Anda di halaman 1dari 9

Rekayasa Sipil Volume V, Nomor 2, Oktober 2009

ISSN : 1858-3695

PERBANDINGAN CAMPURAN AC-WC TERHADAP PENGGUNAAN KADAR PIPIH DAN LONJONG BERDASARKAN SPESIFIKASI KIMPRASWIL 2005
Oleh Lusyana, Yan Parta Wijaya Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Padang Kampus Limau Manis Padang ABSTRAK Sifat-sifat fisik agregat seperti bentuk butir berpengaruh langsung terhadap sifat campuran. Terutama untuk lapisan permukaan (surface course) agregat harus 90% terdiri dari bentuk kubus, karena memberikan ikatan (interlocking). Tujuan dilakukannya penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji karakteristik Marshall dari campuran Laston Lapis Aus/Asphalt Concrete Wearing Course (AC-WC) yang memiliki kadar agregat pipih dan lonjong 0% dengan yang memiliki kadar agregat pipih dan lonjong melebihi dari standar yang ditetapkan oleh Kimpraswil tahun 2005. Hasil perencanaan dengan metoda Marshall memperlihatkan bahwa nilai KAO campuran yang tanpa agregat pipih dan lonjong lebih kecil (5,35%) dengan nilai stabilitas 1260 kg lebih kecil dibandingkan campuran yang menggunakan pipih dan lonjong melebihi persyaratan (5,45%) dengan nilai stabilitas 1210 kg. Dalam penelitian ini, penggunaan partikel pipih dan lonjong yang melebihi persyaratan Kimpraswil 2005 yaitu maksimum 25% untuk kadar pipih dan 10% untuk kadar kelonjongan akan menunjukkan kecendrungan penurunan kinerja, dimana perbedaan KAO Marshall antara 2 variasi campuran ini sebesar 0,1% cukup signifikan apabila di kaitkan dengan biaya produksi campuran beraspal dilapangan. ata kunci : AC-WC, partikel pipih dan lonjong, interlocking

PENDAHULUAN Bahan perkerasan jalan merupakan salah satu factor utama dari banyak factor yang ikut menentukan tingkat kestabilan perkerasan jalan secara keseluruhan (Siswosoebrotho, 2001). Pada umumnya konstruksi perkerasan jalan menggunakan jenis perkerasan lentur (Flexible Pavement). Kadar agregat dalam perkerasan lentur umumnya berkisar antara 90-95% dari berat total. Penggunaan agregat pada perkerasan jalan ditentukan berdasarkan sifatsifat fisik agregat yang juga akan menentukan kekakuan perkerasan. Sifat-sifat fisik agregat yang dan kekuatan dari struktur

tersebut berpengaruh langsung terhadap sifat campuran berpengaruh campuran, seperti bentuk cara butir yang serta terhadap kemampuan pengerjaan

pemadatan

kekuatan perkerasan aspal. Terutama untuk lapisan permukaan (surface course) agregat harus 90% terdiri dari bentuk kubus. Bentuk butiran kubus memberikan ikatan (interlocking) satu sama lain dan permukaan yang kasar memberikan agregat, gesekan yang besar antar sehingga kestabilan konstruksi

tercapai dan gradasi tidak berubah. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain : a Mengkaji campuran karakteristik Laston Marshall dari

mempengaruhi campuran agregat yang perlu diperhatikan tersebut antara lain adalah : berat jenis, kekerasan agregat, gradasi, durabilitas dan keawetan, bentuk butir dan tekstur

Lapis

Aus/Asphalt

Concrete Wearing Course (AC-WC) yang memiliki kadar agregat pipih dan lonjong

permukaan, serta kebersihan. Sifat-sifat fisik

86

Rekayasa Sipil Volume V, Nomor 2, Oktober 2009


0% untuk mendapatkan kadar aspal British Standard Institution,

ISSN : 1858-3695 BSI, (1975) 6

optimum (KAO) b Membandingkan kinerja campuran AC-WC yang memiliki kadar agregat pipih dan lonjong melebihi dari standar yang

membagi

bentuk-bentuk

agregat

dalam

kategori, yaitu : bulat (rounded), tidak beraturan (irregular), bersudut (angular), pipih (flaky), lonjong (elongated), pipih dan lonjong (flaky and elongated).

ditetapkan oleh Kimpraswil tahun 2005 dengan campuran AC-WC yang memiliki kadar agregat pipih dan lonjong 0%. Bahan dan Pengujian Campuran Beraspal Panas Pemilihan jenis agregat merupakan hal yang penting beraspal. a Agregat Kasar dalam perencanaan campuran

Gambar 1 Bentuk butir agregat i.Rounded; ii. Irregular; iii. Angular;iv. Flaky; v. Elongated; vi. Flaky and Elongated

Fraksi agregat kasar untuk perencanaan adalah yang tertahan saringan No.8 (standar ASTM) atau 2,36 mm. Agregat ini harus bersih, keras, awet dan bebas dari lempung atau bahan yang tidak dikehendaki yang nantinya akan

Pada penghancuran batuan yang sangat keras dan getas akan terjadi proporsi bentuk pipih yang cukup besar. Tetapi pada proses crushing selanjutnya bersudut akan didapat proporsi bentuk

mengganggu kelekatan aspal. b Agregat Halus

Agregat halus dari sumber bahan manapun, harus terdiri dari pasir atau pengayakan batu pecah yang lolos saringan No. 8 (2,36 mm) dan tertahan ayakan No.200 (0,075 mm). Fungsi utama agregat halus adalah memberikan

yang

lebih

banyak.

Pengukuran

indeks kepipihan dan kelonjongan biasanya dilakukan untuk agregat yang diambil langsung dari alam seperti dari sungai atau dari

penggalian langsung batuan di gunung.

stabilitas dan mengurangi deformasi permanen campuran melalui friksi dan perilaku saling mengunci partikel-partikelnya. c Bahan Pengisi (Filler) Filler adalah suatu mineral agregat dari fraksi halus yang hampir seluruhnya lolos saringan No.200 (75m) dan tidak kurang dari 75 % terhadap beratnya. Partikel filler mengisi ruang antara agregat halus dan kasar sehingga memberikan kontribusi untuk meningkatkan kepadatan. d Indeks Kepipihan Dan Kelonjongan (Flakiness and Elongation Index) Bentuk agregat pipih dan atau lonjong tidak disukai dalam struktur perkerasan jalan karena karena sifatnya yang mudah patah sehingga dapat mempengaruhi gradasi agregat, interlocking dan menyebabkan peningkatan porositas perkerasan tidak beraspal. Bina Marga masih menerima bentuk agregat pipih, yaitu maksimal 25%. Pada penggunaan praktis di lapangan, agregat berbentuk bulat dapat digunakan untuk lapisan permukaan dengan sebelumnya dipecahkan terlebih dahulu.

87

Rekayasa Sipil Volume V, Nomor 2, Oktober 2009


Aspal Aspal adalah suatu material yang berwarna hitam atau coklat tua yang bersifat termoplastis. Pada temperatur ruang berbentuk padat

ISSN : 1858-3695 memenuhi batas-batas gradasi agregat seperti tercantum pada Tabel 1. Perencanaan Campuran Beraspal Suatu campuran beraspal harus memiliki workability yang baik, yaitu kemampuan

sampai semi padat. Jika dipanaskan sampai suatu temperatur tertentu aspal dapat menjadi lunak atau cair, sehingga aspal dapat membungkus agregat pada saat pembuatan campuran. Pada saat temperaturnya turun kembali menuju suhu ruang, menjadi keras dan aspal akan agregat umum

campuran tersebut untuk dapat dihamparkan dan dipadatkan untuk mencapai kepadatan yang diinginkan tanpa kesulitan. Karakteristik dasar yang harus dimiliki oleh campuran aspal panas adalah stabilitas, fleksibilitas, durabilitas dan kekesatan permukaan (Krebs & Walker, 1971). Tabel 1 Gradasi Laston Lapis Aus (AC-WC) Ukuran Ayakan % Berat yang Lolos LASTON LAPIS AUS (ACWC) Gradas ASTM mm Spesifika si FULLE R i Rencan a 1 3/8 No.8 No.16 No.30 No.20 0 25 19 12,5 9,5 2,36 1,18 0,60 0,07 5 4 - 10 100 90 - 100 Maks.90 28 - 58 100 82,8 73,2 39,1 28,6 21,1 8,3 5,5 100 95,0 85,0 48,6

mengikat aspal yang

ditempatnya.

Jenis

digunakan di Indonesia adalah aspal dengan penetrasi 60/70 (aspal pen 60/70) dan

penetrasi 80/100 (aspal pen 80/100). Laston Lapis Aus (AC-WC) Campuran Laston Lapis Aus (AC-Wearing Course) adalah merupakan lapisan paling atas dari struktur perkerasan yang berhubungan langsung dengan roda kendaraan, mempunyai tekstur yang lebih halus dibandingkan dengan Laston Lapis Pengikat (AC-Binder Course), dengan ukuran maksimum agregat 19 mm. Kekuatan lapis beton aspal didapat dari gradasi agregatnya yang menerus (Continuous Graded). Gradasi agregat seperti ini akan

menjadikan struktur agregat saling mengunci. Laston memiliki sifat stabilitas tinggi dan relatif kaku, yaitu tahan terhadap pelelehan plastis namun cukup peka terhadap retak, sehingga dengan demikian campuran ini cukup peka terhadap variasi kadar aspal dan perubahan gradasi agregat.

DAERAH LARANGAN No.4 No.8 No.16 4,75 2,36 1,18 39,1 25,6 31,6 19,1 23,1 15,5 53,6 39,1 28,6 48,6 38,1

METODE PENELITIAN Gradasi Agregat Campuran Kombinasi gradasi agregat campuran yang digunakan adalah Laston Lapis Aus yaitu harus No.30 No.50 0,60 0,30

21,1 15,5

29,0

21,0

88

Rekayasa Sipil Volume V, Nomor 2, Oktober 2009


Mulai
Studi Literatur

ISSN : 1858-3695

Persiapan Material

Pengujian Agregat Kasar, Halus, Filler

Pengujian Aspal Penetrasi 60/70

Tidak

Memenuhi Syarat ? Ya

Memenuhi Syarat ? Ya

Tidak

Penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO) Dengan Metoda Marshall untuk campuran A dan B

Memenuhi Syarat ? Ya Analisis Data

Tidak

Kesimpulan Dan Saran Selesai

Gambar 2 Diagram Alir Kegiatan Penelitian

Secara

keseluruhan

terdapat

dua

variasi

Pengujian Marshall Pengujian Marshall adalah untuk menentukan Kadar Aspal Optimum, yaitu kadar aspal dimana campuran yang dihasilkan memiliki sifat-sifat yang terbaik berdasarkan pengujian sifat-sifat volumetrik (kepadatan, VIM, VMA dan VFA) dan karakteristik Marshall (Stabilitas, kelelehan dan Marshall Quotient). Pengujian di Indonesia di standarisasikan di dalam SNI 032489-1991.

campuran yang dipilih dalam penelitian yaitu : 1. Tipe A adalah campuran AC-WC dengan kadar pipih dan lonjong lebih besar dari standar (> 25%) dengan jumlah sampel 15 buah. 2. Tipe B adalah campuran AC-WC dengan kadar pipih dan lonjong 0% (15 sampel)

89

Rekayasa Sipil Volume V, Nomor 2, Oktober 2009

ISSN : 1858-3695

Tabel 2 Hasil Pengujian Sifat-sifat Fisik agregat Kasar, Agregat Halus, dan Filler No Karakteristik Agregat Persyaratan Min Maks 2,5 2,5 2,5 95 95/90 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 3 40 25 10 3 3 Hasil Pengujian A B 0,797 2,676 2,697 2,734 20 > 95 > 95 26,5 14,881 0,100 2,678 2,681 2,685 2,644 0,164 2,670 2,683 2,705

Agregat Kasar 1 Penyerapan, % 2 Berat Jenis - Berat Jenis Bulk - Berat Jenis SSD - Berat Jenis Apparent Abrasi dengan Mesin Los 3 Angeles, % Kelekatan Agregat terhadap 4 Aspal, % 5 Angularitas, % 6 Partikel Pipih, % 7 Partikel Lonjong, % Agregat Halus 1 Penyerapan, % 2 Berat Jenis - Berat Jenis Bulk - Berat Jenis SSD - Berat Jenis Apparent Filler 1 Berat Jenis Agregat Gabungan 1 Penyerapan, % 2 - Berat Jenis Bulk - Berat Jenis SSD - Berat Jenis Apparent

Tabel 3 Hasil Pengujian Aspal Penetrasi 60/70 Persyaratan Min 1 60 48 200 100 Maks 79 58 -

No 1 2 3 4 5 Berat Jenis

Jenis Pengujian

Hasil pengujian 1,030 62,24 49,5 336 > 130

Penetrasi, 25 C, 100 gr, 5 detik, 0,1 mm Titik Lembek, C Titik Nyala, C Daktilitas, 25 C, 5 cm/menit, cm
o o

90

Rekayasa Sipil Volume V, Nomor 2, Oktober 2009


Tabel 4 Hasil Pengujian Marshall Pada Campuran A Sifat Campuran Kadar Aspal, % Kepadatan, t/m3 V I M, % V M A, % V F A, % Stabilitas, kg Kelelehan, mm Marshall Quotient, kg/mm Hasil Pengujian 4,5 5,0 5,5 6,0 6,5 2,266 2,316 2,371 2,387 2,393 9,573 6,915 3,989 2,632 1,651 18,95 17,62 16,11 15,99 16,21 49,49 60,79 75,24 83,59 89,86 1087,94 1175,11 1287,71 1025,26 979,20 3,27 333,46 3,33 352,62 3,27 397,74 3,55 308,29 3,60 275,95

ISSN : 1858-3695

Spesifikasi 3,5-5,5% > 15% > 65% > 800 kg > 3 mm > 250 kg/mm

Tabel 5 Hasil Pengujian Marshall pada campuran B Sifat-Sifat Campuran Kadar Aspal, % Kepadatan, t/m3 V I M, % V M A, % V F A, % Stabilitas, kg Kelelehan, mm Marshall Quotient, kg/mm Hasil Pengujian 5,0 5,5 6,0 6,5 2,330 2,374 2,397 2,399 6,23 3,76 2,09 1,30 16,95 15,83 15,45 15,84 63,31 76,26 86,52 91,79 1200 1338,29 1095,65 991,74 2,97 3,10 3,33 3,43 408,83 434,20 332,33 298,35

4,5 2,285 8,73 18,13 51,93 1091,24 3,27 335,02

Spesifikasi 3,5-5,5% > 15% > 65% > 800 kg > 3 mm > 250 kg/mm

KAO Marshall
5,20

5,45 %
5,70

VIM VMA VFA Stabilitas Kelelehan Marshall Quotient


4,5 5,0 5,5 6,0

Gambar 3 Grafik KAO Campuran A dan Campuran B

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Data Pengujian Marshall Campuran AC-WC

Parameter ini sangat berkaitan dengan nilai kepadatan (Density) dan sangat menentukan nilai Kadar Aspal Optimum (KAO). Pada gambar 4 terlihat campuran B mempunyai

Karakteristik Volumetrik Volumetrik dan VFA. campuran yang berperan

kepadatan yang lebih tinggi dari campuran A. Hal ini disebabkan dari bentuk butiran campuran B yang tidak memiliki agregat pipih dan lonjong (bentuk butir bersudut/kubus)

penting dalam uji Marshall, yaitu VIM, VMA,

91

Rekayasa Sipil Volume V, Nomor 2, Oktober 2009


sehingga aggregate interlockingnya lebih kuat jika dibandingkan dengan campuran A yang memiliki persentase agregat pipih dan lonjong lebih besar dari persyaratan.

ISSN : 1858-3695 Dari gambar 6 terlihat bahwa pada kadar aspal yang sama, campuran A dengan kepadatan lebih rendah, memberikan nilai VMA yang lebih besar jika dibandingkan dengan campuran B yang memiliki kepadatan lebih besar. Karena campuran A memiliki bentuk butiran pipih dan lonjong cukup banyak sehingga jumlah ruang antara agregat juga lebih banyak.

Gambar 4 Perbandingan nilai Kepadatan terhadap perubahan kadar aspal

Gambar 6 Perbandingan Kurva VMA Terhadap Perubahan Kadar Aspal

Gambar 5 Perbandingan Kurva VIM Terhadap Perubahan Kadar Aspal

Gambar 7 Perbandingan Kurva VFA Terhadap Pada Gambar 5 memperlihatkan, untuk kadar aspal yang sama, campuran tipe A mempunyai nilai VIM yang lebih besar jika dibandingkan dengan campuran B. Hal ini karena campuran A memiliki rongga antar agregat yang besar, sedangkan rongga yang terisi aspal hanya sedikit karena aspal lebih banyak menyelimuti agregat. Akibatnya rongga yang tersisa dalam campuran pun menjadi lebih besar dibandingkan campuran B. Pada kadar aspal yang sama, campuran B memiliki nilai VFA yang lebih tinggi Perubahan Kadar Aspal

dibandingkan dengan campuran A. Hal ini disebabkan karena pada kadar aspal tersebut campuran B memiliki VIM yang lebih kecil karena jumlah ruang antara agregat sudah terisi oleh aspal efektif. Juga karena luas agregat yang terselimuti aspal lebih kecil pada campuran B dibandingkan campuran A.

92

Rekayasa Sipil Volume V, Nomor 2, Oktober 2009


Sehingga aspal lebih cendrung mengisi ruang yang kosong. Karakteristik Marshall Pada Gambar 8, pada kadar aspal yang sama campuran B memiliki nilai Stabilitas lebih besar dibandingkan persentase persyaratan, campuran A. Rendahnya nilai pipih dan lonjong lebih dari pipih stabilitas pada campuran A yang memiliki

ISSN : 1858-3695 Dari gambar terlihat bahwa campuran A memiliki kelelehan lebih tinggi dibandingkan campuran B. Hal ini sesuai dengan tebal film aspal yang ada pada masing-masing campuran dimana untuk campuran A tebal film aspal sebesar 10 m, campuran B tebal film aspal sebesar 9,95 m.

Pada kadar aspal yang sama campuran B dengan nilai stabilitas paling besar, memiliki nilai MQ yang lebih besar jika dibandingkan dengan campuran A. Hal ini juga disebabkan campuran B memiliki kelelehan yang lebih rendah, sehingga didapatkan campuran yang lebih kaku dibandingkan campuran A.

karena

bentuk

agregat

kurang memberikan ikatan satu sama lainnya (interlocking) dan kemungkinan karena tipisnya, akan bertambah pecah atau patah bila

dibebani, sehingga dapat merubah gradasi agregat dari campuran AC-WC tsb. Sedangkan campuran B yang tanpa pipih dan lonjong, kekuatannya akan terbentuk dari gaya kunci mengunci (interlocking) dari agregat yang bersudut.

Gambar 10 Perbandingan Kurva Hasil Bagi Marshall Terhadap Perubahan Kadar Aspal

Gambar 8 Perbandingan Kurva Stabilitas Terhadap Perubahan Kadar Aspal

Analisis Kadar Aspal Optimum (KAO) Dari dua variasi campuran yang dilakukan, campuran B (tanpa pipih dan lonjong) memiliki nilai KAO lebih rendah (5,35%) dibandingkan campuran A (5,45%). aspal lebih sedikit Hal ini karena pada dibandingkan pada

campuran B luas agregat yang akan terselimuti campuran A, sehingga dibutuhkan kadar aspal yang lebih sedikit juga. Ini menguntungkan karena akan dapat mengurangi biaya dari campuran beraspal tersebut. Gambar 9. Perbandingan Kurva Kelelehan Terhadap Perubahan Kadar Aspal

93

Rekayasa Sipil Volume V, Nomor 2, Oktober 2009


KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil perencanaan campuran AC-WC DAFTAR PUSTAKA

ISSN : 1858-3695

AASHTO, 1998, Standard Specifications for Transportation Sampling and Materials Testing, and Methods of

dengan metoda Marshall memperlihatkan bahwa nilai kadar aspal optimum (KAO) campuran B lebih kecil (5,35%)

Washington

D.C,

Bambang Ismanto, Prof. Dr. Ir, M.Sc, 2001, Bahan kuliah Perancangan Perkerasan dan Bahan, Penerbit ITB Departemen Kimpraswil, 2005, Campuran Beraspal Panas. Buku V Spesifikasi. Direktorat Jenderal Bina Marga, 1999,

dibandingkan campuran A (5,45%). Hal ini karena pada campuran B luas agregat yang akan terselimuti aspal lebih sedikit dibandingkan pada campuran A. 2. Nilai stabilitas pada KAOMarshall untuk

Pedoman Perencanaan Campuran Beraspal Panas dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak, Departemen PU Ginting, Kariantoni, 2001, Pengaruh Kadar Agregat Pipih dan Lonjong dalam Workabilitas dan Modulus Campuran Beton Aspal, Tesis Magister, Program Magister Sistem dan Teknik Jalan Raya, Institut Teknologi Bandung Krebs, D.Robert, Walker, D.Richard, 1971, Highway Material, Mcgraw-Hill Book Company New York. Lusyana, 2007, Pengaruh Penambahan Pasir Sungai Pada Campuran Laston Lapis Aus (ACWC) berdasarkan Spesifikasi kimpraswil 2005, Program TPSDP PNP. Shell Bitumen, 1990, The Shell Bitumen

campuran yang yang tanpa agregat pipih dan lonjong adalah 1260 kg, lebih tinggi dari campuran A yaitu 1210 kg. 3. Dalam penelitian ini, penggunaan partikel pipih dan lonjong Kimpraswil yang melebihi yaitu persyaratan 2005

maksimum 25% untuk kadar pipih dan 10% untuk kadar kelonjongan akan

menunjukkan

kecendrungan

penurunan

kinerja. Perbedaan Kadar Aspal Optimum Marshall antara 2 variasi campuran ini sebesar 0,1% cukup signifikan apabila di kaitkan dengan biaya produksi campuran beraspal dilapangan. Saran 1. Perbedaan penggunaan aspal untuk

Handbook, Shell Bitumen, U.K. Standar Nasional Indonesia, 1991, Pengujian Campuran Beraspal dengan Alat Marshal, SNI No. : 03-2489-1991

campuran A dan B menyebabkan perlu adanya kajian lebih lanjut tentang efisiensi biaya yang diperoleh. 2. Perlu melengkapi kinerja campuran pada penelitian ini dengan melakukan pengujian analitis seperti Wheel Tracking atau

UMATTA.

94

Anda mungkin juga menyukai