Anda di halaman 1dari 13

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Batasan Masalah Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam penulisan makalah ini, maka penulis akan membatasi masalahnya sebagai berikut:
1. Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam

Proses Legislasi
2. Solusi penyelesaian masalah

1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas, masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential

Veto) dalam Proses Legislasi? 2. Apa solusi untuk menyelesaikan masalah ini? 1.4 Tujuan Penulisan Adapun Tujuan Penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Agar pembaca memahami Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden

(Presidential Veto) dalam Proses Legislasi; 2. Untuk menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah ini. 1.5 Metode Penulisan Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan studi kepustakaan. Penulis membaca buku-buku ataupun kumpulan mata pelajaran yang berkaitan dengan materi makalah ini, yaitu tentang kewenangan dan tanggung jawab badan hokum. Selain media cetak yang merupakan salah satu media yang dipakai oleh penu;is untuk mendapatkan data, penulis juga menggunakan media internet yang merupakan jendela dunia bagi seluruh umat manusia di dunia
1

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Politik Hukum Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai politik pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum. Istilah politik hukum didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (politic body).1 Sedangkan pemahaman atau definisi dari politik hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.2 Mahfud MD mengemukakan bahwa politik hukum meliputi: Pertama; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum3 Sebagaimana telah disebutkan, bahwa politik peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian pula sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan4. Bagir Manan mengartikan istilah politik perundangundangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek
1

pembentukan

peraturan

perundang-undangan. Sedangkan

pembentukan

HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2.
2

M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 9. Ibid. Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan melahirkan suatu peraturan perundang-undangan. Dari beberapa pendapat ahli diatas, maka dapat disimpulkan bhwa politik hokum merupakan kebijakan pemerintah mengenai pembentukan dan pelaksanaan hokum itu untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2.2 Fungsi Legislasi Kata Legislasi berasal dari Bahasa Inggris Legislation yang berarti (1) peundang-undangan dan (2) pembuatan undang-undang. Sementara itum kata Legislation berasal dari kata kerja to Legislate yang berarti mengatur atau membuat Undang-Undang Undang-Undang. Sementara itu, Jimly Asshiddiqie dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara menyatakan bahwa fungsi legislasi menyangkut 4 bentuk kegiatan, yaitu
1. Prakarsa pembuatan Undang-Undang (Legislative Initiation); 2. Pembahasan rancangan Undang-Undang (Law making Process ); 3. Persetujuan atas pengesahan rancangan Undang-Undang (Law enactment
5

Dalam Kamus Besar (KBBI), kata legislasi berarti

pebuatan Undang-Undang. Dengan demikian, fungsi legislasi adalah fungsi membuat

approval);
4. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau

persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hokum yang mengikat lainnya (binding decision making on international law agreement and treaties or other legal binding documents)6.

Dari pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan funsi legislasi tidak hanya menyangkut proses perancangan UU saja, namun juga pembuatan, pembahasan dan persetujuan Undang-Undang.

John M. Echols dan Hassan Shadily, 1997, Kamus Inggris-Indonesia, Cetakan keXXIV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.353.
6

Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu.., hlm 34

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

2.3 Trias Politika Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Berhubungan dengan pembatasan kekuasaan itu, Miriam Budiarjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik membagi kekuasaan secara vertical dan Horizontal7. Secara vertical kekuasaan dibagian berdasarkan tingkatan atau hubungan antartingkatan pemerintahan. Sementara secara horizontal, kekuasaan menurut fungsinya yaitu dengan membedakan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislative, eksekutif, dan Yudikatif8. Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan pemisahan kekuasaan (separation of Power) secara horizontal pertama kali dikemukakan oleh John Locke dalam bukunya Two Treaties of Civil Government. Dalam buku tersebut John Locke mebagi kekuasaan menjadi 3 bagian yaitu, 1. 2.
3.

Legislatif: membuat Undang-Undang; Eksekutif: melaksana Undang-Undang; Federatif: melakukan hubungan internasional dengan Negara lain9. Serlanjutnya Konsep Pemisahan kekuasaan John Locke dikembangkan oleh Montesseqiue, menjadi: 1. Legislatif: membuat Undang-Undang; 2. Eksekutif: melaksana Undang-Undang; 3. Yudikatif: mengadili pelanggar Undang-Undang.

Dalam perkembangannya, prinsip pemisahan kekuasaan mengalami berbagai kritikan, hingga kemudian munculah teori pembagian kekuasaan (distribution of power)
7

Miriam Budiardjo, 1989, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke 29, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 138.
8

Ibid.

John Locke, 1960, Two Treaties of Civil Government, J.M Dent and Sons Ltd., London, hlm. 190-192.

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

2.4 Trias Politica di Indonesia Ketika Undang-Undang Dasar 1945 disahkan tanggal 18 Agustus 1945, maupun diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, para ahli hukum tatanegara, seperti almarhum Professor Ismail Suny, mengatakan bahwa UndangUndang Dasar 1945 tidaklah menganut asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) secara ketat, sebagaimana dikenal dalam doktrin trias politica Montesqeui10. Sejauh mengenai kewenangan lembaga negara yang menangani kekuasaan kehakiman (yudikatif), pemisahan kekuasaan yang tegas antara lembaga ini dengan lembaga-lembaga lain memang telah dirumuskan sejak awal penyusunan Undang-Undang Dasar 1945. Namun dalam hubungan antara eksekutif dengan legislatif sejak awal tidaklah terjadi pemisahan kekuasaan, melainkan pembagian kekuasaan (division of powers). Dalam hal pembentukan undang-undang, DPR berbagi kewenangan dengan Presiden. Dalam hal menetapkan APBN, Presiden juga berbagi kewenangan dengan DPR, apalagi pengesahan APBN haruslah dilakukan dengan undang-undang, yang kewenangan Presiden dan DPR adalah sama kuatnya. Namun dalam melaksanakan undang-undang, termasuk dalam menggunakan seluruh anggaran negara yang telah disepakati dalam undang-undang tentang APBN, kewenangan Presiden tidaklah dibagi dengan DPR. Presiden melaksanakannya sendiri. Namun, dalam konteks pelaksanaan itu, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap Presiden.

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi Dalam teori pembangunan hukum dikenal 2 konsep yang harus diperhatikan, yaitu strategi pembangunan hokum responsif dan posisi hokum sebagai alat
10

Ismail Suny, 1978, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 50

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

pembaruan masyarakat. Strategi pembangunan hokum responsif ini melingkupi pembentukan hukum dan bagaimana hokum ditegakkan demi mencapai keadilan dan kepastian hukum. Dalam pembentukan hokum, tidak bisa terlepas dari siapa lem,baga yang membuatnya dan bagaimana mekanisme pembuatannya. Di Indonesia UU dibuat oleh suatu badan legislatif yaitu DPR bersama Presiden. Dikatakan dalam Pasal 20 ayat (2) UUD bahwa setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama dari DPR dan Pemerintah. Konsep adanya persetujuan bersama ini diterjemahkan menjadi pembahasan yang sifatnya sangat teknis secara bersama-sama oleh DPR dan wakil dari pemerintah. Mekanismenya, untuk RUU yang diajukan oleh Pemerintah, presiden akan mengirimkannya kepada DPR melalui suatu Surpres11. Kemudian DPR akan menentukan komisi mana yang akan membahasnya atau akan dibuat suatu Panitia Khusus (Pansus) yang terdiri dari berbagai komisi. Sementara untuk RUU yang dibuat oleh DPR, DPR akan mengirim surat kepada presiden untuk meminta presiden mengutus salah satu wakilnya dalam pembahasan di DPR. Dalam proses pembahasan, yang dilakukan adalah pembahasan pasal per pasal, kalimat per kalimat, yang kadang-kadang berkepanjangan dan terlampau rinci. Idealnya, proses yang terjadi DPR adalah sebuah proses politik. Sementara hal yang sifatnya teknis diselesaikan tersendiri oleh sekelompok orang yang mempunyai tugas yang bersifat teknis. Persetujuan bersama ini jadi terlihat janggal dalam suatu sistem ketatanegaraan dengan sistem pembagian kekuasaan yang berkeinginan untuk menciptakan keseimbangan (checks and balances). Sebagaimana dikemukakan oleh Sartori: ...the problems of presidentialism are not in the executive arena but in the legislative arena.12 Dalam sistem presidensial, forum yang lebih penting dalam hal keseimbangan peran eksekutif dan legislatif terletak pada wilayah legislatif daripada wilayah eksekutif. Di sini seharusnya muncul proses adu kekuatan antara legislatif

11

Surpres merupakan singkatan dari surat Presiden, sebelum UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dikenal dengan nama Ampres atau Amanat Presiden
12

Giovanni Sartori, 1997, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives, and Outcomes, 2nded, New Yor,: New York University Press, hlm. 83.

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

dan

eksekutif,

yang

sebenarnya

merupakan

mekanisme

politik

dalam

menyeimbangkan kekuasaan mereka dalam sebuah sistem presidensial.13 Dengan begitu, adanya konsep persetujuan bersama sesungguhnya bersifat distortif dalam sebuah sistem presidensial karena meniadakan karakteristik penting dalam sistem presidensial, yaitu adanya eksekutif dan legislatif yang saling menyeimbangkan dalam proses penentuan kebijakan di luar mekanisme dalam parlemen sebagaimana terjadi dalam sistem parlementer.14 Sistem pembentukan undang-undang di Indonesia menjadi lebih ganjil lagi ketika kemudian model persetujuan bersama ini dikawinkan dengan dibolehkannya penolakan presiden untuk menandatangi undang-undang yang sudah disahkan secara bersama-sama oleh presiden dan DPR dalam proses yang terjadi di DPR. Setidaknya ada lima undang-undang yang diundangkan tanpa tanda tangan Presiden, yaitu:

Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Profesi Advokat, Undang-Undang No. 25 tahun 2002 tentang Kepulauan Riau, Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-Undang tentang No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection In Industry and Commerce (Konvensi ILO NO. 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan) Hal ini tidak banyak mendapat sorotan dari publik karena memang tidak ada

akibat langsungnya pada publik. Namun terlihat adanya problem konstitusional yang cukup pelik di sini. Tidak ditandatanganinya suatu undang-undang oleh presiden
Bivitri SusantiV, _____, Problem Kelembagaan dalam Proses Legislasi, Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net, Diakses tanggal 31 Oktober 2012.
14 13

Bandingkan dengan Sartori, ibid. dan Douglas V. Verney, Parliamentary Government And Presidential Government, dalam Parliamentary versus Presidential Government, edited by Arend Lijphart, New York, Oxford University Press, 1998. Karena itu pula, sebagaimana dikemukakan oleh Verney, berbeda dengan sistem parlementer, dalam sistem presidensial tidak ada fokus kekuasaan dalam sistem politik.

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

didasari oleh Pasal 20 ayat (5) UUD. Ketentuan ini berbunyi, dalam hal RUU yang telah disetujui bersama oleh presiden dan DPR tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan. Mekanisme adanya undang-undang yang berlaku tanpa adanya tanda tangan kepala negara dikenal dan diberlakukan di beberapa negara. Ini merupakan salah satu bentuk konkrit dari mekanisme checks and balances antara eksekutif dan legislative serta implementasi dari DPR sebagai legislator utama dari pembentukan perundang-undangan. Karena tujuan itu. ada beberapa prosedur yang mendahuluinya. Biasanya presiden juga diberikan hak veto atas suatu undangundang yang dibuat oleh parlemen15. Selanjutnya, parlemen masih bisa menggagalkan hak veto presiden tersebut melalui persetujuan dari parlemen dalam jumlah tertentu yang lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk mengesahkan suatu undangundang.16 Hasil tentangan parlemen inilah yang biasanya masih bisa di-veto secara diamdiam oleh presiden melalui tidak ditandatanganinya undang-undang tersebut. Meski demikian, karena undang-undang itu dianggap sudah disetujui secara mayoritas oleh parlemen yang merepresentasikan rakyat, undang-undang tersebut tetap sah. Mekanisme ini didisain untuk menciptakan ruang untuk adanya kompetisi politik, tanpa menciptakan suatu kondisi buntu (deadlock) sehingga sistem justru tidak berjalan. Tidak bersedianya presiden menandatangani sebenarnya merupakan sebuah pernyataan politik. Karena itu, biasanya ada penjelasan-penjelasan dari presiden ataupun parlemen dalam peristiwa penolakan-penolakan ini. Namun sayangnya pada kenyataan yang ada, tidak pernah ada pernyataan resmi dari presiden mengenai tidak ditandatanganinya keempat undang-undang di atas. Satu lagi yang terlihat janggal adalah kenyataan bahwa seharusnya presiden dianggap sudah mengetahui dan mengemukakan hal-hal yang dirasakan perlu melalui adanya mekanisme persetujuan bersama yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD. Tidak ditandatanganinya suatu undang-undang menjadi suatu hal yang aneh karena bukankah berdasarkan di saat yang sama undang-undang merupakan hasil persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR.

15

Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia), Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 83
16

Ibid

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

Jika merujuk dari konsep hokum perdata, persetujuan bersama mengindikasikan adanya kesepakatan bersama antar kedua belah pihak, yang dalam posisi ini adalah presiden dan DPR. Sepakat (Toestemming) merupakan kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. 17 Adapun unsur-unsur dari kesepakatan adalah 18
1. Offerte (Penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan 2. Acceptansi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima

penawaran Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan tidak

ditandatanganinya beberapa UU yang ada, konsep persetujuan bersama yang tercantum dalam pasal 20 ayat 2 UUD 1945 jelas-jelas tidak terpenuhi. Oleh karena itu, konsep persetujuan bersama sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dengan ketentuan dalam pasal 20 ayat (5) UUD 1945 mengenai pembatalan veto Presiden oleh DPR ini seringkali menimbulkan konflik antara eksekutif dan legislative yang tak jarang dapat mengakibatkan kelumpuhan (paralysis) akibat koeksistensian dari dua badan independen yang diciptakan dalam sistem presidensial19, apalagi dengan adanya dual democratic legitimacy antara eksekutifdan legislatif yang sama-sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat.20 Konflik ini tentu akan menghambat pembentukan Produk hokum yang responsive yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 3.2 Solusi Adapun beberapa solusi untuk menyelesaikan permasalahan mengenai distorsi konsep persetujuan bersama adalah
1. Mempertegas Konsep Pembagian Kekuasaan (Distribution of Power) dari

Indonesia berkenaan dengan fungsi eksekutif dalam proses legislasi karena jika tidak, maka keberadaan Presiden beserta hak veto-nya dalam pembentukan UU menjadi tidak berfungsi;
17

Mariam darus Badrulzaman, KUH Perdata (Buku III), Bandung, 2006, Hlm.98 Ibid Saldi Isra, Op.cit, Hlm 84. Juan J. Linz, 1992, The Perils of Presidensialism, dalam ibid., Hlm 120.

18

19

20

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

2. Harmonisasi hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam proses

legislasi21. Seringkali konflik yang terjadi anatara Eksekutif dan Legislatif didasari oleh kepentingan politik semata, misalnya karena mayoritas fraksi yang duduk dalam lembaga legislatif berbdeda dengan partai politik darimana Eksekutif berasal; 3. Dalam hal Presiden tidak menandatangani UU yang akan berlaku, maka Presiden harus memberikan penjelasan dan keterangan berkaitan dengan alas an tidak ditandatanganinya UU tersebut;

BAB IV PENUTUP

4.1

Kesimpulan Di Indonesia UU dibuat oleh suatu badan legislatif yaitu DPR bersama Presiden Permasalahan : o Konsep persetujuan bersama pada pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tidak berjalan. Terbukti dari ada beberapa Undang-Undang yang tidak ditandatangani oleh Presiden;

21

Robbert L. Maddex, 1996, The Illustrated Dictionary of Constitusional Concepts, Congressional Quarterly Inc., Washington, hlm 175.

10

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

o Hak veto penolakan Presiden atas RUU tidak berfungsi efisien. Solusi
o

Mempertegas Konsep Pembagian Kekuasaan (Distribution of Power) dari Indonesia berkenaan dengan fungsi eksekutif dalam proses legislasi karena jika tidak, maka keberadaan Presiden beserta hak vetonya dalam pembentukan UU menjadi tidak berfungsi;

o Harmonisasi hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam proses legislasi. Seringkali konflik yang terjadi anatara Eksekutif dan Legislatif didasari oleh kepentingan politik semata, misalnya karena mayoritas fraksi yang duduk dalam lembaga legislatif berbdeda dengan partai politik darimana Eksekutif berasal; o Dalam hal Presiden tidak menandatangani UU yang akan berlaku, maka Presiden harus memberikan penjelasan dan keterangan berkaitan dengan alas an tidak ditandatanganinya UU tersebut;

4.2

Saran

DAFTAR PUSTAKA

SUMBER PRIMER Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia SUMBER SEKUNDER Buku Asshiddiqie, Jimly 2006. Pengantar Ilmu _____. ______ Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata (Buku III). Bandung: 2006.

11

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

Budiardjo, Miriam. 1989. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke 29. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia). Jakarta: Rajawali Pers. Linz, Juan J. 1992. The Perils of Presidensialism. ______:_______. Locke, John. 1960. Two Treaties of Civil Government. London: J.M Dent and Sons Ltd. Maddex, Robbert L. 1996. The Illustrated Dictionary of Constitusional Concepts. Washington: Congressional Quarterly Inc. Mahfud, M. 2001. Politik Hukum di Indonesia, cet. II Jakarta: LP3ES. Sartori, Giovanni. 1997. Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives, and Outcomes. New York: New York University Press, 2nded. Suny, Ismail. 1978. Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta: Aksara Baru Verney, Douglas V. 1998. Parliamentary Government And Presidential Government, dalam Parliamentary versus Presidential Government, edited by Arend Lijphart, New York: Oxford University Press.

Artikel/ Dokumen/ Jurnal Aliamsyah. 2010. Politik Perundang-undangan. _______. Diakses tanggal 31 Oktober 2012. SusantiV, Bivitri. _____, Problem Kelembagaan dalam Proses Legislasi, Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net, Diakses tanggal 31 Oktober 2012. Mahendra, Yusril Ihza. 2012. Keterangan Ahli Dalam Sengketa kewenangan Presiden dan DPR Tentang Divestasi Saham Newmont. http://yusril.ihzamahendra.com/2012/03/27/keterangan-ahli-dalam-sengketa-

12

Hany Ayuning Putri, Konsep Persetujuan Bersama dan Veto Presiden (Presidential Veto) dalam Proses Legislasi

kewenangan -presiden-dan-dpr-tentang-divestasi-saham-newmont/. Diakses tanggal 31 Oktober 2012. Manan, Bagir. 1994. Politik Perundang-undangan. Makalah. Marzuki, HM. Laica. 2006. Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3. SUMBER TERSIER Kamus Besar Bahasa Indonesia. Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1997. Kamus Inggris-Indonesia, Cetakan ke- XXIV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

13

Anda mungkin juga menyukai