Anda di halaman 1dari 30

BAB I PENGERTIAN DASAR PERPAJAKAN

A. Timbulnya Pemungutan Pajak: Suatu Konsekuensi Logis dalam Hidup Bermasyarakat Iuran dan pungutan timbul karena adanya suatu pernyataan mengenai siapa yang akan membiayai segala kepentingan dan kebutuhan bersama. Dalam suatu lingkungan peradaban, manusia pasti mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sama seperti misalnya kepentingan akan rumah peribadatan, kebersihan lingkungan, keamanan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Karena itu dari antara mereka timbullah pertanyaan-pertanyaan seperti: Siapa yang akan membiayai seluruh kepentingan tersebut diatas, dari mana dana pembangunannya diperoleh, dan siapa yang akan mengurus itu semua? Jika kelompok di atas ingin mewujudkan keinginan itu, mereka mau tidak mau harus memenuhinya sendiri. Jalan yang mereka tempuh yang mereka pikir paling baik untuk situasi dan kondisi mereka adalah masing-masing memberikan sumbangan dan membentuk suatu tim untuk mengelola sumbangan itu guna merealisasikannya keinginan mereka. Semakin besar dan semakin banyak kepentingan bersama yang diinginkan, semakin kompleks juga cara merealisasikannya, sebagaimana cara mengumpulkan dana, kapan waktu yang tepat untuk mengumpulkan dana, kepada siapa dana tersebut diminta, siapa yang akan melaksanakan pengumpulan dana, dan bagaimana dana tersebut didistribusikan untuk segala keperluan, perlukah dibuatkan skala prioritasnya, dan banyak lagi hal yang perlu dipikirkan dan di pertimbangkan dengan masak dan seksama. B. Sistem Pemungutan Pajak Secara umum system pemungutan pajak yang berlaku ada empat cara: 1. Official Assessment System. 2. Semi Self Assessment System 3. Full Self Assessment System 4. Withholding System Berdasarkan sejarah, kita mempunyai beberapa system pemungutan pajak yang pernah dilaksanakan di Indonesia, yakni: System Official Assessment, dilaksanakan sampai pada tahun 1967. System Semi Self Assessment dan Withholding dilaksanakan pada periode 19681983. System Full Self Assessment, dilaksanakan secara efektif pada tahun 1984 atas dasar perombakan perundang-undangan perpajakan pada tahun 1983.

Penerapan Official Assessment System

Jadi, dalam system ini, para Wajib Pajak (selanjutnya kami sebut WP) bersifat pasif dan menunggu ketetapan fiscus mengenai uatng pajaknya.

Penerapan Semi Self Assessment System Semi Self Assessment System adalah suatu system pemungutan pajak dimana

wewenwng untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada kedua belah pihak yaitu WP dan fiscus. Di Indonesia system Semi Self Assessment diterapkan bersama-sama dengan system Withholding, yang pada waktu itu dikenal dengan sebutan tata cara MPS dan MPO. Withholding adalah suatu system pemungutan pajak di mana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang WP itu sendir.

Penerapan Full Self Assessment System Dari pengertian ini jelas bahwa penekanannya adalah WP harus aktif menghitung

dan melaporkan jumlah pajak terutangnya tanpa campur tangan dari fiscus. C. Stelsel-stelsel Pemungutan Pajak Dari uraian mengenai system pemungutan pajak di atas, lebih jauh dapat diungkapkan bahwa tata cara pemungutan pajak yang dilakukan dalam berbagai tingkatan system pemungutan di atas berdasarkan stelsel-stelsel sebagai berikut: Stelsel Nyata. Stelsel ini menerangkan bahwa pemungutan pajak baru dapat dilaksanakan pada akhir tahun setelah mengetahui penghasilan sesungguhnya yang diperoleh dalam masa pajak yang bersangkutan. Stelsel Anggapan. Dalam stelsel ini pemungutan pajakdapat dilakukan pada awal tahun pajak, karena berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku hal ini dimungkinkan untuk dilaksanakan berdasarkan sduatu anggapan penerimaan/pendapatan yang diperoleh oleh WP. Anggapan ini dapat menggunakan perbandingan data antara penerimaan/pendapatan WP pada tahun sebelumnya yang dianggap sama dengan pendapatan yang akan diperoleh tahun sekarang. Stelsel Campuran. Dari nama saja dapat disimpulkan bahwa dalam stelsel ini berlaku pengenaan pajak pada awal tahun yang didasarkan pada suatu anggapan dan pada akhir tahun yang didasarkan pada suatu kenyataan, sehingga menurut stelsel ini akan terjadi perhitungan kembali untuk menentukan masalah kelebihan atau kekurangan pajak.

D. Kendala-kendala yang Dihadapi

Kendala-kendala yang selau timbul dalam suatu system perpajakan adalah bagaimana menciptakan suatu system yang dapat menghasilkan suatu pengertian yang baik antara masyarakat sebagai pembayar pajak dan pemerintah selaku pembuat peraturan dan UU Perpajakan.

PERATURAN DAN UNDANG-UNDANG MASYARAKAT WAJIB PAJAK

PEMERINTAHAN

PEMBANGUNAN NASIONAL

Keterangan: 1. 2. 3. Pemerintah bersama-sama dengan para wakil rakyat melaksanakan pembuatan Peraturan dan Undang-Undang Perpajakan yang ditujukan kepada masyarakat WP. Masyarakat membayar pajak setelah mengerti tata cara pembayaran dan perhitungan perpajakan kepada pemerintah. Pajak yang dibayarkan digunakan bagi kepentingan kedua belah pihak baik negara maupun masyarakat, untuk meningkatkan dan memantapkan pembangunaan Nasional.

Pemerintah juga wajib memberikan pengertian kepada masyarakat, memberikan bimbingan dan penyuluhan serta menerbitkan buku-buku peraturan, prosedur dan perhitungan pajak. Kendala-kendala yang timbul dalam melaksanakan kebijaksanaan di atas khususnya masalah bimbingan dan penyuluhan masih sangat terasa, karena perbandingan antara tim penyuluh dan jumlah anggota masyarakat sangat tidak sebanding. Perlawanan Pasif dan Perlawanan Aktif Perlawanan Pasif merupakan produk dari ketidatahuan masyarakat terhadap pengetahuan perpajakan.

Bentuk perlawanan pasif ini sangat berbeda dengan bentuk Perlawanan Aktif, yang justru dilakukan oleh mereka yang sudah mengetahui peraturan dan permainan pajak dengan baik. Perlawanan aktif adalah suatu bentuk perlawanan yang berisiko tinggi karena dalam perlawanan ini jelas-jelas pelakunya menghindar dari kewajiban perpajakan dan bahkan melalaikan serta bermain di dalamnya. Apapun

bentuk perlawanan pajak yang ada, semuanya sama-sama merugikan negara. E. Pihak dan Aspek yang erkait dalam Perpajakan Perpajakan bukanlah monopoli pemerintah, melainkan melibatkan banyak pihak dan aspek. Pembahasan perpajakan tidak akan pernah lepasdari masalahbagaimana menghitung, memotong, menyetor dan melaporkan pajak. Dalam melakukan perhitungan pajak, sangat penting untuk mengetahui terlebih dahulu keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa yang melibatkan objek, subjek dan tariff pajak, yang merupakan tiga aspek terkait yang tak terpisahkan. Keberadaan ketiga aspek terkait di atas objek, subjek dan tariff berikut segala peraturan yang mendasari hubungan hukuman antara fiscus dan WP, sebenarnya tidak lain dari materi yang terkandung dalam norma-norma hokum pajak material. Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Hukum Pajak Material Adalah hokum yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatanperbuatan dan peristiwa-peristiwa yang melibatkan secara langsung masalah objek, subjek dan tariff serta peraturan-peraturan yang mendasari hubungan hokum antara pemerintah dengan para WP. Hukum yang isinya memuat tata cara pelaksanaan hokum pajak material menjadi sesuatu yang nyata dan realistis adalah hokum pajak formal. Pihak-pihak itu tercermin dari definisi yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemintro dalam bukunya Pajak dan Pembangunan, sebagai berikut:
Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai publicinvesment.

Dan dari definisi pajak menurut Prof. S I Djajadiningrat yang dikutip dari buku Perpajakan, Drs. Munawir, Akuntan Liberty, Yogyakarta, hal 3 sebagai berikut:
Pajak sebagai suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.

Pemerintah, Masyarakat, Undang-Undang dan Kepentingan Umum Fungsi pemerintah dalam perpajakan adalah sebagai pemrakarsa terjalinnya

hubungan antara masyarakat dan pemerintah dalam pemungutan pajak. Dalam menyusun Undang-undang perpajakan secara umum selalu di perhatikan hal-hal sebagai berikut: Adanya jaminan pelaksanaan pemungutan pajak oleh negara yang berjalan dengan lancar. Adanya jaminan hokum yang tegas bagi para WP. Adanya jaminan kerahasiaan mengenai orang pribadi atau badan selaku WP.

Ciri cirri umum bentuk jalinan antara pemerintah dan masyarakat dalam system perpajakan adalah sebagai berikut: Adanya peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara. Tidak ada jasa balik dari negara secara langsung Digunakan untuk kepentingan umum (public investments) Diatur dalam Undang-Undang. Dalam GBHN, fungsi pajak juga biasa untuk mengendalikan kebijaksanaan negara, karena secara otomatis kalau pembangunan dibiayai dari pajak, masyarakat yang membayar pajak punya peran untuk turut mengontrol berbagai kebijaksanaan negara melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua fungsi di atas lebih umum dikenal dengan sebutan fungsi Budgetair, dan fungsi Regulerend. F. Pengelolaan dan Pemungutan Pajak Pengelola dan pemungut pajak adalah pemerintah. Di Indonesia, pemerintahan secara umum dibagi menjadi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat lebih ditekankan untuk mengurusi semua kepentingan negara pada umumnya, sedangkan Pemerintah Daerah hanya mengurusi kepentingan daerahnya saja. Pajak Pusat adalah pajak yang dikelola dan dipungut oleh Negara, seperti : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai atas barang/jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Meterai. Pajak Daerah adalah pajak yang pengelolaan dan pemungutannya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan untuk kepentingan daerah itu sendiri, seperti: Pajak Reklame, Pajak Pembangunan I, Pajak Kendaran Bermotor, Bea Balik Nama, Pajak Tontonan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Anjing dan Pajak daerah lainnya. G. Siapa yang Memungut Pembanyaran Pajak dan Bagaimana Pajak Ditanggung oleh Pembayar Pajak. Yang menanggung pembayaran pajak menurut UU KUP No. 9 th 1994 adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban WP menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Yang dimaksud dengan Pajak Langsung adalah keadaan dimana WP dapat melimpahkan kewajibannya kepada pihak lain (pihak ke 3)

H. Pertimbangan dalam Pemungutan Pajak

Pertimbangan yang dilakukan dalam pemungutan pajak pada prinsipnya harus memperhatikan keadilan dan keabsahan dalam pelaksanaannya. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan keabsahan tersebut perlu diperhatikan asas-asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation, mengenai The Four Maxims sebagai berikut: Asas Equality, Dalam asas ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan masing-masing subjek pajak. Asas Certainty, dalam asas ini ditekankan pentingnya kepastian mengenai pemungutan pajak. Asas Convenience of Payment, dalam asas ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Asas Efficiency, dalam asas ini ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak. I. Teori-teori Pemungutan Pajak Ada beberapa teori yang mendukung prinsip-prinsip keadilan dan keabsahan, sebagaimana berikut : Teori Asuransi Dalam teori ini ditekankan keadilan dan keabsahan pemungutan pajak seperti yang berlaku dalam perjanjian asuransi, dimana perlindungan yang diberikan oleh negara kepada warganya dalam bentuk keselamatan dan keamanan jiwa serta harta benda diperlukan suatu pembayaran dalam bentuk pajak. Teori Kepentingan Dalam teori ini ditekankan mengenai keadilan dan keabsahan pemungutan pajak berdasarkan besar kecilnya kepentingan masyarakat dalam suatu negara. Teori Bakti Dalam teori ini, negara berperan sebagai bapak yang memberikan dan membiayai berbagai keperluan umum bagi anak-nya, yaitu masyarakat. Sebagai anak yang berbakti terhadap bapaknya, masyarakat memberikan pajak kepada negara, sebagai tanggapan atas pemberian-pemberian itu. Teori Daya Pikul Kemampuan dan kekuatan untuk menghidupi diri sendiri dan kemampuan untuk memikul beban kehidupan lainnya, seperti; tanggungan pasangan hidup, keturunan dan tanggungan serta biaya operasional hidup lainnya. Teori Daya Beli Keadilan dan keabsahan pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara ini lebih cenderung melihat aspek akibat yang baik terhadap kedua belah pihak-masyarakat dan negara-sehingga negara dapat memanfaatkan

kekuatan dan kemampuan beli (daya beli) masyarakat untuk kepentingan negara, yang pada akhirnya akan dikembalikan atau disalurkan kemabali kepada masyarakat. J. Pajak Subjektif dan Pajak Obektif Pajak Subektif Yang dimaksud dengan Pajak Subektif berdasarkan kriteria di atas adalah pajak yang besar kecilnya tergatung pada WP-nya (subjek pajak). Itu berarti bahwa dalam diri WP (subjek) melekat status WP- apakah masih sendiri, kawin, dan/atau memiliki tanggungan-yang merupakan beban yang harus diterima (daya pikul) sebelum WP tersebut dinyatakan memenuhi syarat untuk membayar pajak. Pajak Objektif Kebijaksanaan fiskal adalah satu kebijaksanaan makro ekonomi yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan kondisi perekonomian (sebagai stabilisator perekonomian). GBHN mnenegaskan bahwa Pembangunan nasional memerlukan investasi dalam jumlah besar, yang pelaksanaannya harus berlandaskan kemampuan sendiri, sedangkan bantuan luar negeri merupakan perlengkapan. Oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengerahkan dana-dana investasi yang bersumber pada tabungan masyarakat, tabungan pemerintah serta penerimaan devisa yang berasal dari eksport dan jasa. Pengerahan dana-dana investasi tersebut harus ditingkatkan dengan cepat, sehinggga peranan bantuan luar negeri yang merupakan pelengkap tersebut semakin berkurang dan pada akhirnya mampu membiayai sendiri seluruh pembangunan. Jelas peranan pajak dalam kepentingan di atas menjadi primadona pembiayaan pembangunan, karena semakin besar penerimaan pemerintah dari sektor pajak di banding biaya-biaya rutin yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Arti Penting Pajak Bagi Masyarakat Peranan masyarakat dalam keikutsertaan menjalankan roda pemerintah besar sekali. Kontribusi masyarakat melalui pembayaran pajak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berupa pelayanan untuk umum, membiayai pendidikan, memperbaiki fasilitas kesehatan, perumahan, air minum, listrik transportasi, memberi gaji kepada pegawai negeri sipil, fasilitas keamanan dan banyak hal lainnya yang ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dan negara.

L. Tarif dan Pengertiannya Tarif merupakan suatu pedoman dasar dalam menetapkan berapa besarnya utang pajak orang pribadi maupun badan, selain sebagai sarana keadilan dalam penetapan utang pajak. Jenis tarif dan variasinya yang ada. Tarif tetap Tarif tetap adalah bentuk tarif yang besarnya tetap terhadap berbagai nilai objek yang dikenakan pajak. Misalnya bentuk tarif yang ditetapkan untuk Bea Meterai. Tarif Proporsional Tarif Proporsional disebut juga sebagai tarif sebanding yang artinya dikenakan dengan presentase tetap terhadap nilai dari objek pajak. Tarif Progresif Tarif Progresif adalah bentuk tarif yang persentase pengenaannya akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan pernerimaan orang pribadi maupun badan. Dalam penerapannya, pengenaan tarif progresif dapat berupa progresif-progresif , progresif-degrisif, dan progresif-proporsional. Progresif-progresif Yang dimaksud dengan pengenaan tarif progresif-progresif adalah pengenaan tarif dengan persentase meningkat yang diikuti peningkatan persentase pada setiap margin peningkatannya, seperti contoh berikut ini:
Penghasilan sampai dengan Rp. 25.000.000,00 tarifnya 10% Penghasilan diatas Rp. 25.000.000,00 sampai Rp. 50.000.000,00 tarifnya 15% Penghasilan diatas Rp. 50.000.000,00 tarifnya 20%

Tarif Degresif Tarif Degresif adalah tarif yang persentase pengenaannya akan semakin menurun sejalan dengan pertambahan penghasilan. Sama halnya dengan tarif progresif diatas, tarif degresif dalam penerapannya juga dapat berupa Degresif-progresif, Degresif-degresif, dan Degresif-proporsional.

I. Teori-teori Pemungutan Pajak Ada beberapa teori yang mendukung prinsip-prinsip keadilan dan keabsahan, sebagaimana berikut : Teori Asuransi Dalam teori ini ditekankan keadilan dan keabsahan pemungutan pajak seperti yang berlaku dalam perjanjian asuransi, dimana perlindungan yang

diberikan oleh negara kepada warganya dalam bentuk keselamatan dan keamanan jiwa serta harta benda diperlukan suatu pembayaran dalam bentuk pajak. Teori Kepentingan Dalam teori ini ditekankan mengenai keadilan dan keabsahan pemungutan pajak berdasarkan besar kecilnya kepentingan masyarakat dalam suatu negara. Teori Bakti Dalam teori ini, negara berperan sebagai bapak yang memberikan dan membiayai berbagai keperluan umum bagi anak-nya, yaitu masyarakat. Sebagai anak yang berbakti terhadap bapaknya, masyarakat memberikan pajak kepada negara, sebagai tanggapan atas pemberian-pemberian itu. Teori Daya Pikul Kemampuan dan kekuatan untuk menghidupi diri sendiri dan kemampuan untuk memikul beban kehidupan lainnya, seperti; tanggungan pasangan hidup, keturunan dan tanggungan serta biaya operasional hidup lainnya. Teori Daya Beli Keadilan dan keabsahan pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara ini lebih cenderung melihat aspek akibat yang baik terhadap kedua belah pihak-masyarakat dan negara-sehingga negara dapat memanfaatkan kekuatan dan kemampuan beli (daya beli) masyarakat untuk kepentingan negara, yang pada akhirnya akan dikembalikan atau disalurkan kemabali kepada masyarakat. J. Pajak Subjektif dan Pajak Obektif Pajak Subektif Yang dimaksud dengan Pajak Subektif berdasarkan kriteria di atas adalah pajak yang besar kecilnya tergatung pada WP-nya (subjek pajak). Itu berarti bahwa dalam diri WP (subjek) melekat status WP- apakah masih sendiri, kawin, dan/atau memiliki tanggungan-yang merupakan beban yang harus diterima (daya pikul) sebelum WP tersebut dinyatakan memenuhi syarat untuk membayar pajak. Pajak Objektif Kebijaksanaan fiskal adalah satu kebijaksanaan makro ekonomi yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan kondisi perekonomian (sebagai stabilisator perekonomian). GBHN mnenegaskan bahwa Pembangunan nasional memerlukan investasi dalam jumlah besar, yang pelaksanaannya harus berlandaskan kemampuan sendiri, sedangkan bantuan luar negeri merupakan perlengkapan. Oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh

untuk mengerahkan dana-dana investasi yang bersumber pada tabungan masyarakat, tabungan pemerintah serta penerimaan devisa yang berasal dari eksport dan jasa. Pengerahan dana-dana investasi tersebut harus ditingkatkan dengan cepat, sehinggga peranan bantuan luar negeri yang merupakan pelengkap tersebut semakin berkurang dan pada akhirnya mampu membiayai sendiri seluruh pembangunan. Jelas peranan pajak dalam kepentingan di atas menjadi primadona pembiayaan pembangunan, karena semakin besar penerimaan pemerintah dari sektor pajak di banding biaya-biaya rutin yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Arti Penting Pajak Bagi Masyarakat Peranan masyarakat dalam keikutsertaan menjalankan roda pemerintah besar sekali. Kontribusi masyarakat melalui pembayaran pajak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berupa pelayanan untuk umum, membiayai pendidikan, memperbaiki fasilitas kesehatan, perumahan, air minum, listrik transportasi, memberi gaji kepada pegawai negeri sipil, fasilitas keamanan dan banyak hal lainnya yang ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dan negara. L. Tarif dan Pengertiannya Tarif merupakan suatu pedoman dasar dalam menetapkan berapa besarnya utang pajak orang pribadi maupun badan, selain sebagai sarana keadilan dalam penetapan utang pajak. Jenis tarif dan variasinya yang ada. Tarif tetap Tarif tetap adalah bentuk tarif yang besarnya tetap terhadap berbagai nilai objek yang dikenakan pajak. Misalnya bentuk tarif yang ditetapkan untuk Bea Meterai. Tarif Proporsional Tarif Proporsional disebut juga sebagai tarif sebanding yang artinya dikenakan dengan presentase tetap terhadap nilai dari objek pajak. Tarif Progresif Tarif Progresif adalah bentuk tarif yang persentase pengenaannya akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan pernerimaan orang pribadi maupun badan. Dalam penerapannya, pengenaan tarif progresif dapat berupa progresif-progresif , progresif-degrisif, dan progresif-proporsional.

Progresif-progresif Yang dimaksud dengan pengenaan tarif progresif-progresif adalah pengenaan tarif dengan persentase meningkat yang diikuti peningkatan persentase pada setiap margin peningkatannya, seperti contoh berikut ini:
Penghasilan sampai dengan Rp. 25.000.000,00 Penghasilan diatas Rp. 25.000.000,00 sampai Rp. 50.000.000,00 Penghasilan diatas Rp. 50.000.000,00 tarifnya 10% tarifnya 15% tarifnya 20%

Tarif Degresif Tarif Degresif adalah tarif yang persentase pengenaannya akan semakin menurun sejalan dengan pertambahan penghasilan. Sama halnya dengan tarif progresif diatas, tarif degresif dalam penerapannya juga dapat berupa Degresif-progresif, Degresif-degresif, dan Degresif-proporsional.

BAB II KENTENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Dibawah ini akan diuraikan beberapa petunjuk yang perlu diketahui oleh para WP sehubungan dengan kewajibannya membayar pajak. 1. Petunjuk mengenai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 2. Petunjuk mengenai Surat Pemberitahuan (SPT) 3. Petunjuk mengenai Surat Ketetapan Pajak (SKP) 4. Petunjuk mengenai Surat Tagihan Pajak (STP) 5. Petunjuk mengenai Surat Keberatan, Putusan Banding dan Surat Paksa. A. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Pada dasarnya setiap orang yang memiliki penghasilan dari kegiatan usaha dari pekerjaan bebas lainnya yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak (WP) disarankan untuk memiliki NPWP sendiri. Kata disarankan disini dimaksudkan bahwa setiap orang tidak harus memiliki NPWP sendiri, karena pembayaran pajak bisa dilaksanakan tanpa menunjukan bukti pemilikan kartu NPWP. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut : Pemberian NPWP untuk Perseorangan 1. Mengisi dan menyerahkan formulir pendaftaran (KPU -1) 2. Menyerahkan fotokopi KTP/SIM/Paspor 3. Menyerahkan fotokopi Surat Ijin Tempat Usaha (SITU) bagi yang mempunyai 4. Menyerahkan Surat Kuasa (apabila dikuasakan kepada orang lain). Pemberian NPWP untuk Badan 1. Mengisi dan menyerahkan formulir pendaftaran (KPU -2) 2. Menyerahkan fotokopi akte pendirian / akte perubahan. 3. Menyerahkan fotokopi SITU / Surat Keterangan Domisili 4. Menyerahkan fotokopi tanda bukti diri sebagai pengrus. 5. Menyerahkan fotokopi bukti adanya BUT misalnya Surat ijin yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian / Perdagangan. 6. Menyerahkan fotokopi NPWP Pusat bagi yang berstatus cabang. 7. Surat Kuasa bagi yang dikuasakan melalui orang lain. Setelah memenuhi semua persyaratan yang diminta baik bagi perseorangan maupun bagi badan, semua persyaratan itu dapat dibawa / diberikan ke Seksi Tata Usaha Perpajakan di KPP tipe A atau Seksi Informasi dan Tata Usaha Perpajakan.

Penghapusan NPWP Perseorangan Perubahan Data Pajak Perseorangan (KPU-1B), WP harus melampirkan : 1. Akte/ Laporan Kematian/ Surat Keterangan Kematian yang dilegalisasi oleh instansi yang berwenang. 2. Surat Nikah/ Akte Perkawinan dari Catatan Sipil bagi wanita yang sudah menikah dan mempunyai NPWP. 3. Pernyataan tentang selesainya pembagian warisan. 4. Surat Pernyataan dari Perusahaan bahwa yang bersangkutan kembali ke luar negeri. 5. Pernyataan dari yang bersangkutan bahawa ia hanya menerima penghasilan dari satu pemberi kerja. Penghapusan NPWP untuk Badan 1. Akte perubahan yang dikukuhkan dengan Surat Keterangan Pembubaran dari Lembaga/ Badan atau Instansi yang berwenang. 2. Neraca likwidasi atau pembubaran. 3. Dokumen pendukung tentang hilangnya status BUT/ keberadaan di Indonesia. B. Surat Pemberitahuan (SPT) Bentuk dan isi SPT dirancang berdasarkan UU Perpajakan Nasional yang baru dan tiap formulir SPT dilengkapi dengan petunjuk pengisisan sehingga mempermudah WP. Macam Surat Pemberitahuan Ada 3 macam SPT PPh yang harus diisi oleh WP, dan 2 macam SPT MASA PPN yang harus diisi oleh Pengusaha Kena Pajak dan Pedagang Eceran, yaitu : 1. SPT Tahunan PPh WP Perseorangan (Formulir 1770). 2. SPT Tahunan PPh WP Badan (Formulir 1771). 3. SPT Tahunan PPh pasal 21 (Formulir 1721). 4. SPT MASA PPN Formulir 1195. 5. SPT MASA PPN Formulir 1195 PE. Fungsi SPT Tahunan Fungsi SPT Tahunan PPh adalah sebagai sarana WP untuk menerapkan sendiri besarnya pajak yang terutang dengan jalan : 1. Melaporkan dan mempertanggung jawabkan perhitunganjumlah pajak yang sebenarnya terutang. 2. Melaporkan pembayaran pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/ atau oleh pihak lain dalam suatu tahun pajak / bagian tahun pajak. 3. Melaporkan pembayaran pajak orang pribadi atau badan lain yang telah dipotong/ dipungut dalam masa pajak. C. Yang Wajib Mengisi SPT

a. WP perseorangan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari kegiatan usaha dan / atau pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan. b. WP perseorangan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari kegiatan usaha dan / atau pekerjaan bebas yang menggunakan Norma Perhitungan. c. WP perseorangan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari modal dan lain-lain dengan menyelenggarakan pencatatan. d. Karyawan/ karyawati yang menerima atau memproleh penghasilan lain di luar penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan / atau yang memperoleh pengahasilan sehubungan dengan pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja. e. Kuasa warisan yang belum terbagi. f. Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota ABRI dan pegawai BUMN / BUMD sesuai dengan Keputusan Presiden No. 33 tahun 1986. g. Warga Negara Indonesia yang bekerja pada Kedutaan Asing, Konsulat Asing dan Perwakilan Organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan (Keputusan MenKu RI No. 393/ KMK.04/ 1990 tanggal 29 Maret 1990 Jo. SE Dirjen Pajak No. SE-12/ PJ. 312/ 90 tanggal 7 Maret 1990). h. Orang yang berada di Indonesia lebih dari 138 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang yang dalam satu tahun pajak berada di Indoensia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Wajib Pajak Badan Yang termasuk WP adalah semua wajib pajak badan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk badan koperasi yang dalam hal ini dibedakan atas badan yang dalam usahanya mengadakan pembukuan dan yang menggunakan Norma Perhitungan. D. Hal hal yang perlu diperhatikan dalam mengisi SPT Masa PPN SPT Masa PPN berfungsi sebagai sarana bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM) yang sebenarnya terutang dan melaporkan tentang : Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran. Pembayaran atau Pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/ atau melalui pihak lain dalamatu Masa Pajak.

Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi SPT Masa adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. E. Surat Ketetapan Pajak (SKP) Dasar hukum penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah pasal 9 tahun 1994 (UU KUP). SKP adalah surat-surat ketetapan yang berupa surat ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Tetapan Pajak Nihil (SKPN). Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Dalam pasal 13 tersebut tata cara penerbitan SKP diatur, sebagaimana akan diuraikan berikiut ini, bahwa dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, Dirjen pajak dapat mengeluarkan SKP kurang bayar. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Surat ketetapan ini diterbitkan apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang. Jika pengembalian kelebihan bayar pajak mengalami keterlambatan, maka WP diberi imbalan bunga sebesar 2% sebulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu pemeriksaan selama 12 bulan dan jangka waktu dikabulkannya permohonan selama 1 bulan sampai dengan saat diterbitkannya Surat Ketetapan Lebih Bayar. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Surat ini diterbitkan setelah adanya pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktur Jendral Pajak atas keterangan tertulis dari WP mengenai posisi pembayaran pajak, dari hasil pemeriksaan tersebut ditemukan bahwa jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. Surat Tagihan Pajak Surat tagihan pajak (STP) diataur dalam pasal 14 UU-KUP tahun 1994. dalam pasal tersebut antara lain diatur hal-hal berikut: STP diterbitkan apabila: a. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar. b. WP dikenakan sanksi administrasi berupa denda administrasi dan/atau bunga.

c. Dari hasil penelitian SPT diketahui adanya kekurangan pembayaran pajak karena salah tulis dan /atau salah hitung. d. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak pertambahan Nilai 1984 tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. e. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak membuat faktur pajak atau pengusaha yang telah dikiukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tidak membuat atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak. F. Surat Keberatan dan Putusan Banding WP yang merasa diperlakukan tidak adail dalam pemotongan pajak dapat mengajukan keberatannya kepada Direktur Jendarl Pajak secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai dengan alasan-alasan yang jelas atas jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong/dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan WP. Jika dirasa perlu WP masih dapat mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak-khususnya kepada Majelis Pertimbangan Pajak-secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan-alasan yang jelas dan dalam jangka waktu tidak lebih dari tiga bulan sejak keputusan keberatan diterima. G. Surat Paksa Dengan mengacu pada pasal 23 UU KUP tahun 1994, maka kepada WP yang sudah menerima surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan kebertan, putusan banding yang kepadanya (WP) dinyatakan bahwa jumlah pajak yang harus dibayar bertambah dan tidak dibayarnya pajak pada waktunya, dapat ditagih dengan surat paksa.

BAB III PAJAK PENGHASILAN

Pengertian Pajak Penghasilan Kata Pajak Penghasilan mengandung dua pengertian yang disatukan satu dengan lainnya. Pengertian pertama mengenai arti pajak itu sendiri dan pengertian kedua mengenai arti penghasilan. Pengertian pajak secar bebas dapat dikatakn sebagai suatu kewajiban kenegaraan berupa pengabdian serta peran serta peran aktif warga negara dan anggota masyrarakat untuk membiayai berbagai keperluan Negara yang berupa Pembangunan Nasional yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang damn pertauran-perturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara. Dengan kata lain, pengertian pajhak dapat dikatakan sebagai balas jasa yang diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah atas pasilitas-fasilitas yang dapat kita nikmati untuk dapat hidup layak di dalam suatu negara. Sedangkan penghasilan adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang perorangan, badan dan bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengkonsumsikan dan/atau menimbun serta menambah kekayaan. Menurut pasal 4 ayat 1 UU PPh No. 10 tahun 1994, yang dimaksudkan dengan penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dan dalam bentuk apapun. Jadi pengertian Pajak Penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasiulan atau atas penghasilan yang diterima dan diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan negara asyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. A. 1. 2. 3. Subjek Pajak asas domisili, yaitu suatu asas pemungutan pajak Asas Sumber, yaitu asas pemungutan pajak berdasrkan Asas Kebangsaan, yaitu asas poemungutan pajak Asas yang berkaitan subkek pajak adalah: berdasarkan domisili atau tempat tinggal subjek pajak. sumber penghasilan yang diperoleh oleh subjek pajak. berdasarkan kewarganegaraan subjek pajak. Kewajiban Pajak Subjektif oarng pribadi/badan/warisa dimulai dan berakhir pada saat: Oarng pribadi dilahirkan, berada atau berminat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkann Indonesia untuk selama-lamanya. Badan didirikan atau berkedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat di bubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.

Timbulnya warisan dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai Sesuai dengan asas-asas di atas maka subjek pajak orang pribadi

di bagi. dan/ atau badan secara umum dapat merupakan subjek pajak dalam negeri atau subjek pajak luar negeri. Kesimpulan di atas juga berarti bahwa kepada merreka yang tidak berpenghasilan otomatis adalah bukan Subjek Pajak , atau lebih jelasnya, mereka perorangan maupun badan baik sebagai warga negara maupun bukan warga negara, yang tidak memperoleh penghasilan di Indonesia adalah bukan WP. Mereka yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak adalah : Badan Perwakilan Negara Asing. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabatpejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang dibantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersamasama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. B. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pejabat-pejabat perwalikan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Objek Pajak Secara teroritis yang dimaksud dengan objek pajak adalah keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, atau perbuatan-perbuatan TATBESTAND apa saja yang selayaknya dapat dikenakan pajak. Objek pajak tidak lain adalah penghasilan yang diterima oleh para WP. Yang termasuk objek pajak dalam perundang-undangan di atas adalah : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorium, komisi, bonus, grafikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU. b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. c. Laba usaha. d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h. Royalti. i. Keuntungan karena pembebasan utang. j. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. k. Premi asuransi. C. Tarif Pajak maka kita perlu Setelah kita mengetahui mana yang Menjadi Subjek dan Objek Pajak serta mana yang Bukan Subjek dan Objek Pajak, mengeathui tentang tarif pajak sebagai dasar perhitungan dan pengenaan pajak . Besar kecilnya tarif pajak penghasilan tergantung dari subjek dan objek masing masing kepentingan pemungutan seperti : Pemungutan untuk PPh pasal 21, 22, 23/26, dan 24. D. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 Seperti sudah diuraikan di depan mengenai sistem pemungutan pajak di Indonesia, khususnya pajak penghasilan, sekarang berlaku sistem full self assessment atau biasa disebut self assessment saja. Dalam sistem ini masyarakat diberi kepercayaandan tanggung jawab yang lebih besar untuk memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya jumlah pajak yang terutang. Disamping penghasilan yang terkena pemotongan PPh pasal 21 di atas, berikut ini adalah penghasilan yang tiadk dipotong PPh pasal 21 : a. Penerimaan dalam bentuk natura. b. Iuran Pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, dan penyelenggaraan Taspen serta iuran tabungan hari tua atau tunjangan hari tua kepada badan penyelenggara Taspen dan jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja. c. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi kerja. E. Tahapan dan Istilah dalam Menghitung PPh Pasal 21

Penghasilan Bruto Yang dimaksud dengan penghasilan bruto disini adalah seluruh penghasilan yang diterima oleh WP sebelum dikurangi dengan pengurangan-pengurangan yang diperkenakan oleh Undang-undang, berupa : Biaya Pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Catatan : Nilai rumah dinas dan kendaraan tidak dimasukkan dalam unsur penghasilan bruto karyawan, karena disisi lain perusahaan tidak memperlakukan natura tersebut sebagai salah satu unsur biaya perusahaan, sehingga natura tersebut bagi karyawan yang menerimanya bukan merupakan penghasilan. Penghasilan Neto Besarnya penghasilan neto diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya jabatan, biaya pensiun dan tunjangan hari tua. Ketetapan terbaru mengenai Biaya Jabatan, Biaya Pensiun diatur dalam Keputusan MenKeu No. : 521/ KMK.04 / 1998 sebagai berikut : Untuk Biaya Jabatan ditetapkan sebesar 5 % dari penghasilan burto, dengan setinggi tingginya Rp 1.296.000,00 setahun atau Rp 108.000,00 sebulan. Untuk Biaya Pensiun ditetapkan sebesar 5 % dari penghasilan burto, dengan setinggi tingginya Rp 432.000,00 setahun atau Rp 36.000,00 sebulan. Untuk Tunjangan Hari Tua pengaturannya sama dengan penetapan biaya pensiun, namun demikian tidak tertutup kemungkinan bagi pemberi kerja untuk menetapkan secara nominal, sepanjang tidak melebihi nilai maksimum seperti yang ditetapkan untuk besarnya Biaya Pensiun di atas. Khusus untuk penerima Pensiun, penetapan besarnya penghasilan netonya dilakukan dengan cara : Penghasilan Bruto dikurangi dengan Biaya Pensiun dengan ketetapan yang sama dengan yang di atas. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Penghasilan Kena Pajak untuk WP Orang Pribadi Istilah berikutnya dalam rangkaian mencari besarnya utang pajak adalah penghasilan kena pajak. Untuk mendapatkan besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah dengan cara mengurangi Penghasilan Neto dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Atas dasar pengaturan di atas maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak akan sangat tergantung sekali pada status tanggungan (marital status) WP. F. Contoh 1 Adri bekerja pada PT Ramasinta dengan gaji sebesar Rp. 750.000,00 sebulan. Perusahaan tempat Adri bekerja merupakan peserta Jamsostek dan masuk dalam program pensiun untuk pegawainya. Karenanya setiap bulan perusahaan Contoh Soal dan Perhitungan PPh Pasal 21 PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Gaji Bulanan

BAB IV PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PERPAJAKAN PENJUALAN BARANG MEWAH (PPNBM)

A. PPN dan PPnBM Di Indonesia, sebelum adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Penjualan (PPn) untuk pertama kalinya diperkenalkan pada tahun 1950, kemudian dikukuhkan dalam bentuk Undang-Undang pada tahun 1951 dengan nama UU PPn 1951. Dalam pelaksanaannya ternyata Pajak Penjualan ini mempunyai banyak kekurangan yang mengakibatkan jenis pajak ini menjadi tidak efektif dan tidak produktif. Ketidakefektifan jenis pajak ini karena PPn 1951 mengakibatkan beban pajak berganda dan bentuk peraturannya rumit. Hal

ini

dapat

dijelaskan

karena

pengenaan

pajak

yang

diterapkan

menggunakan ketentuan sembilan macamtarif yang berbeda atas sembilan golongan barang, dimana setiap golongan memuat bermacam-macam jenis barang yang berbeda pula. Sebagai contoh misalnya pajak dapat dikenakan atas bahan baku pada saat impor, kemudian dikenakan lagi pada satu atau beberapa tingkat produksi sampai pada penyerahan hasil produksi oleh pabrikan terakhir. Karena keadaan yang demikian itu, Pajak Penjualan diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang diatur dalam UU No. 8 tahun 1983, yang terakhir kali diubah dalam UU No. 11 tahun 1994 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Lahirnya sistem Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah ini tentu saja membawa dapak positif dalam pelaksanaannya, antara lain: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barng Mewah pelaksanaannya bisa menghindari pengenaan pajak dalam

berganda. Dalam hal ekspor, diberikan pengembalian beban pajak yang Dalam hal impor, jumlah pajak yang dipungut sama dengan melekat pada waktu perolehan harga barang yang diekspor. jumlah pajak yang dikenakan atas barang yang diproduksi di dalam negeri pada tingkat harga yang sama, karena itu menciptakan persaingan yang sehat untuk keuntungan konsumen. Penerapan sistem tarif yang lebih sederhana atas PPN dan PPnBM dapat dengan mudah melak setiap bentuk penyelundupan pajak. Pengertian Pertambahan Nilai Pertamabahan Nilai adalah Jumlah antara biaya yang dikeluarkan dan tingkat laba yang diharapkan dalam suatu proses produksi. Artinya proses pertambahan nilai selalu timbul karena adanya biaya-biaya yang dikeluarkan mulai dari bahan baku menjadi barang setengah jadi sampai akhirnya menjadi barang jadi yang siap dijual dengan tingkat laba yang diharapkan. Seperti ilustrasi berikut ini; seseorang pengusaha garment ingin menjual produk berupa berupa kemeja, maka pengusaha tersebut akan memerlukan bahan baku berupa ksin dan bahan pembantu lainnya untuk diproses menjadi produk yang akan dijualnya. Dalam proses produksi tentu saja tidak lepas dari faktor-faktor produksi seperti:

Harta tetap, di mana ada biaya penyusutan dari harta tetap Modal, berkaitan dengan faktor bunga modal yang harus di Tenaga kerja, berkaitan dengan pembayaran upah dan gaji. Biaya-biaya kantor dan laba yang diharapkan.

tersebut. bayarkan

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Proses pengenaan pajak PPN dapat dilihat dari contoh berikut ini. Seorang pengusaha kena pajak dalam melaksanakan usahanya akan dikenakan PPN dari barang dan jasa yang dibeli untuk keperluan usahanya. PPN atas barang dan jasa yang di beli untuk keperluan usaha ini disebut Pajak Masukan. Jika barang dan jasa yang dibeli tadi dijual kepada pihak lainnya, maka pengusaha kena pajak dapat memungut pajak pertambahan nilai dari orang yang membeli barang dan jasa. Barang atau jasa yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak kepada pihak lain itu merupakan keluaran, dan PPN yang dipungut merupakan pajak Keluaran. Untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, Pengusaha Kena Pajak harus menghitung selisih antara Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan, yang secara sederhana dapat dirumuskan PPN = Pajak Keluaran Pajak Masukan. Jika pajak keluaran ternyata lebih kecil dari Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan hak Pengusaha Kena Pajak yang dapat diminta kembali atau dikompensasikan dengan jumlah pajak yang terutang dalam masa pajak berikutnya.
Tahap Produksi Harga Beli Harga Jual Pajak Masukan Pajak Keluaran PPN

Kapas Benang Kain Baju TOTAL 3.600 8.600 360 860 500

Dari tabel di atas, Petani kapas menjual hasil kapasnya ke produsen Benang dengan harga Rp. 400,00, ini menimbulkan pajak keluaran sebesar Rp 40,00 (10% X Rp. 400,00) yang juga merupakan jumlah PPN-nya (PPN = Pajak Keluaran { Rp 40,00} Pajak Masukan {Rp 0,00}). Bahan Baku berupa kapas yang dibeli oleh produsen Benang sebesar Rp 400,00 menimbulkan pajak masukan sebesar Rp 40,00 (10 % X Rp 400,00), dari bahan baku tersebut, ternyata setelah menjadi benang harga jualnya menjadi Rp 1.200,00 sehingga menimbulkan pajak keluaran sebesar RP 120,00 (10 % X Rp 1.200,00), maka PPN yang terjadi sebesar Rp 80,00

(PPN = Rp 120,00 Rp 40,00). Bahan baku berupa benang dibutuhkan oleh produsen kain. Seandainya harga kain setelah jadi sebesar Rp 2.000,00 maka dari keadaan itu, dapat dihitung pajak masukannya sebesar Rp 120,00 dan pajak keluarannya Rp 200,00, sehingga PPN yang harus dibayarkan pada tingkatan ini adalah sebesar Rp 200,00. Jika ternyata dalam proses produksi harga baju akan dijual seharga Rp 5.000,00 maka akan ada pajak keluaran sebesar Rp 500,00 yang juga merupakan PPN yang dibayarkan oleh konsumen yang akan membeli baju tersebut. Dari sebuah rangkaian proses produksi, mulai dari bahan baku berupa kapas sampai menjadi baju yang siap jual di pasaran, kita dapat menghitung jumlah PPN yang akan dibayarkan dalam rangkaian tersebut, yaitu Rp 500,00 yang merupakan penjumlahan atas PPN tahap pertama sebesar Rp 80,00 PPN tahap ketiga sebesar Rp 80,00 dan PPN tahap keempat sebesar Rp 300,00. B. Objek dan Pajak Pertambahan Nilai Objek Pajak Pertambahan Nilai Secara berikut: 1. Penyerahan barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak kepada pihak mana pun juga di mana dasar pengenaan pajaknya adalah jumlah harga jual. 2. Penyerahan barang kena pajak oleh pengusaha yang memilih menjadi pengusaha kena pajak kepada pengusaha kena pajak yang dasar pengenaan pajaknya adalah pada jumlah harga jual. 3. Penyerahan Jasa pembuatan, pemugaran, perbaikan bangunan/ kontruksi dan barang tidak bergerak lainnya yang dilakukan oleh pemborong/ kontraktor/ subkontraktor kepada pihak manapun juga dalm wilayah Republik Indonesia yang dasar pengenaan pajaknya adalah penggantian dari harga borongan atau termin pembayaran dari harga borongan. 4. 5. Impor barang Kena Pajak yang dilakukan oleh siapa pun Penyerahan lain-lain, seperti masih direncanakan akan yang dasar pengenaan pajaknya adalah nilai impor. adanya PPN atas Tanah yang btermasuk dalam kategori Tanah terlantar (lahan yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan usaha atau ekonomi) umum dapat dikatakan yang menjadi objek PPN adalahPenyerahan Barang atau Jasa, yang perinciannya adalah sebagai

6.

Penyerahan barang Kena Pajak yang dilakukan di

daerah Pabean Republik Indonesia dalam lingkungan perusahan atau pekerjaannya termasuk Pedagang Besar. 7. Penyerahan jasa Kena Pajak dilingkungan perusahaan atau pekerjaannya oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali:jasa pelayanan dan peraturan kesehatan. Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai Tabel di halaman berikut ini akan menunjukan jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN. Subjek Pajak Pertambahan Nilai Untuk subjek PPN hanya dua hal kategori yaitu: 1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang meliputi : Pepabrikan/ Produsen, Pengusaha Real Estate/ Industrial Estate/ Developer, Importir, Indentor. Tabel Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak
Jenis Pajak yang tidak Dikenakan Pajak Barang hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil kehutan yang dipetik langsung, diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya; Barang hasil peternakan, atau perburuan/ yang guna usaha dengan hak opsi; bidang keagamaan; bidang pendidikan; bidang kesenian; bidang penyiaran; bidang angkutan umum; bidang tenaga kerja; Jasa di Jasa di Jasa di Jasa di Jasa di Jasa di Jasa di bidang pengiriman surat; Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa penangkapan, penakaran bidang pelayanan sosial; Jasa di Jenis Jasa yang tidak Dikenakan Pajak Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik; Jasa di

diambil langsung dari sumbernya; Barang hasil pertambangan, penggalian, dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; Barang-barang kebutuhan pokok; Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya; Listrik, kecuali listrik untuk perumahan dengan daya di atas 6000 watt; Saham, obligasi, dan surat-surat berharga sejenisnya; Air bersih yang disalurkan melalui pipa.

bidang perhotelan; bidang telekomunikasi; Jasa di

2. Pengusaha yang memilih menjadi pengusaha kena pajak, yang meliputi Eksportir dan Pedagang yang menjual Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak. Bukan Subyek Pajak Pertambahan Nilai 1. Pengusaha perkebunan. 2. Pengusaha kecil, yaitu pengusaha yang nilai peredaran brutonya setahun lebih kecil atau sama dengan Rp 240.000.000,00 atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran brutonya tidak lebih dari Rp 120.000.000,00. C. Tarif dan Prinsip Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Tata cara pemungutan PPN dilakukan dengan dua cara, yaitu : 1. Accru basis, yaitu suatu prinsip pemungutan pajak dengan cara memungut pajak terutang pada saat penyerahan barang/ jasa kena pajak, impor, meskipun belum diterima pembayarannya. 2. Cash basis, yaitu suatu prinsip pemungutan pajak dengan cara memungut pajak terutang pada saat penerimaan pembayaran, meskipun belum menerima barang/ jasa kena pajak. D. Pedoman Perhitungan Perkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran Pajak masukan yang telah dibayar pada waktu perolehan Barang Kena Pajak yang langsung diekspor atau diserahkan kepada Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Masukan yang dihitung dengan pedoman sebagai berikut : a. Rumus yang dapat digunakan untuk menetapkan perkreditan pajak ini adalah : Penyerahan BKP kepada PKP Nilai Peredaran Usaha b. Besarnya perkreditan pajak tidak boleh lebih besar dari Pajak Masukan atau dapat juga dikatakan bahwa Pajak Masukan harus lebih besar dari Perkreditan pajak. c. Pajak Masukan atas persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersedia dapat dikompensasikan pada masa pajak berikutnya. E. Pengertian Pajak Penjualan Barang Mewah X Jumlah Pajak Masukan bidang pertanian, peternakan, kehutanan, dan

PPn merupakan pungutan perlengkapan atas pengenaan PPN. Dikatakan pelengkap karena pengenaan PnPBM ini sifat pungutannya adalah pungutan satu kali pada sumbernya atas pembeli atau konsumen barang yang termasuk dalam kategori barang mewah. Barang mewah yang dimaksudkan adalah barang yang dianggap memiliki daya kemampuan lebih tinggi sehingga wajar kalau dipungut pajak yang lebih tinggi. Tarif Pajak Penjualan Barang Mewah 1. Tarif dan obyek PPnBM untuk penyerahan dan atau impor kendaraan bermotor. 2. Tarif dan obyek PPnBM untuk barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

BAB VI BEA MATERI A. Pengertian Bea Materi Bea Materi adalah salah satu pajak yang dipungut dan dilkelola oleh negara. Pengertian Bea Materi itu sendiri sebenarnya adalah biaya pengesahan/penguatan secara hukuman atas suatu dokumen berharga dan penting oleh Negara. Bea Materai dapat diartikan juga sebagai suatu pungutan pajak atas dokumen-dokumen berharga. Dokemen-dokumen yang Dikenakan Bea Materai Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1995 tentang Bea Materai, dokumen-dokumen berharga yang dikenakan Bea Materai adalah dokumen-dokumen berikut: 1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata. 2. Akta-akta notaris termasuk salinannya. 3. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkapan-rangkapannya. 4. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,00 Yang menyebutkan penerimaan uang,

Menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank, Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di Bank, Berisi pengakuan utang yang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi.

5. Surat berharga seperti weswl, promes dan aksep yang berharga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,00 6. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,00 7. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan: Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Materi

berdasarkan tujuannya, tapi kemudian digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain dengan maksud yang lain. Dokumen-dokumen yang Tidak Dikenakan Bea Materai 1. Surat penyimpanan barang, konosemen, surat angkutan penumpang dan barang, keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen, bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang, surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengiriman, dan surat-surat sejenis lainnya. 2. Segala bentuk ijazah 3. Berbagai bentuk tanda terima yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran seperti gaji, uang tunggu, tunjangan dan pensiun. 4. Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank, 5. Kwitansi untuk semua jenis pajak dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank. 6. Tanda bukti penerimaan uang untuk keperluan inern organisasi, 7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut, 8. Surat gadai yang diberikan oleh perusahan jawatan pengadaian, 9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pemungutan Bea Materai yang berlaku sekarang adalah hasil penyederhanaan dari peraturan Bea Materai yang lama. Aturan Bea

Materai 1921 (ABM 1921) dirasakan sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang, karena terlalu rumit. Perbandingan antara ABM 1921 dengan UU No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai adalah sebagai berikut: Pada ABM 1921, jenis-jenis pemeteraian terdiri dari Bea Materai Umum, Bea Materai Luas Kertas, Bea Materai sebanyak 167 macam. Pada Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterai, jenis Bea Meterai hanya ada satu, yakni Bea Meterai Tetap dengan 2 macam tarif. B. Dasar hukum Pelaksanaan Pwmungutan Bea Meterai Yang menjadi dasar hukum pemungutan Bea Meterai adalah : Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterai, Peraturan Pemerintah No.7 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 182/ KMK.04/ 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai

C. Tarif Bea Meterai Tarif untuk seluruh dokumen berharga yang terutang Bea Meterai dikenakan sebesar Rp 2.000, 00 Tarif untuk dokumen yang dinilai dengan nominalnya lebih dari Rp 250.000, 00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000, 00 dikenakan Bea Meterai Rp 1.000, 00 dan untuk dokumen yang dinilai dengan nominalnya di bawah Rp 250.000, 00 tidak terutang Bea Meterai D. Saat Terutang dan Tata Cara Penggunaan serta Pelunasanya Saat terutangnya Bea Meterai adalah pada saat dokumen itu diserahkan dari satu pihak ke pihak lainnya. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, saat terutangnya adalah pada saat dokumen itu selesai dibuat, dan untuk dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia. Pihak yang terutang adalah pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. Tata cara penggunaan dan pelunasannya bisa dilakukan dengan menggunakan benda meterai (kertas meterai dan meterai tempel) atau dengan cara lain dengan cap lunas pada dokumen yang bersangkutan, bisa juga dengan menggunakan mesin dengan cara berikut: teraan materai atau alat lain. Cara menempelkan materai tempel dan penggunaan kertas materai dilakukan

Materai tempel harus direkatkan seluruhnya pada tempat di mana

tanda tangan akan dibubuhkan dengan utuh/tidak rusak di atas dokumen. Ditandatangani dengan tinta atau bahan sejenis; tanda tangan mengenai baik materai tempel maupun kertas yang harus

bersangkutan, tanggal, bulan dan tahun diisi pada materai tempel pada saat/setelah ditandatangani. Jika digunakan lebih dari satu materai tempel, tanda tangan itu harus: sebagian pada kertas dan sebagian lagi pada semua materai tempel yang digunakan; Jika syarat di atas tidak dipenuhi untuk keperluan pelunasan dengan menggunakan materai tempel, sanksinya adalah dokumen itu dianggap tidak bermaterai, dan itu berarti harus dilakukan pemeteraian ulang ditambah denda 200%; Kertas materai hanya boleh digunakan sekal. Jika satu lembar kertas materai tidak cukup untuk memuat seluruh isi dokumen, boleh ditambah dengan kertas lain tanpa peneraan materai lagi. Syarat Pelunasan dengan Cap Lunas Harus mendapat izin dari Dirjen Pajak cq Direktur PPN/PTLL; Tempat pencentakannya secara lisan-belum ada surat edaran Bea Materai terutang dibayar terlebih dahulu dengan nominal

khusus yang mengatur tentang hal ini-ditetapkan di PERURI sebesar jumlah yang ingin dicetak Syarat Pelunasan dengan Mesin Teraan: Harus mendapat izin dari Dirjen Pajak baik oleh Direktur PPN/PTLL maupun Kantor Pelayanan Pajak masing-masing Penggunaan dokumen minimal 50 buah per hari. Harus melakukan pembayaran terlebih dahulu sebesar pembayaran terlebih dahulu sebesar minimal Rp 5.000.000,00 Mesin teraan harus dibeli sendiri; setelah Bea Materai dibayar, mesin disegel oleh fiscus sampai sejumlah depositonya; Bila telah habis sampai sejumlah Bea Materai yang disetor, perpanjangan dapat diajukan dan syarat pembayaran terlebih dahulu tetap berlaku.

Anda mungkin juga menyukai