Anda di halaman 1dari 5

GERAKAN PEREMPUAN Dalam Perjalanan Sejarahnya

Masa Kolonialisme Pada akhir abad XIX masyarakat Indonesia mulai berubah secara drastis, sebagai kaum terpelajar baru untuk para pegawai pribumi, anak-anak bangsawan, bersentuhan langsung dengan sejumlah ide nasionalisme sebagai akibat logis dari sistem politik etik yang diterapkan Belanda di daerah koloninya. Gerakan emansipasi jauh lebih beragam dari kata nasionalisme. Alasan-alasan ekonomi dan agama terasakan lebih penting dan dominan dalam berbagai gerakan termasuk gerakan perempuan. Kegiatan-kegiatan awal dari organisasi perempuan hanya terbatas pada kegiatan kerumah tanggaan maupun pendidikan ketrampilan. Pada tahun 1920-an, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia perempuan bergerak di sekitar kepentingan gender mereka. Mereka mengambil bentuk masalah sosio-kultural perempuan, dan mengorganisasi diri diatas dasar keagamaan dan daerah serta gerakan politik yang penting saat itu. Berbagai sekolah perempuan didirikan dan sejumlah majalah diterbitkan, serangkaian aksi atas nama perempuan buruh dan pelacur pun dilancarkan. Organisasi formal perempuan pertama ialah Poetri Mardika, yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912. Organisasi ini memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, mendorong perempuan agar tampil di depan umum, membuang rasa takut, dan mengangkat perempuan ke kedudukan yang sama dengan laki-laki. Disamping itu antara tahun 1913-1915 berbagai organisasi perempuan, terutama di Jawa dan di Sumatera berdiri, yang anggotanya sebagian besar dari golongan bangsawan. Setelah mengalami proses transformasi, gerakan perempuan mengkristal menjadi Kesadaran politik, seperti yang dinyatakan pada Kongres I Wanita tanggal 22 Desember 1928, dimana mereka menyatakan bahwa persamaan derajat akan dicapai dalam susunan masyarakat yang tidak terjajah. Kongres ini menandai sejumlah pergeseran penting, dalam cara-cara kaum perempuan Indonesia merumuskan interes gender mereka. Pada tahun 1940 serikat buruh perempuan pertama dibentuk, yaitu Pekerja Perempuan Indonesia. Yang tujuan utamanya adalah memberikan latihan kerja. Namun organisasi ini pun melakukan perlawanan terhadap diskriminasi dalam kenaikan pangkat dan upah. Pada massa penjajahan Jepang, Jepang membubarkan semua organisasi perempuan yang sudah ada sebelum perang dibubarkan kecuali yang sengaja dibuat Jepang untuk kepentingan perangnya seperti Fujinkai. Tujuan umum dari Fujinkai adalah untuk memobilisasi tenaga kerja perempuan guna mendukung tentara Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Sebagaimana yang terjadi di wilayah-wilayah yang dijajah Jepang selama Perang Dunia II, banyak perempuan yang dijadian jugun ianfu perempuan penghibur yang mengikuti angkatan bersenjata Jepang. Dengan sembunyi-sembunyi mereka bisa menyiapkan perjuangan kemerdekaan, tetapi mereka tidak bisa memprotes kebobrokan ekonomi yang ditimbulkan Jepang atau terhadap berbagai pemerkosaaan yang dilakukan para serdadu Jepang. Perang Kemerdekaan

Pada masa perang kemerdekaan ini banyak perempuan yang tampil di barisan depan bersama dengan pejuang yang lain. Satuan-satuan perempuan perjuangan berdiri dimana-mana, seperti Lasywi Lasykar Wanita Indonesia. Di garis belakang perempuan juga mengorganisasi diri. Setelah proklamasi Fujinkai dibubarkan, bahkan ketua Fujinkai menganjurkan kepada seluruh anggotanya untuk mengubah organisasi-organisasi lokal menjadi organisasi yang bisa bekerja mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Organisasi ini kemudian melebur menjadi Persatuan Wanita Indonesia atau Perwani. Disamping itu berdiri pula sebuah organisasi buruh perempuan berhaluan kiri, hasil fusi dari beberapa organisasi buruh perempuan yang bernama Barisan Buruh Wanita. Para pemimpin nasionalis laki-laki mengakui dukungan kaum perempuan untuk perjuangan kemerdekaan. Walaupun demikian, para pemimpin nasionalis ini memandang bahwa kesertaan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan harus dibawah laki-laki. 1950-1965 Indonesia, tak terkecuali dari pola yang lazim, sesudah kemerdekaan nasional tercapai, gerakan perempuan mengalami kekecewaan. Dalam hal ini, kehidupan pribadi presiden pertama Indonesia, yang begitu rupa berhasil menggalang kekuatan kolektif perempuan untuk menyokong perjuangan nasional, sebagai roda kedua sebuah kereta, membantu menggagalkan sejumlah reform perkawinan yang dengan sangat konsekuen telah diperjuangkan oleh gerakan itu. Dengan direbutnya kekuasaan negara oleh Indonesia, hubungan politik antara perempuan dan laki-laki menjadi berubah secara mendasar. Perjuangan untuk undang-undang perkawinan baru, mengakibatkan konflik sejumlah kepentingan gender, yang selama perang ditekan menjadi terbuka. Selama perjuangan anti kolonal, perempuan menjadi aktor yang vokal di tengah gelanggang politik, dan sekaligus menjadi ibu dan istri yang baik. Dengan tidak adanya lagi musuh bersama, laki-laki mengaku bidang politik sebagai bidang mereka sendiri dan perempuan ditinggalkan di tengah bidang sosial. Pada umumnya organisasi perempuan, terutama yang berbasiskan agama, menerima pembagian kerja ini sebagai kodrat alami. Hanya Gerwani sajalah, satu-satunya organisasi perempuan yang mengakui bahwa politik adalah sebuah bidang yang sah untuk perempuan. Dalam prakteknya dan yang lebih membedakan Gerwani dengan organisasi perempuan lainnya adalah perhatian mereka terhadap hak-hak kaum buruh dan tani perempuan. Gerwani mengambil cara-cara terutama dari dunia sosialisme. Kejadian penting pada 1950 adalah fusi antara dua badan federatif, yang di dalamya terhimpun gerakan perempuan yang semasa revolusi mengalami perpecahan. Organisasi fusi itu adalah Kowani, yang pernah ditinggalkan sejumlah organisasi Islam dan Badan Kontak yang didirikan oleh Konferensi Perempuan Yogyakarta. Mereka bersatu dalam kongres pada bulan November 1950. Pada tanggal 17 Desember 1953, sejumlah organisasi perempuan melancarkan demonstrasi yang menentang Keputusan Pemerintah No.19 Tahun 1952 yang secara gamblang mensyahkan poligami bagi para pegawai. Demonstrasi ini merupakan satu-satunya yang terjadi sesudah Indonesia merdeka dan dikikuti oleh kalangan luas gerakan perempuan dan yang memperjuangkan kepentingan gender perempuan. Pada 1960-an, setelah perjuangan untuk reform perkawinan mengalami kegagalan di parlemen, dan dengan semakin kuatnya hegemoni demokrasi Terpimpin, feminisme Gerwani pun

didominasi ideology Manipol dan Nasakom. Solidaritas Gerwani tidak lagi pada semua perempuan. Gerwani mengarahkan haluannya pada integrasi total dengan kelas pekerja dan kaum tani dan memandang perempuan kaya sebagai musuh bagi usaha organisasi memperjuangkan kemerdekaan nasional sepenuhnya. . 1965_an Perubahan politik dari Orde Lama ke Orde Baru diawali dengan apa yang namanya

Peristiwa Oktober 1965 yang kemudian diikuti dengan pembantaian satu juta lebih orang-orang yang dianggap musuh oleh rejim yang baru. Dengan Menggunakan berbagai Koran terbitan 1 Oktober 1965 dan bulan-bulan pertama 1966, bisa kita lacak bagaimana kampanye fitnah tentang keterlibatan anggota-anggota Gerwani di Lubang Buaya. Tahap demi tahap kampaye disebar luaskan dengan tujuan pembenaran sebuah kesimpulan bahwa komunisme sedemikian sangat amoral dan anti-agamanya, sehingga mengakibatkan kaum wanita kita melupakan berbagai tugas kewanitaan mereka, dan malah sibuk dalam politik dan kendor susila, mengumbat hawa nafsu seksual mereka dengan cara-cara yang bejat mengerikan, dan melakukan kekejaman yang tidak terperi. Karena itu masyarakat dibuat mengerti, bahwa sama sekali benar jika komunisme khususnya Gerwani dileyapkan, sehingga dengan begitu masyarakat menjadi bersih dan ketertiban pun pulih. Kesatuan-kesatuan Aksi dibentuk untuk menyiapkan berbagai demonstrasi massa yang dibarengi dengan pembunuhan masal dimana-mana. Bahkan organisasi-organisasi keagamaan dengan penuh antusias menganjurkan kepada anggotanya untuk membasmi pengikut Gerwani di berbagai daerah. Manipulasi kesadaran yang sedemikian ini, merupakan salah satu keberhasilan Orde Baru dalam menumpas lawan-lawan politiknya termasuk Gerwani. Peristiwa Oktober 1965 bisa dikatakan sebagai awal hancurnya gerakan perempuan di Indonesia, dimana gerakan perempuan tidak mampu lagi untuk melakukan posisi tawar terhadap kekuasaan secara ekonomi politik. 1970_an Pada periode ini, gerakan perempuan semakin menunjukkan proses depolitisasi dan penjinakan. Hal ini semakin menunjukkan bentuknya setelah berdirinya Dharma Wanita [1974] dan Dharma Pertiwi [1974] diresmikan sebagai organisasi isteri para pegawai negeri dan isteri tentara yang merupakan organisasi payung 19 organisasi isteri pegawai negeri dan 4 organisasi isteri tentara. Disamping itu pula, untuk mengontrol seluruh aktivitas kaum perempuan, rejim juga membangun PKK, yang seluruh aktivitasnya hanya berkutat pada kegiatan seremonial belaka tanpa pernah melakukan sebuah penyadaran terhadap kaum perempuan. Pada massa ini, organisasi perempuan memasuki periode tidak ada perlawanan terhadap diskriminasi dan eksploitasi yang dialami kaum perempuan di Indonesia. Luasnya jaringan PKK, Dharma Wanita serta Dharma Pertiwi yang didukung oleh rejim, bisa dikatakan berhasil mematikan potensi untuk bangkitnya kembali gerakan perempuan yang masif. 1980_an Diterapkannya NKK/BKK dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia, menyebabkan menjamurnya berbagai Kelompok Studi dan Kelompok Diskusi di kalangan mahasiswi. Kelompok-

kelompok ini mendiskusikan berbagai persoalan yang menindas dan mengeksploitasi kaum perempuan. Diskusi ini juga menimbulkan semangat solidaritas terhadap persoalan ekonomi-politik yang ada. Bahkan kemudian berkembang dalam bentuk aksi-aksi solidaritas bersama. Akan tetapi, dengan kondisi yang sangat represif, pada perkembangannya Kelompok-kelompok Diskusi dan studi yang ada malah bergabung dan mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM]. Yang pada prakteknya mereka memihak terhadap berbagai persoalan rakyat, walaupun kenyataannya tidak pernah berupaya untuk merombak sistem yang menindas itu sendiri. Kelompok-kelompok LSM pada umumnya menggunakan prespektif feminisme sebagai metode yang menjawab berbagai persoalan kaum perempuan. Mereka menerima ide-ide radikal, liberal dan sosialis dari kaum feminis Amerika dan Eropa. Tetapi mereka tidak pernah konsisten menerapkannya dengan alasan bahwa kaum perempuan Indonesia mempunyai kompleksitas persoalan yang tidak bisa diwakili oleh suatu pandangan dalam feminisme. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan tak lebih seperti saat tahun 1930-an, dimana hanya berkutat pada masalah pendidikan, pelatihan tanpa pernah berupaya mengorganisir perempuan untuk secara bersama-sama dengan elemen rakyat yang lain dalam merombak sistem yang ada. 1990 sampai sekarang Dalam sebuah penelitian tentang kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, tiap tahunnya sekitar 18 juta perempuan di Indonesia mengalami kekerasan. Terlebih-lebih dengan dilakukannya operasi-operasi militer yang membawa dampak pada berbagai kasus pelecehan, pemerkosaan, penculikan dan pembunuhan terhadap kaum perempuan di lokasi dilakukannya operasi militer. Bangkitnya gerakan perempuan awal tahun 1990-an tidak terlepas dari bangkitnya gerakan buruh di sektor industri, karena di Indonesia lebih 60% dari jumlah buruh adalah buruh perempuan. Salah satu bukti kemampuan kaum perempuan dalam memimpin berbagai perjuangan kaum buruh adalah Marsinah, yang kemudian jadi korban kebiadaban dari pengusaha yang didukung sepenuhnya oleh kekuatan bersenjata. Walaupun demikian perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan belumlah pada perjuangan dimana kaum perempuan mampu membebaskan dirinya dari sebuah sistem yang menindas, tetapi lebih pada persoalan-persoalan ekonomis dan itupun dilakukan secara terpisah-pisah. Maraknya aksi-aksi yang dilakukan massa rakyat pada awal tahun 1998, yang kemudian dengan keberhasilan menurunkan Soeharto dari kursi kekuasaan, tidak lepas pula dari dukungan kaum perempuan. Efouria kemenangan melanda seluruh rakyat Indonesia karena berhasil menjatuhkan salah satu simbol kediktatoran Orde Baru. Akan tetapi tidak berbeda dengan elemen yang lain, eforia ini tidak diikuti dengan kuatnya organisasi perempuan. Sehingga pada akhirnya mereka justru menyerahkan kekuasaan pada reformis-reformis palsu. Pemilu 1999 sebagai sebuah tawaran dari rejim Habibie dan skenario internasional untuk meredam perlawan massa rakyat, mampu menyeret kaum perempuan untuk terlibat dalam agenda ini. Banyak kaum perempuan yang berlomba-lomba untuk masuk dalam struktur partai-partai politik dalam usaha untuk mendapatkan jatah. Bahkan tidak sedikit pula kaum perempuan yang berlomba-lomba untuk menjadi pemantau pemilu itu sendiri. Partai-partai politik yang ada bisa dikatakan tidak mempunyai program yang berpihak pada kaum perempuan. PDI-Perjuangan, yang kemudian memengkan pemilu, tidak mempunyai program yang membela kaum perempuan. Tampilnya Megawati sebagai pucuk pimpinan PDI-P, tidak lebih dari

sekedar faktor upaya menyeret massa rakyat dengan mengusung nama Soekarno, bukan dalam prespektif gender itu sendiri. Demikian pula dengan partai-partai pemenang pemilu yang lain, ketika nereka duduk dalam kursi parlemen mereka sama sekali tidak pernah memperjuangkan nasib kaum perempuan di Indonesia. Yang ada justru mereka menyetujui penjualan perempuan sebagai komoditi ekspor ke berbagai negara. Mereka justru sibuk dengan pembagian kue kekuasaan, tanpa pernah mereka memperjuangkan nasib kaum perempuan di Aceh, Ambon, Papua dan lain-lain. Upaya dari rejim yang berkuasa sekarang untuk memandulkan gerakan perempuan pun mulai dilaksanakan. Salah satu contohnya adalah dengan dihidupkannya menteri pemberdayaan perempuan, yang secara implisit justru mendiskriminasikan kaum perempuan.***

Anda mungkin juga menyukai