Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN TUTORIAL BLOK TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN SKENARIO I

OLEH: KELOMPOK 15 1. Andreas Peter Patar B. S. 2. Anisa Nur Rahma 3. Cherryl Martha C. A. W. 4. Dhyani Rahma Sari 5. Finda Kartika 6. Kharisma Setya W. 7. Meutia Halida 8. M. Faiz K. Anwar 9. Rizqi Ahmad Nur 10. Wida Pratiwi Oktavia Tutor :Dr. Adi Prayitno,drg., M.Kes (G0010018) (G0010022) (G0010042) (G0010056) (G0010080) (G0010110) (G0010124) (G0010118) (G0010168) (G0010196)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2012

BAB I PENDAHULUAN

Skenario 1: Ada apa dengan hidungku ? Seorang laki-laki 35 tahun didiagnosis menderita polip hidung, sekitar 1 tahun ini dia merasakan pilek terus menerus disertai bersin-bersin terutama jika terpapar debu, gaangguan dirasakan terutama saat bernafas, hidung terasa tersumbat, tidak bisa menghidu,kadang-kadang disertai nyeri kepala separo dan tercium bau busuk terutama pagi hari. Sejak lama istrinya juga sering mendengar suaminya mengeluh sakit gigi, tapi tidak pernah dibawa ke dokter gigi, hanya berkumur air garam dan rendaman daun sirih, dan jika bengkak hanya menggunakan koyo yang ditempelkan pada pipinya. Karena keluhan dirasakan makin berat, bahkan terkadang sampai mengeluarkan darah jika membuang ingus dan berbau busuk maka ia mengantarkan suaminya ke Poli THT. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapat konkha hipertrofi, massa putih, discharge kental, kuning kecoklatan.Pada pemeriksaan orofaring didapatkan post nasal drip, dan gigi gangren pada M1 kiri atas serta M2 kanan atas.Pada foto kepala water's PA, dan lateral, terlihat air fluid level pada sinusitis maksilaris dekstra.Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan lekositosis dan peningkatan eosinofil.

Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi dan fisiologi hidung? 2. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi keluhan pasien? 3. Bagaimana interpretasi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium? 4. Bagaimana efek terapi mandiri oleh pasien? 5. Apa saja diagnosis banding pada kasus skenario satu? 6. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus skenario satu ?

Tujuan Pembelajaran 1. Menjelaskan Anatomi dan fisiologi hidung? 2. Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi keluhan pasien? 3. Menjelaskan interpretasi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium? 4. Mengetahui efek terapi mandiri oleh pasien? 5. Mengetahui diagnosis banding pada kasus skenario satu? 6. Mengetahui penatalaksanaan pada kasus skenario satu ?

BAB II STUDI PUSTAKA

1. Anatomi dan fisiologi hidung

A. Embriologi

Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu, perkembangan embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris (Walsh WE, 2002). Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika sembilan minggu, mulailah kehamilan berusia

terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh

invaginasi meatus media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnyapada usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. (Walsh WE, 2002)

B. Anatomi

a. Hidung luar Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

b. Hidung Dalam Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)

c.

Meatus Inferior Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai

muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)

d. Nares Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum.. (Ballenger JJ,1994)

e. Sinus Paranasal Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid.Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ; Hilger PA,1997) Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet (Sobol SE, 2007).

f. Persarafan hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.Ganglion sfenopalatinum selaain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari

n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) Nervus olfaktorius.Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu padamukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)

C. Fisiologi

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

a. Fungsi Respirasi Udara inspirasi masuk ke hidung melalui nares anterior, lalu naik setinggi konka kemudian turun ke arah nasofaring. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi penguapan udara inspirasi oleh palut lendir. Pada musim dingin, sebaliknya. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

b. Fungsi Penghidu Hidung bekerja sebagai indra penngecap dan penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas septum. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk

membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

c. Fungsi Fonetik Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara. Sumbatan pada hidung akan menyebabkan resonansi berkurang, sehingga menimbulkan suara sengau. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

d. Refleks Nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

D. Histologi

a. Mukosa Hidung Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas

permukaan kavum nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). dan sebagian besar mukosa pernafasan

(mukosa respiratori) . Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius.Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel padahidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atasdua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa

olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletakmukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas

epitel,membran basalis dan lamina propia( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997). Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang bervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat macam sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified

columnar epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja silia.Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai mikrovili).(Watelet, 2002). Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang vestibulum.Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media dan inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan tersusun rapi. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet , 2002)

b. Sel Goblet Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan endoskopis tampak berbentuk piala. Sel ini menghasilkan komplek protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air.Diantara semua sinus, maka sinus maksila mempunyai kepadatan selgoblet yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga banyak dijumpai didaerah nasofaring (Ballenger;1994 ; Waguespack,1995; Levine,2002 )

c. Silia Hidung Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia) memiliki mikrovilia dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap selnya yang bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200 silia tiap selnya. Silia merupakan struktur kecil menyerupai rambut , menonjol dari permukaan sel dan berperan dalam membersihkan kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah tiap selnya. Panjang silia antara 5-7 m dengan diameter 0,3 m.( Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994) Fungsi utama dari silia adalah membawa mukus kembali ke arah faring. Mukus hidung adalah berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari udara inspirasi, juga untuk memindahkan panas; normalnya mukus menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta melembabkan udara inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995) Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. (Ballenger JJ,1994 ; Cohen NA.2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)

2. Patogenesis dan patofisiologi keluhan pasien Infeksi Odontogen

Etiologi Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal usus dalam

mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus gingiva, dan mukosa mulut.Yang ditemukan terutama bakteri kokus aerob Gram positif, kokus anaerob Gram positif dan batang anaerob Gram negative. Bakteri-bakteri tersebut dapat

menyebabkan karies, gingivitis dan periodontitis. Jika mencapai jaringan yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa maka akan terjadi infeksi odontogen. Yang terpenting di sini adalah infeksi disebabkan oleh berbagai macam bakteri, baik aerob maupun anaerob. (Mansjoer, Arief et al. 2001)

Patofisiologi Nekrosis pulpa karena karies dalam yang tidak terawat merupakan jalan

bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang kortikal. Jika tulang ini tipis, maka infeksi dapat menembus dan masuk ke jaringan lunak.Penyebaran virus ini tergantung dari daya tahan jaringan dan tubuh. Infeksi odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (per

kontinuitatum) , pembuluh darah (hematogen), dan pembuluh limfe (limfogen). Yang paling sering terjadi adalah penyebaran melalui jaringan ikat karena terdapat celah di antara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus.Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, thrombosis sinus kavernosus, abses labial, dan abses facial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses sublingual, abses submental, abses submandibula, abses submaseter dan angina Ludwig. (Mansjoer, Arief et al. 2001) Polip Hidung

Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan dalam rongga hidung, warna putih keabuan, yang dapat terjadi akibat inflamasi mukosa. Diduga predisposisi polip adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi (Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Patogenesis Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat

peradangan atau turbulensi udara, terutama di daerah sempit di kompleks

ostiomeatal.Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru.Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor(Mangunkusumo & Wardani, 2010). Bila proses berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai (Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Makroskopis Polip merupakan massa bertangkai, permukaan licin, bentuk bulat atau

lonjong, warna putih keabuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive. Warna polip yang pucat disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip (Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Mikroskopis Epitel serupa mukosa hidung normal, epitel bertingkat semua bersilia

dengan submukosa yang sembab. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik, atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.(Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Diagnosis Polip Nasi

Anamnesis Keluhan utama adalah hidung rasa tersumbat ringan sampai berat, rinore mulai jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia.Mungkin disertai bersin, nyeri hidung disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila infeksi sekunder mungkin terdapat post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup (Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Pemeriksaan Fisik Pada rinoskopi anterior terlihat sebagai massa warna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan(Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Pemeriksaan Radiologi Foto sinus paranasal dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan batas udara-cairan dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal (Mangunkusumo & Wardani, 2010).

Penatalaksanaan Menghilangkan keluhan, mencegah komplikasi dan rekurensi

polip.Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip sebagai polipektomi medikamentosa, topikal atau sistemik.Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah (Mangunkusumo & Wardani, 2010). Rinithis Alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai IgE.

Patofisiologi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase tipe hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofagg atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL3. IL4 dan IL3 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Ig E. Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang mengasilkan mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen sesifik dan terjadi degranulasi mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LTD4), Leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin erangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1)

Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah: Polip hidung Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak. Sinusistis paranasal

Sinusitis

Sinusitis

didefinisikan

sebagai

inflamasi

mukosa

sinus

paranasal.Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis.Penyebab utamanya adalah selesma yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti infeksi bakteri.Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila.

Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar didalam KOM.Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang saling berhadapan akan saling bertemu sehingga siia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam

rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous.Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya bisa sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri.Sekret menjadi

purulen.Keadaan ini isebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil, inflamasi berlanjut terjadi hipoksia dan bakter anaerob berkembang.Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.Pada keadaan ini diperlukan tindakan operasi. Sinusitis Odontogenik

Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prossesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksla hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang tanpa tulang pembatas.Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar ggi atau ingflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Tanda Gejala Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip).Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang nyeri juga terasa ditemat lain. Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau belakang ke dua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal.Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital,

belakang bola mata dan daerah mastoid.Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit kepala, hposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Komplikasi o Kelainan orbita Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata.Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan

perkontinuitatum.Kelainan yang dapat timbul ialah edema palbebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus. o Kelainan intrakranial Daat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Epistaksis Epistaksis adalah perdarahan yang keluar dari lubang hidung, rongga hidung dan nasofaring. Penyakit ini disebabkan oleh kelainan lokal maupun sistemik dan sumber perdarahan yang paling sering adalah dari pleksus Kiesselbachs. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium dan radiologik. Prinsip penanggulangan epistaksis adalah menghentikan perarahan, mencegah komplikasi dan kekambuhan. Epistaksis anterior ditanggulangi dengan kauter dan tampon anterior, sedangkan epistaksis posterior dengan tampon Bellocq dan ligasi arteri atau embolisasi (Delfitri Munir-2006) Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu :

Epistaksis anterior Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi atau juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior dimana mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi

patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan Epistaksis posterior Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005).

Epistaksis (Delfitri Munir-2006) dapat terjadi akibat : a. Tauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas. b. Iritasi gas yang merangsang, benda asing dan trauma pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan c. Hemangioma, karsinoma dan angiofibroma. d. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah e. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause. K f. Kelainan darah pada demam berdarah. g. Tifoid dan morbili. h. Penyelam yang merupakan akibat perubahan tekanan atmosfer. hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada

3. Interpretasi laboratorium

hasil

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan

4. Efek terapi mandiri oleh pasien 5. Diagnosis banding pada kasus skenario satu 6. Penatalaksanaan pada kasus skenario satu !!!!!!!!!!!!!!!!

BAB III PEMBAHASAN

Pada skenario ini disebutkan bahwa pasien mengalami gejala pilek terus menerus disertai bersin-bersin terutama jika terpapar debu, gangguan dirasakan terutama saat bernafas, hidung terasa tersumbat, tidak bisa menghidu, kadangkadang disertai nyeri kepala separo dan tercium bau busuk terutama di pagi hari. Pilek terus menerus disertai bersin-bersin yang dirasakan terutama jika terpapar debu terjadi akibat inflamasi yang diawali dengan tahap sensitasi dan diikuti dengan reksi alergi. Proses ini terjadi diawali dengan paparan allergen yang dalam skenario ini adalah debu. Alergen atau antigen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut akan diproses oleh sel makrofag atau sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (APC) menjadi peptide pendek yang terdiri dari 7-14 asam amino yang berikatan dengan tempat pengenalan antigen dari kompleks MHC class II. Sel APC ini akan mengalami migrasi menuju adenoid, tonsil, atau limfonodi. Pada penderita atopik, reseptor sel T (TCR) pada limfosit Tho bersama dengan sel CD4 dapat mengenali peptide yang disajikan oleh sel APC tersebut. Kontak simultan yang terjadi diantara sel TCR bersama molekul CD4 dengan MHC class II, CD 28 dan B7 serta molekul asesori pada sel T dengan ligand pada sel penyaji antigen memicu terjadinya rangkaian aktifitas pada membrane sel, sitoplasma maupun nucleus pada sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin. (Suprihatin, 2006) Paparan allergen dosis rendah yang terus menerus pada seorang penderita yang mempunyai bakat alergi (atopic) dan presentasi allergen oleh sel penyaji antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel B untuk memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya (FCE-RI) dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil atau sel mast. Sel mast kemudian masuk venula post kapiler di mukosa yang kemudian

keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan submukosa hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dikatakan dalam keadaan sensitive atau sudah tersensitasi. Apabila sudah dalam keadaan tersensitasi ini penderita terpapar kembali dengan allergen, maka akan terjadi tahap provokasi atau reaksi alergi dimana nanti IgE akan memicu eksositosis granula sel mast yang berisi mediator kimia yang disebut pula preformed mediator seperti histamine, tryptase dan bradikinin dalam suatu alur tertentu. Histamin mempunyai efek langsung pada endotel yang meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan proses transudasi yang memperberat gejala rinore. Ikatan histamine pada reseptor syaraf nociceptif tipe C pada mukosa hidung yang berasal dari Nervous Facialis menyebabkan rasa gatal di hidung dan merangsang timbulnya bersin.Histamine merupakan mediator utama terjadinya bersin.Bersin umumnya merupakan gejala reaksi alergi fase cepat.Bersin disebabkan stimulasi reseptor H1 pada ujun syaraf vidianus.Peptida endotelin 1 yang dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan reaksi bersin. (Sumarman, 2001) Efek histamine pada kelenjar karena aktifasi reflex parasimpatis menyebabkan peningkatan sekresi kelenjar yang menyebabkan gejala rinore yang serous. Selain itu histamine juga menyebabkan gejala hidung tersumbat karena menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah mukosa hidung terutama konka. Mukosa yang berlebihan pada cavum nasi menyebabkan penjalaran reseptor bau terhambat.Ujung syaraf olfaktorius pada mukosa hidung menjadi tidak sensitive sehingga penderita sulit menghidu bahkan sampai tidak dapat menghidu. Reaksi hipersensitif atau reaksi alergi yang terjadi berulang pada mukosa hidung diatas dapat pula menyebabkan polip hidung.Pada scenario juga disebutkan bahwa pasien mengalami gangguan terutama pada saat bernafas, pasien merasa hidungnya tersumbat.Prevalensi kejadian polip hidung ini seringkali ditemukan bersamaan dengan infeksi dalam hidung ataupun sinus paranasal.

Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung karena grafitasi. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak anak. Pada anak anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis. Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya terbentuk polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media. Dalam scenario pula, didapati gejala yang mengarah pada diagnosis sinusitis dentogen seperti nyeri kepala sebelah dan keluhan penyerta riwayat sakit gigi kronis. Selain itu, hasil pemeriksaan penunjang berupa foto polos dengan 3 posisi yakni PA atau Caldwell, Waters, dan lateral didapati air-fluid level di sinus maksilaris dekstra. Berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan pada scenario, selain terdapat polip hidung yang telah didiagnosis sebelumnya, ada kemungkinan pasien juga menderita penyakit sinusitis. Penyebab dari sinusitis yang dialami oleh pasien, bisa dihubungkan dengan sakit gigi yang diderita pasien selama ini.Secara anatomis, dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris yakni tempat akar gigi bagian atas, maka dari itu infeksi yang menyerang gigi molar pasien dapat meluas dan menyebar langsung ke sinus maksila melalui pembuluh darah dan limfe. Selain karena posisi anatomis, gaya hidup pasien yang sering berkumur dengan air garam dan

rendaman daun sirih juga mendukung terjadinya infeksi pada gigi yang bisa menyebar ke sinus.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Penyakit- penyakit hidung sering berkomplikasi dan menyebabkan penyakit hidung lainnya apabila tidak ditangani dengan segera dan adekuat. Rhinitis alergica pada pasien dalam kasus berkomplikasi menjadi polip hidung. 2. Infeksi pada gigi rahang atas bisa menyebar ke sinus maksila dan menyebabkan terjadinya sinusitis dentogen terkait dengan kondisi anatomis dari sinus tersebut.

B. Saran 1. Pasien disarankan memeriksakan kondisinya apabila merasakan kesehatannya terganggu agar dapat segera ditangani dengan adekuat dan tidak

berkomplikasi menjadi penyakit lainnya. 2. Pasien disarankan tidak melakukan terapi sesuai pengetahuan sendiri (seperti berkumur dengan air garam dan rendaman daun sirih) karena tindakan yang salah justru semakin memperburuk kondisi pasien. 3. Dokter sebaiknya memeriksa pasien dengan cermat dan mengetahui etiologi serta patofisiologi penyakit pasien agar tatalaksana yang dilakukan sesuai dan segera mengatasi penyakit pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1989 Ballenger (Ed.).1994. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck, 14th edition, Lea and Febiger, Philadelphia: PA. Delfitri Munir, Yuritna Haryono, Andrina Y.M. Rambe. 2006. Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara(Epistaksis). Vol 39: 274 Dhingra PL. 2007. Disseases of Ear, Nose & Throat. Elsevier 5th edition Mangunkusumo, E. dan Wardani, R. 2010.Polip Hidung in Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Mansjoer, Arief et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1.Jakarta: Media Aesculapius FKUI Nishino, T. 2000. Physiological and pathophysiological implications of upperairway reflexes in humans. Jpn J Physiol 50: 314. Raisa Darusman, K. Paper : Polip Nasi. FK-Universitas Trisakti. Jakarta 2002 Sobol SE. 2007. Management of acute sinusitis and its complications. In: Wetmore RF, editor. Pediatric otolaryngology, Pediatric otolaryngology: the requisites in pediatrics. Philadelphia: Elsevier/Mosby Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000 Suprihati, 2006. Patofisiologi RInitis Alergi, Dalam : Kumpulan Naskah

Simposium Nasional Perkembengan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan Septrinoplasti, Malang,pp.10,1,1-15 Suranyi, L. 2001. Localization of the sneeze center.Neurology 57: 161. Thornton MA, Mahest BN, Lang J.2005.Posterior epistaxix: Identification of common bleeding sites. Laryngodcope. Vol. 115 (4): 588 90.

Wallois, F., Macron, J.M., Jounieaux, V. and Duron, B.1991.Trigeminal afferences implied in the triggering or inhibition of sneezing in cats.Neurosci Lett 122: 14514 Widdicombe, J.G.1990. Nasal pathophysiology.Resp Med 84(Suppl. A): 39.

Anda mungkin juga menyukai