Anda di halaman 1dari 23

Hiperthropy Prostat Jinak, Benign Prostat Hiperthropy Posted on 5 February 2011 by ArtikelBedah Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) kebanyakan

dialami pada dekade ke-5 kehidupan pria dan dapat menyebabkan gangguan yang sangat berarti bagi kualitas hidup penderitanya. Telah didemonstrasikan secara histopatologi bahwa evidens kejadian PPJ ditemukan pada 50 % pria setelah berumur 50 tahun. Dan pada umur 80 tahun, hampir 90%. 6,10,11 Pembesaran Prostat akan memberikan gejala-gejala klinik berupa gejala obstruktif yang terjadi akibat penyempitan uretra karena desakan prostat yang membesar yang selanjutnya dinamakan Benign Prostatic Obstruction (BPO) dan peningkatan tonus otot polos prostat yang diperantarai oleh alfa1-adrenergik reseptor dinamakan sebagai Bladder Outlet Obstruction (BOO). Dan gejala iritasi akibat pengosongan yang tidak sempurna saat berkemih atau pembesaran prostat yang menyebabkan rangsangan pada buli-buli sehingga sering berkontraksi sebelum penuh. 24 Pada pembesaran prostat tejadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Normalnya rasio stroma berbanding epitel adalah 2:1, sedangkan pada pembesaran prostat rasio meningkat menjadi 5:1. Jumlah komponen otot polos yang mengalami hipertrofi memperkuat suatu teori bahwa BOO pada pembesaran prostat merupakan suatu proses dinamik akibat dari peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis dengan meningkatnya aktifitas alfa1 adrenoreseptor. Inilah yang menyebabkan tidak adanya korelasi antara besar prostat dan derajat obstruksi. 3,25 Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih disebut trabekula. Mukosa dapat menerobos keluar di antara serat detrusor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula, sedang yang besar disebut divertikulum. Fase penebalan detrusor ini terjadi pada fase kompensasi otot dinding buli-buli. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sepenuhnya. Jika terjadi retensi kronik dan kelemahan otot detrussor akan menambah gejala-gejala pada LUTS (IPSS (Internationale Prostate Symptom Score). 21 1. IPSS (INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE) IPSS merupakan perangkat yang sering digunakan untuk mengevaluasi LUTS dan merupakan kuantifikasi daripada gejala-gejala LUTS akibat pembesaran prostat, dan merupakan pemeriksaan yang mutlak harus dilakukan untuk mengetetahui kemungkinan adanya PPJ disamping penyakit-penyakit lain yang memperlihatkan gejala LUTS. 13

Beberapa peneliti membuat skor gejala-gejala LUTS in misalnya : Boyarski et al (1977) kemudian diikuti oleh Madsen dan Iversen (1983), Fowler et al (1988) dan dua skor lagi yaitu American Urological Association (1991) dan kelompok urologis Danish ( Hald et al) : 1. Skor Boyarski : memiliki 9 pertanyaan, memiliki skor sekitar 0 3. dalam beberapa pertanyaan nilai 0 mewakili tidak adanya keluhan tapi pada pertanyaan yang lain gejala yng muncul kurang lebih sampai 20%. Tingkat keparahan keluhan dapat disamakan dengan frekuensinya misalnya grade 2 buat hesitensy atau dikenal dengan frequent (muncul lebih dari 50%, tapi tidak selalu, dan dapat bertahan lebih dari 1 menit) 2. Skor Madsen-Iversen skor : terdiri dari 9 symptom tapi terdapat 2 yang berbeda dari skor Boyarski. Titik berat dari skor ini adalah beratnya symptom. Skala dari symptom ini bervariasi, sebagai contoh hesitensy memiliki 2 skor yaitu 0 dan 3, mengingat bladder emptying memiliki 5 skor 0 4. 3. Skor Fowler : skor ini terdiri dari 5 symptom, dimana tiap symptom rata-rata skala 5 point. Titik berat dari skor ini adalah kualitas hidup. Beberapa pertanyaan ditanyakan dengan cara yang sedikit berbeda misalnya frekunsi diketahui dengan pertanyaan berikut ini seberapa sering anda harus kencing lagi dalam jangka waktu yang pendek setelah kencing, disuria ditanyakan dengan pertanyaan perasaan seperti terbakar setelah kencing. Skor ini dibuat oleh bagian internis tetapi follow up dilakukan oleh ahli urologis sehingga harus didiskusikan antara kedua bagian tersebut. 4. Skor Danish : terdiri dari 12 symptom dan memperkenalkan faktor bother. Untuk tiap symptom pasien ditanya seberapa jauh symptom ini menggangu mereka. Tiap symptom ini berkisar 0 3 yang merupakan faktor yang mengganggu. Gejala-gejala yang muncul dipilih karena diketahui merupakan gejala dari PPJ. 5. Skor AUA : terdiri dari 7 gejala nilai 0-5. Skor AUA turunan dari skor Fowler dan mempunyai beberapa pertanyaan mengenai kualitas hidup. Gejala-gejala dari AUA dipilih secara seksama berdasarkan pemeriksaan terhadap koofisien gejala yang saling berhubungan dari penelitian-penelitian pendahulu sebelumnya serta didapatkan 17 gejala, dan hubungan antara setiap gejala ini dan dua pertanyaan umum mengenai beratnya gangguan yang disebabkan oleh keseluruhan gejala urinarius. 9 Dari sekian skor ini yang dianggap paling akurat adalah AUA (American Urological Association) yang oleh WHO (1991) diadopsi dan kemudian dinamakan International Prostate Symptom Score (IPSS). Selain kuantifikasi dari gejala LUTS ditambahkan juga kualitas hidup (Quality of Life = QOL). Sebagai tambahan bagian Urologi Jakarta FKUI selain menggunakan IPSS juga menggunakan Skor Madsen dan Iversen. 25 Adapun validasi atau akurasi dari IPSS ini tergantung pada 2 hal yaitu :

Validasi secara langsung melalui pertanyaan yang ditanyakan oleh dokter atau pertanyaan yang diisi oleh pasien. Dengan cara ini validasi merujuk pada pertanyaan yang terstruktur, sehingga bagi pasien tidak membingungkan. Aspek kedua dari validasi adalah pemilihan pertanyaan yang sesuai. Tidak semua skor symptom yang telah dipublikasikan telah divalidasi dari sudut pandang metodologi. Semuanya tidak tersusun secara mendasar melalui evaluasi objektif dari gejala yang dipilih dengan seksama berdasarkan skor khusus. Pemilihan pertanyaan yang sesuai tergantung dari pemahaman terhadap gejala urodinamik dan efek dari gejala tersebut setelah intervensi pengobatan. Sehingga validasi pemilihan gejala didapatkan dari korelasi gejala perindividu dan temuan-temuan urodinamik, secara bersamaan dinilai dengan pencatatan ulang gejala-gejala yang muncul dan parameter-parameter urodinamik setelah pengobatan. 25 Kedua, berdasarkan tingkat pemahaman dan tingkat pendidikan (intelektualitas) pasien. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat korelasi IPSS yang didapatkan dengan besarnya prostat atau volume prostat berdasarkan rectal grading, TRUS atau MRI. Jadi nilai IPSS ini terlalu subjektif. Adapula beberapa hal yang dapat mempengaruhi nilai IPSS yaitu bila ditemukan adanya sistitis atau infeksi saluran kemih. 25 2. RECTAL GRADING Pemeriksaan Colok Dubur atau Digital Rectal Examination selanjutnya akan digunakan kata DRE. Dari pemeriksaan ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung memberikan hasil lebih di bawah daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. 6 Yang paling menentukan dalam mendiagnosa PPJ ialah dengan menggunakan DRE karena gejala-gejala LUTS saja banyak penyakit-penyakit ditemukan pada daerah tersebut yang juga memberikan gejala LUTS seperti striktur urethra, bladder neck contracture, batu, neurogenic bladder, dan lain-lain 28 Syarat yang paling penting dalam melakukan DRE untuk menentukan besarnya prostat ialah dengan bimanual dan buli-buli yang telah dikosongkan. Untuk mencegah perkiraan ukuran prostat yang berlebihan disamping adanya kelainan-kelainan lain intravesical dan dalam rongga panggul. 9 Demikian pula bilamana pada fibrotik prostat, dimana jaringan fibrotik lebih dominan menyebabkan prostat mengkerut akan memberi IPSS yang tinggi sementara hasil DRE dan volume TRUS yang kecil. 10 Didalam penilaian pembesaran prostat ada yang membagi tiga grading, R.E. Tan telah

melakukan penelitian derajat grading rectal, dengan berat prostat setelah prostatektomi di Indonesia sehingga gambaran ini diharapkan dapat digunakan secara umum di Indonesia. 9 Pembesaran ini dibagi atas tiga : 9 - Derajat I: batas atas mudah dicapai. Protrusi dari prostat ke dalam rectum dan pembesaran ke arah latetal - Derajat II : batas atas susah dicapai dengan palpasi jari. Penonjolan prostat yang jelas kedalam rectum dan mengukur batas pembesarannya pada sisi lateral. - Derajat III : batas atas tidak dapat dicapai dengan menggunakan palpasi. Kebanyakan prostat yang sangat besar ini dapat dirasakan di atas pubis. Diketahui batas protusi ke dalam rectum dan pembesaran pada sisi lateral. 9 Besar prostat setelah operasi sebagai berikut : 9 Derajat I : pembesaran prostat memiliki berat berkisar antara 8 sampai 30 gram Derajat II : pembesaran prostat memiliki berat berkisar 30 sampai 50 gram Derajat III : pembesaran prostat memiliki berat lebih dari 50 gram Peneliti lain membagi atas 4 grading Klasifikasi dari prostat grading Rectal Grading : berdasarkan protrusi dari pembesaran kelenjar prostat Derajat I : 1 2 cm, batas atas mudah dicapai. Derajat II : 2 3 cm, batas atas dapat dicapai. Derajat III : 3 4 cm, batas atas dapat dicapai ketika daerah suprapubik ditekan dengan tangan kiri. Derajat IV : > 4 cm, batas sulit dicapai walaupun dengan penekanan pada daerah suprapubik. 13,21 Menurut peneliti yang membagi dalam 4 grading ini besarnya prostat berdasarkan jaringan prostat yang diangkat. Grading: Bergman,Turner Barnes, Hadley,Turner, Belt Weight of tissue removed Weight of tissue removed 1 - About 20 gm - 10 25 gm 2 - About 40 gm - 26 50 gm 3 - About 70 gm - 51 100 gm 4 - More than 120 gm - More than 100 gm Tetap tidak ada paralelisma besarnya prostat dengan clinical grading yang berdasarkan urine sisa ataupun dengan hebatnya gejala-gejala LUTS. 10

3. UROFLOWMETRI Adapun pemeriksaan lain yang dapat menentukan indikasi operasi yaitu pemeriksaan uroflowmetri dimana dapat diketahuinya kekuatan pancaran kencing Urine flow menurun pada populasi laki-laki usia tua. Laki-laki normal usia 60 tahun tidak akan sama aliran urinenya dibanding dengan laki-laki normal usia 20 tahun. Pada laki-laki sebelum usia 45 Q max : 18ml/dtk sampai usia 55 tahun : 15 ml/dtk dan usia lebih dari 65 tahun : 13 ml/dtk. Penilaian dari rata-rata volume dari Q max : - > 15 ml/dtk : non obstruksi - 10 15 ml/dtk : borderline - < 10 ml/dtk : obstruktif. 10,21 Pemeriksaan ini tidak termasuk dalam penelitian kami. 4. TRANSRECTAL ULTRASONOGRAPHY (TRUS) Sesuai dengan rekomendasi dari International Consensus Committee WHO (1993) di Paris. TRUS ini hanya termasuk optional test untuk mengukur besarnya prostat yang dapat dipakai menentukan teknik operasi yang akan dilakukan apakah open prostatektomi atau TUR-P disamping itu juga digunakan sebagai penuntun untuk melakukan biopsi pada daerah yang dicurigai adanya malignancy/keganasan yang memberikan gambaran hypoechoic. 14,27 TRUS memberikan gambaran volume prostat yang lebih akurat dibandingkan dengan DRE. Pada sebagian kasus, ketepatan pengukuran volume prostat dengan TRUS berhubungan dengan gejala2 LUTS. 23 Untuk mendapatkan volume prostat secara akurat, harus dibuat pengukuran secara akurat dalam 3 dimensi; anterior-posterior; coronal; dan sagital. Berat prostat dalam gram, kurang lebih sama dengan volumenya karena berat berat jenis prostat adalah antara 1 1,05 Dua cara yang umum dipakai untuk mengukur prostat : 1. Kalau prostat dianggap berbentuk spheris, maka volumenya adalah 4/3 r3, dimana r adalah diameter (radius), karena spheris maka ketiga nilai r nya adalah sama. 2. Pengukuran perkiraan volume (ini lebih umum dan akurat), dalam menggunakan rumus untuk bangun ellipsoid, karena jika dilihat secara 3 dimensi, prostat bentuknya lebih mirip ellipsoid. Rumus volumenya = 0,52 x d1 x d2 x d3,dimana nilai d mewakili diameternya, diameter adalah axial dan sagital yang didapat dari sisi terpanjang dan sisi terlebar pada saat pengukuran kelenjar prostat. 27

Maka dalam menghitung volume TRUS digunakan rumus d1 x d2 x d3 x /6 /6 = 0,52 d1 x d2 x d3 x 0,52 Alternative lainnya, perkiraaan dapat dicapai dalam menggunakan serial scanning prostat dimulai dari basis ke apexnya. Volume prostat ini mungkin mewakili keseluruhan prostat, juga termasuk zona transisi, tergantung dimana dimensi markernya ditempatkan selama pengukuran dalam TRUS. Rumus yang sama dapat dipakai untuk mengukur residual urine dan volume buli-buli jika dianggap bentuknya adalah kuboid dalam penilaian konstatanya adalah 0,7, sehingga rumus pengukurannya adalah 0,7 x d1 x d2 x d3 dengan akurasi berkisar 80 85 %. Ukuran buli-buli dan urine sisa adalah dua parameter penting yang merupakan indikasi cepat dan derajat kesembuhan post operasi dan remisi gejala prostat. 27 Dalam penelitian ini, kita hanya mencoba untuk mencari sampai sejauh mana korelasi antara volume prostat baik menurut TRUS maupun berdasarkan DRE dengan kuantitas gejala-gejala LUTS (IPSS). 13 DAFTAR PUSTAKA 1. Rahardjo,D. Prostat: kelainan-kelainan jinak, diagnosis, dan penanganannya. Jakarta: Asian Medical ; 1999.p.15-44 2. Speakman, M.J., Kirby, R.S., Joyce, A, Abrams, P. : Guidelines for the primary care management of male lower urinary tract symptoms. BR J Urol Int 2004; 93:985-90. 3. Boyle, P, Gould.A.W, Roehborn, C.G. In : Prostat volume predict outcome of treatment of benign prostatic hyperplasia with finasteride: metaanalysis of randomized clinical trial. Urology 1996;48;398-405 4. Roehborn, C.G, Girman, C.J, Rhodes T, Hanson, K.A, Collins,G.N, Sech, S.M, et al. In : Correlation between prostte size estimated by digital rectal examination dan measured by transrectal ultrasound. Urology 1997;49(4):548-57. 5. Ez, El Din K. Kiemeney, L.A.L, de Wildt, M.J.A.M, et al. In : Correlation between uroflowmetry, prostate volume, postvoid residue, and lower urinary tract symptoms as measured by the International Prostate Symptom Score, Urology 48: 393-397,1996 6. Claus, G, Roehrborn, M.D, John,D. Mc .Conell, M.D. In : Etiology, pathophysiologhy, and Natural history of Benign Prostatic Hyperplasia. In Campbells Urology. 8th ed. Chapter 38. Elsevier. 2002.Page 1297-1303. Margaret S Pearle, John D McConell, Paul C Pieter, Benign Prostatic Hyperplasia. Principle of Surgery, Chapter 38. Seventh Edition, McGraw-Hill. Health Profession Division. New York. 1999. Page 1784-1788.

7. Purnomo, B. Dalam asar-dasar Urologi. Edisi ke-2. Jakarta. CV infomedika;2003. H.69-85 8. Graham, Sam .D, Keane, Thomas, E., Glenn, James, F, In : Prostate. Chapter V, Glenns Urologic Surgery, Fifth Edition, lippincot Williams & Wilkins, 2004,p.231-234 9. Tan, R. E. In : Some aspects of prostatic hypertrophy. The diagnosis : the rectal digital examination. The Paragon Press, Malang, 1959, halaman: 71 10. Jian-ye, W., Ming, L., Yao-guang, Z., etc. In : Relationship between lower urinary tract symptoms and objective measures of benign prostatic hyperplasia : a Chinese survey. Departement of Urology, Beijing Hospital, China, Chinese Medical Journal,2008,Vol.121 No.20 : 2042-2045 11. Raymon, J.L., In : Benign Prostatic Hypertrophyc. http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview 12. S.,Jacobsen, D, Jacobson, C, Girman., R, Roberts., T, Rhodes, H. Guess, M. Lieber.http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0022534705682717 . In : Treatment for Benign Prostatic Hyperplasia among Community Dwelling Men: the Olmsted County Study of Urinary Symptoms and Health Status the Journal of Urology, volume 162, issue 4, pages 1301-1306 13. Abrams,P. etc. In : Lower Urinary tract Symptom : Etiology, Patient Assesment and Predicting Outcome from Therapy. Male Lower Urinary Tract Dysfunction Evaluation and Management. Edisi 21, 2006. p:96-99 14. Finesteride, M.S.D., In : Benign Prostatic Hyperplasia, Modern Management with Proscar Merck,Ci,Inc. White House Station, New York, USA, 1995 15. Tanagho, E.A.., In : Urodynamic Studies. In Smiths General Urology, Professor of Urology University of California School of Medicine San Fransisco, 15ed, McGraw-Hill Co., 2000, pages 516-537 16. Sung Ho Kim ,M.D, Seung Hyup Kim ,MD, In : Correlations between the various methods of estimating prostate volume : transabdominal, transrectal, and ThreeDimensional US. Korean Journal 2008;9:134-139 17. Mark Greenberg, M.D., Harvey, M.D., In :Ultrasound of the Prostate. Radiology. 1982 18. Sugandh Shetty, M.D., In : Transrectal Ultrasonography (TRUS) of the prostate. Departement of Urology, William Beaumont Hospital, 2008 19. Esequiel, R. Jr. etc. In : Prostate Volume Estimation Using the Ellipsoid Formula Consistently Underestimates Actual Gland Size. The Journal of Urology,Departement of Urology, University of California Irvine, California,February 2008 20. S. Jacobsen, D. Jacobson, C. Girman, R. Roberts, T. Rhodes, h. Guess, M.

Lieber.http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0022534705682717 . Treatment for Benign Prostatic Hyperplasia among Community Dwelling Men: the Olmsted County Study of Urinary Symptoms and Health Status the Journal of Urology, volume 162, issue 4, pages 1301-1306 21. Sjamsuhidajat, R, de Jong, W, Dalam : Hipertrofi Prostat dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997, hal : 1058-1063 22. Grayhack, J.T., Mc Vary, K, Kozlowski, J.M., In : Benign Prostatic Hyperplasia in : Adult and Pediatric Urology, 4th ed, volume 2, Lippincott Williams and Wilkins, page : 424-425 23. Stern, J.K., In : Prostate Anatomy and Causative Theories, Pathophysiology and Natural History Of BPH in : Management Of BP. Northwern University Feinberg School of Medicine, Chicago, Humana Press, New Jersey, 2004, page : 14-15 24. Kirby, R.S., Christmas, T.J., Endocrine and Pathogenesis in: Benign Prostatic Hyperplasia, 2nd edition, Mosby International, Texas, USA, 1997, page : 15 24 25. Freire, G.C., In :BPH : The Basis of Pharmacological Treatment in: Societe Internationale Durologic Reports Non-surgical Treatment of BPH. Edited by Fitzpatrick, Churchill Livingstone,1992, page : 50 26. Oelke, M, Aliviztos, G, etc. In : Benign Prostatic Hyperplasia. In EAU Guidelines Pocket, March. 2005. page 4-11. 27. Narayan, P, Foster, L., In : The Role of Intravenous Urography, Ultrasonography, Computed Tomography and Magnetic Resonance Imaging in the Evaluation of Men With Symptomatic Benign Prostatic Hyperplasia in Problems in urology Controversies and advances in the treatment of benign prostatic hyperplasia. Volume 5, number 3 september 1991 page 372-373 28. Nageswara, C, et al. In : Causes of lower unrinary tract symptoms in adults Indian males. Indian journal of urology.

A. Pengertian

Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998). Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193). B. Etiologi Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti. Tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benigne Prostat Hypertropi yaitu testis dan usia lanjut. Ada beberapa teori mengemukakan mengapa kelenjar periurethral dapat mengalami hiperplasia, yaitu : Teori Sel Stem (Isaacs 1984) Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa berada pada keseimbangan antara pertumbuhan sel dan sel mati, keadaan ini disebut steady state. Pada jaringan prostat terdapat sel stem yang dapat berproliferasi lebih cepat, sehingga terjadi hiperplasia kelenjar periurethral.

Teori MC Neal (1978) Menurut MC. Neal, pembesaran prostat jinak dimulai dari zona transisi yang letaknya sebelah proksimal dari spincter eksterna pada kedua sisi veromontatum di zona periurethral.

C. Anatomi Fisiologi Kelenjar proatat adalah suatu jaringan fibromuskular dan kelenjar grandular yang melingkari urethra bagian proksimal yang terdiri dari kelnjar majemuk, saluran-saluran dan otot polos terletak di bawah kandung kemih dan melekat pada dinding kandung kemih dengan ukuran panjang : 3-4 cm dan lebar : 4,4 cm, tebal : 2,6 cm dan sebesar biji kenari, pembesaran pada prostat akan membendung uretra dan dapat menyebabkan retensi urine, kelenjar prostat terdiri dari lobus posterior lateral, anterior dan lobus

medial, kelenjar prostat berguna untuk melindungi spermatozoa terhadap tekanan yang ada uretra dan vagina. Serta menambah cairan alkalis pada cairan seminalis. D. Patofisiologi Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

E. Tanda dan Gejala 1. Hilangnya kekuatan pancaran saat miksi (bak tidak lampias) 2. Kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih. 3. Rasa nyeri saat memulai miksi/ 4. Adanya urine yang bercampur darah (hematuri). F. Komplikasi 1. Aterosclerosis 2. Infark jantung 3. Impoten 4. Haemoragik post operasi 5. Fistula 6. Striktur pasca operasi & inconentia urine G. Pemeriksaan Diagnosis 1. Laboratorium Meliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin. 1. Radiologis

Intravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997). 1. Prostatektomi Retro Pubis Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat. 1. Prostatektomi Parineal Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum. H. Penatalaksanaan 1. Non Operatif Pembesaran hormon estrogen & progesteron Massase prostat, anjurkan sering masturbasi Anjurkan tidak minum banyak pada waktu yang pendek Cegah minum obat antikolinergik, antihistamin & dengostan Pemasangan kateter. 1. Operatif Indikasi : terjadi pelebaran kandung kemih dan urine sisa 750 ml TUR (Trans Uretral Resection) STP (Suprobic Transersal Prostatectomy) Retropubic Extravesical Prostatectomy) Prostatectomy Perineal A. Pengkajian 1. Data subyektif : Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.

Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual. Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan. Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.

2. Data Obyektif : Terdapat luka insisi Takikardi Gelisah Tekanan darah meningkat Ekspresi w ajah ketakutan Terpasang kateter B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul 1. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter 2. Kurang pengetahuan : tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi 3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan C. Intervensi 1. Diagnosa Keperawatan 1. : Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.

Kriteria hasil : Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.

Pasien dapat beristirahat dengan tenang. Intervensi : Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 10) Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi) Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang) Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi Lakukan perawatan aseptik terapeutik Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat. 2. Diagnosa Keperawatan 2. : Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi Tujuan : Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan . Kriteria hasil : Klien akan melakukan perubahan perilaku. Klien berpartisipasi dalam program pengobatan. Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan.

Intervensi : Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu.

Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan. Pemasukan cairan sekurangkurangnya 2500-3000 ml/hari. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh. 3. Diagnosa Keperawatan 3. : Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

Tujuan : Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi

Kriteria hasil : Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup. Klien mengungkapan sudah bisa tidur. Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.

Intervensi : Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri (analgesik).

BENIGNA HIPERTROPI PROSTAT (BPH) A. DEFINISI BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

B. ETIOLOGI Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat pula dianggap undangan(counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin. Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi dari BPH adalah: v Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen.o Ketidakseimbangan endokrin. v Faktor umur / usia lanjut. v Unknown / tidak diketahui secara pasti. C. ANATOMI FISIOLOGI Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata:- Panjang 3.4 cm- Lebar 4.4 cm- Tebal 2.6 cm. Secara embriologis terdiro dari 5 lobur:- Lobus medius 1 buah- Lobus anterior 1 buah- Lobus posterior 1 buah- Lobus lateral 2 buahSelama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi saru disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari:

- Kapsul anatomis - Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler- Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian: o Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya o Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatus zone o Di sekitar uretra disebut periuretral gland Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada oran dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba.Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan keluar cairan seperti susu.Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.

D. PATOFISIOLOGI Menurut syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 adalah Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih.Pada beberapa kasus jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin, maka

terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis.Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban solutlainya meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia.Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat.Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas

E. PATHWAY Obstruksi uretra Penumpukan urin dlm VU Pembedahan/prostatektomiKompensasi otot destrusorSpasme otot spincterMerangsang nociseptorHipotalamusDekompensasi otot destrusorPotensi urinTek intravesikalRefluk urin ke ginjalTek ureter & ginjal meningkatGagal ginjalRetensi urinPort de entre mikroorganismekateterisasiLuka insisiResiko disfungsi seksualNyeriResti infeksiResiko kekurangan vol cairanResiko perdarahan: resiko syok hipovolemikHilangnya fungsi tbhPerub pola eliminasiKurang informasi ttg penyakitnyaKurang pengetahuanHyperplasia periuretralUsia lanjutKetidakseimbangan endokrinBPH F. MANIFESTASI KLINIS Walaupun Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu:1. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih2. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis.Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertrofi:a.

Retensi urinb. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencingc. Miksi yang tidak puasd. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)e. Pada malam hari miksi harus mengejanf. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria)g. Massa pada abdomen bagian bawahh. Hematuriai. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin)j. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksik. Kolik renall. Berat badan turunm. AnemiaKadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selaputnya merusak ginjal.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan: 1. LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin 2. RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997). 3. Prostatektomi Retro PubisPembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat. 4. Prostatektomi ParinealYaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum. H. KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalaha. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksic. Hernia / hemoroidd. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batue. Hematuriaf. Sistitis dan Pielonefritis

I. FOKUS PENGKAJIAN Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi dapat penulis kelompokkan menjadi: a) Data subyektif : o Pasien mengeluh sakit pada luka insisi. o Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual. o Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan o Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa. b) Data Obyektif: o Terdapat luka insisi o Takikardi o Gelisah o Tekanan darah meningkat o Ekspresi w ajah ketakutan o Terpasang kateter

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Gangguan rasa nyamam: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter 2. Perubahan pola eliminasi : retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder 3. Disfungsi seksual berhubungan dengan hilangnya fungsi tubuh 4. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entre mikroorganisme melalui kateterisasi

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya.

K. RENCANA KEPERAWATAN 1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat. Kriteria hasil: a. Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang b. Pasien dapat beristirahat dengan tenang. Intervensi: c. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri. d. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi) e. Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah f. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang) g. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasif. Lakukan perawatan aseptik terapeutikg. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat 2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder. Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 5-7 hari pasien tidak mengalami retensi urin

Kriteria : Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih. Intervensi : a. Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril b. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup c. Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit lembab, takikardi, dispnea) d. Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau jaringan e. Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari kedua post operasi) f. Ukur intake output cairang. Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra indikasih. Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya. 3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh Tujuan : Setelah dilakukan perawatn selama 1-3 hari pasien mampu mempertahankan fungsi seksualnya Kriteria hasil : Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual dan aktivitas secara optimal. Intervensi : a. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan perubahannya

b. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat c. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual d. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual e. Beri penjelasan penting tentang: f. Impoten terjadi pada prosedur radikal g. Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal h. Adanya kemunduran ejakulasif. Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4 minggu) setelah operasi. 4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entre ikroorganisme melalui kateterisasi Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 1-3 hari pasien terbebas dari infeksi Kriteria hasil: a. Tanda-tanda vital dalam batas normal b. Tidak ada bengkak, aritema, nyeri c. Luka insisi semakin sembuh dengan baik Intervensi: a. Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril. b. Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan, kebocoran) c. Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan drainage d. Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin dressing

e. Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin) 5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 1-2 hari Kriteria : Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan mendemonstrasikan perawatan Intervensi : a. Motivasi pasien/ keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang penyakit, perawat b. Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang: o Perawatan luka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter o Perawatan di rumahc. Adanya tanda-tanda hemoragi

Anda mungkin juga menyukai