Anda di halaman 1dari 3

Kepergian Nenek

Oleh Nina Anindyawati Sinar sang mentari muncul masuk ke celah-celah ventilasi rumahku. Sedikit menyilaukan tapi mata nenekku tak kunjung tebuka. Sabtu pagi yang cerah ini, seperti biasa matahari bersinar terang, burung-burung berkicau dengan nyaringannya. Pagi itu setelah selesai mandi dan sarapan aku berdiri termenung di sudut kamar nenekku, kutatap nenekku yang masih tertidur lemah tak berdaya. Ini bukan pertama kalinya aku menatap nenekku tertidur, tetapi tepat hari ketujuh nenekku koma. Ayah memang sengaja merawat nenek di rumah karena waktu dibawa ke rumah sakit dokter sudah angkat tangan dan dokter berkata,Saya sudah tidak bisa menangani lagi karena penyakitnya sudah menyebar kita semua hanya tinggal menunggu waktu saja. Maafkan saya Pak, Bu. Wajahnya yang keriput kini tak bisa menampakkan senyumnya lagi. Hingga aku teteskan air mata karena aku tak tahan melihat ketidakberdayaan nenekku dan kata-kata dokter waktu itu. Waktu menunjukkan pukul 06.30. Nina, ayo nak berangkat !, seru Ayahku. Aku abaikan semua tentang nenekku dan aku segera bergegas keluar untuk berangkat sekolah. Sebelum berangkat tak lupa kucium kening nenekku, dan kubisikan sepatah kata untuk nenek, Lekas sembuh Nek, Nina kangen sama nenek. Kemudian aku segera masuk mobil untuk menuju ke sekolah. 15 menit kemudian aku sampai di sekolah. Sebelum turun aku berpamitan kepada ayah, Nak, nanti pulang sendiri ya naik bus, maaf ayah nggak bisa jemput. Nanti ayah jemput di Jl. Ciu saja ya ?, kata ayah. Tanpa pikir panjang dan menanyaka alasan ayah pun aku jawab,oke, Yah ,nanti Nina telfon dari wartel ya Yah kalo sudah sampai Jl. Ciu . assalamualaikum Yah.. Waalaikummussalam hati-hati Nina., pesan ayah. Hari itu hariku berjalan seperti biasa, aku belajar di sekolah dengan temanteman sebayaku. Aku tertawa riang dan bercanda seolah-olah aku tak memikirakan nenek yang sedang koma. Hingga pukul 10.00 tiba waktunya aku pulang, karena memang di SD-ku tiap sabtu pulang jam 10.00 untuk kelas 1-6 dan waktu itu aku duduk di kelas 4 SD. Seperti biasa pula aku berjalan dengan temanteman menuju halte, seperti pesan ayah tadi aku pulang naik bus. Akhirnya Bus Wahyu Putra jurusan Sukoharjo datang dan aku bergegas naik. Setelah mendapatkan tempat duduk yang nyaman, kuberikan uang logam gopek untuk Pak Kondektur, karena pada waktu itu tarifnya masih murah untuk

anak sekolah Rp 500,00 saja. Ini Pak., kataku. Terima kasih ,adik mau turun dimana ?, tanya Pak kondektur. Jl. Ciu ., jawabku. Sekitar 20 menit kemudian bus yang kutumpangi sampai di daerah Jl. Ciu , aku pun segera turun. Karena tak ada wartel terpaksa aku harus jalan kaki lagi untuk menuju rumahku. Dapat setengah perjalanan aku mampir dulu di warung es jus. Bu, beli jus apokat satu ya !, pesanku. Baik Dik tunggu sebentar ya .,kata Ibu. Setelah esnya jadi aku langsung menyodorkan Rp 2.000,00 ke Ibu penjual sambil berkata, Ini Bu uangnya, terima kasih. Ibu itu hanya mengangguk sambil melempar senyumannya kepadaku. Aku lanjutkan perjalananku menuju rumah sambil menyedot es jus apokat. Tiba-tiba aku bertemu 2 orang berboncengan sepeda mortor, mereka tetanggaku. Mereka adalah Pakdhe Iwan dan Om Gun. Aku melempar senyum kepada mereka, tetapi mereka membalas senyumku dengan berteriak, Nin, nenekmu ! Aku kurang jelas maksud mereka karena mereka mengendarai dengan cepat. Tetapi aku sempat berfikir karena melihat kepanikan mereka dan beberapa lembar kertas yang mereka bawa. Hmm...sudahlah aku tak begitu memperdulikan perkataan mereka. Aku teruskan saja perjalananku hingga sampai di gang rumahku, aku melihat bendera merah. Dalam hatiku. Kenapa ada bendera merah ya ? Biasanya seh kalau ada bendera merah, ada orang yang meninggal ? Siapa ya ?, aku bingung dan bertanya-tanya. Sepintas saat itu juga aku teringat nenekku yang sedang sakit koma lemah tak berdaya. Dengan reflek aku membuang es jusku dan lari secepat mungkin menuju rumah. Hal-hal negatif sudah menyelimuti pikiranku, karena saat itu aku benar-benar tidak bisa berfikir jernih. Aku takut kalau nanti-nanti terjadi sesuatu dengan nenekku. Tetapi aku tetap berharap keluargaku baik-baik saja. Dan aku masih bisa melihat nenek tersenyum lagi. Sampai juga aku di depan rumah. Tapi apa yang kudapati sampai di depan rumah ?fakta berbicara lain. Tenda-tenda putih berdiri di depan rumah menutupi sang mentari, kursi-kursi berjajar rapi, bendera merah berkibar, sebuah peti dari kayu berwarna coklat terletak di dalam rumah, serta kemeja dan busana muslim serba hitam menghiasi di sekeliling rumahku. Aku dengar pula suara isak tangis disekitarku. Hal yang benar-benar tidak aku inginkan terjadi, nenekku sudah pergi untuk selama-lamanya. Aku terkejut dan tak percaya. Aku menangis ketika melihat nenek dimandikan dan dikafani. Aku menatap nenek yang terbujur kaku, dan hilang semua harapanku untuk melihat senyuman nenekku lagi. Kedatanganku disambut dengan isak tangis kedua orang tua dan keluargaku. Kakakku menghampiriku,

Nin, yang sabar tabahkanlah hatimu ,ayo masuk cepat ganti pakaianmu., pinta kakakku dengan matanya yang berkaca-kaca. Aku tak bisa berkata apa-apa aku hanya tertunduk diam. Dengan air mata yang bercucuran aku masuk dan segera berganti pakaian. Setelah aku berganti pakaian aku keluar dari kamar dan langsung bertanya kepada keluargaku,Kapan nenek meninggal ?. Ibuku menjawab dengan lirih,Pukul 07.00 tadi nak tepat setelah Ayahmu pulang dari mengantarkanmu berangkat sekolah.. Mendengar jawaban itu aku marah dan sedih. Karena emosi aku berteriak, Lantas mengapa aku tidak diberitahu ? Mengapa tak seorang pun mau menjemputku di sekolah ? Mengapa tak ada yang ingat padaku ? , aku bertanya-tanya terus-menerus. Mereka tidak menjawab apa-apa, hanya diam membisu sambil memelukku dan menenangkan hatiku. Setelah aku bisa tenang proses pemakaman nenekku dilanjutkan. Dilanjutkan malam harinya diadakan tahlilan. Aku masih benar-benar tak menyangka bahwa hari itu adalah hari yang kelabu atas kepergian nenekku karena aku tidak merasakan firasat apapun. Aku benar-benar kecewa dan marah karena aku tidak diberitahu saat kepergian nenekku.

Anda mungkin juga menyukai