Anda di halaman 1dari 33

ASHAN KEPERAWATAN TYPUS ABDOMINALIS

1. Pengkajian Pengkajian sistem gastrointestinal meliputi riwayat kesehatan serta pemeriksaan fisik komprehensif dimulai dari rongga mulut, abdomen, rektum dan anus pasien. Tujuan tindakan ini untuk mengumpulkan riwayat, pengkajian fisik dan tes diagnostik untuk mengidentifikasi dan mengatasi diagnosa keperawatan dan medis klien. (Monica Ester, 2001). Pada pengkajian penderita dengan kasus typhus abdominalis yang perlu dikaji: Riwayat keperawatan

Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan kesadaran (Suriadi, dkk 2001).

1. Diagnosa Keperawatan 1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d arbsorpsi nutrisi 2. Risiko kurangnya volume cairan b/d intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh 3. Perubahan persepsi sensoti b/d penurunan kesadaran 4. Kurangnya perawatan diri b/d istirahat total 5. Hiperterma b/d proses infeksi

1. Intervensi 1. Anak menunjukkan tanda-tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi 2. Anak menunjukkan tanda-tanda terpenuhi kebutuhan cairan 3. Anak menunjukkan tanda-tanda penurunan kesadaran yang lebih lanjut 4. Anak dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kondisi fisik dan tingkat kembang anak 5. Anak dapat menunjukkan tanda-tanda vital dalam batas normal

1. Implementasi

1. Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan Menilai status nutrisi anak Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak

Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualits intake nutrisi Menganjurkan kepada orangtua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tetapi sering Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala yang sama Mempertahankan kebersihan mulut anak Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit 1. Mencegah kurangnya volume cairan Mengobservasi tannda-tnda vital (suhu tubuh) paling sedikit setiap 4 jam Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan

Mengobservasi dan mencatat intake dan output dan mempertahankan intake dan output yang adekuat Memonitor dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama Memberikan antibiotik sesuai program 1. Mempertahankan fungsi persepsi sensori Kaji status neurulogis Istirahatkan anak hingga suhu dan tanda-tanda vital stabil Hindari aktivitas yang berlebihan Pantau tanda-tanda vital 1. Kebutuha parawatan dirii terpenuhi Mengkaji aktivitas yang dapat dilakukan anak sesuai dengan tugas perkembangan anak

Menjelaskan kepada anak dan keluarga aktivitas yang dapat dan tidak dapat dilakukan hingga demam berangsur-angsur turun Membantu kebutuhan dasar anak Melibatkan peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar anak

1. Mempertahankan suhu dalam batas normal Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipetermia Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan Beri minum yang cukup Berikan kompres air biasa Lakukan tepid sponge Pakaikan baju yang tipis dan menyerap keringat Pemberian obat antipireksia Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat

1. Evaluasi Hasil yang diharapkan pada tahap evaluasi adalah : 1. Anak menunjukkan tanda tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi. 2. Anak menunjukkan tanda tanda terpenuhinya kebutuhan cairan. 3. Anak tidak menunjukkan tanda tanda penurunan kesadaran yang lebih lanjut. 4. Anak dapat melakukan aktifitas sesuai dengan kondisi fisik dan tingkat perkembangan anak. 5. Anak akan menunjukkan tanda tanda vital dalam batas normal.

PENUTUP

1. Kesimpulan Tifus Abdomenalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran.

DAFTAR PUSTAKA

Asuhan Keperawatan Anak Edisi 2 : Suriadi, SKP, MSN, : Rita Yulianni, SKP, MPS http://askep.blogspot.com/2008/01/asuhan-keperawatan-pada-anak-dengan_6163.html

ASUHAN KEPERAWATAN THYPUS ABDOMINALIS


1.DEFINISI Thypus abdominalis adalah infeksi penyakit akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari.Gangguan pada saluran cerna dan gangguan kesadaran.( Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 ). Demam typoid/paratypus abdominalis adalah penyakit inveksi akut usus halus.( Ilmu Penyakit dalam jilid 1 ) Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut, usus halus. Penyakit ini mempunyai tandatanda khas berupa perjalanan yang cepat yang berlangsung 3 minggu disertai dengan demam, toksemia, gejala-gejala perut, pembesaran limpa dan erupsi kulit. Typus adalah kelompok yang mempunyai hubungan dekat dengan penyakit riketsia akut dan ditularkan melalui antropoda, yang berbeda dalam intensitas tanda-tanda dan gejala-gejalanya beratnya dan angka kematiannya. Semua kelompok ini ditandai dengan sakit kepala, mengigil, demam, stupor, dan erupsi makular, makulopapular, petekial atau papulovesikuler. ( Kamus Saku Kedokteran Dorland) 2. ETIOLOGI

Etiologi demam typoid dan demam para typoid salmonela typhi, salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B, dan salmonella paratyphi C. Salmonella paratyphi basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya empat macam antigen yaitu antigen O (somatik), H (flagela), VI dan protein membran hialin (Arif Mansjoer, M Saifoellah Noer). 3. PATOFISIOLOGI Bakteri masuk melalui saluran cerna, dibutuhkan jumlah bakteri 105-109 untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagian besar bakteri mati oleh asam lambung. Bakteri yang tetap hidup akan masuk kedalam ileum melalui mikrofili dan mencapai plak payeri, selanjutnya masuk kedalam pembuluh darah ( disebut bakterimia primer ). Pada tahap berikutnya S. typhili menuju ke organ sistem retikuloendotelial yaitu : hati, limfa, sumsum tulang dan organ lain ( disebut bakterimia sekunder ). Kandung empedu merupakan organ yang sensitif terhadap infeksi S. typhili (Arief Mansjoer). 4. MANIFESTASI KLINIS Masa tunas 7-14 ( rata-rata 3-30 )hari. Selama inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal berupa rasa tidak enak badan. Pada kasus khas terdapat demam remiten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua , pasien terus dalam keadaan demam, yang turun terus berangsur-angsur pada minggu ketiga Lidah kotor yang ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor. Hati dan limfa membesar yang nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat konstipasi, tetapi mungkin normal bahkan diare (Kapita Selekta Kedokteran Arief Mansjoer). 5. KOMPLIKASI Komplikasi demam typoid dapat di bagi dalam : 1.Komplikasi intestinal a.Perdarahan usus b.Perforasi usus c.Ileus paralitik 2.Komplikasi ekstra-intestinal a.Komplikasi kardiovaskuler Kegagalan sirkulasi perifer ( Renjatan Sepsis ), miokarditis-trombosis dan tromboflebitis. b.Komplikasi darah Anemia hemolitik, trombositopenia dan atau disseminated intravaskuler coagulation ( DIC ) dan sindrom uremia hemolitik. c.Komplikasi paru Pneumonia, empiema dan pleuritis d.Komplikasi hepar dan kandung empedu Hepatitis dan kolesistis e.Komplikasi ginjal Glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis. f.Komplikasi tulang Osteomilitis, periostitis, spondilitis, dan artritis. g.Komplikasi neuropsikiatrik Delirium, meningismus, meningitis, poli neurotis perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis dan

sindrom katatoni (M. Sjaifoellah Noer) 6. PENATALAKSANAAN Tirah baring total selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali. Seminggu kembali boleh duduk dan selanjutnya berdiri dan berjalan. Makanan harus mengandung cukup cairan , kalori dan tinggi protein. Tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang maupun menimbulkan banyak gas. Obat terpilih adalah Kloramfenikol 100 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 4 dosis selama 10 hari. Dosis maksimal Kloramfenikol 2 gram/ hari. Kloramfenikol tidak boleh diberikan bila jumlah leukosit kurang dari 200/ UL bila pasien alergi dapat diberikan golongan penisilin atau kotrimokazol (Arief Mansjoer). 7. PEMERIKSAAN FISIK # TTV ( tanda-tanda vital ) a.Suhu : antara 380C-400C b.Nadi : meningkat c.Pernafasan ( RR ) : meningkat d.Tekanan darah : cenderung menurun Keadaan umum : lemah, muka kemerahan, suhu meningkat ( 38C0-410C ) (Pemeriksaan Head to toe) wajah : Pucat Mata : Cowong Mulut : Mukosa mulut kering, kadang terdapat stomatitis,lidah kotor. Leher : Tidak terjadi pembesaran kelenjar tiroid, tenggorokan terasa sakit Dada : Terjadi penarikan dinding dada karena pernafasan meningkat, tidak ada ronchi dan wezzing. Abdomen : nyeri tekan pada perut, kembung, terdapat bising usus, mual muntah, anoreksia, konstipasi dan diare. Genetalia : Pasien mengeluh sulit kencing Ekstremitas : Kulit kering, turgor menurun 8.PEMERIKSAAN PENUNJANG # Pemeriksaan Labolatorium Pemeriksaan Leukosit Walaupun menurut buku-buku disebutkan bahwa pada demam tipoid terdapat leukopenia dan limfositosis relatif, tetapi kenyataanya leukopenia tidak sering di jumpai. Pada kenyataan kasus demam tipoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tetapi berada dalam batas batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis, walaupun tidak ada komplikasa atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnisis demam tifoid. SGOT Pemeriksaan dan SGPT SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya demam tifoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan. Biakan Darah Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid . Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada

beberapa faktor, antara lain : a.Teknik pemeriksaan labolatorium. Hasil pemeriksaan satu labolatorium berbeda dengan yang lain, malahan hasil satu labolatoriumbisa berbeda dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Karena jumlah kuman yang berada dalam darah hanya sedikit, yaitu kurang dari 10 kuman/ ml darah, maka untuk keperluan pembiakan, pada pasien dewasa di ambil 5-10ml darah pada anak-anak 2-5 ml.Bila darah yang di biak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif, terutama pada orang yang sudah mendapat pengobatan spesifik. Selain itu, darh tersebut harus langsung di tanam pada media biakan sewaktu berada di sisi pasien dan langsung dikirim ke labolatorium. Waktu pengambilan darahpaling baik adalah saat demam tinggi pada waktu bakterimia berlangsung. b.Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit pada demam tifoid biakan darah terhadap S.typhi terutama positif pada minggu pertama penyakit dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya . Pada waktu kambuh biakan bisa positif lagi. c.Vaksinasi dimasa lampau. Vaksinasi terhadap demam tifoid dimasa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, hingga biakan darah mungkin negatif. d.Pengobatan dengan obat antimikroba. Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat antimikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif. Kepekaan S.typi Terhadap Obat Anti Mikroba Strain S.typi yang resisten terhadap kloramfenikol pernah atau masih endemik di india, Meksiko, Muangthai, kamboja, Taiwan, Vietnam, dan peru. Sejak tahun 1975 S.typi yang resisten terhadap kloramfenikol dilaporkan secara sparodik di beberapa daerah di indonesia, tetapi persentasenya tidak meningkat. Penelitian di labolatorium kesehatan Perum Bio Farma menunjukkan bahwa selama 1984 sampai 1990 S.typi dan S. paratypi A masih 100 % sensitif terhadap kloramfenikol 83,3 % sampai 100 % sensitif terhadap ampisilin dan 97 % sampai 100% sensitif terhadap otrimoksazol. Uji Widal Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi ( aglutinin ). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonela terdapat dalam serum pasien demam tifoid, juge pada orang yang pernah ketulatan salmonela dan pada orang yang pernah di vaksinasi terhadap demam tifoid. Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah suspensi salmonela yang sudah dimatikan dan diolah di labolatorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang di sangka menderita demam typoid . Akibat infeksi oleh S.typi, pasien membuat anti bodi ( aglutinin ), yaitu : a.Aglutinin O, yang di buat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman ). b.Aglutinin H, karena rangsangan antigen H ( berasal dari flagela kuman ). c.Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi ( berasal dari simpai kuman ). Dari ketiga Aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang di tentukan titernya untuk di diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita demam tyfoid. Pada infeksi yang aktif, titer uji widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang di lakukan selang paling sedikit 5 hari(M. Sjaifoellah Noer).

9. TERAPI Obat Obat-obat antimikroba yang sering di pergunakan, ialah : a.Kloramfenikol b.Tiamfenikol c.Ko-trimoksazol d.Ampisilin dan amoksisilin e.Sefalosporin generasi ke tiga f.Fluorokinolon a.Kloramfenikol Di indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk demam tifoid. Belum ada obat anti mikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat di bandingkan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intramuskular tidak di anjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat di ramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri . Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada demam tyfoid turun rata-rata setelah 5 hari. b.Tiamfenikol Dosis dan evektifitas tiamfenikol pada demam tyfoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam tifoit turun setelah rata-rata 5-6 hari. c.Ko-trimoksazol ( kombinasi trimetropin dan sulfametoksazol ) Efektifitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam ( 1 tablet mengandung 80 mg trimetropin dan 400 mg sulfatmetoksazol ). Dengan kotrimoksazol demam pada demam tifoit turun rata-rata setelah 5-6 hari. d.Ampisilin dan amoksisilin. Dalam hal kemampuan untuk menurunkan demam, efektifitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil di bandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaanya adalah pasien dengan demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang di anjurkan berkisar antara 75-150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan ampisilin atau amoksisilin demam pada demam tyfoid turu rata-rata setelah 7-9 hari. e.Sefalosporin generasi ketiga. Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi ketiga antara lain sefalosperazon, seftriakson dan sefotaksim efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum di ketahui dengan pasti. f.Fluorokinolon. Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti. Kombinasi Obat Antimikroba Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi obat-obatan anti mikroba tersebut di atas tidak memberikan keuntungn di bandingkan dengan pengobatan dengan pengobatan antimikroba tunggal, baik dalam hal kemampuanya untuk menurunkan demam maupun dalam hal menurunkan angka kejadian kekambuhan dan angka kejadian pengekskresian kuman waktu penyembuhan ( convalescen excretor rate ) Obat Anti Simtomatik

Antipiretika Antipiretika tidak perlu diberika secara rutin pada setiap pasien demam tifoid, karena tidak banyak beerguna. Kortikosteroid Pasien yang toksik dapat di berikan kortikosteroid oral dan parenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap ( tapering off ) selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat turun secara normal. Akan tetapi kortikosteroit tidak boleh di berikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan di daerah intestinal dan relaps (M Sjaifoellah Noer). 10. ASPEK TEOTITIS KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Biodata - Usia ( sering terjadi pada anak-anak tetapi bisa juga pada semua usia ) - Jenis kelamin ( tidak ada pebedaan yang nyata antara insidensi demam tifoid pada pria dan wanita ) - Pendidikan ( kebersihan makanan atau minuman ) 2. Keluhan utama Minggu pertama : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare peraaan tidak enak di perut, batuk dan epitaksis. Minggu kedua : pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara berangsurangsur pada minggu ketiga. 3. Riwayat penyakit sekarang. Gejala yang timbul pada penyakit types/ tifoid. Panas (suhu380C pada hari pertama ) Pasien mengigil Pada hari ketiga panas meningkat , pucat nyeri pada abdomen, tekanan darah menurun , pemeriksaan laboratorium positif. 4. Riwayat penyakit dahulu. Pasien sebelumnya pernah mengalami febris, DB, diare. 5. Riwayat penyakit keluarga Dalam salah satu anggota keluarga tersebut ada yang menderita types, diare, DB, pada waktu bersamaan atau sebelum pasien mengalami penyakit tersebut (Arief Mansjoer, M Sjaifoellah Noer, Nursalam). 6. Pola fungsi kesehatan a.Pola manejemen kesehatan Tindakan pertama kali dilakukan yaitu mengukur suhu tubuh, kompres, mengkonsumsi banyak cairan. b. Pola nutrisi kesehatan Memperbanyak volume pemasukan cairan Memberikan makanan yang halus seperti bubur halus Pemberian vitamin dan mineral juga mendukung untuk mrmperbaiki keadaan umum pada pasien. Makana tinggi serat bisa diberikan bila perlu. c. Pola istirahat tidur

Pasien harus tirah baring mulai hari pertama sampai minimal hari ketujuh. Mobilisasi dilakukan secara bertahap karena keadaan pasien berubah-ubah(mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri kepala, lemah) dan untuk menghindari dekubitus . Pasien tidak dapat tidur dengan nyenyak karna ada rasa tidak enak pada perut, pusing, mual. d. Pola aktivitas Pasien tidak dapat melaksanakan aktivitas seperti biasa karena tirah baring (bedrast) selama fase pertama. Mobilisasi dilakukan secara bertahap karena keadaan pasien lemah. e. Pola eliminasi Pasien thypes ini biasanya mengalami dua macam penyakit yaitu konstipasi dan diare. Retensi urine juga bisa terjadi pada pasien thypes. Intake dan output cairan dan nutrisi dalam tubuh harus seimbang. f. Pola hubungan dan peran Pasien tidak bisa berisolasi dengan keadaan sekitar sehubungan dengan penyakitnya. Keluarga juga ikut aktif dalam upaya penyembuhan pasien (Pola Gordon). 11. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1)Hipertermi b.d proses infeksi usus halus ( typoid ) 2)Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan absorbsi nutrien, anoreksia dan ditandai dengan lidah kotor, mual, muntah. 3)Perubahan kenyaman ( nyeri perut ) b.d proses infeksi. 4)Perubahan kenyamanan ( mual ) b.d proses infeksi usus halus. 5)Konstipasi b.d peristaltik usus menurun akibat gangguan fungsi usus halus, kurang aktifitas. 6)Intoleransi aktivitas b.d badan lemah, nyeri perut. 7)Diare b.d gangguan absorbsi nutrien. 8)Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d mual, muntah, diare. 9)Ansietas b.d kurang pengetahuan tentang penyakit. (Lynda Juall Capernito, Marilynn E Doengoes) Diagnosa 1 Hipertermi b.d proses infeksi usus halus Tujuan : Suhu tubuh klien kembali secara normal. Kriteria hasil : Mengidentifikasi faktor-faktor resiko hipertermi Suhu tubuh relatif normal Menurunkan faktor- faktor resiko hipertermi. Intervensi : 1.Bina hubungan saling percaya antara pasien dan perawat. R / : Hubungan pasien dengan perawat terjalin dengan baik. 2.Menjelaskan kepada pasien tentang faktor-faktor resiko hipertermi. R / : Pasien dapat mengerti resiko hipertermi seperti dehidrasi, badan panas. 3.Memantau keadaan suhu tubuh pada klien. R / : Untuk mengetahui perkembangan keadaan suhu tubuh pasien ( meningkat / menurun ). 4.Menjelaskan kepada pasien cara untuk mempertahankan secara normal. R / : pemberian kompres, rehidrasi, lingkungan yang sehat. 5.Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat-obatan. R / : Pemberian antipiretik dan analgesik

(Lynda Juall Capernito) Diagnosa ke 2 : resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan absorbsi nutrien , anoreksia, di tandai dengan lidah kotor, mual, muntah. Tujuan : Intake makanan terpenuhi dan adanya keseimbagangan output ( pengeluaran ). Kriteria hasil : Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi. Pasien mampu menghabiskan porsi makanan yang telah disediakan. Adanya keseinbangan intake dan output. Intervensi : 1.Lakukan pendekatan pasien dan keluarga pasien R / : Pasien dan keluarga pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan, 2.Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga pasien tentang manfaat cairan dan nutrisi bagi tubuh. R / : Penjelasan tersebut bisa membuat pasien mengerti dan memahami sehingga kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi. 3.Pemberian nutrisi yang sesuai dengan keadaan pasien. R / : Pemberian bubur halus sangat penting untuk pemenuhan nutrisi. 4.Observasi intake dan output cairan dan nutrisi pasien. R / : Untuk mengetahui perkembangan keseimbangan cairan dan nutrisi dalam tubuh. 5.Memberikan makanan kepada pasien sedikit demi sedikit. R / : Untuk menghindari mual, muntah pada pasien. (Lynda Juall Capernito,Marilynn E Doengoes) Diagnosa ke 3 : Konstipasi berhubungan dengan peristaltik usus menurun akibat gangguan fungsi usus halus, kurang aktifitas. Tujuan : - BAB kembali normal. Kriteria hasil : Menunjukkan eliminasi yang membaik. Frekwensi BAB normal ( kurang lebih 1 x sehari ). Tidak ada nyeri saat defekasi. Intervensi : 1. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga pasien tentang kesulitan BAB yang di alami pasien. R / : Agar pasien mengerti dan memahami tentang keadaan yang di deritanya. 2. Memberikan makanan yang tinggi serat pada pasien. R / : Makanan tinggi serat memudahkan pasien BAB. 3. Menganjurkan pada pasien untuk mengkonsumsi minuman yang adekuat. R / : Cairan yang adekuat membantu melancarkan BAB. 4.Hindari duduk terlalu lama dan mengejan terlalu kuat bisa menyebabkan pembuluh darah pecah. R / : Duduk yang terlalu lama bisa menyebabkan kram pada ekstermitas bawah, mengejan terlalu kuat bisa menyebabkan pembuluh darah pecah. 5.Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pengobatan. R / : Pemberian obat-obatan pencahar dan pelumas dubur. (Lynda Juall Capernito)

Diagnosa ke 4 : Diare b.d gangguan absorbsi nutrien . Tujuan : BAB kembali normal. Kriteria hasil : Diare berkurang Frekwensi BAB normal ( kurang lebih 1 x sehari ) Mengurangi faktor penyebab. Intervensi : 1.Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga pasien tentang diare yang di alami pasien. R / : Agar pasien mengerti dan memahami tentang keadaan yang di deritanya. 2.Memperbanyak cairan tinggi kalium dan natrium ( jus jeruk, buah anggur ). R / : Untuk mengganti cairan yang keluar dan untuk menyeimbangkan input dan output. 3.Anjurkam pasien untuk cuci tangan sebelum atau sesudah makan. R / : Meminimalkan bakteri yang masuk dalam pencernaan. 4.Perawat mengkaji faktor-faktor penyebabpada pasien. R / : Agar pasien mengerti dan memahami tentang penyebab penyakitnya. 5.Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian cairan dan obat- obatan. R / : Pemberian cairan IV dan obat-obatan anti diare (oralit, antibiotik, parasetamol) (Lynda Juall Capernito) Diagnosa ke 5 :Ansietas b.d kurang pengetahuan tentang penyakit Tujuan : Px dan keluarga mengerti dan memahami tentang faktor penyebab dan penyakitnya. Kriteria Hasil : Px mengerti tentang faktor penyebab penyakitnya Px mengerti cara pencegahan penyakitnya Ansietas px berkurang sehubungan dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang penyakitnya. Intervensi : 1.Mengkaji tingkat ansietas px (ringan, sedang, berat) . R / : Perawat mengetahui tingkat ansietas px dan dapat mengatasi tingkat ansietas px sesuai dengan keadaannya. 2.Memberikan penjelasan kepada px tentang faktor penyebab yang terjadi pada penyakit px. R / : Px dapat mengerti dan memahami faktor penyebab terhadap penyakitnya. 3.Mengidentifikasi dan memberikan penjelasan tentang pencegahan penyakit px. R / : Px mampu melakukan tindakan pencegahan yang disarankan perawat. 4.Memberikan penjelasan kepada keluarga dan px tentang cara tindakan penanggulangan setelah pulang dari RS. R / : Agar px mengerti hal-hal yang dapat membuat terjadinya penyakit itu lagi. (Lynda Juall Capernito)

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, ARIF.2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Media Aesculapius. Jakarta.. Mansjoer, ARIF. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta. Noer.N.M, Sjaifoelah,dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 Edisi 3. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. Carpenito. Lynda Jual. 2001. Diagnosa Keperawatan Edisi 8. ECG. Jakarta. Nursalam. 2001. Proses dan Dokumentasi keperawatan. Salemba Medika : Jakarta. Hudak, Gallo. 1997. Keperawatan Kritis. EGC: Jakarta. Doengoes, Marilynn, E. !999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien.ECG : Jakarta. Carpenito, Lynda juall. 2000. Diagnosa keperawatan Edisi 6. EGC : jakarta. Kumala, Poppy dkk. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25.EGC : Jakarta. Diposkan oleh Gery di 05.45

asuhan keperawatan dengan klien thypus abdominalis

THYPUS ABDOMINALIS
A. ANATOMI FISIOLOGI Susunan saluran pencernaan terdiri dari : Oris (mulut), faring (tekak), esofagus (kerongkongan), ventrikulus (lambung), intestinum minor (usus halus), intestinum mayor (usus besar ), rektum dan anus. Pada kasus thypus abdominalis, salmonella typi berkembang biak di usus halus (intestinum minor). Intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada seikum, panjangnya 6 cm, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan

yang terdiri dari : lapisan usus halus, lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (muskulus longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar). Usus halus terdiri dari duodenum (usus 12 jari), yeyenum dan ileum. Duodenum disebut juga usus dua belas jari, panjangnya 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri pada lengkungan ini terdapat pankreas. Dari bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir yang membukit yang disebut papila vateri. Pada papila vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledikus) dan saluran pankreas (duktus wirsung/duktus pankreatikus). Dinding duodenum ini mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut kelenjar brunner yang berfungsi untuk memproduksi getah intestinum. Yeyenum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 meter. Dua perlima bagian atas adalah yeyenum dengan panjang 23 meter dari ileum dengan panjang 45 m. Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritonium yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium. Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri dan vena mesenterika superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara 2 lapisan peritonium yang membentuk mesenterium. Sambungan antara yeyenum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas. Ujung dibawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium ileoseikalis. Orifisium ini diperlukan oleh spinter ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis atau valvula baukhim yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam asendens tidak masuk kembali ke dalam ileum. Mukosa usus halus. Permukaan epitel yang sangat luas melalui lipatan mukosa dan mikrovili memudahkan pencernaan dan absorbsi. Lipatan ini dibentuk oleh mukosa dan sub mukosa yang dapat memperbesar permukaan usus. Pada penampang melintang vili dilapisi oleh epitel dan kripta yag menghasilkan bermacam-macam hormon jaringan dan enzim yang memegang peranan aktif dalam pencernaan. Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel, termasuk banyak leukosit. Disana-sini terdapat beberapa nodula jaringan limfe, yang disebut kelenjar soliter. Di dalam ilium terdapat kelompok-kelompok nodula itu. Mereka membentuk tumpukan kelenjar peyer dan dapat berisis 20 sampai 30 kelenjar soliter yang panjangnya satu sentimeter sampai beberapa sentimeter. Kelenjar-kelenjar ini mempunyai fungsi melindungi dan merupakan

tempat peradangan pada demam usus (tifoid). Sel-sel Peyers adalah sel-sel dari jaringan limfe dalam membran mukosa. Sel tersebut lebih umum terdapat pada ileum daripada yeyenum. ( Evelyn C. Pearce, 2000) Absorbsi makanan yang sudah dicernakan seluruhnya berlangsung dalam usus halus melalui dua saluran, yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan saluran limfe di sebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vili berisis lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan otot yang diikat bersama jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium. Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair dan lemak yang di absorbsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan. Fungsi usus halus : a. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-kapiler darah dan saluran saluran limfe. b. Menyerap protein dalam bentuk asam amino. c. Karbohidrat diserap dalam betuk monosakarida. Didalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yang menyempurnakan makanan: a. Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik. b. Eripsin menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino: 1. Laktase mengubah laktase menjadi monosakarida. 2. Maltosa mengubah maltosa menjadi monosakarida 3. Sukrosa mengubah sukrosa menjadi monosakarida B. PENGERTIAN Thypoid fever/demam tifoid atau thypus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz, 1995). Penularan penyakit ini hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.

Typhus abdominalis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh kuman SalmonellaTyphosa, Salmonella Paratyphi A, B dan C. yang menyerang usus halus khususnya daerah illeum. Penyakit ini termasuk penyakit tropik yang sangat berhubungan erat dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan. Dapat dengan mudah berpindah ke orang lain melalui Fecal Oral, artinya kuman Salmonella yang ada pada pada feses penderita atau karier mengkontaminasi makanan atau minuman orang sehat C. DAMPAK MASALAH a. Pada pasien Pola persepsi dan metabolisme Nafsu makan klien meurun yang disertai dengan mual dan muntah. Pola eliminasi Klien tyfoid biasanya mengalami konstipasi bahkan diare. Pola aktivitas dan latihan Klien demam tyfoid haruslah tirah baring total untuk mencegah terjadinya komplikasi yang berakibat aktivitas klien terganggu. Semua keperluan klien dibantu dengan tujuan mengurangi kegiatan atau aktivitas klien. Tirah baring totalnya yang dapat menyebabkan terjadinya dekubitus dan kontraktur sendi. Pola tidur dan istirahat Terganngu karena klien biasanya gelisah akibat peningkatan suhu tubuh. Selain itu juga klien belum terbiasa dirawat di rumah sakit. Pola penanggulangan stress Pada pola ini terjadi gangguan dalam menyelesaikan permasalahan dari dalam diri klien sehubungan penyakit yang dideritanya. b. Pada keluarga 1) Adanya beban mental sebagai akiabt dari salah satu anggota keluarganya dirawat di rumah sakit karena sakit yang di deritanya sehingga menimbulkan kecemasan. 2) Biaya merupakan masalah yang dapat menimbulkan beban keluarga. Bila perawatan yang diperlukan memerlukan perawatan yang konservatif yang lama di rumah sakit, akan memerlukan biaya yang cukup banyak, sehingga dapat menimbulkan beban keluarga. 3) Akibat klien di rawat di rumah sakit maka akan menambah kesibukan keluarga yang harus

menunggu anggota keluarga yang sakit. D. PATOFISIOLOGI Salmonella Typhosa

Saluran cerna

Diserap oleh usus halus

Bakteri masuk ke aliran darah sistemik

Kelenjar limfoid usus halus

Hati

Limfa

Endotoksin

Tukak hepatomegali Splenomegali

Demam

Nyeri raba

Hiperterm i

Perdarahan & perforasi

Kuman masuk melalui mulut. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus, ke jaringan limfoid dan berkembang biak menyerang vili usus halus kemudian kuman masuk ke peredaran darah (bakterimia primer), dan mencapai sel-sel retikulo endoteleal, hati, limfa dan organ-organ lainnya. Proses ini terjadi selama masa tunas dan akan berakhir saat sel-sell retikoloendoteleal melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan menimbulkan bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnya kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh, terutrama limpa, usus dan kandung empedu. Pada minggu pertama sakit, terjadi hyperplasia plaks player. Ini terjadi pada kelenjar fimfoid usus halus. minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks player. Pada minggu ke empat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan limfa membesar. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan ileh kelainan pada usus halus. E. TANDA DAN GEJALA Masa inkubasi rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodroma, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri

kepala, pusing, dan tidak bersemangat. Kemudian gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu: a. Demam lebih dari 7 hari. Pada kasus-kasus tertentu, demam berlangsung selama 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak seberapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga, suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga. b. Gangguan saluran pencernaan. Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue, lidah tifoid), ujung dan tepinya kemerehan, jarang disertai tremor. Pada abdomen terjadi splenomegali dan hepatomegali dengan disertai nyeri tekan. Biasanya didapatkan kondisi konstipasi, kadang diare, mual, muntah, tapi kembung jarang. c. d. e. Gangguan kesadaran. Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak seberapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. Pada punggung terdapat roseola (bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam). Epitaksis

F. ETIOLOGI Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhosa, basil gram negatif, berflagel, anaerob, dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup dengan baik sekali pada tubuh manusia maupun pada suhu yanng lebih rendah sedikit, namun mati pada suhu 700C maupun oleh antiseptik. Salmonella Typhosa memiliki 3 macam antigen, yaitu: a. antigen O (Ohhne Hauch): merupakan polisakarida yang sifatnya spesifik untuk grup Salmonella dan berada pada permukaan organisme dan juga merupakan somatik antigen yang tidak menyebar. b. antigen H : terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.

c.

antigen Vi : merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi antigen O terhadap fagositosis. G. KOMPLIKASI Dapat terjadi pada: a. usus halus umumnya jarang terjadi, namun sering fatal, yaitu: 1. Perdarahan usus. Diagnosis dapat ditegakkan dengan: Penurunan TD dan suhu tubuh Denyut nadi bertambah cepat dan kecil Kulit pucat Penderita mengeluh nyeri perut dan sangat iritabel distal ileum. 3. Peritonitis. Pada umumnya tanda gejala yang sering didapatkan: Nyeri perut hebat Kembung Dinding abdomen tegang (defense musulair) Nyeri tekan TD menurun Suara bising usus melemah dan pekak hati berkurang. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan lekosit dalam waktu singkat. b. Komplikasi diluar usus halus Bronkitis. Terjadi pada akhir minggu pertama. Bronkopneumonia. Kasus yang berat bilamana disertai infeksi sekunder. Kolesistitis. Tifoid ensefalopati. Gejala: kesadaran menurun, kejang-kejang, muntah, demam tinggi. Meningitis. Gejala: bayi tidak mau menetek, kejang, letargi, sianosis, panas, diare, kelainan neurologis.

2. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi pada bagian

Miokarditis Karier kronik

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG Untuk membuat diagnosa pasti perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium : 1. Pemeriksaan darah tepi untuk mendapatkan gambaran mengenai: Leukopenia Limfositosis relatif Eosinopilia Trombositopenia makrofag, sel hemopoetik, granulopoetik,eritropoetik dan trombopoetik berkurang. 3. Biakan empedu Untuk mengetahui Salmonella typhosa dalam darah penderita terutama pada minggu pertama. Selanjutnya ditemukan dalam faeces / urine dan mungkin tetap positif dalam waktu lama. 4. Pemeriksaan widal Dasar pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella typhosa. Pemeriksaan dinyatakan positif bila terjadi reaksi aglutinasi. Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukan kenaikan yang progresif. Titer O dipakai untuk menentukan diagnosis karena mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Sedangkan titer H tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat tetap tinggi setelah penderita lama sembuh. I. PENATALAKSANAAN Penderita perlu dirawat di RS untuk diisolasi, observasi, dan pengobatan. Harus istirahat

2. Pemeriksaan sumsum tulang untuk mengetahui RES hiperaktif ditandai dengan adanya sel

1. Perawatan

o 5-7 hari bebas demam o 14 hari untuk mencegah komplikasi perdarahan usus Mobilisasi bertahap, sesuai kondisi. Bila kesadran menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi dan komplikasi yang lain. makanan mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein (TKTP). Bahan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang, dan menimbulkan gas. Susu 2 kali sehari perlu diberikan. Bila anak sadar dan nafsu makan baik, dapat diberikan makanan lunak. Kloramfenikol: 75 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 atau 4 dosis, dengan dosis maksimum 2 g/hari, diberikan sampai 3 hari bebas panas, minimal diberikan 7 hari. Clotrimoxazol:(pilihan lain kloramfenikol) 6 mg Trimetoprim, 30 mg Sulfometoksazol/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis, diberikan sampai 3 hari bebas panas. Ampisilin dan amoksisilin:merupakan derivat penisilin untuk pasien yang resistan terhadap kloramfenikol. Antipiretik seperlunya Vitamin B kompleks dan vitamin C

2. Diet

3. Obat-obatan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN THYPUS ABDOMINALIS I.


PENGKAJIAN A. Pengumpulan data

Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik.

Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.

Riwayat penyakit sekarang


Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh.

Riwayat penyakit dahulu


Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid. Riwayat penyakit keluarga Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus. Riwayat psikososial dan spiritual Biasanya klien cemas, bagaimana koping mekanisme yang digunakan. Gangguan dalam beribadat karena klien tirah baring total dan lemah. B. Pola-pola fungsi kesehatan Pola nutrisi dan metabolisme Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali. Pola eliminasi Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak

keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh. Pola aktivitas dan latihan Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu. Pola tidur dan istirahat Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh. Pola persepsi dan konsep diri Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan penyakitnya dan ketakutan merupakan dampak psikologi klien. Pola sensori dan kognitif Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pad klien. Pola hubungan dan peran Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di rumah sakit dan klien harus bed rest total. Pola reproduksi dan seksual Gangguan pola ini terjadi pada klien yang sudah menikah karena harus dirawat di rumah sakit sedangkan yang belum menikah tidak mengalami gangguan. C. Pola penanggulangan stress Biasanya klien sering melamun dan merasa sedih karena keadaan sakitnya. Pola tata nilai dan kepercayaan Dalam hal beribadah biasanya terganggu karena bedrest total dan tidak boleh melakukan aktivitas karena penyakit yang dideritanya saat ini. D. Pemeriksaan fisik Keadaan umum Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat kemerahan. Tingkat kesadaran Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis). Sistem respirasi 38 410 C, muka

Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran seperti bronchitis. Sistem kardiovaskuler Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah. Sistem integumen Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam. Sistem gastrointestinal Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak, peristaltik usus meningkat. Sistem muskuloskeletal Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan. Sistem abdomen Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat. E. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan darah tepi Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas, terjadi gangguan absorbsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah. Leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000 4000 /mm3 ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari darah tepi. Trombositopenia terjadi pada stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju endap darah meningkat. Pemeriksaan urine Didaparkan proteinuria ringan ( < 2 gr/liter) juga didapatkan peningkatan lekosit dalam urine. Pemeriksaan tinja Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan usus dan perforasi. Pemeriksaan bakteriologis

Diagnosa pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman salmonella dan biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang. Pemeriksaan serologis Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ). Adapun antibodi yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman salmonella adalah antobodi O dan H. Apabila titer antibodi O adalah 1 : 20 atau lebih pada minggu pertama atau terjadi peningkatan titer antibodi yang progresif (lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu kemudian menunjukkan diagnosa positif dari infeksi Salmonella typhi. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat demam tifoid. II.

DIAGNOSA KEPERAWATAN Hypertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, proses inflamasi dan peradangan.

Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan, istirahat total. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang tidak adekuat. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder akibat demam. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan Risiko infeksi berhubungan dengan adanya salmonella pada tinja dan urine. Gangguan pola tidur berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh. Hipertermi berhubungan dengan gangguan hipothalamus oleh pirogen endogen. Diare berhubungan dengan infeksi pada saluran intestinal Resiko terjadi komplikasi (perdarahan, ferforasi atau peritonitis ) berhubungan dengan perlukaan ulkus intestinal. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan peningkatan suhu tubh akibat proses infeksi kuman Salmonella Konstipasi berhubungan dengan invasi salmonella pada mukosa intestinal. Cemas sehubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang penyakitnya.

Potensial terjadi gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh INTERVENSI
No 1 Diagnosa keperawatan Hypertermia b.d peningkatan metabolisme tubuh, proses inflamasi dan peradangan Tujuan & Kriteria Hasil Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan suhu tubuh turun sampai batas normal dengan kriteria hasil : Suhu tubuh 360370 C Klien bebas demam Intervensi Monitor tanda-tanda infeksi. Monitor tanda vital tiap 2 jam. Kompres dingin pada daerah yang tinggi aliran darahnya. Berikan suhu lingkungan yang nyaman bagi pasien. Kenakan pakaian tipis pada pasien. Monitor komplikasi neurologis akibat demam Atur cairan IV sesuai order atau anjurkan intake cairan yang adekuat. Atur antipiretik, jangan berikan aspirin Rasional

III.

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. intake makanan yang tidak adekuat.

Infeksi pada umumnya menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Deteksi resiko peningkatan suhu tubuh yang ekstrem, pola yang dihubungkan dengan patogen tertentu, menurun dihubungkan dengan resolusi infeksi. Memfasilitasi kehilangan panas lewat konveksi dan konduksi. Kehilangan panas tubuh melalui konveksi dan evaporasi. Febril dan enselopati bisa terjadi bila suhu tubuh yang meningkat. Menggantikan cairan yang hilang lewat keringat. Aspirin beresiko terjadi perdarahan GI yang menetap. Setelah Awasi pemasukan Makan banyak sulit untuk diet/jumlah mengatur bila pasien dilakukan kalori.Berikan porsi anoreksia juga paling buruk tindakan kecil tapi sering dan selama siang hari, membuat keperawatan tawarkan makan pagi masukan makanan yang selama 3x24 dengan porsi paling sulit pada sore hari. jam besar. Menghilangkan rasa tak enak diharapkan Berikan perawatan mulut dapat meningkatkan nafsu sebelum makan. makan. kebutuhan Menurunkan rasa penuh pada nutrisi pasien Anjurkan makan dlm posisi duduk tegak. abdomen dan dapat terpenuhi Dorong pemasukan sari meningkatkan pemasukan. dengan jeruk, minuman Bahan ini merupakan ekstra kriteria hasil: karbonat dan permen kalori dan dapat lebih sepanjang hari. mudah dicerna/ditoleran BB dalam Kolaborasi: bila makanan lain tidak. batas normal Berguna dalam membuat Kadar Hb dan Konsul ahli diet,

Albumnin dalam batas normal.

Risiko infeksi b.d adanya salmonella pada tinja dan urine.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien akan bebas infeksi dan komplikasi dari infeksi salmonella dengan kriteria: TTV dalam batas normal Kultur darah, urine dan feses negatif Hitung jenis darah dalam bataas normal, tidak ada perdarahan

Kekurangan volume cairan b.d. kehilangan sekunder akibat demam

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan cairan pasien terpenuhi

dukungan tim nutrisi program diet untuk untuk memberikan diet memenuhi kebutuhan klien. sesuai kebutuhan klien. Hiperglikemia/hipoglikemia Awasi glukosa darah. dapat terjadi pada klien Berikan obat sesuai dengan anoreksi. indikasi: antasida, Antiemetik diberikan antiemetik, vitamin B jam sebelum makan dapat kompleks. menurunkan mual dan meningkatkan toleransi pada makanan.Antasida bekerja pada asam gaster dapat menurunkan iritasi/resiko perdarahan. Vitamin B kompleks memperbaiki kekurangan dan membantu proses penyembuhan. Kumpulkan darah, urine Pengumpulan yang salah bisa dan feses untuk merusak kuman patogen pemeriksaan sesuai sehingga mempengaruhi aturan. diagnosis dan pengobatan Atur pemberian agen Anti infeksi harus segera antiinfeksi sesuai diberikan untuk mencegah order. penyebaran ke pekerja, Pertahankan enteric pasien lain dan kontak precaution sampai 3 pasien. kali pemeriksaan feses Mencegah transmisi kuman negatif terhadap S. patogen Thypi Membatasi terpaparnya Cegah pasien terpapar pasien pada kuman patogen dengan pengunjung lainnya. yang terinfeksi atau Meyakinkan bahwa pasien petugas, batasi diperiksa dan diobati. pengunjung Mencegah infeksi berulang Terlibat dalam perawatan lanjutan pasien Ajarkan pasien mencuci tangan, kebersihan diri, kebutuhan makanan dan minuman, mencuci tangan setelah BAB atau memegang feses. Monitor intake atau Pemenuhan cairan (input) output tiap 6 jam. dan koreksi terhadap Beri cairan (minum kekurangan cairan yang banyak 2 3 liter keluar serta deteksi dini perhari) dan elektrolit terhadap keseimbangan setiap hari. cairan. Masukan cairan Cairan yang terpenuhi dapat

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

Resiko terjadi komplikasi (perdarahan, ferforasi atau peritonitis )

dengan kriteria diregulasi pertama kali membantu metabolisme hasil: karena adanya rasa dalam keseimbangan suhu haus. tubuh. Mukosa mulut Hindarkan sebagian Haluaran cairan di regulasi dan bibir tetap oleh kemampuan ginjal basah, turgor kulit besar gula alkohol, kafein. untuk memekatkan urine. normal. Timbang berat badan Gula, alkohol dan kafein TTV ( suhu, nadi, secara efektif. mengandung diuretik tekanan darah, meningkatkan produksi pernafasan) dalam Kolaborasi dengan tim medis dalam urine dan menyebabkan batas normal. pemberian cairan dehidrasi. secara intravena. Kehilangan berat badan 2-5 % menunjukkan dehidrasi ringan, 5-9 % menunjukkan dehidrasi sedang. Sebagai perawat melakukan fungsinya (independen) sebaik-baiknya. Setelah dilakukan Bantu semua aktivitas Mencegah terjadinya tindakan klien di tempat tidur komplikasi, sampai tiga keperawatan Mandikan pasien sampai hari bebas panas selama 3x24 jam dengan kebutuhan diharapakan ganti pakaian setiap kebutuhan hari dan sewaktuaktivitas sehariwaktu jika kotor, hari pasien dapat buang air besar dan terpenuhi dengan kecil dibantu ditempat kriteria hasil: tidur ,suapi pasien jika makan, miringkan Klien dapat pasien secara teratur menjaga setiap 3 jam, lakukan kebersihan diri. massage pada daerah Klien dapat yang tertekan dan beri melakukan minyak pelembab, aktivitas sesuai lakukan latihan fisik dengan pasif pada extremitas kemampuan dan 2X/hari. kebutuhan. Makan / minum, Kaji respon pasien setiap kali melakukan eliminasi aktivitas,bila terjadi terpenuhi. peningkatan suhu, batasi aktivitas. Beri penghalang disisi tempat tidur, bila kesadaran menurun. Setelah dilakukan Diskusikan pentingnya Mencegah terjadinya tindakan istirahat total di tempat ferforasi keperawatan tidur sampai 3 hari selama 3x24 jam bebas panas diharapkan tidak Ukur intake cairan baik

berhubungan dengan perlukaan ulkus intestinal

terjadi komplikasi per oral maupun dengan kriteria parenteral. Evaluasi keseimbangan hasil: Monitor secara ketat cairan tanda-tanda komplikasi Hemodinamik seperti; hematemesis, Mengantisipasi komplikasi baik melena, distensi dan yang lebih hebat Perdarahan tidak defens muskuler terjadi abdomen, penurunan Tanda-tanda kesadaran, hipotensi, ferforasi tidak takhikardia, bradi terjadi. kardi, dan peningkatan suhu tubuh yang terlalu tinggi. Hindarkan intake makanan yang keras, merangsang serta bergas. Berikan obat-obatan sesuai dengan program terapi dokter.misalnya kloramfenikol dan Mengurangi peristaltik roborantia.

Obat pilihan untuk penanganan typhus Abdominalis (sensitivitas tinggi terhadap Salmonella).

DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer,dkk.2001.Kapita Selekta Kedokteran.Edisi 3.Jilid I.Jakarta:Media Aesculapus. Carpenito,L.J.2000.Buku Saku Diagnosa Keperawatan.Edisi 8.Jakarta:EGC Doenges,M.E.2000.Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC Junadi P,Soemasto A.S, amels H.1998.Kapita Selekta Kedokteran.Edisi 2.Media ausculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ngastiyah.1997.Perawatan Anak Sakit.Jakarta:EGC Rampengan &

Anda mungkin juga menyukai