Anda di halaman 1dari 8

Peristiwa Madiun

Peristiwa Madiun adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September Desember 1948 antara pemberontak komunis PKI dan TNI. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya Negara Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Kota Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifoeddin. Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun, dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan Pemberontakan PKI Madiun. Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun yang tidak baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama. Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama).

Tawaran bantuan dari Belanda


Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada Amerika Serikat (dan bukannya kepada Uni Soviet).

Latar belakang
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk sayap kiri|golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit dan Syam Kamaruzzaman, melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Djoko Soejono, Letkol Soediarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga

menjadi Komandan Wehrkreise III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Soepardjo, Kapten Abdul Latief (kolonel)|Abdul Latief dan Kapten oentoeng Samsoeri Pada bulan Mei 1948 bersama Soeripno, Wakil Indonesia di Praha, Muso, kembali dari Moskwa, Uni Soviet. Tanggal 11 Agustus, Muso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Muso, antara lain Amir Syarifuddin|Amir Sjarifuddin Harahap, Setyadjit Soegondo dan kelompok diskusi Patuk. Pada era ini aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak reska perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh. Pada 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur, RM Suryo|RM Ario Soerjo, dan mobil 2 perwira polis dicegat massa pengikut PKI di Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur. Ke-3 orang tersebut dibunuh dan jenazah nya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Moewardi yang sering menentang aksi-aksi golongan kiri, diculik ketika sedang bertugas di rumah sakit Solo, dan kabar yang beredar ia pun juga dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun. Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Teori Domino. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia. Sebelumnya pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, Plaosan, Magetan|sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Soekiman Wirjosandjojo (Menteri Dalam Negeri), Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Soekanto Tjokrodiatmodjo, sedangkan di pihak Amerika Serikat hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika Serikat dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal(proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Soekanto berangkat ke Amerika Serikat guna menerima bantuan untuk Kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency (CIA), badan intelijen Amerika Serikat.

Selain itu dihembuskan isu bahwa Soemarsoso, tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia mengatakan bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari pemerintah pusat. Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.

Akhir konflik
Kekuatan pasukan pendukung Muso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Soebroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Kota Semarang|Semarang-Kota Surakarta|Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin. Panglima Besar Soedirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Muso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukanpasukan pendukung Muso dapat dihancurkan dalam waktu singkat. Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di otel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap. Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Muso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948 di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto.

Peristiwa APRA
Penyerahan Kedaulatan Bandung, 27 Desember 1949, hari yang bersejarah karena setelah 4 tahun 4 bulan Indonesia merdeka, pada hari itu secara formal dilaksanakan penyerahan kedaulatan dari fihak Belanda, yang mengukuhkan kedudukan Indonesia sebagai negara berdaulat di dunia internasional. Pada saat di Jakarta melakukan penandatanganan protokol penyerahan kedaulatan oleh wakil pemrintah Belanda, Dr. A.H.J. Lovink, dan Sultan Hamangku Buwono IX mewakili Indonesia, disusul dengan penurunan bendera Belanda untuk selamanya, serta pengibaran Sang Merah Putih di depan Istana Merdeka, suasana Bandung biasa-biasa saja. Ada pidato sambutan dari Wali Negara Pasundan, R.A.A Wiranatakusumah dan perwakilan dari fihak Belanda, Dr. R. W. van Diffelen. Upacara bendera di kalangan militer disaksikan oleh komandan Divisi 7 December tentara Belanda, Mayor Jenderal E. Engles, dan Kolonel Sadikin, Panglima T.T. 3 Siliwangi, beserta staf masing-masing. Tidak lama kemudian kesatuan-kesatuan TNI yang waktu itu status resminya TRIS (Tentara Republik Indonesia Serikat), memasuki kota, disambut hangat oleh khalayak ramai. Tentara Belanda dikonsinyir di tangsi masing-masing untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, mengingat kemungkinan terjadinya insiden selalu ada. Serangan APRA dan Akibatnya Insiden memang terjadi, tetapi tidak pada saat penyerahan kedaulatan, melainkan pada tanggal 23 Januari 1950, tidak sampai sebulan kemudian. gerombolan bersenjata yang menamakan dirinya Angkatan Perang Ratu Adil, disingkat APRA, memasuki Bandung dari arah barat. Sepanjang jalan yang dilauinya mereka menembak siapa saja yang dianggap anggota TNI, tanpa ampun. Korban tewas tercatat 93 orang angota TNI. Termasuk Letkol. Lembong, dan 6 orang anggota masyarakat. Sungguh hari yang kelabu. Namun anehnya, masyarakat awam seolah-olah tidak menyadarinya. Kegiatan di pusat kota berjalan seperti biasanya. Ibu-ibu belanja ke pasar-pasar, sekolah-sekolah umumnya tidak terganggu dalam kegiatannya belajar mengajar. Bagaiman duduk perkara sebenarnya, latar belakangnya, pemeran-pemeran utamanya, dan siapa saja yang terlibat dalam peristiwa ini, tentu hanya diketahui oleh yang berwajib waktu itu. Masyarakat awam hanya mengetahui bahwa pimpinan APRA adalah kapten Westerling, yang sudah terkenal dalam peristiwa pembantaian rakyat Sulawesi Selatan pada akhir tahun 1946 sampai bulan-bulan awal 1947. Adalah suatu kenyataan Kapten Westerling sendiri, sebagai biang

keladi peristiwa APRA, dapat kabur menyelamatkan diri ke Negeri Belanda, tanah airnya. Dengan sendirinya dugaan kuat bahwa pimpinan tentara Belanda melindungi bahkan membantunya, sehingga Westerling nampaknya dengan mudah keluar dari Indonesia, padahal semua jalan ke luar waktu itu dijaga ketat. Tidak demikian halnya bagi mereka yang terindikasi kuat, apalagi membantu gerakan Westerling. Sehari setelah kejadian, di Bandung dan di tempat-tempat lain sudah mulai diadakan penangkapan-penangkapan. Tidak terkecuali, dua orang tokoh juga ditangkap, yaitu perdana menteri negara Pasundan, Anwar Tj okroaminoto, dan pimpinan PSII (Partai Sariokat Islam Indonesia), Arudji Kartawinata. Pada tanggal 27 Januari, pemerintah negara Pasundan mengeluarkan pernyataan resmi mengecam kejadian tanggal 23, tetapi itu tidak menghalangi parlemen Negara Pasundan untuk mengambil langkah-langkah yang akhirnya memaksa pemerintah mundur. Selanjutnya tanggal 30 Januari, Wali Negara R.A.A Wiranatakusumah meletakkan jabatan. Pada hari iitu parlemen secara aklamasi mengajukan mosi untuk menyerahkan semua wewenang kepada pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat), dan akhirnya melalui masa transisi singkat, Negara Bagian Pasundan pada tanggal 8 Maret 1950 melebur diri masuk Negara Kesatuan R.I Negara Bagian Pasundan sejak pembentukannya memang rentan perpecahan. Pemerintahnya pun tidak ada yang bertahan lama. Yang pertama Mei 1948 Januari 1949 dipimpin Perdana Menteri R. Adil Poeradiredja, Februari 1949 Juli 1949 dipimpin Perdana Menteri Mr. Djumhana Wiriaatmadja, yang ketiga dan terakhir, Juli 1949 Februari 1950, dipimpin Perdana Menteri Anwar Tjokroaminoto. Di kalangan pendukungnya, bahkan juga intern pemerintahannya, tidak ada kesatuan pandang tentang halauan apa yang akan ditempuh setelah penyerahan kedaulatan. Menjelang akhir 1949, semakin nampak adanya dilema, apakah akan bergabung dengan R.I. yang memang jelas-jelas memenangkan revolusi menumbangkan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, atau dengan segala daya mempertahankan berdirinya negara sendiri. Penyelesaian dilema ini sebetulnya sudah dapat diramalkan, yaitu sesuai halauan pertama, bergabung dengan R.I. Yang diluar dugaan adalah cepatnya penyelesaian, kurang dari 3 bulan setelah penyerahan kedaulatan, karena peristiwa APRA di Bandung.

Latar Belakang Sekarang, lebih dari 5 dasawarsa setelah terjadinya peristiwa, yang tidak akan pernah dilupakan warga Bandung generasi tua, mungkin sudah dapat diungkap hal-hal yang memberikan gambaran lebih jelas tentang duduk perkara sebenarnya, atau sedikitnya mendekati keadaan sebenarnya. Westerling sendiri sudah meninggal, demikian juga para pemeran lainnya, mungkin semua sudah tiada. Mereka adalah pemain-pemain dalam suatu drama, dengan latar belakang situasi politik Indonesia akhir tahun 1949 sampai bulan-bulan awal tahun 1950. Ketika itu seluruh dunia sudah mengakui Indonesia merdeka dan berdaulat. Tetapi keadaan dalam negeri masih jauh dari stabil. Sesuai persetujuan yang dicapai pada Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 2 Nopember 1949), Indonesia waktu itu masih berbentuk negara federal, dengan sebutan Republik Indonesia Serikat, disingkat R.I.S. Negara Pasundan adalah negara bagian, didirikan 16 Februari 1948, dengan wilayah meliputi Jawa Barat waktu itu, dikurangi Banten yang masih termasuk wilayah R.I. Sebelumnya pernah diproklamirkan negara Pasundan juga, oleh R.A.A Soeriakartalegawa, yaitu pada tanggal 4 Mei 1947. Tetapi Negara Pasundan yang ini tidak pernah berkembang dan akhirnya mati dengan sendirinya. Negara federal RIS adalah hasil kompromi antara Republik Indonesia dengan fihak Belanda. Untuk Indonesia, RIS merupakan sasaran antara, oleh karena itu kompromi ini diterima, dengan pertimbangan utama tercapainya pengakuan kedaulatan Indonesia oleh dunia internasional. Untuk fihak Belanda pertimbangannya tentu menyelamatkan apa yang masih dapat diselamatkan dari kepentingan-kepentingannya di Indonesia. Tentu saja kompromi ini tidak memuaskan semua fihak. Bahkan golongan yang mendukung federal pun tidak puas, antara lain merasa bahwa pemerintah RIS didominasi oleh tokoh-tokoh Republik Indonesia seperti Soekarno, Hatta, dan Sultan Hamangku Buwono IX. Demikian juga tentara RIS intinya adalah TNI. Pembentukan negara federal yang akhirnya berwujud RIS dimulai dengan mengadakan konferensi di Malino tanggal 16-22 Juli 1946 atas prakarsa Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, penguasa Belanda diwaktu itu. Negara dimaksud akan terdiri dari negara-negara bagian mulai dari Kalimantan dan Indonesia Timur. Selanjutnya pada tanggal 24 desember 1946, di Denpasar diresmikan berdirinya negara Indonesia Timur. RI baru terlibat dalam proses pembentukan

negara federal pada waktu perundingan Linggajati. Persetujuan sementara Linggajati yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, mengandung ketentuan bahwa RI dan Belanda akan bekerjasama dalam pembentukan negara federal RIS. Pelantikan pemerintah sementara negara federal dilakukan secara sepihak oleh Belanda di Jakarta pada tanggal 13 Januari 1948. Waktu itu antara RI dan Belanda berlaku keadaan perang sebagai akibat dari agresi militer Belanda tanggal 25 Juli 5 Agustus 1947. Baru pada tanggal 17 Januari 1948 ditandatangani persetujuan untuk mengahiri keadaan perang dan kedua belah fihak mulai berunding, kali ini di atas kapal perang Amerika, USS Renvile. Berdasarkan persetujuan Renvile Belanda membentuk negara-negar bagian di wilayah yang dikuasainya. Salah satunya adalah negara bagian Pasundan, didirikan pada tanggal 16 Februari 1948. Tanggal 21 Desember 1948 5 Januari 1949, Belanda melancarkan lagi agresi militer terhadap RI. Tetapi dengan tindakan itu posisi politiknya tidak menjadi lebih baik, dan tanggal 7 Mei 1949, terpaksa kembali ke meja perundingan dengan RI. Hasilnya adalah persetujuan Roem van Royen, yang meratakan jalan untuk Konferensi Meja Bundar (KMB), dengan agenda penyerahan kedaulatan. KMB diselenggarakan tanggal 23 Agustus 2 November 1949 di Den Haag, menghasilkan persetujuan untuk penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RIS. Penyerahan kedaulatan dilakukan pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan demikian lahirnya negara federal di bumi Indonesia, yang ternyata kemudian tidak tahan lama. Akhir Peristiwa APRA dan Dampak Politiknya Dalam hitungan bulan saja setelah penyerahan kedaulatan, Indonesia kembali kepada bentuk negara kesatuan. Bubarnya negara-negara bagian disebabkan tekanan-tekanan pendukung RI di masing-masing negara bagian. Proses dipercepat oleh faktor lain, seperti peristiwa APRA yang digerakkan oleh Westerling. Kronologi peristiwanya adalah sebagi berikut: 1. Pada tanggal 5 Januari 1950 Westerling mengirim ultimatum kepada pemerintah RIS di Jakarta, dengan perantaraan pemerintah negara Pasundan. Terutama adalah pengakuan pemerintah kepada APRA sebagai angkatan bersenjata negara Pasundan, paling lambat tanggal 12 Januari 1950. Ultimatum ini disampaikan oleh Letnan KNIL H.D. Rijhiner kepada Kepala Negara Pasundan. Selanjutnya diteruskan kepada pemerintah RIS di Jakarta. Perdana Menteri Hatta

menghubungi perwakilan pemerintah Belanda, H.M. Hizschfeld. 2. Perdana Menteri Pasundan, Anwar Tjokroaminoto, disetai seorang menteri pada tanggal 14 Januari 1950, berangkat ke Jakarta untuk berunding dengan pemerintah RIS. Setibanya di Jakarta ditahan. 3. Dalam waktu 48 jam, terbentuk pemerintahan federal interim, dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. 4. Rencana coup mengambil alih pemerintahan RIS: a. Gerakan coup dimulai tanggal 25 Januari 1950. b. Operasi Militer bersamaan di Bandung dari Jakarta. Rencana ini dikirim perkurir ke Jalan Kramat 20 Jakarta, contact address Westerling pada tanggal 22 januari 1950. Dokumen ini jatuh ke tangan TNI. 5. Operasi terpaksa diajukan pada tanggal 23 Januari 1950, hari Senin. Dengan demikian koordinasi dengan pasukan D.I dan Bambu Runcing, menjadi kacau, sehingga pada waktunya tidak ada dukungan dari kedua pasukan itu Serangan APRA di Bandung dipimpin oleh mantan Inspektur Polisi Van der Meulen. Westerling sendiri waktu itu ada di Jakarta, untuk mengambil operasi pengambilalihan kekuasaan di pusat pemerintahan RIS. Operasi ini tidak terlaksana karena tiadanya dukungan senjata dan pasukan, yang sebelumnya dilakukan oleh fihak-fihak tertentu. Dengan demikian gerakan di Bandung pun, menjadi tidak ada artinya, dan secara keseluruhan gerakan APRA Westerling gagal total. Tujuannya semula adalah mengambil alih kekuasaan pemerintah RIS waktu itu yang didominasi oleh tokoh-tokoh RI, sebagai upaya untuk mempertahankan negara federal. Tetapi dengan kegagalan Westerling di Jakarta, yang terjadi adalah justru sebaliknya, percepatan runtuhnya negara federal, dan kembalinya negara kesatuan RI sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945. Dengan demikian jatuhnya korban serangan APRA di Bandung akhirnya tidak sia-sia. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk mengenang pengorbanan mereka. (Bandung, 23 Januari 2007. Disusun oleh Yuhanda Npv. 090.027.773)

Anda mungkin juga menyukai