.
4. Moran, M. J., 1982. Availability Analysis :
A Giude to Efficien Energy Use. New
Jersey : Pantice-Hall Inc.
0
20
40
60
80
100
8
8
,
2
3
5
0
6
7
5
9

9
0
,
6
7
4
6
6
6
9
2

7
2
,
3
5
3
4
5
0
0
1

5
9
,
6
6
1
6
4
3
6
4

9
5
,
5
2
9
0
8
9
9
8

6
3
,
9
7
6
5
3
7
1
7

2
3
,
1
2
7
8
1
9
4

4
,
1
9
2
7
9
0
7
2

9
9
,
2
6
5
6
1
4
1
3

8
7
,
5
9
2
9
9
3
6
6

6
1
,
2
8
1
1
4
6
8
9

1
,
5
9
5
5
9
1
3
5
9

7
4
,
8
3
3
6
2
9
6

6
1
,
7
9
6
8
2
4
0
5

EFISIENSI SUBSISTEM/
KOMPONEN PLTP (%)
Final Sep. & Mist
Eliminator
Gland Steam Ejector
Steam turbine
Seal of Saft Turbine
Condensor
1st Stage Ejector
Intercondensor
Vacum Pump and
Seal Wat.Sep.
Pump of TWHE
MCWP
Primary Intercooler
Pump
Turbine Washing
Heat Exchanger
Cooling Tower +
Wfan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 139
5. Dincer, Ibrahim., engel, Y.A., 2001.
Energy, entropy and exergy concepts and
their roles in thermal engineering.
Entropy 2001, 3, 116-149.
6. Bejan, A.,Tsatsaronis, G.,Moran M. J.,
1996. Thermal design and optimization.
U.S.A: John Wiley and Sons Inc.
7. Kwambai B. Clety., 2005. Exergy Analysis
of Olkaria I Power Plant, Kenya. Kenya :
Journal.
8. Basri, Hasan., Santoso, Dyos. 2010.
Analisis Eksergi pada Siklus Turbin Gas
Sederhana 14 MW Instalasi Pembangkit
Tenaga Keramasan. Palembang : Jurnal
Teknik Mesin Indonesia.
9. Elwakil, MM., 1985. Powerplant
Technology. McGraww-Hill Book.
10. Turns, R. Stephen dan Kraige R. David.,
2007.Property Tables for Thermal Fluids
Engineering. U.S.A : Cambridge
University Press.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979- -- -587 587 587 587- -- -440 440 440 440- -- -3 33 3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 140
KMP-16

OPTIMALISASI PENYERAPAN PANAS FLUE GAS
PADA MIXED FEED DAN STEAM AIR COIL
CONVECTION SECTION PRIMARY REFORMER (101-B)
PABRIK AMONIAK PUSRI-II


Filius Yuliandi
1
, Yuliana
2*

1
Manajer Rendal Produksi, Departemen Rendal Produksi, PT.Pupuk Sriwidjaja
Palembang,
Jalan Mayor Zen, Palembang 30118
2
Process Engineer Pusri-II, Kelompok Teknik Proses Bidang I, Departemen Rendal
Produksi, PT.Pupuk Sriwidjaja Palembang, Jalan Mayor Zen, Palembang 30118
*Korespondensi Pembicara. Phone : +62 811 786 711; +62 819 588 04370
Email : filius@pusri.co.id, yuliana@pusri.co.id


ABSTRAK

Convection section merupakan salah satu bagian dari unit Primary
Reformer (101-B) di Pabrik Amoniak Pusri-II yang berfungsi untuk
memanfaatkan panas flue gas dari radian section dan auxiliary boiler.
Internal convection section terdiri dari beberapa coil diantaranya mixed
feed dan steam air coil dimana fluida didalam coil tersebut akan
mengambil panas flue gas. Dari hasil perhitungan kemampuan
pengambilan panas dari kedua coil tersebut diperoleh duty yang lebih
rendah dibandingkan nilai design sehingga menyebabkan inefisiensi
energi. Langkah perbaikan yang dilakukan untuk mengoptimalkan
penyerapan panas flue gas dengan cara chemical cleaning pada sisi luar
coil. Dengan perbaikan tersebut, terjadi peningkatan jumlah panas flue
gas yang diserap oleh mixed feed dan steam air coil sehingga konsumsi
fuel gas untuk pembakaran di primary reformer lebih efisien .
Berkurangnya fuel gas selain memberikan keuntungan finansial, juga
mengurangi emisi CO
2
yang keluar melalui stack gas.

KEYWORDS : convection section, flue gas, primary reformer


1. PENDAHULUAN

Proses reforming merupakan proses utama untuk memproduksi gas sintesa sebagai
bahan baku pembuatan amoniak. Reforming pada teknologi Kellog seperti yang
digunakan pada Pabrik Pusri-II dilakukan dua tahap. Primary Reformer (101-B)
adalah reformer pertama yang berfungsi untuk mengkonversi hidrokarbon dan steam
menjadi gas sintesa CO, CO
2
dan H
2
. Gas alam proses sebagai sumber hidrokarbon
dan steam terkonversi pada tube-tube yang berisi katalis nikel oksida seperti yang
ditunjukkan oleh reaksi (1)

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979- -- -587 587 587 587- -- -440 440 440 440- -- -3 33 3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 141
CH
4(g)
+ 2H
2
O
(g)
CO
2(g)
+ 4H
2(g)
H
298
= +39.44 kcal/g-mol
(1)

Reaksi pembentukan gas sintesa termasuk reaksi endotermis sehingga
memerlukan panas dari luar sistem untuk melangsungkan reaksi. Panas disuplai dari
pembakaran gas alam (fuel gas) di radian section. Panas sisa (flue gas) dari
pembakaran fuel gas dimanfaatkan untuk memanaskan coil-coil di convection section.
Flue gas dari radian section memiliki temperatur design 1023
o
C sedangkan flue gas
dari auxiliary boiler memiliki temperatur design 443
o
C. Setelah panas flue gas
termanfaatkan seluruhnya, flue gas dengan temperatur design 223
o
C akan ditarik
keluar oleh Induced Draft Fan ke lingkungan melalui cerobong (stack).

Primary reformer Pusri-II memiliki beberapa coil di area convection section
dengan jenis coil dan fluida yang berbeda-beda. Keseluruhan coil ini memanfaatkan
panas sisa pembakaran di radian section dan auxiliary boiler. Dari catatan histori
peralatan primary reformer diketahui bahwa sebagian besar coil-coil convection
section masih menggunakan original material sejak pabrik ini beroperasi pada tahun
1974. Hal ini berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya heat loss atau rugi
panas. Selain itu, coil- coil convection section tidak beroperasi dengan maksimal
seperti yang ditunjukkan dari data aktual pada fluida yang memanfaatkan panas flue
gas, temperatur outlet fluida untuk sebagian coil tidak mencapai design.
Mempertimbangkan faktor-faktor tersebut sebagai upaya meningkatkan efisiensi
pemakaian energi di primary reformer Pusri II diperlukan evaluasi pada area
convection section termasuk upaya perbaikan pemanfaatan panas. Evaluasi yang
dimaksud adalah menghitung efisiensi setiap coil yang menunjukkan kemampuan coil
dalam penyerap panas dari flue gas di convection section. Langkah perbaikan yang
dilakukan untuk mengoptimalkan penyerapan panas flue gas dengan cara chemical
cleaning pada sisi luar coil yang teridentifikasi memiliki efisiensi rendah. Setelah
dilakukan langkah perbaikan tersebut, kemudian dapat dilakukan evaluasi akhir
jumlah penghematan energi (fuel gas) di Primary Reformer.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979- -- -587 587 587 587- -- -440 440 440 440- -- -3 33 3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 142

Dari hasil evaluasi ini diharapkan memberikan gambaran penghematan energi
(fuel gas) yang diperoleh dengan melakukan upaya perbaikan pemanfaatan panas di
coil-coil convection section.

2. METODOLOGI

Evaluasi convection section primary reformer dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:

2.1 Pengumpulan Data

Pengambilan data aktual dilakukan pada bulan November dan Desember 2011
(sebelum dilakukan perbaikan) serta Juni 2012 (setelah dilakukan perbaikan). Data-
data yang dibutuhkan meliputi temperatur inlet dan outlet coil, tekanan, laju alir, dan
komposisi. Convection section Pusri-II terdiri dari 9 coil dengan data design dan
aktual seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Data Coil-Coil Convection Section Pusri-II
N
o
Jenis Coil Fluida
Temp (
o
C) Tek
(bara)
Laju
Alir
(kg/jam)
T
in
T
out
1. Mixed Feed Gas Proses dan MP Steam Design 205 446 38,5 69.630
Aktual 199 415 34 69.630
2. Steam Air Udara Proses & MP Steam Design 239 500 35 40.493
Aktual 254 469 35 32.204
3. HT Superheated High Pressure Steam Design 358 449 105 164.412
Aktual 359 434 95 189.000
4 LT Superheated High Pressure Steam Design 315 359 105 164.412
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979- -- -587 587 587 587- -- -440 440 440 440- -- -3 33 3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 143
Aktual 309 359 95 189.000
5. Hot BFW Coil Boiling Feed Water Design 291 310 110 125.830
Aktual 281 286 97 143.264
6. Cold BFW Coil Boiling Feed Water Design 117 316 110 16.130
Aktual 109 280 97 18.365
7. Secondary Sat.
Coil
Saturation Water Design 199 215 40 62.136
Aktual 199 215 37 53.000
8. Primary Sat.
Coil
Saturation Water Design 153 199 40 62.136
Aktual 147 199 37 53.000
9. NG Coil Fuel Gas Desain
Aktual
21
26
141
140
5,3
5,5
10475
11708


2.2 Perhitungan Energi Panas (Duty)

Metode perhitungan yang digunakan untuk mengetahui efisiensi coil dan total
heat loss adalah menghitung semua neraca panas di setiap coil meliputi energi panas
yang diterima setiap coil serta energi panas yang diberikan flue gas ke coil-coil di
convection section baik sebelum dan sesudah dilakukan perbaikan (chemical
cleaning). Perhitungan duty ini menggunakan perangkat lunak AspenHysys versi 7.3.
Properti package yang dipakai adalah Peng Robinson. Untuk penyederhanaan
perhitungan duty, permodelan simulasi pada Aspen Hysys dilakukan secara parsial
dan dibagi menjadi dua model. Breakdown coil adalah model untuk perhitungan duty
dari sisi proses sebagai panas yang diterima coil dan fuel combustion model
perhitungan duty dari sisi flue gas sebagai panas yang diberikan flue gas ke coil-coil.
Skema sistem convection section disajikan pada gambar 1.


Gambar 1. Skema Sistem Convection Section

2.2.1 Duty Sisi Proses (Breakdown Coil Model)
Perhitungan duty dari sisi proses dilakukan dengan memodelkan coil di Aspen Hysys
satu per satu menurut aliran fluida proses. Simulasi pada model ini mengabaikan
panas flue gas yang diberikan ke coil-coil dan sistem yang ditinjau hanya dari fluida
yang mengalir didalam coil. Tujuan dari permodelan ini adalah menghitung duty yang
diserap oleh fluida di masing-masing coil.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979- -- -587 587 587 587- -- -440 440 440 440- -- -3 33 3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 144


Gambar 2. Tampilan Breakdown Coil Model di Aspen Hysys untuk Mixed Feed dan
Steam Air Coil.

2.2.2 Duty Sisi Flue Gas (Fuel Combustion Model)
Duty dari sisi flue gas dihitung dengan memodelkan reaksi pembakaran fuel gas di
Aspen Hysys sehingga diperoleh panas sisa pembakaran flue gas. Sistem pembakaran
ini terintegrasi dengan keseluruhan coil untuk memanfaatkan panas flue gas. Tujuan
dari permodelan ini adalah menghitung duty yang diberikan flue gas untuk setiap coil.


Gambar 3. Tampilan Fuel Combustion Model di Aspen Hysys.

2.3 Efisiensi Coil, Heat Loss, dan Potential Heat Recovery

Efisiensi coil didapat dengan membandingkan duty dari sisi proses sebagai energi
panas yang diterima oleh coil dan duty dari sisi flue gas sebagai energi panas yang
diberikan flue gas ke coil. Heat loss sendiri dihitung dengan cara selisih antara total
energi panas yang diberikan flue gas ke coil-coil dengan total energi panas yang
diterima coil-coil.

2.4 Kajian Hasil Perbaikan di Convection Section.

Dengan mempertimbangkan hasil perhitungan efisiensi coil dan heat recovery
sebelum dan setelah dilakukan perbaikan, akan dilakukan kajian terhadap hasil
perbaikan meliputi keuntungan ditinjau dari finansial berupa penghematan fuel gas
dan dari lingkungan berupa pengurangan emisi gas CO
2
hasil pembakaran fuel gas
tersebut.


3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembersihan coil yang paling umum dilakukan saat ini adalah hydroblasting.
Metode ini dilakukan penyemprotan dengan chemical cleaner kemudian pembilasan
dengan demin water. Namun dewasa ini, tersedia teknik baru dengan menggunakan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979- -- -587 587 587 587- -- -440 440 440 440- -- -3 33 3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 145
dry ice blasting with air untuk menghindari bahaya liquid merusak batu tahan api
(refractory) (Combs, 2004). Pada saat Pusri II melaksanakan Turn Around tahun 2012
dilakukan upaya pembersihan secara hydroblasting (chemical cleaning) pada 2 coil
yaitu mixed feed coil dan steam air coil dari 3 coil yang direncanakan yaitu mixed
feed coil, steam air coil dan saturator coil. Saturator coil tidak bisa dilakukan chemical
cleaning karena kesulitan teknis akibat keterbatasan akses masuk ke dalam coil.
Pekerjaaan pembersihan ini memerlukan waktu selama 4 hari (14-17 Mei 2012).

Setelah dilakukan pembersihan dan Pabrik Amoniak P-II sudah beroperasi
normal dilakukan perhitungan dan evaluasi efisiensi mixed feed coil dan steam air
coil. Perhitungan ini dilakukan pada data bulan Juni 2012 dengan kondisi rate gas
95%. Hasil perhitungan efisiensi coil disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Efisiensi Coil Sebelum dan Setelah Pembersihan
Coil
Efisiensi (%)
Sebelum Setelah
Mixed Feed Coil 55,60 69,68
Steam Air Coil 65,92 80,62


Setelah dilakukan pembersihan (chemical cleaning) diperoleh kenaikan
temperatur outlet Mixed feed Coil dan Steam Air Coil masing masing 21
o
C dan 13
o
C. Berdasarkan simulasi yang dikembangkan menggunakan perangkat lunak Aspen
Hysys dengan kenaikan temperatur outlet mixed feed coil sebesar 21
o
C, maka
diperoleh heat recovery termanfaatkan (duty terserap dari sisi proses) sebesar 1,33
MW atau setara dengan 108,7 MMBTU per hari. Sedangkan untuk steam air coil
dengan kenaikan temperatur outlet steam air coil sebesar 13
o
C, maka heat recovery
termanfaatkan (duty terserap dari sisi proses) sebesar 0,59 MW atau setara dengan
47,9 MMBTU per hari.

Tabel 3. Pengambilan Panas Sebelum dan Setelah Pembersihan (Heat Recovery)

Jenis Coil
MMBTU per jam
% Kenaikan
Sebelum Setelah
Mixed Feed Coil 19,37 23,89 23,38
Steam Air Coil 10,51 12,5 19,00
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979- -- -587 587 587 587- -- -440 440 440 440- -- -3 33 3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 146

Gambar 4. Perbandingan Pengambilan Panas Sebelum dan Setelah Pembersihan


Dari Tabel 3 diperoleh selisih antara pengambilan panas sebelum dan setelah
perbaikan sebesar 1,91 MW atau setara 156,5 MMBTU per hari. Selisih ini
merupakan besarnya heat recovery sebagai ukuran energi panas yang berhasil
dimanfaatkan setelah dilakukan pembersihan (chemical cleaning). Besarnya heat
recovery tersebut apabila dikalikan dengan harga gas alam U$ 3,7 per MMBTU akan
didapat potensi keuntungan secara finasial ditaksir mencapai 1,6 Milyar rupiah per
bulan (asumsi : 1U$ : 9000 IDR).

Selain itu dengan bertambahnya heat recovery, temperatur proses ikut naik
sehingga akan mengurangi kebutuhan fuel gas secara keseluruhan maka akan
mengurangi emisi gas CO
2
yang dibuang ke lingkungan. Berdasarkan data flow fuel
gas sebelum dan setelah dilakukan pembersihan pada rate gas yang sama terdapat
pengurangan flow fuel yang cukup besar seperti disajikan pada Tabel 4. Potensi
pengurangan emisi gas CO
2
yang dihasilkan secara perhitungan adalah sebesar 7%
dibanding sebelum dilakukan pembersihan coil.

Tabel 4. Perbandingan Flow Fuel Gas Sebelum dan Setelah Pembersihan


4. KESIMPULAN

Efisiensi sebagian coil di convection section Primary Reformer (101-B) Pabrik
Amoniak P-II sudah menurun. Pembersihan coil dengan efisiensi rendah (mixed
feed coil dan steam air coil) telah dilaksanakan pada TA Pusri-II selama 4 hari
(14-17 Mei 2012).
Hasil evaluasi setelah dilakukan pembersihan terjadi peningkatan efisiensi pada
mixed feed coil sebesar 23% dan steam air coil sebesar 19%.
Secara finansial setelah pembersihan terjadi kenaikan duty coil sebesar 156,5
MMBTU per hari setara dengan penghematan sebesar 1,6 milyar rupiah per bulan.
Mixed Feed Coil Steam Air Coil
10
14
18
22
26
Sebelum
Setelah
M
M
B
T
U

p
e
r

h
a
r
i
Flow Fuel Gas Sebelum Setelah % Penurunan
Divisi 5,5 5,1
7,69
Flow (kg/hr) 11250,3 10384,9
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979 ISBN : 979- -- -587 587 587 587- -- -440 440 440 440- -- -3 33 3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 147
Pembersihan coil juga memberikan pengaruh positif dengan berkurangnya emisi
gas CO
2
yang dibuang ke lingkungan sebanyak 7% dibandingkan sebelum
pembersihan.


REFERENCES

Combs, Glenn. 2004. Chem-Engineering Service. 24 April 2012.
http://chemengservices.com/heat-r-rate-r-pgm.html

Kern, Donald Q. 1965. Process Heat Transfer. Tokyo : International Edition,
McGraw-Hill Book Company

Pulman Kellog, 1973, Operating Instruction Manual 660 MPTD Ammonia Plant.
USA : The MW Kellog Company



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 148
KMP-17

Analisis Operasi Optimal Manajemen Pembangkitan di Propinsi
Bengkulu dalam Rangka Mengatasi Krisis Energi


Afriyastuti Herawati
1*
, Yuli Rodiah
1

1
Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Bengkulu, Jl. WR
Supratman Kandang Limun, Bengkulu
*
Koresponensi Pembicara. Phone: +62 81373930142, Fax: +62 736349134
Email: rasya_hera@yahoo.com


ABSTRAK
Manajemen sistem pembangkitan sangat diperlukan, terutama pada saat ini, karena
semakin berkurangnya sumber-sumber energi berbahan bakar fosil. Upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan mengadakan sumber-sumber energi baru terbarukan
ataupun mengoptimalkan pembangkit yang ada. Di daerah-daerah yang menggunakan
sistem tenaga listrik PLTA dan pembangkit listrik termis seperti di propinsi Bengkulu,
sangat diperlukan adanya pembagian beban antara masing-masing pembangkit
sehingga dapat menghemat biaya bahan bakar yang pada akhirnya dapat mengurangi
krisis energi. Pada penelitian ini dianalisis operasi optimal manajemen sistem
pembangkitan dengan menggunakan metode La-Grange dan metode Gradien. Analisis
dilakukan pada sistem pembangkitan di propinsi Bengkulu. Dari analisis didapatkan
bahwa metode gradien memberikan hasil perhitungan biaya bahan bakar yang lebih
minimum daripada metode la grange, namun dengan total pembangkitan yang lebih
kecil.

Keywords: metode gradien, metode la-grange, operasi optimal.

1. PENDAHULUAN
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan semakin berkembangnya
kemajuan teknologi saat ini, menjadikan kebutuhan akan energi listrik semakin
meningkat. Peningkatan konsumsi energi listrik ini harus dibarengi pula oleh
peningkatan produksi listrik. Semakin berkurangnya cadangan bahan bakar fosil yaitu
batu bara dan minyak bumi dan isu pemanasan global menjadikan pemerintah harus
mencari sumber energi baru dan terbarukan atau mengoptimalkan pembangkit yang
sudah ada untuk mengatasi krisis energi ini.
Pembangkit-pembangkit yang ada saat ini sebagian besar menggunakan
pembangkit hidro dan termis terutama di propinsi Bengkulu (Gambar 1). Manajemen
sistem pembagian beban antara unit pembangkit hidro dan unit pembangkit termis
harus dilakukan untuk mendapatkan biaya bahan bakar yang minimum dengan
memperhatikan batasan minimal pembangkitan. Penghematan biaya produksi dapat
dilakukan dengan mengoptimalkan pembangkit hidro, karena ketersediaan air untuk
pembangkitan di propinsi Bengkulu masih sangat memadai. Dengan menggunakan
metode La grange dan metode gradien akan dihasilkan optimasi penggunaan
pembangkit termis yang menggunakan bahan bakar minyak (dapat menghemat
pemakaian bahan bakar).
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 149

Gambar 1. Peta sistem pembangkit di Propinsi Bengkulu

Djiteng Marsudi (2006) dalam bukunya Operasi Sistem Tenaga Listrik
menjelaskan bahwa pada metode La Grange untuk mendapatkan biaya bahan bakar
yang minimum, maka suatu sistem pembangkit termis (misalnya PLTU, PLTD atau
PLTG) memiliki fungsi beban pembangkit termis yang dirumuskan :
1
( )
j n
t j Tj
j
F F P t
=
A
=
= A

(1)
dengan :
F
t
= biaya bahan bakar dalam sistem selama selang waktu t
F
j
(P
Tj
) = biaya bahan bakar unit termis ke-j
P
Tj
= beban unit termis ke j
n = jumlah unit temis
j = indeks nomor unit-unit pembangkit

sedangkan persamaan neraca dayanya adalah :

P
B
+ P
L
P
H
P
T
= 0 (2)
dengan :
P
B
= beban sistem
P
L
= rugi-rugi daya sistem
P
H
= daya yang dibangkitkan subsistem hidro
P
T
= daya yang dibangkitkan subsistem termis

sehingga persamaan La Grange menjadi :

1 1 1 1 1 1
( ) ( )
i t i t i t i t i t i t
T i B i L i H i T i H i
i i i i i i
L F P t P t P t P t P t q P t Q
= = = = = =
= = = = = =

= A + A + A A A A
` `
) )

(3)

dimana dan adalah pengali La Grange.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 150
Untuk memperoleh biaya bahan bakar yang minimum maka persamaan diatas harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
0
T
L
P
c
=
c
dan 0
H
L
P
c
=
c
(4)
sehingga diperoleh :
( )
T
L
T T
F P
P
P P

c
c
= +
c c
(5)

( )
H
L
H H
q P
P
P P

c
c
= +
c c
(6)
Sedangkan untuk optimisasi hidro-termis menggunakan metode gradien dijelaskan
dengan menggunakan persamaan :
( )
H
H H
H
q P
q P
P
c
A = A
c
(7)
Untuk perubahan pemakaian air, sedangkan untuk kenaikan biaya bahan bakan
subsistem termis dirumuskan :
( )
( )
T
T T
T
F P
F P P
P
c
A = A
c
(8)
Dengan mengabaikan nilai PL maka persamaan (2) dapat ditulis kembali menjadi
P
B
P
H
P
T
= 0 (9)
P
H
= - P
T
(10)
Dan selanjutnya :
( ) ( )
( ) ( )
T T
T T H
T T
F P F P
F P P P
P P
c c
A = A = A
c c
(11)
( )
T
F P q | A = A (12)
( )
( )
T
T
H
H
F P
P
q P
P
|
c
c
=
c
c
(13)
2. METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan analisis dari data-data pembangkit
yang ada di propinsi Bengkulu. Adapun pembangkit yang ada yaitu PLTA Musi dan
PLTA Tess untuk pembangkit hidro, sedangkan untuk pembangkit termis yaitu PLTD
Pulau Baai.
Karakteristik dari masing-masing pembangkit di Bengkulu sampai tahun 2011
ditunjukkan pada tabel 1 s/d tabel 6. (PLN, 2010) :
Tabel 1
Data karakteristik PLTA Musi Unit 1, 2 dan 3





Tabel 2
Data karakteristik PLTA Tess Unit 1 dan 2
Daya yang dibangkitkan (MW) Debit air (m
3
/dt)
28.4
65.6
71
7.9
18.3
19.9
Daya yang dibangkitkan (MW) Debit air (m
3
/dt)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 151





Tabel 3
Data Karakteristik PLTA Tess Unit 4,5,6 dan 7






Tabel 4
Data karakteristik PLTD Pulau Baai Unit 1
Daya (MW) Konsumsi BBM (L/jam) Harga BBM
(Rp/L)
Biaya (Rp/jam)
1.41 4.2332 4500 19049.40
3.6 4.3939 4500 19772.55
4.04 4.4358 4500 19961.10

Tabel 5
Data karakteristik PLTD Pulau Baai Unit 2 dan 3
Daya (MW) Konsumsi BBM (L/jam) Harga BBM
(Rp/L)
Biaya (Rp/jam)
2.2 2.433 4500 10948.50
5.8 6.984 4500 31428
6.3 8.163 4500 36733.50

Tabel 6
Data karakteristik PLTD Pulau Baai Unit 4 dan 5

Daya (MW) Konsumsi BBM (L/jam) Harga BBM
(Rp/L)
Biaya (Rp/jam)
0.8 0.58 4500 2610
1.8 0.973 4500 4378.5
2.4 1.3022 4500 5859.9

Berdasarkan data-data pembangkit maka dilakukan perhitungan dan analisis untuk
mendapatkan operasi yang optimum menggunakan metode La Grange dan Gradien.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Operasi optimum manajemen pembangkitan dengan metode La Grange
didapatkan dengan perhitungan menggunakan persamaan (1) sampai persamaan (6),
dimana nilai total daya yang dibangkitkan berdasarkan jenis pembangkit ditunjukkan
pada tabel 7.
Tabel 7
Operasi optimum manajemen pembangkitan dengan metode La Grange
Jenis Pembangkit Total daya yang dibangkitkan (MW)
0.165
0.597
0.66
8.039
8.1219
8.1269
Daya yang dibangkitkan (MW) Debit air (m
3
/dt)
1.5
3.8
4.4
0.7133
1.655
2.0311
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 152
PLTA 199.87
PLTD 10.12
Sistem 210

Biaya produksi listrik setiap jam pengoperasian adalah 90.44 $/h.

Perhitungan dengan metode Gradien dilakukan dengan menggunakan persamaan (7)
sampai persamaan (13). Nilai daya optimum yang dihasilkan dengan metode ini
ditunjukkan pada tabel 8.


Tabel 8
Operasi optimum manajemen pembangkitan dengan metode Gradien
Jenis Pembangkit Total daya yang dibangkitkan (MW)
PLTA 185.26
PLTD 9.75
Sistem 195

Biaya produksi listrik adalah 86.51 $/h.


Gambar 2. Perbandingan total daya sistem hidro-termis

Dari hasil-hasil pada Tabel 7 dan 8 terlihat bahwa perhitungan operasi optimum
manajemen pembangkitan dengan metode gradien didapatkan hasil yang lebih rendah
biaya produksinya dibandingkan dengan metode la grange. Namun total daya yang
dibangkitkan sistem, untuk metode la grange lebih besar daripada dengan metode
gradien seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Hal ini dikarenakan pada metode gradien
penggunaan pembangkit hidro lebih diperhitungkan dibanding pembangkit termis.
Tetapi jika dibanding kedua metode akan menghasilkan keadaan optimal pada
penggunaan PLTA sebesar 95% dari total pembangkitan.
Dalam optimisasi hidro-termis, pembangkit hidro yaitu PLTA sangat
bergantung pada ketersediaan debit air. Selama ketersediaan air mencukupi untuk
pembangkitan yang optimal maka pembangkit hidro dapat maksimal mengurangi
pemakaian pembangkit termal dan membuat nilai produksi menjadi kecil.
Operasi optimum dalam manajemen sistem pembangkitan sangat penting
untuk dianalisis untuk mendapatkan biaya bahan bakar yang paling minimum. Dengan
minimumnya biaya bahan bakar berarti minimum pula penggunaan pembangkit
0
50
100
150
200
250
PLTA PLTD Sistem
T
o
t
a
l

d
a
y
a

(
M
W
)

Jenis pembangkit
metode La Grange
metode Gradien
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 153
termis, yang artinya minimum pula penggunaan bahan bakar minyak sehingga
akhirnya dapat mengurangi krisis energi.

4. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Optimisasi terjadi pada saat penggunaan PLTA lebih banyak dibandingkan
pembangkit termis (optimasi metode gradien).
2. Optimasi terjadi dengan penggunaan PLTA sebesar 95% dari total
pembangkitan.

Saran
Untuk perhitungan selanjutnya dapat dilakukan dengan perhitungan dengan
memperhitungkan rugi-rugi jaringan.

5. REFERENSI
Allen J Wood, Bruce F Wollenberg (1984), Power Generation Operation and Control,
John Wiley & Sons Inc, Canada
Djiteng Marsudi (2006), Operasi Sistem Tenaga Listrik, Graha Ilmu, Yogyakarta,
Indonesia.
Djiteng Marsudi (2005), Pembangkitan Energi Listrik, Erlangga, Jakarta.
PLN penyaluran dan Pusat Pengaturan Beban Sumatera (2009), Peta Jaringan Propinsi
Bengkulu, Bengkulu.
Hadi Saadat (1999), Power System Analysis, New York.
Very Gusti Anshar (2010), Analisis Operasi Optimal Penjadwalan Pembangkitan
Menggunakan Metode La-Grange dan Metode Gradien 1, Skripsi, Universitas
Bengkulu.
William.D, Stevenson Jr (1990), Analisis Sistem Tenaga Listrik, edisi ke-4, Erlangga,
Jakarta.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 154
KMP-18

ANALISIS PENGARUH WAKTU DAN TEMPERATUR
BUBBLI NG TERHADAP PENURUNAN KADAR Fe PADA
PROSES DRY REFI NI NG DI DEPARTEMEN METALURGI
PT KOBA TIN

*)
Fitleny Pendi, A. Taufik Arief
**)

*)
Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Bangka Belitung

**)
Jurusan Teknik Pertambangan FakultasTeknik Universitas Sriwijaya
Jalan Raya Palembang Prabumulih Km 32, Inderalaya Ogan Ilir,
E-Mail: taufik_arief09@yahoo.co.id

ABSTRAK
Proses peleburan (smelting) bijih timah di PT Koba Tin, dilakukan dengan menggunakan
tanur pantul (reverberatory furnace) dengan suhu 1250C - 1350C akan menghasilkan timah cair
(crude tin) dengan kadar Sn antara 99,0% - 99,90%. Sedang unsur pengotornya berupa Fe, Pb, Sb, As,
Cu dan Ni yang merupakan unsur pengotor utama dalam timah. Setelah proses peleburan, proses
pemurnian timah (refining). Salah satu pengotornya adalah unsur Fe. Kadar Fe yang terkandung
dalam timah hasil peleburan ini sangat tinggi lebih besar dari 100 ppm, bahkan mencapai 3.000 ppm,
sehingga perlu dilakukan proses pemurnian untuk memenuhi standar tin ingot specification. Bubbling
atau boiling merupakan tahapan pengangkatan endapan yang mengendap di dasar ketel ke atas
permukaan logam cair dengan cara mengalirkan udara dari dasar ketel dengan tekanan tertentu pada
proses dry refining. Analisis pengaruh waktu bubbling dan temperatur terhadap penurunan kadar Fe
dilakukan pengamatan selama 7 (tujuh) jam pada ketel dan setiap jam dilakukan pengambilan sampel
pada bagian tengah zona bubbling. Pada setiap pengambilan sampel dilakukan juga pengukuran
temperatur serta mengamati kondisi kondisi yang terjadi dalam setiap jam. Kemudian sampel pin
dibawa ke Laboratorium untuk dianalisa tingkat penurunan kadar Fe. Dari analisis yang dilakukan,
didapat hubungan antara waktu bubbling dan temperatur terhadap kadar rata rata Fe yaitu semakin
lama bubbling dan semakin rendah temperatur (> 232C titik didih Sn) yang dipakai pada saat proses
tersebut maka kadar unsur pengotor Fe dalam logam timah cair akan semakin murni atau rendah.

Kata kunci : Peleburan Timah, Kadar Fe, furnace, Bubbling, Temperatur.


1. LATAR BELAKANG
Sebagai salah satu produsen timah, PT
Koba Tin telah mengoperasikan kegiatan
penambangan timah yang terintegrasi mulai dari
eksplorasi, penambangan, peleburan hingga
pemasaran produk ke luar negeri.
Produk timah PT Koba Tin dari peleburan di
Smelter berbentuk timah batangan dengan merek
KOBA dengan kandungan timah 99,90% dan
terdaftar pada London Metal Exchange (LME).
Untuk memenuhi permintaan timah dengan
kandungan timah hitamnya maksimum 0,01% dan
kandungan Sn minimum 99,90%. Produk timah
PT Koba Tin telah memenuhi standar BSEN 610 -
1996 dan ASTM B339-1995 Grade A, dimana
kedua standar tersebut bertaraf internasional.
Proses peleburan (smelting) bijih timah
di PT Koba Tin, dilakukan dengan menggunakan
tanur pantul (reverberatory furnace). Proses ini
merupakan proses pyrometallurgy, yang
dalam proses ekstraksinya menggunakan
energi panas yang tinggi (bisa sampai
1700C). Hasil peleburan bijih timah dengan
suhu 1250C - 1350C akan menghasilkan
timah cair (crude tin) dengan kadar Sn antara
99,0% - 99,90%. Sedang unsur pengotornya
berupa besi (Fe), timbal (Pb), antimoni (Sb),
arsen (As), tembaga (Cu) dan nikel (Ni) yang
merupakan unsur pengotor utama dalam
timah. Untuk memperoleh kualitas logam
timah dengan standar ekspor, maka
diperlukan proses pemurnian terhadap unsur -
unsur pengotor tersebut sampai batas
maksimal. Dry refining merupakan suatu
proses pemurnian untuk menghilangkan
unsur-unsur pengotor pada timah cair
tersebut. Bubbling atau boiling merupakan
tahapan pengangkatan endapan yang
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 155
mengendap di dasar ketel ke atas permukaan
logam cair dengan cara mengalirkan udara dari
dasar ketel dengan tekanan tertentu pada proses
dry refining.
Tahapan bubbling dilakukan karena pada
temperatur kurang dari 500C kandungan besi
yang ada dalam timah akan terlarut dan
mengendap membentuk presipitasi yang akan
semakin banyak.
Berdasarkan keadaan di atas, maka perlu
dilakukan penelitian dan pengkajian tentang
hubungan waktu bubbling dan temperatur
terhadap penurunan kadar Fe pada proses dry
refining.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui
kondisi secara umum kadar unsur pengotor Fe
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada
saat input dan output peleburan. Dalam proses
pemurnian logam timah cair dari unsur pengotor
khususnya Fe dalam ketel rafinasi pada proses dry
refining, serta memahami sejauh mana pengaruh
bubbling terhadap penurunan kadar Fe. Kemudian
menganalisis hubungan antara waktu bubbling
terhadap penurunan kadar Fe, hubungan antara
temperatur dengan kadar Fe serta hubungan antara
ketiganya yaitu waktu bubbling, temperatur dan
kadar Fe pada proses dry refining selama
berlangsungnya proses bubbling tersebut.

2. PUSTAKA
2.2. Peleburan Timah di Koba Tin
Pada dasarnya proses peleburan adalah
suatu rangkaian proses pemisahan logam timah
dari unsur-unsur yang tidak dikehendaki yang
terdapat dalam konsentrat timah. Konsentrat
timah yang dilebur mengandung mineral utama
timah seperti kasiterit (SnO
2
), disamping itu
masih mengandung mineral-mineral sampingan
seperti Ilmenit (FeTiO
3
), Pyrit (FeS
2
), Rutile
(TiO
2
), Arsenopyrit (FeAsS), Pasir Kuarsa
(SiO
2
) dan lain-lain. Proses peleburan masih
menghasilkan timah yang masih kotor, adapun
proses peleburan pada pokoknya adalah:
1. Merubah senyawa timah dalam konsentrat
timah yang berbentuk SnO
2
, menjadi timah
bebas yang tidak bersenyawa dengan unsur
lain.
2. Membentuk cairan yang disebut slag, yang
tidak saling melarut dengan timah bebas
yang terbentuk, mempunyai berat jenis
yang lebih kecil daripada timah bebas yang
mengikat seluruh unsur-unsur tak
dikehendaki dalam konsentrat timah.

SnO
(slag)
+ Fe
(logam)
Sn
(logam)
+ FeO
(slag)
....... .....(i)
dimana:

X= =
...........(ii)
Dari penelitian Davey, bahwa
keseimbangan tersebut dapat
disederhanakan sebagai berikut :


X = A B.................. (iiib)
..............
..... .. (iv)
.............
.... (v)
Artinya ada suatu keseimbangan
antara kadar timah dan kadar besi dalam
logam dengan kadar besi dan kadar timah
didalam slag. Dari data diatas didapatkan
bahwa kualitas dan kehilangan timah bersama
slag dipengaruhi oleh kadar besi.
Dilihat dari tujuan peleburan dan bila
diterapkan dalam reaksi keseimbangan di
atas, hal ini tidak mungkin karena dua bagian
yang bertentangan disebabkan reaksi tersebut
harus menghasilkan:
1. Kadar besi yang rendah dalam
logam.
2. Kadar timah yang rendah dalam
slag.
Bila kadar besi dalam logam rendah,
berarti besarnya A tambah kecil tambah kecil
untuk X constant, akibat besarnya B harus
besar, hal ini hanya dapat bila kadar Sn dalam
slag besar.
Oleh sebab itulah untuk mencapai
dua tujuan tersebut di atas harus dilakukan
dua reaksi yang terpisah. Dalam hal masa
reaksi pertama menghasilkan kadar Fe dalam
logam rendah, reaksi kedua menhasilkan
kadar Sn dalam slag rendah. Hal ini
merupakan alasan mengapa peleburan timah
dilakukan dalam dua tahap yaitu Tahap
pertama peleburan bijih menghasilkan timah
kasar dengan kadar besi rendah dan
menghasilkan slag I, dengan kadar Sn relative
tinggi ( 20% Sn)
Dan Tahap kedua peleburan slag I
menghasilkan timah rendah dan paduan
logam timah besi (Hardhead) yang nantinya
dimasukan kedalam peleburan konsentrat
untuk diambil timahnya.
2.3 Pemurnian Terhadap Besi
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 156
Cara untuk menghilangkan besi
didasarkan pada sifat dari besi, yang dengan timah
dapat membentuk persenyawaan persenyawaan
yang pada suhu suhu tertentu tidak larut dalam
timah cair. Diantaranya beberapa persenyawaan
yang mungkin terbentuk, hanya ada dua yang
terpenting FeSn dengan 32% Fe dan FeSn
2
dengan
19% Fe.
Selama pendinginan timah cair hasil tapping,
yang mengandung besi sampai setinggi 2%, maka
pada waktu suhunya mencapai kira kira 800C
akan terjadi pengendapan besi sebagai FeSn. Bila
pendinginan dilanjutkan, maka pengandapan FeSn
akan berbentuk kristal kristal halus akan
bertambah banyak, sedangkan timah cairnya
akan lebih murni.
Pada waktu suhunya mencapai 500C,
maka akan terbentuk persnyawaan baru.
Kristal Kristal FeSn (32% FeSn) akan
bereaksi dengan cairan timah disekelilingnya
membentuk FeSn
2
(19%) Fe). Pada suhu
500C, kadar besi yang larut dalam timah cair
tinggal 0,1%. Pendinginan lebih lanjut
dibawah 500C menghasilkan pengendapan
besi hanya dalam bentuk FeSn
2
(19% Fe).
Pada titik lebur timah 232C, kadar kelarutan
besi didalam timah adalah 0,003%.




Sumber: Fathi Habashi (Textbook of Metallurgie) 2002.
Gambar 2.1 Diagram Fase Timah Besi

3. METODE
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 7 Mei
s.d. 7 Juli 2012 di Departemen Metalurgi PT
Koba Tin tepatnya di smelter peleburan dan
pemurnian timah yang berlokasi di Kecamatan
Koba, Kabupaten Bangka Tengah.

3.1. Pengumpulan data
Pada tahap pengambilan data primer,
data diambil di Departemen Metalurgi PT Koba
Tin. Data Primer yang diperlukan adalah:
1. Hasil analisa persentase kadar Sn dan Fe saat
input dan output peleburan.
Data analisa persentase kadar Sn dan Fe
untuk input peleburan diperoleh dengan cara
melakukan pengambilan sampel material
peleburan sebelum dilakukan mixing.
Sedangkan untuk output peleburannya
diperoleh dengan cara melakukan
pengambilan sampel logam timah cair hasil
tapping berupa sampel pin dan pengumpulan
data hasil analisa kadar Sn dan Fe pada Slag
I. Pengambilan sampel antara input dan
output peleburan harus disesuaikan
dengan nomor pada charge peleburan.
Pengujian kadar Sn dan Fe sampel
material dilakukan dengan mengunakan
analisa wet chemical dengan metode
titrasi volumetri. Prosedur Pengambilan
Sampel adalah sebagai berikut :
Pengambilan sampel pada masing
masing material plastik sampel
( 1500 gram) untuk feed peleburan
sebelum material tersebut dicampur
(pengambilan dilakukan secara acak
pada masing masing material).
Kemudian Sampel tersebut dikirim
ke bagian preparasi untuk
dikeringkan dan untuk dilakukan
pengecilan ukuran.
Setiap plastik diberi kode sampel .
Kemudian Sampel siap dibawa ke
Laboratoriun untuk dianalisa % Fe.
2. Hasil analisa persentase kadar Sn
dan Fe pada logam timah cair saat
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 157
dilakukan bubbling pada proses dry
refining.

Data hasil analisa kadar Fe tersebut diperoleh
dengan cara pengambilan sampel pada logam
timah cair saat dilakukan bubbling pada ketel
rafinasi. Sampelnya berupa sampel pin.
Pengamatan dilakukan selama 7 (tujuh) jam dan
setiap jam dilakukan pengambilan sampel pada
bagian tengah zona bubbling untuk mengetahui
tingkat penurunan kadar Fe. Pada setiap
pengambilan sampel dilakukan juga pengukuran
temperatur dengan mengunakan thermocouple
serta mengamati kondisi kondisi yang terjadi
dalam setiap jam. Kemudian dilakukan analisa
kadar Sn dan Fe pada setiap sampel dengan
mengunakan alat spectrolab.

3. Prosedur Pengujian Sampel
a. Pengujian Sampel Material Charge Mixing
Pengujian sampel concentrate, hardhead, flue
dust dan fine dross untuk analisa % Fe
menggunakan analisa kimia basah (wet
hemical). Metode yang digunakan pada
analisa wet chemical ini adalah analisa titrasi
volumetri. Analisa volumetri adalah analisa
yang menentukan kadar Sn dan Fe dari
sampel timah dengan prinsip titrasi larutan.
Sampel yang dianalisa dalam bentuk bubuk.
b. Pengujian Sampel Pin
Sampel berbentuk pin logam timah sebelum
dianalisa, pin dibubut terlebih dahulu untuk
menghaluskan permukaan pin bagian bawah.
Sampel yang dari furnace, kettle, hasil
casting dan crystallizer kemudian dianalisa
dengan alat spectrolab. Spectrolab
merupakan peralatan analisa yang digunakan
untuk mengidentifikasi kandungan dan kadar
berbagai unsur yang terdapat dalam sampel
berupa logam secara akurat dan cepat. Prinsip
pada spectrolab ini adalah radiasi emisi,
dimana dengan menggunakan bahan bakar
gas argon alat ini dapat menganalisa sampel
yang berupa logam. Spektrolab dirancang
dengan menggunakan sistem multi optik,
sehingga secara optimum akan memberikan
daerah yang spesifik untuk masing-masing
unsur. Unsur yang dianalisa pada alat ini
yaitu Cu, Sb, Zn, Cd, Bi, Ag, As, Pb, Ni, Fe,
S, Al, Co, In, Au. Kadar unsur-unsur ini
disajikan dalam satuan ppm (part per
million). Sedangkan Sn sendiri disajikan
dalam persen. Untuk menjamin akurasi
alat, setiap pagi dilakukan pengecekan
dengan sampel kontrol. Sampel kontrol
yaitu sampel yang sebelumnya sudah
diketahui kadar unsur-unsur di dalamnya.
Software yang digunakan yaitu WinOE.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Analisa Persentase Kadar Sn
dan Fe saat Input dan Output Peleburan.

Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan dari tanggal 8 31 mei 2012,
dengan melakukan pengambilan sampel dari
beberapa materil peleburan Charge Mixing
Plan dengan no. charge 43, 44, 45, 47, 48, 52,
53 dan 54. Diperoleh data data pada tabel
4.1 tentang persentase kadar Sn dan Fe pada
concentrate, hardhead, flue dust dan fine
dross yang diperoleh grafik pada gambar, 4.1,
4.2, 4.3. dan 4.4.Persentase Sn dan Fe rata
rata pada concentarate, hardhead, flue dust,
dan fine dross tersebut (Tabel 4.1) baru
merupakan % Sn dan % Fe pada masing
masing material. Belum dilakukan akumulasi
antara semua material peleburan
(concentarate, hardhead, flue dust, dan fine
dross) dalam satu charge mixing. Untuk %
Sn dan % Fe yang berdasarkan perhitungan
nilai rata rata pada masingmasing charge
mixing dapat dilihat pada tabel 4.2. Pada tabel
tersebut % Sn dan % Fe diperoleh dari
perhitungan pada masing masing charge
mixing.
Selain data pada charge mixing, diambil
juga data % Sn dan % Fe pada hasil peleburan
(output) yaitu crude metal dan slag I pada
charge charge tersebut. Dari perhitungan
masing masing charge tersebut diperoleh
grafik pada gambar 4.6 dan 4.7 untuk input
peleburan. Persentase kadar Sn dan Fe hasil
peleburan (output) dari masing masing
charge dapat dilihat pada gambar 4.7 dan 4.8.


Tabel 4.1 Kadar Sn (%) dan Fe (%) Pada Concentrate, Hardhead, fluedust dan fine dross
input peleburan
No.
No.
Charge
Concentrate Hardhead Flue Dust Fine Dross
% Sn % Fe % Sn % Fe % Sn % Fe % Sn % Fe
1 43 72.02 1.79 71.51 23.65 52.78 7.60 72.36 13.60
2 44 74.06 1.78 77.95 13.40 56.83 6.74 74.26 12.56
3 45 73.47 1.92 78.77 17.25 57.42 5.55 75.65 11.40
4 46 71.64 2.03 0.00 0.00 55.74 7.16 0.00 0.00
5 47 73.42 1.97 76.50 14.50 0.00 0.00 0.00 0.00
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 158
6 48 70.16 2.25 81.02 16.13 52.98 7.32 0.00 0.00
7 52 73.24 1.86 85.36 12.36 56.11 6.68 75.44 12.36
8 53 73.74 1.30 87.61 10.32 52.83 6.57 72.71 12.99
9 54 71.24 2.04 78.92 11.13 49.89 6.76 72.75 12.11
Total 652.99 17.48 637.64 118.74 434.58 54.49 443.37 75.02
Rata - Rata 72.55 1.94 70.85 13.19 48.28 6.05 49.26 8.34

Tabel 4.2 Perbandingan kadar Sn (%) dan Fe (%) antara I nput dan Output
Peleburan
No.
Charge
Input Peleburan*
Output Peleburan
Tonnes % Sn % Fe
Crude Metal Slag I
Tonnes % Sn % Fe Tonnes % Sn % Fe
43 37.16 69.89 6.90 23.75 99.721 0.1445 7.34 15.07 23.12
44 35.42 72.81 4.45 26.25 99.774 0.1020 4.16 32.93 8.94
45 34.64 70.95 5.14 26.25 99.917 0.0019 3.97 10.47 11.49
46 36.98 62.68 4.48 20.00 99.909 0.0031 4.37 13.43 13.13
47 31.16 74.03 4.45 16.25 99.755 0.0861 3.75 14.83 11.81
48 40.96 63.22 4.40 21.25 99.892 0.0274 3.87 16.21 11.58
52 36.21 73.97 4.21 22.50 99.831 0.0762 5.64 14.45 13.23
53 36.07 74.26 3.95 21.25 99.934 0.0121 6.66 22.18 12.94
54 34.00 71.13 4.29 22.50 99.762 0.1173 14.12 22.97 12.51
* Berdasarkan hasil perhitungan rata - rata % Sn dan % Fe pada Charge Mixing Plant (CMP)
(Lampiran V)


4.2. Hasil Pengamatan Pengaruh Waktu
dan Temperatur Bubbling pada Proses
Dry Refining.
Dari hasil lima pengamatan hasil
pengamatan I, II, III, IV dan V pengaruh waktu
dan temperatur bubbling terhadap penurunan
kadar Fe pada proses dry refining pada ketel 3
(tiga) dan ketel 4 (empat). Pengamatan
dilakukan selama tujuh jam, setiap satu jam
dilakukan pengambilan sampel. Hubungan
pengaruh waktu dan temperatur bubbling
terhadap penurunan kadar Fe dapat dilihat pada
grafik grafik yang ada pada gambar 5.1 5.2,
5.3, 5.4, 5.5, 5.6, 5.7, 5.8, 5.9, 5.10 dan 5.11.
5. PEMBAHASAN

5.1. Kondisi Secara Umum Kadar Unsur
Pengotor Fe pada saat input dan output
peleburan.
1. Concentrate
Dari grafik pada gambar 5.1 bisa
dilihat persentase kadar Sn dan Fe
concentarate untuk input peleburan. Untuk
kadar Sn concentrate yang digunakan untuk
bahan input peleburan rata rata > 70 %
(700.000 ppm). Sedangkan kadar Fe pada
concentrate berkisar antara 1,70 % - 3,00 %
(17.000 ppm 30.000 ppm).

% Sn dan % Fe pada Concentrate
72,02
74,06
73,47
71,64
73,42
70,16
73,24
73,7471,24
1,79 1,78 1,92 2,03 1,97 2,25 1,86 1,86 2,02
0
20
40
60
80
43 44 45 46 47 48 52 53 54
No. Charge
% Sn
% Fe


Gambar 5.1 Grafik Kadar Sn (%) dan Fe (%) pada Concentrate untuk I nput
Peleburan

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 159
2. Hardhead
Dari grafik pada gambar 5.2 dapat
dilihat persentase kadar Sn dan Fe hardhead
untuk input peleburan. Untuk kadar Sn
hardhead yang digunakan untuk bahan input
peleburan berkisar antara 70,00 % - 88,00 %
(700.000 ppm 880.000 ppm). Sedangkan
kadar Fe pada hardhead berkisar antara
10,00 % - 24,00 % (100.000 ppm 240.000
ppm). Pada charge 46, material peleburan
tidak menggunakan hardhead.

% Sn dan % Fe pada Hardhead
0
71,51
77,9578,77
76,5
81,02
85,36
87,61
78,92
23,65
13,4
17,25
0
14,5 16,13
12,36
10,32
11,13
0
20
40
60
80
100
43 44 45 46 47 48 52 53 54
No. Charge
% Sn
% Fe

Gambar 5.2. Grafik % Sn dan % Fe pada Flue Dust untuk I nput
peleburan

3. Fine dross
Dari grafik pada gambar 5.3 bisa
dilihat persentase kadar Sn dan Fe fine dross
untuk input peleburan. Untuk kadar Sn fine
dross pada input peleburan berkisar antara
72,00 % - 76,00 % (720.000 ppm 760.000
ppm). Sedangkan kadar Fe pada fine dross
berkisar antara 11,00 % - 14,00 %
(110.000 ppm 140.000 ppm). Pada
charge 46, 47 dan 48 material peleburan
tidak menggunakan fine dross.
% Sn dan % Fe pada Fine Dross
0 0 0 0 0 0
72,36
74,26
75,85 75,44
72,71
72,27
13.60
12,56
11.40 12,36
12,9912,11
0
20
40
60
80
43 44 45 46 47 48 52 53 54
No. Charge
% Sn
% Fe

Gambar 5.3. Grafik % Sn dan % Fe pada Fine Dross untuk Input
peleburan.

Dari beberapa grafik % Sn dan % Fe pada
concentarate, hardhead, flue dust dan fine
dross untuk bahan input peleburan.
Diperoleh persentase Sn dan Fe rata rata
dari masing masing material (Tabel 5.1).
Untuk persentase rata rata Sn yaitu,
concentrate 72,55 % (725.500 ppm) ,
hardhead 70,85 % (708.500 ppm), Flue
dust 52,92 % (529.200 ppm) dan Fine
dross 49,26 % (492.600 ppm). Sedangkan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 160
persentase rata rata Fe yaitu concentrate
1,94 % (19.400 ppm), hardhead 13,39 %
(133.900 ppm), flue dust 6.05 % (60.500
ppm) dan fine dross 8.34 % (83.400 ppm)
(Gambar 5.4).

Kadar Rata - Rata % Sn dan % Fe pada Input
Peleburan
72,55 70,85
52,95
49,26
1,94
13,19
6,05 8,34
0
20
40
60
80
Concentrate HardheadFl ue Dust Fi ne Dross
Material
% Sn
% Fe


Gambar 5.4 Grafik % Sn dan % Fe Rata Rata pada Concentrate, Hardhead, Flue Dust dan
Fine Dross untuk I nput Peleburan.














Gambar 5.5 Grafik Kadar Rata Rata Sn (%) untuk I nput Peleburan
Kadar Rata - Fe (%) untuk Input Peleburan*
6.90
4,45
5,14
4,48 4,45 4,40
4,21
3,95
4,29
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
43 44 45 46 47 48 52 53 54
No. Charge
%

F
e

Gambar 5.6 Grafik Kadar Rata Rata Fe (%) untuk I nput Peleburan

69,89
72,81
70,95
62,68
74,03
63,22
73,97
74,26
71,13
56
58
60
62
64
66
68
70
72
74
76
43 44 45 46 47 48 52 53 54
%

S
n
No. Charge
Kadar Rata -Rata Sn (%) untuk Input Peleburan*
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 161
Kadar Sn (%) dan Fe (%) Crude Metal Pada Output Peleburan
99,721
99,774
99,917
99,909
99,755
99,892
99,831
99,934
99,762
0,1445 0,102 0,0019 0,0031 0,0861
0,0274 0,0762 0,0121 0,1173
0
20
40
60
80
100
120
43 44 45 46 47 48 52 53 54
No. Charge
% Sn
% Fe

Gambar 5.7 Grafik Kadar Sn (%) dan Fe (%) Crude Metal Pada Output
Peleburan

Kadar Sn (%) dan Fe (%) Slag I pada Output Peleburan
15,07
32,93
10,47
13,43
14,83
16,21
14,45
22,18
22,97
23,12
8,94
11,49
13,13
11,81 11,58
13,23
12,94 12,51
0
10
20
30
40
43 44 45 46 47 48 52 53 54
No. Charge
% Sn
% Fe

Gambar 5.8 Grafik Kadar Sn (%) dan Fe (%) Slag I Pada Output Peleburan

Dari beberapa penjabaran data data
tentang persentase kadar Sn dan Fe pada material
saat input dan output peleburan secara
keseluruhan dapat ditentukan bahwa, persentase
kadar Sn dan Fe pada material yang masuk dalam
peleburan dari tanggal 8 31 Mei 2012 antara
62,00 % 75,00 % ( 620.000 ppm 750.000
ppm) untuk Sn dan Fe 3,00 % 7,00 % (30.000
ppm 70.000 ppm). Sedangkan untuk outputnya
crude metal memiliki kadar Sn < 99,940 %
(999.400 ppm) dan Fe < 1 % (10.000 ppm).
Sedangkan slag I hasil peleburan mempunyai
kadar Sn < 30 % (300.000 ppm) dan Fe < 20 %
(200.000 ppm).
Slag I hasil peleburan ore atau bijih di
furnace meningkat dibandingkan dengan kadar Fe
dalam material yang masuk (input). Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal diantarany, adanya
penebalan (built up) didalam furnace yang
masih mengandung unsur Fe yang ikut
terlebur dan adanya proses pyrometallurgi
dimana slag dapat mengikat unsur unsur
pengotor yang tidak dikehendaki dalam crude
metal salah satunya yaitu unsur Fe.
Akan tetapi bisa ditentukan
perbandingan secara umum persentase Sn dan
Fe antara input dan output peleburan. Pada
output terjadi peningkatan kadar Sn pada
crude metal dibandingkan dengan inputnya.
Sedangkan persentase kadar Fe pada crude
metal untuk outputnya kecil dibandingkan
kadar Fe yang masuk.

Dari pengamatan I V diatas dapat
ditentukan bahwa hubungan antara waktu
bubbling dengan kadar rata rata Fe.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 162
Lamanya waktu bubbling akan mempengaruhi
harga kadar rata rata Fe. Secara umum
semakin lama bubbling, kadar Fe yang dihasilkan
akan semakin turun kecuali adanya faktor faktor
yang seperti penambahan timah cair dari furnace
dan penambahan hasil crystallizer ke dalam ketel
pada saat bubbling berjalan. Akan tetapi
terjadinya peningkatan kadar Fe atau tidaknya
pada waktu penambahan juga dipengaruhi oleh
jumlah penambahan dan kadar Fe logam
timah yang akan masuk dalam ketel
pemurnian. Sedangkan untuk laju penurunan
kadar rata rata Fe selama dilakukan
bubbling yaitu jika kadar rata rata Fe tinggi
maka laju penurunannya tinggi atau lebih
cepat dan jika kadar Fe sudah rendah maka
laju penurunannya juga rendah.

Hubungan Antara Waktu Bubbling (Jam)
Terhadap Kadar Rata - Rata Fe (ppm)
3006
426
217
1691
670
274
42
1494
504
249
1215
294
202
396
189
138
319
342
188
169
191
80
58
49 40 25 25
27
97 95 92
91
99 124
99
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
1 2 3 4 5 6 7
Waktu Bubbling (Jam)

K
a
d
a
r

R
a
t
a

-
R
a
t
a

F
e

(
p
p
m
)
Pengamatan I
Pengamatan II
Pengamatan III
Pengamatan IV
Pengamatan V


Gambar 5.9. Grafik Hubungan antara Waktu Bubbling (Jam) Terhadap
Kadar Rata Rata Fe (ppm)

5.2. Hubungan Antara Temperatur (C)
Terhadap Kadar Rata Rata Fe (ppm) Selama
Berlangsungnya Proses Bubbling.

Pengamatan I
Pada gambar 5.10 menunjukkan kondisi
temperatur dan kadar rata rata Fe selama
bubbling berjalan.
Pada pengamatan I ini temperaturnya tidak
stabil (kadang tinggi, kadang rendah) yang
menyebabkan kadar rata rata Fe juga tidak
stabil. Range temperaturnya yaitu 278C -
356C. Pada range temperatur tersebut kadar
rata rata Fe akhir pengamatan masih jauh
diatas standar tin ingot specification
Hubungan Antara Temperatur (C) Terhadap
Kadar Rata - Rata Fe (ppm)
278 290
335
302
356 337 347
0
200
400
42 30061494504 249 426 217
Kadar Rata - Rata Fe (ppm)
T
e
m
p
e
r
a
t
u
r

(

C
)

Gambar 5.10 Grafik Hubungan antara
Temperatur (C) Terhadap Kadar Rata
Rata Fe (ppm) pada Pengamatan I
.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 163
1. Pengamatan II
Pada gambar 5.11 menunjukkan kondisi
temperatur dan kadar rata rata Fe selama
bubbling berjalan. Pada pengamatan II ini
temperaturnya sudah hampir stabil
dibandingkan dengan pengamatan I.
Menyebabkan hasil analisa kadar rata rata
Fe hampir stabil juga walaupun masih terjadi
peningkatan. Range temperaturnya yaitu
270C - 378C. Pada range temperatur
tersebut kadar rata rata Fe akhir
pengamatan masih diatas standar tin ingot
specification dan perlu dilakukan pemurnian
tahap selanjutnya.

Hubungan Antara Temperatur (C)
Terhadap Kadar Rata - Rata Fe (ppm)
270
307
336
374 378 368
351
0
200
400
16911215 294 202 396 189 138
Kadar Rata - Rata Fe (ppm)
T
e
m
p
e
r
a
t
u
r

(

C
)

Gambar 5.11 Grafik Hubungan antara
Temperatur (C) Terhadap Kadar Rata Rata
Fe (ppm) pada Pengamatan II

2. Pengamatan III
Pada gambar 5.12 menunjukkan kondisi
temperatur dan kadar rata rata Fe selama
bubbling berjalan. Hampir sama seperti
pengamatan I, pada pengamatan III ini
temperaturnya juga tidak stabil (kadang tinggi,
kadang rendah) yang menyebabkan kadar rata
rata Fe juga tidak stabil. Range temperaturnya
yaitu 360C - 411C. Pada range temperatur
tersebut kadar rata rata Fe akhir pengamatan
masih jauh diatas standar tin ingot specification.

Hubungan Antara Temperatur (C) Terhadap Kadar
Rata - Rata Fe (ppm)
411
381
361 363 360
375
392
300
350
400
450
319 670 342 274 188 169 191
Kadar Rata - Rata Fe (ppm)
T
e
m
p
e
r
a
t
u
r

(

C
)

Gambar 5.12 Grafik Hubungan antara
Temperatur (C) Terhadap Kadar Rata
Rata Fe (ppm) pada Pengamatan III


3. Pengamatan IV
Pada gambar 5.13 menunjukkan
kondisi temperatur dan kadar rata rata Fe
selama bubbling berjalan. Pada pengamatan
IV ini temperaturnya sudah semakin stabil
dibandingkan dengan pengamatan I dan III.
Kontrol temperaturnya sudah baik,
menyebabkan hasil analisa kadar rata rata
Fe hampir stabil dan baik. Range
temperaturnya yaitu 228C - 280C. Pada
range temperatur tersebut kadar rata rata Fe
akhir pengamatan sudah memenuhi standar
tin ingot specification.

Hubungan Antara Temperatur (C)
Terhadap Kadar Rata - Rata Fe (ppm)
280
296
280
266 256
240 228
0
200
400
80 58 49 40 25 25 27
Kadar Rata - Rata Fe (ppm)
T
e
r
p
e
r
a
t
u
r


(

C
)
Gambar 5.13 Grafik Hubungan antara
Temperatur (C) Terhadap Kadar Rata
Rata Fe (ppm) pada Pengamatan IV

4. Pengamatan V
Pada gambar 5.14 menunjukkan
kondisi temperatur dan kadar rata rata Fe
selama bubbling berjalan. Pada pengamatan V
ini kontrol temperatunya sudah cukup stabil
dibandingkan dengan pengamatan I dan III.
Range temperaturnya yaitu 344C - 359C.
Kontrol temperaturnya baik (selisih antara
temperatur tertinggi dan terendah tidak terlalu
jauh), menyebabkan hasil analisa kadar rata
rata Fe hampir stabil dan baik. Pada range
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 164
temperatur tersebut kadar rata rata Fe akhir
pengamatan hampir memenuhi standar tin ingot
specification.

Hubungan Antara Temperatur (C) Terhadap
Kadar Rata - Rata Fe (ppm)
351
345 346
351
347
359
344
320
340
360
380
97 95 92 91 99 124 99
Kadar Rata - Rata Fe (ppm)
T
e
m
p
e
r
a
t
u
r

(

C
)
Gambar 5.14 Grafik Hubungan antara
Temperatur (C) Terhadap Kadar Rata Rata
Fe (ppm) pada Pengamatan V

Dari pengamatan I V, ada beberapa
pengamatan yang temperaturnya belum stabil,
sehingga menyebabkan tingkat kadar rata rata
Fe pada logam timah cair menjadi tidak stabil
juga. Jika temperatur yang digunakan > 300C
maka kadar rata rata Fe yang dihasilkan
berada diatas standar tin ingot specification
untuk Fe. Dan jika kadar rata rata Fe sudah
rendah akan tetapi belum memenuhi standar
dan temperatur yang digunakan antara 260C -
300C, maka kadar rata rata Fe yang
diperoleh akan memenuhi standar tin ingot
specification.
Jadi, hubungan antar temperatur dan kadar
rata rata Fe, semakin rendah temperatur kadar
rata rata Fe pada logam timah akan
semakin rendah atau semakin murni secara
teori benar. Akan tetapi pada kenyataan
dilapangan temperatur pada saat pemurnian
logam timah cair dari unsur pengotor Fe
harus dikontrol dengan baik. Dan
penggunaan temperatur harus disesuiakan
dengan keadaan dilapangan, contohnya
harus disesuaikan dengan kondisi kadar
pengotor Fe sebelum dilakukan pemurnian.

5.3. Hubungan Antara Waktu Bubbling
(Jam), Temperatur (C) dan Kadar
Fe (ppm) pada Proses Dry Refining.

Seperti yang telah dibahas
sebelumnya mengenai hubungan antara
waktu bubbling dengan kadar rata rata Fe
dan hubungan temperatur dengan kadar rata
rata Fe, didapat keterkaitan antara
variabel variabel tersebut. Secara teori
antara waktu bubbling dan temperatur akan
berpengaruh terhadap kadar rata rata Fe.
Semakin lama bubbling dan semakin
rendah temperatur, kadar rata rata Fe
yang diperoleh akan semakin baik. Namun
antara teori dan kenyataan dilapangan akan
terjadi perbedaan karena ada faktor faktor
yang mempengaruhi, seperti yang terjadi
pada pengamatan ini.

1. Pengamatan I


Hubungan Antara Waktu Bubbling (Jam) dan Temperatur (C)
terhadap Kadar Rata - Rata Fe (ppm)
337
3006
1494
504
426
278
290
335
302
356 347
42 249 217
0
1000
2000
3000
4000
1 2 3 4 5 6 7
Waktu Bubbling (Jam)
Temperatur (C)
Kadar Rata - Rata Fe
(ppm)

Gambar 5.15 Grafik Hubungan antara Waktu Bubbling dan Temperatur (C) Terhadap Kadar
Rata Rata Fe (ppm) pada Pengamatan I

Hasil pengamatan I Grafik pada
gambar 5.15 ini menunjukkan hubungan antara
waktu bubling dan temperatur terhadap kadar
kadar Fe yang dihasilkan. Semakin lama
bubbling kadar rata rata Fe yang
dihasilkan akan semakin rendah,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 165
walaupun masih terjadi kenaikan pada jam
jam tertentu, hal tersebut disebabkan beberapa
hal diantaranya temperatur yang tidak stabil
dan karena adanya penambahan logam timah
dari furnace.
Grafik pada gambar 5.16 ini
merupakan hasil pengamatan II yang data
datanya terdapat pada tabel 5.4.


Dari gambar terlihat jelas hubungan
antara waktu bubling dan temperatur terhadap
kadar kadar Fe yang dihasilkan. Hampir
sama seperti pengamatan I semakin
lama bubbling kadar rata rata Fe yang
dihasilkan akan semakin rendah,
walaupun masih terjadi kenaikan pada
jam jam tertentu, hal tersebut
disebabkan beberapa hal diantaranya
kontrol temperatur yang tidak stabil dan
karena adanya penambahan logam
timah dari furnace.

2. Pengamatan II


Hubungan Antara Waktu Bubbling (Jam)
Temperatur (C) Terhadap Kadar Rata - Rata Fe
(ppm)
270
307 336
374 378 368 351
1691
1215
294
202
396
189 138
0
500
1000
1500
2000
1 2 3 4 5 6 7
Waktu Bubbling (Jam)
Temperatur (C)
Kadar Rata -Rata Fe
(ppm)


Gambar 5.16 Grafik Hubungan antara Waktu Bubbling dan Temperatur (C)
Terhadap Kadar Rata Rata Fe (ppm) pada Pengamatan II

3. Pengamatan III
Hubungan Antara Waktu Bubbling (Jam) dan
Temperatur (C) Terhadap Kadar Rata - Rata Fe
(ppm)
411
381
361 363 360
375
392
319
670
342
274
188
169
191
0
200
400
600
800
1 2 3 4 5 6 7
Waktu Bubbling (Jam)
Temperatur (C)
Kadar Rata -Rata Fe
(ppm)

Gambar 5.17 Grafik Hubungan antara Waktu Bubbling dan Temperatur (C)
Terhadap Kadar Rata Rata Fe (ppm) pada Pengamatan III

Hasil pengamatan III pada Grafik pada
gambar 5.17 ini menunjukkan hubungan
antara waktu bubling dan temperatur terhadap
kadar kadar Fe yang dihasilkan. Hampir
sama seperti pengamatan I dan II semakin
lama bubbling kadar rata rata Fe yang
dihasilkan akan semakin rendah, walaupun
masih terjadi kenaikan pada jam jam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 166
tertentu, hal tersebut disebabkan beberapa hal
diantaranya kontrol temperatur yang tidak
stabil dan karena adanya penambahan logam
timah dari furnace.
4. Pengamatan IV
Grafik pada gambar 5.18 ini menunjukkan
hubungan antara waktu bubling dan
temperatur terhadap kadar kadar Fe yang
dihasilkan. Pada pengamatan ini terjadi
perbedaan dari pengamatan
pengamatan sebelumnya yaitu
pengamatan I, II dan III. Perbedaannya
adalah temperatur dan kadar rata rata
Fe berbanding lurus. Semakin rendah
temperatur kadar rata rata Fe yang
dihasilkan semakin rendah juga selama
dilakukan bubbling.

Hubungan Antara Waktu Bubbling (Jam)
dan Temperatur (C) Terhadap Kadar Rata -
Rata Fe (ppm)
280
296
280
266
256
240
228
80
58
49
40
25 25 27
0
100
200
300
400
1 2 3 4 5 6 7
Waktu Bubbling (Jam)
Temperatur (C)
Kadar Rata - Rata Fe
(ppm)

Gambar 5.18 Grafik Hubungan antara Temperatur (C), Kadar Rata Rata Fe
(ppm) dan Waktu Bubbling pada Pengamatan IV


5. Pengamatan V
Grafik pada gambar 5.18 ini menunjukkan
hubungan antara waktu bubling dan temperatur
terhadap kadar kadar Fe yang dihasilkan. Pada
pengamatan ini terjadi perbedaan dari pengamatan
sebelumnya I, II dan III, hampir sama dengan
pengamatan IV, tetapi terdapat sedikit perbedaan.
Pada pengamatan V ini selama
dilakukan bubbling yaitu temperatur
yang hampir stabil menyebabkan kadar
rata rata yang dihasilkan cukup stabil
walaupun masih terjadi kenaikan yang
disebabkan adanya penambahan logam
timah dari hasil crystallizer.

Hubungan Antara Waktu Bubbling (Jam) dan Temperatur
(C) Terhadap Kadar Rata - Rata Fe (ppm)
351 345 346 351 347
359
344
97 95 92 91 99
124
99
0
200
400
1 2 3 4 5 6 7
Waktu Bubbling (Jam)
Temperatur (C)
Kadar Rata - Rata Fe
(ppm)


Gambar 5.19 Grafik Hubungan antara Waktu Bubbling dan Temperatur (C)
Terhadap Kadar Rata Rata Fe (ppm) pada Pengamatan V


Dari beberapa pengamatan diatas dapat
ditentukan hubungan antara waktu bubbling dan
temperatur terhadap kadar rata rata Fe. Semakin
lama bubbling dan semakin rendah temperatur (>
232C titik didih Sn) yang dipakai pada
saat proses tersebut maka kadar unsur
pengotor Fe dalam logam timah cair akan
semakin murni atau rendah (Pengamatan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 167
IV). Hal tersebut hanya berlaku jika tanpa adanya
faktor faktor lain yang menyebabkan kadar Fe
tinggi pada saat proses tersebut berlangsung. Faktor
faktor yang mempengaruhinya yaitu penambahan
logam timah cair dari furnace atau crystallizer ke
dalam ketel pemurnian pada saat dilakukan
pengamatan.

KESIMPULAN

Dari hasil pengamatan dan pembahasan dapat
dibuat kesimpulan mengenai analisis pemurnian
logam timah dari unsur pengotor Fe selama 7 jam
dilakukan bubbling pada proses dry refining di
Departemen Metalurgi PT Koba Tin sebagai berikut
:
1. Persentase kadar Fe pada material saat input
peleburan antara 3,00 % - 7,00 % (30.000 ppm
70.000 ppm). Sedangkan Untuk output
peleburan yang terdiri dari crude metal
memiliki kadar Fe < 1 % (10.000 ppm) dan slag
I mempunyai kadar Fe < 20 % (200.000 ppm).
2. Hubungan antara waktu bubbling dengan kadar
rata rata Fe yaitu semakin lama bubbling,
kadar Fe yang dihasilkan akan semakin turun
kecuali adanya faktor faktor yang seperti
penambahan timah cair dari furnace dan atau
crystallizer ke dalam ketel pada saat bubbling
berjalan. Untuk laju penurunan kadar rata rata
Fe setiap jam selama dilakukan bubbling yaitu :
Jika kadar rata rata Fe tinggi maka laju
penurunannya tinggi atau lebih cepat
seperti pada pengamatan I, II dan III.
Sebaliknya jika kadar Fe sudah rendah
maka laju penurunannya juga rendah
seperti pada pengamatan IV dan V.
3. Hubungan antara temperatur terhadap kadar rata
rata Fe yaitu temperatur yang tidak stabil akan
menyebabkan kadar rata rata yang dihasilkan
tidak stabil juga. Penggunaan temperatur harus
disesuiakan dengan kondisi kadar pengotor Fe
sebelum dilakukan pemurnian yaitu :
Jika temperatur yang digunakan > 300C
maka kadar rata rata Fe yang dihasilkan
berada diatas standar tin ingot specification
(< 70 ppm) untuk Fe (pengamatan I, II, III
dan V).
Dan jika kadar rata rata Fe sudah rendah
akan tetapi belum memenuhi standar dan
temperatur yang digunakan antara 260C -
300C, maka kadar rata rata Fe yang
diperoleh akan memenuhi standar tin ingot
specification (< 70 ppm) (pengamatan IV).
4. Hubungan antara waktu bubbling dan
temperatur terhadap kadar rata rata Fe yaitu
semakin lama bubbling dan semakin rendah
temperatur (> 232C titik didih Sn) yang
dipakai pada saat proses tersebut maka kadar
unsur pengotor Fe dalam logam timah
cair akan semakin murni atau rendah
(Pengamatan IV).

DAFTAR PUSTAKA

Barata, Dedi, (2006), Prosedur Operasi
Standar
Crystallizer Departemen Metalurgi
PT.
Koba Tin, Koba, Bangka Tengah,
Indonesia.
Barata, Dedi, (2006), Prosedur Operasi
Standar
Peleburan Departemen Metalurgi
PT.
Koba Tin, Koba, Bangka Tengah,
Indonesia.
Drini, Bedri, (2006) Aluminium Scrap
Refining
With Fractional Layer
Crystallization,
Drini Consulting & Engineering,
Technische Universiteit Delft,
Kosovo.
Fathi Habashi, (1997) Handbook
Ekstrative
Metallurgy Volume I; The Metal
Industry
(Ferrous Metal), Wiley Canada.
Heyer H, Robert, (1939), Engineering
Physical
Metallurgy, Plimpton Press,
Norwood,
Massachusets, USA.
N. Sevryukov, B. Kuzmin, Y. Ihelishchev,
(1969),
General Metallurgy, Peace
Publishers,
Moscow
NN. Murach, N Sevryukov, SI Polkin dan
Yu.A.
Bykov, (1967), Metallurgy Of Tin
Volume 2, National Lending
Library For
Science and Technology, Boston,
Yorkshire, England
Philips Analytical, (1999), Spectro A.I
(Arc
Spark Spektrometer), Netherland
Slickers, Karl, (1993), Automatic
Atomic Emission Spectrocopy, 2
nd
edition,
Bruhlsche
University, Druckerey, Germany




Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 168
KMP-19

PEMBUATAN BIODIESEL DARI DEDAK PADI DENGAN
METODE ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI INSITU


Abdul Kadir J
1*
, Panji Fajar Maulana
1
, Abdullah Saleh
2
1
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jl. Raya
Inderalaya Km.32, Inderalaya
2
Dosen Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jl. Raya
Inderalaya Km.32, Inderalaya
Email: j.abdulkadir@ymail.com


ABSTRAK
Berdasarkan data produksi padi tahunan BPS, dari produksi beras sekitar 50
juta ton akan dapat menghasilkan sebanyak 5 juta ton dedak padi. Dedak padi dapat
diolah menjadi biodiesel karena memiliki kandungan minyak khususnya trigliserida
yang merupakan komponen utama dalam pembuatan biodiesel. Pengolahannya dapat
dilakukan dengan reaksi ester-transesterifikasi insitu menggunakan katalis asam dan
basa. Pada penelitian ini dilakukan esterifikasi dedak padi dengan katalis asam sulfat
dan transesterifikasi dedak padi dengan katalis natrium hidroksida. Variasi dilakukan
terhadap persen asam sulfat (H
2
SO
4
) dan persen natrium hidroksida (NaOH) terhadap
berat dedak padi serta waktu reaksi untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel
tersebut terhadap biodiesel yang diperoleh. Analisa biodiesel dilakukan dengan
analisa gravimetri dan volumetri secara kuantitatif. Analisa gravimetri dilakukan
untuk menentukan persen yield produk yang didapat, sedangkan analisa volumetri
dilakukan untuk menentukan angka asam, viskositas dan densitas dari biodiesel yang
dihasilkan. Dari variasi konsentrasi H
2
SO
4
dan NaOH serta waktu reaksi yang
dilakukan pada penelitian ini, maka diperoleh produk pada katalis 3 % dan waktu
reaksi selama 3 jam untuk biodiesel terbaik secara kuantitas dan kualitas.


Kata kunci : Dedak padi, esterifikasi-transesterifikasi insitu, katalis.

I. PENDAHULUAN
Krisis energi yang terjadi di dunia, khususnya dari bahan bakar fosil
disebabkan oleh menipisnya cadangan minyak bumi. Selain itu, sebagai sumber
daya tak terbarukan, suatu saat nanti dapat dipastikan minyak bumi akan habis apalagi
bahan bakar minyak juga memberikan dampak buruk bagi lingkungan berupa emisi
gas buang yang mencemari lingkungan (Smith 2005). Oleh karena itu perlu dicari
sumber bahan bakar alternatif yang bersifat terbarukan dan ramah lingkungan.
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang menjanjikan yang dapat diperoleh
dari minyak tumbuhan, lemak binatang atau minyak bekas melalui transesterifikasi
dengan alkohol (Szybist 2004).
Namun, biaya produksi biodiesel masih menjadi kendala yaitu dikarenakan
biaya bahan baku (minyak dan lemak) sebesar 60-75% dari total biaya produksi
(Lai et al., 2005). Sumber minyak nabati dari biodiesel yang sedang disosialisasikan
di Indonesia saat ini adalah minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak jarak pagar. Akan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 169
tetapi kedua bahan itu memiliki keterbatasan, seperti pada minyak kelapa sawit
(CPO), kebutuhan CPO sebagai bahan pangan (minyak goreng) masih relatif tinggi
dan masih memiliki nilai jual yang tinggi sehingga kurang ekonomis untuk dikonversi
sebagai biodiesel. Pada bahan jarak pagar, kurangnya lahan penanaman jarak pagar
menyebabkan pembuatan minyak jarak pagar kurang kontinyu.
Indonesia sebagai penghasil gabah terbesar ketiga di dunia memproduksi dedak
dalam jumlah besar sebanyak 3,5 juta ton per tahun (Dirjen Bina Produksi Tanaman
2005). Oleh karena itu Ju and Vali (2005) menyarankan penggunaan dedak padi
sebagai bahan baku biodiesel. Dipilihnya dedak padi sebagai bahan baku untuk
produksi biodiesel dikarenakan kandungan lipid yang cukup tinggi, harga dedak
yang relatif murah, bukan bahan pangan dan jumlahnya yang cukup melimpah.
Pada penelitian ini akan diproduksi biodiesel dari dedak padi menggunakan
metode esterifikasi-tranesterifikasi insitu. Metode ini memiliki langkah proses lebih
singkat yang dapat menghemat biaya dan waktu karena dedak tidak perlu diekstraksi
terlebih dahulu, dikarenakan proses ekstraksi dan reaksi yang terjadi secara
simultan. Dengan begitu hal ini dapat mengurangi biaya produksi sehingga harga
pokok dari biodiesel yang diproduksi dapat diturunkan.

II. BAHAN DAN ALAT
Bahan-Bahan Penelitian :
1. Dedak Padi
2. Methanol
3. Asam Sulfat ( H
2
SO
4
)
4. Natrium Hidroksida ( NaOH)
5. Indikator Phenopthalen
6. Etanol
7. Aquadest
Peralatan Penelitian :
1. Labu leher tiga
2. Labu distilasi
3. Stirrer
4. Magnetik stirrer
5. Hot plate
6. Kondenser
7. Pompa
8. Termometer
9. Gelas ukur
10. Beker gelas
11. Erlenmeyer
12. Corong
13. Corong pemisah
14. Neraca analitis
15. Oven
16. Kertas Saring
17. Pipet Tetes



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 170
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisa Kuantitas dan Kualitas Biodiesel
Tabel 1. Perbandingan variabel
waktu

% Katalis
1 jam 2 jam 3 jam
1 % S 1 S 2 S 3
2 % S 4 S 5 S 6
3 % S 7 S 8 S 9
4 % S 10 S 11 S 12
Ket : S = Sampel
Tabel 2. Persen Yield, Densitas, Viskositas Kinematik dan Angka Asam
Biodiesel
Variabel
Yield
(%)

(gr/ml)

(cst)
Aa
(mg NaOH/gr)
Sample 1 35,904 0,8743 4,26 0,081
Sample 2 40,002 0,8824 5,43 0,102
Sample 3 53,479 0,8796 4,51 0,092
Sample 4 41,62 0,8671 3,67 0,087
Sample 5 51,77 0,9072 9,09 0,256
Sample 6 62,121 0,8824 5,73 0,113
Sample 7 39,070 0,8721 4,87 0,139
Sample 8 55,635 0,8916 7,31 0,157
Sample 9 72,236 0,8795 4,48 0,097
Sample 10 45,012 0,8884 6,13 0,126
Sample 11 65,374 0,9013 7,61 0,176
Sample 12 67,095 0,8986 7,92 0,183

Pembahasan
Pengaruh waktu reaksi terhadap persen yield produk biodiesel

Gambar 1. Grafik pengaruh waktu reaksi terhadap % yield biodiesel yang
dihasilkan dengan variasi % katalis
Pada gambar 1 merupakan grafik hubungan antara waktu reaksi dan % katalis
terhadap % yield dari biodiesel. Dari grafik dapat dilihat bahwa % yield terbaik
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 1 2 3 4 5
%

Y
i
e
l
d

% Katalis
1 jam
2 jam
3 jam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 171
didapatkan pada waktu reaksi 3 jam baik pada katalis 1%, 2%, 3% dan 4%.
Sedangkan % yield terendah didapat pada waktu reaksi 1 jam.
Yield ini sebagian besar sangat dipengaruhi oleh pengadukan dan pemerasan
dedak saat seusai ditransesterifikasi. Jika pengadukan dan pemerasan dapat
dioptimalkan maka loss pun akan berkurang sehingga yield sebenarnya dapat
dihitung.

Pengaruh waktu reaksi terhadap densitas

Gambar 2. Grafik pengaruh waktu reaksi terhadap densitas biodiesel yang
dihasilkan dengan variasi % katalis.
Pada gambar 2 merupakan grafik hubungan antara waktu reaksi dan % katalis
terhadap densitas dari biodiesel. Semua densitas sebagaimana yang terlihat pada
gambar diatas sudah mendekati kualitas biodiesl menurut SNI-04-7182-2006, densitas
40
o
C yaitu 0,85 0,89 gr/ml, kecuali untuk waktu reaksi 2 jam dengan katalis 2%,
3%, 4% dan 3 jam dengan katalis 4%. Pada grafik dapat terlihat bahwa nilai densitas
secara umum semakin lama semakin naik. Semakin besar kadar densitas
menunjukkan bahwa proses pencucian dan pemurnian kurang sempurna dilakukan.
Densitas sendiri menunjukkan faktor gliserol yang terdapat dalam biodiesel.

Pengaruh waktu reaksi terhadap viskositas

Gambar 3. Grafik pengaruh waktu reaksi terhadap viskositas biodiesel yang
dihasilkan dengan variasi % katalis
Pada gambar 3 merupakan grafik hubungan antara waktu reaksi dan % katalis
terhadap viskositas dari biodiesel. Semua viskositas sebagaimana yang terlihat pada
gambar diatas sudah memenuhi kualitas biodiesl menurut SNI-04-7182-2006,
0,84
0,85
0,86
0,87
0,88
0,89
0,9
0,91
0,92
0,93
0,94
0 1 2 3 4 5
D
e
n
s
i
t
a
s

% Katalis
1 jam
2 jam
3 jam
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 1 2 3 4 5
V
i
s
k
o
s
i
t
a
s

% Katalis
1 jam
2 jam
3 jam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 172
viskositas kinematik pada 40
o
C yaitu 2,3 6,0 mm
2
/s (cst), kecuali untuk waktu
reaksi 2 jam dengan katalis 2% dan 3% dan seluruh viskositas pada katalis 4%.
Viskositas berkaitan dengan komposisi asam lemak dan tingkat kemurnian
biodiesel, Viskositas berkaitan dengan komposisi asam lemak dan tingkat kemurnian
biodiesel, sehingga kemungkinan besar penyebab besarnya nilai viskositas untuk
waktu reaksi 2 jam dan katalis 4% adalah rendahnya atau belum murninya biodiesel
yang didapat. Viskositas biodiesel yang tinggi akan menyebabkan atomisasi yang
jelek dan menaikkan deposit pada mesin. Viskositas bahan bakar juga berpengaruh
secara langsung terhadap kemampuan bahan bakar tersebut bercampur dengan udara,
sehingga menyebabkan pembakaran tidak sempurna.

Pengaruh waktu reaksi terhadap angka asam

Gambar 4. Grafik pengaruh waktu reaksi terhadap angka asam biodiesel yang
dihasilkan dengan variasi % katalis.
Pada gambar 4 merupakan grafik hubungan antara waktu reaksi dan persen katalis
terhadap angka asam dari biodiesel. Semua angka asam sebagaimana yang terlihat
pada gambar diatas sudah memenuhi kualitas biodiesl menurut SNI-04-7182-2006,
angka asam yaitu maksimal 0,8 mg-KOH/g. Angka asam yang tinggi menandakan
bahwa masih terdapatnya asam lemak bebas pada biodiesel, dimana biodiesel akan
bersifat korosif pada mesin bila digunakan. Oleh karena itu semakin rendah angka
asam maka kualitas biodiesel yang dihasilkan semakin bagus.

IV. KESIMPULAN
1. Dari penelitian yang dilakukan, dedak dapat direaksikan secara langsung
(esterifikasi dan transesterifikasi insitu) menjadi biodiesel sehingga dapat
digunakan sebagai bahan baku alternative untuk pembuatan biodiesel.
2. Metode ester-transesterifikasi insitu dapat dimanfaatkan sebagai metode
alternatif produksi biodiesel untuk mengurangi biaya produksi.
3. Berdasarkan hasil analisa, waktu reaksi 3 jam dan katalis 3% menghasilkan
produk biodiesel terbaik (merupakan kondisi operasi optimal).
4. Beberapa sampel produk biodiesel yang dianalisa telah memenuhi SNI-04-
7182-2006 yang telah ditetapkan.
5. Waktu reaksi dan persen katalis mempengaruhi kuantitas dan kualitas
biodiesel yang dihasilkan.
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0 1 2 3 4 5
A
n
g
k
a

A
s
a
m

% Katalis
1 jam
2 jam
3 jam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 173

V. REFERENCES
AAK. 1999, Budidaya Tanaman Padi. Penerbit Kanisius,Yogyakarta.
Anonim. 2005. Biodiesel: Syarat mutu biodiesel.
http://xa.yimg.com/kq/groups/3004572/314667868/name/SNI, diakses 20
Juni 2012.
Anonim (II). 2005. Rice Bran Oil info.
http://www.ricebranoil.info/why/index.html, diakses 6 Januari 2012
Hambali, Erliza, dkk., 2006, Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Ju, Y.H., Vali, S.R., 2005, Rice bran oil as a potential resource for
biodiesel: a review, J. Sci.
Lai, C.C., Zullaikah, S., Vali, S.R., Ju, Y.H., 2005. Lipase-catalyzed
production of biodiesel from rice bran oil. J. Chem. Technol.
Biotechnol. 80, 331337.
Nasir, S., Fitriyanti, dan Hilma Kamila, 2009. Ekstraksi Dedak Padi Menjadi
Minyak Mentah Dedak Padi (Crude Bran Oil) Denagn Menggunakan
Pelarut n-Hexane dan Etanol. Jurusan Teknik Kimia Universitas
Sriwijaya
Marnoto, Tjukup dan Abdulah Efendi. 2011, Biodisel dari Lemak Hewani (Ayam
Broiler) dengan Katalis Kapur Tohor. Universitas Pembangunan
Nasional Veteran Yogyakarta
Mardiah, dkk. 2006. Pengaruh Asam Lemak dan Konsentrasi Katalis Asam
terhadap Karakteristik dan Konversi Biodiesel pada Transesterifikasi
Minyak Mentah Dedak Padi. Jurusan Teknik Kimia Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Pasang., P. Markopala, 2007, Studi Efektivitas Transesterifikasi In Situ Pada
Ampas Kelapa (Cocos Nucifera) Untuk Produksi Biodiesel. Institut
Teknologi Bandung.
Pravitasari, Anita. 2009. Potensi pengembangan biodiesel di Indonesia.
http://majarimagazine.com/2009/06/potensi-pengembangan-biodiesel-di-
indonesia/ diakses 6 Januari 2012.
S, Budiono dkk. Pengaruh Jenis Alkohol terhadap Komponen-Komponen
Terekstrak pada In-Situ Ekstraksi Dedak Padi. Jurusan Teknik Kimia
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
SBP Board of Consultant and Engineers.1998. SBP Handbook of Oil Seeds,
Oils, Fats and Derivatives. New Delhi: Everest Press, Okhla.
Smith, R., 2005. Chemical Process Design and Integration. New York: John
Wiley & Sons
Hambali, Erliza, dkk., 2006, Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel, Penebar
Swadaya, Jakarta.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 174
KMP-20

KEKUATAN ADHESI DAN KETAHANAN KOROSI
LAPISAN CAT YANG MENGANDUNG
PIGMEN ZINK KROMAT

Sari Katili
1,*
dan Mulyo Handono
1
1
Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia,
Kampus UI Depok, Depok.
*
e-mail : sarikatili@yahoo.com




ABSTRACT
Degradation phenomena of metals is always occur and form a part of premier problem
in industry, it would need to special handling like maintenance and repair equipment
industry. Corrosion process is naturally so that accomplished fact but can inhibit by
control corrosion process. One of the ways to inhibit corrosion is given coating at
surface metal. Therefore, this research studies influence of the thickness of coating
with concentrations ZnCrO
4
against adhesive strength and corrosion resistance of
coating. The sample is spcc steel which have measurement 75 mm X 150 mm X 1,2
mm. and then has been coating that contain ZnCrO
4
0%, 1,5% and 3%, with variables
of thickness coating is 50 m, 75 m dan 100 m for each concentration. Then
corrosion resistance and adhesive strength test have been done. Conclusion of the
research is increasing chromate pigment in range 0% - 3%, causing adhesive strength
of coating will be decrease, but corrosion resistance will be increase. And increasing
the thickness of coating will be increasing corrosion resistance.

Keywords: coating, resin alkyd, pigment ZnCrO
4
, adhesive strength, corrosion
resistance.


1. PENDAHULUAN
Salah satu usaha dalam menghambat korosi adalah dengan cara memberi lapisan
pelindung cat. Dengan adanya lapisan pelindung cat ini dapat melindungi permukaan
logam dari kontak langsung dengan lingkungan yang bersifat korosif. Lapis lindung
cat ini biasanya berbentuk lapisan yang padat, kuat dan merata di seluruh permukaan
logam. Agar dapat melindungi logam dari korosi dalam jangka waktu yang lama maka
lapisan harus memiliki sifat-sifat seperti fleksibilitas, tahan impak, tahan terhadap zat
kimia, tahan terhadap penyerangan uap air, daya adhesi dan kohesi yang baik, tahan
temperatur dan tekanan kerja serta lain sebagainya.
Pada umumnya cat merupakan campuran antara partikel-partikel pigmen yang
tersebar dalam media pengikat (resin) yang kemudian mengalami pengeringan karena
oksidasi, polimerisasi atau penguapan. Komponen utama cat adalah: pigmen, resin
atau binder, dan pelarut. Pigmen merupakan zat pewarna yang berasal dari senyawa
anorganik dan tersebar dalam media pengikat cat (resin). Pigmen berfungsi sebagai
salah satu yang melindungi logam dari serangan korosi dan sebagai dekoratif.
Beberapa jenis pigmen adalah zink kromat, zink phospat, stronsium kromat,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 175
alumunium triposphat dan lain sebagainya. Tetapi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pigmen zink kromat. Sedangkan resin atau binder merupakan komponen
penting yang menentukan sifat-sifat fisik dan kimia cat. Komponen ini setelah
mengalami pengeringan akan menjadi suatu lapisan yang kompak dan bersama
pigmen yang tersebar didalamnya akan terikat pada benda kerja. Beberapa jenis resin
antara lain drying oil, alkyd resin, epoxy resin, vinyl resin, chlorinated rubber dan
polyurethane. Pelarut adalah komponen yang ditambahkan pada cat terutama untuk
mengatur kekentalan cat. Serta juga mampu mengatur waktu pengeringan serta kilap.
Pelarut ini akan hilang saat proses pengeringan. Beberapa jenis pelarut adalah alkohol,
eter, keton dan hidrokarbon alifatik dan aromatik.
Secara teknis pemilihan jenis lapisan dilakukan berdasarkan kebutuhan dari
material yang dilindungi, karena tidak ada jenis lapisan yang dapat tahan pada segala
jenis lingkungan. Sehingga kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keberhasilan
lapisan. Lebih dari 60% keberhasilan sistem penanggulangan korosi dengan lapis
lindung cat ditentukan oleh persiapan permukaannya. Penggunaan cat yang tidak
disertai dengan persiapan permukaan merupakan pemborosan. Secara mikro,
permukaan logam setelah persiapan permukaan adalah bergerigi, artinya ada daerah
puncak dan lembah. Bila lapisan terlalu tipis, pada daerah puncak akan terlalu tipis
atau bahkan tidak terlapisi sehingga akan mudah terserang korosi. Sebaliknya jika
lapisan terlalu tebal akan diperoleh lapisan yang mudah retak karena penguapan
pelarut yang tidak sempurna, perubahan temperatur dan tegangan yang besar saat
pengeringan.
Setelah persiapan permukaan selesai maka segera melakukan pelapisan cat untuk
menghindari kontaminasi dengan kotoran dan terjadinya pengkaratan. Kelembaban
dan titk embun harus serendah mungkin untuk menghindari terperangkapnya uap air
pada permukaan logam dan bahan pelapis..

2. METODOLOGI
Benda uji yang digunakan adalah baja spcc dengan ukuran 75 mm x 150 mm x 1,5
mm. Lalu persiapan permukaan dilakukan dengan metode sand blasting. Yaitu
penyemprotan dengan menggunakan serbuk besi yang berbentuk bulat yang abrasif
yang keluar dari gun dengan tekanan 100 psi. Hasil yang dicapai pada proses ini
adalah nilai SA antara 2-2,5. Standar kekasaran sesuai dengan ASME B46.1-2002.
Setelah proses sand blasting selesai maka segera dilakukan perlindungan benda uji
agar tidak terkontaminasi dengan udara atau kotoran lain. Pada penelitian ini,
kekasaran permukaan menjadi variabel tetap atau dianggap relatif sama. Oleh karena
itu persiapan permukaan tiap sampel dilakukan sedemikian rupa agar nilai kekasaran
permukaan tidak jauh beda untuk tiap sampel.
Pelapisan cat dilakukan dengan metode spraying dalam ruangan tertutup.
Pengecatan dilakukan dengan menggunakan resin alkyd yang telah dimodifikasi
dengan minyak nabati serta dengan variasi konsentrasi pigmen ZnCrO
4
0%, 1,5%, 3%
dengan ketebalan lapisan cat untuk masing-masing konsentrasi 50 m, 75 m, dan
100 m. Setelah dicat dikenakan proses pendiaman selama satu minggu agar terjadi
proses pengeringan yang merata pada lapisan cat. Pengukuran ketebalan lapisan cat
dilakukan dengan menggunakan elcometer magnetic ASTM D 1186-06.
Pengujian adhesi dilakukan berdasarkan standar ISO 4624. Pengujian sembur
garam (salt spray test) dilakukan selama tiga minggu sesuai dengan standar ASTM
B117-07. Sampel diletakkan pada suatu ruang dan disemburkan larutan NaCl 5%
dalam air suling dengan tekanan udara diatur tetap yaitu 1 kg/cm
2
, temperatur dalam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 176
ruang kabut garam sebesar 35
o
C, jumlah sprayingnya sebesar 1 ml/jam. Larutan
pengabut garam NaCl 5% mempunyai pH sebesar 6,5.
Cat yang dipakai dalam penelitian ini adalah cat yang mengandung resin alkyd
dan pigmen zink kromat, yang mempunyai spesifikasi seperti yang ditunjukan pada
tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Spesifikasi dari lapis cat.

Jenis Keterangan
Warna Merah
Komponen 1 (satu)
Mekanisme
pengeringan
Solvent released dan
oksidasi udara
Volume solid 48 3%
Dry Film Thickness Minimum 30-50 mikron
Pelapisan 1-2 kali memakai spray,
brush dan roller.
Persiapan permukaan Sand blasting, (SA 2-
2,5), acid pickling.
Pelarut Minyak
Finish Low sheen
Specific Gravity 3,45
Oil absorption 34-42 (lbs/ 100 lbs
pigmen)

Persiapan permukaan terhadap kekuatan adhesif pada penelitian ini menggunakan
metode sand blasting. Setelah dilakukan metode ini permukaan baja menjadi bersih
serta untuk memberikan sifat kekasaran pada permukaan baja, sehingga ikatan antara
lapisan cat dan permukaan baja menjadi lebih optimal. Hal ini terjadi karena pada
permukaan baja yang dikenakan proses sand blasting terbentuk tekstur yang apabila
dilihat dengan mikrostruktur akan berbentuk seperti puncak dan lembah. Maka jika
cat yang telah disemprotkan mengering akan memberikan daya cengkeram yang
cukup kuat dengan permukaan logam, dengan kata lain akan meningkatkan kekuatan
ikatan antara lapisan cat dan permukaan logam.


3. PEMBAHASAN
Kekuatan adhesi cat menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi ZnCrO
4
seperti terlihat pada Gambar 1
.
Konsentrasi ZnCrO
4
pada cat menentukan kekuatan
adhesinya. Apabila konsentrasi pigmen dalam lapisan besar, maka akan semakin
banyak pori-pori yang terbentuk pada lapisan cat tersebut karena pigmen mempunyai
sifat oil absorb terhadap resin yang dipakai. Sehingga pori-pori ini menyebabkan
lapisan cat tidak padat dan relatif rapuh. Hal ini mengakibatkan ketika dilakukan uji
adhesi pada cat, nilai kekuatan adhesi yang didapat semakin kecil dengan semakin
besarnya konsentrasi pigmen kromat pada cat. Yaitu kekuatan adhesi sampel pada
lapisan cat dengan konsentrasi 0% ZnCrO
4
lebih tinggi dibandingkan dengan
konsentrasi 1,5% dan 3% ZnCrO
4.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 177
Pengaruh Konsentrasi Pigmen Kromat Terhadap
Kekuatan adhesi Cat
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
0 1,5 3
Konsentrasi Pigmen Kromat (%)
K
e
k
u
a
t
a
n

A
d
h
e
s
i
f

(
B
S
)
Tebal Cat 50 m
Tebal Cat 75 m
Tebal Cat 100 m

Pengaruh Ketebalan Cat Terhadap kekuatan adhesi
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
50 75 100
Ketebalan Cat (m)
K
e
k
u
a
t
a
n

a
d
h
e
s
i

(
B
S
)
Konsentrasi Pigmen Kromat 0%
Konsentrasi ZnCrO4 1,5%
Konsentrasi ZnCrO4 3%

Gambar 1.. Hubungan antara pengaruh
konsentrasi pigmen kromat terhadap
kekuatan adhesi cat.

Gambar 2. Hubungan antara pengaruh
ketebalan cat terhadap kekuatan adhesi
cat.


Dengan melihat Gambar 2, dapat disimpulkan bahwa dengan semakin
meningkatnya ketebalan cat maka kekuatan adhesinya akan semakin turun. Hal ini
dikarenakan terjadinya kecenderungan penurunan nilai kekasaran permukaan. Tetapi
penurunan nilai kekasaran ini kecil sehingga dianggap tidak berarti terhadap kekuatan
adhesifnya. Nilai kekasaran dianggap tidak berarti karena perbedaan ketebalan yang
tidak terlalu besar (antara 25-50 m) sehingga ketika dilakukan pengujian adhesif,
nilai yang didapat tidak terlalu jauh untuk masing-masing konsentrasi. Juga karena
perbedaan nilai kekasaran permukaan yang sangat kecil sehingga perbedaan nilai
kekuatan adhesifnya tidak terlampau besar.

Ketebalan 50 m


Ketebalan 75 m


Ketebalan 100 m


ZnCrO
4
0% ZnCrO
4
1,5%

ZnCrO
4
3%

Gambar 3. Foto Makro Pembesaran 6,5X
Setelah uji Salt Spray dilakukan pengambilan foto makro dengan perbesaran 6,3
kali untuk setiap ketebalan dan konsentrasi pigmen kromat seperti yang telah
disebutkan dan hasil pengambilan foto makro ditunjukkan pada Gambar 3. Pada hasil
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 178
foto makro permukaan lapisan cat terlihat bahwa sebagian lapisan cat mengalami
berbagai jenis kerusakan. Diantaranya terjadinya perubahan warna cat yang semula
merah menjadi kekuningan, abu-abu atau bahkan ada yang hitam/gelap. Kemudian
terjadi pula blistering, hal ini diperlihatkan dengan adanya gelembung-gelembung
yang didalamnya berisi gas atau cairan yang berukuran besar dan/atau kecil.
Gelembung-gelembung ini sebagian pecah dan sebagian yang lainnya belum/tidak
pecah. Lapisan cat yang rusak ini disebabkan antara lain oleh lingkungan yang basah,
serta adanya oksigen dan air yang masuk dan menembus lapisan cat tersebut. Hal ini
disebabkan tidak berjalannya fungsi resin sebagai pengikat antara lapisan cat dengan
permukaan logam karena adanya pengujian salt sprayy pengujian dikondisikan pada
keadaan yang ekstrim (sangat korosif) dan dalam waktu yang cukup lama (tiga
minggu). Sehingga air dan ion-ion dapat menembus lapisan cat. Selanjutnya air serta
ion-ion tersebut akan sampai pada daerah antar muka lapisan cat dengan permukaan
logam.
Kemudian pada cat yang mempunyai ketebalan yang sama maka ketahanan
korosinya akan semakin meningkat dengan semakin besarnya konsentrasi pigmen
ZnCrO
4
. Hal ini terlihat pada sampel dengan kandungan pigmen terbesar (3%)
mengalami pelepuhan (blistering) lebih sedikit dibandingkan dengan sampel yang
mengandung konsentrasi pigmen kromat 0% dan1,5%. Hal ini dapat dijelaskan yaitu
ketika pengujian salt spray, dipermukaan sampel akan menempel butiran-butiran air.
Kemudian air yang tadinya menempel pada permukaan lapisan cat, masuk kedalam
lapisan cat. Didalam lapisan cat, air tersebut akan melarutkan pigmen kromat.
Selanjutnya pigmen kromat ini akan menuju ke permukaan logam untuk membentuk
lapisan pasif yang kemudian akan melindungi logam dari reaksi korosi selanjutnya.
Hal ini berlangsung terus menerus sampai tidak ada lagi pigmen kromat yang akan
larut dan berfungsi sebagai inhibitor. Oleh karena itu, semakin banyak konsentrasi
pigmen kromat pada cat maka ketahanan korosinya juga akan semakin meningkat.
Selanjutnya pada cat yang mempunyai konsentrasi ZnCrO
4
yang sama maka
ketahanan korosinya akan semakin meningkat dengan semakin tebalnya lapisan cat.
Hal ini terlihat dari kerusakan yang dialami sampel lebih sedikit dengan semakin
meningkatnya ketebalan lapisan cat. Hal ini dikarenakan permukaan logam terpisah
lebih jauh dari lingkungannya, sehingga proses korosi akan relatif lebih lambat. Serta
ditunjang juga oleh fungsi dari pigmen sebagai inhibitor anti korosi dan resin sebagai
lapisan penghalang.

4. KESIMPULAN
a. Ketahanan korosi sampel lapisan cat dengan konsentrasi ZnCrO
4
3% lebih
baik dibandingkan dengan konsentrasi 0% dan 1,5% ZnCrO
4.

b. Ketahanan korosi sampel dengan ketebalan lapisan cat 100 m lebih baik
dibandingkan dengan ketebalan 50 m dan 75 m.
c. Kekuatan adhesi sampel pada lapisan cat dengan konsentrasi 0% ZnCrO
4
lebih
tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 1,5% dan 3% ZnCrO
4.

d. Kekuatan adhesi sampel dengan ketebalan 50 m, 75 m dan 100 m tidak
didapatkan perubahan yang berarti.

6. REFERENCES

- ASTM B 117-85. Standard Of Salt Spray Testing. Annual Handbook of ASTM Standard.
USA. 1991.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 179
- Bhattacharya, Dhrubo. 2007. Self-priming chromate free corrosion resistant coating
composition and method. Diakses 4 November 2007 dari http://www.patentstorm.us/patents/
5735939-fulltext.html
- Joseph, Ron. 2006. Zinc Chromate vs. ZincPhosphate Primers Diakses 4 November 2007 dari
http://www.paintcenter.org/rj/aug06a.cfm
- Mahdavian, M. dan M.M. Attar. Evaluation of zinc phosphate and zinc chromate effectiveness
via AC and DC methods. Diakses 4 November 2007 dari
http://www.sciencedirect.com/science.
- Horiguchi, Shojiro. Anti-corrosive organic pigment Diakses 4 November 2007
http://www.shadaly.com/anti-corrosive_organic_pigment_4066462.html
- Musalam, Ling. Penanggulangan Korosi dengan Lapis Lindung Cat. Seminar Korosi dan
Penanggulangannya.Semarang.
- http://www.bcmac.com/PDF_files/Surface%20Finish%20101.pdf
- http://cstools.asme.org/csconnect/pdf/ CommitteeFiles/20001.pdf
- http://www.epa.gov/region7//programs/artd/air/rules/kansas/2819-062.pdf


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 180
KMP-21

PENGARUH TEKANAN INJEKSI DAN TEMPERATUR NOZZEL
TERHADAP KECENDERUNGAN TERJADINYA
CACAT SERAPAN CAT PADA SIDE COVER L

Sari Katili
1,*
dan Randy S. Chandra
1
1
Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia,
Kampus UI Depok, Depok.
*
e-mail : sarikatili@yahoo.com


ABSTRACT
ABS is a polar material which has a good wet ability so that it can be painted directly
without any surface pre-treatment needed. But, there are many paint defect found in
side cover L manufacture Those defects is caused by the improper process variable
settings. Based on that theory, this research is done. Injection molding procces have
been done in two difference variable: injection pressure and nozzle temperature.
Injection molding runs with different variables of injection pressure and nozzle
temperature. The injected sample is painted by pylox paint and the defects occur ing is
observed. Parameter of the defect level is paint defects area plotted on a transparent
plastic sheet. These defects occur because the density of material in injection process
is not well distributed and because of a shrinkage, so the paint is absorbed on that
area. This defect can be reduced by setting the nozzle temperature at 190
0
C and
increasing the injection pressure up to 90%.

Keywords: coating failure, holding pressure, holding time, injection, ABS.


1. PENDAHULUAN
Perkembangan penggunaan polimer dalam dunia industri dewasa ini semakin
meningkat, salah satunya adalah penggunaan Akrilonitril Butadiena Stiren (ABS),
khususnya dalam industri otomotif. ABS telah menjadi bahan yang sangat dibutuhkan
dalam pembuatan komponen kendaraan motor karena sifat-sifatnya yang
menguntungkan, seperti permukaannya yang mengkilap, ketahanan impak dan
kekuatannya yang tinggi.






Gambar 1. Struktur unit perulangan ABS



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 181
Material ABS yang tersusun dari unit Akrilonitril, Butadiena, dan Stiren (Gambar
1), membuat ABS bersifat polar sehingga dapat dicat. Akan tetapi, pada proses
manufaktur side cover L untuk sepeda motor, justru didapati banyak terjadi cacat
serapan cat. Padahal seharusnya bukanlah suatu masalah, jika material ABS langsung
dilakukan pengecatan tanpa harus dilakukan perlakuan permukaan khusus karena
material polar memiliki nilai energi permukaan yang tinggi sehingga kemampuan
pembasahannya cukup baik dan tidak terjadi cacat (Wibowo dkk, 2006).
Cacat serapan cat biasanya baru diketahui setelah dilakukan pengecatan baik yang
bersifat trial painting di seksi plastic injection maupun yang bersifat finishing di seksi
plastic painting. Rejected part akibat serapan cat merupakan masalah yang belum
teratasi di seksi plastic injection.
Dalam proses cetak injeksi dapat timbul cacat-cacat pada permukaan produk yang
dapat dilihat tanpa bantuan alat khusus. Pada umumnya cacat tersebut diakibatkan
oleh pengaturan variabel-variabel mesin cetak injeksi yang kurang tepat (Wibowo
dkk, 2006). Cacat yang dapat timbul pada proses cetak injeksi antara lain adalah
Silver Streaks, Flash, Warpage, Crazing, Cracking, Filled Section, Sink Mark, Flow
Mark, Weld Lines, Void, Black Streaks. Cacat-cacat hasil proses injeksi inilah dapat
mnyebabkan timbulnya cacat serapan cat dan membuat kualitas hasil pengecatan
menurun.
Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh Waktu Tahan
dan Tekanan Tahan pada proses injeksi plastik terhadap kecenderungan terjadinya
cacat serapan cat yang terjadi pada komponen side cover L sepeda motor. Kedua
variabel tersebut dipilih karena mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
terbentuknya cacat serapan cat pada kornponen sepeda motor tersebut. Sehingga
diharapkan cacat serapan cat yang terjadi dapat diminimalisir atau bahkan
dihilangkan.


2. METODOLOGI PENELITIAN
Percobaan dimulai dengan melakukan pengeringan resin ABS. Material ABS
bersifat higroskopik sehingga harus dikeringkan sebelum diproses untuk mengurangi
kandungan moisture material sehingga dicapai titik dimana moisture ini tidak
berpengaruh terhadap proses pencetakan atau tidak menyebabkan produk cetak yang
cacat. Tingkat kelembaban pada material cetak injeksi disyaratkan 0,1%. Suhu
pengeringan sampel berkisar antara (50 75)C dengan waktu pengeringan 15 menit.
Sampel berupa komponen side cover L sepeda motor diperoleh dengan
menggunakan metode injeksi plastik. Resin ABS dimasukkan kedalam mesin injeksi
plastik yang telah disetting parameter prosesnya. Setiap selang 10 sampel dihasilkan
oleh mesin injeksi, setting-an mesin diatur ulang sesuai dengan variabel selanjutnya.
Hal tersebut dilakuakan pada semua variabel, yaitu:
Tekanan Injeksi (IP1) : 65, 70, 75, 80, 85, 90 %
Temperatur Nozzle (NH): 170, 175, 180, 185, 190, 195C
Sedangkan kondisi operasi mesin injeksi yang ditetepkan sebagai standar digunakan
sebagai variabel tetap, dengan nilai yaitu :
Temperatur Nozzle (NH) : 180
o
C
Temperatur Heater 1 (H1) : 180
o
C Temperatur Heater 2 (H2) : 200
o
C
Temperatur Heater 3 (H3) : 210
o
C Temperatur Heater 4 (H4) : 220
o
C
Temperatur cetakan rata-rata : 60
o
C
Temperatur leleh : 262
o
C Waktu tahan : 3 detik
Pressure injeksi : 30 % Kecepatan Injeksi : 43 %
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 182
Sampel hasil injeksi plastik diamati secara visual terhadap cacat-cacat yang timbul
selama proses injeksi, seperti silver streaks, warpage, flash, crack dan lain-lain. Lalu
dilakukan pengecatan menggunakan cat pylox dengan viskositas 14". Pengecatan
harus dilakukan secara merata sehingga tidak terjadi penimbunan cat atau cat menjadi
berbuih. Kemudian sampel dikeringkan dalam oven.
Kemudian dilakukan pengamatan visual kembali dan serapan cat yang terjadi
diplot ke atas plastik tipis tembus pandang. Luas serapan cat diukur dengan
menggunakan kertas milimeter block ukuran A3 dengan ketelitian 0,5 mm
2
. Setelah
luas serapan cat diukur, maka dilakukan pengolahan data yang selanjutnya akan
dibahas berdasarkan literatur yang ada untuk mengambil kesimpulan.
Parameter yang menjadi tolok ukur parah tidaknya cacat serapan cat pada sampel
hasil pencetakan injeksi dari masing-masing variabel adalah luas permukaan cacat
serapan cat yang telah diplot di lembaran plastik tembus cahaya.


3. PEMBAHASAN
Cacat serapan cat disebabkan oleh dua hal. Pertama karena cat terserap ke dalam
pori renik yang terdapat pada sela-sela struktur amorf ABS. Jenis kopolimer ABS
adalah kopolimer cangkok (grafting), dimana proses kopolimerisasinya terjadi dengan
cara mecangkokkan salah satu unit (mer) pada rantai utama sehingga berfungsi
sebagai cabang rantai (Gambar 2).





Gambar 2. Kopolimer Cangkok

Adanya cabang-cabang rantai tersebut membuat susunan molekul ABS tidak
teratur dan memiliki densitas atau kepadatan yang rendah. Selain itu, seperti halnya
semua jenis polimer, ABS juga mengalami perulangan unit yang sangat banyak
sehingga rantai molekulnya sangat panjang. Semakin panjang rantai polimer maka
tingkat ketidakteraturannya semakin tinggi dan densitasnya menurun. Sebagai
akibatnya, ABS memiliki stuktur yang acak (amorf) dan terdapat banyak pori renik
diantara stuktur amorf-nya tersebut. Di dalam pori renik itulah cat dapat meresap
masuk dan menyebabkan cacat serapan cat.
Jumlah dan ukuran pori renik pada struktur amorf ABS berbanding lurus dengan
nilai entropinya. Semakin tidak teratur struktur material ABS, maka jumlah pori
reniknya akan semakin banyak dan bentuknya semakin besar. Akibatnya cacat
serapan cat yang terjadi akan semakin banyak.
Selain itu, penyebab yang kedua adalah terjadinya pengkerutan (shrinkage) yang
disebabkan oleh kondisi proses pemanasan dan pendinginan pada saat pencetakan
injeksi. Pada saat polimer dilelehkan, molekul-molekul akan terpisah dan saling
menjauh serta akan terjadi vibrasi-vibrasi dan rotasi sehingga struktur molekul
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 183
menjadi tidak teratur. Pada waktu didinginkan gerakan-gerakan molekul akan berhenti
dan struktur molekul akan teratur kembali. Efek kecepatan pendinginan sangat
berpengaruh pada pemulihan struktur yang terjadi. Proses pemanasan membuat
struktur ABS yang amorf lebih mengembang dan menjadi lebih tidak teratur,
sebaliknya proses pendinginan diikuti dengan penurunan volume karena strukturnya
menyusut kembali seperti sebelum dipanaskan. Jika proses pemanasan dan
pendinginan tidak merata, maka antara pengembangan dan penyusutan tersebut
terdapat penyusutan volume atau pengkerutan seperti terlihat pada Gambar 3
(Wibowo dkk, 2006).
Cacat seperti silver streaks,warpage, crazing, cracking, sink mark, weld lines, dan
void dapat menimbulkan cacat serapan cat dan membuat kualitas hasil pengecatan
menurun. Pada daerah cacat tersebut bisa terjadi penyerapan cat karena struktur
permukaannya yang tidak rata (Wibowo dkk, 2006).





Gambar 3. Pengaruh perbedaan temperstur terhadap perubahan volume.

Dari hasil pemetaan cacat pada sampel dengan menggunakan lembaran plastik dan
milimeter block, didapatkan perbedaan luas daerah yang mengalami cacat serapan cat
sebagai akibat perubahan temperatur nozzle (Gambar 4). Temperatur Nozzle diukur
diujung barrel sehingga temperatur tersebut dapat mengindikasikan sebagai
temperatur akhir polimer leleh sebelum masuk ke dalam mold.
Dengan merubah pengaturan temperatur nozzle, luas daerah yang mengalami
cacat serapan cat dapat dikurangi. Semakin tinggi temperatur nozzle maka cacat yang
terjadi semakin sedikit. Hal ini berkaitan dengan semakin sedikitnya penkerutan yang
terjadi dan semakin kecilnya nilai entropi akibat kenaikan suhu polimer leleh.
Semakin tinggi temperatur nozzle berarti semakin tinggi temperatur polimer leleh
yang diinjekkan ke dalam mold cavity, sehingga proses pendinginannya
membutuhkan waktu yang lebih lama karena gradien temperatur antara temperatur
polimer leleh dengan temperatur pendingin semakin tinggi (Wibowo dkk, 2006)
Akibatnya, material akan memiliki waktu lebih lama untuk mengatur diri sehingga
nilai ketidakteraturannya (entropi) dan ke-amorf-annya menurun. Dengan demikian
densitasnya meningkat dan pori atau celah renik yang terbentuk antara struktur amorf-
nya semakin berkurang. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, cat dapat
menyerap melalui pori renik pada struktur amorf ABS, oleh sebab itu, semakin sedikit
pori dan semakin kecil ukuran pori renik tersebut, berarti cat yang terserap ke dalam
pori semakin sedikit dan cacat yang terjadi semakin berkurang.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 184


Grafik pengaruh temperatur nozzel
3419
3235
1471
1238
468
618
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
170 175 180 185 190 195
Temperatur Nozzel (oC)
L
u
a
s

s
e
r
a
p
a
n

c
a
t

(
m
m
2
)



Gambar 4. Grafik Pengaruh Temperatur Nozzle terhadap Cacat Serapan

Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa kenaikan temperatur nozzle hingga 190
o
C
mengakibatkan penurunan luas serapan cat, namun pada temperatur 195
o
C, luas
serapan cat justru bertambah. Hal ini mengindikasikan bahwa temperatur 190
o
C
merupakan temperatur optimum pada pengujian ini untuk meminimalisir cacat
serapan cat yang terjadi. Jika temperatur lelehnya melebihi temperatur optimum
operasi, justru malah akan menimbulkan cacat injeksi, seperti shrinkage dan warpage.
Proses pembekuan umumnya terjadi dari arah pinggir dan ujung material, akibat
gradien temperatur, antara temperatur polimer leleh dengan temperatur pendinginan,
menyebabkan terjadinya distorsi tegangan. Dan terjadi pengkerutan terpusat ke arah
bagian dalam sehingga terjadi volumetric shrinkage dan warpage (gambar 4)
i
. Ketika
dilakukan pengecatan, daerah tersebut mengalami penyerapan cat dan menimbulkan
cacat serapan cat setelah proses curing-nya.





Gambar 5. Ilustrasi Warpage

Tekanan injeksi juga berpengaruh pada kemungkinan terjadinya cacat serapan cat.
Seperti terlihat pada Gambar 6, semakin tinggi tekanan injeksi yang diaplikasikan,
maka cacat serapan cat semakin berkurang. Hal ini juga berkaitan dengan kepadatan
material setelah proses injeksi plastik dan pengkerutan.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 185
Grafik pengaruh tekanan injeksi
1831
1530
1471
1454
1421
1327
0
500
1000
1500
2000
65 70 75 80 85 90
Tekanan injeksi (%)
L
u
a
s

s
e
r
a
p
a
n

c
a
t

(
m
m
2
)


Gambar 6. Pengaruh Tekanan Injeksi terhadap Cacat Serapan

Pemberian tekanan injeksi menyebabkan adanya peng-orientasi-an molekul.
Orientasi dari molekul merupakan akibat dari adanya shearing action, sedang relaksasi
molekul yang terorientasi terjadi karena adanya Brownian movement (gerakan
gerakan molekul). Pada keadaan isothermis, orientasi molekul akan kembali pada
keadaan seimbang atau equilibrium state. Sedang apabila mengalami pendinginan
maka akan terjadi keadaan terorientasi atau strained state
(www.midwayis.compaintdefect, 2007).
Peng-oreintasi-an molekul ini bersifat dipaksakan akibat pemberian tekanan
injeksi, sehingga orientasi molekul dipaksa untuk menjadi teratur dan tersusun rapi.
Hal ini menyebabkan nilai ketidakteraturannya dan ke-amorf-annya menurun
(www.midwayis.compaintdefect, 2007). Karena hal tersebut, densitasnya meningkat
dan pori atau celah renik yang terbentuk antara struktur amorf-nya semakin
berkurang. Sehingga cacat serapan catnya sedikit.
Dengan demikian, semakin tinggi tekanan injeksi yang digunakan, maka semakin
sedikit cacat serapan cat yang terjadi.


4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Cacat serapan cat secara umum disebabkan oleh kepadatan material ABS yang
rendah dan terjadinya pengkerutan.
- Cacat serapan cat dapat diminimalisir dengan meningkatkan temperatur nozzle,
dengan temperatur optimum nozzle 190
o
C.
- Semakin tinggi tekanan injeksi yang diberikan, maka cacat serapan cat yang
terjadi semakin sedikit.

.

REFERENCES
Anon. Glossary of Paint Defect Terms. Retrieved on 1 November 2007 from
http://www.midwayis.compaintdefect.htm.
Anon. Search Help. Warpage and Volumetric Shrinkage Mold. Advicer 7.1.
Fathi, S. & A. H. Behravesh (2007). Polymer Engineering and Science, 46-10: 750.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 186
Oliveira, M. J., et al (2006). Gloss and Surface Topography of ABS: A Study on the
Influence of the Injection Molding Parameter. Polymer Engineering and Science,
46-10: 1394.
Soemadi, A. Rheologi dan Proses Fabrikasi Plastik. Diktat Kuliah. DTMM - FTUI,
27.
Wibowo, A. C. (2006). Polimer Fundamental. Power Points Pelatihan Plastik PT.
Innopack. DTMM-FTUI.



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 187
KMP-22

Model Pelayanan Transportasi Umum Bus Antar Kota Fleksibel
Untuk Pengurangan Kemacetan Fasilitas Pada Hari Puncak


Ibnu Hisyam
Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri ITS Surabaya
E-Mail : ibnuhisyam@gmail.com


Makalah ini akan membahas tentang model pelayanan transportasi umum bus
antar kota fleksibel untuk pengurangan kemacetan fasilitas pada hari puncak.
Mengikuti kepentingan pergerakannya, terjadinya hari puncak ada pada pusat
bangkitan yang akan berbalik menjadi pusat tarikan pada perioda waktu
tertentu(masa libur). Dengan fokus pada pengutamaan transportasi umum dan
pembatasan masalah pada liburan normal ( bukan libur panjang) penambahan
volume permintaan pergerakan pada hari puncak akan setara dengan
pengurangan permintaan pergerakan di pusat bangkitan. Bila transportasi umum
bus didesain fleksibel daerah pelayanannya, lonjakan permintaan pergerakan pada
hari puncak dapat dipasok dengan pengalihan operasi bus dalam kota ke antar
kota. Bus pengalihan tersebut dapat dioperasikan sebagai transportasi umum di
daerah tarikannya selama liburan dan dipersiapkan sebagai pengangkut arus
balik. Untuk memperlihatkan adanya pengurangan kemacetan fasilitas dengan
model pelayanan yang diusulkan, pada penelitian ini dilakukan simulasi komputer
sederhana.

Kata kunci : hari puncak; kemacetan fasilitas; transportasi umum bus antar kota
fleksibel; simulasi komputer .

1.PENDAHULUAN
Lonjakan penumpang yang mencapai 50% (dari 29 ribuan menjadi 44 ribuan)
pada liburan akhir pekan yang panjang(Jumat, Sabtu, dan Ahad) direspon oleh
operator trasportasi bus umum dengan menambah hanya sekitar 10% jumlah bus (
dari 1000 bus menjadi 1100 bus, KOMPAS.com,20 Mei 2010). Penambahan ini
mengindikasikan cadangan maksimum yang mungkin disiapkan oleh operator untuk
melayani lonjakan hari puncak (peak day) biasa(libur Sabtu dan Ahad). Dengan
standar pelayanan pemuatan orang tanpa batas saja masih menghasilkan waktu tunggu
penumpang di terminal pemberangkatan yang lama. Apalagi bila standar
pelayanannya ditingkatkan untuk selalu memberikan tempat duduk bagi pengguna
transportasi bus umum. Hal ini akan berkaitan dengan persoalan peningkatan utilitas
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 188
kapasitas hari puncak(Shah,2012) dan metoda meningkatkan keuntungan operator
agar dapat memberikan pelayanan transportasi umum lebih baik.
Mengaitkan utilitas kapasitas pasokan kursi bus dengan keuntungan operator
tidak cukup hanya menambah waktu produktif dari armada bus pendukung kapasitas
itu. Lebih dalam melihat permasalahannya mesti masuk ke persoalan tingkat
pengisian(occupancy rate) karena sifat pelayanan biaya tetap. Kosong atau penuh
biaya operasionalnya tetap, sehingga profit margin per unit maksimum akan didapat
pada tingkat pengisian 100%. Dengan demikian pemecahan persoalan transportasi
umum bus perlu masuk ke peningkatan daya saingnya terhadap angkutan pribadi yang
merupakan pintu masuk mencapai tingkat pengisian maksimum itu. Pasokan layanan
perlu dijaga pada tingkat pelayanan (level of service-l.o.s) yang berdaya saing tinggi.
Hal ini dapat dicapai hanya dengan menyediakan kapasitas pelayanan yang selalu
melampaui volume permintaannya(Sussman,2006).
Tuntutan untuk menyediakan kapasitas pelayanan yang selalu melampaui
lonjakan permintaan tidak mungkin cukup hanya diselesaikan dengan menambah
proporsi bus cadangan. Selain untuk menambah kapasitas pelayanan pada hari
puncak, bus cadangan juga berperan sebagai pengganti bus reguler yang rusak atau
masuk dalam jadwal perawatan/perbaikan dan melayani permintaan non reguler
seperti pariwisata. Kecilnya proporsi penambahan jumlah bus pada hari puncak
liburan panjang mengindikasikan rendahnya keyaqinan operator untuk berinvestasi
penambahan kapasitas pelayanan bus. Situasi yang ada dengan pola pelayanan trayek
tetap kurang kondusif bagi investasi kapasitas untuk l.o.s yang tinggi. Sehingga
kemacetan fasilitas pelayanan transportasi umum bus pada hari puncak masih selalu
ditemui di tempat-tempat pemberangkatan bus antar kota di kota-kota besar Indonesia
seperti Surabaya, Jakarta, dan Semarang.
Makalah ini bertujuan untuk memperkenalkan model pelayanan transportasi bus
umum fleksibel untuk mengurangi kemacetan fasilitas pada hari puncak. Fleksibelitas
ini berkaitan dengan daerah pelayanan dengan memanfaatkan strategi koordinasi
cerdas dan kerjasama komuniasi real time dan dukungan jaringan pelayanan
transportasi umum(Shah,2012). Daerah pelayanan ini meliputi daerah lokal (kota atau
pedesaan) dan antar kota (jarak jauh). Hari puncak merupakan waktu transisi dari
aktivitas komuter ( sekolah/bekerja) ke liburan/keluarga dan sebaliknya. Fleksibelitas
ini diperlukan untuk mengarahkan pelayanan transportasi bus umum mengikuti lokasi
aktivitas masyarakat yang memerlukannya.
Setelah pendahuluan ini akan dilanjutkan dengan uraian mengenai metodologi
pengembangan model, hasil pengembangan model, diskusi yang berkaitan dengan
hasil yang diperoleh, dan terakhir adalah kesimpulan dari diskusi.
2.METODOLOGI
Pendekatan menarik sebagai upaya pengurangan kemacetan fasilitas (kekurangan
pasokan kursi bus umum) pada hari puncak adalah pendekatan stokastik analitic
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 189
antrian(Woensel at.al,2008). Lonjakan jumlah pengguna transportasi umum
diindikasikan oleh kenaikan jumlah kedatangan rata-rata per satuan waktu (menit).
Pengurangan kemacetan fasilitas dapat diatasi dengan penyediaan fasilitas dalam
jumlah kursi bus umum per satuan waktu dalam besaran mengikuti tingkat pelayanan
yang diinginkan.Variabel waktu antar kedatangan pengguna transportasi umum dan
waktu pelayanan yang dalam kasus transportasi bus umum ini didefinisikan sebagai
waktu yang diperlukan untuk menyediakan kursi bus untuk satu/sekelompok
pengguna dan keduanya bersifat stokastik.
Fokus kajian disini adalah pada tempat pemberangkatan pengguna transportasi
umum bus. Dalam fokus ini keunikan sistem antrian disini adalah parameter
antriannya hanya waktu antar kedatangan. Untuk kedatangan pengguna transportasi
umum bus sumber populasinya tidak terbatas. Untuk kedatangan kursi bus meskipun
sumber populasinya terbatas dapat dianggap tidak terbatas karena adanya pelayanan
yang terus menerus secara bergantian dari armada yang disediakan.
Pada sistem pelayanan transportasi umum bus trayek tetap, penyediaan jumlah
bus yang memberikan tingkat kedatangan kursi bus melebihi kedatangan
penggunanya pada hari puncak masih menyisakan keraguan akan kelayakan tingkat
utilitas bus secara keseluruhan. Pada sistem pelayanan bus umum fleksibel ini tidak
saja diupayakan untuk perbaikan pada tingkat utilitas akan tetapi lebih masuk ke
persoalan tingkat pengisian yang terkait langsung dengan penghasilan pengusaha
transportasi umum bus.
Dari pola operasional yang ada, penempatan bus pada lokasi tujuan transportasi
umum hari puncak memiliki kepastian pencapaian tingkat pelayanan yang lebih
rendah dibandingkan penempatan bus di tempat asal pergerakan. Keadaan ini menjadi
kebalikannya pada saat arus balik. Pada sistem pelayanan fleksibel ini kelemahan
kedua cara penempatan bus itu dapat diredam.
Sistem pelayanan transportasi bus umum fleksibel akan dapat bekerja efektif pada
situasi permintaan pelayanan real time tersedia. Perencanaan pengoperasian bus tidak
didasarkan pada ramalan atau prediksi akan tetapi pada permintaan riil pelayanan.
Permintaan ini tidak hanya pada pelayanan perjalanan ke tempat tujuan, akan tetapi
sudah meliputi jam keberangkatan dan pilihan terminal keberangkatannya.Untuk itu
perubahan pada tingkat sistem operasinya juga perlu dilakukan untuk sistem
pertiketan. Pertiketan sistem online seperti pada pelayanan transportasi udara
diperlukan disini.
Dengan sistem pertiketan seperti ini, matrik asal tujuan pergerakan orang untuk
suatu trayek dapat diketahui secara waktu nyata. Berdasarkan matrik asal tujuan ini
jadwal pelayanan masing-masing bus dibuat. Untuk mengetahui seberapa besar
pengurangan tingkat kemacetan fasilitas dengan sistem pelayanan fleksibel ini
terhadap sistem trayek tetap, kedua sistem pelayanan itu akan diaplikasikan untuk
matrik asal tujuan yang sama. Yang akan dijadikan variabel kriteria sistem pelayanan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 190
bus umum ini adalah waktu tunggu rata-rata pengguna dan tingkat pengisian bus.
Variabel yang disebut pertama merupakan kepentingan konsumen dan yang kedua
adalah kepentingan pengusaha bus.
Pengoperasian sebenarnya sistem ticketing online real time itu sudah akan
menghasilkan skedul kedatangan pengguna pada terminal pemberangkatan. Untuk
kepentingan kajian ini skedul diperoleh dari pembangkitan variabel random jumlah
kedatangan pengguna. Mengikuti proses Poisson non stasioner, jumlah kedatangan
tiap sepuluh menit selama jam puncak ( 16 00 -21 00) pada hari puncak(Jumat) dapat
dibangkitkan dari variabel random distribusi eksponensial(Law,2007) dengan
cara1.menetapkan t=t
i-1
;2.membangkitkan bilangan random U(0,1) U
1
dan U
2

;3.ganti t dengan t =t-(1/*) ln U
1
, dengan *:kecepatan rata-rata kedatangan untuk
proses Poisson stasioner; 4.Jika U
2
(t)/*, t
i
=t kembali, lainnya kembali ke
langkah 2.
Untuk memperkirakan waktu antar kedatangan bus untuk pelayanan yang ada
dapat digunakan cara yang sama dengan kedatangan pengguna. Perbedaannya adalah
variabel random untuk kedatangan pengguna adalah jumlah kedatangan dalam setiap
10 menit mulai dari awal jam puncak, sedangkan untuk kedatangan bus adalah waktu
antar kedatangan bus mulai dari awal jam puncak.
Kedatangan bus pada terminal pemberangkatan pada jam puncak di hari puncak
tidak harus masuk ke lokasi parkir bus. Selesai menurunkan penumpang, bus
bersangkutan dapat langsung masuk ke jalur pemberangkatan untuk pengisian jika
jalur tersebut kosong. Dengan cara demikian waktu tunggu pengguna transportasi
umum dapat dipersingkat.Hal ini berlaku untuk kedua sistem pelayanan. Selesai
pengisian dan persiapan pemberangkatan, bus berangkat ke terminal tujuan pertama.
Pada terminal tujuan pertama, penurunan dan pengisian pengguna angkutan dilakukan
sesuai kebutuhan. Jika dari informasi pelayanan online memperlihatkan tidak adanya
kebutuhan mengaskses terminal, bus dapat langsung melaju ke terminal berikutnya.
Demikian seterusnya sehingga perjalanan bus sampai ke terminal tujuan akhir.
Nilai dua variabel kinerja dicatat untuk setiap bus. Dari seluruh pelaku perjalanan
yang menaiki bus masing-masing dicatat berapa lama mereka menunggu untuk
mendapat pelayanan bus mulai dari saat mereka check in di terminal sampai bus
diberangkatkan dalam satuan orang-menit. Untuk tingkat pengisian pencatatan yang
diperlukan adalah jumlah orang di dalam bus di setiap ruas jalan antara satu terminal
dan terminal berikutnya yang dinyatakan dalam orang-km.
Khusus untuk model pelayanan bus umum fleksibel ini lonjakan jumlah
pengguna(selain tetap menjalankan pelayanan waktu normal) diatasi dengan beberapa
cara secara bersamaan. Pertama, memanfaatkan bus khusus dalam kota untuk luar
kota. Tempat dan waktu pemberangkatan disesuaikan dengan kebutuhan. Jumlah bus
yang ditugaskan untuk tempat pemberangkatan dan waktunya disesuaikan kebutuhan
pada permintaan tiket online yang jam-jam tempat dan jam keberangkatannya sudah
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 191
ditetapkan. Kedua, untuk pengguna jarak menengah disediakan bus tersendiri. Hal ini
selain mempersingkat waktu perjalanan juga akan menghindarkan tingkat pengisian
yang tinggi pada jarak pendek/menengah akan tetapi rendah pada jarak jauhnya. Jika
kereta api komuter tersedia dan beroperasi dengan baik, pelayanan seperti ini
mungkin sudah tidak diperlukan. Ketiga, pemanfaatan bus khusus pendukung
transportasi umum jam puncak untuk pelayanan bus pariwisata di daerah tarikan dan
persiapan angkutan balik ke tempat bangkitannya. Disini menggunakan prinsip,
penawaran mengikuti permintaan.
3.HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik pergerakan jam puncak pada hari puncak dapat diketahui dari
matrik asal tujuan. Pada informasi real time yang dijaring dari pembelian tiket online
matrik asal tujuan tersebut dapat diketahui. Tabel 1 memperlihatkan matrik asal
tujuan tersebut dengan nilai perkiraan. Dari matrik asal tujuan itu volume pergerakan
pengguna angkutan umum untuk jam puncak (16
00
-21
00
)pada hari puncak(Jumat)
dapat diperkirakan.
Tabel 1: Matrik Asal Tujuan Perjalanan Hari Puncak(Perkiraan)
Asal/tujuan SBY MJKT JB KTSN KDR TL TAS Jampuncak
SBY x 1646 823 549 1097 1371 5485 3840
MJKT x 98 65 114 49 325 228
JB

x 52 130 78 260 182
KTSN

X 105 245 350 245
KDR

x 200 200 140
TL

x

TD 0 1646 920 666 1446 1943 6620


Mengikuti proses Poisson, waktu antar kedatangan akan mengikuti distribusi
eksponensial. Dari waktu antar kedatangan akan didapatkan kecepatan kedatangan
atau jumlah kedatangan dalam interval waktu tertentu. Jumlah kedatangan selama hari
puncak pada jam puncak akan diperoleh rata-rata kedatangan tiap 10 menit sebesar
127 kedatangan. Menggunakan pembangkit variabel random distribusi eksponensial,
jumlah kedatangan dalam tiap sepeuluh menit berurut selama jam puncak
diperlihatkan pada Tabel 2.
Pola pelayanan bus tidak dengan rit tunggal membuat sumber pelayanan menjadi
relatif tidak terbatas. Dengan demikian pola kedatangan pelayanan juga dapat didekati
dengan distribusi eksponensial. Dengan tetap mempertahankan variabelnya dalam
waktu antar kedatangan, pembangkitan variabel random untuk waktu kedatangan bus
pada terminal pemberangkatan pertama hasilnya diperlihatkan pada Tabel 3.
Menggunakan Tabel 2 dan Tabel 3 dengan pembatas waktu kedatangan bus tidak
kurang dari 10 menit sebelum keberangkatan dan kapasitas tempat pemberangkatan 2
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 192
bus, skedul pemberangkatan bus dengan pelayanan trayek tetap dengan tingkat
pelayanan penuh (rata-rata kecepatan pelayanan lebih dari rata-rata kedatangan
permintaan pelayanan) diperlihatkan seperti tabel 4 ( sebagian). Dari skedul itu waktu
tunggu rata-rata tiap penumpang lamanya adalah 12 menit ( tidak termasuk
waktu pengisian). Menggunakan skedul ini dan proporsi naik turun sesuai matrik asal
tujuan, tingkat pengisian dengan pelayanan trayek tetap diperkirakan sebesar
62,79%. Perhitungan tingkat pengisian ini diperlihatkan pada gambar 1.

Tabel 2:Jumlah Kedatangan Pengguna Menurut Pesanan Perjalanan (tiket)
Jam
Jumlah
kedatangan Jam
Jumlah
kedatangan Jam
Jumlah
kedatangan
16
00
-16
10
148 18
00
-18
10
44 20
00
-20
10
74
16
10
-16
20
132 1810-1820 61 2010-2020 17
1620-1630 157 1820-1830 22 2020-2030 19
1630-1640 229 1830-1840 258 2030-2040 48
1640-1650 82 1840-1850 202 2040-2050 38
1650-1700 81 1850-1900 38 2050-2100 38
1700-1710 59 1900-1910 141 total 234
1710-1720 178 1910-1920 160

1720-1730 30 1920-1930 20

1730-1740 99 1930-1940 186

1740-1750 21 1940-1950 165

1750-1800 96 1950-2000 60

total 1312 Total 1346

Sumber : Pengolahan,2012

Tabel 3 : Perkiraan Waktu Antar Kedatangan Bus di Terminal Pemberangkatan
Pertama

Kedatanga
n Bus
Waktu antar
kedatangan(mn
t)
Kedatanga
n Bus
Waktu antar
Kedatangan(mn
t)
Kedatanga
n Bus
Waktu antar
kedatangan(mn
t)
1 1(0001) 18 33(0230) 35 9(0440)
2 6(0007) 19 7(0237) 36 17(0457)
3 1(0008) 20 4(0241) 37 9(0506)
4 0(0008) 21 13(0254) 38 7(0513)
5 29(0037) 22 1(0255) 39 8(0521)
6 19(0056) 23 3(0258) 40 4(0525)
7 6(0102) 24 15(0313) 41 2(0527)
8 1(0103) 25 5(0318) 42 1(0528)
9 1(0104) 26 2(0320) 43 1(0529)
10 6(0110) 27 6(0326) 44 13(0542)
11 1(0111) 28 9(0335) 45 0(0542)
12 1(0112) 29 2(0337) 46 3(0545)
13 18(0130) 30 2(0339) 47 22(0607)
14 1(0131) 31 10(0349) 48 14(0621)
15 0(0131) 32 4(0353) 49 6(0627)
16 23(0154) 33 33(0426) 50 5(0629)
17 3(0157) 34 5(0431)
Sumber : Pengolahan,2012
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 193
Tabel 4:Pemberangkatan Penumpang dengan Trayek Tetap
Bus siap pe nunggu datang berangkat j berangkat
1&37 148 1610 120
2&38 28 132 1620 120
. . . . .
. . . . .
28&29 269 60 2000 120
30&31 209 74 2010 120
32&33 163 17 2020 120
34 60 19 2030 60
35 19 48 2040 60
36 7 38 2050 46

3271

2746
totaltunggu 32710

Rata2tunggu 12
Sumber : Pengolahan,2012

Penggunaan bus kota untuk pelayanan antar kota dengan titik keberangkatan
yang menyebar mengurangi kepadatan lalu lintas pada jalan akses masuk ke terminal
pemberangkatan biasa. Pelonggaran batasan tempat pemberangkatan bus
memungkinkan bus dalam jumlah besar diberangkatkan secara bersamaan dari lokasi
yang berdekatan dengan titik asal bangkitan. Cara ini akan menghilangkan jumlah
pengguna yang menunggu untuk mendapatkan bus yang akan diberangkatkan di
tempat antrian pemberangkatan terminal tunggal. Hal ini jug mengurangi
penumpukan pengguna di satu lokasi secara bersamaan, sehingga dapat mempercepat
proses pergerakan.
Dari matrik asal tujuan, proporsi perjalanan jarak jauh sekitar 45%. Jumlah ini
seluruhnya tidak masuk terminal. Dengan demikian total waktu pengguna menunggu
dapat diturunkan hingga 45%.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 194
Tingkat pengisian untuk model pelayanan transportasi umum bus fleksibel
diperlihatkan seperti Gambar 2. Tingkat pengisian untuk sistem pelayanan fleksibel
ini mencapai 91,05%( 0,55x 92,36+0,45x89,44).

Pemanfaatan bus diluar kegiatan melayani pengguna transportasi umum pada jam
puncak pada hari puncak belum dibahas disini. Bila bus-bus tambahan itu dapat
digunakan untuk angkutan lokal di daerah tarikan sebagai transportasi yang melayani
aktivitas liburan, potensi perbaikan pad tingkat pengisian dan perbaikan pelayanan
pada angkutan balik akan menjadi lebih baik.
4.KESIMPULAN
Fleksibelitas pelayanan transportasi umum bus yang diperkenalkan adalah
fleksibel dari segi daerah operasi kendaraan. Bus yang secara reguler digunakan
sebagai bus kota dapat diperankan sebagai bus antar kota pada saat jam puncak di hari
puncak. Dengan daerah operasi yang fleksibel, tempat pemberangkatan bisa lebih
dekat dengan titik-titik bangkitan dan pada saat liburan dapat digunakan untuk
mendukung aktivitas lliburan di tempat tarikan dimana pergerakan orang mengarah.
Dibandingkan dengan sistem pelayanan transportasi umum trayek tetap,
transportasi umum pelayanan fleksibel memiliki waktu tunggu pengguna lebih singkat
dan tingkat pengisian lebih tinggi.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 195
REFERENSI
Shah, Nirav at.al, 2012, Optimization models for assesing the peak capacity
utilization of intelligent transportation system, European Journal of Operational
Research 216(2012) 239-251
Sussman, Y.,2006, Introduction to Transportation System, Material Cources
For ESD,, Fall 2006,MIT.
Woensel, T.Van at.al,2008, Vehicle routing with dynamic travel times : A
queueing approach, European Journal of Operational Research 186(2008) 990-
1007.
Law, Averill M, 2007, Simulation Modeling and Analysis, Fourth
Edition,McGraw-Hill, Singapore.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 196

TL-1

PENGARUH TEMPERATUR DAN LAMA PIROLISIS TERHADAP
KUALITAS DAN KUANTITAS ASAP CAIR DARI ECENG GONDOK

Achmad Rasyidi Fachry
*
, Dedi Chandra, Harry Margatama
Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik
Universitas Sriwijaya
Email: kagakukogaku_unsri@yahoo.com

Abstrak

Asap cair merupakan zat kimia yang memiliki banyak manfaat, terutama digunakan untuk tujuan
pengawetan. komponen-komponen kimia dalam asap cair bersifat anti oksidan sehingga mencegah
terjadinya pembusukan. Eceng gondok dipilih sebagai bahan baku asap cair karena komponen kimia
penyusunnya sama seperti bahan baku asap cair lainnya yang telah digunakan untuk pembuatan asap
cair. Komponen-komponen tersebut adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pada penelitian ini
dilakukan penyelidikan pengaruh variasi temperatur dan waktu pemanasan terhadap proses pirolisa
eceng gondok menjadi asap cair, dengan variasi kondisi operasi yang dilakukan adalah suhu pemanasan
sebesar 120
o
C; 130
o
C; 140
o
C; 150
o
C dengan waktu pemasan selama 10 menit; 20 menit; 30 menit;
40 menit. Parameter-parameter yang diukur untuk menentukan kualitas asap cair adalah massa jenis,
pH, konsentrasi asam asetat dan konsentrasi fenol. Dari hasil penelitian diperoleh kualitas asap cair
terbaik pada pemanasan pada suhu 150
o
C selama 40 menit, dimana asap cair yang diperoleh memiliki
massa jenis 1,055 gram/ml, pH 3,5, kadar asam 25,8 mg/ml dan kadar fenol 0,042 mg/ml.

Kata kunci : Asap cair, eceng gondok, pirolisa

Abstract

Liquid smoke is a chemical substance that have a lot of benefits, notably is used for preservative
purpose. Anti-oxydant properties from the liquid smokes chemical components will prevent decays
formation. Water hyacinth was chosen as the material to make liquid smoke because of its similar
chemical components like the other common materials that have been already used to make liquid
smoke. Those chemical components are celluloses, hemicelluloses, and lignin. The effects of heating
duration and temperature are investigated in this research, with the variants of operating conditions that
have been done in this research are heating temperature at 120
o
C; 130
o
C; 140
o
C; 150
o
C for 10 mins;
20 mins; 30 mins; 40 mins. The measured parameters that determine the quality of liquid smoke are
density, acidity as pH, acetic acid content and phenol content. The best liquid smoke quality found at
150
o
C of heating temperature for 40 mins, with the specified properties are 1,055 g/ml of density, 3,5
of pH, acetic acid content at 25,8 mg/ml and phenol content at 0,042 mg/ml.

Keywords: Liquid smoke, pyrolisis, water hyacinth


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 197

1. PENDAHULUAN
Penelitian tentang cuka kayu atau yang
biasa disebut asap cair telah dikenal
masyarakat sebagai suatu produk yang
memiliki banyak manfaatnya. Pemanfaatan
cuka kayu sendiri pada umumnya di sektor
pertanian antara lain dapat membuat tanaman
menjadi sehat, mereduksi jumlah insektisida
dan parasit tanaman; sedangkan
pencampurannya dengan nutrisi pupuk dapat
membuat tanaman tumbuh lebih baik, sebagai
growth promotor dan pupuk alam, dapat
menggantikan pupuk kimia, mereduksi bau
dari kompos dan pupuk kandang serta
menyempurnakan kualitasnya (Anonim 2001).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cuka
kayu pada konsentrasi rendah dapat dipakai
pada budi daya tanaman antara lain jahe,
kemanggi, ketimun, buncis dan tanaman padi.
Eceng gondok (E. Crassipes)
merupakan limbah pengganggu yang banyak di
jumpai di sekitar lingkungan hidup kita. Di
ekosistem air, enceng gondok ini merupakan
tanaman pengganggu atau gulma yang dapat
tumbuh dengan cepat (3% per hari).
Khususnya di Sumatera Selatan, enceng
gondok ini banyak tumbuh di aliran Sungai
Musi ataupun saluran-saluran air lainnya.
Pesatnya pertumbuhan enceng gondok ini
mengakibatkan berbagai kesulitan seperti
terganggunya transportasi, penyempitan
sungai, dan masalah lain karena
penyebarannya yang menutupi permukaan
sungai/perairan.
Untuk mengurangi permasalahan
tersebut, maka perlu dilakukan pembersihan
sungai/saluran-saluran air. Supaya enceng
gondok ini tidak menumpuk dan menjadi
limbah biomassa, maka dapat dilakukan suatu
pemanfaatan alternatif terhadap enceng gondok
dengan jalan mengubahnya menjadi asap cair.
Kandungan selulosa dan senyawa organik pada
enceng gondok ini berpotensi memberikan
rendemen asap cair yang cukup baik. Dengan
demikian asap cair dari enceng gondok ini
dapat dimanfaatan sebagai pengawet makanan,
antioksidan, antibacterial, dan lain sebagainya.
Tujuan dari penelitian ini sendiri adalah
:
1. Untuk meningkatkan nilai guna dari
tanaman pengganggu perairan yang
bernama eceng gondok dengan cara
dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan asap cair.
2. Untuk mengetahui kualitas asap cair yang
dihasilkan serta kegunaan yang terdapat
dalam asap cair

Enceng Gondok (Eichhornia Crassipes)
Enceng Gondok adalah jenis tanaman
air yang termasuk dalam suku Pontedericiea.
Tanaman ini dikenal dengan nama latin
Einchorninia Crassipes. Enceng gondok
dikategorikan sebagai salah satu tanaman
pengganggu atau gulma yang hidup dan
berkembang biak di air. Cara tumbuhnya
dengan mengapung bebas di permukaan air
dengan akar yang tidak melekat didasar
perairan.
Enceng gondok memiliki jenis akar
rimpang dan dapat tumbuh dengan sangat
cepat secara vegetatif. Tanaman ini dapat
tumbuh mencapai 30 50 cm dengan tangkai
daun sepanjang 5 30 cm. Enceng gondok
dapat tahan terhadap sejumlah racun tertentu
selama konsentrasinya tidak melebihi ambang
batas ketahanannya. Karena fungsinya sebagai
sistem filtrasi biologis, menghilangkan nutrien
mineral, untuk menghilangkan logam berat
seperti cuprum, aurum, cobalt, strontium,
merkuri, timah, kadmium dan nikel
Menurut Lawrence (1964), Eceng
gondok secara botanis mempunyai sistematika
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Commelinales
Famili : Pontederiaceae
Genus : Eichhornia
Spesies : E. crassipes
Enceng gondok banyak menimbulkan
masalah pada perairan akan tetapi memiliki
manfaat diantaranya :
1. Mempunyai sifat biologis sebagai
penyaring air yang tercemar oleh berbagai
bahan kimia limbah industri.
2. Sebagai bahan penutup tanah (mulch) dan
kompos dalam kegiatan pertanian.
3. Sebagai sumber gas, antara lain berupa gas
ammonium sulfat, gas hidrogen, nitrogen
dan metan yang dapat diperoleh dengan
cara fermentasi.
4. Bahan baku pupuk tanaman yang
mengandung unsur NPK yang merupakan
tiga unsur utama yang dibutuhkan oleh
tanaman.
5. Sebagai bahan baku industri kertas dan
papan buatan.
6. Sebagai bahan baku pembuatan karbon
aktif.
Komposisi kimia enceng gondok
tergantung pada kandungan unsur hara
tempatnya tumbuh, dan sifat daya serap
tanaman tersebut. Enceng gondok mempunyai
sifat-sifat yang baik antara lain dapat menyerap
logam-logam berat, senyawa sulfida, selain itu
mengandung protein lebih dari 11,5 %, dan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 198

mengandung selulosa yang lebih tinggi besar
dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak,
dan zat-zat lain.

Tabel 1 Kandungan Kimia Eceng Gondok
Kering
Senyawa Kimia Persentase (%)
Selulosa 64,51
Hemiselulosa 15,61
Lignin 7,69
Silika 5,56
Abu 12
(Sumber: Roechyati, 1983)
Pirolisis
Pirolisis atau pengarangan adalah suatu
proses pemanasan pada suhu tertentu dari
bahan-bahan organik dalam jumlah oksigen
sangat terbatas, biasanya di dalam furnace.
Proses ini menyebabkan terjadinya proses
penguraian senyawa organik yang menyusun
struktur bahan membentuk methanol, uap-uap
asam asetat, tar-tar dan hidrokarbon. Material
padat yang tinggal setelah karbonisasi adalah
karbon dalam bentuk arang dengan area
permukaan spesifik yang sempit
(Cheresmisinoff, 1993, dalam E.Sjostrom,
1995). Pirolisa merupakan reaksi kimia
kompleks yang irreversible. Pirolisa disebut
juga Destructive distillation, yaitu proses
penguraian material berserat pada suhu tinggi
tanpa kontak langsung dengan udara untuk
menghasilkan arang dan larutan pironagte
(Merrit dan White, 1943, dalam Pamella,
2006)
Pirolisa ini dapat dilakukan secara batch
dan sinambung. Pada sistem batch, proses
dilakukan pada suhu tertentu dan dijaga tetap
konstan selama waktu yang diinginkan.
Sedangkan pada proses sinambung tidak
mengenal tahap pengisian, pemanasan,
pendinginan, dan pengambilan tersendiri.
Semua tahap berjalan serentak dan merupakan
suatu kesinambungan. Pada percobaan yang
dilakukan di laboratorium biasanya dimulai
dengan cara batch.
Perubahan-perubahan yang terjadi
selama proses pirolisa menurut Maga (1987),
yaitu pemanasan pada suhu 100 170
o
C, air
bebas dan zat-zat organik yang mudah
menguap hasil pirolisis akan keluar.
Selanjutnya, pada suhu 320
o
C terjadi proses
eksotermis akibat penguraian lignoselulosa
menjadi asam asetat, gas CO, CH
2
, H
2
, dan
CO
2
. Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada
suhu 200 260
o
C dilanjutkan dengan
dekomposisi selulosa pada suhu 240 310
o
C.
Sedangkan dekomposisi lignin terjadi pada
suhu 300 500
o
C.
Menurut D. Fengel dan G. Wegener
(1995), proses pirolisis dengan adanya udara
atau oksigen akan menghasilkan tiga
komponen senyawa, yaitu:
1. Komponen padat, yaitu arang
2. Senyawa yang mudah menguap dan dapat
dikondensasikan, yaitu fenol, tar dan
minyak
3. Gas-gas yang mudah menguap dan tidak
dapat dikondensasikan, yaitu CO
2
, CO,
CH
4
dan H
2
.
Tahapan-tahapan proses yang terjadi
dalam pirolisis secara umum yaitu sebagai
berikut:
1. Tahap pengeringan (25 200
o
C)
Pada tahap ini terjadi penguapan air yang
terdapat dalam bahan baku
2. Tahap pirolisis (200 450
o
C)
Pada tahap ini terjadi penguraian bahan
secara termal menghasilkan arang, tar, air,
CO, CO
2
, dan hidrokarbon ringan lainnya
Adapun parameter penting yang
dipertimbangkan untuk reaksi pirolisis, yaitu
jumlah panas, temperatur yang diberikan, dan
lama pemanasan yang diperlukan untuk
menguraikan bahan mentah (Willey, 1987).

Asap Cair
Asap cair merupakan dispersi uap
dalam cairan sebagai hasil kondensasi asap
dari pirolisa kayu, batok kelapa, dedaunan,
cangkang kelapa sawit atau rempah-rempah
(Purnama, 2006, dalam Bakkara, 2007). Asap
yang dihasilkan dari pirolisis kemudian
dikondensasi sehingga diperoleh asap cair.
Cairan yang dihasilkan mengandung senyawa
fenol, asam, karbonil, senyawa tar, air, dan
benzopyren (Bambang Setiaji, 2006, dalam
Bakkara, 2007).
Produksi asap cair merupakan hasil
pembakaran yang tidak sempurna yang
melibatkan reaksi dekomposisi karena
pengaruh panas, polimerisasi, dan kondensasi
(Girrard, 1992). Asap memiliki kemampuan
untuk mengawetkan bahan makanan karena
adanya senyawa asam, fenolat, dan karbonil.
Bahan-bahan alami dari kayu yang tersusun
dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin
mengalami dekomposisi pada suhu tinggi
(pirolisis) menjadi lebih dari 300 senyawa
yang terdiri dari 45 jenis fenol, lebih dari 70
jenis karbonil sebagai aldehid dan keton, 20
jenis asam, 11 jenis furan, 13 jenis alkohol dan
ester, 13 jenis lakton, dan 27 jenis polisiklik
aromatik hidrokarbon.
Asap cair berbeda dengan Bio-oil.
Bio-oil adalah tar hasil dari destilasi kering
kandungan lignin yang terdapat di dalam bahan
baku asap cair seperti eceng gondok dan
tempurung kelapa. Bio-oil Memiliki sifat
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 199

mampu dibakar, sangat asam dan korosif,
memiliki viskositas tinggi, dan memiliki
kandungan air yang cukup tinggi. (Harman
Suharmanto, 2012). Kandungan tar dalam asap
cair sangat tidak diinginkan terutama bila
hendak digunakan sebagai pengawet makanan
karena bersifat karsinogenik (penyebab
kanker) sehingga harus dihilangkan dengan
cara pemisahan, sedangkan pada bio-oil
kandungan tar justru dipertahankan karena
kaya akan kandungan hidrokarbon yang akan
meningkatkan nilai bakar bio-oil. Dalam
pengolahannya, ke dalam bio-oil ditambahkan
zat-zat lain yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitasnya (contoh: Nitrogen)
(Danawati, 2009) sedangkan untuk pengolahan
biomassa menjadi asap cair tidak ditambahkan
zat-zat lain.

Sifat Fungsional
Pszczola (1995), mengemukakan bahwa
dua senyawa utama dalam asap cair yang
mempunyai efek bakteri adalah fenol dan
asam-asam organik. Dalam bentuk kombinasi,
kedua senyawa tersebut bekerja sama secara
efektif untuk mengontrol pertumbuhan
mikroba.
Menurut Girrard (1992), senyawa-
senyawa dalam asap cair seperti fenol,
formaldehid, dan senyawa asam organik
bersifat mampu membunuh bakteri sehingga
berpengaruh terhadap daya simpan produk
asapan.
Berdasarkan komposisi asap cair, maka
bahan tersebut memiliki karakteristik sebagai
berikut:
a. Bersifat sebagai anti bakteri karena
penyusun utama adalah turunan dari
senyawa fenol. Senyawa fenol dapat
membunuh bakteri pembusuk yang
mendegradasi protein menjadi asam-asam
amino, sehingga tidak menimbulkan bau
busuk.
b. Bersifat asam karena pH nya berkisar
antara 2 3. Asam ini berupa asam formiat
dan asam asetat
c. Senyawa karbonil terutama aldehid, dapat
bersifat sebagai antioksidan sehingga bisa
melindungi dari reaksi oksidasi.

2. METODE PENELITIAN

Pengambilan
Sample
Pre-treatment
Sample
Produksi
Asap Cair
Asap Cair
Murni
Pemotongan
dan
Pengeringan
Pemanasan pada suhu 120,
130, 140, 150
o
C selama
10, 20, 30, dan 40 menit
Analisa
Kuantitatif
Dimasukkan
ke Reaktor
Penyaringan
Gambar 1 Blok Diagram Pembuatan Asap Cair

Sampel eceng gondok diambil di sungai
atau rawa-rawa yang banyak dijumpai di kota
Palembang. Sampel eceng gondok yang akan
digunakan dipotong-potong berukuran kecil,
kemudian sampel dikeringkan di dalam oven
selama 1 jam dengan kondisi operasi 100
o
C
Persiapkan seperangkat unit destilasi
dimana dalam hal ini adalah kondenser.
Sampel kering sesuai dengan massa yang
dikehendaki, kemudian masukkan sampel
tersebut ke dalam reaktor pirolisis. Reaktor
dihubungkan dengan kondenser menggunakan
selang serta hubungkan termokopel ke dalam
reaktor, kemudian pemanas / kompor
dinyalakan pada temperatur konstan dan di
lakukan dalam kurun waktu yang telah
ditentukan. Hasil kondensasi berupa kondensat
disaring menggunakan kertas saring untuk
memisahkan filtrat kondensat dengan zat
pengotor / endapan, lalu filtrat ditampung
dalam labu Erlenmeyer.
Volume asap cair yang terbentuk
kemudian dihitung, dan percobaan diulangi
dengan kondisi operasi yang berbeda. Hasil
asap cair yang diperoleh dianalisa sesuai
dengan parameter-parameter yang telah
ditetapkan (massa jenis, pH, kandungan asam
asetat dan kandungan fenol)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pembuatan Asap Cair
Hasil Pembuatan asap cair dari 100
gram berat awal eceng gondok pada berbagai
variabel waktu dan temperatur pemanasan
dapat dilihat pada tabel dan grafik di bawah
ini:

Tabel 2 Hasil Pemanasan Eceng Gondok
N
o
Suhu
pirolisa
(
o
C)
Waktu
Pirolisa
(menit)
Berat
Akhir
(gr)
Volume
Asap
Cair
(ml)
1 120 10 81,5 17,5
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 200

2 20 77,7 21
3 30 74,5 24
4 40 71,9 26,5
5
130
10 80,8 18
6 20 76,6 22
7 30 74,4 24
8 40 71,8 26,5
9
140
10 79,1 19,5
10 20 75,4 23
11 30 73,8 24,5
12 40 69,1 29
13
150
10 78,0 20,5
14 20 74,8 23,5
15 30 71,6 26,5
16 40 63,7 34

Grafik 1 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan
terhadap Volume Asap Cair

Grafik 2 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan
terhadap Massa Akhir Eceng Gondok

Grafik 3 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan
terhadap Yield Asap Cair

Dari data hasil penelitian dan grafik
pengaruh waktu dan temperatur pemanasan
terhadap volume, yield asap cair dan massa
akhir eceng gondok, dapat ditarik kesimpulan
bahwa semakin lama waktu dan semakin tinggi
suhu pemanasan yang dilakukan kepada eceng
gondok, maka akan semakin tinggi yield asap
cair yang dihasilkan
Selama proses pemanasan berlangsung,
struktur kimia eceng gondok yang terdiri dari
senyawa selulosa dan hemiselulosa akan
mengalami penguraian menjadi senyawa-
senyawa kimia lainnya yang lebih sederhana
dengan bantuan panas (endotermis).
Temperatur dan waktu pemanasan sangat
berpengaruh terhadap hasil akhir reaksi
penguraian yang terjadi pada struktur kimia
eceng gondok, sehingga semakin lama waktu
dan tinggi suhu pemanasan, produk-produk
hasil penguraian yang terbentuk akan semakin
banyak. Contoh produk hasil penguraian yang
terbentuk selama pemanasan adalah senyawa-
senyawa asetat, fenol dan karbonil.
Pada penelitian ini, volume tertinggi
asap cair yang diperoleh adalah pada suhu 150
o
C selama 40 menit. Hal ini disebabkan karena
eceng gondok menerima suplai panas paling
banyak pada kondisi operasi tersebut, sehingga
senyawa-senyawa penyusun eceng gondok
yang mengalami penguraian akan semakin
banyak.

Hasil Pengukuran Massa Jenis Asap Cair
Massa jenis merupakan jumlah massa
yang terkandung setiap volume suatu zat.
Tujuan pengukuran massa jenis asap cair yang
diperoleh adalah agar dapat menentukan massa
asap cair yang diperoleh hanya dengan
mengukur volumenya saja.
.Hasil pengukuran massa jenis asap cair
yang diukur pada suhu ruangan (30
o
C) dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3 Massa Jenis Asap Cair
No
Suhu
pirolisa
(
o
C)
Waktu
Pirolisa
(menit)
Massa
Jenis
(gr/ml)
1
120
10 1,0405
2 20 1,0480
3 30 1,0486
4 40 1,0487
5
130
10 1,0502
6 20 1,0503
7 30 1,0509
8 40 1,0515
9
140
10 1,0516
10 20 1,0520
11 30 1,0522
12 40 1,0522
13
150
10 1,0524
14 20 1,0528
15 30 1,0547
16 40 1,0550

Berdasarkan grafik di atas, dapat
diperoleh kesimpulan bahwa semakin lama
15
20
25
30
35
120 130 140 150
V
o
l
u
m
e

A
s
a
p

C
a
i
r

(
m
l
)

Temperatur Pemanasan (celcius)
10
20
30
40
63
68
73
78
83
120 130 140 150
M
a
s
s
a

A
k
h
i
r

(
g
r
a
m
)

Temperatur Pemanasan (Celcius)
10
20
30
40
18
24
30
36
120 130 140 150
Y
i
e
l
d

(
%
)

Temperatur Pemanasan (Celcius)
10
20
30
40
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 201

waktu dan semakin tinggi suhu pemanasan
eceng gondok, massa jenis produk yang
dihasilkan semakin besar. Hal ini disebabkan
oleh semakin pekatnya konsentrasi campuran
zat-zat yang bercampur di dalam asap cair.
Massa jenis tertinggi diperoleh ketika
pemanasan dilakukan selama 40 menit pada
suhu 150
o
C.

Hasil Pengukuran pH asap cair
Derajat keasaman (pH) merupakan
parameter penting dalam pembuatan asap cair
yang harus diukur. Komponen penting yang
terdapat di dalam asap cair adalah asam asetat,
dimana senyawa tersebut berperan sebagai zat
pengawet makanan pada asap cair. Semakin
tinggi konsentrasi asam asetat di dalam asap
cair, maka pH akan semakin kecil.
Hasil pengukuran pH asap cair dari
eceng gondok menggunakan alat pH meter
dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Grafik 4 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan
terhadap pH Asap Cair dari Eceng Gondok
Berdasarkan grafik di atas, dapat
diperoleh kesimpulan bahwa semakin lama
waktu dan semakin tinggi suhu pemanasan
eceng gondok, pH asap cair yang dihasilkan
semakin kecil dengan nilai pH asap cair yang
diperoleh berkisar antara 3,5 hingga 5,5. Hal
ini disebabkan oleh semakin banyaknya
komponen kimia di dalam eceng gondok yang
terurai membentuk senyawa-senyawa asam
sehingga pH asap cair semakin menurun dan
meningkatnya keasaman asap cair.

Kandungan Asam Asetat di dalam Asap
Cair
Senyawa asam yang terkandung di
dalam asap cair adalah senyawa asetat, dimana
senyawa tersebut digunakan sebagai komponen
pengawet makanan di dalam asap cair.
Pengukuran kadar asetat di dalam asap cair
dilakukan dengan metode titrasi dengan
NaOH, dimana kandungan asam asetat yang
terukur dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Grafik 5 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan
terhadap Kandungan Asam Asetat di dalam Asap Cair dari
Eceng Gondok.

Berdasarkan grafik di atas, dapat
diperoleh kesimpulan bahwa semakin lama
waktu dan semakin tinggi suhu pemanasan
eceng gondok, kandungan asam asetat yang
terdapat di dalam asap cair akan semakin
bertambah. Hal ini disebabkan oleh semakin
banyaknya komponen kimia di dalam eceng
gondok yang terurai membentuk senyawa-
senyawa asam sehingga konsentrasi senyawa
asam di dalam asap cair akan semakin tinggi.
Kandungan asetat yang paling tinggi
diperoleh pada pemanasan selama 40 menit
dengan suhu 150
o
C, namun nilai tersebut
sangat sedikit bila dibandingkan dengan
kandungan asetat pada asap cair dari bahan
yang berbeda. Hal ini disebabkan karena
terbatasnya suhu dan waktu pemanasan eceng
gondok, sehingga masih banyak senyawa
penyusun eceng gondok yang belum terurai.

Kandungan Fenol di dalam Asap Cair
Senyawa fenol yang terkandung di
dalam asap cair berfungsi sebagai antioksidan
yang mencegah terjadinya oksidasi suatu zat
sehingga zat tersebut menjadi awet.
Kandungan fenol di dalam asap cair dari eceng
gondok yang diukur dengan alat
spektrofotometer dapat dilihat pada grafik di
bawah ini:

Grafik 6 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan
terhadap Kandungan Fenol di dalam Asap Cair dari Eceng
Gondok.

Berdasarkan grafik di atas, dapat
diperoleh kesimpulan bahwa semakin lama
3,5
4
4,5
5
5,5
10 20 30 40
K
e
a
s
a
m
a
n

(
p
H
)

Waktu Pemanasan (menit)
120
130
140
150
6
11
16
21
26
10 20 30 40
K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

(
m
g
/
m
l
)

Waktu Pemanasan (menit)
120
130
140
150
0,015
0,025
0,035
0,045
10 20 30 40
K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

(
m
g
/
m
l
)

Waktu Pemanasan (menit)
120
130
140
150
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 202

waktu dan semakin tinggi suhu pemanasan
eceng gondok, kandungan fenol yang terdapat
di dalam asap cair akan semakin bertambah.
Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya
komponen kimia di dalam eceng gondok yang
terurai membentuk senyawa-senyawa fenol
sehingga konsentrasi senyawa fenol di dalam
asap cair akan semakin tinggi.
Seperti halnya kandungan asetat pada
asap cair, kandungan fenol tersebut sangat
kecil bila dibandingkan dengan kandungan
fenol asap cair dari bahan lainnya. Hal ini juga
disebabkan karena terbatasnya suhu dan waktu
pemanasan eceng gondok, sehingga masih
banyak senyawa penyusun eceng gondok yang
belum terurai.

5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan
maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Asap cair terbanyak diperoleh dengan
pemanasan pada suhu 150
o
C selama 40
menit, yaitu sebanyak 34 ml.
2. Asap cair yang memiliki kandungan asam
asetat dan fenol terbanyak terdapat dengan
pemanasan pada suhu 150
o
C selama 40
menit, yaitu sebanyak 25,8 mg/ml dan
0,042 mg/ml
3. Semakin lama waktu pemanasan dan
semakin tinggi suhu pemanasan maka
kualitas dan kuantitas asap cair dari eceng
gondok akan semakin baik

6. DAFTAR PUSTAKA
Afrizal, Roby, Sari Sekar Rosa, dan Faisol
Asip. 2008. Riset Pembuatan Oil
Adsorbent dari Eceng Gondok.
Laporan Penelitian, Jurusan Teknik
Kimia, Fakultas Teknik, Universitas
Sriwijaya: Indralaya
Bakkara, Lastri. Karakteristik Cuka Kayu
Hasil Pirolisa Limbah Serbuk
Gergajian Kayu Karet pada Kondisi
Vakum. Skripsi, Jurusan Kimia,
FMIPA, Universitas Sriwijaya:
Indralaya
Darmadji, P. 2002. Optimasi Pemurnian Asap
Cair dengan Metode Redistilasi.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan
13(3), 267-271.
Dewi, Rista Utami, Hengky, dan Tuti Indah
Sari. 2008. Pembuatan Asap Cair
dari Limbah Serbuk Gergajian Kayu
Meranti Sebagai Penghilang Bau
Lateks. Laporan Penelitian, Jurusan
Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Universitas Sriwijaya: Indralaya.
Doni, Marian, Rigel Andoine, dan Subriyer
Nasir. 2008. Pengaruh Kondisi
Operasi pada Pembuatan Asap Cair
dari Ampas Tebu dan Serbuk Gergaji
Kayu Kulim. Laporan Penelitian,
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Sriwijaya:
Indralaya.
Erro, Sjostrom. 1995. Kimia Kayu: Dasar-
dasar dan Penggunaan. Cetakan
kedua. Sastrohamidjojo, H
(penerjemah). Universitas Gadjah
Mada: Yogyakarta.
Fengel, Wegener. 1984. Kayu: Kimia,
Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Cetakan
pertama. Sastrohamidjojo, H
(penerjemah). Universitas Gadjah
Mada: Yogyakarta
Girrard, J.P. 1992. Smoking in Technology of
Meat Products. Clermont Ferrand.
Ellis Horwood, New York pp:
165:205
HP, Danawati, Trisna Dhaniswara Kumala dan
Agnes Selamat Pratiwi. 2009. Pabrik
Bio Oil dari Eceng Gondok dengan
Metode Pirolisis Cepat. Tugas Akhir,
Program Studi D3 Teknik Kimia,
Fakultas Teknik Industri, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember:
Surabaya
Kollman, F. P. And Cote, W.A. 1984.
Principles of Wood Science and
Technology. Sprenger Verlag, New
York
Kurniati, Rahmawati. 2007. Pembuatan Asap
Cair dan Pemurnian. Laporan
Penelitian, Jurusan Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas
Sriwijaya: Palembang
Maga, J.A. 1998. Smoke in Food Processing.
CRC Press, Inc. Boca Raton. Florida:
1-3, 131-138.
Paisal, Aidawati, Lytha Dwi Putri, dan Yusuf
Thoha. 2011. Pembuatan Karbon
Aktif dari Eceng Gondok. Laporan
Penelitian, Jurusan Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas
Sriwijaya: Indralaya
Pszczola, D.E. 1995. Tour Highlights
Production and Uses of Smoke Base
Flavors. Food Tech. (49): 70-74
Solichin, H.M. 2002. The Use of Liquid Smoke
for Natural Rubber Processing. Balai
Penelitian Sembawa: Palembang.
Suharmanto, Harman. 2012. Tinjauan Studi
Pembuatan Briket Arang, (online),
(http://harmansuharmanto.blogspot.co
m/2012/01/tinjauan-studi-pembuatan-
briket-arang.html, diakses pada
tanggal 10 September 2012)
Supriyanto, Hernowo dan Sipon Muladi. 1999.
Kajian Eceng Gondok sebagai Bahan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 203

Baku Industri dan Penyelamatan
Lingkungan di Daerah Perairan.
Fakultas Kehutanan, Universitas
Mulawarman: Samarinda.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 204

TL-2

PENGARUH SUHU KARBONISASI DAN KOMPOSISI
PEMBUATAN BRIKET BIOARANG CAMPURAN KULIT
DURIAN DAN
KULIT KACANG TANAH


Afifah Shalihah
1*
, Riska Hasnela W
1
, A. Rasyidi Fachry
2
1
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jl. Raya
Inderalaya Km.32, Inderalaya
2
Dosen Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jl. Raya
Inderalaya Km.32, Inderalaya
*
Koresponensi Pembicara. Phone: +62 852 6754 7179
Email : afifah.shalihah_tekim@yahoo.com


ABSTRAK
Kulit durian dan kulit kacang tanah merupakan limbah industri rumah tangga yang
masih memiliki nilai energi dan kurang optimal pemanfaatannya. Kulit durian dan
kulit kacang tanah banyak mengandung selulosa, sehingga bisa dijadikan bahan bakar
briket. Metode pembuatan briket bioarang dari kulit durian dan kulit kacang tanah
secara garis besar melalui tahapan pembersihan, pengeringan, karbonisasi,
pencampuran, dan percetakan. Pada penelitian ini variabel yang digunakan adalah
suhu karbonisasi dan perbandingan komposisi antara campuran kulit durian dan kulit
kacang tanah. Suhu karbonisasi yang digunakan mulai dari 300
o
C, 350
o
C, 400
o
C,
450
o
C, dan 500
o
C. Sedangkan variasi komposisi yang digunakan adalah 90 % KD : 0
% KK, 65 % KD : 25 % KK, 45 % KD : 45 % KK, 25 % KD : 65 % KK, 0 % KD : 90
% KK. Dan perekat yang digunakan berupa tepung kanji dengan kadar 10% dari
berat briket bioarang. Dari penelitian yang dilakukan didapat briket bioarang yang
memiliki kualitas optimal dengan suhu karbonisasi 450
o
C dan variasi komposisi 25%
KD : 65% KK : 10% LK dengan nilai kalor sebesar 4689 cal/gr, kadar air lembab
7,83 %, kadar abu 9,29 %, kadar zat terbang 21,21 %, dan kadar karbon padat sebesar
61,67 %.


Kata kunci : briket bioarang, kulit durian, kulit kacang tanah, nilai kalor.


1. PENDAHULUAN
Semakin terbatasnya jumlah bahan bakar fosil memicu munculnya kebutuhan
akan sumber energi alternatif, bahkan energi yang terbarukan. Hal ini tertera dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan
Energi Nasional, yang menyatakan bahwa pemerintah mengajak kepada seluruh pihak
maupun kalangan masyarakat Indonesia untuk menyukseskan pengembangan sumber
energi alternatif pengganti bahan bakar minyak. Sumber energi terbarukan
(renewable) dibutuhkan untuk penyediaan sumber energi secara berkesinambungan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 205

(sustainable). Hal ini akan lebih baik lagi apabila berasal dari limbah, sehingga dapat
menurunkan biaya produksi dan mengurangi efek negatif penumpukan limbah
terhadap lingkungan, (Arif Prasetyo, 2011).
Kulit durian mengandung minyak atsiri, flavonoid, saponin, unsur selulosa, lignin,
serta kandungan pati. Kulit durian secara proporsional mengandung unsur selulose
yang tinggi dan kandungan lignin serta kandungan pati yang rendah sehingga dapat
diindikasikan bahan tersebut bisa digunakan sebagai campuran bahan baku
pembuatan biobriket. Sedangkan pemanfaatan kacang tanah (Arachis hypogea) masih
terbatas pada pengolahan bijinya saja yang kemudian diolah menjadi berbagai produk
makanan ringan atau bumbu masakan. Sementara itu, kulitnya belum dimanfaatkan
secara maksimal. Padahal tidak tertutup kemungkinan bahwa di dalam kulit kacang
tanah (Arachis hypogea) tersebut juga tersimpan berbagai zat penting seperti yang
terkandung dalam bijinya, termasuk zat antioksidan.
Sebelum dimanfaatkan sebagai sumber energi, limbah tersebut perlu diproses atau
diolah menjadi bioarang terlebih dahulu. Bioarang adalah arang yang diperoleh
dengan membakar tanpa udara (pirolisis) dari biomassa kering (Seran, 1990).
Sedangkan biomassa adalah bahan bahan organik yang berasal dari jasad hidup,
baik hewan maupun tumbuh tumbuhan seperti daun, rumput, ranting, limbah
pertanian, limbah peternakan, dan gambut. (Johannes, 1981).
Proses karbonisasi merupakan suatu proses dimana bahan - bahan berupa batang,
daun, kulit, batubara, serbuk gergaji, tempurung kelapa, dan lain-lain, dipanaskan
dalam ruangan tanpa kontak dengan udara selama proses pembakaran sehingga
terbentuk arang. Proses karbonisasi merupakan salah satu tahap yang penting dalam
pembuatan briket bioarang.
Proses pembriketan adalah proses pengolahan yang mengalami perlakuan
penggerusan, pencampuran bahan baku, pencetakan dan pengeringan pada kondisi
tertentu, sehingga diperoleh briket yang mempunyai bentuk, ukuran fisik, dan sifat
kimia tertentu. Beberapa parameter kualitas briket yang akan mempengaruhi
pemanfaatannya adalah kandungan air, kandungan abu, kandungan zat terbang, dan
nilai kalor.

2. BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan :
1. Kulit Durian
2. Kulit Kacang Tanah
3. Bahan perekat yaitu tepung sagu (kanji)
4. Aquadest
5. NaOH
Alat yang digunakan
1. Muffle furnace
2. Ayakan dengan ukuran 60 mesh
3. Alat pencetak briket Specimen Mount Press
4. Oven
5. Neraca analitik
6. Alat analisa: Kalorimeter Bomb, Furnace ACF, Furnace VMF, dan Oven
7. Cawan porselin
8. Cawan silika
9. Cawan kuarsa
10. Cawan kurs
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 206

11. Hot plate
12. Desikator
13. Spatula
14. Loyang/nampan
15. Batang pengaduk
16. Beker Gelas
17. Botol penyemprot
18. Stopwatch

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisa briket bioarang kulit durian dan kulit kacang
Pada penelitian ini kami memiliki lima variasi komposisi antara kulit durian dan
kulit kacang tanah. Diantaranya adalah 90% berat komposisi kulit durian dan 10%
berat larutan kanji sebagai perekat serta 90% berat komposisi kulit kacang tanah dan
10% berat larutan kanji. Analisa yang didapatkan, hubungan antara suhu karbonisasi
terhadap nilai kalor, kadar air lembab, kadar abu, kadar zat terbang, dan karbon padat.


Gambar 1. Hubungan antara suhu karbonisasi terhadap nilai kalor

Gambar 1 menjelaskan dimana pada briket bioarang kulit durian dan kulit kacang
tanah dari suhu 300
o
C 450
o
C terjadi peningkatan nilai kalor sedangkan dari suhu
450
o
C 500
o
C terjadi penurunan nilai kalor. Hal ini disebabkan karena pada suhu
300
o
C arang kulit durian belum terkarbonisasi dengan sempurna dan memiliki kadar
zat terbang yang tinggi yang mempengaruhi terhadap nilai kalor sehingga didapat
nilai kalor yang lebih rendah. Pada suhu 450
o
C 500
o
C arang kulit durian dan kulit
kacang tanah sudah terkarbonisasi dengan sempurna tetapi seiring dengan
peningkatan suhu pada proses karbonisasi akan meningkatkan kadar abu yang akan
menurunkan nilai kalor. Jadi, dapat disimpulkan suhu optimum pada suhu 450
o
C
dengan nilai kalor 4074 kal/gr untuk briket bioarang kulit durian dan 5731 kal/gr
untuk briket bioarang kulit kacang tanah.


0
2000
4000
6000
8000
300 350 400 450 500
N
i
l
a
i

K
a
l
o
r

(
C
a
l
/
g
r
)

Suhu Karbonisasi (C)
Kulit Durian
Kulit Kacang Tanah
0
5
10
15
300 350 400 450 500
K
a
d
a
r

A
i
r

L
e
m
b
a
b

(
%
a
d
b
)

Suhu Karbonisasi (C)
Kulit Durian
Kulit Kacang
Tanah
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 207

Gambar 2. Hubungan antara suhu karbonisasi terhadap kadar air

Gambar 2 menjelaskan bahwa kadar air cenderung mengalami penurunan untuk
setiap suhu karbonisasi. Hal ini terjadi karena pada saat bahan dikarbonisasi kadar air
yang terkandung di dalam bahan akan keluar. Pernyataan diatas menyebabkan
semakin tinggi suhu karbonisasi maka kadar air yang menguap dari bahan akan
semakin banyak. Dengan kata lain, semakin tinggi suhu karbonisasi menyebabkan
kadar air pada briket bioarang memiliki kecenderungan semakin menurun.


Gambar 3. Hubungan antara suhu karbonisasi terhadap kadar abu

Gambar 3 menjelaskan bahwa seiring dengan semakin tingginya suhu karbonisasi
maka kecenderungan kadar abu akan semakin meningkat. Hal ini terjadi karena
banyaknya bahan yang terbakar menjadi abu sehingga hubungan antara kenaikan suhu
karbonisasi terhadap kadar abu akan sebanding. Dan bila dilihat dari gambar diatas,
kadar abu briket bioarang kulit durian berkisar 9% - 15% dan kadar abu briket
bioarang kulit kacang tanah berkisar 5% - 10%, dengan kisaran data diatas terlihat
bahwa kadar abu briket kulit durian lebih besar bila dibandingkan kadar abu briket
kulit kacang tanah.


Gambar 4. Hubungan antara suhu karbonisasi terhadap kadar zat terbang

Gambar 4 menjelaskan bahwa seiring dengan semakin tingginya suhu karbonisasi,
maka kecenderungan kadar zat terbang semakin menurun. Hal ini terjadi karena pada
saat bahan dikarbonisasi zat terbang yang terdapat di dalamnya akan menguap keluar
dari bahan tersebut. Dalam hal ini semakin tinggi suhu karbonissi maka jumlah zat
terbang yang menguap akan semakin banyak. Oleh karena itu semakin tinggi suhu
karbonisasi menyebabkan kadar zat terbang memiliki kecenderungan semakin
menurun.

0
10
20
300 350 400 450 500
K
a
d
a
r

A
b
u

(
%

a
d
b
)

Suhu Karbonisasi (C)
Kulit Durian
Kulit Kacang
Tanah
0
20
40
300 350 400 450 500
K
a
d
a
r

Z
a
t

T
e
r
b
a
n
g

(
%

a
d
b
)

Suhu Karbonisasi (C)
Kulit Durian
Kulit Kacang
Tanah
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 208


Gambar 5. Hubungan antara Suhu Karbonisasi terhadap Kadar Karbon Padat
Gambar 5 didapat nilai karbon padat (fixed carbon) yang identik dengan nilai
kalor (calorific value) yang telah didapat sebelumnya. Pada briket bioarang kulit
durian, didapatkan grafik yang cenderung naik, hanya saja mengalami keadaan
maksimal pada suhu 450
o
C sebesar 55,57. Selanjutnya pada suhu 500
o
C mengalami
penurunan yang signifikan menjadi 50,83. Hal ini bisa terjadi karena kadar abu yang
meningkat sangat tinggi pada karbonisasi pada suhu 500
o
C.
Hal yang sama juga terjadi pada briket bioarang kulit kacang tanah, hanya saja
nilai karbon padat lebih tinggi dibandingan dengan briket bioarang kulit durian.
Keadaan maksimal pada suhu 450
o
C sebesar 64,82 lalu pada suhu 500
o
C mengalami
penurunan menjadi 64,79.

Hasil analisa briket bioarang campuran kulit durian dan kulit kacang tanah
Hasil analisa dari campuran keduanya dengan variasi komposisi 65% berat kulit
durian (KD), 25% berat kulit kacang tanah (KK), 10% berat larutan kanji (LK). Lalu
ada variasi komposisi 45% KD ; 45% KK ; 10% LK dan 25% KD ; 65% KK ; 10%
LK. Analisa yang akan dibahas adalah nilai kalor (calorific value), kadar air lembab
(inherent moisture), kadar abu (ash), kadar zat terbang (volatile matter), dan kadar
karbon padat (fixed carbon).


Gambar 6. Pengaruh rasio komposisi briket bioarang campuran kulit durian dan kulit
kacang tanah terhadap nilai kalor

Gambar 6 didapat adanya pengaruh suhu karbonisasi, nilai kalor terendah pada
saat suhu karbonisasi 300
o
C dan nilai kalor tertinggi pada suhu karbonisasi 450
o
C.
Hasil analisa ini sama dengan hasil analisa briket bioarang tanpa ada pencampuran
diatas, dimana pada saat suhu 300
o
C arang kedua bahan belum terkarbonisasi
sempurna sehingga didapat nilai kalor yang rendah. Lalu pada suhu 500
o
C kedua
arang sudah terkarbonisasi sempurna tetapi seiring bertambahnya kadar abu sehingga
menurunkan nilai kalor yang dihasilkan. Pengaruh variasi komposisi terhadap nilai
kalor yang dihasilkan, pada suhu karbonisasi 450
o
C, didapat nilai kalor sebesar 4484
cal/gr untuk komposisi 65% KD : 25% KK : 10% LK. Selanjutnya dengan variasi
seimbang antara kedua bahan 45% KD : 45% KK : 10% LK nilai kalor meningkat
menjadi 4502 cal/gr. Dan variasi yang terakhir yaitu 25% KD : 65% KK : 10% LK
0
50
100
300 350 400 450 500
K
a
d
a
r

K
a
r
b
o
n

P
a
d
a
t

(
%

a
d
b
)

Suhu Karbonisasi (C)
Kulit Durian
Kulit Kacang
Tanah
2500
3500
4500
65/25/10 45/45/10 25/65/10 N
i
l
a
i

K
a
l
o
r

(
c
a
l
/
g
r
)

Rasio Komposisi
300
350
400
450
500
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 209

nilai kalor meningkat lagi menjadi 4689 cal/gr. Berdasarkan data tersebut dapat
dikatakan bahwa semakin bertambahnya berat kulit kacang tanah dan menurunnya
berat kulit durian nilai kalor yang dihasilkan cenderung meningkat. Hal ini
disebabkan karena pada briket bioarang kulit kacang tanah kadar kelembaban air,
kadar abu, dan kadar zat terbang lebih rendah bila dibandingkan dengn briket
bioarang kulit durian, sehingga dengan persentase berat kulit kacang tanah yang lebih
besar dapat cenderung meningkatkan nilai kalor.


Gambar 7. Pengaruh rasio komposisi briket bioarang campuran kulit durian dan kulit
kacang tanah terhadap kadar air lembab

Gambar 7 terlihat nilai kadar air tertinggi pada suhu karbonisasi 300
o
C yaitu
berkisar 8 -9 % dan kadar air terendah pada suhu karbonisasi 500
o
C berkisar 7%. Hal
ini sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, dengan semakin meningkatnya suhu
karbonisasi maka akan semakin turun kadar airnya. Karena dengan semakin tingginya
suhu maka kadar air yang terkadung di dalam bahan akan semakin banyak yang
menguap. Terlihat pada suhu 500
o
C nilai kadar air sebesar 7,98 untuk variasi
komposisi 65% KD : 25% KK : 10% LK. Dan untuk variasi komposisi 45% KD :
45% KK : 10% LK kadar air menurun menjadi 7,67, dan untuk variasi komposisi 25%
KD : 65% KK : 10% LK kadar air kembali menurun menjadi 7,65. Data tersebut
menunjukkan seiring berkurangnya berat kulit durian dan bertambahnya kulit kacang
maka kadar air dalam briket campuran tersebut semakin rendah. Hal ini disebabkan
karena kadar air yang terkandung di dalam arang kulit durian lebih besar
dibandingkan dengan kadar air di kulit kacang tanah.


Gambar 8. Pengaruh rasio komposisi briket bioarang campuran kulit durian dan kulit
kacang tanah terhadap kadar abu

Gambar 8 terlihat jelas bahwa kadar abu tertinggi terkandung di briket bioarang
pada suhu karbonisasi 500
o
C. Hal ini sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya
karena semakin tinggu suhu karbonisasi nya maka semakin banyak arang yang
terbakar menjadi abu. Hal inilah yang menyebabkan nilai kalor pada suhu 500
o
C
menjadi turun, bisa dilihat perbandingan kadar abu sangat jauh bila dibandingkan
dengan suhu karbonisasi yang lain. Berdasarkan variasi rasio komposisi terlihat pada
7
8
9
10
65/25/10 45/45/10 25/65/10
K
a
d
a
r

A
i
r

L
e
m
b
a
b

(
%
a
d
b
)

Rasio Komposisi
300
350
400
450
500
5
10
65/25/10 45/45/10 25/65/10
K
a
d
a
r

A
b
u

(
%

a
d
b
)

Rasio Komposisi
300
350
400
450
500
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 210

grafik terdapat garis menurun dari variasi komposisi 65% KD : 25% KK : 10% LK
menuju variasi komposisi 25% KD : 65% KK : 10% LK. Bisa dikatakan dengan
menurunnya berat kulit durian dan meningkatnya berat kulit kacang tanah akan
menurunkan kadar abu yang terkandung. Hal ini juga ditunjukkan pada briket
bioarang tanpa pencampuran, kadar abu briket bioarang kulit durian lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kadar abu briket bioarang kulit kacang tanah. Dari literatur
didapatkan informasi bahwa tingginya kadar abu dapat disebabkan karena adanya
pengotor (impurities). Pengotor dapat berupa pengotor bawaan yang memang
terkandung dalam kulit durian. Bahan pengotor ini dapat berupa mineral yang tidak
dapat dibakar atau dioksidasi oleh oksigen, seperti SiO
2
, Al
2
O
3
, Fe
2
O
3
, CaO, dan
alkali. Setelah pembakaran, bahan ini akan tersisa dalam wujud padat. Selain itu,
tingginya kadar abu dapat pula disebabkan karena adanya pengotor eksternal yang
berasal dari lingkungan pada saat proses pembuatan briket.


Gambar 9. Pengaruh rasio komposisi briket bioarang campuran kulit durian dan kulit
kacang tanah terhadap kadar zat terbang

Gambar 9 dapat dilihat kadar zat terbang tertinggi pada suhu karbonisasi 300
o
C
dan kadar zat terbang terendah pada suhu karbonisasi 500
o
C. Hal ini disebabkan
karena semakin meningkatnya suhu semakin banyak zat terbang yang terkandung
dalam arang kulit durian dan kulit kacang tanah menguap keluar. Berdasarkan variasi
komposisi pada suhu 500
o
C nilai kadar terbang sebesar 25,05 untuk komposisi 65%
KD : 25% KK : LK 10%, lalu nilai kadar terbang menurun menjadi 23,06 untuk
komposisi seimbang antara kulit durian dan kulit kacang tanah, dan nilai kadar
terbang turun lagi menjadi 20,28 pada komposisi 25% KD : 65% KK : LK 10%. Data
ini menunjukkan dengan semakin bertambahnya berat kulit kacang tanah dan
berkurangnya berat kulit durian akan semakin menurunkan kadar zat terbang yang
terkandung di dalam briket yang dihasilkan.

20
21
22
23
24
25
26
27
65/25/10 45/45/10 25/65/10
K
a
d
a
r

Z
a
t

T
e
r
b
a
n
g

(
%

a
d
b
)

Rasio Komposisi
300
350
400
450
500
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 211


Gambar 10. Pengaruh rasio komposisi Briket bioarang campuran kulit durian dan
kulit kacang tanah terhadap kadar karbon padat
Gambar 10 diatas terlihat jelas kadar karbon padat tertinggi terdapat pada suhu
karbonisasi 450
o
C dengan variasi rasio komposisi 25% KD : 65% KK : 10% LK
sebesar 61,67%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kalor dan kadar karbon padat
berbanding lurus. Sedangkan kadar karbon padat berbanding terbalik dengan kadar air
lembab, kadar abu, dan kadar zat terbang. Jadi semakin tinggi ketiga nilai tersebut
maka akan semakin rendah nilai karbon padat yang dihasilkan. Sebaliknya, nilai
karbon padat akan mencapai nilai maksimum saat kadar air lembab, kadar abu, dan
kadar zat terbang mencapai nilai minimum. Pernyataan ini ditunjukkan pada data
analisa briket bioarang suhu karbonisasi 450
o
C campuran 25% kulit durian, 65% kulit
kacang tanah, dan 10% larutan kanji.

Perbandingan hasil uji briket campuran kulit durian dan kulit kacang tanah
terhadap syarat mutu briket arang SNI

Tabel 1
Perbandingan kualitas briket bioarang kulit durian (90% KD : 0% KK : 10% LK)
terhadap syarat mutu briket arang SNI 01-6235-2000
Parameter Satuan
Syarat
Mutu
Suhu Karbonisasi
300
o
C 350
o
C 400
o
C 450
o
C 500
o
C
Calorific
Value
Cal/gr
Min
5000
3259 3303 3401 4074 3424
Inherent
Moisture
% (adb) Maks 8 10,24 9,67 9,43 9,27 8,81
Ash
Content
% (adb) Maks 8 9,06 9,43 9,63 9,99 15,21
Volatile
Matter
% (adb)
Maks
15
26,60 26,24 25,57 25,17 25,15

Tabel 2
Perbandingan kualitas briket bioarang kulit kacang tanah (0% KD : 90% KK : 10%
LK) terhadap syarat mutu briket arang SNI 01-6235-2000
Parameter Satuan
Syarat
Mutu
Suhu Karbonisasi
300
o
C 350
o
C 400
o
C 450
o
C 500
o
C
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
65/25/10 45/45/10 25/65/10
K
a
d
a
r

K
a
r
b
o
n

P
a
d
a
t

(
%

a
d
b
)

Rasio Komposisi
300
350
400
450
500
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 212

Calorific
Value
Cal/gr
Min
5000
4425 5023 5465 5731 5594
Inherent
Moisture
% (adb) Maks 8 8,22 8,08 7,85 7,81 7,64
Ash
Content
% (adb) Maks 8 5,26 6,56 8,21 8,25 10,85
Volatile
Matter
% (adb)
Maks
15
22,28 20,57 19,14 19,12 17,84


Tabel 3
Perbandingan kualitas briket bioarang campuran kulit durian dan kulit kacang tanah
suhu karbonisasi 450
o
C terhadap syarat mutu briket arang SNI 01-6235-2000
Parameter Satuan
Syarat
Mutu
Campuran Kulit Durian : Kulit
Kacang Tanah : Larutan Kanji
65 : 25 : 10 45 : 45 : 10 25 : 65 : 10
Calorific Value Cal/gr Min 5000 4484 4502 4689
Inherent Moisture % (adb) Maks 8 8,2 7,91 7,83
Ash Content % (adb) Maks 8 9,49 9,38 9,29
Volatile Matter % (adb) Maks 15 25,29 23,49 21,21

Dari tabel tabel diatas menjelaskan tentang syarat mutu briket arang yang
dikeluarkan oleh Standar Nasional Indonesia serta perbandingannya terhadap briket
yang diuji. Briket campuran kulit durian dan kulit kacang tanah sebagian besar tidak
memenuhi dari spesifikasi standar kualitas briket arang tersebut.
Pada tabel 1 dan tabel 2 yaitu briket bioarang kulit durian dan briket bioarang kulit
kacang tanah tanpa ada pencampuran di keduanya, nilai kalor briket kulit durian yang
dihasilkan tidak memenuhi syarat SNI tetapi pada kulit kacang tanah dari suhu 350
o
C
500
o
C memenuhi syarat SNI. Dan pada briket campuran keduanya didapat nilai
kalor tertinggi pada suhu karbonisasi 450
o
C pada komposisi 25% KD : 65% KK :
10% LK dengan nilai kalor sebesar 4689 cal/gr. Nilai ini belum bisa memenuhi syarat
mutu dari SNI. Kadar abu dan kadar zat terbang juga melebihi batas syarat mutu dari
briket yang dihasilkan. Kadar abu sebesar 9,29% dan kadar zat terbang sebesar
21,21% inilah yang menyebabkan rendahnya nilai kalor yang dihasilkan. Sedangkan
untuk kadar air sudah memenuhi syarat mutu sebesar 7,83%. Tetapi briket ini sudah
membantu mereduksi limbah yang tadinya tidak dimanfaatkan menjadi bermanfaat.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal campuran briket ini harus ditambahkan bahan
lain untuk penelitian kedepannya.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan, dimana dari
hasil analisa yang dilakukan suhu karbonisasi yang optimal adalah 450
o
C karena
diantara variabel suhu konsentrasi lainnya nilai kalor yang dihasilkan merupakan nilai
kalor tertinggi di setiap rasio komposisi campuran briket bioarang.
Dan untuk rasio komposisi antara kulit kacang dan kulit durian disimpulkan
semakin banyak rasio kulit durian maka akan menurunkan nilai kalor dan
meningkatkan kadar abu. Hal ini disebabkan kadar karbon padat yang terkandung di
dalam kulit kacang lebih besar dibandingkan kadar karbon padat dalam kulit durian.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 213

Jadi rasio terbaik adalah 25% KD 65% KK dan 10% LK dengan nilai kalor sebesar
4689 cal/gr, kadar air lembab 7,83%, kadar abu 9,29%, kadar zat terbang 21,21%, dan
kadar karbon padat 61,67%.

5. REFERENCES
Agung Setiawan & Okvi Andrio (2011). Pengaruh Komposisi Pembuatan Biobriket
dari Campuran Kulit Kacang dan Serbuk Gergaji terhadap Nilai Pembakaran.
Indralaya : Jurusan Teknik Kimia
Agus Sunyata & Dewi Wulur P (2011). Pengaruh Kerapatan dan Suhu Pirolisa
terhadap Kualitas Briket Arang Serbuk Kayu Sengon. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Yogyakarta
Bazlina Dawami Afrah & Michael (2011). Pengaruh Penambahan Batubara Lignit
Terhadap Kualitas Briket Bioarang dari Campuran Tandan Kosong dan Cangkang
Kelapa Sawit. Indralaya : Jurusan Teknik Kimia UNSRI
Eko M, Debi & Danar Kusananda (2008). Pembuatan Biobriket dari Campuran Kulit
Kacang dan Serbuk Gergaji sebagai Bahan Bakar Alternatif. Institut Teknologi
Surabaya. Surabaya.
Hendra, Djeni (2011). Pemanfaatan Eceng Gondok untuk Bahan Baku sebagai Bahan
Bakar Alternatif. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan. Bogor
Marjono (2009). Kulit Durian sebagai Energi Alternatif. (http : // untuk bumiku .
blogspot.com/2009/08/briket-kulit-durian-sebenarnya-tak-jauh.html.) Diakses
pada tanggal 6 Desember 2011
Marjono (2009). Manfaat Kulit Durian. ( http : / / untuk bumiku . blogspot . com /
2009/08/briket-kulit-durian-sebenarnya-tak-jauh.html) Diakses pada tanggal 6
Desember 2011
Prasetyo, Arif (2011). Potensi Kulit Durian Kartono sebagai Sumber Energi Alternatif
Biobriket di Daerah Pekalongan. Pekalongan
Ragilia, Rezy Putri (2011). Briket Arang Kulit Kacang Tanah dengan Proses
Karbonisasi. Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Surabaya.
Rossi, prabowo (2008). Pemanfaatan Limbah Kulit Durian sebagai Produk Briket di
Wilayah Kecamatan Gunung Pati Kabupaten Semarang. Universitas Wahid
Hasyim. Semarang.
Sani, Hardy Rakhman (2009). Pembuatan Briket Arang dari Campuran Kulit Kacang,
Cabang dan Ranting Pohon Sengon serta Sebetan Bambu. Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor.
Standar Nasional Indonesia (2000). Briket Arang Kayu. ( http : / / sisni . bsn . go . id /
index.php?/sni_main/sni/detail_sni/5781) Diakses pada tanggal 23 Juli 2012
Supriyatno (2010). Uji Coba Karakterisasi Contoh Produk Inovasi Briket Batubara
Biomasa di . Pusat Penelitian Fisika LIPI. Bandung.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 214

TL-3

PENGARUH PARAMETER ARUS LISTRIK TERHADAP KEKASARAN
PERMUKAAN PADA ELECTRO DI SCHARGE MACHI NI NG (EDM)

Al Antoni Akhmad
1
, Ai Ruchiat
2

1
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Inderalaya
Km.32, Inderalaya, Sumatera Selatan, Indonesia
2
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Industri Universitas Trisakti,
Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol Jakarta 11440, Indonesia
Email: alantoni78@yahoo.com, airuchiyat@yahoo.com

ABSTRAK


Pemotongan logam yang keras atau logam yang mempunyai bentuk komplek sulit
dilakukan dengan proses pemesinan konvensional. Hal ini bias dilakukan dengan
menggunakan proses pemesinan non konvensional, salah satu adalah dengan Electro
Discharge Machining (EDM). Proses ini banyak digunakan untuk membuat moud
dan dies. Kualitas permukaan mould dan dies berpengaruh terhadap kualitas produk
yang akan dihasilkan. Diantara parameter proses EDM yang menentukan kualitas
permukaan terpotong dari benda kerja adalah arus dan frekuensi. Mesin EDM
dilengkapi dengan data yang diperuntukan sebagai pedoman umum bagi pemakai,
namum data tersebut tidak memenuhi seluruh kebutuhan yang diperlukan oleh
pemakai. Penelitian ini berisi tentang parameter proses EDM terhadap kekasaran
permukaan benda kerja Hardened Tool Steel (SKD 11), dengan menggunakan
tembaga sebagai elektroda.

Keywords: Electro Discharge Machining (EDM), Hardened Tool Steel (SKD 11)


1. Pendahuluan
Pada proses pemesinan konvesional, proses pemotongan terjadi karenan adanya
gerak relatif antara perkakas potong dengan benda kerja. Ujung pahat diset untuk
penetrasi kedalam permukaan benda kerja sedalam kedalaman pemotongan,
selanjutnya dengan adanya gerak potong dan gerak makan terjadilah proses potongan.
Pada perkakas potong (pahat) terjadi gaya pemotongan, dan juga timbul panas
karena gesekan antara geram dengan bidang geram, antara benda kerja dengan bidang
bantu dan pengerusakan molekuler pada bidang geser. Sehubungan dengan hal
tersebut diperlukan material pahat yang mempunyai sifat keras, tahan terhadap
temperatur tinggi dan mampu untuk menahan gaya-gaya pemotongan, dengan
demikian diharapkan pahat mempunyai umur yang lebih lama. Pahat harus
mempunyai kekerasan yang jauh lebih tinggi dibanding dengan benda kerja. Bentuk
benda kerja yang dapat dihasilkan terbatas oleh bentuk pahat, jenis gerak relatif
mekanismenya. Gerak translasi akan menghasilkan permukaan datar, dan gerak
berputar akan menghasilkan permukaan silindris.
Dengan telah ditemukannya jenis material yang kerasnya menyamai atau lebih
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 215

tinggi dari kekerasan pahat potong, seperti material yang digunakan untuk industri
penerbangan/antariksa, pembuatan dies dan pembuatan mold. Maka proses
manufaktur material tersebut tidak dapat lagi dilakukan dengan menggunakan proses
pemesinan konvensional biasa. Hal ini dikarenakan material tersebut mempunyai
bentuk kompleks atau dimensinya sangat kecil sehingga pembuatannya tidak bisa
dilakukan melalui proses pemesinan konvensional.

2. Proses Electro Discharge Machining (EDM)
EDM adalah suatu proses pemesinan nonkonvensional yang pembentukan
geramnya menggunakan pelepasan muatan listrik dengan periode singkat dan dengan
rapat muatan yang tinggi antara elektroda dan benda kerja. Suatu mekanisme
pengontrol gerakan elektroda menjaga agar tetap terbentuk suatu celah antara
elektroda dan benda kerja sebesar 0.01 hingga 0.5 mm. Jika pada harga celah tertentu
tercapai breakdown voltage maka terjadilah pelepasan muatan listrik tersebut.
Lihat gambar 1.



Gambar 1. Skema Mesin EDM

Proses EDM paling banyak digunakan untuk membuat cetakan (mould dan
dies), penggunaannya bergantung pada faktor-faktor sebagai berikut:
1. Material benda kerja.
2. Bentuk benda kerja yang akan diproduksi
3. Ketelitian yang dibutuhkan.
4. Banyaknya geram yang terbentuk selama proses (kecepatan penghasilan geram).
Kualitas permukaan dari mold dan dies akan menentukan kualitas permukaan
komponen yang dihasilkan, ini merupakan salah satu aspek penting dalam desain
komponen mesin. Hal ini dikarenakan permukaan produk/komponen tersebut
berpengaruh langsung terhadap gaya gesek, ketahanan keausan, kelelahan (fatique),
dan surface finish. Kekasaran permukaan memiliki peran yang sangat penting pada
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 216

proses pelapisan dan penyambungan. Produk cetak yang dihasilkan kualitasnya
ditentukan berdasarkan besarnya kekasaran permukaan cetakan.
Pada mesin EDM biasanya dilengkapi dengan data pemesinan sebagai pedoman
umum bagi para pengguna dalam merencanakan proses pemotongannya. Data
pemesinan yang tersedia didasarkan dari pengujian pemesinan yang dilakukan oleh
pembuat mesin, yang terdiri atas kombinasi jenis material benda kerja dan pahat serta
kekasaran permukaan yang ingin dicapai, yang disusun dalam bentuk tabel.
2.1. Peristiwa Pelepasan Muatan
Benda kerja biasanya sebagai anoda dihubungkan pada kutub positip dan
perkakas sebagai katoda dihubungkan pada kutup negatip, kedua elektroda tersebut
terpisah oleh celah dan berada didalam fluida dialektrik yang semula bersifat isolator.
Untuk memungkinkan terjadinya pelepasan muatan listrik maka beda tegangan
dari kedua elektroda tadi harus melampaui tegangan breakdown voltage celah
dialektrik tersebut, yang besarnya tergantung pada :
1 Jarak dua posisi yang terdekat antara pahat dengan benda kerja.
2 Sifat isolator dari cairan dialektrik.
3 Tingkat polusi yang terjadi antara calah dialektrik tersebut.

Proses pelepasan muatan listrik (loncatan. Bunga api listrik) diantara katoda dan
anoda adalah sebagai berikut :

1. Adanya medan listrik antara kedua elektroda yang terpisah pada jarak
tertentu menyebabkan elektron bebas pada permukaan katoda (perkakas) bergerak
menuju Anoda dengan kecepatan tertentu yang besarnya dipengaruhi oleh kuat
medan antara kedua elektroda. Makin kuat medan listrik, makin cepat
elektron bergerak, makin besar energi kinetik elektron tersebut. Pada kecepatan
tertentu elektron ini akan menabarak elektron pada molekul fluida dialektrik
sehingga molekul ini menjadi ion positip dan selanjutnya bergerak menuju
perkakas (katoda). Lihat Gb. 2


Gambar 2 Proses Ionisasi

2. Elektron yang lepas dari molekul dialektrik akan menambah jumlah elektron
yang menuju ke Anoda dan juga akan menabarak kembali melekul dialektrik,
sehingga ion- ion yang baru yang terbentuk akan bertambah banyak sehingga
terbentuk saluran ion, lihat gb. 4.4. Degan terbentuknyha saluran ion ini
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 217

menyebabkan tahanan listrik fluida dialektrik menjadi rendah sekali, maka
terjadilah pelepasan energi listrik berupa loncatan bunga api listrik . Loncatan
bunga api listrik terjadi secara tidak kontinu tetapi secara periodik terhadap
waktu..

Gambar 3 Pembentukan Saluran Ion

3. Setiap loncatan bunga api listrik yang terjadi menyebabkan suatu pemusatan
aliran elektron yang bergerak dengan kecepatan yang tinggi dan menumbuk
permukaan benda kerja, hal ini dapat dilihat pada gambar 4. Bagian dari
permukaan benda kerja ini akan mengalami kenaikan temperatur sekitar 8.000
12.000 C dan akan menyebabkan pelelehan lokal pada bagian tersebut.
Kondisi seperti ini terjadi pula pada permukaan elektroda pada saat bersamaan
terjadi pula penguapan (vaporization) baik pada permukaan benda kerja, elektroda
maupun cairan dielektrik. Kenaikan temperatur menyebabkan membesarnya
volume maupun tekanan gelembung uap tersebut.

Gambar 4 Loncatan Bunga Api Listrik

4. Setelah terjadinya loncatan bunga api listrik maka aliran listrik terhenti,
menyebabkan penurunan temperatur secara mendadak, mengakibatkan gelembung
uap tersebut mengkerut dan menyebabkan bagian material yang leleh tersebut
akan terpencar keluar dari permukaan meninggalkan bekasbekas berupa kawah
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 218

kawah halus pada permukaan material, hal ini dapat dilihat pada Gb. 5..
Bagianbagian yang terpencar ini secepatnya membeku kembali membentuk
partikelpertikel halus yang terbawa pergi oleh aliran cairan dielektrik.


a

b
Gambar 5. a. Kawah Hasil EDM. b. Partikel yang Terlepas

2.2. Pembilasan (Flushing)
Pembilasan adalah sirkulasi cairan dielektrik antara elektroda dan benda kerja
untuk membawa partikel geram yang terbentuk. Flushing merupakan faktor penting
pada proses EDM, karena pengaturan flushing yang salah dapat sering terjadi hubung
singkat antara elektroda dan benda kerja sehingga memperlama pengerjaan,
ataupun dapat terjadi penyimpangan geometri produk seperti efek tapering. Ada 4
metode flushing yaitu:
1. Injection Flushing: cairan dielektrik disemprotkan ke celah antara benda kerja
dan elektroda, melalui elektroda berlubang.
2. Suction Flushing: cairan dielektrik dihisap melalui lubang/celah antara benda
kerja.
3. Side Flushing: digunakan apabila benda kerja dan elektroda tidak mungkin
dibuat saluran untuk membawa partikel tersebut keluar. Dalam metode ini
digunakan nosel yang ditempatkan dibagian sisi.
4. Combined Flushing: merupakan kombinasi antara injection dan suction
flushing. Ini digunakan untuk pembilasan benda yang bentuknya kompleks dan
besar.

2.3. Jenis Proses Pengerjaan dengan EDM
Pada prinsipnya proses pemesinan dengan EDM terbagi menjadi tiga jenis
yaitu:
1. Proses Sinking, (Gambar 6 dan 7)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 219


Gambar 6. Penggurdian

Gambar 7. Pembentukan Celah 3 Dimensi

3. Proses Pemotongan. (Gambar 8 11)


Gambar 8. Pemotongan dengan Pisau


Gambar 9. Pemotongan dengan Kawat




Gambar 10. Pemotongan dengan Pita



Gambar 11. Pemotongan dengan Cakram


4. Proses Gerinda. (Gambar 12 - 14)




Gambar12. Gerinda Silindrik Luar

Gambar 13. Gerinda Silindrik Dalam

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 220


Gambar 14. Gerinda Profil


4.1. Elektroda
Elektroda adalah suatu pahat yang digunakan pada proses EDM dan
mempunyai bentuk kebalikan dari benda kerja yang diinginkan, sebagai contoh
diperlihatkan pada bagian kiri gambar 15.


Gambar 15. Elektroda


5. Alat, Bahan dan Tata kerja
5.1. Rancangan Benda Kerja
Benda uji dari material SKD 11 merupakan empat persegi panjang dengan
ukuran panjang, lebar dan tebal masing-masing adalah 148, 50 dan 15 mm. Pada
kedua sisi permukaannya akan dilakukan pemotongan dengan elektroda silindrik, pola
lingkaran menunjukan tempat dimana pemotongan dilakukan. Dari kedua permukaan
tersebut dapat dilakukan pemotongan sebanyak tiga puluh kali, lihat gambar 16.

5.2. Bahan Elektroda
Bahan elektroda yang digunakan adalah: tembaga, dengan bentuk silindrik dengan
ukuran 12 mm dan panjang 60 mm yang dibuat dengan mesin bubut.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 221


Gambar 16. Bentuk Benda Kerja
5.3. Mesin EDM
Mesin yang digunakan dalam pengujian ini adalah Maho HS 300 E yang terdapat
di Laboratorium Proses Produksi CNC Jurusan Tekhnik Mesin Universitas Trisakti
dengan daya maksimal 11 kVA, arus maksimal 60 Amper, panjang sumbu dalam
arah sumbu X, Y, dan Z masing-masing sebesar: 280,185, 280 mm.
5.4. Alat Ukur Kekasaran Permukaan
Berikut ini adalah spesifikasi alat ukur kekasaran permukaan yang digunakan, yaitu:
Material Stylus Diamond, Stylus Radius 5 m, Gaya Pengukuran 4 mN, Drive Speed
0.5 mm/s.

5.5. Tata Kerja penelitian
Penelitian yang digunakan ini menggunakan metode eksperimen, dengan melakukan
pemotongan benda kerja dilanjutkan dengan pengukuran kekasaran permukaan hasil
pemotongan.
Tahap pertama pemotongan dengan arus listrik sebagai variable tak bebas
berturut-turut digunakan 1,2,3,6,9,14,20,30,45 dan 60 Amp. yaitu harga arus listrik
yang bisa diset pada mesin. Sedangkan frekuensi yang digunakan konstan sebesar
220x10
3

Hz. Dengan kondisi pemotongan sama pengujian diulang sebanyak tiga kali.
Kemudian pengujian dilanjutkan dengan menggunakan frekuensi yang berbeda,
yaitu 250x10
3
Hz, 280x10
3
Hz dan 300x10
3
Hz, 400x10
3
Hz.
Tahap kedua pemotongan adalah frekuensi sebagai variable tak bebasnya,
yaitu sebesar 220x10
3
Hz, 250x10
3
Hz, 280x10
3
Hz, 300x10
3
Hz, dan 400x10
3
Hz,
dengan arus listrik tetap masing-masing pada harga 1,2,3,6,9,14,20,30,45 dan 60
Amp.

6. Hasil Pengukuran Kekasaran Permukaan dan Analisa Data
Hasil pengukuran ditunjukan pada gambar 17 dan 18, masing masing adalah
POTONGAN A-A
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 222

hasil pemotongan dengan arus dan frekuensi variabel.



Gambar 17. Grafik Hubungan Antara Arus dengan Kekasaran Permukaan


Berdasarkan gambar 17 di atas terlihat bahwa pada harga frekuensi tertentu
dengan bertambahnya arus kekasaran permukaan juga meningkat. Dengan asumsi
kenaikan tersebut mengikuti fungsi pangkat maka hubungan fungsional antara
perubahan arus terhadap kekasaran permukaan dapat ditentukan dengan analisis
regresi nonlinier. Berdasarkan data tersebut dengan menggunakan program Ms Excel
diperoleh persamaan yang menyatakan hubungan kedua variable proses tersebut,
sebagaimana ditunjukan pada gambar 19. Untuk setiap frekuensi ditampilkan dalam
satu grafik yang berbeda agar diperoleh tampilan grafik yang jelas.


Gambar 18. Grafik Hubungan Antara Frekwensi dengan Kekasaran Permukaan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 223





Gambar 19. Pengaruh besarnya frekuensi terhadap kekasaran permukaan, pada
berbagai harga arus listrik.



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 224





Gambar.20. Pengaruh Besar Arus [Amp] Terhadap Kekasaran Permukaan [m]

Selanjutnya berdasarkan hasil pengukuran yang ditunjukan pada gambar 18
dapat diketahui bahwa akan terjadi penurunan kekasaran permukaan jika
dilakukan pemotongan pada arus listrik tetap dan frekuensi berubah sebagaimana
dapat dilihat pada gambar 19.
Jika data hasil pengujian dibandingkan dengan Gambar 21, pada pengujian
arus berubah terbukti memiliki kecenderungan yang sama yaitu bahwa besarnya
kekasaran permukaan akan membesar bila arus diperbesar. Demikian pula halnya
dengan harga frekuensi yang digunakan, jika semakin besar maka kekasaran
permukaan akan turun.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 225

Gambar 21. Grafik Kekasaran Permukaan dalam EDM yang Diakibatkan Oleh Arus
dan
Frekuensi

7. Kesimpulan
Dari Hasil pengujian pemotongan benda kerja SKD 11 dengan elektroda
tembaga pada mesin EDM MAHO HS 300 E, penulis mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Parameter proses yang diuji yaitu arus dan frekuensi mempengaruhi besarnya
kekasaran permukaan benda kerja.
2. Dalam rentang arus listrik yang diuji diperoleh data pemesinan yang merupakan
fungsi pangkat yaitu kekasaran permukaan terhadap arus listrik. Setiap kenaikan arus
listrik akan mengakibatkan naiknya nilai kekasaran permukaan. Adapun nilai
kekasaran permukaan yang didapat antara 0.53 m 23.72 m.
3. Sedangkan hasil pengamatan melalui grafik hubungan antara kekasaran
permukaan dengan frekuensi menunjukan bahwa semakin besar frekuensi akan
mengakibatkan turunya nilai kekasaran permukaan secara linier.

DAFTAR PUSTAKA
[1]. Bagiasna, Komang, & Yuwono, Sigit, Proses Proses Non Konvensional, Diktat
Kuliah, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITB
[2]. Boothroyd, Geoffrey, Fundamental of Metal Machining and Machine Tools,
Scripta Book Co., 1975.
[3]. Charmilles. A Practical Guide To EDM.
[4]. Dutta, R D. Machine Tools (Workshop Tecnology). Volume II
[5]. E. Paul DeGarmo, J.T. Black, Ronald A. Kohser, Materials And Processes In
Manufacturing, 8
th
, Prentice-Hall of India, New Delhi, 2002
[6]. Maho Hansen GMBH. Training Manual Erocom. German.
[7]. Mikell P. Groover. Fundamentals of Modern Manufacturing: Materials,
Processes, and Systems, 3rd Edition, Jhon Wiley, USA, 2010
[8]. Taufiq Rochim, Sri Hardjoko Wirjomartono, Sfesifikasi Geometris,
Metrologi Industri,ITB, 2004
[9]. Kontrol Kualitas, Lab. Metrologi Industri, Jurusan Teknik Mesin, FTI-ITB,
Bandung, 1985
[10]. Yoedi Poedjo Pranoto, Pengaruh Paramater Proses EDM MAHO HS 300
E Terhadap Kekasaran Permukaan Pada Pemotongan Material Skd 11, Tugas
Akhir, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri Universitas Trisakti,
Jakarta, 2004.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 226


TL-4

ALKALI NE PRETREATMENT DAN PROSES SIMULTAN
SAKARIFIKASI-FERMENTASI (SSF) UNTUK MEMPRODUKSI
BIOETANOL BERBAHAN BAKU JERAMI PADI

Novia*, Elizabeth Theresia Mathilda, Puti Dwi Septia
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang-
Prabumulih Km.32-Inderalaya Ogan Ilir 30662
*
Koresponensi: Phone: +62 711 580303 / 081368632611, Fax: +62 711 580303
Email: noviasumardi@yahoo.com


ABSTRAK

Jerami padi memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai energi alternatif. Hal ini
dikarenakan jerami padi mengandung lignosellulosa, apabila diolah lebih lanjut
menghasilkan bioetanol generasi-2. Pada penelitian ini, produksi etanol dari biomassa
lignoselulosa jerami padi terdiri dari tahap Pretreatment Alkaline dilanjutkan dengan
metode SSF (Simultan Sakarifikasi-Fermentasi) dan tahap purifikasi etanol.
Sakarifikasi menggunakan metode enzimatik dengan bantuan enzim selulase yang
berasal dari fungi Aspergillusniger. Variabel yang digunakan adalah waktu tinggal
dan konsentrasi NaOH pada saat pretreatment. Waktu tinggal yang digunakan mulai
dari 30, 45, 60, 75, sampai dengan 90 menit. Sedangkan konsentrasi NaOH yang
digunakan adalah 0%; 0,5%; 1%; 1,5%; dan 2%. Dari hasil penelitian yang dilakukan
didapat kadar etanol yang tertinggi 14,599% dengan waktu tinggal 90 menit dan
konsentrasi NaOH 2%.

Kata kunci : etanol, hidrolisis enzimatik, jerami padi, SSF.
1. PENDAHULUAN
Krisis energi yang melanda dunia dapat diatasi dengan mencari energi alternatif
pengganti bahan bakar minyak. Permintaan BBM untuk kebutuhan transportasi dan
aktifitas industri terus meningkat sementara cadangan minyak mentah semakin
menipis. Energi alternatif yang dapat di perbaharui dan ramah lingkungan salah
satunya bioetanol. Selama ini bioetanol banyak di produksi dari gula tebu, jagung,
kulit nanas, pisang dan singkong. Hal ini dapat mengurangi ketersediaan bahan
pangan, sehingga terjadi persaingan antara pemenuhan kebutuhan pangan dan energi.
Harga bahan pangan akan mengalami peningkatan.
Selama ini pemanfaatan jerami padi masih sangat terbatas hanya di gunakan untuk
makan ternak dan pupuk. Padahal jerami padi ini merupakan biomassa lignoselulosa
yang dapat di manfaatkan untuk pembuatan bioetanol generasi-2. Ketersediaanya
melimpah sehingga tidak mengganggu kebutuhan stok bahan pangan. Namun
pembuatan bioetanol dari biomassa lignoselulosa melalui tahap yang lebih panjang
dibanding bioetanol generasi-1. Lignin yang terkandung pada biomassa harus
dihilangkan terlebih dahulu sebelum dikonversikan menjadi bioetanol.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 227


Pada penelitian ini, produksi bioetanol dari biomassa lignoselulosa jerami padi
meliputi tahap Alkaline Pretreatment, hidrolisis (sakarifikasi), fermentasi dan tahap
purifikasi etanol. Alkaline Pretreatment digunakan untuk memisahkan kandungan
lignin dan hemiselulosa dari selulosa, agar dapat menghasilkan gula yang lebih tinggi.
Hidrolisis selulosa secara enzimatik menggunakan enzim selulase yang berasal dari
fungi Aspergillusniger. Enzim ini memiliki kemampuan untuk memecah selulosa
menjadi glukosa. Untuk mendapatkan yield yang lebih tinggi digunakan metode SSF
(simultan sakarifikasi dan fermentasi).

Pretreatment
Pretreatment biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk mendapatkan hasil
yang tinggi (Mosier, et al., 2005). Pretreatment dapat dilakukan secara fisika (size
reduction: pencacahan, penggilingan); fisiko-kimia (steam explosion, ammonia fiber
explosion (AFEX), CO
2
explosion); kimia (alkaline pretreatment, ozonolisis,
hidrolisis asam, delignifikasi oksidatif, dan proses organosolv); biologis maupun
kombinasi dari cara tersebut (Sun & Cheng, 2002). Menurut (Mosier, et al., 2005)
alkaline pretreatment memiliki kelebihan yaitu menggunakan temperatur dan tekanan
yang lebih rendah.
Peneliti terdahulu (Mcintosh & Vancov, 2010) menggunakan alkaline
pretreatment pada biomassa jerami sorgum sebelum dihidrolisis menjadi glukosa.
Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa NaOH pada konsentrasi 2% (suhu
121
o
C, waktu pretreatment 90 menit) mampu menghilangkan lignin sebesar 77,3%.
Peneliti lain (Harun, Jason, Cherrington, & Danquah, 2010) menggunakan alkaline
pretreatment untuk memproduksi bioetanol dari mikroalga. Hasil penelitian mereka
menunjukkan bahwa yield glukosa tertinggi diperoleh sebesar 350 mg/gr alga dan
etanol tertinggi sebesar 0.26 gr ethanol/gr algae pada saat penggunaan NaOH 0,75 %
(berat/volume), suhu 120
o
C selama 50 menit. Pretreatment dapat juga dilakukan
dengan memberikan perlakuan H
2
SO
4
encer (1%) dan larutan NaOH (4%) untuk
mendegradasi lignin pada biomassa TKKS (Novia, Faizal, Ariko, & Yogamina.,
2011). Namun penelitian mereka belum menunjukkan apakah asam atau basa yang
lebih berperan dalam pemutusan rantai lignin. Dari beberapa penelitian terdahulu
dapat disimpulkan bahwa alkaline pretreatment dapat menghilangkan kandungan
lignin pada biomassa lignoselulosa.

Hidrolisis
Hidrolisis meliputi proses pemecahan polisakarida di dalam biomassa
lignoselulosa, yaitu: selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula penyusunnya.
Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa
menghasilkan beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa (C6). Hidrolisis
dapat dilakukan secara kimia (asam) atau enzimatik.
Hidrolisa sellulosa secara enzimatik memberi yield etanol sedikit lebih tinggi
dibandingkan metode hidrolisa asam serta lebih ramah lingkungan. Proses hidrolisa
enzimatik memerlukan Pretreatment bahan baku agar struktur sellulosa siap untuk
dihidrolisa oleh enzim.

Fermentasi
Fermentasi adalah suatu proses dimana enzim yang ada di mikroorganisme
mengkatalisis suatu reaksi kimia untuk mengubah suatu gula sederhana atau asam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 228


amino menjadi senyawa dengan massa molekul yang lebih rendah seperti asam
organik dan etanol. Ada banyak mikroorganisme yang dapat melakukan fermentasi,
contohnya adalah ragi/jamur. Dalam suatu proses fermentasi, tergantung
mikroorganisme yang berperan, akan menghasilkan senyawa-senyawa seperti karbon
dioksida, asam organik, etanol, dan hasil-hasil metabolisme lainnya.
Secara ringkas seluruh rangkaian reaksi yang terjadi adalah hidrolisis pati atau
polisakarida menjadi maltosa (disakarida) kemudian dihidrolisis menjadi glukosa,
selanjutnya diubah menjadi alkohol dan gas karbondioksida oleh Saccharomyces
cerevisae.

(C
12
H
20
O
10
) n n (C
12
H
22
O
11
)
Pati Maltosa

C
12
H
22
O
11
+ H
2
O C
6
H
12
O
6
+ C
6
H
12
O
6
Maltosa Air Glukosa Glukosa

C
6
H
12
O
6
2 C
2
H
5
OH + 2 CO
2

Glukosa
(Saccharomyces Cerevisiae)
Etanol

Simultan Sakarifikasi dan Fermentasi (SSF)
Proses hidrolisis umumnya digunakan pada industri etanol adalah menggunakan
hidrolisis dengan asam (acid hydrolysis) dengan menggunakan asam sulfat (H
2
SO
4
)
atau dengan menggunakan asam klorida (HCl). Proses hidrolisis dapat dilakukan
dengan menggunakan enzim yang sering disebut dengan enzymatic hydrolysis yaitu
hidrolisis dengan menggunakan enzim jenis selulase atau jenis yang lain. Keuntungan
dari hidrolisis dengan enzim dapat mengurangi penggunaan asam sehingga dapat
mengurangi efek negatif terhadap lingkungan. Kemudian setelah proses hidrolisis
dilakukan fermentasi menggunakan yeast seperti Saccharomyces cerevisiae untuk
mengkonversi menjadi etanol. Proses hidrolisis dan fermentasi ini akan sangat efisien
dan efektif jika dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa melalui tenggang waktu yang
lama, hal ini yang sering dikenal dengan istilah Simultaneous Sacharificatian and
Fermentation (SSF).
Proses SSF sebenarnya hampir sama dengan proses yang terpisah antara
hidrolisis dengan enzim dan proses fermentasi, hanya dalam proses SSF hidrolisis dan
fermentasi dilakukan secara serentak dan berkelanjutan.
Keuntungan dari proses ini adalah polisakarida yang terkonversi menjadi
monosakarida tidak kembali menjadi poliskarida karena monosakarida langsung
difermentasi menjadi etanol. Selain itu dengan menggunakan satu reaktor dalam
prosesnya akan mengurangi biaya peralatan yang digunakan (Samsuri, et al., 2007).

Bioetanol Sebagai Sumber Energi
Bioetanol merupakan etanol yang dihasilkan melalui proses fermentasi. Saat ini
etanol tidak hanya digunakan sebagai minuman tetapi juga digunakan sebagai salah
satu alternatif bahan bakar pengganti bahan bakar fosil. Di Indonesia penelitian ini
baru dilakukan dalam beberapa tahun terakhir.
Bioetanol digunakan sebagai bahan bakar kendaraan sebagai campuran dengan
bensin yang dinamakan gasohol. Campuran yang paling banyak digunakan yaitu E85
dan E10. Dengan campuran seperti ini mesin tidak perlu mengalami modifikasi.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 229


Keuntungan menggunakan bioetanol sebagai bahan bakar adalah karena bioetanol
merupakan sumber energi yang dapat diperbaharui. Disamping itu bioetanol memiliki
bilangan oktan yang lebih tinggi dibandingkan bensin bahkan Pertamax sehingga
pembakarannya lebih sempurna. Lebih dari itu bioetanol merupakan bahan bakar yang
baik untuk kendaraan hybrid di masa yang akan datang (Hahn-Hagerdal, Galbe,
Gorwa-Grauslund, Liden, & Zacchi, 2006).
2. METODE PENELITIAN
2.1. Pembuatan Enzim Selulase Dari Aspergillus Niger
A. Pembenihan Inokulasi
Mikroba yang digunakan adalah Aspergillus niger. Pembenihan dilakukan pada
media PDA (Potato Dextrose Agar) secara zig-zag dengan menggunakan kawat
inokulasi di dalam cawan petri secara aseptik. Mikroba diinkubasi pada suhu 30C
selama 120 jam.
B. Penyiapan Inokulum
Menyiapkan 100 ml media cair yang terdiri dari sukrosa 12,5%, (NH
4
)
2
SO
4
0,25
%, KH
2
PO
4
0,2 %. pH media cair diatur dengan HCl hingga pH = 3. Sebelumnya
ujung kawat ose dicelupkan ke dalam etanol 96% lalu dipanaskan menggunakan api
bunsen sampai berwana merah untuk mengambil biakan Aspergillus niger dari media
PDA lalu dicelupkan beberapa saat pada media cair hingga tampak keruh. Kegiatan
ini dilakukan di ruang aseptik. Kemudian media cair ditutup dengan kapas dan
diinkubasi pada suhu 30C selama 24 jam.
C. Produksi Enzim selulase dalam media cair padat
Jerami padi dikeringkan kemudian dihaluskan. Lalu ditimbang 30 gram
dimasukkan ke dalam beaker glass 250 ml tambahkan nutrisi urea 0,03 gr,
MgSO
4
.7H
2
O, 0,005 gr, KH
2
PO
4
0,0023 gr dan 80 ml aquadest. pH diatur hingga pH
= 5 lalu media disterilkan di dalam autoclave pada suhu 120 C selama 15 menit.
Media yang telah disterilkan kemudian didinginkan lalu tambahkan Suspensi spora
aspergillus niger 10 ml pada media tersebut. Media diinkubasi pada suhu 30
o
C
dengan waktu fermentasi 96 jam.
D. Pengambilan Enzim
Hasil fermentasi diekstrak dengan aquadest sebanyak 100 ml lalu di letakkan pada
rotari shaker 150 rpm selama 1 jam. Cairan hasil fermentasi dipisahkan dengan
menggunakan kertas saring. Enzim yang diperoleh kemudian disimpan di lemari
pendingin dan siap digunakan

2.2. Pretreatment Jerami Padi
Jerami padi dipotong terlebih dahulu lalu dijemur selama 5 hari, jerami padi yang
telah dikeringkan diperkecil ukurannya menjadi 3 mm lalu timbang 30 gram dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml. Membuat larutan 0%, 0,5 %, 1%, 1,5%,
dan 2% NaOH 4M (16%) dengan volume 150 ml, kemudian di campurkan dengan
jerami didalam erlenmeyer. Erlenmeyer ditutup rapat dengan gabus, kemudian
dipanaskan didalam autoclave dengan temperatur 121
o
C selama waktu tertentu (30,
45, 60, 75, dan 90 menit). Pada proses ini, lignin akan terpisah dari jerami padi
sehingga lapisan selulosa akan terbuka. Sehingga selulosa yang terkonversi menjadi
glukosa akan lebih besar.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 230


2.3. Simultan Sakarifikasi dan Fermentasi (SSF)
Jerami yang telah mengalami proses Pretreatment kemudian disaring dan dibilas
dengan aquadest dan mengatur pH 4-5. Menambahkan 100 ml aquadest kemudian
dimasukkan kedalam autoclave pada suhu 121
o
C selama 15 menit, dinginkan terlebih
dahulu kemudian tambahkan 10 ml enzim selulase, lalu dimasukkan ke dalam jerami
padi tersebut, selanjutnya menutup rapat erlenmeyer dengan gabus dan diletakkan
pada rotary shaker 160 rpm selama 24 jam. Kemudian menambahkan ragi roti dengan
bobot 10% (dari berat feed), jadi massa ragi yang digunakan adalah 3 gr. Lalu di aduk
sebentar sampai homogen. Setelah itu menghubungkan erlemeyer 500 ml yang berisi
jerami padi tersebut dengan selang karet dan ujung selang dimasukkan kedalam air
agar tidak terjadi kontak langsung dengan udara. Proses fermentasi dilakukan selama
5 hari.

2.4. Distilasi
Menyiapkan 1 set peralatan destilasi. Lalu merangkai dan menyalakan peralatan
destilasi dengan benar lalu masukkan hasil fermentasi yang telah disaring ke dalam
labu, kemudian pasang pada alat destilasi yang telah disediakan. Temperatur diatur
78-80
o
C. Proses destilasi dilakukan selama 1,5 - 2 jam sampai etanol tidak menetes
lagi. Destilat (etanol) yang dihasilkan lalu ditimbang dan disimpan di dalam botol
yang tertutup rapat.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian kadar bioetanol pada jerami padi dengan variasi konsentrasi NaOH
dan waktu tinggal pretreatment dapat dilihat padaa tabel 3.1. Kadar glukosa hasil SSF
ditunjukkan pada tabel 3.2.

Tabel 3.1. Hasil Analisa Etanol Jerami padi



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 231


Tabel 3.2. Hasil Analisa Kadar Glukosa Sisa Fermentasi


3.1. Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Kadar Etanol Pada Berbagai
Variasi Waktu Pretreatment


Gambar 3.1. Grafik Kadar Etanol Berdasarkan Analisa Densitas

Gambar 3.1 memperlihatkan bahwa kenaikan persen etanol berbanding lurus
dengan penambahan NaOH dan lama waktu pretreatment. Semakin besar konsentrasi
NaOH maka kadar etanol yang diperoleh akan semakin meningkat. Tampak jelas
perbedaan kenaikan kadar etanol dari konsentrasi NaOH 0% menuju konsentrasi
NaOH 0,5%. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembentukan etanol dari jerami padi
membutuhkan pretreatment terlebih dahulu agar dihasilkan kadar etanol yang lebih
besar.
Semakin besar konsentrasi NaOH maka semakin sempurna proses pemecahan
ikatan lignin, sehingga dapat merusak struktur krital dari sellulosa. Rusaknya struktur
kristal sellulosa akan mempermudah terurainya sellulosa menjadi glukosa yang akan
dikonversikan menjadi etanol. Selain itu, semakin lama waktu tinggal pretreatment
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 232


maka proses pemecahan ikatan lignin juga semakin sempurna sehingga kadar etanol
yang dihasilkan semakin banyak. Proses pretreatment yang hanya menggunakan air
saja tidak dapat membantu proses pemecahan lignin secara sempurna, sehingga kadar
glukosa yang dihasilkan untuk dikonversikan menjadi etanol juga sedikit. Persen
etanol yang dihasilkan dari setiap variabel tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan, hal ini dikarenakan perbedaan waktu tinggal yang digunakan pada proses
pretreatment tidak begitu lama, dan volume enzim yang digunakan tidak divariasikan.
Dari grafik diatas juga dapat dilihat bahwa kondisi terbaik dari penelitian ini
yaitu pada saat waktu pretreatment 90 menit dengan konsentrasi NaOH 2% yang
menghasilkan etanol sebanyak 14,5991 %.

3.2. Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Kadar Glukosa Sisa Fermentasi
Pada Berbagai Variasi Waktu Pretreatment

Gambar 3.2. Pengaruh konsentrasi NaOH terhadap kadar glukosa
Pengaruh konsentrasi NaOH terhadap kenaikan kadar glukosa sisa fermentasi
pada setiap variasi waktu pretreatment dapat dilihat pada gambar 3.2. Semakin besar
konsentrasi NaOH dan semakin lama waktu pretreatment kadar glukosa sisa
fermentasi semakin besar. Pada proses SSF, hidrolisis dan fermentasi yang dilakukan
pada satu tempat, sehingga pada tahap fermentasi proses hidrolisisnya masih terus
berlangsung. Hal ini menyebabkan glukosa tetap dihasilkan walaupun etanol telah
diproduksi. Idealnya, setelah proses fermentasi kadar glukosa yang ada harusnya lebih
sedikit di bandingkan dengan kadar glukosa sebelum proses fermentasi. Namun pada
penelitian ini kadar glukosa sebelum fermentasi tidak bisa dianalisa, karena prosesnya
berjalan simultan.
Dari grafik juga dapat dilihat bahwa terjadi penurunan sisa glukosa pada saat
waktu pretreatment 90 menit dengan konsentrasi NaOH 2%; 1,5%, dan pada waktu
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 233


75 menit dengan konsentrasi NaOH 2%. Hal ini disebabkan karena pada saat
fermentasi tidak menggunakan nutrien untuk ragi yang membantu proses fermentasi
sehingga gula digunakan sel khamir sebagai sumber karbon untuk mensintesis energi
melalui proses fermentasi etanol dan mempertahankan hidup. Karena konsentrasi
etanol yang tinggi akan beracun bagi ragi.

3.3. Analisa Kadar Etanol Dengan Menggunakan Gas Cromatografi
Sampel yang dianalisa menggunakan Gas Cromatografi merupakan 5 sampel
yang memiliki kadar etanol tertinggi pada saat analisa menggunakan Piknometer.
Nilai larutan baku etanol serta sampel dapat dilihat pada tabel 3.3. dan tabel 3.3.

Perhitungan :
Tabel 3.3. Nilai Larutan Baku Etanol


Tabel 3.4. Hasil Data Sampel Setelah Dilakukan Analisa Gas romatografi


Keterangan :
- RT : Waktu retensi
- Area : Luas puncak
- Type : Tipe puncak
- Area% : Persen senyawa dalam campuran







a. Sampel 0,5 % NaOH (90 menit)



b. Sampel 1% NaOH (90 menit)


c. Sampel 1,5 % NaOH (90 menit)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 234



d. Sampel 2% NaOH(90 menit)






Gambar 3.3. Kadar Etanol Berdasarkan Analisa Gas Cromatografi
Dari Gambar 3.3. terlihat bahwa kadar etanol semakin naik dengan bertambahnya
konsentrasi NaOH. Semakin besar konsentrasi NaOH maka semakin sempurna proses
pemecahan ikatan lignin, sehingga dapat merusak struktur krital dari sellulosa.
Rusaknya struktur kristal sellulosa akan mempermudah terurainya sellulosa menjadi
glukosa yang akan dikonversikan menjadi etanol.
Dari analisa menggunakan Gas Cromatografi (GC) diperoleh perbedaan nilai
dengan analisa menggunakan piknometer. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor:
1) Analisa piknometer bersifat kotor, nilai hasil analisa merupakan densitas campuran
sehingga lebih besar jika dibandingkan dengan analisa GC. Sedangkan dengan
analisa GC, hanya etanol yang dideteksi untuk diukur nilainya.
2) Jarak waktu antara analisa piknometer dengan analisa GC cukup lama.

4. KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu, semakin
besar konsentrasi NaOH, maka semakin tinggi kadar etanol yang di hasilkan. Semakin
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 235


lama waktu tinggal pretreatment kadar etanol yang dihasilkan semakin tinggi. Kondisi
penelitian terbaik adalah pada saat penggunaan NaOH 2% dan waktu tinggal
pretreatment 90 menit, dengan kadar etanol yang dihasilkan 14,5991%.

DAFTAR PUSTAKA


Hahn-Hagerdal, B., Galbe, M., Gorwa-Grauslund, M., Liden, G., & Zacchi, G.
(2006). Bioethanol the fuel of tomorrow from the residues of today. Trends in
Biotechnol. , 24(12): 549556.
Harun, R., Jason, W., Cherrington, T., & Danquah, M. K. (2010). Exploring Alkaline
Pre-Treatment Of Microalgal Biomass For Bioethanol Production. Applied Energy ,
88, 10, 3464-3467.
Mcintosh, S., & Vancov, T. (2010). Enhanced Enzyme Saccharification of Shorgum
Bicolor Straw Using Dilute Alkali Pretreatment. Bioresource Technology , 6718-
6722.
Mosier, N., Wyman, C., Dale, B., Elander, R., Lee, Y., Holtzapple, M., et al. (2005).
Features of Promising Technologies for Pretreatment of Lignocellulosic Biomass.
Bioresource Technology , 96(6):673-686.
Novia, Faizal, M., Ariko, M. F., & Yogamina., D. H. (2011). Hidrolisis Enzimatik dan
Fermentasi TKKS yang Didelignifikasi dengan Asam Sulfat dan NaOH untuk
Memproduksi Etanol. Seminar Nasional Added value of Energy Resources (AVoER-
2011) (hal. 451-462). Palembang Indonesia: Universitas Sriwijaya.
Samsuri, M., G. M., Mardias, R., Baiquni, M., Hermansyah, H., Wijanarko, A., et al.
(2007). Pemanfaatan sellulosa bagas untuk produksi ethanol melalui Sakarifikasi dan
Fermentasi Serentak dengan Enzim xylanase. Makara, Teknologi , Vol. 11 hal (17-
24).
Sun, Y., & Cheng, J. (2002). Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol
Production: A Review. Bioresource Technology , 83, 1-11.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 236


TL-5

BIOETANOL BERBAHAN BAKU BIJI NANGKA (ARTOCARPUS
I NTEGRA) DENGAN VARIASI BERAT RAGI DAN WAKTU
FERMENTASI


Arief Falullah
1
*, Rr. Miranti Wisesa A
1
, Muhammad Said
2
1
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang-
Prabumulih Km.32-Indralaya
2
Dosen Jurusan Teknik Kimia Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang-Prabumulih
Km.32-Indralaya
*
Koresponensi Pembicara. Phone: +62 852 6812 0007
Email: Arieffalullah08052@yahoo.co.id


Abstrak
Penggunaan bioetanol merupakan solusi untuk mengurangi penggunaan bahan bakar
minyak. Bioetanol dapat dibuat dari bahan yang mengandung karbohidrat dengan
proses fermentasi. Tanaman yang mengandung karbohidrat yang relatif tinggi adalah
biji nangka (Artocarpus integra). Penelitian dilakukan dengan preparasi biji nangka,
selanjutnya biji nangka dihidrolisis menggunakan asam klorida (HCl) sebanyak 200
ml kemudian difermentasi dengan saccharomyces cereviseae yang terkandung dalam
ragi roti, fermentasi dilakukan dengan variasi berat ragi (5 gram, 10 gram dan 15
gram) dan waktu fermentasi (24, 48, 72, 96, 120, 144, 168, dan 192 jam). Etanol akan
dihasilkan setelah dipisahkan dengan menggunakan proses evaporasi dengan suhu
78
o
C selama waktu satu jam. Kemudian analisa kadar glukosa dan kadar etanol
menggunakan alat kromatografi gas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa etanol
tertinggi terkandung pada berat ragi 5 gram dengan waktu fermentasi 168 jam sebesar
23,56% volume.


Kata kunci : bioetanol, biji nangka (artocarpus integra), saccharomyces
cereviseae.


1. PENDAHULUAN
Bioetanol ini dapat dibuat dari zat pati atau amilum

yang
dihidrolisa menjadi glukosa kemudian difermentasi dengan mikroorganisme
Saccharomyces cerevisiae pada temperature 27-30 . Hal ini yang mendorong
peneliti untuk membuat bioetanol dari biji nangka ( Artocarpus integra ).
Dengan potensi nangka yang demikian besar di Indonesia, akan sangat
disayangkan jika biji nagka yang sering dianggap limbah tidak dimanfaatkan untuk
sesuatu yang lebih besar manfaatnya seperti untuk pembuatan bioetanol. Biji nangka
mengandung kadar karbohidrat 36,7%, ini merupakan angka yang potensial untuk
pembuatan bioethanol, karbohidrat yang berbentuk polisakarida dapat dihidrolisis
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 237


menjadi glukosa dalam kadar yang tinggi melalui pemanasan, glukosa inilah yang
selanjutnya difermentasi untuk menghasilkan bioethanol.


Tabel 1 Komposisi Gizi per 100 gram Biji nangka
Komponen gizi Biji Nangka
Energi (kkal) 165
Protein (g) 4,2
Lemak (g) 0,1
Karbohidrat (g) 36,7
Kalsium (mg) 33
Fosfor (mg) 200
Besi (mg) 1,0
Vitamin A (SI) 0
Vitamin B1 (mg) 0,20
Vitamin C (mg) 10
Air (g) 57,7
Sumber: Direktorat gizi, Depkes (2009)

Tabel 2 Perbandingan Komposisi Karbohidrat Biji Nangka dengan Beras Giling,
Jagung Segar dan Singkong
Komposisi Biji
nangka
Beras
giling
Jagung
segar
Singkong
Karbohidrat
(gr)
36,7 78,9 33,1 34,7
Sumber: Direktorat gizi, Depkes (2009)

Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena merupakan
sumber energi utama bagi manusia dan hewan. Semua karbohidrat berasal dari
tumbuh-tumbuhan. Melalui fotosintesis, klorofil tanaman dengan bantuan sinar
matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbondioksida (CO2) berasal dari
udara dan air (H2O) dari tanah. Karbohidrat yang dihasilkan adalah klarbohidrat
sederhana glukosa. Di samping itu dihasilkan oksigen (O2) yang lepas di udara.
Produk yang dihasilkan terutama dalam bentuk gula sederhana yang mudah larut
dalam air dan mudah diangkut ke seluruh sel-sel guna penyediaan energi. Sebagian
dari gula sederhana ini kemudian mengalami polimerisasi dan membentuk
polisakarida. Ada dua jenis polisakarida tumbuh-tumbuhan, yaitu pati dan nonpati.
Polisakarida non pati merupakan sumber utama serat makanan
Karbohidrat terbagi menjadi beberapa bagian menurut panjang rantai
karbonnya. Monosakarida, disakarida dan polisakarida. Contoh dari monosakarida
adalah sukrosa. Sukrosa merupakan produksi akhir asimilasi karbon (C) pada proses
fotosintesis yang terjadi di daun dan bentuk karbohidrat yang mudah
ditransportasikan ke jaringan simpan atau sink tissues. Selain berfungsi dalam
penyediaan energi dan kerangka karbon, sukrosa juga berperan dalam pengaturan
ekspresi gen lainnya.
Pati merupakan karbohidrat yang tersebar dalam tanaman terutama tanaman
berklorofil. Bagi tanaman, pati merupakan cadangan makanan yang terdapat pada biji,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 238


batang dan pada bagian umbi tanaman. Banyaknya kandungan pati pada tanaman
tergantung pada asal pati tersebut, misalnya pati yang berasal dari biji beras
mengandung pati 5060% dan pati yang berasal dari umbi singkong mengandung pati
80% .
Pati adalah polisakarida nutrien yang tersedia melimpah pada sel tumbuhan
dan beberapa mikroorganisme. Pati umumnya berbentuk granula dengan diameter
beberapa mikron. Granula pati mengandung campuran dari dua polisakarida berbeda,
yaitu amilum dan amilopektin. Jumlah kedua poliskarida ini tergantung dari jenis pati.
Pati yang ada dalam kentang, jagung dan tumbuhan lain mengandung amilopektin
sekitar 75 80% dan amilum sekitar 20- 25%.
Komponen penting penyusun pati adalah amilosa dan amilopektin. Kedua
komponen ini dapat dikatakan homogen secara kimia, tetapi masih heterogen dalam
ukuran molekul, derakat percabangan, rantai, susunan dan keacakan rantai cabang.
Amilosa merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus dan larut dalam air.
Umumnya amilosa menyusun pati 17 21%, terdiri dari satuan glukosa yang
bergabung melalui ikatan -(1,4) D-glukosa. Amilopektin merupakan komponen pati
yang mempunyai rantai cabang, terdiri dari satuan glukosa yang bergabung melalui
ikatan -(1,4) D-glukosa dan -(1,6) D-glukosa. Tidak seperti amilosa, amilopektin
tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti butanol.
Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air untuk
memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis pati merupakan proses
pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih
sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa dan glukosa. Proses hidrolisis
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: Enzim, ukuran partikel, temperatur, pH,
waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap bahan baku (volume substrat), dan
pengadukan.
Metode kimiawi dilakukan dengan cara hidrolisis pati menggunakan
asam-asam organik, yang sering digunakan adalah H2SO4, HCl, dan HNO3.
Pemotongan rantai pati oleh asam lebih tidak teratur dibandingkan dengan hasil
pemotongan rantai pati oleh enzim. Hasil pemotongan oleh asam adalah
campuran dekstrin, maltosa dan glukosa, sementara enzim bekerja secara spesifik
sehingga hasil hidrolisis dapat dikendalikan.
Fermentasi alkohol adalah proses penguraian karbohidrat/glukosa menjadi
etanol dan CO
2
yang dihasilkan oleh aktifitas suatu jenis mikroba yang disebut khamir
dalam keadaan anaerob (Prescott dan Dunn, 1959). Perubahan dapat terjadi jika
mikroba tersebut bersentuhan dengan makanan yang sesuai bagi pertumbuhannya.
Proses fermentasi biasanya tidak menghasilkan bau busuk dan biasanya menghasilkan
gas karbondioksida.
Dari literatur yang didapat, diketahui biji nangka memiliki kandungan
karbohidrat 36,7% tetapi masih dalam bentuk pati sehingga dibutuhkan proses
pemecahan pati menjadi karbohidrat terlebih dahulu. Komposisi tersebut
menunjukkan bahwa feed, yaitu biji nangka cukup memiliki nilai potensial sebagai
bahan baku pembuatan karbohidrat, dimana karbohidrat yang akan digunakan sebagai
bahan baku pembuatan etanol. Karena semakin tinggi nilai kandungan karbohidrat
maka akan semaki tinggi nilai kemungkinan etanol yang terbentuk.
Secara ringkas seluruh rangkaian reaksi yang terjadi adalah hidrolisis pati atau
maltosa (disakarida) menjadi glukosa, selanjutnya glukosa diubah menjadi alkohol
dan gas karbondioksida dengan menggunakan ragi Saccharomyces cerevisae.
C
12
H
22
O
11
+ H
2
O C
6
H
12
O
6
+ C
6
H
12
O
6
.............(1)

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 239



C
6
H
12
O
6
2C
2
H
5
OH + 2 CO
2
................................(2)

Bahan baku yang dapat digunakan untuk menghasilkan alkohol antara lain :
1) Dari sakarin seperti : gula tebu, gula bit, molase dan sari buah.
2) Dari pati-patian seperti : jagung, gandum, sorgum, padi, kentang, umbi-umbian.
3) Dari selulosa seperti : kayu, bonggol pisang.
Meskipun pada dasarnya fermentasi dapat langsung menggunakan enzim,
tetapi sampai saat ini industri fermentasi masih memanfaatkan mikroorganisme,
antara lain karena cara ini jauh lebih mudah dan murah.
Fermentasi alkohol merupakan proses penguraian karena adanya aktifitas
mikroba yang disebut khamir. Banyak atau sedikitnya aktifitas hidup mikroba ini akan
menentukan jumlah alkohol yang terbentuk. Aktifitas ini juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu jenis mikroorganisme, lama fermentasi, derajat keasaman, kadar
gula, suhu, dan nutrient yang ditambahkan.
Ragi adalah fungsi ekasel (uniseluler) yang beberapa jenis spesiesnya umum
digunakan untuk membuat roti, fermentasi minuman beralkohol, dan bahkan
digunakan percobaan sel bahan bakar. Kebanyakan ragi merupakan anggota divisi
Ascomycota, walaupun ada juga yang digolongkan dalam Basidiomycota. Beberapa
ragi, seperti Candida albicans, dapat menyebabkan infeksi pada manusia
(kandidiasis). Selain itu, ragi adalah mikroorganisme hidup yang dapat ditemukan
dimana-mana. Ragi berasal dari keluarga fungus bersel satu dari genus
Saccharomyces, seperti cerevisiae, dan memiliki ukuran 6-8 mikron. Dalam 1 gram
ragi padat, terdapat kurang lebih 10 milyar sel hidup. Ragi ini berbentuk bulat telur,
dan dilindungi oleh dinding membrane yang semi berpori (semi permeabel),
melakukan reproduksi dengan cara membelah diri, dan dapat hidup diklingkungan
tanpa oksigen (anaerob) maupun dengan oksigen (aerob). Untuk bertahan hidup, ragi
membutuhkan air, makanan dan lingkungan yang sesuai.
Ragi yang digunakan tentu saja berbeda-beda sesuai dengan produk yang
diinginkan. Ada tiga jenis ragi yang umum dikenal, yaitu ragi tape, ragi roti, dan ragi
tempe. Ragi tape berwujud padat dengan bentuk bulat pipih berwarna putih, ragi roti
berbentuk butiran, sedangkan ragi tempe berbentuk bubuk. Ragi roti dan ragi tape
mengandung mikroorganisme yang sama, yaitu Saccharomyces cereviseae.
Mikroba utama dalam rogi roti ini adalah jenis khamir Saccharomyces
cereviseae. Sel khamir ini memiliki sifat-sifat fisiologi yang stabil, sangat aktif dalam
memecah gula yaitu mengubah pati dan gula menjadi karbon dioksida dan alcohol,
terdispersi dalam air, mempunyai daya tahan simpan yang lama, dan tumbuh dengan
sangat cepat.
Saccharomyces cerevisiae adalah yeast yang berkembang biak secara
pembelahan (budding). Morfologinya berupa sel oval dengan panjang 10 m, dan
lebar 5 m. Yeast ini dikenal sebagai beaker yeast dan brewer yeast karena
memfermentasikan gula menjadi alkohol dan karbondioksida.
Saccharomycess cereviseae merupakan mikroba yang bersifat fakultatif, ini
berarti mikroba tersebut memiliki 2 mekanisme dalam mendapatkan energinya. Jika
ada udara, tenaga di peroleh dari respirasi aerob dan jika tidak ada udara tenaga di
peroleh dari respirasi anaerob. Tenaga yang diperoleh dari respirasi aerob digunakan
untuk pertumbuhan dan perkembangan sel sehingga praktis tidak ada kenaikan jumlah
alkohol.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 240


Ditinjau dari efisiensi penggunaan tenaga, ternyata kondisi anerob
memberikan suasana lebih menguntungkan dalam usaha memperbanyak jumlah yeast
jika dibandingkan dengan kondisi aerob. Dalam fermentasi alkohol, mikroba yang
dipakai adalah :
1. Saccharomycess cereviseae
2. Saccharomycess anamensis
3. Cschizosaccharomycess pourlee
Syarat-syarat yeast yang dapat dipakai dalam proses fermentasi adalah:
1. Mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang biak dengan cepat dalam
substrat yang sesuai
2. Dapat menghasilkan enzim dengan cepat untuk mengubah glukosa menjadi
alkohol
3. Mempunyai daya fermentasi yang tinggi terhadap glukosa, fruktosa, galaktosa,
dan maltose
4. Mempunyai daya tahan dalam lingkungan di kadar alkohol yang relatif tinggi
5. Tahan terhadap mikroba lain
Selama proses, gula maupun nutrient ditambahkan sedikit demi sedikit dengan
teratur. Nutrient yang paling menentukan terhadap hasil yeast adalah senyawa
nitrogen terutama dalam bentuk (NH
4
)
2
SO
4
dan NH
4
OH. Penambahan NH
4
OH
dimasukkan agar pH medium tetap. Jika proses hampir selesai penambahan senyawa
nitrogen dikurangi bahkan dihentikan pada fase terakhir agar zat-zat gula akan diubah
menjadi bahan makanan cadangan. Sacharomyces cerevicea merupakan mikroba
permukaan dan selama fermentasi terbawa ke permukaan dari media fermentasi oleh
gelembung gelembung karbon dioksida oleh karenanya hasil produksi bagian atau
gelembung mengandung khamir.
Jenis mikroba Sacharomyces cereviceae pertama kali dikembangkanbiakan di
india, karena sangat cocok dengan iklim di India. Dikembangkan dengan media air
tebu yang telah dijernihkan dan dilemahkan dan temperatur 30
o
C. Sacharomyces
cereviceae pertama biasanya digunakan untuk pembuatan minuman beralkohol dan
juga dalam pembuatan roti. Ragi terdiri dari sejumlah kecil enzim, termasuk protease,
lipase, invertase, maltase, dan zymase.
Enzim yang penting dalam ragi yakni invertase, maltase dan zymase. Invertase
mengubah sukrosa, gula tebu yang masuk ke dalam dinding sel menjadi glukosa dan
fruktosa. Enzim maltase, memisahkan gula maltosa menjadi 2 bagian dextrose.
Enzim zymase ialah enzim yang akhirnya menyebabkan peragian gula dalam adonan
oleh ragi. Zymase meliputi enzim yang akhirnya menyebabkan peragian gula dalam
adonan oleh ragi. Zymase meliputi sekelompok enzim. Sakarosa dan gula lain yang
lebih sederhana seperti glukosa, fruktosa, dan maltosa dapat difermentasi karena
khamir Sacharmyces cereviceae tidak mempunyai enzim yang dapat menguraikan
laktosa.
Bioetanol adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak
berwarna, dan senyawa yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Etanol disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut, atau alkohol saja.
Alkohol sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari seperti untuk bahan anti
septik, dan bahan kosmetik.
Bioetanol banyak digunakan sebagai campuran bahan bakar, pelarut bahan-
bahan baik untuk analisa di laboratorium atau untuk bahan makanan. Contoh
pengunaan etanol adalah pada pembuatan parfum, perasa, pewarna makanan, dan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 241


obat-obatan. Dalam ilmu kimia, etanol adalah pelarut yang paling baik karena etanol
dapat melarutkan hampir seluruh jenis bahan kimia.

Tabel 3. Sifat Fisika Etanol
Properti Nilai
Titik beku (
o
C)
Titik Didih (
o
C)
Densitas (gr/ml)
Indeks bias
Tegangan Permukaan (dyne/cm)
Viskositas (cP)
Panas Penguapan (cal/gr)
Panas Pembakaran pada 25
o
C (cal/gr)
Titik Nyala (
o
F)
Panas spesifik (cal/gr
o
C)
Termal konduktivitas pada 20
0
C J/(sec)(cm
2
)(
o
C/cm)
Nilai Oktan
Wujud pada suhu kamar
Dicampur dengan natrium
Kelarutan dalam air
Dapat terbakar
-114,1
78,32
0,7893
1,36143
23,1
1,17
200,6
7092,9
70,0
0,579
0,00170
106 111
Cair
Bereaksi
Larut sempurna
ya
Sumber : Kirk-Othmer, Encyclopedia of Chemical Technology, Vol 9, 1967

2. BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan :
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji nangka, ragi roti
(Sacharomyces cereviceae), aquadest, HCl 32%, NaOH 60% dan nutrient (ammonium
sulfat).

Alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan untuk persiapan bahan baku antara lain adalah pisau,
baskom, Erlenmeyer 500 ml, gelas ukur 100 ml, gelas ukur 50 ml, gelas beker 500 ml,
gelas beker 1000 ml, alumunium foil, gabus penutup, saringan /kertas saring,
pengaduk, neraca analitis. Alat yang digunakan untuk percobaan fermentasi terdiri
dari fermentor (Erlenmeyer hisap) dan autoclave. Alat yang digunakan untuk
pemurnian adalah seperangkat alat evaporator, sedangkan alat yang digunakan untuk
pengukuran kadar bioetanol adalah gas kromatograf.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian pembentukan bioetanol dari biji nagka dilakukan uji kuantitatif
(volume dan massa etanol) dan uji kualitatif (kadar etanol). Penelitian dilakukan
dengan hidrolisis dimana pati biji nangka yang telah dikeringkan dihidrolisa dengan
menggunakan HCl. Selanjutnya, hidrolisat difermentasi dengan variasi massa ragi (5
gr, 10 gr dan 15 gr) dan lama fermentasi (24 jam, 48 jam, 72 jam, 96 jam, 120 jam,
144 jam, 168 jam dan 192 jam) untuk berikutnya masuk ke dalam tahapan evaporasi
dan analisa kadar etanol.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 242


0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 24 48 72 96 120 144 168 192 216
V
o
l
u
m
e

B
i
o
e
t
a
n
o
l

(
m
l
)

Waktu Fermentasi (Jam)
Berat Ragi 5 gram
Berat Ragi 10 gram
Berat Ragi 15 gram
3.1. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Volume Bioetanol
Gambar 1 merupakan data kuantitatif yang menunjukkan hubungan volume
bioetanol (ml) yang dihasilkan dengan variasi berat ragi (gram) dan waktu fermentasi.
Dari gambar terlihat bahwa semakin lama waktu fermentasi maka volume
bioetanolnya semakin besar, tetapi menurun pada saat waktu fermentasi 192 jam
begitupun juga dengan pengaruh dari berat ragi semakin banyak ragi yang
ditambahkan, maka semakin banyak juga volume bioetanol yang dihasilkan dan
menurun pada saat waktu fermentasi 192 jam, hal ini disebabkan oleh aktifitas dari
bakteri yaitu saccharomyces ceriviseae, yang dimana selama waktu fermentasi hari
pertama sampai dengan hari ketujuh bakteri tersebut mengalami fase pertumbuhan
yang menyebabkan masa dan volume dari bakteri tersebut meningkat, sedangkan pada
hari kedelapan jumlah sel menurun karen kehabisan nutrien yang menyebabkan
beberapa bakteri mati yang dapat menurunkan volume bioeanol.



















Gambar 1. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Volume Bioetanol

3.2. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Massa Bioetanol

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 243




Gambar 2. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Berat Bioetanol

Gambar 2 merupakan data kuantitatif yang menunjukkan hubungan berat
bioetanol (gram) yang dihasilkan dengan variasi berat ragi (gram) dan waktu
fermentasi.Grafik ini sama seperti grafik 1 dimana semakin lama waktu fermentasi
maka massa bioetanolnya semakin besar, tetapi menurun pada saat waktu fermentasi
192 jam begitupun juga dengan pengaruh dari massa ragi semakin banyak ragi yang
ditambahkan, maka semakin banyak juga massa bioetanol yang dihasilkan dan
menurun pada saat waktu fermentasi 192 jam, hal ini disebabkan oleh aktifitas dari
bakteri yaitu saccharomyces ceriviseae, yang dimana selama waktu fermentasi hari
pertama sampai dengan hari ketujuh bakteri tersebut mengalami fase pertumbuhan
yang menyebabkan masa dan volume dari bakteri tersebut meningkat, sedangkan pada
waktu fermentasi 192 jam jumlah sel menurun karena kehabisan nutrien yang
menyebabkan beberapa bakteri mati yang dapat menurunkan berat bioetanol.

3.3 Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Bioetanol

0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 24 48 72 96 120 144 168 192 216
B
e
r
a
t


B
i
o
e
t
a
n
o
l

(
g
r
a
m
)

Waktu Fermentasi (Jam)
Berat Ragi 5 gram
Berat Ragi 10 gram
Berat Ragi 15 gram
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 244




Gambar 3. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Bioetanol

Gambar 3 menunjukkan hubungan kadar bioetanol (%) terhadap waktu
fermentasi (hari), adapun perhitungan persen kadar bioetanol terlampir. Dari gambar
ini dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu fermentasi, maka semakin besar
juga kadar bioetanolnya, tetapi pada waktu fermentasi 192 jam menurun, hal ini
disebabkan oleh aktifitas bakteri yang dijelaskan pada pengaruh volume dan berat
bioetanol terhadap waktu fermentasi. Sedangkan untuk pengaruh berat ragi terhadap
kadar bioetanol berbanding terbalik dimana semakin banyak berat ragi yang
digunakan maka semakin kecil kadar bioetanolnya.

3.4. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Glukosa
Dari gambar 4 ini dapat terlihat bahwa kadar glukosa menurun dengan
lamanya waktu fermentasi yang dilakukan, hal ini disebabkan karena semakin
banyaknya bioetanol yang dihasilkan sehingga glukosa yang tersisa juga akan
semakin berkurang karena sudah banyaknya glukosa terebut menjadi bioetanol.

0
4
8
12
16
20
24
28
0 24 48 72 96 120 144 168 192 216

K
a
d
a
r

B
i
o
e
t
a
n
o
l

(
%
)

Waktu Fermentasi (Jam)
Berat Ragi 5 gram
Berat Ragi 10 gram
Berat Ragi 15 gram
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 245




Gambar 4. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Glukosa

3.5. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Yield Bioetanol



Gambar 5. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Yield Bioetanol

Dari gambar 5 ini dapat terlihat bahwa yield bioetanol berbanding lurus
dengan waktu fermentasi, tetapi berbanding terbalik dengan berat ragi, hal ini juga
sama dengan yang terjadi pada volume bioetanol dan kadar bioetanol.
Dalam penelitian ini, berat ragi divariasikan 5 gram, 10 gram dan 15 gram.
Sedangkan, waktu fermentasi divariasikan 24 jam, 48 jam, 72 jam, 96 jam, 120 jam,
144 jam, 168 jam dan 192 jam. Dari grafik dapat dilihat pengaruhnya, semakin lama
0
1
2
3
4
5
0 24 48 72 96 120 144 168 192 216

K
a
d
a
r

G
l
u
k
o
s
a

(
%
)

Waktu Fermentasi (Jam)
Berat Ragi 5 gram
Berat Ragi 10 gram
Berat Ragi 15 gram
0
2
4
6
8
10
12
14
0 24 48 72 96 120 144 168 192 216

Y
i
e
l
d

B
i
o
e
t
a
n
o
l

(
%
)

Waktu Fermentasi (Jam)
Berat Ragi 5 gram
Berat Ragi 10 gram
Berat Ragi 15 gram
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 246


waktu fermentasi maka semakin banyak volume dan massa bioetanol yang dihasilkan
dan menurun pada hari kedelapan, begitu juga yang terjadi pada persen kadar
bioetanolnya, hal ini disebabkan oleh aktifitas mikrobia mengalami pertumbuhan
dengan berkembang biak dengan cara mengurai glukosa menjadi bioetanol sehingga
bioetanol yang dihasilkan bertambah banyak. Berdasarkan dari grafik yang dihasilkan,
dengan penambahan berat ragi menyebabkan bioetanol yang dihasilkan menurun, hal
ini disebabkan saccharomyces cereviseae yang ada lebih banyak daripada nutrisi yang
ada, sehingga bakteri tersebut lebih banyak menggunakan nutrisi tersebut untuk
bertahan hidup dari pada merombak gula manjadi alkohol.
Melalui pendekatan tabel dan grafik di atas, secara kuantitatif didapatkan
volume etanol maksimal terjadi pada kondisi operasi berat ragi 5 gram dan waktu
fermentasi 168 jam yaitu 14,5 ml, dengan berat 13,9766 gram. Sedangkan data
kualitatif produk yaitu uji kadar bioetanol dengan menggunakan piknometer
dihasilkan sebanyak 24,67%. Sedangkan untuk data kualitatif kadar bioetanol yang
dilakukan dengan uji analisa kadar bioetanol menggunakan alat kromatografi gas.
Dengan alasan keterbatasan biaya analisa dan sedikitnya volume produk yang
dihasilkan, hanya 3 sampel saja yang dianalisa kadar bioetanol. Pilihan sampel
didasarkan pada jumlah kadar bioetanol terbaik yang diukur menggunakan
piknometer.
Tabel 4. Kadar Etanol Hasil Analisa Kromatografi Gas
Berat
Ragi
(gram)
Waktu
Fermentasi
(Jam)
Kadar
Bioetanol
(%)


5
144

168

192
20,02

23,56

20,67

4. KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan antara lain :
1. Jumlah volume bioetanol yang dihasilkan berbanding lurus dengan lama
fermentasi dan massa ragi, dimana berat ragi 5 gram pada waktu fermentasi 24 jam
didapatkan volumenya sebesar 11,6 ml dan pada waktu fermentasi 168 jam
didapatkan volume etanol sebesar 14,5 ml.
2. Jumlah kadar bioetanol yang dihasilkan berbanding lurus dengan lama fermentasi,
tetapi berbanding terbalik dengan massa ragi, dimana berat ragi 5 gram pada waktu
fermentasi 24 jam didapatkan kadar etanol sebesar 6,37% dan pada waktu
fermentasi 168 am didapatkan sebesar 24,67%.
3. Kondisi variabel fermentasi terbaik dari penelitian ini adalah pada waktu
fermentasi 168 jam dan berat ragi 5 gram yang menghasilkan persentase kadar
bioetanol sebesar 24,67 %, volume bioetanol 14,5 ml dan yield bioetanol sebesar
13,21%.

5. REFERENCES
Hambali, Erliza. dkk., 2008. Teknologi Bioenergi. Jakarta : Agromedia Pustaka

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 247


Grace, Silvana dan Hastari, Siska. 2007. Pengaruh Suhu Fermentasi, Waktu
Fermentasi dan Berat Ragi Terhadap Kadar Etanol pada Fermentasi Pisang
Nangka. Laporan Penelitian Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Fakultas
Teknik Universitas Sriwijaya. Inderalaya.

Fransisca, Shinta dan Astin, Fanti. 2010. Pembuatan Etanol dati Bengkuang dengan
Variasi Berat Ragi, Waktu dan Jenis Ragi. Jurnal Penelitian Mahasiswa
Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Indralaya.

Poedjiadi, Anna. 1994. DasarDasar Biokimia. Universitas Indonesia. Jakarta.

Rikana, Heppy dan Adam, Risky. 2009. Pembuatan Bioethanol dari Singkong Secara
Fermentasi Menggunakan Ragi Tape. Jurnal Penelitian Mahasiswa Teknik
Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.

Supriyanto, Tri dan Wahyudi, 2009. Proses Produksi Etanol oleh Saccharomyces
cerivisiae dengan Operasi Kontinyu pada Kondisi Vakum. Jurnal Penelitian
Mahasiswa Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.

Sudarmadji, Slamet. dkk., 1984.Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta : Liberti Yogyakarta

Mulia, Arsjid. 2008. Etanol Sebagai Bahan Bakar Kendaraan. Diakses pada 20 Juni
2012 dari http://www.internal.dsuc.co.id/

Smith, R., 2005. Chemical Process Design and Integration. New York: John Wiley &
Sons

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 248
TL-6

OPTIMASI RASIO SiO
2
/Al
2
O
3
PADA SINTESIS ZSM-5 DARI
ZEOLIT ALAM LAMPUNG DENGAN SUMBER SILIKA
PENAMBAH DARI SEKAM PADI


Tika Damayanti
1*
, Suhesti Forsela
1
, Chindy Feryandy HB
1
,

Simparmin Br Ginting
1
dan Hens Saputra
2

1
Jurusan Teknik Kimia Universitas Lampung, Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro
No.1 Bandar Lampung 35145
2
Pusat Teknologi Industri Proses - TIRBR, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi
Gedung Teknologi 2 Lt.3 PUSPIPTEK Tangerang Selatan
*
Korespondensi Pembicara. Phone: +62 821 7600 5354
Email: ir.tikadamayanti@yahoo.com


ABSTRAK

Rasio SiO
2
/Al
2
O
3
merupakan parameter proses yang sangat menentukan kualitas
produk ZSM-5. Zeolit alam Lampung dapat dijadikan bahan baku pembuatan zeolit
sintetik ZSM-5 dengan cara hidrotermal dan penambahan silika yang diperoleh dari
limbah sekam padi. Silika dapat diperoleh dari limbah sekam padi dengan 2 metode,
yaitu ekstraksi dan pengabuan. Sebagai agen pengarah terbentuknya struktur ZSM-5
tersebut digunakan template TPABr (Tetra Prophyl Ammonium Bromide). Sintesis
ZSM-5 dilakukan di dalam autoklaf pada suhu 180C dan tekanan autogenous dengan
variasi rasio molar SiO
2
/Al
2
O
3
yaitu 20, 40 dan 60. Sebagai variabel tetap adalah rasio
molar template TPABr/SiO
2
0,05 dan waktu reaksi selama 24 jam. Karakterisasi
ZSM-5 yang dilakukan antara lain analisis struktur dan kristalinitas, obsevasi
morfologi permukaan, dan sifat pori menggunakan metode Difraksi Sinar X, Scanning
Electron Microscopy, dan Brunauer- Emmett-Teller. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ZSM-5 terbentuk pada semua variasi SiO
2
/Al
2
O
3
dengan kristalinitas tertinggi
sebesar 110,20 % pada rasio 60 mol/mol untuk sampel dengan sumber silika
penambah dari sekam ekstrak dan 48,32 % pada rasio 40 mol/mol untuk sampel
dengan sumber silika penambah dari abu sekam. Teridentifikasi pula adanya struktur
ZSM-8 dan Analcime yang merupakan produk antara pada sintesis ini. Kristal ZSM-5
yang dihasilkan berbentuk kubus dengan luas permukaan tertinggi sebesar 283,8 m
2
/g,
ukuran pori dan volume pori sekitar 34,472 dan 0,125 cc/g.


Kata kunci : kristalinitas, sekam padi, hidrotermal, zeolit alam Lampung, ZSM-5.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 249
1. PENDAHULUAN
Zeolit alam banyak ditemukan di beberapa daerah di Indonesia dengan jumlah
yang besar, salah satunya di Lampung. Zeolit alam banyak dimanfaatkan di
berbagai bidang seperti; bidang pertanian sebagai pupuk, bidang peternakan
sebagai penggemuk ternak, bidang lingkungan untuk pengolahan air, dan bidang
industri sebagai penukar ion, adsorben dan katalis. Tetapi dalam penggunaannya
di bidang industri, zeolit sintetis lebih diminati dibanding zeolit alam, karena
zeolit sintetis mempunyai kemurnian yang tinggi, lebih stabil, lebih aktif, memiliki
distribusi ukuran pori yang sempit, selektif, luas permukaan dan volume pori yang
lebih besar, serta tidak mudah terdeaktivasi.
Pemanfaatan zeolit alam yang lebih berdayaguna dilakukan dengan cara
merekayasa zeolit alam menjadi zeolit sintetis sehingga lebih bernilai ekonomis.
Salah satu zeolit sintetis yang saat ini banyak dibutuhkan di Industri adalah
ZSM-5. ZSM-5 merupakan zeolit kaya silika dan memiliki stabilitas thermal dan
hidrothermal yang tinggi, sehingga baik digunakan sebagai katalis pada temperatur
tinggi. ZSM-5 memiliki pusat asam, rongga dan pori dengan bentuk dan ukuran
yang seragam sehingga dapat dipakai sebagai katalis yang selektif terhadap bentuk
dan ukuran zat yang terlibat reaksi.
Di industri, ZSM-5 terutama digunakan untuk interkonversi hidrokarbon,
contohnya adalah orto- dan meta-xylena menjadi para-xylena, konversi metanol
menjadi benzene, konversi senyawa hidrokarbon beroksigen (alkohol/metanol)
dalam biomassa menjadi bensin, dan beberapa proses katalitik lainnya.
Selama ini sudah banyak dilakukan penelitian sintesis zeolit dengan sumber
silika penambah yang berasal dari cabocyl dan hasilnya cukup baik. Seperti yang
telah dilakukan oleh Elia (2010), berhasil mensintesis ZSM-5 menggunakan bahan
baku zeolit alam Kalianda Lampung Selatan dengan template Tetra Propyl
Ammonium Bromide (TPABr) dan menghasilkan persen kristalinitas relatif
tertinggi sebesar 61,327% pada kondisi rasio SiO
2
/Al
2
O
3
sebesar 40 mol/mol.
Pada tahun 2007, Andhi dan Didik telah melakukan sintesis ZSM-5 dengan
sumber silika penambah yang berbeda, yaitu abu sekam padi, tanpa menggunakan
template organik dan dihasilkan fasa tunggal ZSM-5 pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3 -
sebesar 50 mol/mol, tetapi persen kristalinitas relatifnya masih sangat rendah yaitu
sebesar 50,19%.
Di sisi lain Metta,dkk (2003) juga telah berhasil mensintesis ZSM-5 dengan
menggunakan bahan baku alumina dan silika yang berasal dari abu layang
batubara (lignite fly ash) dan abu sekam padi (rice husk ash), serta menggunakan
template TPABr, menghasilkan ZSM-5 dengan yield maksimum sebesar 59%
berat, pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3
sebesar 40 mol/mol.
Sekam padi memiliki kandungan silika yang cukup tinggi, yaitu berkisar
antara 86,9%-97,3% (Houston, 1972). Kandungan silika yang tinggi pada sekam
padi tersebut menjadi salah satu alasan pemanfaatannya menggantikan sumber
silika lain yang lebih mahal, seperti cabocyl yang digunakan oleh Elia (2010).
Selain itu, sekam padi merupakan limbah pertanian yang apabila tidak
ditanggulangi dapat mencemari lingkungan. Alternatif penanggulangan limbah
sekam padi adalah dengan menjadikannya sebagai bahan baku penambah silika
dalam sintesis zeolit seperti yang dilakukan oleh Metta, dkk (2003) dan Andhi,
dkk (2007).

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 250
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 2'
40 mol/mol
Dilatarbelakangi tingginya kebutuhan ZSM-5 di Industri dan pemanfaatan
limbah sekam padi, maka perlu dilakukan sintesis ZSM-5 dari zeolit alam
Lampung dengan sekam padi sebagai sumber silika penambah. Variabel yang
akan dikaji adalah rasio SiO
2
/Al
2
O
3
yang merupakan precursor atau pemicu
utama terbentuknya kristal zeolit, yang dipelajari pengaruhnya terhadap persen
kristalinitas produk dan karakteristik produk yang dihasilkan, seperti luas
permukaan, ukuran pori, serta volume porinya.

2. BAHAN DAN ALAT
2.1 Bahan
Bahan yang digunakan yaitu : Sekam Padi, KOH, HNO
3
, HCl, Zeolit alam asal
Kalianda Lampung Selatan, NaOH, TPABr (tetra propil ammonium bromide),
H
2
SO
4
, dan Aquades.

2.2 Alat
Alat yang digunakan antara lain : X-ray diffraction (XRD), Scanning Electron
Microscopy (SEM), BET, SEM-EDS, autoclave, pHmeter, neraca digital, oven,
furnace, desikator, seperangkat set refluks (magnetic stirrer, condenser, labu leher
3), kertas saring, gelas kimia, gelas ukur, Erlenmeyer, dan pipet tetes.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Analisis Kualitatif
Produk sintesis dikarakterisasi untuk mengetahui struktur yang dihasilkan dengan
metoda difraksi sinar-X (XRD). Hasil analisis XRD yang merupakan pola
difraktogram ZSM-5 pada setiap run dapat dilihat pada Gambar 1, 2, 3 dan 4.
Berdasarkan Gambar 1-4 dapat diketahui adanya struktur ZSM-5 pada bubuk yang
dihasilkan. Struktur ZSM-5 ini dicirikan dengan sepuluh pola difraksi XRD sesuai
dengan pola difraksi ZSM-5 standar. Selain struktur ZSM-5, dapat teridentifikasi
adanya puncak - puncak zeolit lain yaitu kristal ZSM-8 dan analcime, yang
merupakan produk antara pada sintesis ini.













Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 251
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 1
20 mol/mol
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 2
40 mol/mol








Gambar 1. Pola Difraksi ZSM-5 Produk (RUN 2, Silika Abu, Sebelum
Kalsinasi)












0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
ZSM-5 Standar

6
7
8
1
2
I
n
t
e
n
s
i
t
a
s

(
c
p
s
)

5
4
3
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 252
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 3
60 mol/mol
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
ZSM-5 Standar

1
2
3
4
5
6
8
7
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 1
20 mol/mol











Gambar 2. Pola Difraksi ZSM-5 Produk (RUN 1-3, Silika Ekstrak, Sebelum
Kalsinasi)










Sudut 2 ()
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 253
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 2
40 mol/mol
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 3
60 mol/mol

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
ZSM-5 Standar

1
2
3
4
5
6
7
8























Gambar 3. Pola Difraksi ZSM-5 Produk (RUN 1-3, Silika Ekstrak, Setelah Kalsinasi)



Sudut 2 ()
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 254
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 1'
20 mol/mol

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 2'
40 mol/mol
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
RUN 3'
60 mol/mol




























Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 255
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
ZSM-5 Standar

I
n
t
e
n
s
i
t
a
s

(
c
p
s
)

1
2
3
4
5
7
6
8








Gambar 4. Pola Difraksi ZSM-5 Produk (RUN 1-3, Silika Abu, Setelah Kalsinasi)

Observasi menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dilakukan untuk
mengetahui morfologi permukaan dan keseragaman ukuran partikel.
Analisis SEM tersebut dilakukan pada sampel Run 3 (rasio SiO
2
/Al
2
O
3
60
mol/mol, silika abu, setelah kalsinasi), yaitu sampel yang memiliki persen
kristalinitas tertinggi berdasarkan analisis XRD. Berdasarkan gambar 5 (a) dan (b),
dapat dilihat adanya ketidakteraturan ukuran kristal zeolit. Masih terdapat struktur
berupa serabut dan gumpalan - gumpalan. Diperkirakan adanya gumpalan tersebut
mengindikasikan bahwa masih terdapatnya kandungan air terikat pada kristal yang
dihasilkan.
Keseragaman dan keteraturan morfologi kristal akan memberikan aksesibilitas
yang baik ke situs pusat aktif dan dapat memberikan mobilitas yang tinggi
terhadap produk reaksi (Setiadi dan Nasikin, 2011).
Berdasarkan gambar 5(c) dapat dilihat bahwa sampel yang dihasilkan berbentuk
kubus yang merupakan ciri khas ZSM-5. (Metta dkk, 2003)







(a)
Sudut 2 ()
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 256





(b)





(c)

Gambar 5. SEM Mikrograph ZSM-5
(a) Perbesaran 500 kali (b) Perbesaran 1.500 kali (c) Perbesaran 3.000
kali



Luas permukaan spesifik pori, volume pori, dan ukuran pori dari produk yang
dihasilkan dianalisis mengunakan metode BET (Brunauer, Emmett, Teller).
Sifat-sifat pori seperti volume pori dan ukuran pori menjadi parameter penting
terutama untuk katalis yang bersifat selektif terhadap bentuk dan ukuran pori
(Istadi, 2004).
Dapat dilihat pada tabel 1 bahwa semakin besar rasio SiO
2
/Al
2
O
3
semakin besar
pula luas permukaan dan volume pori ZSM-5 yang dihasilkan. Luas permukaan
tertinggi diperoleh pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3
60 mol/mol sebesar 283,8 m
2
/g. Ukuran
pori paling besar dihasilkan pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3
40 mol/mol yaitu sebesar
34,472 , dan turun pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3
60 mol/mol menjadi 34,462 . Namun
ukuran tersebut tidak selektif terhadap molekul hidrokarbon aromatik seperti
benzene, toluene, xilena, maupun grup senyawa C9 aromatis lainnya yang
memiliki diameter kinetik jauh lebih kecil yaitu sekitar 0,6 nm atau 6 .

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 257
Tabel 1. Hasil analisis luas permukaan spesifik BET, volume pori dan ukuran
pori
Run
(Rasio SiO
2
/Al
2
O
3
)
Surface Area
(m
2
/g)
Volume Pori
(cc/g)
Ukuran Pori
()
1 (20 mol/mol) 170,6

0,0769 34,265
2 (40 mol/mol) 233,8

0,1025 34,472
3 (60 mol/mol) 283,8

0,1254 34,462
Keterangan : Run 1 (sumber : abu silika, setelah kalsinasi, based amorf)
Run 2 (sumber : silika ekstrak, setelah kalsinasi, based amorf)
Run 3 (sumber : abu silika, setelah kalsinasi, based amorf)



3.2 Hasil Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui persen kristalinitas produk.
Nilai kristalinitas yang dikaji pada penelitian ini ada 2, yaitu :
1. berdasarkan basis amorf, yaitu dengan membandingkan luas kristalin
terhadap
luas keseluruhan area di bawah kurva (amorf+kristalin)
2. berdasarkan metode ASTM No D3906-85A, yaitu dengan cara
membandingan
8 puncak tertinggi dari pola difraktogram sinar-X hasil sintesis terhadap 8
puncak tertinggi difraktogram sinar-X ZSM-5 standar.

Hasil perhitungan persen kristalinitas berdasarkan kedua metode tersebut
dapat dilihat pada tabel 2. Berdasarkan perhitungan basis amorf, persen
kristalinitas produk cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya rasio
SiO
2
/Al
2
O
3
. Perhitungan ini didasarkan pada perbandingan luas area kristal pada
hasil analisis XRD terhadap luas area keseluruhan. Luas area keseluruhan yang
dimaksud adalah luas area kristalin dan luas area amorf, yang masing-masing
nilainya langsung dapat diketahui pada hasil analisis XRD. Untuk sampel yang
belum dikalsinasi, dengan sumber silika penambah yang berasal dari sekam
ekstrak, persen kristalinitas pada Run 1, 2, dan 3 berturut-turut sebesar 30,73%;
31,32%; 31,69%. Hal ini menunjukkan bahwa pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3
60 mol/mol,
larutan basa organik maupun anorganik yang jumlahnya tetap, masih mampu
melarutkan silika dan alumina tersebut untuk kemudian memicu terbentuknya inti
kristal, terduplikasi, dan tumbuh menjadi kristal - kristal ZSM-5.
Sedangkan untuk sampel dengan sumber silika penambah yang berasal dari abu
sekam, hanya 1 yang dianalisis yaitu sampel Run 2 dengan nilai persen
kristalinitas sebesar 30,98%.
Pada sampel yang sudah dikalsinasi, nilai persen kristalinitasnya lebih kecil
dibandingkan sampel sebelum kalsinasi. Persen kristalinitas sampel setelah
kalsinasi untuk Run 1-3 (sumber silika penambah dari sekam ekstrak) adalah
sebesar 24,29%; 31,22%; dan 26,83% secara berturut-turut. Sedangkan untuk
sampel dengan sumber silika penambah yang berasal dari abu sekam, nilai persen
kritalinitas pada Run1-3 secara berturut-turut yaitu 25%; 30,53; dan 32,75%.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 258
Berdasarkan perhitungan menggunakan metode ASTM No D3906-85A, nilai
persen kristalinitas tertinggi ada pada sampel dengan rasio SiO
2
/Al
2
O
3
60 mol/mol,
yaitu sebesar 75,31% (sebelum kalsinasi) dan 110,20% (setelah kalsinasi).
Pada sampel yang sudah dikalsinasi dengan sumber silika penambah dari abu
sekam, persen kristalinitas tertinggi berada pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3
40 mol/mol
yaitu sebesar 48,32%; kemudian turun pada rasio yang lebih tinggi yaitu 60
mol/mol menjadi 38,49%. Semakin besar rasio SiO
2
/Al
2
O
3
atau dengan kata lain
semakin sedikit jumlah mol Al
2
O
3
dalam reaktan, maka berkurang pula jumlah
pusat anion dalam rangka. Kation Na
+
(yang berasal dari NaOH) dan TPA
+
yang
jumlahnya tetap dan telah jenuh akan bersaing untuk menetralkan pusat anion
tersebut. Hal ini akan mengurangi efek templating TPA sehingga kristal ZSM-5
yang dihasilkan menurun. Kristalinitas ZSM-5 menurun bila rasio SiO
2
/Al
2
O
3
lebih dari 40 mol/mol. Data ini didukung oleh penelitian Metta, dkk (2003).

Tabel 2. Persen Kristalinitas Produk


SAMPEL
% Kristalinitas Produk
Based Amorf ASTM
Sebelum
Kalsinasi
Setelah
Kalsinasi
Sebelum
Kalsinasi
Setelah
Kalsinasi
RUN 1 30,73 24,29 74,29 47,52
RUN 2 31,32 31,22 69,08 45,93
RUN 3 31,69 26,83 75,31 110,20
RUN 1 - 25 - 48,19
RUN 2 30,98 30,53 66,34 48,32
RUN 3 - 32,75 - 38,49
Keterangan : RUN 1-3 (SiO
2
/Al
2
O
3
berturut-turut 20mol/mol, 40mol/mol, 60mol/mol;
sumber : silika ekstrak)
RUN 1-3 (SiO
2
/Al
2
O
3
berturut-turut 20mol/mol, 40mol/mol, 60mol/mol;
sumber : silika abu)

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Zeolit sintetis ZSM-5 dapat dibuat dari zeolit alam Lampung dengan sumber
silika penambah dari sekam padi, dengan produk antara ZSM-8 dan analcime.
2. Kondisi optimum untuk proses sintesis ZSM-5 adalah pada rasio SiO
2
/Al
2
O
3

40 mol/mol dengan persen kristalinitas 31,69% berdasarkan analisis based
amorf atau 75,31% berdasarkan anaisis ASTM D3906-85A. Kristalinitasnya
meningkat menjadi 110,20% setelah proses kalsinasi.
4. Berdasarkan pengamatan menggunakan SEM, bentuk kristal ZSM-5 yang
dihasilkan adalah kubik.
5. Luas permukaan spesifik BET dan volume pori paling besar diperoleh pada
kondisi optimum rasio SiO
2
/Al
2
O
3
60 mol/mol, masing-masing adalah 283,8
m2/g dan 0,1254 cc/g.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 259
5. REFERENCES
Andhi, L.P & Didik, P (2007). Abu Sekam Padi Sebagai Sumber Silika Pada
Sintesis Zeolit ZSM-5 Tanpa Menggunakan Templat Organik. Akta Kimia
Indonesia Vol.3 No.1 Oktober 2007, 33-36.
Elia, N (2010). Sintesis ZSM-5 Dari Zeolit Alam Kalianda-Pengaruh Rasio Si/Al
Terhadap Kristalinitas Produk. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Houston, D.F. (1972) dimuat dalam Joddy, A.L. Pemanfaatan Abu Sekam Padi
Sebagai Bahan Baku Silika.
Istadi (2004). Fundamental dan Aplikasi Teknologi Katalis untuk Konversi
Energi. Universitas Diponegoro.
Metta C., Teerapong, N., Paisan K., & Jumras L. (2003). Synthesis of ZSM-5
zeolite from lignite fly ash and rice husk ash. Kasetsart University, Bangkok.
Pandiangan,K.D., Wasinton S, Irwan G.S., & Novesar J. (2009). Metode Ekstraksi
Silika dari Sekam Padi. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Setiadi, S. & Muhammad, N. (2011). Catalytic Conversion of Acetone to
Monoaromatic Chemicals Using HZSM-5. University of Indonesia.
Simparmin, Br.G. (1999). Konversi Zeolit Alam Bayah menjadi ZSM-5. Institut
Teknologi Bandung.






Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 260


TL-7

PENGARUH TEMPERATUR DAN LAMA KARBONISASI TERHADAP
KUALITAS DAN KUANTITAS ASAP CAIR DARI ECENG GONDOK
(EI CHHORNI A CRASSI PES)

Dedi Chandra
1*
, Harry Margatama
1
, Achmad Rasyidi Fachry
2

1
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jl. Raya
Inderalaya Km.32, Inderalaya
2
Dosen Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jl. Raya
Inderalaya Km.32, Inderalaya
*
Koresponensi Pembicara. Phone: +62 852 6754 7179
Email : to_aries90@yahoo.co.id

Abstrak

Asap cair merupakan zat kimia yang memiliki banyak manfaat, terutama digunakan
untuk tujuan pengawetan. komponen-komponen kimia dalam asap cair bersifat anti
oksidan sehingga mencegah terjadinya pembusukan. Eceng gondok dipilih sebagai
bahan baku asap cair karena komponen kimia penyusunnya sama seperti bahan baku
asap cair lainnya yang telah digunakan untuk pembuatan asap cair. Komponen-
komponen tersebut adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pada penelitian ini
dilakukan penyelidikan pengaruh variasi temperatur dan waktu pemanasan terhadap
proses pirolisa eceng gondok menjadi asap cair, dengan variasi kondisi operasi yang
dilakukan adalah suhu pemanasan sebesar 120
o
C; 130
o
C; 140
o
C; 150
o
C dengan
waktu pemasan selama 10 menit; 20 menit; 30 menit; 40 menit. Parameter-parameter
yang diukur untuk menentukan kualitas asap cair adalah massa jenis, pH, konsentrasi
asam asetat dan konsentrasi fenol. Dari hasil penelitian diperoleh kualitas asap cair
terbaik pada pemanasan pada suhu 150
o
C selama 40 menit, dimana asap cair yang
diperoleh memiliki massa jenis 1,055 gram/ml, pH 3,5, kadar asam 25,8 mg/ml dan
kadar fenol 0,042 mg/ml.

Kata kunci : Asap cair, eceng gondok, pirolisa

Abstract

Liquid smoke is a chemical substance that have a lot of benefits, notably is used for
preservative purpose. Anti-oxydant properties from the liquid smokes chemical
components will prevent decays formation. Water hyacinth was chosen as the material
to make liquid smoke because of its similar chemical components like the other
common materials that have been already used to make liquid smoke. Those chemical
components are celluloses, hemicelluloses, and lignin. The effects of heating duration
and temperature are investigated in this research, with the variants of operating
conditions that have been done in this research are heating temperature at 120
o
C; 130
o
C; 140
o
C; 150
o
C for 10 mins; 20 mins; 30 mins; 40 mins. The measured parameters
that determine the quality of liquid smoke are density, acidity as pH, acetic acid
content and phenol content. The best liquid smoke quality found at 150
o
C of heating
temperature for 40 mins, with the specified properties are 1,055 g/ml of density, 3,5 of
pH, acetic acid content at 25,8 mg/ml and phenol content at 0,042 mg/ml.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 261


Keywords: Liquid smoke, pyrolisis, water hyacinth
1. PENDAHULUAN
Penelitian tentang cuka kayu atau yang biasa disebut asap cair telah dikenal
masyarakat sebagai suatu produk yang memiliki banyak manfaatnya. Pemanfaatan
cuka kayu sendiri pada umumnya di sektor pertanian antara lain dapat membuat
tanaman menjadi sehat, mereduksi jumlah insektisida dan parasit tanaman; sedangkan
pencampurannya dengan nutrisi pupuk dapat membuat tanaman tumbuh lebih baik,
sebagai growth promotor dan pupuk alam, dapat menggantikan pupuk kimia,
mereduksi bau dari kompos dan pupuk kandang serta menyempurnakan kualitasnya
(Anonim 2001). Hasil penelitian menunjukkan bahwa cuka kayu pada konsentrasi
rendah dapat dipakai pada budi daya tanaman antara lain jahe, kemanggi, ketimun,
buncis dan tanaman padi.
Eceng gondok (E. Crassipes) merupakan limbah pengganggu yang banyak di
jumpai di sekitar lingkungan hidup kita. Di ekosistem air, enceng gondok ini
merupakan tanaman pengganggu atau gulma yang dapat tumbuh dengan cepat (3%
per hari). Khususnya di Sumatera Selatan, enceng gondok ini banyak tumbuh di aliran
Sungai Musi ataupun saluran-saluran air lainnya. Pesatnya pertumbuhan enceng
gondok ini mengakibatkan berbagai kesulitan seperti terganggunya transportasi,
penyempitan sungai, dan masalah lain karena penyebarannya yang menutupi
permukaan sungai/perairan.
Untuk mengurangi permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan pembersihan
sungai/saluran-saluran air. Supaya enceng gondok ini tidak menumpuk dan menjadi
limbah biomassa, maka dapat dilakukan suatu pemanfaatan alternatif terhadap enceng
gondok dengan jalan mengubahnya menjadi asap cair. Kandungan selulosa dan
senyawa organik pada enceng gondok ini berpotensi memberikan rendemen asap cair
yang cukup baik. Dengan demikian asap cair dari enceng gondok ini dapat
dimanfaatan sebagai pengawet makanan, antioksidan, antibacterial, dan lain
sebagainya.
Tujuan dari penelitian ini sendiri adalah :
1. Untuk meningkatkan nilai guna dari tanaman pengganggu perairan yang bernama
eceng gondok dengan cara dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan asap
cair.
2. Untuk mengetahui kualitas asap cair yang dihasilkan serta kegunaan yang
terdapat dalam asap cair


2. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang Digunakan
1) Enceng gondok
2) Kertas saring
3) Aquadest
4) Bahan analisa: NaOH, H
3
PO
4
, NH
4
Cl, NH
4
OH, amino antipirin, kalium
ferisianida, kloroform, natrium sulfat anhidrat, CuSO
4


Alat yang Digunakan
1) Reaktor
2) Kondenser
3) Kompor/Heater
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 262


4) Oven
5) Termokopel
6) Erlenmeyer

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil Pembuatan Asap Cair
Hasil Pembuatan asap cair dari 100 gram berat awal eceng gondok pada
berbagai variabel waktu dan temperatur pemanasan dapat dilihat pada tabel dan grafik
di bawah ini:

Tabel 4.1 Hasil Pemanasan Eceng Gondok
No
Suhu pirolisa
(
o
C)
Waktu Pirolisa
(menit)
Berat Akhir
(gr)
Volume Asap Cair
(ml)
1
120
10 81,5 17,5
2 20 77,7 21
3 30 74,5 24
4 40 71,9 26,5
5
130
10 80,8 18
6 20 76,6 22
7 30 74,4 24
8 40 71,8 26,5
9
140
10 79,1 19,5
10 20 75,4 23
11 30 73,8 24,5
12 40 69,1 29
13
150
10 78,0 20,5
14 20 74,8 23,5
15 30 71,6 26,5
16 40 63,7 34




Grafik 3.1 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan terhadap Volume Asap
Cair

15
20
25
30
35
120 130 140 150
V
o
l
u
m
e

A
s
a
p

C
a
i
r

(
m
l
)

Temperatur Pemanasan (celcius)
10
20
30
40
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 263



Grafik 3.2 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan terhadap Massa Akhir
Eceng Gondok


Grafik 3.3 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan terhadap Yield Asap Cair

Dari data hasil penelitian dan grafik pengaruh waktu dan temperatur pemanasan
terhadap volume, yield asap cair dan massa akhir eceng gondok, dapat ditarik
kesimpulan bahwa semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu pemanasan yang
dilakukan kepada eceng gondok, maka akan semakin tinggi yield asap cair yang
dihasilkan
Selama proses pemanasan berlangsung, struktur kimia eceng gondok yang
terdiri dari senyawa selulosa dan hemiselulosa akan mengalami penguraian menjadi
senyawa-senyawa kimia lainnya yang lebih sederhana dengan bantuan panas
(endotermis). Temperatur dan waktu pemanasan sangat berpengaruh terhadap hasil
akhir reaksi penguraian yang terjadi pada struktur kimia eceng gondok, sehingga
semakin lama waktu dan tinggi suhu pemanasan, produk-produk hasil penguraian
yang terbentuk akan semakin banyak. Contoh produk hasil penguraian yang terbentuk
selama pemanasan adalah senyawa-senyawa asetat, fenol dan karbonil.
Pada penelitian ini, volume tertinggi asap cair yang diperoleh adalah pada suhu
150
o
C selama 40 menit. Hal ini disebabkan karena eceng gondok menerima suplai
panas paling banyak pada kondisi operasi tersebut, sehingga senyawa-senyawa
penyusun eceng gondok yang mengalami penguraian akan semakin banyak.

3.2. Hasil Pengukuran Massa Jenis Asap Cair
Massa jenis merupakan jumlah massa yang terkandung setiap volume suatu zat.
Tujuan pengukuran massa jenis asap cair yang diperoleh adalah agar dapat
menentukan massa asap cair yang diperoleh hanya dengan mengukur volumenya saja.
.Hasil pengukuran massa jenis asap cair yang diukur pada suhu ruangan (30
o
C) dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

63
68
73
78
83
120 130 140 150
M
a
s
s
a

A
k
h
i
r

(
g
r
a
m
)

Temperatur Pemanasan (Celcius)
10
20
30
40
18
24
30
36
120 130 140 150
Y
i
e
l
d

(
%
)

Temperatur Pemanasan (Celcius)
10
20
30
40
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 264



Grafik 3.4 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan terhadap Massa Jenis Asap
Cair dari Eceng Gondok

Berdasarkan grafik di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa semakin lama
waktu dan semakin tinggi suhu pemanasan eceng gondok, massa jenis produk yang
dihasilkan semakin besar. Hal ini disebabkan oleh semakin pekatnya konsentrasi
campuran zat-zat yang bercampur di dalam asap cair. Massa jenis tertinggi diperoleh
ketika pemanasan dilakukan selama 40 menit pada suhu 150
o
C.
3.3. Hasil Pengukuran pH asap cair
Derajat keasaman (pH) merupakan parameter penting dalam pembuatan asap
cair yang harus diukur. Komponen penting yang terdapat di dalam asap cair adalah
asam asetat, dimana senyawa tersebut berperan sebagai zat pengawet makanan pada
asap cair. Semakin tinggi konsentrasi asam asetat di dalam asap cair, maka pH akan
semakin kecil.
Hasil pengukuran pH asap cair dari eceng gondok menggunakan alat pH meter
dapat dilihat pada grafik di bawah ini:


Grafik 3.5 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan terhadap pH Asap Cair
dari Eceng Gondok

Berdasarkan grafik di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa semakin lama
waktu dan semakin tinggi suhu pemanasan eceng gondok, pH asap cair yang
dihasilkan semakin kecil dengan nilai pH asap cair yang diperoleh berkisar antara 3,5
hingga 5,5. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya komponen kimia di dalam
eceng gondok yang terurai membentuk senyawa-senyawa asam sehingga pH asap cair
semakin menurun dan meningkatnya keasaman asap cair.

3.4. Kandungan Asam Asetat di dalam Asap Cair
Senyawa asam yang terkandung di dalam asap cair adalah senyawa asetat, dimana
senyawa tersebut digunakan sebagai komponen pengawet makanan di dalam asap
cair. Pengukuran kadar asetat di dalam asap cair dilakukan dengan metode titrasi
1,04
1,045
1,05
1,055
10 20 30 40
M
a
s
s
a

J
e
n
i
s

(
g
/
m
l
)

Waktu Pemanasan (menit)
120
130
140
150
3,5
4
4,5
5
5,5
10 20 30 40
K
e
a
s
a
m
a
n

(
p
H
)

Waktu Pemanasan (menit)
120
130
140
150
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 265


dengan NaOH, dimana kandungan asam asetat yang terukur dapat dilihat pada grafik
di bawah ini:


Grafik 3.6 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan terhadap Kandungan Asam
Asetat di dalam Asap Cair dari Eceng Gondok.
Berdasarkan grafik di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa semakin lama
waktu dan semakin tinggi suhu pemanasan eceng gondok, kandungan asam asetat
yang terdapat di dalam asap cair akan semakin bertambah. Hal ini disebabkan oleh
semakin banyaknya komponen kimia di dalam eceng gondok yang terurai membentuk
senyawa-senyawa asam sehingga konsentrasi senyawa asam di dalam asap cair akan
semakin tinggi.
Kandungan asetat yang paling tinggi diperoleh pada pemanasan selama 40
menit dengan suhu 150
o
C, namun nilai tersebut sangat sedikit bila dibandingkan
dengan kandungan asetat pada asap cair dari bahan yang berbeda. Hal ini disebabkan
karena terbatasnya suhu dan waktu pemanasan eceng gondok, sehingga masih banyak
senyawa penyusun eceng gondok yang belum terurai.
3.5. Kandungan Fenol di dalam Asap Cair
Senyawa fenol yang terkandung di dalam asap cair berfungsi sebagai
antioksidan yang mencegah terjadinya oksidasi suatu zat sehingga zat tersebut
menjadi awet. Kandungan fenol di dalam asap cair dari eceng gondok yang diukur
dengan alat spektrofotometer dapat dilihat pada grafik di bawah ini:


Grafik 3.7 Pengaruh Waktu dan Temperatur Pemanasan terhadap Kandungan Fenol
di dalam Asap Cair dari Eceng Gondok.

Berdasarkan grafik di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa semakin lama
waktu dan semakin tinggi suhu pemanasan eceng gondok, kandungan fenol yang
terdapat di dalam asap cair akan semakin bertambah. Hal ini disebabkan oleh semakin
banyaknya komponen kimia di dalam eceng gondok yang terurai membentuk
senyawa-senyawa fenol sehingga konsentrasi senyawa fenol di dalam asap cair akan
semakin tinggi.
6
11
16
21
26
10 20 30 40
K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

(
m
g
/
m
l
)

Waktu Pemanasan (menit)
120
130
140
150
0,015
0,025
0,035
0,045
10 20 30 40
K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

(
m
g
/
m
l
)

Waktu Pemanasan (menit)
120
130
140
150
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 266


Seperti halnya kandungan asetat pada asap cair, kandungan fenol tersebut sangat
kecil bila dibandingkan dengan kandungan fenol asap cair dari bahan lainnya. Hal ini
juga disebabkan karena terbatasnya suhu dan waktu pemanasan eceng gondok,
sehingga masih banyak senyawa penyusun eceng gondok yang belum terurai.

4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Asap cair terbanyak diperoleh dengan pemanasan pada suhu 150
o
C selama 40
menit, yaitu sebanyak 34 ml.
2. Asap cair yang memiliki kandungan asam asetat dan fenol terbanyak terdapat
dengan pemanasan pada suhu 150
o
C selama 40 menit, yaitu sebanyak 25,8
mg/ml dan 0,042 mg/ml
3. Semakin lama waktu pemanasan dan semakin tinggi suhu pemanasan maka
kualitas dan kuantitas asap cair dari eceng gondok akan semakin baik

5. REFERENCES
Bakkara, Lastri. Karakteristik Cuka Kayu Hasil Pirolisa Limbah Serbuk Gergajian
Kayu Karet pada Kondisi Vakum. Skripsi, Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas
Sriwijaya: Indralaya
Darmadji, P. 2002. Optimasi Pemurnian Asap Cair dengan Metode Redistilasi. Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan 13(3), 267-271.
Dewi, Rista Utami, Hengky, dan Tuti Indah Sari. 2008. Pembuatan Asap Cair dari
Limbah Serbuk Gergajian Kayu Meranti Sebagai Penghilang Bau Lateks.
Laporan Penelitian, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas
Sriwijaya: Indralaya.
Doni, Marian, Rigel Andoine, dan Subriyer Nasir. 2008. Pengaruh Kondisi Operasi
pada Pembuatan Asap Cair dari Ampas Tebu dan Serbuk Gergaji Kayu
Kulim. Laporan Penelitian, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Universitas Sriwijaya: Indralaya.
Erro, Sjostrom. 1995. Kimia Kayu: Dasar-dasar dan Penggunaan. Cetakan kedua.
Sastrohamidjojo, H (penerjemah). Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Fengel, Wegener. 1984. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Cetakan pertama.
Sastrohamidjojo, H (penerjemah). Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
Girrard, J.P. 1992. Smoking in Technology of Meat Products. Clermont Ferrand. Ellis
Horwood, New York pp: 165:205
HP, Danawati, Trisna Dhaniswara Kumala dan Agnes Selamat Pratiwi. 2009. Pabrik
Bio Oil dari Eceng Gondok dengan Metode Pirolisis Cepat. Tugas Akhir,
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember: Surabaya
Kollman, F. P. And Cote, W.A. 1984. Principles of Wood Science and Technology.
Sprenger Verlag, New York
Kurniati, Rahmawati. 2007. Pembuatan Asap Cair dan Pemurnian. Laporan
Penelitian, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya:
Palembang
Paisal, Aidawati, Lytha Dwi Putri, dan Yusuf Thoha. 2011. Pembuatan Karbon Aktif
dari Eceng Gondok. Laporan Penelitian, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Sriwijaya: Indralaya
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 267


Pszczola, D.E. 1995. Tour Highlights Production and Uses of Smoke Base Flavors.
Food Tech. (49): 70-74
Solichin, H.M. 2002. The Use of Liquid Smoke for Natural Rubber Processing. Balai
Penelitian Sembawa: Palembang.
Suharmanto, Harman. 2012. Tinjauan Studi Pembuatan Briket Arang dari Tempurung
Kelapa, (online), (http://harmansuharmanto.blogspot.com/2012/01/tinjauan-
studi-pembuatan-briket-arang.html, diakses pada tanggal 10 september 2012)
Supriyanto, Hernowo dan Sipon Muladi. 1999. Kajian Eceng Gondok sebagai Bahan
Baku Industri dan Penyelamatan Lingkungan di Daerah Perairan. Fakultas
Kehutanan, Universitas Mulawarman: Samarinda.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 268


TL-8

PENGARUH SUHU PIROLISIS DAN UKURAN TEMPURUNG KELAPA
SAWIT TERHADAP RENDEMEN DAN KARAKTERISTIK BIO-OIL

Fatah Sulaiman, Endang Suhendi, Andreas, dan Nurita Fatmawati

Program Studi Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Jend.Sudirman Km.03 Cilegon 45235, Telp.(0254)395502/081314357085
Email : endangs.untirta@gmail.com

Abstrak
Bio-oil merupakan oxygenated molecule dan bersifat water soluble. Di
Indonesia sendiri pengembangan bio-oil sangat minim sekali. Hal ini dikerenakan
kebanyakan untuk bioenergi modern yang lebih dikenal dan sudah berkembang adalah
bioetanol, biodiesel dan biogas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan % yield
maksimum dan karakteristik Bio-oil yang dihasilkan. Percobaan dilakukan dalam
retort dengan diameter 10,9 cm dan tinggi 19,7 cm pada tekanan atmosfer. Suhu
percobaan divariasikan antara 300 600
o
C dan ukuran tempurung kelapa sawit 3-6
mm dan 10-15 mm. Hasil penelitian diperoleh bahwa persen yield bio-oil maksimum
sebesar 42,36 % pada temperatur pirolisis 600
o
C selama 1 jam dengan ukuran kelapa
sawit sebesar 3-6 mm. Hasil analisis dari Bio-oil cangkang kelapa sawit yaitu :
bentuk fisik yaitu cair, bau seperti asap, sedangkan sifat kimia yaitu : densitas Bio-oil
yaitu 1,0321 gr/ml; Specific Gravity at 60/60
o
F Bio-oil yaitu 1,0328; Viscosity
Kinematic at 100
o
C yaitu 1,022 mm
2
/s; Flash Point,COC, yaitu 44,5
o
C; Pour Point -
6
o
C; CCR yaitu 0,054 %w dan ash content yaitu 2,582 %w.

Kata Kunci: Cangkang kelapa sawit, Bio-oil dan Pirolisis



Abstract
Bio-oil is an oxygenated molecule and water soluble. In indonesia the
development of bio-oil is so poor. This matter is because moslty for modern
bioenergy is more well known ans develope is bioethanol, biodiesel and biogas. This
reseach am to determine the maksimum yield and characteristic of bio-oil produced.
The experiment was don in retort with the diameter of 10,9 cm and height of 19.7 cm
at the atmmospheric ptressure. The experiment temperature was varied ranged at 300
600
o
C and the palm shell size ranged at 3-6 mm and 10-15 mm. The result of
experiment is that the maximum yield of bio oil is 42.36% at the temperature of
pyrolysis of 600
o
C for 1 hour with the palm shel as 3-6mm. The analysis result of
palm shel bio oil are: physical form ia liquid, fregrance as smoke, while the chemical
characteristic is: bio-oil density is 1,0321 gr/ml; Specific Gravity at 60/60
o
F Bio-oil
is 1,0328; Viscosity Kinematic at 100
o
C is 1,022 mm
2
/s; Flash Point, COC is 44,5
o
C; Pour Point -6
o
C; CCR is 0.054 %w and ash Content is 2.582 %w.
Key Words: Palm Shel, Bio-oil and Pyrolysis
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 269


PENDAHULUAN
Bahan bakar minyak merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam
kehidupan. Bahan bakar yang digunakan selama ini berasal dari minyak mentah yang
diambil dari perut bumi, sedangkan minyak bumi merupakan bahan bakar yang tidak
dapat diperbaharui sehingga untuk beberapa tahun kedepan diperkirakan masyarakat
akan mengalami kekurangan bahan bakar. Dasawarsa 70-an dan sebelumnya, minyak
dan gas bumi telah memainkan peranan penting dalam menyumbang devisa bagi
negara dan menjadi andalan ekspor Indonesia. Keadaan ini tidak dapat lagi
dipertahankan pada dasawarsa 90-an. Bahkan pada abad 21 sekarang ini Indonesia
diperkirakan akan menjadi net importer bahan bakar fosil (Kartasasmita, 1992).
Melihat hal ini, sudah saatnya untuk mengembangkan berbagai energi alternatif yang
dapat diperbaharui.
Pada saat sekarang telah banyak dilakukan penelitian yang berkaitan dengan
bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi yaitu mengkonversikan biomassa
menjadi produk bio-oil. Menurut Goyal (2006) menyebutkan bahwa bio-oil
merupakan salah satu sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui. Bio-oil sangat
menjanjikan dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan industri antara lain
sebagai combustion fuel dan power generation untuk memproduksi bahan kimia serta
dapat dicampur dengan minyak diesel sebagai bahan bakar mesin diesel.
Biomassa yang digunakan untuk memproduksi bio-oil dapat diperoleh dari
limbah pertanian, hutan, perkebunan, industri dan rumah tangga. Negara-negara tropis
seperti Indonesia umumnya memiliki biomassa yang berlimpah. Sekitar 250 milyar
ton per-tahun dihasilkan dari biomassa hutan dan limbah pertanian. Limbah pertanian
secara umum berasal dari perkebunan kelapa sawit, tebu, kelapa serta sisa panen dan
lain-lainnya yang mencapai kirakira 40 milyar ton per-tahun (Suwono, 2003).
Estimasi potensi limbah perkebunan dari tahun 20012003 dilaporkan bahwa di
Indonesia khususnya daerah Lebak-Banten, limbah padat sawit yang dihasilkan dapat
berupa cangkang, batang, tandan kosong, pelepah dan lain-lain yang merupakan sisa
dari industri sawit yang belum dimanfaatkan secara optimal (Padil, 2005). Selama ini,
limbah padat sawit dibakar dilahan dan menghasilkan abu yang digunakan sebagai
pupuk tanaman (Suwono, 2003) atau bahkan dibakar begitu saja untuk mengurangi
volume yang semakin hari semakin menumpuk. Untuk itu diperlukan suatu terobosan
yang dapat mengolah limbah padat sawit. Karena limbah padat sawit mempunyai
potensi sebagai sumber energi, maka pada penelitian ini menggunakan limbah padat
kelapa sawit sebagai biomassa untuk memproduksi bio-oil.
Proses pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi crude palm oil (CPO)
menghasilkan biomassa produk samping yang jumlahnya sangat besar, diantaranya
cangkang sawit, yaitu sebesar 10,2 %. Jika produktifitas rata-rata hasil tandan buah
segar yang dihasilkan sekitar 17 ton/ha/tahun, maka akan dihasilkan limbah cangkang
sawit 1,73 ton/ha/tahun (Saono dan Sastrapradja, 1983).
Limbah cangkang sawit saat ini banyak dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan energi dalam pabrik kelapa sawit. Cangkang digunakan sebagai bahan
bakar boiler untuk memenuhi kebutuhan steam (uap panas), namun pemanfaatan
limbah dengan metode seperti ini hanya dapat menanggulangi limbah dalam skala
kecil sedangkan limbah padat produksi dalam skala yang cukup besar (Miura, 2003).
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium konversi energi dengan tujuan
untuk menentukan % yield maksimum dan karakteristik Bio-oil yang dihasilkan.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 270



METODE PENELITIAN
1. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah cangkang kelapa sawit yang
diperoleh dari PT. Perkebunan Nusantara VIII Kertajaya, Lebak Banten.
Analisa bahan baku yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Mineral dan Batu bara (Tekmira) mengenai analisis proximate dan
ultimate dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Analisa Proximate dan ultimate bahan baku Cangkang kelapa Sawit
Analisa Proximate (%) Analisa Ultimate (%)
Moisture Ash
Volatile
matter
Fixed
carbon
Carbon Hydrogen Nitrogen Oksigen Sulfur
9.69 2.21 69.19 18.91 52,4 6.5 0.5 38.6 0.1

2. Alat Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah satu set alat pirolisis yang dapat
dilihat pada Gambar 1 berikut ini

Gambar 1. Rangkaian Alat Pirolisis



Keterangan :
1. Retort
2. Pemanas
3. Temperatur kontrol
4. Termometer
5. Kondenser
6. Penampung Cairan
7. Pompa pendingin
8. Bak penampung air
pendingin
9. Penampung gas
10. Gelas ukur
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 271


3. Prosedur Penelitian













4.


Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian

Prosedur penelitian yang akan dilakukan di bagi dalam dua tahapan yaitu:
a. Preparasi Bahan Baku
Limbah cangkang kelapa sawit yang diperoleh dari Perkebunan Nusantara
VIII Kertajaya, Lebak Banten dihancurkan kemudian diayak untuk
mendapatkan ukuran yang diinginkan. setelah itu dikeringkan
menggunakan oven untuk mengurangi kandungan air kurang lebih 15 %.
Selanjutnya cangkang kelapa sawit masing-masing ditimbang sebanyak
100 gram.
b. Proses Pirolisis
Setelah proses preparasi selesai, sampel dimasukkan kedalam retort yang
berdiameter 10,9 cm dan tinggi 19,7 cm kemudian dilakukan proses
pirolisis. Selanjutnya air pendingin dialirkan (20
0
C) menggunakan
kondensor double pipe dan mulai menghidupkan pemanas. Retort
dipanaskan sampai temperatur yang dikehendaki dan dipertahankan
konstan, gas volatil akan terkondensasi membentuk produk cairan dan
membentuk gas jika tidak terkondensasi. Proses pirolisis dilakukan pada
tekanan atmosfer. Setelah kondisi pirolisis yang diinginkan tercapai
dianggap sebagai awal reaksi (waktu ke-0 menit) dan setiap 15 menit
diambil produk cair dan gas untuk diukur. Proses pirolisis dilakukan
selama 60 menit setelah temperatur pirolisis tercapai hingga cairan dan
gas terbentuk. Melakukan proses pirolisis diatas dengan variabel yang
berbeda.
Limbah kelapa sawit
(cangkang)
Preparasi bahan
baku
Proses Pirolisis
Padatan Cairan (bio-oil) Gas
Analisa karakteristik,
komponen dan komposisi
cairan

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 272




HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai bio-oil dari cangkang kelapa sawit dilaksanakan di
laboratorium konversi energi Jurusan Teknik Kimia Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.

1. Pengaruh Temperatur terhadap yield produk cairan (bio-oil)













(a) Cangkang sawit besar (10 -15 mm) (b) Cangkang sawit kecil (3-6
mm)
Gambar 3. Grafik hubungan antara waktu pirolisis terhadap persen yield produk
cairan (bio-oil)

Dari gambar 3 dapat dilihat profil perubahan suhu terhadap persen yield
cairan (bio-oil) memiliki nilai yang berbeda-beda. Semakin tinggi suhu pirolisis,
maka semakin besar pula jumlah gas dan cairan (bio-oil) yang dihasilkan sehingga
menghasilkan cairan yang semakin besar. Hasil penelitian ini sama seperti hasil
yang ada dalam literatur (Bridgwater, 1999; Yan, 2004; Shen, 2004; dan Tsai,
2005). Untuk cangkang sawit besar yield maksimum cairan (bio-oil) yang
dihasilkan pada temperatur 600
o
C sebesar 38,81% dengan waktu pirolisis selama
60 menit, sedangkan cangkang sawit kecil yield maksimum cairan yang dihasilkan
pada temperatur 600
o
C sebesar 42,36 % dengan waktu pirolisis selama 60 menit.
Produk pirolisis diperoleh dari hasil reaksi dekomposisi senyawa-senyawa
yang terkandung dalam bahan baku cangkang kelapa sawit. Laju reaksi
dekomposisi tersebut meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Peningkatan
perolehan ini terjadi karena kenaikan suhu akan meningkatkan laju pemecahan
rantai-rantai senyawa didalam bahan, sehingga dengan peningkatan suhu tersebut
maka kandungan air dan senyawa-senyawa volatil akan teruapkan secara cepat
dengan jumlah yang lebih besar pula. Hal ini akan menyebabkan produk pirolisis
cairan meningkat pada suhu yang lebih tinggi.
Pada suhu yang lebih tinggi, molekul didalam cangkang kelapa sawit akan
bergerak lebih cepat karena memiliki energi yang tinggi sehingga memperbesar
peluang terjadinya tumbukan reaksi yang sempurna. Selain itu pada suhu yang
lebih tinggi efektifitas panas untuk berdifusi masuk kedalam pori-pori bahan

0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 10 20 30 40 50 60

y
i
e
l
d

(
%
)

t (menit)
T=300 oC
T=350 oC
T=400oC
T=450 0C
T=500 oC
T=550 oC
T=600 oC

0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 10 20 30 40 50 60
%

y
i
e
l
d

t (menit)
T=300 oC
T=350 oC
T=400oC
T=450 0C
T=500 oC
T=550 oC
T=600 oC
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 273


menjadi semakin baik sehingga mendorong peningkatan produksi cairan (bio-oil)
dan gas yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Fatimah (1999),
menyatakan bahwa terdapat kecendrungan semakin besar suhu pirolisis, semakin
banyak minyak yang dihasilkan sedangkan jumlah arang semakin kecil. Hal ini
disebabkan semakin berkurangnya komponen-komponen organik yang terdapat
dalam bahan baku, sehingga arang yang dihasilkan beratnya semakin berkurang.
Yield bio-oil pada penelitian ini masih jauh dibawah yield yang dihasilkan
pada proses fluidized bed yaitu sebesar 70 % (Bridgwater, 2007). Hal ini
disebabkan perbedaan jenis kayu, kadar air, suhu pirolisis, gas inert (N
2
) yang
dialirkan terus menerus dan ukuran kayu yang dipirolisis selain itu disebabkan
karena pada proses fluidized bed terjadi fluidisasi material yang berukuran sangat
kecil didalam reaktor dengan bantuan gas inert bertekanan tinggi, sehingga proses
perpindahan panas bisa terjadi dengan sangat cepat, uap yang terbentuk juga
semakin besar dan cepat terkondensasi.
2. Pengaruh Ukuran cangkang kelapa sawit terhadap yield produk cairan (bio-
oil)


Gambar 4 Pengaruh temperatur pirolisis terhadap % yield produk cairan
(bio-oil)

Pengaruh ukuran padatan dipelajari pada ukuran cangkang kelapa sawit :
10-15 mm dan 3 6 mm dengan suhu pirolisis 300-600C (skala 50C).
Cangkang kelapa sawit dengan ukuran yang besar (10 15 mm)
memberikan hasil yang berbeda dengan ukuran padatan yang lebih kecil (3 6
mm). Pada kisaran suhu pengamatan 300 - 600C, Cangkang kelapa sawit
dengan ukuran yang besar pada suhu yang sama memberikan hasil yang lebih
kecil. Hal ini disebabkan pada ukuran padatan yang relatif besar homogenitas
suhu tidak merata sehingga terdapat gradien suhu intra dan antar partikel. Gradien
suhu ini menandakan bahwa hambatan intra dan antar partikel berpengaruh selama
proses pirolisis (hambatan difusi dan transfer massa serta panas). Bilbao, dkk.
(1997) menjelaskan bahwa efek hambatan transfer panas/ massa dapat dikurangi
dengan : kecepatan pemanasan rendah, ukuran partikel kecil dan jumlah sampel
sedikit. Agrawal (1984) dan Balci, dkk. (1993) menjelaskan bahwa hambatan intra
dan antar partikel dapat diabaikan jika jari-jari padatan lebih kecil dari 1 mm.
10
20
30
40
50
60
70
80
300 350 400 450 500 550 600
%

y
i
e
l
d

Temperatur (
0
C)
Cangkang Besar
Cangkang kecil
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 274


Pada suhu yang lebih besar dari 500C, padatan dengan ukuran besar (10
15 mm) memberikan hasil yang hampir sama dengan padatan ukuran relatif kecil,
hal ini disebabkan dengan meningkatnya suhu maka konduktivitas panas efektif
semakin meningkat. Peningkatan nilai konduktivitas panas efektif padatan akan
mengurangi gradien suhu sehingga efek hambatan transfer panas semakin
berkurang atau dapat diabaikan. (Chan, dkk., 1985; Yang, dkk., 1984).



3. Karakteristik Cairan
Karakteristik produk cairan (bio-oil) yang dihasilkan dapat dilihat pada
Tabel 2, Hasil ini berdasarkan analisis di Laboratorium Teknologi Minyak Bumi,
Gas dan Batu Bara, Jurusan Teknik Kimia-UGM.


Tabel 2 Karakteristik cairan bio-oil
No. Jenis Pemeriksaan
Cangkang
kelapa
sawit
Metode
Pemeriksaaan
1. Specific Gravity at 60/60
0
F 1,0328 ASTM D 1298
2.
Viscosity Kinematic at 100
0
C, mm
2
/s
1,022 ASTM D 445
3. Flash Point, COC,
0
C 44,5 ASTM D 93
4. Pour point,
0
C -6 ASTM D 97-07
5.
Conradson Carbon Residue,
%w
0,054 ASTM D 189
6. Ash Content, %w 2,582 ASTM D 482
7. Densitas 1,0321 -
8. Warna coklat -
9. Bau asap -
10. pH 3 -

Berdasarkan Tabel 2 mengenai karakteristik produk cairan (bio-oil) untuk
variasi bahan baku cangkang kelapa sawit. Adapun pemaparan dari hasil analisis
karakteristik produk cairan (bio-oil) diantaranya adalah :
1. Specific Gravity
Specific gravity merupakan perbandingan densitas suatu larutan yang
berbanding dengan densitas zat referensi (air) pada temperatur 4
0
C.
Berdasarkan standar kualitas bio-oil yang telah ditentukan, nilai specific gravity
adalah sebesar 1,01 (Oasmaa, 1999). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan,
nilai specific gravity untuk cangkang kelapa sawit adalah 1,0328
2. Analisis viskositas
Viskositas merupakan tingkat kekentalan suatu fluida, Tabel 2 menunjukkan
bahwa viskostas cairan bio-oil dari cangkang bernilai 1,022. Jika dibandingkan
dengan standar kualitas bio-oil menurut (Oasmaa, 1999), nilai viskositas
kinematik sampel bio-oil yang didapat pada cangkang kelapa sawit memenuhi
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 275


dalam spesifikasi standar bio-oil. Adapun faktor yang menyebabkan perbedaan
viskositas produk cairan (bio-oil) yang diperoleh yaitu adanya kandungan tar
yang lebih banyak pada produk cairan (bio-oil) dari bahan baku cangkang
sehingga mempengaruhi viskositas produk cairan (bio-oil) yang dihasikan.
3. Flash Point
Flash point atau titik nyala digunakan untuk mengetahui suatu awal pelumas
akan terbakar atau timbul nyala api saat berada dalam mesin. Pada Tabel 2 flash
point untuk bio-oil dari cangkang kelapa sawit sebesar 42,5
o
C. Berdasarkan
hasil yang di peroleh maka nilai flash point yang dihasilkan sesuai (Oasmaa,
1999). Sehingga analisis yang didapat sesuai kedalam spesifikasi bio-oil yang
telah ditentukan.
4. Pour point
Pour point atau titik tuang menunjukkan temperatur terendah dimana pelumas
masih dapat mengalir, khususnya pada saat mesin dihidupkan. Hasil analisa
menunjukkan bahwa nilai pour point yang dihasilkan untuk bio-oil untuk
cangkang kelapa sawit bernilai -6. Menurut Oasmaa (1999), bahwa nilai pour
point yang dihasilkan masuk ke dalam spesifikasi bio-oil yang telah ditentukan.
5. Conradson Carbon Residue
Residu karbon konradson (CCR) pada bio-oil dimaksudkan sebagai ukuran
kecenderungan terbentuknya deposit karbon dari bahan bakar bilamana panas
ruang bakar di bawah kondisi semestinya. Meskipun tidak ada korelasi langsung
dengan deposit diruang bakar motor. Pemeriksaan CCR pada bio oil sangat
diperlukan untuk dapat memperkirakan kemungkinan adanya arang. Deposit
karbon yang terbentuk harus dihindari sekecil mungkin karena arang atau
karbon akan membentuk deposit secara terus menerus, deposit akan menjadi
keras dan akan mempercepat proses pengausan pada mesin. Deposit karbon juga
dapat menyumbat lubang penyemprotan atau injektor-injektor dari mesin diesel.
Residu karbon dari produk bio-oil ditentukan menurut metode ASTM D 189
yang telah distandarisasi sesuai dengan prosedurnya. Berdasarkan Dirjen Migas
No. 3675.K/24/DJM/2006 bahwa nilai maksimum untuk CCR untuk bahan
bakar jenis solar sebesar 0,1 %w. Sehingga dapat disimpulkan bahwa analisis
yang telah dilakukan masuk ke dalam spesifikasi bahan bakar.
6. Ash Content
Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral
yang terdapat pada biomassa. Abu yaitu zat organik yang tidak menguap, sisa
dari proses pembakaran atau hasil oksidasi. Penentuan kadar abu berhubungan
erat dengan kandungan mineral yang terdapat pada suatu bahan, kemurnian,
serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu maka
biomassa tersebut kurang bersih dalam pengolahannya. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan dihasilkan produk cairan (bio-oil) yang telah dilakukan
analisis dengan menggunakan metode pemeriksaan ASTM D 482 menunjukkan
bahwa kadar abu cangkang sebesar 2,582 %w. Standar karakteristik bio-oil
menunjukkan batas maksimum kadar abu sebesar 0,01 %w. Jika dibandingkan
dengan hasil yang didapat pebedaannya cukup signifikan. Hal ini dipengaruhi
karena produk bio-oil dalam proses pemisahaannya kurang maksimum yaitu
dengan pemisahan menggunakan dekanter, sehingga kemungkinan produk
cairan (bio-oil) masih tercampur dengan tar sehingga menyebabkan kandungan
abu yang dihasilkan diatas dari batas maksimum yang telah ditentukan.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 276


KESIMPULAN
Hasil penelitian diperoleh bahwa persen yield bio-oil maksimum sebesar 42,36
% pada temperatur pirolisis 600
o
C selama 1 jam dengan ukuran kelapa sawit sebesar
3-6 mm. Hasil analisis dari Bio-oil cangkang kelapa sawit yaitu : bentuk fisik yaitu
cair, bau seperti asap, sedangkan sifat kimia yaitu : densitas Bio-oil yaitu 1,0321
gr/ml; Specific Gravity at 60/60
o
F Bio-oil yaitu 1,0328; Viscosity Kinematic at 100
o
C yaitu 1,022 mm
2
/s; Flash Point,COC, yaitu 44,5
o
C; Pour Point -6
o
C; CCR yaitu
0,054 %w dan ash content yaitu 2,582 %w.



DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, R.K., 1988, Kinetic of Reaction Involved in Pyrolisis of Cellulose I. The
Three Reaction Model, Can. J. Chem. Eng., 66, 403 412.
Bilbao, R., Mastral, J.F., Aldea, M.E., and Ceamanos, J., 1997, Kinetic Study for the
Thermal Decomposition of Cellulose and Pine Sawdust in an Air
Atmosphere, J. Anal. Appl. Pyrolisis., 39, 53 64.
Bridgwater, A. V., 2007, Renewable Fuels and Chemicals By Thermal Processing of
Biomass, Chem. Eng. J.
Bridgwater, A. V., Meier, D., Radlen, D., 1999, An Overview of Fast Pyrolysis
Biomass, Organic Geochemistry., 30, 149-493
Balci, S., Dogu, T., and Yucel, H., 1993, Pyrolisis Kinetics of Lignocellulosic
Material, Ind. Eng. Chem. Res., 32, 2573 2579.
Chan, W.C.R., Kelbon, M., and Kriegel, B.B., 1985, Modelling and experimental
verification of phisical and chemical process during pyrolysis of a large
biomass particle Fuel, 64, 1505-1513
Fatimah, F., Muchalal, Respati, 1999, Pemisahan Senyawa Hidrokarbon Polisiklis
dalam asap cair tempurung kelapa , Teknosains, 12(1), UGM, Yogyakarta.
Goyal, H.B., Seal, D., Saxena, R.C.2006. Bio-fuels from Thermochemical
conversion of Renewable Resources: A Review. India Institute of S
Petroleum. India.
Kartasasmita, G. (1992) Sumber energi yang tersedia cukup untuk ratusan tahun,
Pusat Pengembangan Tenaga Perminyakan Gas Bumi, 8, 4-8.
Miura, K., Masuda, T., Funazukuri, T.,Suguwara, K., Shirai, Y., Hayashi, J.,Karim,
M. I. A. Ani, F. N., Susanto, H.(2003) Efficient Use of Oil Palm as Renewable
Resource for Energy & Chemical.Project Design Document
Oasmaa, Anja. 1999. Testing Standard Method, Finlandia.
Padil. 2005. Rancangan proses pengolahan limbah padat sawit menjadi asap cair
(Liquid Smoke). Prosiding Seminar Teknik Kimia Teknologi Oleo dan
Petrokimia Indonesia (STK-TOPI). Pekanbaru. 21 Desember.
Saono, S dan Sastrapradja, P. 1983. Major Agriculture Crop Residuce in Indonesian
on Their Potential as Raw Materials for Biocobversion. The Use of Residuce
in Rural Communities. The United University. Tokyo. Japan
Suwono, A. (2003). Indonesias potential contribution of biomass in sustainable
energy development. Thermodynamics Laboratory. IURC for Engineering
Science. Bandung Institute of Technology. Bandung.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 277


Shen, Lilly; Zhang,Dong ke., 2004, Low Temperatur Pyrolisis of sewage sludge and
putrescible garbage for fuel oil production, Curtin Iniversity of Technology,
Australia.
Tsai, W. T., Lee, M. K., 2005, Fast Pyrolisis of Rice Straw, Sugarcane Bagasse and
Coconut Shell in an Induction-Heating Reactor, Chia Nan University,
Taiwan.
Yan, Wang; Shuting, Zhang; Na, Deng., 2004, Experimental studies on low
Temperature Pyrolisis of Municipal Household Garbage Temperature
influence on pyrolisis product Distribution, Tianjin University, China.
Yang,W.,W and Cain, E., 1984 Catalytik Pyrolysis of a Coal Tar in a Fixed-Bed
Reaktor , Ind. Eng. Chem. Process Des. Dev., 23, 627-637


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 278


TL-9

PEMBUATAN KARBON AKTIF DARI BIJI KELOR UNTUK
MENINGKATKAN KUALITAS MINYAK JELANTAH



M. Hatta Dahlan
1*,
Harriman P Siregar
2
, Maswardi Yusra
2

1
Dosen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
2
Mahasiswa Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
*
Korespondensi Pembicara. Phone: +62 813 71733075
Jl. Raya Inderalaya Km.32, Inderalaya
Email: Maswardiy@yahoo.co.id

Abstrak

Pemanfaatan karbon aktif biji kelor sebagai adsorben minyak goreng jelantah
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai guna dari tanaman kelor.
Penelitian ini dilakukan dengan memvariasikan aktivator dan suhu aktivasi pada
proses pembuatan karbon aktif biji kelor untuk mengetahui adsorbsi maksimal karbon
aktif terhadap asam lemak bebas dan peroksida dalam minyak goreng bekas. Proses
peningkatan kualitas minyak goreng bekas dilakukan dengan metode kolom adsorbsi
dengan membandingkan antara karbon aktif dari biji kelor yang telah dipres pada
tekanan 1 psia dengan campuran bentonit, karbon aktif serbuk, dan pasir kuarsa.
Penelitian ini meliputi: pembuatan karbon aktif dari biji kelor dengan variasi activator
HCl, NaCl, CaCl
2
dan waktu aktivasi 20, 22, dan24 jam, proses despicing, netralisasi,
bleaching, analisa % berat FFA, angka peroksida, dan analisa visual seperti warna dan
bau. Hasil penelitian menunjukkan asam lemak bebas pada minyak goreng hasil
adsorbsi terendah terdapat pada adsorben campuran bentonit, pasir kuarsa, dan karbon
aktif dengan activator HCl dan waktu aktivasi 24 jam sebesar 0,0512% berat. Angka
peroksida pada minyak goreng hasil adsorbsi terendah terdapat pada adsorben
campuran bentonit, pasir kuarsa, dan karbon aktif dengan activator HCl sebesar 1,2
Meq/Kg dan waktu aktivasi 24 jam

Kata kunci : Angka peroksida, biji kelor, karbon aktif, minyak goreng jelantah, persen
FFA.

Abstract

Use of activated carbon moringa seed as adsorbent used cooking oil is one
way to increase the use value of the Moringa plant. The research was conducted by
varying the activator and the activation temperature on activated carbon
manufacturing process moringa seeds to determine the maximum adsorption on
activated carbon and peroxide free fatty acids in cooking oil. The process of
improving the quality of cooking oil made with the method by comparing adorbsi
column of activated carbon from Moringa seeds that have been pressed at a pressure
of 1 psia with a mixture of bentonite, activated carbon powder and quartz sand. Study
include: the creation of active carbon with a variety of moringa seed activator HCl,
NaCl, CaCl
2
and activation time 20, 22, dan24 hours, despicing process,
279

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 279


neutralization, bleaching, analysis of % weight FFA, peroxide number, and visual
analysis such as color and odor. The results showed free fatty acids in cooking oils
are the lowest adsorption on an adsorbent mixture of bentonite, quartz sand and
activated carbon with HCl activator and 24-hour activation time of 0.0512% weight.
Peroxide number on the oil contained in the adsorbent adsorbs the lowest mixed
bentonite, quartz sand and activated carbon with activator and 24-hour activation
time of HCl 1.2 mEq / Kg.
Keywords: Activated carbon, cooking oil, moringa seed, percent FFA, peroxide
number.


1. PENDAHULUAN
Karbon aktif merupakan salah satu bahan organik yang cakupan pemakaiannya
cukup luas, baik di industri besar maupun kecil. Karbon aktif biasanya digunakan
sebagai katalis, penghilangan bau, penyerapan warna, zat purifikasi, dan sebagainya.
Untuk industri di Indonesia, penggunaan karbon aktif masih relatif tinggi. Sayangnya,
pemenuhan akan kebutuhan karbon aktif masih dilakukan dengan cara mengimpor.
Pada tahun 2000 saja, tercatat impor karbon aktif sebesar 2.770.573 kg berasal dari
negara Jepang, Hongkong Korea, Taiwan, Cina, Singapura, Philipina, Sri Lanka,
Malaysia, Australia, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Denmark, dan Italia
(Rini Pujiarti, J.P Gentur Sutapa).
Jika ditinjau sumber daya alam di Indonesia yang melimpah, maka sangatlah
mungkin kebutuhan karbon aktif dapat dipenuhi dengan produksi dari dalam negeri.
Dari sejumlah penelitian yang telah dilakukan, karbon aktif biasanya dibuat dari
tempurung kelapa, ampas tebu, dan serbuk gergaji. Padahal masih banyak yang dapat
dimanfaatkan untuk pembuatan karbon aktif, salah satunya adalah biji kelor atau
Moringa olaifera. Biji ini biasanya belum dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
Dengan memanfaatkan biji kelor menjadi karbon aktif akan meningkatkan nilai
tambah dari biji tersebut terutama dalam peningkatan kualitas minyak goreng bekas
yang biasanya tidak dimanfaatkan oleh masyarakat.
Ada pun tujuan dari penelitian ini adalah menentukan jenis zat aktivator dan
menentukan waktu aktivasi yang paling baik pada pembuatan karbon aktif dari biji
kelor dalam meningkatkan kualitas minyak goreng bekas. Membandingkan kualitas
minyak goreng bekas yang dijernihkan menggunakan adsorben campuran bentonit,
karbon aktif serbuk dan pasir kuarsa dengan adsorben karbon aktif yang telah dipres.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah mengetahui jenis zat
aktivator dan waktu aktivasi yang paling baik pada pembuatan karbon aktif dari biji
kelor dalam meningkatkan kualitas minyak goreng bekas. Mengetahui perbandingan
kualitas minyak goreng bekas yang dijernihkan menggunakan adsorben campuran
bentonit, karbon aktif serbuk dan pasir kuarsa dengan adsorben karbon aktif yang
telah dipres.
Ruang lingkup penelitian ini meliputi Penelitian ini meliputi proses pembuatan
karbon aktif. Bahan baku berupa biji kelor (Moringa olaifera) yang diperoleh pada
bulan September tahun 2011 di Palem Raya Indralaya. Parameter yang digunakan
pada pembuatan karbon aktif adalah jenis zat aktivator (HCl, NaOH, dan CaCl
2
) dan
lamanya waktu aktivasi (24 jam, 21 jam, dan 18 jam ). Karbon aktif dimanfaatkan
untuk meningkatkan kualitas minyak goreng bekas yang sudah digunakan selama 8
jam. Parameter yang di uji adalah angka asam lemak FFA, angka peroksida, warna,
dan bau.
280

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 280


Kelor (Moringa oleifera) tumbuh dalam bentuk pohon, berumur panjang
(perenial) dengan tinggi 7 - 12 m. Batang berkayu (lignosus), tegak, berwarna putih
kotor, kulit tipis, permukaan kasar. Percabangan simpodial, arah cabang tegak atau
miring, cenderung tumbuh lurus dan memanjang. Daun majemuk, bertangkai panjang,
tersusun berseling (alternate), beranak daun gasal (imparipinnatus), helai daun saat
muda berwarna hijau muda - setelah dewasa hijau tua, bentuk helai daun bulat telur,
panjang 1 - 2 cm, lebar 1 - 2 cm, tipis lemas, ujung dan pangkal tumpul (obtusus), tepi
rata, susunan pertulangan menyirip (pinnate), permukaan atas dan bawah halus.
Karbon aktif adalah suatu bahan yang berupa karbon amorf yang mempunyai
luas permukaan yang sangat besar yaitu 300 sampai 2000 m
2
/gr. Luas permukaan
yang sangat besar ini disebabkan karena mempunyai struktur pori-pori. Pori-pori
inilah yang menyebabkan karbon aktif mempunyai kemampuan untuk menyerap.
Karbon aktif disusun oleh atom-atom karbon yang terikat secara kovalen dalam suatu
kisi yang hexagonal. Kemampuan karbon aktif mengadsorpsi ditentukan oleh struktur
kimianya yaitu atom C, H, dan O yang terikat secara kimia membentuk gugus
fungsional.
Secara garis besar, ada 3 tahap pembuatan karbon aktif, yaitu :
1. Proses Dehidrasi
Proses dehidrasi bertujuan untuk menghilangkan air yang terkandung di dalam
bahan baku. Caranya yaitu dengan menjemur di bawah sinar matahari atau pemanasan
di dalam oven sampai diperoleh bobot konstan. Dari proses dehidrasi ini, diperoleh
bahan baku yang kering. Hal ini disebabkan oleh kandungan air dalam bahan baku
semakin sedikit.
2. Proses Karbonisasi
Karbonisasi atau pengarangan adalah suatu proses pemanasan pada suhu tertentu
dari bahan-bahan organik dengan jumlah oksigen sangat terbatas, biasanya dilakukan
di dalam furnace. Proses ini menyebabkan terjadinya penguraian senyawa organik
yang menyusun struktur bahan membentuk methanol,uap asam asetat, tar-tar dan
hidrokarbon. Material padat yang tinggal setelah karbonisasi adalah karbon dalam
bentuk arang dengan pori-pori yang sempit (Cheresmisinoff,1993).
3. Proses Aktifasi
Aktifasi arang berarti penghilangan zat zat yang menutupi pori pori pada
permukan arang. Hidrokarbon pada permukaan arang dapat dihilangkan melalui
proses oksidasi menggunakan oksidator yang sangat lemah (CO
2
dan uap air) agar
atom karbon yang lain tidak turut teroksidasi. Selain itu dapat juga dilakukan proses
dehidrasi dengan garam-garam seperti ZnCl
2
atau CaCl
2
.
Aktifator adalah zat atau senyawa kimia yang berfungsi sebagai reagen
pengaktif dan zat ini akan mengaktifkan atom-atom karbon sehingga daya serapnya
menjadi lebih baik. Zat aktifator bersifat mengikat air yang menyebabkan air yang
terikat kuat pada pori-pori karbon yang tidak hilang pada saat karbonisasi menjadi
lepas. Menurut Kirk and Othmer (1978), bahan kimia yang dapat digunakan sebagai
pengaktif di antaranya CaCl
2
, Ca(OH)
2
, NaCl, MgCl
2
, HNO
3
, HCl, Ca
3
(PO
4
)
2
, H
3
PO
4
,
ZnCl
2
, dan sebagainya. Semua bahan aktif ini umumnya bersifat sebagai pengikat air.
Bentonit adalah sejenis lempung (clay) yang komposisinya didominasi oleh
mineral montmorillonit yaitu sekitar 85% dan komponen lain umumnya merupakan
campuran dari mineral beidelit, saponit, kuarsa/kristobalit, feldspar, kalsit, gipsum,
kaolinit, plagioklasillit, dan sebagainya, sehingga bentonit seringkali disebut juga
sebagai istilah montmorillonit (Mallarangan, 1988 dalam Apriani, 2000).
281

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 281


Pasir kwarsa adalah pasir yang banyak mengandung mineral kwarsa Silikon dan
oksigen, dua elemen kimia yang paling sering terdapat dalam lapisan kerak bumi,
berpadu sebagai silikon dioksida untuk membentuk mineral kwarsa. Kwarsa adalah
mineral yang paling banyak di kerak bumi. Kwarsa memiliki formula kimia SiO
2
,
dengan bentuk kristal tetrahidral dan tingkat kekerasan mencapai 5.5 - 6.5 (skala
Moh). Menurut komposisinya, kwarsa cenderung bersih, dengan hanya sedikit elemen
lain seperti alumunium, sodium, potassium dan lithium. Pasir kwarsa digunakan sebagai
bahan filter terutama untuk proses penyaringan oleh rongga-rongga antar butiran-
butirannya. (Anis Rahmawati, 2001).
Minyak adalah lemak yang berasal dari tumbuhan yang berupa zat cair dan
mengandung asam lemak tak jenuh. Minyak dapat bersumber dari tanaman, misalnya
minyak zaitun, minyak jagung, minyak kelapa, dan minyak bunga matahari. Minyak
goreng nabati biasa diproduksi dari kelapa sawit, kelapa atau jagung (Widayat, dkk,
2005). Minyak kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit (Elaeis
guineensis jack). Kerusakan minyak selama proses menggoreng akan mempengaruhi
mutu dan nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng. Minyak yang rusak akibat
proses oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang
menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam
lemak esensial yang terdapat dalam minyak. Kerusakan minyak karena pemanasan
pada suhu tinggi, disebabkan oleh proses oksidasi dan polimerisasi.
Tujuan utama dari proses pemurnian minyak adalah untuk menghilangkan rasa,
serta bau yang tidak enak, warna yang tidak menarik dan memperpanjang umur
simpan minyak sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam
industry. Ada 3 tahapan proses pemurnian minyak goring bekas yaitu proses
despicing, netralisasi dan bleaching. Despicing merupakan proses pengendapan dan
pemisahan kotoran akibat bumbu dan kotoran dari bahan pangan. Netralisasi ialah
suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak, dengan
cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga
membentuk sabun (soap stock). Netralisasi dilakukan dengan kaustik soda (NaOH).
Pemucatan ialah suatu tahap proses pemurnian untuk menghilangkan zat-zat
warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan ini dilakukan dengan mencampur
minyak dengan sejumlah kecil adsorben, seperti tanah serap (fuller earth), lempung
aktif (activated clay) dan arang aktif atau dapat juga menggunakan bahan kimia.
Table 1. daftar penelitian karbon aktif dari biji kelor sebelumnya.
Peneliti
sebelumnya
Judul Variabel Hasil
Arnas, Ika., Dkk.
2010.
Pengaruh suhu
interaksi minyak
goreng bekas
menggunakan karbon
aktif biji kelor
terhadap angka iodine
dan peroksida
Suhu interaksi Angka iodine
terbesar pada suhu
110 C yaitu 12,135
Meq/Kg dan angka
peroksida 2,085
Meq/Kg
Mujizah,Siti.
2010.
Pembuatan dan
karakterisasi karbon
aktif dari biji kelor
mengguankan
pengaktif NaCl
Konsentrasi NaCl Karbon aktif terbaik
pada konsentrasi
30% yaitu 575 mg/g
282

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 282


Mukaromah,L.
2008.
Efektifitas
bioflokulan biji kelor
dalam mengurangi
kandungan Cr
Dosis biji kelor Dosis terbesar 5000
ppm menurunkan
kadar Cr sebesar
14,3162 mg/l

2. Metode Penelitian
Pada tahap pertama dilakukan preparasi bahan baku. Bahan baku dipisahkan
dari kulitnya. Kemudian bahan baku dikeringkan dengan sinar matahari selama 2 hari
Bahan baku dalam keadaan kering dikarbonisasi di dalam furnace selama 2 jam
dengan suhu pembakaran 600
o
C. Arang yang dihasilkan digiling di krus porselin,
kemudian diayak dengan ukuran 125 mesh. Kemudian arang diaktifasi di dalam
larutan aktivator 3% dengan variasi aktivator HCl, NaCl, CaCl
2
, dan waktu aktivasi
20, 22, 24 jam. Sampel kemudian disaring dengan kertas saring, dan dicuci dengan
aquadest hingga pH 7. Sampel dikeringkan dalam oven dari suhu kamar sampai suhu
110
o
C selama 2 jam. Sampel dibentuk seperti tabung dengan tekanan pengepresan 1
Psia menggunakan perekat semen putih dengan perbandingan 3:1.
Proses pemurnian minyak dilakukan dalam tiga tahap yaitu : proses despicing,
netralisasi dan bleaching. Tahap pertama dilakukan proses despicing untuk
menghilangkan kotoran yang masih terdapat pada minyak jelantah. Proses despicing
dilakukan dengan mencampurkan air dan minyak jelantah dengan perbandingan 1:1
dan dipanaskan hingga air menguap setengahnya.
Minyak hasil despicing sebanyak 150 gram dipanaskan sampai temperatur 35
C, kemudian ditambahkan 6 mL larutan NaOH 16 %, diaduk campuran selama 10
menit pada temperatur 40 C, selanjutnya didinginkan selama 10 menit dan
dipisahkan dengan cara disaring.
Proses bleaching dalam penelitian ini digunakan dengan metode kolom adsorbsi.
Kolom yang digunakan memiliki tinggi 50 cm dengan diameter 2 cm.
Penelitian ini mengguankan dua cara adsorbsi yaitu :
1. Menggunakan adsorben campuran bentonit, karbon aktif serbuk, dan pasir kuarsa
dengan tinggi masing 2 cm.
2. Menggunakan adsorben karbon aktif yang telah dipres dengan tinggi 2 cm. Di
bagian atas dan bawah karbon aktif diberi filter dengan tinggi 2 cm.




















Pengeringan

Karbonisasi

Penggilingan

Aktifasi

Karbon Aktif


Pengepresan

Preparasi Bahan
Baku

283

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 283



Gambar 2. Diagram Alir Prosedur Pembuatan Karbon Aktif.




















Gambar 3. Diagram Alir Prosedur Penjernihan Minyak Jelantah

3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Hasil Analisa Pengaruh Jenis Aktifator dan Waktu Aktifasi Karbon Aktif
terhadap % Berat FFA pada Penjernihan Minyak Jelantah dengan Adsorben
Campuran Bentonit, Karbon Aktif Serbuk, dan Pasir Kuarsa.



Gambar 1. Grafik pengaruh zat aktifator dan waktu aktifasi karbon aktif terhadap %
berat FFA pada penjernihan minyak jelantah menggunakan adsorben campuran
bentonit, karbon aktif serbuk, dan pasir kuarsa.
Pada gambar 1 merupakan grafik pengaruh zat aktifator dan waktu aktifasi pada
saat pembuatan karbon aktif dari biji kelor terhadap persentase FFA pada penjernihan
minyak goreng bekas menggunakan adsorben campuran bentonit, karbon aktif serbuk,
dan paasir kuarsa. Secara umum dari grafik diatas terlihat bahwa semakin lama waktu
aktifasi yang digunakan, maka persentase FFA akan semakin kecil. Hal tersebut
menandakan bahwa semakin lama waktu aktifasi maka semakin besar asam lemak
bebas yang di serap oleh karbon aktif. Persen FFA yang terkecil terjadi pada aktifator
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0 5 10
%
F
F
A

Sampel
NaCl
HCl
CaCl2
Minyak Jelantah

Despicing

Netralisasi

Bleaching Kolom
adsorben bentonit,
karbon aktif serbuk,
pasir kuarsa

Bleaching Kolom
adsorben karbon aktif
pres

Minyak Jernih

Minyak Jernih

284

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 284


HCl dengan lamanya waktu aktifasi 24 jam sebesar 0,0512% berat. Sedangkan persen
FFA terbesar terjadi pada aktifator NaCl dengan waktu aktifasi 20 jam sebesar
0.1024% berat. Pada sampel awal (minyak jelantah) didapatkan persen FFA sebesar
0,5632 sedangkan setelah penjernihan nilai FFA terendah didapatkan sebesar
0,0512% berat.
3.2.Hasil Analisa Pengaruh Jenis Aktifator dan Waktu Aktifasi Karbon Aktif
terhadap % berat FFA pada Penjernihan Minyak Jelantah dengan Adsorben
Karbon Aktif Pres.

Gambar 2. Grafik pengaruh zat aktifator dan waktu aktifasi karbon aktif terhadap %
berat FFA pada penjernihan minyak jelantah menggunakan adsorben karbon aktif
pres.
Pada gambar 2 merupakan grafik pengaruh zat aktifator dan waktu aktifasi pada
saat pembuatan karbon aktif dari biji kelor terhadap persentase FFA pada penjernihan
minyak goreng bekas menggunakan adsorben karbon aktif membran. Secara umum
dari grafik diatas terlihat bahwa semakin lama waktu aktifasi yang digunakan, maka
persentase FFA akan semakin kecil. Hal tersebut menandakan bahwa semakin lama
waktu aktifasi maka semakin besar asam lemak bebas yang di serap oleh karbon aktif.
Persen FFA yang terkecil terjadi pada aktifator HCl dengan lamanya waktu aktifasi 24
jam sebesar 0,1024% berat. Sedangkan persen FFA terbesar terjadi pada aktifator
NaCl dengan waktu aktifasi 20 jam sebesar 0.3072% berat. Pada sampel awal
(minyak jelantah) didapatkan persen FFA sebesar 0,5632% berat sedangkan setelah
penjernihan nilai FFA terendah didapatkan sebesar 0,1024% berat.
3.3.Hasil Analisa Pengaruh Jenis Aktifator dan Waktu Aktifasi Karbon Aktif
terhadap Angka Peroksida pada Penjernihan Minyak Jelantah dengan
Adsorben Campuran Bentonit, Karbon Aktif Serbuk, dan Pasir Kuarsa

0
0,2
0,4
0,6
0 2 4 6 8
%
F
F
A

Sampel
HCl
NaCl
CaCl2
0
1
2
3
4
5
6
7
0 2 4 6 8
A
n
g
k
a

P
e
r
o
k
s
i
d
a

Sampel
HCl
NaCl
CaCl2
285

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 285


Gambar 3. Grafik pengaruh zat aktifator dan waktu aktifasi karbon aktif terhadap
angka peroksida pada penjernihan minyak jelantah menggunakan adsorben campuran
bentonit, karbon aktif serbuk, dan pasir kuarsa.
Pada gambar 3 merupakan grafik pengaruh zat aktifator dan waktu aktifasi pada
saat pembuatan karbon aktif dari biji kelor terhadap angka peroksida pada penjernihan
minyak goreng bekas menggunakan adsorben karbon aktif membran. Secara umum
dari grafik diatas terlihat bahwa semakin lama waktu aktifasi yang digunakan, maka
angka peroksida akan semakin kecil. Hal tersebut menandakan bahwa semakin lama
waktu aktifasi maka semakin besar asam lemak bebas yang di serap oleh karbon aktif.
Angka peroksida yang terkecil terjadi pada aktifator HCl dengan lamanya waktu
aktifasi 24 jam sebesar 1,2 Meq/Kg Sedangkan angka peroksida terbesar terjadi pada
aktifator NaCl dengan waktu aktifasi 20 jam sebesar 2,8 Meq/Kg. Pada sampel awal
(minyak jelantah) didapatkan angka peroksida sebesar 6,2 Meq/Kg sedangkan setelah
penjernihan angka peroksida terendah didapatkan sebesar 1,2 Meq/Kg.
3.4.Hasil Analisa Pengaruh Jenis Aktifator dan Waktu Aktifasi Karbon Aktif
terhadap Angka Peroksida pada Penjernihan Minyak Jelantah dengan
Adsorben Karbon Aktif Pres

Gambar 4. Grafik pengaruh zat aktifator dan waktu aktifasi karbon aktif terhadap
angka peroksida pada penjernihan minyak jelantah menggunakan adsorben karbon
aktif pres.
Pada gambar 4 merupakan grafik pengaruh zat aktifator dan waktu aktifasi pada
saat pembuatan karbon aktif dari biji kelor terhadap angka peroksida pada penjernihan
minyak goreng bekas menggunakan adsorben karbon aktif membran. Secara umum
dari grafik diatas terlihat bahwa semakin lama waktu aktifasi yang digunakan, maka
angka peroksida akan semakin kecil. Hal tersebut menandakan bahwa semakin lama
waktu aktifasi maka semakin besar asam lemak bebas yang di serap oleh karbon aktif.
Angka peroksida yang terkecil terjadi pada aktifator HCl dengan lamanya waktu
aktifasi 24 jam sebesar 1,8 Meq/Kg Sedangkan angka peroksida terbesar terjadi pada
aktifator NaCl dengan waktu aktifasi 20 jam sebesar 3,2 Meq/Kg. Pada sampel awal
(minyak jelantah) didapatkan angka peroksida sebesar 6,2 Meq/Kg sedangkan setelah
penjernihan nilai FFA terendah didapatkan sebesar 1,8 Meq/Kg.

0
1
2
3
4
5
6
7
0 2 4 6 8
a
n
g
k
a

p
e
r
o
k
s
i
d
a

Sampel
HCl
NaCl
CaCl2
286

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 286


3.5.Perbandingan % berat FFA antara Adsorben Bentonit, Karbon Aktif, dan
Pasir Kuarsa dengan Adsorben Karbon Aktif Pres

Gambar 5. Perbandingan % berat FFA antara Adsorben Bentonit, Karbon Aktif, dan
Pasir Kuarsa dengan Adsorben Karbon Aktif Pres.
Pada gambar 5 terlihat bahwa daya serap kolom yang menggunakan adsorben
campuran bentonit, karbon aktif serbuk, dan pasir kuarsa lebih baik dibandingkan
dengan daya serap menggunakan adsorben karbon aktif press terhadap asam lemak
bebas yang terkandung dalam minyak.
3.6.Perbandingan Angka Peroksida antara Adsorben Bentonit, Karbon Aktif,
dan Pasir Kuarsa dengan Adsorben Karbon Aktif Pres

Gambar 6. Perbandingan Angka Peroksida antara Adsorben Bentonit, Karbon Aktif,
dan Pasir Kuarsa dengan Adsorben Karbon Aktif Pres.
Pada gambar 6 terlihat bahwa daya serap kolom yang menggunakan adsorben
campuran bentonit, karbon aktif serbuk, dan pasir kuarsa lebih baik dibandingkan
dengan daya serap menggunakan adsorben karbon aktif press terhadap Angka
Peroksida yang terkandung dalam minyak.


4. Kesimpulan
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0 2 4 6 8
%
F
F
A

Sampel
HCl pres
NaCl pres
CaCl2 pres
NaCl
HCl
CaCl2
0
1
2
3
4
5
6
7
0 2 4 6 8
A
n
g
k
a

P
e
r
o
k
s
i
d
a

Sampel
HCl
NaCl
CaCl2
HCl pres
NaCl press
CaCl2 pres
287

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 287


Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jenis activator karbon aktif yang
terbaik dalam penyerapan asam lemak bebas pada minyak goreng bekas adalah HCl
dengan waktu aktivasi 24 jam dengan hasil %FFA sebesar 0,0512 % pada campuran
bentonit, karbon aktif serbuk, dan pasir kuarsa dan 0,1024 % pada karboan aktif pres.
Sedangkan untuk menurunkan angka peroksida yang terbaik adalah karbon aktif yang
diaktivasi menggunakan activator HCl dengan waktu aktivasi 24 jam yaitu sebesar
1,2 Meq/Kg pada campuran bentonit, karbon aktif serbuk, dan pasir kuarsa dan 1,8
Meq/Kg pada karbon aktif pres. Jika dibandingkan adsorbsi dengan menggunakan
adsorben campuran bentonit, karbon aktif serbuk dan pasir kuarsa lebih baik jika
dibandingkan karbon aktif pres.

Daftar Pustaka
Anonymous. 2003. Syarat Mutu dan Uji Arang Aktif SII No. 0258-88. Balai
Perindustrian dan Perdagangan : Palembang.
Arnas, Ika., Dkk. 2010. Pengaruh Suhu Interaksi Minyak Goreng Bekas dengan
Menggunakan Karbon Aktif Biji Kelor Terhadap Angka Iodin dan Angka
Peroksida. Universitas Islam Negeri : Malang.
Mujzjah Siti. 2010. Pembuatan dan Karakterisasi Karbon Aktif dari Biji Kelor
Menggunakan Pengaktif NaCl. Universitas Islam Negeri : Malang.
Badan Standarisasi Nasional. 2002. SNI 01-3741-2002 : Minyak Goreng. Jakarta.
Busmin. 2004. Pembuatan Karbon Aktif dari Kayu Gelam. Jurusan Teknik Kimia
UNSRI. Indralaya.
Cheremisinoff, N. P. 1993. Carbon Adsorption of Pollutant Controll. Jhon Willey &
Sons. Canada.
H, Pohan. 1993. Prospek Penggunaan Karbon Aktif dalam Industri. Warta IHP.
Bogor.
Isnijah. 1990. Pengembangan Bahan Baku Kimia Karbon Aktif. Puslitbang Kimia
Terapan LIPI. Jakarta.
Ketaren. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Mukarromah, L. 2008. Efektifitas Bioflokulan Biji Kelor dalam Mengurangi Kadar Cr
(VI). Universitas Islam Negeri : Malang.
Pasaribu, N. 2004. Minyak Buah Kelapa Sawit. Universitas Sumatera Utara : Medan.
Plantamor. 2012. (Kelor Moringa Oleifera Lamk) diakses pada 29 juli 2012 dari
http://www.plantamor.com/index.php?plant=866.
Pujiarti,R. 2007 Mutu Arang Aktif dari Limbah Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla
King) sebagai Bahan Penjernih Air. http://www.google.com. Jakarta.
Sudrajat. 1985. Pengaruh Beberapa Faktor terhadap Sifat Arang Aktif. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Rahmawati, Anis. 2001. Metode Penurunan Mangan (Mn) dari dalam Air
Menggunakan Metode Filtrasi. Universitas Sebelas Maret : Surakarta.
Riyanto, A. 1994. Bahan Galian Industri Bentonit. Dirjen Pertambangan Umum.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral. Hal: 1-15.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 288


TL-10

PENGARUH LAJU ALIR GAS, LIQUID, DAN TEMPERATUR
PADA ABSORPSI CO
2
DENGAN PENYERAP AIR
DALAM PACKED COLUMN

Leedsey Hosanna, Dwi Aprillia K, A. Rasyidi Fachry
*
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya
Jl. Raya Palembang Prabumulih Km. 32 Inderalaya Ogan Ilir (OI) 30662
kagakukogaku_unsri@yahoo.com
*

Abstrak
Jika suatu gas dikontakkan dengan suatu liquid, maka akan terjadi suatu proses
difusi, dimana massa gas akan berpindah/melarut kedalam massa liquid atau
sebaliknya berdasarkan perbedaan konsentrasi kedua fase tersebut. Proses berdifusi
atau bercampurnya fase gas ke dalam fase liquid ini sering kita sebut sebagai
absorbsi.Telah dilakukan penelitian untuk mempelajari bagaimana besarnya pengaruh
laju alir gas dan liquid terhadap proses penyerapan (fluks massa) dengan
menggunakan CO
2
murni dan liquid air. Penelitian ini menggunakan packed column
yang telah diisi packing secara randomly dengan arah aliran counter-current
dankemudian larutan yang kaya akan CO
2
dititrasi dengan larutan Na
2
CO
3
. Dengan
variasi kecepatan laju alir gas (0,6; 0,8; 1,0; 1,2)L/min, kecepatan laju alir air (0,07;
0,1; 0,15)L/min, dan temperatur (40-70)
o
C. Laju absorbsi yang paling optimum pada
suhu 40
o
C dengan kecepatan laju alir gas 1,2 L/min dan kecepatan alir air 0,15 L/min
adalah 25, 87562 mol / m
2
.s
Kata Kunci : Absorbsi Gas CO2, Kecepatan Laju Alir Air dan Gas, Temperatur

Abstract
If a gas is contacted with a liquid, there will be a diffusion process, which
mass gas / mass dissolves will move into the liquid or vice versa based on the
difference in concentration of both phases. The process of diffusing or mixing of the
gas phase into the liquid phase is often called as absorbsi. Research has been done to
study how many of the influence of gas and liquid flow rate of the absorption process
(flux mass) using pure CO
2
and liquid water. This study uses a packed column
packing are randomly filled with counter-current flow direction and than the rich
solution of CO
2
titrated with Na2CO3. With variable flow rate gas (0.6, 0.8, 1.0, 1.2)
L / min rate, flow rate water (0.07, 0.1; 0.15) L / min, and temperature (40-70)
o
C.
The most optimum absorption rate at 40 C with a flow rate gas 1.2 L /min and flow
rate water 0.15 L /min is 25, 87562 mol / m
2
.s.
Keywords : Absorption CO
2
Gas, Gas and Water Flow rate, Temperature

BAB I
LATAR BELAKANG
Absorbsi adalah proses pemisahan bahan dari suatu campuran gas dengan cara
pengikatan bahan tersebut pada permukaan absorben yang diikuti dengan pelarutan.
Kelarutan gas yang akan diserap dapat disebabkan hanya oleh gaya-gaya fisik (pada
absorpsi fisik) atau selain gaya tersebut juga oleh ikatan kimia (pada absorpsi kimia).
Komponen gas yang dapat mengadakan ikatan kimia akan dilarutkan lebih dahulu dan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 289


juga dengan kecepatan yang lebih tinggi. Karena itu absorpsi kimia mengungguli
absorpsi fisik. (http://www.chem-is-try.org)
Absorbsi merupakan operasi teknik kimia yang secara luas digunakan dalam
industri kimia dan petroleum yang bertujuan untuk pemisahan atau pemurniaan gas
dari campuran gasnya. Prinsip utama dari peristiwa absorbsi adalah berkontaknya gas
dengan cairan dimana gas tersebut mempunyai kelarutan terhadap cairan sehingga gas
tersebut akan berdifusi ke cairan. Peristiwa ini sangat dipengaruhi oleh laju alir,
tekanan gas dan luas interfacial antara gas dan cairan. ( http://www.scribd.com)
Salah satu aplikasi alat dari peristiwa absorbsi adalah packed column. Alat ini
merupakan menara atau tower yang berisi packing tempat berkontaknya gas dan
cairan, alat ini juga dilengkapi dengan distributor cairan.
Dalam pengoperasian packed column sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain: laju alir gas, arah aliran liquid dan temperatur. Tiga faktor ini akan
menentukan besarnya laju absorbsi / penyerapan gas oleh liquid.
Countercurrent packed column tower secara prinsip dioperasikan berdasarkan
sifat absorpsi partikel cair (liquid) ketika berinteraksi dengan partikel padat atau gas.
Efektifitas liquid dalam sistem countercurrent packed column tower menjadi salah
satu pertimbangan utama dalam mendesainnya untuk mengabsorbsi gas CO
2
. Dengan
menggunakan parameter kecepatan laju alir liquid, gas dan temperatur maka akan
diketahui efektifitas kinerja sistem alat yang paling optimal untuk mengabsorbsi gas
CO
2
.
Desain absorber untuk gas CO
2
, perpindahan massa optimum dapat dicapai
pada kondisi sebagai berikut : tersedianya daerah kontak yang luas, terjadinya
pencampuran yang baik antara gas dan cairan, tersedianya waktu kontak yang cukup
antar fase, tingkat solubilitas atau kelarutan yang tinggi dari kontaminan di dalam
absorber. (http://eprints.upnjatim.ac.id)
Penganalisaan terhadap pengaruh kecepatan massa liquid dan gas sangat
diperlukan dalam industri kimia karena dengan hasil penganalisaan akan dapat
mengetahui seberapa besar gas dapat larut dalam cairan, sehingga diharapkan dapat
mendesain packed column dan laju penyerapan optimum serta investement dan
operation cost yang rendah. (http://id.shvoong.com)

BAB II
ISI MAKALAH
2.1 Tinjauan Pustaka
Packed Column
Packed Column adalah alat yang digunakan untuk mengkontakkan fase liquid dan
fase gas, baik pada aliran searah (co-current flow) atau aliran berlawanan arah
(counter current flow). Pada umumnya packed column lebih banyak digunakan untuk
mengontakkan fase liquid dan fase gas dalam aliran berlawanan arah. (Mc Cabe,
1987).
Packed Column biasanya dipilih bila peralatan lempengan (plate) tidak mungkin
digunakan karena karakteristik liquid tidak cocok atau karena rancangan alat tertentu.
Berikut kondisi yang baik
bagi packed column:
1. Packing sering menunjukkan karakteristik efesiensi pressure drop yang diinginkan
untuk
kritikal vacuum distilasi
2. Liquid hold up dapat benar-benar rendah pada packed column.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 290


3. Untuk column yang diameternya kurang dari 0,6 m (2,0 ft), packing biasanya lebih
murah dibandingkan lempengan (plate), kecuali jika diperlukan packing alloy
metal.
4. Asam - asam dan bahan bahan korosif lainnya dapat ditangani pada packed
column karena konstruksinya dapat dibuat dari keramik, karbon atau bahan lainnya
yang tahan korosi.

Packing
Packing adalah bahan yang diisikan ke dalam tower yang bertujuan untuk
memperluas
kontak antara liquid dan gas. Karakteristik packing sangat bervariasi dapat dilihat di
(http://www.chem-is-try.org).

Distribusi Liquid
Distribusi liquid secara baik (seragam) pada packing sangat perlu karena dengan
demikian packing akan terbasahi secara sempurna, sehingga memaksimalkan luas
permukaan kontak. Berbagai kesalahan pendistribusian liquid dapat dilihat di buku
(Mc Cabe, 1987).

Sistem Gas-Liquid pada Packed Column Counter-Current
Persyaratan kontak yang baik antara zat cair dan gas sangat sulit untuk dicapai,
terutama pada column yang besar. Secara ideal, zat cair setelah didistribusikan
mengalir dalam bentuk film tipis keseluruhan permukaan packing dan menuruni
column. Pada laju aliran rendah, sebagian besar permukaan packing kering atau
sedikitnya stagnant. Efek ini disebut pengkanalan (channeling), ini merupakan salah
satu masalah pada packed column (Mc Cabe, 1987).

2.2 Alat dan Bahan
2.2.1 Alat yang digunakan adalah:
a. Satu buah kolom yang terbuat dari fiber sebagai tempat berlangsungnya
perpindahan massa. ( Tinggi : 100 cm, Diameter : 7 cm )
b. Jenis packing Rasching Ring yang terbuat dari plastic polyethylene dengan
diameter packing inch.
c. Flowmeter air dan gas untuk mengukur laju alir air dan gas.
d. Tabung gas, sebagai tempat untuk menyimpan gas.
e. Konduktivity meter sebagai alat untuk mengukur konduktivitas campuran.
f. Liquid distributor, untuk mendistribusikan air secara merata ke dalam kolom.
g. Waterbath, untuk memanaskan air (40-70)
o
C
h. Pompa, untuk mengalirkan air ke dalam kolom.
i. Regulator, untuk mengatur pengeluaran gas.
j. Selang penghubung
k. Penampung air
l. Meja kerja
2.2.2 Bahan yang digunakan adalah
a. Gas CO
2
murni (99%)
1) Digunakan sebagai absorbat, yang memiliki sifat sebagai berikut:
2) Gas tidak berbau, berwarna putih
3) BM = 43,69008 kg.kmol
-1

4) Densitas gas pada suhu 25C (kg/l) = 0,00176342 kg/L
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 291


b. Air
1) Digunakan sebagai absorbent, yang memiliki sifat sebagai berikut
2) Liquid yang tidak berbau dan tidak berwarna
3) BM = 18.02 kg kmol
-1

4) Densitas air pada berbagai suhu (kg/l)
c. Larutan Na
2
CO
3

1) Digunakan sebagai larutan standar, untuk mengukut konduktivitas dengan
berbagai
konsentrasi yang berbeda dari 0,05 M sampai dengan 0,15M, memiliki
berbagai sifat berikut ini:
2) Padat, berwarna putih, dilarutkan ke dalam air sesuai konsentrasi yang
diinginkan
3) BM = 105,99 kg kmol
-1


2.3 Prosedur Penelitian
2.3.1 Kerja Alat
a. Rangkai alat yang akan digunakan
b. Hidupkan pompa untuk mengalirkan air (yang akan divariasikan temperaturnya
menjadi; 40C, 50C, 60C dan 70C), atur flowrate yang akan divariasikan yaitu
dengan memutar valve sampai flow rate stabil yang terbaca pada flow meter.
c. Alirkan gas CO
2
dengan memutar valve tabung gas, atur flow rate yang
diinginkan dengan memutar valve sampai flow rate stabil yang terbaca pada flow
meter gas.
d. Hidupkan konduktivity meter, catat nilai yang terbaca pada alat.
e. Ulangi percobaan diatas dengan flow rate air yang berbeda;
1) 0.07 L/min, dengan flow rate gas yang berbeda (0.6, 0.8, 1.0, dan 1.2 L/min)
2) 0.1 L/min, dengan flow rate gas yang berbeda (0.6, 0.8, 1.0, dan 1.2 L/min)
3) 0.15 L/min, dengan flow rate gas yang berbeda (0.6, 0.8, 1.0, dan 1.2 L/min)
2.3.2 Analisa / Konversi Hubungan Konduktivitas dengan Konsentrasi
a. Siapkan larutan Na
2
CO
3
dari berbagai konsentrasi 0,05 M 0,15 M
b. Titrasi setiap larutan yang sudah diukur konduktivitasnya dengan menggunakan
larutan Na
2
CO
3
pada berbagai konsentrasi.
c. Ukurlah konduktivitas tiap konsentrasi larutan untuk setiap sensor probe dengan
cara mencelupkan sensor probe ke dalam larutan, kemudian catat nilai
konduktivitasnya.
d. Buatlah kurva hubungan antara konduktivitas dengan konsentrasi, lalu tentukan
persamaannya.

2.4 HASIL DAN PEMBAHASAN
2.4.1 Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan dari absorbsi gas CO
2
oleh H
2
O dalam packed column
dimana packingnya disusun secara random dengan packing rasching rings plastic
polyethylene dapat dilihat pada tabel rataan nilai konduktivitas sebagai berikut ini.

Tabel 1. Nilai Rata-Rata Konduktivitas (mhos) Hasil Percobaan Untuk Suhu
40C
Laju Air Laju Gas Nilai Rata-Rata Konduktivitas (Probe)
(cm/min) (L/min) 1 2 3 4 5 6 7 8
70 0.6 0.10613 0.01021 0.00809 0.00641 0.0056 0.0054 0.00236 0.00018
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 292


0.8 0.11446 0.01079 0.00849 0.00742 0.00648 0.00601 0.00343 0.0004
1.0 0.11611 0.01117 0.00871 0.00764 0.00688 0.00647 0.00373 0.00051
1.2 0.12705 0.01174 0.00888 0.00787 0.00692 0.00656 0.00378 0.00075
100 0.6 0.10874 0.01025 0.00801 0.00638 0.00586 0.0052 0.00325 0.00019
0.8 0.12979 0.01087 0.00842 0.00651 0.00605 0.00562 0.00344 0.00043
1.0 0.13015 0.0118 0.00863 0.00701 0.00672 0.00677 0.00418 0.00059
1.2 0.13047 0.01241 0.00893 0.00799 0.00711 0.00657 0.00488 0.00084
150 0.6 0.13162 0.01111 0.00845 0.00641 0.00598 0.00527 0.00323 0.00026
0.8 0.13357 0.01199 0.00849 0.00715 0.0061 0.00577 0.00335 0.00054
1.0 0.14188 0.0127 0.00854 0.00721 0.00674 0.00595 0.00445 0.00067
1.2 0.14325 0.01368 0.00899 0.00801 0.00779 0.00641 0.00472 0.00098



Tabel 2. Nilai Rata-Rata Konduktivitas (mhos) Hasil Percobaan Untuk Suhu
50C
Laju Air Laju Gas Nilai Rata-Rata Konduktivitas (Probe)
(cm/min) (L/min) 1 2 3 4 5 6 7 8
70 0.6 0.11472 0.01058 0.00774 0.00706 0.00623 0.00599 0.00337 0.00021
0.8 0.12054 0.01093 0.00824 0.00753 0.00666 0.00619 0.00319 0.00026
1.0 0.12295 0.01148 0.00837 0.00776 0.00710 0.00620 0.00376 0.00046
1.2 0.12331 0.01156 0.00818 0.00812 0.00711 0.00625 0.00391 0.00058
100 0.6 0.11382 0.01065 0.00830 0.00740 0.00618 0.00562 0.00323 0.00040
0.8 0.12332 0.01102 0.00853 0.00810 0.00623 0.00527 0.00329 0.00039
1.0 0.12283 0.01144 0.00852 0.00793 0.00643 0.00574 0.00350 0.00038
1.2 0.12821 0.01181 0.00872 0.00799 0.00660 0.00577 0.00387 0.00058
150 0.6 0.10837 0.01025 0.00814 0.00787 0.00662 0.00553 0.00308 0.00017
0.8 0.11325 0.01056 0.00839 0.00780 0.00695 0.00619 0.00307 0.00029
1.0 0.11813 0.01070 0.00828 0.00796 0.00737 0.00642 0.00341 0.00039
1.2 0.12206 0.01087 0.00853 0.00800 0.00738 0.00666 0.00384 0.00073
Tabel 3. Nilai Rata-Rata Konduktivitas (mhos) Hasil Percobaan Untuk Suhu
60C
Laju Air Laju Gas Nilai Rata-Rata Konduktivitas (Probe)
(cm/min) (L/min) 1 2 3 4 5 6 7 8
70 0.6 0.11417 0.01097 0.00767 0.00724 0.00663 0.00598 0.00241 0.00023
0.8 0.11294 0.01051 0.00839 0.00751 0.00692 0.00651 0.00248 0.00024
1.0 0.11245 0.01086 0.00828 0.00741 0.00693 0.00603 0.00322 0.00039
1.2 0.11754 0.01112 0.00848 0.00796 0.00727 0.00657 0.00320 0.00038
100 0.6 0.10605 0.01023 0.00857 0.00732 0.00615 0.00581 0.00282 0.00029
0.8 0.10999 0.01049 0.00866 0.00741 0.00619 0.00584 0.00322 0.00031
1.0 0.11487 0.01087 0.00869 0.00773 0.00728 0.00590 0.00311 0.00061
1.2 0.12444 0.01161 0.00870 0.00766 0.00700 0.00600 0.00312 0.00051
150 0.6 0.11003 0.01069 0.00821 0.00740 0.00661 0.00600 0.00293 0.00030
0.8 0.11310 0.01098 0.00827 0.00744 0.00639 0.00623 0.00313 0.00032
1.0 0.13343 0.01099 0.00851 0.00777 0.00668 0.00630 0.00362 0.00033
1.2 0.11844 0.01137 0.00887 0.00804 0.00702 0.00653 0.00370 0.00050
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 293


Tabel 4. Nilai Rata-Rata Konduktivitas (mhos) Hasil Percobaan Untuk Suhu
70C
Laju Air Laju Gas Nilai Rata-Rata Konduktivitas (Probe)
(cm/min) (L/min) 1 2 3 4 5 6 7 8
70 0.6 0.10709 0.01048 0.00814 0.00722 0.00632 0.00535 0.00252 0.00020
0.8 0.11429 0.01112 0.00825 0.00765 0.00639 0.00581 0.00288 0.00024
1.0 0.11929 0.01137 0.00859 0.00777 0.00689 0.00604 0.00344 0.00027
1.2 0.12666 0.01186 0.00861 0.00796 0.00720 0.00588 0.00303 0.00044
100 0.6 0.10356 0.01010 0.00799 0.00717 0.00592 0.00562 0.00248 0.00025
0.8 0.10659 0.01025 0.00834 0.00741 0.00647 0.00576 0.00263 0.00016
1.0 0.11586 0.01062 0.00869 0.00757 0.00678 0.00583 0.00287 0.00028
1.2 0.12713 0.01166 0.00888 0.00793 0.00697 0.00616 0.00304 0.00035
150 0.6 0.11559 0.01032 0.00779 0.00729 0.00662 0.00567 0.00262 0.00026
0.8 0.11784 0.01077 0.00840 0.00732 0.00680 0.00594 0.00288 0.00038
1.0 0.12394 0.01164 0.00846 0.00777 0.00684 0.00597 0.00304 0.00044
1.2 0.11821 0.01147 0.00877 0.00804 0.00715 0.00623 0.00316 0.00055
Hasil pengamatan dari absorbsi gas CO
2
oleh H
2
O dalam packed column
dimana packingnya disusun secara random dengan packing rasching rings plastic
polyethylene dilakukan running sebanyak tiga kali terlihat pada tabel rataan nilai
konduktivitas dari temperatur 40- kemudian larutan hasil absorbsi gas CO
2
oleh H
2
O
dari setiap temperatur dilakukan analisa konduktivity larutan Na
2
CO
3
dengan variasi
konsentrasi (0,05 0,15)M . Setelah itu hasil analisa dirata-rata.
2.5 Pembahasan
2.4.1 Konversi nilai konduktivity ke konsentrasi
Berdasarkan hasil analisa konduktivity larutan Na
2
CO
3
dengan variasi
konsentrasi (0,05 0,15)M yang telah dirata-rata dari setiap temperatur dilakukan
konversi ke konsentrasi dengan regresi linier menggunakan excel. Tahapan konversi
nilai konduktivity ke konsentrasi, pertama dengan membuat grafik hubungan nilai
konduktivity vs konsentrasi untuk temperatur 40-70
o
C dengan berbagai flow air
(0,07; 0,1; 0,15) L/min. Tahapan kedua, konversi nilai konduktivity ke konsentrasi
dengan menggunakan persamaan dari probe 1 8 yang didapat dari regresi linier
excel. Dari persamaan linier tersebut didapatkan nilai rata-rata konsentrasi setiap
probe untuk setiap temperatur.
2.4.2 Fluks massa (N
A
)
Tahapan dalam menghitung fluks massa, pertama peneliti menghitung
koefisien difusi CO
2
air (D
AB
). Untuk mengetahui nilai D
AB
kita harus mengetahui
berat molekul air dan gas CO
2
, temperatur (divariasikan dari suhu 40-70
o
C), tekanan,
Lennard-Jones Parameter, serta Collision Integral. Tahap kedua peneliti harus
menghitung tebal lapisan film () dari setiap laju alir air (0,07; 0,1; 0,15) L/min.
Aspek komponen untuk menghitung tebal lapisan film () harus mengetahui
viskositas air, densitas air, gravitasi, serta laju alir per panjang kolom. Setelah
mengetahui koefisien difusi CO
2
air (D
AB
) dan tebal lapisan film () tahapan ketiga
yang dilakukan peneliti adalah menghitung koefisien transfer massa (K
L
) dari setiap
laju alir air.
Tahapan selanjutnya kita dapat menghitung fluks massa / laju absorbsi (N
A
)
dari setiap sensor probe 1 8 dengan berbagai variasi temperatur (40-70
o
C).
2.4.3 Kecepatan massa liquid (L
S
) dan kecepatan gas (G
S
)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 294


Nilai kecepatan massa gas (L
S
) didapat dengan mengetahui laju alir air,
densitas air dari berbagai suhu, serta berat molekul air, sedangkan nilai konduktivitas
massa gas (G
S
) didapat dengan mengetahui laju alir gas, densitas gas (pada setiap
suhu sama), dan berat molekul gas. Hasil perhitungan nilai kecepatan massa liquid
(L
S
) dan kecepatan gas (G
S
) dari setiap temperatur. Kemudian kita dapat membuat
hubungan variabel variabel penelitian, yaitu (L
S
), (G
S
), dan (N
A
) dari setiap probe
untuk berbagai temperatur (40-70
o
C). Langkah selanjutnya kita dapat membuat nilai
rataan N
A
sebagai fungsi dari L
S
dan G
S
dari setiap temperatur. Dari tabel tersebut kita
dapat membuat grafik hubungan N
A
vs L
S
dan grafik hubungan N
A
vs G
S
. Dari grafik
hubungan N
A
vs L
S
serta grafik hubungan N
A
vs G
S
dapat diketahui kondisi batas nilai
kecepatan massa liquid (L
S
) dan kecepatan gas (G
S
) dari setiap temperatur.

a. Grafik Hubungan N
A
vs L
s

Gambar 1. Plot N
A
Vs L
s
pada berbagai nilai G
s
Suhu 40C

Gambar 2. Plot N
A
Vs L
s
pada berbagai nilai G
s
Suhu 50C

Gambar 3. Plot N
A
Vs L
s
pada berbagai nilai G
s
Suhu 60C
0
0,5
1
1,5
0,00E+00 5,00E-05 1,00E-04 1,50E-04
N
A

=

(
m
o
l
/
m

s
)

Ls = (kmol/s)
Gs = 4.03620E-07
Gs = 5.38160E-07
Gs = 6.72700E-07
Gs = 8.07240E-07
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
0,00E+00 5,00E-05 1,00E-04 1,50E-04
N
A

=

(
m
o
l
/
m

s
)

Ls = (kmol/s)
Gs = 4.03620E-07
Gs = 5.38160E-07
Gs = 6.72700E-07
Gs = 8.07240E-07
0
0,5
1
1,5
2
0,00E+00 5,00E-05 1,00E-04 1,50E-04
N
A

=

(
m
o
l
/
m

s
)

Ls = (kmol/s)
Gs = 4.03620E-07
Gs = 5.38160E-07
Gs = 6.72700E-07
Gs = 8.07240E-07
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 295



Gambar 4. Plot N
A
Vs L
s
pada berbagai nilai G
s
Suhu 70C
Dari grafik hubungan N
A
vs L
S
diatas, terlihat bahwa nilai N
A
dipengaruhi
oleh kecepatan liquid. Akan tetapi besarnya kecepatan liquid pada percobaan ini
berada pada range:
Untuk suhu 40C : 6.42417E-05 kmol / s Ls 1.37660E-04 kmol / s
Untuk suhu 50C : 6.39685E-05 kmol / s Ls 1.37075E-04 kmol / s
Untuk suhu 60C : 6.36480E-05 kmol / s Ls 1.36388E-04 kmol / s
Untuk suhu 70C : 6.32991E-05 kmol / s Ls 1.35640E-04 kmol / s
Kecepatan liquid yang memasuki kolom absorber yang berlebih dari range
diatas (lebih besar dari daya tampung kolom) dapat menyebabkan terjadinya flooding,
melimpahnya liquid di dalam kolom yang dapat membanjiri kolom. Hal ini tidak
boleh terjadi, karena dapat mengganggu proses absorbsi. Untuk itulah kami
membatasi nilai flowrate sebagaimana kami sebutkan diatas. Besarnya nilai laju
absorbsi juga dipengaruhi oleh ekponensial nilai Ls dari rumus empiris yang telah
didapatkan.
b. Grafik Hubungan N
A
vs G
s


Gambar 5. Plot N
A
Vs G
s
pada berbagai nilai L
s
Suhu 40C

Gambar 6. Plot N
A
Vs G
s
pada berbagai nilai L
s
Suhu 50C

0
0,5
1
1,5
2
0,00E+00 5,00E-05 1,00E-04 1,50E-04
N
A

=

(
m
o
l
/
m

s
)

Ls = (kmol/s)
Gs = 4.03620E-07
Gs = 5.38160E-07
Gs = 6.72700E-07
Gs = 8.07240E-07
0
0,5
1
1,5
0,00E+00 5,00E-07 1,00E-06
N
A

=

(
m
o
l
/
m

s
)

Gs = (kmol/s)
Ls = 6.42417E-05
Ls = 9.17739E-05
Ls = 1.37660E-04
0
0,5
1
1,5
0,00E+00 5,00E-07 1,00E-06
N
A

=

(
m
o
l
/
m

s
)

Gs = (kmol/s)
Ls = 6.39685E-05
Ls = 9.13836E-05
Ls = 1.37075E-04
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 296


Gambar 7. Plot N
A
Vs G
s
pada berbagai nilai L
s
Suhu 60C
Gambar 8. Plot N
A
Vs G
s
pada berbagai nilai L
s
Suhu 70C
Dari grafik hubungan N
A
vs G
S
diatas, terlihat juga bahwa nilai N
A

dipengaruhi oleh kecepatan gas. Akan tetapi besarnya kecepatan gas pada percobaan
ini berada pada range :
Untuk suhu 40C : 4.03620E-07 kmol / s Gs 8.07240 kmol / s
Untuk suhu 50C : 4.03620E-07 kmol / s Gs 8.07240E-07 kmol / s
Untuk suhu 60C : 4.03620E-07 kmol / s Gs 8.07240E-07 kmol / s
Untuk suhu 70C

: 4.03620E-07 kmol / s Gs 8.07240E-07 kmol / s

Kecepatan gas yang berlebih akan menyebabkan terjadinya liquid hold up.
Kecepatan gas yang besar akan menekan liquid ke atas sehingga liquid yang
seharusnya jatuh ke bawah karena gaya gravitasi akan mendapat gaya ke atas. Hal
inilah yang menyebabkan terjadinya liquid hold up. Jika hal ini terjadi maka akan
dapat mengganggu proses difusi atau proses penyerapan gas oleh cairan dan alat dapat
meledak. Untuk itulah kami membatasi nilai flowrate sebagaimana kami sebutkan
diatas. Besarnya nilai laju absorbsi juga dipengaruhi oleh ekponensial nilai Gs dari
rumus empiris yang telah didapatkan.
2.4.2 Hubungan korelasi antara fluks massa (N
A
) dengan berbagai variabel
percobaan.
Setelah mengetahui nilai N
A
, L
S
, G
S
, peneliti dapat menuliskan korelasi
hubungan ketiganya tetapi sebelumnya kita harus mencari nilai eksponensial L
S
dan
G
S
, dimana eksponensial tersebut didapat dari mengeliminasi data-data untuk masing-
masing temperatur, sehingga didapatkan nilai C
2
, C
1
, C
o
, sedangkan nilai K didapat
dari eksponensial C
o
.
Setelah mendapatkan nilai K, C
2
, C
1
, N
A
, L
S
, G
S
kita akan mendapatkan rumus
empiris laju absorbsi (N
A
) dari setiap temperatur.

3. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
0
0,5
1
1,5
2
0,00E+00 5,00E-07 1,00E-06
N
A

=

(
m
o
l
/
m

s
)

Gs = (kmol/s)
Ls = 6.36480E-05
Ls = 9.09258E-05
Ls = 1.36388E-04
0
0,5
1
1,5
2
0,00E+00 5,00E-07 1,00E-06
N
A

=

(
m
o
l
/
m

s
)

Gs = (kmol/s)
Ls = 6.32991E-05
Ls = 9.04273E-05
Ls = 1.35640E-04
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 297


Dari hasil percobaan dan pengolahan data, maka dapat kita ambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Rate of absortion atau laju absorbsi dapat dianalisa melalui konversi nilai
konduktivitas menjadi konsentrasi kemudian dilakukan pengolahan data
sehingga mendapatkan nilai laju absorbsi.
2. Hubungan antara laju absorbsi / flux massa dengan variabel variabel yang
mempengaruhi penelitian ini dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut:
Untuk suhu 40C
N
A
= 19.44688 (L
s
)
-0.12363
(G
s
)
0.28013
Dengan kondisi batasan Gs dan Ls sebagai berikut:


4.03620E-07 kmol / s Gs 8.07240 kmol / s
6.42417E-05 kmol / s Ls 1.37660E-04 kmol / s
Untuk suhu 50C
N
A
= 11.23337 (L
s
)
-1.11485
(G
s
)
0.87395
Dengan kondisi batasan Gs dan Ls sebagai berikut:
4.03620E-07 kmol / s Gs 8.07240E-07 kmol / s
6.39685E-05 kmol / s Ls 1.37075E-04 kmol / s
Untuk suhu 60C
N
A
= 2.25502 (L
s
)
0.10900
(G
s
)
-0.04707
Dengan kondisi batasan Gs dan Ls sebagai berikut:
4.03620E-07 kmol / s Gs 8.07240E-07 kmol / s
6.36480E-05 kmol / s Ls 1.36388E-04 kmol / s
Untuk suhu 70C

N
A
= 1.99104 (L
s
)
-0.85564
(G
s
)
0.56168
Dengan kondisi batasan Gs dan Ls sebagai berikut:
4.03620E-07 kmol / s Gs 8.07240E-07 kmol / s
6.32991E-05 kmol / s Ls 1.35640E-04 kmol / s
3. Semakin besar temperatur, maka laju absorbsi akan semakin kecil, begitu pula
sebaliknya semakin kecil temperatur, maka laju absorbsi akan semakin besar.
Hal ini terlihat laju absorbsi optimal pada suhu 40C.
4. Kecepatan gas (Gs) diluar kondisi batas setiap temperatur akan menyebabkan
liquid hold up dan kecepatan liquid (Ls) diluar kondisi batas setiap temperatur
dapat menyebabkan flooding.

DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.upnjatim.ac.id/cgi/search/prinsip=absorbsi+CO2/ diakses pada 4
Februari 2012, pukul: 11.23 WIB
http://id.shvoong.com/analisa/kecepatan/gas-liquid/ diakses pada 4 Februari 2012,
pukul: 12.44 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Air diakses pada 22 Oktober 2012 pukul 15.06 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Karbon_dioksida diakses pada 22 Oktober 2012 pukul
14.59 WIB
http://mvfprocessengineer.blogspot.com/2011/02/absorpsi.html diakses pada 22
Oktober 2012 pukul 14.55 WIB
http: //www.chem-is-try.org / materi _ kimia / kimia - industri/ teknologi proses /
absorbsi/ diakses pada 3 Februari 2012, pukul: 20.08 WIB
http: //www.chem-is-try.org / materi _ kimia / karakteristik/ packing / diakses pada 3
Februari 2012, pukul: 20.24 WIB
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 298


http: //www.scribd.com/ doc/ 52590306/ Pengertian - absorbsi/ diakses pada 3
Februari 2012, pukul: 20.42 WIB
Joseph H. Keenan, dkk. 1969.Steam Tables Thermodynamic Properties of Water
Including Vapor, Liquid, and Solid Phases (SI UNITS), John Wiley & Sons Inc,
New York.
Kodri, Ahmad dan M. Hanif. 2003. Pengaruh Alir Liquid dan Gas Terhadap
Penyerapan Pada Absorpsi Gas CO
2
Oleh H
2
O Dalam Randomly Packed
Column, Universitas Sriwijaya, Indralaya.
Perry, R., H., & Green, D., W., 1984, Perrys Chemical Engineers Handbook,
Seventh edition, McGraw-Hill Book Company, Singapore.
Treybal. Robert. E, Mass-Transfer Operations, Third edition, McGraw-Hill Book
Company Inc, New York.
Warren L. Mc cabe, 1993, Operasi Teknik Kimia, Jilid 2, Edisi keempat, Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Welty, J., R., Wicks, C., E., & Wilson, R., E., 1984, Fundamentals of Momentum,
Heat and Mass Transfer, Third edition, John Wiley & Sons, Canada.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 299


TL-11

OPTIMASI BILANGAN REYNOLD (Nre) DAN WAKTU
PENGADUKAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN MEKANIK
DALAM PEMBUATAN BIOPLASTIK


Listya Sari
[1],
Anggita Sari
[1],
Yuli Darni
[1]

[1]
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lampung
Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, Telp. (0721) 701609
E-mail : listyasariputri@ymail.com


ABSTRAK

Plastik jenis High Density PolyEthylene (HDPE) yang digunakan saat ini merupakan
polimer sintetis dari bahan baku minyak bumi yang terbatas jumlahnya. Plastik
tersebut tidak dapat terdegradasi oleh mikroorganisme sehingga mengganggu
kesetimbangan alam dan ekologi dunia. Pengembangan bahan plastik biodegradable
(bioplastik) yang menggunakan bahan pati alam terbaharui merupakan alternatif untuk
mengatasi masalah tersebut. Penelitian ini memanfaatkan pati sorgum sebagai bahan
pembuat plastik biodegradable pengganti bahan plastik sintetis High Density
PolyEthylene (HDPE) yang ada berupa minyak bumi serta mengoptimasi waktu
pengadukan dan bilangan Reynold terhadap sifat bioplastik yang nantinya harus
menyamai sifat plastik sintesis HDPE pada umumnya. Metode yang digunakan adalah
mencampurkan sorgum dan kitosan dengan formulasi 7:3 (gr/gr) serta plasticizer
gliserol sebanyak 10 % dari total 10 gram campuran kemudian diaduk dengan
kecepatan 190, 252, 313, 375 dan 437 rpm pada waktu pengadukan yang juga
divariasikan selama 25, 35 dan 45 menit dengan temperatur gelatinisasi 95
0
C.
Selanjutnya plastik dicetak, dikeringkan dalam oven dengan temperatur 60
0
C selama
24 jam dan dianalisis. Analisis yang dilakukan meliputi analisis sifat mekanik (Tensile
strength dan Elongation at break yang kemudian dinyatakan dalam Modulus Young),
densitas, ketahanan air dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bioplastik yang memiliki sifat yang mendekati sifat plastik
HDPE adalah bioplastik pada waktu dan bilangan Reynold sebesar 35 menit dan 375
rpm dengan nilai Modulus young, densitas dan ketahanan air berturut-turut sebesar
1109,5525 MPa, 0,947 dan 26,67 %.

Keywords : Bilangan Reynold, Bioplastik, Waktu Pengadukan








Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3


Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 300


I. PENDAHULUAN

Penduduk dunia yang berjumlah 3 milyar di tahun 1960 meningkat 2 kali lipat
menjadi lebih dari 6 milyar hanya dalam kurun waktu 40 tahun. Peningkatan jumlah
penduduk tersebut berdampak pada meningkatnya kebutuhan plastik. Plastik yang
digunakan saat ini merupakan polimer sintetis dari bahan baku minyak bumi yang
terbatas jumlahnya dan tidak dapat diperbaharui. Selain itu, plastik sintetis sangat sulit
terdegradasi (non degradable) sehingga dibutuhkan waktu yang lama untuk dapat
terurai oleh alam baik oleh curah hujan dan panas matahari maupun oleh mikroba
tanah. Hal tersebut dapat berakibat terganggunya kesetimbangan alam dan ekologi
dunia.
Dalam memecahkan masalah sampah plastik dilakukan pendekatan seperti
pengembangan bahan plastik baru yang dapat hancur dan terurai dalam lingkungan
yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradable (bioplastik). Plastik
biodegradable adalah plastik yang terbuat dari sumber yang dapat diperbaharui
seperti pati dan dapat digunakan layaknya seperti plastik pada umumnya namun akan
hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas
karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Plastik berbahan
pati memiliki kekurangan yaitu rendahnya kekuatan mekanik serta bersifat hidrofilik.
Cara untuk mengatasi kekurangan ini adalah pencampuran pati dengan biopolimer
dan plasticizer yang dapat memperbaiki kekurangan dari sifat plastik berbahan pati.
Selama ini telah banyak dilakukan penelitian sintesis plastik biodegradable.
Seperti yang telah dilakukan oleh Weiping Ban (2005), berhasil mensintesis
bioplastik menggunakan campuran pati jagung dan biopolimer gelatin serta gliserol
sebagai plasticizer.
Dalam penelitian ini, sintesis bioplastik menggunakan alternatif pati lain
berupa sorgum yang dicampur dengan kitosan sebagai biopolimer dan plasticizer
gliserol sehingga diharapkan didapatkan plastik yang memiliki sifat fisik dan mekanik
yang baik menyamai plastik High Density Poly Ethylene (HDPE) pada umumnya.
Variabel yang dikaji adalah bilangan Reynold (Nre) dan waktu pengadukan.
Pemilihan plastik pembanding merupakan plastik HDPE karena aplikasi plastik
HDPE yang besar di masyarakat, misalnya dalam pembuatan plastik wadah kosmetik,
botol minum, botol obat dan kegunaan lainnya. High Density Polyethylene (HDPE)
merupakan plastik kedua yang paling banyak digunakan selain PolyEthylene
Terephtalat (PET). Selain itu, plastik HDPE memiliki sifat yang kuat , kokoh dan
bertahan hingga suhu 120
o
C.


II. METODE PENELITIAN

2.1 Alat Dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Sorgum, kitosan,
gliserol, aquadest dan asam asetat.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain gelas ukur (500 ml, 200
ml, 100 ml, 50 ml dan 10 ml), water batch, drying oven, termometer skala 0-100
0
C,
digital balance, cetakan, cawan petri, motor pengaduk , zipbag lock, pipet, stopwatch,
spatula, botol sampel dan ayakan sedangkan peralatan analisisnya yaitu universal
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3


Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 301


testing machine, desiccator , Scanning Electron Microscopy dan jangka sorong
digital.



2.2 Prosedur Penelitian

Metode pembuatan bioplastik dimulai dengan membuat tepung sorgum,
Sorgum direndam di dalam air hingga cukup lunak kemudian digiling dan
dikeringkan. Sorgum hasil gilingan diayak lolos 90 mikron.
Sedangkan untuk pembuatan bioplastik dilakukan menurut metode yang
dilakukan oleh Weiping Ban (2005), melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
Sejumlah massa pati dan kitosan yang diinginkan ditimbang dengan perbandingan 7:3
(m/m) yaitu sebesar 6,3 dan 2,7 gr. Larutan pati melalui penambahan aquadest 235,3
ml dan larutan kitosan dengan penambahan asam asetat 13,5 ml dibuat pada gelas
ukur yang terpisah, larutan pati pada gelas ukur 500 ml dan larutan kitosan pada gelas
ukur 50 ml.Volume larutan gliserol diukur yaitu sebesar 0,7055 ml (10% m/m).
Water bath dipanaskan dan diatur temperaturnya sebesar 95
0
C. Gelas ukur 500 ml
yang berisi larutan pati diletakkan pada water bath kemudian stirrer dihidupkan.
Dilakukan penambahan larutan kitosan dan gliserol ke dalamnya dan diaduk pada
waktu yang divariasikan (25 menit, 35 menit dan 45 menit) dan dengan kecepatan
pengaduk 190 rpm (skala2), 252 rpm (skala 3), 313 rpm (skala 4), 375 rpm (skala 5)
dan 437 rpm (skala 6). Setelah diaduk pada waktu yang ditentukan, water bath dan
stirrer dimatikan. Gelas ukur berisi larutan dikeluarkan dari water bath, kemudian
diamkan hingga mencapai suhu ruangan. Larutan sebanyak 50 ml dituangkan ke
dalam cetakan, kemudian letakkan cetakan ke dalam oven pada T = 60
o
C selama 24
jam. Setelah dikeringkan dalam oven, produk bioplastik dilepaskan dari cetakannya.
Plastik siap untuk dianalisis.
.

III. HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Lampung.
Sedangkan analisis dilakukan di Laboraturium Kimia Fisik ITB Bandung. Penelitian
ini diawali dengan penyiapain bahan baku pati sorgum yang kemudian dilanjutkan
dengan pembuatan serta analisis bioplastik, dalam setiap pemasakan sebanyak 250 ml
larutan total didapatkan 3-4 lembar bioplastik.


Gambar 1. . Bioplastik campuran sorgum, kitosan dan plasticizer gliserol


IV. PEMBAHASAN

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3


Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 302


Penelitian ini dilakukan sebagai upaya pemanfaatan plastik biodegradable dari
pati sorgum putih (Sorghum L Moech) serta mengetahui pengaruh waktu pengadukan
dan bilangan Reynold (Nre) terhadap sifat mekanik dan fisik dalam pembuatan
bioplastik. Hasil penelitian berupa lembaran plastik berwarna kuning kecoklatan yang
selanjutnya dianalisis kemudian dibandingkan dengan plastik sintesis dengan hasil
berikut :


Tabel 1. Perbandingan sifat fisik dan sifat mekanik plastik sintetis minyak bumi
dengan plastik berbahan pati

Sifat Plastik *Polipropilen *LDPE *HDPE Bioplastik
Tensile strength
( Mpa)
33.095 12.41-15.0 15-40 167,416
Elongation at
break (%)
600 600 10-500** 15,225
Modulus Young
(MPa)
1344.5 166 758-1103 1109,552
Densitas
(g/ml)
0.905 0.912-0.94 0,941-0,955 0,947
Ketahanan Air
(%)
0.1 <0.01 0 26.67
Sumber :* www.boedeker.com Ulrich, 1982 dan ** Rasato,2004


4.1. Pengaruh Waktu Pengadukan dan Bilangan Reynold

Dilakukan perhitungan secara statistika menggunakan metode analisis sidik
ragam yang menunjukan bahwa bilangan Reynold dan waktu pengadukan
memberikan pengaruh nyata terhadap sifat bioplastik yang dihasilkan, bilangan
Reynold memberikan pengaruh paling dominan.
Bilangan Reynold menggambarkan tingkat keturbulensian. Semakin besar
bilangan Reynold maka energi kinetik fluida pada ujung impeller semakin besar pula
sehingga fluida terdispersi lebih sempurna (homogenitas). Aliran turbulen terjadi pada
bilangan Reynold berkisar antara 10 hingga 10
4
. Pada penelitian ini, bilangan Reynold
berkisar antara 351,85 hingga 809,259 sehingga semua run sebenarnya sudah
menghasilkan aliran berjenis turbulen.
Semakin besar bilangan Reynold maka sifat bioplastik yang dihasilkan akan
semakin baik. Data hasil penelitian menunjukan hal tersebut namun pada nilai
bilangan Reynold yang terlalu tinggi bahkan cenderung mengalami penurunan. Hal
tersebut terjadi karena ketidakstabilan pengadukan. Bilangan Reynold terlalu tinggi
menyebabkan timbulnya fenomena vortex. Vortex menyebabkan pusaran yang hanya
terfokus pada satu pusat dan menyebabkan terjadinya dispersi udara. Selain itu,
bilangan Reynold yang terlalu tinggi menyebabkan disintegrasi ikatan dan rantai
polimer yang dihasilkan. Ukuran dan panjang rantai polimer yang digambarkan oleh
BM dan derajat polimerisasi meningkat seiring dengan meningkatnya bilangan
Reynold. Sifat jenuh polimer bergantung pada ukuran dan panjang rantai. Polimer
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3


Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 303


yang mampu dikomposkan harus memenuhi kriteria salah satunya adalah memiliki
BM yang tidak terlalu tinggi.
Waktu pengadukan juga cukup memberikan pengaruh terhadap sifat
bioplastik. Ketika waktu pengadukan terlalu lama maka menghasilkan banyak busa
yang berdampak buruk terhadap bioplastik. Busa tersebut harus dipisahkan karena
jika tidak maka bioplastik yang dihasilkan akan mengalami kerobekan. Maka dari itu,
penting untuk dilakukan optimasi waktu dan bilangan Reynold untuk mendapatkan
sifat bioplastik dengan hasil yang paling baik dan paling mendekati sifat plastic
HDPE.


4.2.Sifat Mekanik Bioplastik

4.2.a. Kuat tarik (Tensile Strength)

Kuat tarik adalah salah satu uji untuk mengetahui tegangan maksimum suatu
bahan. Pada Gambar 2 diperlihatkan pengaruh waktu pengadukan dan bilangan
Reynold terhadap kekuatan tarik bioplastik.


Gambar 2. Pengaruh waktu pengadukan dan bilangan Reynold terhadap kuat tarik (
Tensile Strength)

Gambar 2 menunjukkan nilai kekuatan tarik tertinggi film bioplastik yang
dicapai yaitu ketika waktu pengadukan 35 menit dan bilangan reynold sebesar 579,63
yaitu sebesar 225,09375 MPa. Sedangkan pada waktu pengadukan 45 menit dan
bilangan Reynold sebesar 351,85 diperoleh nilai kekuatan tarik terendah sebesar
36,75 MPa.
Dari gambar tersebut menunjukan bahwa pada variabel yang dihasilkan
membentuk pola tertentu (fluktuatif). Semakin tinggi waktu dan bilangan Reynold
maka semakin besar nilai kuat tarik sehingga bioplastik semakin baik menahan beban
yang diberikan. Hal tersebut karena panjang rantai yang dihasilkan semakin besar
seiring dengan tingginya bilangan Reynold (seperti yang dijelaskan pada point 4.1).
Semakin panjang rantai maka ketangguhan semakin meningkat sebab terjadi
peningkatan interaksi rantai. Rantai lebih kuat menahan deformasi. Namun pada
0
50
100
150
200
250
351,85 466,67 579,63 694,44 809,26
Tensile Strength
(MPa)
Bilangan Reynold (Nre)
25 MENIT
35 MENIT
45 MENIT
Waktu pengadukan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3


Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 304


bilangan Reynold dan waktu pengadukan terlalu tinggi menurunkan nilai kuat tarik
dikarenakan timbulnya fenomena vortex, disintegrasi ikatan dan busa.

4.2.b. Persen Perpanjangan (Elongation at Break)

Elongation at break menunjukan keuletan suatu bahan bioplastik yang
diperoleh dari uji tarik. Pengukuran Elongation at Break diperoleh setelah terjadi
putus atau regangan teknik pada saat putus.

Gambar 3. Pengaruh waktu pengadukan terhadap persen perpanjangan (Elongation at
break) pada berbagai nilai bilangan Reynold (Nre).

Dari gambar 3 terlihat bahwa perpanjangan tertinggi berada pada bioplastik
dengan waktu pengadukan 45 menit dan bilangan Reynold sebesar 579,629 yaitu
sebesar 0,29015. Sedangkan untuk perpanjangan terendah yaitu 0,059125, dimana
terjadi pada waktu pengadukan sebesar 35 menit dan bilangan reynold sebesar 579,63.
Pada gambar 3 memperlihatkan adanya pengaruh waktu pengadukan bilangan reynold
terhadap nilai persen perpanjangan yang dihasilkan namun pada dasarnya yang paling
berpengaruh terhadap nilai persen perpanjangan adalah kadar plasticizer yang
ditambahkan. Fungsi penambahan plasticizer adalah untuk mengurangi gaya
intermolecular di sepanjang molekul polimer sehingga bioplastik yang dihasilkan
memiliki perpanjangan yang tinggi. Namun nilai persen perpanjangan yang ada pada
penelitian ini memiliki nilai yang tidak besar sehingga menyebabkan plastik sangat
mudah patah, hal tersebut karena plastik ini hanya diberi tambahan jumlah plasticizer
dalam jumlah sangat sedikit (10 % m/m).

4.2.c. Modulus Young

Modulus young diperoleh dari perbandingan antara kuat tarik dan persen
perpanjangan dan Modulus young berperan penting pada elastisitas suatu bahan
plastik. Berbeda dengan kuat tarik dan persen perpanjangan yang menyatakan bahwa
semakin tinggi nilai kuat tarik dan persen perpanjangan maka semakin bagus
bioplastik yang dihasilkan, modulus young berbanding terbalik, nilai modulus young
yang terlalu tinggi akan menyebabkan bioplastik yang dihasilkan menjadi kurang baik
karena sangat kaku.

0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
351,85 466,67 579,63 694,44 809,26
Elongation at
break
Bilangan reynold (Nre)
25 MENIT
35 MENIT
45 MENIT
Waktu pengadukan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3


Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 305



Gambar 4. Pengaruh waktu dan Bilangan Reynold (Nre) terhadap Modulus Young
Gambar 4 menunjukan modulus young film bioplastik tertinggi terdapat pada
kecepatan pengadukan 35 menit dan bilangan Reynold 579,63 sebesar 3822,346 MPa
sedangkan terendah dicapai ketika waktu pengadukan selama 45 menit dan bilangan
Reynold 351,85 yaitu sebesar 183,943 MPa.
Bioplastik dapat dikatakan baik bukan karena bioplastik tersebut memiliki
nilai modulus young sangat tinggi atau sangat rendah tetapi terdapat ketentuan dimana
bioplastik memiliki perbandingan kuat tarik dan persen perpanjangan yang cukup
yaitu bioplastik yang memiliki nilai kuat tarik besar sehingga mampu menahan
deformasi terhadap beban yang berat dan memiliki persen perpanjangan yang tidak
begitu kecil sehingga menyebabkannya mudah patah. Pada plastik dengan bahan baku
pati murni dengan nilai amilosa 28% dan amilopektin sebesar 72 %, menyebabkan
nilai modulus young sangat kecil. Maka dari itu, dilakukan penambahan lain untuk
memaksimalkan nilai modulus young suatu bioplastik. Pengadukan dengan waktu dan
kecepatan pengadukan (dinyatakan dalam bilangan reynold) optimal dibutuhkan
untuk memecah ikatan pati dan biopolymer sehingga membentuk ikatan bioplastik
dengan nilai modulus young yang paling optimal pula.


4.3. Uji Densitas Film Bioplastik
Densitas/kerapatan didefinisikan sebagai massa per satuan volume bahan.
Semakin rapat suatu bahan, maka sifat mekaniknya semakin baik. Densitas suatu
bahan ini dapat ditentukan menggunakan metode kenaikan fluida dalam gelas ukur.

0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
351,85 466,67 579,63 694,44 809,26
Modulus Young
(MPa)
Bilangan Reynold (Nre)
25 MENIT
35 MENIT
45 MENIT
Waktu pengadukan
0,89
0,9
0,91
0,92
0,93
0,94
0,95
351,85 466,67 579,63 694,44 809,26
Densitas
Bilangan reynold (Nre)
25 MENIT
35 MENIT
45 MENIT
Waktu pengadukan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3


Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 306


Gambar 5. Pengaruh waktu pengadukan dan bilangan Reynold terhadap densitas
bioplastik

Dari grafik terlihat nilai densitas bioplastik pada tiap formulasi pati sorgum-kitosan
akan semakin meningkat dengan meningkatnya bilangan Reynold kemudian terjadi
penurunan (fluktuatif). Hal tersebut terjadi karena ketika bilangan Reynold yang
begitu tinggi menyebabkan vortex seperti yang dijelaskan pada point 4.1, sehingga
terjadi dispersi udara yang menyebabkan ruang kosong/rongga pada bioplastik. Dari
gambar 5, diperoleh nilai densitas optimum 0,947 g/mL ketika waktu pengadukan
dan bilangan Reynold berturut turut sebesar 35 menit dan 694,44 yang mendekati nilai
densitas HDPE (0,941-0,955 g/mL).
Pengukuran nilai densitas pada plastik sangat penting, karena densitas plastik
erat kaitannya dengan kemampuan plastik dalam melindungi produk dari beberapa zat
yang ada dalam udara bebas seperti air, O
2
, dan CO
2
.



4.4. Ketahanan Film Bioplastik terhadap Air
Uji ketahanan air dilakukan untuk mengetahui seberapa besar daya serap bahan
tersebut terhadap air.

Gambar 6. Pengaruh waktu pengadukan dan bilangan Reynold terhadap ketahanan air
film bioplastik (water uptake)
Dari gambar diketahui hubungan nilai ketahanan air (air yang diserap)
semakin bagus dengan meningkatnya bilangan Reynold dan waktu pengadukan.
Namun untuk variasi bilangan Reynold tertentu yang dinaikan malah mengalami
penurunan ketahanan air. Ketahanan air terbaik pada kecepatan pengadukan 313 rpm
(bilangan Reynold 579,63) dan waktu pengadukan selama 35 menit dengan nilai
penyerapan air sebesar 26,47 %. Sedangkan nilai ketahanan air terburuk pada
kecepatan pengadukan 437 rpm (bilangan Reynold 809,26) dan waktu pengadukan
selama 45 menit dengan nilai air yang diserap mencapai 30,23 %.
Pada awal proses gelatinisasi dengan pemanasan, granula pati membengkak
luar biasa namun setelah 30 menit proses pengadukan dalam water bath, granula pati
24
25
26
27
28
29
30
31
351,85 466,67 579,63 694,44 809,26
Penyerapan Air (%)
Bilangan reynold (Nre)
25 MENIT
35 MENIT
45 MENIT
Waktu pengadukan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3


Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 307


kembali pada kondisi semula. Maka, sangat diperlukan waktu pengadukan dan
bilangan Reynold optimum, karena jika tidak maka tidak akan terbentuk ikatan
antarmolekul pati dan kitosan yang kuat, yang menyebabkan masih terdapatnya ruang
kosong pada film bioplastik dan memungkinkan molekul air menempati ruang kosong
tersebut. Perbedaan ketahanan air cukup signifikan ketika waktu pengadukan 45 menit
dan bilangan Reynold 694,44 dan 809,259. Hal tersebut dapat disebabkan karena
adanya keretakan yang terjadi pada bioplastik.
Adanya fenomena vortex dan busa juga menyebabkan mengapa semakin besar
kecepatan pengadukan menyebabkan semakin kecil nilai ketahanan air bioplastik,
karena vortex menyebabkan bahan yang diaduk kurang homogen serta terdispersi
udara yang nantinya mengisi rongga pada bioplastik dan menyebabkan renggangnya
antar ikatan bioplastik.

4.5.Uji SEM (Scanning Electron Microscope)
SEM digunakan untuk mengamati struktur micron, topografi, morfologi,
fraktografi sampel padatan dari bahan logam, polimer atau keramik. Struktur
penampang bioplastik yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar berikut:




Gambar 7. (a-c) Penampang atas bioplastik dengan perbesaran 500x , (b-f)
Penampang atas bioplastik dengan perbesaran 10.000x

Dari Gambar 7 dapat dilihat struktur molekul film bioplastik dengan masing-
masing variasi waktu dan kecepatan pengadukan (bilangan Reynold), dimana gambar
tersebut diperlihatkan dengan pembesaran 500 kali dan 10.000 kali. Untuk
memperoleh struktur yang paling baik, harus tercapai pada waktu dan kecepatan
pengadukan yang paling baik, dimana struktur yang paling baik diperoleh ketika
waktu pengadukan selama 35 menit dengan kecepatan pengadukan sebesar 313 rpm
(Nre 579,629), terbentuk pori atau celah yang relatif kecil dibandingkan dengan
struktur permukaan pada dua variasi lainnya. Celah atau pori pada bioplastik erat
hubungannya dengan ketahanan suatu bioplastik terhadap air. Semakin sedikit celah
atau pori yang terbentuk maka nilai ketahanan air akan semakin bagus.
Untuk kecepatan pengadukan 437 rpm (Nre 809,259) dan waktu pengadukan
selama 25 menit menghasilkan struktur bioplastik dengan celah atau pori yang
lumayan besar, sama halnya dengan yang terjadi pada bioplastik yang diaduk dengan
(a) 25 MENIT,
437 Rpm
Nre 809,259
(b) 35 MENIT,
313 Rpm
Nre 579,629


(d) 25 MENIT,
437 Rpm
Nre 809,259

(e) 35 MENIT,
313 Rpm
Nre 579,629
(f)
(c.) 45 MENIT
,313 Rpm
Nre 579,629

(f) 45 MENIT,
313 Rpm
Nre 579,629

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3


Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 308


kecepatan pengadukan 313 rpm (Nre 579,629) selama 45 menit. Pada gambar
tersebut, tampak retakan-retakan kecil pada bagian tertentu film bioplastik. Dengan
retakan pada film bioplastik ini dapat berdampak pula pada kekuatan tarik (tensile
strength) yang dihasilkan menjadi rendah.
Jika dilihat dari segi penampilan, bioplastik yang dihasilkan berwarna coklat
karena pengaruh dari asam asetat yang bereaksi dengan kitosan sehingga terjadi reaksi
pencoklatan non enzim yang diindikasikan terpengaruh oleh pembentukan
glikosilamina yang tersubstitusi pada gugus N yang ada pada kitosan.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka didapatkan beberapa
kesimpulan antara lain :

1. Kondisi optimum yang diperoleh pada sintesis bioplastik adalah pada waktu
pengadukan selama 35 menit dan kecepatan pengadukan sebesar 375 rpm (
bilangan Reynold sebesar 694,444) dengan nilai Modulus young dan densitas
sebesar 1109 MPa dan 0,947 g/ml karena nilai tersebut mendekati standar plastik
HDPE dengan nilai Modulus young sebesar 758 sampai 1103 MPa dan densitas
0,941 sampai 0,955 gr/ml.
2. Berdasarkan analisis SEM, Struktur permukaan film bioplastik pada umumnya
menunjukan hasil yang baik namun pada bioplastik dengan waktu pengadukan 45
menit dan bilangan reynold 579,629 terlihat beberapa keretakan pada permukaan
bioplastik.
3. Bioplastik yang dihasilkan pada dasarnya sudah memenuhi standar plastik HDPE
untuk nilai Modulus young dan densitas, hanya saja kekurangan bioplastik ini
adalah mudah patah karena nilai persen perpanjangan kecil dan ketahanan air yang
masih harus diperbaiki.

VI. SARAN

Saran yang dapat diberikan oleh penulis untuk penelitian selanjutnya adalah:
1. Memperbaiki sifat mekanik bioplastik berupa persen perpanjangan dengan
melakukan penambahan gliserol di atas 10% (gr/gr)
2. Untuk menaikan sifat ketahanan air bioplastik dapat dilakukan dengan
penambahan filler (bahan isian) organik berupa batang singkong.

DAFTAR PUSTAKA

Darni, Yuli; Utami, Herti; Retno. 2009. Studi Pembuatan dan Karakteristik Sifat
Mekanik dan Hidrofibilitas Bioplastik dari Pati Sorgum. Jurnal Rekayasa Kimia
Lingkungan Vol. 7 No.4 Desember 2009 ISSN 1412-5064. Universitas Syiah
Kuala, Nangroe Aceh Darussalam.

Geankoplis, C. J. 2003. Transport Processes and Unit Operations, 4th Edition.
Prentice Hall.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3


Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 309


Harnist Silalahi, Ricki. 2010. Studi Optimasi Konsentrasi Gliserol Sebagai Plasticizer
Terhadap Formulasi Pati Sorgum dan Kitosan Pada Pembuatan Bioplastik.
Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lampung, Lampung.

Weiping Ban et al. 2005. Improving The Physical and Chemical Functionally of
Starch Derived Films With Biopolymers. Journal of Applied Polymer Science
2006 Vol. 100. United States.

Weiping Ban et al. 2005. Influence of Natural Biomaterials on the Elastic Properties
of Starch-Derived Films: An Optimization Study. Journal of Applied Polymer
Science 2006 Vol. 100. United States.

www.boedeker.com/polye p.htm. 2012

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 310


TL-12

PENGARUH KECEPATAN PENGADUKAN DAN FORMULASI
PATI SORGUM - KITOSAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN
MEKANIK BIOPLASTIK BERBASIS PATI SORGUM

Melania Yusmina C, Yuli Darni
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Lampung, Jl. Prof. Dr. Soemantri
Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, Telp. (0721) 701609
e-mail : Melaniayusmina@yahoo.com

ABSTRACT
This research will be assessed the effect of stirring speed and sorghum starch-chitosan
formulation against physical and mechanical properties in the manufacture of
bioplastics using glycerol plasticizer. Variations sorghum starch-chitosan
formulations used were 25:75; 35:65; 45:55; 55:45 and 100:0 (g / g). Variation of the
stirring speed is 252 rpm, 313 rpm, 375 rpm. Gelatinization temperature of 95 C.
Glycerol concentration of 35% (weight percent) based on the percent dry weight of
the total mixture of 10 grams of the total mass of the starch, chitosan and glycerol
concentration is maintained at 4 g/100 mL. Drying temperature used was 60 C for 12
hours. Size of starch granules used is 63 micron sieve passes and time stirring for 35
minutes. The results showed that the rate of stirring and sorghum starch-chitosan
formulations affect the mechanical and physical properties of bioplastics. Bioplastics
produced from this study will be compared with HDPE plastic. Bioplastics that have
properties approaching that of HDPE plastic starch bioplastic formulations with
chitosan 25:75 (g/g) with a stirring speed of 252 rpm. Bioplastics, has a young's
modulus of 1415.67 MPa, density 0.87 g / mL and water resistance of 58.26%. The
test results indicate SEM morphological structure of bioplastics is almost equivalent
to the SEM test results for HDPE plastic, bioplastics looks homogeneous and unified
texture. Crystallinity values obtained by XRD test is 13.67%, the value of crystallinity
is still far from the crystallinity of HDPE plastic that is 62.95% - 70.34%. Through
FTIR test is known that bioplastics have hydroxyl groups, amine, CO ester and CN
bond.


Keyword : Bioplastic, chitosan, glycerol, sorghum starch.

ABSTRAK
Pada penelitian ini akan dikaji pengaruh kecepatan pengadukan dan formulasi pati
sogum-kitosan terhadap sifat fisik dan mekanik dalam pembuatan bioplastik dengan
menggunakan plasticizer gliserol. Variasi formulasi pati sorgum-kitosan yang
digunakan yaitu 25:75 ; 35:65 ; 45:55 ; 55:45 dan 100:0 (g/g). Variasi kecepatan
pengadukan yaitu 252 rpm, 313 rpm, 375 rpm. Suhu gelatinisasi 95
o
C. Konsentrasi
gliserol 35% (persen berat) berdasarkan persen berat kering dari total campuran 10
gram yaitu massa total antara pati, kitosan serta gliserol dengan konsentrasi larutan
dijaga 4 g/100 mL. Temperatur pengeringan yang digunakan adalah 60
o
C selama 12
jam. Ukuran granula pati yang digunakan yaitu lolos ayakan 63 mikron dan waktu
pengadukan selama 35 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 311


pengadukan dan formulasi pati sorgum-kitosan berpengaruh terhadap sifat mekanik
dan sifat fisik bioplastik. Bioplastik yang dihasilkan dari penelitian ini akan
dibandingkan dengan plastik HDPE. Bioplastik yang memiliki sifat mendekati plastik
HDPE yaitu bioplastik dengan formulasi pati kitosan 25:75 (g/g) dengan kecepatan
pengadukan 252 rpm. Bioplastik tersebut memiliki nilai modulus young sebesar
1415,67 MPa, densitas 0,87 g/mL dan ketahanan air sebesar 0.138%. Hasil uji SEM
menunjukkan struktur morfologi bioplastik hampir setara dengan hasil uji SEM untuk
plastic HDPE, bioplastik terlihat homogen dan teksturnya menyatu. Nilai kristalinitas
yeng diperoleh melalui uji XRD yaitu 13,67 %, nilai kristalinitas tersebut masih jauh
dari kristalinitas plastik HDPE yaitu 62,95% - 70,34%. Melaui uji FTIR diketahui
bahwa bioplastik memiliki gugus hidroksil, amina, C-O ester, dan ikatan C-N.


Kata kunci : Bioplastik, gliserol, kitosan, pati sorgum.

I. Pendahuluan
Penggunaan plastik di dunia ini diperkirakan 500 juta hingga satu miliar kantong
plastik tiap tahunnya. Plastik polimer sintetis menggunakan bahan baku minyak bumi
yang terbatas jumlahnya dan tidak dapat diperbaharui. Plastik ini tidak dapat
terdegradasi oleh mikroorganisme di lingkungan. Berdasarkan hal tersebut maka
dibutuhkan alternatif untuk mengatasi sampah plastik yaitu dengan membuat plastik
yang dapat terurai secara biologis(plastik biodegradable). Dalam penelitian ini,
pembuatan bioplastik menggunakan bahan baku pati dari biji sorgum. Sorgum
(Sorghum bicolor L.) adalah tanaman serealia yang potensial untuk dibudidayakan
dan dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal atau lahan tandus dan
kering di Indonesia (Soeranto, 2010). Bahan baku sorgum nantinya akan ditambahkan
dengan plasticizer yaitu gliserol dan diharapkan nantinya hasil penelitian ini
menghasilkan plastik biodegradable yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yaitu
yang memiliki sifat mekanik yang baik, antara lain kekuatan tarik dan fleksibilitas
serta memiliki ketahanan terhadap air yang tinggi. Pada penelitian sebelumnya (Ricki
dkk, 2010), bioplastik yang dihasilkan masih memiliki kekurangan yaitu bioplastik
yang terbentuk masih bersifat hidrofilik (menyerap air). Oleh karena itu, penelitian
lanjutan ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi terbaik sehingga dihasilkan
bioplastik yang tahan air dan memiliki sifat fisik dan mekanik yang baik seperti
plastik HDPE konvensional yang memiliki permeabilitas dan biodegrabilitas yang
baik, kuat, dan fleksible.

II. Bahan dan Alat Penelitian
1.1. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Sorgum, Kitosan dari
MERCK,Gliserol dari MERCK dengan konsentrasi 85% (v/v), Aquadest, Asam
Asetat Asam asetat dengan konsentrasi 99% (v/v).
1.2. Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain Gelas ukur dengan
Kapasitas : 500 ml, 200 ml, 100 ml, 50 ml dan 10 ml, Water bath dan Stirrer,
Drying oven, Termometer Jenis: air raksa, Skala: 0-100
0
C, Digital balance
Kapasitas Maks: 220 gram Akurasi: 0,0001, Cetakan, Zipbag lock, Pipet,
Stopwatch, Spatula, Cawan petri, Botol sampel, Alat penghancur, Ayakan 63
mikron.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 312


III. Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Kimia, Jurusan Teknik Kimia,
Universitas Lampung. Sedangkan untuk analisis film bioplastik yaitu uji kekuatan
mekanik, SEM, FTIR, dan XRD dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika, Prodi
Kimia, FMIPA, ITB.

Gambar 9. Hasil Bioplastik dengan formulasi pati-kitosan 25:75 (g/g), kecepatan
pengadukan 252 rpm.
Gambar 9 merupakan bioplastik yang memiliki sifat terbaik dan sifatnya menyamai
plastik konvensional HDPE (High Density Polyethylen).

1.3. Uji Sifat Mekanik
Sifat mekanik dipengaruhi oleh kecepatan pengadukan. Suatu granula pati akan
mengembang dan kemudian melebur bercampur dengan senyawa lain yang
ditambahkan, dalam penelitian ini kitosan dan gliserol. Granula pati tersebut peka
terhadap pemutusan secara mekanik yang kemudian ketika bergabung dengan
senyawa lain akan membentuk ikatan baru. Maka, proses pengadukan sangat berperan
dalam peleburan pati pada saat gelatinisasi. Pengaruh variasi formulasi pati-kitosan
dan kecepatan pengadukan terhadap kuat tarik bioplastik pada penelitian ini, dapat
dilihat pada gambar berikut :


Gambar 10. Pengaruh formulasi pati kitosan dan kecepatan pengadukan terhadap kekuatan
tarik bioplastik

Berdasarkan Gambar 10, dapat dilihat nilai kuat tarik tertinggi terdapat pada
bioplastik formulasi pati-kitosan 25:75 (g/g) dengan kecepatan pengadukan skala 3
(252 rpm). Hal ini terjadi karena pada formulasi tersebut jumlah kitosan yang
ditambahkan merupakan jumlah terbanyak dibanding dengan jumlah kitosan pada
formulasi yang lain. Dengan kata lain, semakin meningkat kitosan yang ditambahkan
maka semakin meningkat pula nilai kuat tariknya. Hal ini terjadi karena semakin besar
konsentrasi kiitosan maka semakin banyak ikatan hidrogen yang terdapat dalam
0
5
10
15
20
25
30
35
55:45 45:55 35:65 25:75
K
u
a
t

T
a
r
i
k

(
M
P
a
)

Formulasi Pati-Kitosan (g/g)
skala 3(252rpm)
skala 4(313rpm)
skala 5(375rpm)
Kec.Pengadukan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 313


bioplastik sehingga ikatan kimianya akan semakin kuat dan sulit untuk diputus karena
memerlukan energi yang besar untuk memutuskan ikatan tersebut.

a. Persen Perpanjangan (Elongation at Break)
Perpanjangan merupakan salah cara dalam pengukuran keliatan suatu bahan yang
diperoleh dari uji tarik. Persen perpanjangan dari bioplastik ini dapat dilihat pada
Gambar 11.

Gambar 11. Pengaruh formulasi pati kitosan dan kecepatan pengadukan terhadap
persen perpanjangan
Berdasarkan Gambar 11, diperoleh bahwa persen perpanjangan tertinggi adalah pada
formulasi pati-kitosan 25:75 dengan kecepatan pengadukan skala 4 (313 rpm). Dapat
dilihat bahwa dengan bertambahnya kitosan yang dicampurkan, maka nilai
perpanjangan semakin tinggi Hal ini dikarenakan pada formulasi tersebut terdapat
jumlah kitosan yang lebih banyak dibanding dengan variasi formulasi yang lain.

b. Modulus Young
Modulus young diperoleh dari perbandingan antara kekuatan tarik (tensile strength)
terhadap persen perpanjangan (elongation at break). modulus young ini juga dapat
dikatakan sebagai ukuran kekakuan suatu bahan.


Gambar 12. Pengaruh formulasi pati-kitosan dan kecepatan pengadukan terhadap
modulus young.
Berdasarkan Gambar 12, didapat bahwa modulus young tertinggi adalah pada
formulasi pati 25:75 (g/g) dengan kecepatan pengadukan skala 3 (252 rpm) sebesar
1415.67 Mpa. Plastik ini memiliki modulus young yang tinggi maka plastik
kaku.Sedangkan modulus young terkecil terdapat pada formulasi pati-kitosan 35:65
pada skala 4 (313 rpm). Maka dapat disimpulkan bahwa dengan bertambahnya
konsentrasi pati-kitosan modulus young mengalami peningkatan. Kecepatan
pengadukan yang menghasilkan modulus young tertinggi yaitu pada skala 3 (252
rpm). Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan bioplastik yang menyamai sifat
dari plastik komersial HDPE. Oleh karena itu diinginkan bioplastik yang memiliki
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
55:45 45:55 35:65 25:75
P
w
e
r
s
e
n

P
e
r
p
a
n
j
a
n
g
a
n

(
%
)

Formulasi Pati-Kitosan (g/g)

skala 3(252rpm)
skala 4(313rpm)
skala 5(375rpm)
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
1100
1200
1300
1400
1500
55:45 45:55 35:65 25:75
M
o
d
u
l
u
s

Y
o
u
n
g

(
M
P
a
)

Formulasi Pati-Kitosan (g/g)
skala 3 (252 rpm)
skala 4 (313 rpm)
skala 5 (375 rpm)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 314


modulus young yang tinggi. Untuk itu modulus young terbaik pada penelitian ini
adalah pada formulasi pati dengan kitosan 25:75 (g/g) dengan modulus young sebesar
1415.67 Mpa. Modulus young HDPE berkisar > 800 Mpa dan nilai modulus young
dari sampel bioplastik yang dihasilkan pada penelitian ini 1415.67225 MPa pada
formulasi pati dengan kitosan 25:75 (g/g) dengan skala kecepatan pengadukan skala 3
(252 rpm) sehingga bioplastik yang dihasilkan menyamai modulus young plastik
HDPE.

2. Uji Sifat Fisik Bioplastik
a. Uji Daya Serap Bioplastik Terhadap Air
Uji ketahanan air yaitu uji yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar daya
serap bahan tersebut terhadap air. Pada bioplastik diharapkan air yang terserap pada
bahan sangat sedikit atau dengan kata lain daya serap bahan tersebut terhadap air
harus rendah. Sifat ini dipengaruhi oleh komponen-komponen penyusun bioplastik,
seperti pati - kitosan dan plasticizer.

Gambar 13. Pengaruh formulasi pati-kitosan dan kecepatan pengadukan terhadap
daya serap air.
Berdasarkan Gambar 13, dapat dilihat bahwa kondisi terbaik pada uji ketahanan air
yaitu pada formulasi pati-kitosan 25 : 75 g/g pada skala 4 (313 rpm) yang menyerap
air 0.138 % air. Dapat dilihat bahwa seiring bertambahnya kitosan yang ditambahkan
maka daya serap air semakin menurun. Kitosan telah mampu memodifikasi sifat dari
pati sehingga daya serap bioplastikterhadap air menurun. Bahan pendukung yang
digunakan pada penelitian ini yaitu kitosan yang merupakan salah satu campuran dari
bioplastik yang menyebabkan bioplastik tersebut memiliki ketahan air, hal ini terjadi
karena kitosan merupakan senyawa yang bersifat hidrofobik. Kitosan memodifikasi
molekul pati dengan proses grifting atau pencangkokkan molekul kitosan ke dalam
molekul pati segingga diharapkan kitosan akan mampu mereduksi sifat dari pati yang
pada dasarnya bersifat hidrofilik. Plastik yang diharapkan adalah plastik yang kedap
air, jika digunakan untuk menyimpan makanan, maka air dari lingkungan tidak dapat
masuk ke makanan sehingga makanan tetap terlindungi.
b. Uji Densitas Bioplastik
Densitas atau kerapatan dapat didefinisikan sebagai massa per satuan volume bahan.
Densitas atau kerapatan merupakan sifat fisik suatu polimer. Semakin rapat suatu
bahan, maka sifat mekaniknya semakin baik. Dan semakin rapat suatu bahan tersebut,
kekuatan tarik (tensile strength) film bioplastik yang dihasilkan akan semakin baik,
begitu pula pengaruhnya terhadap ketahanan air. Densitas suatu bahan ini dapat
ditentukan menggunakan metode kenaikan fluida dalam gelas ukur.Hasil uji densitas
pada film bioplastik dari campuran pati-kitosan dengan gliserol sebagai plasticizer
dapat dilihat pada Gambar 13 berikut :
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
100:0 55:45 45:55 35:65 25:75
D
a
y
a

S
e
r
a
p

A
i
r

(
%
)

Formulasi Pati-Kitosan (gr/gr)
skala 3 (252 rpm)
skala 4 (313rpm)
skala 5(375rpm)
Kec.Pengadukan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 315



Gambar 14. Pengaruh formulasi pati-kitosan dan kecepatan pengadukan terhadap
densitas.
Dari Gambar 14, terlihat nilai densitas bioplastik pada tiap formulasi pati sorgum -
kitosan akan semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah kitosan, meski tidak
signifikan. Diperoleh nilai densitas tertinggi yaitu pada formulasi pati - kitosan 35:65
(g/g) pada kecepatan pengadukan skala 4 (313 rpm) dengan densitas 0.93 g/mL dan
densitas terendah yaitu pada formulasi pati-kitosan 100:0 (g/g) pada kecepatan
pengadukan skala 3 (252 rpm) dengan densitas 0.25 g/mL. Semakin tinggi nilai
densitas suatu bahan akan semakin rapat struktur molekul bahan tersebut. Dengan
semakin rapatnya struktur molekul bahan akan semakin kuat bahan tersebut. Jika film
bioplastik ini memiliki struktur molekul yang rapat akan menyebabkan sulit atau
sedikitnya molekul air akan masuk ke dalam film bioplastik tersebut. Densitas film
bioplastik pada formulasi pati - kitosan 35:65 (g/g) dengan kecepatan pengadukan
skala 4 (313 rpm) yaitu 0.93 g/mL. Nilai tersebut merupakan nilai densitas yang
paling mendekati desitas HDPE yaitu 0,941-0,955 g/mL.

3. Analisis Fourier Transform I nfrared Spectroscopy (FTIR)
Analisis FTIR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi apa saja yang terdapat pada
polimer tersebut.
Hasil dari analisis IR disajikan pada Gambar 15 di bawah ini :

Gambar 15. Spektrum IR bioplastik dengan formulasi pati: kitosan 25:75 (g/g),
kecepatan pengadukan skala 3 (252 rpm)
Gambar 15 merupakan spektra IR dari sampel film bioplastik formulasi pati -
kitosan 25:75 (g/g) dengan kecepatan pengadukan skala 3 (252 rpm). Pada Gambar 15
dapat kita lihat bahwa kitosan memiliki dua gugus penting yaitu gugus hidroksil dan
amina.puncak pada daerah 3446.79 3425.58 cm
-1
menunjukkan serapan dari gugus
hidroksil (-OH). Untuk gugus amina (N-H bend) menunjukkan serapan pada daerah
1640 1500 cm
-1
dan terdapat ikatan C-N Strech yang ditunjukkan pada daerah
1330.88 1500 cm
-1
. Pada gambar tersebut juga terdapat gugus C-O ester
ditunjukkan pada daerah 1035.77 cm
-1
. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa
gugus fungsi yang terdapat pada hasil analisis sampel bioplastik merupakan gabungan
dari gugus fungsi spesifik yang terdapat pada komponen penyusunnya (pati, gliserol
dan kitosan).
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
100;0 55;45 45;55 35;65 25;75
D
e
n
s
i
t
a
s

(
g
r
/
m
L
)

Formulasi Pati-Kitosan (gr/gr)

skala 3(252rpm)
skala 4(313rpm)
skala 5(375)
500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2500 3000 3500 4000 4500
1/cm
37.5
45
52.5
60
67.5
75
82.5
90
97.5
%T
3
4
4
6
. 7
9
3
4
2
5
. 5
8
1
6
4
3
. 3
5
1
5
6
2
. 3
4 1
4
0
8
. 0
4
1
3
3
0
. 8
8
1
2
4
6
. 0
2
1
1
5
3
. 4
3
1
0
3
5
. 7
7
9
2
5
. 8
3
8
5
8
. 3
2
6
5
1
. 9
4
m16
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 316



Gambar 17. Spektra IR bioplastik formulasi pati-kitosan 100:0 (g/g) kecepatan
pengadukan skala 4 (313 rpm)
Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa bioplastik tersebut mengandung gugus OH pada
daerah 3339.10 - 3308.06 cm
-1
. Pada hasil spektra IR juga menunjukan adanya gugus
C=O karbonil pada puncak 1647.99 cm
-1
pada bioplastik membuktikan bahwa
bioplastik tersebut dapat terdegradasi di alam. Pada Gambar 17 berbeda dengan
Gambar 15 dan 16, karena tidak terlihat adanya gugus penting yang dimiliki kitosan
yaitu gugus amina. Tidak adanya kitosan pada bioplastik menyebabkan bioplastik
mudah rapuh dan sangat menyerap air. Dari hasil di atas dapat terlihat bahwa gugus
fungsi pada bioplastik plastik merupakan gabungan dari gugus fungsi spesifik yang
terdapat pada masing-masing komponen penyusun bioplastik tersebut. Sehingga dapat
terlihat dengan jelas bahwa bioplastik yang dihasilkan merupakan bioplastik yang
dihasilkan melalui proses blending, hal ini dapat dilihat karena tidak ditemukan gugus
fungsi baru, sehingga dapat disimpulkan pula bahwa plastik yang terbentuk masih
tetap memiliki sifat hidrofilik seperti komponen penyusunnya. Selain gugus
hidroksida (OH), terdapat juga gugus fungsi karbonil (CO) dan ester (COOH).
Adanya gugus fungsi tersebut menunjukkan film plastik dapat terdegradasi dengan
baik di tanah.

4. Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM untuk mengamati rincian bentuk maupun struktur mikro permukaan suatu objek
yang tidak dapat dilihat dengan mata atau dengan mikroskop optik. Hasil analisa uji
SEM pada formulasi pati-kitosan 25:75 (g/g) skala 3 (252 rpm) dapat dilihat pada
gambar di di bawah ini :

a). Perbesaran 350x b). Perbesaran 1000x
Gambar 18. Hasil analisa SEM bioplastik formulasi pati-kitosan 25:75 (g/g),
kecepatan pengadukan skala 3 (252 rpm).
Berdasarkan Gambar 18 dapat diperoleh bahwa hasil analisa SEM dengan perbesaran
350x dan 1000x terlihat masih ada kitosan yang belum tercampur rata, masih ada
yang menempel pada bagian-bagian tertentu dari bioplastik. Pada gambar tersebut
terlihat partikel kitosan yang tidak larut dan ini menunjukkan bahwa bahan pada
bioplastik tersebut tidak membentuk campuran yang homogen. Hasil analisa SEM
selanjutnya yaitu pada formulasi 25 : 75 (g/g) skala 4 (313 rpm) dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 317



a). Perbesaran 350x b). Perbesaran 1000x
Gambar 19. Hasil analisa bioplastik formulasi pati: kitosan 25:75 (g/g) kecepatan
pengadukan skala 4 (313 rpm).
Berdasarkan Gambar 19, hasil analisa SEM perbesaran 350x bioplastik yang
dihasilkan tampak seragam permukaanya. Tetapi setelah dianalisa SEM dengan
perbesaran 1000x terlihat masih ada sedikit kitosan yang belum tercampur rata, masih
ada yang menempel pada bagian-bagian tertentu dari bioplastik. Namun, bila
dibandingkan dengan formulasi pati-kitosan 25:75 (g/g) skala 3 (252 rpm), formulasi
pati-kitosan 25:75 (g/g) skala 4 (313 rpm) terlihat lebih homogen dan teksturnya lebih
menyatu. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh dari kecepatan pengadukan. Pada
kecepatan pengadukan skala 4 (313 rpm) tingkat homogennya lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kecepatan pengadukan skala 3 (252 rpm). Hal ini menunjukkan
bahwa kecepatan pengadukan mempengaruhi kualitas bioplastik yang dihasilkan.
Semakin homogen pengadukan maka kualitas bioplastik semakin bagus.
Hasil analisa SEM selanjutnya yaitu pada formulasi pati-kitosan 100:0 (g/g) dengan
kecepatan pengadukan skala 3 (252 rpm) dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

a). Perbesaran 350x a). Perbesaran 1000x
Gambar 20. Hasil analisa bioplastik formulasi pati: kitosan 100:0 (g/g) kecepatan
pengadukan skala 3 (252 rpm).
Gambar 20, merupakan hasil analisa SEM pada film bioplastik yang tidak diberi
campuran kitosan. Terlihat adanya perbedaan tekstur hasil analisa SEM film plastik
yang tidak diberi kitosan dengan film plastik yang diberi kitosan. Pada gambar di atas
tidak ada gumpalan kitosan namun kualitas bioplastik yang dihasilkan tidak baik
karena tidak adanya penambahan kitosan.
Dalam mengaplikasikan film bioplastik untuk kemasan tentunya harus memenuhi
suatu standar sifat fisik tertentu. Untuk itu perlu dilakukan perbandingan dengan
plastik kemasan komersial. Dalam penelitian ini plastik yang digunakan sebagai
pembanding adalah HDPE. Hasil uji SEM plastik komersial HDPE dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 318


Gambar 21. Hasil analisa SEM HDPE (www.elsiver.nl/locate/polymer)
Pada Gambar 21, terlihat struktur morfologi HDPE. Hasil SEM sampel bioplastik
pada Gambar 19 yaitu bioplastik dengan formulasi pati-kitosan 25:75 (g/g) skala 4
(313 rpm) terlihat lebih homogen dan teksturnya lebih menyatu. Jika dibandingkan
dengan hasil analisa SEM HDPE terlihat bahwa hasil SEM tersebut menyerupai
plastik konvensional HDPE.

5. Analisis XRD (X-Ray Diffraction)
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui derajat kristalinitas bioplastik yang
dihasilkan. Derajat kristalinitas menunjukkan ukuran kerapatan suatu bahan. Semakin
besar derajat kristalinitas yang terbentuk menunjukkan bahwa semakin banyak ikatan
yang terjadi dalam polimer. Oleh karena itu dibentuk energi yang cukup besar untuk
memutuskannya, sehingga bioplastik mempunyai sifat mekanik yang cukup baik.
Derajat kristalinitas sangat mempengaruhi sifat mekanik dan sifat fisik polimer. Sifat-
sifat mekanik yang dipengaruhi oleh derajat kristalinitas misalnya kekakuan,
kekerasan dan keuletan. Berikut merupakan hasil analisis XRD sampel dengan
formulasi pati kitosan 25:75 (g/g), kecepatan pengadukan skala 3 (252 rpm):


Gambar 22. Hasil analisis XRD bioplastik formulasi pati kitosan 25:75 (g/g),
kecepatan pengadukan skala 3 (252 rpm).
Pada Gambar 22, terlihat bahwa puncak dari grafik tersebut tidak tajam sehingga
dapat dikatakan bahwa bioplastik yang dianalisis tidak bersifat terlalu kristalin dan
tidak terlalu amorf. Melalui perhitungan dari data-data analisis XRD diperoleh
kristalinitas sebesar 13,62 %. Nilai kristalinitas tersebut menyatakan bahwa
kristalinitas bioplastik ini tergolong medium (Billmeyer, 1984). Pada sampel
bioplastik dengan formulasi pati kitosan 25:75 (g/g), kecepatan pengadukan skala 3
(252 rpm) memiliki nilai kuat tarik yang tinggi. Hal tersebut terjadi karena nilai
kerapatan suatu bahan ditunjukkan dengan derajat kristalinitas. Semakin tinggi derajat
kristalinitas maka akan semakin tinggi pula sifat mekaniknya (Pengetahuan bahan,
2008).
Berikut merupakan hasil analisis XRD sampel dengan formulasi pati kitosan 25:75
(g/g), kecepatan pengadukan skala 4 (313 rpm) :


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 319


Gambar 23. Hasil analisis XRD bioplastik formulasi pati kitosan 25:75 (g/g),
kecepatan pengadukan skala 4 (313 rpm).
Pada Gambar 23, terlihat bahwa puncak dari grafik tersebut tidak tajam sehingga
dapat dikatakan bahwa bioplastik yang dianalisis tidak bersifat terlalu kristalin dan
tidak terlalu amorf. Hasil analisis pada Gambar 23 tidak jauh beda dengan Gambar 22.
Melalui perhitungan dari data-data analisis XRD diperoleh kristalinitas sebesar 12,17
%. Berdasarkan nilai kristalinitas yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa bioplastik
yang dihasilkan memiliki struktur campuran antara kristalin dan amorf, namun nilai
persen kristalinitas dari bioplastik yang dihasilkan belum mampu menyamai plastik
HDPE konvensional.
4. Kesimpulan
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:
Hasil bioplastik terbaik yang diperoleh pada penelitian ini yaitu bioplastik dengan
formulasi pati-kitosan 27:75 (g/g) pada kecepatan pengadukkan skala 3 (252 rpm).
Pada bioplastik bioplastik tersebut diperoleh nilai Modulus young sebesar 1415,67
MPa, kuat tarik sebesar 32.26 MPa, persen perpanjangan sebesar 2,29 %, densitas
0,872 g/mL, daya serap terhadap air 0.79% dan kristalinitas 13,62%. Bioplastik yang
dihasilkan pada dasarnya sudah memenuhi standar plastik HDPE, hanya saja
kekurangan bioplastik ini yaitu persen perpanjangan yang belum memenuhi standar
plastik HDPE sedangkan untuk sifat lainnya seperti kuat tarik, Modulus young,
densitas, ketahanan air, dan morfologi bioplastik sudah memenuhi standar.
Daftar Pustaka
1. Anggita dan Darni, Yuli. 2011. Pengaruh Ukuran Partikel Sorgum Terhadap Sifat
Fisik Dan Sifat mekanik Pada Sintesa Bioplastik. Laporan Penelitian Teknik
Kimia. Universitas Lampung, Bandar Lampung..
2. Billmeyer, F.W. 1984. Textbook of Poliymer Science 3th Edition. Troy, New York.
3. Listya dan Darni, Yuli. 2011. Studi Pengaruh Waktu dan Kecepatan Pengadukan
Terhadap Sifat Fisik dan Mekanik dalam Pembuatan Bioplastik. Laporan
Penelitian Teknik Kimia. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
4. Ricki dan Darni, Yuli. 2010. Penentuan Kondisi Terbaik Konsentrasi Plasticizer
Gliserol Pada Pembuatan Bioplastik Berbahan Dasar Pati Sorgum. Laporan
Penelitian Teknik Kimia. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
5. Soeranto. Pemuliaan Tanaman Sorgum- BATAN. 27 mei 2010. http//www.
BATAN.Co.id.
6. Weiping Ban et al. 2005. Influence of Natural Biomaterials on the Elastic
Properties of Starch-Derived Films: An Optimization Study. Journal of Applied
Polymer Science 2006 Vol. 100. United States.
7. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan Dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 320


TL-13

PEMBUATAN BIOETANOL DARI KORAN BEKAS DENGAN HIDROLISIS
ENZIMATIK DAN FERMENTASI


Oktarini
1*
, Nurfika Putri Utami
1
, Tuti Indah Sari
2

1
Mahasiswa Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
2
Dosen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
*
Korespondensi Pembicara. Phone: +62 853 67668266
Jl. Raya Inderalaya Km.32, Inderalaya
Email: tatasyifar9@gmail.com


ABSTRAK
Koran bekas merupakan biomassa lignoselulosa yang relatif murah, melimpah dan
merupakan substrat yang dapat menghasilkan gula yang kemudian difermentasi
menjadi alkohol seperti etanol. Proses pembuatan bioetanol dari koran bekas pada
penelitian ini melalui tahap delignifikasi, hidrolisa, dan fermentasi. Pada penelitian ini
dilakukan delignifikasi dengan metode basa (NaOH), diteruskan dengan hidrolisa
menggunakan enzim (5%,10%,15%,20%,25% dan 30%) serta variasi waktu
fermentasi yaitu 3 hari, 5 hari, 7 hari dan 9 hari. Digunakan dua jenis ragi, yaitu ragi
tape dan ragi roti dalam proses fermentasi seberat 5 gram.. Analisa yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi analisa kadar etanol dengan piknometer (berdasarkan
berat jenis) serta analisa dengan alat kromatografi gas. Dari hasil penelitian didapat
bioetanol dari koran bekas dengan kadar tertinggi 7,2040% pada konsentrasi enzim
30%, waktu fermentasi 5 hari , dengan menggunakan ragi tape.


Kata kunci : Bioetanol, hidrolisis enzimatik, koran bekas


1. PENDAHULUAN
Kebanyakan biomassa saat ini lebih diutamakan sebagai bahan pangan
sedangkan sisanya untuk kebutuhan non pangan, misal sebagai bahan baku industri
kimia. Padahal biomassa dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan
bioetanol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk bensin.
Biomassa yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol harus dipilih
dengan memperhatikan beberapa hal, seperti tidak terlibat dalam rantai makanan,
merupakan limbah hasil proses yang harganya rendah, tahan terhadap hama penyakit,
laju pertumbuhannya tinggi dan tersedia sepanjang tahun.
Salah satu sumber biomassa yang sampai saat ini jarang digunakan adalah
kertas koran bekas. Kertas bekas biasanya memiliki harga jual yang sangat rendah,
sehingga pemanfaatan kertas bekas menjadi bioetanol akan meningkatkan nilai jual
kertas koran bekas tersebut.
Bioetanol merupakan salah satu jenis biofuel (bahan bakar cair dari pengolahan
tumbuhan) di samping biodiesel. Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari
fermentasi glukosa (gula) yang dilanjutkan dengan proses destilasi. Proses destilasi
dapat menghasilkan etanol dengan kadar 95% volume. Untuk digunakan sebagai
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 321


bahan bakar perlu lebih dimurnikan lagi hingga mencapai 99% yang lazim disebut
fuel grade ethanol (FGE). Proses pemurnian dengan prinsip dehidrasi umumnya
dilakukan dengan metode Molecular Sieve untuk memisahkan air dari senyawa etanol.
Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dengan cara fermentasi menggunakan
bahan baku nabati. Bioetanol dapat dibuat dari biomassa yang mengandung gula, pati
atau selulosa yang telah diproses menjadi glukosa. Etanol atau Etil Alcohol (lebih
dikenal dengan alkohol, dengan rumus kimia C
2
H
5
OH) adalah cairan tak berwarna
dengan karakteristik antara lain mudah menguap, mudah terbakar, larut dalam air,
tidak karsinogenik dan jika terjadi pencemaran tidak memberikan dampak lingkungan
yang signifikan.
Produksi bioetanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung
pati atau karbohidrat dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula
(glukosa) larut air. Glukosa dapat dibuat dari pati-patian yang mana proses
pembuatannya dapat dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu
hidrolisis asam dan hidrolisis enzim. Berdasarkan kedua jenis hidrolisis tersebut, saat
ini hidrolisis enzim lebih banyak dikembangkan, sedangkan hidrolisis asam (misalnya
dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa
dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan hidrolisis enzim. Dalam proses
konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan
air dan enzim kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi
etanol dengan menambahkan yeast atau ragi.
Reaksi yang terjadi pada proses produksi bioetanol secara sederhana
ditunjukkan pada reaksi 1 dan 2.
enzim
(C
6
H
10
O
5
)n + nH
2
O nC
6
H
12
O
6
(1)
Polisakarida Air Glukosa
yeast (ragi)
(C
6
H
12
O
6
) 2C
2
H
5
OH + 2CO
2
(2)
Glukosa Etanol
Proses produksi bioetanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu:
1. Gelatinisasi
Dalam proses gelatinisasi, bahan baku dihancurkan dan dicampur air sehingga
menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30 %.
2. Fermentasi
Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi etanol
menggunakan yeast.
3. Distilasi
Untuk memurnikan bioetanol menjadi berkadar lebih dari 95% agar dapat
dipergunakan sebagai bahan bakar. Alkohol hasil fermentasi dengan kemurnian
sekitar 40% harus melewati proses distilasi dengan memperhitungkan perbedaan
titik didih kedua bahan tersebut yang kemudian diembunkan kembali.
Bahan baku yang dapat dibuat bioetanol diantaranya:
1. Bahan yang mengandung glukosa
Bahan ini terdapat pada tetes tebu/molasse, nira aren, nira kelapa, nira tebu, sari
buah-buahan dan lain-lain.
2. Bahan yang mengandung pati
Bahan ini terdapat pada umbi-umbian seperti sagu, singkong, ketela, gaplek, ubi
jalar, talas, ganyong, jagung dan lain-lain.
3. Bahan yang mengandung selulosa
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 322


Bahan ini terdapat dalam serat seperti serat kayu, serat tandan kosong kelapa
sawit, serat pisang, serat nanas, ampas tebu dan lain-lain (UKM, 2009).
Tiga komponen utama dari biomassa lignoselulosa adalah selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa dapat dihidrolisis dengan bahan
kimia atau enzim untuk pembentukan gula monomer. Selulosa dan hemiselulosa
pertama dikonversi menjadi gula difermentasi, kemudian difermentasi untuk
menghasilkan etanol. Pretreatment biomassa diperlukan sebelum hidrolisis. Tujuan
utama dari proses pretreatment adalah untuk mempercepat tingkat hidrolisis dan
meningkatkan hasil gula yang difermentasi.
Tabel 1. Komposisi Bahan Lignoselulosa
Material
Lignoselulosa
Selulosa
(%)
Hemiselulosa
(%)
Lignin
(%)
Tongkol
jagung
45 35 15
Rumput 2540 3550 1030
Daun 1520 8085 0
Rambut biji
kapas
8095 520 0
Kertas 8599 0 015
Koran 4055 2540 1830
Kertas bekas
dari pulp
mekanik
6070 1020 510
Sumber : Sutjiadi, Henry Adrian dkk. (2010)
Penggunaan bahan baku berlignoselulosa untuk produksi bioetanol
mendapatkan perhatian khusus untuk mendorong pengembangan usaha energi
terbarukan dan juga untuk menekan biaya produksi karena harganya. Penggunaan
bahan baku ini akan mengurangi kekhawatiran akan persaingan penggunaan tanaman
untuk pangan. Bahan baku ini sering kali tersedia secara lokal. Penggunaan biomassa
sebagai bahan baku energi juga berperan dalam menurunkan emisi gas rumah kaca,
karena CO2 yang dilepaskan dari degradasi biomassa alam akan tersedia sebagai
karbon dalam energi, sehingga meniadakan emisi gas rumah kaca. Walaupun
demikian, proses produksi bioetanol dengan bahan baku berlignoselulosa belum
mapan, karena kandungan lignin yang bersifat rekalsitran terhadap proses fermentasi.
Dari sekian banyak bahan yang tersedia di alam selain bahan berpati, bahan
lignoselulosa merupakan substrat terbanyak yang belum digunakan secara maksimal.
Selama ini peruntukannya banyak untuk pakan. Akan tetapi komponen bahan
lignoselulosa ini sangatlah kompleks, sehingga dalam penggunaannya sebagai substrat
untuk produksi bioetanol harus melalui beberapa tahapan, antara lain delignifikasi
untuk melepas selulosa dan hemiselulosa dari ikatan kompleks lignin, depolimerisasi
untuk mendapatkan gula bebas dan fermentasi gula heksosa dan pentosa untuk
mendapatkan produksi bioetanol.
Komponen bahan lignoselulosa ini sangatlah kompleks, sehingga dalam
penggunaannya sebagai substrat untuk produksi bioetanol harus melalui beberapa
tahapan, antara lain delignifikasi untuk melepas selulosa dan hemiselulosa dari ikatan
kompleks lignin, hidrolisis untuk mendapatkan gula bebas, dan fermentasi gula
heksosa dan pentosa untuk mendapatkan produksi bioetanol.
Tujuan dari delignifikasi adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar
selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polimer polisakarida
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 323


menjadi monomer gula. Kalau tidak dilakukan delignifikasi terlebih dahulu,
lignoselulosa sulit untuk dihidrolisis karena lignin sangat kuat melindungi selulosa
sehingga sangat sulit melakukan hidrolisis sebelum memecah pelindung lignin.
Tabel 2. Metoda Pretreatment (Delignifikasi)
Metoda Contoh
Mekanik
panas
Digerus, digiling,
digunting, extruder
Autohydrolysis Super critical, carbon
dioxide explotion
Perlakuan
asam
Asam sulfat dan asam
klorida encer, asam
sulfat dan asam klorida
pekat
Perlakuan
alkali
Sodium hidroksida,
ammonia, alkali
hidrogen peroksida
Perlakuan
larutan
organik
Metanol, etanol,
butanol, fenol
Sumber : Mosier dkk., 2005; Sun dan Cheng, 2002
Menurut Sun dan Cheng (2002) metode-metode yang digunakan untuk
pretreatment antara lain :
1. Pretreatment fisika
a) Mechanical comminution
b) Pirolisis
2. Pretreatment fisika - kimia
a) Steam explosion (Autohidrolisis)
b) Ammonia fiber explosion (AFEX)
c) CO
2
explosion
3. Pretreatment kimia
a) Ozonolisis
b) Hidrolisis asam
c) Hidrolisis alkali
d) Oxidative delignification
e) Organosolv process
Hidrolisis merupakan proses pemecahan polisakarida di dalam biomassa
lignoselulosa, yaitu selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula penyusunnya.
Hidrolisis dapat dilakukan secara kimia (asam) atau enzimatik.
Di dalam metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dipaparkan dengan
asam pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu dan menghasilkan
monomer gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Beberapa asam yang umum
digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat (H
2
SO
4
), asam
perklorat, dan HCl.
Hidrolisis asam dapat dilakukan pada suhu rendah. Namun demikian,
konsentrasi asam yang digunakan sangat tinggi (30 70%). Proses ini juga sangat
korosif karena adanya pengenceran dan pemanasan asam.
Hidrolisis enzimatik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis
asam, antara lain kondisi proses yang lebih rendah (suhu rendah), berpotensi
memberikan hasil yang tinggi dan biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 324


tidak ada bahan yang korosif. Adapun beberapa kelemahan dari hidrolisis enzimatik
antara lain adalah dapat membutuhkan waktu yang lebih lama dan kerja enzim
dihambat oleh produk. Di sisi lain, harga enzim saat ini lebih mahal daripada asam
sulfat (Isroi, 2008).
Pada penelitian ini mengunakan hidrolisis enzimatik. Pemanfaatan limbah
berlignoselulosa dengan menggunakan jasa mikroorganisme dapat menghasilkan
enzim ekstraseluler yang mampu mendegradasi bahan berlignoselulosa menjadi fraksi
penyusunnya. Enzim yang digunakan pada penelitian adalah enzim selulase. Enzim
selulase adalah enzim yang bisa mengurai selulosa menjadi glukosa, setelah diurai
bisa difermentasikan menjadi etanol.
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik
(tanpa oksigen). Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan
hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi
seperti asam butirat dan aseton.
Secara sederhana proses fermentasi etanol dari bahan baku yang mengandung
gula, terlihat pada reaksi berikut ini :
C
6
H
12
O
6
2C
2
H
5
OH + 2CO
2
+ 2ATP + 5 Kkal
Fermentasi ada tiga, yaitu :
1. Fermentasi alkohol
Fermentasi alkohol merupakan suatu reaksi pengubahan glukosa menjadi etanol
(etil alkohol) dan karbondioksida. Organisme yang berperan yaitu Saccharomyces
cerevisiae (ragi) untuk pembuatan tape, roti atau minuman keras. Reaksi Kimia:
C
6
H
12
O
6
2C
2
H
5
OH + 2CO
2
+ 2 ATP
2. Fermentasi asam laktat
Fermentasi asam laktat adalah respirasi yang terjadi pada sel hewan atau
manusia, ketika kebutuhan oksigen tidak tercukupi akibat bekerja terlalu berat.
3. Fermentasi asam cuka
Merupakan suatu contoh fermentasi yang berlangsung dalam keadaan aerob.
fermentasi ini dilakukan oleh bakteri asam cuka (acetobacter aceti) dengan substrat
etanol. Energi yang dihasilkan 5 kali lebih besar dari energi yang dihasilkan oleh
fermentasi alkohol secara anaerob.
Jenis ragi yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu ragi tape dan ragi roti. Ada
berbagai faktor yang mempengaruhi kehidupan ragi, yaitu sebagai berikut :
1. Nutrisi (Zat Gizi)
a. Unsur C, ada faktor karbohidrat.
b. Unsur N, dengan penambahan pupuk yang mengandung nitrogen, misal ZA,
urea, amonia, dan sebagainya.
c. Unsur P, dengan penambahan pupuk fosfat, misal NPK, TSP, DSP, dan
sebagainya.
d. Mineral mineral.
e. Vitamin- vitamin.
2. Udara
Fermentasi alkohol berlangsung secara anaerobik (tanpa udara). Namun
demikian udara diperlukan pada proses pemibitan sebelum fermentasi untuk
perkembangbiakan khamir tersebut.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses fermentasi adalah :
1. Kadar gula
Kadar gula yang baik berkisar antara 14% hingga 18%.
2. Suhu
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 325


Pengaruh suhu terhadap proses fermentasi ada 2 hal, yaitu secara langsung
mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dan secara tak langsung mempengaruhi
hasil alkohol karena penguapan.Suhu yang baik untuk fermentasi berkisar antara
31 - 33
o
C.
3. pH (keasaman)
pH optimum untuk proses fermentasi berkisar antara 4,5 hingga 5.
4. Jenis ragi
Jenis ragi yang digunakan dalam proses fermentasi untuk menghasilkan etanol
adalah Saccharomyces cereviseae
5. Waktu fermentasi
Waktu fermentasi berlangsung antara 36 jam hingga 48 jam.

2. ALAT DAN BAHAN

Bahan yang digunakan :
1. Koran bekas
2. Enzim Selulase berasal dari fungi Aspergillus niger
3. PDA (Potato Dextrose Agar)
4. Sukrosa 12,5 %
5. (NH
4
)
2
SO
4
0,25 %
6. KH
2
PO
4
0,2 %
7. C
2
H
5
OH 96 %
8. Urea
9. MgSO
4
.7H
2
O
10. Ragi Roti
11. Ragi Tape
12. NaOH 1 %
13. H
2
SO
4
1 %
14. Aquadest

Alat yang digunakan :
A. Peralatan Delignifikasi dan Hidrolisis
1. Blender
2. Peralatan gelas standar
3. Pemanas listrik
4. Aluminium Foil / Gabus
5. Saringan / Kertas Saring
6. Pengaduk / Spatula
7. Rotary shaker
8. pH meter
B. Peralatan Fermentasi
1. Fermentor (Erlenmeyer+selang+gabus)
2. Autoclave
C. Peralatan Pemurnian
1. Alat distilasi
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini yang menjadi bahan baku Pada penelitian ini yang menjadi
bahan baku adalah koran bekas. Koran bekas tersedia secara melimpah dan
merupakan limbah yang tidak dimanfaatkan secara efektif. Padahal koran bekas
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 326


mengandung kadar selulosa yang cukup tinggi yang dapat diubah menjadi etanol.
Melalui proses hidrolisis, selulosa tersebut diubah menjadi gula sederhana yang
kemudian difermentasi untuk menghasilkan alkohol.
Berdasarkan literatur, koran memiliki kandungan lignin sebesar 18-30% dan
selulosa sebanyak 40-55% yang berpotensi untuk menghasilkan etanol. Dalam
penelitian ini, proses fermentasi dilakukan dengan dua jenis ragi, yaitu ragi roti dan
ragi tape. Dengan demikian, kita dapat membandingkan jenis ragi mana yang
menghasilkan kadar alkohol lebih tinggi. Variabel berubah lainnya selain jenis ragi
adalah waktu fermentasi. Enzim yang digunakan adalah enzim selulase yang
dibiakkan dari Aspergillus niger.
Sebelum dilakukan proses hidrolisis, bahan baku ditreatment dengan
menggunakan NaOH 1%. Tujuan dari pretreatment tersebut adalah untuk
menghilangkan kadar lignin yang terkandung dalam kertas koran.

3.1. Pengaruh Hidrolisis dengan Enzim
Proses hidrolisis enzimatik bertujuan untuk memecah struktur selulosa menjadi
senyawa gula sederhana (Sun dan Cheng 2002). Hidrolisis enzimatik memiliki
beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis asam, antara lain kondisi proses yang
lebih rendah (suhu rendah), berpotensi memberikan hasil yang tinggi dan biaya
pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada bahan yang korosif. Adapun
beberapa kelemahan dari hidrolisis enzimatik antara lain adalah membutuhkan waktu
yang lebih lama dan kerja enzim dihambat oleh produk. Selain itu, harga enzim saat
ini lebih mahal daripada asam sulfat.

Tabel 1. Pengaruh Hidrolisi Enzimatik terhadap Kadar Etanol yang dihasilkan
Waktu fermentasi ( jam ) Enzim ( %v/v ) Jenis ragi
Kadar etanol
(%)
120 30
Ragi roti 5,9424
Ragi tape 7,2040

Tabel. 1 menunjukkan pengaruh proses hidrolisis dengan menggunakan enzim
terhadap kadar etanol yang dihasilkan pada masing masing ragi. Pada penelitian ini
menggunakan enzim selulase yang dihasilkan oleh Aspergillus Niger. Komponen
terbanyak pada Aspergillus Niger adalah enzim -glukosidase. Menurut Gong dan
Tsae (1979), enzim -glukosidase merupakan enzim terpenting dalam hidrolisis
selulosa, selain itu enzim ini juga penting dalam regulasi induksi selulase. Dengan
adanya enzim tersebut, selulosa akan terpecah menjadi glukosa. Dengan demikian
glukosa yang terbentuk akan dikonversi menjadi etanol melalui proses fermentasi
3.2. Pengaruh Waktu Fermentasi
Setelah hidrolisa, proses selanjutnya yang dilakukan adalah proses fermentasi.
Tujuan dari proses fermentasi adalah mengubah glukosa yang terbentuk dari proses
hidrolisis tadi menjadi etanol.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 327



Grafik 1. Pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar etanol yang dihasilkan
pada masing-masing jenis ragi
Pada grafik 1. menunjukkan hubungan antara waktu fermentasi dengan kadar
etanol yang dihasilkan. Terlihat bahwa pada waktu fermentasi 120 menghasilkan
kadar etanol tertinggi. Sedangkan pada waktu 168 dan 216 jam kadar etanol yang
dihasilkan cenderung menurun. Hal ini dipengaruhi oleh siklus hidup mikroba yang
memfermentasi gula sederhana menjadi etanol. Proses fermentasi telah mencapai
waktu optimum selama 120 jam dan kadar bioetanol mengalami penurunan setelah
melewati waktu optimalnya. Kenaikan kadar bioetanol ini terjadi karena lama waktu
fermentasi berhubungan erat dengan kurva pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan
mikroba tidak selamanya meningkat, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu. Adapun
tahapan pertumbuhan mikroba tersebut adalah :
1) Lag Phase (Fase Adaptasi), dimana pada saat ini posisi pertumbuhan lambat dan
cenderung mikroba beradaptasi menyesuaikan lingkungan yang baru.
2) Exponential / Logarithmic Phase (Fase Pertumbuhan).
3) Stationary Phase (Fase stationer), dimana kematian seimbang dengan
pertumbuhan).
4) Death Phase (Fase Kematian), dimana kematian lebih besar daripada
pertumbuhan.
Fase lag merupakan fase penyesuaian bakteri dengan lingkungan yang baru.
Ketika sel telah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru maka sel mulai
membelah hingga mencapai populasi yang maksimum. Fase ini disebut fase logaritma
atau fase eksponensial. Fase eksponensial ditandai dengan terjadinya periode
pertumbuhan yang cepat. Setiap sel dalam populasi membelah menjadi dua sel.
Variasi derajat pertumbuhan bakteri pada fase eksponensial ini sangat dipengaruhi
oleh sifat genetik yang diturunkannya. Ketika derajat pertumbuhan bakteri telah
menghasilkan populasi yang maksimum, maka akan terjadi keseimbangan antara
jumlah sel yang mati dan jumlah sel yang hidup.
Fase stasioner terjadi pada saat laju pertumbuhan bakteri sama dengan laju
kematiannya, sehingga jumlah bakteri keseluruhan bakteri akan tetap. Keseimbangan
jumlah keseluruhan bakteri ini terjadi karena adanya pengurangan derajat pembelahan
sel. Fase stasioner ini dilanjutkan dengan fase kematian yang ditandai dengan
peningkatan laju kematian yang melampaui laju pertumbuhan, sehingga secara
keseluruhan terjadi penurunan populasi bakteri.
Dari grafik di atas terlihat bahwa ragi tape menghasilkan kadar etanol yang
lebih tinggi dibandingkan dengan ragi roti. Ragi roti dan ragi tape mengandung
mikroorganisme yang sama, yaitu Saccharomyces Cerevisieae. Namun, berdasarkan
kandungan yang terdapat dalam kedua jenis ragi diatas, diketahui bahwa ragi tape
memiliki populasi yang lebih kompleks dibandingkan dengan yang ada pada ragi roti
4,5
5
5,5
6
6,5
7
7,5
72 120 168 216
K
a
d
a
r

E
t
a
n
o
l

(
%
)

Waktu Fermentasi (jam)
Grafik Waktu Fermentasi Vs Kadar Etanol
ragi
roti
ragi
tape
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 328


sehingga mempengaruhi kinerjanya dalam menghasilkan etanol pada proses
fermentasi. Kadar etanol tertinggi dicapai dengan menggunakan ragi tape yaitu
sebesar 7,2040%.
Tabel 2. Perbandingan Kadar Etanol Hasil Analisa GC dan Piknometer

Tabel 2. menunjukkan perbandingan kadar etanol yang dihasilkan pada analisa GC
dan piknometer. Dari table tersebut, terlihat perbedaan antara nilai hasil analisa secara
piknometer dan dengan menggunakan GC. Perbedaaan tersebut disebabkan karena
dalam analisa piknometer, produk masih mengandung senyawa lain sedangkan dari
analisa GC hanya menganalisa etanol murni yang dihasilkan. Selain itu juga
dikarenakan etanol yang dihasilkan tidak segera dilakukan analisa dengan
menggunakan Gas Chromatograph. Dari hasil GC, kadar etanol tertinggi untuk
volume enzim 30% pada waktu fermentasi 120 jam yaitu 2.1190%.

4. KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa konsentrasi
enzim dan lama waktu fermentasi mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan begitu
juga dengan jenis ragi yang digunakan akan memberikan hasil yang berbeda juga.
Kondisi optimum untuk menghasilkan etanol berbahan baku koran bekas adalah pada
konsentrasi enzim 30%, waktu fermentasi 120 jam dengan menggunakan enzim tape
dengan kadar etanol 7,2040%.

REFERENCES

Achmadi, S. S. 1990. Kimia Kayu. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor :
Bogor.
Anindyawati, Trisanti. 2009. Prospek Enzim dan Limbah Lignoselulosa untuk
Produksi Bioetanol. Bogor : Pusat Penelitian Bioteknologi.
Anonim. 2009. Apa itu Hemiselulosa. Online di http://iepoktarina.blogspot.com/.
Diakses tanggal 21 Juni 2012.
Anonim. 2011. Fermentasi ragi tape. Online di http://far71.wordpress.com/. Diakses
pada tanggal 11 Juli 2012.
Anonim. 2011. Selulosa Etanol. Online di http://theadiokecenter.wordpress.com/.
Diakses tanggal 12 Juli 2012.
Anwar, Nadiem, Arief Widjaja. 2010. Peningkatan Unjuk Kerja Hidrolisis Enzimatik
Jerami Padi menggunakan Campuran Selulase Kasar dari Trichoderma Ressei
dan Aspergilus Niger Institut Teknologi Sepuluh November : Surabaya.
Caye, M. Drapcho; Nghiem Phu Nhuan; and Terry H. Walker. 2008. Biofuels
Engineering Process Technology. New York : McGraw-Hill International
Edition.
Ikhsan D., Yulianto M.E., dan Hartati I. 2008. Pengembangan Bioreaktor Hidrolisis
Enzimatis untuk Produksi Bioetanol dari Biomassa Jerami Padi. Online di
http://www.scribd.com/doc/21270719/bioetanol-jerami. Diakses pada tanggal
15 Juli 2012.
Waktu Fermentasi
(jam)
Jenis Ragi
Volume (%
Enzim)
Kadar
Etanol
Analisa GC
(%)
Kadar Etanol
Piknometer
(%)
120 Ragi tape 30 2.1190 7.2040
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 329


Isroi. 2008. Potensi Biomassa Lignoselulosa di Indonesia Sebagai Bahan Baku
Bioetanol: Tandan Kosong Kelapa Sawit. Online di http://isro.wordpress.com.
Diakses 26 Juni 2012.
Mosier N., Wyman C., Dale B., Elander R., Holtzapple Y.Y.L.M., Ladisch M., 2005.
Features of promising technologies for pretreatment of lignocellulosic biomass.
Bioresource Technol, 96, 67386.
Sun, Y., dan Cheng, J., 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol
production: a review. Bioresource Technology 83, 1 11.
Sutjiadi, Henry Adrian et al. 2010. Optimisasi Proses Hidrolisis Kertas Bekas dengan
Menggunakan Metode Hidrolisis Termal. Universitas Katolik Parahyangan :
Yogyakarta.
UKM, B. 2009. Bahan Bakar Nabati (Bioetanol). Khalifah Niaga Lantabura:
Yogyakarta.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 330


TL-15

FENOMENA VARIASI KONSENTRASI SUBSTRAT DAN KECEPATAN
PENGADUKAN PADA FERMENTASI ETANOL DARI LIMBAH CAIR
HASIL PENGEPRESAN KULIT NENAS MENGGUNAKAN
Schizosaccharomyces pombe


Panca Nugrahini F.
1
, Qori Nasrul Ulum
2*

1
Dosen Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Lampung, Jl. Prof. Dr.
Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung, Email: pancanugrahini@gmail.com
2
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Lampung, Jl. Prof.
Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung
*
Korespondensi Pembicara. Phone: 081279456801, Email: orynas@gmail.com



ABSTRAK
Bioetanol merupakan sumber energi alternatif yang mempunyai prospek yang baik
sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) dan gasohol dengan bahan baku yang
dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Bahan baku yang digunakan dapat berasal
dari biomassa yang mengandung karbohidrat dan gula. Kadar glukosa pada sampel
limbah cair hasil pengepresan kulit nenas pada industri pengalengan nenas PT. Great
Giant Pinneaple Co ( PT. GGPC) memiliki kandungan glukosa sebesar 16,8 % dengan
kata lain sampel tersebut cukup layak untuk dikembangkan menjadi etanol dengan
proses fermentasi.
Penelitian ini mengkaji tentang fermentasi etanol dari limbah cair hasil pengepresan
kulit nenas menggunakan Schizosaccharomyces pombe dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh konsentrasi substrat dan kecepatan pengadukan terhadap
Temperatur optimal pada fermentasi etanol dari limbah tersebut. Proses fermentasi
dilakukan secara batch anaerob dengan pengendalian pH 4,5, waktu fermentasi 4 hari,
dan penambahan nutrisi pupuk urea dan NPK. Mikroorganisme yang digunakan
adalah Schizosaccharomyces pombe yang memiliki daya konversi gula menjadi etanol
yang tinggi. Parameter yang digunakan pada penelitian ini adalah variasi konsentrasi
substrat 8, 16, 32 gr/L, dan kecepatan pengadukan 50, 150, 250 rpm. Untuk
mengetahui konsumsi substrat dilakukan analisis konsentrasi glukosa dengan metode
Phenol-Sulfat menggunakan alat spektrofotometer, sedangkan untuk analisis
konsentrasi etanol dengan menggunakan refraktometer, dan analisis jumlah sel
mikroorganisme menggunakan alat haemacytometer. Hasil Penelitian didapat
konsentrasi etanol 4 g/l 21,22 g/l. Konsentrasi etanol tertinggi diperoleh pada
temperatur 30
o
C, kecepatan pengadukan 50 rpm dan konsentrasi subtrat 32 g/l, yield
70,7%, laju pembentukan produk (qp) 4,07689 jam
-1
, dan laju pertumbuhan spesifik
maksimum (m) 0,02199 jam
-1



Keywords: fermentasi, limbah kulit nenas, S. Pombe
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 331


1. PENDAHULUAN
Sebagian besar kebutuhan energi dunia diperoleh dari produk-produk minyak bumi
dan batubara. Ketergantungan dunia terhadap bahan bakar fosil setidaknya memiliki
beberapa ancaman serius, yakni: menipisnya cadangan minyak bumi, ketidakstabilan
harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak, dan polusi gas
rumah kaca (terutama CO
2
) akibat pembakaran bahan bakar fosil. Kadar CO
2
saat ini
disebut sebagai yang tertinggi selama 125.000 tahun belakangan. Hal ini
menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Oleh
karena itu, pengembangan dan implementasi bahan bakar terbarukan yang ramah
lingkungan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai negara. Indonesia
sesungguhnya memiliki potensi sumber energi terbarukan dalam jumlah besar.
Beberapa diantaranya bisa segera diterapkan di tanah air, seperti: bioetanol sebagai
pengganti bensin, biodiesel untuk pengganti solar, tenaga panas bumi, mikrohidro,
tenaga surya, tenaga angin, bahkan sampah/limbah pun bisa digunakan untuk
membangkitkan listrik. Hampir semua sumber energi tersebut sudah dicoba
diterapkan dalam skala kecil di tanah air. Meski saat ini sangat sulit untuk melakukan
substitusi total terhadap bahan bakar fosil, namun implementasi sumber energi
terbarukan sangat penting untuk segera dimulai. Bioetanol merupakan salah satu
sumber energi alternatif yang mempunyai prospek yang baik sebagai penganti bahan
bakar cair dan gasohol dengan bahan baku yang dapat diperbaharui, dan ramah
lingkungan (Novitasari,2008). Efisiensi pembakaran bioetanol lebih baik
dibandingkan bensin dan gas hasil pembakaran bioetanol lebih bersih. Contohnya di
Brazil pada tahun 1990-an, etanol telah menggantikan 50% kebutuhan bensin untuk
keperluan transportasi. Dari angka ini, bioetanol telah mampu menurunkan emisi CO
2

hingga 18%. Faktor tersebut menyebabkan harga etanol akan menjadi kompetitif
terhadap bensin (Supriyanto, 2003). Bioetanol merupakan senyawa alkohol yang
diperoleh lewat proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme.
Bioetanol dapat dihasilkan dari tanaman yang mengandung karbohidrat dan serat
dengan menggunakan bahan baku yang dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe
karbohidratnya, yaitu bahaya yang mengandung sakarida, pati, dan selulosa (Anonim,
2003). Ada beberapa tanaman di Indonesia yang mengandung karbohidrat dan serat,
sehingga dapat diproses untuk menjadi etanol. Salah satu jenis tanaman tersebut
adalah nenas. Indonesia (khususnya PT. Great Giant Pinneaple) merupakan pemasok
nomor tiga dunia yang menguasai 15-20 persen konsumsi nenas kaleng dunia (Pascal,
2002). Sehingga dapat diasumsikan bahwa produksi nenas kaleng di Indonesia cukup
besar. Dengan produksi nenas kaleng yang besar, maka produksi limbah cair kulit
nenas tersebut juga semakin besar. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan di
Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung, mengenai kadar
glukosa pada sampel yaitu limbah cair hasil pengepresan kulit nenas pada industri
pengalengan nenas PT. Great Giant Pinneaple Co ( PT. GGPC) didapat bahwa sampel
tersebut memiliki kandungan glukosa sebesar 16,8 % dengan kata lain, sampel
tersebut cukup layak untuk dikembangkan menjadi etanol dengan proses fermentasi.

2. BAHAN DAN ALAT
2.1 Bahan
Mikroorganisme yang digunakan adalah Schizosaccharomyces pombe ITB-CC-R-86.
Kultur persediaan Schizosaccharomyces pombe ini dipelihara dalam media agar
miring yang disimpan pada temperatur kamar. Medium yang digunakan dalam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 332


penelitian ini terdiri dari medium untuk biakan murni, medium pengembangan sel
awal (medium starter) dan medium fermentasi.
a. Medium untuk biakan murni
Medium agar miring yang digunakan untuk biakan murni Schizosaccharomyces
pombe adalah Potato Dextrose Agar (PDA).
b. Medium Inokulum Sel Awal (Medium Starter)
Medium Starter adalah medium yang digunakan untuk pembenihan awal ragi,
berfungsi untuk memperbanyak sel. Komposisi medium starter untuk
Schizosaccharomyces pombe adalah :
Tabel 1. Komposisi Medium Starter
Komponen Jumlah
Limbah Cair Kulit Nenas
Urea
H
2
SO
4
(4% wt)
NPK
Aquadest
600 mL
2,5 gr
50 mL
2,5 gr
*)
(Sumber : Hadi Saroso,1998)
*) jumlah aquadest tergantung dari volume kerja yang akan digunakan.

c. Medium Fermentasi
Tabel 2. Komposisi Medium Fermentasi.
Komponen Jumlah
Limbah Cair Kulit Nenas
Urea
H
2
SO
4
(4% wt)
NPK
Aquadest
900 mL
5 gr
100 mL
5 gr
*)
(Sumber : Saroso,1998)
*) jumlah aquadest tergantung dari volume kerja yang akan digunakan.

2.2 Alat
Adapun alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Shaker, Refraktometer, Spektrofotometer, Auto clave, Shaker Water baths, Penangas
air, Gelas piala, Hotting Stirrer, Mikroskop, Haemacytometer, Timbangan, Gelas
ukur, Gelas Beaker, Labu Distilasi, Pipet, Termometer, Peralatan Distilasi, Tabung
Reaksi, Spatula, Stopwatch, Labu Ukur, Erlenmeyer.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 333


3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Tabel 3. Hasil Penelitian Fermentasi Etanol dari Limbah Cair Hasil Pengepresan Kulit
Nenas

Run
Konsentrasi
glukosa ( g/l)
Jumlah Sel (sel/ml)

Etanol
(g/l)
Awal Akhir Awal Akhir
C1; V1 13 3.5 1.75E+07 1.60E+07 8
C1; V2 13 5 2.00E+07 1.20E+07 6,5
C1; V3 13 6 1.93E+07 9.00E+06 4
C2; V1 21 5 2.44E+07 2.00E+07 14
C2; V2 21 9 2.31E+07 1.70E+07 11
C2; V3 21 12 2.44E+07 1.35E+07 8
C3; V1 36.7 7 2.44E+07 2.40E+07 21,22
C3; V2 36.7 12 2.56E+07 1.80E+07 18
C3; V3 36.7 18 2.50E+07 1.50E+07 14

3.2 Pembahasan
3.2.1 Tahap Starter
Penyediaan starter bertujuan untuk mengkondisikan mikroba agar beradaptasi dengan
lingkungan fermentasi. Tahap ini dilakukan dengan cara memindahkan biakan
schizosaccharomyces pada media cair substrat limbah kulit nenas. Pada tahap ini
dihitung jumlah sel dan konsentrasi glukosa pada media starter.
0.00E+00
5.00E+06
1.00E+07
1.50E+07
2.00E+07
2.50E+07
3.00E+07
0 5 10 15 20 25
waktu (jam)
j
u
m
l
a
h

s
a
e
l

(
s
e
l
/
m
l
)
C=8gr/l,V=50rpm
C=8gr/l,V=150rpm
C=8gr/l,V=250rpm
C=16gr/l,V=50rpm
C=16gr/l,V=150rpm
C=16gr/l,V=250rpm
C=32gr/l,V=50rpm
C=32gr/l,V=150rpm
C=32gr/l,V=250rpm

Gambar 1. Kurva pertumbuhan sel mikroorganisme starter
Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa semakin bertambahnya waktu
maka jumlah sel Sc. Pombe akan meningkat dan pada waktu tertentu jumlah sel akan
menurun, hal ini karena mikroorganisme mengalami fase kematian. Fase eksponensial
ditandai dengan pertumbuhan yang cepat. Dari gambar 4.1 dapat dilihat bahwa fase
eksponensial rata-rata terjadi pada jam ke 8-18. Pada penelitian ini, umur inokulum
yang dimasukkan ke dalam media fermentasi berada pada fase eksponensial yaitu
antara jam 8 18. Jika lebih dari 24 jam maka inokulum sebaiknya tidak digunakan
lagi karena telah memasuki fase stasioner. Fasa adaptasi akan lebih lama jika
inokulum berasal dari fase stasioner, sedangkan jika inokulum yang dipindahkan dari
fase eksponensial maka fase adaptasi lebih cepat karena sel berada pada masa
pertumbuhannya. Dengan mengetahui waktu terjadinya fase eksponensial maka kita
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 334


dapat menentukan waktu terbaik pemindahan inokulum dari media starter ke media
fermentasi.

3.2.2 Tahap Fermentasi
1. Pengaruh Konsentrasi Substrat
Pada penelitian ini substrat yang digunakan adalah substrat kulit nenas. Variasi
konsentrasi substrat yang digunakan adalah 8 gr/l, 16 gr/l,32 gr/l.
a. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap jumlah sel
0.00E+00
2.00E+06
4.00E+06
6.00E+06
8.00E+06
1.00E+07
1.20E+07
1.40E+07
8 g/l 16 g/l 32 g/l
konsentrasi substrat
jumlah sel
(sel/ml)
50 rpm
150 rpm
250 rpm

Gambar 2. Diagram konsentrasi mikroorganisme terhadap konsentrasi substrat
Berdasarkan gambar diatas, jumlah sel tertinggi diperoleh pada konsentrasi substrat
32 gr/l, yaitu mencapai 1,20E+07. Jumlah sel terendah diperoleh pada konsentrasi
substrat 8 gr/l, yaitu 5,00E+06. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi substrat maka semakin banyak jumlah sel yang dihasilkan. Pada tahap
fermentasi ini, mikroba memanfaatkan substrat untuk pertumbuhan. Substrat yang
terlalu encer akan mengakibatkan laju pertumbuhan menjadi lambat. Variasi
konsentrasi substrat tertinggi pada penelitian ini adalah 32 gr/l. Sedangkan batasan
kemampuan schizosaccharomyces pombe untuk mampu bertahan pada konsentrasi
substrat yang tinggi adalah pada konsentrasi 200 gr/l. (Febriningrum, 2001). Sehingga
ragi schizosaccharomyces pombe masih dapat bertahan pada variasi konsentrasi
substrat 32gr/l dan menghasilkan jumlah sel tertinggi.

b. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap konsentrasi glukosa
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
8 g/l 16 g/l 32 g/l
konsentrasi substrat
konsentrasi
glukosa (g/l)
50 rpm
150 rpm
250 rpm

Gambar 3. Diagram konsentrasi substrat terhadap konsentrasi glukosa
Berdasarkan gambar diatas, konsentrasi glukosa tertinggi diperoleh pada konsentrasi
substrat 32 gr/l, yaitu mencapai 18 g/l. Konsentrasi glukosa terendah diperoleh pada
konsentrasi substrat 8 gr/l, yaitu 3,5 g/l. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi substrat maka semakin tinggi pula konsentrasi glukosa yang terkandung.
Sedangkan untuk perbedaan konsentrasi akhir glukosa untuk masing-masing
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 335


konsentrasi substrat dipengaruhi oleh kondisi dan aktivitas ragi untuk masing-masing
kecepatan pengadukan. Glukosa merupakan sumber energi bagi ragi
schizosaccharomyces pombe.

c. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap konsentrasi etanol yang dihasilkan
0
5
10
15
20
25
8 g/l 16 g/l 32 g/l
konsentrasi substrat
konsentrasi
etanol (g/l)
50 rpm
150 rpm
250 rpm

Gambar 4. Diagram konsentrasi substrat terhadap konsentrasi etanol
Berdasarkan gambar diatas, konsentrasi etanol tertinggi dihasilkan pada konsentrasi
substrat 32 gr/l, yaitu 21,22 gr/l. Dan konsentrasi etanol terendah dihasilkan pada
konsentrasi substrat 8 gr/l, yaitu 8 gr/l. Dapat dilihat bahwa konsentrasi substrat yang
lebih tinggi menghasilkan konsentrasi etanol yang lebih tinggi pula. Hal ini
disebabkan semakin tinggi konsentrasi substrat maka semakin tinggi pula konsentrasi
glukosa yang dikandung oleh substrat tersebut.
Sedangkan glukosa mempengaruhi jumlah sel yang berkembang dalam media
fermentasi tersebut. Substrat akan di rombak oleh mikroorganisme dengan bantuan
enzim membentuk etanol. Substrat yang terlalu pekat mengakibatkan naiknya
tekanan osmosis. Apabila tekanan osmosis lingkungan lebih tinggi dari sitoplasma,
akan mengakibatkan sitoplasma kehilangan air yang selanjutnya isi sel akan mengecil
dan struktur sel akan hancur. Substrat yang terlalu encer akan mengakibatkan laju
pertumbuhan menjadi lambat (Agustian, 2005). Sehingga pada konsentrasi substrat
tertinggi 32 gr/l menghasilkan konsentrasi etanol yang paling tinggi, yaitu sebesar
21,22 gr/l.

2. Pengaruh Kecepatan Pengadukan
Pada penelitian ini kecepatan pengadukan yang divariasikan adalah 50 rpm, 150 rpm,
dan 250 rpm.
a. Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap jumlah sel
0.00E+00
2.00E+06
4.00E+06
6.00E+06
8.00E+06
1.00E+07
1.20E+07
1.40E+07
50 rpm 150 rpm 250 rpm
kecepatan pengadukan
jumlah sel
(sel/ml)
8 g/l
16 g/l
32 g/l

Gambar 5. Diagram kecepatan pengadukan terhadap jumlah sel
Berdasarkan gambar diatas, jumlah sel tertinggi diperoleh pada kecepatan pengadukan
50 rpm, yaitu mencapai 1,20E+07. Jumlah sel terendah diperoleh pada kecepatan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 336


pengadukan 250 rpm, yaitu 5,00E+06. Pada kecepatan pengadukan yang rendah,
jumlah sel mikroba yang hidup lebih dari jumlah sel mikroba yang hidup pada
kecepatan pengadukan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pada kecepatan
pengadukan yang rendah, sel mikroorganisme dapat melakukan aktivitas konsumsi
glukosa dengan baik. Sedangkan pada kecepatan pengadukan yang tinggi, jumlah sel
mikroba yang hidup kurang dari jumlah sel mikroba yang hidup pada kecepatan
pengadukan yang rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan pada kecepatan
pengadukan yang tinggi, sel mikroba berbenturan keras terus menerus dengan dinding
wadah pada saat pengadukan yang tinggi sehingga merusak struktur molekul sel dan
menyebabkan kematian pada sel tersebut.

b. Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap konsumsi glukosa
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
50 rpm 150 rpm 250 rpm
kecepatan pengadukan
konsentrasi
substrat (g/l)
8 g/l
16 g/l
32 g/l

Gambar 6. Diagram kecepatan pengadukan terhadap konsumsi glukosa
Berdasarkan gambar diatas, konsentrasi substrat yang tidak terkonsumsi paling tinggi
diperoleh pada kecepatan pengadukan 250 rpm, yaitu mencapai 18 g/l. Sedangkan
konsentrasi substrat yang tidak terkonsumsi paling rendah diperoleh pada kecepatan
pengadukan 50 rpm, yaitu 3,5 g/l. Pada kecepatan pengadukan yang rendah, jumlah
sel mikroba yang hidup lebih dari jumlah sel mikroba yang hidup pada kecepatan
pengadukan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pada kecepatan pengadukan yang
rendah, sel mikroorganisme dapat melakukan aktivitas konsumsi glukosa dengan baik.
Sedangkan pada kecepatan pengadukan yang tinggi, jumlah sel mikroba yang hidup
kurang dari jumlah sel mikroba yang hidup pada kecepatan pengadukan yang rendah.
Hal ini kemungkinan disebabkan pada kecepatan pengadukan yang tinggi, sel mikroba
berbenturan keras terus menerus dengan dinding wadah pada saat pengadukan yang
tinggi sehingga merusak struktur molekul sel dan menyebabkan kematian pada sel
tersebut. Sehingga jumlah glukosa yang tidak terkonsumsi semakin tinggi.

c. Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap etanol yang dihasilkan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 337


0
5
10
15
20
25
50rpm 150rpm 250rpm
kecepatan pengadukan
konsentrasi
etanol (g/l)
8 g/l
16 g/l
32 g/l

Gambar 7. Diagram kecepatan pengadukan terhadap etanol
Berdasarkan gambar diatas, konsentrasi etanol tertinggi diperoleh pada kecepatan
pengadukan 50 rpm, yaitu mencapai 21,22 g/l. Sedangkan konsentrasi etanol
terrendah diperoleh pada kecepatan pengadukan 250 rpm, yaitu 4 g/l. Dari berbagai
variasi kecepatan pengadukan, dapat diketahui bahwa pada kecepatan pengadukan
yang tinggi (150 dan 250 rpm), mikroba cenderung menghasilkan konsentrasi etanol
yang rendah, lain halnya pada kecepatan pengadukan yang rendah (50 rpm), mikroba
cenderung menghasilkan konsentrasi etanol yang tinggi. Pada kecepatan pengadukan
yang rendah, jumlah sel mikroba yang hidup lebih dari jumlah sel mikroba yang
hidup pada kecepatan pengadukan yang tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena pada kecepatan pengadukan yang rendah, sel mikroorganisme dapat
melakukan aktivitas konsumsi glukosa dengan baik. Sedangkan pada kecepatan
pengadukan yang tinggi, jumlah sel mikroba yang hidup kurang dari jumlah sel
mikroba yang hidup pada kecepatan pengadukan yang rendah. Hal ini kemungkinan
disebabkan pada kecepatan pengadukan yang tinggi, sel mikroba berbenturan keras
terus menerus dengan dinding wadah pada saat pengadukan yang tinggi sehingga
merusak struktur molekul sel dan menyebabkan kematian pada sel tersebut.
Berkurangnya jumlah sel mikroba schizzosaccaromyces pombe yang hidup
mengakibatkan minimnya enzim zimase dan invertase yang dihasilkan. Enzim zimase
berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa) dan
enzim invertase mengubah glukosa menjadi etanol.

3. Kinetika Fermentasi
Model kinetika fermentasi etanol dikembangkan sesuai dengan mekanisme proses
biologi yang berlangsung. Mekanisme proses biologi terdiri dari dua tahap, yaitu:
a. Pertumbuhan sel.
b. Pembentukan produk.
Kinetika fermentasi berfungsi untuk menggambarkan pertumbuhan sel dan
pembentukan produk oleh mikroorganisme, tidak hanya sel aktif tetapi juga sel yang
beristirahat bahkan juga sel-sel mati, karena banyak produk komersial yang dihasilkan
setelah berhentinya pertumbuhan mikroba. Laju pertumbuhan dan pembentukan
produk tergantung pada jenis mikroba dan metode pengukuran yang digunakan.

a. Kinetika pertumbuhan sel
Laju pertumbuhan ditentukan pada fase eksponensial, karena pada fase tersebut terjadi
konsumsi glukosa maksimum yang dimanfaatkan untuk aktifitas pertumbuhan. Model
kinetika pertumbuhan sel yang paling popular adalah metode monod.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 338


0
20
40
60
80
100
120
0 0.02 0.04 0.06 0.08
1/s
1/miu

Gambar 8. Laju pertumbuhan spesifik mikroba (32gr/l dan 150rpm)
Monod menjelaskan hubungan konsentrasi substrat pembatas, pertumbuhan yang
tersisa dengan laju pertumbuhan spesifik. Hubungan laju pertumbuhan dengan laju
konsentrasi substrat (S) ditemukan oleh Monod :
S Ks
S
M

(1)
Berdasarkan penelitian terlihat bahwa laju pertumbuhan spesifik yang tertinggi pada
konsentrasi substrat 32 g/l,
=
S
S x
63.62
0.0358
(2)
hal ini karena laju pertumbuhan spesifik selama fasa logaritmik konstan
=
m
(3)
sehingga konsentrasi substrat sebagai substrat pembatas tidak berpengaruh (Wang,
1979). Laju pertumbuhan maksimum terendah pada konsentrasi 8 g/l yaitu,
=
S
S x
3501 , 13
00455 , 0
(4)
Nilai Ks pada persamaan ini yaitu 13,3501 sehingga masih memenuhi persamaan
monod, dimana menurut mangunwidjaja nilai Ks untuk subtrat bergula umumnya
berkisar antara 1-100. Nilai Ks tertinggi diperoleh pada konsentrasi substrat 18 g/l
yaitu,
=
S
S x
624 , 63
0358 , 0
(5)
Nilai Ks yang diperoleh sangat besar yaitu 63,624 dan nilai
m
kecil yaitu hanya
0,0358. Pada keadaan ini terjadi pembatasan oleh sustrat yang ditandai dengan laju
pertumbuhan spesifik () makin kecil dan tingkat kejenuhan (Ks) semakin besar
(McNeil, 2008).
m
adalah laju pertumbuhan spesifik maksimum yang dapat dicapai
pada saat konsentrasi substrat pembatas tidak terbatas, biasanya ini terjadi pada awal
fermentasi. Semakin tinggi nilai
m
maka semakin cepat sel tumbuh. Sedangkan Ks
menyatakan konsentrasi substrat pembatas saat,
= 1/2
m
(6)
Semakin tinggi konsentrasi substrat maka semakin besar nilai dari Ks. Nilai Ks
merupakan suatu besaran yang menyatakan tingkat kejenuhan. Semakin besar nilai
Ks maka semakin jenuh kondisi lingkungan atau media fermentasi. Kejenuhan ini
mengakibatkan keaktifan pertumbuhan sel terhenti (Febriningrum, 2001).

b. Kinetika Pembentukan produk
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 339


Etanol dikelompokkan dalam growth-associated products. Laju pertumbuhan sel, laju
pembentukan produk dan laju pemanfaatan substrat diekspresikan dalam bentuk laju
spesifik seperti persamaan ini:
qp = Y
p/s
. qs (7)
= Y
p/s
. + Y
p/s .
m (8)
= Y
x/s
(9)
Berdasarkan gambar 4.9 terlihat bahwa pada konsentrasi 18 g/l menghasilkan laju
pembentukan produk (qp) yang paling tinggi mencapai 6,3247 jam
-1
, sedangkan laju
pembentukan produk terendah pada konsentrasi substrat 8 g/l dan yaitu 2,9365 jam
-1
.
Semakin tinggi konsentrasi subtrat maka semakin besar laju pembentukan produk
yang dihasilkan. Tetapi konsentrasi substrat yang terlalu tinggi dapat menghambat
laju pembentukan produk karena konsentrasi substrat yang tinggi mengakibatkan nilai
Ks yang besar.
0
1
2
3
4
5
6
7
0 20 40 60 80 100
t (jam)
l
a
j
u

p
e
m
b
e
n
t
u
k
a
n

p
r
o
d
u
k
C=8gr/l,V=50rpm
C=8gr/l,V=150rpm
C=8gr/l,V=250rpm
C=16gr/l,V=50rpm
C=16gr/l,V=150rpm
C=16gr/l,V=250rpm
C=32gr/l,V=50rpm
C=32gr/l,V=150rpm
C=8gr/l,V=250rpm

Gambar 9. Hubungan laju pembentukan produk dengan waktu
Pada fermentasi batch, Cara yang biasa digunakan untuk menghitung kinetika
pembentukan produk adalah dengan mengukur yield massa sel (Y
x/s
) dan yield
produk (Y
p/s
) yang dihasilkan dari substrat yang dikonsumsi selama suatu periode.
Laju kenaikan etanol di awal reaksi cenderung sangat cepat, hal ini disebabkan oleh
kondisi sel ragi yang masih segar di dalam fermentor dan konsentrasi etanol di dalam
fermentor masih rendah untuk menyebabkan penghambatan (Febriningrum, 2001),
dan di akhir reaksi laju kenaikan etanol cenderung lambat karena di akhir reaksi sudah
terjadi penghambatan yang disebabkan oleh konsentrasi substrat dan konsentrasi
etanol di dalam fermentor yang bersifat racun bagi khamir.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat
diambil simpulan sebagai berikut:
1. Konsentrasi substrat limbah kulit nenas yang paling baik untuk fermentasi
etanol adalah 32 g/l.
2. Konsentrasi etanol tertinggi diperoleh pada kecepatan pengadukan 50 rpm dan
konsentrasi substrat 32 g/l yaitu 21,22 g/l
3. Laju pertumbuhan sel tertinggi dilakukan pada kecepatan pengadukan 150rpm
dan konsentrasi substrat 32 g/l yaitu sebesar 0,0358 jam
-1

4. Laju pembentukan produk tertinggi pada kecepatan pengadukan 50rpm dan
konsentrasi substrat 16 g/l yaitu 6,3247 jam
-1





Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 340


5. REFERENCES

Bakar. A.,1995, Fermentasi Alkohol Dari Molasse, Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh.
Caldwell, Daniel R. 1995. Microbial Physiology and Metabolism. University
of Wyoming. USA
Dwidjoseputro, D. Dr. Prof. 1989. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan.
Malang
Fardiaz, S., 1992, Mikrobiologi Pangan I PAU Pangan dan Gizi IPB, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Febriningrum. N. P, 2001, Fermentasi Etanol Dengan Proses Sinambung, ITB,
Bandung
Gusyafitri. M., 2004, Fermentasi Etanol Dari Nira Tebu, Universitas Lampung,
Bandar Lampung.
Gunasekaran, P., 2004, Ethanol Fermentation Technology Zymomonas mobilis,
Madurai Kamaraj University, India
Hardoyo, Saraswati., 1987, Fermentasi Etanol Secara Bersinambung Dengan
Resirkulasi Sel Menggunakan Flocculating Yeast, BPPT
Himmeblau. M. D., 1996, Basic Principles and Calculation in Chemical Engineering,
6
th
edition, Prentice Hall PTR, New Jersey
Judoamidjojo, Muljono dkk. 1990. Teknologi Fermentasi. Jakarta.
Mangunwidjaja, Djumali dan Suryani, Ani. 1994. Teknologi Bioproses.
PT Penebar Swadaya, Jakarta.
Pelezar & Chan. E. C. S., 1986, Dasar-dasar Mikrobiologi, Jakarta
Prescott, S.C., dan C.S. Dunn, 1959, Industrial Microbiology, Mc-GrawHill Book
Company, New York.
Sudarmaji. S. dkk., 1984, Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan dan Pertanian,
Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta
Syahruracman dkk, 1993, Mikrobiologi Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta.
Tim Intan Pariwara, 1999, Biologi SMU 3A, PT. Intan Pariwara, Klaten.
Ullmanns, Encyclopedia of Industrial Chemistry, 6
th
edition, volume 12, John Wiley
and Sons, 2000, New York
World Bank Report, 1980, Alcohol Production from Biomass in The Developing
Countries
Wyman. E. Charles., 1996, Handbook on Bioethanol , Taylor & Francis, United States
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 341


TL-15

PENGARUH LAJU ALIR OKSIGEN DAN WAKTU KONTAK
TERHADAP DELIGNIFIKASI TANDAN KOSONG KELAPA
SAWIT DENGAN METODE OZONASI
I.K. Perni Novita
1
, Novia
2*
dan Hermansyah
3

1
Program Magister Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Palembang
2
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Inderalaya
3
Jurusan Kimia,Fakultas MIPA, Universitas Sriwijaya, Inderalaya
*
Koresponensi: Phone: +62 711 580303 / 081368632611, Fax: +62 711 580303
Email: noviasumardi@yahoo.com

ABSTRAK
Limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak, absorber, blog (pot tanaman), media pengembangbiakan cacing, media
pertumbuhan kapang, pulp, lignin, dan abu janjang. Kandungan selulosa dari TKKS
juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan bioetanol. Untuk memperoleh kadar
selulosa optimal, diperlukan proses pretreatment berupa delignifikasi TKKS. Dalam
penelitian ini, metode delignifikasi yang digunakan adalah dengan metode ozonasi.
Berat sampel dan tegangan lisrik yang digunakan merupakan variabel tetap sebesar 10
gram dan 8500V. Variabel bebas yang dipakai adalah laju alir oksigen 1; 2; 3; 4; 5
liter/menit dan variasi waktu kontak 2; 4; 6; 8; 10 menit. Proses ozonasi menggunakan
fix bed reaktor. Hasil delignifikasi dianalisa dengan metode Kappa. Berdasarkan
analisa Kappa, hasil delignifikasi optimal diperoleh pada laju alir oksigen 2 liter/menit
dan waktu kontak 10 menit menghasilkan penurunan kadar lignin sebesar 39,7%
dibandingkan dengan kadar lignin dalam TKKS tanpa pretreatment.
1. PENDAHULUAN
Perkebunan kelapa sawit saat ini telah berkembang tidak hanya yang diusahakan
oleh perusahaan negara, tetapi juga perkebunan rakyat dan swasta. Berdasarkan data
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, perkebunan kelapa sawit di Indonesia
mencapai delapan juta hektar pada tahun 2010, dengan produksi minyak sawit sebesar
22 juta ton (BPS, 2011). Menurut Diwyanto (2003) dalam Sayed (2009), produk
samping yang dihasilkan dari tanaman dan pengolahan kelapa sawit untuk setiap
hektar dalam setahun mencapai 20 ton per hektar, dimana 3,7 ton dari berat tersebut
adalah tandan kosong kelapa sawit (TKKS), sehingga pada tahun 2010 total limbah
TKKS di Indonesia mencapai 30 juta ton, jumlah tersebut bahkan melampaui hasil
dari produksi minyak sawit. Limbah biomassa dari perkebunan kelapa sawit biasanya
dimanfaatkan antara lain, untuk limbah pelepah sawit sebagai pakan ternak, untuk
limbah lumpur sawit dan limbah bungkil inti sawit sebagai bahan sumber protein,
untuk limbah cangkang sawit sebagai bahan bakar dan pengeras jalan, dan untuk
limbah TKKS sebagai pupuk kompos. Upaya pemanfaatan yang dilakukan untuk
pengelolaan limbah biomassa tersebut adalah untuk mengurangi daya cemar dan
mendapatkan nilai tambah dari limbah tersebut.
TKKS termasuk dalam biomassa lignoselulosa seperti halnya limbah hutan,
pertanian, produk dari kayu, dan lain-lain, merupakan sumber energi yang bisa
diperbarui. Biomassa lignoselulosa mengandung karbohidrat yang merupakan bentuk
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 342


polimer dari gula 5C dan 6C. Kandungan dalam lignoselulosa adalah selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Lignin adalah polimer berserat yang tersusun dari molekul
fenilpropana yang berada pada keadaan amorf, akan berikatan dengan hemiselulosa
dalam biomassa nabati sebagai lapisan pelindung selulosa. Kandungan lignin pada
lignoselulosa dalam TKKS akan menghambat proses konversi selulosa menjadi gula
sederhana sehingga diperlukan proses untuk melepaskan lignin.
Pre-treatment secara fisik yakni pirolisis dilakukan oleh Shafizadeh dan
Bradbury (1979) dalam (Sun dan Cheng, 2002), proses berlangsung pada suhu yang
tinggi, 300
o
C, sehingga selulosa berubah menjadi gas dan arang. Apabila ditambahkan
katalis seperti zink klorida atau natrium karbonat, dekomposisi gula bisa dilakukan
pada temperatur yang lebih rendah. Pre-treatment secara biologi memerlukan waktu
konversi yang lama, seperti yang dilakukan oleh Hataka (1983) dalam (Sun dan
Cheng, 2002), memerlukan waktu selama 5 hari untuk mengkonversi jerami gandum
menjadi gula dengan menggunakan Pleurotus ostreatus. Pre-treatment secara kimia
menggunakan asam, basa dan ammonia menghasilkan limbah yang harus didaur ulang
terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Pre-treatment dengan metode
ozonolisis oleh Vidal dan Molinier (1988) secara efektif membuang lignin hingga
sebesar 16% dengan waktu reaksi selama 3 jam dan tidak menghasilkan buangan yang
beracun. Ozon sangat reaktif terhadap lignin karena memiliki sifat elektrofilik yang
kuat (Hartono, dkk, 2010). Berdasarkan permasalahan dari penelitian sebelumnya,
maka kami akan melakukan proses delignifikasi TKKS dengan metode ozonolisis.
Wu, et. al. (2011) melakukan penelitian terhadap pembuatan etanol dari ampas
tebu dengan pre-treatment menggunakan alkali. Pre-treatment dengan alkali selama
30120 menit pada suhu kamar mengubah komposisi ampas tebu. Kandungan lignin
dalam ampas tebu menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi natrium
hidroksida, hanya tersisa 20% dari ampas tebu awal setelah pre-treatment dengan
NaOH 2,5 M selama 120 menit. Pada pulping biomassa, ada tiga fase yang terjadi,
yakni fase awal, fase curah (bulk), dan fase sisa (residu). Delignifikasi ampas tebu
berjalan dengan cepat pada fase awal dan fase curah, dan kemudian melambat saat
proses pre-treatment berjalan. Suhu mempengaruhi laju reaksi kimia, demikian juga
dengan transfer massa dan panas. Pada penelitian oleh Wu, et. al. (2011), suhu pre-
treatment yang lebih tinggi (50
o
C) memudahkan proses pelepasan hemiselulosa dan
lignin. Laju delignifikasi bisa mencapai 90%. Pre-treatment alkali terhadap selulosa
mampu mengubah struktur kristal selulosa, sekaligus mengubah sifat-sifat fisika dan
kimianya.
Vidal dan Molinier (1988) melakukan ozonolisis terhadap lignin dalam serbuk
poplar dari spesies Populus x Euramericana yang diambil dari tempat penggergajian
kayu di daerah Toulouse. Serbuk poplar diayak dengan ukuran 0,5 1,0 mm. Pre-
treatment dengan ozon terhadap serbuk poplar dilakukan pada dua macam reaktor,
reaktor stirred semibatch dan reaktor fix bed. Pada reaktor semibatch, 50 gram serbuk
poplar dilarutkan dalam 1 liter air dan dialiri ozon. Pada reaktor fix bed, 10 gram
serbuk poplar kering dialiri ozon. Ozon dialirkan selama 240 menit dengan rentang
waktu 60 menit. Ketika membandingkan rasio konsumsi ozon dengan kandungan
lignin, reaktor fix bed lebih efisien dibandingkan dengan reaktor semibatch. Konsumsi
ozon pada padatan serbuk poplar sebesar 3 mol, sedangkan pada bubur serbuk poplar
sebesar 7 mol. Penurunan kadar lignin sebesar 17% diperoleh pada waktu ozon 240
menit Hasil yang diperoleh oleh Vidal dan Molinier, pada variasi persentase selulosa
sebagai fungsi persentase lignin dalam serbuk yang diozonolisis, terlihat bahwa dari
seluruh polisakarida, hemiselulosa lebih terdegradasi dibandingkan dengan selulosa,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 343


yang bisa terjadi jika lignin sudah terdegradasi. Karena kelarutan hemiselulosa
meningkat seiring dengan meningkatnya persentase lignin yang terdegradasi,
kemungkinan hemiselulosa dan lignin terlarut secara bersama membentuk kompleks
lignin-hemiselulosa.
Mamleeva, et. al. (2009) mendelignifikasi serbuk aspen menggunakan ozonasi
dengan memvariasikan kelembaban sampel. Waktu kontak ozonasi dan jumlah
pemakaian ozon meningkat seiring peningkatan kelembaban sampel. Kayu
mengembang apabila bereaksi dengan uap air, sehingga air (kelembaban) merupakan
hal yang diperlukan agar ozon bereaksi dengan kayu. Kayu mengembang disebabkan
oleh ikatan hidrogen antara molekul air dengan asam karboksilat dan gugus hidroksil
dari polimer yang membentuk dinding kayu. Lignin berikatan kovalen dengan
karbohidrat dalam sel kayu. Lignin bisa dioksidasi oleh ozon dan membentuk
komposit polimer kompleks. Air merupakan unsur yang penting dalam proses ozonasi
kayu. Air membuat kayu mengembang sehingga melarutkan ozon dan produk
oksidasi. Pada saat oksidasi, sebagian dari air menguap. Reaksi gas ozon terhadap
substrat mengikuti oksidasi gugus fungsi terhadap ozon yang terlarut dalam air.
Oksidasi hidroksil alkohol, ikatan eter dan gugus C=C bereaksi dengan ozon saat air
mulai menguap.
Garcia-Cubero, et. al. (2009) melakukan pre-treatment ozonolisis terhadap
jerami gandum dalam reaktor fix bed berupa kolom kaca pada kondisi kamar. Substrat
dilembabkan terlebih dahulu, dimasukkan ke dalam reaktor dan dipaparkan ke aliran
gas ozon. Eksperimen dilakukan pada beberapa macam kelembaban. Kelembaban di
atas 30% tidak memberikan efek yang signifikan terhadap proses ozonolisis. Ozon
mendegradasi lignin dan sedikit melarutkan fraksi hemiselulosa. Kelembaban dan
jenis biomassa menjadi parameter yang paling relevan, kelembaban yg efektif untuk
digunakan adalah dibawah 30%. Kadar lignin turun sebesar 1,6 hingga 19,6%, yang
mungkin dipengaruhi oleh kadar pH. Dengan penambahan alkali pada proses
ozonolisis, penurunan kadar lignin lebih tinggi mencapai 16 hingga 17%.
Pretreatment oleh ozon, memberikan hasil hidrolisis sebesar 88,6% dan 57%,
dibandingkan dengan pretreatment non ozon yang hanya 29% dan 16%.

2. METODE PENELITIAN

2.1 Bahan Baku
Tandan kosong kelapa sawit yang diambil adalah yang baru keluar dari mesin
pengepress. Tandan kosong kelapa sawit dibersihkan dan dicuci, lalu dikeringkan
dengan bantuan sinar matahari selama 7 hari, kemudian dicacah hingga berukuran
kurang lebih 2 cm, lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu 80
o
C selama 1 jam,
atau hingga kering. Kemudian digiling dan diayak dengan ayakan berukuran 40 mesh.
Sampel tandan kosong kelapa sawit dianalisa kandungan lignin dengan menggunakan
metode Kappa.

2.2 Ozonasi
Proses pengozonan dilaksanakan pada tegangan konstan, yakni 8500 V.
Perlakuan terhadap laju alir dan waktu proses masing-masing terdiri dari lima variabel
yaitu 1, 2, 3, 4, dan 5 L/menit dan waktu proses 2, 4, 6, 8 dan 10 menit. Sedangkan
berat TKKS yang digunakan tetap, yakni 10 gram.

2.3 Metode Analisa
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 344


Analisa sampel dilakukan dengan metode Kappa SNI 0494:2008

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses ozonasi TKKS bertujuan untuk menghilangkan lignin yang terdapat pada
TKKS, karena kandungan lignin dalam biomassa lignoselulosa, dapat menghambat
proses hidrolisis, dimana lignin menyebabkan selulosa sulit untuk diuraikan oleh
enzim selulase. Melalui proses delignifikasi, maka lignin yang terkandung dalam
TKKS yang mengikat selulosa dapat terputus sehingga dapat mempermudah enzim
selulase untuk menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. Kandungan dalam TKKS
terdapat selulosa, hemiselulosa dan lignin. Di antara ketiga komponen lignoselulosa
tersebut, lignin yang mengikat selulosa merupakan bahan yang paling tahan terhadap
hidrolisis, sehingga menghambat proses penguraian selulosa.
Proses delignifikasi TKKS pada penelitian dengan metode ozonasi ini dilakukan
pada berbagai laju alir oksigen (1 L/menit, 2 L/menit, 3 L/menit, 4 L/menit, dan 5
L/menit) dan waktu kontak (2 menit, 4 menit, 6 menit, 8 menit dan 10 menit). Proses
pretreatment bertujuan untuk memutuskan lignin yang berikatan secara kovalen
dengan selulosa. Selulosa yang didapat dari tandan kosong kelapa sawit dapat
digunakan sebagai bahan untuk pembuatan glukosa melalui proses hidrolisis. Glukosa
yang diperoleh dari hasil proses hidrolisis TKKS dapat digunakan sebagai bahan baku
untuk pembuatan etanol.
Laju alir oksigen dan waktu kontak delignifikasi yang optimum pada proses
pretreatment TKKS akan mempengaruhi kadar lignin TKKS yang didelignifikasi.
Hubungan antar laju alir oksigen dan kadar lignin dengan berbagai waktu kontak pada
proses pretreatment di perlihatkan pada gambar-gambar berikut ini.


Gambar 4.1 Pengaruh waktu kontak terhadap kadar lignin pada laju alir
oksigen 1 liter/menit.


6%
7%
8%
9%
10%
11%
12%
0 2 4 6 8 10
K
a
d
a
r

L
i
g
n
i
n

Waktu Kontak (menit)
1 l/menit
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 345



Gambar 4.2. Pengaruh waktu kontak terhadap kadar lignin pada laju alir
oksigen 2 liter/menit.

Gambar 4.3 Pengaruh waktu kontak terhadap kadar lignin pada laju alir
oksigen 3 liter/menit.

Gambar 4.4 Pengaruh waktu kontak terhadap kadar lignin pada laju alir
oksigen 4 liter/menit.

6%
7%
8%
9%
10%
11%
12%
0 2 4 6 8 10
K
a
d
a
r

L
i
g
n
i
n

Waktu Kontak (menit)
2 l/menit
6%
7%
8%
9%
10%
11%
12%
0 2 4 6 8 10
K
a
d
a
r

L
i
g
n
i
n

Waktu Kontak (menit)
3 l/menit
6%
7%
8%
9%
10%
11%
12%
0 2 4 6 8 10
K
a
d
a
r

L
i
g
n
i
n

Waktu Kontak (menit)
4 l/menit
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 346



Gambar 4.5 Pengaruh waktu kontak terhadap kadar lignin pada laju alir
oksigen 5 liter/menit.

Gambar 4.1 sampai 4.5 menunjukkan penurunan kadar lignin yang cukup
signifikan pada berbagai perlakuan proses delignifikasi dengan metode ozonasi laju
alir oksigen (1 L/menit, 2 L/menit, 3 L/menit, 4 L/menit, dan 5 L/menit) dan waktu
kontak (2 menit, 4 menit, 6 menit, 8 menit dan 10 menit). Penurunan kadar lignin
tersebut disebabkan oleh proses delignifikasi yang dilakukan oleh ozon pada berbagai
laju alir dan waktu kontak. Hasil analisa Kappa menunjukkan bahwa untuk waktu
delignifikasi 2 menit hingga 10 menit, penurunan lignin cukup berarti. Persen
penurunan lignin terbesar adalah 39,07 % dimana kadar awal lignin pada TKKS turun
dari 11,46% menjadi 6,91%. Hal ini terjadi pada laju alir oksigen 2 L/menit dan
waktu kontak 10 menit. Hasil penelitian ini lebih baik dibanding dengan penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Novia, dkk (2012) menggunakan sampel TKKS
dengan perlakuan alkali dengan kadar lignin sisa sebesar 15,26 %.
Proses pretreatment TKKS dengan menggunakan metode ozonasi merupakan
tahap penghilangan lignin pada TKKS. Ozon yang merupakan oksidator kuat akan
mengoksidasi lignin dari TKKS dalam suasana asam karena ozon memiliki kelebihan
elektron sehingga bersifat cenderung asam. Reaksi ozonolisis lignin akan secara
langsung terjadi, dan menghasilkan gugus asetat dari serat TKKS. Setelah diozonasi,
untuk menghilangkan lignin dan pecahannya, sampel dinetralkan dengan aquades,
karena selulosa dan hemiselulosa tidak larut dalam air. Penurunan kadar lignin seperti
ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 4.1 4.5 di atas dapat disimpulkan bahwa
penurunan kadar lignin pada TKKS terjadi untuk semua parameter. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa belum semua lignin yang terkandung dalam TKKS dapat
dihilangkan. Hal ini dikarenakan oleh proses ozonasi belum mampu menembus
struktur lignin yang dengan kuat masih mengikat selulosa.
Proses ozonasi dipengaruhi oleh laju alir oksigen dan waktu kontak. Saat laju alir
rendah, dengan waktu yang lebih singkat, konsentrasi ozon yang terbentuk akan lebih
tinggi. Bertambahnya laju alir oksigen dan waktu kontak, konsentrasi ozon yang
terbentuk cenderung menurun. Konsentrasi ozon yang lebih kecil ternyata membuat
proses delignifikasi lebih maksimal. Hal ini disebabkan karena jumlah ozon yang
melakukan penetrasi ke dalam TKKS lebih sedikit, sehingga pemaksamasukan ion O
-

untuk pembentukan asam asetat akan lebih mudah.

4. KESIMPULAN
6%
7%
8%
9%
10%
11%
12%
0 2 4 6 8 10
K
a
d
a
r

L
i
g
n
i
n

Waktu Kontak (menit)
5 l/menit
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 347


Penurunan kadar lignin terbesar adalah 39,07 % diperoleh pada saat proses
delignifikasi TKKS dengan laju alir 2 liter/menit dan waktu kontak 10 menit. Proses
ozonasi dipengaruhi oleh laju alir oksigen dan waktu kontak. Saat laju alir rendah,
dengan waktu yang lebih singkat, konsentrasi ozon yang terbentuk akan lebih tinggi.
Bertambahnya laju alir oksigen dan waktu kontak, konsentrasi ozon yang terbentuk
cenderung menurun. Konsentrasi ozon yang lebih kecil ternyata membuat proses
delignifikasi lebih maksimal. Hal ini disebabkan karena jumlah ozon yang melakukan
penetrasi ke dalam TKKS lebih sedikit, sehingga pemaksamasukan ion O
-
untuk
pembentukan asam asetat akan lebih mudah.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2011
Garcia-Cubero, M.T., Ginzales-Benito, G., Indacoechea, I., Coca, M., Bolado, S.
2008. Effect of Ozonolysis Pretreatment on Enzymatic Digestibility of Wheat
and Rye Straw. Bioresource Technology 100, 1608 1613
Hartono, R., Jayanudin, & Salamah. 2010. Pemutihan Pulp Eceng Gondok
Menggunakan Proses Ozonasi. Prosiding Seminar Rekayasa Kimia dan Proses
Mamleeva, N.A., Autlov, S.A., Bazarnova, N.G., & Lunin, V.V. 2009. Delignification
of Softwood by Ozonation. Pure Application Chem., Vol. 81, No. 11, pp. 2081
2091
Novia, Faizal, M., Wulandari, E. P. 2012. Produksi Bioetanol Generasi Ke-2 Dari
TKKS Dengan Metode Alkaline Pretreatment Hydrolisis Enzimatik
Fermentasi, Prosiding pada Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia (SNTKI-
2012), Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada tanggal 20-24 September
2012. Hal. 587-592.
Sayed, Umar. 2009. Potensi Perkebunan Kelapa Sawit sebagai Pusat Pengembangan
Sapi Potong dalam Merevitalisasi dan Mengakselerasi Pembangunan
Peternakan Berkelanjutan. Universitas Sumatera Utara. Medan
Sun, Y., & Cheng, J. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol
Production: A Review. Biosource Technology, Vol. 83, pp. 1 11
Vidal, P.F., & Molinier, J. 1988. Ozonolysis of Lignin Improvement of in vitro Digestibility
of Poplar Sawdust. Biomass, Vol. 16, pp. 1 17
Wu, L., Arakane, M., Ike, M., Wada, M., Takai, T., Gau, M., & Tokuyasu, K. 2011. Low
Temperature Alakli Pretreatment for Improving Enzymatic Digestibility of Sweet
Sorgum Bagasse for Ethanol Production. Biosource Technology, Vol. 102, pp 4793
4799.






Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 348


TL-16

PRODUKSI GLUKOSA DARI TANDAN KOSONG
KELAPA SAWIT YANG DIDELIGNIFIKASI DENGAN
OZONOLYSI S PRETREATMENT MELALUI METODE
HIDROLISIS ENZIMATIK

Puja Intan Soraya
1
, Novia
2*
dan Hermansyah
3

1
Program Magister Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Palembang
2
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Inderalaya
3
Jurusan Kimia,Fakultas MIPA, Universitas Sriwijaya, Inderalaya
*
Koresponensi: Phone: +62 711 580303 / 081368632611, Fax: +62 711 580303
Email: noviasumardi@yahoo.com

ABSTRAK
Jumlah limbah TKKS yang sangat berlimpah akan menjadi masalah jika tidak
dimanfaatkan dan di olah lebih lanjut, di lain pihak jika diolah dengan benar limbah
ini sangat potensial untuk dikonversi menjadi bahan yang lebih memiliki nilai
ekonomis seperti glukosa. Pada penelitian ini, delignifikasi TKKS dilakukan dengan
menggunakan metode ozonolisis pada kondisi operasi laju ali 3L/menit dan waktu 10
menit. Selanjutnya dilakukan hidrolisis enzimatis untuk mengubah selulosa menjadi
glukosa dengan bantuan enzim selulase yang dihasilkan oleh Aspergillus Niger.
Variabel yang digunakan adalah volume enzim selulase sebanyak 5, 10, 15, 20 dan 25
ml dan waktu hidrolisis selama 5, 10, 15, 20 dan 25 jam, dengan kondisi operasi pH
4-5, pada suhu 30 37
o
C. Hasil penambahan volume enzim selulase yang terbaik
adalah 25 ml dengan waktu hidrolisis selama 25 jam menghasilkan kadar glukosa
sebesar 4,7740%. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa penambahan
volume enzim dan waktu hidrolisis berpengaruh terhadap kuantitas glukosa yang
dihasilkan dari TKKS dengan proses enzimatis.

Kata kunci : TKKS, Ozonolisis, Hidrolisis Enzimatis, Aspergillus niger

1. PENDAHULUAN
Luas areal perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun terus meningkat.
Perkembangan harga minyak sawit di pasaran internasional yang cenderung
membaik menjadikan industri minyak sawit sebagai andalan devisa di masa
depan. Dalam 20 tahun terakhir (1985-2005), pertambahan kebun kelapa sawit
mencapai lima juta hektar atau meningkat 837% dan menghasilkan kontribusi
minyak sawit terhadap ekspor nasional yang mencapai enam persen dan merupakan
komoditas nomor satu dari produksi Indonesia (Ditjenbun, 2006). Setiap
pengolahan 1 ton Tandan Buah Segar (TBS) akan dihasilkan Tandan Kosong Kelapa
Sawit (TKKS) sebanyak 22 23% atau sebanyak 220 230 kg. Apabila dalam sebuah
pabrik dengan kapasitas pengolahan 100 ton/jam dengan waktu operasi selama 1 jam,
maka akan dihasilkan sebanyak 22 23 ton TKKS (Aryafatta, 2008). TKKS termasuk
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 349


biomassa lignoselulosa, yang kandungan utamanya adalah selulosa 45,95%,
hemiselulosa 22,84% dan lignin 16,49% (Darnoko, 1992). Selulosa dan hemilselulosa
yang terdapat dalam TKKS berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi berbagai produk
yang lebih berharga seperti asam-asam organik, pelarut etanol, aseton, butanol,
protein sel tunggal, xanthan, zat antibiotika dan berbagai produk lainnya. Sementara
lignin yang terkandung dalam TKKS perlu dihilangkan terlebih dahulu atau disebut
dengan delignifikasi.
Dari penelitian Lee, et al (2010) dengan judul Effect of Ozone and
Autohydrolysis Pretreatments on Enzymatic Digestibility of Coastal Bermuda Grass
kadar lignin dapat diturunkannamun belum menghasilkan yields yang besar. Hal ini
terjadi karena pada proses ozonolisis tidak dilakukan dengan variabel berubah dari
parameter penting lain seperti waktu kontak antara ozon dengan sampel.
Delignifikasi bertujuan untuk menghilangkan lignin, juga dapat mengurangi
kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Perlakuan pendahuluan ini
dapat dilakukan secara fisika, fisiko-kimia, kimia, biologis maupun kombinasi dari
cara-cara tersebut (Kumar et al, 2009).
1. Perlakuan pendahuluan secara fisika antara lain berupa pencacahan secara
mekanik, penggilingan, dan penepungan untuk memperkecil ukuran bahan dan
mengurangi kristalinitas selulosa.
2. Perlakuan pendahuluan secara fisikokimia antara lain adalah steam explosion,
ammonia fiber explosion (AFEX), dan CO
2
explosion. Pada metode ini, partikel
biomassa dipaparkan pada suhu dan tekanan tinggi, kemudian tekanannya
diturunkan secara cepat sehingga bahan mengalami dekompresi eksplosif.
3. Perlakuan pendahuluan secara kimia, di antaranya adalah ozonolisis, hidrolisis
asam, hidrolisis alkali, delignifikasi oksidatif, dan proses organosolv.
4. Perlakuan secara biologis. Pada metode ini, digunakan mikroorganisme jamur
pelapuk coklat, jamur pelapuk putih, dan jamur pelunak untuk mendegradasi
lignin dan hemiselulosa yang ada dalam bahan lignoselulosa. Di antara ketiga
jamur tersebut, yang paling efektif untuk perlakuan pendahuluan pada bahan
lignoselulosa adalah jamur pelapuk putih (white-rot fungi).
Proses delignifikasi biomassa lignoselulosa metode ozonolisis memiliki kelebihan
sebagai metode yang ramah lingkungan. Delignifikasi menggunakan ozon dilakukan
pada suhu ruangan dan tekanan atmosfer serta dapat menghancurkan sekitar 60%
lignin yang terkandung dalam lignoselulosa (Kumar et al, 2009).
Hidrolisis selulosa dan hemiselulosa yang terdapat pada TKKS menghasilkan gula
sederhana pentosa atau heksosa yang banyak digunakan di industri. Gula Heksosa
seperti glukosa dapat digunakan sebagai bahan baku bioetanol dan gula pentosa
seperti xylitol sebagai pemanis pada industri permen, dan sebagainya.
Menurut Demirbas (2005) terdapat dua jenis proses hidrolisis yang dapat
dijalankan, yaitu hidrolisis enzim dan hidrolisis kimiawi. Dipilih hidrolisis enzimatis
karena memiliki beberapa keuntungan yaitu dapat mengurangi penggunaan asam
sehingga dapat meminimalisir efek negatif terhadap lingkungan, tidak terjadi
degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu rendah, pH
netral), berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan
relatif rendah karena tidak ada bahan yang korosif (Taherzadeh & Karimi, 2007).
Berdasarkan penelitian Teresa Garcia-Cubero (2009) penggunaan enzim pada
proses hidrolisis sampel yang telah diozon dengan beberapa variabel berubah mampu
meningkatkan hasil hidrolisis sebesar 60%, namun mereka menggunakan enzim
komersial yang cukup mahal. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan hidrolisis
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 350


secara enzimatis, dengan bantuan enzim selulase yang dihasilkan dari jamur
Aspergillus niger yang relatif lebih ekonomis.
Enzim selulase biasanya merupakan campuran dari beberapa enzim, Sedikitnya
ada tiga kelompok enzim yang terlibat dalam proses hidrolisis selulosa, yaitu
(Hermiati, dkk., 2010) :
1. endoglukanase yang bekerja pada wilayah serat selulosa yang mempunyai
kristalinitas rendah untuk memecah selulosa secara acak dan membentuk ujung
rantai yang bebas
2. eksoglukanase atau selobiohidrolase yang mendegradasi lebih lanjut molekul
tersebut dengan memindahkan unit-unit selobiosa dari ujungujung rantai yang
bebas, dan
3. -glukosidase yang menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa. Jumlah enzim
yang diperlukan untuk hidrolisis selulosa berbeda-beda, bergantung pada kadar
padatan tidak larut air (water insoluble solids) pada bahan yang akan dihidrolisis.

2. METODE PENELITIAN
Proses pembuatan glukosa dari TKKS dilakukan dalam 3 tahapan yaitu
delignifikasi TKKS, pembuatan enzim selulase dan proses hidrolisis enzimatik.
Proses delignifikasi dilakukan menggunakan reaktor delignifikasi dengan
mengalirkan ozon ke dalam reaktor dengan kondisi operasi laju alir oksigen sebesar
2L/menit denan waktu kontak selama 10 menit. Pembuatan enzim selulase dilakukan
dengan menginokulasi Aspergillus niger dalam media cair dengan nutrisi urea 0,03 gr,
MgSO
4
.7H
2
O, 0,005 gr, KH
2
PO
4
0,0023 gr selama 96 jam.
Hidrolisis enzimatis dilakukan terhadap sampel tandan kosong kelapa sawit yang
telah didelignifikasi menggunakan metode ozonolisis. Proses dilakukan dengan
melakukan uji optimasi dan pengaruh dari variasi waktu hidrolisis dan volume enzim
selulase. Proses dilakukan dengan melakukan kontak antara TKKS dengan kadar
lignin terendah dengan enzim selulase dengan volume yang telah divariasikan
(sebanyak 5, 10, 15, 20 dan 25 ml) selama waktu yang sudah divariasikan (selama 5,
10, 15, 20 dan 25 jam).
Analisis kuantitas glukosa yang dihasilkan dilakukan menggunakan metode Luff
Schoorl dan HPLC (High Performance Liquid Chromatography).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses hidrolisis dipengaruhi oleh beberapa variabel, diantaranya waktu hidrolisis
dan volume enzim selulase untuk mendapatkan kadar glukosa yang optimum
(Wulandari, 2012). Penelitian ini berlangsung pada variasi waktu hidrolisis yaitu 5,
10, 15, 20 dan 25 jam, kemudian variasi volume enzim selulase yaitu 5, 10, 15, 20,
dan 25mL. Penggunaan Aspergillus niger pada proses pembentukan enzim selulase
dikondisikan selama waktu 4 hari antara pH 4-5 dengan tujuan untuk mengoptimalkan
perolehan enzim selulae dari TKKS untuk menghasilkan glukosa. Aspergillus niger
merupakan jenis jamur yang memiliki keunggulan, yaitu dapat menghasilkan enzim
ekstraseluler dengan aktivitas tinggi serta mudah dalam pemeliharaannya. Selain itu,
secara ekonomi jamur tersebut mudah didapat dengan harga yang murah, dan mampu
berkembang pada media yang biayanya relatif murah serta ketersediaannya mudah
didapatkan (Murni dkk., 2011).
Hasil analisis glukosa yang didapat dari hasil proses hidrolisis enzimatik dengan
berat sampel TKKS sebesar 50 gram dan pH 4-5 pada berbagai volume enzim selulase
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 351


5, 10, 15, 20 dan 25 ml selama waktu hidrolisis 5, 10, 15, 20 dan 25 jam adalah
sebagai berikut :

Gambar 1. Pengaruh Volume Enzim Terhadap Kadar Glukosa Dengan Waktu
Hidrolisis Selama 5 Jam.

Peningkatan kadar glukosa tersebut dilanjutkan dengan penambahan 20 ml enzim
selulase dimana didapatkan kadar glukosa sebesar 3,3120% dan terakhir kadar
glukosa tertinggi yang didapat pada waktu hidrolisis selama 5 jam yaitu pada
penambahan 25 ml enzim selulasedengan kadar sebesar 3,4224%. Kenaikan kadar
glukosa seiring dengan besarnya volume penambahan enzim selulase ini dikarenakan
banyaknya kadar enzim selulase mengakibatkan sisi aktif enzim untuk memecah
rantai selulosa menjadi glukosa semakin meningkat sehingga aktfitas enzim pun
meningkat.

Gambar 2. Pengaruh Volume Enzim Terhadap Kadar Glukosa Dengan Waktu
Hidrolisis Selama 10 Jam.

Berdasarkan data yang didapat dapat dilihat bahwa kadar glukosa mengalami
peningkatan dari penambahan volume enzim selulase terkecil hingga terbesar.
Menurut Setyawati,dkk 2011 ini dikarenakan jumlah Aspergillus niger yang
banyak disertai pula dengan kenaikan enzim yang dihasilkan. Jika aktivitas enzim
Waktu Hidrolisis 5 Jam
0,0000%
0,5000%
1,0000%
1,5000%
2,0000%
2,5000%
3,0000%
3,5000%
4,0000%
0 5 10 15 20 25 30
Volume Enzim
K
a
d
a
r

G
l
u
k
o
s
a
Series1
Waktu Hidrolisis 10 jam
0,0000%
0,5000%
1,0000%
1,5000%
2,0000%
2,5000%
3,0000%
3,5000%
4,0000%
4,5000%
0 5 10 15 20 25 30
Volume Enzim
K
a
d
a
r

G
l
u
k
o
s
a
Series1
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 352


meningkat dan jumlah substrat tetap tentu saja jumlah kadar glukosa yang dihasilkan
akan semakin tinggi.
Hal ini sesuai dengan kadar glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis selama
10 jam terhadap variasi volume enzim yang divariasikan. Hasil yang didapatkan yaitu
kadar glukosa sebesar 2,9808% untuk pemakaian enzim selulase sebasar 5 ml,
penambahan enzim selulase 10 ml kadar glukosa menjadi 3,0912%, penambahan
15ml enzim selulase didapat kadar glukosa sebesar 3,8280%, pada 20 ml enzim
selulase sebsar 3,9600% dan pada penambahan 25 ml enzim selulase didapatkan
kadar sebesar 4,0920%.

Gambar 3. Pengaruh Volume Enzim Terhadap Kadar Glukosa Dengan Waktu
Hidrolisis Selama 15 Jam.
Pada proses hidrolisis selama 15 jam trend yang terbentuk tidak begitu sempurna.
Pada penambahan enzim selulase sebesar 5 ml didapatkan kadar glukosa sebesar
3,8556%, pada 10 ml kadar glukosa turun menjadi 2,8%, kemudian pada volume 15
ml meningkat kembali menjadi 2,9%, kembali meingkat sebesar 3,6360% pada 20 ml,
dan meningkat lagi menjadi 4,4268% pada penambahan 25 ml enzim selulase.
Penurunan yang terjadi juga dapat dikarenakan proses hidrolisis selulosa
berlangsung melalui dua tahap yaitu degradasi selulosa menjadi selobiosa oleh endo-
-1,4-glukanase dan ekso--1,4 glukanase dilanjutkan dengan pemecahan selobiosa
oleh -1,4 glukosidase. Pada dasarnya aspergillus niger, jumlah -glukosidasenya
kurang dari yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa menjadi glukosa secara efisien
(Anwar, dkk., 2010), sehingga produk utama hidrolisisnya bukan glukosa melainkan
selobiosa.
Waktu Hidrolisis 15 Jam
0,0000%
0,5000%
1,0000%
1,5000%
2,0000%
2,5000%
3,0000%
3,5000%
4,0000%
4,5000%
5,0000%
0 5 10 15 20 25 30
Volume Enzim
K
a
d
a
r

G
l
u
k
o
s
a
Series1
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 353



Gambar 4. Pengaruh Volume Enzim Terhadap Kadar Glukosa Dengan Waktu
Hidrolisis Selama 20 Jam.

Hasil pengujian glukosa pada perlakuan variasi volume penambahan enzim
selulase sebanyak 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml, dan 25 ml selama 20 jam, didapatkan
kadar glukosa tertinggi sebesar 4,1412 % pada penambahan volume enzim selulase
sebanyak 15 ml, dan nilai kadar glukosa terendah pada penambahan enzim selulase 5
ml dengan kadar glukosa sebanyak 3,5640%. Hal ini disebabkan kemungkinan karena
lamanya waktu hidrolisis yang dilakukan dan juga banyaknya enzim selulase yang
ditambahkan sehingga enzim selulase memiliki aktifitas tertinggi untuk mendegradasi
selulosa.

Gambar 5. Pengaruh Volume Enzim Terhadap Kadar Glukosa Dengan Waktu
Hidrolisis Selama 25 Jam.

Terlihat dari hasil pengujian kadar glukosa yang didapat seperti pada grafik di
atas. Hasil pengujian kadar glukosa memang menunjukkan trend kenaikan nilai
glukosa seiring dengan meningkatnya penambahan enzim selulase. Dari grafik
didapatkan nilai tertinggi glukosa sebesar 4,7740% pada penambahan volume enzim
selulase sebanyak 25ml dan terendah pada volume enzim selulase 5 ml sebesar
3,5640%.
Menurut Dekker (1985) proses hidrolisis enzimatik menggunakan enzim selulase
yang diisolasi dari Aspergillus niger sangat dipengaruhi juga oleh waktu hidrolisis.
Semakin lama waktu yang dipakai untuk hidrolisis makan semakin banyak kadar
glukosa dihasilkan. Namun menurut Dekker, batas waktu untuk enzim selulase aktif
Waktu Hidrolisis 20 Jam
3,5000%
3,6000%
3,7000%
3,8000%
3,9000%
4,0000%
4,1000%
4,2000%
0 5 10 15 20 25 30
Volume Starter
K
a
d
a
r

G
l
u
k
o
s
a
Series1
Waktu Hidrolisis 25 Jam
0,0000%
1,0000%
2,0000%
3,0000%
4,0000%
5,0000%
6,0000%
0 10 20 30
Vlume Starter
K
a
d
a
r

G
l
u
k
o
s
a
Series1
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 354


dalam proses hidrolisis adalah selama Aspergillus niger mendapatkan substrat yang
cukup. Waktu Hidrolisis 25 jam menrupakan waktu yang paling optimal untuk
menghasilkan kadar glukosa tertinggi dari proses hidrolisis sampel yang
didelignifikasi menggunakan proses ozonolisis.
Jika ditinjau dari interaksi antara variasi waktu hidrolisis dengan volume enzim
selulase yang maksimal,maka hasil yang didapatkan adalah kadar glukosa tertinggi
yaitu pada waktu hidrolisis 25 jam sebesar 4,7740% dan terendah pada waktu
hidrolisis 5 jam yaitu sebesar 3,4224 pada penambahan volume enzim selulase
optimal sebanyak 25 ml.


Gambar 6. Pengaruh Volume Enzim Terhadap Kadar Glukosa Melalui Analisa
HPLC

Grafik di atas menunjukkan tren kenaikan dari perolehan kadar glukosa hasil
hidrolisis TKKS dari waktu hidrolisis selama 25 jam, dengan penambahan volume
enzim selulase yang brvariasi mulai dari kontrol (0 ml),15 ml dan 25 ml terus
mengalami peningkatan kadar glukosa. Hal ini bersesuaian dengan analisis kadar
glukosa yang dilakukan menggunakan metode luff schoorl diatas.
Jika dilihat pada grafik, didapatkan untuk 0 ml enzim selulase telah menghasilan
kadar glukosa sebesar 24 ppm hal ini menunjukkan bahwa sebelum proses
pretreatment atau delignifikasi TKKS menggunaan metode ozonolisis telah mampu
memotong sebagian kecil selulosa sehingga menghasilkan glukosa. Kemudian,
dilanjutkan dengan proses hidrolisis selama 25 jam dengan penambahan enzim selulas
sebanyak 15 ml, kadar glukosa meningkat menjadi 36 ppm, lalu jika ditambahkan
sebanyak 25 ml enzim selulase maka kadar glukosa meningkat menjadi sebesar 42
ppm.

4. KESIMPULAN
Proses hidrolisis enzimatik tandan kosong kelapa sawit dipengaruhi oleh lamanya
waktu hidrolisis dan volume enzim selulase yang ditambahkan. Pada proses hidrolisis
tandan kosong kelapa sawit yang didelignifikasi dengan metode ozonolisis pada laju
alir 2 L/menit selama 10 menit didapatkan kondisi yang terbaik pada penambahan
enzim selulase yang berasal dari Aspergillus niger sebanyak 25 ml pada pada waktu
hidrolisis selama 25 jam kadar glukosa terukur sebesar 4,7740%.

DAFTAR PUSTAKA
Kadar Glukosa dengan Analisa HPLC
0
10
20
30
40
50
0 10 20 30
volume enzimselulase
k
a
d
a
r

g
l
u
k
o
s
a
glukosa
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 355


Anwar, Nadiem., Widjaja, Arief., Winardi, Sugeng. 2010. Peningkatan Unjuk Kerja
Hidrolisis Enzimatik Jerami Padi MenggunakanCampuran Selulase Kasar dari
Trichoderma Reseei dan Aspergillus Niger. Jurusan Teknik Kimia. Institut
Teknologi Sepuluh November. Surabaya.
Aryafatta. 2008. Mengolah Limbah Sawit Menjadi Bioetanol.
http://www.aryafatta.com/2008/06/01/mengolah-limbah-sawit-jadi-bioetanol/.
Cubero, T.G., Gonzales-Benito, M. G. Indacoechea, I., Coca, M., Bolado, S. 2008.
Effect of ozonolisis pretreatment on enzymatic digestibility of wheat and rye
straw. Bioresource Technology. 100 (2009) 1608-1613.
Darnoko, 1992. Potensi Pemanfaatan Limbah Lignoselulosa Kelapa Sawit Melalui
Biokonversi. Berita Penelitian Perkebunan, 2 (2): 85 87.
Demirbas, A. 2005. Bioethanol from cellulosic materials: A renewable motor fuel
from biomass. Energy Sour. 27: 327337.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Statistik Kelapa Sawit 2009-2011. Departemen
Pertanian.
Dekker, FH Robert. 1985. Kinetics, Inhibition and Stability Properties of a
Commercials b-d Glucosidase (Cellobiase) Preparation of Aspergillus niger and
Its Suitability in the Hydrolysis of Lignocellulose. CSIRO. Division of Chemical
and Wood Technology. Australia
Hermiati, Euis., Mangunwidjaja, D., Candra Sunarti, T., Suparno, O., dan Praseta, B,.
2010. Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk
Produksi Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian, 24(4). 121-130.
Kumar Kumar, P., Barrett, M. Diane., Dewiche, MJ., and Stroeve, P. 2009. Methods
for Pretreatment of Lignocellulosic Biomass for Efficient Hydrolysis and Biofuel
Production. American Chemical Society.
Lee, JM., Jameel, H., Venditti, RA. 2010. Effect of Ozone and Autohydrolysis
Pretreatments on Enzymatic Digestibility of Coastal Bermuda Grass.
Bioresources 5(2) : 1084-1101
Setyawati, Harimbi., Rahman, NA. Pemanfaatan Kulit Pisang Bahan Baku Bioetanol
dengan Proses Hidrolisis Enzimatik. 2011. Jurusan Teknik Kimia. Institut
Teknologi Nasional Malang.
Taherzadeh, M.J., Karimi, K., 2007. Acid-based hydrolysis processes for ethanol from
lignocellulosic materials: a review. Bioresources 2, 707-738


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 356
TL-17

PEMISAHAN GETAH (Gum) PADA MINYAK NYAMPLUNG
(Crude Calophyllum Oil ) MENGGUNAKAN ZEOLIT DAN
KARBON AKTIF MENJADI RCO (Refine Calophyllum Oil )

Puspitahati
1
, Edward Saleh
1
, Eko Sutrisno
2
1
Dosen Tetap Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Inderalaya Km.32,
Inderalaya
2
Mahasiswa S1 Fakultas Pertanian Univesitas Sriwijaya, Jl. Raya Inderalaya Km.32, Inderalaya
*
Koresponensi Pembicara. Phone: 081958150336 , Email: pusphyt4@yahoo.com

ABSTRACT
Separation Gum In Nyamplung Oil (Crude Oil Calophyllum) Using Zeolite and
Activated Carbon Become RCO (Refine Calophyllum Oil). The objective of this
research was to separate the gum from the nyamplung oil and analyze characteristics
CCO and RCO. This research was conducted at the Laboratory of Agricultural
Chemistry, Department of Agricultural Technology, University of Sriwijaya, in
Januari to Juni 2011. This research use randomized block design factorial consists of
two-factor factorial treatment with each factor consists of three levels of treatment and
three replications. The first treatment factor was the type of purifier material
(activated carbon, activated carbon + zeolite and zeolite), and the second treatment
factor was the amount of bleach (1 gram, 5 gram, 10 grams). Parameters were
viscosity, resin content, moisture content, (free faty acid) FFA and color. The results
showed that the type zeolit activated carbon, each of it has significantly affect the
viscosity, water content, the content of the sap, FFA and color. Interaction purifier
material type and amount of bleach in a row had significant effect on viscosity, water
content, the content of the sap; but it had not significant effect on FFA. The results
showed that the combined treatment of activated carbon purifier material type +
zeolite (A2B3) is the best treatment with a value of 59.16 cst viscosity, resin content
of 0.91%, FFA 0.68%, 1.03% water content.
Keywords : Nyamplung Oil,Zeolite and Actived Carbon, biokerosene

ABSTRAK
Pemisahan Getah ( Gum ) Pada Minyak Nyamplung ( Crude Calophyllum Oil )
Menggunakan Zeolit Dan Karbon Aktif Menjadi RCO (Refine Calophyllum Oil).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memisahkan getah (gum) dari minyak
nyamplung dan menguji karakterstik CCO dan RCO. Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Kimia Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas
Sriwijaya. Waktu pelaksanaan pada bulan Januari sampai Juni 2011. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial terdiri dari dua faktor
perlakuan dengan masing-masing faktor terdiri dari tiga taraf perlakuan dan diulang
sebanyak tiga kali. Faktor perlakuan pertama adalah jenis bahan penjernih (karbon
aktif, karbon aktif+zeolit dan zeolit), dan faktor perlakuan kedua adalah jumlah
bahan penjernih (1 gram, 5 gram, 10 gram). Parameter yang diamati adalah
viskositas, kandungan getah, kadar air, (free faty acid) FFA dan warna. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa zeolit dan karbon aktif, masing-masing berpengaruh
nyata terhadap viskositas, kadar air, kandungan getah, FFA dan warna. Interaksi jenis
bahan penjernih dan jumlah bahan penjernih secara berturut-turut berpengaruh nyata
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 357
terhadap viskositas, kadar air, kandungan getah dan berpengaruh tidak berbeda nyata
terhadap FFA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan karbon
aktif+zeolit (A
2
B
3
) merupakan perlakuan terbaik dengan nilai viskositas 59,16 Cst,
kandungan getah 0,91%, FFA 0,68%, kadar air 1,03%.
Kata Kunci : Minyak Nyamplung,Zeolit dan Karbon Aktif,biokerosene
LATAR BELAKANG

Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) adalah salah satu jenis tanaman
yang dapat diolah menjadi bahan bakar nabati (Joker, 2004). Keunggulan dari
nyamplung sebagai bahan bakar nabati adalah bijinya mempunyai rendemen lebih
tinggi dibandingkan jenis tanaman lain (jarak pagar 40% hingga 60%, sawit 46%
hingga 54%, dan nyamplung 40% hingga 74%), selain itu produktivitas biji
nyamplung (20 ton/ha) lebih tinggi dibandingkan jarak pagar (5 ton/ha), sawit (6
ton/ha) dan tanaman nabati lainya (Departemen Kehutanan, 2008).
Menurut Rahman dan Prabaswara (2008), minyak nyamplung mempunyai
viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak tanah/kerosin dan daya
kapilaritas minyak nyamplung lebih rendah dari pada minyak tanah/kerosin.
Minyak nyamplung berwarna coklat kehijauan, kental, beraroma menyengat
seperti caramel. Minyak nyamplung yang akan digunakan sebagai biokerosene lebih
dahulu harus dihilangkan getahnya dengan proses degumming, karena keberadaan
getah akan menyebabkan minyak tidak bisa mengalir kesumbu bagian atas, demikian
pula pada aplikasi kompor bertekanan akan membuat nozzle menjadi tersumbat
(Rochandi, 2008).
Degumming bertujuan untuk memisahkan minyak dari getah/lendir yang
terdiri dari fostatida, protein, karbohidrat, residu, air dan resin. Proses degumming
dilakukan dengan penambahan asam fosfat sebesar 0,3 hingga 0,5% dari berat
minyak, sehingga akan terbentuk senyawa fosfatida yang mudah terpisah dari minyak.
Setelah minyak dipisahkan dari gum maka dapat dianalisa kadar FFA nya. Proses
pengolahan biodiesel sangat tergantung dari kadar asam lemak bebea (FFA) awal dari
minyak nyamplung setelah di degumming. Kadar FFA minyak nyamplung yang
loptimum adalah 20 :1. Hasil dari proses degumming akan memperlihatkan perbedaan
warna yang jelas dari minyak asalnya, yaitu berwarna jernih kemerah-merahan
(Departemen Kehutanan, 2008).
Pada penelitian sebelumnya bahan yang digunakan untuk degumming minyak
nyamplung adalah bentonit, namun karena tingginya harga bentonit maka diperlukan
bahan penjernih lain yang mampu menggantikan peran bentonit dalam proses
degumming. Bahan yang dapat digunakan dalam proses pemisahan getah adalah
karbon aktif dan zeolit. Menurut Prawira (2008), karbon aktif adalah karbon yang
diproses sedemikian rupa sehingga poriporinya terbuka, dengan demikian akan
mempunyai daya serap yang tinggi. Menurut Noor (2008), zeolit merupakan senyawa
yang dihasilkan dari proses hidrotermal mempunyai rongga (pori atau celah) dengan
permukaan bagian dalam kristal yang luas sehingga dapat menyerap zat lain. Bahan
tersebut dapat digunakan dalam proses degumming sehingga minyak nyamplung dapat
diaplikasikan secara optimal. Maka dari itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memisahkan getah pada minyak nyamplung dan menguji karakteristik CCO dan RCO.


BAHAN DAN METODE
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 358

A. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Pertanian, Jurusan
Teknologi Pertanian, Universitas Sriwijaya. Waktu pelaksanaan pada bulan Januari
hingga Juni 2011.

B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Beaker gelas, 2)
Chromameter, 3) Color reader, 4) Corong, 5) Desikator, 6) Erlenmeyer, 7) Gelas
ukur, 8) Hot plate, 9) Kertas saring, 10) Kamera digital, 11) Magnetic stirrer, 12)
Pipet tetes, 13) Pipet ukur, 14) Pengering vakum, 15) Saringan 80 mesh, 16) Shaker
bath, 17) Spatula, 18) Termometer, 19) Timbangan analitik, 20) vakum filter, dan 21)
Viskometer Ostwald.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) H
3
PO
4
, 2) Karbon
aktif, 3) Minyak nyamplung (CCO), 4) NaOH, 5) Zeolit.

C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial terdiri dari
2 faktor perlakuan dengan masing-masing faktor terdiri dari 3 taraf perlakuan dan
diulang sebanyak 3 kali. Setiap perlakuan menggunakan 100 ml minyak
nyamplung.Rincian faktor perlakuan adalah sebagai berikut :
Faktor A :
Jenis bahan pemisah getah
A
1
= karbon aktif
A
2
= karbon aktif + Zeolit
A
3
= Zeolit
Faktor B :
Konsentrasi bahan pemisah getah:
B1 = 1%
B2 = 5 %
B3 = 10 %


D. Cara Kerja
Cara kerja pemisahan getah minyak nyamplung adalah sebagai berikut :
1. Minyak nyamplung (CCO) dimasukkan ke dalam gelas ukur sebanyak 100 ml.
2. H
3
PO
4
sebanyak 0,1 ml ditambahkan kedalam minyak nyamplung aduk 20 menit,
pada suhu 80
o
C, diamkan selama 24 jam kemudian dekantasi.
3. NaOH (0,8%) (b/b) ditambahkan kedalam minyak nyamplung, aduk selama 20
menit pada suhu 80
o
C
4. Zeolit di hancurkan, saring zeolit dan karbon aktif menggunakan saringan 80 mesh.
Zeolit dan karbon aktif ditambahkan pada minyak nyamplung. Panaskan pada
suhu 80
o
C sambil diaduk selama 20 menit.
5. Minyak nyamplung disaring dengan vacum filter.
6. Minyak nyamplung (RCO) dianalisis pada suhu 40
o
C, viskositas, pH, kadar air,
intensitas warna dan gum (fosfolipid).

E. Parameter yang diamati
1. Viskositas
Uji kekentalan menggunakan alat pengukuran kekentalan yaitu viscometer
ostawald dengan metode (ASTM D 445) Hitung menggunakan rumus berikut:


................................................................................. (1)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 359
2. FFA (Free Faty Acid)
Penentuan nilai FFA (Free Faty Acid) adalah sebagai berikut:
1. Timbang bahan berupa larutan sebanyak 28,2 gram masukan kedalam
erlenmeyer, tambahkan 50 ml alkohol netral dan 2 ml indikator phenophthalin
(PP).
2. Titrasilah dengan larutan NaOH hingga warna merah jambu dan tidak hilang
selama 30 menit.
3. Hitung menggunkan rumus:
%FFA = x 100
3. Intensitas Warna (Chromameter)
Analisis warna menggunakan alat chromameter (Apriyanto, 1989

4. Kadar Air
Pengukuran kadar air berdasarkan AOAC (1995), adalah sebagai berikut:
% 100
awal minyak Berat
) dipanaskan setelah minyak berat - awal minyak erat (
KA % x
b

5. Kandungan getah (Gum)
Pengukuran kandungan getah berdasarkan Puspitahati et al (2008), sebagai
berikut:
% 100
digunakan yang nyamplung minyak Berat
saring kertas berat - getah) saring kertas (berat
Getah % x



Getah yang diuji adalah berupa Fosfolipid. Fosfolipid merupakan molekul yang mirip
dengan lemak, tetapi molekulnya hanya memiliki dua ekor asam lemak. Selain itu,
gugus hidroksil ketiganya berikatan dengan gugus fosfat bermuatan negatif. Dalam
kaitannya dengan air, fosfolipid memiliki perilaku yang unik. Ekor yang dimilki oleh
molekul ini bersifat hidrofibik (takut air) sedangkan gugus fosfat yang membentuk
kepala memilki sifat hidrofilik (senang air).


HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Karakteristik awal minyak nyamplung (CCO)

Karakteristik awal minyak nyamplung (CCO) sebelum degumming disajikan
pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik awal minyak nyamplung (CCO)
Analisa karakteristik Jumlah
Viskositas (cSt) 132,17
Kandungan getah (%) 7,72
Kadar air (%) 4,17
Warna Blue green
FFA (%) 3,05

Dari Tabel 1 terlihat nilai kandungan getah 7,72%, viskositas 132,17 cSt dan
kadar air sebesar 4,17% yang cukup tinggi, FFA 3,05 % menyebabkan korosi
................... (2)
............... (3)
..........................(4)

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 360
sehingga minyak nyamplung tidak dapat digunakan langsung pada kompor karena
dapat menyumbat kompor. Viskositas yang cukup tinggi menyebabkan daya
kapilaritas rendah, hal tersebut juga dapat menyebabkan proses pembakaran yang
tidak sempurna.

B. Viskositas

Nilai rata-rata pengujian viskositas untuk setiap kombinasi perlakuan disajikan
pada Gambar 1.












Gambar 1. Nilai rata-rata viskositas (RCO) pada suhu 40
o
C (cSt)
Gambar 1 menunjukkan bahwa viskositas minyak nyamplung yang dihasilkan
berkisar antara 59,16 cSt hingga 63,02 cSt. Nilai viskositas tertinggi terdapat pada
kombinasi perlakuan A
1
B
1
, sedangkan nilai viskositas terendah terdapat pada
kombinasi perlakuan . Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa viskositas
minyak nyamplung dipengaruhi sangat nyata pada taraf 5% oleh jenis bahan pemisah
getah, konsentrasi dan interaksi kedua perlakuan. Gambar 1 menunjukkan bahwa
minyak nyamplung dengan pemisahan karbon aktif+zeolit (A
2
) memiliki viskositas
terendah. Hal ini dikarenakan sifat adsorben pada bahan pemisah getah A
2
(karbon
aktif+zeolit) lebih besar dibanding A
1
(karbon aktif) dan A
3
(zeolit). Zeolit dan
karbon aktif dengan daya adsorben yang tinggi mampu menyerap molekul berupa
kotoran, air dan getah lebih banyak sehingga minyak nyamplung yang dihasilkan
memiliki nilai viskositas yang lebih rendah.

C. Kandungan getah

Nilai rata-rata pengujian kandungan getah pada minyak nyamplung yaitu
getah/lendir yang terdiri dari fostatida, protein, karbohidrat, residu, air dan resin.
Untuk setiap kombinasi perlakuan disajikan pada Gambar 2.










Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 361



Gambar 2. Nilai kandungan getah (RCO) (%)

Gambar 2 menunjukkan bahwa kandungan getah tertinggi terdapat pada
kombinasi perlakuan A
3
B
1
, sedangkan nilai kandungan getah terendah terdapat pada
kombinasi perlakuan A
2
B
3 .
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa
kandungan getah dipengaruhi sangat nyata oleh jenis bahan pemisah getah dan
konsentrasi bahan pemisah, sedangkan interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata
terhadap nilai kandungan getah yang dihasilkan. Berdasarkan hasil uji lanjut BNJ
menunjukkan bahwa perlakuan A
2
(karbon aktif+zeolit) berbeda nyata dibanding
dengan perlakuan A
1
(karbon aktif) dan A
3
(zeolit). Nilai kandungan getah terendah
dihasilkan oleh karbon aktif+zeolit. Jenis bahan pemisah getah yang berupa campuran
karbon aktif dan zeolit dapat menghasilkan minyak nyamplung yang lebih jernih dan
kepekatannya berkurang sehingga memungkinkan untuk menghasilkan minyak
nyamplung yang bersih dari getah dan kotoran.
Minyak nyamplung dengan konsentrasi bahan pemisah getah 10%
menghasilkan minyak nyamplung dengan kandungan getah yang lebih sedikit.
Semakin banyak karbon aktif dan zeolit yang dipakai dalam pemisahan getah maka
daya serap bahan tersebut akan semakin besar dan kandungan getah yang tersisa pada
minyak nyamplung akan lebih sedikit. Karakteristik minyak nyamplung dengan
kandungan getah yang lebih rendah memungkinkan untuk menghasilkan viskositas
yang rendah sehingga daya kapilaritas yang lebih tinggi.

D. FFA (Free Faty Acid)
Nilai rata-rata pengujian FFA minyak nyamplung untuk setiap kombinasi
perlakuan disajikan pada Gambar 3.













Gambar 3. Nilai rata-rata FFA (%) pada (RCO)

Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai FFA minyak nyamplung yang dihasilkan
antara 0,68% hingga 1,1% lebih rendah dibanding nilai FFA awal sebesar 3,05%.
Nilai FFA minyak nyamplung terendah terdapat pada kombinasi perlakuan A
3
B
3
,
sedangkan nilai FFA tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan A
1
B
1
. Hasil analisis
keragaman menunjukkan bahwa jenis bahan pemisah getah dan konsentrasi bahan
pemisah getah berpengaruh nyata terhadap nilai FFA minyak nyamplung. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan pemisah getah yang diberikan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 362
maka kandungan FFA semakin menurun. Viskositas yang rendah dengan kandungan
getahnya yang rendah menyebabkan berkurangnya korosi pada minyak nyamplung
sehinggi nilai FFA semakin rendah.



E. Kadar Air
Nilai rata-rata pengujian kadar air minyak nyamplung untuk setiap kombinasi
perlakuan disajikan pada Gambar 4.









Gambar 4. Nilai rata-rata kadar air (RCO) (%)

Gambar 4 menunjukkan bahwa kadar air minyak nyamplung yang dihasilkan
berkisar antara 1,03% hingga 1,98% lebih rendah dibanding nilai kadar air awal
sebesar 4,17%. Nilai kadar air tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan A
1
B
1
,
sedangkan nilai kadar air terendah terdapat pada kombinasi perlakuan A
2
B
3
. Hasil
analisis keragaman menunjukkan bahwa kadar air dipengaruhi sangat nyata oleh
jenis bahan pemisah getah, konsentrasi bahan pemisah getah dan interaksi kedua
perlakuan.

F. Warna minyak nyamplung

Perlakuan A1B3 adalah kombinasi perlakuan terbaik yang dihasilkan pada
tingkat kecerahan minyak nyamplung sebesar 62, Semakin banyak jumlah zeolit dan
karbon aktif yang diberikan pada minyak nyamplung maka semakin besar nilai
lightness.
Berdasarkan hasil pengukuran, nilai Chroma minyak nyamplung adalah
berkisar antara 32 sampai dengan 61. Nilai chroma tertinggi dicapai oleh kombinasi
perlakuan A
1
B
1
(karbon aktif sebanyak 1 gram), sedangkan nilai chroma terendah
terdapat pada kombinasi perlakuan A
1
B
3
(karbon aktif sebanyak 10 gram).
Hasil pengukuran nilai hue pada minyak nyamplung sebelum degumming
adalah 202 yang tergolong dalam warna blue green (BG), sedangkan nilai hue
tertinggi pada minyak nyamplung setelah degumming adalah 73 tergolong yellow red
(YR), dan nilai hue terendah pada minyak nyamplung setelah degumming adalah 50
tergolong red (R). Formulasi bahan pemisah getah A
3
memiliki nilai hue rata-rata
tertinggi sebesar 67 tergolong yellow red (YR), sedangkan nilai hue rata-rata pada A
1

dan A
2
adalah sebesar 64 tergolong yellow red (YR). Semakin banyak bahan pemisah
getah yang dimasukan maka minyak nyamplung akan lebih jernih.

G. Perbandingan Karakteristik Bahan Bakar Minyak
Perbandingan karakteristik fisik minyak nyamplung dengan bahan bakar lain
di sajikan dalam Tabel 2.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 363
Tabel 2. Perbandingan karakteristik fisik minyak nyamplung dengan bahan bakar lain.
Parameter M. Nyamplung Kerosene Solar
Massa jenis pada 40
o
C (Kg/m
3)
940 804 820 - 860
Viskositas kinematika pada 40
o
C (cSt) 59 2,7 2,0 4,5
Titik nyala (
o
C) 151 Min. 36 Min. 55
Titik didih (
o
C) 150 200 370
Nilai kalor (Kcal/kg) 9251 8359 10700
Sumber : Dirjen minyak dan gas bumi (1979)

Dari data sekunder yang diberikan diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi
bobot molekul suatu minyak maka massa jenis semakin tinggi. Perbedaan tersebut
dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan air dalam minyak nyamplung yang dapat
menghidrolisis trigiserida sehingga bilangan asam tinggi. Bilangan asam
menunjukkan berat asam lemak yang terdapat dalam minyak. Semakin tinggi
kandungan asam lemak tidak jenuh dalam minyak nyamplung memungkinkan
terjadinya oksidasi sehingga bilangan asam meningkat.
Nilai viskositas kinematik minyak nyamplung sebesar 59 cSt (centi Stoke atau
mm
2
/s) sangat tinggi dibandingkan dengan viskositas minyak tanah dan solar.
Sehingga perlu ada perlakuan khusus dalam pengaplikasian biokerosene tersebut.
Titik didih dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur, tekanan yang besar
dapat menaikan titik didih. Pada tabel 2 menunjukkan bahwa titik nyala minyak
nyamplung adalah sebesar 151
o
C. Bahan bakar yang tidak mudah menyala oleh
percikan api akan lebih aman dari kebakaran. Namun ada kelemahan dalam
penggunaan minyak nyamplung tersebut yaitu saat penyulutan akan membutuhkan
waktu yang lebih lama dibandingkan dengan waktu penyulutan pada solar dan
kerosin. Tabel 2 menunjukkan perbandingan nilai kalor minyak nyamplung, kerosene
dan solar. Solar memiliki nilai kalor yang lebih tinggi dari minyak nyamplung.
Meskipun demikian, kebutuhan kalor dari minyak nyamplung lebih rendah daripada
kompor yang menggunakan solar.


KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis dan berat bahan pemisah getah berpengaruh nyata terhadap viskositas,
kandungan getah, kadar air, dan kandungan FFA.
2. Minyak nyamplung dengan menggunakan karbon aktif+zeolit sebanyak 10 gram
(A
2
B
3
) merupakan perlakuan terbaik dengan viskositas 59,16 cSt, kandungan getah
0,91 %, FFA 0,68% dan kadar air 1,03% dan warna yellow red (YR).

B. Saran
Disarankan untuk penelitian lebih lanjut mengenai pemisahan getah pada
minyak nyamplung menggunakan zeolit dan karbon aktif dengan ukuran yang
bervariasi untuk mendapatkan karakteristik yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 364

Canakci, M. dan J. V. Gerpen. 2001. Biodiesel from Oil and Fat with high Free
Fatty Acid. Trans Am. Soc. Automotive Engine. 44:1429-1436.

Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral. 2008. Biji Nyamplung sebagai
Sumber Energi Alternatif. (Online) (www.esdm.go.id. Diakses pada tanggal 10
Oktober 2010).

Departemen kehutanan. 2008. Rencana Aksi Pengembangan Energi Alternative
Berbasis Tanaman Nyamplung 2010-2014.

Fauziah. 2008. Analisis Bahan Bakar Minyak (BBM). PT Pertamina (Persero).

Joker, D. 2004. Calophyllum inophyllum L. Seed Leaflet No 87 Agustus 2004. Forest
& Landscape Denmark. Denmark.

Kurnaidi, M. Dan Hasani, A. 1996. Studi Pembuatan Karbon Aktif dari arang kayu.
Prosiding pemaparan Hasil Litbang Ilmu Pengetahuan teknik. Bandung. 14-16
Oktober 1996. Pp 123-129.

Mashyud. 2008. Tanaman Nyamplung Berpotensi sebagai Energi Biofuel. Kepala
Pusat Informasi Kehutanan. Departemen Kehutanan.

Puspitahati dan E. Saleh. 2008. Modifikasi Alat Pengering Tipe Plat Berongga
Dengan Menggunakan Sumber Energi Minyak Nyamplung. Laporan Penelitian
Dana Dikti. Unsri.

Sari, M.N. 2011. Penggunaan Minyak Nyamplung (Callophyllum Inophylum) Sebagai
Sumber Energi Pengeringan Kunyit (Curcuma Domestic). Skripsi S1.
Universitas Sriwijaya. Palembang.
Wiradini, G. Agung, D.K. dan Ariyanto, N.P. 2007. Pembuatan Adsorben Dari Zeolit
Alam Dengan Karakteristik Adsorption Properties Untuk Kemurnian Bioetanol.
ITB. Bandung.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 365
TL-18

PENGARUH MASSA RAGI DAN LAMA FERMENTASI
TERHADAP PEMBUATAN ETANOL DARI ENCENG
GONDOK (Eicchornia Crassipes)

Riezky Amanda, Miftahul Djana, Muhammad Said
*

Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik
Universitas Sriwijaya
Jl. Raya Palembang-Prabumulih Km.32-Indralaya Ogan Ilir 30662
Email : ms_lemlit@yahoo.com

Abstrak

Bioetanol adalah bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan yang memiliki
keunggulan mampu menurunkan emisi CO
2
. Salah satu pembuatan bioeanol yaitu menggunakan
eceng gondok yang mengandung lignoselulosa. Penelitian dilakukan dengan penyiapan Eceng gondok
yang telah di cuci, dipotong dan dikeringkan. Tahap pertama Eceng Gondok didelignifikasi dengan
menggunakan larutan natrium hidroksida (NaOH) 0,02 M. Tahap kedua dihidrolisis menggunakan
asam sulfat (H
2
SO
4
) 0,02 M. Tahap ketiga difermentasi dengan variasi waktu (24-192 jam) dan
dengan variasi massa ragi roti (2 gram, 4 gram, dan 6 gram). Etanol akan dihasilkan setelah
dipisahkan dengan menggunakan proses destilasi. Kemudian analisa kadar glukosa dan kadar etanol
menggunakan alat kromatografi gas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan etanol
tertinggi yaitu sebesar 4,05% volume dihasilkan dari fermentasi 168 jam dengan massa ragi roti 6
gram.
Kata kunci : eceng gondok, lignoselulosa, bioetanol, delignifikasi, hidrolisis, fermentasi.
Abstrack
Bioethanol is alternative fuel thats processed from biomass has advantage of able to reduce
CO
2
emissions. One manufacture of bioethanol is using Eicchornia Crassipes, it has containing
lignocelluloses. Research conducted with washed, cut, and dried preparation. The first stage of
Eicchornia Crassipes is delignificated by using sodium hydroxide (NaOH) 0,02 M. The second stage
is hydrolyzed using sulfuric acid (H
2
SO
4
) 0,02 M. And the third stage is fermented with the variation
of time (24-192 hours) and the mass of yeast bread (2 grams, 4 grams and 6 grams). Ethanol will be
produced after separated using destilation process, and finally glucose and ethanol analysis using
gas chromatograph. Results showed that highest ethanol contained at 4.05% volume is produced
from the fermentation of 168 hours with 6 grams yeast bread.
Keyword : Eicchornia Crassipes, lignocellulose, bioethanol, delignification, hydrolysis,
fermentation.








Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 366
1.Pendahuluan
Semakin meningkatnya jumlah
penduduk dan perkembangan teknologi yang
signifikan menyebabkan peningkatan
kebutuhan dan konsumsi bahan bakar minyak
(BBM) yang merupakan sumber daya alam
yang tidak dapat diperbaharui. Meningkatnya
konsumsi BBM menyebabkan langkanya
BBM dibeberapa tempat. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan Dirjen Minyak dan Gas
Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), Evita H Legowo,
menyatakan bahwa kelangkaan BBM yang
terjadi di beberapa tempat karena adanya
konsumsi BBM yang naik tinggi. Konsumsi
naik menjadi 69.310 kiloliter per hari pada
Juni 2011.
Salah satu upaya pemerintah dalam
mengatasi hal ini dengan mengeluarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan
Energi Nasional mengenai pengembangan
sumber energi alternatif sebagai pengganti
BBM (Prihandana, 2007). Kebijakan
menjelaskan bahwa sumber energi alternatif,
sepeti bahan bakar nabati, dapat digunakan
sebagai pengganti BBM. Dengan
digunakannya bahan bakar dapat
diperbaharui diharapkan kebutuhan akan
energi di dalam negeri dapat dipenuhi dan
kelangkaan BBM dapat dihindari.
Salah satu alternatif bahan bakar
nabati adalah bioetanol. Penggunaan
bioetanol sebagai bahan bakar alternatif,
sebenarnya telah lama dikenal. Pada tahun
1880-an Henry Ford membuat mobil
quadrycycle dan sejak tahun 1908 mobil Ford
model T telah dapat menggunakan
(Bio)etanol sebagai bahan bakarnya.. Namun
penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar
nabati kurang ditanggapi pada waktu
tersebut, karena keberadaan bahan bakar
minyak yang murah dan melimpah.
Bioetanol berasal dari nabati yang
melimpah di Indonesia. Bioetanol dibuat dari
bahan-bahan bergula atau berpati seperti
serbuk kayu, singkong atau ubi kayu, tebu,
nira, sorgum, nira nipah, ubi jalar, eceng
gondok dan lain-lain. Nama-nama tanaman
diatas sangat mudah ditemui di indonesia.
Tanaman diatas banyak digunakan sebagai
pangan tetapi ada juga yang dianggap sebagai
limbah. Dengan tersediannya pati yang
melimpah maka bietanol merupakan bahan
bakar alternatif yang sanga potensial selain
itu bietanol lebih ramah lingkungan
dibandingkan dengan bahan bakar fosil,
karena polusi yang dihasilkan lebih sedikit

Tabel 1. Sifat Fisika Etanol
N
o
Properties Nilai
1 Berat molekul,
gr/mol
46,1
2 Titik beku,
o
C -114,1
3 Titik didih normal,
o
C
78,32
4 Densitas, g/ml 0,7983
5 Viskositas pada
20
o
C, mPa.s (Cp)
1,17
6 Panas penguapan
normal, J/gr
839,31
7 Panas pembakaran
pada 25
o
C, J/gr
29676,
6
8 Panas jenis pada
25
o
C, J (gr.
o
C)
2,42
9 Nilai oktan 106
111
1
0
Wujud pada suhu
kamar
Cair
1
1
Dicampur dengan
Natrium
Berea
ksi
1
2
kelarutan dalam air Larut
sempu
rna
1
3
Dapat terbakar Ya
(Sumber : Kirk-Othmer, 1967)
Bahan baku bioetanol yang dianggap
sampah adalah eceng gondok. Eceng gonok
keberadannya di masyarakat dianggap
sebagai tanaman penganggu karena salah satu
penyebab dari pendangkalan sungai, tetapi
dibalik itu eceng gondok dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku bioetanol. Eceng gondok
mengandung 53% lignoselulosa yang dapat
dimanfaatkan sebagai bioeanol, tetapi Eceng
gondok di masyarakat hanya dimanfaatkan
sebagai kerajinan. Oleh sebab itu, penulis
mengangkat judul tersebut sebagai penelitian
untuk meningkatkan penggunaan bioetanol
dari eceng gondok yang dapat digunakan
sebagai sumber energi terbarukan dan
memacu berkembangnya industri pembuatan
bioetanol.
Eceng gondok atau enceng gondok
(Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis
tumbuhan air mengapung. Eceng gondok
pertama kali ditemukan secara tidak sengaja
oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich
Philipp von Martius, seorang ahli botani
berkebangsaan Jerman pada tahun 1824
ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai
Amazon Brasil. Eceng gondok memiliki
kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga
tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang
dapat merusak lingkungan perairan. Eceng
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 367
gondok dengan mudah menyebar melal ui
saluran air ke badan air lainnya.
Eceng gondok ternyata juga
mempunyai beberapa manfaat antara lain
sebagai bahan untuk kerajinan, sebagai
adsorben logam yang berbahaya dan juga
sebagai pakan ternak, namun sampai
sekarang eceng gondok tetap dianggap
sebagai tanaman pengganggu. Oleh karena
itu banyak upaya dilakukan untuk
memberantasnya walaupun amat sulit karena
pertumbuhannya yang amat cepat. Eceng
gondok sebenarnya mengandung
lignoselulosa, sedangkan selulosa merupakan
bahan untuk pembuatan kertas, selain itu,
dengan kandungan selulosanya,
Tabel 2. Komposisi Kimia Eceng Gondok
Senyawa Kimia Persentase (%)
Selulosa 64,51
Pentosa 15,61
Lignin 7,19
Silika 5,56
Abu 12
(Sumber : Enny Kriswiyanti , 2009)

Eceng gondok bisa juga digunakan
sebagai bahan pembuatan bioetanol yang
sekarang ini amat diperlukan untuk mengatasi
berkurangnya produksi minyak dunia. Pada
proses pembuatan kertas maupun bioetanol
dari bahan berselulosa ada tahap yang harus
dilakukan yaitu pemisahan senyawa lignin
yang terkandung di dalamnya sehingga
diperoleh selulosanya
Proses yang dilakukan pada penelitian
pembuatan bietanol ini yaitu delignifikasi,
hidrolisis asam, fermentasi alcohol dan
evaporasi.
1. Delignifikasi
Metode perlakuan kimia yang umum
menggunakan asam lemah dan larutan basa
untuk proses delignifikasi. Delignifikasi atau
pretreatment biomassa lignoselulosa harus
dilakukan untuk mendapatkan hasil yang
tinggi di mana penting untuk pengembangan
teknologi biokonversi dalam skala
pretreatment merupakan tahapan yang
banyak memakan biaya dan berpengaruh
besar terhadap biaya keseluruhan proses.
Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula
yang diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa
pretreatment kurang dari 20 %, sedangkan
dengan pretreatment dapat meningkat
menjadi 90 % dari hasil teoritis. Tujuan dari
delignifikasi adalah untuk membuka struktur
lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih
mudah diakses oleh enzim yang memecah
polimer polisakarida menjadi monomer gula.
2. Hidrolisis
Pada proses pembuatan etanol dengan
bahan baku selulosa, dilakukan proses
hidrolisis terlebih dahulu, hal ini bertujuan
untuk mengubah selulosa menjadi glukosa
(dengan bantuan air dan asam). Hidrolisis
adalah suatu proses kimia yang menggunakan
H
2
O sebagai pemecah suatu persenyawaan
termasuk inversi gula, saponifikasi lemak dan
ester, pemecahan protein dan
reaksi Grignard. H
2
O sebagai zat pereaksi
dalam pengertian luas termasuk larutan asam
dan basa (dalam senyawa organik, hidrlisis,
netralisasi).
3. Fermentasi
Fermentasi adalah ilmu yang
dianggap sangat tua karena semenjak zaman
dahulu telah banyak dilakukan pembuatan
makanan dan minuman yang merupakan hasil
fermentasi. Seperti di Yunani, bangsa ini
telah lama mengenal proses fermentasi untuk
pembuatan minuman.
Pada zaman dahulu, orang-orang
memperbaiki mutu produksi fermentasi
dengan cara coba-coba, tanpa menyadari
mutu sesungguhnya tergantung kepada
penyediaan atau perbaikan kondisi bagi
pertumbuhan mikroorganisme sebagai pelaku
fermentasi. Barulah setelah pasteur menelaah
peranan mikroorganisme dalam proses
fermentasi pada pembuatan anggur, maka
orang-orang menjadi mengerti bahwa
mikroorganisme itulah yang menyebabkan
terjadinya fermentasi.
Fermentasi alkohol adalah proses
penguraian karbohidrat menjadi etanol dan
CO
2
yang dihasilkan oleh aktifitas suatu jenis
mikroba yang disebut khamir dalam keadaan
anaerob (Prescott dan Dunn, 1959).
Perubahan dapat terjadi jika mikroba tersebut
bersentuhan dengan makanan yang sesuai
bagi pertumbuhannya. Pada proses fermentasi
biasanya tidak menimbulkan bau busuk dan
biasanya menghasilkan gas karbondioksida.
Dalam pengolahan makanan atau
minuman penyegar, perlakuan fermentasi
mempunyai beberapa tujuan :
1. Memungkinkan nilai gizi bahan makanan.
2. Memperpanjang daya simpan bahan
makanan.
3. Meningkatkan nilai ekonomi bahan
makanan.
Secara ringkas seluruh rangkaian
reaksi yang terjadi adalah hidrolisis pati atau
polisakarida menjadi maltosa (disakarida)
kemudian dihidrolisis menjadi glukosa,
selanjutnya diubah menjadi alkohol dan gas
karbondioksida oleh Saccharomyces
cerevisae.
(C
12
H
20
O
10
) n n (C
12
H
22
O
11
)
Pati Maltosa
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 368
C
12
H
22
O
11
+ H
2
O C
6
H
12
O
6
+
C
6
H
12
O
6
Maltosa Air Glukosa Glukosa
C
6
H
12
O
6
2 C
2
H
5
OH + 2
CO
2

Glukosa (Saccharomyces Cerevisae)
Etanol
Reed et al (1982) mengatakan
bahwa untuk proses fermentasi sering
digunakan bahan-bahan yang diperoleh dari
alam dan biomass. Bahan baku yang dapat
digunakan untuk menghasilkan alkohol
antara lain :
1. Dari sakarin seperti : gula tebu, gula bit,
molase dan sari buah.
2. Dari pati-patian seperti : jagung,
gandum, padi, kentang, umbi-umbian.
3. Dari selulosa seperti : kayu, bonggol
pisang.
Meskipun pada dasarnya fermentasi
dapat langsung menggunakan enzim, tetapi
sampai saat ini industri fermentasi masih
memanfaatkan mikroorganisme, antara lain
karena cara ini jauh lebih mudah dan murah.
Kondisi yang harus dikontrol selama
fermentasi adalah :
1. Injeksi yeast
2. Sterilisasi larutan mollase
3. Penambahan zat makanan untuk yeast
4. pH dan Temperatur

FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI FERMENTASI
Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses fermentasi untuk menghasilkan etanol
adalah: sumber karbon, gas karbondioksida,
pH substrat, nutrien, temperatur, dan oksigen.
pH
pH dari media sangat mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme. Setiap
mikroorganisme mempunyai pH minimal,
maksimal, dan optimal untuk
pertumbuhannya. Untuk yeast, pH optimal
untuk pertumbuhannya ialah berkisar antara
4,0 sampai 4,5. Pada pH 3,0 atau lebih rendah
lagi fermentasi alkohol akan berjalan dengan
lambat (Volk, 1993).
Nutrien
Dalam pertumbuhannya mikroba
memerlukan nutrient. Nutrien yang
dibutuhkan digolongkan menjadi dua yaitu
nutrien makro dan nutrien mikro. Nutrien
makro meliputi unsur C, N, P, K. Unsur C
didapat dari substrat yang mengandung
karbohidrat, unsur N didapat dari
penambahan urea, sedang unsur P dan K dari
pupuk NPK (Halimatuddahliana, 2003).
Unsur mikro meliputi vitamin dan mineral-
mineral lain yang disebut trace element
seperti Ca, Mg, Na, S, Cl, Fe, Mn, Cu, Co,
Bo, Zn, Mo, dan Al (Jutono, 1972).
Temperatur
Mikroorganisme mempunyai temperatur
maksimal, optimal, dan minimal untuk
pertumbuhannya. Temperatur optimal untuk
yeast berkisar antara 25-30 oC dan
temperatur maksimal antara 35-47 oC.
Beberapa jenis yeast dapat hidup pada suhu
110 oC. Temperatur selama fermentasi perlu
mendapatkan perhatian, karena di samping
temperatur mempunyai efek yang langsung
terhadap pertumbuhan yeast juga
mempengaruhi komposisi produk akhir. Pada
temperatur yang terlalu tinggi akan
menonaktifkan yeast. Pada temperatur yang
terlalu rendah yeast akan menjadi tidak aktif.
Selama proses fermentasi akan terjadi
pembebasan panas sehingga akan lebih baik
apabila pada tangki fermentasi dilengkapi
dengan unit pendingin (Fardias, 1988).
Oksigen
Berdasarkan kemampuannya untuk
mempergunakan oksigen bebas,
mikroorganisme dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu: aerob apabila untuk
pertumbuhannya mikroorganisme
memerlukan oksigen, anaerob apabila
mikroorganisme akan tumbuh dengan baik
pada keadaan tanpa oksigen, dan fakultatif
apabila dapat tumbuh dengan baik pada
keadaan ada oksigen bebas maupun tidak ada
oksigen bebas. Sebagian besar yeast
merupakan mikroorganisme aerob. Yeast dari
kultur yang memakai aerob akan
menghasilkan alkohol dalam jumlah yang
lebih besar apabila dibandingkan dengan
yeast kultur yang tanpa aerasi. Akan tetapi
efek ini tergantung yeast yang dipergunakan
(Fardias, 1988).
4. Evaporasi
Penguapan atau evaporasi adalah proses
perubahan molekul di dalam keadaan cair
(contohnya air) dengan spontan menjadi gas
(contohnya uap air). Proses ini adalah
kebalikan dari kondensasi.
Evaporasi merupakan perpindahan
kalor ke zat cair mendidih yang sangat sering
ditemukan sehingga biasanya ditangani
sebagai satu operasi tersendiri. Tujuan
evaporasi yaitu untuk memekatkan larutan
yang terdiri dari zat terlarut yang tak mudah
menguap dan pelarut yang mudah menguap.
Evaporasi dilaksanakan dengan menguapkan
sebagian dari pelarut sehingga didapatkan
larutan cair pekat yang konsentrasinya lebih
tinggi. Evaporator adalah sebuah alat yang
berfungsi mengubah sebagian atau
keseluruhan sebuah pelarut dari sebuah
larutan dari bentuk cair menjadi uap.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 369
Evaporator mempunyai dua prinsip dasar,
untuk menukar panas dan untuk memisahkan
uap yang terbentuk dari cairan.
Evaporator umumnya terdiri dari
tiga bagian, yaitu penukar panas, bagian
evaporasi (tempat di mana cairan mendidih
lalu menguap), dan pemisah untuk
memisahkan uap dari cairan lalu dimasukkan
ke dalam kondenser (untuk
diembunkan/kondensasi) atau ke peralatan
lainnya. Hasil dari evaporator (produk yang
diinginkan) biasanya dapat berupa padatan
atau larutan berkonsentrasi. Larutan yang
sudah dievaporasi bisa saja terdiri dari
beberapa komponen volatil (mudah
menguap). Evaporator biasanya digunakan
dalam industri kimia dan industri makanan.
Evaporator dibagi menjadi beberapa jenis,
yaitu:
1. Submerged combustion
evaporator adalah evaporator yang
dipanaskan oleh api yang menyala di
bawah permukaan cairan, dimana gas
yang panas bergelembung melewati
cairan.
2. Direct fired evaporator adalah
evaporator dengan pengapian langsung
dimana api dan pembakaran gas
dipisahkan dari cairan mendidih lewat
dinding besi atau permukaan untuk
memanaskan.
3. Steam heated evaporator adalah
evaporator dengan pemanasan stem
dimana uap atau uap lain yang dapat
dikondensasi adalah sumber panas
dimana uap terkondensasi di satu sisi
dari permukaan pemanas dan panas
ditranmisi lewat dinding ke cairan yang
mendidih.

2. Metodologi
Penelitian dilakukan dengan
memotong eceng gondok kemudian di
keringkan di dalam oven dengan suhu 80C
selama 24 jam. Eceng gondok kering
diblender untuk menjadikannya lebih kecil.
Lalu menimbang sebanyak 30 gram eceng
gondok, memasukkan ke dalam Erlenmeyer
500 ml bersama dengan 100 ml NaOH 4%
dan menutup rapat Erlenmeyer dengan gabus
kemudian dipanaskan dalam autoclave pada
suhu 120
o
C selama 30 menit. Lalu campuran
didinginkan pada suhu kamar dan
memisahkan fase airnya sehingga tersisa fase
seluligninnya. Selanjutnya dilakukan proses
hidrolisis dengan menambahkan solven
sebanyak 100 ml H
2
SO
4
per sampelnya.
Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke
dalam autoclave pada suhu 121
o
C selama 45
menit. Setelah itu campuran didinginkan pada
suhu kamar. Proses yang berukutnya yaitu
proses fermentasi yang menggunakan ragi
roti (Yeast Saccaromyces Cereviseae).
Setelah itu menghubungkan erlemeyer 500
ml yang berisi eceng gondok tersebut dengan
selang karet dan ujung selang dimasukkan
kedalam air agar tidak terjadi kontak
langsung dengan udara. Selanjutnya larutan
campuran alcohol- air dimasuukan ke dalam
labu destilasi kemudian pasang labu tersebut
pada alat evaporasi dengan temperature 78-
80
0
C. Proses evaporasi dilakukan selama 1
jam-1,5 jam sampai etanol tidak menetes lagi.
Data percobaan yang diukur adalah
kadar etanol yang dihasilkan, kadar glukosa
setelah fermentasi, dan persen yield etanol.
Kadar etanol diukur dengan menggunakan
alat gas cromatrografi. Dengan menggunakan
parameter lama waktu fermentasi dan massa
ragi.

3. Hasil dan Pembahasan
Proses pembuatan etanol dari enceng
gondok yang telah dilakukan melalui proses
fermentasi dengan variasi massa ragi dan
lama fermentasi menghasilkan data seperti
pada ketiga tabel di bawah ini.
Tabel 3 berisi data tentang pengaruh
variasi lama fermentasi dan massa ragi
terhadap banyaknya fraksi cair yang
dihasilkan, tabel 4 berisi data tentang
pengaruh variasi lama fermentasi dan lama
fermentasi terhadap %yield etanol, sedangkan
tabel 5 berisi data tentang pengaruh variasi
lama fermentasi dan massa ragi terhadap
kadar (%) glukosa yang dihasilkan.

Tabel 3. Variasi Lama Fermentasi dan
Massa Ragi terhadap Fraksi cair
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 370


Gambar 3. Lama Fermentasi (hari)
Terhadap Fraksi Cair (ml)
Gambar 3 merupakan grafik data
kuantitatif yang menunjukkan hubungan
fraksi cair (ml) yang dihasilkan dengan
variasi lama fermentasi (hari) dan massa ragi.
Dalam penelitian ini, massa ragi divariasikan
2 gram, 4 gram, dan 6 gram. Sedangkan,
lama fermentasi divariasikan 24-192 jam.
Dari gambar dibawah dapat dilihat
pengaruhnya, semakin lama waktu fermentasi
maka semakin banyak fraksi cair yang
dihasilkan.
Fraksi cair maksimum yang
dihasilkan setelah proses destilasi yaitu pada
168 jam dengan massa ragi 6 gram yaitu
sebanyak 11,7 ml, sedangkan penurunan
fraksi cair terjadi pada 192 jam.. Penurunan
fraksi cair disebabkan adanya isolasi yang tak
sempurna pada sampel tersebut dan adanya
hubungan dengan kurva pertumbuhan
mikroba dimana pada 192 jam ini
pertumbuhan mikroba mengalami penurunan
yaitu menuju fase kematian sehingga fraksi
cair yang dihasilkan cenderung turun.

Tabel 4. Variasi Lama Fermentasi dan
Fraksi cair terhadap % Yield Etanol


Gambar 4. Lama Fermentasi (hari)
terhadap Yield Etanol (%)
Gambar 4 merupakan grafik
hubungan antara persen yield etanol dengan
lama fermentasi (hari) dan massa ragi (gram).
Hasil yang bisa dilihat dari grafik tersebut
yaitu kenaikan persen (%) etanol dari 24 jam
sampai 168 jam dan cenderung mengalami
penurunan pada 192 jam.. Persen (%) etanol
maksimum yang dihasilkan yaitu 51,03%
dengan massa ragi 6 gram. Semakin banyak
ragi yang terkandung semakin tinggi kadar
etanol yang dihasilkan.
Penurunan yield etanol pada 192
jam diakibatkan karena adanya reaksi
oksidasi etanol menjadi asam asetat oleh
saccharomyces cereviseae sehingga kadar
etanol yang dihasilkan menjadi lebih rendah.
Dan apabila fermentasi dibiarkan
berlangsung terus menerus dan proses
fermentasi ini terkena udara luar maka
pertumbuhan kultur akan terganggu
akibatnya bbakteri asetat (acetobacter) akan
membentuk lapisan tebal dipermukaan,
bakteri ini akan mengoksidasi etanol menjadi
asam asetat.

Tabel 5. Variasi Lama Fermentasi dan
Massa Ragi terhadap % Kadar Glukosa
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 371


Gambar 5.. Lama Fermentasi (hari)
terhadap Kadar glukosa (%)
Gambar 5 merupakan grafik yang
menunjukkan hubungan antara kadar glukosa
(%) dengan lama fermentasi dan massa ragi.
Kadar glukosa setelah proses fermentasi
mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya waktu fermentasi dan jumlah
ragi yang dipakai.
Penurunan tersebut disebabkan
karena glukosa yang dihasilkan sudah diubah
menjadi bioethanol, sehingga semakin kecil
kadar glukosa semakin besar bioethanol yang
dihasilkan atau dibentuk.
Tabel 6. Kadar Etanol Hasil Analisa
Kromatografi Gas

Analisa kadar etanol diuji
menggunakan alat kromatografi gas jenis
kolom carbowix 1500. Pada uji analisa pada
3 sampel tersebut, etanol tertinggi yaitu
sebesar 4,05%yang dihasilkan dari hasil
fermentasi dengan waktu 168 jam dan massa
ragi 6 gram. Hal ini membuktikan bahwa
kadar alkohol berbanding lurus dengan massa
ragi dan lama fermentasi.
4. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa jumlah fraksi cair yang
dihasilkan berbanding lurus dengan lama
fermentasi dan massa ragi, dimana fraksi cair
maksimum yang dihasilkan yaitu pada 168
jam dengan massa ragi sebanyak 6 gram
dengan jumlah 11,7 ml. Penurunan fraksi cair
dan kadar etanol terjadi pada 192 jam yang
disebabkan pertumbuhan mikroba pada
waktu tersebut mencapai fase kematian
sehingga fraksi cair dan kadar etanol yang
dihasilkan cenderung menurun.
Daftar Pustaka

Anonim. 2009. Apa Itu Hemiselulosa.
http://lepoktarina.blogspot.com.
Diakses pada tanggal 3 Februari
2012.

Anonim. 2011. Selulosa Etanol.
http://theadiokecenter.wordpress.co
m. Diakses pada tanggal 3 Februari
2012.

Dahlan, H, Ir. 2006. Penuntun Praktikum
Mikrobiologi Industri. Inderalaya :
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Teknik Universitas Sriwijaya.

Girisuta, dkk. (2010). Pemanfaatan Eceng
Gondok Sebagai Bahan Baku
Pembuatan Bioetanol. Jakarta:
Lembaga ilmu pengetahuan
indonesia.

Isroi. 2008. Produksi Bioetanol Berbahan
Baku Biomassa Lignoselulosa :
Hidrolisis Asam. http://www.
isroi.wordpress.com. Diakses pada
tanggal 6 Febuari 2012.

Isroi. 2008. Produksi Bioetanol Berbahan
Baku Biomassa Lignoselulosa :
Pretreatment. http://www.
isroi.wordpress.com. Diakses pada
tanggal 6 Febuari 2012.

Isroi. 2009. Bioethanol Selulosa Skala Kecil.
http://www. isroi.wordpress.com.
Diakses pada tanggal 6 Febuari
2012.

Iswanto, Hery. Terbentuknya Dimensi Baru
dalam Kimia Lignoselulosa. Medan :
Universitas Sumatera Utara
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 372

Kriswiyanti, Enny. 2009. Hidrolisa selulosa
dari eceng gondok. (Jurnal Nomor 2
Volume 7). Surakarta : Jurusan
Teknik Kimia Fakultas Teknik UNS.

Othmer, Kirk. 1967. Encyclopedia Of
Chemical Technology, Vol 9. Int. J.
Mol. Sci. (9) : 14-15

Purba, Michael. 2000. Kimia 2000 Untuk
SMU Kelas 2. Jilid 2B. Jakarta :
Erlangga.

Said, E.G . 1994. Bioindusti Teknologi
Fermentasi. Jakarta : Mediyatama
Sarana Perkasa.

Sun. Y,. dan Cheng, J,. 2002. Hydrolysis of
Lignosellulosic materials for ethanol
production : a review. Biosource
Technology 83, 1-11.

Taherzadeh M.J. dan K. Karimi. 2008.
Pretreatment of Lignocellulosic
Waste to Improve Bioethanol and
Biogas Production. Int. J. Mol. Sci.
(9) : 1621-1651

Tim Penulis. 2011. Modul Praktikum
Laboratorium Kimia Analitik
Instrumen. Palembang : Politeknik
Negeri Sriwijaya.

UKM, B. 2009. Bahan Bakar Nabati
(Bioetanol). Khalifah Lantabira :
Yogyakarta
































Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 373

TL-19

DAYA TOLERAN RHI ZOPUS ORYZAE YANG DIENKAPSULASI
DENGAN KALSIUM-ALGINAT TERHADAP SUHU DAN pH

Sahlan M.
1*
, Muryanto
1
dan Gozan M
1
.

1
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.
Kampus UI, Depok, Depok, 16424
Korespondensi Pembicara. Phone/Fax : 021-7863516/021-7863515
Email : sahlan@che.ui.ac.id

ABSTRAK
Rhizopus oryzae dapat memproduksi bioetanol dengan bahan baku gula
heksosa dan gula pentosa yang terkandung di dalam lignoselulosa. Pada proses
pembuatan bioetanol, metoda Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF)
lebih unggul dibandingkan dengan metoda Separated Hidrolysis and Fermentation
(SHF). Rendemen etanol yang dihasilkan dengan menggunakan proses SSF lebih
tinggi dibandingkan dengan SHF, alasannya, pada proses SSF, glukosa yang
dihasilkan pada proses hidrolisis segera difermentasi menjadi etanol sehingga tidak
menghambat kinerja enzim, waktu proses lebih pendek, dan kebutuhan reaktor yang
lebih sedikit. Namun, pada proses SSF, temperatur hidrolisis dan fermentasi tidak
sama, temperatur optimum proses hidrolisis adalah 40-45
o
C, sedangkan temperatur
optimum fermentasi adalah 30
o
C, sedangkan R. oryzae memiliki temperatur optimum
35
o
C. Selain itu, R. oryzae tidak tahan terhadap perubahan pH. Oleh sebab itu, untuk
meningkatkan daya toleran R. oryzae terhadap temperatur dan pH, R. oryzae
dienkapsulasi dengan kalsium alginat, dan dilakukan karakterisasi ketahanannya
terhadap temperatur dan pH. R. oryzae yang telah dienkapsulasi, digunakan dalam
proses SSF lignoselulosa dari tandan kosong kelapa sawit (TKKS) pada temperatur
37, 40 dan 45
o
C dan pH 4,5, 5,0 dan 5,5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan memproduksi bioetanol dari R. oryzae yang telah dienkapsulasi pada
proses SSF, lebih tinggi dibanding dengan R. oryzae yang tidak dienkapsulasi pada
semua kondisi temperatur dan pH, hal ini mengindikasikan bahwa enkapsulasi
kalsium alginat dapat meningkatkan daya toleran R. oryzae terhadap temperatur dan
pH. R. oryzae yang telah dienkapsulasi dapat digunakan pada proses pembuatan
bioetanol dari TKKS dengan metode SSF.


Kata kunci: R. oryzae, toleran, temperatur, pH dan SSF. .


1. PENDAHULUAN
Resiko pemanasan global dan berkurangnya cadangan energi fosil menyebabkan
semakin berkembangnya produksi dan penggunaan bioetanol sebagai sebagai energi
alternatif yang lebih ramah lingkungan. Bioetanol dari bahan baku limbah
lignoselulosa menjadi sesuatu yang menarik sebagai energi alternatif. Limbah
lignoselulosa mengandung selulosa yang tinggi dapat diubah menjadi etanol (Hermiati
dan Sukara, 2005). Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan limbah
lignoselulosa yang cukup melimpah. Pada tahun 2004 produksi CPO di Indonesia
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 374

mencapai 6,2 juta ton dengan limbah lignoselulosa mencapai 1,1 ton per 1 ton CPO
yang dihasilkan.
TKKS mengandung selulosa, lignin, hemiselulosa , abu dan zat ektraktif lainnya
(Sudiyani, 2009). Kandungan kimia TKKS pada umumnya adalah selulosa (33.64 %),
hemiselulosa (15.22 %) dan lignin (37.84 %). Selulosa sebagai fraksi terbesar dalam
lignoselulosa dapat dikonversi menajdi glukosa dengan menggunakan enzim selulase.
Glukosa yang dihasilkan akan diubah menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae
(Badger et al., 2002).
Selulosa daalam lignoselulosa dapat diubah menjadi etanol dengan dua proses
utama, yaitu sakarifikasi dan fermentasi. Sakarifikasi adalah proses mengubah
selulosa menjadi monomer glukosa, dan glukosa yang dihasilkan di fermentasi
menjadi etanol. Etanol dapat dihasilkan baik dengan dengan proses sakarifikasi dan
fermentasi terpisah (SHF), maupun dengan sakarifikasi dan fermentasi secara serentak
(SSF). Proses SSF lebih disukai karena beberapa keuntungannya dibandingkan
dengan proses SHF. Keuntungan proses SSF adalah mengurangi jumlah reaktor yang
digunakan, juga akan dihasilkan etanol yang lebih tinggi (Sudiyani, 2009; Sun dan
Chen, 2002). Banyak faktor yang mempengaruhi proses SSF, diantaranya adalah pH,
suhu, dan subtrat yang digunakan (Huang et al., 2005). Kerugian menggunakan SSF
adalah perbedaan suhu optimal proses sakarfikasi dan fermentasi. Umumnya proses
sakarifikasi optimum pada suhu 40-45
o
C dan fermentasi optimum pada suhu 30
o
C
(Sun dan Chen, 2002).
Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengatasi kendala metode SSF, salah
satunya adalah dengan teknik enkapsulasi sel. Enkapsulasi umumnya menggunakan
polimer dan biopolimer seperti natrium alginat. Alasan utama penggunaan polimer
untuk enkapsulasi adalah kemampuannya untuk berada pada fasa yang berbeda seperti
cair, gel maupun padat yang memungkinkan untuk mempunyai kekuatan mekanik dan
fisik yang cukup (Kampf, 2002). Sel yang dienkapsulasi terbukti dapat meningkatkan
produksi etanol dari limbah kayu yang dihidrolisis dengan asam encer (Talebnia et
al., 2006). Selain itu, sel yang dikapsulasi lebih toleran terhadap suhu yang lebih
tinggi karena proses enkapsulasi memberikan dinding buatan yang membuat sel lebih
tahan terhadap suhu yang lebih tinggi (Ylitervo, 2001). Suhu optimum proses
sakarifikasi mencapai 40-45
o
C, sedangkan pada suhu tinggi tersebut jamur kurang
aktif untuk melakukan proses fermentasi. Oleh karena itu, dengan adanya enkapsulasi
diharapkan jamur tetap dapat melakukan proses fermentasi pada suhu tinggi
mendekati suhu proses sakarifikasi. Proses sakarifikasi pada suhu optimum akan
menghasilkan glukosa yang optimum untuk difermentasi oleh jamur menjadi etanol.
Penelitian Hamamci et al. (2006) menunjukkan enkapsulasi Rhizopus oryzae terbukti
meningkatkan produksi asam laktat dibandingkan sel bebas, selain itu enkapsulasi R.
oryzae dapat digunakan berulang-ulang.
Beberapa penelitian dilakukan dengan jamur berfilamen untuk memfermentasi
glukosa menjadi etanol. Hasil penelitian menunjukkan R. oryzae dapat melakukan
fermentasi glukosa menjadi etanol seperti yang telah dilakukan oleh Millati et al.
(2002) menghasilkan 20 g/l etanol dan 4 g/l asam laktat dari 50g/l glukosa, Karimi et
al. (2006) menghasilkan 21,51 g/l etanol pada kondisi anaerob dan 19,25 g/l pada
kondisi aerob dari 50 g/l kertas saring Avicel, sedangkan dengan menggunakan batang
padi dihasilkan etanol sebanyak 12,35 g/l pada kondisi anaerob dan 9,20 g/l pada
kondisi aerob. Abedinifar et al. (2009) juga melakukan penelitian dengan
menggunakan bahan batang padi yang dihidrolisis dengan asam encer.
R. oryzae mempunyai keuntungan dibandingkan Saccharomyces cerevisiae
diantaranya karena (a) dapat menkonversi xilosa menjadi etanol, (b) menghasilkan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 375

produk samping yang bermanfaat diantaranya kitosan dan (c) mempunyai rentang
suhu pertumbuhan yang lebih tinggi yaitu 28-35
o
C (Sues, 2005). Selain itu R. oryzae
mudah untuk ditumbuhkan, karena tidak membutuhkan nutrisi yang spesifik, dan
mudah dipisahkan dari etanol yang dihasilkan (Soccol, 1994; Rossenberg, 1995).
Makalah ini membahas tentang daya toleran R. oryzae yang dienkapsulasi oleh
kalsium alginat terhadap suhu dan pH.

2. BAHAN, ALAT DAN METODOLOGI

2.1 Rhizopus oryzae
Jamur yang digunakan adalah Rhizopus oryzae yang berasal dari kultur lab
mikrobiologi SITH, ITB. R. oryzae diinkubasi menggunakan agar miring PDA dalam
suhu 32
o
C selama 48 jam. R. oryzae dalam PDA ini disimpan di kulkas pada suhu 4
o
C sebagai stock kultur R. oryzae. R. oryzae dari stock dikultivasi pada 100 ml
medium yang telah disterilisasi dengan autoclave pada suhu 121
o
C selama 15 menit.
Medium terdiri dari 10 g/l glukosa; 1,0 g/l yeast extract; 0,1 g/l KH
2
PO
4
; 0,1g/l
MgSO
4
.7H
2
O dan 0,1 g/l (NH
4
)
2
SO
4
, dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml,
kemudian diinkubasi pada suhu 32
o
C selama 7 hari menggunakan orbital shaker
dengan kecepatan 150 rpm untuk menghasilkan spora.

2.2 Enkapsulasi Rhizopus oryzae
Setelah dilakukan proses pertumbuhan, spora yang dihasilkan disentrifuse dan
diencerkan untuk mencapai kepadatan sel yang diinginkan. Kepadatan sel dihitung
dengan menggunakan haemocytometer. R. oryzae dengan kerapatan sel 1 x 10
8

sel/cm
3
disuspensikan ke dalam larutan 1% CaCl
2
. Suspensi kultur diteteskan
menggunakan syringe kedalam larutan 0.5 % Na-alginat yang diputar dengan batang
magnetik sehingga terbentuk kapsul-kapsul yang didalamnya terdapat spora R. oryzae
berukuran 2-3 mm.

2.3 Tandan Kosong Kelapa Sawit
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang digunakan dalam penelitian ini berasal
dari perkebunan PTPN VIII, Malimping, Banten. TKKS telah dilakukan perlakuan
awal secara fisik untuk mengecilkan ukuran hingga 1-3 mm, dan perlakuan kimia
dengan menggunakan larutan 10% NaOH pada reaktor dengan suhu 150
o
C, tekanan 4
bar selama 30 menit. TKKS kemudian dicuci sebanyak lima kali dengan air untuk
menetralkan basa dan disimpan pada suhu ruang sampai akan digunakan. TKKS yang
telah dilakukan perlakuan awal (pret-TKKS) mengandung selulosa 60, 34 %,
hemiselulosa 11,52 % dan lignin 20%. Analisa dilakukan menurut NREL Chemical
Analysis & Testing Procedure Error! Reference source not found..

2.4 Enzim
Pada penelitian ini digunakan enzim selulase dan -glukosidase komerisal yang
diperoleh dari NOVOzyms. Aktifitas enzim selulase ini sebesar 70 FPU/ml. 1 FPU
sebanding dengan 1 mol glukosa yang terbentuk dari selulosa per 1 ml enzim.

2.5 Proses SSF
Media yang mengandung (g/l): yeast extract, 2.5; peptone, 2.5; KH
2
PO
4
, 1.0;
MgSO
4
7H
2
O, 0.25; TKKS yang telah dilakukan perlakuan awal, 150.0 dan 0.05 M
bufer sitrat digunakan dalam erlenmeyer berukuran 250 ml. pH media diatur dengan
menggunakan larutan NaOH (2 N) dan asam asetat (1 N) untuk mendapatkan pH 4,5;
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 376

5,0; dan 5,5. Semua media kecuali TKKS yang telah dilakukan perlakuan awal
disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada suhu 121
o
C. Kemudian TKKS,
enzim, dan Rhizopus oryzae yang digunakan dimasukkan ke dalam media secara
aseptis untuk menghindari kontaminasi. Total volume media yang digunakan pada
proses SSF adalah 100 ml. Proses SSF dilakukan pada variasi suhu 37, 40 dan 45
o
C,
pada rotay shaker inkubator dengan kecepatan shaking 150 rpm. Enzim yang
ditambahkan pada penelitian ini sebesar 20 FPU/g berat kering TKKS yang
digunakan. Proses SSF dilakukan dalam kondisi anaerob. Erlenmeyer ditutup dengan
tutup elastis. Tutup elastis ini digunakan untuk mencegah masuknya oksigen ke dalam
erlenmeyer namun mencegah erlenmeyer pecah akibat gas yang dihasilkan, karena
tutup elastis akan mengembang ketika dalam proses terbentuk gas yang cukup
banyak. Gas nitrogen dialirkan ke dalam erlenmeyer sebelum proses dan pada saat
sampling untuk menghilangkan kandungan oksigen dalam erlenmeyer. Proses SSF
dilakukan selama 96 jam dengan interval waktu sampling tiap 24 jam.

2.6 Metode Analisis
Sampling proses SSF dilakukan tiap interval 24 jam. Sampel diambil dari
erlenmeyer dan disimpan didalam freezer. Sampel dianalisa kandungan glukosa dan
etanol menggunakan HPLC (Waters 2695, Milford, MA) Kolom Aminex HPX-87H
(Bio-Rad, Richmond, CA, USA), RI Detector (Waters, 2414), suhu kolom 65C, suhu
detektor 40
o
C, asam sulfat 5mM sebagai eluent dengan laju alir 0.6 ml/min.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengaruh Enkapsulasi R. oryzaepada Variasi pH
Pada penelitian ini akan dilihat pengaruh perlakuan enkapsulasi Rhizopus
oryzae terhadap produksi etanol yang dihasilkan. Perbandingan produksi etanol yang
dihasilkan antara R. oryzae yang telah dienkapsulasi dengan sel bebas R. oryzae pada
proses SSF pret TKKS ditunjukkan pada Gambar 1.
Pada Gambar 1 terlihat bahwa produksi etanol yang dihasilkan dari proses SSF
pret-TKKS dengan menggunakan enkapsulasi sel R. oryzae lebih tinggi dibandingkan
dengan sel bebas R. oryzae. Produksi etanol yang dihasilkan oleh enkapsulasi R.
oryzae pada pH 4,5; 5,0; dan 5;5 berturut-turut yaitu 33,92 g/l, 38,92 g/l, dan 37,66 g/l
media. Hasil ini lebih tinggi sekitar 17,64 % - 65,43 % jika dibandingkan dengan
produksi etanol dengan menggunakan sel bebas R. oryzae. Pada variasi pH terlihat
bahwa produksi etanol yang dihasilkan memiliki kecenderungan yang sama antara sel
bebas dengan enkapsulasi sel, yaitu memiliki produksi etanol tertinggi pada pH 5,0
dan produksi etanol lebih rendah diperoleh pada pH 5,5 dan 4,5. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pH 5,0 merupakan pH optimum untuk proses sakarifikasi dan
fementasi serentak dari TKKS yang telah dilakukan perlakuan awal baik dengan
menggunakan sel bebas maupun R. oryzae yang telah dienkapsulasi. Pada pH yang
optimun R. oryzae akan lebih cepat melakukan proses metabolisme untuk
mengkonsumsi glukosa, semakin banyak glukosa yang dikonsumsi maka akan
semakin banyak etanol yang dihasilkan.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 377

0
20
40
60
80
100
4.5 5 5.5
Disparitas
D
i
s
p
a
r
i
t
a
s

(
%
)
pH
0
10
20
30
40
50
4.5 5 5.5
sel bebas
enkapsulasi
[
E
t
a
n
o
l
]

(
g
/
l
)
pH

Gambar 1. Perbandingan konsentrasi etanol yang dihasilkan sel bebas R. oryzae
dengan enkapsulasi R. oryzaepada variasi pH
Pengaruh enkapsulasi terhadap produksi etanol dibandingkan dengan sel bebas
Rhizopus oryzae ditunjukkan pada Gambar 2. Pengaruh enkapsulasi juga terlihat pada
perubahan pH kondisi proses. Sebagai referensi adalah data produksi etanol pada pH
5,0 sebesar 38,92 g/l media. Pada Gambar 4.10 (A), perubahan pH membuat produksi
etanol yang dihasilkan juga berubah, terlihat pada proses SSF dengan menggunakan
sel bebas perubahan pH 5,0 menjadi pH 4,5 menurunkan produksi etanol sebesar 38
%. Sedangkan pada proses SSF dengan menggunakan enkapsulasi R. oryzae,
perubahan pH hanya menurunkan produksi etanol sebesar 12,8 %.
0
20
40
60
80
100
4.5 5 5.5
penurunan pH
sel bebas
enkapsulasi
P
e
n
u
r
u
n
a
n

[
E
t
a
n
o
l
]

(
%
)
pH

Gambar 2. Penurunan dan Disparitas Konsentrasi dan Etanol pada Variasi pH
Pengaruh enkapsulasi juga terlihat pada perubahan pH kondisi proses. Sebagai
referensi adalah data produksi etanol pada pH 5,0 sebesar 38,92 g/l media. Pada
Gambar 2 (A), perubahan pH membuat produksi etanol yang dihasilkan juga berubah,
terlihat pada proses SSF dengan menggunakan sel bebas perubahan pH 5,0 menjadi
pH 4,5 menurunkan produksi etanol sebesar 38 %. Sedangkan pada proses SSF
dengan menggunakan enkapsulasi R. oryzae, perubahan pH hanya menurunkan
produksi etanol sebesar 12,8 %.
A
B
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 378

Enkapsulasi sel R. oryzae terbukti memberikan pengaruh terhadap
keonsentrasi etanol yang dihasilkan pada proses SSF pret-TKKS. Enkapulasi sel
meningkatkan ketahanan sel terhadap perubahan kondisi sekitar, dalam hal ini pH
larutan proses SSF. Proses enkapsulasi sel memberikan perlindungan sel dengan
dinding sel buatan dan memberikan ketahanan terhadap sel dari kondisi asam pada
larutan. pH yang terlalu tinggi dapat menyebabkan stress pada mikroorganisme yang
akan mempengaruhi metabolismenya. Sedangkan pH yang terlalu asam akan
membuat proses metabolisme berjalan lebih lambat. Proses yang menggunakan sel
bebas R. oryzae sangat rentan terhadap perubahan pH, dengan perubahan pH sedikit
saja sudah menurunkan produksi etanol yang dihasilkan. Sedangkan proses yang
dilakukan dengan menggunakan enkapsulasi sel lebih tahan terhadap perubahan pH.
Perubahan pH menjadi 5,5 menurunkan sedikit produksi etanol yang dihasilkan
enkapsulasi Rhizopus oryzae.
Selain itu, kenaikan produksi etanol pada sel yang dienkapsulasi juga
disebabkan karena sel yang dienkapsulasi lebih bersifat anaerob dibandingkan dengan
sel bebas R. oryzae. Sel yang terenkapsulasi lebih sulit kontak dengan dengan oksigen
yang mungkin masih sedikit terdapat didalam reaktor, sehingga proses anaerobis
berlangsung lebih baik. Beberapa penelitian menunjukkan produksi etanol yang
dihasilkan pada kondisi anaerob lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi aerob
(Karimi et al., 2005; Milati et al., 2004; Abedinifar et al., 2009).
Pada Gambar 2 (B), ditunjukkan disparitas (perbedaan) data produksi etanol
antara R. oryzae yang telah dienkapsulasi dengan sel bebas R. oryzae, terlihat bahwa
dengan perubahan pH terjadi perubahan produksi etanol yang dihasilkan. Pada pH 5,0
disparitas produksi etanol antara enkapsulasi dengan sel bebas hanya sebesar 17,64 %
artinya produksi etanol yang dihasilkan pada SSF dengan enkapsulasi R. oryzae lebih
tinggi 17,64 % dibandingkan SSF dengan sel bebas R. oryzae. Sedangkan pada pH 4,5
dan 5,5 enkapsulasi dapat meningkatkan produksi etanol sebanyak 65,42 % dan 40,63
%. Semakin besarnya disparitas konsentrasi etanol menunjukkan proses SSF dengan
menggunakan sel bebas R. oryzae lebih rentan terhadap perubahan pH dibandingkan
dengan proses menggunakan enkapsulasi R. oryzae.
Proses ini dilakukan secara SSF yaitu proses sakarifikasi dan fermentasi
dilakukan secara serentak pada satu reaktor dengan salah satu tujuannya adalah
mencegah terjadinya penghambatan proses sakarifikasi akibat tingginya kadar
glukosa, karena glukosa yang dihasilkan dari proses sakarifikasi langsung diubah
menjadi etanol. Semakin tinggi glukosa yang dihasilkan pada proses sakarifikasi akan
meningkatkan potensi produksi etanol yang dihasilkan. Proses SSF terbukti
menghasilkan etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses sakarifikasi dan
fermentasi terpisah/Separated Hydrolysis and Fermentation (SHF). Pada penelitian
ini, etanol yang dihasilkan oleh proses SSF dengan sel bebas R. oryzae pada pH 5,0
yaitu sebesar 0,37 g/g selulosa lebih tinggi dibandingkan proses SHF dari jerami padi
yang dilakukan oleh Abedinifar et al. (2009) pada kondisi yang sama yaitu sebesar
0,33 g/g selulosa. Etanol yang dihasilkan dengan enkapsulasi R. oryzae bahkan lebih
tinggi yaitu 0,43 g/g selulosa. Sehingga pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 379

enkapsulasi R. oryzae dalam membran kalsium alginat dengan proses SSF dapat
meningkatkan ketahanan sel terhadap perubahan lingkungan sekitarnya sehingga
dapat meningkatkan produksi etanol.
3.2 Pengaruh Enkapsulasi pada Peningkatan Suhu
Selain pengaruh pH, pada penelitian ini juga akan dibandingkan hasil proses
SSF pret-TKKS menggunakan enkapsulasi sel R. oryzae dangan sel bebas R. oryzae
terhadap kenaikan suhu proses. Perbandingan produksi etanol yang dihasilkan dengan
kenaikan suhu proses ditunjukkan pada Gambar 3.
Pada gambar 3 terlihat produksi etanol tertinggi diperoleh pada suhu proses 37

o
C. Ketika proses SSF dilakukan pada suhu 40
o
C, produksi etanol yang dihasilkan
baik pada enkapsulasi sel R. oryzae maupun dengan sel bebas R. oryzae mengalami
penurunan. Begitu pula ketika suhu proses dinaikkan menjadi 45
o
C, terjadi penurunan
produksi etanol yang cukup signifikan. Namun dapat dilihat bahwa enkapsulasi sel
Rhizopus oryzae menghasilkan produksi etanol yang lebih tinggi dibandingkan
dengan proses SSF menggunakan sel bebas R. oryzae.
0
10
20
30
40
50
37 40 45
sel bebas
enkapsulasi
[
E
t
a
n
o
l
]

(
g
/
l
)
Temperatur (
o
C)

Gambar 3. Perbandingan konsentrasi etanol yang dihasilkan sel bebas R. oryzae
dengan enkapsulasi R. oryzaepada variasi suhu
Suhu proses sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme,
dalam hal ini R. oryzae. Suhu yang tinggi akan merusak sel dengan berbagai macam
efek, diantaranya kerusakan membran atau dinding sel, denaturasi protein dan
terjadinya agregasi sel (Singer and Lindquist, 1998). Umumnya untuk menghasilkan
glukosa dari lignoselulosa diperlukan proses sakarifikasi yang yang bersuhu tinggi
pada suhu optimum selulase yaitu sekitar 45-50
o
C. Oleh karena itu diperlukan
mikroorganisme yang dapat tahan pada suhu proses yang tinggi. Selain dengan
mencari mikroorganisme yang dapat menghasilkan etanol di suhu tinggi, salah satu
metode lain yang dapat meningkatkan ketahanan sel pada suhu tinggi adalah proses
enkapsulasi. Enkapsukasi sel telah terbukti memberikan ketahanan terhadap
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 380

0
20
40
60
80
100
37 40 45
Disparitas
D
i
s
p
a
r
i
t
a
s

(
%
)
Temperatur (
o
C)
lingkungan sel, seperti pH yang terlalu asam atau terlalu basa. Enkapsulasi
memberikan perlindungan terhadap zat-zat metabolit yang beracun bagi sel tersebut.
Enkapsulasi juga dapat meningkatkan toleransi stres sel terhadap gangguan luar
(Ylitervo et al., 2011).
Enkapsulasi juga terbukti memberikan daya tahan terhadap kenaikan suhu.
Penurunan produksi akibat perubahan suhu proses ditunjukkan pada Gambar 4.12.
Pada Gambar 4 A, dengan perubahan suhu proses SSF dari suhu 37
o
C menjadi 40
o
C
dan 45
o
C, terlihat bahwa produksi etanol yang dihasilkan sel bebas turun lebih besar
dibandingkan dengan produksi etanol yang dihasilkan enkapsulasi sel. Dengan
menggunakan produksi etanol pada suhu 37
o
C yaitu sebesar 38,92 g/l sebagai data
referensi, kenaikan suhu dari 37
o
C menjadi 40
o
C menurunkan produksi etanol
sebesar 16 % pada sel bebas sedangkan pada enkapsulasi hanya sebesar 5,7 %.
0
20
40
60
80
100
37 40 45
sel bebas
enkapsulasi
P
e
n
u
r
u
n
a
n

[
E
t
a
n
o
l
]

(
%
)
Temperatur (
o
C)

Gambar 4. Penurunan dan Disparitas Konsentrasi Etanol Akibat Kenaikan
Suhu
Pada Gambar 4 B, memperlihatkan disparitas produksi etanol antara proses
SSF menggunakan sel bebas dengan enkapsulasi Rhizopus oryzae. Pada tiap suhu
proses terjadi disparitas data produksi etanol. Proses SSF dengan menggunakan
enkapsulasi R. oryzae lebih tinggi dibandingkan dengan sel bebas R. oryzae sebesar
17,64 %. Kenaikan suhu proses menyebabkan penurunan produksi etanol yang
dihasilkan. Disparitas produksi etanol semakin naik pada suhu 40
o
C, enkapsulasi R.
oryzae menghasilkan etanol 31,95 % lebih tinggi dibandingkan sel bebas, dan pada
suhu 45
o
C dihasilkan etanol 89,16 % lebih tinggi. Disparitas data yang semakin besar,
menunjukkan sel bebas R. oryzae lebih rentan terhadap perubahan suhu, sedangkan
enkapsulasi R. oryzae lebih tahan terhadap perubahan suhu proses.
Hasil penelitian menunjukkan pada suhu yang tinggi enkapsulasi R. oryzae
masih dapat menghasilkan etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan sel bebas.
Hal ini menunjukkan bahwa R. oryzae yang telah dienkapsulasi mempunyai
ketahanan terhadap panas dibandingkan dengan sel bebas. Hasil penelitian yang sama
juga dilakukan Ylitervo et al., (2011), dimana pada proses fermentasi dengan suhu
45
o
C enkapsulasi Saccharomyces cerevisiae masih dapat menghasilkan etanol
dibandingkan sel bebas yang sudah tidak dapat menghasilkan etanol pada suhu
A B
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 381

tersebut. Enkapsulasi memberikan dinding sel buatan pada sel yang terperangkap di
dalamnya, sehingga memberikan perlindungan dari panas lingkungan sekitar sel.
Analisis dari komposisi membran buatan pada enkapsulasi sel mengindikasikan
bahwa kandungan asam lemak, pospolipid dan sterols meningkat, dan meningkatkan
perlindungan dari lingkungan sekitar (Bai et al., 2008)
Sel yang terkena suhu tinggi sangat cepat mengalami respon perubahan
molekul terutama pada ekspresi gen. Akibat suhu tinggi, sel akan merespon dengan
mensintesis beberapa protein khusus, selain itu juga akan memproduksi senyawa
pelindung lainnya seperti trehalosa dan beberapa enzim (Uyar et al., 2010). Trehalosa
akan terproduksi ketika sel berada para kondisi stress. Trehalosa berfungsi sebagai
pelindung suhu panas dengan menstabilkan dinding sel dan protein sel lainnya.
Trehalosa banyak terdapat pada fase pertumbuhan stasioner, sedangkan pada fase
logaritmik tidak ditemukan trehalosa. Daya tahan yang terdapat pada sel Rhizopus
oryzae yang dienkapsulasi dapat dijelaskan dengan kemungkinan terbentuk dan
menumpuknya trehalose pada R. oryzae di dalam kapsul. Penelitian yang dilakukan
oleh Uyar et al. (2010) menyatakan R. oryzae menghasilkan trehalose 5 kali lebih
banyak ketika mengalami stress akibat suhu yang tinggi. Penelitian Talebnia et al.
(2007) menyatakan bahwa dalam sel yang terenkapsulasi ditemukan banyak trehalose
dan trehalose ini akan meningkatkan daya tahan terhadap suhu tinggi. Sehingga dapat
disimpulkan enkapsulasi dapat meningkatkan ketahanan R. oryzae terhadap suhu
terbukti dengan tetap menghasilkan etanol lebih banyak pada suhu tinggi
dibandingkan sel bebas R. oryzae. Namun pada penelitian ini produksi etanol tertinggi
yang dihasilkan terjadi pada suhu 37
o
C, sedangkan untuk lebih meningkatkan glukosa
yang dihasilkan sebagai sumber etanol harus dilakukan pada suhu optimum proses
sakarifikasi, yaitu 45-50
o
C. Produksi etanol yang dihasilkan pada suhu 45
o
C masih
belum optimal karena masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan etanol pada suhu
37
o
C dan 40
o
C. Oleh karena itu masih perlu dilakukan peningkatan kinerja membran
kalsium alginat untuk melindungi R. oryzae pada suhu tinggi, agar dapat melakukan
fermentasi di suhu optimal sakarifikasi untuk menghasilkan etanol yang lebih tinggi
sekaligus mengatasi kelemahan yang terjadi pada proses SSF.

4. KESIMPULAN
Enkapsulasi Rhizopus oryzae dengan kalsium alginat dapat meningkatkan
daya toleran R. oryzae terhadap temperatur dan pH. R. oryzae yang telah
dienkapsulasi dapat digunakan pada proses pembuatan bioetanol dari TKKS dengan
metode SSF.

6. REFERENCES

Abedinifar, S., Keikhosro K., and Khanahmadi, M. (2009). Ethanol production by
Mucor indicus and Rhizopus oryzae from rice straw by separate hydrolysis and
fermentation, Biomass and Bioenergy. 828-833.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 382

Badger, P.C. (2002). Ethanol from cellulose: A general review, In: J, Janick and A,
Whipkey (eds,). Trends in new crops and new uses, Alexandria VA: ASHS
Press. 1721.
Bai, F.W., Anderson, W. A., Moo-Young, M., (2008). Ethanol fermentation
technologies from sugar ans starch fedstocks. Biotechnology Advances. 26. 89-
105.
Hamamci, H., and Ryu, D.D.Y. (2006). Production of L(+)-lactic acid using
immobilized Rhizopus oryzae : reaktor performance based on kinetic model and
simulation. Applied Biochemistry and Biotechnology. 44. 125-133.
Hermiati, E. and Sukara, E. (2005). Konversi bahan berlignoselulosa menjadi
bioenergi etanol. Prosiding Seminar Nasional Biomassa Lignoselulosa. 14-21.
Huang, L.P., Jin, B., Lant, P., and Zhou, J. (2005). Simultaneous saccharification and
fermentation of potato starch wastewater to lactic acid by Rhizopus oryzae and
Rhizopus arrhizus. Biochemical Engineering Journal. 23. 265-276.
Kampf, N. (2002). The use of polymers for coating of cells, Polymers for Advanced
Technologies.13. 895-904.
Karimi, K., Emtiazi, G., and Taherzadeh, Mohammad J. (2006). Ethanol production
from dilute acid pretreated rice straw by SSF with Mucor indicus, Rhizopus
oryzae, and Saccharomyces cerevisiae. Enzime and Microbial Technology. 40.
138-144,
Millati, R., Niklasson, C., and Taherzadeh, Mohammad J. (2002). Effect of pH, time
and temperature of overliming on detoxification of dilute-acid hydrolyzates for
fermentation by Saccharomyces cerevisiae. Process Biochemistry. 515-522.
Rosenberg, M., Kristokova, L., (1995). Physiological restriction of the (L)-lactic
acid production by Rhizopus arrhizus. Acta Biotechnology. 15. 367374.
Singer, M. A., Lindquist, S., (1998). Thermotolerance in Sachharomyces cerevisiae:
the Yin and Yang of trehalose. Trends in Biotechnology. 16. 460-468.
Soccol, C.R., Stonoga, V.I., Raimbault, M. (1994). Production of (L)-lactic acid by
Rhizopus species, World Journal Microbioliology Biotechnology . 10
Sudiyani, Y. (2009). Utilization of biomass waste empty fruit bunch fiber of palm oil
for bioethanol production, Jakarta, 4-5 Februari 2009 : Research Workshop on
Sustainable Biofuel : 1-15.
Sues, A., Millati, R., Edebo, L., & Taherzadeh, M. J. (2005). Ethanol production from
hexoses, pentoses, and dilute-acid hydrolyzate by Mucor indicus. FEMS Yeast
Research, 5, 669-676.
Sun, Y, and Cheng, J. (2002). Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol
production: a review. Bioresource Technology. 83. 1 11.
Talebnia, F., Taherzadeh, Mohammad J. (2006). In situ detoxification and continuous
cultivation of dilute-acid hydrolyzate to ethanol by encapsulated S. cerevisiae.
Journal of Biotechnology. 377-384.
Uyar EO, Hamamci H, Trkel S. (2010). Effect of different stresses on trehalose
levels in Rhizopus oryzae. Journal of Basic Microbiology. 50(4):368-72.
Ylitervo, P., Johan, C., Taherzadeh, Mohammad J. (2011). Ethanol production at
elevated temperaturs using encapsulation of yeast. Journal of Biotechnology. 22-
29.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 383


TL-20

POTENSI GAS METANA DARI LIMBAH CAIR PENGOLAHAN
KARET SEBAGAI SUMBER ENERGI
(The Potential of Methane Gas from Liquid Waste Rubber Processing
as A Source Of Energy)

Sherly Hanifarianty. Afrizal Vachlepi dan Didin Suwardin

Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet
Jl. Palembang - Betung Km. 29 Po. Box. 1127 Palembang 30001


Abstract
Global warming is due to increasing greenhouse gases such as carbon
dioxide, methane, nitrous oxide, and others. Liquid waste rubber processing produces
CO
2
and CH
4
. CH
4
is a greenhouse gas about 23 times worse than CO
2
. The efforts
could be done in reducing CH
4
emissions is by capturing methane gas through a
natural anaerobic fermentation wastewater treatment.
Under the Kyoto Protocol is a treaty and international cooperation
agreements undertaken to successfully reduce emissions of greenhouse gases.
Cooperation mechanisms implemented by both developed and developing countries,
through the Clean Development Mechanism projects (CDM) for carbon credits or
Certified Emissions Reduction which is called (CER).
Liquid waste rubber factories are assessed as a potential material for
capturing methane gas using anaerobic pond system. Crumb rubber factories such as
those producing 30 tons of dry rubber per day can emit up to 750 m
3
of wastewater
per day, this indicates a high potential for the use of wastewater treatment rubber
factories for methane gas captured and utilized as a source of renewable energy.
Keywords: Liquid Waste Rubber Factory, anaerobic pond, Methane, CDM

Ringkasan
Pemanasan global atau global warming disebabkan meningkatnya gas rumah
kaca seperti karbondioksida, metana, nitrogen oksida, dan lain-lain. Limbah cair
pengolahan karet menghasilkan gas CO
2
dan CH
4
. CH
4
adalah gas rumah kaca
sekitar 23 kali lebih buruk dari CO
2
. Upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi
emisi CH
4
yaitu dengan penangkapan gas metana melalui penanganan limbah
dengan fermentasi alami anaerobik.
Berdasarkan Protokol Kyoto yang merupakan perjanjian dan persetujuan
kerjasama internasional yang dilakukan untuk mensukseskan pengurangan emisi gas-
gas rumah kaca. Mekanisme kerjasama dilaksanakan oleh negara maju dan negara
berkembang, melalui proyek Clean Development Mechanism (CDM) untuk
mendapatkan karbon kredit atau disebut juga Certified Emissions Reduction (CER).
Limbah cair pabrik pengolahan karet dinilai potensial sebagai bahan baku
penangkapan gas metana dengan menggunakan sistem kolam anaerobik. Pabrik karet
remah misalnya yang memproduksi 30 ton karet kering per hari dapat mengeluarkan
limbah cair sebanyak 750 m
3
per hari, hal ini menunjukkan tingginya potensi
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 384

pemanfaatan limbah cair pabrik pengolahan karet tersebut untuk ditangkap gas
metananya dan dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan.

Kata Kunci : Limbah Cair Pabrik Karet, kolam anaerobik, Metana, CDM
Latar Belakang
Pemanasan global (global warming) merupakan peningkatan suhu karena
peningkatan jumlah gas rumah kaca (green house gases) yang ada di atmosfer.
Atmosfer merupakan selimut yang melindungi bumi seperti layaknya atap rumah kaca
yang meneruskan radiasi gelombang pendek dan memantulkan kembali radiasi
gelombang panjang dari permukaan bumi. Namun, kini ada peningkatan gas tersebut
secara signifikan sehingga bumi semakin panas. Gas tersebut meningkat akibat
aktifitas manusia sehingga bumi juga akan semakin panas, walaupun kebanyakan
emisi dari gas-gas tersebut terjadi secara alamiah. Gas rumah kaca ini didominasi oleh
karbon dioksida 77% (CO
2
), gas metana 15% (CH
4
), nitrogen oksida 7% (NOx) dan
gas-gas lainnya yaitu HFC (hydrofluorocarbon), PFC (perfluorocarbons), SF
6
(sulfur
hexafluoride) 1 % (SO
2
).


Gambar 1. Emisi Gas Rumah Kaca 2005
Sumber : Climate Analysis Indicator Tool, World Resources Institute

Perkebunan karet secara umum menyerap CO
2
dalam jumlah yang besar
melalui proses fotosintesis. Namun, dalam proses pengolahan karet dihasilkan limbah
yang dapat merupakan sumber emisi gas rumah kaca. Limbah cair pengolahan karet
menghasilkan gas CO
2
dan CH
4
. CH
4
adalah gas rumah kaca sekitar 23 kali lebih
buruk dari CO
2
. Gas CH
4
atau sering disebut gas metana ini dihasilkan oleh reaksi
perubahan bahan organik limbah cair menjadi gas metana dan karbondioksida melalui
proses metanogenesis oleh bakteri methanogenic. Contoh limbah cair pengolahan
karet antara lain limbah cair RSS (Ribbed Smoke Sheet), limbah cair karet remah
(crumb rubber) dan limbah cair karet pekat (latex concentrate).
Di PTPN (PT. Perkebunan Nusantara) VII unit usaha Musi Landas memiliki
pabrik karet sit / RSS (Ribbed Smoke Sit) yang menghasilkan 12 ton karet kering sit
per hari, diperkirakan limbah cair yang dihasilkan sebanyak 240 ton per hari,
kemudian limbah cair tersebut dialirkan ke rubber trap yang kemudian dialirkan ke
kolam anaerobic dan diendapkan. Limbah cair yang telah diproses di Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) ini, selanjutnya dibuang ke parit / selokan selanjutnya
mengalir ke sungai. Sehingga hal tersebut membuktikan bahwa, banyaknya limbah
cair karet yang sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi yang
masih belum dimanfaatkan.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 385

Gas metana berpotensi sebagai bahan baku sumber energi alternatif
terbarukan. Ketersediaan bahan baku sumber tersebut sangat berlimpah dan dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin, disamping sebagai alternatif pengolahan limbah.
Metana juga dapat menyediakan energi panas yang lebih baik dibandingkan dengan
energi dari panel surya. Penggunaan energi yang paling banyak yaitu untuk pemanas,
memasak, pencahayaan, dan bahan bakar untuk pembakaran mesin internal.
Dalam makalah ini akan dibahas potensi limbah cair pengolahan karet serta
potensi gas metana sebagai sumber energi berdasarkan hasil studi pustaka dari
penelitian yang telah dilakukan.

Protokol Kyoto
Protokol Kyoto merupakan perjanjian dan persetujuan kerjasama internasional
yang dilakukan untuk mensukseskan pengurangan emisi gas-gas rumah kaca. Sejak
tahun 1995, dunia internasional melakukan pertemuan rutin setiap tahun untuk
membahas berbagai hal yang berkaitan dengan perubahan iklim, termasuk solusi yang
harus dilakukan. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah
menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan
emisi gas-gas rumah kaca.
Negara-negara maju yang berkomitmen untuk membatasi atau menurunkan
emisi diperbolehkan oleh Protokol Kyoto untuk bekerjasama dengan negara lain,
termasuk dengan negara berkembang. Antar negara-negara maju, mekanisme
kerjasama ini terjadi melalui Emissions Trading (ET) atau Joint Implementation (JI).
Antara negara maju dan negara berkembang, melalui Clean Development
Mechanism (CDM). Negara-negara maju yang harus membatasi atau menurunkan
emisinya harus mendapatkan sertifikasi penurunan emisi, dikenal juga sebagai kredit
karbon (carbon credits). Untuk CDM, kredit karbon ini disebut Certified Emissions
Reduction (CER). Transfer sertifikasi penurunan emisi ini biasanya melalui
perdagangan, dengan harga yang ditentukan oleh pasar sesuai dengan tingkat
permintaan dan pasokan dari sertifikasi itu. Mekanisme kerjasama ini melahirkan
sebuah pasar yang biasa disebut sebagai pasar karbon (carbon market).
Di Indonesia, proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development
Mechanism) belum banyak dilaksanakan dibandingkan negara Cina, India dan lainnya
(UNFCCC). Di Sumatera Selatan terdapat 1 Proyek CDM (Clean Development
Mechanism) yaitu di PT.Pinago Utama telah dilaksanakan untuk membantu
pemerintah dalam pelestarian lingkungan dan penurunan kadar pencemaran dengan
melakukan pengurangan emisi karbon dari kegiatan industri pengolahan limbah cair
kelapa sawit yang sejalan dengan tujuan UNFCCC (United Nations Framework
Convention on Climate Change). UNFCCC merupakan sebuah organisasi
internasional yang dibentuk pasca Kyoto Protocol dengan tujuan untuk membuat
desain kegiatan dalam rangka penurunan emisi. Dengan pengelolaan limbah yang baik
ini, PT.Pinago dapat mengurangi pengeluaran gas rumah kaca sekitar 77.000 ton CO
2
.
Hasil kajian di India (James, 2007) menunjukkan bahwa, pengelolaan limbah
cair dari RSS (Ribbed Smoke Sheet) 150 ton per tahun berpotensi dalam penghematan
penggunaan kayu bakar pada kamar asap pengeringan RSS (Ribbed Smoke Sheet)
sebanyak 34.500 kg, 1kg kayu bakar mengeluarkan 1.83 kg CO
2
(IPCC, 1996),
sehingga 34.500 kg kayu bakar dapat mengurangi gas rumah kaca sekitar 63.135 kg
CO
2
dengan jumlah 51.75 CER. Tiap 1 CER sama dengan 1 ton CO
2
yang bisa
dikurangi oleh industri bersangkutan. Dari setiap 1 CER ini bisa didapat imbalan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 386

sekitar 4 dolar US (Gambar 2.). Nilai imbalan CER sangat fluktuatif, tergantung pada
carbon trading di Eropa dan Amerika.






Gambar 2. Grafik nilai imbalan per MtCO
2
e dalam satuan US$
Sumber : World Bank 2011

Potensi Limbah Cair Pengolahan Karet
Limbah cair merupakan limbah hasil dari proses pengolahan lateks yang
berupa bahan bahan organik, padatan tersuspensi dan nitrogen. Proses pengolahan
karet umumnya antara lain pengolahan RSS (Ribbed Smoke Sheet), pengolahan karet
remah (crumb rubber) dan pengolahan karet pekat (latex concentrate).
Limbah cair RSS (Ribbed Smoke Sheet) merupakan hasil dari pencucian karet
terkoagulasi, bak - bak koagulasi dan proses pengolahan lateks, yaitu proses
penyaringan, pengenceran, pembekuan, penggilingan, dan pengeringan. Limbah cair
lateks pekat merupakan limbah hasil dari proses pengolahan lateks, yaitu pencucian
tangki, mesin centrifuge, campuran bahan bahan kimia berupa ammonia, lauric acid
dan ammonium fosfat. Sedangkan limbah cair karet remah merupakan hasil dari
proses pembersihan, penggilingan, peremahan, dan pencucian.
Limbah cair pabrik pengolahan karet sangat banyak, tetapi belum maksimal
ditangani, sehingga perlu penanganan yang baik. Di PTPN (PT. Perkebunan
Nusantara) VII unit usaha Way Berulu, Pabrik pengolahan karet remah dengan
kapasitas produksi sebanyak 30 ton karet kering per hari menghasilkan limbah cair
yang dikeluarkan antara 750 m
3
per hari. Sedangkan di PTPN (PT. Perkebunan
Nusantara) VII unit usaha Musi Landas memiliki pabrik karet sit / RSS (Ribbed
Smoke Sit) yang menghasilkan 12 ton karet kering sit per hari, diperkirakan limbah
cair yang dihasilkan sebanyak 240 m
3
per hari. Di PT. Tjakrawala Sembawa, pabrik
pengolahan lateks pekat dengan kapasitas produksi 60 ton lateks kebun per hari dapat
menghasilkan limbah cair sekitar 36 m
3
per hari.
Limbah cair RSS (Ribbed Smoke Sheet) dan limbah cair lateks pekat (latex
concentrate) memiliki kekuatan lebih tinggi dibandingkan dengan limbah cair karet
remah (crumb rubber) (Muthurajah 1973). Berdasarkan Nguyen, et al. (2012) COD
dari limbah lateks pekat dan limbah RSS (Ribbed Smoke Sheet) lebih tinggi, yaitu
6212 mg/L dan 4350 mg/L dibandingkan dengan limbah cair karet remah (crumb
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 387

rubber), yaitu 3540 mg/L. Begitu pula dengan nilai BOD dari limbah lateks pekat dan
limbah RSS (Ribbed Smoke Sheet) juga lebih tinggi, yaitu 4010 mg/L dan 2514 mg/L
dibandingkan dengan limbah cair karet remah (crumb rubber), yaitu 2020 mg/L. Hal
tersebut dikarenakan pada pengolahan karet RSS (Ribbed Smoke Sheet) dan lateks
pekat (latex concentrate) menggunakan banyak campuran bahan bahan kimia yang
menyebabkan kandungan COD dan BOD lebih tinggi. Namun limbah cair pabrik
karet remah banyak disorot dikarenakan besarnya proporsi industri karet remah
dibanding jenis karet lainnya (Tabel 1.).
Tabel 1. Jumlah ekspor karet alam Indonesia berdasarkan tipe produk 2002
Tipe
Produk
2002
Volume
%
(000 ton)
RSS 44.2 3
SIR 1435.3 96
Krep 0 0
Lateks 8.6 1
Lainnya 7.8 1
Total 1495.9 100
Sumber : International Rubber Study Group (IRSG). 2003.

Sebelum dialirkan ke sungai, limbah cair industri karet harus diidentifikasi
mutunya terlebih dahulu agar aman bagi ekosistem air dan lingkungan. Baku mutu
limbah cair industri karet harus sesuai dengan ketentuan dari menteri lingkungan
hidup seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Baku mutu limbah cair industri karet
Parameter
Berlaku sejak tahun 1995 Revisi/berlaku mulai tahun 2000
Kadar
Maksimum
(mg/L)
Beban pencemaran
maksimum
(kg/ton KK)
Kadar
maksimum
(mg/L)
Beban pencemaran
maksimum
(kg/ton KK)
BOD
5
150 6,0 60 2,4
COD 300 12,0 200 8,0
TSS 150 6,0 100 4,0
N-NH
3
10 0,4 5 0,2
N-Nitrogen - - 10 0,4
pH 6,0 9,0 6,0 9,0
Debit maks 40m
3
limbah / ton KK 40m
3
limbah / ton KK
Sumber : SK MENLH No. Kep 51/MENLH/10/1995

Potensi Gas Metana sebagai Sumber Energi
Pengolahan limbah cair karet belum terlaksana secara maksimal, berbeda
dengan kelapa sawit yang telah ditangani secara maksimal untuk mengurangi emisi
gas rumah kaca, yaitu gas metana hasil pengolahan limbah pabrik minyak kelapa
sawit yang terlepas ke atmosfer dan dimanfaatkan menjadi sumber energi.
Meynell (1976), melaporkan metana cukup bermutu tinggi sumber energi, hal
ini tergantung berapa banyak gas yang dihasilkan. Penelitian sebelumnya telah
dilakukan di India oleh (James, 2007) bahwa limbah 1 kg RSS dapat menghasilkan
27.2 g gas metana, sehingga 0.5 ton RSS limbah per hari dapat memproduksi sekitar
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 388

13.6 kg metana per hari. Jumlah RSS yang dihasilkan di India sekitar 517500
MT/tahun, sehingga gas metana yang dihasilkan yaitu 14076 MT. Sedangkan di PT.
Pinago Utama menghasilkan limbah cair yang dimanfaatkan sebagai penghasil metana
dan digunakan untuk pengeringan sit dengan menggunakan steam.
Berdasarkan Nguyen, et al. (2012), limbah cair karet RSS (Ribbed Smoke
Sheet) mempunyai sekitar 0.5 sampai 8.0 m
3
biogas/m
3
yang memiliki 60%
konsentrasi gas metana. Produktivitas biogas dan konsentrasi gas metana bervariasi
berdasarkan jenis dan konsentrasi dari limbah cair karet.

Pembuatan Reaktor Limbah Cair
Pembuatan reaktor limbah cair karet untuk mendapatkan gas metana dapat
menggunakan sistem kolam anaerobik. Sistem kolam anaerobik yang diterapkan pada
pengolahan air limbah industri menghasilkan gas CO
2
dan CH
4
sehingga
berkontribusi terhadap pemanasan global (global warming).
Gas metana didapat melalui beberapa tahapan proses. Proses pembuatan metan
ini terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu :
1. Hidrolisis secara enzimatik, bahan-bahan organik tak larut menjadi bahan-
bahan organik dapat larut. Enzim utama yang terlibat adalah selulase yang
menguraikan selulosa.
2. Perubahan bahan-bahan organik dapat larut menjadi asam organik.
Pembentukan asam organik ini terjadi dengan bantuan bakteri non
methanogenik, protozoa dan jamur.
3. Perubahan asam organik menjadi gas metan dan karbondioksida. Proses
perubahan ini dapat terjadi karena adanya bantuan bakteri Metanogenik
(Methanobacterium dan Methanobacillus).
Keseluruhan reaksi perubahan bahan organik menjadi gas metan dan
karbondioksida dapat dituliskan dengan persamaan reaksi sebagai berikut :
(C
6
H
10
O
5
)
n
+ n H
2
O 3n CO
2
+ 3n CH
4

Persamaan tersebut berlaku bila yang menjadi substrat adalah selulosa. Untuk substrat
yang berupa senyawa organik kompleks, seperti lignin dan tanin dan senyawa polimer
aromatik lainnya, pembentukan gas metan tidak melalui reaksi seperti di atas. Substrat
yang berupa senyawa aromatik yang lebih sederhana melalui aktifitas aerobik
beberapa enzim ekstraselular yang dihasilkan oleh sejumlah mikroorganisme.
Senyawa-senyawa aromatik sederhana ini umumnya Benzenoid. Selanjutnya,
senyawa benzenoid ini melalui aktifitas bakteri metaorganik, seperti
Methanobacterium formicum dan Methanospirilum hungati, secara anaerob diubah
menjadi gas metan dan karbondioksida.
Proses perubahan ini terjadi melalui tahapan reaksi seperti berikut :
4 C
6
H
5
COOH + 24 H
2
O 12 CH
3
COOH + 4 HCOOH + 8 H
2

12 CH
3
COOH 12 CH
4
+ 12 CO
2

4 COOH 4 CO
2
+ H
2

3 CO
2
+ 12 H
2
3 CH
4
+ 6 H
2
O
Secara singkat reaksi keseluruhan di atas dapat disederhanakan menjadi:
4 C
6
H
5
COOH + 18 H
2
O 15 CH
4
+ CO
2

Dalam merancang proses anaerobik untuk perlakuan limbah cair industri,
salah satu masalah utama yaitu penyesuaian populasi bakteri terhadap limbah tertentu
(Ashok P.L.G.R dan S.V. Ramakrishna, 1990). Berdasarkan hasil penelitian Helard, D
dan Komala, PS (2006) dan mencocokan dengan determinasi Buchanan dan Gibbon
(1974) maka dapat diketahui nama spesies bakteri yang berperan dalam pengolahan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 389

limbah karet dengan jenis dominan adalah Bacillus licheniformis (20,83%),
Desulfomaculum nigricans (16,67%), Desulfomaculum ruminis (12,5%),
Bacterionema matruchotti (8,33), Clostridium tetani (8,33%) dan yang lain masing-
masing 4,17%. Bakteri tersebut didapat mampu mendegradasi limbah cair karet. Hal
ini dapat dilihat dari peranan bakteri terhadap limbah cair karet berdasarkan parameter
pH, temperatur, BOD, COD, dan nitrogen.


Gambar 3. Konsep penampungan limbah cair penangkapan gas metana
Sumber : FAO (1996)

Penangkapan gas metana secara sederhana dapat menggunakan tong ataupun
kolam yang ditutup sedemikian rupa sehingga gas yang dikeluarkan bisa diperangkap
dan dimanfaatkan. Limbah 0.5 ton RSS dapat dimasukkan ke dalam tong yang
menghasilkan 4 m
3
limbah cair, metana yang dihasilkan yaitu 13.6 kg per hari (James,
2007).


Kesimpulan
Emisi gas rumah kaca yang kian meningkat sudah menjadi perhatian dunia dan
upaya untuk menguranginya telah banyak dilakukan namun belum dapat memberikan
hasil yang signifikan sehingga perlu banyak lagi alternatif lain untuk menangani
masalah ini.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa penangkapan
gas metana melalui proses kolam anaerobik merupakan salah satu alternatif yang
mampu digunakan sebagai sumber energi terbarukan, serta mendukung dalam
penanganan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Peran penangkapan gas
metana ini dalam mengurangi emisi gas rumah kaca cukup besar melalui tahapan-
tahapan yang terkoordinasi dengan baik.
Pabrik karet di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam
menyediakan bahan baku gas metana melalui pengolahan limbah cair yang selama ini
penangananannya kurang maksimal, serta memiliki peran dalam menangani
pencemaran bau pada lingkungan sekitar pabrik pengolahan.


Sumber Bahan :
Proses Produksi
memanfaatkan limbah
cair peruses
pengolahan lateks
seperti limbah cair
karet remah (crumb
rubber), limbah cair RSS
(Ribbed Smoke Sheet),
limbah cair lateks pekat
Keluaran :
Hasil dari proses fermentasi
alami anaerobik yaitu biogas
yang berupa karbondioksida
dan metana. Selain,
dimanfaatkan untuk
pengeringan sit, metana juga
bisa dimanfaatkan sebagai
sumber energi terbarukan.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 390

Daftar Pustaka

Ashok P.L.G.R dan S.V. Ramakrishna. 1990. Start-Up in Anaerobic Treatment of
Natural-Rubber Effluent. Biological Waste 143-147. Regional Research
Laboratory (CSIR), Trivandrum - 695019, India.
Buchanan, R.E and N.E Gibbon. 1974. Bergeys Manual of Determinative
Bacteriology. Eight Edition. The William and Walkins Company Inc:
California.
Helard, D dan Komala, PS. 2006. Identifikasi Mikroba Anaerob Dominan pada
Pengolahan Limbah Cair Pabrik Karet dengan Sistem Multi Soil Layering
(Msl). Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Andalas.
James. 2007. Applications of Environmen-friendly Technologies in Natural Rubber
Processing Industry in India. Rubber Research Institute of India.
Meynell, P. J. 1976. Methane: Planning a Digester. Old Working, Surrey, The
Gresham Press.
Muthurajah. 1973. Development on the Treatment of Effluent from New Process
SMR Factories. Proc. Rubber Res. Inst. Malay. Pltrs. Conference (Kuala
Lumpur, Malaysia, 1973), pp. 402-411.
Nguyen NB., Nguyen MT., dan Phan TN. 2012. The Treatment of Natural Rubber
Processing Effluent in the Context of Climate Change. Symposium IRRDB.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 391
TL-21

Potensi Kandungan Biji Durian (Durio zibethinus) Sebagai Bahan
Baku Pembuatan Bahan Bakar Hidrokarbon.


Sri Haryati
1
, Abraham Abimanyu Kristiyono Putro
2*
, dan Yudi Saputra
2
1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Inderalaya
Km.32, Inderalaya
2
Mahasiswa Teknik Kimia UnivResitas Sriwijaya Jl. Raya Inderalaya Km.32,
Inderalaya
*
Koresponensi Pembicara. Phone: +62 711 446475
Email: abrahamkristiyono@gmail.com


ABSTRAK
Proses untuk mengkonversi karbohidrat menjadi bahan bakar dengan
memanfaatkan bantuan zeolit menjadi produk yang mengandung bahan bakar
aromatik dan non-aromatik dan berada di rentan hidrokarbon membutuhkan kadar pati
yang tinggi. Pati dapat diperoleh salah satunya dari biji durian (Durio zibethinus).
Untuk memastikan banyaknya pati dalam biji itu dibutuhkan metode yang tepat dalam
menghitung persen karbohidrat total. Salah satunya dengan analisa proksimat-analisa
kandungan karbohidrat dengan menghitung kandungan protein, lemak, abu dan air.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kandungan karbohidrat biji durian
di kota Yogyakarta adalah 43,2-43,6 %. Kandungan ini akan berbeda disetiap daerah
karena dipengaruhi oleh struktur tanah dan iklim oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian kandungan pati didaerah Palembang. Sehingga penelitian potensi biji
durian didaerah ini dapat dikembangkan lebih lanjut untuk berbagai bidang seperti
pembuatan bioetanol sebagai bioenergi.

Kata kunci : Analisa proksimat, biji durian Palembang, bioenergi, kadar pati.



1. PENDAHULUAN
Cadangan minyak bumi yang
semakin menipis seiring dengan
meningkatnya konsumsi BBM
menyebabkan lonjakan harga minyak dan
krisis energi. Oleh karena itu perlu
sumber energi alternatif yang berasal dari
biomassa, seperti tepung dari biji-bijian.
Karbohidrat dari biji-bijian berpotensi
untuk dikonversi menjadi bahan bakar
hidrokarbon.
Jianhua Yao dan timnya dari
Bartlesville, OK (US) telah berhasil
mengubah gula alkohol dari karbohidrat
cair menjadi hidrokarbon non-aromatik
dan aromatik dengan batuan zeolit alam.
Pada proses ini, kandungan karbohidrat,
starch (misal wheat, rice, corn, oats,
barley), ditingkatkan dengan resin
penukar ion disertai pemanasan. Larutan
produk itu dihidrogenasi dengan katalis
logam dan dikontakan dengan zeolit.
Hasilnya berupa produk yang
mengandung bahan bakar hidrokarbon
non-aromatik dan aromatik. Pada proses
itu dibutuhkan kandungan pati yang
tinggi. Kandungan pati dapat diperoleh
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 392
dari berbagai biomassa seperti tepung biji
durian (Durio zibethinus).
Dewasa ini biji durian lebih banyak
dimanfaatkan untuk pembuatan produk di
bidang pangan dan farmasi. Ini yang
mendasari peneliti untuk menganalisis
kandungan karbohidrat biji durian dan
dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan bahan bakar hidrokarbon.
Mengingat buah durian menjadi komoditi
pertanian yang besar sehingga sangat
disayangkan apabila biji dari buah durian
tidak termanfaatkan.

2. FUNDAMENTAL
Kulit dan Daging Biji Durian
Durian (Durio zibethinus) adalah
nama tumbuhan tropis yang berasal dari
Asia Tenggara. Nama ini diambil dari ciri
khas kulit buahnya yang keras dan
berlekuk-lekuk tajam sehingga
menyerupai duri. Selain sebagai makanan
buah segar, manfaat tanaman durian yaitu
tanamannya sebagai pencegah erosi di
lahan-lahan yang miring, batanya untuk
bahan bangunan/perkakas rumah tangga,
kayu durian setaraf dengan kayu sengon
sebaba serat kayu cenderung lurus,
bijinya yang memiliki kandungan pati
cukup tinggi, berpotensi sebagai
alternatife pengganti makanan (dapat
dibuat bubur yang dicampur daging
buahnya), kulit dipakai sebagai bahan abu
gosok yang bagus, dengan cara dijemur
sampai kering dan dibakar sampai
halus.[5]
Pada umur 8 tahun, tanaman durian
sudah mulai berbunga. Musim berbunga
jatuh pada waktu kemarau, yakni bulan
Juni-September sehingga bulan Oktober-
Februari buah sudah dewasa dan siap
dipetik.[2]. Jumlah durian yang dapat
dipanen dalam satu pohon adalah 60-70
butir per phon per tahun dengan bobot
rata-rata 2,7 kg. Jumlah produksi durian
di Filipina adalah 16.700 ton (2.030 ha),
di Malaysia 262.00 ton (42.000 ha), di
Thailand 444.500 ton (41.284 ha) pada
tahun 1987-1988. Di Indonesia pada
tahun yang sama menghasilkan 199.361
ton (41.284 ha) pada tahun 1990
menghasilkan 275.717 ton (45.372 ha).
Dengan potensi durian yang
demikian besar di Indonesia maupun di
dunia, akan sangat disayangkan jika biji
durian (Pongge) yang sering dianggap
limbah tidak dimanfaatkan untuk sesuatu
yang lebih besar manfaatnya seperti
pembuatan bioethanol ini. Kandungan
nutrisi dalam 100 gram biji durian seperti
yang dikutip dari Michael J Brown, Durio
A Bibliographic Review, 1997, hal. 157
ditunjukkan dalam table 2.3 [6]
Dari table 2.3 terlihat kandungan
karbohidrat (amilum) dalam biji durian
cukup tinggi yaitu 43,6% untuk biji segar
dan 46,2% untuk biji yang sudah diolah.
Ini merupakan angka yang potensial
untuk pengolahan amilum menjadi etanol.







Tabel 2.3 Kandungan Nutrisi Biji Durian
Zat
Per 100
gram biji
mentah
tanpa
kulitnya
Per 100
gram biji
telah
dimasak
tanpa
kulitnya
Kadar air
Lemak
Protein
Karbohidrat
total
Serat kasar
Nitrogen
Abu
Kalsium
Pospor

Besi
Natrium
Kalium
Beta
51,5 g
0,4 g
2,6 g
43,6 g



1,9 g
17 mg
68 mg

1,0 mg
3 mg
962 mg
250 g
51,1 g
0,2-0,23 g
1,5 g
43,2 g

0,7-0,71 g
0,297 g
1,0 g
3,9-88,8 mg

86,65-87
mg
0,6-0,64 mg


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 393
Karotin
Riboflavin

Thiamin

Niacin
0,05 mg




0,9 mg

0,05-0,052
mg
0,03-0,032
mg
0,89-0,9 mg

Komponen Karbohidrat Biji Durian
Komponen karbohidrat biji durian
adalah polisakarida. Secara spesifik jenis
karbohidrat pada biji durian adalah pati
dengan kadar amilosa 25% saat padat dan
75% saat bercampur dengan air.[5]

Pati dan Amilum
Pati atau amilum adalah karbohidrat
kompleks yang tidak larut dalam air,
berwujud bubuk putih, tawar dan tidak
berbau. Pati digunakan sebagai bahan
untuk memekatkan makanan cair seperti
sup. Dalam industri, pati dipakai sebagai
komponen perekat, campuran kertas dan
tekstil dan pada industri komestika. Pati
tersusun dari dua macam karbohidrat,
amilosa dan amilopektin, dalam
komposisi yang berbeda-beda.
Amilosa memberikan sifat keras, dan
polisakarida yang tersusun dari glukosa
sebagai monomernya, terhubung dengan
ikatan 1,6-glikosidik. Amilosa
merupakan polimer tidak bercabang yang
bersama-sama dengan amilopektin
menjadi komponen penyusun pati.
Sedangkan amilopektin bersifat lengket
dan polisakarida yang tersusun dari
monomer -glukosa. Walaupun tersusun
dari monomer yang sama, amilopektin
berbeda dengan amilosa yang terlihat dari
karakteristik fisiknya. Struktur
amilopektin terbentuk dari rantai glukosa
dengan ikatan 1,6-glikosidik, namun
terbentuk cabang-cabang sekitar tiap 20
mata rantai glukosa. Amilopektin tidak
larut dalam air.

Metode Analisa Gula
1. Analisis proksimat karbohidrat yaitu
analisa meliputi kandungan protein,
lemak, air, dan abu dalam bahan.
2. Analisis Karbohidrat Langsung
Metode yang telah dikembangkan
untuk analisis karbohidrat sangat banyak
dan tergantung oleh jenis analisis dan tipe
karbohidrat yang dianalisis. Metode
pengukuran karbohidrat sangat beragam
yaitu metode kromatografi dan
elektroforesis (Kromatografi Lapis Tipis,
Kromatografi Likuid Kinerja Tinggi dan
Kromatografi Gas); metode kimia
(metode titrasi lane Eynon, metode
gravimetri Munson Walker, metode Luff
Schoorl, metode kalorimetri seperti
anthrone sulfat dan fenol sulfat); metode
enzimatis; metode fisik (polarimetri,
indeks refraktif, densitas dan infra merah)
serta metode immunoassay.
Uji karbohidrat yang resmi ditetapkan
oleh BSN dalan SNI 01-2891-1992 yaitu
analisis total karbohidrat dengan
menggunakan metode Luff Schoorl.
Metode Luff-Schoorl yaitu reduksi
Cu
2+
menjadi Cu
1+
oleh monosakarida.
Monosakarida bebas akan merekduksi
larutan basa dari garam logam menjadi
bentuk oksida atau bentuk bebasnya.
Kelebihan Cu
2+
yang tidak tereduksi
kemudian dikuantifikasi dengan titrasi
iodometri.
Reaksi yang terjadi (1.2):
Karbohidrat kompleks gula sederhana
(gula pereduksi)
Gula pereduksi + 2 Cu
2+
Cu
2
O
(s)

2 Cu
2+
(kelebihan) + 4I
-
2 CuI
2
2
CuI
-
+ I
2

I
2
+ 2S
2
O
2
2-
2 I
-
+ S
4
O
6
2-

3. METODOLOGI
Metode yang digunakan adalah
metode analisa proksimat. Ini dilakukan
untuk mengetahui kandungan karbohidrat
total biji durian di kota Palembang.
Analisa dilakukan pengulangan tiga kali.
Beberapa tahapan yang dilakukan, yaitu :





Biji Durian
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 394























Biji Durian diperoleh secara acak di
pasar kota Palembang. Mereka dikupas
untuk dipisahkan antara kulit dan daging
biji, kemudian dibentuk menjadi
potongan-potongan kecil agar
mempercepat proses pengeringan. Setelah
itu potongan kecil tersebut dikeringkan
dengan panas matahari langsung untuk
mempermudah proses penggilingan.
Setelah kering mereka digiling dengan
blender dan diayak sehingga diperoleh
tepung yang halus.

Analisa Protein
Ambil 0.015 gram sampel dan
masukan ke dalam labu takar 100 ml dan
encerkan dengan aquades sampai tanda.
Ambil 100 ml dari larutan dan masukan
ke dalam labu kjeldahl 500 ml dan
tambahkan 10 ml H
2
SO
4
. Tambahkan 5
gram campuran Na
2
SO
4
-NaTio (20:1)
untuk katalisator. Didihkan samapi jernih
dan lanjutkan pendidihan 30 menit lagi
setelah dingin, cucilah dinding dalam
labu kjeldhal dengan aquades dan
didihkan lagi selama 30 menit. Setelah
dingin tambahkan 140 ml aquades dan
tambahkan 35 ml larutan NaOH-Na
2
S
2
O
3
.
Kemudian lakukan distilasi. Destilat
ditampung sebanyak 100 ml dalam
erlemeyer yang berisi 25 ml larutan jenuh
asam borat dan beberapa tetas indicator
metal merah. Titrasi larutan yang
diperoleh dengan 0.02 HCl.
Hitung Total N atau % protein dengan
persamaan:

(3.1) ... 6,25 F dengan / 08 , 14 Pr % N Fmg x x
Bahan Berat
HCl N x HCl ml
otein

Analisa Lemak
Langkah Awal: Persiapkan kertas
saring, kapas untuk membungkus sampel
dan benang untuk mengikatnya. Cuci
labu, kemudian dikeringkat didalam
oven. Timbang berat labu.Timbang
masing-masing sampel dengan neraca
ohauss sebnyak 5 gram. Bungkus sampel
yang telah ditimbang, kemudian diikat.

Gambar 3.1 Ekstraksi Soxhlet
Ekstraksi Soxhlet: Persiapkan alat
yang akan digunakan. Rancang alat
ekstraksi soxhlet. Masukkan sampel
kedalam alat ekstraksi. Cuci sampel
dengan pelarut hexane 100 ml. Hidupkan
pemanas pada alat ekstraksi dengan suhu
awal 40
o
C. Air penampung pada ember
harus selalu dijaga agar tetap dingin.
Ekstraksi berlangsung selama 4 jam.
Setelah 4 jam, lepaskan labu dari
rangkaian alat kemudian dikeringkan
selama 1 jam didalam oven dengan suhu
Dikupas
(Dipisahkan antara
kuliat dan daging
biji durian)

Tepung

Potongan kecil

Pengayakan

Potongan kecil


Penggilingan

Pengeringan

Potongan kecil


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 395
105,5
o
C. Setelah 1 jam, pindahkan labu
ke deksikator selama 30 menit. Timbang
berat labu.
) 2 . 3 ..( . % 100 % x
Sampel Berat
Sampel Berat Labu Awal Berat Akhir Berat
Lemak


Analisa Abu
Siapkan sampel. Cawan porselen
dicuci bersih kemudian dikeringkan
didalam oven. Timbang berat cawan
kosong. Timbang masing-masing sampel
sebanyak 2 gram, kemudian masukkan
kedalam cawan porselen. Panaskan
sampel diatas penangas pada suhu 500
o
C.
Setelah asap hasil pemanasan hilang,
angkat cawan porselen yang berisi sampel
kemudian masukkan ke dalam furnace
(muffle) dengan suhu 505,5
o
C selama 2
jam (hingga terbentuk abu berwarna putih
secara keseluruhan). Setelah terbentuk
abu, masukkan ke dalam oven selama 1
jam pada suhu 105,5
o
C. Setelah dioven,
pindahkan ke dalam deksikator selama 30
menit. Setelah 30 menit, timbang berat
cawan porselen yang berisi abu sampel
(3.3) ..... % 100 % x
Sampel Berat
Kosong Cawan Berat Akhir Berat
content Ash


Analisa Air
Siapkan sampel. Gelas Aluminium
dicuci bersih kemudian dikeringkan
didalam oven. Timbang berat kosong
gelas aluminium. Masukkan sampel ke
dalam gelas aluminium. Masukkan gelas
aluminium yang berisi sampel ke dalam
oven pada suhu 105,5
o
C selama 3
jam.Setelah 3 jam, masukkan ke
deksikato selama 30 menit. Setelah 30
menit, keluarkan kemudian timbang
beratnya dengan neraca ohauss.
..(3.4) % 100 1 % x
Sampel Berat
Kosong Gelas Berat Akhir Berat
content water

Analisa Karbohidrat

t Karbohidra % 100 % - (% Protein + % Lemak + % Abu +
% Air) .(3.5)

4. Hasil dan Pembahasan

Hasil Analisa



Grafik 4.1 Kandungan Protein di Kulit
dan Daging Biji Durian
















Grafik 4.2 Kandungan Lemak di Kulit
dan Daging Biji Durian

















Grafik 4.3 Kandungan Abu di Kulit dan
Daging Biji Durian




Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 396








Grafik 4.4 Kandungan Air di Kulit dan
Daging Biji Durian

Pembahasan
Sebelum analisa dilakukan, biji durian
dicuci dan dikupas kulit dan dagingg.
Kemudian merka harus dikeringkan
untuk mempermudah ketika proses
penggilingan. Pengeringan berlangsung
selama tiga hari dengan memanfaatkan
panas matahari. Mereka dikatakan kering
ketika diraba tidak berasa lengket dan
ditimbang tidak terjadi pengurangan berat
untuk tiga kali penimbangan selama tiga
hari pengeringan. Pengeringan
menggunakan panas matahari karena
panas dapat merata dan lebih cepat
dibandingkan menggunakan oven. Berat
basah biji durian 7,075 kg dan setelah
dikeringkan 3,65 kg. Setelah kering, kulit
dan daging biji, digiling dengan blender
dan diayak. Ayakan yang digunakan
berukuran 40 mesh, sehingga didapat
tepung. Banyak tepung kulit dan daging
biji durian adalah 1,035 kg dan 2,615 kg.
Untuk menghitung protein, pada
tahap destruksi, sampel yang telah
dicampur dengan HgO, Na
2
SO
4
, H
2
SO
4
,
aquades, dan pemanasan berubah dari
jernih menjadi berbuih dan pada dinding
terdapat flat-flat hitam. Itu
mengindetikasi protein pada sampel
mengalami denaturasi dan terpisah dari
komponen non-protein. Protein itu bisa
diambil dengan proses destilasi. Pada
tahap ini digunakan asam borat jenuh dan
indikator metil merah. Destilasi dilakukan
sampai volume 40/50 ml dan warna yang
dihasilkan kuning gelap. Setelah semua
protein terpisah, maka untuk menghitung
%N dilakukan titrasi asam kuat (HCl 0.02
N yang digunakan dalam analisa kali ini).
Titrasi berhenti ketika larutan berubah
menjadi merah muda. Hasilnya
kandungan rata-rata protein kulit dan
daging biji durian sesuai grafik 4.1 adalah
11.62% dan 10.54% berat kering.
Untuk menghitung lemak
menggunakan analisa ekstraksi soxhlet,
peralatan yang digunakan terdiri dari
tabung kondesor, labu, penangas
chamber, dan tabung ekstraksi soxhlet.
Pelarut yang digunakan adalah n-hexane.
Prinsip alat itu seperti menyedu tea, yaitu
lemak akan terlarut sedangkan ampas
tertahan di kertas saring dan kapas.
Ketika proses ekstraksi, warna hexane
berubah dari jernih menjadi kekuningan.
Warna kuning adalah lemak dari biji
durian. Ekstraksi soxhlet berlangsung
selama 3 jam, agar semua lemak dapat
terlarut. Untuk pemisahan pelarut dari
lemak maka dilakukan ekstraksi pada
temperatur 156
o
F (titik didih hexane).
Selanjutnya labu dioven untuk
menguapkan sisa-sisa pelarut. Berat
lemak dihitung menggunakan selisih
berat akhir dan berat labu kosong.
Hasilnya kandungan rata-rata lemak di
kulit dan biji durian sesuai grafik 4.2
adalah 13,17% dan 10,48% berat kering.
Kulit biji memiliki lemak yang lebih
banyak daripada daging biji durian.
Untuk menghitung abu, sampel
seberat 2 gram (tolerasi dibawah 0.0020
grm), dibakar dengan hot plate sampai
asap pembakaran hilang. Bubuk itu, yang
berubah berwarna hitam dan sedikit
putih, masih belum terbentuk abu, harus
dibakar kembali menggunakan furnace
(muffle) sampai semua bubuk berwarna
keputih-putihan, artinya telah terbentuk
abu. Panas pembakaran mencapai 700
o
C.
Berat abu dihitung menggunakan selisih
berat cawan akhir dan berat cawan
kosong. Hasilnya kandungan rata-rata
abu di kulit dan biji durian sesuai grafik
4.3 adalah 12.38% dan 10,37% berat
kering. Kulit memiliki persen abu yang
lebih banyak daripada daging.
Untuk menghitung air, sampel
seberat 2 gram (tolerasi dibawah 0.0020
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 397
gram) dipanaskan dalam oven selama 3
jam. Panas oven mencapai 105
o
C.
Kemudian itu ditimbang setelah
dimasukan ke desikator selama 30 menit,
dipanaskan kembali selama 1 jam, dan
ditimbang kembali sampai didapat berat
konstan. Berat yang tak berubah artinya
seluruh kandungan air telah teruapkan.
Hasilnya kandungan rata-rata air dalam
kulit dan biji durian sesuai grafik 4.4
adalah 12.59% dan 10.46% berat kering.
Kembali kandungan air di kulit lebih
banyak daripada daging.
Setelah dihitung dengan persamaan
(3.5), rata-rata karbohidrat di kulit dan
daging biji durian mencapai 49.61% dan
58.13% berat kering. Kandungan
karbohidrat yang lebih banyak pada
daging biji memberikan gambaran bahwa
daging biji durian berpotensi sebagai
bahan baku untuk pembuatan bahan bakar
hidrokarbon.

5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa daging biji
durian mengandung 58,13% karbohidrat,
10,48% protein, 10,48% lemak, 4,703%
abu dan 10,371% air sehingga berpotensi
sebagai bahan baku pembuatan
hidrokarbon.

Saran
Penelitian ini merupakan penelitian
potensi dan dapat dikembangkan lebih
lanjut untuk berbagai bidang seperti
pembuatan bioetanol sebagai bioenergi.

Daftar Pustaka
[1] KADOUNIK.COM, diakses tanggal 4
Januari 2009, pukul 05.15 WIB

[2] Nurfiana, Fifi dkk. (2009).
Pembuatan Bioetanol dari Biji Durian
Sebagai Sumber Energi Alternatif.
Seminar Nasional V, Sekolah Tinggi
Teknologi Nuklir Badan Tenaga
Nuklir Nasional

[3] DUREN@JUNTAK.COM, diakses
tanggal 4 Januari 2009, pukul 06.00
WIB

[4] www.indeni.org, diakses tanggal 22
Agustus 2008, pukul 16.30 WIB

[5] Zobel, H.F. Strach: Source,
Production dan Properties. Dalam:
Schenck, F.W dan Hebeel, R.E. Strach
Hydrolysis Product. New York: VCh
Publisher, Inc., 1992:23-29

[6] Toa F, Miao JY, Shi GY, and Zhang
KC. (2003). Bioethanol Fermentation
by an Acid Tolerant Zymomonas
mobilis under Nonsterillized
Condition. Process Biochemistry,
Elsevier, 40, 183-187.

[7] Fessenden & Fessenden, Alih Bahasa
Pudjaatmaka AH. (1982). Kimia
Organik, Edisi Ketiga, Jilid 2,
Erlangga, Jakarta: 318:319

[8]Azam, Khoirul. (2009). Diterima
tanggal 4 Januari 2009 dari
http://khoirulazam89.blogspot.com/20
12/01/prinsip-kerja-ektraktor-
soxhlet.html,
Erro, Sjostrom. (1995). .Kimia Kayu:
Dasar-dasar dan Penggunaan.
Cetakan kedua. Sastrohamidjojo, H
(penerjemah). Universitas Gadjah
Mada: Yogyakarta.
Fengel, Wegener. (1984). Kayu: Kimia,
Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Cetakan
pertama. Sastrohamidjojo, H
(penerjemah). Universitas Gadjah
Mada: Yogyakarta.
Kollman, F. P. And Cote, W.A. (1984).
Principles of Wood Science and
Techonolgy. Sprenger Verlag, New
York.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 398
TL-22

Degradasi Pewarna Sintetis Procion Biru Menggunakan Metode
Fotokatalisis dengan bantuan Sinar Matahari

Tuty Emilia Agustina
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
Jln. Raya Palembang Prabumulih Km. 32 Inderalaya Ogan Ilir 30662

Abstract
Palembang is the one of the city which has many of varieties home industry. Among
them, there are industries in textile area activity such as jumputan cloth, songket, or
Palembang Stamp Batik. Most of these textile industries used synthetic color because
of cheap, fix color, easy to find, and to apply. However, the application of the
synthetic color result in environmental pollution because of the color wastewater
produced is difficult to degrade. One of the colored wastewater treatment processes is
Advanced Oxidation Processes (AOPs), photocatalysis is among the AOPs method
utilized. In this research, the anatase-nanopowder TiO
2
catalyst was used. The catalyst
was coating on the plastic and the catalyst concentration was varied 0-0,4 gr/mL.
Procion Blue was chosen as the model of pollutant within the concentration of 25-100
mg/L. Degradation of organic content was examined in the term of color degradation
within 0-15 hrs under solar irradiation. By using the color concentration of 25 mg/L
and catalyst concentration of 0.2 g/ml, the color degradation of 85% was achieved
after 15 hrs.

Keywords : Advanced Oxidation Processes (AOPs), Photocatalysis, Synthetic
dyes, Solar
irradiation

Abstrak
Palembang merupakan satu salah kota yang memiliki berbagai macam home industri,
diantaranya industri yang beraktivitas di bidang tekstil seperti memproduksi kain
jumputan, songket, atau pun Batik Cap khas Palembang. Kebanyakan indutri tekstil
ini menggunakan pewarna sintetis dengan alasan murah, warnanya bertahan, mudah
diperoleh, dan mudah dalam penggunaannya. Akan tetapi penggunaan pewarna
sintetis ini menimbulkan pencemaran lingkungan karena air limbah yang mengandung
pewarna sulit terdegradasi. Salah satu proses pengolahan pewarna sintetis yang
dihasilkan dari air limbah industri tekstil adalah dengan Advanced Oxidation
Processes (AOPs), di antaranya dengan menggunakan metode fotokatalisis. Pada
penelitian ini digunakan katalis anatase-nanopowder TiO
2
. Katalis dilapisi di atas
plastik dan konsentrasi katalis divariasikan 0-0,4 gr/mL. Pewarna sintetis yang dipilih
sebagai model polutan adalah Procion Biru dengan konsentrasi 25-100 mg/L.
Degradasi kandungan organik dalam polutan diteliti dalam penurunan warna selama
0-15 jam di bawah sinar matahari. Dengan menggunakan konsentrasi pewarna sintetis
Procion Biru 25 mg/L dan konsentrasi katalis 0,2 g/mL dicapai degradasi warna
sebesar 85% setelah penyinaran selama 15 jam.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 399
Kata kunci : Advanced Oxidation Processes (AOPs), Fotokatalisis, Pewarna
sintetis,
sinar matahari


1. PENDAHULUAN
Industri tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu bidang yang sangat
berkembang di Indonesia, termasuk di propinsi Sumatera Selatan khususnya
Palembang. Perkembangan industri ini dapat dilihat dari nilai ekspor tekstil dan
produk tekstil (TPT) yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Industri tekstil adalah industri yang bergerak untuk memproduksi barang-
barang tekstil, mulai dari industri penghasil bahan baku tekstil, pakaian jadi dan
industri barang-barang tekstil lainnya. Dengan kata lain industri tekstil adalah industri
yang memproduksi atau mengolah bahan mentah, bahan baku dan atau bahan
setengah jadi menjadi produk tekstil yang bernilai tinggi. Di Palembang, industri yang
bergerak di bidang sandang ini, didominasi dengan sentra usaha pencelupan benang
dan produksi kain tradisional seperti kain jumputan, tenunan songket, ataupun batik
cap dengan motif khas Palembang.
Semakin modern peralatan yang digunakan dalam proses produksi, semakin
sedikit kebutuhan akan tenaga kerja. Oleh karena itu, industri tekstil konvensional
banyak membutuhkan tenaga kerja, sehingga berdampak positif, sebagai upaya
meminimalisasi angka pengangguran dengan adanya lapangan pekerjaan di bidang
sandang. Akan tetapi sebagaimana umumnya industri kecil yang berskala rumah
tangga, sentra industri tekstil konvensional tidak mempunyai unit pengolahan limbah.
Padahal sentra ini banyak menghasilkan limbah cair yang berasal dari proses
pencelupan dan pencucian.
Karakteristik utama dari limbah industri tekstil adalah tingginya kandungan
zat warna sintetik, yang apabila dibuang ke lingkungan tentunya akan membahayakan
ekosistem perairan. Zat warna ini memiliki struktur kimia yang berupa gugus
kromofor dan terbuat dari beraneka bahan sintetis, yang membuatnya resisten
terhadap degradasi saat nantinya sudah memasuki perairan. Meningkatnya kekeruhan
air karena adanya polusi zat warna, dapat menghalangi masuknya cahaya matahari ke
dasar perairan sehingga mengganggu keseimbangan proses fotosintesis, ditambah lagi
adanya efek mutagenik dan karsinogen dari zat warna tersebut, membuatnya menjadi
masalah yang serius. Pewarna kain sintetis tersebut merupakan zat warna senyawa
organic dari jenis procion, erionyl, auramin, maupun rhodamin yang jika dialirkan ke
badan perairan akan mengurangi kadar oksigen terlarut untuk organisme perairan
karena oksigen tersebut justru digunakan sebagai pengoksidasi senyawa organik zat
warna tersebut (Budiyono, 2008).
Pada kenyataannya pembuangan limbah cair yang mengandung pewarna
sintetis biasanya langsung ke selokan di sekitar rumah atau lokasi aktivitas produksi.
Karena lokasi sentra usaha industri kecil tekstil berada pada lingkungan permukiman
maka perlu dilakukan usaha untuk melakukan pengolahan limbah cair yang murah,
efisien dan sederhana agar tidak berdampak negatif bagi lingkungan.
Pengolahan limbah cair dapat dibagi menjadi pengolahan primer, pengolahan
sekunder, dan pengolahan tersier. Pengolahan primer adalah pengolahan secara fisik,
biasanya untuk memisahkan solid dan dapat dilakukan dengan penyaringan (filtrasi),
sedimentasi, flotasi, adsorpsi maupun membran. Sedangkan pada pengolahan
sekunder adalah pengolahan secara biologi yaitu dengan cara menguraikan limbah
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 400
dengan bantuan mikroorganisme. Untuk limbah yang bersifat tidak dapat diuraikan
secara biologi (non-biodegradable) akan diolah dengan pengolahan tersier (Woodard,
2001). Dalam hal ini, limbah pewarna tekstil termasuk bersifat non-biodegradable.
Menurut Zinkus dkk. (1998) pengolahan limbah tersier dapat dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya dengan metoda inceneration, ozone treatment,
activated carbon adsorption, dan air stripping. Metoda inceneration merupakan
metoda yang mahal dalam penggunaannya. Metoda ozone treatment hanya
menguraikan secara parsial. Sedangkan metoda activated carbon adsorption dan air
stripping hanya memindahkan senyawa-senyawa pencemar ke media atau fasa lain.
Metoda lain yang telah berkembang saat ini yaitu Advanced Oxidation Processes
(AOPs), yang memiliki kelebihan yaitu dapat mendegradasi senyawa-senyawa
berbahaya dalam limbah melalui proses oksidasi (oxidative degradation) (Malato dkk,
2003).
Teknologi AOPs adalah satu atau kombinasi dari beberapa proses seperti ozon
(O
3
), hydrogen peroxide, ultraviolet light, titanium oxide, photocatalyst, sosnolysis,
electron beam, electrical discharges serta beberapa proses lainnya untuk
menghasilkan hidroksil radikal (Sugiarto, 2004). Salah satu metodenya yang
digunakan dalam penelitian ini adalah fotokatalisis dengan katalis Titanium dioksida
(TiO
2
). Penggunaan katalis ini sudah banyak diteliti karena kemampuannya yang
dapat teraktifkan dengan sinar matahari sehingga memungkinan suatu proses
fotokatalisis yang hemat energi. Penggunaan TiO
2
dalam keadaan tersuspensi
memberikan laju reaksi yang tinggi, akan tetapi penggunaannya dengan dilapisi pada
suatu permukaan lebih disukai karena tidak memerlukan proses pemisahan dari
larutan yang diolah (Malato dkk, 2002).
Beberapa peneliti telah mengembangkan metode pelapisan TiO
2
pada berbagai
bahan. TiO
2
telah diimobilisasi pada zeolit (Hashimoto, dkk, 2001), karbon aktif (Gao
dan Liu, 2005), keramik (Maatta dkk, 2007) maupun plastik akrilik (Neti dan Joshi,
2010) dan telah berhasil mendegradasi beberapa polutan organik. Akan tetapi,
sepanjang pengetahuan penulis penggunaan polimer plastik seperti plastik PET
sebagai material yang dilapisi belum pernah dilaporkan. Pada penelitian ini, katalis
nano TiO
2
akan dilapisi di atas plastik PET dan diteliti degradasi pewarna Procion
Biru secara fotokatalisis dengan bantuan sinar matahari.

2. BAHAN DAN ALAT
Limbah pewarna sintetik dibuat dengan melarutkan Procion Biru ke dalam
aquadest dengan konsentrasi larutan 25 mg/L, 50 mg/L, dan 100 mg/L TiO
2
yang
digunakan adalah nano partikel yang diperoleh dari Sigma-Aldrich. Proses pelapisan
TiO
2
dilakukan dengan mencampurkan katalis TiO
2
dengan berat tertentu dan aseton
ke dalam beker gelas berukuran 250 ml hingga tercampur merata. Kemudian
tambahkan cyanoacrylate ke dalam larutan dan diaduk perlahan. Setelah campuran
mulai mengental dimasukan plastik PET kemudian diangkat dan keringkan pada
temperatur ruang.
Penelitian ini dilakukan secara batch dengan reaktor silinder berkapasitas 300
ml. Reaktor diisi larutan Procion Biru 250 ml dan diberikan katalis TiO
2
dengan
konsentrasi katalis masing-masng 0,05 g/mL, 0,1 g/mL, 0,2 g/mL, dan 0,4 g/mL.
Larutan yang telah diberikan katalis TiO
2
dijemur di bawah sinar matahari. Penurunan
warna diamati tiap 3 jam mulai dari pukul 9.00 wib hingga 15.00 wib selama 3 hari.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 401
Degradasi warna ditentukan berdasarkan absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer. Persentase degradasi warna dapat dihitung menggunakan
persamaan :
Persentase degradasi warna = ((Ao-At)/Ao) x 100 %
Dimana, Ao adalah absorbansi awal larutan sebelum diberikan katalis dan At
adalah absorbansi larutan setelah proses pada waktu t (jam).



3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pengaruh waktu terhadap degradasi warna pada berbagai konsentrasi
katalis
Dengan bertambahnya waktu penyinaran dapat dilihat bahwa persen degradasi
warna akan semakin meningkat, seperti ditunjukkan dalam Gambar 1 dan 2. Hal ini
disebabkan dengan bertambahnya lama penyinaran akan semakin besar kesempatan
terjadinya reaksi fotokatalisis. Dengan bertambahnya energi yang diterima semakin
banyak hidroksil radikal yang terbentuk untuk mengoksidasi senyawa pewarna
sehingga ikatan rangkapnya terputus dan terurai menjadi senyawa yang lebih
sederhana.


Gambar 1. Pengaruh waktu terhadap persentase degradasi warna pada
konsentrasi Procion Biru 25 ppm
0
20
40
60
80
100
0 3 6 9 12 15 18
D
e
g
r
a
d
a
s
i

W
a
r
n
a

(
%
)

Waktu (Jam)
0,05 g/mL
0,1 g/mL
0,2 g/mL
0,4 g/mL
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 402

Gambar 2. Pengaruh waktu terhadap persentase degradasi warna pada
konsentrasi Procion Biru 50 ppm
Pada Gambar 1 dan 2 dapat dilihat secara konsisten bahwa pada penggunaan
konsentrasi pewarna sintetis yang berbeda yaitu 25 mg/L dan 50 mg/L persen
degradasi warna naik dengan bertambahnya waktu penyinaran. Akan tetapi pada
penggunaan konsentrasi pewarna 100 mg/L tidak terlihat perubahan warna yang
signifikan, hal ini disebabkan konsentrasi pewarna yang terlalu pekat sehingga sampai
dengan jam ke-15 belum terjadi perubahan warna.
3.2. Pengaruh konsentrasi pewarna sintetis terhadap degradasi warna


Gambar 3. Efek Konsentrasi Pewarna terhadap Persentase Degradasi Warna
pada berbagai Konsentrasi Katalis TiO
2
dengan Lama Penyinaran 12 jam

0
20
40
60
80
100
0 3 6 9 12 15 18

D
e
g
r
a
d
a
s
i

W
a
r
n
a

(
%
)

Waktu (jam)
0,05 g/mL
0,1 g/mL
0,2 g/mL
0,4 g/mL
0
20
40
60
80
100
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
D
e
g
r
a
d
a
s
i

W
a
r
n
a

(
%
)

Konsentrasi Katalis TiO
2
(g/mL)
25 mg/L
50 mg/L
100 mg/L
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 403

Gambar 4. Efek Konsentrasi Pewarna terhadap Persentase Degradasi Warna
pada berbagai Konsentrasi Katalis TiO
2
dengan Lama Penyinaran 15 jam
Untuk mengamati pengaruh konsentrasi pewarna sintetis terhadap degradasi
warna yang terjadi, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan konsentrasi Procion
Biru 25, 50, dan 100 mg/L. Hasilnya dapat diilustrasikan pada Gambar 3 untuk lama
penyinaran 12 jam dan Gambar 4 untuk lama penyinaran 15 jam. Dapat dilihat dari
kedua gambar bahwa semakin kecil konsentrasi pewarna sintetis yang digunakan,
akan semakin besar persen degradasi warna yang dicapai. Hal ini tentu saja
dikarenakan ketika jumlah katalis yang sama dipakai untuk mengolah pollutan yang
lebih sedikit, maka persentasi degradasi warnanya akan semakin besar. Semakin
tinggi konsentrasi pewarna akan semakin sulit untuk didegradasi karena jumlah
molekulnya semakin banyak.
3.3. Pengaruh konsentrasi katalis terhadap degradasi warna
Pada penelitian ini, konsentrasi katalis divariasikan 0-0,4 g/mL. Pada
penggunaan pewarna sintetis dengan konsentrasi 25 mg/L dapat dilihat pada Gambar
5 bahwa naiknya konsentrasi katalis diiringi dengan kenaikan persentase degradasi
warna. Akan tetapi kenaikan konsentrasi dari 0,2 g/mL ke 0,4 g/mL diikuti dengan
menurunnya persentase degradasi warna. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah katalis
yang optimum dalam penelitian ini adalah 0,2 g/mL. Tren ini diperlihatkan secara
konsisten sejak jam ke-3 sampai jam ke-15, dimana persen degradasi warna tertinggi
yang dicapai adalah 85%.

0
20
40
60
80
100
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

D
e
g
r
a
d
a
s
i

W
a
r
n
a

(
%
)

Konsentrasi Katalis TiO
2
(g/mL)
25 mg/L
50 mg/L
100 mg/L
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 404

Gambar 5. Pengaruh Konsentrasi Katalis TiO
2
terhadap Persentase Degradasi
Warna pada Konsentrasi Pewarna Sintetis 25 mg/L

Konsentrasi katalis memainkan peran yang sangat penting di dalam
penghilangan warna dengan metode fotokatalisis (Jeni dan Kanmani, 2011). Dengan
menaikan konsentrasi katalis di luar kondisi optimumnya akan menurunkan
persentase degradasi warna karena kenaikan dalam turbiditas yang dapat mengurangi
transmisi cahaya untuk dapat masuk ke dalam larutan.

4. KESIMPULAN

Pada pengolahan pewarna sintetis Procion Biru dengan metode fotokatalisis
berbasis TiO
2
yang dilapisi di atas plastik PET didapat persen degradasi warna
terbesar yaitu 85%, yang dicapai dengan menggunakan konsentrasi pewarna 25 mg/L,
konsentrasi katalis 0,2 g/mL, dan lama penyinaran 15 jam.

DAFTAR PUSTAKA

Budiyono, 2008, Kriya Tekstil Untuk SMK, Direktorat Pembinaaan Sekolah
Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Gao, Y. and Liu, H., 2005, Preparation and Catalytic Property Study of a Novel Kind
of Suspended Photocatalyst of TiO
2
-activated Carbon Immobilized on Silicone
Rubber Film, Mater. Chem. Phys. 92, 604-608.

Hashimoto, K., Wasada, K., Osaki, M., Shono, E., Adachi, K., Touki, N., Kominami,
H. and Kera, Y., 2001, Photocatalytic Oxidation of Nitrogen Oxide Over Titania
Zeolite Composite Catalyst to Remove Nitrogen Oxides in the Atmosphere, Appl
Catal. B. 30, 429-436.

0
20
40
60
80
100
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
D
e
g
r
a
d
a
s
i

W
a
r
n
a

(
%
)

Konsentrasi Katalis TiO
2
(gr/mL)
Jam ke-0
Jam ke-3
Jam ke-6
Jam ke-9
Jam ke-12
Jam ke-15
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 405
Jeni, J. and Kanmani, S. 2011, Solar Nanophotocatalytic Decolorisation of Reactive
Dyes Using Titanium Dioxide. Iran. J. Environ. Health. Sci. Eng. 8, 15-24.

Malato, S., Blanco, J., Vidal, A. and Richter, C., 2002, Photocatalysis with Solar
Energy at a Pilot-plant Scale : An Overview. Appl Catal. B. 37, 1-15.

Malato, S., J. Blanco, A. Campos, J. Caceres, C. Guillard, J. M. Herrmann, and A. R.
Fernandez-Alba, 2003, Applied Catalysis B: Environmental, 42. 349 357.

Mtt, J., Piispanen, M., Kymlinen, H. R., Uusi Rauva, A., Hurme, K. R., Areva,
S., Sjberg, A. M. and Hupa, L., 2007, Effects of UV-radiation on the cleanability of
titanium dioxide-coated glazed ceramic tiles, Journal of the European Ceramic
Society. 27(16), 4569-4574.

Neti, N. R. and Joshi, P., 2010, Cellulose reinforced-TiO2 photocatalyst coating on
acrylic plastic for degradation of reactive dyes. J. Coat. Technol. Res. 7(5), 643-650.

Sugiarto, A. T., 2004, Pengaruh pH dan Konsentrasi Zat Warna Pada Penguraian
Zat Warna Remazol Navy Blue Scarlet Dengan Teknologi AOP, Pusat Penelitian
Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Bandung.
Woodard, F., 2001, Industrial Waste Treatment Handbook, Butterworth Heinemann,
Boston.
Zinkus, G. A., W. D. Byers, and Doerr W. W., 1998, Chemical Engineering Program,
94. 19 31.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 406
EL-1

DARRIEUS WATER TURBINE OF SIX BLADES
COMBINATION OF NACA 0015 AND 0025 AIRFOIL


Kaprawi
1
, Dyos Santoso
2
, Ilyas
3

1,2,3
Mechanical Engineering Departement, Sriwijaya University
*
Korespondensi Pembicara. Phone: +62 711 580139, Fax: +62 711 580139
E-mail: kaprawi@unsri.ac.id


ABSTRACT

The research of Darrieus water turbine with six blades combination of NACA 0015
and 0025 was done in water flow at one of irrigation gate in Gumawang, South
Sumatera. Three blades of NACA 0015 and 0025 airfoils were set at different
position making six blades Darrieus water turbine. The water velocity was 0.606 m/s
and turbine had solidity 0.382. The result of this research shows that this turbine had
the limit of operation tip speed ratio ranged from 1.51 to 3.22 and the maximum
efficiency is 13.48 % at tip speed ratio 1.56. The result is compared to the three blade
Darrieus water turbine of NACA 0015 which has the operation tip speed ratio range
from 1.55 to 2.85 and maximum efficiency 13.36 % at tip speed ratio 1.97. So a small
increase of efficiency and a decrease of speed at maximum efficiency were observed
for this kind of turbine.


Keywords: Water Turbine, Darrieus, performance, airfoil,blade


1. PENDAHULUAN

Aliran air irigasi untuk pengairan persawahan mempunyai energi kinetik yang
dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin air. Jenis turbin aliran sungai yang
cocok dipakai adalah turbin air Gorlov dan Darrieus. Turbin Darrieus mempunyai
keuntungan yaitu sudunya dapat dibuat dengan mudah (Winchester et al, 2009). Sudu
ini memakai standard NACA agar aliran disekitarnya tidak terjadi separasi apabila
sudut serang tidak besar.
Kedua turbin diatas telah mulai dimanfaatkan untuk menggerakkan generator
listrik baik skala kecil maupun besar. Bila aliran sungai yang deras dan dengan debit
yang besar maka akan dapat menghasilkan daya yang besar pula. Turbin Darrieus dan
Gorlov mempunyai efisiensi yang rendah dibandingkan dengan turbin lainnya seperti
jenis Pelton dan Francis yang penggunaannya untuk head yang tinggi. Walaupun
demikian untuk mendapatkan daya yang besar maka ukuran dimensi turbin dapat
diperbesar atau dengan memasang turbin yang banyak.
Gorlov (2001) mengemukakan bahwa pemanfaatan energi aliran sungai untuk
pembangkitan energi listrik adalah salah satu usaha untuk mempercepat peningkatan
penggunaan sumber energi terbarukan. Pengembangan yang terus menerus, yang
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 407
efisien, cenderung murah dan ramah lingkungan. Pada aliran low head dimanfaatkan
turbin helical bersudu tiga yang dapat juga didayagunakan pada arus pasang surut.
Turbin tersebut dapat membangkitkan multi megawatt dan dapat membangkitkan
dalam skala beberapa kilowatt. Turbin Darrieus dan Gorlov mempunyai prinsip yang
sama, akan tetapi turbin Darrieus mempunyai bentuk sudu lurus sedang Gorlov
sudunya dalam bentuk heliks yang sulit dibuat.
Shiono et.al (2002) telah mempelajari secara eksperimental pengaruh soliditas,
kecepatan air dan terhadapap kinerja turbin air Darrieus yang mempunyai tiga sudu
dengan jenis sudu lurus dan heliks. Soliditas sangat kecil pengaruhnya terhadap
kinerja akan tetapi semakin besar soliditas maka turbin akan semakin turun
putarannya atau sebaliknya. Untuk kecepatan air yang yang berbeda maka akan
semakin berubah kinerjanya yang mana apabila kecepatan air semakin tinggi maka
semakin besar efisiensinya. Selain itu juga kemiringan (bentuk heliks) sudu atau sudu
turbin Gorlov pada sudut heliks 43,7
o
mempunyai efisiensi yang paling tinggi
dibanding dengan sudut heliks lainnya yang mana efisiensi tertingginya adalah sekitar
15%.
Kyozuka et al. (2006) memberikan pengaruh jumlah sudu dan jenis sudu tak
simeris yang digunakan untuk mempelajari kenerjanya. Dari hasil studi
eksperimentan tersebut menunjukkan bahwa jumlah sudu tiga buah mempunyai sudu
efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah sudu dua buah. Selain itu
dengan bentuk camber lingkar memperbesar efisiensinya.
Antheaume, et.al (2007). Mengemukakan bahwa berdasarkan simulasi dan
eksperimen diperoleh efisiensi maksimum untuk turbin Darrieus 23%, turbin Gorlov
35% dan turbin Archad sebesar 39,4%. Hal ini merupakan inovasi baru dalam
pengembangan turbin air poros vertikal dengan model helical blade. Golechal et al.
(2011) menggunakan prinsip pengarah aliran yang berupa deflector plate untuk
menaikkan efisiensi dari turbin air Savonius menjadi 35% pada tip speed ratio 1,08.
Consul et al. (2009) memberikan secara numerik tentang pengaruh solidity dan
jumlah sudu terhadap turbin cross-flow yang mempunyai dua atau empat sudu melalui
simulasi dengan angka Reynolds aliran yang tinggi. Turbin dengan soliditas yang
rendah terjadi stall aliran dan dengan menaikkan jumlah sudu maka koefisien daya
naik dari 0,43 ke 0,53. Lain et al. (2010) menggunakan Commercial Solver (fluent)
untuk mengetahu kinerja turbin air Darrieus. Hasil menunjukkan bahwa koefisien
daya maksimum adalah 0,33 pada tip speed ratio 1,6 dan solititas 0,89. Kirke et al.
(2008) menunjukkan bahwa sudut sudu yang dapat diatur posisinya menghasilkan
starting torque yang tinggi dan mempunyai efisiensi yang tinggi pula sedangkan
shaking force masih dalam batas yang ditolerani.
Ketebalan sudu simetris yang dipakai pada turbin Darrieus secara teoritis oleh
Winchester et al. (2009) yang memberikan bahwa semakin turun ketebalan sudu maka
semakain menurun efisiensi turbin yang mana penurunan ini kecil. Hal ini juga telah
dipelajari secara eksperimental oleh Kaprawi (2011) untuk ketebabalan sudu 15 s.d
30% dari chord dari airfoil yang mana efisiensi semakin kecil untuk tebal semakin
rendah. Efisiensi tertinggi yang dicapai adalah untuk sudu NACA 0015 yaitu 11,5%.
Untuk sudu yang tidak simetris (cambered airfoil) dari kedua penulis diatas
menunjukkan efisiensi yang lebih kecil yaitu sekitar 7%.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kinerja turbin Darrieus dengan enam
sudu yang terdiri dari tiga sudu NACA 0015 dan tiga sudu NACA 0025 yang dipasang
secara selang selih sehingga menghasilkan turbin dengan enam sudu. Hasilnya
dibandingkan dengan hasil kinerja dari turbin dengan tiga sudu. Pemakaian kedua
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 408
sudu ini, di satu sisi dengan ketebalan yang rendah akan mengurangi drag dan
ketebalan yang tinggi untuk menaikkan efisiensi.


2. METODE PENELITIAN

Pengujian ini dilakukan pada saluran keluaran pintu air irigasi dam, dimana
sungai komering yang telah di bendung dan dibuat irigasi yang disalurkan ke
kabupaten OKU Timur dan pengujian ini tepatnya dilakukan di desa trimoharjo BK
14. Llimpahan air dapat di atur menggunakan pintu air sesuai kebutuhan lahan
persawahan. Dengan sistem ini kecepatan air akan konstan karena head, h adalah
konstan. Tempat irigasi yang akan kami pakai untuk pengujian turbin air Darrieus
mempunyai lebar irigasi 1 meter, tinggi irigasi 1 meter dan tinggi air 0,38 meter.
Dalam mengukur kecepatan air irigasi menggunakan busa yang diberi bandul
dimana busa tersebut dijatuhkan kepermukaan air dan waktu yang ditempuhnya
diukur dengan digital stop watch pada jarak satu meter dalam ukuran detik. Hasilnya
digunakan untuk menghitung jarak dibagi waktu tempuh sehingga didapat kecepatan
aliran air irigasi tersebut. Hasil ini akan diverifikasi dengan kecepatan yang dihasilkan
dari pembacaan permukaan air pada saluran irigasi yang sudah standard dibuat saat
saluran ini dibuat.
Turbin yang digunakan berdiameter 300 mm dan panjang 300 mm yang
mempunyai jumlah enam sudu simetris yang nantinya akan dipasang selang seling
dengan standard NACA yang berbeda (Gbr. 1). Dalam pengujian ini digunakan sudu
NACA 0015 yaitu (6) pada Gbr. 1 dan NACA 0025 yaitu (1) pada Gbr.1. Lebar chord
60 mm, maka soliditas turbin adalah = 0,38. Sedangkan untuk turbin dengan tiga
sudu saja dengan memakai NACA 0015 dan dengan chord yang sama maka
soliditasnya adalah 0,19.
Prosedur penelitian turbin dimasukkan kedalam aliran air dan pulley torsi (3)
berada beberapa centimeter diatas permukaan air dengan demikian maka sudu (1) dan
(6) akan bergerak melingkar atau rotor akan berputar. Untuk satu jenis sudu yang
digunakan, tanpa dibebani dengan pembeban (4) maka turbin akan berputar setelah
dicelupkan di aliran sungai dan setelah beberapa menit kemudian putaran turbin
diukur dengan digital tachometer dengan menyorotkan sinar keluar dari tachometer
ke pulley torsi (3). Diameter pulley torsi adalah 65 mm. Sistem pengukuran torsi
dengan dynamometer pita yang mana pita/tali terbuat dari kulit yang bersentuhan
dengan pulley torsi. Setelah itu turbin dibebabani dengan suatu masa (4), dalam hal ini
beban yang sudah yang sudah diketahui beratnya dan kemudian dengan adanya
pembebanan ini maka turbin akan menurun putarannya yang setelah didiamkan
beberapa menit agar putaran sudah konstan diukur lagi putaran pulley torsi dan diukur
pula gaya pada tubular spring scale (5) yang mempunyai batas gaya maksimum 1000
gram. Setelah selesai pengukuran maka masa pembeban ditambah lagi dan akibatnya
putaran turbin akan menurun yang setelah stabil operasinya dilakukan pengukuran
putaran lagi dan gaya pada tubular spring scale.
Pengukuran dilakukan seperti diatas untuk seterusnya prosedur pengukuran
dilakukan dengan menambah beban sampai pada suatu saat dimana dengan suatu
pembebanan tertentu turbin akan berhenti berputar.




Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 409



(a). Enam sudu (kombinasi) (b). Tiga sudu (sama)

Gambar 1 : Turbin air Darrieus





Gambar 2 : Turbin siap untuk diteliti pada saluran irigasi


3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran kecepatan air didapatkan 0,606 m/sec dan kecepatan ini adalah
konstan selama penelitian. Parameter kinerja turbin, salah satunya, ditunjukkan
dengan torsi yang dihasilkannya dan apabila torsi ini dikalikan dengan putaran akan
menentukan besar daya yang dihasilkan. Gbr. 3 menunjukkan torsi yang berubah
terhadap tip speed ratio, . Dapat diamati bahwa untuk > 1,5, dari kondisi tak
berbeban, terjadi kenaikan torsi apabila turbin semakin dibebani dan putaran semakin
turun. Kenaikan ini lebih lambat untuk sudu enam dibandingkan dengan sudu tiga dan
oleh karena itu batas operasi dari turbin dengan enam sudu sedikit lebih besar dari tiga
sudu. Torsi maksimum turbin dengan enam sudu sedikit lebih tinggi dari tiga sudu
yang mana 0,022 Nm enam sudu dan 0,021 Nm tiga sudu pada sekitar 1,5.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 410
Kondisi torsi pada batas 0 < < 1,5 tidak dapat terukur oleh karena perubahan yang
kecil dari beban sudah menyebabkan turbin berhenti. Hal ini disebabkan kurang
sensitifnya alat ukur torsi terhadap perubahan beban yang sangat kecil. Sesungguhnya
torsi masimum adalah pada kondisi tidak berputar yang sedikit diatas torsi maksimum
pada kondisi berputar.
Profil torsi terjadi dua titik potong yaitu disekitar = 1,6 dan 2,4. Pada batas
daerah ini torsi terjadi lebih besar pada turbin dengan tiga sudu, sedangkan > 2,4
maka torsi lebih besar untuk turbin enam sudu kombinasi dari NACA yang tidak
sama.



Gambar 3 : Torsi


Efisiensi yang dinyatakan dengan koefisien daya, C
p
diberikan oleh Gbr. 4 untuk
turbin tiga sudu dan enam sudu kombinasi dua jenis airfoil. Batas operasi dari turbin
tiga sudu adalah 1.55 < < 2,85. Sesungguhnya batas operasi ini mulai dari = 0,
namun oleh karena dalam batas 0 < < 1,5 tidak dapat diukur karena alasan alat ukur
yang digunakan, dengan demikian koefisien daya tergambar dalam batas tersebut
dinyatakan dalam garis putus-putus. Hal ini sama untuk turbin enam sudu kombinasi
dari dua jenis airfoil yang mana dalam batas < 1,5 tidak dapat diukur. Kurva
koefisien daya didekati dengan polynomial derajat lima sehingga didapatkan kurva
dengan garis kontinyu. Sama halnya untuk turbin enam sudu yang didekati dengan
polynomial derajat empat. Tubin dengan tiga sudu mempunyai efisiensi
maksimum 13,36 % pada tip speed ratio 1,97 dan untuk turbin dengan enam sudu
kombinasi memberikan efisiensi maksimum 13,48% pada tip speed ratio 1,56. Oleh
karena itu turbin dengan enam sudu efisiensi sedikit lebih besar dari tiga sudu, namun
kondisi ini terjadi pada putaran yang lebih kecil dari turbin tiga sudu.Oleh karena
semakin banyak sudu akan semakin besar koefisien hambat dari sudu akan tetapi
menghasilkan daya yang lebih besar. Dari kurva dapat dilihat bahwa untuk turbin tiga
sudu efisiensi turun secara cepat setelah mencapai efisiensi maksimumnya dengan
kenaikan tip speed ratio dan akan nol pada = 2,85. Sedangkan untuk turbin enam
sudu, setelah pada efisiensi maksimum, akan turun perlahan dengan kenaikan dan
nol pada = 3,22. Selain itu dapat dilihat terdapat perpotongan kurva dari kedua
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 411
turbin yang menunjukkan terdapat dua kondisi operasi yang sama beserta
karakteristiknya dari kedua turbin tersebut.


Gambar 4 : Koefisien daya
Studi ini juga menunjukkan pengaruh soliditas terhadap kinerja turbin, oleh karena
untuk turbin dengan tiga sudu soliditasnya setengah dari enam sudu.



KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini kelebihan dari turbin enam sudu hasil kombinasi dari dua
bentuk airfoil adalah dapat beroperasi pada batasan tip speed ratio yang lebih tinggi
dari turbin dengan tiga sudu dan efisiensi sedikit lebih besar dari turbin tiga sudu yang
mana efisiensi 13,48 % untuk turbin enam sudu dan 13,36 % untuk turbin tiga sudu.
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental yang dilakukan pada kondisi riil dari
saluran irigasi air ke persawahan. Beberapa faktor yang mempengaruhi dalam
penelitian ini adalah aliran air dan kondisi fisik turbin. Kondisi aliran pada setiap titik
tidak sama yang mana hal ini tergantung dari berbagai faktor diantaranya kondisi
aliran datang yang keluar dari pintu air sehingga banyak terjadi ketidak seragaman
aliran air. Hal lain adalah konstruksi dari turbin yaitu tentang presisi dari pembuatan
dan pemasangan sudu turbin. Walaupun beberapa faktor yang mempengaruhi diatas,
hasil pengukuran menunjukkan hasil yang dapat dijadikan bahan untuk design untuk
skala yang besar.


REFERENCES

Alexander N. Gorlov, Alexander M. Gorban, Valentin M. Silantyev, 2001, Limits of
the Turbine Efficiency for Free Fluid Flow, Journal of Energy Resources
Technology, Vol. 123.
Antheaume, S., Maitre, T., Achard, J., 2007, A Innovative Modelling Approarch to
Investigate The Efficiency of Cross Flow Water Turbine Farms, 2
nd
IAHR
International Meeting of The Workgroup on Cavitation and Dynamic Problems in
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 412
Hydraulics Machinery and Systems, Scientific Bulletin of The Politechnica
University of Timisoara Transaction on Mechanics, Romania.
Consul C.A., Willden R.H.J., Ferrer E., McCulloch M.D., 2009, Influence of Solidity
on the Performance of a Cross-Flow Turbine, Proceedings of the 8th European
Wave and Tidal Energy Conference, Uppsala, Sweden.
Golecha K., T.I.Eldho and S.V.Prabhu, 2011, Investigation on the Performance of a
Modified Savonius Water Turbine with Single and Two Deflector Plates. The
11th Asian International conference on Fluid Machinery and The 3rd Fluid power
Technology Exhibition, November 21-23, IIT Madras, Chennai, India.
Kaprawi S., 2011, Pengaruh geometri sudu terhadap kinerja turbin air Darrieus untuk
aliran sungai, Seminar Nasional AVoER, FT UNSRI.
Kirke B. & Lazauskas L., 2008, Variable pitch darrieus Water turbines, Journal of
fluid science and technology Vol. 3 No. 3.
Kyozuka Y., Kyoichiro Ogawa , Hisanori Wakahama, 2006, Tidal Current Power
Generation making use of a bridge Pier, Renewable Energy Proceedings.
Lain S., C Osorio C., 2010, Simulation and evaluation of a straight-bladed Darrieus
type cross flow marine turbine, Journal of scientific & industrial research, Vol.
69, pp. 906-912.
Shiono M., Kdsuyuki Suzuki, Sezji Kiho, 2002, Output Characteristics of Darrieus
Water Turbine with Helical Blades for Tidal Current Generations, Proceedings of
The Twelfth International Offshore and Polar Engineering Conference
Kitakyushu, Japan, May 2631.
Winchester J.D., Quayle S.D., 2009, Torque ripple and variable force : A comparaison
of Darrieus and Gorlov-type turbinse for tidal stream energy conversion,
Proceedings of the 8th European Wave and Tidal Energy, Uppsala, Sweden.





Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 413

EL-2

Eliminasi Noise Melalui Pengolahan Sinyal Untuk
Identifikasi Geometri dan Kadar Air SeamBatubara


Eddy Ibrahim, Syamsul Komar, Marwan Asoff

Staf Pengajar Jurusan Teknik Pertambangan
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
Jalan Raya Palembang Prabumulih, Ogan Ilir, Indralaya,
E-mail : eddy_ibrahim@yahoo.com


ABSTRAK
Representasi dan prediksi variabilitas ketebalan baik spasial dan temporal adalah
diperlukan untuk mendapatkan pengertian rentang proses dari ketebalan seam
batubara pada skala terbatas terhadap ketebalan seam batubara secara keseluruhan.
Singkapan merupakan salah satu cara mengidentifikasi adanya seam batubara
dipermukaan. Ketebalan seam batubara adalah salah satu parameter fisik penting
untuk dapat mendeterminasi volume batubara, karena ketebalan menentukan orientasi
dan kontinyuitas seam batubara. Respons ketebalan seam batubara didominasi oleh
kandungan air bebas pada permukaan lapisan batubara (free moisture content)
dimana dideterminasi melalui variabilitas spasial. Untuk meningkatkan pengertian
variabilitas ketebalan pada seam batubara adalah diperlukan teknik pengukuran yang
tidak destruktif dalam skala terbatas yang diperoleh secara langsung terhadap
ketebalan pada seam batubara dengan resolusi tinggi. Ketebalan seam batubara adalah
sangat bervariasi dan sulit untuk diukur atas tinjauan komprehensif dan spasial.
Keberadaan teknik yang tersedia untuk menaksir kompleksitas pada proses seam
batubara dan parameter- parameternya adalah tidak cukup, sekalipun dengan studi
lapangan skala terbatas. Teknik seperti core drill, well-logging dan metode neutron
moderation adalah sering dibatasi oleh kenyataan bahwa metode- metode tersebut
invasive, menentukan titik- titik pengukuran adalah menyita waktu dan memerlukan
kalibrasi spesifik terhadap seam batubara. Satu metode yang potensial untuk
mengatasi semua batasan ini adalah GPR. Permasalahan dalam penggunaan metode
ini adalah adanya noise baik koheren maupun non-koheren. Pengolahan sinyal yang
ditawarkan dalam penelitian telah berhasil mereduksi noise yang mengganggu. Hasil
radargram yang telah diolah dengan teknik ini dapat menampakkan baik geometri
seam batubara maupun variasi kadar air pada seam tersebut.

Kata kunci : Geometri seam, GPR, kadar air, noise, teknik pengolahan sinyal


1. LATAR BELAKANG

Dalam pengukuran skala lapangan terhadap singkapan batubara yang
dilakukan di tambang Air Laya, Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 414

dilakukan dengan konfigurasi antena bi- statik yaitu perpendicular broad-side (arah
lintasan pengukuran tegak lurus terhadap bentangan kedua antena). Fisik dari
singkapan batubara yang diukur sudah tersingkap (terbukti). Terbukti yaitu tebal
batubara 2.5 m dan orientasi bidang pecah telah diukur. Pada posisi 50 cm (yang
dihitung dari lapisan batubara bagian atas (top)) terdapat clayband dengan dimensi 5
cm. Sedangkan posisi dari lapisan lempung (interburden) terletak dibawah lapisan
batubara.
Untuk korelasi dan validasi hasil respon radar maka pada singkapan batubara
yang diukur tersebut dilakukan pengujian secara langsung dengan pengambilan
sampel (channel sampling) pada beberapa posisi. Sampel-sampel tersebut dianalisa
secara proksimat (laboratorium) untuk diperoleh informasi kadar air, kadar abu, kadar
zat terbang dan kadar karbon padat. Data hasil analisa proksimat yang diperoleh
hanya ditampilkan parameter kadar air dapat dilihat pada tabel 1
Tabel 1
Hasil Analisa Proksimat untuk fisik singkapan batubara
dengan panjang lintasan 6.05 m dan tebal batubara 2.5 m untuk kadar air
Lokasi titik pada
lapisan batubara
Zona 1 ( Total moisture,
% AR
*
)
Zona 2 ( Total moisture ,
% AR
*
)
1 a 1b 1c 1d 2a 2b 2c 2d
Bagian atas 2.9 4.3 2.2 1.9 2.5 5.6 4.1 1.9
Bagian bawah 5.8 7.4 3.2 2.3 2.8 6.2 7.1 3.9
Keterangan :
*
AR = As Received

Dari fisik singkapan batubara dalam skala lapangan yang terbukti ini
dimungkinkan untuk mempelajari perilaku dari respon radar berkenaan dengan efek
penggunaan frekuensi antena terhadap geometri, pola orientasi bidang pecah dan
pengaruh komposisi (kadar air) secara lebih terkontrol.
Permasalahannya dalam mendeterminasi tebal dan variasi kadar air pada
singkapan batubara terdefinisi menggunakan GPR karena frekuensi yang digunakan
tinggi (10 MHz s/d 2 GHz) adalah adanya multiple reflection karena karakter dari
lapisan batubara, random noise dan coherent noise . Akibat dari gangguan (noise)
tersebut maka singkapan batubara yang terdefinisi tersebut sulit di interpretasikan.

Tulisan ini menggambarkan dan menghasilkan cara pengolahan data untuk
dapat mereduksi dan menghilangkan gangguan yang dihasilkan pada data hasil
pengukuran GPR untuk dapat dilakukan interpretasi geometri batubara beserta variasi
kadar air pada radargram.


2. METODE
Dalam penyelidikan GPR menggunakan antena bi-statik yaitu antena
pemancar dan penerima dipisahkan dengan jarak tertentu. Dalam pengukurannya arah
kedua antena di-orientasikan dengan konsisten sepanjang lintasan pengukuran. Dalam
tulisan ini digunakan satu orientasi antena yaitu perpendicular broad-side terhadap
singkapan batubara. Singkapan batubara tersebut didalamnya terdapat bidang-bidang
pecah dan dibawah singkapan tersebut terdapat lapisan antara (interburden) yaitu
lapisan lempung. Seperti ditunjukan dalam gambar 1, tiga orientasi antena adalah
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 415

perpendicular-broadside (cara yy-), parallel-endfire (cara xx-) dan cross-polarization
(cara yx-) dan yang digunakan dalam penelitian ini hanya cara perpendicular-
broadside (cara yy-).


Tujuan pengukuran ini adalah untuk mengkaji response sinyal terpantul atas
orientasi dari antena. Respons sinyal terpantul dilihat berdasarkan nilai amplitudo dan
frekuensi puncaknya yang diterima oleh antena penerima. Posisi dari kedua antena
dalam pengukuran ini diletakan diatas permukaan singkapan batubara. Teknik
pengukuran menggunakan cara reflection profiling atau zero-offset yaitu penampang
yang dihasilkan melalui penempatan kedua antena (transmitter dan receiver) yang
terpisah dengan jarak tetap dan pengukuran dilakukan pada spasi yang tetap.
Pelaksanaan pengukuran dilakukan di tambang Air Laya, Bukit Asam,
Tanjung. Enim, Sumatera Selatan, Indonesia. Dari hasil informasi PTBA, objek fisik
yang diukur adalah batubara peringkat sub-bituminous sampai bituminous yaitu
lapisan B2. Adapun objek fisik berupa singkapan tersebut (gambar 2) telah
mengalami erosi sebagian sehingga ketebalan tereduksi beberapa cm. Sedangkan
untuk lapisan dibawah singkapan batubara tersebut berupa lapisan lempung tidak
diukur tebalnya. Fisik singkapan batubara tersebut secara visual juga terjadi
perbedaan kilap secara lateral, sehingga menjadi tantangan terhadap pengukuran
menggunakan GPR di lokasi ini.
Adapun tahapan akuisisi dalam percobaan lapangan seperti gambar 3.
Frekuensi antena yang digunakan untuk ketiga cara ditentukan yaitu 100 MHz. Cara
yaitu cara yy menggunakan offset antena 1 m dan interval waktu yang digunakan
0.36474 ns dan jumlah sample data / tras adalah 480 maka jendela waktunya adalah
175.075 ns. Interval pengambilan data antar tras sama untuk ketiga cara yaitu 0.05 m.
Dalam penentuan jumlah stack akuisisi sama untuk ketiga cara yaitu berjumlah 512.
Radargram-radargram dari hasil pengukuran GPR dengan pengaturan parameter-
parameter sesuai dengan diatas dapat dilihat pada gambar 4, 5 dan 6
Gambar 1. Rancangan konfigurasi antena dan reflektor berupa
singkapan batubara
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 416













Gambar 3. Bagan alir tahapan akuisisi data
Gambar 2. Foto fisik singkapan batubara yang diukur. Lapisan batubara ini
secara lateral mempunyai peringkat yang sama Yaitu bituminous (
seam B2)

6.05 M
Bidang pecah
Clay-band
T = 0.05 M
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 417



Secara umum penggambaran pola perlapisan batubara dari data mentah secara
vertikal cukup jelas yaitu berkisar pada jendela waktu 0 sampai dengan 36 ns.
Secara vertikal antara lapisan batubara dengan lapisan lempung jelas terlihat
perbedaannya dikarenakan kontras konstanta dielektrik kedua lapisan tersebut.
Lapisan batubara mempunyai nilai konstanta dielektrik 4.41 5.87 untuk peringkat
bituminuous sub_bituminuous, sedangkan lapisan lempung tidak diukur tebal dan
sifat fisiknya. Alasannya dari hasil pengukuran jelas kontrasnya. Dimana energi
gelombang yang merambat di batubara mempunyai intensitas tinggi dan pada saat
menembus lapisan lempung terjadi absorbsi dan mengecil (intensitas rendah). Pada
data mentah dari hasil akuisisi cara yy terlihat adanya pola sekuen dari reflektor
yang menurun pada posisi 3.5 m dan menaik pada posisi 5 m dari awal
pengukuran. Pola ini menunjukkan bahwa pada posisi tersebut adanya kontras
kecepatan didalam lapisan batubara. Juga pada posisi 3.5 m pada lapisan lempung
adanya beberapa reflektor pada jendela waktu 36 ns sampai 50 ns di lapisan
lempung. Reflektor ini disebut multiple yang berasal dari lapisan batubara. Karena
posisi reflektor-reflektor tersebut sama posisinya dengan adanya pola penurunan
dan penaikkan didalam lapisan batubara. Juga ada beberapa reflektor dibeberapa
posisi pada jendela waktu 100 ns sampai 125 ns di lapisan lempung. Reflektor pada
posisi ini juga kemungkinan besar adalah multipel reflection, karena jelas bahwa
energi yang merambat kebawah akan sangat kecil di posisi ini. Sehingga kecil
kemungkinan energi tersebut mencapai posisi-posisi tersebut. Sebab kontras yang
besar dalam konstanta dielektrik antara lapisan batubara (kecepatan tinggi) dengan
lapisan lempung (kecepatan rendah). Untuk cara yy ini belum bisa ditafsirkan lebih
lanjut karena lapisan batubara masih mengandung gelombang langsung. Pengaruh
dari gelombang langsung dapat dibuktikan pada nilai respons frekuensi puncak dan
amplitudo yang dihasilkan hanya dilapisan batubara (tabel 2).
Tabel 2
Nilai respon frekuensi puncak dan nilai amplitudo dari ketiga cara
No Cara Nomor sample Frekuensi Puncak (MHz) Nilai Amplitudo (DN)
1 yy 20 101.6695 30127.67877
Gambar 4. Radargrammentah hasil akuisisi cara yy-
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 418


Dapat disimpulkan dari data mentah terhadap singkapan batubara permukaan
hasilnya belum dapat menunjukkan secara spesifik perbedaan responnya secara
lateral. Diketahui bahwa dari hasil analisa proksimat terhadap singkapan batubara
(gambar 1) bahwa kadar air didalam batubara tersebut secara lateral bervariasi
(tabel 1). Oleh sebab itu data mentah yang dihasilkan dari konfigurasi antena cara
yy perlu diproses (Ibrahim et.al, 2003a).

3. HASIL

Pengolahan data GPR untuk ketiga konfigurasi antena dilakukan menggunakan
perangkat lunak Gradix versi 2.0 dengan nomor lisensi 4077 untuk group Fisika
Bumi, ITB. Tujuan pengolahan data ini adalah untuk memperbaiki citra data lapangan
dengan cara mereduksi noise dan meningkatkan signal to noise ratio sehingga
gambaran lapisan batubara, kandungan didalam lapisan batubara dan lapisan yang
melingkupinya dapat dibedakan secara visual. Adapun tahapan pengolahan data yang
digunakan seperti gambar 7. Radargram untuk normal amplitudo yang dihasilkan
melalui tahapan-tahapan pada gambar 7 untuk cara yy dapat dilihat pada gambar 8 .




Gambar 7. Bagan alir pengolahan data untuk ketiga konfigurasi


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 419

Keterangan gambar 7
Spiking deconvolution
Dirancang untuk merubah wavelet menjadi spike sehingga keluaran yang
diharapkan trace radar yang mendekati fungsi deret koefisien refleksi.
Dewow
Wow adalah salah satu noise frekuensi rendah yang dapat terekam oleh sistem
radar. Efek ini terjadi akibat instrumen elektronik tersaturasi oleh nilai amplitudo
besar dari gelombang langsung dan gelombang udara. Tiga metoda dewow yang
biasa dilakukan, yaitu high pass filter, residual mean filter dan residual median
filter. Dalam prosesan ini digunakan high pass filter.
Declip
Karena gelombang radar diudara dan gelombang langsung memiliki amplitudo
lebih tinggi dibandingkan energi hasil refleksi, maka gelombang radar pada awal
profil dapat terpotong (clipped). Fungsi declip ini mengembalikan bentuk
gelombang dengan interpolasi. Proses declip ini dilakukan sebelum proses
filtering dilakukan.
Set-time zero
Biasanya dilakukan pada awal pemrosesan data GPR, yaitu penentuan titik 0
yang sebenarnya dipermukaan (t = 0,0). Untuk menentukan true time zero sebuah
profil GPR dilakukan dengan memindahkan cross hair ke trace yang dipilih dan
meluruskan garis zero time ke dalam profil yang diperbesar. Proses ini perlu
dilakukan untuk dapat menentukan dengan tepat pada kedalaman berapa target
berada. Tentunya setelah dilakukan konversi kedalaman dari hasil analisa
kecepatan.
F-k filter
F-k filter adalah filter dua dimensi yang akan memfilter frekuensi temporal dan
spatial. Filter ini dirancang dalam fungsi frekuensi bilangan gelombang. Filter ini
digunakan untuk menghilangkan noise koheren, yaitu noise yang terjadi secara
teratur dari trace ke trace (pada umumnya noise terjadi secara random) sepanjang
profil. Ada dua tipe F-k filter yang biasa dilakukan, yaitu filter kecepatan
(dikenal dengan istilah filter pie slice) dan polygon filter. Dalam pengolahan data
GPR jenis filter ini telah terbukti efektif untuk menghilangkan noise koherent
seperti multiple, gelombang udara dan gelombang tanah langsung (Young et.al,
1995). Reduksi efek multiple selain menggunakan filter ini juga dapat dilakukan
menggunakan Predictive Deconvolution (Wienner Filtering) atau Radon
Transform. Tetapi dalam pemrosesan data untuk tulisan ini digunakan Polygon
filter.
Frequency filtering
Tujuan dari proses ini untuk menghilangkan frekuensi-frekuensi yang tidak
diinginkan. Pada pengolahan data GPR ada beberapa jenis filter yang biasa
digunakan yaitu trapezoidal bandpass filter, butterworth bandpass, Gaussian dan
notch filter. Dalam pemrosesan ini digunakan trapezoidal bandpass filter.
Remove attenuation attribute
Atribut ini berfungsi untuk menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan
pelemahan sinyal radar. Diantaranya yang paling utama yang disebabkan oleh
absorbsi elektromagnetik dan spherical divergence.
Time to depth conversion
Pada konversi kedalaman diperlukan data kecepatan gelombang untuk merubah
waktu menjadi kedalaman.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 420












Dari data hasil pengolahan maka untuk cara yy (gambar 8) dapat menentukan
batas lapisan batubara dan lapisan lempung secara jelas. Pada cara ini ada pola
penaikan reflektor pada posisi tras 50 70. Pola tersebut diakibatkan oleh adanya
kontras kecepatan didalam lapisan batubara tersebut. Pada posisi tersebut bila
divalidasi dengan hasil analisa proksimat (tabel 1) menunjukkan adanya variasi kadar
air tinggi dan kadar air rendah. Cara yy lebih menegaskan pada bidang batas antara
lapisan batubara dengan lapisan lempung karena arah perambatan medan listrik yang
dihasilkan sejajar bidang-bidang pecah. Untuk memperjelas gambaran fenomena-
fenomena diatas maka setelah tahapan pengolahan data frequency filtering, dilakukan
tambahan menggunakan atribut untuk menghilangkan efek atenuasi pada kedua
lapisan yaitu lapisan batubara dan interburden (lempung)(Ibrahim et.al, 2003b). Hasil
penggunaan tambahan pengolahan data tersebut dapat dilihat pada gambar 9
Gambar 8. Radargram hasil proses untuk cara yy- menggunakan
tahapan pada gambar 7



Kenaikan
pola
refleksi
Gambar 9. Radargram hasil proses untuk cara yy- menggunakan tahapan pada
gambar 7 + atribut untuk menghilangkan efek atenuasi.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 421

Dari gambar 9, dapat memperjelas bahwa radargram terukur dipengaruhi oleh
arah perambatan medan listrik dari antena dipol listrik terhadap arah dan dimensi
bidang pecah didalam lapisan batubara (Ibrahim et.al, 2004b). Dari cara yy dapat
memperjelas dalam penentuan bidang batas antara lapisan batubara dengan lapisan
lempung. Pada cara ini dapat memperjelas adanya variasi kadar air seperti pada tras
10 sampai 20, pada tras 50 sampai 70 dan tras 115 sampai 120 menunjukkan adanya
kadar air rendah didalam batubara pada posisi tersebut. Ciri untuk kadar air rendah
adalah kontras dari konstanta dielektrik batubara dengan konstanta dielektrik bidang-
bidang pecah kecil, karena bidang-bidang pecah tersebut didominasi oleh udara. Dari
radargram tersebut ditunjukkan oleh nilai intensitas energi gelombangnya rendah
(nilai koefisien refleksinya kecil). Sebaliknya kadar air tinggi didalam batubara dapat
jelas terdeteksi dengan cara ini yaitu pada posisi tras 1 sampai 10, pada tras 25 sampai
45 dan pada tras 75 sampai 110. Kadar air tinggi dalam radargram dicirikan oleh nilai
intensitas energi yang tinggi. Karena bidang-bidang pecah dibatubara didominasi oleh
air maka akan terjadi kontras konstanta dielektrik yang besar antara bidang-bidang
pecah yang berisi air dengan batubara (nilai koefisien refleksinya tinggi). Hasil cara
yy ini dapat divalidasi dengan tabel 1.
Efek absorbsi energi secara vertikal dapat dilihat berdasarkan atas perbedaan
frekuensi puncak yang dihasilkan dari respon energi yang berasal lapisan batubara
yang diterima antena penerima setelah dirambatkan gelombang radar oleh antena
pemancar. Pengamatan efek itu melalui penerapan atribut interval amplitudo rata-rata
secara vertikal difokuskan pada jendela waktu zona lapisan batubara. Untuk jelasnya
lihat tabel 3.
Tabel 3 Nilai respon frekuensi puncak dan nilai amplitudo dari cara yy



Atribut jendela (interval amplitudo) digunakan untuk analisa cara yang
digunakan yaitu cara yy- (perpendicular broadside yang difokuskan pada zona
lapisan batubara (gambar 4). Hasil penggunaan dari atribut ini dapat divalidasi dengan
hasil analisa proksimat (tabel 1). Dari penggunaan ketiga cara dapat ditentukan variasi
anomali lokal (kadar air) didalam lapisan batubara. Variasi dari kadar air tersebut
secara lateral dipengaruhi oleh posisi dari kedua antena dipole listrik terhadap arah
bidang-bidang pecah. Antena pemancar dipole listrik arah polarisasi kearah sumbu
panjang antena tersebut, sedangkan arah perambatannya tegak lurus terhadap arah
polarisasi dari antena dipole listrik tersebut. Jadi arah perambatan medan listrik yang
sejajar bidang-bidang pecah (cara yy) akan menghasilkan respons yang berbeda yang
diterima antena penerima. Dari hasil penggunaan cara yy terhadap singkapan batubara
terbukti (gambar 2) dapat disimpulkan bahwa Konfigurasi yy menghasilkan
gelombang yang arah perambatan medan listriknya sejajar terhadap arah bidang-
bidang pecah menghasilkan response energi yang tinggi (amplitudo besar) dan
menunjukkan variasi energi secara vertikal yang diungkapkan berdasarkan pola
radiasi antena (Van Gestel, 2000). Variasi nilai amplitudo tersebut menunjukkan
variasi kadar air yaitu amplitudo tinggi (kontras kecepatan besar antara batubara
dengan kandungan air didalamnya yang cukup tinggi (dominan air)) dan amplitudo
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 422

rendah (kontras kecepatan kecil antara batubara dengan kandungan air didalamnya
rendah (dominan udara)).

4. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan dari hasil penggunaan Cara yy adalah efektif untuk
penentuan ketebalan lapisan batubara dan kadar air didalamnya. Dengan ketentuan
untuk cara yy adalah posisi sumbu panjang dari antena dipole listrik (arah y) adalah
searah dengan bidang-bidang pecah (arah y) dan arah pengukuran (arah x). Energi
yang diterima oleh antena penerima setelah energi gelombang diradiasikan (frekuensi
transmitter adalah 100 MHz) ke batubara untuk cara yy menghasilkan nilai response
frekuensi puncak 90.96748 MHz dengan nilai amplitudo 11594.29 DN. Posisi antena
seperti cara yy dapat menghasilkan respons energi maksimum dibandingkan kedua
cara yang lain.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kerja yang telah dilakukan ini dibantu oleh Laboratorium Fisika Bumi ITB dan
proyek DUE-LIKE Universitas Sriwijaya. Kami mengucapkan terimakasih kepada, Ir.
Syaiful Islam, , Gunawan Handayani, MSCE, Ph.D, DR. Bagus Endar NH atas
masukan- masukannya , DR. Surono, Muslim Nugraha, Ssi, Karlan Ssi, Yonathan
Ssi, Erlan Dan seluruh yang membantu dalam penyelesaian tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Annan A.P. (2001), Ground penetrating radar, workshop notes, sensors & software,
Ontario, Canada.

Cook J.C. (1975), Radar transparencies of mine and tunnel rocks. Geophysics, 40,
865-885.

Ibrahim. E and Hendrajaya. L and Handayani. G and Fauzi. U and Islam.S. (2003a),
Determination study of coal seams thickness by using GPR method and presented a
oral presentation at Joint Convention Jakarta 2003, The 32nd IAGI and the 28th
HAGI annual convention and exhibition, Proceedings.

Ibrahim. E and Hendrajaya. L and Fauzi. U and Handayani. G and Islam. S. (2003b),
Estimation study of total moisture variability in coal seams laterally by using GPR
method and presented a oral presentation at Joint convention Jakarta 2003, The 32nd
IAGI and the 28th HAGI annual convention and exhibition, Proceedings.

Ibrahim. E and Hendrajaya. L and Fauzi. U and Handayani. G. (2004a),
Measurements study of antenna height variations in GPR records : case study of field
experiments at Bukit Asam coal mining field, and presented a poster presentation in
session T32.02, Application of remote sensing in geological prospecting at 32
nd
International Geological Congress, Florence, Italy, Expanded abstract, August, 25,
2004.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 423


Ibrahim. E and Hendrajaya. L and Fauzi. U and Handayani. G and Islam. S. (2004c),
Determination of geometry and bedding plane orientation in coal seam use of GPR
method and presented a poster presentation in session T08.04, Magnetotellurics at
32
nd
International Geological Congress, Florence, Italy, Expanded abstract, August,
27, 2004.
Interpex. (1996), The definitive solution for Ground Penetrating Radar processing and
interpretation. GRADIX software ver. 1, Colorado.

Ramac/GPR. (1997), Software manual version 2.28. MALA, Geoscience.

Roberts R.L. (1994), Analysis and theoretical modeling of GPR polarization data,
Ph.D. dissertation, Ohio State University.

Stanley J.R and Jeffrey J.D. (2000), Ground penetrating radar polarization and
scattering from cylinders. Department of Geological Sciences, The Ohio State
University, 125 South, Ovall Mall, Columbus, USA, Journal of applied geophysics
45; 111-125.

Van Gestel J.P. (2000), Structure and tectonics of the Puerto Rico Virgin Islands
platform and multi-configuration ground penetrating radar data,. Dissertation Doctor
of Philosophy, The University of Texas, at Austin.

Van Krevelen D.W. (1993), Coal, typology-chemistry-physics-constitution, Coal
science and technology, Elsevier chapter XVIII (3), 373-399.

Young., R.A., Zhenghon Deng and Jingsheng Sun. (1995), Interactive processing of
GPR data, The Leading Edge, April 1995 pp. 275-280.



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 424

EL-3

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH)
SUDU LURUS DAN MELENGKUNG SKALA LABORATORIUM

Irwin Bizzy
1
, dan Astuti
2

1,2
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jalan
Raya Palembang-Prabumulih Km 32 Inderalaya

Telepon: +62 711 580272, Fax: +62 711 580272
Email: irwin_bizzymt@yahoo.co.id dan astuti_hadjar@yahoo.com


ABSTRAK
Telah dirancang sebuah peralatan uji laboratorium Pembangkit Listrik Tenaga
Mikrohidro atau PLTMH untuk memanfaatkan energi terbarukan yang bersumber dari
air berkapasitas 7 liter per detik dengan sumber air dari sebuah pompa yang
digerakkan oleh sebuah penggerak mula motor bakar satu silinder. Poros turbin air
dihubungkan dengan sebuah sabuk ke poros generator yang menghasilkan arus AC
diubah ke arus DC. Telah diuji dua buah bentuk sudu turbin air yaitu sudu lurus dan
melengkung dengan karakteristik yang berbeda. Sudu lurus memiliki lebar 50 mm,
150 mm, jumlah sudu 10 buah dan diameter turbin 400 mm, sudu melengkung
berdiameter 27,5 mm dan lebar sudu 20 mm terdiri dari jumlah sudu masing-masing
16 buah dan 20 buah. Hasil pengujian untuk sudu lurus dan melengkung
menghasilkan daya dan putaran masing-masing sebesar 192 Watt, 340 rpm; 227
Watt, 365 rpm; dan 51 Watt, 229 rpm; 77 Watt, 287 rpm. Geometri dan jumlah sudu
sangat mempengaruhi daya dan efisiensi turbin air.


Keywords: Daya, Listrik, Mikrohidro, Sudu, Turbin.


1. PENDAHULUAN

Energi adalah sesuatu yang kekal atau lestari tidak dapat diciptakan maupun
dihancurkan hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk energi yang lain.
Pertumbuhan ekonomi dan penduduk Indonesia telah menyebabkan kebutuhan akan
energi semakin tahun semakin bertambah. Berdasarkan data dari Kementerian Energi
dan Sumber Daya Energi (2011) bahwa kebutuhan akan energi pertahun rata-rata
sebesar 7 % belum diimbangi dengan suplai energi yang cukup. Harga energi semakin
mahal dan subsidi energi semakin besar. Ketergantungan terhadap energi fosil
(minyak bumi, batubara, dan gas) masih tinggi, cadangannya semakin terbatas. Akses
masyarakat terhadap energi (modern) masih terbatas, ditunjukkan oleh rasio
elektrifikasi tahun 2010 sebesar 67,15% (32,85% rumah tangga belum berlistrik) dan
pengembangan infrastruktur energi (daerah perdesaan/terpencil dan pulau-pulau
terluar pada umumnya belum mendapatkan akses energi). Pemanfaatan energi
terbarukan masih sangat kecil, pendanaan untuk pengembangan sektor energi masih
sangat terbatas. Untuk itu, pemanfaatan energi terbarukan yang bersumber dari air
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 425

terus ditingkatkan dikarenakan potensi yang cukup besar dalam wilayah negara
kesatuan Republik Indonesia yang diketahui memiliki aliran sungai besar dan kecil.
Solusi yang sangat tepat untuk menjaga kesinambungan energi di Indonesia adalah
melakukan konservasi dan efisiensi energi di seluruh sektor pemakaian energi.
Berdasarkan uraian di atas, pemerintah telah membuat skenario arah kebijakan
energi sampai tahun 2025 yang dikenal dengan Visi 25/25 melalui diversifikasi energi
dengan mengurangi pemakaian minyak bumi sampai 30%, gas bumi sampai 23%,
batubara sampai 22%, dan meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan sampai
25%. Arah kebijakan energi ini akan menghasilkan konservasi energi sebesar 35,85%.
Untuk mendukung penggunaan energi baru terbarukan yang bersumber dari air
adalah salah satunya pengembangan teknologi pembangkit listrik tenaga mikrohidro
atau PLTMH. Perguruan Tinggi sebagai unsur yang mendukung kebijakan ini adalah
melakukan kajian-kajian berskala laboratorium untuk nantinya mampu diterapkan di
lapangan.

2. BAHAN DAN ALAT

Peralatan uji laboratorium Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro atau
PLTMH yang berkapasitas 7 liter per detik dengan sumber air dari sebuah pompa
yang digerakkan oleh sebuah penggerak mula motor bakar satu silinder dijelaskan
sebagai berikut:




Gambar 1.
Peralatan Uji PLTMH Skala Laboratorium
Sumber: Irwin Bizzy (2012)


Beberapa bentuk sudu diuji memakai peralatan di atas yang terdiri dari:
Pipa discharge
Pompa air
Pipa hisap Bak
penampung air
Batere
Rumah turbin
Generator
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 426

a. Sudu lurus terbuat dari stainless steel dengan dua model yaitu sudu lurus pertama
atau tipe A dengan lebar sudu (b
1
) = 50 mm, dan sudu lurus kedua atau tipe B
dengan lebar sudu (b
2
) = 150 mm, jumlah sudu dan diameter kedua turbin memiliki
jumlah dan dimensi yang sama masing-masing n
1
= n
2
= 10 buah dan d
1
= d
2
=
400 mm.





Gambar 2.
Sudu Lurus Tipe A dan (b) Tipe B
Sumber: Andar Gunawan (2012)


b. Sudu melengkung terbuat dari St 37 dengan sudu pertama atau tipe C berdiameter
bagian dalam (d
1i
) = 17,5 cm, diameter bagian luar (d
10
) = 27,5 cm, jumlah sudu
(n
1
) = 16 buah, dan

. Sudu kedua atau


tipe D berdiameter bagian dalam (d
2i
) = 17,5 cm, diameter bagian luar (d
20
) = 27,5
cm, jumlah sudu (n
2
) = 20 buah, dan

.


(a)

(b)

Gambar 3.
Sudu Melengkung Tipe C dan (b) Tipe D
Sumber: Arif Budiman (2012)


Peralatan bantu yang digunakan antara lain terdiri dari sebuah Tachometer untuk
mengukur putaran poros turbin air mini, sebuah inverter berfungsi untuk mengubah
arus DC dari batere menjadi arus AC yang mampu menghidupkan lampu, dan sebuah
Accu untuk menyimpan energi listrik.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 427

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengambilan data penelitian di laboratorium (Andar
Gunawan, 2012) bahwa dimensi sudu mempengaruhi daya dan putaran yang
dihasilkan masing-masing tipe turbin air skala mini tersebut. Untuk lebar sudu yang
semakin besar akan menghasilkan daya yang besar dan diikuti dengan kenaikan
putaran poros turbin. Berikut ditunjukkan data hasil pengujian untuk lebar sudu yang
berbeda yaitu 50 mm dan 150 mm.


Gambar 4.
Kurva Daya dan Bukaan Aliran Air untuk Sudu Lurus
(Sumber: Andar Gunawan, 2012)


Selanjutnya, menurut Arif Budiman (2012) yang melakukan pengujian
dengan peralatan yang sama tetapi dengan bentuk sudu turbin adalah melengkung
dengan sudut kelengkungan atau kemiringan sudu sebesar 16
o
didapat bahwa ada
pengaruh jumlah sudu yang dibuat terhadap daya dan putaran yang dihasilkan oleh
turbin air skala mini tersebut, jumlah sudu yang lebih banyak akan menghasilkan daya
dan putaran poros turbin yang lebih besar, akan tetapi belum diuji untuk berapa
jumlah sudu maksimal untuk dimensi yang dirancang sehingga mendapatkan daya
maksimum. Berikut ditunjukkan data hasil pengujian untuk lebar sudu yang sama
tetapi jumlah sudu berbeda 16 buah dan 20 buah.

0
40
80
120
160
200
240
0 25 50 75 100 125
D
a
y
a

L
i
s
t
r
i
k

(
W
a
t
t
)

Bukaan Katup (%)
sudu turbin 150 mm
sudu turbin 50 mm
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 428


Bukaan Katup (%)

Gambar 4.
Kurva Daya dan Bukaan Aliran Air untuk Sudu Melengkung
(Sumber: Arif Budiman, 2012)


4. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan:
1) Sudut kemiringan sudu, jumlah sudu, dan lebar sudu sangat penting dalam
perencanaan turbin air untuk mendapatkan daya dan efisiensi yang maksimum.
2) Peralatan uji PLTMH berskala laboratorium ini dapat digunakan menguji
prototipe sudu turbin air skala mini.
Saran:
1) Dapat dikembangkan peralatan kontrol untuk mengatasi kondisi suplai air yang tidak
stabil agar listrik yang dihasilkan tidak berfluktuasi.
2) Sebaiknya menggunakan bahan yang ringan untuk merancang sudu turbin air berskala
mini untuk mendapatkan daya dan efisiensi yang tinggi.

5. DAFTAR PUSTAKA

Bizzy, Irwin, 2011. Buku Panduan Pengoprasian Turbin Air, Riset Unggulan
Strategis Nasional Universitas Sriwijaya Laboratorium Penelitian Turbin Air,
Inderalaya.

Bizzy, Irwin. 2011. Laporan Riset Unggulan Strategis Universitas Sriwijaya.
Inderalaya.

B.C. Nakra , K.K Chaudhry. 2009. Instrumentation Measurement and Analysis. New
Delhi : McGraw Hill

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 20 40 60 80 100 120
n1 = 16
n2 = 20
Daya Listrik
(Watt)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 429

Budiman, Arif. 2012. Perancangan dan Pengujian Turbin Mikrohidro Aliran Lintang
(Crossflow) untuk Menghasilkan Listrik Ramah Lingkungan. Palembang:
Skripsi S-1 Teknik Mesin Fakultas Teknik Unsri.

Fritz Dietzel, Dakso Sriyono (Penerjemah). 1990. Turbin, Pompa dan Kompressor.
Jakarta : Erlangga

Gunawan, Andar. 2012. Kaji Eksprimental Turbin Air Skala Kecil Untuk
Menghasilkan Listrik. Inderalaya: Skripsi S-1 Teknik Mesin Fakultas Teknik
Unsri.

Hariwijaya, M. dan Djaelani, Bisri M. 2011. Panduan Menyusun Skripsi dan Tesis.
Yogyakarta: SIKLUS Hangar Kreator.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2011. Peluang Investasi Energi Baru,
Terbarukan dan Konservasi Energi. Jakarta.






















Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 430

EL-4

APLIKASI PERENDAMAN ASAP CAIR PADA BLANKET
KARET ALAM
(The Soaking Application of Liquid Smoke on Natural Rubber Blanket)

Afrizal Vachlepi, Didin Suwardin, M.Solichin, Mili Purbaya dan Sherly Hanifarianty

Balai Penelitian Sembawa
Pusat Penelitian Karet
Jl. Raya Palembang-Sekayu Km.29 PO. Box 1127 Palembang 30001

Abstract
The application technology of liquid smoke on natural rubber processing has
been developed. Blanket hanging in room still long is reach 12 days. Therefore it
needs effort to decreasing time of blanket hanging. One of the methods used was
liquid smoke. The aim of this research was to know and study the effect of soaking
application of liquid smoke on dry rubber content (DRC) and quality of the rubber.
The materials used in this research were naturally coagulated cup lump and liquid
smoke. The equipments used were balance, stopwatch, creper mill machine, oven,
rapid plastimeter, Mooney viscometer. The treatments analized were soaking time of
liquid smoke and storage time. First, soaking time of liquid smoke consist of 1, 2, 3
hours and control (without soaking). Second, storage time consist of 0, 2, 4, 6, 8, 10,
12, and 14 days. The parameters observed were DRC, initial plasticity, plasticity
retention index (PRI), and Mooney viscosity. The results showed that liquid smoke
soaking and storage time had significant effect on DRC. Soaking treatment that
produced the highest DRC was 2 hours. The value of plasticity and Mooney viscosity
was no effected soaking of liquid smoke.

Keywords: blanket, soaking, liquid smoke, DRC and quality

Abstrak
Teknologi aplikasi asap cair dalam pengolahan karet alam terus
dikembangkan. Penggantungan blanket di kamar gantungan masih lama yaitu
mencapai 12 hari. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengurangi waktu
penggantungan blanket. Salah satu cara dengan menggunakan asap cair. Tujuan dari
penelitian adalah untuk mengetahui dan mempelajari pengaruh aplikasi perendaman
blanket dalam asap cair terhadap kadar karet kering (KKK) dan mutu karet yang
dihasilkan. Bahan yang digunakan adalah lum mangkok alami dan asap cair. Alat
yang digunakan terdiri atas timbangan (neraca), stopwatch, mesin gilingan creper,
oven, Rapid plastimeter, dan Mooney viskometer. Perlakuan yang diteliti meliputi
lama perendaman dengan asap cair dan lama penyimpanan blanket. Pertama, lama
perendaman dengan asap cair terdiri atas 1, 2, 3 jam, dan kontrol (tanpa perendaman).
Kedua, lama penyimpanan blanket terdiri atas 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, dan 14 hari.
Parameter yang diamati yaitu kadar karet kering (KKK), plastisitas awal (Po),
Plastisitas Retention Index (PRI), dan viskositas Mooney. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perendaman asap cair dan lama penyimpanan berpengaruh
terhadap KKK. Perlakuan perendaman yang menghasilkan KKK blanket tertinggi
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 431

adalah 2 jam. Nilai plastisitas dan viskositas Mooney tidak dipengaruh perendaman
asap cair.

Kata kunci : blanket, perendaman, asap cair, KKK, dan mutu


PENDAHULUAN
Asap cair merupakan salah satu terobosan teknologi dalam pengolahan karet
alam yang dikembangkan Balai Penelitian Sembawa bekerjasama dengan PT. Global
Deorub Industri (Solichin dkk, 2007). Pada awal penemuannya asap cair digunakan
sebagai penghilang bau di pabrik karet remah. Penggunaannya masih sebatas
penyemprotan di tumpukan sleb sebelum diolah menjadi karet remah. Penyemprotan
hanya mengenai bagian permukaan sleb saja sehingga hanya mengurangi bau yang
juga tidak bertahan lama. Dengan ketebalan sleb petani yang rata-rata di atas 15 cm,
asap cair tidak bisa menjangkau masuk ke bagian dalam sleb sehingga tidak banyak
berpengaruh terhadap mutu karet remah yang dihasilkan.
Dalam pengolahan karet remah, sebelum dikeringkan karet yang berbentuk
lembaran panjang (blanket) digantung-anginkan untuk meningkatkan PRI dan kadar
karet kering (KKK). Waktu penggantungan blanket ini bisa dilakukan sampai 12 hari.
Dengan waktu yang relatif lama ini perlu kamar gantungan dengan kapasitas yang
besar. Akibatnya butuh biaya yang besar, baik untuk pembuatan maupun biaya
produksi.
Untuk itu perlu upaya untuk mengurangi waktu penggantungan blanket agar
lebih cepat dengan kadar karet kering yang lebih tinggi tanpa mengesampingkan mutu
karet. Salah satunya dengan mengaplikasikan asap cair pada blanket sebelum
digantung di kamar gantungan. Agar penyerapan asap cair lebih efektif terutama ke
bagian dalam karet, aplikasinya dilakukan dengan cara perendaman.
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui dan mempelajari pengaruh
aplikasi perendaman blanket dalam asap cair terhadap kadar karet kering (KKK) dan
mutu karet yang dihasilkan. Dengan perendaman dalam asap cair ini diharapkan
waktu penggantungan blanket menjadi lebih cepat dan menghasilkan mutu karet yang
lebih baik.

BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Balai
Penelitian Sembawa. Bahan yang digunakan berupa lum mangkok alami yang
diperoleh dari kebun percobaan Balai Penelitian Sembawa dan asap cair. Peralatan
yang digunakan terdiri atas timbangan (neraca), stopwatch, mesin gilingan creper,
oven, Rapid plastimeter, dan Mooney viskometer.
Perlakuan yang diteliti meliputi lama perendaman dengan asap cair dan lama
penyimpanan blanket. Pertama, lama perendaman dengan asap cair terdiri atas
perendaman 1, 2, 3 jam, dan kontrol (tanpa perendaman). Kedua, lama penyimpanan
blanket terdiri atas 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, dan 14 hari. Parameter yang diamati yaitu
kadar karet kering (KKK), plastisitas awal (Po), Plastisitas Retention Index (PRI), dan
viskositas Mooney.
Setiap perlakuan perendaman blanket dalam asap cair digunakan lum
mangkok sebanyak 20 kg. Masing-masing lum mangkok kemudian digiling
menggunakan mesin gilingan creper menjadi blanket. Untuk mengurangi air di
permukaan, blanket selanjutnya ditiriskan selama 1 jam. Blanket kemudian direndam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 432

dalam asap cair sesuai dengan perlakuan. Setelah direndam, blanket disimpan di
dalam ruangan sesuai dengan perlakuan dengan cara digantung.
Untuk mengetahui baik tidaknya mutu dari blanket tersebut, hasil analisis
mutunya dibandingkan dengan persyaratan mutu SIR 20 yang terdapat pada Standar
Nasional Indonesia (SNI) No. 06-1903-2003 Tentang Standard Indonesian Rubber
(SIR) yang ditampilkan pada Tabel 1. Mutu teknis SIR 20 digunakan sebagai
pembanding karena bokar berupa lum mangkok biasanya diproses menjadi SIR 20.

Tabel 1. Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 06-1903-2003 Tentang Standard
Indonesian Rubber (SIR).
Spesifikasi
SIR 3
CV
SIR
3 L
SIR 3
WF
(Whole
field)
SIR 5
Koagulum
Lateks Tipis
SIR 10
Koagulum
Lapang
SIR
20
Kadar kotoran,% maks
(b/b)
0,03 0,03 0,03 0,05 0,10 0,20
Kadar abu, % maks
(b/b)
0,50 0,50 0,50 0,50 0,75 1,00
Kadar zat menguap, %
maks (b/b)
0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80
PRI, min 60 75 75 70 60 50
Po, min - 30 30 30 30 30
Nitrogen (N
2
), maks
(b/b)
0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berat Blanket dan Kadar Karet Kering
Dari hasil analisis terhadap sampel lum mangkok, diperoleh bahwa KKK rata-
rata lum mangkok yang digunakan 51.53%. KKK blanket masing-masing perlakuan
selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 1. Sedangkan perubahan berat
blanket selama penyimpanan disajikan pada Gambar 2.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 433

Gambar 1. Kadar karet kering (KKK) blanket yang direndam dengan asap cair
selama penyimpanan

Seperti terlihat pada Gambar 1, KKK awal blanket sampai 2 hari penyimpanan
setiap perlakuan tidak berbeda nyata dibandingkan blanket yang tidak direndam
dengan asam cair (kontrol). Secara keseluruhan, perbedaan peningkatan KKK blanket
mulai terlihat setelah blanket disimpan selama 4 sampai 8 hari penyimpanan. Pada
kedua waktu penyimpanan tersebut, KKK blanket yang direndam dengan asap cair
rata-rata lebih tinggi dibandingkan kontrol. Rata-rata KKK blanket yang direndam
dengan asap cair yaitu 81-84% ketika disimpan selama 4-8 hari. Sedangkan KKK
blanket kontrol hanya sekitar 79-83% pada waktu penyimpanan yang sama. Hal ini
terjadi karena asap cair yang mudah menguap dan kemampuan melepaskan air dari
bahan yang disebut dengan syneresis effect (Solichin, 2007). Kemampuan asap cair
yang mudah menguap dan melepaskan air ini disebabkan kandungan senyawa mudah
menguap (volatil) dalam asap cair. Hasil analisis yang dilakukan PSB (2003)
mendapatkan bahwa asam cair mengandung sekitar 67 senyawa yang salah satunya
senyawa volatil seperti benzenediol, furanmetanol, dan sebagainya.
Demikian juga dengan blanket yang disimpan selama 10-14 hari. Meski kecil
tidak sebesar umur simpan sebelumnya, KKK blanket yang direndam asap cair masih
lebih tinggi dibandingkan kontrol. Menurunnya kemampuan ini diduga disebabkan
sudah berkurangnya asap cair dan kadar air pada blanket. Dengan berkurangnya asap
cair dan kadar air blanket, proses pengeringan juga akan cenderung menurun.
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa lama perendaman yang menghasilkan
rata-rata KKK blanket paling tinggi adalah perendaman blanket dengan asap cair
selama 2 jam .


Gambar 2. Perubahan berat blanket berbagai perlakuan selama penyimpanan.

Pengaruh perendaman dengan asap cair dan lama penyimpanan blanket juga
terlihat dari perubahan berat. Seperti terlihat pada Gambar 2 terjadi penurunan berat
blanket untuk semua perlakuan. Penurunan berat blanket ini disebabkan berkurangnya
kandungan air pada blanket atau telah terjadinya proses penguapan terutama air bebas.
Air bebas mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan (McCabe dkk,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 434

1993). Air pada produk pertanian, baik air bebas maupun air terdispersi, dapat
berkurang selama proses pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan (Sudarmadji
dkk, 1999).

Plastisitas Blanket
Nilai plastisitas yang diamati hanya plastisitas awal (Po) dan PRI sesuai
dengan SNI No. 06-1903-2003 tentang SIR. Hasil analisis Po blanket berbagai
perlakuan ditampilkan pada Tabel 2. Sedangkan nilai PRI blanket pada berbagai
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.



Tabel 2. Nilai plastisitas awal blanket pada berbagai perlakuan lama perendaman dan
lama penyimpanan.

Umur Simpan
(hari)
Perendaman dengan asap cair
1 jam 2 jam 3 jam Kontrol
0 46 44 43 44
2 39 35 37 41
4 39 36 38 41
6 40 36 39 41
8 36 33 36 41
10 34 32 33 37
12 39 39 34 42
14 40 35 36 42
SIR 20 (min) 30 30 30 30


Tabel 3. Nilai PRI blanket pada berbagai perlakuan lama perendaman dan lama
penyimpanan.

Umur Simpan
(hari)
Perendaman dengan asap cair
1 jam 2 jam 3 jam Kontrol
0 76 64 74 52
2 79 89 84 54
4 87 86 84 66
6 80 86 82 71
8 94 76 81 78
10 94 88 88 86
12 82 69 71 79
14 73 77 81 81
SIR 20 (min) 50 50 50 50

Seperti terlihat pada Tabel 2 dan 3, lama perendaman dan lama penyimpanan
blanket tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai plastisitas blanket, baik plastisitas
awal maupun PRI. Hal ini diduga disebabkan bahan olah karet (bokar) awal yang
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 435

digunakan sama, yaitu lum mangkok alami. Asap cair yang digunakan untuk
perendaman blanket kurang efektif karena hanya melindungi di permukaan blanket
saja. Setelah lebih dari 10 hari penyimpanan, kandungan asap cair di permukaan
blanket cenderung berkurang. Hal ini dapat dilihat dari nilai plastisitas blanket. Pada
awal aplikasi, nilai plastisitas blanket cenderung tinggi dibandingkan kontrol. Tetapi
setelah 10 hari penyimpanan, nilai plastisitas blanket yang direndam asap cair
mendekati kontrol. Faktor utama yang mempengaruhi nilai PRI adalah pertimbangan
antara prooksidan dan antioksidan dalam karet (Solichin, 1991). Walaupun tidak
berpengaruh, nilai plastisitas blanket baik Po maupun PRI masih memenuhi standar
mutu untuk SIR 20 (Tabel 2 dan 3).
Untuk PRI blanket kontrol, pada awal penyimpanan 0-2 hari hanya 52-54 yang
relatif dekat dengan batas syarat mutu. Dengan nilai ini masih belum aman karena
nilai plastisitas dapat menurun di bawah syarat mutu minimum. Turunnya nilai PRI
ini disebabkan berkurangnya antioksidan yang terdapat pada bahan sehingga semakin
besar terjadinya proses oksidasi. Oleh karena itulah, pabrik karet remah biasanya
menyimpan blanket dengan cara menggantungnya dengan maksudnya agar nilai
plastisitas blanket dapat meningkat.

Viskositas Mooney
Hasil analisis viskositas Mooney blanket berbagai perlakuan disajikan pada
Tabel 3. Viskositas karet mentah dinyatakan sebagai mooney yang menunjukkan
panjangnya rantai molekul atau berat molekul dan derajat pengikatan silang rantai
molekulnya (Solichin, 1991). Viskositas Mooney tidak menjadi syarat mutu utama
untuk SIR 20.
Selama penyimpanan dan perjalanan pada waktu diekspor, viskositas karet
mengalami kenaikkan secara spontan dan irreversible sehingga karet menjadi lebih
keras. Peningkatan atau kenaikan viskositas karet tidak dikehendaki konsumen karena
dengan viskositas tinggi dan tidak seragam, karet harus diperlunak dan diliatkan
dahulu dengan proses premastikasi saat pembuatan barang jadi karet. Proses
premastikasi ini membutuhkan energi yang banyak sehingga tidak efisien kaitannya
dengan biaya proses.

Tabel 3. Nilai viskositas Mooney blanket pada berbagai perlakuan lama perendaman
dan lama penyimpanan.

Umur Simpan
(hari)
Perendaman dengan asap cair
1 jam 2 jam 3 jam Kontrol
0 80 78 77 94
2 70 67 68 78
4 73 67 68 76
6 76 67 70 75
8 69 67 67 70
10 64 61 63 72
12 72 66 68 74
14 73 67 69 79

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa perendaman dengan asap cair
berpengaruh terhadap nilai viskositas Mooney blanket. Viskositas Mooney blanket
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 436

yang direndam asap cair rata-rata di bawah 70. Sedangkan blanket kontrol rata-rata di
atas 70. Untuk menghasilkan karet viskositas mantap dapat dilakukan dengan
penambahan bahan pemantap yaitu hidroksilamin netral sulfat.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
perendaman asap cair dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap kadar karet
kering blanket. Perlakuan perendaman yang menghasilkan KKK blanket tertinggi
adalah 2 jam. Nilai plastisitas dan viskositas Mooney tidak dipengaruh perendaman
asap cair.



DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 2003. Standar Nasional Indonesia tentang Standard
Indoensian Rubber (SIR) No. 06-1903-2003. Jakarta.
McCabe, W.L., J.C. Smith., and P. Harriott. 1993. Unit Operations of Chemical
Engineering. McGraw-Hill Chemical Engineering Series. Fifth Edition. Pp
801-802.
PSB. 2003. Test Report Chemical Analysis for Liquid Smoke Sample. PSB Corp.
Singapore.
Solichin, M. 1991. Kegagalan Mutu SIR dan Cara Mengatasinya dalam Lateks.
Pusat Penelitian Sembawa.
Solichin, M. 2007. Penggunaan Asap Cair Deorub Untuk Penggumpalan Lateks yang
Akan Diolah Menjadi Karet Remah dan Ribbed Smoked Sheet (RSS) di PT
Perkebunan VII. Proposal Penelitian Kerjasama Balai Penelitian Sembawa
dengan PT. Perkebunan Nusantara VII. Banyuasin.
Solichin, M., D.Suwardin, C.Nancy, A.Vachlepi, A.Anwar dan M.Purbaya. 2007.
Pengembangan Sistem Produksi Asap Cair dan Formulanya untuk Karet,
Prototipe Pengeringan Karet dengan Energi Alternatif, serta Perumusan SNI
Asap Cair. Laporan akhir program IPKISP Kementerian Riset dan Teknologi.
Balai Penelitian Sembawa.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1999. Prosedur Analisis Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 437

EL-5

PENGARUH SUHU PERENDAMAN TERHADAP KADAR AIR, KADAR
ASETIL DAN RENDEMEN PADA PEMBUATAN SELULOSA ASETAT DARI
LIMBAH CAIR PABRIK TAHU
Oleh : Ir. Athiek Sri Redjeki,MT dan Alvika Meta Sari, ST, MChem.Eng.

Abstrak

Aplikasi selulosa asetat umumnya adalah sebagai bahan dasar pembuatan seluloid,
film, plastic, plastic komposit, surface coating dan membrane filtrasi. Bahan baku
selulosa asetat digunakan nata de soya (NDS). NDS didapat dari fermentasi limbah
cair industri tahu menggunakan bakteri Acetobacter xylinum, kemudian diaktivasi dan
dikeringkan. Setelah itu, serbuk NDS diasetilasi menggunakan anhidrida asetat,
menghasilkan selulosa asetat (SA) nata-de-soya. Pada penelitian ini diteliti pengaruh
suhu perendaman dengan NaOH terhadap kadar air, rendemen dan kadar asetil
selulosa asetat. Dari hasil penelitian diperoleh suhu perendaman tidak berpengaruh
nyata terhadap kadar air selulosa tetapi berpengaruh terhadap rendemen dan kadar
asetil dari selulosa asetat.

Keyword: nata de soya, limbah cair tahu, diaktivasi, selulosa asetat, asetil

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Akhir akhir ini penggunaan selulosa semakin berkembang, mengingat
selulosa adalah bahan alam yang murah, mudah didapat, tidak toksik, lebih disukai
dan bersifat polimer.
Pencemaran akibat air limbah tahu merupakan masalah utama yang
mengganggu kesehatan lingkungan. khususnya pada musim kemarau. Selama ini air
limbah tahu tersebut belum pernah dimanfaatkan sehingga dapat mencemari
lingkungan sekitar industri. Air limbah tahu adalah air sisa penggumpalan tahu (whey
tofu) yang dihasilkan selama proses pembuatan tahu (Lestari, 1994). Whey tahu
mempunyai prospek untuk dimamfaatkan sebagai media fermentasi bakteri,
diantaranya bakteri asam asetat Asetobacter sp termasuk bakteri Asetobacter xylinum.
Asetobacter xylinum dapat mengubah gula subtrat menjadi gel selulosa yang biasa
dikenal dengan nata.
Menurut hasil penelitian microbial cellulose ini nata selain untuk makanan,
sekarang (terutama di Jepang) telah dikembangkan untuk keperluan peralatan-
peralatan yang berteknologi tinggi, misalnya untuk membran sound system.
STUDI PUSTAKA
Nata de Soya
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 438

Air limbah tahu masih mengandung bahan-bahan organik seperti protein,
lemak dan karbohidrat yang mudah busuk sehingga menimbulkan bau yang kurang
sedap (Shurtleft dan Aoyogi, 1975). Jika ditinjau dari komposisi kimianya, ternyata
air limbah tahu mengandung nutrien-nutrien (protein, karbihidrat, dan bahan-bahan
lainnya) yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke sungai justru dapat menimbulkan
pencemaran. Tetapi jika dimanfaatkan akan menguntungkan perajin tahu atau
masyarakat yang berminat mengolahnya.
Limbah air tahu (whey tofu) selain mengandung protein juga mengandung
vitamin B terlarut dalam air, lestin dan oligosakarida. Whey tahu mempunyai prospek
untuk dimamfaatkan sebagai media fermentasi bakteri, diantaranya bakteri asam
asetat Asetobacter sp termasuk bakteri Asetobacter xylinum yang dapat mengubah
gula subtrat menjadi gel selulosa yang biasa dikenal dengan nata.
Selulosa Asetat
Selulosa asetat merupakan ester organik yang berbentuk padatan tidak berbau,
tidak beracun, tidak berasa dan berwarna putih yang dibuat dengan mereaksikan
selulosa dengan asam asetat anhidrida dengan bantuan asam sulfat sebagai katalis
(Kroswitch, 1990).Selulosa yang digunakan dalam pembuatan turunan selulosa harus
memiliki kemurnian tinggi. Menurut Ulmans encyclopedia (1999), bahan baku
selulosa dari kapas kemurniannya tinggi dengan nilai -selulosa sampai 99%,
sedangkan dari pulp kayu nilai selulosanya dalam kisaran 90-97%.
Selulosa asetat secara umum dibedakan atas dua jenis yaitu selulosa triasetat
(selulosa asetat primer) dan selulosa diasetat (selulosa asetat sekunder). Selulosa
asetat primer dibuat melalui reaksi esterifikasi (asetilasi) selulosa dengan pereaksi
anhidrida asetat, sedangkan selulosa asetat sekunder dibuat dengan cara
menghidrolisis selulosa asetat primer.
. Selulosa mikrobial adalah jenis selulosa yang dihasilkan oleh
mikroorganisme. Selulosa mikrobial bersifat renewable (dapat diperbarui),
mempunyai karakteristik yang unik dan relatif lebih murni dibandingkan dengan
selulosa kayu. Selulosa mikrobial merupakan salah
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap sebagai berikut :
1. Sintesa Selulosa microbial ( nata de soya )
2. Sintesa selulosa diasetat
Sintesa Selulosa microbial ( nata de soya )
a. 5.000 ml Air rebusan tahu (whey tofu) yang baru diambil dan masih segar
disaring, dan ditampung dalam panci email (bukan panci alumunium),
kemudian ditambahkan gula pasir dan DAP, aduk-aduk sampai rata kemudian
didihkan selama kira-kira 15 menit.
b. Di angkat dan ditunggu lalu ditambahkan asam cuka, diaduk sampai homogen.
c. Dimasukan dalam wadah plastik/kaca dengan ketinggian larutan kira-kira 3-4
cm, kemudian ditutup lalu didinginkan.
d. Ditambahkan starter/bibit nata cair (acetobacter xylinum) (variasi % volume).
Wadah ditutup dan disimpan ditempat yang aman dan bersih selama 12 hari
(selama penyimpanan, wadah tidak boleh digoyang).
e. Setelah 12 hari atau ketebalan nata mencapai ketinggian 1.5-2 cm, lapisan nata
de soya sudah boleh di panen. Diagram alir dapat dilihat di Gambar (4).
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 439

f. Selulosa microbial ( nata de soya ) yang berbentuk lembaran dipotong-potong
kira-kira empat bagian
g. Kemudian dimurnikan dengan merendamnya di dalam larutan NaOH 1%
selama 12 jam pada suhu 2
o
C, 27
o
C dan 100
o
C.
h. Bahan selanjutnya dicuci kembali dengan air berulang-ulang sampai pH netral
kemudian dipres dengan pompa hidrolik untuk mengeluarkan air dalam bahan.
i. Bahan tersebut kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu antara 30-
35
0
C untuk selanjutnya diperkecil ukurannya dan digiling dengan hammer mill.
Pengeringan pada suhu yang lebih tinggi dari 35
0
C akan membuat selulosa
kurang reaktif.
j. Terakhir, serbuk selulosa microbial diukur kadar air dan kadar abunya.

Sintesa selulosa asetat
Pembuatan selulosa asetat dilakukan melalui 4 tahapan proses, diantaranya:
a. Aktivasi
Sebanyak 10 g serbuk selulosa microbial dicampur dengan 80 ml asam asetat
glacial selama 12 jam pada suhu kamar di dalam Erlenmeyer.
b. Asetilitasi
Bahan yang telah diaktivasi ditambah 25 ml asam asetat anhidrid dan 16 ml
asam asetat glacial serta 1% H
2
SO
4
sebagai katalis, kemudian dimasukkan ke
dalam water bath shaker dengan suhu 50
0
C selama 5 jam.
c. Hidrolisis
Proses hidrolisis dilakukan dengan menambahkan 40 ml cairan hidrolisis
(campuran antara asam asetat glacial dan aquadest dengan nisbah 3:2 ) dan 1%
H
2
SO
4
ke dalam bahan yang telah diasetilasi selanjutnya dimasukkan ke dalam
water bath shaker dengan suhu 50
0
C selama 20 jam.
d. Pemurnian
Larutan hasil hidrolisis disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit
untuk memisahkan bahan yang tidak terasetilasi. Selanjutnya supernatant dituang ke
dalam bak yang berisi air hingga mengendap. Endapan kemudian dicuci sampai pH
netral dan dikeringkan dalam ovendengan suhu maksimal 40
0
C. Bahan yang sudah
kering dianalisa kadar asetil, kadar abu dan kadar airnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HUBUNGAN ANTARA KONSENTRASI NaOH DAN SUHU
PERENDAMAN DENGAN KADAR AIR, ABU DAN SELULOSA
Konsentrasi NaOH 1% NaOH 5% NaOH 10%
Suhu Perendaman 2 27 100 2 27 100 2 27 100
Kadar air (%) 1,13 1,44 0.65 0.78 0,93 1.17 0.84 1.64 1,19
Kadar Asetil (%) 25,25 17.82 12.93 12.81 12.17 11.76 13.70 11.77 12.83
Rendemen selulosa
asetat
4.25 4.08 4.56 4.09 4.39 4.78 4.52 4.28 4.69
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 440

Tabel 4.2. Hasil analisa terhadap produk selulosa asetat

Kadar air selulosa asetat yang lebih rendah dari kadar air selulosa awal ini
disebabkan gugus OH selulosa telah teresterifikasi oleh asetat anhidrida
pada proses asetilasi. Berkurangnya gugus OH menyebabkan menurunnya
sifat higroskopis selulosa.
Berdasarkan gambar diatas memperlihatkan bahwa penambahan konsentrasi
basa, suhu perendaman dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh
nyata.

GRAFIK HUBUNGAN ANTARA SUHU PERENDAMAN DENGAN RENDEMEN
SELULOSA ASETAT


Rendemen ini dihitung dari jumlah nata de soya kering hasil proses purifikasi
yang akan dipakai untuk bahan baku selulosa asetat.
0
0,5
1
1,5
2
2 27 100
1,13
1,44
0,65
0,78
0,93
1,17
0,84
1,64
1,19
K
a
d
a
r

A
i
r

Suhu Perendaman
Kadar Air Selulosa Asetat
1%
5%
10%
3,6
3,8
4
4,2
4,4
4,6
4,8
2 27 100
4,25
4,08
4,56
4,09
4,39
4,78
4,52
4,28
4,69
R
e
n
d
e
m
e
n

Suhu Perendaman
Rendemen Selulosa Asetat
1%
5%
10%
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 441

Berdasarkan gambar diatas dapat disimpulkan bahwa rendemen berkisar
antara 4,09-4,78% dimana pada perlakuan konsentrasi NaOH 1% berkisar
antara 4,08-4,56%. Konsentrasi 5% berkisar antara 4,09-4,78%dan konsentrasi
NaOH 10% berkisar antara 4,28-4,69%.
Rendemen tertinggi diperoleh pada konsentrasi 5% dengan suhu perendaman
100
0
C dan yang terendah pada konsentrasi 5% dengan suhu perendaman 2
0
C.
Berdasarkan grafik diatas maka perlakuan konsentrasi dan suhu perendaman
memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen.

GRAFIK HUBUNGAN ANTARA SUHU PERENDAMAN DENGAN KADAR
ASETIL SELULOSA ASETAT

Kadar Asetil merupakan indikasi dari banyaknya asetat yang dapat
mengesterkan polimer selulosa. Jumlah substitusi dari selulosa asetat
memberikan pengaruh kelarutan dan fisik dari produk tersebut.
Dari gambar diatas menunjukkan bahwa dengan meningkatnya suhu
perendaman maka kadar asetil dari produk akan semakin berkurang. Kadar
asetil selulosa asetat berkisar antara 11,76-25,25% dimana perlakuan
konsentarasi 1% berkisar antara 12,93-25,25%, konsentrasi 5% berkisar antara
11,76-12,81%, sedangkan konsentrasi 10% berkisar antara 11,77-13,7%. Kadar
asetil terbesar terdapat pada perlakuan konsentrasi NaOH 1% dengan suhu
perendaman 2
0
C, dan kadar asetil yang terkecil pada perlakuan konsentrasi
5% dengan suhu perendaman 100
0
C.
Kadar asetil ini dipengaruhi oleh reaktifitas selulosa yang digunakan
dan kondisi proses yang terjadi karena proses berlangsung secara reversible
sehingga selulosa tidak teresterifikasi sempurna.
Esterifikasi oleh asetat anhidrat tidak berlangsung dengan baik
sehingga kadar asetil produk tersebut kecil. Selain itu kondisi fisik bahan
selulosa mempengaruhi produk yang dihasilkan.
0
5
10
15
20
25
30
2 27 100
25,25
17,82
12,93 12,81
12,17
11,76
13,7
11,77
12,83
K
a
d
a
r

a
s
e
t
i
l

s
e
l
u
l
o
s
a

a
s
e
t
a
t

Suhu Perendaman
Kadar Asetil Selulosa Asetat
1%
5%
10%
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 442

KESIMPULAN
Setelah proses asetilasi, produk yang dihasilkan memiliki karakterisasi sebagai
berikut yaitu kadar air selulosa asetat berkisar antara 0,65-1,63%, kadar asetil selulosa
asetat berkisar antara 11,76-25,25% dan rendemen selulosa asetat berkisar antara
4,08-4,78%.
Perlakuan terbaik diperoleh dari perendaman dengan NaOH 1% pada suhu
perendaman 2
0
C yang menghasilkan kadar asetil selulosa asetat 25,25%, rendemen
sebesar 4,11% dan kadar air selulosa asetat sebesar 1,29%.
DAFTAR PUSTAKA
Marcia.R. de Moura; Fauze.A.Aouda; Roberto J.Avena-Bustilos; tara H. McHugh.
2009. Improvedbarrier and mechanical properties of novel hydroxypropyl
methylcellulosen edible films with chitosan/tripolyphosphate nanoparticles. Journal
of Food Engineering 92 : 448-453
Natali D.F. 2007. Adsorbents selections aflatoxinn removal in bovine milk. Journal
food Science 95 : 188-191
Rechelle L.Beverlya; Marlene E.Janes; Witoon Prinyawiwatkula; Hong.KNio .2008.
Edible chitosan films on readey to eat roast beef for the control of Listeria
monocytogenes.Food microbiology 25 : 534-537
Tharanathan R.N.2003. Biodegradable films and composite coatings : past, present,
future . Trends in food science and technology 14 : 71-78

Wedo Yang, Chi ling Chih, Yang D.L. (2008). Effect antibacterial complexs
nanoparticle
chitosan. Carbohydrate Research 343 : 2816-824

Yang Su han; Sang-Hoon Lee; Kyung Ho Choi.2009. Preparation and
characterization of chitosan-clay nanocomposites with antimicrobial activity.
Journal of Physics and Chemistry of Solids.
Zhi Jia, Wang Yuyun, Luo Guangsheng.2006. Adsorption of diuretic furosemide onto
chitosan nanoparticles prepared with a water in oil nanoemulsion system.
Reactive and functional polymer 57 : 214-219



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 443
EL-6

PEMANFAATAN MINYAK GORENG BEKAS SEBAGAI SUBSITUSI
BAHAN BAKAR MOTOR DIESEL


Burhanuddin
1
, Irwin Bizzy
2

1
Alumni Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya,
Jl. Raya Inderalaya Km.32, Inderalaya
2
Dosen Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Univesitas Sriwijaya,
Jl.Raya Inderalaya Km.32, Inderalaya
Telepon/Fax: +62 0711580272; +62 87795469272.
Email: burhansss@yahoo.com; irwin_bizzymt@yahoo.co.id


ABSTRAK
Kebutuhan akan energi baru terbarukan ke depan sangat penting mengingat sumber
energi yang berasal dari fosil semakin berkurang dan mahal. Salah satu energi baru
terbarukan adalah yang berasal dari minyak kelapa sawit dan produk turunan yang
dihasilkannya adalah minyak sayur. Hampir seluruh rumah tangga dan rumah makan
menggunakan minyak sayur untuk memproses makanan yang diolahnya. Sisa minyak
sayur setelah penggorengan dinamakan minyak goreng bekas atau minyak jelantah.
Reaksi oksidasi minyak oleh karena kontak antara sejumlah oksigen akan berakibat
kurang baik terhadap tubuh manusia. Oleh karena itu, penelitian ini memanfaatkan
minyak goreng bekas tersebut untuk dijadikan minyak diesel. Beberapa parameter
telah dianalisa, seperti densitas, viskositas, kalori, bilangan cetana dan konsumsi
bahan bakar yang diuji pada mesin traktor. Hasil pengujiannya adalah nilai cetana
(B0: 49,B5: 51.3, B12: 51.4, B20: 51.8), dan nilai kalori (B0: 28707.64J/g, B5:
35111.91J/g, B12: 37689.64J/g, B20: 35986.32J/g). Konsumsi bahan bakar lebih
sedikit untuk B20 dibandingkan yang lainnya.

Kata Kunci: Cetane, Kalori, Densitas, Konsumsi, Biodiesel.



1. PENDAHULUAN
Ketersediaan akan bahan bakar minyak yang berasal dari minyak bumi
semakin hari semakin menipis, sedangkan kebutuhan akan bahan bakar terus
meningkat, sehingga setiap tahunnya Indonesia mengalami krisis bahan bakar minyak
atau disingkat BBM. Untuk itu, perlu dilakukan suatu penghematan atau
memanfaatkan energi yang terbarukan atau renewable energy. Salah satu energi
terbarukan adalah energi yang berasal dari minyak kelapa sawit. Produksi minyak
kelapa sawit salah satunya adalah minyak sayur. Minyak sayur yang digunakan secara
berulang-ulang, biasanya disebut dengan minyak jelantah atau minyak bekas
penggorengan. Penggunaan minyak bekas secara berulang akan mengakibatkan
terjadinya reaksi oksidasi pada minyak. Penelitian ini dilakukan untuk dapat
memanfaatkan minyak bekas tersebut untuk bahan bakar motor diesel.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 444
Berdasarkan permasalahan di atas, dilakukan penelitian terhadap minyak
jelantah agar berdampak positif bagi kehidupan manusia dengan mengubahnya
menjadi biodiesel. Parameter yang akan dianalisa dalam penelitian ini adalah
densitas, viskositas, nilai keasaman, nilai kalor, dan nilai cetana, serta mengetahui
nilai konsumsi bahan bakar dari masing-masing minyak yang diuji terdiri tipe B5,
B12, dan B20 terhadap putaran mesin diesel untuk penggerak mesin traktor. Metode
yang digunakan dalam pengujian ini adalah studi kepustakaan dan eksperimen.
Eksperimen dilakukan di Laboratorium yang berada dalam lingkungan Universitas
Sriwijaya.

2. BAHAN DAN ALAT
Minyak merupakan suatu zat makanan yang penting untuk menjaga
kesehatan tubuh manusia, khususnya minyak nabati. Minyak jelantah adalah minyak
makan hasil penggorengan yang telah digunakan berulang kali, minyak akan
menerima banyak panas selama pemakaian sehingga memutus ikatan rangkap dan
membuat minyak jelanta memiliki kandungan asam lemak bebas yang tinggi (Suryani,
1997). Keuntungan menggunakan minyak jelantah sebagai solusi energi alternatif
adalah mudah dicari dan harganya terjangkau dan mengurangi bahan karsinogenik
(sifat radikal yang mengandung senyawa hidroperoksida dan peroksida) yang beredar
di masyarakat (Prihandana, 2007).
Alkohol yang paling umum digunakan untuk transesterifikasi adalah
metanol. Untuk membuat biodiesel, ester dalam minyak nabati perlu dipisahkan dari
gliserol. Ester merupakan bahan dasar penyusun biodiesel. Metanol lebih dipilih
daripada etanol oleh karena mampu memproduksi reaksi biodiesel yang lebih stabil.
Sedangkan NaOH merupakan katalis basa yang digunakan untuk memulai reaksi
dengan bahan lain, dapat mengkatalis reaksi dengan cara mendonorkan elektron ke
grup sehingga membuat gugus ini lebih reaktif.
Reaksi Esterifikasi merupakan suatu proses di mana asam lemak bebas yang
terkandung dalam minyak bekas penggorengan akan dihilangkan agar tidak
mengganggu reaksi transesterifikasi. Katalis yang umum digunakan dalam tahap ini
adalah H
2
SO
4
pekat (95 %), di mana reaksi esterifikasi akan berlangsung baik dalam
kondisi asam. Sedangkan reaksi transesterifikasi merupakan reaksi utama dalam
pembuatan biodiesel. Pada proses ini, terjadi perubahan bentuk dari satu jenis ester
menjadi bentuk ester yang lain. Proses transterifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor
penting antara lain lama reaksi, rasio perbandingan alkohol dengan minyak, dan jenis
katalis.
Beberapa parameter dalam pengujian minyak goreng bekas adalah sifat dan
unsur kimia Minyak Goreng Bekas, seperti densitas, viskositas, nilai pH, nilai kalor,
cetane number, dan konsumsi bahan bakar. Sedangkan peralatan yang dipakai terdiri
dari bioreaktor, mesin uji nilai cetana atau Irox Diesel dan kalori, timbangan digital,
ember dan botol C1000 sebanyak 5 buah, kertas saring, sarung tangan, gelas ukur,
piknometer, phmeter, termometer, viscometer, alat distilasi, dan mesin diesel traktor
Kubota RD 65 T.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 445


Gambar 1.Peralatan Uji Bioreaktor

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa pengujian sifat-sifat minyak goreng bekas yang dilakukan sebelum
dan setelah diolah menjadi biodiesel:
1. Minyak jelantah yang tanpa dicampur karbon aktif akan memiliki angka keasaman
dan viskositas lebih rendah dibandingkan yang dicampur karbon aktif.
2. Setelah minyak jelantah dijadikan biodiesel, dilakukan pengujian terhadap M30,
M35, M40, M45, M50 di dapat hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Analisa Densitas dan Viskositas


3. Nilai kalori
Tabel 2. Data Perhitungan Nilai Kalorimeter Biodiesel





Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 446

4. Nilai Kalorimeter Biodiesel Vs Solar

Tabel 3.Data Perhitungan Nilai Kalorimeter Biodiesel Vs Solar


5. Nilai Kalori

Gambar 2. Variasi Bahan Bakar Vs Kalori

Pencampuran biodiesel ke dalam solar berakibat terhadap besar nilai kalori,
tetapi ada batasan tertentu dalam pencampurannya untuk mendapatkan nilai kalori
yang tinggi ini. Terjadi kenaikan nilai kalori pada B12 dan penurunan pada B20,
dengan catatan bahwa pencampuran tidak boleh lebih dari 12%.

6. Nilai Cetane

28707,6
35111,9
37689,6
35986,3
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
Solar B5 B12 B20
Nilai Kalori
(%)
(kJ/k
49
51,3
51,4
51,8
47,5
48
48,5
49
49,5
50
50,5
51
51,5
52
52,5
Solar B5 B12 B20
Cetana Number
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 447

Gambar 3. Variasi Bahan Bakar Vs Cetana Number

Nilai cetana untuk masing-masing tipe bahan bakar cenderung naik. Semakin
banyak campuran biodiesel yang dicampurkan ke dalam solar akan semakin tinggi
nilai cetananya, walaupun perbedaan tersebut tidak terlalu besar.

7. Konsumsi Bahan Bakar


Gambar 4. Konsumsi Bahan Bakar Vs. Variasi Putaran

Terlihat bahwa saat mesin dihidupkan pada putaran terendah (1013 rpm) selama 10
menit bahwa tipe bahan bakar B0 minyak yang terkonsumsi sebanyak 160 ml, tipe
bahan bakar B5 minyak yang terkonsumsi sebanyak 190 ml, tipe bahan bakar B12
minyak yang terkonsumsi sebanyak 170 ml, dan tipe bahan bakar B20 minyak yang
terkonsumsi sebanyak 140 ml. Ternyata dari keempat tipe bahan bakar tersebut, tipe
bahan bakar B12 yang paling baik karena mesin dalam kondisi stabil atau baik dalam
putaran rendah, sedang, maupun tinggi.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan didapat kesimpulan sebagai berikut:
1. Penyaringan minyak goreng bekas terhadap karbon aktif, dapat menambah nilai
keasaman dari minyak tersebut.
2. Sangat diperlukan proses destilasi (titik didih 200
0
C, temperatur 85
0
C) setelah
melakukan proses esterifikasi dan transesterifikasi agar mendapatkan produk yang
bebas dari air dan gliserol.
3. Pencampuran biodiesel terhadap solar sangat berpengaruh dalam menentukan nilai
kalori, dan nilai cetana. Semakin banyak pencampuran yang digunakan akan
semakin besar nilai cetana dan kalori yang didapat, tetapi untuk nilai kalori ada
batasan maksimal dalam pencampurannya.
165
200
230
240
160
190
220
230
140
170
200
210
110
140
170
180
0
50
100
150
200
250
300
1013 1425 1709 2035
Solar
B5
B12
B20
(
(rpm)
(ml)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 448
4. Besarnya konsumsi bahan bakar biodiesel yang dicampur solar dari masing-masing
campuran cenderung menurun. Semakin banyak campuran biodiesel ke dalam
minyak solar akan semakin hemat, dengan fraksi yang baik diperoleh pada B20.


5. DAFTAR PUSTAKA

Kateren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press.
Kateren, S. 1987. Penggunaan Arang Aktif Terhadap Mutu Minyak. Jakarta: UI Press.
Kusuma, I. 2003. Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jelantah dan Pengujian terhadap
Prestasi Kerja Mesin Diesel, Poros, vol.6, no.4, 227-234.
Peraturan Presiden No. 10.2006. Kebijakan Energi Nasional.
Posman, 2003. Energi Alternatif Terbarukan (renewable energy).
Prihandana, R. 2007. Dampak Penggunaan Minyak Jelantah bagi Kesehatan. Jakarta:
Agromedia.
Sofyan, Putra. 2012. Panduan Membuat Sendiri Bensin dan Solar. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press, Sleman.
Suryani, Ani. 1997. Kandungan Asam Lemak Bebas dalam Minyak Jelantah. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Syah, Andi. 2006. Biodiesel Jarak Pagar: Bahan Bakar Alternatif yang Ramah
Lingkungan. Jakarta: Agro Media Pustaka.



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 449
EL-7

Degradasi Lignoselulosa (Limbah Kertas) menjadi Bioetanol dengan
Metode Hidrolisis Asam dan Fermentasi



Cindi Ramayanti
1*
, Ketty Ramadhany G.
1
, Tuti Indah Sari
2

1
Mahasiswa Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
2
Dosen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
*
Korespondensi Pembicara. Phone: +62 819 2007005
Jl. Raya Inderalaya Km.32, Inderalaya
Email: cindiramayanti@yahoo.com

Abstrak

Limbah kertas merupakan masalah lingkungan yang sangat penting untuk
ditangani. Salah satu metode penanganan limbah kertas adalah dengan mengubahnya
menjadi bioetanol. Limbah kertas merupakan biomassa yang memiliki kandungan
selulosa yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi alternatif bahan baku biomassa
yang potensial untuk dikonversikan menjadi bioetanol. Penelitian dilakukan dengan
proses delignifikasi basa menggunakan larutan natrium hidroksida (NaOH) dan
dihidrolisis menggunakan asam sulfat (H
2
SO
4
) encer dengan variasi konsentrasi (2%,
2,5%, 3%, 3,5%, 4%, dan 5% (v/v)) kemudian difermentasi menggunakan
Saccharomyces cereviciae dengan variasi waktu fermentasi (4 hari, 5 hari, 6 hari, 7
hari, dan 8 hari). Etanol yang dihasilkan dipisahkan dengan menggunakan proses
destilasi. Hasil penelitian untuk kertas bertinta menghasilkan kadar etanol tertinggi
yaitu sebesar 6,12% (v/v) diperoleh pada konsentrasi asam sulfat 4% (v/v) dan waktu
fermentasi 7 hari. Sedangkan pemakaian kertas tanpa tinta memberikan kadar etanol
tertinggi sebesar 8,17% (v/v) pada konsentrasi asam sulfat 4% (v/v) dan waktu
fermentasi 7 hari.

Kata kunci : bioetanol, fermentasi, hidrolisa, limbah kertas.

Abstract

Waste papers are treated by filling and combustion that are detrimental to the
environment. An important method of handling the waste papers are by converting the
papers to bioethanol. Waste papers have cellulose biomass in high percentage so
that can be used as potential alternative biomass feedstock to convert bioethanol.
Alkaline delignification was conducted by sodium hydroxide (NaOH) and then
hydrolyzed using sulfuric acid (H
2
SO
4
) diluted with various concentrations (2%,
2.5%, 3%, 3.5%, 4%, and 5% (v/v)) and then fermentation was carried out by
Saccharomyces cereviciae with the variation fermentation time (4 days, 5 days, 6
days, 7 days, and 8 days). Ethanol will be produced after separated using evaporation
process. The results for the paper inked with the highest ethanol content of 6.12%
(v/v) was obtained at a concentration of 4% sulfuric acid (v / v) and 7 days
fermentation time. While the paper without ink obtained the highest ethanol content of
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 450

8.17% (v / v) sulfuric acid at a concentration of 4% (v/v) and 7 days fermentation
time.

Key words : waste paper, bioethanol, hydrolysis, fermentation

1. Pendahuluan
Energi menjadi salah satu permasalahan utama dunia saat ini. Bahan bakar
minyak masih menjadi konsumsi utama negara-negara didunia. Sedangkan produksi
minyak bumi dunia diperkirakan akan turun hingga 20 milyar barel pada tahun 2050
(Sun and Cheng, 2002). Permasalahan inilah yang membawa dampak pada
meningkatnya harga jual bahan bakar minyak di dunia dan di Indonesia. Di sisi lain,
permintaan bahan bakar minyak dalam negeri jumlahnya terus meningkat akibat
adanya usaha-usaha perbaikan ekonomi dan pertambahan penduduk.
Namun dibalik ancaman serius di atas ada peluang bagi energi - energi
alternatif, khususnya energi yang dapat diperbaharui (renewable energy) untuk
dimanfaatkan secara optimal. Salah satu energi terbarukan yang mempunyai potensi
besar di Indonesia adalah biomassa. Biomassa dapat digunakan sebagai bahan baku
untuk pembuatan bioetanol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif
untuk bensin.
Salah satu sumber biomassa yang sampai saat ini jarang digunakan adalah
limbah kertas. Tingkat konsumsi kertas di Indonesia bahkan di dunia terus mengalami
peningkatan. Saat ini kebutuhan kertas dunia sekitar 394 juta ton, dan diperkirakan
akan meningkat menjadi 490 juta ton pada 2020. Sementara itu, kebutuhan kertas di
dalam negeri pada 2011 mencapai 5,2 juta ton. (Moch Ridwan, 2012). Penanganan
limbah kertas dilakukan dengan cara penimbunan dan pembakaran sangat merugikan
lingkungan dan kesehatan, terlebih lagi biasanya memiliki harga jual yang sangat
rendah. Salah satu metode penanganan limbah kertas adalah mengubahnya menjadi
bioetanol.
Limbah kertas mengandung serat/lignosellulosa yang dapat pecah menjadi
gula sederhana yang akhirnya diubah menjadietanol melalui prosesfermentasi. Untuk
memecahlignosellulosa menjadi gula sederhana yang siapdifermentasi diperlukan
metode pretreatment yaituhidrolisa. Metode hidrolisa asam encer lebih unggul
dibandingkan metode lain dan hidrolisa secara enzimatik. Mengingat metode ini tidak
memerlukan recycle dan proses recovery enzim.
Pada penelitian ini dipelajari pengaruh konsentrasi asam sulfat, jenis kertas
dan waktu fermentasi terhadap kadar etanol yang dihasilkan dari limbah kertas
dengan proses hidrolisis asam.
Bahan Baku (Kertas Bekas)
Penggunaan bahan baku berlignoselulosa untuk produksi bioetanol
mendapatkan perhatian khusus untuk mendorong pengembangan usaha energi
terbarukan dan juga untuk menekan biaya produksi karena harganya murah. Bahan
baku untuk mendapatkan energi alternatif yang banyak dikembangkan saat ini adalah
bahan baku dari bahan lignoselulosa.
Bahan-bahan lignosellulosa ini diantaranya: limbah-limbah pertanian
(rumput, alang-alang, sekam padi, rice husk, wheat straw, sisa-sisa hasil panen/crop
residues, tongkol jagung/corn stover etc.), limbah-limbah perternakan (kotoran
hewan), limbah-limbah industri (hasil samping industri fermentasi/silage, molasses,
bagasse, potongan-potongan kayu/wood chips, sisa-sisa produk pengalengan
makanan/agri-food wastes etc.), kertas bekas, kardus bekas, koran bekas dll.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 451

(Anonim, 2008; Anonim 2007; Campo et al., 2006; Iranmahboob et al., 2002;
Lavarack et al., 2002; Sun and Cheng, 2002).
Kandungan selulosa dalam kertas mencapai 69 99% selulosa dan 0 12%
hemiselulosa yang dapat dikonversi menjadi etanol dengan jalan hidrolisa menjadi
gula sederhana dilanjutkan dengan fermentasi untuk memperoleh etanol.

Tabel 1. Komposisi beberapa sumber lignoselulosa

















(sumber : Sun and Cheng, 2002 and Mosier et al, 2005; Zhang et al, 2009; Goyal et al, 2008; Sassner et
al, 2008; bio-process.com/wp-content/uploads/2009/12/MSW.pdf)
Bioetanol merupakan salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan bakar
alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya yang terbarukan. Bioetanol dapat
dibuat dari biomassa yang mengandung gula, pati atau selulosa yang telah diproses
menjadi glukosa. Etanol atau Etil Alcohol (lebih dikenal dengan alkohol, dengan
rumus kimia C
2
H
5
OH) adalah cairan tak berwarna dengan karakteristik antara lain
mudah menguap, mudah terbakar, larut dalam air, tidak karsinogenik.
Teknologi Konversi Biomassa Lignoselulosa
Pembuatan bahan-bahan lignosellulosa hingga menjadi etanol melalui empat
proses utama: pretreatment, hidrolisa, fermentasi, dan terakhir adalah purifikasi.
Bahan-bahan lignosellulosa umumnya terdiri dari sellulosa, hemisellulosa dan lignin.
Sellulosa secara alami diikat oleh hemisellulosa dan dilindungi oleh lignin. Adanya
senyawa pengikat lignin inilah yang menyebabkan bahan-bahan lignosellulosa sulit
untuk dihidrolisa (Iranmahboob et al., 2002). Oleh sebab itu, proses pretreatment dan
hidrolisa merupakan tahapan proses yang sangat penting yang dapat mempengaruhi
perolehan yield etanol.
Proses pretreatment yang sekaligus proses hidrolisa meliputi: perlakuan secara
fisik, fisik-kimiawi, kimiawi dan enzimatik (Sun and Cheng, 2002). Proses ini
bertujuan memecah ikatan lignin, menghilangkan kandungan lignin dan
hemisellulosa, merusak struktur krital dari sellulosa serta meningkatkan porositas
bahan (Sun and Cheng, 2002). Rusaknya struktur kristal sellulosa akan mempermudah
terurainya sellulosa menjadi glukosa. Selain itu, hemisellulosa turut terurai menjadi
senyawa gula sederhana: glukosa, galaktosa, manosa, heksosa, pentosa, xilosa dan
arabinosa. Selanjutnya senyawa-senyawa gula sederhana tersebut yang akan
difermentasi oleh mikroorganisme menghasilkan etanol.
Biomass Cellulos
e
Hemicelluls
e
Lignin
Trees
Poplar
Eucalyptus
Pine (spruce)
Salix
45-50
50
44
43
17-19
13
23
22
18-26
28
28
26
Grasses
Switchgrass
Bermudagrass
Rye grasses
31-45
25
25-40
20-30
36
35-50
12-18
6
10-30
Paper
Office paper
Newspaper
Paper pulp
69-99
40-55
60-70
0-12
25-40
10-20
0-15
18-30
5-10
Food/agricultur
e
wastes
Corn cobs
Corn stover
Corn fibre
Wheat straw
Rice husk
Bagasse
Nut shells
Leaves
Cattle
manure
45
38-40
14
30-38
24
38
25-30
15-30
1.6-4.7
35
22-28
17
21-50
27
27
25-30
80-85
1.4-3.3
15
18-23
8
15-23
13
20
30-40
0
2.7-5.7
Other wastes
Sorted
refuse
Primary
wastewater
solids
Municipal
solid
Waste
(MSW)
MSW paper
pulp
60
8-15
33
62
20
NA
9
5
20
24-29
17
11

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 452

Namun proses enzimatik tersebut merupakan proses yang paling mahal. Proses
recycle dan recovery enzim sellulose diperlukan untuk menekan tingginya biaya
produksi (Iranmahboob et al., 2002; Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Selain itu, proses
hidrolisa enzimatik memerlukan pretreatment bahan baku agar struktur sellulosa siap
untuk dihirolisa oleh enzim (Palmqvist dan Hahn-Hgerdal, 2000). Mengingat
kerumitan proses hidrolisa enzimatik sebagaimana tersebut di atas, hidrolisa
enzimatik dengan enzim sellulose mempengaruhi 43,7% biaya total produksi
(Szczodrak dan Fiedurek, 1996).
Etanol (Etil Alkohol)
Alkohol berasal dari bahasa Arab yakni al-kuhl (al kohol), artinya senyawa
yang mudah menguap. Bahan kimia organik ini merupakan salah satu senyawa kimia
tertua yang telah dikenal umat manusia. Alkohol berupa larutan jernih tak berwarna,
beraroma khas yang dapat diterima, berfasa cair pada temperatur kamar, dan mudah
terbakar.
Bioetanol dapat diolah dari berbagai jenis tanaman berpati, tanaman bergula
serta serat. Seluruh bahan baku ini, biaya produksinya kompetitif terhadap bensin.
Sebagai contoh yaitu budidaya tanaman berpati dan bergula pada lahan seluas 3.2 juta
hektar dapat memenuhi konsumsi bensin sebesar 16 juta kilo/tahun (2005) dengan
produktivitas rata-rata bioetanol dari tanaman 5000 liter/ha/tahun. Jika dalam waktu
dekat ini bahan baku serat selulosa dapat bersaing dengan pati-patian dan gula, maka
jumlah lahan yang digunakan akan menjadi lebih sedikit. Sejak bensin diproduksi
dengan harga murah pasca Perang Dunia II, bioetanol tersisih karena harganya tidak
cukup kompetitif. Krisis minyak pada tahun 1970-an mengangkat kembali bioetanol
sebagai bahan bakar alternatif di Amerika Serikat, Brazil dan beberapa negara Asia
dan Eropa (Yudiarto dan Djuma'ali 2006).
Produksi bioetanol dari tanaman dan penggunaannya pada mesin mobil akan
menciptakan keseimbangan siklus karbondioksida, yang berarti akan mengurangi laju
pemanasan global. Pembakaran bensin yang lebih sempurna ketika dicampur
bioetanol 10% saja akan memperbaiki kualitas udara di kota-kota padat lalu lintas. Di
Indonesia hal ini menjadi krusial, karena aditif timbal (Tetra Etil Lead) masih
digunakan di luar Jawa-Bali. Tidak murah menggantikan TEL dengan aditif HOMC
(High Octane Mogas Component) karena biaya produksinya sangat mahal.
Pengalaman banyak negara menunjukkan, bioetanol menjadi pilihan yang paling
murah. Sisi negatifnya, produksi bioetanol secara besar-besaran berpotensi
menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati melalui monokultur bahan baku
berikut praktek-praktek pertanian yang merusak kualitas lahan (Yudiarto dan
Djuma'ali 2006).
Etanol atau etil alkohol C
2
H
5
OH, merupakan cairan yang tidak berwarna, larut
dalam air, eter, aseton, benzene, dan semua pelarut organik, serta memiliki bau khas
alkohol. Sifat-sifat kimia dan fisis etanol sangat tergantung pada gugus hidroksil. Pada
tekanan > 0,114 bar (11,5 kPa) ethanol dan air dapat membentuk larutan azeotrop
(larutan yang mendidih seperti campuran murni, komposisi uap dan cairan sama).
Salah satu pembuatan ethanol yang paling terkenal adalah fermentasi. Bahan
mentahnya adalah karbohidrat yang langsung dapat difermentasi.
Etanol banyak digunakan sebagai pelarut, germisida, minuman, bahan anti
beku, bahan bakar, dan senyawa antara untuk sintesis senyawa-senyawa organik
lainnya. Etanol sebagai pelarut banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetika,
dan resin maupun laboratorium.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 453

Etanol adalah alkohol biasa dan merupakan alkohol terpenting. Pada suhu
kamar etanol berupa zat cair bening, mudah menguap, dan berbau khas. Dalam
kehidupan sehari hari, alkohol dapat kita temukan dalam spiritus, dalam alkohol
rumah tangga (alkohol 70% yang digunakan sebagai pembersih luka), dalam
minuman beralkohol atau dalam air tape, dan lain lain (Fessenden dan Fessenden,
1986).
(C
6
H
10
O
5
)
x
+xH
2
O
amilase
xC
6
H
12
O
6

selulosa glukosa
C
6
H
12
O
6
(l)
zimase
2C
2
H
5
OH(l)+2CO
2
(g)
Glukosa etanol
Kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa ini hanya berkisar 12%
-15% . Karena pada kadar yang lebih tinggi sel ragi tidak dapat hidup. Kadar etanol
yang lebih tinggi dapat diperoleh melalui pemekatan dengan cara destilasi. Melalui
destilasi dapat diperoleh alkohol sampai 95,5%. Alkohol yang lebih pekat dari itu
tidak dapat diperoleh melalui destilasi karena campuran yang mengandung 95,5%
alcohol dengan 4,5% air mempunyai titik didih yang tetap (campuran azeotrop).
2. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan memotong limbah kertas menjadi ukuran yang
seragam kurang lebih 5 mm. Tahap berikutnya adalah pengolahan awal dengan
menggunakan natrium hidroksida (NaOH) pada suhu 121
o
C selama 60 menit. Lalu
campuran didinginkan pada suhu kamar dan memisahkan fase airnya.





















Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
Selanjutnya dilakukan proses hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat
(H
2
SO
4
) dengan variasi konsentrasi (2%, 2,5%, 3%, 3,5%, 4%, dan 5% (v/v)) per
sampelnya selama satu jam pada suhu 121
o
C. Setelah itu campuran didinginkan pada
suhu kamar untuk menghentikann reaksi. Kemudian sampel diatur pHnya dengan
Limbah Kertas
Pretreatment dengan NaOH
Penambahan Ragi
Fermentasi
Hidrolisa dengan asam sulfat
Evaporasi
Etanol
Didinginkan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 454

menggunakan NaOH. Proses yang berikutnya yaitu proses fermentasi yang
menggunakan 3,75 gram ragi roti (Yeast Saccaromyces Cerevisiae) per sampel.
Setelah itu menghubungkan erlemeyer 500 ml yang berisi bubur kertas tersebut
dengan selang karet dan ujung selang dimasukkan kedalam air agar tidak terjadi
kontak langsung dengan udara. Kemudian dilakukan proses evaporasi pada suhu 78
80
o
C untuk memisahkan etanol dari larutan sampel. Etanol yang dihasilkan dari
proses fermentasi di analisa menggunakan metode piknometer dan GC.
3. Hasil dan Pembahasan
Proses pembuatan bioetanol dari limbah kertas yang telah dilakukan melalui
proses hidrolisa asam sulfat dengan variasi konsentrasi asam sulfat dan dilanjutkan
fermentasi dengan variasi lama fermentasi mempengaruhi kadar etanol yang
dihasilkan.
3.1 Pengaruh Keberadaan Tinta terhadap Kadar Etanol yang Dihasilkan dari
Limbah Kertas
Keberadaan tinta pada kertas dapat mengganggu berlangsungnya reaksi
hidrolisis. Sebagaimana halnya lignin, keberadaan tinta pada kertas dapat
menghambat penetrasi asam pada selulosa. Bagian terbesar penyusun tinta, sekitar
80% hingga 95% adalah polimer resin, yang berfungsi antara lain sebagai dispersan,
pengatur viskositas, serta memperkuat interaksi partikel tinta dengan substrat
(Wiseman, Frank L, 1985).


Gambar 2. Perbandingan Kertas Bertinta dan Kertas Tak Bertinta terhadap Kadar
Etanol

Hasil yang ditunjukkan gambar 2 bahwa kertas tanpa tinta menghasilkan kadar
etanol yang lebih tinggi dibandingkan kertas yang bertinta. Hal ini disebabkan oleh
proses hidrolisis pada kertas tidak bertinta lebih optimal karena tidak ada penghalang
seperti tinta dan resin termoplastik yang dapat menutup permukaan selulosa. Dengan
proses hidrolisis yang lebih optimal maka glukosa yng dihasilkan lebih banyak dan
etanol yang diperoleh dari proses fermentasi juga lebih banyak.
3.3 Pengaruh Waktu Fermentasi terhadap Kadar Etanol yang Dihasilkan dari
Kertas Bekas
Hasil yang ditunjukkan dari gambar 4 merupakan kadar etanol yang
dipengaruhi lamanya waktu fermentasi. Terlihat bahwa semakin lama waktu
fermentasi maka kadar etanol yang dihasilkan semakin banyak hingga waktu
optimum kemudian akan menurun. Kenaikan kadar etanol ini juga terjadi karena
lama fermentasi berhubungan erat dengan kurva pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan
mikroba terdiri dari enam fase, yaitu fase adaptasi, fase permulaan pembiakan, fase
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 5 10
k
a
d
a
r

e
t
a
n
o
l

(
%

v
/
v
)

waktu fermentasi (hari)
kertas
tidak
bertinta
kertas
bertinta
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 455

pembiakan cepat, fase konstan atau stasioner dan fase terakhir adalah fase kematian
(Said, EG, 1994).

Gambar 4. Pengaruh Waktu Fermentasi terhadap Kadar Etanol
Pada mulanya mikroba mengalami log phase, pada fase ini mikroba mulai
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk fermentasi nira aren ini, fase
adaptasi berlangsung pada ke-4. Dapat dilihat dari kadar etanol yang dihasilkan,
yaitu 1,04 %. Pada fase ini pertumbuhan belum begitu terjadi, artinya pertumbuhan
berjalan sangat lambat. Fase selanjutnya adalah fase permulaan pembiakan
merupakan fase yang paling lama terjadi, dimana untuk kertas bekas diperkirakan
hari ke-5 dan ke-6. Berikutnya adalah fase pembiakan cepat, fase ini pertumbuhan
mikroba yang tercepat dengan melihat kemiringan kurva adalah yang paling curam.
Setelah itu adalah fase konstan atau stasioner, pada fase ini pertumbuhan
mikroba telah menghasilkan kadar etanol optimum yang berlangsung pada hari ke-7,
sehingga pada hari ke-7 diperoleh kadar etanol tertinggi sebesar 8,16 %. Fase ini
merupakan fase untuk pembentukan produk etanol yang terbesar. Kemudian setelah
7 hari mikroba akan mengalami stationary phase, dimana jumlah mikroba yang
tumbuh sama banyaknya dengan mikroba yang mati sehingga tidak ada penambahan
jumlah mikroba yang akan mengubah substrat menjadi etanol sehingga etanol yang
terbentuk cenderung konstan. Setelah mikroba mengalami stationary phase maka
akan berlanjut menjadi death phase / fase kematian.
Hal ini sesuai dengan kurva pertumbuhan mikroba (grafik 4.4). Pada hari
pertama, kedua, dan ketiga etanol yang dihasilkan belum optimal karena yeast
Saccharomyces cerevisiae berada pada tahap lag phase dan exponential phase. Tahap
lag phase merupakan tahap adaptasi mikroba terhadap lingkungan dan exponential
phase adalah tahap dimana mikroba mulai melakukan pertumbuhan. Dengan demikian
aktivitas untuk pembentukan produk etanol belum optimal.
Fase terakhir adalah fase kematian, fase ini terjadi karena substrat atau
persenyawaan tertentu dipakai untuk pertumbuhan mikroba sudah habis dan juga
terjadi penumpukan produk produk penghambat. Penurunan kadar etanol pada hari
ke-8 diakibatkan karena adanya reaksi oksidasi etanol menjadi asam asetat oleh
acetobacter sehingga kadar etanol yang dihasilkan menjadi lebih rendah ( Haryadin, R
dan Leonardo, BPM, 2001).
3.2 Pengaruh Konsentrasi Asam terhadap Kadar Etanol yang Dihasilkan dari
Kertas Bekas
Penelitian ini dilakukan dengan variasi konsentrasi asam sulfat (2%, 2,5%,
3%, 3,5%, 4%, dan 5% (v/v)) dan didapat hasil yang ditunjukkan pada gambar 3.
0
2
4
6
8
10
0 5 10
k
a
d
a
r

e
t
a
n
o
l

(
%

v
/
v
)

waktu fermentasi (hari)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 456


Gambar 3. Pengaruh Konsentrasi Asam terhadap Kadar Etanol
Pada proses hidrolisa, gugus H
+
dari H
2
SO
4
akan mengubah gugus serat dari
kertas menjadi gugus radikal bebas. Gugus radikal bebas serat yang kemudian akan
berikatan dengan gugus OH
-
dari air dan menghasilkan glukosa. Pada saat konsentrasi
larutan H
2
SO
4
4% kebutuhan H+ dari H
2
SO
4
telah mencukupi pembentukan gugus
radikal bebas dari serat kertas dan glukosa menghasilkan kadar glukosa yang
maksimal. Namun jika dilakukan penambahan konsentrasi larutan H
2
SO
4

menyebabkan glukosa yang dihasilkan semakin menurun. Meskipun peningkatan
konsentrasi larutan H
2
SO
4
akan terbentuk lebih banyak gugus radikal bebas serat,
tetapi penambahan larutan H
2
SO
4
menyebabkan semakin sedikit air dalam komposisi
larutan hidrolisis. Akibatnya kebutuhan OH sebagai pengikat radikal bebas serat
berkurang dan glukosa yang dihasilkan semakin sedikit. (Lucy Arianie dan Nora
Idiawati, 2011).
Dari gambar 3 dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi konsentrasi
asam sulfat yang digunakan maka akan semakin tinggi pula kadar etanol yang didapat.
Sampai pada konsentrasi asam optimum maka akan terjadi penurunan kadar etanol.
Hal ini menyebabkan konsentrasi asam optimum untuk reaksi hidrolisis kertas
menjadi glukosa terbanyak adalah 4% v/v. Dari glukosa yang terfermentasi diperoleh
kadar etanol sebesar 6,12 % v/v.
4. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa konsentrasi asam
sulfat mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan dan lama waktu fermentasi dan
jenis kertas juga mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan. Kondisi optimum untuk
menghasilkan etanol berbahan baku limbah kertas dengan kadar etanol 6,12% (v/v)
untuk kertas bertinta dan 8,17% (v/v) kertas tanpa tinta didapat pada konsentrasi asam
sulfat 4% dan lama waktu fermentasi 7 hari .

Daftar Pustaka
Arianie, lucy dan Nora Idiawati. 2011. Penentuan Lignin dan Kadar Glukosa dalam
Hidrolisis Organosol dan Hidrolisis Asam. Dalam Sains dan Terapan Kimia,
Vol.5, No. 2 (Juli 2011), 140-150.
Fessenden R dan Joan Fessenden, 1986. Kimia Organik Jilid 1. Edisi 2. Jakarta :
Erlangga.
Iranmahboob, J., Nadim, F., Monemi, S., 2002. Optimizing acid-hydrlysis: a critical
step for production of ethanol from mixed wood chips. Biomass and Bioenergy,
22: 401 404.
0
1
2
3
4
5
6
7
0 2 4 6
K
a
d
a
r

E
t
a
n
o
l

(
%
v
/
v
)

Konsentrasi Asam (%)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 457

Palmqvist, E., Hahn-Hgerdal, B., 2000. Review paper. Fermentation of
lignocellulosic hydrolysates. II: inhibitors and mechanisms of inhibition.
Bioresource Technology, 74, 25-33.
Purba, Michael. 2000. Kimia 2000 Untuk SMU Kelas 2. Jilid 2B. Jakarta : Erlangga.
Ridwan, Moch. 2012. Membedah Potensi Industri Pulp dan Kertas. Online di
http://www.shnews.co/detile-3755. diakses 6 juni 2012
Said, E.G . 1994. Bioindustri Teknologi Fermentasi. Jakarta : Mediyatama Sarana
Perkasa.
Szczodrak, J., Fiedurek, J., 1996. Technology for conversion of lignocellulosic
biomass to ethanol. Biomass Bioenerg., 10, 367-375.
Sun, Y., Cheng, J., 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol
production: a review. Bioresource Technol., 83, 1-11.
Wiseman, Frank L.1985. Chemistry in the Modern World, dalam JURNAL
TEKNOLOGI, Edisi No. 2 Tahun XXII, Juni 2008, 133-138
Yudiarto, Djumaali. 2006. Menimbang kelayakan bioetanol sebagai pengganti
bensin. http://www.indobiofuel.com/menu%20bioethanol8.php diakses 6 Juni
2012.




Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 458
EL-8

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG DAUN TEMBAKAU MENJADI
BIOBRIKET SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF KOMPOR RUMAH
TANGGA

Endang Suhendi, Fatah Sulaiman, Juan Mikael dan Taufiqurakhman

Program Studi Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Jend.Sudirman Km.03 Cilegon 45235, Telp.(0254)395502/081314357085
Email : endangs.untirta@gmail.com

Abstrak
Kelangkaan bahan bakar minyak dapat diatasi dengan mengembangkan potensi
sumber energi terbarukan seperti biomassa, sebagai sumber energi alternatif. Potensi
Limbah batang dan tulang daun tembakau di Indonesia sangat melimpah, dengan
jumlah 54.130 ton per tahun atau 164,03 ton per hari. Penelitian ini bertujuan untuk
memanfaatkan limbah tulang daun tembakau menjadi briket yang berkualitas dan
ramah lingkungan melalui proses pirolisis. Proses pemanfaatan limbah tulang daun
tembakau menjadi briket dilakukan dengan cara yaitu Preparasi bahan baku, Pirolisis
dan Pembuatan briket. Pada penelitian ini variabel yang divariasikan yaitu, temperatur
pirolisis 250 - 400
o
C, tekanan pembebanan 4 - 6 Ton dan ukuran partikel -6+10
mesh Adapun parameter yang diamati adalah nilai kalor dan konsentrasi gas hasil
pembakaran briket. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa limbah tulang daun
tembakau mempunyai potensi untuk dimanfaatkan menjadi biobriket dengan nilai
kalor pada temperatur 350
o
C, pembebanan 6 ton sebesar 20,79 MJ/kg. Adapun hasil
analisa asap dari pembakaran biobriket limbah tulang daun tembakau mengandung
CO
2
sebesar 0,01897 % v, dan CH
4
sebesar 9,21763 ppm serta tidak terdeteksi CO
dan sulfur.

Kata kunci : Limbah tulang daun tembakau, Pirolisis dan Biobriket


Abstract
The scarecity of fosil fuel can be overcome by developing the renewable energy
source potency such as biomass, as an alternative energy. The potency of tobacco
stem and leaves stem waste in indonesia is abundant that is 54.130 ton/year or 164.03
ton/day. This research aim to utilize the leaves stem waste to be the biobricket which
has high quality and environmentally friendly trough pirolisis process. The utilizing
proces of tobaco leaves stem waste was done trough several steps those are raw
material preparation, pirolisis and bricket making. In this research the variable
variated is pyrolisis temperature ranged at 250 - 400
o
C, pressing pressure of 4-6 ton
and the particle sized at -6+10 mesh. The parameters observed is the caloric value and
exhaust gas concentration . The result of the research is that the leaves stem is a
potencial material to be utilized as biobricket with caloric value of 350
o
C, the 6 ton
pressing pressure is 20,79 MJ/kg. The analysis from the exhaust gas contains CO
2
as
0,01897 % v, and CH
4
as 9,21763 ppm while the CO and sulfur are not detected.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 459

Key words: tobacco leaves stem, pyrolysis, biobricket

PENDAHULUAN
Di Indonesia beberapa sumber energi baru dan terbarukan yang berpotensi
besar yaitu biomassa, setara dengan 49,81 MW. Potensi energi biomassa antara lain
sekam padi, jerami, tempurung kelapa, tandan kosong kelapa sawit, serbuk gergaji,
dan lain lain.
Biomassa adalah suatu limbah padat yang bisa dimanfaatkan lagi sebagai
sumber bahan bakar. Biomassa meliputi limbah kayu, limbah pertanian, limbah
perkebunan, limbah hasil hutan, komponen organik dari industri dan rumah tangga.
Energi biomassa dapat menjadi energi alternatif pengganti bahan bakar fosil (minyak
bumi) karena beberapa sifatnya yang menguntungkan yaitu sumber energi ini dapat
dimanfaatkan secara lestari karena sifatnya yang dapat diperbaharui (renewable
resources), sumber energi alternatif ini tidak mengandung unsur sulphur sehingga
tidak menyebabkan polusi udara dan juga dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan
sumber daya perkebunan/pertanian dan hasil hutan(SyafiI, 2003).
Salah satu perkebunan yang menjadi sumber pemasukan devisa yang besar
adalah perkebunan tembakau, hal ini sesuai dengan besarnya devisa negara yang
disokong dari industri rokok nasional. Di Indonesia pada tahun 2003 terdapat
perkebunan tembakau baik perkebunan rakyat maupun perkebunan swasta dengan
total produksi 208.194 ton daun tembakau (www.Deperindag.com). Produksi
tembakau yang cukup besar ini digunakan oleh industri rokok nasional untuk
memproduksi rokok sejumlah 186 milyar batang pada tahun yang sama. Apabila
dianggap 26 % dari berat total daun tembakau adalah batang dan tulang daunnya
maka produksi limbahnya adalah 54.130,44 ton pada tahun 2003 atau 164,03 ton
perharinya.
Saat ini limbah dari produksi rokok tersebut belum dapat dikelola dengan baik.
Sebagian kecil limbah tersebut dijual kepada petani untuk dimanfaatkan sebagai
pupuk alam. Sebagian kecil lagi digunakan untuk memproduksi pestisida dengan
mengambil nikotin yang terkandung di dalamnya. Jumlah limbah produksi rokok
yang sangat besar sehingga perlu adanya suatu upaya yang dapat mengolah limbah
menjadi suatu bahan yang bermanfaat tetapi tidak berbahaya bagi lingkungan.
Dalam tulang daun tembakau terdapat unsur karbon (C) yang terikat dalam
selulosa yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi atau bahan bakar. Limbah
ini dapat dibakar langsung, namun masalah yang terjadi adalah asap yang banyak,
kandungan nikotin yang dapat mengganggu kesehatan dan juga volume yang masih
besar sehingga menjadi masalah dalam pemakaian dan penyimpanan. Solusi yang
sangat efektif dalam penanganan limbah tembakau ini adalah dengan mengubah
limbah tersebut menjadi produk yang lebih berguna seperti bahan bakar briket sebagai
bahan bakar alternatif.
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium konversi energi dengan tujuan
untuk memanfaatkan limbah tulang daun tembakau menjadi briket yang berkualitas
dan ramah lingkungan melalui proses pirolisis.
Karbonisasi adalah proses pirolisis sebagian pada bahan material organik
(pirolisis adalah proses pemanasan material organik tanpa adanya oksigen pada
temperatur 900-1000
o
C untuk menguapkan seluruh komposisi hidrokarbon dari
material organik). Pada proses karbonisasi material dipanaskan pada suhu sekitar 600
o
C. Selama karbonisasi, gas mudah terbakar (CO, CH
4
, H
2
, formaldehyde, methanol,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 460

formic and acetic acid), gas tidak terbakar (CO
2
and H
2
O) dan liquid tar dilepaskan
sehingga diperoleh hasil akhir yang berupa arang (Vest, 2003).
Teguh ibnu Husada (2008) telah melakukan penelitian karbonisasi biomassa
yaitu dengan membuat arang briket dari tongkol jagung. Proses karbonisasi dilakukan
pada temperatur 300
o
C , komposisi perekat tepung kanji 6% dari berat keseluruhan
dan variasi kompaksi briket yaitu 1426,75 kg/ cm
2
, 1630,57 kg/cm
2
dan 1834,39
kg/cm
2
. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan nilai kalor pada setiap kenaikan
variasi pembebanan pada briket yang dihasilkan.


METODE PENELITIAN
1. Bahan Penelitian
Bahan pada penelitian ini adalah limbah tulang daun tembakau yang berasal dari
PD.Tarumartani Jogjakarta. Analisa bahan baku yang dilakukan di pusat
penelitian dan pengembangan teknologi mineral dan batu bara (Tekmira)
mengenai analisis proximate dan ultimate dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Analisa Proximate dan ultimate bahan baku tulang daun tembakau
HV
(Cal/gr)
Analisa Proximate (%) Analisa Ultimate (%)
Moisture Ash
Volatile
matter
Fixed
carbon
Carbon Hydrogen Nitrogen Oksigen Sulfur
3597 14.91 5.72 66.21 13.16 37.04 6.08 1.09 50.00 0.07

2. Alat Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah satu set alat pirolisis yang dapat
dilihat pada Gambar 1 berikut ini

Gambar 1. Rangkaian Alat Pirolisis
Keterangan :
1. Retort
2. Pemanas
3. Temperatur kontrol
4. Termometer
5. Kondenser
6. Penampung Cairan
7. Pompa pendingin
8. Bak penampung air
pendingin
9. Penampung gas
10. Gelas ukur
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 461

3. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang akan dilakukan di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
a. Preparasi Bahan Baku
Limbah tulang daun tembakau yang diperoleh dari PD. Tarumartani,
Jogjakarta dijemur dengan sinar matahari kemudian dimasukkan ke dalam
mesin penghancur dan di ayak untuk mendapatkan ukuran yang diinginkan
kemudian di proses ekstraksi. Setelah proses diatas limbah tulang daun
tembakau di keringkan dahulu dengan sinar matahari selama 3 hari untuk
mengurangi kandungan air sampai kandungan air dibawah 15 %.
b. Proses Pirolisis
Setelah proses preparasi selesai, Kemudian timbang limbah tulang daun
tembakau sebanyak 300 gr kemudian dimasukkan ke dalam retort yang
berdiameter 10,9 cm dan tinggi 19,7 cm. Selanjutnya air pendingin
dialirkan dan mulai menghidupkan pemanas. Retort dipanaskan sampai
suhu dan waktu yang di kehendaki.
c. Proses pembuatan briket
Setelah proses pirolisis selesai ambil bagian arangnya kemudian
campurkan dengan perekat tepung kanji, kemudian campuran tadi
dimasukkan ke dalam alat pencetak briket dan ditekan dengan
menggunakan hidrolik dengan variasi tekanan. Briket tersebut kemudian
dikeringkan di oven dan briket siap dilakukan pengujian kandungan
emisinya.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai biobriket dari limbah tulang daun tembakau dilaksanakan di
laboratorium konversi energi Jurusan Teknik Kimia Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.

1. Pengaruh Temperatur terhadap yield padatan (Char)


Gambar 2. Pengaruh temperatur pirolisis terhadap yield padatan (Char)

Dari gambar 2 dapat dilihat profil perubahan temperatur pirolsis terhadap
persen yield padatan(Char) memiliki nilai yang berbeda-beda. Semakin tinggi
temperatur pirolisis, maka padatan (char) akan semakin sedikit. Hasil penelitian
0
50
100
250
300
350
400
Y
i
e
l
d

P
a
d
a
t
a
n

(
%
)

Temperatur (C)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 462

ini sama seperti hasil yang ada dalam literatur (Bridgwater, 1999; Yan, 2004;
Shen, 2004; dan Tsai, 2005). Untuk tulang daun tembakau yield maksimum
padatan (Char) yang dihasilkan pada temperatur 250
o
C sebesar 66,7% dan yield
minimum pada temperatur 400
o
C sebesar 36,9 % dengan waktu pirolisis selama
90 menit dengan ukuran partikel -6+10 mesh.
Produk pirolisis diperoleh dari hasil reaksi dekomposisi senyawa-senyawa
yang terkandung dalam bahan baku limbah tulang daun tembakau. Laju reaksi
dekomposisi tersebut meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Peningkatan
perolehan ini terjadi karena kenaikan suhu akan meningkatkan laju pemecahan
rantai-rantai senyawa didalam bahan, sehingga dengan peningkatan suhu tersebut
maka kandungan air dan senyawa-senyawa volatil akan teruapkan secara cepat
dengan jumlah yang lebih besar pula. Hal ini akan menyebabkan produk padatan
(char) akan semakin kecil
Pada suhu yang lebih tinggi, molekul didalam limbah tulang daun tembakau
akan bergerak lebih cepat karena memiliki energi yang tinggi sehingga
memperbesar peluang terjadinya tumbukan reaksi yang sempurna. Selain itu pada
suhu yang lebih tinggi efektifitas panas untuk berdifusi masuk kedalam pori-pori
bahan menjadi semakin baik sehingga padatan (char) akan semakin kecil. Hal ini
sesuai dengan yang dilaporkan Fatimah (1999), menyatakan bahwa terdapat
kecendrungan semakin besar suhu pirolisis, semakin banyak minyak yang
dihasilkan sedangkan jumlah arang semakin kecil. Hal ini disebabkan semakin
berkurangnya komponen-komponen organik yang terdapat dalam bahan baku,
sehingga arang yang dihasilkan beratnya semakin berkurang.

2. Pengaruh Tekanan pembebanan terhadap nilai kalor.
Proses pengempaan atau pembebanan bertujuan meningkatkan ketahanan dari
briket dan memperkecil laju pembakaran. Hasil pengujian nilai kalor untuk setiap
pembebanan yang memperlihatkan pengaruh tekanan pembebanan terhadap nilai
kalor untuk setiap ukuran partikel di muat dalam bentuk Grafik dibawah ini.



Gambar 3. Pengaruh tekanan pembebanan terhadap nilai kalor pada berbagai
temperatur pirolisis
0
5
10
15
20
25
30
4 5 6
N
i
l
a
i

K
a
l
o
r

(
M
J
/
k
g
)

Pembebanan (ton)
250oC
300oC
350oC
400oC
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 463


Gambar 3. menunjukkan pengaruh tekanan terhadap nilai kalor untuk ukuran
partikel -6 +10 mesh tidak begitu besar namun stabil untuk setiap temperatur
dengan range nilai kalor pada keseluruhan pembebanan berkisar 16,88 20,79
MJ/Kg.
Pembebanan tujuannya meningkatkan densitas partikel serta meningkatkan
ketahanan fisik dari briket. Peningkatan densitas akibat pembebanan berpengaruh
pada nilai kalor briket seperti yang terlihat pada gambar diatas. Nilai kalor
maksimum terjadi pada temperatur 350
o
C dengan pembebanan sebesar 6 ton
sebesar 20,79 MJ/Kg. Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Teguh
Ibnu Husada tahun 2008 tentang briket yang menggunakan tongkol jagung dengan
variasi pembebanan, bahwa semakin besar pembebanan maka semakin besar pula
nilai kalor pada briket. Pembebanan mengakibatkan meningkatnya kepadatan tiap
partikel. Pengaruh kepadatan menyebabkan jarak antara partikel yang semakin
rapat dan peningkatan luas permukaan sehingga menyulitkan proses difusi oksigen
pada permukaan briket dan menyulitkan penyalaan api. Pembakaran pada briket
akan berlangsung cukup lama dan stabil karena nilai kalor semakin meningkat.

3. Analisis emisi gas buang briket tulang daun tembakau
Analisa gas buang bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa organik
yang berpotensi menyumbang polutan jika dilepas ke lingkungan. Berdasarkan
hasil analisa gas buang menggunakan GC (Gas Chromatograph), Shimadzu CR-
6A / CR-7A dihasilkan kandungan CH
4
sebesar 9,21763 ppm, CO
2
sebesar
0.01897 % v, CO dan SO
x
tidak terdeteksi (0 % v). Hal ini disebabkan oleh
densitas biomassa menjadi lebih tinggi setelah dilakukan pembriketan. Densitas
yang lebih tinggi mengakibatkan laju pembakaran turun sehingga pelepasan emisi
CO pada tahapan pembakaran semakin sedikit, sehingga emisi CO yang
dihasilkan lebih rendah. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh saeidy (2004) yaitu terhadap biomassa dari tumbuhan poplar, rami dan jerami
menunjukkan bahwa emisi CO dari pembakaran biomassa dalam bentuk briket
akan lebih rendah dibandingkan dengan biomassa yang tidak dibriket.

KESIMPULAN
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa limbah tulang daun tembakau mempunyai
potensi untuk dimanfaatkan menjadi biobriket dengan nilai kalor maksimum pada
temperatur 350
o
C, pembebanan 6 ton dengan sebesar 20,79 MJ/kg. Adapun hasil
analisa asap dari pembakaran biobriket limbah tulang daun tembakau mengandung
CO
2
sebesar 0,01897 % v, dan CH
4
sebesar 9,21763 ppm serta tidak terdeteksi CO
dan sulfur.

DAFTAR PUSTAKA
Bridgwater, A. V., Meier, D., Radlen, D., 1999, An Overview of Fast Pyrolysis
Biomass, Organic Geochemistry., 30, 149-493
Fatimah, F., Muchalal, Respati, 1999, Pemisahan Senyawa Hidrokarbon Polisiklis
dalam asap cair tempurung kelapa , Teknosains, 12(1), UGM, Yogyakarta.
Ibnu, H. Teguh., 2008, Arang Briket Tongkol Jagung Sebagai Energi Alternatif
Laporan Penelitian Inovasi Mahasiswa Provinsi JawaTengah, Semarang.
Saeidy, E., 2004, Technological Fundamentals of Briquetting Cotton Stalks as a
Biofuel, Dissertation, Humboldt University, Berlin.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 464

Shen, Lilly; Zhang,Dong ke.,2004, Low Temperatur Pyrolisis of sewage sludge and
putrescible garbage for fuel oil production, Curtin Iniversity of Technology,
Australia.
Syafi i, W., 2003, Hutan Sumber Energi Masa Depan, Harian Kompas 15 Juni
2003
Tsai, W. T., Lee, M. K., 2005, Fast Pyrolisis of Rice Straw, Sugarcane Bagasse and
Coconut Shell in an Induction-Heating Reactor, Chia Nan University,
Taiwan.
Vest, H., 2003, Small Scale Briquetting and Carbonisation of Organic Residues for
Fuel, Infogate, Eschborn, Germany.
Yan, Wang; Shuting, Zhang; Na, Deng., 2004, Experimental studies on low
Temperature Pyrolisis of Municipal Household Garbage Temperature
influence on pyrolisis product Distribution, Tianjin University, China.
www.Deperindag.com

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 465
EL-9

PENGARUH WAKTU PENGAPIAN (I GNI TI ON TI MI NG)
TERHADAP EMISI GAS BUANG PADA MOBIL DENGAN
SISTEM BAHAN BAKAR INJEKSI (EFI)

Gunadi
1
, Agus Budiman
1
1
Jurusan Pendidikan Teknik Otomotif , Fakultas Teknik Universitas Negeri
Yogyakarta ,
Jl. Kolombo No. 1 Yogyakarta 55281 Tlp.: +62 274 554690
Email: gunadi_2003@yahoo.com
Email: agusbe_otouny@yahoo.co.id


ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh waktu pengapian (timing
ignition) terhadap emisi gas buang pada mobil yang menggunakan sistem bahan bakar
injeksi (EFI). Alasan pertama tujuan ini adalah, bahwa produsen kendaraan dengan
teknologi EFI biasanya mensyaratkan bahan bakar tanpa timbal (Pertamax), namun
sebagian pengguna kendaraan EFI masih menggunakan Premium dengan alasan
murah, padahal titik nyala kedua bahan bakar tersebut berbeda. Alasan kedua, ada
anggapan bahwa mobil bermesin EFI mempunyai emisi gas buang yang rendah.
Berdasarkan pengalaman di lapangan, banyak mobil bermesin EFI tidak lolos uji
emisi. Hal ini diduga karena waktu pengapian yang tidak tepat yang mengakibatkan
pembakaran yang tidak sempurna sehingga emisi gas buang yang dihasilkan menjadi
tinggi.
Penelitian ini dilakukan pada mobil dengan sistem injeksi (EFI), dengan
mengujicobakan 2 (dua) bahan bakar yaitu Premium dan Pertamax. Peralatan yang
digunakan adalah tool set box, engine tuner, tachometer digital, timing light, gelas
ukur, buret, four gas analyzer, dan stopwatch. Pengujian dilakukan dengan variasi
penyetelan waktu pengapian untuk kedua bahan bakar tersebut. Dari pengujian
tersebut diperoleh emisi gas buang yang dihasilkan dari beberapa waktu pengapian.
Perubahan waktu pengapian akan mempengaruhi kandungan emisi gas buang
yang dihasilkan. Untuk bahan bakar minyak Premium, memundurkan waktu
pengapian berdampak pada menurunnya emisi gas buang. Ketika pengapian
dimajukan, maka kadar HC meningkat. Untuk Pertamax, memundurkan waktu
pengapian juga akan menurunkan kadar HC, namun kemungkinan akan menurunkan
tenaga, sedangkan memajukan waktu pengapian tidak meningkatkan kadar HC. Baik
pada Premium maupun Pertamax, memajukan waktu pengapian akan meningkatkan
kadar CO, sedangkan memundurkan waktu pengapian akan menurunkan kadar CO.


Kata kunci: emisi gas buang, sistem injeksi (EFI), waktu pengapian, kadar HC, kadar
CO.




Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 466
EFFECT OF IGNITION TIMING TOWARDS EXHAUST GAS
EMISSION IN A VEHICLE WITH ELECTRONIC FUEL
INJECTION (EFI) SYSTEM

Gunadi
1
, Agus Budiman
1
1
Department of Automotive Technical Education,
Faculty of Engineering,
Yogyakarta State University
Jl. Kolombo No. 1 Yogyakarta 55281 Tlp.: +62 274 554690
e-mail: gunadi_2003@yahoo.com
e-mail: agusbe_otouny@yahoo.co.id


ABSTRACT

This research objective is to know effect of timing ignition toward exhaust gas
emission in a vehicle with electronic fuel injection (EFI). The first reason of the
research objective is that EFI technology-cars use producers require non-Pb fuel
(Pertamax), but some of the EFI technology-car use consumers still using premium
(Pb with-fuel) by the cheap value reason although they have different ignition point.
The second reason is an opinion that cars using EFI have low exhaust gas emission.
Based on fact, therere so many EFI cars didnt pass emission test. Its investigated of
incomplete combustion due to unsatisfy ignition timing. It will produce high exhaust
gas emission.
This research done on Electronic Fuel Injection (EFI) cars with testing two
kinds of fuels, Premium and Pertamax. The apparatus used are tool set box, engine
tuner, digital tachometer, timing light, measuring glass, buret, four gas analyzer, and
stopwatch. The test done by do some variations of ignition timing for two kinds of
fuels. By this test, we can get the result of exhaust gas emission from some ignition
timing.
The change of ignition timing will influence content of emission. For
Premium, by bring back the ignition timing will decrease exhaust gas emission. While
the ignition timing is brought forward, Hydrocarbon content will increase. For
Pertamax, by bring back ignition timing, it will also decrease Hydrocarbon content
but might decrease power, thus by bring forward ignition timing will not increase
Hydrocarbon content. For both Premium and Pertamax, bring forward igntion timing
will increase CO content and bring back ignition timing will decrease CO content.


Keywords: exhaust gas emission, injection system (EFI), ignition timing, HC content,
CO content.


A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong usaha-
usaha manusia untuk menciptakan teknologi yang semakin maju. Diantara
teknologi tersebut adalah pengembangan mesin kendaraan dengan sistem bahan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 467
bakar injeksi (Electronic Fuel Injection/EFI), yang secara perlahan-lahan
menggeser teknologi sistem bahan bakar konvensional (karburator).
Dari pengalaman pengguna mesin-mesin injeksi, sebagian besar orang
langsung bisa merasakan keunggulan dari mesin injeksi, yaitu dalam hal efisiensi
bahan bakar jika dibandingkan dengan mesin dengan teknologi karburator.
Namun demikian masih terdapat kebiasaan yang salah yang dilakukan oleh
pengguna kendaraan bermesin EFI, yaitu menggunakan premium dengan angka
oktan yang tidak memenuhi persyaratan untuk kendaraan jenis EFI. Hal ini
menyebabkan pembakaran di dalam mesin kurang sempurna, dengan dampak
emisi gas buang yang dihasilkan tinggi. Selain itu, karena sudah merasa bermesin
injeksi (EFI), pengguna kemudian jarang melakukan tune up, karena merasa
sudah hemat bahan bakar dan biaya servis yang mahal. Mereka tidak menyadari
bahwa dengan dipakainya kendaraan secara terus menerus akan menyebabkan
kinerja mesin berkurang secara perlahan-lahan, efisiensi bahan bakar menjadi
berkurang, dan emisi yang dihasilkan oleh pembakaran mesin menjadi tinggi.
Pertumbuhan jumlah dan merk kendaraan bermotor yang semakin
meningkat akan meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak dan pencemaran
udara di Indonesia. Sampai saat ini jumlah kendaraan bermotor di seluruh
Indonesia telah mencapai lebih dari 20 juta dimana 60% adalah sepeda motor dan
40% mobil. Pertumbuhan populasi untuk mobil sekitar 3-4% dan sepeda motor
lebih dari 4% per tahun (data dari Dep. Perhubungan). Dengan semakin
banyaknya jumlah kendaraan saat ini menyebabkan cadangan bahan bakar dari
fosil semakin tipis, bahkan Pertamina mengklaim minyak bumi kita tinggal 15-
20 tahun lagi. Himbauan untuk hemat energi yang sudah lama digaungkan di
Indonesia maupun di dunia internasional, belum juga dapat menemukan solusi
terbaik. Jumlah pemakaian bahan bakar yang begitu besar menyebabkan
kapasitas ketersediaan sumber daya energi di dunia hampir mencapai titik
nadirnya. Padahal seperti diketahui sumber energi fosil ini tidak bisa diperbaharui
dan kemampuan alam untuk membuatnya memerlukan waktu jutaan tahun. Oleh
karena itu diperlukan langkah-langkah agar bisa menekan konsumsi pemakaian
bahan bakar..
Berdasarkan Statistical Review of World Energy 2005, produksi minyak
tertinggi Indonesia terjadi pada tahun 1977, dengan rata-rata sebesar 1.685 ribu
barrel/hari. Setelah itu, produksi minyak Indonesia tidak pernah lagi mencapai
angka tersebut. Pada tahun 2004, produksi minyak Indonesia hanyalah sebesar
1.126 ribu barrel/hari. Angka ini sudah berada di bawah konsumsi BBM
Indonesia yang jumlahnya sebesar 1.150 ribu barrel/hari. Berikut adalah grafik
produksi dan konsumsi BBM di Indonesia dari tahun 1965 sampai 2004
berdasarkan data dari Pertamina:

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 468

Gambar 1. Grafik Produksi dan Konsumsi BBM di Indonesia
Pencemaran udara sumber bergerak (emisi kendaraan bermotor)
dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu; kualitas bahan bakar, teknologi
kendaraan bermotor, manajemen transportasi dan pemeriksaan dan perawatan
kendaraan. Tiga faktor pertama dapat diintervensi pemerintah melalui kebijakan,
sedangkan yang keempat, yaitu uji emisi adalah satu-satunya faktor yang
memberi ruang pada publik, khususnya pemilik kendaraan untuk mengambil
peran yang signifikan. Faktor ini menjadi cermin tingkat/kadar emisi gas buang
kendaraan yang akhirnya merepresentasikan ke seluruh faktor penentu sumber
emisi ini.
Ketentuan ambang batas emisi untuk mesin kendaraan dengan teknologi
karburator dan injeksi adalah berbeda. Untuk mesin dengan sistem karburator,
kandungan emisi karbon monoksida (CO) masih diperbolehkan sebesar 4,5%,
sedangkan untuk mesin injeksi harus dibawah 1,5%. Demikian juga halnya
dengan kandungan hydrocarbon (HC), untuk mesin dengan sistem karburator
masih diijinkan 1.200 ppm, sedangkan untuk mesin injeksi maksimal 200 ppm.
Dengan aturan ini, ternyata banyak kendaraan dengan teknologi injeksi yang
tidak lulus uji emisi.
Dampak dari pencemaran udara dapat menimbulkan hujan asam,
pengikisan lapisan ozon, kerusakan pada tanaman, pelapukan bangunan atau
patung-patung yang terbuat dari batu serta dapat mempercepat empat kali lebih
cepat proses pengaratan pada benda-benda yang terbuat dari besi. Yang lebih
mengerikan lagi adalah bahwa pencemaran udara ini dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan lebih jauh yaitu menimbulkan efek rumah kaca yang akan
menaikkan suhu permukaan bumi atau dikenal dengan global warming. Hal ini
akan menyebakan kenaikan permukaan air laut karena es di kutub akan mencair.
Global warming juga berdampak pada perubahan iklim di bumi yang akan
menimbulkan kekeringan dan banjir di seluruh dunia. Hal tersebut akan
menyebabkan penyediaan pangan akan terganggu.
Dari latar belakang masalah di atas, pertanyaannya adalah: (1)
Bagaimanakah pengaruh penyetelan waktu pengapian (ignition timing) terhadap
emisi gas buang hidrokarbon (HC) dan karbon monoksida (CO) pada kendaraan
EFI yang menggunakan bahan bakar premium?, (2) Bagaimanakah pengaruh
penyetelan waktu pengapian (ignition timing) terhadap emisi gas buang
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 469
hidrokarbon (HC) dan karbon monoksida (CO) pada kendaraan EFI yang
menggunakan bahan bakar pertamax?
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penyetelan
waktu pengapian terhadap emisi gas buang sisa pembakaran mesin mobil injeksi.
Adapun strateginya adalah dengan melakukan berbagai percobaan terhadap mobil
yang sudah menggunakan teknologi sistem bahan bakar injeksi sehingga
diperoleh data-data mengenai komposisi emisi gas buang, yang selanjutnya diolah
untuk ditemukan suatu kesimpulan. Secara rinci tujuan penelitian eksperimen ini
adalah untuk mengurangi emisi gas buang kendaraan dengan cara penyetelan
waktu pengapian yang tepat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi kepada
pengguna kendaraan yang sudah menggunakan teknologi sistem bahan bakar EFI,
agar tetap memperhatikan kondisi mesin sehingga kendaraan yang digunakan
dapat menekan konsumsi bahan bakar, mengurangi biaya operasional kendaraan,
serta mengurangi emisi yang dihasilkan dari pembakaran mesin.

B. Tinjauan Pustaka
1. Sistem Bahan Bakar Injeksi (EFI)
Perkembangan kendaraan dengan jenis sistem bahan bakar injeksi (EFI)
apabila dikelompokkan berdasar cara pengontrolannya dibedakan menjadi dua,
yaitu kontrol mekanik dan kontrol elektronik. Untuk kontrol mekanik banyak
digunakan pada kendaraan lama ketika injeksi baru diperkenalkan. Untuk kontrol
elektronik, dibagi dua yaitu L Jetronik (pengontrolan penginjeksian bahan bakar
berdasar pada jumlah udara masuk ke mesin), dan D Jetronik (pengontrolan udara
masuk berdasar kevakuman pada intake manifold). Jenis yang terakhir yang
paling banyak digunakan.
Sistem bahan bakar EFI dapat dikelompokkan dalam 3 sistem dasar, yaitu
sistem bahan bakar, sistem induksi udara serta sistem kontrol elektronik. Sistem
bahan bakar berfungsi untuk mensuplai bahan bakar tekanan tinggi sehingga siap
untuk diinjeksikan. Sistem induksi udara berfungsi untuk mengontrol jumlah
udara yang masuk ke dalam silinder. Sistem yang ketiga yaitu sistem kontrol
elektronik berfungsi untuk mengontrol jumlah bahan bakar yang diinjeksikan ke
dalam silinder berdasarkan dari masukan sensor-sensor yang ada (Moch Solikin,
2005).
Cara kerja dari sistem bahan bakar EFI secara singkat adalah, saat mesin
hidup, maka pompa bahan bakar bekerja menghisap bahan bakar dari dalam
tangki dan menekan ke pipa delivery dengan terlebih dahulu disaring oleh
saringan bahan bakar. Bila tekanan bahan bakar melebihi batas yang ditentukan
maka regulator akan membuka dan bahan bakar akan kembali ke tangki melalui
saluran pengembali. Injektor yang dihubungkan di pipa delivery sehingga saat
injektor membuka maka injektor akan mengabutkan bahan bakar ke arah katup
hisap dan masuk ke dalam silinder.
Sistem induksi udara bekerja dengan mengalirkan udara yang diperlukan
untuk proses pembakaran. Komponen sistem induksi udara terdiri dari saringan
udara, air flow meter (untuk EFI tipe L), MAP sensor (untuk EFI tipe D), throttle
body, air valve, idle speed control, air intake chamber atau intake manifold.
Untuk jumlah injeksi bahan bakar dipengaruhi oleh tekanan bahan bakar,
besar lubang injektor dan lamanya injektor membuka. Banyak sedikitnya bahan
bakar yang mengalir ditentukan oleh lamanya injektor membuka. Agar terjadi
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 470
pembakaran yang sempurna, durasi injeksi dikontrol oleh ECU (electronic
control unit) berdasarkan masukan dari sensor udara, putaran mesin, temperatur
mesin, posisi katup gas maupun emisi gas buang. Posisi distributor memegang
peranan penting dalam hal pengaturan waktu pengapian. Di dalam distributor
biasanya terdapat 2 sinyal generator yang membangkitkan gelombang listrik.
Sinyal Ne (Ne signal) berperan dalam mendeteksi sudut engkol, sedangkan G
signal berperan dalam menentukan waktu pengapian yang tepat dan putaran
mesin. Posisi dari distributor bisa diatur untuk menentukan waktu pengapian,
agar proses pembakaran di dalam mesin menjadi tepat.

2. Waktu Pengapian
Pembakaran di dalam silinder kendaraan akan menentukan besarnya daya
dan emisi gas hasil pembakaran tersebut. Pada motor bensin, penyalaan
campuran bahan bakar dan udara yang ada di dalam silinder dilakukan oleh
sistem pengapian, yaitu dengan adanya loncatan bunga api pada busi. Terjadinya
loncatan api ini sekitar beberapa derajat sebelum TMA (titik mati atas) piston,
pada saat akhir langkah kompresi terjadi, dimana campuran udara dan bahan
bakar sudah menjadi kabut.
Untuk memperoleh daya yang maksimal, saat pengapian ini harus tepat.
Menurut Arends & Berenscot (1994), bila pengapian terlalu maju, maka gas sisa
yang belum terbakar, terpengaruh oleh pembakaran yang masih berlangsung dan
pemampatan yang masih berjalan, akan terbakar sendiri. Hal ini akan menjadikan
kerugian. Bila pengapian terlambat, detonasi berkurang, akan tetapi berarti juga
menurunnya daya. Apabila pengapian terlambat, ruang di atas piston pada akhir
pembakaran sudah membesar, bahwa sebagian kecil dari kalor berubah menjadi
tekanan. Akibatnya sisa kalor dalam jumlah besar tertinggal dalam motor. Bukan
hanya disebabkan oleh pembebanan termis dari beberapa bagian motor, seperti
katup terlalu panas, tetapi disebabkan oleh suhu yang tinggi akan terlampaui
batas terbakar sendiri.
Waktu pengapian harus diatur sesuai dengan angka oktan dari bahan bakar
yang digunakan. Berubahnya angka oktan dari bahan bakar harus selalu diikuti
dengan penyetelan waktu pengapian. Rekomendasi pabrik kendaraan biasanya
mensyaratkan penggunaan bensin tanpa timbal untuk mesin EFI. Hal ini
menyebabkan waktu pengapian bisa tidak tepat, karena titik bakar dari bensin
tidak sesuai dengan ketentuan. Oleh karena itu, waktu pengapian yang tepat
sangat diperlukan untuk optimalisasi kerja mesin. Cara yang digunakan untuk
mengatur waktu pengapian adalah merubah posisi dari distributor. Untuk
memajukan waktu pengapian dilakukan dengan cara memutar distributor
berlawanan dengan arah putaran rotor, sedang untuk memundurkan waktu
pengapian dengan cara kebalikannya.
3. Emisi Gas Buang
Untuk menghasilkan tenaga pada kendaraan bermotor memerlukan reaksi
kimia berupa pembakaran senyawa hidrokarbon. Hidrokarbon yang biasa
digunakan adalah oktana. Pada dasarnya, reaksi kimia pembakaran yang terjadi
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 471
adalah:
C
8
H
18
+ 250
2
8CO
2
+ 9H
2
O. Reaksi Ini adalah pembakaran yang terjadi
secara sempurna walaupun masih terdapat polutan, yaitu karbon dioksida (CO
2
).
Pada praktiknya, pembakaran yang terjadi tidak selalu sempurna, yaitu karbon
yang tidak berikatan sempurna dengan oksigen sehingga terdapat sisa karbon
monoksida (CO) yang menjadi polutan berbahaya.
Di negara-negara yang memiliki standar emisi gas buang kendaraan yang
ketat, ada 5 unsur dalam gas buang kendaraan yang akan diukur yaitu senyawa
HC, CO, CO
2
, O
2
dan senyawa NO
x
. Di negara-negara yang standar emisinya
tidak terlalu ketat, hanya mengukur 4 unsur dalam gas buang yaitu senyawa HC,
CO, CO
2
dan O
2
, termasuk Indonesia. Berikut ini ketentuan ambang batas yang
telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup:
Tabel 1. Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kategori
(M,N,O)
Tahun
Pembuat
an
Parameter
Metode Uji CO
(%)
HC
(ppm)
Opasitas
(%HSU)*
Berpenggerak motor
bakar cetus api
(bensin)

Berpenggerak motor
bakar penyalaan
kompresi (diesel)
GVW 3,5 ton


GVW > 3,5 ton

< 2007
2007




<2010
2010

<2010
2010
4.5
1.5
1200
200






70
40

70
50
Idle





Percepatan
bebas
Beberapa unsur gas buang di atas akan dibahas sebagai berikut:
a. Hidrokarbon (HC)
Bensin adalah senyawa hidrokarbon, jadi setiap HC yang didapat dari gas
buang kendaraan menunjukkan adanya bensin yang tidak terbakar dan terbuang
bersama sisa pembakaran. Apabila suatu senyawa HC terbakar sempurna
(bereaksi dengan oksigen) maka hasil reaksi pembakaran tersebut adalah
karbondioksida (CO
2
) dan air (H
2
O). Walaupun rasio perbandingan antara udara
dan bensin (AFR = Air-to-Fuel-Ratio) sudah tepat dan didukung oleh desain
ruang bakar mesin saat ini yang sudah mendekati ideal, tetapi tetap saja sebagian
dari bensin seolah-olah tetap dapat bersembunyi dari api saat terjadi proses
pembakaran dan menyebabkan emisi HC pada ujung knalpot cukup tinggi.
b. Karbon Monoksida (CO)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 472
Gas karbonmonoksida adalah gas yang relatif tidak stabil dan cenderung
bereaksi dengan unsur lain. Karbon monoksida, dapat diubah dengan mudah
menjadi CO
2
dengan bantuan sedikit oksigen dan panas. Saat mesin bekerja
dengan AFR yang tepat, emisi CO pada ujung knalpot berkisar 0.5% sampai 1%
untuk mesin yang dilengkapi dengan sistem injeksi atau sekitar 2.5% untuk mesin
yang masih menggunakan karburator. Dengan bantuan air injection system, maka
CO dapat dibuat serendah mungkin mendekati 0%.
c. Karbon Dioksida (CO
2
)
Konsentrasi CO
2
menunjukkan secara langsung status proses pembakaran
di ruang bakar. Semakin tinggi CO
2
maka semakin baik pembakarannya. Saat
AFR berada di angka ideal, emisi CO
2
berkisar antara 12% sampai 15%. Apabila
AFR terlalu kurus atau terlalu kaya, maka emisi CO
2
akan turun secara drastis.
Apabila CO
2
berada di bawah 12%, maka kita harus melihat emisi lainnya yang
menunjukkan apakah AFR terlalu kaya atau terlalu kurus. Perlu diingat bahwa
sumber dari CO
2
ini hanya ruang bakar. Apabila CO
2
terlalu rendah tapi CO dan
HC normal, menunjukkan adanya kebocoran exhaust pipe.
d. Oksigen (O
2
)
Konsentrasi dari oksigen di gas buang kendaraan berbanding terbalik
dengan konsentrasi CO
2
. Untuk mendapatkan proses pembakaran yang sempurna,
maka kadar oksigen yang masuk ke ruang bakar harus mencukupi untuk setiap
molekul hidrokarbon. Dalam ruang bakar, campuran udara dan bensin dapat
terbakar dengan sempurna apabila bentuk ruang bakar tersebut melengkung
secara sempurna. Kondisi ini memungkinkan molekul bensin dan molekul udara
dapat dengan mudah bertemu untuk bereaksi dengan sempurna pada proses
pembakaran. Faktanya, ruang bakar tidak dapat sempurna melengkung dan halus
sehingga memungkinkan molekul bensin seolah-olah bersembunyi dari molekul
oksigen dan menyebabkan proses pembakaran tidak terjadi dengan sempurna.
C. Metode Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Penelitian tentang pengaruh waktu pengapian terhadap emisi gas buang
ini adalah penelitian eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. Sebelum
pengambilan data dilakukan tune up terlebih dahulu agar mesin dalam keadaan
normal, tidak ada variabel lain yang mengganggu. Pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan membuat variasi penyetelan waktu pengapian,
kemudian melakukan pengukuran emisi gas buang kendaraan tersebut untuk
dua jenis bahan bakar yang berbeda, yaitu Pertamax dan Premium.
Untuk masing-masing sampel akan dilakukan pengambilan data
sebanyak 6 variasi waktu pengapian, yaitu maju 3 derajat dan mundur 3
derajat dari spesifikasi mesin yang bersangkutan. Pengambilan data dilakukan
pada saat putaran mesin stasioner yaitu putaran 800 rpm, dengan dasar bahwa
pada putaran mesin stasioner untuk mesin bensin menyumbang emisi gas yang
paling besar.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 473
2. Sampel Penelitian

Penelitian menggunakan kendaraan yang sudah menggunakan teknologi
EFI yaitu mobil Merk Timor S151i DOHC tahun 2001 (sistem EFI D Jetronik)
dengan sampel bahan bakar pertamax dan premium.

3. Instrumen Pengumpulan Data

a. Engine tuner
b. Four Gas Analyzer merk Stargas seri 898
c. Tachometer Digital
d. Timing light
e. Alat tulis

Tabel 2. Persiapan Analisis Data Untuk BBM Premium

Waktu
Pengapian
Emisi Gas Buang
Premium
1 2 3 4 5
HC CO HC CO HC CO HC CO HC CO
Maju 6
o

Maju 4
o

Maju 2
o

Standar
Mundur 2
o

Mundur 4
o

Mundur 6
o


Tabel 3. Persiapan Analisis Data Untuk BBM Pertamax

Waktu
Pengapian
Emisi Gas Buang
Pertamax
1 2 3 4 5
HC CO HC CO HC CO HC CO HC CO
Maju 6
o

Maju 4
o

Maju 2
o

Standar
Mundur 2
o

Mundur 4
o

Mundur 6
o



4. Teknik Analisis Data

Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini ditampilkan secara
deskriptif dalam bentuk tabel dan grafik. Teknik analisis ini digunakan untuk
mengetahui waktu pengapian yang tepat, dengan mempertimbangkan
kandungan emisi yang terbaik.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 474


5. Indikator Keberhasilan Eksperimen

Untuk mengetahui keberhasilan dari perlakuan pada penelitian ini
digunakan indikator konsumsi bahan bakar dan emisi. Eksperimen ini
dianggap berhasil jika ditemukan dampak perubahan untuk memperoleh waktu
pengapian yang tepat, sehingga emisi gas buang menjadi rendah. Namun
dalam penelitian konsumsi bahan bakar tidak ditampilkan.


D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Rancangan dari hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
waktu pengapian terhadap konsumsi bahan bakar serta emisi gas buang yang
dihasilkannya. Namun, karena terkendala alat pengukur konsumsi bahan bakar,
maka pengujian hanya dilakukan untuk mengetahui emisi gas buang dari 2 jenis
bahan bakar, yaitu Premium dan Pertamax. Untuk menjaga agar pengambilan
data valid, maka tekanan bahan bakar dibuat konstan sebesar 2,7 kg/cm
2
dan
putaran mesin 800 rpm (stasioner). Pemilihan putaran tersebut dengan dasar
standar uji emisi untuk mesin bensin adalah pada putaran stasioner, yang
memungkinkan kandungan emisi terbesar.

1. Data Penelitian
a. Waktu Pengapian terhadap emisi gas buang bahan bakar Premium
Berikut ditampilkan data dari emisi gas buang dari bahan bakar Premium:

Tabel 4. Emisi Gas Buang dengan BBM Premium
Waktu
Pengapian
(derajat)
Emisi Gas Buang
Premium
1 2 3 Rerata
HC CO HC CO HC CO HC CO
Maju 6 314 0.158 337 0.17 325 0.155 325.33 0.16
Maju 4 290 0.166 314 0.164 292 0.167 298.67 0.17
Maju 2 284 0.159 286 0.154 283 0.165 284.33 0.16
Standar 286 0.159 273 0.155 273 0.16 277.33 0.16
Mundur 2 275 0.154 241 0.146 246 0.148 254.00 0.15
Mundur 4 250 0.157 237 0.144 278 0.148 255.00 0.15
Mundur 6 314 0.132 269 0.149 248 0.138 277.00 0.14

i.
ii. b.Waktu Pengapian terhadap emisi gas buang bahan bakar Pertamax
Berikut ditampilkan data dari emisi gas buang dari bahan bakar Pertamax:

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 475
Tabel 5. Emisi Gas Buang dengan BBM Pertamax
Waktu
Pengapian
(derajat)
Emisi Gas Buang
Pertamax
1 2 3 Rerata
HC CO HC CO HC CO HC CO
Maju 6 330 0.175 334 0.174 310 0.165 324.67 0.171
Maju 4 318 0.173 334 0.159 303 0.171 318.33 0.168
Maju 2 327 0.16 331 0.173 306 0.169 321.33 0.167
Standar 271 0.157 293 0.169 308 0.168 290.67 0.165
Mundur 2 279 0.154 262 0.164 270 0.16 270.33 0.159
Mundur 4 241 0.139 247 0.151 242 0.141 243.33 0.144
Mundur 6 237 0.147 254 0.138 234 0.149 241.67 0.145


2. Pembahasan
a. Emisi gas buang HC (Hidrokarbon)
Berdasarkan data hasil penelitian diketahui bahwa untuk bahan bakar
Premium maupun Pertamax menghasilkan gas buang dengan kandungan HC
yang tinggi, melampaui ambang batas yang diijinkan, yaitu 200 ppm (Kepmen
LH). Hal ini menunjukkan bahwa kendaraan uji tidak lolos uji emisi,
walaupun sebelumnya telah dilakukan tune up ringan, termasuk tidak ada
kerusakan (trouble code) ketika diperiksa dengan Scan Tester (Carman II).
Perubahan waktu pengapian yang dilakukan memberikan dampak seperti
terlihat pada Tabel 6 tentang rangkuman dari kedua data dan ditampilkan
dalam grafik pada Gambar 2 sebagai berikut:


Tabel 6. Komparasi Emisi HC pada Gas Buang
untuk BBM Premium dan Pertamax

Waktu
Pengapian
(derajat)
Rerata HC
Premium Pertamax
Maju 6 325.33 324.67
Maju 4 298.67 318.33
Maju 2 284.33 321.33
Standar 277.33 290.67
Mundur 2 254.00 270.33
Mundur 4 255.00 243.33
Mundur 6 277.00 241.67

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 476


Gambar 2.
Grafik Emisi HC pada Gas Buang Untuk BBM Premium dan
Pertamax

Untuk kondisi standar (8
o
sebelum TMA), HC yang dihasilkan bahan
bakar Premium lebih sedikit dari Pertamax. Memajukan waktu pengapian
untuk bahan bakar Premium langsung memberikan dampak meningkatnya HC
secara terus menerus. Hal ini terjadi karena sebelum mendekati TMA, bahan
bakar belum menjadi kabut secara sempurna, menyebabkan butiran yang kasar
akan meningkatkan kadar HC.
Memundurkan waktu pengapian memberikan dampak menurunnya HC,
namun mendekati Titik Mati Atas (0
o
), kadar HC juga meningkat drastis. Hal
ini menunjukkan bahwa dengan memundurkan beberapa derajat (maksimal 2
derajat) akan menurunkan kadar HC. Namun demikian, bila terlalu mundur
maka terdapat sisa bahan bakar yang tidak sempat terbakar, menyebabkan
kandungan HC meningkat drastis.
Untuk bahan bakar Pertamax, pada sudut 8
o
sebelum TMA, emisi HC
lebih tinggi daripada Premium. Namun perbedaannya adalah bahwa
memajukan waktu pengapian tidak segera menaikkan HC secara terus
menerus. Pemajuan sekitar 4-6 derajat, HC tetap terjaga, hal ini dipengaruhi
dari angka oktan pertamax yang lebih tinggi dari premium, sehingga mampu
mempertahankan diri untuk tidak segera terbakar. Memundurkan waktu
pengapian juga akan menurunkan nilai dari HC, akan tetapi akan
mempengaruhi menurunnya daya dari kendaraan.

b. Emisi gas buang CO (Karbonmonoksida)
Gas karbonmonoksida adalah gas yang relatif tidak stabil dan
cenderung bereaksi dengan unsur lain. Di dalam tubuh manusia, gas ini
mengikat oksigen yang ada di dalam aliran darah, bisa menyebabkan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 477
kematian. Karbon monoksida, dapat diubah dengan mudah menjadi CO
2

dengan bantuan sedikit oksigen dan panas.
Tabel 7 dan grafik pada Gambar 3 berikut ini adalah data yang
diperoleh dari pengujian perubahan waktu pengapian terhadap gas CO:

Tabel 7. Komparasi Emisi CO pada Gas Buang
untuk BBM Premium dan Pertamax
Waktu
Pengapian
(derajat)
Rerata CO
Premium Pertamax
Maju 6 0.161 0.171
Maju 4 0.166 0.168
Maju 2 0.159 0.167
Standar 0.158 0.165
Mundur 2 0.149 0.159
Mundur 4 0.150 0.144
Mundur 6 0.140 0.145



Gambar 3.
Grafik Emisi CO pada Gas Buang Untuk BBM Premium dan
Pertamax


Secara umum, kandungan gas karbonmonoksida (CO) sisa pembakaran bahan
bakar Pertamax selalu lebih tinggi daripada Premium. Hal ini dipengaruhi oleh
unsur yang dimiliki oleh kedua bahan bakar tersebut. Waktu pengapian
dimajukan, akan meningkatkan emisi CO, sedangkan apabila dimundurkan akan
mengurangi kadar CO.




Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 478
E. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:

1. Perubahan waktu pengapian akan mempengaruhi kandungan emisi gas buang
yang dihasilkan. Untuk bahan bakar Premium, memundurkan waktu pengapian
akan berdampak pada menurunnya emisi HC dan menurunkan emisi CO pada
gas buang, sedangkan ketika waktu pengapian dimajukan, maka emisi HC
meningkat drastis, dan CO juga meningkat.
2. Untuk bahan bakar Pertamax, memundurkan waktu pengapian juga akan
menurunkan emisi HC dan menurunkan emisi CO pada gas buang, namun
kemungkinan akan menurunkan tenaga, sedangkan memajukan waktu
pengapian tidak terlalu meningkatkan emisi HC tetapi CO mengalami
peningkatan.


F. Keterbatasan
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan:
1. Karena keterbatasan peralatan yang dimiliki serta dana, maka pengujian ini
belum melibatkan pengujian tenaga.
2. Menurunnya HC dan CO belum bisa menunjukkan kinerja mesin (tenaga
yang dihasilkan tinggi).



DAFTAR PUSTAKA

Arends & Berenschot. (1994). Motor Bensin. Jakarta: Erlangga

Kepmen LH (2006). Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Nomor 05 Tahun
2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
Lama. Diambil dari
http://langitbiru.menlh.go.id/upload/publikasi/pdf/kepmen_05-
2006.pdf?PHPSESSID= 10977278c6012bf9a60a5ff279e44d3a

Moch Solikin. (2005). Sistem Injeksi Bahan Bakar Motor Bensin (EFI Sistem).
Yogyakarta: Kampong Ilmu

Team Toyota. (1996). Electronic Fuel Injection Training Manual Step 2 Vol 5.
Jakarta: Toyota Astra Motor


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 479
EL-10

PEMBUATAN BAHAN BAKAR CAIR DARI LIMBAH KEMASAN
PLASTIK JENIS POLIPROPILEN DENGAN PROSES
CATALYTIC CRACKING MENGGUNAKAN KATALIS Cu/Al
2
O
3



Hendri
1*
, Pamilia Coniwanti
2
, Supadi
1
1
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Jl. Raya
Inderalaya Km.32, Inderalaya
2
Dosen Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Jl. Raya
Inderalaya Km.32, Inderalaya
*
Koresponensi Pembicara. Phone: 081929357765
Email : supadi08058@gmail.com


ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pembuatan bahan bakar cair dari kemasan bekas air
minum mineral yang merupakan plastik jenis polipropilen dengan proses Catalytic
Cracking. Ini adalah solusi untuk mengurangi dampak buruk limbah tersebut terhadap
lingkungan, karena limbah plastik merupakan jenis limbah non-biodegradable.
Penelitan ini mengamati pengaruh katalis dan waktu perengkahan. Variabel yang
digunakan pada penelitian ini adalah penambahan katalis Cu/Al
2
O
3
dari 0 sampai 9
gram dengan bahan baku plastik sebanyak 100 gram, dan waktu perengkahan selama
3 jam dengan variasi setiap 30 menit. Kualitas bahan bakar cair dianalisa densitas,
viskositas, distilasi ASTM-D86 untuk mendapatkan berat molekul rata-rata ,dan
analisa panas pembakaran menggunakan Kalorimeter. Peningkatan penambahan
katalis dan waktu perengkahan berpengaruh terhadap volume bahan bakar cair yang
didapat. Waktu perengkahan yang efektif yaitu selama 90 menit dimana rata-rata
penambahan BBC sebanyak 14,2 ml pada 2x30 menit pertama dan 7 ml pada 30 menit
berikutnya dan katalis optimal pada penambahan 6 grams dimana volume BBC yang
didapat sebanyak 45,1 ml. Peningkatan penambahan katalis juga berpengaruh
terhadap viskositas, densitas, dan panas pembakaran. Hasil analisa distilasi ASTM-
D86 diperoleh berat molekul rata-rata BBC yaitu 128,5 gr/mol dan nilai panas
pembakaran rata-rata BBC didapat sebesar 4482,663 Kj/mol. Secara keseluruhan
semakin banyak katalis yang ditambahkan maka kualitas bahan bakar cair yang
didapat akan semakin bagus.


Kata kunci : Bahan Bakar Cair, Catalytic Cracking.


1. PENDAHULUAN
Meningkatnya penggunaan plastik sebagai kemasan suatu produk akhir-akhir ini
membuat masalah baru yang mengancam lingkungan hidup manusia. Sedangkan
plastik adalah jenis bahan yang non-biodegradable yang sulit diuraikan alam.
Bahruddin dkk, pada tahun 2006 mencatat bahwa plastik yang banyak digunakan
dalam sampah plastik adalah plastik bekas kemasan dengan komposisi rata-rata
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 480
mencapai 10% dari berat total sampah, dan didominasi oleh jenis plastik polietilena
(PE) dan polipropilen (PP), yang mencapai 44%.
Untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya sampah plastik,
saat ini telah berkembang beberapa langkah yang terkait dengan manajemen
pengolahan sampah plastik atau recycling sampah plastik. Beberapa contoh proses
pengolahan limbah antara lain dengan cara pembakaran, maupun pirolisis. Meskipun
pembakaran ini dapat mengurangi jumlah limbah plastik, namun akan menimbulkan
masalah baru yaitu emisi yang dihasilkan berupa gas-gas beracun HCL, HCN, SOx,
maupun NOx yang dapat mengganggu kesehatan. Hal ini dikarenakan proses
pembakaran bukan menghilangkan bahan tersebut, tetapi hanya merubahnya menjadi
gas.
Proses Catalytic Cracking merupakan salah satu cara untuk memanfaatkan limbah
plastik. Plastik yang merupakan turunan dari minyak bumi akan terurai menjadi
fraksi-fraksi hidrokarbon jika terjadi proses perengkahan. Menurut Anggoro (2006)
hasil cairan proses Catalytic Craking dari sampah plastik jenis polietilen yang
menggunakan katalis Zeolit dan ZSM-5 mengandung komponen hidrokarbon C
5
-C
13
.
Mengingat plastik jenis Polipropilen merupakan turunan dari minyak bumi, maka
sangat bermanfaat jika limbah tersebut dikembalikan lagi menjadi bentuk asalnya.
Fraksi hidrokarbon yang diharapkan dari perengkahan plastik jenis polipropilen
adalah fraksi minyak bensin. Plastik jenis Polipropilen mempunyai nilai kalor yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kalor dari Minyak bumi dan Batubara. Nilai kalor
plastik jenis polipropilen sebesar 45 MJ/Kg, sedangkan minyak bumi dan batubara
mempunyai nilai kalor masing-masing 40 MJ/Kg dan 20 MJ/kg (Bahrudin dkk.,
2006).
Salah satu jenis kemasan produk minuman yang menggunakan plastik jenis
polipropilen adalah kemasan plastik air minum mineral. Dalam penelitian ini, penulis
mencoba membuat bahan bakar cair (selanjutnya disingkat BBC) dari kemasan air
minum mineral dengan menggunakan katalis Alumina (Al
2
O
3)
yang diimpregnasi
dengan logam tembaga (Cu
2+
).


2. BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan :
1. Sampah Plastik Jenis Polipropilen (Kemasan Air Minum Mineral) yang
diambil dari lingkungan kampus Universitas Sriwijaya
2. Katalis Al
2
O
3
, dan CuSO
4
.5H
2
O

Alat yang digunakan :
1. Labu didih 500 ml
2. Kondensor
3. Heating mantel
4. Beker gelas
5. Pompa air pendingin
6. Statif dan klem
7. Neraca Analitis
8. Termometer ( Skala 0-360
o
C)
9. Gelas ukur

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Hasil Penelitian
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 481
Pada proses catalytic cracking dengan variasi katalis dan waktu dengan
temperatur tetap (0-250
o
C) dan massa plastik tetap, didapat volume Bahan Bakar Cair
(BBC) sebagai berikut :

Tabel 1.
Volume BBC yang didapat pada proses Catalytic Cracking


Sampel

Rasio
Plastik :
Cu-Al
2
O
3

(gram)


Volume Bahan Bakar Cair (BBC) dari berbagai
waktu perengkahan (ml)




Residu
(gram)
30
Menit


60
Menit


90
Menit


120
Menit


150
Menit


180
Menit

1 100 : 0 0 14 16,5 20 20,5 23,5 78.6
2 100 : 1 0 14 20.5 22 23.5 25.8 77.8
3 100 : 2 2.5 20.5 26.8 28.8 30 32 74.2
4 100 : 3 1.5 16 24 27 29.5 32 73.7
5 100 : 4 1 14 21.2 26 29 32.5 72.7
6 100 : 5 2 18 28.8 34 37 39 66.5
7 100 : 6 3 17 26 35.8 42 45.1 60.3
8 100 : 7 1.5 14 22 25 27 29 72.5
9 100 : 8 2 17 22.5 24 24.5 25 71.6
10 100 : 9 2.8 13,5 18 20,5 22 24,5 69,4

Hasil Analisa Penelitian

Tabel 2.
Hasil analisa Densitas, Viskositas, dan Nilai Kalor Pembakaran dari bahan bakar cair
(BBC)
Sampel
Rasio
Plastik :
Katalis
Densitas
(gr/ml)
Viskositas
(poise)
Nilai Panas
Pembakaran
(Kj/mol)

1 100 : 0 0.9070 0.0075 5403,162
2 100 : 1 0.9042 0.0072 4776,708
3 100 : 2 0.9066 0.0076 4776,708
4 100 : 3 0.9046 0.0071 3821,367
5 100 : 4 0.9049 0.0074 4332,676
6 100 : 5 0.9020 0.0071 5127,000
7 100 : 6 0.9024 0.0074 4806,563
8 100 : 7 0.8996 0.0071 4322,529
9 100 : 8 0.8987 0.0069 3662,143
10 100 : 9 0.8943 0.0066 3797,778
Tabel 3.
Data Hasil Analisa ASTM-D86 pada Sampel 2 dan 7

Sampel
IBP
(
0
C)
FBP
(
0
C)
% Volume
Produk
% Hilang
BM
(gr/mol)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 482
distilat
2
7
44
37
222
210
78
80
13
5
127
130
Berat Molekul Rata-rata BBC 128,5

Pengaruh Penambahan Katalis Terhadap Volume BBC yang dihasilkan.



Gambar 1. Pengaruh Penambahan Katalis Cu/Al
2
O
3
Terhadap Volume BBC yang
dihasilkan.
Gambar 1, merupakan hubungan antara pengaruh penambahan katalis terhadap
volume BBC yang dihasilkan dengan lama waktu perengkahan 180 menit. Dari
gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin banyak katalis yang ditambahkan akan
semakin banyak pula volume BBC yang dihasilkan, tetapi pada batas tertentu akan
berkurang. Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa volume BBC yang dihasilkan
akan semakin banyak pada penambahan katalis 1-6 gram, tetapi untuk penambahan
katalis berikutnya, volume BBC yang dihasilkan berkurang. Berkurangnya volume
BBC disebabkan pori-pori yang mengandung gugus asam pada katalis tidak semuanya
digunakan untuk reaksi peruraian molekul plastik menjadi senyawa yang lebih
sederhana (Anggoro, 2008). Banyaknya penambahan katalis pada proses perengkahan
menyebabkan pori-pori katalis Alumina tertutupi oleh coke, sehingga katalis tidak
bekerja sempurna. Menurut Wijanarko (2006), proses pembentukan coke pada reaksi
perengkahan katalitik menggunakan katalis -alumina dapat terjadi karena katalis ini
selama reaksi berlangsung memang memiliki kecenderungan membentuk coke yang
banyak. Selain itu juga, banyaknya katalis menyebabkan reaktan yang bereaksi
dengan katalis semakin meningkat untuk menghasilkan rantai molekul hidrokarbon
pendek (seperti C
1
-C
4
) yang berbentuk gas.
Volume BBC yang optimal dihasilkan pada penambahan katalis 6 gram yaitu
sebesar 45,1 ml dan volume BBC yang paling sedikit yaitu pada saat perengkahan
tanpa katalis yaitu sebesar 23,5 ml. Hal ini membuktikan bahwa katalis berperan
untuk meningkatkan konversi cairan dan gas, serta memperkecil hasil yang berupa
produk padat. Katalis dapat menurunkan suhu perengkahan dan memperkecil waktu
perengkahan agar plastik lebih mudah diuraikan (Anggoro, 2008).

Pengaruh Waktu Perengkahan Terhadap BBC yang dihasilkan.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 483


Gambar 2. Pengaruh Waktu Perengkahan Terhadap Volume BBC yang dihasilkan.

Pengaruh waktu terhadap volume BBC yang dihasilkan dari proses perengkahan
disajikan pada Ghhambar 2. Secara kinetika, semakin lama reaktan bereaksi akan
semakin banyak pula produk yang terbentuk. Hal ini dikarenakan reaktan akan
terengkah secara sempurna seiring dengan pertambahan waktu. Pada gambar 4.2,
dapat dilihat bahwa hasil BBC yang diperoleh pada awal perengkahan cukup banyak,
selanjutnya berkurang sedikit demi sedikit. Waktu perengkahan yang efektif yaitu
pada saat 3 x 30 menit (90 menit) dimana ratarata penambahan BBC 14,2 ml pada 60
menit dan 7 ml pada 90 menit, dan penambahan selanjutnya akan berkurang seiring
bertambahnya waktu, hal ini dapat dilihat dari kenaikan grafik yang semakin landai.
Perengkahan berlangsung pada temperatur 0 sampai 250
0
C, karena pada temperatur
ini sebagian besar BBC yang dihasilkan adalah fraksi minyak bensin (Riyadi dkk.,
2002). Berdasarkan grafik diatas batas waktu perengkahan yang efektif adalah 1,5
jam, karena bila lebih dari itu proses yang dilakukan tidak ekonomis sebab
penambahan BBC-nya terlalu kecil. Hal ini disebabkan karena pada waktu
perengkahan 1,5 jam hampir semua fraksi yang temperaturnya berada pada range 0
0
C
250
0
C sebagin besar akan terengkah.

Pengaruh Penambahan Katalis Terhadap Densitas BBC.
Densitas merupakan salah satu parameter yang penting untuk mengetahui kualitas
suatu bahan bakar minyak. Dimana semakin tinggi densitasnya maka mutu minyak
makin rendah karena banyak mengandung lilin, dan mempunyai nilai kalor (heating
value) yang rendah, begitu pula sebaliknya semakin rendah berat jenis maka kualitas
minyak itu akan semakin tinggi karena banyak mengandung bensin (Ismail, 1998).
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 484

Gambar 3. Pengaruh Penambahan Katalis Terhadap Densitas BBC.

Dari Gambar 3, dapat dilihat bahwa semakin banyak katalis yang ditambahkan
maka densitas BBC semakin menurun. Banyaknya penambahan katalis pada proses
perengkahan, menyebabkan jumlah reaktan yang bereaksi akan semakin meningkat
untuk menghasilkan rantai molekul hidrokarbon yang semakin pendek (terbentuknya
senyawa hidrokarbon yang lebih ringan). Nilai densitas akan meningkat dengan
meningkatnya jumlah ikatan rangkap dan bertambahnya panjang rantai karbonnya.
Dengan menurunya densitas BBC, maka akan semakin baik kualitas BBC yang
dihasilkan, karena akan semakin mendekati densitas fraksi minyak bensin. Densitas
bensin yaitu 0.83 gr/ml (Data Premiun PT PERTAMINA UP-VI dalam Azhari, 2011).
Sebagaimana terlihat dari grafik diatas densitas BBC yang dihasilkan yaitu antara 0.8
- 0.9 gr/ml, dengan demikian berarti BBC yang dihasilkan mendekati fraksi bensin.

Pengaruh Penambahan Katalis Terhadap Viskositas BBC.

Gambar 4. Pengaruh Penambahan Katalis Terhadap Viskositas BBC.

Pengukuran viskositas bertujuan untuk mengetahui kekentalan minyak pada
suhu tertentu sehingga minyak dapat dialirkan pada suhu tersebut, Jika indek
viskositas tinggi, maka viskositasnya relatif tidak berubah terhadap suhu, jika rendah
berarti viskositas sangat dipengaruhi suhu. Umumnya semakin ringan minyak bumi,
maka makin kecil viskositanya, atau sebaliknya (Riyadi dkk., 2002). Dari gambar 4,
dapat dilihat bahwa semakin banyak katalis yang ditambahkan akan semakin kecil
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 485
viskositas BBC yang dihasilkan. Fenomena ini selaras dengan uji densitas BBC hasil
perengkahan. Seperti yang dipaparkan oleh Wijanarko (2006), bahwa terjadinya
peningkatan densitas suatu fluida diikuti dengan peningkatan viskositas fluida
tersebut.
Dengan menurunya viskositas BBC yang dihasilkan berarti akan semakin baik
kualitasnya, karena viskositas bahan bakar akan berpengaruh secara langsung
terhadap kemampuan bahan bakar tersebut bercampur dengan udara, jika semakin
kecil viskositasnya maka akan semakin mudah udara untuk bercampur dengan BBC
dan bila semakin kental viskositasnya maka akan semakin sulit udara bercampur
dengan BBC, sehingga menyebabkan pembakaran tidak sempurna.

Analisa Distilasi ASTM-D86 terhadap BBC.
Analisa ASTM-D86 dilakukan pada sampel BBC hasil perengkahan yang
volumenya terbanyak yaitu pada sampel 7 dan jumlah penambahan katalis yang
sedikit yaitu pada sampel 2, hal ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan IBP
dan FBP dari kedua sampel serta mengetahui berat molekul rata-rata (BM rata-rata)
dari BBC. Hasil analisa ASTM-D86 dari sampel 2 dan sampel 7 dapat dilihat dari
tabel 3.
Distilasi ASTM-D86 merupakan salah satu cara analisa yang digunakan untuk
mengetahui rentang titik didih dari suatu fraksi zat. Setiap fraksi zat mempunyai
rentang titik didih yang berbedabeda tergantung dari panjang rantai atom karbonnya.
Semakin panjang rantai karbon suatu fraksi, maka akan semakin tinggi rentang titik
didihnya. Berdasarkan jarak didih tiap fraksi yang dihasilkan maka susunan molekul
menurut jumlah atom karbon dari fraksi dan produk akhir kilang, fraksi bensin
mempunyai rentang titik didih antara 30
0
C 210
0
C, sedangkan untuk fraksi kerosen
yaitu 150
0
C 250
0
C (Ismail, 1998). Dari tabel 4.3. terlihat bahwa nilai IBP dan FBP
dari sampel BBC yang diambil untuk di distilasi mempunyai rentang titik didih yang
hampir sama dengan rentang titik didih pada bensin. Hal ini berati bahwa BBC yang
dihasilkan mempunyai kualitas yang hampir sama dengan bensin, walaupun kedua
reantang titik didih dari kedua sampel diatas berbeda, tetapi perbedaanya tidak begitu
jauh. Jadi dapat dikatakan bahwa semakin banyak katalis yang ditambahkan akan
semakin mendekati fraksi bensin, hal ini dapat dilihat dari tabel diatas, dimana sampel
7 mempuyai rentang titik didih yang lebih mendekati fraksi bensin jika dibandingkan
dengan sampel 2.

Pengaruh Penambahan Katalis Terhadap Panas Pembakaran BBC
Panas pembakaran merupakan panas yang dihasilkan dari suatu proses pembakaran
suatu bahan bakar. Gambar 5, menunjukkan bahwa nilai kalor dari BBC hasil
perengkahan yang dibakar relatif turun dengan semakin banyaknya katalis yang
ditambahkan. Hal ini disebabkan banyaknya penambahan katalis menghasilkan
senyawa dengan rantai karbon yaang pendek. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa banyaknya rantai karbon akan mempengaruhi nilai kalor. Semakin
panjang rantai karbon akan semakin tinggi pula panas yang dihasilkan dan sebaliknya.
Dari penelitian ini panas pembakaran yang dihasilkan dari BBC yaitu rata-rata
4482,663 KJ/mol.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 486

Gambar 5. Pengaruh Penambahan Katalis Terhadap Panas Pembakaran BBC

Tabel 4.
Perbandingan Sifat Fisika dari Bensin dan BBC Hasil Penelitian
Sifat Fisika Bensin* BBC Hasil Penelitian
BM, gr/mol
Densitas, gr/ml
Viskositas, poise
Final boiling point,
0
C
Panas Pembakaran, KJ/mol
114
0,83
0,00698
225
3109,068
128.5
0,9046
0.0074
216
4482,663
*diambil dari berbagai sumber.

Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa densitas dan viskositas BBC hasil penelitian
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan minyak bensin komersial. Hal ini disebabkan
berat molekul dari BBC yang didapat dari hasil distilasi ASTM-D86 lebih tinggi
dibandingkan dengan bensin komersial yaitu sebesar 128,5 gr/mol. Akan tetapi, titik
didih akhir dan panas pembakaran BBC justru lebih bagus jika dibandingkan dengan
bensin komersial. Pada BBC hasil penelitian sedikit fraksi berat sehingga sedikit yang
menghalangi fraksi ringan untuk menguap. Hal ini menyebabkan temperatur akhir
lebih kecil untuk menguapkan BBC. Juga, panas pembakaran dari BBC lebih tinggi
nilai kalornya dibandingkan dengan bensin.


4. KESIMPULAN
a. Penambahan katalis pada proses catalytic cracking plastik jenis polipropilen
menyebabkan volume BBC semakin bertambah, tetapi pada batas tertentu justru
menurun. Volume BBC yang optimal dihasilkan pada penambahan katalis 6
gram yaitu sebesar 45,1 ml dan volume BBC yang paling sedikit yaitu pada saat
perengkahan tanpa katalis yaitu sebesar 23,5 ml.
b. Waktu perengkahan optimal dan ekonomis untuk membuat BBC dari plastik
jenis polipropilen adalah 90 menit.
c. Bertambahnya katalis pada proses perengkahan menyebabkan nilai densitas dan
viskositas dari BBC menurun, hal ini disebabkan terbentuknya hidrokarbon
yang lebih ringan.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 487
d. Hasil distilasi ASTM-D86 didapat berat molekul BBC hasil perengkahan
sebesar 128,5 gr/mol dengan FBP yang lebih kecil dibandingkan dengan FBP
bensin komersial.
e. Nilai kalor BBC didapat sebesar 4482,663 Kj/mol lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai kalor bensin komersial yaitu 3109,068 Kj/mol.


5. SARAN
Setelah melakukan penelitian ini, untuk perbaikan dimasa mendatang perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai :
a. Pengaruh variabel temperatur dan waktu terhadap BBC secara mendalam.
b. Pengujian lebih lanjut dari BBC dari plastik yaitu mengenai uji flash point,
RVP, uji kandungan bahan kimia berbahaya yang terdapat dalam BBC, dan
sebagainya. Sehingga BBC yang didapat bisa diterapkan untuk kendaraan
bermotor.


6. REFERENCES

Almusaiteer, Kholid A. (2011). Synthesis Of Dimethyl Carbonate From Carbon
Dioxide And Methanol. U.S. Patent 0196167 A1.
Anggoro, Didi Dwi (2008). Produksi Hidrokarbon Cair Dari Plastik Menggunakan
Katalis Zeolit HY dan ZMS-5.
Azhari, A.M., Rizkiara M.F. (2011). Laporan Kerja Praktek PT PERTAMINA
(Persero) RU VI Balongan-Indonesia. Institut Teknologi Sepuluh November
(ITS).
Bahruddin., Zahrina, Ida; Sumarno., Wibawa G., Soewarno, N.(2006). Penentuan
Cloud Point dari Campuran Sampah Plastik Polipropilena dengan Bahan Bakar
Diesel. Seminar nasional teknik kimia Indonesia.
Bird, Tony (1993). Kimia Fisik untuk Universit., PT Gramedia, Jakarta, p.57.
Damayanthi., Reska., Martini, Retno, Proses Pembuatan Bahan Bakar Cair Dengan
Memanfaatkan Limbah Ban Bekas Menggunakan Katalis Zeolit Y Dan ZSM-5.
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
Ismail, Ali Fasya (1998). Teknologi Minyak dan Gas Bumi. Universitas Sriwijaya,
Palembang.
Ismail, Syarifuddin (2000). Kinetika Kimia. Universitas Sriwijaya, Inderalaya.
Nurofik., Nurhayati (2008) Reaksi Oksidasi Katalitik. FMIPA Universitas Indonesia.
Purwanti, Ani., Sumarni (2008). Kinetika Reaksi Pirolisis Plastik. Jurnal Teknologi,
Vol. 1(2), 135-140.
Riyadi, Adhi., Yusraini., Eliyana., Nurhafni., Junaidi E. (2002). Pembuatan Bahan
Bakar Cair Setingkat Bensin dari Sampah Plastik Jenis Polipropilen Dengan
Katalis CR 1% / Zeolit Alam Aktif . Bulletin penalaran mahasiswa UGM , Vol.
9(1), 11-14.
Santoso, Budy; Tommy (2003). Pengolahan Limbah Plastik Menjdi Bahan Bakar
Cair Dengan Proses Thermal Cracking. Laporan Penelitian Jurusan Teknik
Kimia Fakultas Teknik UNSRI, Palembang.
Trisunaryanti, Wega (2002). Optimasi Waktu dan Rasio Katalis/Umpan pada Proses
Perengkahan Katalitik Fraksi Sampah Plastik Menjadi Fraksi Bensin
Menggunakan Katalis Cr/Zeolit Alam. Indonesian Journal of Chemistry, Vol.
2(1), 30-40.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 488
Wijanarko, A., Mawardi D.A., Nasikin, M. (2006). Produksi Biogasoline Dari
Minyak Sawit Melalui Reaksi Perengkahan Katalitik Dengan Katalis -Alumina.
Makara Teknologi, Vol.10(2), 51-60.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 489
EL-11

PENGARUH DOSIS KOAGULAN FeCl
3
TERHADAP KUALITAS
AIR DAN FLUKS PERMEAT YANG DIHASILKAN PADA
PENGOLAHAN AIR SUNGAI MUSI MENGGUNAKAN FILTER
KERAMIK


Muhammad Arifin
1)
, Anang Suhendar
1)
, Subriyer Nasir
2)

1
Mahasiswa Program S-1 Univesitas Sriwijaya, Jl. Raya Indralaya Km.32,
Indralaya
2
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Inderalaya
Km.32, Inderalaya
*
Koresponensi Pembicara. Phone: +6285267938830
Email: arifin071@gmail.com


Abstrak
Air bersih menjadi salah satu kebutuhan yang mendasar bagi kehidupan manusia, oleh
karena itu banyak metoda yang bisa digunakan untuk mendapatkan air bersih seperti
pada penelitian ini yakni mengolah air sungai Musi menjadi air bersih dengan metoda
koagulasi dan filtrasi. Filtrasi dilakukan menggunakan filter keramik. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan koagulan FeCl
3

terhadap kualitas air bersih dan mengetahui pengaruhnya terhadap fluks permeat yang
dihasilkan, serta membandingkan kualitas air bersih yang dihasilkan antara
pengolahan air menggunakan koagulan FeCl
3
dan tanpa menggunakan koagulan
FeCl
3
. Penambahan dosis FeCl
3
, tekanan dan waktu operasi menjadi kunci utama pada
penelitian ini. Parameter-parameter yang diukur untuk menentukan kualitas air bersih
yaitu pH, EC, TDS dan turbidity. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koagulasi
hanya efektif dalam menurunkan turbidity permeat hingga mencapai 98,14% yakni
pada penambahan 30 mg/L FeCl
3
dan pada tekanan 2 bar serta dapat meningkatkan
fluks permeat sebesar 2,97 m
3
/m
2
.jam bila digunakan dosis koagulan sebesar 20 mg/L
FeCl
3
pada tekanan 2 bar dan waktu operasi 15 menit. Sedangkan nilai pH, EC, dan
TDS permeat yang terbaik dihasilkan pada pengolahan air sungai Musi tanpa
menggunakan koagulan pada tekanan 1,5 bar dengan nilai pH, EC dan TDS berturut-
turut 7,13 ; 42,6 S.cm dan 20 ppm.

Kata Kunci: Filtrasi, Filter keramik, Koagulasi, Permeat.


Abstract
Clean water is the basic needs for human life, therefore a lot of methods can be used
to produce clean water fromia river. In current research, feed water from Musi River
was treated using coagulation and filtration methods followed by ceramic filter. The
purpose of this research is to determine the effect of FeCl
3
addition to permeate
quality with and without FeCl
3
. Increase in FeCl
3
doses, pressure and operation time
to be the key factor in this research. The parameters measured to determine the
quality of clean water are pH, EC, TDS and turbidity. Results showed that
coagulation was effective to reduced the turbidity of permeate up to 98.14% at the
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 490
addition of 30 mg/L FeCl
3
and pressure of 2 bar. At the addition of 20 mg/L FeCl
3
,
operating pressure of 2 bar and 15 minutes of operation time, the permeate flux was
2,97 m
3
/m
2
.hr. The best quality of permeate without coagulants was found at pressure
of 1.4 bar, pH 7.13, EC 42.6 s/cm and TDS of 20 ppm respectively.

Keywords: Coagulation, Ceramic Filter, Filtration, Permeate


1. PENDAHULUAN
Sumber daya air merupakan salah satu
sumber daya terpenting bagi kehidupan
manusia dalam melakukan berbagai
kegiatannya. Meningkatnya jumlah
penduduk dan kegiatan pembangunan,
telah meningkatkan kebutuhan sumber
daya air. Di lain pihak, ketersediaan
sumber daya air dirasakan semakin
terbatas, di beberapa tempat bahkan
sudah dapat dikategorikan berada
dalam kondisi kritis. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor seperti
pencemaran, penggundulan hutan,
kegiatan pertanian yang mengabaikan
kelestarian lingkungan dan berubahnya
fungsi daerah tangkapan air.
Kualitas air sungai Musi sebagai
air baku untuk kebutuhan sumber air
minum dan air bersih di Palembang
kini semakin menurun. Menurunnya
kualitas air sungai Musi ini sebagai
akibat limbah rumah tangga mulai dari
sampah, kotoran manusia hingga
detergen. Selain itu di muara sungai
Musi terdapat industri pengolahan
karet yang air buangannya ikut
menurunkan kualitas sungai Musi. Saat
ini air sungai Musi tergolong ke dalam
kelas B (air bersih yang harus dikelola)
dan C (air yang layak untuk
perikanan). Oleh karena itu, dilakukan
penelitian mengenai pengolahan air
sungai Musi menggunakan filter
keramik menjadi air bersih yang
memenuhi standar mutu air bersih.
Air Bersih
Air bersih adalah air yang digunakan
untuk keperluan sehari-hari yang
kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila
telah dimasak (Sumber: Permenkes
Nomor 416 /MENKES/PER/IX/1990).
Menurut Effendi (2003), air
menurut kualitas dan kegunaannya
digolongkan kedalam empat
kelompok, yaitu:
Golongan A, yaitu air yang dapat
digunakan untuk sebagai air
minum secara langsung, tanpa
pengolahan terlebih dahulu
Golongan B, yaitu air yang dapat
digunakan untuk sebagai air baku
air minum
Golongan C, yaitu air yang dapat
digunakan untuk keperluan
perikanan dan peternakan
Golongan D, yaitu air yang dapat
digunakan untuk keperluan
pertanian, usaha di perkotaan,
industri, dan pembangkit listrik
tenaga air.
Ada beberapa karakteristik fisik air
yang terkait dengan kualitas air yaitu
terdiri atas (Hanum, 2002) :
a. Kekeruhan
Kekeruhan air dapat ditimbulkan
oleh adanya bahan-bahan
anorganik dan organik yang
terkandung dalam air seperti
lumpur dan bahan yang dihasilkan
oleh buangan industri.
b. Temperatur
Kenaikan temperatur air
menyebabkan penurunan kadar
oksigen terlarut. Kadar oksigen
terlarut yang terlalu rendah akan
menimbulkan bau yang tidak sedap
akibat degradasi anaerobik yang
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 491
mungkin saja terjadi, dan dapat
mematikan biota dalam air.
c. Warna
Warna air dapat ditimbulkan oleh
kehadiran organisme, bahan-bahan
tersuspensi yang berwarna dan oleh
ekstrak senyawa-senyawa organik
serta tumbuh-tumbuhan.
d. Solid (Zat padat)
Kandungan zat padat menimbulkan
bau busuk, juga dapat meyebabkan
turunnya kadar oksigen terlarut.
Zat padat dapat menghalangi
penetrasi sinar matahari kedalam
air.
e. Bau dan Rasa
Bau dan rasa dapat dihasilkan oleh
adanya organisme dalam air seperti
alga serta oleh adanya gas seperti
H
2
S yang terbentuk dalam kondisi
anaerobik, dan oleh adanya
senyawa-senyawa organik tertentu.
Sedangkan, yang termasuk
karakteristik kimia air adalah sebagai
berikut (Hanum, 2002):
a. pH
Pembatasan pH dilakukan karena
akan mempengaruhi rasa,
korosifitas air dan efisiensi
klorinasi. Beberapa senyawa asam
dan basa lebih toksid dalam bentuk
molekuler, dimana disosiasi
senyawa-senyawa tersebut
dipengaruhi oleh pH.
b. DO (Dissolved Oxygent)
DO adalah jumlah oksigen terlarut
dalam air yang berasal dari
fotosintesa dan absorbsi
atmosfer/udara. Semakin banyak
jumlah DO maka kualitas air
semakin baik. Satuan DO biasanya
dinyatakan dalam persentase
saturasi.
c. BOD (Biological Oxygent
Demand)
BOD adalah banyaknya oksigen
yang dibutuhkan oleh
mikroorgasnisme untuk
menguraikan bahan-bahan organik
(zat pencerna) yang terdapat di
dalam air buangan secara biologi.
BOD dan COD digunakan untuk
memonitoring kapasitas self
purification badan air penerima.
d. COD (chemical oxygent demand)
COD adalah banyaknya oksigen
yang di butuhkan untuk
mengoksidasi bahan-bahan organik
secara kimia.
e. Kesadahan
Kesadahan air yang tinggi akan
mempengaruhi efektifitas
pemakaian sabun, namun
sebaliknya dapat memberikan rasa
yang segar. Di dalam pemakaian
untuk industri (air ketel, air
pendingin, atau pemanas) adanya
kesadahan dalam air tidaklah
dikehendaki. Kesadahan yang
tinggi bisa disebabkan oleh adanya
kadar residu terlarut yang tinggi
dalam air.
f. Senyawa-senyawa kimia yang
beracun
Kehadiran unsur arsen (As) pada
dosis yang rendah sudah
merupakan racun terhadap manusia
sehingga perlu pembatasan yang
agak ketat ( 0,05 mg/L).
Tinjauan Umum Tentang Membran
Membran merupakan suatu media tipis
yang berpori dengan ketebalan tertentu
yang mempunyai sifat permeabel dan
dapat digunakan untuk memisahkan
partikel dengan ukuran tertentu dalam
suatu sistem larutan atau suspensi
(Mulder, 1996).
Membran berfungsi memisahkan
material berdasarkan ukuran dan bentuk
molekul, menahan komponen dari
umpan yang mempunyai ukuran lebih
besar dari pori-pori membran dan
melewatkan komponen yang
mempunyai ukuran yang lebih kecil.
Larutan yang mengandung komponen
yang tertahan disebut konsentrat dan
larutan yang mengalir disebut permeat.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 492
Filtrasi dengan menggunakan membran
selain berfungsi sebagai sarana
pemisahan juga berfungsi sebagai
sarana pemekatan dan pemurnian dari
suatu larutan yang dilewatkan pada
membran tersebut.
Teknologi membran memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan
dengan proses lain, antara lain :
a. Pemisahan dapat dilakukan secara
kontinyu
b. Konsumsi energi umumnya relatif
lebih rendah
c. Proses membran dapat mudah
digabungkan dengan proses
pemisahan lainnya (hybrid
processing)
d. Pemisahan dapat dilakukan dalam
kondisi yang mudah diciptakan
e. Mudah dalam scale up
f. Tidak perlu adanya bahan
tambahan
g. Material membran bervariasi
sehingga mudah diadaptasikan
pemakaiannya.
Kekurangan teknologi membran
antara lain fluks dan selektifitas pada
proses membran umumnya berbanding
terbalik. Semakin tinggi fluks umumnya
berakibat menurunnya selektifitas dan
sebaliknya. Sedangkan hal yang
diinginkan dalam proses berbasiskan
membran adalah mempertinggi fluks
dan selektifitas.
Berdasarkan fungsinya membran
dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
jenis, yaitu sebagai berikut :
a. Mikrofiltrasi
Mikrofiltrasi merupakan
pemisahan partikel berukuran
micron atau submicron. Bentuknya
lazim berupa cartridge, gunanya
untuk menghilangkan partikel dari
air yang berukuran 0,04 sampai
100 mikron.
b. Nanofiltrasi
Proses nanofiltrasi merejeksi
kesadahan, menghilangkan bakteri
dan virus, menghilangkan warna
karena zat organik tanpa
menghasilkan zat kimia berbahaya
seperti hidrokarbon terklorinisasi.
Nanofiltrasi cocok bagi air padatan
total terlarut rendah, dilunakkan
dan dihilangkan organiknya.
c. Ultrafiltrasi
Membran ultrafiltrasi adalah teknik
proses pemisahan (menggunakan)
membran untuk menghilangkan
berbagai zat terlarut deng BM
(berat molekul) tinggi, aneka
koloid, mikroba sampai padatan
tersuspensi dari air larutan.
Membran semipermeabel dipakai
untuk memisahkan makromolekul
dari larutan.

d. Reverse Osmosis (RO)
Reverse osmosis digunakan untuk
mengurangi kandungan garam,
karbonat, total hardness, sulfat,
dan nitrat dari air umpan. Zat-zat
yang tidak terlarut dalam air juga
dihilangkan seperti koloid dan
bakteri.
e. Membran dialisa
Membran dialisa berfungsi untuk
memisahkan larutan koloid yang
mengandung elektrolit dengan
berat molekul (BM) kecil. Zat
terlarut pada larutan dengan
konsentrasi tinggi akan menembus
membran menuju larutan dengan
konsentrasi rendah. Jadi gaya
pendorongnya adalah konsentrasi.
f. Membran elektrodialisa
Membran elektrodialisa berfungsi
untuk memisahkan larutan dengan
membran melalui pemberian
muatan listrik. Jadi gaya
pendorongya adalah gaya gerak
listrik.
Membran Keramik
Membran keramik adalah membran
yang terbentuk dari kombinasi logam
(aluminium, titanium, zirkonium)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 493
dengan non logam dalam bentuk
oksida, nitrida atau karbida.
Membran keramik banyak
digunakan pada proses mikrofiltrasi
dan ultrafiltrasi, serta pemisahan gas
dengan suhu yang tinggi. Teknologi
membran keramik ini memiliki
kelebihan dibandingkan membran
organik atau polimer seperti: umur
pakai yang lama, mudah dan efisien
dalam membersihkannya, ketahanan
kimia dan termal yang baik serta
kekuatan mekanis yang tinggi.
Proses pemisahan menggunakan
membran adalah proses pemisahan
antara pelarut dengan zat terlarut.
Pelarut dipisahkan dengan zat terlarut
yang akan tertahan pada membran
(konsentrat), sedangkan pelarut akan
lolos melalui membran (permeat).
Kecepatan aliran komponen yang akan
dipisahkan tergantung pada jenis gaya
pendorong (tekanan, perbedaan
konsentrasi, dan perbedaan temperatur)
dan karakteristik membran.








Gambar 1. Prinsip pemisahan pada
membran. (sumber: Mulder,1996)
Kinerja membran diidentifikasi
melalui fluks dan rejeksi. Fluks adalah
kecepatan permeat melewati membran
per unit area. Penurunan fluks dapat
terjadi akibat fouling pada permukaan,
polarisasi konsentrasi dan kekompakan
membran. variabel-variabel yang
mempengaruhi fluks yaitu tekanan dan
temperatur feed. Pada membran
reverse osmosis dan nanofiltrasi,
tekanan memiliki fungsi linear
terhadap fluks. Sedangkan pada
membran jenis ultrafiltrasi dan
mikrofiltrasi, fluks pada mulanya
bertambah dan akan berhenti pada
waktu tertentu akibat polarisasi
konsentrasi. Namun, tidak seperti
reverse osmosis. Kualitas produk
mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi menurun
dengan adanya penambahan tekanan.
Tabel 1. Rentang fluks dan tekanan
pada proses membran.

(Sumber : Mulder, 1996)
Persamaan fluks permeat secara
matematis adalah sebagai berikut
(Mulder, 1996):


[1]
Keterangan :
Jv = Fluks Permeat (m
3
/m
2
.jam)
A = Luas permukaan membran
(m
2
)
V = Volume Permeat (m
3
)
t = waktu operasi (jam)
Rejeksi adalah ukuran kemampuan
membran menahan suatu spesi. Faktor
yang mempengaruhi selektifitas adalah
besar ukuran partikel yang melewati,
interaksi antarmembran, larutan
umpan, dan ukuran pori.
Persamaan matematis rejeksi
adalah sebagai berikut (Anonim,
2004):



[2]
Keterangan :
R = Faktor rejeksi
C
feed
= Kondisi Umpan
C
Permeat
= Kondisi Permeat
Membran dapat dibersihkan
(dicuci) dengan beberapa metode, yaitu
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 494
Cross-flushing, Back flushing, dan
dengan bahan-bahan kimia
(chemicals).
Fouling pada membran dapat
menurunkan fluks permeat. Jenis-jenis
fouling adalah :
a. Inorganic fouling/scaling (kerak)
b. Colloidal fouling
c. Biological fouling
d. Organic fouling
Koagulasi dan Flokulasi
Koagulasi adalah proses destabilisasi
partikel koloid dengan cara
penambahan senyawa kimia
(koagulan). Koagulan yang umum
digunakan yaitu Aluminium sulfat,
Poly Aluminium Chloride, FeCl
3
, dan
FeSO
4
.



Gambar 2. Skematik Proses Koagulasi
(Sumber: www.eprint.undip.ac.id)
Peningkatan efektifitas dalam
proses koagulasi dapat ditinjau dari
faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi jalannya proses.
Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi proses koagulasi air,
antara lain :
a. Kualitas air meliputi gas-gas
terlarut, warna, kekeruhan, rasa,
bau, dan kesadahan; jumlah dan
karakteristik koloid;
b. Derajat keasaman air (pH);
c. Pengadukan cepat, dan kecepatan
paddle;
d. Temperatur air;
e. Alkalinitas air, bila terlalu rendah
ditambah dengan pembubuhan
kapur;
f. Karakteristik ion-ion dalam air.

Flokulasi adalah proses lambat
yang bergerak secara terus menerus
selama partikel-partikel tersuspensi
bercampur di dalam air, sehingga
partikel akan menjadi lebih besar dan
begerak menuju proses sedimentasi.
Proses flokulasi dalam pengolahan air
bertujuan untuk mempercepat proses
penggabungan flok-flok yang telah
dibibitkan pada proses koagulasi.
Partikel-partikel yang telah distabilkan
selanjutnya saling bertumbukan serta
melakukan proses tarik-menarik dan
membentuk flok yang ukurannya
makin lama makin besar serta mudah
mengendap.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Percobaan dilakukan di laboratorium
Teknik Kimia UNSRI dengan
menggunakan rangkaian alat seperti
gambar berikut:


Gambar 3. Rangkaian alat
Adapun bahan yang digunakan
pada penelitian ini diantaranya yaitu
air sungai Musi dan FeCl
3
.
Air sungai diambil dari sungai
Musi untuk selanjutnya dilakukan
analisa awal. Analisa yang dilakukan
adalah pH, TDS, EC, dan turbidity.
Sampel dimasukkan ke dalam
tangki dan dikoagulasi menggunakan
koagulan FeCl
3
dengan dosis yang
divariasikan. Pengadukan pada proses
koagulasi dilakukan menggunakan
pengaduk mekanik dengan kecepatan
250 rpm selama 10 menit. Volume air
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 495
yang digunakan untuk setiap koagulasi
adalah 20 liter. Air yang telah
dikoagulasi tersebut kemudian
didiamkan selama 15 menit dengan
tujuan agar flok-flok yang terbentuk
akan segera mengendap. Selanjutnya
dilakukan analisa pH, TDS, EC, dan
turbiditynya sebelum difiltrasi.
Setelah flok-flok mengendap, air
dipisahkan dan dimasukkan ke dalam
tangki feed filtrasi untuk kemudian
difiltrasi menggunakan filter keramik.
Proses filtrasi dilakukan pada tekanan
1,5 dan 2 bar, serta waktu operasi 15,
30, 45 dan 60 menit.
Permeat yang dihasilkan kemudian
dianalisa kadar pH, TDS, EC, dan
turbiditynya. Adapun rangkaian
peralatan yang digunakan dapat dilihat
pada gambar diatas.



3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Hasil Analisa Sampel Awal Air
Sungai Musi
Kualitas air ditentukan oleh
karakteristik fisika maupun kimia
seperti pH, EC, Turbidity dan TDS.
Tabel 2. berikut ini adalah hasil analisa
sampel awal yang telah dilakukan pada
air sungai Musi.

Tabel 2. Data hasil analisa sampel
awal air sungai Musi
Parameter
Standar
Air Bersih*
Nilai
pH 6 9 7.82
EC (s/cm) 43.8
Turbidity
(NTU)
Max. 25 140
TDS (ppm) Max. 1500 21.9
*standar PERMENKES
Hasil analisa menunjukkan bahwa
pH, EC dan TDS air masih memenuhi
syarat sebagai air bersih, namun untuk
turbidity melampaui batas maksimum
sesuai dengan Permenkes No.
416/MENKES/PER/IX/1990 yakni
sebesar 25 NTU.
Data Hasil Analisa Air Sungai Musi
Setelah Koagulasi
Variasi penambahan koagulan FeCl
3

pada raw material yakni 10 mg/L, 20
mg/L, 30 mg/L, 40 mg/L dan 50 mg/L.
Koagulasi meningkatkan fluks
permeat, karena partikel-partikel
berukuran koloid

yang merupakan
penyebab utama fouling pada filter
keramik akan membentuk flok
berukuran lebih besar, melebihi ukuran
pori membran, dan dipisahkan sebelum
memasuki filter. Semakin besar flok,
filter

cake yang terbentuk akibat
fouling akan memiliki porositas besar,
sehingga permeabilitas cake

juga
semakin besar, dan air menjadi mudah
untuk menembus membran.
Koagulasi juga menurunkan beban
penyaringan membran, sebab air
umpan lebih jernih, karena sebagian
partikel pengotor (berupa flok) telah
terendapkan. (Karamah, 2010).
Berikut data hasil analisa air sungai
Musi setelah penambahan koagulan
FeCl
3.

Tabel 4. Data hasil analisa kualitas air
sungai Musi setelah koagulasi
Parameter
Standar
Air
Bersih
Dosis (mg/L)
20 30 40 50
pH 6-9 6.57 5.23 4.78 4.35
EC
(s/cm)
- 49.9 63 76.1 76.5
Turbidity
(NTU)
Max. 25 23.6 20.9 17.6 13.4
TDS
(ppm)
Max.
1.500
25 32 38 38
Dari tabel di atas terlihat
karakteristik air berubah akibat
penambahan koagulan FeCl
3.
Peningkatan dosis FeCl
3
mengakibatkan pH dan turbidity
mengalami penurunan sedangkan EC
dan TDS meningkat. Menurut Phetrak
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 496
(2009), penambahan dosis koagulan
FeCl
3
efektif dalam menurunkan
turbidity.
Data Hasil Analisa Air Hasil Olahan
(Permeat)
a. pH Permeat
pH merupakan salah satu parameter
penentuan kualitas air. pH yang baik
bagi air minum dan air limbah adalah
netral (pH 7). (Sugiharto, 1987).


Gambar 4. Pengaruh penambahan
dosis FeCl
3
terhadap pH Permeat.

Pada Gambar 4. terlihat bahwa
penambahan dosis koagulan FeCl
3

menurunkan pH permeat pada setiap
tekanan yakni 1,5 bar dan 2 bar,
penyebabnya yaitu karakteristik FeCl
3

yang bersifat asam dan memiliki
rentang pH lebih besar dibandingkan
dengan koagulan lain (Karamah,
2010). pH tertiggi yang dihasilkan
adalah sebesar 7,1 pada dosis FeCl
3
10
mg/L dan tekanan 1,5 bar, hal ini
menunjukkan bahwa air tersebut
digolongkan kedalam air bersih.
permeat yang dihasilkan pada dosis
FeCl
3
10 mg/L dan tekanan 2 bar juga
memenuhi syarat sebagai air bersih
yakni dengan pH 6,97, hal ini merujuk
pada standar kualitas air bersih yang
ditetapkan Permenkes pada tahun 1990
yaitu 6,5 9.

b. TDS Permeat
TDS merupakan suatu satu parameter
fisika yang menentukan kualitas air
bersih. TDS pada umumnya
disebabkan oleh bahan anorganik yang
berupa ion-ion diperairan.

Gambar 5. Pengaruh penambahan
dosis FeCl
3
terhadap TDS Permeat.
Pada Gambar 5. terlihat adanya
peningkatan TDS setiap penambahan
dosis FeCl
3
. TDS tertinggi terjadi pada
penambahan dosis FeCl
3
sebesar 50
mg/L pada tekanan 2 bar yakni 41
ppm. Sedangkan TDS terendah adalah
sebesar 23 ppm yakni pada
penambahan dosis FeCl
3
10 mg/L
dengan tekanan 1,5 bar dan 2 bar.
Semakin kecil TDS maka kualitas air
semakin baik. Kadar TDS maksimum
air bersih menurut Permenkes Nomor
416/MENKES/PER/IX/1990 adalah
1.500 ppm dan untuk kadar maksimum
air minum adalah 1.000 ppm. Artinya,
semua permeat yang dihasilkan masih
dalam kadar yang diperbolehkan atau
masih memenuhi persyaratan untuk air
bersih bahkan masih layak untuk
diminum.

c. EC Permeat
EC (Electrical Conductivity)
merupakan sifat fisik air yang
mengindikasikan kandungan ion-ion
terlarut dalam air.
0
2
4
6
8
0 10 20 30 40 50
p
H

Dosis FeCl
3
(mg/L)
Tekanan
1,5 Bar
Tekanan
2,0 Bar
0
20
40
60
0 10 20 30 40 50
T
D
S

(
p
p
m
)

Dosis FeCl
3
(mg/L)
Tekanan 1,5
Bar
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 497

Gambar 6. Pengaruh penambahan
dosis FeCl
3
terhadap EC Permeat
Pada Gambar 6. terlihat bahwa EC
meningkat dengan adanya penambahan
dosis FeCl
3
. Semakin kecil EC maka
kualitas air semakin baik. EC terbaik
pada permeat yakni 45,4 s/cm,
dihasilkan pada penambahan dosis
FeCl
3
10 mg/L dengan tekanan 2 bar.
Konduktivitas air tergantung dari
konsentrasi ion dan suhu air, oleh
karena itu kenaikan padatan terlarut
akan mempengaruhi kenaikan EC
(Mcneely et.al, 1979).
d. Turbidity Permeat
Turbidity merupakan parameter
kekeruhan air berdasarkan pengukuran
intensitas cahaya yang dipendarkan
oleh zat-zat tersupensi dalam air.

Gambar 6. Pengaruh penambahan
dosis FeCl
3
terhadap Turbidity Permeat
Pada Gambar 6 terlihat pengaruh
penambahan dosis FeCl
3
terhadap
turbidity permeat yang dihasilkan.
Nilai turbidity tertinggi dihasilkan pada
penambahan dosis FeCl
3
10 mg/L pada
tekanan 2 bar yaitu sebesar 11,2 NTU.
Meningkatnya nilai turbidity suatu
air akan memeperburuk kualitas air
tersebut. Standar turbidity air minum
yakni maksimal 5 NTU.
Kinerja Membran
a. Fluks Permeat pada Tekanan 1,5
Bar
Pada Gambar 7. terlihat bahwa nilai
fluks suatu membran menurun seiring
pertambahan dosis FeCl
3
. Penurunan
signifikan terjadi pada waktu operasi
15 menit. Nilai fluks tertinggi pada
penambahan dosis FeCl
3
20 mg/L
dengan waktu 15 menit yaitu sebesar
0.025351 m
3
.m
-2
.jam
-1
. Dan nilai fluks
terendah pada penambahan dosis FeCl
3

50 mg/L dengan waktu 1 jam (60
menit) yaitu sebesar 0.001726 m
3
.m
-
2
.jam
-1
. Menurunnya fluks akibat
adanya suspended solid yang belum
mengendap sempurna saat koagulasi,
sehingga menyebabkan penyumbatan
(fouling) pori-pori membran oleh
partikel-partikel tersebut.

Gambar 7. Pengaruh penambahan
dosis FeCl
3
terhadap Fluks Permeat
pada tekanan 1,5 bar
Meningkatnya tekanan juga
menyebabkan kenaikan fluks.
Kenaikan EC umpan akan menurunkan
fluks dan rejeksi. Kualitas umpan yang
baik akan menaikkan fluks dan rejeksi.
Semakin lama waktu operasi
mengakibatkan penurunan fluks pada
membran.
b. Fluks Permeat padaTekanan 2
Bar
0
20
40
60
80
100
0 10 20 30 40 50
E
C

(

s
/
c
m
)

Dosis FeCl
3
(mg/L)
Tekanan
1,5 Bar
Tekanan
2,0 Bar
0
5
10
15
0 10 20 30 40 50
T
u
r
b
i
d
i
t
y

(
N
T
U
)

Dosis FeCl
3
(mg/L)
Tekanan
1,5 Bar
Tekanan
2,0 Bar
0
0,005
0,01
0,015
0,02
0,025
0,03
0 10 20 30 40 50
F
l
u
x

P
e
r
m
e
a
t
e

(
m
3
/
m
2
.
j
a
m
)

Dosis FeCl
3
(mg/L)
15 menit
30 menit
45 menit
60 menit
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 498
Pada Gambar 8. terlihat bahwa
nilai fluks menurun seiring
pertambahan dosis FeCl
3
. Penurunan
signifikan juga terjadi pada
penggunaan waktu 15 menit. Nilai
fluks tertinggi pada penambahan dosis
FeCl
3
20 mg/L dengan waktu 15 menit
yaitu sebesar 0.029701 m
3
.m
-2
.jam
-1
.
Dan nilai fluks terendah pada
penambahan dosis FeCl
3
50 mg/L
dengan waktu 1 jam yaitu sebesar
0.002941 m
3
.m
-2
.jam
-1
.

Gambar 8. Pengaruh penambahan
dosis FeCl3 terhadap Fluks Permeat
pada tekanan 2 bar.
Data Hasil Analisa Permeat dan
Fluks Tanpa Koagulan FeCl
3

Perlakuan tanpa penambahan koagulan
pada raw material juga dilakukan guna
membandingkan kualitas air. Berikut
adalah data hasil analisa permeat yang
dihasilkan tanpa menggunakan
koagulan FeCl
3
.

Tabel 5. Data Analisa Permeat tanpa
koagulan FeCl
3

Tekanan
(Bar) pH
EC
(s/c
m)
Turbidit
y
(NTU)
TDS
(ppm)
1,5 7,13 42,6 2,7 20
2,0 7,35 43,1 3,2 21
Pada Tabel 5. terlihat bahwa
tekanan berpengaruh terhadap kualitas
permeat. Meningkatnya tekanan
operasi maka meningkat pula pH, EC
dan TDS yang dihasilkan. Sedangkan
turbidity menurun seiring dengan
meningkatnya tekanan. Jika
dibandingkan antara Tabel 4 dan Tabel
5, kualitas Permeat tanpa
menggunakan koagulan FeCl
3
lebih
baik dari pada adanya penambahan
koagulan FeCl
3
. pH terbaik yakni
sebesar 7,13 pada tekanan 1,5 bar, EC
terbaik yakni sebesar 42,6 s/cm pada
tekanan 1,5 bar dan TDS terbaik yakni
sebesar 20 ppm pada tekanan 1,5 bar.
Sedangkan turbidity terbaik yakni
sebesar 2,6 pada penambahan dosis
FeCl
3
30 mg/L dan tekanan 2 bar.

Gambar 9. Pengaruh waktu dan
tekanan operasi terhadap Fluks
Permeat.
Pada Gambar 9terlihat adanya
pengaruh waktu operasi terhadap fluks
permeat. Semakin lama waktu operasi,
fluks permeat akan semakin kecil
(menurun). Hal ini karena semakin
lama waktu operasi filtrasi, semakin
banyak pula fouling pada membran.
Fouling ini semakin lama akan
semakin meningkat, hingga menutup
pori- pori membran, yang membuat
kinerjanya semakin berat dan
menurunkan jumlah permeat yang
dihasilkan.
Perbandingan fluks dengan
menggunakan koagulan dan tanpa
koagulan, menunjukkan bahwa
penambahan koagulan dapat
meningkatkan fluks permeat. fluks
permeat tertinggi mencapai 0.029701
m
3
/m
2
.jam dihasilkan pada pengolahan
air sungai Musi dengan penambahan
dosis FeCl
3
sebesar 20 mg/L.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
0
0,01
0,02
0,03
0,04
0 10 20 30 40 50
F
l
u
x

P
e
r
m
e
a
t
e

(
m
3
/
m
2
.
j
a
m
)

Dosis FeCl
3
(mg/L)
15 menit
30 menit
45 menit
60 menit
0
0,005
0,01
0,015
0,02
0,025
0 15 30 45 60
F
l
u
k
s

(
m
3
/
m
2
.
j
a
m
)

waktu (menit)
Tekanan
1,5 bar
Tekanan 2
bar
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 499
Kesimpulan
a. Penambahan dosis koagulan FeCl
3

dapat menurunkan pH, menaikkan
EC, dan TDS Permeat sedangkan
turbidity cenderung fluktuatif (naik
turun), dosis optimum untuk
menurunkan turbidity adalah 30
mg/L
b. Penambahan dosis koagulan FeCl
3

dapat meningkatkan fluks Permeat
hingga mencapai 0.029701
m
3
/m
2
.jam.
c. Ditinjau dari pH, EC dan TDS,
Kualitas air bersih yang dihasilkan
pada pengolahan air sungai Musi
tanpa penambahan koagulan FeCl
3
.
Penggunaan koagulan FeCl
3
hanya
dapat menurunkan turbidity dan
meningkatkan fluks permeat.
Saran
a. Sebaiknya dilakukan pengukuran
terhadap parameter air yang lain,
agar dapat menghasilkan air bersih
yang layak dikonsumsi dan
memenuhi persyaratan sesuai
standar Permenkes.
b. Perlu dilakukan cleaning secara
periodik agar membran dapat
menghasilkan permeat dalam
kuantitas dan kualitas yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Nyimas I. (2007). Tinjauan
TSS, Turbidity, dan Fluks pada
Penjernihan Limbah Industri
Jumputan Menggunakan Membran
Keramik. Laporan Penelitian.
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Sriwijaya.
Anonim. (1985). Water Supply, Water
Treatment. Department of Army
and Air Force, Washington DC.
Anonim. (2004). Application of
membrane Technologies for Liquid
Radioactive Waste Processing.
Vienna: IAEA.
Anonim. (2010). Pengolahan Limbah
Industri Rambut Palsu.
Purbalingga.
Effendi, Hefni. (2003). Telaah
Kualitas Air bagi Pengelolaan
Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius, Yogyakarta.
Hanum, F. (2002). Proses Pengolahan
air Sungai Untuk Keperluan Air
Minum. Program Studi Teknik
Kimia, Universitas Sumatera Utara.
Judd S, Bruce J. (2003). Membran For
Industrial Wastewater Recovery
and Re-use. Elsevier, Newyork.
Karamah, E F, Andrie O L. (2010).
Pralakuan Koagulasi Dalam
Proses Pengolahan Air Dengan
Membran: Pengaruh Waktu
Pengadukan Pelan Koagulan
Aluminium Sulfat Terhadap
Kinerja Membran. Program Studi
Teknik Kimia, Departemen Teknik
Gas & Petrokimia, Universitas
Indonesia.
Mulder, M. (1996). Basic Principle of
Membrane Technology. Kluwer
Academic Publisher, Netherlands.
Phetrak, A. (2009). Pilot Scale Studies
On Direct Filtration Of Domestic
Wastewater Using The Ceramic
Micro-Filtration System, Tesis S3
Asian Institute of Technology,
Thailand.
Sugiharto. (1987). Dasar-Dasar
Pengelolaan Air Limbah.
Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
Studi Pengolahan limbah Radioaktif
Cair Dengan Teknologi Membran,
http://batan.go.id/ptrkn/file/Epsilon
/vol_13_04/p2.pd [akses 13 januari
2012].
Teknologi Pengolahan Limbah Cair
Industri Rambut Palsu Dengan
Cara Kimia Dan Biologi Aerob,
http://eprints.undip.ac.id/11457/
[akses 27 Desember 2011].
Termizi, M F A. (2006). The Effect Of
Cleaning Ultrafiltration Membran
Using Different Concentration Of
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 500
NaOH. Tesis S3, University
College Of Engineering And
Technology, Malaysia,
Ultrafiltration Ceramic Membrane
Filters,
http://www.21food.com/products/u
ltrafiltration-ceramic-membrane-
filters-36743.html [akses 27
Desember 2011].




Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 501
EL-12

PENGARUH MASSA RAGI DAN LAMA FERMENTASI
TERHADAP PEMBUATAN ETANOL DARI ENCENG
GONDOK (Eicchornia Crassipes)

Riezky Amanda, Miftahul Djana, Muhammad Said
*

Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik
Universitas Sriwijaya
Jl. Raya Palembang-Prabumulih Km.32-Indralaya Ogan Ilir 30662
Email : ms_lemlit@yahoo.com

Abstrak

Bioetanol adalah bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan yang memiliki
keunggulan mampu menurunkan emisi CO
2
. Salah satu pembuatan bioeanol yaitu menggunakan
eceng gondok yang mengandung lignoselulosa. Penelitian dilakukan dengan penyiapan Eceng gondok
yang telah di cuci, dipotong dan dikeringkan. Tahap pertama Eceng Gondok didelignifikasi dengan
menggunakan larutan natrium hidroksida (NaOH) 0,02 M. Tahap kedua dihidrolisis menggunakan
asam sulfat (H
2
SO
4
) 0,02 M. Tahap ketiga difermentasi dengan variasi waktu (24-192 jam) dan
dengan variasi massa ragi roti (2 gram, 4 gram, dan 6 gram). Etanol akan dihasilkan setelah
dipisahkan dengan menggunakan proses destilasi. Kemudian analisa kadar glukosa dan kadar etanol
menggunakan alat kromatografi gas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan etanol
tertinggi yaitu sebesar 4,05% volume dihasilkan dari fermentasi 168 jam dengan massa ragi roti 6
gram.
Kata kunci : eceng gondok, lignoselulosa, bioetanol, delignifikasi, hidrolisis, fermentasi.
Abstrack
Bioethanol is alternative fuel thats processed from biomass has advantage of able to reduce
CO
2
emissions. One manufacture of bioethanol is using Eicchornia Crassipes, it has containing
lignocelluloses. Research conducted with washed, cut, and dried preparation. The first stage of
Eicchornia Crassipes is delignificated by using sodium hydroxide (NaOH) 0,02 M. The second stage
is hydrolyzed using sulfuric acid (H
2
SO
4
) 0,02 M. And the third stage is fermented with the variation
of time (24-192 hours) and the mass of yeast bread (2 grams, 4 grams and 6 grams). Ethanol will be
produced after separated using destilation process, and finally glucose and ethanol analysis using
gas chromatograph. Results showed that highest ethanol contained at 4.05% volume is produced
from the fermentation of 168 hours with 6 grams yeast bread.
Keyword : Eicchornia Crassipes, lignocellulose, bioethanol, delignification, hydrolysis,
fermentation.








Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 502
1.Pendahuluan
Semakin meningkatnya jumlah
penduduk dan perkembangan teknologi yang
signifikan menyebabkan peningkatan
kebutuhan dan konsumsi bahan bakar minyak
(BBM) yang merupakan sumber daya alam
yang tidak dapat diperbaharui. Meningkatnya
konsumsi BBM menyebabkan langkanya
BBM dibeberapa tempat. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan Dirjen Minyak dan Gas
Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), Evita H Legowo,
menyatakan bahwa kelangkaan BBM yang
terjadi di beberapa tempat karena adanya
konsumsi BBM yang naik tinggi. Konsumsi
naik menjadi 69.310 kiloliter per hari pada
Juni 2011.
Salah satu upaya pemerintah dalam
mengatasi hal ini dengan mengeluarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan
Energi Nasional mengenai pengembangan
sumber energi alternatif sebagai pengganti
BBM (Prihandana, 2007). Kebijakan
menjelaskan bahwa sumber energi alternatif,
sepeti bahan bakar nabati, dapat digunakan
sebagai pengganti BBM. Dengan
digunakannya bahan bakar dapat
diperbaharui diharapkan kebutuhan akan
energi di dalam negeri dapat dipenuhi dan
kelangkaan BBM dapat dihindari.
Salah satu alternatif bahan bakar
nabati adalah bioetanol. Penggunaan
bioetanol sebagai bahan bakar alternatif,
sebenarnya telah lama dikenal. Pada tahun
1880-an Henry Ford membuat mobil
quadrycycle dan sejak tahun 1908 mobil Ford
model T telah dapat menggunakan
(Bio)etanol sebagai bahan bakarnya.. Namun
penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar
nabati kurang ditanggapi pada waktu
tersebut, karena keberadaan bahan bakar
minyak yang murah dan melimpah.
Bioetanol berasal dari nabati yang
melimpah di Indonesia. Bioetanol dibuat dari
bahan-bahan bergula atau berpati seperti
serbuk kayu, singkong atau ubi kayu, tebu,
nira, sorgum, nira nipah, ubi jalar, eceng
gondok dan lain-lain. Nama-nama tanaman
diatas sangat mudah ditemui di indonesia.
Tanaman diatas banyak digunakan sebagai
pangan tetapi ada juga yang dianggap sebagai
limbah. Dengan tersediannya pati yang
melimpah maka bietanol merupakan bahan
bakar alternatif yang sanga potensial selain
itu bietanol lebih ramah lingkungan
dibandingkan dengan bahan bakar fosil,
karena polusi yang dihasilkan lebih sedikit

Tabel 1. Sifat Fisika Etanol
N
o
Properties Nilai
1 Berat molekul,
gr/mol
46,1
2 Titik beku,
o
C -114,1
3 Titik didih normal,
o
C
78,32
4 Densitas, g/ml 0,7983
5 Viskositas pada
20
o
C, mPa.s (Cp)
1,17
6 Panas penguapan
normal, J/gr
839,31
7 Panas pembakaran
pada 25
o
C, J/gr
29676,
6
8 Panas jenis pada
25
o
C, J (gr.
o
C)
2,42
9 Nilai oktan 106
111
1
0
Wujud pada suhu
kamar
Cair
1
1
Dicampur dengan
Natrium
Berea
ksi
1
2
kelarutan dalam air Larut
sempu
rna
1
3
Dapat terbakar Ya
(Sumber : Kirk-Othmer, 1967)
Bahan baku bioetanol yang dianggap
sampah adalah eceng gondok. Eceng gonok
keberadannya di masyarakat dianggap
sebagai tanaman penganggu karena salah satu
penyebab dari pendangkalan sungai, tetapi
dibalik itu eceng gondok dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku bioetanol. Eceng gondok
mengandung 53% lignoselulosa yang dapat
dimanfaatkan sebagai bioeanol, tetapi Eceng
gondok di masyarakat hanya dimanfaatkan
sebagai kerajinan. Oleh sebab itu, penulis
mengangkat judul tersebut sebagai penelitian
untuk meningkatkan penggunaan bioetanol
dari eceng gondok yang dapat digunakan
sebagai sumber energi terbarukan dan
memacu berkembangnya industri pembuatan
bioetanol.
Eceng gondok atau enceng gondok
(Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis
tumbuhan air mengapung. Eceng gondok
pertama kali ditemukan secara tidak sengaja
oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich
Philipp von Martius, seorang ahli botani
berkebangsaan Jerman pada tahun 1824
ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai
Amazon Brasil. Eceng gondok memiliki
kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga
tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang
dapat merusak lingkungan perairan. Eceng
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 503
gondok dengan mudah menyebar melal ui
saluran air ke badan air lainnya.
Eceng gondok ternyata juga
mempunyai beberapa manfaat antara lain
sebagai bahan untuk kerajinan, sebagai
adsorben logam yang berbahaya dan juga
sebagai pakan ternak, namun sampai
sekarang eceng gondok tetap dianggap
sebagai tanaman pengganggu. Oleh karena
itu banyak upaya dilakukan untuk
memberantasnya walaupun amat sulit karena
pertumbuhannya yang amat cepat. Eceng
gondok sebenarnya mengandung
lignoselulosa, sedangkan selulosa merupakan
bahan untuk pembuatan kertas, selain itu,
dengan kandungan selulosanya,
Tabel 2. Komposisi Kimia Eceng Gondok
Senyawa Kimia Persentase (%)
Selulosa 64,51
Pentosa 15,61
Lignin 7,19
Silika 5,56
Abu 12
(Sumber : Enny Kriswiyanti , 2009)

Eceng gondok bisa juga digunakan
sebagai bahan pembuatan bioetanol yang
sekarang ini amat diperlukan untuk mengatasi
berkurangnya produksi minyak dunia. Pada
proses pembuatan kertas maupun bioetanol
dari bahan berselulosa ada tahap yang harus
dilakukan yaitu pemisahan senyawa lignin
yang terkandung di dalamnya sehingga
diperoleh selulosanya
Proses yang dilakukan pada penelitian
pembuatan bietanol ini yaitu delignifikasi,
hidrolisis asam, fermentasi alcohol dan
evaporasi.
1. Delignifikasi
Metode perlakuan kimia yang umum
menggunakan asam lemah dan larutan basa
untuk proses delignifikasi. Delignifikasi atau
pretreatment biomassa lignoselulosa harus
dilakukan untuk mendapatkan hasil yang
tinggi di mana penting untuk pengembangan
teknologi biokonversi dalam skala
pretreatment merupakan tahapan yang
banyak memakan biaya dan berpengaruh
besar terhadap biaya keseluruhan proses.
Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula
yang diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa
pretreatment kurang dari 20 %, sedangkan
dengan pretreatment dapat meningkat
menjadi 90 % dari hasil teoritis. Tujuan dari
delignifikasi adalah untuk membuka struktur
lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih
mudah diakses oleh enzim yang memecah
polimer polisakarida menjadi monomer gula.
2. Hidrolisis
Pada proses pembuatan etanol dengan
bahan baku selulosa, dilakukan proses
hidrolisis terlebih dahulu, hal ini bertujuan
untuk mengubah selulosa menjadi glukosa
(dengan bantuan air dan asam). Hidrolisis
adalah suatu proses kimia yang menggunakan
H
2
O sebagai pemecah suatu persenyawaan
termasuk inversi gula, saponifikasi lemak dan
ester, pemecahan protein dan
reaksi Grignard. H
2
O sebagai zat pereaksi
dalam pengertian luas termasuk larutan asam
dan basa (dalam senyawa organik, hidrlisis,
netralisasi).
3. Fermentasi
Fermentasi adalah ilmu yang
dianggap sangat tua karena semenjak zaman
dahulu telah banyak dilakukan pembuatan
makanan dan minuman yang merupakan hasil
fermentasi. Seperti di Yunani, bangsa ini
telah lama mengenal proses fermentasi untuk
pembuatan minuman.
Pada zaman dahulu, orang-orang
memperbaiki mutu produksi fermentasi
dengan cara coba-coba, tanpa menyadari
mutu sesungguhnya tergantung kepada
penyediaan atau perbaikan kondisi bagi
pertumbuhan mikroorganisme sebagai pelaku
fermentasi. Barulah setelah pasteur menelaah
peranan mikroorganisme dalam proses
fermentasi pada pembuatan anggur, maka
orang-orang menjadi mengerti bahwa
mikroorganisme itulah yang menyebabkan
terjadinya fermentasi.
Fermentasi alkohol adalah proses
penguraian karbohidrat menjadi etanol dan
CO
2
yang dihasilkan oleh aktifitas suatu jenis
mikroba yang disebut khamir dalam keadaan
anaerob (Prescott dan Dunn, 1959).
Perubahan dapat terjadi jika mikroba tersebut
bersentuhan dengan makanan yang sesuai
bagi pertumbuhannya. Pada proses fermentasi
biasanya tidak menimbulkan bau busuk dan
biasanya menghasilkan gas karbondioksida.
Dalam pengolahan makanan atau
minuman penyegar, perlakuan fermentasi
mempunyai beberapa tujuan :
1. Memungkinkan nilai gizi bahan makanan.
2. Memperpanjang daya simpan bahan
makanan.
3. Meningkatkan nilai ekonomi bahan
makanan.
Secara ringkas seluruh rangkaian
reaksi yang terjadi adalah hidrolisis pati atau
polisakarida menjadi maltosa (disakarida)
kemudian dihidrolisis menjadi glukosa,
selanjutnya diubah menjadi alkohol dan gas
karbondioksida oleh Saccharomyces
cerevisae.
(C
12
H
20
O
10
) n n (C
12
H
22
O
11
)
Pati Maltosa
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 504
C
12
H
22
O
11
+ H
2
O C
6
H
12
O
6
+
C
6
H
12
O
6
Maltosa Air Glukosa Glukosa
C
6
H
12
O
6
2 C
2
H
5
OH + 2
CO
2

Glukosa (Saccharomyces Cerevisae)
Etanol
Reed et al (1982) mengatakan
bahwa untuk proses fermentasi sering
digunakan bahan-bahan yang diperoleh dari
alam dan biomass. Bahan baku yang dapat
digunakan untuk menghasilkan alkohol
antara lain :
1. Dari sakarin seperti : gula tebu, gula bit,
molase dan sari buah.
2. Dari pati-patian seperti : jagung,
gandum, padi, kentang, umbi-umbian.
3. Dari selulosa seperti : kayu, bonggol
pisang.
Meskipun pada dasarnya fermentasi
dapat langsung menggunakan enzim, tetapi
sampai saat ini industri fermentasi masih
memanfaatkan mikroorganisme, antara lain
karena cara ini jauh lebih mudah dan murah.
Kondisi yang harus dikontrol selama
fermentasi adalah :
1. Injeksi yeast
2. Sterilisasi larutan mollase
3. Penambahan zat makanan untuk yeast
4. pH dan Temperatur

FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI FERMENTASI
Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses fermentasi untuk menghasilkan etanol
adalah: sumber karbon, gas karbondioksida,
pH substrat, nutrien, temperatur, dan oksigen.
pH
pH dari media sangat mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme. Setiap
mikroorganisme mempunyai pH minimal,
maksimal, dan optimal untuk
pertumbuhannya. Untuk yeast, pH optimal
untuk pertumbuhannya ialah berkisar antara
4,0 sampai 4,5. Pada pH 3,0 atau lebih rendah
lagi fermentasi alkohol akan berjalan dengan
lambat (Volk, 1993).
Nutrien
Dalam pertumbuhannya mikroba
memerlukan nutrient. Nutrien yang
dibutuhkan digolongkan menjadi dua yaitu
nutrien makro dan nutrien mikro. Nutrien
makro meliputi unsur C, N, P, K. Unsur C
didapat dari substrat yang mengandung
karbohidrat, unsur N didapat dari
penambahan urea, sedang unsur P dan K dari
pupuk NPK (Halimatuddahliana, 2003).
Unsur mikro meliputi vitamin dan mineral-
mineral lain yang disebut trace element
seperti Ca, Mg, Na, S, Cl, Fe, Mn, Cu, Co,
Bo, Zn, Mo, dan Al (Jutono, 1972).
Temperatur
Mikroorganisme mempunyai temperatur
maksimal, optimal, dan minimal untuk
pertumbuhannya. Temperatur optimal untuk
yeast berkisar antara 25-30 oC dan
temperatur maksimal antara 35-47 oC.
Beberapa jenis yeast dapat hidup pada suhu
110 oC. Temperatur selama fermentasi perlu
mendapatkan perhatian, karena di samping
temperatur mempunyai efek yang langsung
terhadap pertumbuhan yeast juga
mempengaruhi komposisi produk akhir. Pada
temperatur yang terlalu tinggi akan
menonaktifkan yeast. Pada temperatur yang
terlalu rendah yeast akan menjadi tidak aktif.
Selama proses fermentasi akan terjadi
pembebasan panas sehingga akan lebih baik
apabila pada tangki fermentasi dilengkapi
dengan unit pendingin (Fardias, 1988).
Oksigen
Berdasarkan kemampuannya untuk
mempergunakan oksigen bebas,
mikroorganisme dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu: aerob apabila untuk
pertumbuhannya mikroorganisme
memerlukan oksigen, anaerob apabila
mikroorganisme akan tumbuh dengan baik
pada keadaan tanpa oksigen, dan fakultatif
apabila dapat tumbuh dengan baik pada
keadaan ada oksigen bebas maupun tidak ada
oksigen bebas. Sebagian besar yeast
merupakan mikroorganisme aerob. Yeast dari
kultur yang memakai aerob akan
menghasilkan alkohol dalam jumlah yang
lebih besar apabila dibandingkan dengan
yeast kultur yang tanpa aerasi. Akan tetapi
efek ini tergantung yeast yang dipergunakan
(Fardias, 1988).
4. Evaporasi
Penguapan atau evaporasi adalah proses
perubahan molekul di dalam keadaan cair
(contohnya air) dengan spontan menjadi gas
(contohnya uap air). Proses ini adalah
kebalikan dari kondensasi.
Evaporasi merupakan perpindahan
kalor ke zat cair mendidih yang sangat sering
ditemukan sehingga biasanya ditangani
sebagai satu operasi tersendiri. Tujuan
evaporasi yaitu untuk memekatkan larutan
yang terdiri dari zat terlarut yang tak mudah
menguap dan pelarut yang mudah menguap.
Evaporasi dilaksanakan dengan menguapkan
sebagian dari pelarut sehingga didapatkan
larutan cair pekat yang konsentrasinya lebih
tinggi. Evaporator adalah sebuah alat yang
berfungsi mengubah sebagian atau
keseluruhan sebuah pelarut dari sebuah
larutan dari bentuk cair menjadi uap.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 505
Evaporator mempunyai dua prinsip dasar,
untuk menukar panas dan untuk memisahkan
uap yang terbentuk dari cairan.
Evaporator umumnya terdiri dari
tiga bagian, yaitu penukar panas, bagian
evaporasi (tempat di mana cairan mendidih
lalu menguap), dan pemisah untuk
memisahkan uap dari cairan lalu dimasukkan
ke dalam kondenser (untuk
diembunkan/kondensasi) atau ke peralatan
lainnya. Hasil dari evaporator (produk yang
diinginkan) biasanya dapat berupa padatan
atau larutan berkonsentrasi. Larutan yang
sudah dievaporasi bisa saja terdiri dari
beberapa komponen volatil (mudah
menguap). Evaporator biasanya digunakan
dalam industri kimia dan industri makanan.
Evaporator dibagi menjadi beberapa jenis,
yaitu:
1. Submerged combustion
evaporator adalah evaporator yang
dipanaskan oleh api yang menyala di
bawah permukaan cairan, dimana gas
yang panas bergelembung melewati
cairan.
2. Direct fired evaporator adalah
evaporator dengan pengapian langsung
dimana api dan pembakaran gas
dipisahkan dari cairan mendidih lewat
dinding besi atau permukaan untuk
memanaskan.
3. Steam heated evaporator adalah
evaporator dengan pemanasan stem
dimana uap atau uap lain yang dapat
dikondensasi adalah sumber panas
dimana uap terkondensasi di satu sisi
dari permukaan pemanas dan panas
ditranmisi lewat dinding ke cairan yang
mendidih.

2. Metodologi
Penelitian dilakukan dengan
memotong eceng gondok kemudian di
keringkan di dalam oven dengan suhu 80C
selama 24 jam. Eceng gondok kering
diblender untuk menjadikannya lebih kecil.
Lalu menimbang sebanyak 30 gram eceng
gondok, memasukkan ke dalam Erlenmeyer
500 ml bersama dengan 100 ml NaOH 4%
dan menutup rapat Erlenmeyer dengan gabus
kemudian dipanaskan dalam autoclave pada
suhu 120
o
C selama 30 menit. Lalu campuran
didinginkan pada suhu kamar dan
memisahkan fase airnya sehingga tersisa fase
seluligninnya. Selanjutnya dilakukan proses
hidrolisis dengan menambahkan solven
sebanyak 100 ml H
2
SO
4
per sampelnya.
Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke
dalam autoclave pada suhu 121
o
C selama 45
menit. Setelah itu campuran didinginkan pada
suhu kamar. Proses yang berukutnya yaitu
proses fermentasi yang menggunakan ragi
roti (Yeast Saccaromyces Cereviseae).
Setelah itu menghubungkan erlemeyer 500
ml yang berisi eceng gondok tersebut dengan
selang karet dan ujung selang dimasukkan
kedalam air agar tidak terjadi kontak
langsung dengan udara. Selanjutnya larutan
campuran alcohol- air dimasuukan ke dalam
labu destilasi kemudian pasang labu tersebut
pada alat evaporasi dengan temperature 78-
80
0
C. Proses evaporasi dilakukan selama 1
jam-1,5 jam sampai etanol tidak menetes lagi.
Data percobaan yang diukur adalah
kadar etanol yang dihasilkan, kadar glukosa
setelah fermentasi, dan persen yield etanol.
Kadar etanol diukur dengan menggunakan
alat gas cromatrografi. Dengan menggunakan
parameter lama waktu fermentasi dan massa
ragi.

3. Hasil dan Pembahasan
Proses pembuatan etanol dari enceng
gondok yang telah dilakukan melalui proses
fermentasi dengan variasi massa ragi dan
lama fermentasi menghasilkan data seperti
pada ketiga tabel di bawah ini.
Tabel 3 berisi data tentang pengaruh
variasi lama fermentasi dan massa ragi
terhadap banyaknya fraksi cair yang
dihasilkan, tabel 4 berisi data tentang
pengaruh variasi lama fermentasi dan lama
fermentasi terhadap %yield etanol, sedangkan
tabel 5 berisi data tentang pengaruh variasi
lama fermentasi dan massa ragi terhadap
kadar (%) glukosa yang dihasilkan.

Tabel 3. Variasi Lama Fermentasi dan
Massa Ragi terhadap Fraksi cair
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 506


Gambar 3. Lama Fermentasi (hari)
Terhadap Fraksi Cair (ml)
Gambar 3 merupakan grafik data
kuantitatif yang menunjukkan hubungan
fraksi cair (ml) yang dihasilkan dengan
variasi lama fermentasi (hari) dan massa ragi.
Dalam penelitian ini, massa ragi divariasikan
2 gram, 4 gram, dan 6 gram. Sedangkan,
lama fermentasi divariasikan 24-192 jam.
Dari gambar dibawah dapat dilihat
pengaruhnya, semakin lama waktu fermentasi
maka semakin banyak fraksi cair yang
dihasilkan.
Fraksi cair maksimum yang
dihasilkan setelah proses destilasi yaitu pada
168 jam dengan massa ragi 6 gram yaitu
sebanyak 11,7 ml, sedangkan penurunan
fraksi cair terjadi pada 192 jam.. Penurunan
fraksi cair disebabkan adanya isolasi yang tak
sempurna pada sampel tersebut dan adanya
hubungan dengan kurva pertumbuhan
mikroba dimana pada 192 jam ini
pertumbuhan mikroba mengalami penurunan
yaitu menuju fase kematian sehingga fraksi
cair yang dihasilkan cenderung turun.

Tabel 4. Variasi Lama Fermentasi dan
Fraksi cair terhadap % Yield Etanol


Gambar 4. Lama Fermentasi (hari)
terhadap Yield Etanol (%)
Gambar 4 merupakan grafik
hubungan antara persen yield etanol dengan
lama fermentasi (hari) dan massa ragi (gram).
Hasil yang bisa dilihat dari grafik tersebut
yaitu kenaikan persen (%) etanol dari 24 jam
sampai 168 jam dan cenderung mengalami
penurunan pada 192 jam.. Persen (%) etanol
maksimum yang dihasilkan yaitu 51,03%
dengan massa ragi 6 gram. Semakin banyak
ragi yang terkandung semakin tinggi kadar
etanol yang dihasilkan.
Penurunan yield etanol pada 192
jam diakibatkan karena adanya reaksi
oksidasi etanol menjadi asam asetat oleh
saccharomyces cereviseae sehingga kadar
etanol yang dihasilkan menjadi lebih rendah.
Dan apabila fermentasi dibiarkan
berlangsung terus menerus dan proses
fermentasi ini terkena udara luar maka
pertumbuhan kultur akan terganggu
akibatnya bbakteri asetat (acetobacter) akan
membentuk lapisan tebal dipermukaan,
bakteri ini akan mengoksidasi etanol menjadi
asam asetat.

Tabel 5. Variasi Lama Fermentasi dan
Massa Ragi terhadap % Kadar Glukosa
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 507


Gambar 5.. Lama Fermentasi (hari)
terhadap Kadar glukosa (%)
Gambar 5 merupakan grafik yang
menunjukkan hubungan antara kadar glukosa
(%) dengan lama fermentasi dan massa ragi.
Kadar glukosa setelah proses fermentasi
mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya waktu fermentasi dan jumlah
ragi yang dipakai.
Penurunan tersebut disebabkan
karena glukosa yang dihasilkan sudah diubah
menjadi bioethanol, sehingga semakin kecil
kadar glukosa semakin besar bioethanol yang
dihasilkan atau dibentuk.
Tabel 6. Kadar Etanol Hasil Analisa
Kromatografi Gas

Analisa kadar etanol diuji
menggunakan alat kromatografi gas jenis
kolom carbowix 1500. Pada uji analisa pada
3 sampel tersebut, etanol tertinggi yaitu
sebesar 4,05%yang dihasilkan dari hasil
fermentasi dengan waktu 168 jam dan massa
ragi 6 gram. Hal ini membuktikan bahwa
kadar alkohol berbanding lurus dengan massa
ragi dan lama fermentasi.
4. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa jumlah fraksi cair yang
dihasilkan berbanding lurus dengan lama
fermentasi dan massa ragi, dimana fraksi cair
maksimum yang dihasilkan yaitu pada 168
jam dengan massa ragi sebanyak 6 gram
dengan jumlah 11,7 ml. Penurunan fraksi cair
dan kadar etanol terjadi pada 192 jam yang
disebabkan pertumbuhan mikroba pada
waktu tersebut mencapai fase kematian
sehingga fraksi cair dan kadar etanol yang
dihasilkan cenderung menurun.
Daftar Pustaka

Anonim. 2009. Apa Itu Hemiselulosa.
http://lepoktarina.blogspot.com.
Diakses pada tanggal 3 Februari
2012.

Anonim. 2011. Selulosa Etanol.
http://theadiokecenter.wordpress.co
m. Diakses pada tanggal 3 Februari
2012.

Dahlan, H, Ir. 2006. Penuntun Praktikum
Mikrobiologi Industri. Inderalaya :
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Teknik Universitas Sriwijaya.

Girisuta, dkk. (2010). Pemanfaatan Eceng
Gondok Sebagai Bahan Baku
Pembuatan Bioetanol. Jakarta:
Lembaga ilmu pengetahuan
indonesia.

Isroi. 2008. Produksi Bioetanol Berbahan
Baku Biomassa Lignoselulosa :
Hidrolisis Asam. http://www.
isroi.wordpress.com. Diakses pada
tanggal 6 Febuari 2012.

Isroi. 2008. Produksi Bioetanol Berbahan
Baku Biomassa Lignoselulosa :
Pretreatment. http://www.
isroi.wordpress.com. Diakses pada
tanggal 6 Febuari 2012.

Isroi. 2009. Bioethanol Selulosa Skala Kecil.
http://www. isroi.wordpress.com.
Diakses pada tanggal 6 Febuari
2012.

Iswanto, Hery. Terbentuknya Dimensi Baru
dalam Kimia Lignoselulosa. Medan :
Universitas Sumatera Utara
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 508

Kriswiyanti, Enny. 2009. Hidrolisa selulosa
dari eceng gondok. (Jurnal Nomor 2
Volume 7). Surakarta : Jurusan
Teknik Kimia Fakultas Teknik UNS.

Othmer, Kirk. 1967. Encyclopedia Of
Chemical Technology, Vol 9. Int. J.
Mol. Sci. (9) : 14-15

Purba, Michael. 2000. Kimia 2000 Untuk
SMU Kelas 2. Jilid 2B. Jakarta :
Erlangga.

Said, E.G . 1994. Bioindusti Teknologi
Fermentasi. Jakarta : Mediyatama
Sarana Perkasa.

Sun. Y,. dan Cheng, J,. 2002. Hydrolysis of
Lignosellulosic materials for ethanol
production : a review. Biosource
Technology 83, 1-11.

Taherzadeh M.J. dan K. Karimi. 2008.
Pretreatment of Lignocellulosic
Waste to Improve Bioethanol and
Biogas Production. Int. J. Mol. Sci.
(9) : 1621-1651

Tim Penulis. 2011. Modul Praktikum
Laboratorium Kimia Analitik
Instrumen. Palembang : Politeknik
Negeri Sriwijaya.

UKM, B. 2009. Bahan Bakar Nabati
(Bioetanol). Khalifah Lantabira :
Yogyakarta
































Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 509
EL-13

Freon Ramah Lingkungan, Musicool

Normaliaty Fithri
Universitas Bina Darma, Teknik Elektro, Palembang, 30265, Indonesia


Abstract
Ozone Damaging Materials such as CFC (Chlorofluorocarbons) and HCFCs (Hydro-
CFC) not only destroy the ozone layer, but also contribute to global climate change,
because these materials have a global warming potential (GWP - Global Warming
Potential) is quite high. Recognizing this, it is important for us all to actively
participate in a real action to protect the ozone layer and simultaneously control and
stop Global Warming. Musicool is an environmentally friendly Freon substitute
issued by Pertamina in efforts Stop Global Warming because they contain Freon
refrigerant within the Chloro Fluoro Carbon (CFC), substances that have the
potential to damage the ozone. Musicool hydrocarbon-based oil and gas produced
from the refinery which is formulated as a replacement for synthetic refrigerants.
Among other advantages of using Musicool not damage the ozone layer and does not
cause global warming, save energy electricity, more efficient, does not need
replacement parts as well as meet international requirements. Pertamina tried to
market musicl,l because the government is committed to supporting energy savings,
but the socialization of these products are expensive nearly 3 times the price of the
commonly used refrigerant. For that we need to use a shared awareness Musicoll to
save Earth from destruction.

Bahan Perusak Ozon seperti CFC (Chlorofluorocarbon) dan HCFC (Hydro-CFC)
tidak hanya merusak lapisan ozon, tetapi juga berkontribusi terhadap perubahan
iklim global, karena bahan-bahan tersebut memiliki potensi pemanasan global (GWP
Global Warming Potential) yang cukup tinggi. Menyadari hal tersebut, penting bagi
kita semua untuk ikut aktif dalam aksi nyata melindungi lapisan ozon dan sekaligus
mengendalikan serta menghentikan Pemanasan Global. Musicool merupakan
pengganti freon ramah lingkungan yang dikeluarkan oleh Pertamina dalam upaya
menghentikan Pemanasan Global karena mengandung refrigerant freon Fluoro
Carbon dalam Chloro (CFC), zat yang memiliki potensi untuk merusak lapisan ozon.
Musicool berbasis hidrokarbon minyak dan gas yang diproduksi dari kilang yang
ditujukan sebagai pengganti refrigeran sintetis. Keuntungan menggunakan Musicool
antara lain tidak merusak lapisan ozon dan tidak menimbulkan pemanasan global,
menghemat energi listrik, lebih efisien, tidak perlu suku cadang serta memenuhi
persyaratan internasional. Pertamina berusaha memasarkan musicoll, karena
pemerintah berkomitmen untuk mendukung penghematan energi, tetapi sosialisasi
produk ini mahal hampir 3 kali harga dari refrigeran yang umum digunakan. Untuk
itu kita perlu kesadaran bersama menggunakan Musicool untuk menyelamatkan bumi
dari kehancuran.

Keywords: Freon, ozone, global warming, saving energy.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 510

LATAR BELAKANG

Bahan bakar fosil adalah bahan bakar yang disediakan oleh alam dalam bentuk
senyawa campuran hidrogen dan karbon. Senyawa campuran tersebut terbentuk
melalui proses dekomposisi tumbuh-tumbuhan dan binatang selama lebih dari ribuan
tahun. Oleh karena itu meskipun tersedia oleh alam bahan bakar fosil jumlahnya
semakin terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Bahan bakar fosil terdiri dari tiga
jenis yaitu : minyak bumi (premium, solar dan minyak tanah), gas alam dan batu
bara. Pada awalnya ketersediaan bahan bakar fosil sangat melimpah. Namun, seiring
dengan berjalannya waktu dan dengan ketergantungan penggunaannya yang begitu
tinggi, maka ketersediaan bahan bakar fosil semakin menipis.
Belakangan ini banyak pihak sudah mulai menggunakan bahan bakar alternatif
sebagai pengganti bahan bakar fosil seperti bahan bakar nabati atau energi yang
mampu disediakan oleh alam secara melimpah dan dapat diperbaharui seperti energi
matahari dan panas bumi. Bahkan tidak sedikit negara yang sudah menggunakan
energi nuklir untuk digunakan sebagai pembangkit listrik.
Ketergantungan yang begitu tinggi terhadap bahan bakar fosil membuat beberapa
negara termasuk Indonesia terlambat mengembangkan bahan bakar alternatif sebagai
sumber energi. Keterlambatan tersebut juga disebabkan selama ini potensi pendapatan
negara dari sektor minyak bumi, gas dan batu bara sangat diandalkan. Sebenarnya
sudah banyak penemuan mengenai energi alternatif yang lebih murah, dengan
ketersediaan yang melimpah dan lebih ramah lingkungan. Namun semua itu harus
mendapatkan perhatian dari semua pihak. Karena untuk membangun instalasi
pembangkit energi yang kompleks dan dapat memenuhi hajat hidup orang banyak
membutuhkan dana yang tentu saja tidak sedikit.
Akan tetapi pengembangan energi alternatif harus segera di mulai demi
kelangsungan hidup generasi yang akan datang. Ketergantungan banyak negara
terhadap bahan bakar fosil selama ini secara nyata telah memberikan dampak yang
sangat serius pada ketersediaan energi sebagai penopang kelangsungan hidup manusia
di muka bumi.
Cadangan minyak bumi semakin menipis, sementara jika tidak hati-hati hal yang
sama akan terjadi pada batu bara dan gas alam. Penggunaan bahan bakar fosil dengan
produk turunan seperti premium, solar, minyak tanah dan batu bara mengakibatkan
pemanasan global/global warming.
Banyak kegiatan sehari-hari kita, yang dapat menyebabkan kerusakan alam ini.
Mulai dari hasil pembuangan kendaraan bermotor hingga industri besar. Berikut ini
adalah berbagai macam jenis zat kimia yang dapat membuat udara tercemar antara
lain : CO2, CO, NO, NO2, SO2 dan SO3, Pb, CFC. Kepedulian masyarakat
internasional akan hal tersebut diatas, diwujudkan dalam bentuk mengkampanyekan
bahwa Bahan Perusak Ozon, potensi pemanasan global dan enegy effeciency
merupakan kesatuan paket yang harus diperhatikan dalam pemilihan refrigerant pada
mesin pendingin. Kondisi tersebut diatas dapat dipenuhi oleh refrigerant yang
tergolong dalam kelompok Hydrocarbon yang dikenal dengan trade mark MusiCool
Pertamina.

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengupayakan mencari sumber
energi baru sebagai alternative refrigerant yang dapat digunakan sebagai alternative
pengganti bahan yang ramah lingkungan.
Dalam melakukan Penelitian ini, untuk mendapatkan data-data dan informasi,
maka digunakan metode pengumpulan data dengan melakukan riset lapangan yang
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 511

digunakan untuk pengumpulan data yang dibutuhkan dengan cara mendapatkan
keterangan langsung dari perusahaan dan pihak-pihak intern perusahaan yang
mempunyai wewenang memberikan informasi dan data yang diperlukan dalam
penulisan ini. Sedangkan studi pustaka dilakukan untuk mencari literature yang
relevan dengan penelitian ini
PEMBAHASAN
FREON

Freon termasuk dalam syntetic refrigerant atau pendingin buatan, yaitu: Hidro,
Chloro, Fluoro dan Carbo. Ada banyak macam jenis freon, tapi tipe yang umum
dipakai sebagai pendingin ada tiga. Pertama R-12 CFC ( Chloroflurocarbon) , banyak
kita temukan pada kulkas, dispanser, maupun AC mobil di bawa tahun 1993. Kedua
R-22 HCFC ( Hidrochlorofluorocarbo) , banyak ditemukan pada pendingin ruangan
bersekala besar, seperti AC split, AC window, dan AC central pada gedung
perkantoran.

Freon memiliki Global Warming Potential ( GWP) 510 kali lebih besar dari
pada CO2. Karbondioksida dalam alam sendiri menyebabkan 9-26% efek rumah kaca.
Dengan ditambahnya karbondioksida dari kendaraan bermotor, pemanasan global
akibat efek rumah kaca semakin meningkat. Tapi kejahatan karbondioksida belum
sebanding dengan freon terkait penyebab pemanasan global.
Selain GWP yang lebih tinggi dari CO2, Freon pun memiliki ALT ( Atmosfer
Life Time) yang sangat besar, yaitu 15. Artinya gas freon akan bertahan 15 tahun di
atmosfer sebelum terurai! Berarti sejak pertama kali AC ditemukan dan dijual secara
komersil ( 1950s) , Freon baru terurai empat kali di alam ( genap tahun 2010) . Tapi
faktanya - penggunaan AC berjalan setiap tahun dan terus meningkat, penggunaan
freon yang juga tidak hanya di AC; membuat sepanjang tahun freon semakin lama
bertahan di atmosfer.
Dampak lingkungan secara tidak langsung adalah konsumsi listrik yang tinggi.
Membuat pendingin rumah tangga lebih boros energi 25-40% dari konsumsi yang
seharusnya. Selain berbahaya untuk lingkungan, freon pun berbahaya untuk
kesehatan. Cara kerja freon mengikat air, sehingga dampak langsung yang dapat
dirasakan adalah kulit yang kering.
Sistem pernafasan pun sering terganggu untuk jangka menengah dan jangka
panjangnya, khususnya jika mengalami kebocoran freon.
( GintaprimA Indonesia -gas supplies,
http://gintaprima.indonetwork.co.id/1331928/stop-freon-gunakan-musicool.htm

PENGGUNAAN HYDROCARBON

Selain syntetic refrigerant, ada juga natural refrigerant, yaitu Hydrocarbon atau
yang sering kita singkat dengan HC. Ini lah solusi yang BeON tawarkan melalui
hydrocarbon. Hydrocarbon sendiri terdapat dalam alam bebas, sayangnya
teknologinya masih rumit dan mahal, sehingga kurang populer digunakan selama ini.

Apa saja keistimewaan hydrocarbon dibanding freon?
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 512


1. HC hanya terdiri dari unsur Hidrogen ( H ) dan Carbon ( C ), yang sangat
mudah bersenyawa dengan udara, sehingga alami dan ramah lingkungan.

2. Selain ramah lingkungan, HC pun ramah terhadap kesehatan. Kulit tidak lagi
terasa kering, dan tentu menghindari masalah kesehatan jangka panjang.

3. penggunaan hydrocarbon pun menghemat listrik 15% -30% kunsumsi listrik
pendingin ruangan sehari-hari.
Dengan menggunakan HC selain menghemat listrik, dampak jangka panjangnya bagi
kesehatan kita, juga berperan aktif dalam menyelamatkan bumi kita.
( GintaprimA Indonesia -gas supplies,
http://gintaprima.indonetwork.co.id/1331928/stop-freon-gunakan-musicool.htm

LAPISAN OZON

Ozon adalah salah satu dari gas-gas yang membentuk atmosfera Bumi Molekul
oksigen (O2) yang diperlukan ketika kita bernafas membentuk hampir-hampir 20%
atmosfera Bumi. Pembentukan ozon (O3) atau pemebentukan molekul oksigen (O3),
kurang banyak dalam atmosfera yang mana kandungannya hanya 1/3,000,000 dari gas
atmosfera. Lapisan ozon tersebut terletak di lapisan atmosfera bumi, tepatnya pada
ketinggian 15 sampai 35 km dari permukaan Bumi.
Molekul-molekul ozon yang terdapat pada lapisan ozon, berfungsi untuk
menyerap 99 % sinar ultra violet ( ultra lembayung ) yang datang dari matahari dan
berfungsi untuk menjaga agar tidak sampai ke Bumi. Ini berarti ada sebagian kecil
sinar ultra violet yang sampai ke Bumi, karena sinar ultra violet juga diperlukan untuk
fotosintesa bagi tumbuh-tumbuhan di Bumi. Namun kenyataannya pada tahun 1985
para ahli meneliti adanya penipisan lapisan ozon. Para ahli menemukan adanya
lubang dan makin membesar pada lapisan ozon di Kutub.
Adanya lubang tersebut sudah pasti menyebabkan sinar ultra violet yang semula
diserap sekarang dengan mudah melalui lubang mencapai permukaan Bumi. Sinar
ultra yang berlebih ini sangat berbahaya, karena bisa menyebabkan kanker kulit dan
katarak mata.

Urutan pengrusakan oleh freon terhadap lapisan ozon :

Apabila freon dibebaskan ke udara, maka freon akan hancur terkena sinar
ultar violet matahari dan melepaskan klorin ( CL ).

Klorin akan bereaksi dengan ozon ( O3 ) membentuk oksigen ( O2 )

Akibatnya terjadi penipisan lapisan ozon dan sinar ultra violet dapat
dengan mudah menembus lapisan ozon yang tipis untuk mencapai
permukaan Bumi.

(http://dartofisika.wordpress.com/2012/03/13/freon-ozon/)


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 513

MUSICOOL
Musicool adalah refrigerant hidrokarbon yang ramah lingkungan. Banyak jenis
refrigerant yang merupakan bahan perusak ozon dan dapat menimbulkan efek rumah
kaca. Dengan menggunakan Musicool berarti Anda turut berkontribusi dalam
menjaga kelestarian lingkungan.
Musicool adalah refrigeran dengan bahan dasar hidrokarbon alam sehinggga
termasuk dalam kelompok refrigeran ramah lingkungan, yang dirancang sebagai
alternatif pengganti refrigeran sintetik kelompok Halokarbon CFC : R-12, HCFC : R-
22, dan HFC : R-134a yang masih memiliki potensi merusak alam.


Gambar 1. Simbol MUSICOOL
Pemakaian Musicool pada sistem refrigerasi yang sebelumnya menggunakan
refrigeran sintetik, tidak memerlukan penggantian komponen maupun pelumas,
karena Musicool tidak memiliki efek terhadap logam, desikan, pelumas, dan
elastomer berbahan dasar karet alam dan karet silikon.
Musicool telah memenuhi persyaratan teknis sebagai refrigeran yaitu meliputi
aspek sifat Fisika & Thermodinamika, diagram tekanan versus suhu serta uji kinerja
pada siklus refrigerasi.
Dari hasil pengujian menunjukan bahwa dengan beban pendinginan yang sama
Musicool memiliki keunggulan - keunggulan dibanding refrigeran sintetik,
diantaranya beberapa parameter memberikan indikasi data lebih kecil, seperti :
kerapatan bahan (density), rasio tekanan kondensasi terhadap evaporasi, dan nilai
viskositasnya, sedangkan beberapa parameter lain memberikan indikasi data lebih
besar, seperti : efek refrigerasi, COP, kalor laten, dan konduktivitas bahan.
(Alkylasi unit, produksi Musicool di Kilang UP-III, Plaju)
Kelebihan yang ditunjukan oleh indikasi tersebut diatas memberikan keuntungan
pada pemakaian Musicool hanya sekitar 40 % dari refrigeran sintetik, kerja kompresor
menjadi menjadi lebih ringan sehingga dapat menurunkan konsumsi energi sampai 20
%, yang berarti meningkatkan efesiensi dan menambah umur sistem pendingin.
Konversi dari refrigeran sintetik ke Musicool yang dilakukan sesuai prosedur dan
standar kerja yang berlaku akan menghasilkan kinerja dan keamanan yang baik
sehingga sasaran akhir keseimbangan antara aspek pelestarian lingkungan dan
penghematan energi dapat dirasakan.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 514



Gambar 2. MUSICOOL 12

Musicool dalam beberapa varian berdasarkan kegunaannya, yaitu:
MC-12
MC-22
MC-134
MC-600
MC-600N


Keunggulan khusus produk Musicool adalah:
Ramah Lingkungan dan Nyaman, MUSICOOL tidak beracun, tidak
membentuk gum, nyaman dan pelepasannya ke alam bebas tidak akan
merusak lapisan ozon dan tidak menimbulkan efek pemanasan global.
Hemat Energi, MUSICOOL mempunyai sifat termodinamika yang lebih baik
sehingga dapat menghemat pemakaian energy hingga 25% dibanding dengan
refrigerant fluorocarbon pada kapasitas mesin pendingin yang sama.
Lebih Irit, MUSICOOL memiliki sifat kerapatan yang rendah sehingga hanya
memerlukan sekitar 30% dari penggunaan refrigerany fluorocarbon pada
kapasitas mesin pendingin yang sama.
Pengganti Untuk Semua, MUSICOOL dapat menggantikan refrigerant yang
digunakan selama ini tanpa mengubah atau mengganti komponen maupun
pelumas.
Memenuhi Persyaratan International, Musicool memenuhi baku mutu
internasional dalam pemakaian maupun implikasi yang menyertainya.
Musicool dikemas dalam tabung ukuran 3 Kg dan 6 Kg. Musicool dipasarkan melalui
distributor yang menyalurkannya ke bengkel-bengkel, yang kemudian
menyalurkannya ke pelanggan.
MUSICOOL sebagai Refrigerant alternative :
Memiliki Sifat Fisika dan Thermodinamika yang lebih baik
Sangat ramah lingkungan, tidak merusak lapisan Ozon dan tidak menimbulkan
Efek Rumah Kaca
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 515

Familiar dengan kehidupan manusia
Kompatible terhadap semua mesin pendingin yang biasa menggunakan
Refrigeran Sintetis
Tidak merusak komponen Mesin AC
Tidak perlu penggantian komponen peralatan AC
Produk dalam negeri (Pertamina), bahan baku banyak, Supply terjamin, serta
Backup teknis tersedia
(Alkylasi unit, produksi Musicool di Kilang UP-III, Plaju)
Musicool merupakan diversifikasi produk Gas Unit Alkylasi-CD & GP PERTAMINA
UP III Plaju.


Gambar 3. Alkylasi unit, produksi Musicool di Kilang UP-I I I , Plaju

SIMPULAN

Adapun simpulan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Musicool merupakan sumber energi baru yang dapat digunakan sebagai
alternative pengganti bahan refrigerant yang ramah lingkungan
2. Musicool Sangat ramah lingkungan, tidak merusak lapisan Ozon dan tidak
menimbulkan Efek Rumah Kaca.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 516


DAFTAR PUSTAKA
[1] Alkylasi unit, produksi Musicool di Kilang UP-III, Plaju.
[2] GintaprimA Indonesia -gas supplies, available at :
http://gintaprima.indonetwork.co.id/1331928/stop-freon-gunakan-musicool.htm,,
diakses 14 September 2012.
[3] (http://dartofisika.wordpress.com/2012/03/13/freon-ozon/)

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 517

EL-14

PENGENDALIAN P ENCEMARAN UDARA DI
PERKOTAAN
Pendekatan Ekosistem Pada Pengendalian Di Kota jakarta

Parino Rahardjo
Jurusan Perencanaan kota dan Realestat
Universitas Tarumanagara
Parinor19@gmail.com
Abstrak
Jumlah penduduk yang tinggi dapat mengakibatkan masalah lingkungan di
pekotaan khususnya pada kualitas udara. Kualitas udara ini dipengaruhi oleh adanya
industri, transportasi, maupun oleh rumah tangga dan perkantoran. Kota Jakarta
sebagai obyek studi dipilih karena sebagai Ibu kota Negara memiliki beragam fungsi
dan kegiatan. Jumlah penduduk berdasarkan hasil sensus tahun 2010, penduduk
Jakarta telah mencapai 9.588.198 jiwa, pada siang hari jumlah penduduk dapat
bertambah sekitar 2,5 juta jiwa yang merupakan warga commuter. Pada tahun 2010
jumlah kendaraan di jakarta mencapai 11.362.396 unit kendaraan. Terdiri dari
8.244.346 unit kendaraan roda dua dan 3.118.050 unit kendaraan roda empat.
(Sumber:http://spektrumdunia.blogspot.coml). Jumlah kendaraan pada pagi dan siang
hari akan bertambah besar jumlahnya mengingat banyak warga sekitar kota Jakarta
(Bogor, Tanggerang, bekasi ) bekerja di Jakarta, indikasi ini terlihat dengan
mengularnya kendaraan yang masuk Jakarta melalui jalan Tol, menurut Polda Metro
Jaya jumlahnya mencapai 70 ribu kendaraan. Kendaraan yang berlalu lalang di jalan-
jalan Jakarta sebanyak 98 % adalah kendaraan pribadi, Menurut Ernawi (2011), pada
tahun 2005, sektor transportasi bertanggungjawab atas 20.7% dari keseluruhan emisi
CO2 Indonesia ke atmosfir. Dalam kelompok sektor energi, transportasi menduduki
urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 23% dari emisi total, dibawah sektor industri
(37%) dan sektor pembangkit listrik (27%), namun berada diatas sektor permukiman
(9%) dan lain-lain (4%). Apabila dilihat lebih jauh, 90.7% emisi karbon dilepaskan
dari sektor transportasi jalan, jauh berada diatas emisi transportasi lainnya :
transportasi air (6.9%), transportasi udara (2.4%) dan kereta api (0.1%). Fakta ini
menunjukkan adanya ketergantungan yang sangat besar dalam pilihan moda
transportasi masyarakat pada kendaraan bermotor pribadi untuk menunjang kegiatan
sosial-ekonomi, khususnya di kota-kota metropolitan, seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung dan Semarang. Penggunaan bahan bakar konvensional (fosil) sangat
berpengaruh terhadap rendahnya kualitas udara diperkotaan hal ini disebabkan dengan
gas buangan yang dihasilkan oleh Industri, Transportasi, Perkantoran, dan Rumah
Tangga. Buruknya kualitas udara akan berpengaruh kepada kesehatan masyarakat
atau warga kota untuk mengurangi dampak buruk tersebut perlu dilakukan
pengendalian pencemaran akibat emisi dengan berbagai alternatif. Dalam kajian ini
penulis akan membatasi pada Transportasi darat/jalan raya dan Rumah Tangga.
Tujuan Penelitian adalah untuk mengkaji alternatif pengendalian Pencemaran Udara
di Perkotaan. Metode Penelitian Deskriptif Analisis dengan mengunakan data
sekonder, dan studi literatur dan dilengkapi dengan observasi lapangan. Hasil
Penelitian, Pengendalian pencemaran dapat dilakukan dengan Pendekatan Ekosistem,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 518

Bahan Bakar Alternatif, Pengelolaan Sampah Terpadu, Kualitas Mesin kendaraan,
dan Angkutan Umum Perkotaan.
Kata Kunci :Bahan Bakar Alternatif, Ruang Terbuka Hijau, Sumber Pencemar
Udara

I. Pendahululuan

1.1 Latar Belakang

Wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota
Administrasi dan satu Kabupaten Administratif, yaitu: Kota Administrasi Jakarta
Selatan (141,27 km2), Kota Administrasi Jakarta Timur (188,03 km2), Kota
Administrasi Jakarta Pusat (48,13 km2), Kota Administrasi Jakarta Barat (129,54
km2) dan Kota Administrasi Jakarta Utara (146,66 km2) serta Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu (8,70 km2). Berdasarkan Sensus Penduduk (SP) tahun
2010, jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 9.588.198 orang, rata-rata tingkat
kepadatan penduduk DKI Jakarta adalah sebanyak 14.476 orang/km2 dengan laju
pertumbuhan penduduk DKI Jakarta per tahun selama sepuluh tahun terakhir yaitu
dari tahun 2000-2010 sebesar 1,40 persen. Pada tahun 2010 jumlah kendaraan di
jakarta mencapai 11.362.396 unit kendaraan. Terdiri dari 8.244.346 unit kendaraan
roda dua dan 3.118.050 unit kendaraan roda empat.
(Sumber:http://spektrumdunia.blogspot.coml). Jumlah kendaraan ini pada pagi dan
siang hari akan bertambah besar jumlahnya mengingat banyak warga sekitar kota
Jakarta (Bogor, Tanggerang, bekasi ) bekerja di Jakarta, indikasi ini terlihat dengan
mengularnya kendaraan yang masuk Jakarta melalui jalan Tol, menurut Polda Metro
Jaya jumlahnya mencapai 70 ribu kendaraan. Kendaraan yang berlalu lalang di jalan-
jalan Jakarta sebanyak 98 % adalah kendaraan pribadi, hal ini dengan mudah kita lihat
di kemacetan lalu lintas. Jumlah penduduk yang tinggi dapat mengakibatkan masalah
lingkungan di pekotaan yang cukup tinggi, khususnya pada kualitas udara. Kualitas
udara ini dipengaruhi oleh adanya industri, transportasi, maupun oleh rumah tangga
dan perkantoran. Buruknya kualitas udara akan berpengaruh kepada kesehatan
masyarakat atau warga kota tersebut.
Pada tahun 2005, sektor transportasi bertanggungjawab atas 20.7% dari keseluruhan
emisi CO2 Indonesia ke atmosfir Menurut Ernawi (2011),. Dalam kelompok sektor
energi, transportasi menduduki urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 23% dari
emisi total, dibawah sektor industri (37%) dan sektor pembangkit listrik (27%),
namun berada diatas sektor permukiman (9%) dan lain-lain (4%). Angka ini
menunjukkan posisi penting sektor transportasi relatif terhadap sektor lainnya dalam
konteks mitigasi perubahan iklim. Apabila dilihat lebih jauh, 90.7% emisi karbon
dilepaskan dari sektor transportasi jalan, jauh berada diatas emisi transportasi lainnya
: transportasi air (6.9%), transportasi udara (2.4%) dan kereta api (0.1%). Fakta ini
menunjukkan adanya ketergantungan yang sangat besar dalam pilihan moda
transportasi masyarakat pada kendaraan bermotor pribadi untuk menunjang kegiatan
sosial-ekonominya, khususnya di kota-kota metropolitan, seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung dan Semarang. Menurut estimasi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup,
pertumbuhan emisi gas-gas rumah kaca yang bersumber dari transportasi jalan
mencapai 8 hingga 10% (lihat ICCSR, 2010).
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 519

Penggunaan bahan bakar konvensional (fosil) sangat berpengaruh terhadap rendahnya
kualitas udara diperkotaan hal ini disebabkan dengan gas buangan yang dihasilkan
oleh Industri, Transportasi, Perkantoran, dan Rumah Tangga, untuk mengurangi
dampak buruk tersebut perlu dilakukan pengendalian pencemaran akibat emisi dengan
berbagai alternatif, antara lain, menggunakan bahan bakar alternative yang dapat
diperbaharui, penanaman pohon, dan pengembangan ruang terbuka hijau, gaya hidup
(life style), dan melakukan pemeliharaan (maintenance) sumber panghasil gas
buangan seperti mesin.
Dalam kajian ini penulis akan membatasi pada Transportasi darat/jalan raya,
Perkantoran dan Rumah Tangga dengan mengunakan data sekonder, dengan referensi
dari jurnal, dan literatur.
2. Kondisi Kualitas Udara di Jakarta
2.1 Emisi
Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain
industri, transportasi, perkantoran, perumahan, dan sampah. Berbagai Transportasi
merupakan penyumbang terbesar terhadap pencemaran udara di kota-kota besar.
Standar Euro 2 yang menerapkan bahan bakar bebas Timbal untuk bensin dan
kandungan sulfur untuk bahan bakar solar dibawah 500 ppm. Emisi kendaraan
bermotor berupa senyawa kimia yang berbahaya bagi atmosfir berasal dari proses
pembakaran adalah karbon dioksida, karbon monoksida, nitrogen oksida, sulfur
dioksida, dan beberapa partikel mikro seperti timbal sebagai campuran bahan bakar.
Dari tahun ke tahun terjadi peningkatan penggunaan kendaraan bermotor baik untuk
kegiatan pribadi maupun sebagai angkutan umum sangat pesat. Adapun kandungan
emisi gas buang yang sangat mencemari udara adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Jenis Pencemar
Karbon monoksida (CO)
Nitrogen Dioksida (NO)
Sulfur Oksida (SO)
Hidrokarbon (HC)
Debu ataupun partikel-partikel halus
Partikel Emisi Gas Buang lainnya
Timbal (Pb).
(sumber: http://hendrisgombong.blogspot.com)
Tingkat pencemaran udara di kota Jakarta sudah pada level pencemaran berat bila
dibanding dengan beberapa kota di Asia seperti Tokyo, Beijing, Seoul, Taipei,
Bangkok, Kuala Lumpur dan Manila. Salah satu sumber menyebutkan, berdasarkan
data yang ada, total estimasi pollutant CO yang diestimasikan dari seluruh aktivitas di
Jakarta sekitar 686,864 ton/tahun atau 48,6 persen dari jumlah emisi lima polutan.
Sebagian besar sumber pencemaran udara di Jakarta (sekitar 80%) berasal dari sektor
transportasi, dan 20 persen industri serta limbah domestik. Sedangkan emisi karbon
akibat deforestasi dan degradasi hutan sebesar 20 persen
.Tahun 2005 tingkat konsentrasi PM10 sebesar 68,5 U/mg sedangkan tahun
2010 sebesar 48,8 U/mg, tingkat konsentrasi NO2 sebesar 36 U/mg di tahun 2005,
dan di tahun 2010 turun menjadi 20,22U/mg, dan konsentrasi CO2 tahun 2005 1,67
u/mg mengalami penurunan tahun 2010 menjadi 0,7 U/mg. Pencemaran udara
terbesar disumbang oleh kendaraan bermotor sekira 70 persen. Tingkat baku mutu
berdasarkan Keputusan Gubernur No.551/2001, menetapkan untuk PM10 sebesar 150
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 520

u/mg, CO sebesar 60 u/mg dan NO2 sebesar 60 u/mg.( Sumber :
http://www.today.co.id). Sumber CO buatan antara lain kendaraan bermotor, terutama
yang menggunakan bahan bakar bensin. Berdasarkan estimasi, Jumlah CO dari sumber
buatan diperkirakan mendekati 60 juta Ton per tahun. Separuh dari jumlah ini berasal
dari kendaraan bermotor yang menggunakan bakan bakar bensin. Didalam laporan WHO
(1992, dalam depkes.go.id) dinyatakan paling tidak 90% dari CO diudara perkotaan
berasal dari emisi kendaraan bermotor. Kadar CO diperkotaan cukup bervariasi
tergantung dari kepadatan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar bensin
dan umumnya ditemukan kadar maksimum CO yang bersamaan dengan jam-jam sibuk
pada pagi dan malam hari. Pengaruh CO kadar tinggi terhadap sistem syaraf pusat dan
sistem kardiovaskular telah banyak diketahui.
Oksida Nitrogen (NOx) adalah kelompok gas nitrogen yang terdapat di atmosfir
yang terdiri dari nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2). Nitrogen
monoksida merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau sebaliknya nitrogen
dioksida berwarna coklat kemerahan dan berbau tajam. Kadar NOx diudara perkotaan
biasanya 10100 kali lebih tinggi dari pada di udara pedesaan. Kadar NOx diudara
daerah perkotaan dapat mencapai 0,5 ppm (500 ppb), berasal dari kendaraan
bermotor, Oksida Nitrogen seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia. Penelitian
menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Selama ini belum
pernah dilaporkan terjadinya keracunan NO yang mengakibatkan kematianNO2 bersifat
racun terutama terhadap paru. Kadar NO2 yang lebih tinggi dari 100 ppm dapat
mematikan sebagian besar binatang percobaan dan 90% dari kematian tersebut
disebabkan oleh gejala pembengkakan paru ( edema pulmonari ). Kadar NO2 sebesar 800
ppm akan mengakibatkan 100% kematian pada binatang-binatang yang diuji dalam
waktu 29 menit atau kurang. Pemajanan NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit
terhadap manusia mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.(depkes.go.id).
Hidrokarbon merupakan komponen yang berperan dalam produksi oksidan
fotokimia. Reaksi ini juga melibatkan siklus fotolitik NO2. Polutan sekunder yang
dihasilkan dari reaksi hidrokarbon dalam siklus ini adalah ozon dan peroksiasetilnitrat.
Struktur Hidrokarban (HC) terdiri dari elemen hidrogen dan korbon dan sifat fisik HC
dipengaruhi oleh jumlah atom karbon yang menyusun molekul HC. HC adalah bahan
pencemar udara yang dapat berbentuk gas, cairan maupun padatan. Semakin tinggi
jumlah atom karbon, unsur ini akan cenderung berbentuk padatan. HC yang berupa gas
akan tercampur dengan gas-gas hasil buangan lainnya. Sedangkan bila berupa cair
maka HC akan membentuk semacam kabut minyak, bila berbentuk padatan akan
membentuk asap yang pekat dan akhirnya menggumpal menjadi debu. Sumber HC
dapat pula berasal dari sarana transportasi. Kondisi mesin yang kurang baik akan
menghasilkan HC. Pada umumnya pada pagi hari kadar HC di udara tinggi, namun
pada siang hari menurun. Sore hari kadar HC akan meningkat dan kemudian menurun
lagi pada malam hari. Pengaruh hidrokarbon aromatic pada kesehatan manusia dapat
terlihat pada tabel 3, dibawah ini.
Tabel 2. Pengaruh Hidrokarbon Terhadap Kesehatan
Jenis Hidrokarbon Konsentrasi ( ppm ) Dampak Kesehatan
100 Iritasi membran mukosa
3.000 Lemas setelah
1
/2 - 1 Jam

7.500
Pengaruh sangat berbahaya setelah
pemaparan 1 jam

20.000 Kematian setelah pemaparan 5 10 menit
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 521

Toluena ( C7H8 ) 200
Pusing lemah dan berkunang-kunang setelah
pemaparan 8 jam

600
Kehilangan koordinasi bola mata terbalik setelah
pemaparan 8 jam
Sumber :depkes.go.id, 2010.
Partikulat debu melayang (Suspended Particulate Matter/SPM) merupakan
campuran yang sangat rumit dari berbagai senyawa organik dan anorganik yang terbesar
di udara dengan diameter yang sangat kecil, mulai dari < 1 mikron sampai dengan
maksimal 500 mikron. Partikulat debu tersebut akan berada di udara dalam waktu yang
relatif lama dan dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan. Selain
dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan, partikel debu juga dapat mengganggu daya
tembus pandang mata (Visibility) dan menyebabkan iritasi pada mata Adanya ceceran
logam beracun yang terdapat dalam partikulat debu di udara merupakan bahaya yang
terbesar bagi kesehatan. Kepadatan kendaraan bermotor dapat menambah asap hitam
pada total emisi partikulat debu. Timah hitam ( Pb ) merupakan logam lunak yang
berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5C dan titik
didih 1.740C pada tekanan atmosfer. Senyawa Pb-organik seperti Pb-tetraetil dan Pb-
tetrametil merupakan senyawa yang penting karena banyak digunakan sebagai zat aditif
pada bahan bakar bensin dalam upaya meningkatkan angka oktan secara ekonomi.
keracunan Pb ada juga hubungannya dengan keterbelakangan mental tetapi belum ada
bukti yang jelas. Senyawa Pb organik bersifat neurotoksik dan tidak menyebabkan
anemia.
Pemerintah Indonesia melalui kementerian Lingkungan Hidup melakukan
penilaian terhadap kualitas Lingkungan Hidup pada provinsi yang ada di Indonesia
(Rahardjo, 2012). Posisi Jakarta Berdasarkan pengukuran Kualitas Lingkungan Hidup
tersebut secara nasional DKI Jakarta pada tahun 2009 menempati rangking 28, dan
pada tahun 2010 menempati rangking 29. Sedangkan berdasarkan provinsi di Pulau
Jawa menempati rangking ke 6, seperti terlihat dalam Tabel 4. Perhitungan kualitas
lingkungan tersebut menggunakan indeks, yang disebut Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup ( IKLH).
Tabel; 3. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup di Imdonesia
Menurut Provinsi di Pulau Jawa

Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup, Juni 2011
.Dalam laporan kualitas udara yang disampaikan BPLHD DKI Jakarta (2002)
ada beberapa permukiman dan kawasan industry yang kadar Debu/TSP (Total
Suspended Partikulat) berada diatas baku mutu yang ditetapkan oleh Pemda DKI.
Daerah Tersebut antara lain, Kalideres Jakarta Barat, Lubang Buaya Jakarta Timur,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 522

Celincing Jakarta Utara, dan kawasan Industry JEIP Jakarta Timur. Tingginya tingkat
TSP sangat berbahaya bagi kesehatan manusia seperti laporan hasil penelitian yang
dilakukan di 11 kota Kanada pada tahun 2011-2012 menyimpulkan ditemukan
adanya hubungan kematian kardiovaskular dan paparan jangka panjang yang kuat
dengan penyakit jantung iskemik dengan PM
25
( Crouse, dkk.2012. Dalam Rahardjo
2012). Penelitian di Soul Korea Selatan juga menyimpulkan adanya hubungan yang
signifikan antara Polusi udara dengan kematian akibat penyakit jantung (Ho Kim,
2003. Dalam Rahardjo 2012).
2.3 Bahan bakar alternatif untuk transportasi dan rumah tangga
Biogas sebagai bahan bakar alternatif merupakan bahan bakar yang murah
dibandingkan dengan bahan bakar fosil yang semakin langka. Penelitian di India
pembotolan biogas berikutnya akan memenuhi kebutuhan bahan bakar dalam
transportasi pedesaan, membuat desa bebas polusi dan memasok pupuk diperkaya.
Sistem pembotolan akan bekerja sebagai desentralisasi sumber bahan bakar dengan
pasokan tak terputus menggunakan sumber daya lokal, menghasilkan banyak
kesempatan untuk lapangan kerja di daerah pedesaan dan meningkatkan pendapatan
masyarakat. Pabrik pembotolan model akan memberikan penghematan sebesar 15768
liter bensin senilai biaya sekitar 0.660.000 Rs. per tahun. Ini harus ditiru di skala
massal untuk mengurangi impor produk minyak bumi, menyelamatkan lingkungan
dan menciptakan lapangan kerja di desa. Semangat di balik konsep keseluruhan
adalah untuk mengembangkan usaha mandiri pedesaan berkelanjutan dan stasiun
bahan bakar desentralisasi berdasarkan biogas kompresi ditingkatkan untuk membuat
daerah pedesaan ekonomi maju dan kompetitif dalam segala hal. Dukungan keuangan
awal yang diperlukan untuk biogas-cum-pembotolan tanaman dapat dibuat tersedia
melalui bank atau badan pemerintah atas dasar pinjaman lunak (Kapdi, Vijay. Rajesh
dan Prasad (2006).
Indonesia berdasarkan pengamatan penulis ada beberapa desa telah
memanfaatkan biogas yang berasal dari kotoran sapi yang dikonversi menjadi bahan
bakar yang di gunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Teknologi ini sangat
sederhana, sebenarnya hanya bukan kotoran sapi saja yang dapat digunakan tapi juga
kotoran manusia, oleh karena itu perlu dirancang sebuah pengolahan limbah komunal
perumahan di perkotaan seperti di wilayah Jabodetabek. Di Thailand limbah pertanian
dimanfaatkan untuk produksi biogas untuk konsumsi energi dan menjadi energy
alternatif yang tepat, tidak hanya karena ramah lingkungan kondisi, tetapi juga karena
faktor ekonomi (Touch, Keo, Warinthorn, Songkasir, Stefan, Commins,
Khouangvichit, dan Green, 2009).
Penelitian di Vxj Swedia pada 16 kota-bus kota emisi dari gas buang dari.
menunjukkan situasi saat ini dan situasi masa depan jika bus bisa menggunakan biogas
untuk bahan bakar bukan solar. Ini akan mengurangi dampak lingkungan dalam
beberapa parameter, tetapi terutama emisi karbon dioksida. Biogas juga dapat
digunakan pada mobil bensin. Mobil bensin memiliki keuntungan bahwa mereka
biasanya memiliki sistem dual-bahan bakar, dengan satu tangki untuk biogas dan satu
tangki untuk bensin.
Tabel 4. Perbandingan Emisi dari Buangan Gas Antara
Minyak Diesel dengan Biogas pada bus di Vaxjo city
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 523


Sumber: Karlsson, S (2000). Biogas for the Future OPTI-gas. Proceedings of
ALTENER 2000 conference , Toulouse, France , October 23-25 ( dalam Kapdi,
dkk 2006).
Penelitian bahan bakar alternatif yang terkait dengan pengendalian emisi
dengan meneliti tumbuhan sebagai bahan bakar nabati dilakukan oleh Nakpong dan
ootthikanokkhan (2009) berhasil mengungkapkan bahwa biodiesel bisa berhasil
diproduksi dari campuran minyak nabati (jarak pagar atau rosela atau minyak kelapa)
dan digunakan minyak goreng sebagai alkali-katalis transesterifikasi. Menggunakan
konten minyak dalam bahan baku minyak memiliki efek negatif pada pembentukan
metil ester. Produk biodiesel memiliki metil ester konten lebih tinggi dari batas
minimum untuk Thailand biodiesel (B100) spesifikasi diproduksi menggunakan
minyak / sayuran rasio minyak goreng dari 0,03 v / v optimal untuk tiga jenis bahan
baku minyak. Oleh karena itu, campuran minyak sayur dan minyak goreng bekas
dapat direkomendasikan sebagai bahan baku minyak campuran untuk produksi
biodiesel, mesin tes memberikan hasil kinerja yang memuaskan. Hal ini
mengakibatkan pengurangan pada biaya produksi biodiesel, serta mengurangi dampak
lingkungan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Wijaksana and Kusuma (2007) yang
membandingkan penggunaan minyak diesel dengan biodiesel yang berasal dari
minyak kelapa sawit hasilnya dapat dilihat dalam tabel 6. Dalam tabel ini terlihat
bahwa biodiesel lebih efisien dibandingkan dengan minyak solar/disel, tetapi dari
tenaga yang dihasilkan terlihat penggunaan minyak solar (minyak disel) lebih besar.
Table 5. Data Hasil Analysis Perbandingan antara Bahan Bakar
Minyak Solar dengan Biodisel

Sumber : Wijaksana
*
and Kusuma (2007)
Dalam hal penelitian penggunaan sel surya sebagai pembangkit listrik yang
dilakukan di Thailand memberikan hasil bahwa penggunaan sel surya lebih sedikit
menghasilkan emisi walau dalam proses transportasi dalam pengadaan sel surya, atau
dalam proses produksi juga menghasilkan emisi, tetapi secara keseluruhan lebih kecil
dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar fosil sebagai pembangkit listrik
(Chamsilpa, Vorayos and Kiatsiriroat. 2010).
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 524

Pengaruh kebijakan konversi energy yang mengubah penggunaan minyak tanah
menjadi gas, menunjukan hasil positip terhadap pengurangan emisi Slamet. S (2011).
3. Diskusi
Kota Jakarta melakukan beberapa kebijakan dalam upaya mengurangi emisi,
antara lain : mewajibkan uji emisi untuk setiap kendaraan pribadi maupun umum.
Penggunaan bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi umum, dan memberlakukan
hari bebas kendaraan.pada jalan protokol. Kebijakan ini secara signifikan berhasil
mengurangi kadar emisi di udara Kota Jakarta seperti yang telah digambarkan pada
awal bahasan makalah ini. Upaya Pemda DKI mewajibkan kendaraan melakukan Uji
Emisi, memiliki alasan yang kuat. Peningkatan emisi CO dipengaruhi oleh tingkat
pemeliharaan kendaraan sebelumnya, pada dasarnya, memperbaiki atau mengganti
platina. Emisi dan tindakan perawatan secara signifikan terkait dengan keberhasilan
uji emisi Karbon Monoksida dan Hidrokarbon. Beberapa upaya dapat meningkatkan
kemungkinan untuk lulus uji emisi CO tetapi sekaligus mengurangi kemungkinan
untuk lulus hasil uji emisi HC. Upaya untuk meningkatkan konsentrasi CO
dipengaruhi oleh tingkat dasar polutan tersebut. (Nugroho, Fujiwara, Zhang. 2011).
Dalam upaya pengendalian pencemaran udara Pemerintah DKI Jakarta telah
melakukan upaya, memproses pengelolaan sampah antra lain pemrosesan dilakukan
secara sektoral tersebar di beberapa wilayah DKI (Rahardjo. 2012), antara lain:
dengan sistim Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). Pola pengelolaan
sektoral (desentralisasi) memberikan dampak positif, karena berpotensi mengurangi
jumlah emisi yang di keluarkan oleh truk pengangkut sampah. Semula sampah dari
seluruh wilayah Jakarta dikirim menuju Bantar Gebang sebagai Tempat Pembuangan
Akhir (TPSA). Jumlah Truk sampah yang beroperasi melayani persampahan ini tiap
hari diperkirakan sebesar 1100 truk (WWW.Jakarta.Go.id). Pola Pengelolaan TPST
ini akan mengurangi penumpukan sampah, sehingga akan mengurangi gas Metana
akibat pembusukan dari sampah menumpuk yang pada akhirnya akan dapat
mengurangi efek Gas Rumah Kaca (GRK). Tempat Pembuangan Akhir sampah DKI
Jakarta di Pulo Gebang Bekasi proses pengelolaannya sudah berubah yang semula
open dumping, diubah dengan menerapkan pola pengolahan sampah secara terpadu
(TPST) dengan menggunakan teknologi tinggi pertama di Indonesia. Di TPST ini,
pengelola membangun industri pengelolaan sampah menjadi energi listrik (Power
plant), fasilitas pengomposan serta gasification. TPST Bantar Gebang direncanakan
akan menghasilkan energi listrik sebesar 26 Megawatt per hari yang sedianya akan
disalurkan untuk Gardu Induk (GI) Jawa Bali, tetapi saat ini baru dapat menghasilkan
4 MW.
Pengalihan bahan bakar fosil dengan gas yang dilakukan oleh pemerintah DKI
Jakarta, merupakan langkah yang baik dalam upaya pengurangan emisi, tindakan
pemerintah DKI Jakarta dalam upaya pengendalian emiis perlu dilanjutkan dengan
mengoptimalkan penggunaan angkutan umum masal sebagai tulang punggung moda
transportasi kota. Dengan kemampun angkut penumpag dalam jumlah besar satu kali
jalan berarti akan dapat mengurangi jumlah emisi karena pengguna kendaraan pribadi
akan beralih menggunakan angkutan masal ini. Hal ini sudah lama dilakukan
dibanyak Negara dunia bahkan di beberapa Negara tetangga seperti Singapore dan
Thailand. Pembuatan jalur sepeda, dan sarana parkir yang memadai akan mendorong
warga kota Jakarta mau menggunakannya pada jarak pendek (3-10 KM). Hari bebas
kendaraan pada saat libur, berdasarkan laporan BPLHD Jakarta dapat mengurangi
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 525

emisi, idealnya larangan ini dapat di perluas pada seluruh jalan-jalan utama di daerah
Jakarta.
Penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan sebesar 30% yang seperti
yang diamanahkan oleh UURI no 26 tahun 2007 setidaknya dapat mengurangi kadar
emisi. RTH dapat berupa Taman Kota, Taman Lingkungan Perumahan, Jalur Hijau
disepanjang jalan (pedestrian), Jalur hijau di sepanjang bantaran sungai, dan Hutan
Kota. Penanaman pohon pada RTH seperti yang telah disebutkan diatas disarankan di
tanam dengan kerapatan yang tinggi.
. Tujuh Ekotisistem Perkotaan yang berbeda ( Bolund.P., Sven.H.1999 ).telah
diidentifikasi: pohon jalan; rumput: taman, hutan kota, lahan pertanian, lahan basah,
danau: laut, dan sungai. Sistem ini menghasilkan berbagai jasa ekosistem. enam
layanan yang dapat diberikan oleh ekosistem perkotaan di Stockholm, Swedia. filtrasi
udara, peraturan iklim mikro, noise reduction, drainase air hujan, pengolahan limbah,
dan nilai-nilai rekreasi dan budaya. Pohon sebagai unsur dari Ekosistem Perkotaan
memiliki layanan seperti yang dijelaskan oleh Hirokawa,(2011), sebagai berikut :
.Pohon perkotaan Peran kanopinya (Hirokawa, 2011) berhasil dalam perbaikan
kualitas udara dan dapat membantu pemerintah federal daerah dalam memenuhi
standard udara bersih
.
.Pohon mampu menyisihkan berbagai polutan dari udara,
termasuk (tapi tidak terbatas pada) nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2),
ozon (O3), karbon monoksida (CO), dan materi partikulat (PM10)
.
Selain
menghilangkan polutan, pohon juga melepaskan oksigen dan mengurangi atmosfer
karbon oleh absorption. Meskipun beberapa dari penghapusan ini berfungsi sementara
(kadang-kadang mengakibatkan ulang pencairan atmosfer partikel) dan dibatasi oleh
potensi setiap pohon menangkap polutan volume dalam perkotaan khususnya,
dampak kualitas udara perkotaan pohon tetap signifikan dan dapat ditingkatkan
dengan perhatian produktifitas untuk cover kanopi pohon perkotaan.
Pohon juga menyediakan jasa dalam bentuk konservasi energi dan
control/pengendalian iklim. Sebagai manfaat langsung, pohon menahan sinar
matahari sebelum mencapai bangunan dan permukaan yang memancarkan panas,
seperti aspal dan bata. Pohon memberikan keteduhan dan pendinginan untuk kedua
luar dan dalam bangunan mereka menutupi, sehingga mengurangi energi yang
dibutuhkan untuk pengkondisian udara (AC) dan teknologi pengendali iklim buatan
lainnya. Selain itu, pohon menyediakan uap air mendinginkan pulau panas di
Perkotaan (Urban heat island) melalui evapotranspirasi dan lainnya secara kumulatif
manfaat tidak langsung iklim, seperti effect mitigasi dan membantu melindungi dan
memelihara infrastruktur elements abu-abu.
Memperbaiki kualitas lingkungan di Kota Jakarta yang paling ampuh dan
berkelanjutan adalah dengan memperbaiki ekosistem. Untuk mengendalikan
pencemaran udara akibat polusi yang disebabkan oleh transportasi, industri dan
pemanasan bangunan, antara lain, dengan menggunakan vegetasi yang dapat
menyaring debu/partikulat dari udara. Kemampuan penyaringan menggunakan pohon
lebih tinggi hasilnya dibandingkan semak-semak atau padang rumput (Givoni, 1991,
dalam Bound, 1990).
Dengan demikian penanaman pohon direkomendasikan dibandingkan
penanaman jenis semak atau perdu terutama pada lokasi yang memiliki tingkat polusi
udara yang tinggi demikian juga dengan Pilihan pohon konifera berdaun jarum dan
pohon yang memilki daun yang tidak gugur (Ever green) seperti mahoni, dan
trembesi.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 526

.Semua ekosistem alam di daerah perkotaan berupa danau, atau vegetasi
memiliki kemampuan mengurangi temparatur udara dan mengurangi efek pulau panas
(heat island) perkotaan. Secara substansial vegetasi dapat juga mengurangi
penggunaan energi untuk pemanas dan pengkondisian pendingin udara di daerah
perkotaan dengan meneduhkan rumah di musim panas dan mengurangi kecepatan
angin dimusim dingin. Di Chicago telah menunjukkan bahwa peningkatan tutupan
hutan sebesar 10%, atau sekitar tiga penanaman pohon per lot bangunan, dapat
mengurangi energi total untuk pemanasan dan pendinginan sebesar US $ 50-90 per
tinggal unit per tahun. (Bound, 1999).
Kebisingan dari lalu lintas dapat menimbukan masalah kesehatan bagi
masyarakat di daerah perkotaan. Perluasan Ruang Terbuka Hijau dengan permukaan
lunak (bukan aspal atau beton) dan vegetasi dengan Pohon Evergreen seperti Mahoni
lebih disarankan karena sangat efektif menurunkan tingkat kebisingan.


3. Kesimpulan
Berdasarkan bahasan diatas dapat disimpulkan, bahwa pengendalian
pencemaran di Jakarta dapat dilakukan dengan beberapa upaya sebagai berikut :
Penggunaan bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui (renewable) sebagai
pengganti bahan bakar fosil dapat mengurangi kadar emisi. Bahan bakar alternatif
yang dapat diperbaharui dapat menggunakan bahan baku nabati (tumbuhan) antara
lain, Jarak Pagar, Kelapa/minyak goreng), dapat dicampurkan pada minyak diesel, di
Indonesia saat ini minyak diesel dikenal dengan BioDiesel yang merupakan hasil
campuran antara minyak diesel dengan minyak kelapa sawit. Bahan bakar yang
berasal gas Biogas bisa dikembangkan dari kotoran ternak, dan memungkinkan
kotoran manusia untuk digunakan di daerah perkotaan sebagai bahan bakar untuk
kebutuhan Rumah Tangga. Sebagai pembangkit listrik pengunaan sel surya dapat
dilakukan. Transportasi umum berbahan bakar gas sebagai tulang punggung
transportasi di Kota Jakarta penggunaannya dapat diperluas dengan mengharuskan
seluruh angkutan umum menggunakan bahan bakar gas, disamping itu peremajaan
angkutan umum di Jakarta sudah menjadi keharusan. Kewajiban seluruh Kendaraan
yang berlalu lalang di jalan-jalan Jakarta untuk uji emisi perlu dilaksanakan.
Pembuatan jalur sepeda dapat di perluas sehingga masyarakat dapat memiliki
alternatif sebagai alat transportasinya. Hari bebas kendaraan bermotor yang telah
dilakukan saat ini dapat di perluas keseluruh jalan utama di wilayah Kota Jakarta
(Selatan, Utara, Timur, dan Barat).
Ruang Terbuka Hijau dengan luas 30 % seperti yang diamanahkan UURI no 26
tahun 2007 perlu di penuhi, demikian juga intensitas penanaman pohon dengan
kerapatan yang tinggi dan pohon dengan dedaunan yang memiliki kerapatan
disarankan, penanaman dapat memanfaatkan badan jalan dan sungai maupun ruang
terbuka yang ada di Bandara SUTA, Halim Perdana Kusuma, Jalan Tol dalam kota
yang dimanfaatkan secara optimal untuk penanaman pohon.
Pengelolaan sampah secara terpadu yang tersebar di beberapa wilayah dan
mengonversi sampah menjadi tenaga listrik, akan berdampak positif terhadap
pengendalian emisi yang berujung mengurangi efek Gas Rumah Kaca (GRK).
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 527

Daftar Pustaka
Bolund. P., Sven., 1999. Ecosystem services in urban areas. Journal
EcologicalEconomics.293301.Elsevier.
http://www.eve.ucdavis.edu/catoft/eve101/
Hirokawa .K.H. 2011, Sustainability and the urban forest. http://ssrn.com/
Girardet. H, Mendonca. M. 2009. A Renewable World, energy, Ecology, Equality.
London,Green Book Ltd.
Miller, 2006. Environment science. Edition
11.
Belmont
,
Thomson
Sarukhan.J,Whyte.N.Editor. 2005. Ecosystem And Human WellBeing.
Washington.DC,World Resuorces Institute.
Touch.V,Keo.S,Songkasiri.W,Stefan.C,Commins.T,Khouangvichit.S,and Green
.
G.
2009. Use of solid waste for small-scale biogas production for rural
household energy consumption: case study in Takaev Province,
Cambodia. Asian Journal on Energy and Environment,ISSN 1513-4121.
www.asian-energy-journal.
______Parameter Pencemar Udara dan dampaknya Terhadap Kesehatan.
www.depkes.go.id
Chamsilpa.M., Vorayos.N, and Kiatsiriroat.T. 2010. Environmental impact
analysis of solar cell power plant compared with fossil fuel power
plants in Thailand. Asian Journal on Energy and Environment,ISSN
1513-4121. www.asian-energy-journal
Dahlan.N.E. 1989. The Impact of Air Pollution on Human Health and
Some Components of the Natural Resources. Media Konservasi Vol. II
WWW.journal.ipb.ac.id/index.php/konservasi/.
Kapdi.S.S,Vijay.K.V, Rajesh.K.S and Prasad.R. 2006. Upgrading biogas for
utilization as a vehicle fuel. Asian Journal on Energy and
Environment.ISSN 1513-4121.www.asian-energy-journal
Nakpong.P, and Wootthikanokkhan.S. 2009. Biodiesel production from mixtures of
vegetable oil and used cooking oil. Asian Journal on Energy and
Environment .ISSN 1513-4121.www.asian-energy-journal
Budi. S.N, Akimasa Fujiwara, Junyi Zhang. 2011. Exploring Variation of
Maintenance Action and Its Impacts on Emission and Cost in Jakarta City.
Energy and Environment Research Vol. 1, No. 1. www.ccsenet.org/eer.
Slamet.S.L. 2011. Skenario Emisi CO2 Di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Pemanasan Global dan Perubahan Global Fakta, Mitigasi, dan Adaptasi,
ISBN :978-979-17490-0-8. lilik@bdg.lapan.go.id, lilik_lapan@yahoo.com
Wijaksana.H. 2007. An Experimental Study on Diesel Engine Performances Using
Crude Palm Oil Biodiesel. Asian Journal on Energy and
Environment.ISSN 1513-4121.www.asian-energy- journal.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 528

EL-15

PENGARUH EMISI CO
2
DI ATMOSFER PADA KEHIDUPAN
MANUSIA

Ristika Wulandari
1

1
Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Universitas Lampung, Jl. Prof. Dr.
Soemantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung
Phone: +681 379 194285, Fax: (0721) 704947
Email: wulandariristika@ymail.com


ABSTRAK
Kemajuan industri menimbulkan naiknya sampah ke darat, laut, dan udara yang
berlanjut dengan perusakan gas ozon di kutub atau lubang ozon di kutub dan
konsentrasi gas buang yang menjadi selimut gas atau gas rumah kaca. Efek rumah
kaca ini dapat mencegah terlepasnya panas matahari ke luar angkasa. Menurut data
dari PBB, urutan pertama negara penghasil emisi karbondioksida per kepala per
tahun terbesar adalah Amerika Serikat sebanyak 20 ton. Jadi, untuk mengurangi
dampak dari efek rumah kaca adalah mengurangi konsentrasi CO
2
pada atmosfer,
mendaur ulang barang bekas, dll.

Key word: Efek rumah kaca, emisi karbondioksida, dan konsentrasi gas buang.

1. PENDAHULUAN
Saat ini perkembangan dan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atau yang
sering disebut Iptek memang memberikan dampak yang positif bagi kehidupan, yaitu
dapat menyederhanakan dan mempermudah aktivitas-aktivitas dalam kehidupan.
Namun, tidak hanya dampak positif saja yang diberikan oleh kemajuan di bidang
iptek ini, tetapi juga dampak-dampak negative. Misalnya saja, berkat adanya
kemajuan iptek manusia tak perlu lagi berjalan kaki untuk menempuh perjalanan yang
jauh ataupun dekat. Karena saat ini sudah banyak sepeda motor dan mobil yang
mempercepat dan memudahkan kita menuju ke suatu tempat. Namun asap dari
kendaraan bermotor ini dapat menyebabkan polusi dan gas rumah kaca apabila
kadarnya telah berlebih.
Tidak hanya itu, pembakaran fosil seperti pada pembangkitan tenaga listrik,
kendaraan bermotor, AC, komputer, pembakaran hutan juga menyebabkan
konsentrasi gas rumah kaca meningkat (Gambar 1). Masalah lain yang juga kita
alami saat ini adalah meningkatnya temperatur rata-rata permukaan bumi. Dari tahun
1880-1940 temperatur bumi naik hingga 0,6
0
C. Lalu kembali menurun 0,3
0
C dari
tahun 1940-1975. Kemudian naik secara perlahan-lahan sejak tahun 1975. Masalah-
masalah lingkungan ini makin lama makin bertambah, terlebih saat ini berhembus
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 529

masalah yang lebih besar mengenai efek rumah kaca dan global warming. Oleh
karena itu masalah-masalah tersebut diatas akan di bahas dalam makalah ini. Apa
sebenarnya pengaruh emisi CO
2
di atmosfer terhadap kehidupan manusia, global
warming, penyebab efek rumah kaca, dampak-dampak yang diberikan, dan
keterkaitan masalah-masalah tersebut diatas satu sama lain. Semua ini akan saya coba
cari tahu dan membahasnya dalam makalah ini.

2.ISI
2.1. PENYEBAB EFEK RUMAH KACA
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon
dioksida (CO
2
) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO
2
ini
disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak , batu bara dan bahan
bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut
untuk menyerapnya.
Energi yang masuk ke Bumi:
25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer
25% diserap awan
45% diserap permukaan bumi
5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi
Energi yang diserap dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh
awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar inframerah yang dipancarkan bumi
tertahan oleh awan dan gas CO
2
dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan
bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek
rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh
berbeda. [5]
Selain gas CO
2
, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah belerang
dioksida, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO
2
) serta beberapa
senyawa organik seperti gas metana dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas tersebut
memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca (Gambar 3).


2.2. AKIBAT EFEK RUMAH KACA
Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya
perubahan iklim yang sangat ekstrem di bumi. Hal ini dapat
mengakibatkanterganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi
kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global
mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat
menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan
meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan
permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh
yang sangat besar. [8]
Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-
rata bumi 1-5 C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti
sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 C sekitar
tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO
2
di atmosfer, maka akan
semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap
atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 530

2.3. DAMPAK YANG DIAKIBATKAN OLEH EMISI CO
2
DI ATMOSFER
Konsentrasi CO
2
yang tebal diatmosfer bumi menyebabkan emisi panas yang
dikeluarkan oleh makhluk ataupun benda lain di muka bumi tidak dapat dilepaskan
sehingga suhu bertambah panas di didalam lingkungan bumi. efek berantainya adalah
apabila ketebalan mencapai batas limit maka sinar matahari tidak akan mamapu lagi
menembus sampai kepermukaan bumi. logikanya apabila konsentrasi sudah mencapai
titik jenuh tersebut maka bumi akan mengalami gelap karena radiasi panas tidak
mampu menembus bumi akibat dipantulkannya kembali keluar angkasa. Dengan
demikian maka suhu bumi akan turun drastis dan permukaan air akan membeku. Efek
lain dari emisi gas rumah kaca adalah hewan & ikan dibumi akan mengalami
kerusakan jaringan dan reproduksi, kerabang telur ayam akan susah terbentuk telur
ikan akan pecah sebelum diselaputi lendir pelindung. sehingga populasi hewan dan
ikan akan menurun bahkan musnah. Tumbuhan yang sebetulnya memerlukan CO
2

untuk fotosintesis justru tidak dapat melakukan fungsi tersebut dikarenakan sel
fotosintesis pada daun tertutup jelaga yang merupakan efek samping dari CO
2
, pada
permukaan daun akan timbul kutikula daun atau bintil bintil daun, itu seperti kanker
pada hewan atau manusia. Ganggang dan fitoplankton pun setali tiga uang dengan
tumbuhan besar, sel fotosintesis tidak akan berfungsi. [3]
Yang jelas apapun bila tidak sesuai ukuran akan mengakibatkan kerusakan. coba
bila anda makan sesuai porsi dengan makan yng berlebih sampai kekenyangan, maka
akan jelas efeknya. Makan sesuai porsi akan jadi sehat. makan berlebih perut jadi
sakit dan kelanjutannya ke organ lainnya. demikian juga emisi gas rumah kaca (CO
2
)
bila berlebihan akan menimbulkan penyakit, tetapi bila sesuai porsi akan membuat
sehat tumbuhan dan bumi. Jadi yang jelas akibat global warming yang disebabkan
efek rumah kaca bukan akan menambah jumlah ikan karena air yng semakin banyak
dan tumbuhan bukannya menghasilkan oksigen bertambah banyak karena
berlebihannya CO
2
. Efek rumah kaca itu tidak berbanding lurus dengan melimpahnya
sinar matahari. Rasa hangat dan panas yang kita rasakan itu bukan dari sinar matahari
tapi dari emisi/radiasi yang terjebak dibawah permukaan gas CO
2
yang tebal.
Perlu dicatat emisi,radiasi dan sinar itu hal yang berbeda. Sinar matahari kebumi
membawa serta radiasi dan emisi (emisi adalah efek hasil pemanasan yang berupa
gas, sedangkan radiasi dihasilkan akibat tidak stabilnya elektron akibat tumbukan
antara elektron yang akan menimbulkan pemanbahan atau pengurangan jumlahnya
untuk mencapai kesetabilan, tetapi hal ini juga mempengaruhi inti atomnya, akibatnya
akan mengeluarkan sinar seperti alfa, gama, beta, ultraviolet, X, dll).
Jadi jelasnya bumi kita ini harus dirawat dikelola dengan bijaksana agar terus
seimbang. Karena ketidak seimbangan akan mengakibatkan petaka bukan manfaat.
Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan iklim
yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan
ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon
dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung
es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah
kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut
mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara
kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar. Menurut perhitungan
simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5 C. Bila
kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan
peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 C sekitar tahun 2030.
Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO
2
di atmosfer, maka akan semakin
banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 531

Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat (Gambar 2).
Peningkatan suhu bumi juga mempengaruhi terjadinya perubahan cuaca dan suhu laut
yang begitu ekstrim. Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian.
Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul
kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan
air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian
akibat trauma. [2]
Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke
tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi,
defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain. Pergeseran
ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne
diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti
meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru
untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada
beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium
menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut.
Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan
terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstrem ini. hal ini
juga akan berdampak perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak kepada
peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran
hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu). Efek rumah kaca dapat
mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es didaerah kutub. Hal akan berakibat
naiknya permukaan laut yang dapat mengancam pemukiman penduduk disepanjang
pantai. Naiknya permukaan air laut dapat mengakibatkan erosi disekitar wilayah
pesisir pantai, kerusakan hutan bakau dan terumbu karang, berkurangnya intensitas
cahaya didasar laut, serta naiknya tinggi gelombang air laut. Disamping itu efek
rumahkaca mengakibatkan terganggunya keseimbangan biologis di laut sehingga
dapat meningkatkan jumlah ganggang di lautan. Beberapa jenis ganggang ini ada
yang dapat mengeluarkan racun yangmembahayakankehidupan lautdan meracuni
manusia yang memakan hasil laut. Efek rumah kaca juga akan meningkatkan suhu
bumi sekitar 1
0
5
0
C.
Hal ini akan mengganggu ekosistem dan lingkungan. Gradasi Lingkungan yang
disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne
diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi
gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap
penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis,
penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain. Namun, disamping hal-hal tersebut
efek rumah kaca juga memiliki dampak yang positif bagi kehidupan, terutama
manusia. Efek rumah kaca sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di
bumi. Karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata
sebesar 15 C (59 F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 C (59 F) dari suhunya
semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 C sehingga es akan
menutupi seluruh permukaan bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut
telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

2.4. CARA-CARA MENANGGULANGI EFEK RUMAH KACA
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 532

Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas
rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan
menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut
carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas
rumah kaca. Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara
adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon,
terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang
sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam
kayunya. [7]
Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang
mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali
karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain,
seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk
mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam
mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca. Gas karbon dioksida juga dapat
dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas
tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke
permukaan. Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah
seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer.
Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia,
dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan
diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan. Salah
satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil.
Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada
abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian
digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi
gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan trend
penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi
jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon
dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan
dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir
lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara.
Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya
yang berbahaya, t Untuk kendraan bermotor, perlu digunakan alat penyaring khusus
gas buangan pada bagian knalpot (tempat keluar gas buangan) yang
dapatmenetralisirdan mengurangi dampak negatif gas buangan tersebut. Bisa juga
dengan mengganti bahan bakar dengan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan,
seperti tenaga surya (matahari) atau biodisel. Perlu dikeluarkan regulasi tentang usia
kendraan bermotor yang boleh beroperasi agar tidak menimbulkan pencemaran.
Untuk skala industri, perlu dibuat sistem pembuangan dan daur ulang gas buangan
yang baik. Saluran buangan perlu diperhatikan, kearah mana akan dibuang dan
haruslah memperhatikan lingkungan sekitar.Reboisasi lahan yang gundul merupakan
salah satu langkah untuk menahan laju karbondioksida yang berlebih di udara.
Termasuk penanaman pohon-pohon disepanjang jalan raya yang dapat menetralisir
pencemaran udara disepanjang jalan raya.Tetapi tidak melepas karbon dioksida sama
sekali. Selain itu diperlukan juga adanya pengelolaan sampah.Pengelolaan sampah
adalah pengumpulan , pengangkutan , pemrosesan , pendaur-ulangan , atau
pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material
sampah yg dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 533

dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga
dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam .
Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat , cair , gas , atau radioaktif dengan
metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat. Praktek pengelolaan
sampah berbeda beda antara Negara maju dan negara berkembang , berbeda juga
antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan , berbeda juga antara daerah
perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yg tidak berbahaya dari
pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya
ditangani oleh perusahaan pengolah sampah
Selain itu perlu diadakan kerja sama internasional untuk mensukseskan
pengurangan gas-gas rumah kaca. Apabila pada suatu negara diterapkan peraturan
kebijakan lingkungan yang ketat, maka ekonominya dapat terus tumbuh walaupun
berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida
terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga
pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal
untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida. Oleh karena
itu, perlu adanya upaya yang serius, konsisten, dan kontinyu agar masalah kerusakan
lingkungan ini dapat diatasi atau diminimalisir.


3. GAMBAR DAN TABEL


Gambar 1. Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer [4]

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 534


Gambar 2. Negara-negara penghasil emisi CO
2
[6]


Gambar 3. Asal gas CO
2
[1]


4. KESIMPULAN
Efek rumah kaca, yang pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824 ,
merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau
satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya . Istilah efek rumah
kaca atau dalam bahasa inggris disebut dengan green house effect ini dulu berasal
dari pengalaman para petani yang tinggal di daerah beriklim sedang yang
memanfaatkan rumah kaca untuk menanam sayur mayur dan juga bunga bungaan.
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon
dioksida (CO
2
) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO
2
ini
disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak , batu bara dan bahan
bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut
untuk menyerapnya.
Energi yang masuk ke Bumi:
25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer
25% diserap awan
45% diserap permukaan bumi
5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 535

Selain gas CO
2
, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah belerang
dioksida, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO
2
) serta beberapa
senyawa organik seperti gas metana dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas tersebut
memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.
Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya
perubahan iklim yang sangat ekstrem di bumi.Hal ini dapat mengakibatkan
terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya
untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan
mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya
permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air
laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang
mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.
Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-
rata bumi 1-5 C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti
sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 C sekitar
tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO
2
di atmosfer, maka akan
semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap
atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.

5.SARAN
Bumi ini semakin lama semakin tua usianya. Oleh karena itu, kita harus menjaganya
demi kehidupan yang tetap seimbang di masa depan. Bila tidak dari sekarang, kita
akan merasakan dampak yang sangat besar untuk generasi-generasi mendatang.
Pemanasan global bukanlah disebabkan oleh alam, pemanasan global sebenarnya
karena ulah manusia yang semakin serakah dalam pemenuhan kebutuhan hidup.

6.REFERENSI
Earth Radiation Budget, [1]
Fleagle, RG and Businger, JA: An introduction to atmospheric physics, 2nd edition,
1980
Fraser, Alistair B., Bad Greenhouse [2]
Giacomelli, Gene A. and William J. Roberts1, Greenhouse Covering Systems,
Rutgers University, [3] .
Henderson-Sellers, A and McGuffie, K: A climate modelling primer
(quote: Greenhouse effect: the effect of the atmosphere in re-readiating longwave
radiation back to the surface of the Earth. It has nothing to do with glasshouses,
which trap warm air at the surface). [4]
Idso, S.B.: Carbon Dioxide: friend or foe, 1982 (quote: ...the phraseology is somewhat
in appropriate, since CO2 does not warm the planet in a manner analogous to the
way in which a greenhouse keeps its interior warm) [5]
Kiehl, J.T., and Trenberth, K. (1997). Earth's annual mean global energy
budget, Bulletin of the American Meteorological Society 78 (2), 197208 [6]
Piexoto, JP and Oort, AH: Physics of Climate, American Institute of Physics, 1992
(quote:...the name water vapor-greenhouse effect is actually a misnomer since
heating in the usual greenhouse is due to the reduction of convection) [7]
Wood, R.W. (1909). Note on the Theory of the Greenhouse, Philosophical
Magazine 17, p319320. [8]
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 536

EL-16

KORELASI ANTARA KARAKTER KATALIS Cr/ZAA
TERHADAP PRODUKSI BAHAN BAKAR TERBARUKAN


Oleh :

Zainal Fanani, Muhammad Said, Vipy Anugrah


Lembaga Penelitian UNSRI
Jl. Palembang Prabumulih KM 33 Ogan Ilir Sumatera Selatan



ABSTRACT

The research about hydrocracking nyamplung oil as renew able energi by
using Cr/ZAA has been done. This research was conducted to know correlation
between character of catalyst Cr/ZAA with hydrocracking nyamplung oil products
with reduction temperature 400
o
C, 1 g of catalyst weight and the flow rate of
hydrogen gases of 2 mL/min and hydrocracking of temperature 350
o
C. Character
analysis of catalysts include surface area, pore radius and pore volume by using Gas
Sorption Analyzer (NOVA-1200e). Properties of hydrocracking nyamplung oil
products observed included refraction index, density, coke and heat of combustion.
The results showed that the best character of catalyst Cr/ZAA has a surface area was
24.253 m
2
/g, pore radius was 15.209 A and the pore volume was 0.134 cc/g. The best
value of properties of hydrocracking products include refraction index was 1.4700,
density was 0.9618 g/mL, coke was 1.6529 g and heat of combustion was 171.8199
kJ/g.

Key word: hydrocracking, catalyst, zeolyt, nyamplung, porosity


Telah dilakukan penelitian hidrocracking minyak nyamplung sebagai bahan
bakar terbarukan dengan menggunakan katalis Cr/ZAA. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui korelasi antara karakter katalis Cr/ZAA dengan sifat produk
hidrocracking minyak nyamplung dengan temperatur reduksi 400
o
C berat katalis 1 g
dan laju alir gas hidrogen 2 mL/mnt dan temperatur hidrocracking 350
o
C. Analisis
karakter katalis meliputi luas permukaan, jari-jari pori dan volume pori menggunakan
Gas Sorption Analyzer (NOVA-1200e). Sifat produk hidrocracking minyak
nyamplung yang diamati meliputi indeks bias, densitas, coke dan kalor pembakaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter katalis Cr/ZAA terbaik memiliki luas
permukaan sebesar 24,253 m
2
/g, jari-jari pori sebesar 15,209 dan volume pori
sebesar 0,134 cc/g. Sifat produk hidrocracking terbaik yang meliputi indeks bias
sebesar 1,4700, densitas sebesar 0,9638 g/mL, coke sebesar 1,6529 g dan kalor
pembakaran sebesar 171,8199 kJ/g.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 537

Kata kunci: hydrocracking, katalis, zeolite, nyamplung, porositas


1. LATAR BELAKANG

1.1 Pendahuluan
Pengurangan subsidi bahan bakar
minyak (BBM) yang dilakukan oleh
pemerintah untuk menekan defisit
APBN dan menyesuaikan harga BBM
dengan harga pasar internasional, secara
langsung berakibat harga BBM akan
semakin mahal. Bahan bakar minyak
yang berbahan baku fosil ini tergolong
bahan bakar yang tidak terbarukan
(unrenewable). Penggunaan BBM yang
terus menerus dan cenderung meningkat
akibat pertumbuhan penduduk dan
industri, sementara cadangan minyak
yang semakin menipis dan tidak dapat
diperbaharui, sangat potensial
menimbulkan krisis energi pada masa
yang akan datang. Oleh karena itu, untuk
mengatasi persoalan tersebut dan
mengurangi ketergantungan pada BBM
perlu diadakan diversifikasi energi
dengan cara mencari energi alternatif
yang terbarukan (renewable). Salah
satunya adalah energi alternatif yang
berasal dari minyak tanaman atau
tumbuhan (Sibuea dan Posman, 2003).
Nyamplung (Calophyllum
inophyllum L) merupakan salah satu
jenis tanaman kehutanan yang
mempunyai banyak kegunaan baik dari
kayunya maupun buahnya. Menurut
Masyhud (2008) berdasarkan beberapa
penelitian departemen kehutanan buah
nyamplung mempunyai potensi yang
cukup besar sebagai bahan baku biofuel.
Pengolahan minyak nyamplung
menjadi biofuel dapat dilakukan melalui
dua proses sekaligus yaitu proses
perengkahan (cracking) dan proses
hidrogenasi, kedua proses ini biasa
disebut hidrocracking. Proses
pengubahan ini memerlukan katalis yang
mempunyai fungsi ganda yaitu
komponen logam sebagai katalis
hidrogenasi dan komponen asam sebagai
katalis cracking (Benito, 2000).
Logam Cr dipilih sebagai logam
katalis karena Cr termasuk logam
golongan transisi yang memiliki
konfigurasi elektron orbital d yang
belum terisi penuh. Berdasarkan
penelitian sebelumnya Cr memiliki
peranan yang lebih dominan
dibandingkan Mo dan Ni terhadap
kemampuan katalis Cr-Mo dan Ni-Cr
/Zeolit alam aktif untuk mengcracking tir
batu bara (Fanani, 2008).
Aktifitas katalis dipengaruhi oleh
karakter katalis yang meliputi luas
permukaan, jari-jari pori dan volume
pori. Semakin besar luas permukaan dan
jari-jari pori maka daya adsorpsinya akan
semakin besar sehingga proses
hidrocracking yang berlangsung semakin
baik karena adsorpsinya makin efektif
dan semakin besar volume pori maka
jumlah reaktan yag akan dihidrocracking
akan masuk kedalam pori dalam jumlah
yang besar, sehingga proses adsorpsi
makin efektif dan proses hidrocracking
yang berjalan semakin baik
Berdasarkan uraian tersebut, maka
pada penelitian ini mempelajari korelasi
antara karakter katalis Cr/ZAA yang
meliputi luas permukaan katalis, jari-jari
katalis dan volume pori katalis dengan
sifat produk hidrocracking minyak
nyamplung yaitu indeks bias, densitas,
coke (produk samping senyawa yang
tidak terhidrocracking dan terikat pada
katalis sehingga menurunkan aktifitas
katalis) dan kalor pembakaran.


1.2 Tujuan Penelitian

1. Menentukan karakter katalis
Cr/ZAA terbaik yang meliputi
luas permukaan, jari-jari pori dan
volume pori terhadap sifat produk
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 538

hidrocracking minyak
nyamplung.
2. Menentukan sifat produk
hidrocracking minyak
nyamplung terbaik yang meliputi
indeks bias, densitas, coke dan
kalor pembakaran


1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai
korelasi antara karakter katalis dengan
sifat produk hidrocracking yang meliputi
indeks bias, densitas, coke dan kalor
pembakaran serta meningkatkan nilai
ekonomis minyak nyamplung untuk
digunakan sebagai alternatif bahan bakar
minyak yang baru.
.

2. METODOLOGI
PENELITIAN

2.1 Alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan adalah
gelas ukur, gelas beker, pipet tetes, botol
vial, pengayak berukuran 100 mesh, alat
penggerus, pH meter, reaktor, flowmeter,
furnace, regulator arus, kondensor,
termokopel, oven pengering Mermet,
magnetic stirrer, stopwatch, blender ,
rotari evaporator R-114 Buchi dengan
sistem vakum Buchi B-169, neraca
analitis Mettler AE 200, seperangkat
kalorimeter bom, piknometer 5 mL, dan
refraktometer Abbe, Gas Sorption
Analyzer (NOVA-1200e).

2.2 Bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan adalah
buah tanaman nyamplung (Calophyllum
inophyllum L.), zeolit alam, akuades,
HCl, NaOH, NH
4
NO
3
, Cr(NO
3
)
3
.9H
2
O,
propanol, destilat n-heksan, asam fosfat,
bentonit, kertas saring Whatman 41,
glasswool, es batu, gas oksigen, gas
hidrogen, dan vaselin.

2.3 Pembuatan Katalis Cr Zeolit Alam
Aktif
Zeolit alam dihaluskan dengan
ukuran 100 mesh, kemudian direndam
dalam HCl 1M selama 24 jam lalu
disaring dan dicuci dengan akuades
hingga filtrat yang terbentuk mempunyai
pH netral (pH diukur dengan
menggunakan kertas pH). Lalu zeolit
tersebut dikeringkan pada temperatur
130
o
C selama 3 jam. Zeolit kering
kemudian dijenuhkan dengan NaOH 2M
selama 24 jam, lalu disaring dan dicuci
hingga pH filtrat netral. Zeolit ini
kemudian disebut Na-zeolit. Na-zeolit
direndam dalam NH
4
NO
3
1M selama 24
jam, lalu disaring dan dicuci. Setelah itu
dikeringkan pada temperatur 550
o
C
selama 5 jam, zeolit ini disebut H-zeolit.
2.3.1 Pembuatan Larutan Cr
Larutan Cr dibuat dengan cara
melarutkan Cr(NO
3
)
3
.9H
2
O sebanyak
11,535 g kedalam 180 mL pelarut.
Pelarut yang digunakan yaitu campuran
antara pelarut air dan propanol
menggunakan 5 variasi dengan
perbandingan 1:0 (air saja), 1:1, 1:2, 2:1,
0:1 (propanol saja).

2.3.2 Impregnasi Katalis
Zeolit alam aktif 100 g direndam
dalam larutan Cr(NO
3
)
3
.9H
2
O selama 24
jam sambil distirer, 4 jam pertama
ditetesi ammonia setetes demi setetes.
Zeolit yang mengandung Cr tersebut
dikeringkan pada temperatur 130
o
C
selama 3 jam sampai menjadi pasta dan
kemudian dikalsinasi pada temperatur
550
o
C selama 5 jam.

2.3.3 Oksiasi Katalis
Oksidasi zeolit yang telah
diimpregnasi dengan logam Cr dilakukan
dengan mengalirkan O
2
dengan laju alir
2 mL/mnt. 15 g hasil impregnasi Cr
zeolit dimasukkan ke dalam reaktor yang
telah diberi glasswool didasarnya. Gas
O
2
dialirkan, reaktor dimasukkan ke
dalam furnace, kemudian regulator yang
dihubungkan dengan furnace dihidupkan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 539

pada 160 V. Setelah temperatur 350
o
C
pada termokopel tercapai, mulai dihitung
waktu oksidasi dan temperatur furnace
dipertahankan antara 345
o
C-355
o
C
selama 2 jam dengan mengatur regulator

2.3.4 Reduksi Katalis
Cr zeolit hasil oksidasi kemudian
dihidrogenasi dengan mengalirkan gas
H
2
dengan laju alir 10 mL/mnt pada
temperatur 400
o
C selama 2 jam. Hasil
dari hidrogenasi ini kemudian disebut
Cr-Zeolit Alam Aktif.

2.3.5 Penentuan Luas Permukaan,
Jari-jari Pori dan Volume Pori
Karakterisasi katalis
menggunakan Gas Sorption Analyzer
(NOVA-1200e) yang meliputi luas
permukaan, jari-jari pori dan volume
pori.
2.4 Pembuatan Minyak nyamplung
2.4.1 Pengambilan dan persiapan
sampel
Sampel berupa biji nyamplung
yang tua berwarna cokelat kehitaman
diambil dari Palembang, Sumatera
Selatan. Sampel dikeringkan dengan
oven pada suhu 100
o
C kemudian
dihaluskan dengan blender dan sampel
siap untuk diekstraksi.

2.4.2 Ekstraksi Minyak Biji
Nyamplung
Bubuk kering biji nyamplung
dimaserasi dengan menggunakan pelarut
destilat n-heksan selama 3 hari. Hasil
maserasi disaring sehingga diperoleh
filtrat n-heksan dan ampas biji
nyamplung. Filtrat dipekatkan dengan
menggunakan alat rotari evaporator pada
suhu 70
o
C sehingga diperoleh ekstrak
minyak masih dengan pengotornya.

2.4.3 Proses Pemurnian Minyak
Nymplung
a. Proses degumming
Asam fosfat sebanyak 16 mL
ditambahkan kedalam ekstrak minyak
800 mL. Campuran tersebut diaduk
secara konstan menggunakan magnetic
stirrer selama 15 menit dan didiamkan
selama 15 menit hingga gum terkumpul
sempurna dibagian bawah campuran.
Gum yang terbentuk kemudian
dipisahkan dari ekstrak minyak..

b. Proses netralizing
Setelah dilakukan proses
degumming, ekstrak minyak sebanyak
750 mL dari hasil proses degumming
kemudian ditambahkan NaOH sebanyak
7,5 mL. Campuran diaduk secara
konstan selama 15 menit hingga
menghasilkan sabun dibagian bawah
campuran. Sabun tersebut dipisahkan
dengan cara disaring, filtrat kemudian
dicuci dengan penambahan air panas
(80
o
C) sebanyak 73 mL kedalam ekstrak
minyak 730 mL. Campuran tersebut
diambil bagian atasnya (ekstrak minyak)
dan dilakukan pengeringan di dalam
oven selama 2 jam

c. Proses refining bleaching
Ekstrak minyak hasil proses
netralizing sebanyak 672,14 g
ditambahkan bentonit sebanyak 6,7214 g
sambil diaduk secara konstan
menggunakan magnetic stirrer selama 10
menit. Campuran kemudian diendapkan
selama 24 jam agar bentonit terendap
sempurna. Minyak dipisahka dari
bentonit dengan cara disaring. Minyak
yang telah melalui pemurnian siap untuk
dihidrocracking

2.5 Hidrocracking Minyak Nymplung
Reaksi katalitik perengkahan atau
hidrocracking pada fasa gas dilakukan
dengan menimbang 1 g katalis, lalu
dimasukkan ke dalam reaktor yang telah
diberi glasswool. Selanjutnya gas
hidrogen dialirkan sebagai gas
pendorong reaktan dengan laju alir 2
mL/mnt dan dihidrogenasi dengan
temperatur tertentu.
Setelah temperatur hidrogenasi
mencapai 350C, maka 15 mL minyak
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 540

nyamplung mulai dialirkan kedalam
reaktor yang telah diisi dengan katalis
melalui buret. Produk cair yang keluar
dari reaktor furnace ditampung dalam
botol vial yang telah diketahui beratnya.
Hidrocracking dinyatakan selesai jika
tidak ada lagi produk cair yang keluar
dari reaktor furnace. Produk yang
dihasilkan didinginkan kemudian
ditampung dan ditimbang. Selanjutnya
produk dianalisa meliputi indeks bias,
densitas, coke, dan kalor pembakaran.


2.6 Penentuan Indeks Bias Produk
Hidrocracking Minyak
Nyamplung
Pengukuran indeks bias
dilakukan dengan menggunakan alat
Refraktometer Abbe. Produk
hidrocracking minyak diteteskan pada
permukaan lensa refraktomer pada suhu
25
o
C. Kemudian skala pada alat diatur
sampai perbandingan sudut sinar datang
dan sudut sinar pantul cahaya yang
melalui minyak terbaca.

2.7 Penentuan Densitas Produk
Hidrocracking Minyak
Nyamplung
Dalam penentuan densitas
digunakan piknometer 5 mL. Piknometer
dicuci dan dibersihkan. Ditimbang
piknometer kosong (m
1
) kemudian
piknometer diisi dengan contoh minyak
sampai penuh. Piknometer yang berisi
contoh minyak ditimbang (m
2
).

Berat jenis () =

Dimana : m = m
2
- m
1

v = volume piknometer
disesuaikan dengan
piknometer yang dipakai

2.8 Coke
Ditimbang katalis sebanyak 1 g,
lalu dimasukkan kedalam reaktor
furnace, dimana telah diketahui berat
glasswool awal sebelum hidrocracking.
Ditimbang glasswool beserta katalis
setelah proses hidrocracking.

2.9 Analisis Kalor Pembakaran
Analisis kalor pembakaran
dilakukan dengan menggunakan alat
bom kalorimeter. Produk hidrocracking
minyak nyamplung sebanyak 1 mL pada
variasi katalis hasil oksidasi-reduksi pada
temperatur 400
o
C dengan perbandingan
pelarut air : propanol (1:0, 1:0,5, 1:1, 1:
2,0:1) dimasukkan ke dalam wadah
sampel, dimana pada konduktor
pembakarnya telah dipasang kawat nikel
dan ditutup rapat. Setelah itu bomb
dialiri dengan gas O
2
pada tekanan 25
atm. Bomb yang telah siap direndam ke
dalam bak air yang berada pada alat
kalorimeter. Suhu sebelum pambakaran
dijaga konstan lalu dicatat. Kemudian
kalorimeter dialirkan arus listrik melalui
pamanas didalamnya. Pada saat
pembakaran, air di dalam kalorimeter
harus diaduk secara terus-menerus.
Panas yang dihasilkan akan
menyebabkan suhu meningkat.
Peningkatan suhu air pada termometer
dicatat hingga konstan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui korelasi antara karakter
katalis Cr/ZAA yang meliputi luas
permukaan, jari-jari pori dan volume pori
dengan sifat produk hidrocracking
minyak nyamplung diantaranya
pengukuran indeks bias, densitas, coke
dan kalor pembakaran. Proses
hidrocracking ini dilakukan pada
temperatur konstan 350
o
C dengan
temperatur reduksi 400
o
C, laju alir gas
hidrogen konstan 2 mL/mnt dan berat
katalis Cr/ZAA 1g.
3.1. Korelasi antara Luas Permukaan
dengan Sifat Produk
Hidrocracking Minyak
Nyamplung
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 541

Luas permukaan merupakan
salah satu parameter yang
mempengaruhi aktivitas katalis. Semakin
besar luas permukaan katalis, aktivitas
katalitiknya makin tinggi karena zat
yang teradsorpsi pada permukaaan
katalis akan semakin banyak.
Dalam penelitian ini, penentuan
indeks bias menggunakan alat
Refraktometer Abbe pada suhu 25
o
C.
Indeks bias ini akan meningkat pada
minyak dengan rantai karbon yang
panjang dan juga terdapatnya ikatan
rangkap. Nilai indeks bias dari asam
lemak juga akan bertambah dengan
meningkatnya bobot molekul, derajat
ketidakjenuhan dan suhu yang semakin
tinggi (Ketaren,1986).
Dari Data hasil penelitian didapat
nilai luas permukan sebesar 22,096,
24,253, 25,791, 26,925, 28,793 (m
2
/g)
dengan nilai indeks bias berturut-turut
1,4702, 1,4700, 1,4705, 1,4709, 1,4709.
Grafik korelasi antara luas permukaan
dengan indeks bias produk
hidrocracking minyak nyamplung
ditunjukkan pada gambar 1.
Pada gambar 1 menunjukkan
bahwa pada luas permukaan 22,96 m
2
/g
24,53 m
2
/g terjadi penurunan indeks
bias dari 1,4702 menjadi 1,4700 dan
pada luas permukaan 26,925 m
2
/g
28,793 m
2
/g juga terjadi penurunan nilai
indeks bias dari 1,4710 menjadi 1,4709,
sedangkan pada luas permukaan 25,791
m
2
/g 26,925 m
2
/g terjadi peningkatan
nilai indeks bias dari 1,4705 menjadi
1,4710. Nilai indeks bias terkecil dicapai
pada luas permukaan 24,253 m
2
/g senilai
1,4700.







Gambar 1. Grafik Korelasi antara Luas
Permukaan dengan Indeks Bias Produk
Hidrocracking Minyak Nyamplung
Dari data hasil penelitian didapat
nilai luas permukan sebesar 22,096,
24,253, 25,791, 26,925, 28,793 (m
2
/g)
dengan nilai densitas berturut-turut
0,9618, 0,9628 (g/mL). Grafik korelasi
antara luas permukaan dengan densitas
produk hidrocracking minyak
nyamplung ditunjukkan pada gambar 2.


Gambar 2. Grafik Korelasi antara Luas
Permukaan dengan Densitas Produk
Hidrocracking Minyak Nyamplung
Pada gambar 2 memperlihatkan
bahwa pada luas permukaan 25,793 m
2
/g
26,925 m
2
/g terjadi penurunan nilai
densitas dari 0,9717 g/mL menjadi
0,9618 g/mL, sedangkan pada luas
permukaan 22.096 m
2
/g 24,253 m
2
/g
terjadi peningkatan nilai densitas dari
0,9618 g/mL menjadi 0,9628 g/mL, pada
luas permukaan 26,925 m2/g 28,793
m2/g juga mengalami peningkatan nilai
densitas dari 0,9618 g/mL menjadi
0,9638 g/mL. Nilai densitas terbaik
berada pada luas permukaan 28,293 m
2
/g
sebesar 0,9638 g/mL.
Dari data hasil penelitian didapat
nilai luas permukan sebesar 22,096,
24,253, 25,791, 26,925, 28,793 (m
2
/g)
dengan nilai coke berturut-turut 2,3981
1,6529, 3,7863, 2,8350, 2,4059 (g).
Grafik korelasi antara luas permukaan
dengan coke produk hidrocracking
minyak nyamplung (gb.3).

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 542


Gambar 3. Grafik Korelasi antara Luas
Permukaan dengan Coke Produk
Hidrocracking Minyak Nyamplung
Proses hidrocracking yang
terjadi hanya dipermukaan katalis, maka
senyawa yang akan dihidrocracking
tidak sanggup memasuki rongga katalis
sehingga akan menumpuk dipermukaan
katalis dengan membentuk coke. Grafik
pada gambar 3 yaitu pengaruh luas
permukaan terhadap coke menunjukkan
bahwa nilai coke terkecil dicapai pada
luas permukaan 24,253 m
2
/g senilai
1,6529 g. Pada luas permukaan 22,096
m
2
/g 24,253 m
2
/g terjadi penurunan
nilai coke dari 2,3981 g menjadi 1,6529
g dan pada luas permukaan 25.791 m
2
/g
26,925 m
2
/g juga mengalami
penurunan nilai coke dari 3,7863 g
menjadi 2,4059 g sedangkan pada luas
permukaan 24,253 m
2
/g 25,791 m
2
/g
mengalami peningkatan nilai coke dari
1,6529 menjadi 3,7863 dan pada luas
permukaan 26,925 m
2
/g 28,793 m
2
/g
juga mengalami peningkatan nilai coke
dari 2,4059 g menjadi 2,8350 g. Nilai
coke terkecil dicapai pada luas
permukaan 24,253 m
2
/g senilai 1,6529 g.
Grafik pada gambar 1, 2, 3
menjelaskan bahwa semakin besar luas
permukaan maka daya adsorpsinya juga
akan semakin besar sehingga produk
hidrocracking yang berlangsung
semakin baik karena adsorpsinya makin
efektif, hal ini ditunjukkan dengan
penurunan nilai indeks bias dan coke
serta peningkatan nilai densitas.
Peningkatan nilai indeks bias dan coke
serta penurunan nilai densitas disebabkan
terjadinya reaksi coupling yaitu karena
adanya gabungan molekul C-C hasil
hidrocracking, dimana banyak rantai
karbon yang terputus namun hidrogen
yang tersedia tidak cukup banyak untuk
menstabilkan rantai karbon yang sudah
terputus dan untuk menstabilkan ikatan
karbon yang terputus maka molekul C-C
dengan C-C yang lain bergabung
sehingga membentuk molekul dengan
rantai karbon yang semakin panjang.
3.2 Korelasi antara Jari-jari Pori
dengan Sifat Produk
Hidrocracking Minyak Nyamplung










Gambar 4. Grafik Korelasi antara Jari-
jari pori dengan Indeks Bias Produk
Hidrocracking Minyak Nyamplung
Zeolit alam aktif merupakan
material berpori yang cukup baik untuk
dijadikan katalis. Jari-jari pori
merupakan variabel yang sangat
berpengaruh terhadap pori. Besar
kecilnya jari-jari pori katalis akan
mempengaruhi daya serap atau
kemampuan adsorpsi dan desorpsi suatu
pori katalis.
Dari data hasil penelitian didapat
nilai jari-jari pori adalah 15,209, 15,239,
17,036, 16,906 dengan niali indeks bias
berturut-turut 1,4702, 1,4709, 1,4745,
1,4710. Pada grafik gambar 4
menunjukkan bahwa nilai indeks bias
terkecil dicapai pada jari-jari pori sebesar
15,209 senilai 1,4702. Pada jari-jari
pori 15,209 -17,036 mengalami
peningkatan jumlah nilai indeks bias.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 543












Gambar 5. Grafik Korelasi antara Jari-
jari Pori dengan Densitas Produk
Hidrocracking Minyak Nyamplung
Grafik korelasi antara jari-jari
pori terhadap densitas produk
hidrocracking minyak nyamplung
ditunjukkan pada gambar 5 dengan data
hasil penelitian nilai jari-jari pori adalah
15,209, 15,239, 17,036, 16,906 () dan
nilai indeks bias berturut-turut 0,9717,
0,9638, 0,9618, 0,9618.
Pada grafik gambar 5
menunjukkan bahwa pada jari-jari pori
15,209 15,239 terjadi peningkatan
nilai densitas dari 0,9618 g/mL menjadi
0,9638 dan peningkatan nilai densitas
juga terjadi pada jari-jari pori 16,906
17,036 dari 0,9618 g/mL menjadi
0,9717 g/mL sedangkan pada jari-jari
pori 15,239 0,9618 terjadi
penurunan nilai densitas dari 0,9638
g/mL menjadi 0,9618 g/mL. Nilai
densitas terbaik dicapai pada jari-jari
pori sebesar 15,209 senilai 0,9618
g/mL. Semakin besar jari-jari pori katalis
maka nilai densitas produk
hidrocracking minyak nyamplung
semakin besar. Hal ini dapat terjadi
karena apabila ukuran jari-jari pori
terlalu besar dapat diperkirakan bahwa
proses adsorpsi atau daya serapnya
kurang baik, maka ikatan C-C pada
senyawa yang akan dihidrocracking
lebih susah terperangkap dalam pori
sehingga proses desorpsi akan lebih
mudah terjadi, dengan demikian proses
hidrocracking tidak dapat berjalan
dengan optimal dan menghasilkan
produk dengan berat molekul yang lebih
besar yang ditunjukkan dengan nilai
densitas yang besar. Densitas terbesar
berada pada jari-jari pori 15,239
sebesar 0,9638.
Grafik korelasi antara jari-jari
pori dengan coke produk hidrocracking
minyak nyamplung ditunjukkan pada
gambar 6 dengan data hasil penelitian
nilai jari-jari pori adalah 15,209, 15,239,
17,036, 16,906 () dan nilai coke
berturut-turut 2,3981, 2,8350, 3,7863,
2,4059 (g/mL).












Gambar 6. Grafik Korelasi antara Jari-
jari dengan Coke Produk Hidrocracking
Minyak Nyamplung
Pada grafik gambar 6
menunjukkan bahwa pada jari-jari pori
15,209 15,239 terjadi
peningkatan nilai coke dari 2,3981 g
menjadi 2,8350 g dan pada jari-jari pori
16.906 17.036 juga terjadi
peningkatan nilai coke dari 2,4059 g
menjadi 3,7863 g sedangkan pada jari-
jari pori 15,239 16,906 terjadi
penurunan nilai coke dari 2,8350 g
menjadi 2,4059 g. Nilai terbaik
pembentukan coke berada pada jari-jari
pori 15,209 senilai 2,3981 g.
Pengaruh jari-jari pori terhadap
sifat produk hidrocracking berbanding
lurus dengan luas permukaan yaitu
semakin besar luas permukaan maka
daya adsorpsinya juga akan semakin
besar sehingga produk hidrocracking
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 544

yang berlangsung semakin baik karena
adsorpsinya makin efektif. Apabila
proses hidrocracking berlanhgsung tidak
baik, hal ini disebabkan karena
terjadinya reaksi coupling.
3.3 Korelasi antara Volume Pori
dengan Sifat Produk
Hidrocracking Minyak
Nyamplung
Grafik korelasi antara volume pori
dengan indeks bias produk
hidrocracking minyak nyamplung
ditunjukkan pada gambar 7 dengan nilai
volume pori 0,121, 0,134, 0,151, 0,137
(cc/g) dan nilai indeks bias berturut-turut
sebesar 1,4709, 1,4710, 1,4745, 1,4702.











Gambar 7. Grafik Korelasi antara
Volume Pori dengan Indeks Bias
Produk Hidrocracking Minyak
Nyamplung

Seperti halnya jari-jari pori,
volume pori juga mempengaruhi nilai
indeks bias, densitas dan coke produk
hidrocracking. Volume pori merupakan
salah satu parameter porosity yang
menentukan kualitas material berpori
dan mempengaruhi aktivitas katalis.
Grafik pada gambar 7
menunjukkan bahwa nilai indeks bias
terkecil dicapai pada volume pori
sebesar 0,134 cc/g senilai 1,4702. Pada
volume pori 0,121 cc/g 0,134 cc/g
terjadi penurunan nilai indeks bias dari
1,4702 menjadi 1,4702 dan pada volume
pori 0,137 cc/g 0,151 cc/g juga terjadi
penurunan nilai indeks bias dari 1,4725
menjadi 1,4741. Nilai indeks bias
meningkat pada jari-jari pori 0,134 cc/g
0,137 cc/g dari 2,3981 menjadi 3,7863.
Grafik korelasi antara volume
pori dengan densitas produk
hidrocracking minyak nyamplung
ditunjukkan pada gambar 8 dengan nilai
volume pori 0,121, 0,134, 0,151, 0,137
(cc/g) dan nilai densitas berturut-turut
sebesar 0,9638, 0,9618, 0,9618, 0,9717
(g/mL).












Gambar 8. Grafik Korelasi antara
Volume Pori terhadap Densitas Produk
Hidrocracking Minyak Nyamplung

Grafik pada gambar 8
memperlihatkan bahwa pada volume pori
0,134 cc/g 0,137 cc/g terjadi
peningkatan nilai densitas dari 0,9618
g/mL menjadi 0,9717 g/mL. Pada
volume pori 0,121 cc/g 0,134 cc/g terjadi
penurunan nilai densitas dari 0,9638
g/mL menjadi 0,9618 g/mL dan pada
volume pori 0,137 cc/g 0,151 cc/g juga
terjadi penurunan nilai densitas dari
0,9717 g/mL menjadi 0,9618 g/mL. Nilai
densitas terbaik berada pada volume pori
sebesar 0,121 cc/g dengan densitasnya
senilai 0,9638 g/mL.
Grafik korelasi antara volume pori
dengan coke produk hidrocracking
minyak nyamplung ditunjukkan pada
gambar 9 dengan nilai volume pori
0,121, 0,134, 0,151, 0,137 (cc/g) dan
nilai coke berturut-turut sebesar 2,8350,
2,3981, 2,4059, 3,7863 (g).

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 545















Gambar 9. Grafik Korelasi antara
Volume Pori terhadap Coke Produk
Hidrocracking Minyak Nyamplung
Grafik pada gambar 9
menunjukkan bahwa pada volume pori
0,134 cc/g 0,137 cc/g terjadi
peningkatan nilai coke dari 2,3981 g
menjadi 3,7863 g sedangkan pada
volume pori 0,121 cc/g 0,134 cc/g terjadi
penurunan nilai coke dari 2,8350 g
menjadi 2,3981 g, dan pada volume pori
0,137 cc/g 0,151 cc/g juga terjadi
penurunan nilai coke dari 3,7863 g
menjadi 2,4059. Nilai coke terkecil
berdada pada volume pori 0,134 cc/g
sebesar 2,3981 g.
Semakin besar volume pori maka
jumlah reaktan yang akan
dihidrocracking akan masuk kedalam
pori dalam jumlah yang besar, sehingga
proses adsorpsi makin efektif sehingga
proses hidrocracking yang dilakukan
semakin baik dan optimal, hal ini
ditunjukkan pada penurunan indeks bias
dan coke serta peningkatan nilai
densitas. Penurunan nilai densitas serta
peningkatan nilai indeks bias, dan coke
menunjukkan proses hidrocracking tidak
berjalan dengan baik, hal ini disebabkan
karena terjadinya reaksi coupling.
3.4 Korelasi antara Karakter Katalis
dengan Kalor Pembakaran
Produk Hidrocracking Minyak
Nyamplung
Korelasi antara luas permukaan
dengan kalor pembakaran produk
hidrocracking minyak nyamplung
ditunjukkan pada gambar 10 dengan nilai
luas permukaan sebesar 22,096, 24,253,
25,791, 26,925, 28,793 (m
2
/g) dan nilai
kalor pembakaran berturut-turut
110,5047, 171,8199, 101,0453,
132,2291, 132,1109 (kJ/g).
80
90
100
110
120
130
140
150
160
170
180
20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Luas Permukaan (m2/g)
K
a
l
o
r

P
e
m
b
a
k
a
r
a
n

(
k
J
/
g
)

Gambar 10. Grafik Korelasi antara Luas
Permukaan dengan Kalor Pembakaran
Produk Hidrocracking Minyak
Nyamplung
Gambar grafik 10
memperlihatkan bahwa nilai kalor
pembakaran terbaik berada pada luas
permukaan sebesar 22,096 cc/g dengan
nilai 171,8199 kJ/g, hal ini terjadi karena
katalis memiliki luas permukaan dan
jumlah pori-pori katalis yang lebih besar
sehingga mengakibatkan senyawa
hidrokarbon yang terkandung didalam
minyak nyamplung teradsorbsi lebih
banyak ke permukaan katalis yang
mengakibatkan tumbukan-tumbukan
antara molekul semakin cepat dan energi
aktivasinya semakin kecil sehingga
reaksinya semakin cepat dan rantai
karbon yang panjang semakin banyak
yang terpotong.
Dari data hasil penelitian didapat
nilai jari-jari pori adalah 15,209, 15,239,
17,036, 16,906 () dengan nilai kalor
pembakaran berturut-turut sebesar
110,5047, 132,2291, 101,0453, 132,1109
(kJ/g). Grafik korelasi antara jari-jari
dengan kalor pembakaran produk
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 546

hidrocracking minyak nyamplung
ditunjukkan pada gambar 11.
80
90
100
110
120
130
140
15 15.5 16 16.5 17 17.5
Jari-Jari Pori (A)
K
a
l
o
r

P
e
m
b
a
k
a
r
a
n

(
k
J
/
g
)

Gambar 11. Grafik Korelasi antara Jari-
jari Pori dengan Kalor Pembakaran
Produk Hidrocracking Minyak
Nyamplung
Grafik pada gambar 11
menunjukkan bahwa katalis dengan jari-
jari pori terkecil menghasilkan nilai
kalor pembakaran terbesar yaitu
132,2291 kJ/g. hal ini menandakan
bahwa nilai kalor pembakaran terbaik
berada pada jari-jari pori 15,239 A.
Apabila ukuran jari-jari pori terlalu kecil
dapat diperkirakan nilai kalor
pembakarannya akan semakin besar.
Nilai kalor pembakaran terkcecil berada
pada jari-jari pori sebesar 25,791
senilai 101,0453 kJ/g, ini menunjukkan
proses hidrocracking yang dilakukan
kurang baik dan menyebabkan nilai
kalor pembakaran menjadi kecil.
Dari data hasil penelitian didapat
nilai volume pori 0,121, 0,134, 0,151,
0,137 (cc/g) dan nilai kalor pembakaran
berturut-turut sebesar 132,2291,
132,1109, 101,0453, 110,5047 (kJ/g).
Grafik korelasi antara volume pori
dengan kalor pembakaran produk
hidrocracking minyak nyamplung
ditunjukkan pada gambar 12
80
90
100
110
120
130
140
0.115 0.12 0.125 0.13 0.135 0.14 0.145 0.15 0.155
Volume Pori (cc/g)
K
a
l
o
r

P
e
m
b
a
k
a
r
a
n

(
k
J
/
g
)

Gambar 12. Korelasi antara Volume Pori
dengan Kalor Pembakaran Produk
Hidrocracking Minyak Nyamplung
Volume pori dihitung dengan
menganggap bahwa pori berbentuk
silinder. Gambar grafik 12 menunjukkan
bahwa nilai kalor pembakaran tertinggi
berada pada volume pori sebesar
0,121cc/g dengan kalor pembakaran
senilai 132,2291 kJ/g. Hal ini
menandakan bahwa semakin besar nilai
kalor pembakaran maka semakin baik
proses hidrocracking yang berlangsung.
Nilai terkecil kalor pembakaran berada
pada volume pori sebesar 0,137 cc/g
dengan kalor pembakaran senilai
101,0453 kJ/g. Semakin kecil nilai kalor
pembakarannya maka proses
hidrocracking yang berlangsung semakin
kurang baik.


4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan

1. Karakter katalis Cr/ZAA terbaik
memiliki luas permukaan sebesar
24,253 m
2
/g , jari-jari pori
sebesar 15,209 dan volume
pori sebesar 0,134 cc/g.
2. Nilai sifat produk hidrocracking
pada porositas katalis terbaik
yang meliputi indeks bias sebesar
1,4700, densitas sebesar 0,9638
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 547

g/mL, coke sebesar 1,6529 g dan
kalor pembakaran sebesar
171,8199 kJ/g.
4.2 Saran

Perlu dilakukan analisa lebih
lanjut terhadap produk hidrocracking
minyak nyamplung dengan katalis
Cr/zeolit alam aktif, antara lain analisa
dengan kromatografi gas (GC) guna
melengkapi spesifikasi produk
hidrocracking yang dihasilkan dan laju
alir hidrogen dioptimasikan agar
hidrogen tidak berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

Benito, A. M., dan Martinez, M. T.,
2000, Catalytic Hidrocracking of
an Asphaltenic Coal Residue,
Energy and Fuel, 10, 1235-1240,
Dalam : Hesta, M., 2009,
Pengaruh Variasi Logam
Molibdenum Terhadap Porositas
dan Keasaman Katalis Mo-Zeolit
Alam Aktif, Universitas Sriwijaya,
Indralaya.

Fanani, Z., 2008, Pembuatan BioBBM
dengan katalis Ni Pada Berbagai
Pengemban dan Pelarut,
Universitas Sriwijaya, Indralaya.

Masyhud, 2008, Tanaman Nyamplung
Berpotensi Sebagai Sumber Energi
Biofuel.

Sibuea dan Posman, 2003,
Pengembangan Industri Biodiesel
Sawit, www.kcm.com, 10
Oktober 2012.



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 548

EL17

PENGARUH PEMAKAIAN MINYAK SOLAR, BIODISESEL MINYAK
SAWIT (CPO), DAN MINYAK JARAK PAGAR (CJO) TERHADAP
PERFORMANSI MOTOR DIESEL DIDACTA ITALIA TESTBED T 85 D
Oleh: Ellyanie


Abstrak

Pengembangan teknologi di Indonesia masih terus berlangsung, khususnya di
bidang bahan bakar alternatif. Biodiesel adalah bahan bakar nabati yang dapat
diperbaharui (reneweble) dan dapat digunakan pada motor diesel.
Pengujian biodiesel dilakukan pada mesin diesel testbed didacta T85D.
Pengujian dengan percampuran antara minyak solar, minyak sawit dan minyak jarak
pagar dilakukan pada campuran biodiesel B 10, B20, dan B 30 untuk mendapatkan
parameter kendaraan bermotor, seperti torsi, pemakaian bahan bakar spesifik, dan
efisiensi thermal.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa pemakaian bahan bakar spesifik yang
terendah pada campuran bahan bakar B20 dengan 100 % JCO dan juga efisiensi
thermal tertinggi pada campuran bahn bakar B30 dengan 100 % JCO.

Kata kunci: Biodiesel Sawit (CPO),Biodiesel Jarak (JCO), pemakaian bahan bakar
spesifik dan efisiensi thermal.


I. PENDAHULUAN
Dewasa ini, melihat kebutuhan minyak bumi seperti solar semakin meningkat
dan langka disebabkan oleh energi ini termasuk dalam energi yang tak terbarukan,
maka diperlukan bahan bakar alternatif seperti biodiesel untuk dapat memenuhi
kebutuhan tersebut. Minyak bumi sebagai sumber bahan bakar utama memegang
peran yang sangat penting. Bahan bakar minyak seperti bensin dan solar adalah bahan
bakar yang tidak dapat diperbaharui, artinya cepat atau lambat bahan bakar minyak
tersebut akan habis. Sedangkan permintaan akan bahan bakar cair akan terus naik
menyesuaikan dengan laju pertumbuhan teknologi dan industri serta pemakaian
kendaraan bermotor pribadi yang tidak terkendali seperti sekarang. Akibatnya, harga
minyak akan terus naik dengan tajam menyusul menipisnya cadangan minyak dunia.
Maka dari itu diperlukan suatu bahan bakar yang dapat diperbaharui .
Biodiesel yang masih dapat untuk di perbaharui, misalnya menggunakan
minyak jarak, minyak kelapa sawit, Minyak Biji Matahari, minyak kapuk dan lainnya.
Bahkan kita juga bisa menggunakan minyak jelantah (minyak goreng bekas pakai)
yang harganya sangat murah, dimana minyak jelantah bisa didapat dari limbah
industri makanan. Sehingga bahan bakar tersebut dapat diusahakan agar tidak akan
pernah habis sepanjang masa serta harganya dapat dijangkau oleh masyarakat. Disini
biodiesel merupakan bahan bakar alternatif untuk kendaraan bermotor yang berbahan
bakar minyak solar, sehingga dengan adanya peningkatan kebutuhan minyak solar di
sektor industri dan transportasi mengakibatkan bahan bakar solar sangat terbatas
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 549

memungkingkan untuk mencari bahan bakar alternatif, pencampuran bahan bakar
biodiesel dan minyak solar di Indonesia dapat diupayakan dikarenanakan lahan yang
subur sehingga bahan baku mudah didapat.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh bahan bakar minyak solar dan
campuran antara biodiesel (biodiesel kelapa sawit/CPO dan biodiesel jarak
pagar/JCO) dengan solar, terhadap parameter-parameter prestasi motor diesel.

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Prinsip Kerja Motor Diesel
Secara umum perbedaan dari motor bakar diesel dengan motor bakar bensin
adalah perbedaan sistem penyalaan bahan bakar. Pada motor diesel selama langkah
pengisapan hanya udara yang dihisap kedalam silinder sehingga tidak bercampur
dengan bahan bakar. Selama kompresi, suhu dan tekanan didalam silinder terus
meningkat dan pada akhir langkah kompresi, bahan bakar disemprotkan kedalam
silinder dan bersinggungan dengan udara panas sehingga terjadi pembakaran.
Gas hasil pembakaran yang telah memiliki tekanan dan temperatur tinggi
mampu mendorong piston untuk melakukan langkah kerja yang selanjutnya akan
bergerak ke atas kembali dan melakukan langkah buang (wiranto,1983)

Gambar 2.1 Proses Kerja Motor Bakar Empat Langkah
(sumber: Heywood, internal combustion engine fundamental)

Motor bakar empat langkah menyelesaikan siklus dalam empat langkah torak
atau melalui dua kali putaran poros engkol. Dalam empat langkah mengadakan
langkah isap, langkah kompresi, langkah ekspansi (kerja) dan langkah buang.

2.2.Bahan Bakar
Bahan bakar motor diesel juga mempunyai sifat-sifat yang mempengaruhi
prestasi. Sifat-sifat bahan bakar diesel yang mempengaruhi prestasi dari motor diesel
antara lain:
1. Penguapan (Volality).
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 550

Volatilitas adalah sifat kecenderungan bahan bakar untuk berubah fasa menjadi fasa
uap. Tekanan uap yang tinggi dan titik didih yang rendah menandakan tingginya
volatilitas.
2. Residu karbon.
Residu karbon adalah karbon yang tertinggal setelah penguapan dan pembakaran
habis. Bahan yang diuapkan dari minyak, diperbolehkan residu karbon maksimum
0,10%.
3. Viskositas.
Viskositas minyak dinyatakan oleh jumlah detik yang digunakan oleh volume
tertentu dari minyak untuk mengalir melalui pipa kapiler, semakin rendah jumlah
detiknya berarti semakin rendah viskositasnya.
4. Belerang.
Belerang dalam bahan bakar terbakar bersama minyak dan menghasilkan gas yang
sangat korosif yang diembunkan oleh dinding-dinding silinder, terutama ketika
mesin beroperasi dengan beban ringan dan suhu silinder menurun. Kandungan
belerang dalam bahan bakar tidak boleh melebihi 0,5 %-1,5%.
5. Abu dan endapan.
Abu dan endapan dalam bahan bakar adalah sumber dari bahan mengeras yang
mengakibatkan keausan mesin. Kandungan abu maksimal yang diijinkan adalah
0,01% dan endapan 0,05%.
6. Titik nyala.
Titik nyala merupakan suhu yang paling rendah yang harus dicapai dalam
pemanasan minyak untuk menimbulkan uap terbakar sesaat ketika disinggungkan
dengan suatu nyala api. Titik nyala minimum untuk bahan bakar diesel adalah
150
0
F.
7. Titik Tuang.
Titik tuang adalah suhu minyak mulai membeku/berhenti mengalir. Titik tuang
maksimum untuk bahan bakar diesel adalah 0
0
F.
8. Sifat korosif.
Bahan bakar minyak tidak boleh mengandung bahan yang bersifat korosif dan tidak
boleh mengandung asam basa.
9. Bilangan Setana (Cetane Number).
Bilangan setana menunjukkan kemampuan bahan bakar untuk menyala sendiri
(autoignition). Bilangan setana tinggi menunjukkan bahan bakar dapat menyala pada
temperatur yang relatif rendah, sedangkan ).

Minyak Solar atau High Speed Diesel (HSD) merupakan bahan bakar minyak
jenis solar yang memiliki angka performa cetane number 45, jenis BBM ini umumnya
digunakan untuk mesin transportasi mesin diesel yang umum dipakai dengan sistem
injeksi pompa mekanik (injection pump) dan electronic injection. Pada umumnya
jenis BBM ini diperuntukkan untuk jenis kendaraan bermotor, transportasi, dan mesin
industri.

Tabel 2.1 Perbandingan karakteristik CPOME, dan minyak solar
Karakteristik Satuan CPOME MS
Spesifikasi M S*
Min Maks
Berat Jenis 0.866 0.857 0.820 0.870
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 551

Viskositas CSt 5.75 4.19 1.6 5.8
Titik nyala C 210 85 65
Titik tuang C 13 8 18
Bilangan asam mgKHO/gr 12.3 Nil 0.6
Kandungan air % Vol. 0.927 0.0244 0.05
Nilai kalor kJ/kg 40.550 44.718
Keterangan:
(*) Spesifikasi minyak solar menurut PERATURAN DIREKTUR JENDRAL MINYAK DAN
GAS BUMI No. 002/P/DM/Migas/1979 Tanggal 25 Mei 1979
MS = minyak solar
CPME = crude palm methyl ester
(Aguk Zuhdi,2005)

Biodiesel adalah senyawa mono alkil ester yang diproduksi melalui reaksi
tranesterifikasi antara trigliserida (minyak nabati, seperti minyak sawit, minyak jarak
dll) dengan metanol menjadi metil ester dan gliserol dengan bantuan katalis basa.
Biodiesel mempunyai rantai karbon antara 12 sampai 20 serta mengandung
oksigen. Adanya oksigen pada biodiesel membedakannya dengan minyak solar
yang komponen utamanya hanya terdiri dari hidrokarbon. Jadi komposisi
biodiesel dan minyak solar sangat berbeda. Biodiesel terdiri dari metil ester asam
lemak nabati, sedangkan minyak solar adalah hidrokarbon.
Biodiesel mempunyai sifat kimia dan fisika yang serupa dengan petroleum
diesel sehingga dapat digunakan langsung untuk mesin diesel atau dicampur dengan
petroleum diesel. Secara nyata. biodiesel memiliki sifat pembakaran yang mirip
dengan diesel (solar) dari minyak bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak
kasus. Namun, biodisel lebih sering digunakan sebagai penambah untuk minyak solar.
Potensi kelapa sawit di dunia sangat besar, hal ini ditandai dengan perolehan
kelapa sawit yang mencapai 5000 kg per hektar per tahun. Dari kelapa sawit dapat
dihasilkan minyak kelapa sawit (biasa disebut dengan palm oil) yang sangat potensial
untuk digunakan sebagai pengganti bahan bakar diesel. Keunggulan palm oil sebagai
bahan baku biodiesel adalah kandungan asam lemak jenuh yang tinggi sehingga akan
menghasilkan angka setana yang tinggi. Selain itu palm oil mempunyai perolehan
biodiesel yang tinggi per hektar kebunnya.
Jatropha curcas (jarak pagar) merupakan salah satu tanaman yang paling
prospektif untuk diproses menjadi Biodiesel karena selain relatif mudah ditanam,
toleransinya tinggi terhadap berbagai jenis tanah dan iklim, produksi minyak tinggi,
serta minyak yang dihasilkan tidak dapat dikonsumsi oleh manusia sehingga tidak
mengalami persaingan dengan minyak untuk pangan. Minyak jarak pagar berwujud
cairan bening berwarna kuning dan tidak menjadi keruh sekalipun disimpan dalam
jangka waktu lama.
.
III. PROSEDUR PENGUJIAN
Pengujian dilakukan pada motor bakar tipe Test Bed T 85 D yang ada di
Laboratorium Konversi Energi dengan data spesifikasi sebagai berikut :
Merek dan buatan oleh : Lamborghini, Italia
Jenis/jumlah silinder : Diesel / 1 silinder
Siklus daya : Empat langkah
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 552

Sistem pendinginan : Pendinginan udara
Diameter silinder : 78 mm (7,8 cm)
Langkah torak : 68 mm (6,8 cm)
Volume langkah : 325 cc
Rasio kompresi : 18 : 1
Daya poros maksimum : 5 HP/3600 rpm.
Komponen-komponen dari Motor Bakar Didacta Italia Test Bed T 85D D
adalah sebagai berikut :
1. Landasan ( Basic Unit )
Landasan (2) dirakit dari plat baja dengan bangku tekan dan meja yang dilas
sehingga terdiri dari body bagian bawah dan atas yang terdapat empat karet peredam
getaran dibawahnya. Karet peredam berfungsi meredam getaran pada saat mesin
beroperasi sehingga getaran yang dihasilkan lebih rendah dan bahaya kerusakan dari
komponen dapat dikurangi..
2. Unit Dinamometrik SUD 10 D ( Dinamometric Unit 10 D / cod. 9025000)
Dinamometrik (4) adalah sebuah motor arus searah yang dapat diatur
kecepatannya melalui komutator untuk menggerakkan motor bakar dan juga sebagai
generator untuk menghasilkan arus listrik.

Gambar 3.1 Pandangan depan Didacta Italia T85d

Keterangan gambar : 1. Kerangka 5. Tabung Ukuran bahan bakar
2. Landasan 6. Motor bakar
3. Unit Kontrol 7. Kopling elektromagnetik
4. Dinamometrik 8. Unit beban


3. Unit Kontrol (Control Unit cod. 952400)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 553

Unit kontrol (3) terdapat tangki bahan bakar, dumping tank, mikromanometer
diferensial, gelas ukur cairan beserta katup pengatup serta electrical control board
(papan kontrol kelistrikan).
4. Unit beban
Unit beban (8) digunakan untuk menyerap energi listrik yang dari unit
dinamometrik apabila difungsikan sebagai generator. Besarnya pembebanan diatur
oleh komutator yang ada pada dinamometer.


5. Unit kopling elektromagnetik (electromagnetic joint unit cod.952413)
Kopling electromagnet (7) berfungsi untuk menghubungkan poros motor bakar
yang akan diuji ke poros unit dinamometer SUD 10D dengan cara dikopel fleksibel
untuk masing -masing unit motor. Kopling ini tipe piring tunggal dengan magnet tetap
dan jangkar dari bahan ferromagnetik.

Pengujian dilakukan dengan putaran konstan dengan variasi beban, medium
sekitar 2000 rpm pada penggunaan bahan bakar solar, Biodiesel B10, B20 dan B30.
Arti angka dibelakang huruf B menyatakan persentase volume biodiesel dalam
campuran dengan solar. Pada B10 pengujian dilakukan pertama kali dengan campuran
solar dengan minyak sawit saja (100% CPO), campuran 25% minyak sawit/CPO dan
75% minyak jarak/JCO (25% CPO : 75% JCO), campuran 50% CPO : 50% JCO, dan
75% CPO : 25% JCO. Contoh penulisannya adalah B10 (25% CPO : 75% JCO) dan
begitu seterusnya sampai pada campuran B30.


IV. PEMBAHASAN

1. Daya Poros Efektif (Ne)
Pada gambar 4.1 menunjukkan bahwa daya poros efektif solar, B10, B20, dan B30
sama. Hal ini dikarenakan torsi dan putaran pada ke-empat bahan bakar tersebut sama.
0.0000
0.5000
1.0000
1.5000
2.0000
2.5000
3.0000
3 6 9 12
T (Tors i) Nm

d
a
y
a

e
f
e
k
t
i
f

p
o
r
o
s
(
K
W
)
100% : 0%
75%: 25%
50% : 50%
25% : 75%
0% : 100%

Gambar 4.1 Grafik Torsi (T) terhadap Daya Poros Efektif (Ne) pada 2000 rpm


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 554

2. Pemakaian bahan bakar spesifik (Be)
Pemakaian bahan bakar spesifik (Be) merupakan nilai perbandingan laju
aliran massa bahan bakar yang digunakan perjam dengan daya yang dihasilkan.
Pada gambar 4.2, 4.3, dan 4.4 menujukkan bahwa pemakaian bahan bakar
spesifik terendah adalah campuran 100% JCO untuk semua campuran biodiesel, yaitu
B10, B20, dan B30. Dari ketiga grafik tersebut terlihat perbedaan pemkaian spesifik
tersebut sangat kecil. Dan pemakaian bahan bakar spesifik yang terendah pada
campuran bahan bakar B20 dengan 100 % JCO
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
3 6 9 12
T (Tors i) Nm
P
e
m
a
k
a
i
a
n

B
a
h
a
n

b
a
k
a
r

s
p
e
s
i
f
i
k

(
k
g
/
k
w
h
)
100% : 0%
75% : 25%
50% : 50%
25% : 75%
0% : 100%


Gambar 4.2 Grafik Torsi (T) terhadap Pemakaian Bahan Bakar Spesifik (Be) untuk
B10 pada 2000 rpm.

0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
3 6 9 12
T (Torsi) Nm
P
e
m
a
k
a
i
a
n

B
a
h
a
n

b
a
k
a
r

s
p
e
s
i
f
i
k

(
k
g
/
k
w
h
)
100% : 0%
75% : 25%
50% : 50%
25% : 75%
0% : 100%
CP O : J CO

Gambar 4.3 Grafik Torsi (T) terhadap Pemakaian Bahan Bakar Spesifik (Be) untuk
B20 pada 2000 rpm.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 555

0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
3 6 9 12
Tors i (Nm)
P
e
m
a
k
a
i
a
n

B
a
h
a
n

b
a
k
a
r

s
p
e
s
i
f
i
k

(
k
g
/
k
w
h
)
100% : 0%
75% : 25%
50% : 50%
25% : 75%
0% : 100%

Gambar 4.4 Grafik Torsi (T) terhadap Pemakaian Bahan Bakar Spesifik (Be) untuk
B30 pada 2000 rpm.


3. Effisiensi Thermal (
th
)
Effisiensi thermal dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara daya yang
dihasilkan dengan energi yang terkandung dalam bahan bakar. Maka bisa dikatakan
bahwa nilai effisiensi thermal mesin adalah parameter prestasi mesin yang
menunjukan efektifitas mesin untuk membangkitkan daya dari energi yang
terkandung didalam bahan bakar yang disuplai kedalam mesin.
Gambar 4.5 untuk B10, dapat dilihat bahwa efisiensi tertinggi pada 25 %
CPO dan 75 % JCO, namun perbedaanya sangat kecil.
0
10
20
30
40
50
60
70
3 6 9 12
Tors i (Nm)
e
f
i
s
i
e
n
s
i

t
h
e
r
m
a
l

(
%
)
100% : 0%
75% : 25%
50% : 50%
25% : 75%
0% : 100%

Gambar 4.5 Grafik Torsi (T) terhadap Efisiensi Thermal (
th
) untuk B10 pada 2000
rpm.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 556

Pada gambar 4.6 untuk B 20 efisiensi tertinggi terletak pada campuran 100%
JCO untuk semua torsi, pada torsi rendah perbedaannya sangat kecil kemudian
semakin tinggi torsi perbedaannya semakin besar. Dari grafik terlihat bahwa
penambahan komposisi JCO dalam bahan bakar, maka efisiensi akan semakin besar.

0
10
20
30
40
50
60
70
80
3 6 9 12
Tors i (Nm)
e
f
i
s
i
e
n
s
i

t
h
e
r
m
a
l

(
%
)
100% : 0%
75% : 25%
50% : 50%
25% : 75%
0% : 100%

Gambar 4.6 Grafik Torsi (T) terhadap Efisiensi Thermal (
th
) untuk B20 pada 2000
rpm.

Pada gambar 4.7 untuk B30, menunjukkan semakin banyak komposisi JCO
pada campuran bahan bakar maka efisiensi termal akan semakin meningkat. Efisiensi
tertinggi terletak pada campuran 100% JCO dan efisiensinnya akan menurun dengan
berkurangnya komposisi JCO dalam bahan bakar.
Jadi untuk komposisi bahan bakar B 20, dan B 30 efisiensi yang tertinggi
adalah pada campuran 100 % JCO ( 100 % jarak pagar), sedangkan untuk B 10
efisiensi tertinggi pada 25 % CPO dan 75 % JCO, namun perbedaanya sangat kecil.,
dan dengan komposisi tertinggi adalah B30.

0
10
20
30
40
50
60
70
80
3 6 9 12
e
f
i
s
i
e
n
s
i

t
h
e
r
m
a
l

(
%
)
Torsi (Nm)
100% : 0%
75% : 25%
50% : 50%
25% : 75%
0% : 100%
CPO : JCO

Gambar 4.7 Grafik Torsi (T) terhadap Efisiensi Thermal (
th
) untuk B30 pada
2000 rpm



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 557


V. KESIMPULAN

1. Daya untuk bahan bakar solar, B10, B20 dan B30 adalah sama. Hal ini
dikarenakan pada masing-masing campuran dilakukan pembebanan yang sama.
2. Pemakaian bahan bakar spesifik campuran antara solar dengan 100% minyak
jarak JCO lebih rendah di bandingkan dengan komposisi bahan bakar yang
lainnya walaupun perbedaannya sangat kecil. Dan pemakaian bahan bakar spesifik
yang terendah pada campuran bahan bakar B20 dengan 100 % JCO
3. Semakin banyak komposisi JCO maka efisiensi termal akan semakin meningkat,
efisiensi thermal tertinggi terletak pada campuran 100% JCO dengan komposisi
B30.


DAFTAR PUSTAKA

1. _____, 1991, T 85 D Internal Combustion Engine Test Bed, Torino Italy
2. Arismunandar Wiranto, (1988), Penggerak Mula Motor Bakar Torak,
Penerbit ITB, Bandung.
3. Arismunandar Wiranto, Koichi Tsuda (1979), Motor Diesel Putaran Tinggi,
Penerbit Pradnya Paaramita, Jakarta.
4. Heywood Jhon B, 1988 Internal Combustion Engine, McGraw-Hill Book
Company, Singapore.
5. Maleev V.L, 1986 Internal Combustion Engine, McGraw-Hill Book
Company, Tokyo.
6. Nuramin, M. 2006. Biodiesel Bahan Bakar Alternatif Minyak Diesel Solar
yang Ramah Lingkungan. Jakarta : PT. Kreatif Energi Indonesia.
7. http://dwienergi.blogspot.com.
8. www.wikipedia.org.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 558

EL-18

Rancang Bangun Swirling Pressurized Fluidized Bed Combustor
(SPFBC) Sebagai Alat Gasifikasi Bahan Biomassa


Nukman
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya,
Jl. Raya Inderalaya km.32, Inderalaya

Email: ir_nukman2001@yahoo.com


ABSTRACT

Rancang Bangun Swirling Fluidized Bed Combustor (SPFBC) Sebagai Alat
Gasifikasi Bahan Biomassa. Alat ini dirancang untuk dipakai dalam penelitian di
laboratorium. Pemakaian biomassa sebagai bahan bakar termasuk suatu kebijakan
yang telah ditetapkan pemerintah pada masa datang. Biomassa tidak hanya dapat
membakar langsung bahan baku, namun biomassa dapat dikonversi menjadi gas. Alat
ini dalam skal laboratorium telah diuji coba dan telah menunjukkan hasil yang baik.

Keywords: Biomassa, gasifikasi, combustor.


1. PENDAHULUAN
Sebagai salahsatu jenis energi, batubara dan biomassa memiliki nilai strategis
dan potensial untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan energi dalam negeri.
Permasalahan dalam penggunaan batubara dan biomassa sebagai sumber energi
adalah ketidakpraktisan dalam penggunaannya dan dampak polusi yang ditimbulkan
oleh batubara dan biomassa cenderung lebih besar dibandingkan dengan minyak dan
gas bumi. Akan tetapi dengan menggunakan teknologi yang bersih, diharapkan
masalah-masalah tersebut dapat teratasi.
Oleh karena itu, akan dirancang alat pembakaran yang lebih efisien dan efektif,
baik pada pembakaran bahan bakar batubara maupun pada bahan bakar alternatif yang
saat ini sedang dikembangkan seperti biomassa. Selain daripada itu, alat ini dapat
berfungsi sebagai penggas bahan bakar padat (alat gasifikasi bahan bakar padat).
Rancang bangun alat ini merupakan adaptasi dan penyempurnaan dari alat sejenis
yang dirancang oleh Wu. et .al (2007).
Pembakaran bahan bakar umumnya menghasilkan emisi gas buang antara lain
CO
2
, CO, HC, NO
x
, SO
x
serta polutan yang lainnya yaitu abu, dimana abu ini terdiri
dari abu terbang (fly ash) dan abu tertinggal (bottom ash) untuk pengujian emisi gas
buang alat yang dipakai adalah Gas Emission Analizer, sedangkan untuk pembakaran
bahan bakarnya memakai combustor.
Alat pengujian emisi gas buang ini harus selalu terhindar dari kandungan abu
dikarenakan abu akan menutupi lubang-lubang pori dari sel-sel uji dari Gas Emission
Analizer, bilamana terdapat abu menutupi pori-pori tersebut akan membiaskan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 559

pembacaan emisi tersebut, untuk itulah dirancang satu alat combustor yang dilengkapi
dengan penjebak yang dinamakan cyclone (trackping) abu dalam hal ini penjebak
tersebut berfungsi untuk menjerat abu dan mengalirkannya kebagian bawah alat yang
dengan sendirinya asap yang dibaca atau yang diukur oleh Gas Emission Analizer
dalam keadaan bebas debu.

2. TEKNOLOGI PEMBAKARAN BATUBARA
2.a. Teknologi Pulverized Coal dengan penambahan Flue Gas Desulphurization
(PC + FGD)
Pada prinsipnya penambahan FGD merupakan proses lanjut terhadap gas buang
dari proses teknologi Pulverized coal. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi emisi
SO
2
, sebagai hasil sisa dari pembakaran batubara di dalam boiler. Prinsip kerja dari
FGD adalah dengan mengabsorbsi SO
2
keluar ke udara bebas, dengan tingkat
penekanan sampai 90% dari keadaan awal. Pemakaian teknologi ini sedang
dikembangkan untuk pusat pembangkit listrik Suralaya unit 5,6 dan 7 (Koestoer,
1997).
2.b. Teknologi Integrated Gasification Combine Cycle (IGCC)
Teknologi IGCC merupakan gabungan dari unit gasifikasi batubara dengan
teknologi combine cycle yang telah lama dikenal dan biasanya menggunakan bahan
bakar gas bumi atau minyak bumi. Hal ini memungkinkan suatu pembangkit tenaga
listrik dioperasikan dengan menggunakan batubara (Koestoer.1997).
Prinsip kerja dari combine cycle yang memanfaatkan turbin gas dan turbin uap
telah lama dikenal. Udara dengan temperatur dan tekanan tertentu diumpankan untuk
membakar bahan bakar. Gas panas yang dihasilkan dari pembakaran kemudian
dilewatkan melalui turbin gas yang sabagian besar menghasilkan energi untuk
memutar turbin dan sabagian lainnya berupa energi panas terbuang. Untuk
menigkatkan efesiensi kerja, maka ditambahkan heat recovery steam generator
(HRSG). Temperatur gas yang keluar dari turbin gas berkisar antara 400-500
o
C,
masih memiliki energi panas yang cukup besar untuk menggerakkan turbin uap yang
terdapat dalam HRSG. Efesiensi yang dihasilkan dari pembangkit listrik ini cukup
tinggi yaitu mencapai 56% dengan tingkat emisi yang rendah dan biaya operasi yang
relatif rendah (Koestoer, 1997).
2.c. Teknologi Circulating Fluidized Bed Combustion (CFBC)
Pada CFBC partikel batubara yang belum terbakar disikulasikan kembali
kedalam ruang bakar sehingga memungkinkan tercapainya efisiensi pembakaran yang
lebih tinggi. Dewasa ini proporsi CFBC dalam total kapasitas terpasang FBC terus
meningkat yang didorong oleh beberapa keunggulan antara lain : flexibilitas bahan
bakar pada temperatur pembakaran yang rendah (800-900
o
C), efisiensi pembakaran
yang lebih tinggi dan tingkat emisi SO
2
dan NO
x
yang relatif rendah (Koestoer,1997).
2.d. Teknologi Pressurized Fluidized Bed Combustion (PFBC)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 560

Teknologi PFBC termasuk pada kelompok teknologi unggulan dalam
perlombaan pengembangan pusat pembangkit listrik dengan teknologi batubara bersih
(clean coal), sejak ABB carbon dari swedia berhasil melakukan inovasi, desain
pemecahan yang unik dari unit pembakaran, suatu bejana bertekanan (presurized
vessel) yang mengandung peralatan pembakaran fluidized bed (Koestoer,1997).

2.e. Mekanisme kerja Swirling Pressurized Fluidized Bed Combustion
Sistem pembakaran batubara dengan metode ini dikemukakan oleh (Elliot, 1968
dan Malik, 1998 dalam Sukandarrumidi, 2006). Pada awalnya sistem pembakaran ini
dengan cara Bubbling Fluidized Bed (BFB), yaitu dengan membuat partikel-partikel
batubara terfluidakan oleh gelembung-gelembung udara pada tekanan atmosfir.
Sistem pembakaran BFB hampir sama dengan dengan sistem pembakaran PFB.
Pada sistem PFB aliran udara untuk pembakaran diberi tekanan 10 bar atau
lebih dengan menggunakan kompresor udara. Oleh karena itu laju pertukaran panas di
dalam fluidized bed semakin meninggi. Pada proses pembakaran ini, pembakaran
terjadi pada tekanan tinggi yang artinya ruang pembakaran tertutup di dalam tangki
bertekanan (pressure vessel).
Ukuran biomassa yang dipakai dalam sistem pembakaran ini adalah 6 s.d. 20
mm, yang dimasukkan dengan menggunakan saluran distributornya. Kemudian pada
sistem pembakaran ini juga dimasukkan batu kapur (limestone) agar pada saat
pembakaran juga terjadi desulfurisasi.Temperatur pembakaran pada sistem fluidized
bed ini sekitar 850
0
C.
Pada pembakaran ini terdapat pipa-pipa yang berfungsi sebagai pendingin.
Sehingga dapat membatasi temperatur pembakaran sekitar 850
0
C. temperatur
pembakaran yang relatif rendah ini menyababkan produksi NOx menjadi lebih sedikit
dan mencegah proses slagging.
Gas hasil pembakaran yang bertekanan, akan keluar dari ruang pembakaran dan
selanjutnya akan dibersihkan secara mekanis melalui cyclone. Gas yang telah
dibersihkan ini selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai penggerak dari pada turbin
gas. Output dari turbin gas ini sebagian digunakan untuk menggerakkan kompresor
dan sebagian untuk menggerakkan generator penghasil listrik.
Uap dari hasil pembakaran juga dapat dimanfaatkan sebagai penggerak turbin
uap yang outputnya menggerakkan generator penghasil listrik juga. Oleh sebab itu
sistem pembakaran dengan metoda Pressurized Fluidized Bed Combustion dapat
diterapkan pada suatu combined cycle antara gas dan uap.
3. BAGIAN UTAMA SWIRLING PRESSURIZED FLUIDIZED BED
COMBUSTION (SPFBC)
Alat ini dibuat dengan skala laboratorium. Adapun bagian-bagian utama alat ini
adalah:

3.a.Fluidizing Air
Fluidizing Air ialah dua buah pipa dan plat yang memisahkan kedua pipa
tersebut. Untuk pipa pertama memiliki diameter (d) = 10 cm, dan tinggi (t) = 10 cm,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 561

dan untuk pipa kedua memiliki diameter (d) = 1,5 cm, dan panjang (p) = 30 cm,
sedangkan plat berbentuk lingkaran dengan diameter = 17 cm, tebal = 2 mm.
Fungsi dari Fluidizing Air ialah untuk menyalurkan udara yang berasal dari
blower. (Lihat gambar 1).
3.b. Air Distributor
Swirling adalah distributor udara yang bentuknya terdiri dari susunan plat baja
yang membentuk swirling susunan kipas atau fan. Pemakaian swirling ini
dimaksudkan agar
terjadi aliran putar dalam ruang bakar, sehingga didapat keseragaram aliran udara.
Bahannya adalah plat baja yang dibentuk menyerupai sirip dari kipas atau fan. Sirip
ini berjumlah 13 buah yang disusun rapi menyerupai fan umumnya. Ketebalan plat
adalah 1 mm, dengan diameter terluar dari susunan sirip adalah 10 cm. Susunan dari
sirip dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 1: Fluidizing Air Gambar 2: Swirling dan Bed
3.c. Bed
Bed ialah tungku, dimana dalam pembuatan bed ini digunakan besi behel 5 mm.
Dengan susunan silang bed ini dilas pada bagian atas swirling berjarak 20 cm. Untuk
bahan baku ukuran serbuk, maka di atas silang bed ini dipasangkan screen dari bahan
stainless steel. Lihat gambar 2.

3.d. Pipa Combustor
Fungsi dari pipa combustor ialah sebagai tempat terjadinya pembakaran.
Pipa combustor (gambar 3) ialah pipa yang terbuat dari stainless steel dengan tebal =
1,5 mm, diameter = 10 cm, dan tinggi (t) = 1,2 m.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 562


Gambar 3: Pipa Combustor
3.e. Plat penutup bagian atas
Plat penutup bagian atas (gambar 5) memiliki tebal = 3 mm, lebar = 18 cm, dan
panjang = 26 cm. Fungsi plat ialah untuk menutup pipa combustor. Lihat gambar 4.

Gambar 4: Plat penutup bagian atas
3.f. Screw Feeder
Screw feeder (gambar 5) ialah alat yang terbuat dari besi cor yang merupakan
alat yang biasa digunakan untuk menggiling daging, sedangkan pipanya terbuat dari
stainless steel, pipa ini memiliki diameter = 2,3 cm, dan panjang = 90 cm, dalam
pembuatannya tidak bisa dilakukan pengelasan antara screw feeder dan pipa karena
kedua benda tersebut terbuat dari bahan yang berbeda sehingga tidak bisa dilakukan
pengelasan, karena itulah digunakan cincin yang memiliki ulir, sehingga kedua benda
tersebut dapat digabungkan, dengan kata lain screw feeder dan pipanya dapat
dibongkar pasang.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 563


Gambar 5: Screw Feeder
Bagian pemutar dari screw Feeder menggunakan pulley berdiameter 6 inci
disambungkan memakai belt ke motor listrik sebagai pemutarnya. Fungsi dari Screw
Feeder ialah untuk memasukkan biomassa ke dalam combustor.





3.g. Secondary Air Nozzle
Pipa secondary air ialah pipa yang terbuat dari stainless steel, dengan diameter
= 2,1 cm, tinggi = 80 cm, pada bagian bawahnya secondary air berbentuk cincin,
dengan lubang sebanyak 42 buah dan berdiameter = 2 mm. (Lihat gambar 6). Fungsi
dari secondary air ialah untuk mengalirkan oksigen ke dalam combustor.

Gambar 6: Secondary Air Nozzle
3.h. Pipa Penghubung
Pipa penghubung terbuat dari besi. Pipa penghubung memiliki diameter = 4 cm,
dengan panjang = 18,4 cm. (Lihat gambar 7). Fungsi dari pipa penghubung ialah
menghubungkan pipa combustor dengan cyclone.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 564


Gambar 7: Pipa Penghubung Gambar 8: Cyclone
3.i. Cyclone
Cyclone terbuat dari plat dengan tebal = 1 mm, memiliki tinggi = 36 cm,
diameter atas = 14,7 cm, diameter bawah = 6 cm, didalam cyclone terdapat plat yang
berbentuk spiral, dengan lebar = 3 cm, dan jarak antara plat = 3 cm.
Fungsi dari cyclone ialah memisahkan antara abu terbang dengan gas buang.
(Lihat gambar 8).




3.j. Tabung Oksigen (O
2
) + regulator
Tabung Oksigen (O
2
) berfungsi sebagai tempat dari oksigen murni. Yang mana
oksigen ini berfungsi untuk membantu pembakaran didalam combustor. Sedangkan
regulator berfungsi sebagai pengatur suplai oksigen dari tabung kedalam combustor
melalui secondary air.
3.k. Kompresor
Fungsi dari kompresor (gambar 9) ialah untuk menyemprotkan udara primer,
yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penumpukan biomassa diatas bed, dengan
kata lain udara yang berasal dari kompresor dapat menyebabkan terjadinya
pengadukan dan pergerakan partikel yang turbulen. Hal inilah yang membedakan
antara pembakaran menggunakan System Swirling Fluidized Bed Combution dengan
pembakaran yang menggunakan system konvensional.


Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 565

Gambar 10: Kompresor
3.l. Penyangga Pipa Combustor
Penyangga ini (gambar 11) berfungsi untuk menyangga agar alat pembakaran
batubara tetap stabil.


Gambar 11: Penyangga pipa combustor Gambar 12: Gas Emission Analizer
3.m. Selang Oksigen dan Selang Kompresor
Selang oksigen memiliki diameter (d) = 1 cm, dengan panjang (p) = 8 m,
digunakan sebagai penyalur oksigen yang berasal dari tabung ke secondary air.
Selang kompresor memiliki diameter (d) = 1 cm, dengan panjang (p) = 2 m,
digunakan sebagai penyalur udara yang berasal dari kompresor ke primary air.
3.n. Gas Emission Analizer
Gas Emission Analizer (gambar 12) ialah alat yang digunakan untuk mengukur
gas buang dari biomassa.
4. PROSEDUR PERCOBAAN
Berikut ini merupakan prosedur percobaan dari pengujian emisi gas buang Pada
serbuk Biomassa, menggunakan Gas Emission Analizer:
a. Siapkan Alat dan Bahan
b. Susun atau rakit alat sesuai yang.
c. Masukkan kayu tipis berbentuk lidi yang telah terbakar ke dalam lubang
pengukur temperatur pada pipa combustion yang bertujuan sebagai pemicu
pada pembakaran biomassa didalam tabung.
d. Masukan sampel serbuk kayu kedalam pipa combustor sedikit demi sedikit
melalui Screw feeder , sambil dialirkan oksigen murni melalui secondary air
yang bertujuan untuk membantu terjadinya pembakaran diruang bakar.
e. Dari bagian bawah ruang pembakaran dialirkan udara yang berasal dari
kompresor yang melalui primary air, air distributor dan kemudian melalui
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 566

bed. didalam ruang bakar akan terjadi pengadukan atau akan terjadinya
pergerakan partikel yang turbulen.
f. Biarkan pembakaran didalam ruang bakar selama 15 menit, diikuti dengan
penambahan serbuk kayu sedikit demi sedikit. Agar pembakaran didalam
ruang bakar tetap terjaga.
g. Hitung Temperatur yang terjadi pada saat pembakaran terjadi dengan
menggunakan Termokopel.
h. Gas buang (flue gas) yang keluar dari cyclone diukur dengan menggunakan
Gas Emission Analizer.
i. Masukkan selang dari alat ukur Gas Emission Analizer kedalam pipa flue gas
pada cyclone, lalu lihat, catat, dan print data yang terbaca pada alat Gas
Emission Analizer tersebut.

5. HASIL PENGUJIAN ALAT
Bahan bakar padat yang dibakar pada alat ini adalah Serbuk kayu dan daun
Akasia (Acacia mangium). Temperatur pembakaran yang terbaca pada lubang
pengukur temperatur adalah 970
o
C. Hasil pengukuran emisi gas buang seperti terlihat
pada tabel berikut.
Tabel Hasil Pengukuran Emisi Gas Buang Serbuk Kayu dan Serpihan Daun
Akasia
PENGUJIAN Kayu Akasia
Daun Akasia

CO (ppm) 98
88
NO
x
(ppm) 223
190

6. KESIMPULAN
a. Alat Ini dapat bekerja dengan baik
b. Dari segi mekanisme pembakaran, temperatur api sekitar 340
o
C,walaupun
jauh dibawah temperatur api boiler konvensional (1600
o
C) tetapi akan
menghasilkan pembakaran yang sempurna karena adanya pergerakan dan
pencampuran Fluidized.
c. Gas Hasil pembakaran yang bertekanan akan keLuar dari ruang bakar dan
selanjutnya akan dibersihkan secara mekanis melalui cyclone. Gas yang
telah dibersihkan ini selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai gas
pembakar.


DAFTAR PUSTAKA
Koestoer, R. A, Yulianto SN, Iwan Masri, Martino RS dan Nandy S, 1997, Studi
Tentang Batubara; Potensi, Teknologi dan Prosfek Pemanfaatannya, Depok.
Sukandarrumidi, 2006, Batubara dan Pemanfaatannya; Pengantar Teknologi
Batubara Menuju Lingkungan Bersih, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 567

Wu, Andi ; Li, Songgeng ; Deng, Shuang ; Pan, Wei-pan, 2007, Effect Of CO-
Combustion of Chicken Litter and Coal on Emissions in a Laboratory-Scale
Fluidized Bed Combustor, Institute for Combustion Science and
Environmental Technology, Western Kentucky University, bowling Green,
KY, 42101 USA,

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 568

EL-19

Kajian Literatur Pembakaran Briket Batubara Kalori Rendah
dengan Pengayaan Oksigen Udara Pembakaran (Oxy-combustion)


Diah K. Pratiwi
1)
Valentino CH
2)



1,2)
Jurusan Teknik Mesin
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
Kampus Unsri Indralaya, Jalan Raya Palembang-Prabumulih km 32-Indralaya OI
Telephon 0711 580072, Faksimil 0711 580741 Kode Pos 30662
E_mail: pratiwi.diahkusuma@yahoo.com


Abstrak
Pada saat ini harga bahan bakar minyak dan gas semakin mahal karena cadangannya di dalam bumi
Indonesia semakin menipis. Hal ini menyebabkan semakin banyak penelitian dilakukan terhadap
fenomena pembakaran bahan bakar padat termasuk batu bara. Jenis batubara yang beredar di pasar
domestik adalah batubara kalori rendah yang dijual dalam bentuk briket. Karena nilai kalor yang
rendah maka temperatur pembakaran maksimum yang dapat dicapaipun rendah. Menurut teori,
tingginya temperatur pembakaran amat erat hubungannya dengan jumlah oksigen yang terlibat dalam
reaksi pembakaran tersebut. Oleh karena itu, makalah ini menyajikan kajian literature hasil pada
penelitian pembakaran briket batubara kalori rendah dengan cara pengayaan oksigen udara
pembakaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut kajian analitis dengan simulasi CFD maka
temperatur nyala api menggunakan pengayaan oksigen udara pembkaran dapat mencapai lebih dari
2000 C, sedangkan dengan eksperimental, alat ukur hanya mampu mengukur hingga temperatur 1350
C.

Kata Kunci: briket batubara kalori rendah, pengayaan oksigen udara pembakaran, simulasi CFD,
pengujian eksperimental


Pendahuluan
Bahan baku untuk membuat briket batubara non karbonisasi adalah : 82% batubara, 13.5 % tanah liat, 4
% tapioka, 0.5 % air (uap). Komposisi kimia briket adalah komposisi batubara ditambah dengan abu
yang berasal dari tanah liat dan uap air. Unsur-unsur yang dikandung dalam briket adalah : C, H, O, S,
N, uap air, dan karbon. Sedangkan oksida-oksida yang terkandung didalam tanah liat akan tetap berada
dalam kandungan abu sisa pembakaran. Masing-masing unsur yang dikandung didalam briket akan
bereaksi dengan oksigen dari udara selama proses reaksi pembakaran berlangsung. Kalor yang
dilepaskan pada saat pembakaran briket batubara sebenarnya adalah merupakan energi yang dilepas
oleh reaksi eksotermis pada reaksi antara C, S, H, dengan oksigen.
Proses pembakaran briket ini dengan oksigen di udara akan melepaskan kalor hasil
pembakaran dan menghasilkan produk dalam bentuk gas buang dan abu sisa pembakaran.



Bila suatu briket batubara di analogikan sebagai suatu partikel, maka reaksi pembakaran akan
mulai dari permukaan. Kemudian abu akan terbentuk di permukaan. Semakin dalam oksigen dapat
Briket batubara
non karbonisasi
+
O
2
Kalor hasil
pembakaran
Gas
buang
+
abu
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 569

berdifusi kedalam briket, maka dalam reaksi yang akan terjadi didalam briket. Akibatnya abu yang
terbentuk dipermukaan pun akan semakin tebal. Bersamaan dengan itu maka terbentuk gas hasil
pembakaran. Semakin lama reaksi maka abu sisa pembakaran dan film gas buang yang terdapat
diatasnya akan semakin tebal. Oleh karena itu abu dan gas buang ini akan merupakan tahanan yang
akan menghambat difusi oksigen kedalam briket. Sehingga proses pembakaran akan semakin lambat.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa semakin besar ukuran briket, maka reaksi akan semakin
lambat. Menurur (Altun, NE., Hicyilmaz, C., Bagci, AS. 2003) briket dengan pengikat tanah liat
mempunyai konstanta Arrhenius A
r
adalah 4.36 x 10
-2
dan energy aktivasi nya adalah 47.08 (kJ/mol).
Dikatakan bahwa briket batubara dengan binder tanah liat mempunyai energy aktivasi yang tinggi
sehingga mengurangi kualitas pembakarannya tidak seperti briket dengan pengikat CMC (carboxyl
methyl cellulose) yang energy aktivasinya 31.86 (kJ/mol). Selanjutnya laju konsumsi udara pada
pembakaran briket adalah :

AL
O q
2
A
(1)
Sehingga laju konsumsi udara dan laju reaksi pembakaran menjadi:

) exp(
2
2
RT
E
C P A
AL
O q
n
f
m
O r
=
A
(2)

Maka laju konsumsi udara dan laju pengurangan bahan bakar adalah:


dt
dC
L A
O q
f
briket briket
o =
A
2
(3)

Maka persamaan diatas menjadi :

dt
dC
RT
E
C P A
AL
O q
f n
f
m
O r
o = =
A
) exp(
2
2
(4)

Pada t = t
1
adalah :
}

A
=
1
2
) (
t
f
dt
AL
O q
t C o (5)
Dimana : C
f
= 0 pada t = , maka :
|
|
|
|
.
|

\
|

|
.
|

\
| A
=
) exp(
1
) (
2
2
RT
E
C P A
AL
O q
t C
n
f
m
O r
n
f
(6)
Sehingga :
) exp(
1
2
2
RT
E
dt O
O
n
t
=
(
(

A
}

| (7)
Dan :

n
m
O r
n
P A
AL
q
o
|
2
1
|
.
|

\
|
= (8)

Pembakaran briket dipengaruhi oleh ukuran briket. Briket dengan ukuran lebih besar dari 5.5 x
4.0 cm, akan mempunyai energy aktivasi lebih besar dari 41.14 (kJ/mol), sehingga effektivitas
pembakaran akan berkurang dengan semakin besarnya ukuran briket. Perbandingan pembakaran antara
briket batubara yang mengandung kadar air lebih dari 10 % dengan briket kering yang tidak
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 570

mengandung kadar air menunjukan bahwa waktu penyalaan akan bertambah dengan semakin
banyaknya kandungan kadar air, namun akan semakin berkurang dengan semakin tingginya
temperatur. Menurut (Sirittheerasa, P., Chunniyom, C., Sethabunjong, P. 2008) laju pembakaran briket
akan berkurang dengan bertambahnya kandungan air. Untuk kandungan air 10 % 20 %, maka laju
pembakaran adalah 0.0508 0.0439 s
-1
. Sedangkan waktu yang diperlukan untuk menyala adalah 15
30 menit pada temperatur 700 C. Semakin banyak kandungan air, maka pengurangan beratpun akan
semakin lambat. Pengurangan berat ini menjadi 0.7 0.8 dari berat semula setelah 30 menit, dan mulai
konstant mencapai 0.5 0.6 setelah 90 menit. Laju pembakaranpun meningkat hingga lebih dari 0.02
min
-1
setelah 15 menit.
Pada (Altun, NE., Hicyilmaz, C., Bagci, AS. 2004) hubungan antara temperatur bara dan
energy panas yang dilepaskan adalah :
pA
p
A
C
T
H
= |
.
|

\
|
c
c
hasil pengukuran (9)

Sehingga kalor yang dilepaskan dari hasil reaksi pembakaran adalah:
(
(

+ + + + A = A
} } } }
0 0
0 0
0
0 0 0 0 0
1
T
T
T
T
T
T
T
T
pD pC pB pA
T
r r
dT dC dT cC dT bC dT aC
a
H H (10)

Atau dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut [13] :

( ) ( ) ( ) ( )

+ A = A
0 0
0
T T C N T T C N H H
react
pi i
prod
p i T T
i
(11)

Menurut (Pratiwi DK, et al, 2009) pada suatu reaksi kimia terdapat keterbatasan kemampuan
reaktan untuk bereaksi, sehingga dalam proses pembakaran diperlukan udara lebih Pada pembakaran
natural draft, konsumsi oksigen hanya mencapai 14.70 % dan temperatur maksimum yang dapat
dicapai hanya 910 C. Produksi CO < 2 % dan CO
2
< 14 %.


Metodologi
Briket batubara kalori rendah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah briket yang berasal dari
pabrik briket di Natar. Pada simulasi dengan CFD digunakan dua jenis briket yang komposisi kimianya
ditunjukan pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini. Simulasi dilakukan menggunakan perangkat lunak
Fluent 6.3.

Tabel 1. Komposisi briket non karbonisasi untuk simulasi 1
Parameter Total
moisture
(ar)
Inherent
moisture
(adb)
Ash
content
(adb)
Volatile matter
(adb)
Fixed
carbon
(adb)
Total
sulphur
(adb)
Komposisi (%) 20.84 10.75 17.34 35.36 38.55 0.87
Gross Caloric Value (adb) cal/g 6214


Tabel 2. Komposisi Briket Batubara Non Karbonisasi untuk siulasi 2
Parameter Komposisi (%)
Total moisture (ar) 17.01
Inherent moisture (adb) 12.11
Ash content (adb) 14.21
Volatile matter (adb) 36.74
Fixed carbon (adb) 36.94
Total sulphur (adb) 0.43
Gross Caloric Value (adb)cal/g 5223

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 571

Pada pengujian eksperimental, karena keterbatasanan sampel briket, maka briket yang di uji hanya
yang mempunyai komposisi pada Tabel 2 Briket di bakar didalam tungku seperti yang ditampilkan
pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Setting alat pengujian pembakaran dengan oxy-combustion (Pratiwi DK, et al, 2009)


Pada pengujian pembakaran ini di gunakan udara pembakaran secara natural draft yang masuk dari
bagian bawah tungku. Kemudian digunakan oksigen yang disuntikan kedalam ruang bakar dari tabung
oksigen dengan menggunakan tekanan 0,5 bar. Pengukuran temperatur dilakukan dengan menggunakan
thermokopel Type K yang mampu beroperasi hingga temperatur 1350 C. Hasil pengukuran diplot
dalam grafik temperatur terhadap waktu.


Analisis Data dan Pembahasan
Simulasi menggunakan CFD menunjukkan bahwa temperatur pembakaran yang tinggi dicapai pada
kondisi miskin bahan bakar dan kaya oksigen. Pada Gambar 2 tampak bahwa untuk dan briket batubara
non karbonisasi yang mempunyai nilai kalor 6214 kcal/kg, temperatur pembakaran tertinggi pada fraksi
campuran 0,1 atau 10% bahan bakar dan yang terendah pada 100% bahan bakar. Temperatur
maksimum untuk briket dengan nilai kalor 6214 kcal/kg adalah 2550 K.

Gambar 2. Garfik hubungan antara temperatur maksimum rata-rata dengan fraksi campuran udara dan
briket batubara non karbonisasi yang mempunyai nilai kalor 6214 kcal/kg (Pratiwi DK, 2011)

Pada briket batubara non karbonisasi yang mempunyai nilai kalor 5235 kcal/kg temperatur maksimum
adalah 2000 K yang dicapai pada fraksi campuran 1.15. Fraksi campuran ini adalah miskin bahan
bakar.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 572


Gambar 3. Grafik hubungan antara temperatur maksimum rata-rata dengan fraksi campuran udara dan
briket batubara non karbonisasi yang mempunyai nilai kalor 5235 kcal/kg (Pratiwi DK, 2011)


Selanjutnya dilakukan pengujian pembakaran secara ksperimental untuk briket batubara non
karbonisasi yang mempunyai nilai kalor 5235 kcal/kg. Bila pembakaran dilakukan secara natural draft,
temperatur pembakaran hanya akan berkisar di 1000-1100 K.


Gambar 4. Temperatur bara pembakaran briket batubara non karbonisasi dengan penambahan oksigen
pada tekanan lebih 0,5 bar. (Pratiwi DK, et al, 2009)

Pada gambar diatas tampak bahwa temperatur bara maksimum pada berat 1500 g briket adalah 1265 C
dan pada 2000 g briket adalah 1345 C. Waktu yang diperlukan untuk mencapai temperatur maksimum
tidak lebih dari 10 menit.

Kesimpulan
Temperatur maksimum nyala pembakaran tergantung pada komposisi kimia bahan bakar dan jumlah
oksigen yang ikut serta dalam proses pembakaran. Tinggi temperature ini tergantung pada jumlah
oksigen yang terlibat dalam proses reaksi kimia pembakaran. Namun tinggi temperature ini mencapai
batas tertentu pada komposisi oksigen yang optimum, dan tidak berlaku hubungan bahwa yang linier
antara semakin banyak oksigen yang terlibat maka temperatur akan semakin terus meningkat. Masih
perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan titik optimum hubungan antara komposisi oksigen yang
terkadung dalam udara pembakaran dengan komposisi briket dan temperature tertinggi yang dapat
dicapai oleh nyala briket.



Daftar Pustaka
Altun, NE., Hicyilmaz, C., Bagci, AS. 2003, Combustion Characteristics of Coal
Briquette 1. Thermal Feature, International Journal ACS, , p. 1266-1276

0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
waktu (menit)
T
e
m
p
e
r
a
t
u
r

(
C
e
l
s
i
u
s
)
Penambahan oksigen pada 0.5 atm, 1500 g
Penambahan oksigen pada tekanan lebih 0.5 atm , 2000 g
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 573

Altun, NE., Hicyilmaz, C., Bagci, AS. 2004, Influence of Coal Briquette Size on the
Combustion Kinetics, ELSEVIER, Fuel Processing Technology, p. 1345-1357

Sirittheerasa, P., Chunniyom, C., Sethabunjong, P. 2008, Combustion of Moist Coal
Briquette, Chiang Mai Journal Science, , p. 35-42

Pratiwi DK, Nugroho YS, Koestoer RA, Soemardi, TP, 2009, Ekspermaental Study of South
Sumatra Low Rank Coal Briquette Falme Temperature, International Conference of Fluid
and Thermal Energy Conversion, Gyeongsang National University, Tongyeong, Korea

Pratiwi DK, 2011, Per ancangan Tungku Pengecor an Kuni ngan Menggunakan Bahan
Bakar Br i ket Bat ubar a Non Kar boni s as i : Opt i mas i Teor i t i s Dan
Eks per i ment al , Di s er t as i , Fakul t as Tekni k, Uni ver s i t as I ndones i a

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 574

EL-20

PEMANFAATAN ELEMEN PELTIER TIPE CP1-12730 SEBAGAI
SUMBER DAYA EMERGENCY CHARGER PONSEL


Ismail Thamrin
1
, Irham Hizrata
2
1,2
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
Jl.Raya Palembang - Prabumulih km 32, Inderalaya-Ogan Ilir (30662)
e-mail : ismailthamrin13@yahoo.com



ABSTRACT
Thermoelectric Generator (TEG) merupakan pengembangan dari penemuan dari
ilmuwan Jerman, Thomas Johann Seebeck pada tahun 1821, dimana beliau
melakukan percobaan dengan menghubungkan tembaga dan besi pada sebuah
rangkaian. Di antara kedua logam tersebut lalu diletakan jarum kompas. Ketika sisi
logam tersebut dipanaskan, jarum kompas ternyata bergerak. Belakangan ini
diketahui karena perbedaan junction modul thermoelectric dengan dua material semi
konduktor yang berbeda, dapat menyebabkan aliran arus yang melalui junction
menghasilkan aliran listrik yang menimbulkan medan magnet yang menggerakan
jarum kompas tersebut. Fenomena ini kemudian dikenal dengan Efek Seebeck
(Seebeck Effect) [1][2].
Pada saat pendakian gunung, pendaki sering kali dihadapkan pada kesulitan untuk
mendapatkan pasokan energi listrik untuk men-charger batere ponsel. Hal inilah
yang melatar belakangi untuk melakukan penelitian ini, bagaimana cara untuk
mendapatkan daya listrik sebesar 1,5 volt dengan menggunakan elemen peltier.
Sedangkan sumber untuk pemanasnya, memanfaatkan panas dari kompor spritus.
Pengujian dilakukan dengan 5 kali percobaan, dimana salah satu percobaan
ditambahkan air pada heatsink dingin, dengan harapan dapat memberikan perbedaan
temperatur pada kedua heatsink dengan lama pengujian 10 menit dan menghasilkan
tegangan, kuat arus, perbedaan temperatur, serta daya listrik. Dari analisa dan
pembahasan diketahui bahwa telah terjadi perbedaan dan selisih antara tegangan,
kuat arus, perbedaan temperatur dan daya listrik
.
Pada percobaan dengan
penambahan air pada heatsink dingin, terjadi kenaikan 31.33% pada tegangan listrik,
69.45% pada kuat arus, 23.40% pada T, dan 78.96% pada daya listrik.

Keywords: TEG, Termoelektrik, Efek Seebeck

1. PENDAHULUAN
Dewasa ini telpon genggam atau yang lebih kita kenal dengan handphone sudah
merupakan kebutuhan pokok dimana handphone itu sendiri bukan lagi termasuk
barang mewah. Dengan handphone kita dapat melakukan pembicaraan jarak jauh,
mengirimkan pesan, bahkan melakukan kegiatan-kegiatan diluar fungsi handphone itu
sendiri seperti menyimpan gambar layaknya kamera professional atau bahkan
merekam audio dan video yang menarik untuk kita bagikan keteman-teman kita yang
lain. Dapat kita simpulkan kehidupan manusia saat ini tidak lepas dari sebuah telepon
genggam atau handphone, kita tidak dapat meninggalkan sebuah telepon genggam
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 575

kemana pun kita pergi. Telepon genggam sudah menjadi sebuah bagian dari
kehidupan umat manusia.
Karena memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan, kadang kala kita
manusia akan menjadi panik bila telepon genggam yang kita bawa kehabisan baterai,
mungkin tidak menjadi suatu masalah bila kita sedang berada dirumah atau tempat
yang memiliki sumber daya listrik yang cukup untuk melakukan charger pada
handphone kita, Namun bila kita sedang berada pada suatu tempat, atau keadaan
dimana kita tidak dapat melakukan charger sebagaimana mestinya, peneliti
mengambil contoh suatu kondisi dimana kita sedang berada pada suatu kegiatan
pencinta alam dimana kita berada pada objek pendakian dimana tidak dapat
menemukan sumber arus listrik, tentu saja ini akan membuat kita bingung akan
melakukan charger sebuah ponsel, apalagi bila sedang dalam kondisi darurat
(menerangkan letak posisi pendakian)[3].Penelitian ini melakukan pengujian modul
peltier tipe CP1-12730 [6] sebagai Thermoelectric generator (TEG) untuk aplikasi
emergency charger pada handphone dengan memanfaatan panas dari sebuah kompor
spritus yang biasa di bawa dalam kegiatan mapala

2. TINJAUAN PUSTAKA
Pembangkit listrik konvensional saat ini memanfaatkan bahan bakar fosil
untuk mehasilkan putaran turbin dengan melakukan proses pembakaran tekanan
tinggi. Seperti kita ketahui proses pembakaran tersebut menghasilkan banyak panas,
namun panas tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal. Dengan teknologi TEG
(TEG) yang memanfaatkan modul peltier, kita dapat manfaatkan panas hasil proses
pembakaran tersebut menjadi energi listrik sekaligus meningkatkan efisiensi panas
hingga tak terbuang percuma diudara/lingkungan.
Thermoelectric Generator menhasilkan listrik secara langsung dari aliran
panas, tanpa adanya suara bising dan tanpa adanya komponen yang bergerak.
Proses perpindahan kalor pada Thermoelectric Generator memegang fungsi
penting dalam menghasilkan daya listrik, hal ini terbukti diharuskannya sebuah modul
termoelektrik diberikan heatsink, agar memberikan efek yang lebih baik lagi. Tidak
terkecuali untuk menghasilkan efek panas-dingin, modul peltier pun diharuskan
memakai heatsink agar dingin yang dihasilkan maksimal.


Gambar 2.1. Mekanisme modul thermoelectric sebagai penghasil daya.
(sumber: tes-new.com)

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 576



Gambar 2.2. Rangkaian TEG

Berikut adalah komponen-komponen dari TEG beserta fungsinya:


Gambar 2.3. Komponen-komponen dan cara kerja TEG

Keterangan:
1. Heatsink Panas
2. Kompor Spiritus
3. Elemen Peltier
4. Rockwool
5. Heatsink Dingin

3. PROSEDUR PENGUJIAN
Pengujian alat thermoelectric generator yang dipakai untuk melakukan changer
ponsel dengan memanfaatkan panas dari Kompor Alkohol dengan bantuan module
thermoelectric, adapun spesifikasi alat yang dipakai adalah elemen peltier tipe CP1-
12730
Untuk melaksanakan pengujian ini perlu dibutuhkan beberapa alat penunjang
untuk mengukur dan melihat hasil pengujian terhadap alat TEG. Adapun peralatan
yang digunakan, antara lain :
a. Rangkaian Thermoelectric Generator.
b. Kompor Alkohol.
c. Multitester, yaitu alat untuk mngetahui tegangan yang dihasilkan generator
saat bekerja.
Cara penggunaan dengan menyambungkan kedua ujung kabel pada multitester dengan
kedua ujung kabel pada peltier, digunakan untuk mengetahui tegangan dan kuat arus
yang dihasilkan.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 577



Gambar 3.1 Multitester, thermometer dan termokopel tipe K

d. Thermometer dan Thermocouple Type-K, merupakan alat untuk mengukur
temperatur dengan bantuan termokopel tipe K dengan maksimal temperatur
1200
o
C.
- Merk : Krisbow
- Model : KW06-278
- Jenis : Single termokopel input
Cara penggunaan Termometer dan Termokopel dengan menempelkan ujung
termokopel dengan heatsink panas dan heatsink dingin untuk mengetahui temperatur
pada kedua heatsink untuk perbandingan.

e. Stopwatch, untuk menghitung dan mengukur waktu selama proses penelitian.

Pengujian
Pengujian dilakukan dengan dua kondisi yang berbeda, yaitu dengan
menambahkan air pada heatsink dingin, dan tanpa penambahan air pada heatsink
dingin termoelektrik [7][8]. Pengujian dilakukan dengan melakukan perhitungan
waktu pengujian setiap 1 kali percobaan selama 10 menit dengan penambahan dan
tanpa penambahan air pada TEG. Pengujian ini menghasilkan beberapa data yang
diperlukan, antara lain : Tegangan (volt) , Kuat Arus (Ampere), perbedaan
temperature, dan daya listrik.
Langkah - langkah pengujian :
1. Persiapkan alat TEG berserta alat ukur seperti thermometer, termokopel,
multimeter, serta stopwatch, pastikan semua peralatan semua siap dipakai.
2. Sambungkan kabel output termoelektrik dengan kabel multitester, untuk
menghitung besar tegangan dan kuat arus yang dihasilkan.
3. Siapkan kompor alkohol, pastikan sudah terisi spritus dan siap pakai.
4. Persiapkan Termometer dan Termokopel dengan keadaan standby, lakukan
pengecekan suhu temperatur udara lingkungan (ambient).
5. Mulai nyalakan kompor alkohol/spritus dan mulai melakukan perhitungan waktu
menggunakan stopwatch.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 578



Gambar 3.3. proses pengujian TEG

6. Catat hasil tegangan serta kuat arus yang dihasilkan dengan melihat tampilan pada
multitester, ubah pengaturan yang ada untuk melihat hasil tegangan serta kuat arus.
7. Catat temperatur heatsink panas, heatsink dingin dengan melihat indikator pada
termometer.



Gambar 3.4. tampilan layar indiKator pada termokopel

8. Lakukan pencatatan hasil tegangan, kuat arus, serta temperatur setiap 1 menit
selama 10 menit. Ulangi prosedur diatas untuk pengujian dengan penambahan air
pada heatsink dingin TEG

4. HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN
Pembahasan akan disajikan dalam bentuk tabel maupun grafik, agar terlihat jelas
variasi data yang diperoleh peneliti melakukan 5 kali tiap masing-masing metode.
Sebagai pembanding pengujian dilakukan dengan dua metode, yaitu pengujian TEG
tanpa menggunakan air pada heatsink dingin dan pengujian TEG dengan penambahan
air pada heatsink dingin.

Tabel 4.1 Hasil data rata-rata pada pengujian TEG dipasang tanpa air pada heatsink
dingin dengan 5 kali percobaan.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 579


Tabel 4.2 Hasil data rata-rata pada pengujian TEG dipasang dengan penambahan air
dengan 5 kali percobaan.


1. Pengaruh pengujian TEG terhadap tegangan
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1 3 5 7 9
V
o
l
t

(
V
)
Dengan air
Tanpa air

Gambar 4.1 Grafik tegangan listrik yang terjadi terhadap waktu
Berdasarkan gambar 4.1 pada pengujian TEG yang ditambahkan air pada heatsink
dingin, hasil tegangan yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan pengujian TEG
tanpa tambahan air pada heatsink dingin. Hal ini terjadi karena tambahan air pada
heatsink dingin membantu menjaga temperatur heatsink dingin, sehingga memberikan
Waktu (Menit)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 580

perbedaan temperatur yang lebih besar daripada pengujian termoelektrik tanpa
menambahkan air pada heatsink dingin (lihat tabel 4.1 dan tabel 4.2).
Dari gambar diatas dapat di lihat bahwa pengujian tanpa menggunakan
tambahan air pada heatsink dingin termoelektrik menghasilkan tegangan listrik rata-
rata 0.226V pada menit pertama, 0.538V pada menit kedua, 0.648V pada menit
ketiga, 0.686V pada menit keempat, 0.696V pada menit kelima, 0.692V pada menit
keenam, 0.670V pada menit ketujuh, 0.682V pada menit kedelapan, 0.650V pada
menit kesembilan dan terakhir 0.656V pada menit kesepuluh. Sedangkan, pada
pengujian TEG menggunakan tambahan air pada heatsink dingin dihasilkan tegangan
listrik rata-rata yang dihasilkan adalah 0.350V pada menit pertama, 0.708V pada
menit kedua, 0.872V pada menit ketiga, 0.948V pada menit keempat, 0.988V pada
menit kelima, 1.008V pada menit keenam, 1.010V pada menit ketujuh, 1.010V pada
menit kedelapan, 1.028 pada menit kesembilan dan 1.038 pada menit kesepuluh.
Bila kita perhatikan secara seksama, terlihat grafik penurunan tegangan pada
keenam dan ketujuh pada pengujian TEG tanpa menggunakan tambahan air pada
heatsink dingin TEG. Hal ini dapat disebab karena ada pengaruh air dari lingkungan
sekitar atau kurang rapatnya pemasangan heatsink panas, elemen peltier, dan heatsink
dingin, sehingga menyebabkan adanya cela-cela udara, yang menghambat proses
konduksi antara heatsink panas, elemen peltier, dan heatsink dingin. Sebagaimana
yang kita ketahui udara merupakan penghantar panas yang buruk. Atau hal ini juga
disebabkan karena bahan bakar spiritus pada kompor spritus sudah mulai habis,
sehingga menyebabkan nyala api berkurang sehingga mempengaruhi panas yang
diterima melalui heatsink panas TEG. Persentase kenaikan tegangan listrik adalah
31.33%.

2. Pengaruh pengujian TEG terhadap kuat arus
Di bawah ini merupakan grafik kuat arus rata-rata yang dilakukan dari 5 kali
percobaan pada pengujian TEG dengan menambahkan air pada heatsink dingin
maupun pengujian tanpa melakukan penambahan air pada heatsink dingin TEG.
Berikut adalah gambar grafik kuat arus yang terjadi.
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
K
u
a
t

A
r
u
s

(
A
)
Dengan air
Tanpa air

Gambar 4.2 Grafik kuat arus yang terjadi

Berdasarkan gambar 4.2 pada pengujian TEG yang ditambahkan air pada heatsink
dingin, hasil kuat arus yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan pengujian TEG
tanpa tambahan air pada heatsink dingin. Hal ini terjadi karena tambahan air pada
heatsink dingin membantu menjaga temperatur heatsink dingin sehingga
meningkatkan perbedaan temperatur antara heatsink panas dan heatsink dingin.
Waktu (Menit)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 581

Dari gambar di atas pula kita dapat melihat bahwa pengujian TEG tanpa
tambahan air pada heatsink dingin menghasilkan kuat arus 0.044A pada menit
pertama, 0.084A pada menit kedua, 0.110A pada menit ketiga, 0.092A pada menit
keempat, 0.108A pada menit kelima, 0.090A pada menit keenam, 0.106A pada menit
ketujuh, 0.084A pada menit kedelapan, 0.102A pada menit kesembilan, dan 0.098A
pada menit kesepuluh. Sedangkan, pada pengujian TEG dengan tambahan air pada
heatsink dingin menghasilkan kuat arus 0.152A pada menit pertama, 0.236A pada
menit kedua, 0.312A pada menit ketiga, 0.322A pada menit keempat, 0.362A pada
menit kelima, 0.342A pada menit keenam, 0.324A pada menit ketujuh, 0.320A pada
menit kedelapan, 0.306A pada menit kesembilan, dan 0.342A pada menit kesepuluh.
Bila kita lihat gambar grafik kuat arus yang terjadi, terlihat perbedaan kuat
arus yang cukup signifikan, namun terlihat fluktuatif atau tidak stabil. Hal mungkin
terjadi karena pengaruh hambatan terhadap temperatur yang ada. Dalam hal ini
hambatan dipengaruhi oleh temperatur. Semakin tinggi temperatur yang diberikan
pada suatu penghantar, semakin besar pula hambatan menghambat muatan listrik atau
arus listrik pada penghantar tersebut. Persentase kenaikan kuat arus adalah 69.45%.

3. Pengaruh pengujian TEG terhadap perbedaan temperatur


Gambar 4.3 Grafik perbedaan temperatur antara heatsink panas dan dingin

Dari gambar diatas terlihat bahwa pengaruh penambahan air pada heatsink dingin
pada pengujian alat TEG memberikan efek perbedaan temperatur yang cukup tinggi
dibandingan dengan pengujian tanpa dilakukan penambahan air pada heatsink dingin
pada pengujian alat TEG. Hal ini terjadi karena penambahan air pada heatsink dingin
membantu menjaga temperatur heatsink dingin serta membantu mengekspansi panas
dari heatsink dingin ke air.
Dari gambar diatas dapat dilihat pada pengujian tanpa dilakukan penambahan
air pada heatsink dingin TEG. Perbedaan temperatur pada kedua heatsink, yakni
heatsink panas dan heatsink dingin hanya 35.46
o
C pada menit pertama, 58.64
o
C pada
menit kedua, 68.26
o
C pada menit ketiga, 73.70
o
C pada menit keempat, 80.04
o
C pada
menit kelima, 85.38
o
C pada menit keenam, 82.66
o
C pada menit ketujuh, 84.50
o
C
pada menit kedelapan, 82.46
o
C pada menit kesembilan, dan 79.68
o
C pada menit
kesepuluh. Sedangkan, pada pengujian dengan menambahkan air pada heatsink dingin
pada TEG didapat perbedaan temperatur 46.10
o
C pada menit pertama, 74.06
o
C pada
menit kedua, 95.74
o
C pada menit ketiga, 103.50
o
C pada menit keempat, 103.74
o
C
pada menit kelima, 104.04
o
C pada menit keenam, 105.62
o
C pada menit ketujuh,
105.64
o
C pada menit kedelapan, 107.70
o
C pada menit kesembilan, dan 108.62
o
C
pada menit kesepuluh.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 582

Persentase kenaikan perbedaan temperatur pada pengujian TEG dengan
penambahan air pada heatsink dingin dan pengujian termoelektrik tanpa penambahan
air pada heatsink dingin dalam hitungan menit adalah sebagai berikut:
1. Pada menit pertama persentase kenaikan T adalah 23.08%
2. Pada menit kedua persentase kenaikan T adalah 20.82%
3. Pada menit ketiga persentase kenaikan T adalah 28.70%
4. Pada menit keempat persentase kenaikan T adalah 28.79%
5. Pada menit kelima persentase kenaikan T adalah 22.84%
6. Pada menit keenam persentase kenaikan T adalah 17.93%
7. Pada menit ketujuh persentase kenaikan T adalah 21.73%
8. Pada menit kedelapan persentase kenaikan T adalah 20.01%
9. Pada menit kesembilan persentase kenaikan T adalah 23.43%
10. Pada menit kesepuluh persentase kenaikan T adalah 26.64%
Persentase rata-rata kenaikan T adalah 23.40%

4. Pengaruh pengujian TEG terhadap daya yang dihasilkan


Gambar 4.4 Grafik daya listrik yang dihasilkan

Dari gambar 4.4 diatas dapat kita lihat bahwa hasil daya listrik yang dihasilkan pada
pengujian TEG dengan penambahan air lebih tinggi dibandingkan pengujian TEG
tanpa penambahan air pada heatsink dingin. Namun bila kita tinjau dengan
memperhatikan gambar 4.2 yakni gambar grafik hasil tegangan listrik yang terjadi,
terlihat bahwa gambar 4.4 memiliki pola yang sama dengan gambar 4.2 yang bersifat
fluktuatif terutama pada pengujian TEG tanpa penambahan air pada heatsink dingin,
hal ini membuktikan bahwa daya listrik berbanding lurus dengan tegangan dan arus.
Hasil yang fluktuatif ini dapat disebabkan karena temperatur suhu yang
mempengaruhi nilai hambatan yang ada pada suatu penghantar dalam hal ini elemen
peltier yang digunakan.
Berdasarkan gambar 4.4 diatas diperoleh nilai daya listrik pada pengujian TEG
tanpa penambahan air pada heatsink dingin 0.009944VA pada menit pertama,
0.045192VA pada menit kedua, 0.071280VA pada menit ketiga, 0.063112VA pada
menit keempat, 0.075168VA pada menit kelima, 0.062280VA pada menit keenam,
0.071020VA pada menit ketujuh, 0.057288VA pada menit kedelapan, 0.06630VA
pada menit kesembilan dan 0.064288VA pada menit kesepuluh. Sedangkan, pada
pengujian dengan penambahan air pada heatsink dingin menghasilkan daya listrik
0.05320VA pada menit pertama, 0.167088VA pada menit kedua, 0.272064VA pada
menit ketiga, 0.305256VA pada menit keempat, 0.357656VA pada menit kelima,
0.344736VA pada menit keenam, 0.32724VA pada menit ketujuh, 0.3232VA pada
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 583

menit kedelapan, 0.314568VA pada menit kesembilan, dan 0.354996VA pada menit
kesepuluh.
Persentase rata-rata kenaikan daya listrik antara pengujian TEG dengan
tambahan air pada heatsink dingin dan pengujian termoelektrik tanpa tambahan air
pada heatsink dingin adalah 78.96%.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan pengukuran dan analisa yang telah dilakukan terhadap
pengujian alat TEG dengan melakukan penambahan air pada heatsink dingin dan
tanpa dilakukan penambahan air pada heatsink dingin, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan bahwa :
1. Selain sumber kalor, heatsink dingin berperan penting dalam proses TEG.
2. Semakin baik kinerja heatsink dingin, semakin besar perbedaan temperatur sisi
panas dan dingin terhadap modul termoelektrik semakin besar tegangan listrik yang
dihasilkan.
3. Dari hasil data yang diperoleh, kinerja TEG yang dirancang peneliti belum mampu
untuk melakukan proses charger ponsel. Hal ini dapat disebabkan adanya
kesalahan perakitan TEG, temperatur lingkungan, pemasangan heatsink panas serta
heatsink dingin yang kurang rapat, dan lemahnya kemampuan heatsink dingin
dalam mengekspansi panas kelingkungan.
4. Dengan penambahan air pada heatsink dingin, membantu menjaga temperatur
heatsink dingin, serta membantu menyerap panas dari heatsink dingin sehingga
menghasilkan perbedaan temperatur yang cukup tinggi.


6. REFERENCES
[1] Wikipedia, 2012, Seebeck Effect http://en.wikipedia.org/wiki/Seebeck_effect,
[2 Wikipedia,2012,ThermoelectricEffect
http://en.wikipedia.org/wiki/Thermoelectric_effect,
[3] Cerita ITA @duniamaya, 2012, Pendakian Yang Menantang Di Gunung Dempo,
Sumatera Selatan http://itaapriani.blogspot.com/2012/04/pendakian-yang-
menantang-di-gunung.html,
[4] Parallax Forum, 2012, CP1-127 SERIES PERFORMANCE SPECIFICATION,
http://forums.parallax.com/showthread.php?115440-I-need-help-understanding-
something-on-the-data-sheet-of-an-IGBT,
[5] Ferrotec Thermoelectric Products, 2012 Thermoelectric Technical Reference -
Introduction to Thermoelectric Cooling
http://thermal.ferrotec.com/technology/thermoelectric/thermalRef01/,
[6] Deltron AG, 2012, Introduction of Thermoelectric Coolers
http://www.deltron.ch/pdf/produkte/peltier/Kuehleinheit_kurz_erklaert_e.pdf,
[7] Chakib Alaoui, 2011 Peltier Thermoelectric Modules Modeling and
Evaluation, College of Computers and Information Technology Taif University,
KSA
[8] Bayu Trianto, 2008, Pengujian Thermoelectric Generator Menggunakan Dua
Belas
Modul Thermoelectric Untuk Aplikasi Kendaraan Hybrid, Fakultas Teknik, UI,
Depok
[9] TES New Energy.pdf

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 584

EL-21

PEMBUATAN DAN PENGUJIAN PROTOTIPE TURBIN PELTON
UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO
(SKALA LABORATORIUM)

SA Budi, Teguh
1
, Nur Hasbi, Muhammad
2
,
1
Dosen Tetap Jurusan Teknik Mesin Universitas Sriwijaya
Email :Teguhbudi22@yahoo.com
2
Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
Email : Uda_hasbi@yahoo.com

Ringkasan
Turbin air merupakan salah satu jenis turbin yang banyak di gunakan pada
pembangkit listrik, apalagi pada saat ini pengembangan terhadap energi terbaru dan
terbarukan sangat di utamakan oleh pemerintah. karena energi yang selama ini kita
pakai untuk kebutuhan sehari hari merupakan energi yang tidak terbarukan yang
suatu saat bisa habis dan akan menimbulkan krisis energi bagi kehidupan manusia.
Salah satu alternatife energi adalah penggunaan energi air dan pengembangan
pembangkit listrik tenaga mikrohidro merupakan salah satu solusi yang tepat untuk
mengurangi dampak tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peforma
prototype turbin pelton 1 mangkok dan 2 mangkok sebagai pembangkit listrik tenaga
mikrohidro (PLTMH). Prototype turbin pelton yang digunakan adalah prototype
turbin pelton 1 mangkok dengan jumlah sudu 12 buah yang beratnya 3 kg serta
prototype turbin pelton 2 mangkok dengan jumlah sudu 24 buah yang beratnya 5 kg,
spesifikasi keduanya adalah diameter dalam 224 mm, diameter luar 400 mm, , sudut
kemiringan sudu 30, jarak antar sudu 10,5 cm, parameter yang digunakan dalam
penelitian ini adalah perbedaan debit terhadap daya listrik yang dihasilkan oleh
prototype turbin tersebut. Daya listrik yang di hasilkan oleh prototype turbin pelton 1
mangkok lebih besar dari prototype turbin 2 mangkok dengan daya listrik 192,8 watt,
sedangkan daya listrik prototype turbin pelton 2 mangkok adalah 171,6 watt.

Kata kunci : Turbin, energi terbarukan, mikrohidro, daya listrik

1. PENDAHULUAN


Dewasa ini permasalahan tentang energi selalu menjadi pembahasan di
seluruh Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang seperti Indonesia,
dengan seiring perkembangan zaman maka kebutuhan atas energi semakin
meningkat pula, sedangkan sumber energi yang selama di gunakan seperti bahan
bahan bakar fosil batubara dan minyak bumi, tentunya ketersediaan di alam ini
akan cepat habis jika tidak di gunakan dengan bijaksana karena energi energi
tersebut merupakan energi tak terbarukan. Di Indonesia sendiri permasalahan
energi yang selalu di bahas adalah tentang energi listrik, baik di kota- kota
maupun di pelosok negeri, di kota yang peradaban semakin maju maka
kebutuhan listrik juga semakin meningkat, tapi energi listrik yang bisa di produksi
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 585

tidak sebanding dengan kebutuhan, dan biaya produksi dari energi tersebut juga
semakian hari semakin meningkat, Beda dengan permasalahan di desa-desa, di
mana masih banyak desa-desa yang belum terjangkau oleh energi listrik, sehingga
kita harus mencari solusi dari permasalahan tersebut, dan anergi alternatife
merupakan sebuah solusi bijak untuk menyelesaiakn masalah ini, seperti energi
angin, energi matahari, energi air, serta biomassa.

2. METODE PENELITIAN
3.3 Bahan Dan Alat
3.3.1 Prototipe turbin pelton yang digunakan.






Gambar 3.1 Ukuran sudu Prototiype turbin pelton 1 mangkok






Gambar 3.3 Ukuran sudu prototype turbin pelton 2 mangkok
3.4 Pengamatan dan Tahap Pengujian
Pada pengujian ini yang akan diamati adalah :
1. Kapasitas air yang keluar dari nozzle pompa.
2. Putaran poros pada turbin air, diukur dengan menggunakan alat Tachometer.
3. Putaran poros pada generator, diukur dengan menggunakan alat Tachometer.
4. Tegangan yang dihasilkan generator, diukur dengan menggunakan alat
Voltmeter
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 586

5. Kuat Arus yang di hasilkan generator, diukur dengan menggunakan alat
Ampere meter

3 .5 Skema instalasi alat pengujian prototipe turbin pelton











Gambar 3.11 Skema instalasi pengujian
Keterangan :
1. Prototipe Turbin Pelton
2. Pipa
3. Pompa
4. Pipa hisap
5. Bak penampung
6. Pulley
7. Kotak generator
8. Volt meter
9. Ampere meter





Gambar 3.12 Instalasi pengujian terpasang
7
1
2
3
8
9
6
5
4
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 587





Gambar 3.13 Prototype Turbin pelton 1 mangkok terpasang




Gambar 3.14 Prototype Turbin pelton dua mangkok terpasang
3.6 Prinsip Kerja Alat Uji
Air yang berada dalam bak penampungan dihisap oleh pompa air yang
kemudian dialirkan ke sudu turbin melalui pipa pesat, sudu turbin mengubah tenaga
air menjadi energi gerak yang menggerakkan poros turbin. Poros turbin terhubung
dengan poros generator melalui puli, pada saat turbin bergerak, maka generator listrik
berputar dan putaran tersebut menghasilkan listrik yanng kemudian di simpan di
dalam baterai kering dalam bentuk DC. Untuk menghasilkan listrik AC, baterai
dihubungkan dengan inverter yang berfungsi mengubah arus DC menjadi AC yang
kemudian listrik tersebut dapat digunakan.
3.6.1 Prosedur Pengujian
Adapun prosedur pengujian dari alat ini yaitu :
1. Isi air pada tangki penampungan.
2. Sebelum menghidupkan generator pompa air ini, agar diperhatikan
ketentuan sebagai berikut :
a. Bahan bakar mesin yang digunakan adalah pertamax.
b. Oli mesin yang digunakan adalah Super SAE 20-50.
3. Cara mengoperasikan generator pompa air sebagai berikut :
a. Putar knop merah pada posisi ON
b. Geser handle chuck untuk gas pada posisi di tengah
c. Tarik handle pemutar
d. Mainkan gas untuk menaik-turunkan besar putaran motor
e. Biarkan mesin tetap beroperasi selama lebih kurang 1-2 menit.
4. Setelah motor generator air beroperasi, air akan mengalir melalui pipa
hisap dan ke luar memancarkan air untuk memutar sudu putar pada
turbin air. Sudu pada kincir air akan berputar dan bergerak sesuai
dengan kecepatan yang diatur oleh handle gas pengatur putaran pompa
air.
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 588

5. Gerakan sudu pada kincir air yang berputar diteruskan melalui sebuah
puli penghantar ke puli generator listrik yang menghasilkan listrik
bolak-balik (AC).
6. Listrik AC yang dihasilkan disimpan di baterai kering arus searah DC,
dioda bridge dibutuhkan untuk mengubah arus AC dari generator
menjadi DC untuk disimpan di baterai.
7. Untuk menghasilkan daya sesungguhnya, digunakan inverter yang
mengubah arus DC dari baterai menjadi arus bolak-balik (AC) sebagai
output sesungguhnya.
8. Hasil arus dan tegangan yang dihasilkan oleh putaran sudu kincir air
dapat dilihat pada display petunjuk pada panel analog dan digital.

HASIL PENGUJIAN
TIPE SUDU I (Prototipe Turbin Pelton Satu Mangkok).
Pada pengujian ini prototype turbin pelton 1 mangkok yang kami gunakan
memiliki ukuran diameter luar 400 mm, diameter dalam 224 mm, jumlah sudu 12 bh,
sudut kemiringan sudu 30, jarak antar sudu 10,5 cm, dan berat prototype turbin
pelton 1 mangkok adalah 3 kg.
Berikut ini adalah tabel hasil dari rata rata 4 kali pengujinan terhadap
parameter pengujian yang kita gunakan dan di peroleh bahwa pada bukaan katup
pompa 25% merupakan hasil minimum dengan putaran turbin yang dihasilkan adalah
274 rpm, putaran generator 243rpm, tegangan 12,5 volt, serta kuat arusnya adalah 5
ampere. Dan maksimum pada bukaan katup pompa 100 % dengan hasil putaran
turbin 349 rpm, putaran generator 315 rpm, tegangan 13,3 volt, kuat arus 14,5 ampere.











TIPE SUDU II(Prototipe Turbin Pelton Dua Mangkok).
Pada pengujian ini prototype turbin pelton 2 mangkok yang kami gunakan
memiliki ukuran diameter luar 400 mm, diameter dalam 224 mm, jumlah sudu 24 bh,
sudut kemiringan sudu 30, jarak antar sudu 10,5 cm, dan berat prototype turbin
pelton 2 mangkok adalah 5 kg.
Berikut ini adalah tabel hasil dari rata rata 4 kali pengujinan terhadap
parameter pengujian yang kita gunakan dan di peroleh bahwa pada bukaan katup
pompa 25% merupakan hasil minimum dengan putaran turbin yang dihasilkan adalah
267 rpm, putaran generator 235 rpm, tegangan 12,3 volt, serta kuat arusnya adalah 4
ampere. Dan maksimum pada bukaan katup pompa 100 % dengan hasil putaran
turbin 335 rpm, putaran generator 304 rpm, tegangan 13,2 volt, kuat arus 13 ampere.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 589








TABEL HASIL PENGUJIAN
Tabel hasil perhitungan prototipe turbin pelton 1 mangkok pada control gas
100 %


Tabel hasil perhitungan Prototipe turbin pelton 2 mangkok pada control gas 100 %

GRAFIK HASIL PENELITIAN
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 590


Grafik IV.1 hubungan antara putaran turbin dengan daya turbin

Pada grafik diatas, terlihat bahwa putaran turbin berbanding lurus terhadap
daya yang dihasilkan turbin, semakin besar putaran turbin, maka semakin besar pula
daya yang dihasilkan turbin, begitu pula sebaliknya. Untuk Prototype Turbin Pelton 2
mangkok daya yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan daya yang di
hasilkan oleh prototype turbin pelton 1 mangkok. Hal ini disebabkan oleh
pemanfaatan dari energi kecepatan air pada prototype turbin 2 mangkok lebih efisien
dibandingkan dengan prototype turbin pelton 1 mangkok , , dengan kondisi kapasitas
air yang di gunakan adalah sama.



Grafik IV.2 hubungan antara putaran turbin dengan daya listrik.

Pada grafik diatas, terlihat bahwa terjadi peningkatan putaran turbin yang
dihasilkan pada saat penambahan bukaan katup pada sistem. Hal ini terjadi karena
semakin besarnya bukaan katup, maka semakin besar pula kecepatan aliran air yang
dihasilkan, menyebabkan putaran poros turbin yang dihasilkan juga semakin besar
dan juga sangat mempengaruhi besarnya daya listrik yang dihasilkan. Dan seiring
meningkatnya kecepatan aliran air, maka putaran poros turbin dan daya listrik juga
meningkat. Dalam hal ini, Untuk Prototipe turbin pelton 1 mangkok, daya listrik dan
putaran poros turbin yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan ptototipt turbin
pelton 2 mangkok. Pada bukaan katup 25%, 50%, 75% dan 100%, dengan kontrol
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 591

gas 100%, untuk prototipe turbin pelton1 mangkok didapatkan putaran turbin sebesar
274 rpm, 302 rpm, dan 324 rpm dan 349 rpm, sedangkan daya listrik sebesar 62,5
Watt, 113,4Watt, dan 140,8 Watt, dan 192,8 Watt, Untuk Prototipe turbin pelton 2
mangkok didapatkan putaran turbin sebesar 267 rpm, 283 rpm, dan 312 rpm, dan 335
rpm, sedangkan listrik sebesar 49,2 Watt, 81,25 Watt, 127 Watt dan 171,6 Watt. Pada
Grafik perhitungan hasil pengujian terlihat perubahan variasi antara kecepatan putaran
turbin dengan daya listrik yang dihasilkan adalah linier.








Grafik IV.3 hubungan antara kapasitas air (Q) dengan Efisiensi turbin (t)

Pada grafik diatas, terlihat bahwa efisiensi turbin pada bukaan katup 25 %
merupakan efisiensi turbin maksimum dengan persentase 76 % pada prototype turbin
pelton 1 mangkok dan 77% untuk prototype turbin pelton 2 mangkok , dan variasi
bukaan katup pompa selanjutnya terlihat bahwa efisiensi prototype turbin pelton 2
mangkok lebih tinggi di bandingkan dengan prototype turbin pelton 2 mangkok, ini
disebabkan oleh pemanfaatan energi air pada prototype turbin pelton 2 mangkok lebih
efisien dibandingkan prototype turbin pelton 1 mangkok. engan asumsi bahwa
kapasitas aliran yang kita gunakan adalah sama.


Grafik IV.4 Efisiensi daya listrik terhadap efisiensi sitem

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa efisiensi keseluruhan sistem sangat
dipengaruhi oleh kapasitas air yang kita gunakan, serta berapa banyak daya listrik
yang di hasilkan dari proses pengujian, ini terlihat bahwa pada kapasitas air 0,00173
efisiensi keseluruhan sistem untuk prototype turbin pelton satu mangkok adalah 73 %,
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 592

serta pada prototype turbin pelton dua mangkok adalah 57 %, dan pada kapasitas air
0,00345 efisiensi keseluruhan sistem masing -masing prototype turbin adalah 66%,
dengan 47%, selanjutnya pada kapasitas air 0,00518, dan 0,00691, efisiensi
keseluruhan sistemnya masing-masing prototype turbin pelton adalah 55%, dan 56%
untuk prototype turbin pelton satu mangkok, dan 49%,50 % untuk prototype turbin
pelton dua mangkok, pada pengujian ini efisiensi prototype turbin pelton dua
mangkok lebih rendah dari prototype turbin satu mangkok, ini di sebabkan oleh
kapasitas air (Q) yang kita gunakan pada variasi pengujian adalah sama.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil pengujian dan perhitungan serta analisa data yang yang di lakukan
terhadap prototype turbin pelton satu mangkok, dan prototype tubin pelton dua
mangkok dapat kita ambil kesimpulan sebagau berikut:
1. Prototype turbin pelton satu mangkok menghasilkan daya listrik yang lebih
besar di bandingkan dengan prototype turbin pelton dua mangkok, ini di
sebabkan oleh putaran prototype turbin satu mangkok lebih besar dari
prototype turbin pelton dua mangkok, walaupun perbedaan daya listrik yang di
hasilkan tidak jauh berbeda, dengan asumsi bahwa kapasitas aliran yang
digunakan adalah sama.
2. pada bukaan katup pompa 25%, 50%, 75%,100% dengan pengaturan gas
motor penggerak pompa 100% untuk prototype turbin pelton satu mangkok
diperoleh putaran poros turbin sebesar 274 rpm, 302 rpm, 324 rpm, 349 rpm.
dan daya listrik yang di hasilkan adalah 62,5 watt, 113,4 watt, 140,8 watt,
192,8 watt.
3. pada bukaan katup pompa 25%, 50%, 75%,100% dengan pengaturan gas
motor penggerak pompa 100% untuk prototype turbin pelton dua mangkok
diperoleh putaran poros turbin sebesar 267 rpm, 283 rpm, 312 rpm, 335 rpm.
dan daya listrik yang di hasilkan adalah 49,2 watt, 81,25 watt, 127 watt, 171,6
watt.

Saran
pada penelitian ini masih banyak terdapat kendala yang kami temukan baik
pada saat pembuatan dan pengujian, berikut beberapa saran yang dapat diberikan
adalah:
1. untuk mendapatkan hasil pengujian yang lebih baik, akurasi pada saat
pembuatan turbin harus di perhatikan, karena akan berpengaruh terhapap
peforrma turbin pada saat pengujian.
2. perlu dilakukan penelitian selanjutnya dengan menggunakan rumah turbin
yang berbeda, seperti menggunakan rumah turbin berbentuk rumah keong
yang menutup semua bagian dari turbin yang digunakan, serta memodifikasi
arah pancaran nozel, agar di dapatkan hasil yang berbeda untuk memperoleh
informasi yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 593

[1] Bizzy, Irwin, 2011 , Buku Panduan Pengoprasian Turbin Air, Riset Unggulan
Strategis Nasional Universitas Sriwijaya Laboratorium Penelitian Turbin Air,
Inderalaya.
[2] Dietzel Fritz, 1996, Turbin Pompa dan Kompresor, Cetakan Ke-Lima,
Penerbit Erlangga, Jakarta,.
[3] M. Edy Sunarto, Alex Arter, Ueli Meler, 1987, Pedoman Rekayasa Tenaga
Air,
[4] Sularso.K.Suga, 1983, Elemen Mesin, PT Pradya Parahita, Jakarta,.
[5] Victor, L.Steeter and Benjamin Wylie, 1993, Mekanika Fluida, Penerbit
Erlangga, Jakarta,.
[6] http://www.scribd.com/doc/25471267/Turbin-Cross-Flow ( di akses tanggal 28
juni 2012)
[7] http://agungchynta.files.wordpress.com/2007/03/turbin-air.ppt (di akses tanggal
28 juni 2012)
[8] http://www.scribd.com/doc/16559861/Buku-Ajar-PTM307-Mesin-Konversi-
Energi (diakses tanggal 2 juli 2012)
[9] http://www.scribd.com/doc/15560315/Pemanfaatan-Tenaga-Air (di akses
tanggal 28 juni 2012)
[10] http://www.agungchynta.files.wordpress.com/2007/03/turbin-air.ppt (di akses
tanggal 5 juli 2012)
[11] www.alpensteel.com/article/50-104-energi-sungai-pltmh--micro-hydro-
power/169-- (di akses 28 juni 2012)
[12] www.crayonpedia.Org/Mw/Bab_21_Klasifikasi_Turbin Air Sunyoto (di akses 5
juli 2012)
[13] http://nptel.iitm.ac.in/courses/Webcourse-contents/IIT-
KANPUR/machine/chapter_7/7_1.html ( di akses tanggal 24 juli 2012)
[14] http://europa.eu.int/en/comm/dg17/hydro/layman2.pdf (di akses tanggal 24 juli
2012)
[15] http://home.carolina.rr.com/microhydro (di akses tanggal 24 juli 2012)
[16] http://en.wikipedia.org/wiki/francis_turbine (di akses tanggal 24 juli 2012)
[17] http://lingolex.com/bilc/engine.htm l(di akses tanggal 24 juli 2012)
[18] http://en.wikipedia.org/wiki/Kaplan_turbine (di akses tanggal 24 juli 2012)
[19] http://osv.org/education/WaterPower (di akses tanggal 24 juli 2012)
[20] http://re.emsd.gov.hk/english/other/hydroelectric/hyd_tech.html ( di akses
tanggal 24 juli 2012)

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 594

EL-22

STUDI PENGARUH PENAMBAHAN ADITIF METANOL
TERHADAP ANGKA OKTAN DAN KONSUMSI BAHAN BAKAR
PADA BAHAN BAKAR PERTAMAX

Riman Sipahutar
1*)
dan Dyos Santoso
1)
1)
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya
Jl. Raya Palembang-Prabumulih Km. 32 Inderalaya Ogan Ilir (OI)-30662
*)
E-mail: riman_sipahutar@yahoo.com


ABSTRAK
Penelitian dilakukan menggunakan mesin sepeda motor 4-langkah dengan rasio kompresi
10,6 yang membutuhkan bahan bakar dengan angka oktan di atas 100 RON. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan aditif metanol pada bahan bakar
pertamax terhadap angka oktan dan konsumsi bahan bakar. Variasi pencampuran yang
dilakukan adalah kadar M
0
(100% Pertamax), M
10
( 90 % Pertamax + 10% Metanol), M
20
(
80% Pertamax + 20% Metanol ), M
30
( 70 % Pertamax + 30% Metanol ), M
40
( 60%
Pertamax + 40% Metanol), dan M
50
(50 % Pertamax + 50 % Metanol). Dari hasil pengujian
didapat bahwa campuran yang paling hemat adalah campuran M
20
Angka oktan tertinggi
terdapat pada campuran M
50
sedangkan angka oktan yang cocok untuk mesin kendaraan
yang digunakan adalah angka oktan pada campuran M
20
yaitu sebesar 107,3 RON.

Kata kunci : Performa mesin, metanol, pertamax, angka oktan, konsumsi bahan bakar.


ABSTRACT
Research has been conducted on a 4-stroke motorcycle having a compression ratio of 10,6 in
which the engine needs a fuel having octane number above 100 RON. This research was
conducted in order to know the effect of metanol additive addition on pertamax fuel towards
octane number and fuel consumption. The mixing variations conducted are M
0
(100%
Pertamax), M
10
(90% Pertamax + 10% Methanol), M
20
(80% Pertamax + 20% Methanol),
M
30
(70% Pertamax + 30% Methanol), M
40
(60% Pertamax + 40% Methanol), and M
50
(50%
Pertamax + 50% Methanol). From the test result, the most economical mixture is the mixture
of M
20
. The highest octane number is in the mixture of M
50
whereas the octane number
suitable to the engine of the motorcycle used is 107,3 RON got from M
20
mixture.
Keywords: Engine performance, methanol, pertamax, octane number, fuel consumption

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan dunia otomotif mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Perkembangan ini dapat dilihat dari populasi kendaraan bermotor yang
terus meningkat. Salah satu dari perkembangan dunia otomotif adalah sepeda motor.
Peningkatan jumlah populasi sepeda motor dikarenakan permintaan dari masyarakat
terus meningkat terhadap kebutuhan sepeda motor. Dengan pesatnya perkembangan
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 595

ini muncullah berbagai ide untuk meningkatkan performance mesin sepeda motor,
penggunaannya bervariasi baik untuk digunakan sebagai kendaraan sehari-hari
ataupun untuk keperluan lainnya seperti kendaraan touring,road race,drag race.
Mesin motor memerlukan bahan bakar yang sesuai dengan desain mesin itu sendiri
agar dapat bekerja dengan baik dan menghasilkan kinerja yang optimal.
Nilai oktan pada bahan bakar sangat mempengaruhi kinerja mesin. Kurangnya
nilai oktan pada bahan bakar dapat mempengaruhi efisiensi mesin dan nilai kalor
bahan bakar, sehingga banyak mesin dengan performance tinggidirancang untuk
beroperasi dengan kompresi tinggi namun menggunakan bahan bakar yang beroktan
rendah. Dengan demikian permintaan bahan bakar dengan nilai oktan tinggi semakin
meningkat. Mengapa oktan menjadi hal yang penting dalam menjaga kualitas bahan
bakar? Bila bahan bakar memiliki energi tinggi namun kekurangan nilai oktan, maka
akan terjadi kondisi dimana energi belum diolah maksimal tetapi bahan bakar sudah
habis terbakar, keadaan ini disebut knocking (Norival,2011). Namun bahan bakar
bernilai oktan tinggi juga harus diseimbangkan dengan memperhitungkan spesifikasi
mesin kendaraan tersebut.
Dalam penelitian ini Penulis mencoba menggabungkan metanol dengan bahan
bakar pertamax untuk mendapatkan bahan bakar yang dapat meningkatkan kinerja
mesin kendaraan dengan parameter angka oktan yang tinggi dan nilai kalor yang
cukup. Metanol atau methyl alcohol (CH
3
OH) mempunyai karakteristik sebagai
bahan bakar dan terkenal di dunia balap karena metanol dapat menghasilkan tenaga
yang besar, angka oktan yang tingi yaitu 108 RON, memiliki nilai kalor mendekati
bahan bakar minyak ,efek pendingin yang baik, dan sebagainya. Angka oktan yang
tinggi membuat metanol sering digunakan pada mesin dengan rasio kompresi yang
tinggi hingga rasio kompresi 15:1 (Kurdi & Arijanto, 2007).

II. Tinjauan Pustaka
2.1 Kajian Teori
Penambahan senyawa oksigen atau sejenis alkohol pada bahan bakar dapat
meningkatkan angka oktan bahan bakar tersebut. Misalnya pencampuran senyawa
oksigenat alkohol jenis etanol (kadar 96%) terhadap pertamax mengakibatkan
peningkatan angka oktan (Permana, Rengga 2012), seperti tertera pada Tabel 2.1 .

Tabel 2.1 Data nilai kalori dan angka oktan campuran pertamax/etanol (kadar 96 %)
No. Pertamax/etanol Nilai Kalori (kJ/kg) Angka Oktan (RON)
1. 100,0/0,0 44.132,07 92,83
2. 97,5/2,5 37.205,40 95,53
3. 95,0/5,0 36.186,50 96,63
4. 92,5/7,5 32.139.30 97,13
5. 90,0/10,0 26.792,71 98,57
6. 87,5/12,5 25.888,52 100,03
7. 85,5/15,0 24.823,34 101,53
8. 82,5/17,5 23.419,94 102,43
9. 80,0/20,0 22.47,74 102,87

2.2 Landasan Teori
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 596

Perkembangan dunia otomotif semakin hari semakin pesat, terutama dalam
dunia balap semua kendaran berlomba ingin menjadi yang tercepat dan memiliki
performance mesin yang tinggi, sehingga bermunculan ide-ide untuk memodifikasi
mesin kendaraan dan bahan bakar. Modifikasi yang paling umum digunakan untuk
menaikkan performance mesin adalah dengan meningkatkan rasio kompresi, yang
tentunya perlu disesuaikan dengan bagian mesin lainnya dan bahan bakar yang
digunakan.Penggabungan metanol dan bahan bakar pertamax diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan mesin dengan rasio kompresi tinggi untuk mendapatkan
performance yang tinggi dengan mendapatkan angka oktan yang tinggi dan nilai kalor
yang cukup.
Metanol memiliki angka oktan 108 RON, lebih tinggi dari pertamax yang hanya
memiliki angka oktan 92 RON, dengan demikian pencampuran metanol dengan bahan
bakar pertamax diharapkan akan menghasilkan bahan bakar yang mengandung angka
oktan yang lebih tinggi dari angka oktan pertamax. Hal ini juga didukung oleh
temperatur autoignition metanol yang dua kali lebih tinggi dari BBM biasa. Sehingga
campuran pertamax-metanol memungkinkan untuk digunakan pada rasio kompresi
yang tinggi.
2.3 Metanol
Metanol, juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau spiritus, adalah
senyawa kimia dengan rumus kimia CH
3
OH. Metanol merupakan bentuk alkohol
yang paling sederhana. Pada keadaan atmosfer ia berbentuk cairan yang ringan,
mudah menguap, tidak bewarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas
yaitu berbau lebih ringan daripada etanol. Ia digunakan sebagai bahan pendingin anti
beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan aditif bagi industri etanol (Wikipedia,
2012).
Umumnya methanol di buat dari gas sintesis berupa gas methan (CH
4
) yang
terkandung dalam gas alam, batubara dan biomassa methanol dapat dihasilkan dari
bahan baku biomassa. Berikut proses umum pembuatan methanol dari gas methan
(CH
4
).
Gas methan (CH
4
) dan uap air/steam (H
2
O) masuk ke unit reforming sebagai
proses konversi pada suhu 870
o
C dengan katalis nikel:

CH
4
+ H
2
O3 H
2
+ CO dan CO + H
2
O CO
2
+ H
2
(Nikel)

Pada reaktor dengan tekanan -/+ 60 bar dengan katalis tembaga reaksinya :

CO + 2H
2
CH
3
OH dan CO
2
+ 3H
2
CH
3
OH + H
2
O (Tembaga)

Kemudian proses pemisahan (distilasi) untukmemisahkankandunganairnya.
Karbon monoksida dan hidrogen kemudian direaksikan dengan katalis kedua untuk
menghasilkan metanol. Saat ini, katalis yang umum digunakan adalah campuran
tembaga, seng oksida, dan alumina Pada 5 s/d 10 MPa (50 s/d 100 atm) dan 250 C, ia
dapat mengkatalisis produksi metanol dari karbon monoksida dan hidrogen dengan
selektifitas yang tinggi.

Tabel 2.3 Informasi Untuk Metanol
Angka Oktan 108 RON
Rumus Kimia CH
4
O
Formulasi Kimia CH
3
OH
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 597

Massa molar 32,04 g/mol
Temperatur penyalaan 455 C
Kelarutan di dalam air (20C)
Densitas 0,792 g/cm3 (20C)
Titik didih 64,5C (1013 hPa)
Tekanaan uap 128 hPa (20C)
Penyerapan air 1000 g/kg
Titik nyala 15,6C
2.3.1 Prospek Metanol Untuk Bahan Bakar
DMFC (Direct Methanol Fuel Cell) merupakan fuel cell jenis proton exchange
membrane (PEM) yang merubah secara langsung metanol menjadi energi listrik
melalui suatu proses kimia. Prinsip kerja DMFC adalah metanol dan air bereaksi pada
anoda menghasilkan karbon dioksida, proton, dan elektron. Selanjutnya proton
bermigrasi melalui elektrolit polimer (misal Nafion) menuju katoda kemudian
bereaksi dengan oksigen dari udara menghasilkan air. Pada umumnya DMFC
beroperasi pada temperatur sekitar 80
o
C dengan efisiensi antara 40 s/d 50 %.
Kendaraan Fuel cell atau Fuel Cell Vehicles (FCVs), merupakan kendaraan
bermotor dengan mesin penggerak fuel cell. Dalam pengembangannya FCVs
diarahkan pada kendaraan bermotor dengan bahan bakar metanol atau Methanol Fuel
Cell Vehicles (MFCVs). Sasaran utama pengembangan ini adalah pada penggunaan
mesin berteknologi DMFC. Kendaraan bermotor dengan mesin penggerak direct
methanol fuel cell (DMFC) ini disebut Direct Methanol Fuel Cell Vehicles
(DMFCVs).
Ada banyak keuntungan dari penggunaan teknologi fuel cell untuk kendaraan
bermotor, antara lain ramah lingkungan, bersih, lebih aman, dan resiko yang relatif
kecil. FCVs sangat kecil melepaskan COx dan NOx ke lingkugan dan mempunyai
resiko kebakaran yang cukup kecil dibandingkan dengan mobil mesin bakar internal
ICE (internal combustion engine). Satu hal yang cukup mengesankan adalah unjuk
kerja FCVs sangat baik saat berjalan dan berhenti. Hal ini tidak dimiliki oleh mobil
dengan sistem mesin konvensional ICE. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Argonne National Laboratory diperkirakan bahwa mobil fuel cell mempunyai efisiensi
energi 2,1 s/d 2,6 kali lebih besar dari mobil ICE sedangkan data menurut The
Pembina Institute diperkirakan 1,76 kali lebih besar dari sistem ICE. Beberapa
perusahaan yang telah dan sedang mengembangkan FCVs antara lain, Daimler
Chrysler, BMW, Ford Motor Company, Mazda, Toyota , Honda, Nissan, General
Motor/ Opel, dan Renault.

2.4 Bahan Bakar Pertamax
Pertamax dengan nama lain gasoline 92 adalah bahan bakar minyak andalan
pertamina. Seperti halnya premium, pertamax adalah produk BBM dari pengolahan
minyak bumi. Pertamax dihasilkan dengan penambahan zat aditif dalam proses
pengolahannya dikilang minyak. Pertamax diluncurkan pertama kali pada tahun 1999
sebagai pengganti premix 98 karena mengandung unsur MTBE yang berbahaya bagi
lingkungan. Selain itu, Pertamax memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
premium yaitu bebas timbal, angka oktan atau Research Octane Number (RON) yang
lebih tinggi dari premium. Karena memiliki oktan tinggi, maka pertamax bisa
menerima tekanan pada mesin berkompresi tinggi (Sururi et al, 20120), sehingga
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 598

dapat bekerja dengan optimal pada gerakan piston (Wikipedia,2012). Pertamax
memiliki nilai oktan 92 dengan stabilitas oksidasi yang tinggi dan kandungan olefin,
aromatic dan benzene-nya pada level yang rendah sehingga menghasilkan
pembakaran yang lebih sempurna pada mesin. Dilengkapi dengan aditif generasi 5
dengan sifat detergency yang memastikan injector bahan bakar, karburator, inlet valve
dan ruang bakar tetap bersih untuk menjaga kinerja mesin tetap optimal. Pertamax
sudah tidak menggunakan campuran timbal dan metal lainnya yang sering digunakan
pada bahan bakar lain untuk meningkatkan nilai oktan sehingga Pertamax merupakan
bahan bakar yang sangat bersahabat dengan lingkungan sekitar.

Tabel 2.4 Spesifikasi Pertamax
No. SIFAT MIN MAX
1 Angka oktana riset (RON) 92 92,30
2 Kandungan Pb (g/l)
3 Distilasi
- 10% vol penguapan (C)
- 50% vol penguapan (C)
- 90% vol penguapan (C)
- Titik didih akhir (C)
- Residu (% vol)


77

70
110
180
205
2,0
4 Tekanan uap reid pada 100C (psi) 45 60
5 Getah Purawa (mg/100 ml) 4
6 Periode induksi (menit) 480
7 Kandungan belerang (% massa) 0,1
8 Korosi bilah tembaga (3 jam/122F) No. 1
9 Uji doter atau belerang mercapatan 0,00
10 Warna Biru 2
Sumber: wikipedia.com
2.5 Pengertian Rasio Kompresi
Rasio kompresi merupakan hasil bagi antara volume total dengan volume sisa
ruang bakar, volume total adalah isi ruang antara torak ketika berada pada titik mati
bawah sampai tutup silinder, volume total juga merupakan jumlah antara volume
langkah piston ( piston displacement) dengan volume sisa, sedangkan volume sisa
adalah volume diatas piston saat piston berada dititik matis atas.

Rasio Kompresi, r
c
=
s
s L
V
V V
................................................................ (1)
dimana:
V
L
= Volume Langkah (cc)
Vrb = Volume Sisa = Volume Ruang Bakar (cc)








Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 599








Gambar 2.1. Posisi TMB (Titik Mati Bawah)






Gambar 2.2. Posisi TMA (Titik Mati Atas)
2.6 Angka Oktan
Nama oktan berasal dari oktana(C
8
H
18
). Angka oktan merupakan ukuran
kuantitas dari suatu suatu bahan bakar. Angka oktan pada bahan bakar dapat
ditingkatkan dengan menambahkan zat aditif tertentu. Zat aditif adalah zat kimia
yang ditambahkan sedikit ke suatu bahan bakar tertentu untuk meningkatkan sifat-
sifat fungsional dari bahan bakar tersebut. Penambahan zat aditif pada bahan bakar
bertujuan untuk mengubah komposisi hidrokarbon bahan bakar dikarenakan
komposisi hidrokarbon bahan bakar tersebut tidak memiliki sifat-sifat fungsional
seperti yang dikehendaki. Aditif dapat berupa zat anti ketuk, zat pencegah
terbentuknya kerak, zat anti oksidasi dan korosi, dan zat anti beku (Hapid A, 2002).
Pada umumnya zat aditif yang dijual di toko-toko perlengkapan kendaraan
bermotor, terutama di kota-kota besar di Indonesia merupakan jenis octane booster.
Tujuan utama dari penambahan aditif jenis octane booster pada bahan bakar adalah
untuk menaikkan angka oktan dari bahan bakar tersebut. Keuntungan yang dapat
diperoleh dari bahan bakar dengan bilangan oktan tinggi adalah bahwa bahan bakar
tersebut tersebut tidak peka terhadap detonasi.
Menurut Colin Latung (konsultan perminyakan dari URS Indonesia) dalam
Motorplus-Online mengatakan bahwa kompresi pada sepeda motor berbanding lurus
dengan angka oktan, jadi kompresi harus diimbangi dengan oktan yang tinggi.
Mengubah penggunaan premium tergantung kompresi sepeda motor. Untuk sepeda
motor 4-tak lokal umumnya memiliki kompresi berkisar antara 9 sampai 9,3. Bahkan
motor 4-tak impor memiliki kompresi hingga 10,6. Dalam keadaan standar sepeda
motor jenis 4-tak sebenarnya sudah mampu menggunakan pertamax karena antara
angka oktan pertamax dengan kompresi sepeda motor memiliki tingkat kesesuaian
yang baik. Berikut tabel perbandingan antara angka oktan dan kompresi.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 600

Tabel 2.5. Hubungan perbandingan kompresi dan angka oktan
Perbandingan Kompresi Nilai Oktan
6 81
7 87
8 92
9 96
10 100
11 104
12 108
Sumber: Kompas.com 18 januari 2011

2.7 Nilai Kalor Bahan Bakar
Reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksigen dari udara luar akan
menghasilkan panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan bahan bakar
dibakar sempurna disebut nilai kalor bahan bakar (Calorific Value, CV). Berdasarkan
asumsi ikut tidaknya panas laten pengembunan uap air dihitung sebagai bagian dari
nilai kalor suatu bahan bakar, maka nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan menjadi
nilai kalor atas dan nilai kalor bawah.
Adapun rumus-rumus yang biasa digunakan dalam mencari nilai panas
pembakaran adalah sebagai berikut:

Menghitung panas pembakaran:
Q = m . C
p
. (T
1
-

T
2
) ............................................................................... (2)
dimana:
Q = Panas pembakaran (Joule)
m = Berat zat yang dibakar (gram)
Cp = Panas jenis pada tekanan tetap (J/kg
o
C)
T
0
= Suhu mula-mula
T
1
= Suhu akhir

Menghitung harga kapasitas kalor kalorimeter :
C = Cp . M ................................................................................................. (3)
dimana :
C = Kapasitas kalor (J/
o
C)
Cp = Kalor jenis(J/gr
o
C)
M = massa (gr)

Menghitung panas pembakaran yang dilepas oleh zat-zat atau nilai kalori (Qv):

M
T x C
Q
r kalorimete
v

............................................................................. (4)
dimana:
Q
v
= panas pembakaran yang dilepaskan oleh zat (kJ/kg)
C
kalorimeter
= kapasitas kalor kalorimeter (kJ/
o
C)
M = massa zat yang terbakar (kg)
T = perubahan temperatur (T
0
- T
1
) (
o
C)

Dalam pembakaran, proses yang terjadi adalah oksidasi dengan unsur-unsur
karbon, hidrogen dan sulfur, dengan gambaran reaksi sebagai berikut :
Karbon + Oksigen = Karbondioksida + kalor
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 601

Hidrogen + Oksigen = Uap air + kalor
Sulfur + Oksigen = Sulfurdioksida + kalor

2.8 Konsumsi Bahan Bakar
Konsumsi bahan bakar adalah satuan banyaknya bahan bakar yang digunakan
oleh mesin untuk melakukan kerja terhadap waktu. Pengujian konsumsi bahan bakar
motor bisa dilakukan oleh siapa saja, baik pabrikan, maupun orang awam sekalipun
dengan cara manual. Namun dalam hal ini penulis menggunakan metode manual.
Pihak pabrikan umumnya menggunakan metode pengetesan ECE-R 40. Metode ECE-
R40 adalah sebuah regulasi yang dikeluarkan oleh PBB. PBB mengeluarkan regulasi
untuk emisi sepeda motor. Regulasi ini bernama UNECE, atau lebih dikenal sebagai
ECE-R40. Prinsipnya pada test ECE-R40 adalah motor digas mengikuti grafik
berikut :






Gambar 2.3. Grafik kecepatan vs waktu pada test ECE-R40.
Tes dilakukan di lab dengan menggunakan alatDYNAMOMETER BENCH menurut
United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).
Metode test ECE-R40 dalam industri sepeda motor ini umumnya mendekati konsumsi
bahan bakar nyata, sama saat berkendara sehari-hari. Konsumsi bahan bakar (m
f
)
dapat dihitung dengan rumus:
(kg/jam) x10 3600 x x
t
10
m
6 -
f f

dimana :
t = waktu pemakaian bahan bakar sebanyak 10 cm
3

f
= massa jenis bahan bakar
= 0,7329 gram/cm
3
untuk bensin

Pemakaian bahan bakar dinyatakan dalam kg/jam, maka jumlah bahan bakar
yang terpakai misalnya sebanyak 10 cc dalam detik adalah:
(kg/jam) 10 x 3600 x x
t
10
m
6 -
f f

Konsumsi bahan bakar volumetrik (V
f
) dapat dihitung dengan rumus:
V
Tempuh Jarak
V
f

.......................................................................................... (6)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 602

dimana:
V
f
= konsumsi bahan bakar volumetrik.
= Volume bahan bakar sebelum percobaan (V
1
) Volume bahan bakar sesudah
percobaan (V
2
).

III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Pengujian dilakukan di Laboratorium Dasar Bersama, Grha Pertamania dan di
lingkungan kampus Universitas Sriwijaya Inderalaya selama 4 (empat) bulan.

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan untuk menghitung nilai oktan bahan bakar adalah
IROX 2000 yang terdapat di Grha Pertamina Universitas Sriwijaya.




Gambar 3.1. IROX 2000
Data teknis alat IROX 2000 adalah sebagai berikut:
Tampilan : Tampilan grafis besar
Warm-Up Waktu : 10 menit.
Komunikasi : Serial RS-232 port untuk PC & printer
Persyaratan daya : 100/110/230/240 V AC, 50/60 Hz, 65 W
Bidang Aplikasi : 12 V/4 DC (aki kendaraan)
W x H x T / Berat : 200 x 320 x 220 x mm (7,9 x12,6 x 8,7) / 11 kg (24lb)

Alat yang digunakan untuk menghitung nilai kalor bahan bakar adalah Kalorimeter
yang terdapat di Laboratorium Dasar Bersama Universitas Sriwijaya. Alat yang
digunakan untuk mengukur konsumsi bahan bakar adalah sepeda motor bensin 4
langkah, seperti terlihat pada Gambar 3.3 berikut ini.





Gambar 3.2. Kalorimeter Gambar 3.3. Sepeda motor bensin 4 Langkah
Spesifikasi sepeda motor yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Tipe mesin : 4Langkah, SOHC, Pendingin Udara
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 603

Model / Jumlah Silinder : FL 125 / 1 (satu) buah
Diameter x Langkah : 57 x 55,2 mm
Volume Langkah / Rasio Kompresi : 140,8 cc / 10,6
Karburator : Mikuni VM 22
Sistem Pengapian : Suzuki DC-CDI (REXTOR ANDJUSTABLE)
Busi : TDR Super Iridium Half Project

3.2.2 Bahan
1. Metanol yang dijadikan objek pengujian adalah metanol murni yang dibeli ditoko
sumber kimia yang ada di kota Palembang.
2. Pertamax yang digunakan dalam pengujian ini adalah pertamax yang diproduksi
oleh PT. Pertamina (Persero)






Gambar 3.4. Metanol Gambar 3.5. Bahan Bakar Pertamax

3.3 Pencampuran Material Uji
Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pertamax dan Metanol.
Pertamax yang digunakan adalah pertamax yang dijual di SPBU di kota Palembang,
sedangkan metanol yang digunakan adalah metanol yang dijual di toko kimia di kota
Palembang.
3.4 Diagram Alir
3.4.1 Diagram Alir Penelitian
Adapun tahapan penelitian ini didasarkan pada diagram berikut:












Gambar 3.6. Diagram Alir Penelitian
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 604

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh penambahan bahan aditif Metanol pada bahan bakar Pertamax
terhadap angka ktan campuran
Dari hasil pengujian yang dilakukan dengan variasi penambahan bahan aditif
antara 0 hingga 50%, yaitu M
0
(0% metanol dan 100% pertamax), M
10
(10% metanol
dan 90% pertamax), M
20
(20% metanol dan 80% pertamax), M
30
(30% metanol dan
70% pertamax), M
40
(40% metanol dan 60% pertamax), dan M
50
(50% metanol dan
50% pertamax), pengaruhnya terhadap angka oktan campuran dapat dilihat pada
Gambar 4.1 berikut ini.

Gambar 4.1 Grafik hubungan Sampel Terhadap Angka Oktan
Gambar 4.1 memperlihatkan hubungan antara penambahan bahan aditif
metanol terhadap angka oktan, dimana semakin besar persentase metanol yang
dicampurkan ke dalam pertamax semakin tinggi angka oktannya. Hal ini disebabkan
angka oktan metanol murni ( 108 RON) lebih tinggi dari angka oktan pertamax (
92,5 RON).
4.1 Pengaruh penambahan bahan aditif Metanol pada bahan bakar Pertamax
terhadap Konsumsi Bahan Bakar
Dari hasil pengujian yang dilakukan dengan variasi penambahan bahan aditif
antara 0 hingga 50%, pengaruhnya terhadap konsumsi bahan bakar saat diji pada
sepeda motor roda dua mesin 4 tak, dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut ini.


Gambar 4.2 Grafik pengaruh penambahan bahan aditif metanol (%)
terhadap Konsumsi Bahan bakar (kg/jam)
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 605

Kurva pada Gambar 4.2 memeperhilatkan hubungan antara penambahan bahan
aditif metanol terhadap angka oktan campuran, dimana semakin besar persentase
metanol yang dicampurkan ke dalam pertamax (dari 0% hingga 20%) semakin rendah
nilai konsumsi bahan bakarnya (lebih hemat) tetapi penambahan bahan aditif metanol
dari 20% hingga 50% mengakibatkan peningkatan konsumsi bahan bakar dari 0,6735
(kg/jam) pada M20 menjadi 0,7776 (kg/jam) pada M
50
. Dengan kata lain, penamahan
bahan aditif metanol yang paling efektif adalah sebesar 20% atau M20 (20% metanol
dan 80% pertamax).
4.2 Pengaruh penambahan bahan aditif Metanol pada bahan bakar Pertamax
terhadap Nilai Kalor campuran
Dari hasil pengujian yang dilakukan dengan variasi penambahan bahan aditif antara 0
hingga 50%, pengaruhnya terhadap nilai kalor campuran (bahan bakar campuran)
dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut ini.

Gambar 4.3 Grafik Hubungan Sampel Terhadap Nilai Kalori
Dari Gambar 4.3 dapat dilihat hubungan antara penambahan bahan aditif
metanol (%) terhadap Nilai Kalor campuran (kJ/kg), dimana semakin besar persentase
metanol yang dicampurkan ke dalam pertamax semakin rendah Nilai Kalornya. Hal
ini disebabkan nilai kalor metanol murni ( 19.917,6 kJ/kg) lebih rendah dari nilai
kalor pertamax ( 42.800,0 kJ/kg).
V. KESIMPULAN
Dari hasil pengujian dan analisa yang dilakukan dapat disimpulkan:
Semakin besar persentase penambahan bahan aditif metanol pada bahan bakar
pertamax maka semakin besar pula angka oktan campuran.
Semakin besar persentase penambahan bahan aditif metanol pada bahan bakar
pertamax maka semakin rendah pula nilai kalor campuran.
Semakin besar persentase metanol yang dicampurkan ke dalam pertamax (dari
0% hingga 20%) semakin rendah nilai konsumsi bahan bakarnya (lebih hemat)
tetapi penambahan bahan aditif metanol dari 20% hingga 50% mengakibatkan
peningkatan konsumsi bahan bakar dari 0,6735 (kg/jam) pada M
20
menjadi
0,7776 (kg/jam) pada M
50
. Dengan kata lain, penamahan bahan aditif metanol
yang paling efektif adalah sebesar 20% atau M
20
(20% metanol dan 80%
pertamax).
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 606

VI. DAFTAR PUSTAKA
Hapid, A. 2002. Pengaruh Penambahan Zat Aditif terhadap Konsumsi Bahan Bakar
dan Kinerja Mesin. Teknik Mesin. Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Metanol. Diakses 20 September 2012.
http://Norifalenergyfuelenhancer.com/2011/08/bagaimana-norival-meningkatkan-
kualitas-bbm.html Diakses 24 September 2012.
http://flawlessimagine.blogspot.com/2011/10/angka-oktan-pada-bbm.html.
Diakses 24 September 2012.
Keputusan Dirjen Migas No. 940/34/DJM/2002.
Kurdi, Arijanto. 2007. Aspek Torsi dan Daya pada Mesin Sepeda Motor 4 Langkah
dengan Bahan Bakar Campuran Premium-Metanol Semarang.
Permana, Rengga, 2012. Pengaruh Pencampuran Etanol Pada Bahan Bakar
Pertamax Terhadap Nilai Kalor Dan Angka Oktan , Skripsi, Jurusan Teknik
Mesin FT Unsri :Inderalaya
Sururi, Eri & Waluyo, Budi. 2010. Kaji Eksperimen: Perbandingan Penggunaan
Bahan Bakar Premium dan Pertamax Terhadap Unjuk Kerja Mesin Pada
Sepeda Motor Suzuki Thunder Tipe EN-125. Seminar Nasional Tahunan
Teknik Mesin (SNTTM)-IX. MI-417. Universitas Sriwijaya. Palembang.
Wikipedia. 2012. Tersedia pada (http://id.wikipedia.org/wiki/Zirkonium).
Diakses 23 Sepetember 2012
Wikipedia. 2012. Tersedia pada (https://mulyantogoblog. wordpress.com). Diakses 23
September 2012
Yefrichan.files.wordpress.com/2010/05/motor-bakar.doc. Diakses 31 Oktober 2012.

Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 607

EL-23

OPTIMASI TEMPERATUR PADA PROSES SINTESIS ZEOLIT
ANALSIM DARI ABU TERBANG BATUBARA


Anhairona Rozaria
1
, Grafellia Sudarman
1
, Simparmin Br Ginting
1
,
Abdul Ghofar
2

1
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Lampung
Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung 35145
simparmin@unila.ac.id

2
Pusat Teknologi Industri Proses - TIRBR
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Gedung Teknologi 2 Lt.3 PUSPIPTEK Tangerang Selatan
abdghofar@yahoo.com

*
Koresponensi Pembicara. Phone: +62 819 7793 9634,
Email: ozaria20@gmail.com


ABSTRAK


Zeolit analsim dapat dibuat dari limbah pembakaran batubara, yaitu abu terbang.
Temperatur merupakan parameter yang sangat penting dalam proses pembentukan
kristal zeolit sintetis, oleh karena itu pada sintesis ini perlu ditentukan temperatur
optimum untuk mendapatkan persen kristalinitas tertinggi pada variasi percobaan.
Zeolit analsim dibuat dengan metode hidrotermal alkali di dalam autoklaf dengan
menggunakan template NaOH dengan konsentrasi 1,5 M dan variasi temperatur
140C, 150C, 160C, 170C dan 180C selama 72 jam. Abu terbang batubara
berfungsi sebagai sumber silika yang dimurnikan dengan cara refluks menggunakan
larutan HCl 1M. Karakterisasi zeolit yang dihasilkan antara lain identifikasi struktur
dan analisis kristalinitas menggunakan X-ray diffraction (XRD) dan untuk
mengetahui pembukaan pori zeolit sintesis dengan rentang bilangan gelombang 300-
420/cm menggunakan spektrofotometer inframerah (FTIR). Berdasarkan hasil
penelitian dapat diketahui bahwa struktur zeolit analsim terbentuk pada semua variasi
temperatur dengan kristalinitas mengikuti variasi temperatur adalah 22,07 %, 22,68
%, 23,23 %, 24,06 % dan 23,89%. Dari hasil analisis FTIR menunjukkan bahwa zeolit
analsim tidak terjadi pembukaan pori. Temperatur optimum pada penelitian ini adalah
170C.


Kata kunci : abu terbang batubara, analsim, kristalinitas, temperatur, zeolit.



Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 608

1. PENDAHULUAN
Batubara merupakan salah satu sumber bahan bakar selain minyak dan gas
bumi yang semakin banyak digunakan dalam industri,seperti pada Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kecenderungan peningkatan penggunaan tersebut
diakibatkan oleh naiknya harga minyak diesel industri, sehingga banyak
perusahaan yang beralih menggunakan batubara sebagai bahan bakar dalam
menghasilkan steam (uap). Akibatnya jumlah batubara yang digunakan dalam
pembangkit listrik di seluruh dunia setiap tahun meningkat karena kebutuhan
energi listrik yang semakin meningkat pula. Namun disisi lain proses pembakaran
batubara menghasilkan limbah yang berupa limbah padat dan gas.
Limbah padat yang dihasilkan dari pembakaran batubara yaitu abu terbang (fly
ash) dan abu dasar (bottom ash) yang jumlahnya cukup besar. Abu terbang adalah
partikel-partikel halus sisa pembakaran yang sangat ringan, sehingga bisa terbang
di udara pada saat proses pembakaran (partikel abu yang terbawa gas buang).
Sementara itu, abu dasar adalah sisa pembakaran yang berat dan mengendap di
bagian bawah ruang pembakaran (abu yang tertinggal dan dikeluarkan dari bawah
tungku) (Jumaeri dkk, 2007). Abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran
batubara berkisar 80-90 % dari total abu seluruhnya. Dari sejumlah PLTU di
Indonesia, abu terbang yang dihasilkan diperkirakan mencapai 500 sampai 1000
ton per hari (Nasrul dan Utama, 1995).
Limbah abu terbang merupakan masalah yang tidak asing lagi dihadapi oleh
banyak negara di dunia yang menggunakan batubara sebagai sumber energi. Pada
masa mendatang limbah abu terbang batubara akan semakin meningkat dengan
adanya kebijakan energi baru yang tertuang dalam blueprint Undang Undang
No.20 Tahun 2002 tentang ketenagalistrikan (Departemen ESDM, 2003). Di
Indonesia jumlah pemanfaatan abu terbang batubara untuk berbagai tujuan masih
sangat sedikit (Herry, 1993).
Salah satu alternatif pemanfaatan abu terbang batubara dengan mengubahnya
menjadi zeolit. Zeolit sintetis banyak digunakan pada berbagai industri, antara lain
untuk katalis, supporting katalis, adsorben, molecular sieve, membran dan
sebagainya. Sehingga abu terbang batubara dapat ditingkatkan nilai ekonomisnya
serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan.
Abu terbang hasil pembakaran batubara mempunyai komponen fasa amorf
seperti silika-alumina amorf (Si-Al) dan komponen fasa kristalin seperti kuarsa
(SiO
2
) dan mullit (2SiO
2
.3Al
2
O
3
), hematit (-Fe
2
O
3
) dan magnetit (Fe
3
O
4
). Abu
terbang batubara mempunyai sifat pozolanik dan fase mineral yang terdiri atas
komponen utama yaitu silika (60-70%) dan alumina (16-20%) dalam bentuk
kuarsa dan mullit, dengan jejak oksida logam transisi (Chang dan Shih, 2000).
Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Jumaeri, 2007 yang mempelajari
pengaruh kondisi-kondisi proses alkali hidrotermal yang meliputi konsentrasi
NaOH dan temperatur proses terhadap karakteristik zeolit sintesis yang dihasilkan.
Dengan memvariasikan konsentrasi NaOH yaitu 1, 2, 3 M, temperatur 100 dan
160C serta dengan bahan baku berasal dari PLTU Suralaya. Dari proses alkali
hidrotermal tersebut didapat zeolit P dan Y dengan hasil intensitas fasa kristalin
tertinggi pada konsentrasi NaOH 2M, temperatur 160C dan waktu 72 jam.
Grafellia dan Ginting,S.Br., 2011 melakukan penelitian yg serupa dengan Jumaeri
dkk, 2007 namun bahan baku abu terbang yang digunakan berbeda yaitu berasal
dari PLTU Tarahan. Pada penelitiannya memvariasikan konsentrasi NaOH 1; 1,5;
2; 2,5; 3 M dan temperatur 160C menghasilkan sebagian besar produk zeolit
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 609

analsim dan sebagian kecil cancrinit dengan konsentrasi terbaik pada 1 M.
Pada penelitian ini zeolit analsim disintesis secara alkali hidrotermal dari abu
terbang batubara sebagai sumber SiO
2
dan Al
2
O
3
. Untuk menentukan temperatur
optimum dalam proses sintesis digunakan variasi temperatur dengan konsentrasi
NaOH 1,5 M. Hasil sintesis abu terbang yang berupa zeolit akan dikarakterisasi
dengan menggunakan analisis FTIR dan XRD


2. BAHAN DAN ALAT
2.1 Bahan
Bahan yang digunakan yaitu : Abu terbang batubara yang berasal dari PLTU
Tarahan Lampung Selatan, HCl 1 M, NaOH 1,5 M. dan aquades

2.2 Alat
Alat yang digunakan antara lain :Autoclave, neraca digital, gelas kimia, pipet
tetes, oven, furnace, desikator, labu erlenmeyer, corong gelas, magnetik strirrer,
kertas saring, Spektrofotometer inframerah model shimadzu (FTIR), dan
Difraktometer sinarX model Shimadzu (XRD).


3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Zeolit yang dihasilkan dari proses sintesis zeolit secara alkali hidrotermal
menghasilkan padatan berwarna abu-abu kehitaman seperti ditampilkan pada
Gambar 1.









Gambar.1 Zeolit analsim yang terbentuk dari abu terbang batubara.

3.1 Hasil Analisis XRD
Pola difraksi XRD produk sintesis zeolit dari abu terbang batubara untuk
setiap run, dapat dilihat pada gambar berikut :










Analsim standar
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 610





















































Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 611















Gambar 2. Pola difraksi produk sintesis zeolit untuk run 1-5

Gambar 2 merupakan pola difraksi produk sintesis zeolit dari abu terbang
batubara untuk run 1-5. Pola difraksi ini telah dibandingkan dengan pola difraksi
zeolit standar analsim. Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti pada Gambar 2,
dapat diketahui bahwa telah terbentuk zeolit analsim dari abu terbang batubara
menggunakan metode alkali hidrotermal. Hal ini dapat dilihat dari kelima pola
difraksi XRD padatan yang dihasilkan sama dengan pola difraksi standar zeolit
analsim pada nilai dua theta yang sama, zeolit analsim yang terbentuk merupakan
produk dominan pada penelitian ini karena tidak ditemukan produk lain. Dalam
hal ini zeolit analsim yang dihasilkan berbentuk kubik. Formula zeolit analsim
yang disintesis dari abu terbang batubara adalah sebagai berikut :
Na (Si
2
Al) O
6
.H
2
O
Weitkamp dan Puppe, 1999 menyatakan bahwa analsim adalah fase metastabil
dimana jika waktu sintesis diperpanjang maka fasa analsim akan berubah menjadi
zeolit lain yang tergantung pada metode serta bahan baku sintesisnya. Gambar 2
memperlihatkan difraktogram produk hidrotermal pada berbagai variasi suhu.
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa puncak tertinggi berada pada run 4
dengan konsentrasi NaOH 1,5 M pada temperatur 170

C, dimana puncak tajam


tampak pada 2=26,062
o

; 15,894
o
; 30,645
o
.

Tabel 1. Persen Kristalinitas produk Run 1- 5
Run Temperatur(
o
C) Kristalinitas (%)
1
2
3
4
5
140
150
160
170
180
22,07
22,68
23,23
24,06
23,89

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada run 1 dengan temperatur
sintesis 140
o
C diperoleh persen kristalinitas produk sebesar 22,07%. Hal ini
menunjukkan bahwa pada run tersebut terbentuk kristal zeolit analsim 22,07%
,sedangkan sisanya 77,93% merupakan amorf. Pada temperatur 150
o
C dan 160
o
C,
persen kristalinitas produk yang terbentuk berturut-turut sebesar 22,68% dan
23,23%. Persen kristalinitas produk tertinggi diperoleh pada run 4 dengan
temperatur 170
o
C. Dari nilai persen kristalinitas tersebut menunjukkan bahwa
semakin tinggi temperatur sintesis maka semakin tinggi persen kristalinitas produk
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 612

yang terbentuk. Namun, pada temperatur 180
o
C tidak terlihat kecenderungan
yang sama. Persentase kristalinitas mengalami penurunan yaitu 23,89%. Hal ini
menunjukkan bahwa ada sebagian kristal zeolit analsim yang meluruh kembali
pada temperatur tersebut. Dari hasil penelitian ini didapat temperatur optimum
yaitu pada temperatur 170
o
C.


3.2 Hasil Analisis Spektrofotometri Inframerah
Spektra IR abu terbang batubara (Gambar 3 dan 4) diperoleh dengan
menggunakan FT-IR Perkin Elmer pada bilangan gelombang 4000 400 cm
-1
.











Gambar 3. Spektra Inframerah abu terbang sebelum disintesis

Berdasarkan gambar 3 dapat dilihat adanya pita-pita serapan yang muncul
pada daerah 3437.04 cm
-1
; 1990.36 cm
-1
; 1876.01 cm
-1
; 1791.25 cm
-1
; 1628.25
cm
-1
; 1175.35 cm
-1
; 1064.77 cm
-1
; 799.94 cm
-1
; 794.13 cm
-1
; 694.22 cm
-1
dan
452.61 cm
-1
. Pita serapan yang muncul pada daerah 3437.04 cm
-1
1628.25 cm
-1

merupakan vibrasi OH. Hal ini menunjukan adanya ikatan hidrogen molekul H
2
O
yang ada dalam abu terbang. Untuk serapan 1175.35 cm
-1
- 1064.77 cm
-1
terjadi
vibrasi asimetris Si-O atau Al-O dalam SiO
4
atau AlO
4
tetrahedral (1250 cm
-1

950 cm
-1
). Untuk serapan 799.94 cm
-1
; 794.13 cm
-1
dan 694.22 cm
-1
dan 452.61
cm
-1
menunjukan vibrasi Si/Al.
Adapun spektra infra merah zeolit hasil proses sintesis dengan konsentrasi 1,5
M pada temperatur 140C,150 C, 160 C, 170 C dan 180 C dapat dilihat pada
gambar 4.















Run 1, 140
o
C
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 613


















































Gambar 4. Spektra inframerah produk( Zeolit Analsim) untuk Run 1-5
Run 2, 150
o
C
Run 3, 160
o
C
Run 4, 170
o
C
Run 5, 180
o
C
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 614


Berdasarkan Gambar 4, semua padatan hasil sintesis memiliki spektra IR
hampir sama, namun terdapat perbedaan bila dibandingkan dengan spektra IR dari
abu terbang sebelum di sintesis. Pada run 1, pita serapan yang muncul pada daerah
3631.89cm
-1
-1645,36 cm
-1
merupakan pita serapan dari gugus hidroksil OH
(vibrasi OH). Hal ini menunjukkan adanya ikatan hidrogen dalam molekul H
2
O
yang ada dalam abu terbang. Untuk serapan 924.40 cm
-1
terjadi vibrasi asimetri
SiO atau AlO dalam SiO
4
atau AlO
4
tetrahedral (1250 cm
-1
900 cm
-1
). Untuk
serapan 729.35 cm
-1
- 420.56 cm
-1
menunjukkan vibrasi Si/Al. Secara keseluruhan
terdapat pergeseran pita serapan setiap run yang tidak signifikan.
Untuk pembukaan pori ditunjukan dengan pita serapan antara 300 - 420 cm
-1
.
Dari kelima hasil penelitian yang telah di analisa menggunakan FTIR
menunjukkan bahwa semua produk hidrotermal tidak terjadi pembukaan pori.
Terbukanya pori suatu produk sintesis dipengaruhi oleh proses sebelum dilakukan
proses alkali hidrotermal yaitu proses refluks abu terbang dengan HCl 1M selama
satu jam dengan rasio abu terbang dan HCl 1:3. Perlakuan HCl dalam hal ini
dimaksudkan untuk melarutkan komponen Fe
2
O
3
, Al
2
O
3
, CaO dan MgO yang
mengisi pori-pori abu terbang. Dengan begitu pori-pori yang tertutup dapat
terbuka sehingga menambah luas permukaan produk hidrotermal yang terbentuk.
Akan tetapi, berdasarkan pada spektra infra merah yang didapat, diketahui bahwa
tidak ada pembukaan pori pada produk penelitian ini, dikarenakan pengaruh waktu
refluks, konsentrasi HCl, dan rasio abu terbang dengan HCl yang kurang ideal
sehingga hasil yang didapatkan tidak maksimal.


3.3 Pengaruh Konsentrasi Alkali pada proses alkali hidrotermal
Pada penelitian ini alkali yang digunakan yaitu NaOH dengan konsentrasi 1,5
M, pemilihan konsentrasi 1,5 M berdasarkan pertimbangan dimana pada
penelitian sebelumnya yang dilakukan Jumaeri dkk, 2007 konsentrasi terbaik pada
2 M, sedangkan konsentrasi terbaik yang dilakukan oleh Grafellia dan
Ginting,S.Br.,, 2011 pada 1 M. Dari hal tersebut penelitian ini menggunakan
konsentrasi 1,5 M, yang diharapkan penelitian ini mendapatkan hasil yang lebih
baik.
Konsentrasi basa mineral berpengaruh terhadap karakteristik produk yang
dihasilkan. Penggunaan larutan NaOH pada proses hidrotermal abu terbang
menyebabkan terjadinya konversi fraksi amorf , sebagian mineral kuarsa dan
alumina menjadi mineral zeolit. Dalam hal ini NaOH berfungsi sebagai reagen
pengarah untuk membentuk zeolit analsim (Na (Si
2
Al) O
6
.H
2
O), dimana zeolit
jenis ini berada pada fase metastabil dan masih banyak kandungan H
2
O. Jika
waktu sintesis diperpanjang maka fasa analsim akan berubah menjadi zeolit lain
yang tergantung pada metode serta bahan baku sintesisnya.


3.4 Pengaruh Temperatur pada proses alkali hidrotermal
Penelitian ini ditekankan pada pengaruh temperatur terhadap kristalinitas
produk sintesis zeolit dari abu terbang batubara. Pada pembahasan sebelumnya
sudah diketahui bahwa dari penelitian ini didapatkan zeolit analsim.
Kenaikan temperatur pada proses pembuatan zeolit analsim tidak
menimbulkan perubahan difraktogram yang signifikan. Fenomena yang muncul
Seminar Nasional AVoER ke-4
Palembang, 28-29 November 2012 ISBN : 979-587-440-3

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 615

akibat kenaikan temperatur pada proses kristalisasi mempengaruhi bertambahnya
intensitas fase kristalin dan semakin berkurangnya fase amorf, seperti yang terlihat
pada gambar 2 dan divalidasi dengan data kristalinitas yang dihitung berdasarkan
basis amorf pada tabel 1. Pada run 1 sampai dengan run 4 mengalami kenaikan
kristalinitas seiring dengan kenaikan temperatur. Pada temperatur 180C
kristalinitas zeolit analsim yang dihasilkan mulai menurun. Hal ini mungkin
disebabkan karena terjadinya reaksi lebih lanjut.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Zeolit analsim dapat dibuat dari abu terbang batubara dengan proses alkali
hidrotermal.
2. Persen kristalinitas produk berdasarkan base amorf untuk konsentrasi 1,5 M
dan temperatur 140,150,160,170,180
o
C berturut-turut adalah 22,07%; 22,68%;
23,23%; 24,06%; 23,89%.
3. Temperatur optimum pada penelitian ini yaitu 170
o
C dengan persen
kristalinitas tertinggi 24,06%.


5. REFERENCES
Chang, H.-L. & Shih, W.-H. 2000. Synthesis of Zeolities A and X from Fly Ashes
and Their Ion-Exchange Behavior with Cobalt Ions. Ind. Eng. Chem. Res.,
39,4185-4191.
Grafellia S dan Ginting, Simparmin Br., 2011. Penentuan Konsentrasi NaOH
Terbaik Pada Sintesis Zeolit P dan Y dari Abu Terbang Batubara, Lampung.
Universitas Lampung.
Herry P. 1993. Abu Terbang dan Pemanfaatannya, Makalah Seminar Nasional
Batu Bara Indonesia, UGM Yogyakarta 7 8 September 1993.
Jumaeri, W.Astuti , dan W.T.P Lestari. 2007. Jurnal Reaktor, Vol. 11, No.1, Juni
2007, Hal. : 38 44.
Nasrul A. dan Utama D. 1995. Penelitian Penggunaan Abu Terbang Batu Bara
untuk Bendungan RCC. Energi dan Listrik Vol. 3 : 19 34.
Pratama. Yoga, Heri. T. Putranto. 2007. Coal Fly Ash Conversion To Zeolite For
Removal Of Chromium And Nickel From Waste Water.
Weitkamp, J. dan Puppe. 1999. Catalysis and Zeolites Fundamental and
Application. Jerman : Berlin.

Anda mungkin juga menyukai