Anda di halaman 1dari 10

Filsafat Hukum Adat dan Hukum Negara

Oleh Bachtiar Abna, SH.MH. Dt. Rajo Suleman Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang

Musyawarah Kerja Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Propinsi Sumatera Barat 16-17 Pebruari 2009

A. Filsafat dan Filsafat Hukum Secara sederhana, filsafat merupakan perenungan mendalam mengenai suatu hal oleh seseorang, masyarakat, bangsa atau negara, sehingga menjadi landasan dalam berfikir dan bertindak. Filsafat mulai dari memikirkan definisi sesuatu, bentuk, tujuan, dsb sampai kepada apa yang akan dilakukan terhadap sesuatu itu. Filsafat hidup dari suatu masyarakat, bangsa atau negara akan diungkapkan oleh seseorang yang mengamati dan memahaminya yang disebut dengan istilah filosof. Melalui Filsafat Hukum orang yang mengamati suatu masyarakat, bangsa atau negara akan berpikir tentang definisi, unsur, bentuk, dan asas yang terdapat dalam hukum serta apa yang harus diperbuat (proses) dalam sistem hukum mereka. Bila kita pelajari berbagai pandangan filosof mengenai hukum dan negara, kita dapat mengelompokkan filsafat mengenai hukum itu ke dalam tiga aliran yang berbeda, Faham Normatif, Sosiologis dan Sosiologis-normatif Ke dalam pandangan normatif dapat dimasukkan aliran hukum alam, aliran ketuhanan (teologis), dan aliran Kedaulatan negara, yaitu aliran yang memandang bahwa hukum itu datang dari atas (aeteronom), kehendak alam, kehendak tuhan atau kehendak negara. Hans Kelsen dari mazahab kedaulatan negara yang berkembang setelah revolusi Perancis, memandang bahwa hukum itu tidak lain daripada wille des states (kehendak negara). Kehendak negara itu dimuat secara piramidal dalam tiga tingkatan norma: Uursprung Norm (Kaedah Fundamental), Grund Norm (Kaedah Dasar) dan Norm (kaedah). Vonis hakim mengikat karena ditetapkan berdasarkan UU, UU mengikat karena dijabarkan dari UUD, UUD mengikat karena dijabarkan dari Dasar Negara. Puncak dari ajaran normatif ini adalah faham legisme, yang mengharamkan hukum selain dari undang-undang. Hukum itu hanyalah UU, selain UU bukanlah hukum. Ke dalam Pandangan Sosiologis, dapat dimasukkan aliran Sosiologis (Historis), Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum. Menurut Von Savigny (Mazhab Sosiologis/Historis) hukum itu tidak dibuat, hukum adalah manifestasi dari volks geist (jiwa masyarakat) yang berkembang sesuai dengan sejarah masing-masing masyarakat. Setiap masyarakat, bangsa dan negara mempunyai jiwa yang berasal dari jiwa rakyatnya, karena itu setiap masyarakat, bangsa dan negara mempunyai hukum sendiri yang berbeda dengan masyarakat, bangsa dan negara lain. Tidak mungkin hukum suatu masyarakat, bangsa dan negara dipaksakan kepada yang lain. Jean Jaques Rousseaw (Mazhab kedaulatan rakyat) memandang bahwa negara itu terbentuk melalui perjanjian masyarakat (la contrat social) yaitu perjanjian antara sesama anggota masyarakat untuk menyerahkan kekuasaan kepada negara, mulai dari kekuasaan membentuk aturan hukum (legislasi), melaksanakan aturan hukum (aplikasi) dan menegakkan aturan hukum (yudikasi). Sedangkan menurut Krabbe (mazhab Kedaulatan Hukum), hukum itu bersumber dari rasa keadilan dalam diri manusia. Karena rasa keadilan setiap orang berbeda, maka yang akan dipakai dalam hidup bersama adalah apa yang sesuai dengan rasa keadilan orang terbanyak dalam masyarakat itu. Di Indonesia aliran sosiologis ini misalnya dianut oleh Prof. Mr. Djojodogoerno, bahwa hukum itu ialah karya seluruh rakyat yang bersifat pengugeran, yang berarti pembatasan tingkah laku manusia dalam hubungan pamrihnya.

Ke dalam pandangan sosiologis-normatif dapat dikemukakan pendapat Ahmad Sanusi, SH. bahwa hukum itu ialah kaedah yang ditaati dan gejala sosial yang diharuskan, yang ada di antara dunia sollen (harapan) dan sein (kenyataan). Sebetulnya negara-negara di dunia ini tidak ada yang ekstrim menganut normatif saja atau sosiologis saja, tetapi menganut faham ketiga ini dengan intensitas berbeda-beda. Negara-negara Eropah Kontinental seperti Belanda dan Jerman sistem hukumnya dekat ke faham normatif, sedangkan negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat lebih dekat ke sosiologis. B. Hukum, Adat dan Hukum Adat Hukum Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari istilah hukum yang berasal dari bahasa Arab hakama digunakan terlalu luas yang berarti aturan atau keteraturan. Pertama, keteraturan dalam alam (teori fisika): hukum Archemides, Pascal, dsb. Kedua, tata bahasa (gramatikal, tajwid): Nun mati atau tanwin disambut huruf ta hukumnya echfa wajib dengung; Ketiga, teori ekonomi : kalau barang banyak harga turun; Keempat , tidak ada hukum : Hukum Rimba, kuat menang, lemah kalah, Kelima, kaedah kepercayaan : tidak shalat yang hukumnya wajib berdosa dan masuk neraka, batu pertama gedung harus kepala kerbau agar selamat; Keenam, kesusilaan: bangun pagi wajib gosok gigi; Ketujuh, kesopanan : setop mobil wajib pakai tangan kanan; Kedelapan, Kaedah hukum : Semua kesepakatan di antara dua manusia atau lebih tentang apa yang wajib, boleh, atau dilarang dilakukan di antara mereka yang mempunyai akibat (padahan) hukum yang dapat dipaksakan pelaksanaannya. Padahan Hukum dapat berupa : Hukuman Pidana : mati, penjara, kurungan, denda, pengumuman putusan hakim dan pencabutan hak tertentu; Perdata : Melaksanakan kewajiban, membayar ganti rugi, putusnya hubungan hukum, dan Admintrasi : Pemberhentian dengan tidak hormat, penurunan atau penundaan kenaikan pangkat, dsb.
Hukum Sebagai Sistem Sosial : Hukum adalah semua proses dalam kehidupan masyarakat untuk mencapai kedamaian dalam kehidupan bersama (peaceful living together)
Input Proses legislasi Subyek Hukum Output Antara Output Akhir

Aturan Hukum Obyektif

Aplikasi

Peristiwa Hukum Pelanggaran Hukum

Damai : Adil Tertib Berguna

Obyek Hukum Yudikasi

Litigasi + Non-litigasi Vonis + Eksekusi Yurisprudensi

Proses legislasi yang melahirkan aturan hukum obyektif ada dua bentuk. Pertama, secara otonom, yakni lahir dari gejala sosial sehari-hari berupa kesepakatan antara beberapa anggota masyarakat dalam berhubungan satu sama lain seperti dalam pinjam meminjam, tukar-menukar, dsb., yang melahirkan aturan hukum adat. Kedua, secara aeteronom, yakni melalui pembuatan aturan hukum lebih dahulu oleh penguasa masyarakat, misalnya melalui referendum, musyawarah, badan legislatif, dsb., yang melahirkan perundang-undangan. Adat Idrus Hakimi Dt. Rajo Pangulu menjelaskan bahwa kata Adat lebih tua dari adat. Adat bahasa Sangskerta, dibentuk dari a artinya tidak dan dato artinya sesuatu yang bersifat kebendaan. Adat pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang tidak bersifat kebendaan. Adat pada tingkat pertama tak lain dari pada kesempurnaan rohani. Hasil usaha melepaskan diri dari pengaruh alam sanggup mengantarkan seseorang asseet, orang saleh ketingkat beradat. Asseet dan pengikut demikian terdapat di India sejak beribu tahun silam. Tutur bahasanya dan tingkah-lakunya memberi manfaat di tengah-tengah masyarakat. Dalam bahasa Minang sehari-hari dikenal pula istilah datu, artinya dukun ilmu hitam, yang perangainya tidak senonoh. Sehingga bila digabung dengan istilah a yang artinya tidak maka adat artinya adalah perangai orang yang bukan datu, tetapi perangai orang yang baik-baik. Dengan demikian, perangai jahat, seperti orang yang suka maling, menipu, judi, dsb. tidak dapat diakatakan sebagai adat. Menurut Drs. Asymuni A.Rahman, Dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, adat menurut bahasa berarti perulangan. Menurut pengertian ahli ushul fiqih, adat (kebiasaaan) ialah sesuatu yang berulang terjadi. Menurut Ibnu Abidien, adat itu diambil dari kata muwidah (bahasa Arab); yaitu mengulang-ulangi. Karena diulangulangi menjadi terkenal dan dipandang baik atau dapat diterima oleh akal sehat dan perasaan. adat dan urf searti walaupun berlainan mafhum. Adat dalam pengertian luasnya mencakup setiap keadaan yang berulang-ulang, baik sebab alami seperti umur baligh seseorang, masaknya buah-buahan atau hal-hal yang ditimbulkan karena keinginan syahwat manusia seperti makan-minum, atau hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan akhlak. Dari makna yang diberikan orang terhadap istilah adat tersebut, manakah yang diapakai dalam istilah hukum adat? Pertama dari segi ucapan, orang Indonesia tidak pernah menyebut istilah adat, walaupun pada azasnya mereka dapat menyebut huruf ain, kecuali orang yang terpengaruh oleh bahasa Arab, tetapi mereka tetap mengucapkan istilah adat, dalam bahasa Minang malah disebut dengan istilah adaek. Kedua, bila berasal dari bahasa Arab adat, maka ke dalamnya akan termasuk perbuatan-perbuatan jelek, maka perbuatan orang yang suka main judi, maling, minum arak, adu ayam, adu kerbau, dsb. dipandang sebagai adat juga. Ketiga, istilah adat telah digunakan sebelum masuknya Islam. Berdasarkan pertimbangan itu, kita dapat berkesimpulan bahwa yang dimaksud adat adalah adat dalam makna pertama, ke dalamnya hanya masuk prilaku yang baik-baik saja.

Hukum Adat Snouck Hurgronje (Penulis pertama yang memakai istilah adatrecht dalam bukunya De Atjehers) memandang hukum adat sebagai semua hukum yang digunakan oleh masyarakat di wilayah yang kemudian menjadi Hindia Belanda pada waktu kedatangan mereka dan perkembangannya. Prof. Mr. C. Van Vollenhoven (Bapak Ilmu Hukum Adat) Het Adatrecht van Nederlands Indie,: Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaaan lainnya yang bersumber dari kekuasaan Belanda dahulu. Mr. B. Ter Haar Bzn beslissingen leer (ajaran keputusan) : dengan mengabaikan bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturanperaturan desa, surat-surat perintah raja, hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa yang dalam pelaksanaannya berlaku spontan dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Keputusan itu, bukan saja dari hakim, tetapi juga kepala adat, rapat desa, wali tanah, petugas di lapangan agama, dan petugas desa lainnya. Keputusan itu bukan saja mengenai suatu sengketa resmi, tetapi juga keputusan kerukunan (musyawarah) yang diambil sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan. Seminar Hukum Adat Nasioanal di Yogyakarta tahun 1975 menyimpulkan bahwa hukum adat ialah hukum Indonesia asli yang di sana sini dipengaruhi oleh unsur agama. Kesimpulan : Hukum adat adalah hukum yang lahir, tumbuh, berkembang dan dipertahankan dalam kehidupan nyata masyarakat sehari-hari sejak dulu sampai sekarang. Hukum adat itu pada umumnya tidak tertulis, namun ada bagiannya yang tertulis berupa peraturan Desa dan Surat Perintah Raja. Ringkasnya, Hukum adat adalah adat yang diberi padahan hukum. C. Hukum Negara Sebelum terbentuknya organisasi masyarakat dan negara, proses legislasi yang melahirkan aturan hukum obyektif hanyalah secara otonom saja, yakni lahir dari gejala sosial sehari-hari berupa kesepakatan antara beberapa anggota masyarakat dalam berhubungan satu sama lain seperti dalam pinjam meminjam, tukar-menukar, dsb. Dengan cara ini aturan hukum lahir bukan dengan sengaja membuat peraturan hukumnya lebih dahulu, tetapi hanya sekedar berprilaku sesuai keperluan saja, artinya prilaku lebih dahulu ada dari pada peraturannya. Pola inilah yang pada umumnya melahirkan hukum adat. Setelah terbentuknya organisasi masyarakat dan negara, di samping secara otonom ada pula aturan hukum yang lahir secara aeteronom, yakni melalui pembuatan aturan hukum lebih dahulu oleh penguasa masyarakat, misalanya melalui referendum, musyawarah, badan legislatif, dsb., yang melahirkan perundangundangan. Dengan demikian yang dimaksud dengan hukum negara dalam tulisan ini adalah semua aturan hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan, mulai dari UUD, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Perpres, Kepmen, Perda, Perturan/Keputusan Gubernur/Bupati/Wako, Peraturan Desa/Nagari, Peraturan Kepala Desa/Wali Nagari, Keputusan Instansi Pemerintah, dsb.

D. Kedudukan Hukum Adat dan UU Dalam Sistem Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia Bila kita telusuri sejarah panjang dari hukum yang terjadi di wilayah yang sekarang menjadi Indonesia ini, seperti dimuat dalam Laporan Seminar Hukum Adat Nasional tahun 1975 di Yogyakarta, terlihat bahwa sebelum masuknya agama-agama besar masyarakatnya hanya menggunakan satu-satunya hukum dalam kehidupan mereka, yakni hukum adat. Karena itu ahli-ahli hukum Adat mengatakan bahwa cikal bakal dari hukum adat itu ialah hukumnya masyarakat Malayo Polinesia yang mereka sebut sebagai hukum asli Bangsa Indonesia. Setelah masuknya agama-agama besar, terjadilah akulturasi antara hukum agama yang diterima dan dianut masyarakat yang bersangkutan dengan hukum adat. Akulturasi itu terjadi melalui penerimaan (receptie) sebagian hukum agama itu ke dalam hukum adat mereka. Karena itu, Seminar di atas menyimpulkan bahwa hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia yang di sana sini dipengaruhi oleh unsurunsur agama. Jadi hukum agama merupakan bagian dari hukum adat di samping hukum asli. Untuk memahami bagaimana kedudukan hukum adat itu, dapat kita lihat bagaimana politik hukum yang diambil oleh penguasa sejak dulu melalui peraturan perundang-undangan yang dapat dipandang sebagai landasan berlakunya hukum adat di Indonesia. VOC menerapkan politik oportuniteit terhadap hukum adat dengan membiarkan hukum adat seperti sediakala jika kepentingannya tidak terganggu. Walaupun tanggal 4 Maret 1621 Pengurus Kompeni di Negeri Belanda (Heren XVII) mewajibkan hukum Bld berlaku di HB. Namun tahun 1625 oleh Gubernur Jenderal De Carpentier dipenuhi dengan syarat, jika menurut keadaan dapat diperlakukan di negeri ini. Dalam Pasal 11 AB (1848), Pasal 75 RR Lama (1854) dan Psl. 75 RR Baru (1920) ditetapkan bahwa selama Gubernur Jendereal tidak memberlakukan hukum civil dan dagang Eropa, bagi golongan Bumi Putra tetap berlaku Godsdientigeweten, Volks Instellingen en Gebruiken (Aturan Agama, Lembaga Rakyat dan Kebiasaan). Dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregelling) 1926 ditetapkan bahwa bagi golongan Bumi Putra berlaku Het hunne godsdiensten en gewonten (Aturan agama dan kebiasaan mereka). Setelah Indonesia merdeka hukum adat tetap diakui dan diberlakukan. Namun hukum adat itu berkedudukan sebagai hukum yang rendah sementara perundangundangan sebagai hukum yang tinggi, sehingga berlaku prinsip hukum yang tinggi mengenyampingkan hukum yang rendah. Menurut Penjelasan Umum Angka 1 UUD 45: UUD adalah hukum dasar yang tertulis, di sampingnya berlaku hukum dasar yang tidak tertulis (konvensi). Maka di samping hukum tertulis berlaku pula hukum tidak tertulis. Menurut Pasal 5 UUPA (Undang-undang Pokok Agararia, 1960) : hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan

yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 19/1964, diubah dengan UU. No. 14/1970 dan UU No. 4/2004), menetapkan bahwa peradilan hanya peradilan negara, tidak ada tempat bagi peradilan adat dan peradilan swapraja. Dalam Pasal 24. UU No.4/2004 : hakim dalam keputusannya wajib meneyebutkan dasardasar keputusannya, pasal-pasal peraturan perundang-undangan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar putusan. Pasal 28 UU No.4/2004 : Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. UUD 1945 (setelah Amandeman, 2002) Pasal 18 B. (2) : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam UU. Pasal 28 I (3) Identitas Budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Menurut UU Pemerintahan Daerah ( UU No. 22/1999) Pasal 1 huruf o, diubah dengan UU No.32/2004 Pasal 1 angka 12, desa yang disebut dengan nama lain (nagari di Minangkabau) adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan NKRI. Dalam Penjelasan Umum angka 10. UU No.32/2004 dipertegas lagi bahwa landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa/nagari adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Undangundang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa/nagari atau dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sebelum Indonesia terbentuk, di wilayah ini telah hidup manusia sebagai makhluk sosial yang menurut Van Vollenhoven terdiri dari 19 Adatrechtkringen (Wilayah Hukum Adat), kukuban hukum adat, dan persekutuan hukum adat, baik genelogis, teritorial maupun geneaogis-teritorial. Tiap-tiap masyarakat itu telah mempunyai hukumnya sendiri yang disebut dengan hukum adat. Lembaga dan Petugas-petugas adat itu mempunyai hak mengurus dan mengatur masyarakatnya (otonom), baik dalam proses legislasi, aplikasi, maupun yudikasi hukum. Terbentuknya Indonesia ini adalah karena bersatunya persekutuan, kukuban, dan wilayah hukum adat tersebut untuk membentuk RI. Karena itu oleh penyusun Pembukaan UUD 1945 ditetapkan Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia. Namun tanggal 18 Agustus, cita-cita itu berubah dalam Pasal 1 (1) UUD 1945 bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Berbentuk Republik, dengan segala akibatnya. Dari perundangan yang dikemukakan di atas terlihat bahwa Badan Legislatif kita telah lupa akan sejarah panjang dari terbentuknya Republik Indonesia tersebut. Akibatnya badan legislatif Indonesia lebih ekstrim menganut faham normatif dalam

hukum, sehingga merasa berwenang meniadakan, merombak dan memporak-poranda kesatuan masyarakat hukum adat beserta hukum mereka. Kasarnya merasa berwenang mengatur cacing dalam selokan. Demikian pula badan eksekutif dan yudikatifnya, yang hanya berpegang teguh kepada UU yang dibentuk badan legislatif, dengan menafikan eksistensi hukum adat setempat. Walaupun masyarakat hukum adat diakui, namun hukum adat sebagai hak tradisional mereka dipandang sebagai hukum yang rendah, berhadapan dengan perundangan sebagai hukum yang tinggi yang tentunya tunduk kepada asas : hukum yang tinggi menghancurkan hukum yang rendah. Hal itu terlihat mulai dari Pasal 18 B. (2) UUD 45 itu sendiri yang mengakui masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dengan UU. Akibatnya, hak tradisonal mereka (hukum adat, hak atas tanah, hak atas identitas geografis, hak atas kekayaan yang tak berujud, dsb) baru dilindungi jika telah dibuatkan UU-nya. Itu artinya hukum adat tidak berlaku, kecuali telah dimasukkan ke dalam UU. Sementara isi UU itu ditentukan oleh kekuatan politik yang berkembang di badan kenegaraan, sehingga sulit untuk memasukkan aturan hukum adat itu. Jika masyarakat, baik langsung, maupun melalui LSM berusaha dengan keras mengusulkan agar isi perundangan disesuaikan dengan hukum adat, mereka menjawab : menurut UU yang berwenang memutuskan itu kan kami, anda boleh saja berusaha mengusul, tetapi keputusan ada di tangan kami, mirip dengan kekuasaan Tuhan. Walaupun dalam UUP Kehakiman ditetapkan bahwa hakim wajib menggali, memahami dan mengikuti nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat), namun Pasal 1 KUHP yang menetapkan bahwa orang hanya dapat dihukum berdasarkan peraturan tertulis yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan, yang dikenal sebagai asas legalitas tidak pernah dicabut. Akibatnya eksistensi hukum pidana adat dinafikan, sehingga pengurus lembaga adat yang menghukum warganya yang melanggar hukum adat (hukuman sepanjang adat) diusut oleh penegak hukum sebagai penjahat karena telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. Sejak zaman dahulu (termasuk zaman Hinda Belanda) sampai tahun 1964, masyarakat hukum adat dan daerah swapraja (kerajaan) berwenang mengadili anggota masyaratnya yang melanggar hukum adat melalui peradilan adat. Tetapi tahun 1964 (era komunisme), melalui UU No. 19/1964 eksistensi peradilan adat itu dicabut dan menetapkan bahwa peradilan hanyalah peradilan negara, tidak ada tempat bagi peradilan adat dan swapraja. Politik hukum seperti itu dilanjutkan oleh UU. No. 14/1970, UU No4/2004. Malahan UUD 1945 setelah amandemen pun dalam Pasal 24 (2) tetap meniadakan peradilan adat itu dengan menetapkan hanya ada dua kekuasaaan kehakiman, yakni sebuah Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan hukum acara kita sekarang, KUHAP, HIR, RBg, RO dan BRv, Indonesia menganut sistem peradilan formal yang sentralistik berlapis empat (PN, PT, MA, grasi Presiden). Jika dimasukkan pula ADR (negosiasi, mediasi, rekonsiliasi dan arbitrase) menjadi berlapis tujuh. Melalui politik hukum ini, prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan seperti dimuat dalam Pasal 4 ayat 2 UUP Kehakiman hanyalah sebuah utopia belaka, sekedar pelipur lara.

Memang politik hukum demikian bukan berarti meniadakan hukum adat, tetapi mengalihkan pelaksanaannya kepada peradilan negara, namun telah menghilangkan wibawa lembaga adat dan petugasnya, karena taring mereka telah dipatahkan oleh kekuasaan negara. Lembaga adat dan petugasnya dewasa ini tidak lagi dipandang sebelah mata oleh warganya, karena jika mereka dihukum sepanjang adat, mereka berlindung kepada kekuasaan negara. Pernah warga yang melakukan perbuatan maksiat (prostitusi) dijatuhi hukuman sepanjang adat oleh lembaga adat mengadu kepada penegak hukum. Penegak hukum mengusut petugas lemabaga adat itu dan menjatuhinya hukuman. Akibatnya dewasa ini petugas adat apatis, purakpurak tak tahu apa yang terjadi, sehingga warga masyarakat leluasa dalam melanggar hukum adat. Seirama dengan uraian di atas, sarasehan masyarakat hukum adat nusantara, termasuk utusan kraton yang dilaksanakan oleh Seknas Masyarakat Hukum Adat, Mahkamah Konstitusi dan Gebu Minang di Jakarta pada bulan Nopember 2008 sepakat untuk mengusulkan agar hukum adat diakui sebagai hukum khusus berhadapan dengan perundangan sebagai hukum umum, sehingga baginya berlaku asas : hukum khusus mengenyampingkan hukum umum. Tentu dengan prinsip ini hukum adat tidak boleh di utak-atik oleh badan legislasi, eksekutif dan yudiaktif, tetapi harus didukung pelaksanaannya. Di samping itu, mereka juga mengusulkan agar peradilan adat yang otonom dihidupkan kembali yang mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara adat untuk tingkat pertama dan terakhir (langsung berkekuatan hukum tetap) dan pelaksanaannya dilakukan dengan fiat eksekusi ke pengadilan umum. Untung untuk Sumbar karena DPRD-nya melalui Perda No. 13/ 1983 tentang nagari sebagai masyarakat hukum adat, Perda No. 9/2000 dan Perda No 2/2007 keduanya tentang Pemerintahan Nagari, menetapkan Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai pengurus nagari sebagai masyarakat hukum adat dan sebagai bagian dari struktur pemerintahan nagari. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : i. Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah Badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. (menurut Penjelasan pasal ini, perundang-undangan itu ialah setiap keputusan Badan Perwakilan Rakyat, di tingkat pusat maupun di tingkat daerah) Putusan Tata Usaha Negara adalah semua penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata;

ii.

iii.

iv.

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berhubung Kerapatan Adat Nagari (KAN) dibentuk dan disusun melalui Perda No. 13 Tahun 1983, tentang Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (baik di kebupaten maupun kota), Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari (nagari sebagai pengganti desa) dan Perda No. 2 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari (baik di kabupaten termasuk Mentawai maupun kota), maka sesuai dengan Pasal 1 angka 2 UU No. 5/1986 Kerapatan Adat Nagari merupakan Badan dan Pengurus KAN merupakan Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan KAN akan merupakan Putusan Tata Usaha Negara, sehingga jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan KAN itu, yang mempunyai kompetensi absolut untuk mengadilinya adalah Peradilan Tata Usaha Negara, bukan Peradilan Pidana. Berhubung sampai kini NKRI menganut faham normatif sebagai politik hukum, sampai adanya perubahan sistem hukum Indonesia, atau ditetapkannya hak tradisional masyarakat hukum adat dalam perundangan, para fungsionaris hukum negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) harus arif dan bijaksana dalam penyelesaian kasuskasus adat dengan memperhatikan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dan fungsionaris hukumnya. Kewenangan fungsionaris hukum adat harus dihormati, baik kewenanan legislasi, aplikasi maupun yudikasi. Walaupun lembaga adat dewasa ini bukan peradilan, namun sebagai sebuah lembaga, tetap mempunyai kewenangan menetapkan sanksi (administratif) bagi warganya yang melanggar hukum adat, seperti keputusan RUPS Koperasi menghukum anggotanya yang telah melanggar Anggaran Dasar, misalnya membayar ganti rugi, pencabutan keanggotaan, dsb. Namun demikian, sebelum adanya perubahan dari bunyi Pasal 18 B. (2) UUD 1945, kita berharap kepada DPRD Propinsi, Kabupaten dan Kota untuk menetapkan perda tentang hak-hak tradisional masyarakat hukum adatnya sehingga dapat diakui dan dihormati oleh NKRI.

Anda mungkin juga menyukai