Anda di halaman 1dari 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pisang Kepok Pisang adalah tumbuhan yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tumbuhan pisang kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Iklim tropis yang sesuai serta kondisi tanah yang banyak mengandung humus membuat tumbuhan pisang sangat cocok dan tersebar luas di Indonesia. Saat ini, hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah penghasil pisang. Tumbuhan pisang banyak terdapat dan tumbuh didaerah tropis maupun sub tropis. Pisang merupakan tumbuhan monokotil yang termasuk dalam familia Musaceae. Pohonnya memiliki tinggi dua hingga sembilan meter, akar rizoma berada dalam tanah dan pelepahnya terdiri dari lembaran daun dan mahkota terminal daun tempat munculnya bakal buah. Pisang merupakan buah klimaterik yang artinya memiliki fase perkembangan, dengan meningkatnya ukuran buah dan meningkatnya kadar karbohidrat yang terakumulasi dalam bentuk pati. Pertumbuhan terhenti saat buah telah benar-benar ranum dan fase pematangan buah terhambat. Selama fase pematangan, kekerasan buah menurun, pati berubah menjadi gula, warna kulit berubah dari hijau menjadi kuning dan kekelatan pada buah hilang, berkembang menjadi flavor dengan karakteristik yang khas (Stover dan Simmonds, 1987). Pisang merupakan buah yang sangat bergizi dan merupakan sumber vitamin, mineral disamping karbohidrat. Pisang dapat dijadikan sebagai buah

Universitas Sumatera Utara

meja, sale pisang, pure pisang dan tepung pisang. Kulit pisang dapat dimanfaatkan untuk membuat cuka melalui proses fermentasi alkohol dan asam cuka. Daun pisang dipakai sebagai pembungkus berbagai macam makanan trandisional Indonesia. Batang pisang abaca diolah menjadi serat untuk pakaian, kertas dan sebagainya. Batang pisang yang telah dipotong kecil dan daun pisang dapat dijadikan makanan ternak ruminansia (domba dan kambing) pada saat musim kemarau karena tidak/kurang tersedianya rumput. Secara tradisional, air umbi batang pisang kepok dimanfaatkan sebagai obat disentri dan pendarahan usus besar sedangkan air batang pisang dapat digunakan sebagai obat diabetes dan penawar racun (Ngraho, 2008). Varietas-varietas pisang di seluruh dunia yang ditanam dapat dibagi dalam empat golongan besar (Ngraho, 2008), yaitu: a. Pisang yang dimakan buahnya setelah ranum, misalnya Pisang Ambon, Pisang Susu, Pisang Raja, Pisang Cavendish, Pisang Barangan dan Pisang Mas. b. Pisang yang dimakan setelah direbus atau digoreng, misalnya Pisang Nangka, Pisang Tanduk dan Pisang Kepok. c. Pisang yang berbiji biasanya dimanfaatkan daunnya, misalnya Pisang Klutuk. d. Pisang yang diambil seratnya, misalnya Pisang Manila. Produksi pisang di Indonesia cukup besar. Indonesia termasuk penghasil pisang terbesar di Asia karena 50% produksi pisang Asia dihasilkan oleh Indonesia. Buah pisang juga merupakan buah dengan jumlah produksi paling banyak di Indonesia jika dibandingkan dengan produksi buah lainnya (Ngraho, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Buah pisang sangat prospektif sebagai bahan baku industri. Hal tersebut karena kemudahan dalam mendapatkan bahan baku, serta berbagai produk dapat diolah dari buah pisang sehingga dapat meningkatkan nilai tambah. Salah satu alternatif dari pemanfaatan pisang yaitu dapat diolah menjadi pati. Sifat fisika dan kimia tepung pisang dari beberapa varietas, yaitu: tepung pisang kepok bewarna putih, tepung pisang nangka bewarna putih coklat, tepung pisang ambon bewarna putih abu-abu, tepung pisang raja bulu bewarna putih kecoklatan, tepung pisang ketan bewarna putih abu-abu dan tepung pisang siem bewarna kuning kecoklatan dengan komposisi kimia rata-rata tepung pisang, yaitu kadar air 6,24% - 8,39% dan kadar karbohidrat 70,10% - 78,88% (Prabawati, dkk., 2008). Pada dasarnya semua varietas pisang dapat diolah menjadi pati. Namun, tidak semua varietas pisang menghasilkan pati dengan mutu yang baik. Buah pisang kepok menghasilkan pati yang bermutu baik dengan warna lebih putih jika dibandingkan dengan pati dari pisang ambon dan pisang siem yang menghasilkan pati bewarna coklat kehitaman (Satuhu dan Supriyadi, 1999; Prabawati, dkk 2008). Jenis pati yang demikian tidak menarik walaupun aroma pisangnya lebih kuat dibandingkan pati yang terbuat dari pisang kepok (Satuhu dan Supriyadi, 1999). Pisang kepok termasuk pisang berkulit tebal dengan warna kuning yang menarik kalau sudah matang. Satu tandan terdiri dari 10 -16 sisir dengan berat 14 22 kg. Setiap sisir terdapat 20 buah. Kandungan nutrisi tiap 100 gram daging buah pisang mengandung zat gizi sebagai berikut : kalori 79 kkal, karbohidrat 21,2 gram, protein 1,1 gram, lemak 0,2 gram, air 75,5 gram, vitamin A 0,022 gram, vitamin C 0,0094 gram, tiamin 0,001 gram, dan riboflavin 0,002 gram.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Herbarium Medanense (2011), klasifikasi pisang kepok, adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Class Ordo Famili Genus Spesies Nama Lokal : Plantae : Spermatophyta : Monocotyledoneae : Zingiberales : Musaceae : Musa : Musa paradisiaca. L. : Pisang Kepok

2.2 Pati Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan -(1,6)D-glukosa (Winarno, 2002). Sumber pati utama di Indonesia adalah beras. Disamping itu dijumpai beberapa sumber pati lainnya yaitu : jagung, kentang, tapioka, sagu, gandum, dan lain-lain. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut butir pati. Bentuk dan ukuran butir pati merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi. Dalam

Universitas Sumatera Utara

keadaan murni butir pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa, dan secara mikroskopik butir pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang terusun terpusat. Butir pati bervariasi dalam bentuk dan ukuran, ada yang berbentuk bulat, oval, polihedral atau poligonal. Demikian juga ukurannya, mulai kurang dari 1 mikron sampai 150 mikron tergantung sumber patinya. Selain ukuran butir pati, karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman butir pati, lokasi hilum, serta permukaan butir patinya. Ukuran dan morfologi butir pati bergantung pada jenis tumbuhan penghasil pati (Anonim, 2006; Elida, 1994). Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan material antara seperti, protein dan lemak. Umumnya pati mengandung 15 30% amilosa, 70 85% amilopektin dan 5 10% material antara. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Anonim, 2006). Kandungan pati pada setiap tumbuhan berbeda, tergantung pada masingmasing spesiesnya, bahkan kandungan pati dapat bervariasi pada bagian yang berbeda dari tumbuhan yang sama (Lehninger, 1982). Kegunaan pati dan turunannya pada industri minuman dan confectionery memiliki persentase paling besar yaitu 29 %, pada industri makanan dan pada industri kertas masing-masing sebanyak 28 %, pada industri farmasi dan bahan kimia 10 %, pada industri non pangan 4% dan sebagai makanan ternak sebanyak 1 %. Untuk memperoleh sifat-sifat yang digunakan pada aplikasi tertentu pada industri tertentu sering dilakukan modifikasi pati (Belitz dan Grosch, 1987).

Universitas Sumatera Utara

Struktur kimia pati ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Struktur pati (Rowe, et al., 2009) Perkembangan teknologi dibidang pengolahan pati menunjukkan bahwa pati alam dapat dimodifikasi sehingga mempunyai sifat-sifat yang diinginkan sesuai dengan aplikasi tertentu. Modifikasi disini dimaksudkan sebagai perubahan struktur molekul yang dapat dilakukan secara kimia, fisik maupun enzimatis. Pati

Universitas Sumatera Utara

alami dapat dibuat menjadi pati termodifikasi dengan sifat-sifat yang diinginkan atau sesuai dengan kebutuhan (Anonim, 2006). Pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat suatu reaksi kimia atau dengan menggangu struktur asalnya. Dibidang pangan pati termodifikasi banyak digunakan dalam pembuatan salad cream, mayonaise, saus kental, jeli, produk-produk konfeksioneri (permen coklat dan lain lain), pengganti gum arab dan lain lain, sedangkan dibidang non pangan digunakan pada industri kertas, tekstil, bahan bangunan, dan bahan pencampur (insektisida dan fungisida, sabun detergen dan sabun batangan). Dewasa ini metode yang banyak digunakan untuk memodifikasi pati adalah modifikasi pati dengan hidrolisis, modifikasi pati secara kimia dan modifikasi pati secara fisika. Setiap metode modifikasi pati menghasilkan pati termodifikasi dengan sifat yang berbeda-beda (Anonim, 2006). Prinsip dasar untuk memperoleh produk pati termodifikasi (Anonim, 2006) yaitu: a. Starch Acetate diperoleh dengan cara menambahkan gugus karboksil ke rantai starch. b. Thin Boilling Starch, diperoleh dengan cara mengasamkan suspensi pati pada pH tertentu dan memanaskannya pada suhu tertentu sampai diperoleh derajat konversi atau modifikasi yang diinginkan. Kemudian dilakukan penetralan, penyaringan, pencucian dan pengeringan. c. Pati teroksidasi, diperoleh dengan cara mengoksidasi pati dengan senyawasenyawa pengoksidasi (oksidan) dengan bantuan katalis yang umumnya adalah

Universitas Sumatera Utara

logam berat atau garam dari logam berat yang dilakukan pada pH tertentu, pada suhu dan pada waktu reaksi yang sesuai. d. Pregelatinized Starch, pati ini diperoleh dengan cara memasak pati pada suhu pemasakan, kemudian mengeringkannya dengan menggunakan rol-rol (drum drying) yang dipanaskan. Pada proses ini terjadi kerusakan butir pati tetapi amilosa dan amilopektinnya tidak terdegradasi. Pregelatinisasi pati mempunyai sifat umum yaitu terdispersi dalam air dingin. Parameter pengeringan seperti rol dan gap antar rol dapat mempengaruhi sifat dan karakteristik dari pati dihasilkan. e. Dekstrin, dibuat dari pati melalui proses enzimatik atau proses asam yang disertai dengan pemanasan. Sifat-sifat yang penting dari dekstrin ialah kelarutan dalam air dingin yang lebih tinggi dari pati dan memiliki kadar gula yang rendah. f. Siklodekstrin (CD), merupakan produk pati modifikasi yang mengandung 6 12 unit glukosa yang berbentuk siklis (ring). CD dibuat dari pati dengan bantuan enzim cyclomaltodextrin glucanotransferase (CG Tase).

2.3 Enzim -amilase Enzim adalah katalisator organik (biokatalisator) yang dihasilkan oleh sel. Enzim berfungsi seperti katalisator anorganik, yaitu untuk mempercepat reaksi kimia tanpa mempengaruhi keseimbangan reaksi. Enzim invertase dipakai untuk menghidrolisis sukrosa menjadi gula invert. Lactase dibutuhkan dalam hidrolisis digestif laktosa pada susu. Hidrolisis selulosa menjadi glukosa, yang biasa disebut

Universitas Sumatera Utara

sakarifikasi,

memakai

cellulose

sebagai

katalisnya.

Sementara

untuk

menghasilkan maltodekstrin dipakai enzim -amylase. Enzim -amilase adalah enzim yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan. Enzim amilase terdapat pada tumbuhan, jaringan mamalia, jaringan mikroba. Dapat juga diisolasi dari Aspergillus oryzae dan Bacillus subtilis. Enzim -amilase adalah endo-enzim yang bekerja memutus ikatan -1,4D-glukosa secara spesifik di bagian dalam molekul baik pada amilosa maupun amilopektin. Aktivitas enzim -amilase menyebabkan pati terputus-putus dengan rantai sepanjang 6-10 unit glukosa. Banyaknya hidrolisis ikatan glukosida dari pati biasanya dijelaskan dengan dextrose equivalent (DE). Glukosa murni mempunyai DE 100 dan pati mempunyai DE sebesar 0 (Chaplin, 2004). Menurut Mckee dan Mckee (2003) beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja enzim yaitu: a. Suhu, semua reaksi kimia dipengaruhi oleh suhu. Kecepatan reaksi katalis enzim dapat meningkat dengan meningkatnya suhu, tetapi karena enzim merupakan protein yang akan terdenaturasi pada suhu tinggi maka enzim memiliki suhu optimum dalam melakukan kerjanya. Setiap enzim memiliki temperatur optimum yang berbeda-beda sehingga diperoleh efisiensi yang maksimum. b. Nilai pH, konsentrasi ion hidrogen dapat mempengaruhi kerja enzim. Perubahan pH yang tajam dapat menyebabkan enzim terdenaturasi. Beberapa enzim aktif hanya pada nilai pH yang sempit. Nilai pH optimum pada setiap enzim sangat bervariasi

Universitas Sumatera Utara

c. Konsentrasi substrat, kecepatan reaksi enzimatis pada umumnya tergantung pada konsentrasi substrat. Kecepatan reaksi akan meningkat apabila konsentrasi substrat meningkat. Semakin tinggi kecepatan reaksi enzim maka semakin banyak pati yang terhidrolisis, namun setelah hampir semua pati terhidrolisis kecepatan reaksi enzim akan berkurang. d. Konsentrasi enzim, penambahan konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi bila substrat tersedia secara berlebih. Kecepatan reaksi dalam reaksi enzim sebanding dengan konsentrasi enzim, semakin tinggi konsentrasi enzim maka kecepatan reaksi akan semakin tinggi. Cara kerja enzim - amilase terjadi melalui dua tahap, yaitu : tahap pertama, degradasi amilosa menjadi maltosa dan amiltrotriosa, degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas yang cepat pula. Tahap kedua, relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir. Kedua tahap tersebut merupakan kerja enzim - amilase pada molekul amilosa. Enzim - amilase menghidrolisis amilosa lebih cepat dibanding hidrolisisnya terhadap amilopektin (Anonim, 2006). Perbedaan waktu hidrolisis akan menyebabkan jumlah pati yang termodifikasi juga berbeda. Makin lama waktu hidrolisis makin besar persentase pati yang berubah menjadi gula pereduksi. Hal ini dapat dilihat dari harga DE yang semakin tinggi. Konsentrasi katalis juga dapat berpengaruh pada harga DE dari produk yang dihasilkan. Makin tinggi konsentrasi katalis, dalam hal ini adalah enzim, makin banyak gula pereduksi yang terbentuk. Hal ini berarti harga DE akan semakin tinggi. Meskipun demikian, penentuan konsentrasi katalis memiliki batas optimum. Jika melebihi batas tersebut, hidrolisis akan terhambat. Pada umumnya Pada proses hidrolisis

Universitas Sumatera Utara

pati, terdapat tiga tahapan dalam mengkonversi pati yaitu tahap gelatinisasi, likuifikasi dan sakarifikasi. Tahap gelatinisasi merupakan tahap pembentukan suspensi kental dari butir pati, tahap likuifikasi yaitu hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas, sedangkan sakarifikasi merupakan proses lebih lanjut dari hidrolisis untuk menghasilkan glukosa (Shi, et. al., 2000).

2.4 Maltodekstrin Maltodekstrin merupakan salah satu produk hasil hidrolisa pati dengan menggunakan asam maupun enzim, yang terdiri dari campuran glukosa, maltosa, oligosakarida, dan dekstrin (Deman, 1993). Produk hasil hidrolisis enzimatis pati mempunyai karakteristik yaitu tidak higroskopis, meningkatkan viskositas produk, mempunyai daya rekat, dan ada yang dapat larut dalam air seperti laktosa (Anonim, 2006). Maltodekstrin pada dasarnya merupakan senyawa hasil hidrolisis pati yang tidak sempurna atau disebut hidrolisis parsial, yang terdiri dari campuran gulagula dalam bentuk sederhana (mono- dan disakarida) dalam jumlah kecil, oligosakarida dengan rantai pendek dalam jumlah relatif tinggi serta sejumlah kecil oligosakarida berantai panjang (Luthana, 2008). Maltodekstrin merupakan salah satu turunan pati yang dihasilkan dari proses hidrolisis parsial oleh enzim -amilase yang memiliki nilai Dextrose Equivalent (DE) kurang dari 20. Maltodekstrin memiliki mouthfeel yang lembut dan mudah dicerna. Harga DE (Dextrose Euquivalent) hanya memberi gambaran tentang kandungan gula pereduksi. Pada hidrolisis sempurna (pati seluruhnya dikonversikan menjadi dekstrosa) nilai DE-nya 100 sedangkan pati yang sama

Universitas Sumatera Utara

sekali tidak terhidolisis DE-nya 0. Nilai DE maltodekstrin berkisar antara 3 20. Maltodekstrin dengan DE yang rendah bersifat non-higroskopis, DE yang rendah menunjukkan kecenderungan rendahnya penyerapan uap air. Maltodekstrin dengan DE tinggi cenderung menyerap air (higroskopis) (Luthana, 2008). Perubahan pada nilai DE akan memberikan karateristik yang berbeda-beda. Peningkatan nilai DE akan meningkatkan warna, sifat higroskopis, plastisitas, rasa manis dan kelarutan (Kuntz, 1997). Rumus umum maltodekstrin adalah [(C 6 H 10 O 5 )nH 2 O)] (Luthana, 2008). Struktur kimia Maltodekstrin ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Struktur Maltodekstrin (Rowe, et al., 2009) Maltodekstrin dibuat dari hidrolisis pati oleh enzim. Enzim ini digunakan untuk memutus rantai ikatan -(1,4)-D-glukosa yang terdapat pada pati (Moore, et

Universitas Sumatera Utara

al., 2005). Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis parsial, sehingga proses hidrolisisnya berhenti hanya sampai likuifikasi. Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan -(1,4)-D-glikosidik oleh enzim -amylase pada bagian dalam rantai polisakarida sehingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin dan limit dekstrin. Enzim -amylase merupakan enzim yang menghidrolisis secara khas melalui bagian dalam dengan memproduksi oligosakarida dari konfigurasi alfa yang memutus ikatan -(1,4)-D-glikosidik pada amilosa dan amilopektin. Ikatan -(1,6)-D-glikosidik tidak dapat diputus oleh -amylase, tetapi dapat dibuat menjadi cabang-cabang yang lebih pendek (Anonim, 2006). Maltodekstrin harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan yaitu susut pengeringan < 6%, sisa pemijaran < 0,5% dan pH antara 4-7. Maltodekstrin sangat banyak aplikasinya, seperti halnya pati, maltodekstrin merupakan bahan pengental sekaligus dapat sebagai emulsifier. Kelebihan maltodekstrin adalah bahan tersebut dapat dengan mudah melarut pada air dingin, kelebihan lainnya adalah maltodekstrin merupakan oligosakarida yang tergolong dalam prebiotik (Luthana, 2008). Aplikasinya penggunaan maltodekstrin contohnya pada minuman susu bubuk, minunan berenergi (energen) dan minuman prebiotik. Sifatsifat yang dimiliki maltodekstrin antara lain mengalami memiliki sifat daya larut yang tinggi, memiliki sifat membentuk film, membentuk sifat higroskopis yang rendah, memiliki sifat browning yang rendah, dapat menghambat kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat. Maltodekstrin merupakan salah satu jenis bahan pengganti lemak berbasis karbohidrat yang dapat diaplikasikan pada produk frozen dessert seperti es krim, yang berfungsi membentuk padatan, meningkatkan viskositas, meningkatkan tekstur, dan meningkatkan kekentalan (Luthana, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.5 Orally Disintegrating Tablet Orally Disintegrating Tablet (ODT) adalah suatu bentuk sediaan padat mengandung senyawa aktif obat yang dapat hancur secara cepat, biasanya dalam hitungan detik, ketika diletakkan di atas lidah. Orally disintegrating Tablet juga disebut dengan Oro-disperse, mouth dissolving, rapidly disintegrating, fast melt, quick dissolve dan freeze dried wafers (Kundu dan Sahoo, 2008). ODT telah mendapatkan perhatian sebagai alternatif pilihan dari tablet konvensional dan kapsul, karena dapat memberikan kepatuhan pasien yang lebih baik. Teknologi ODT memenuhi beberapa kebutuhan pasien dalam kenyamanan penggunaan obat seperti pada pasien geriatrik, pasien pediatrik dan pasien disfagia (Jaysukh, et al., 2009). ODT diharapkan cepat terdisintegrasi di mulut ketika kontak dengan air ludah atau saliva dalam waktu kurang dari 60 detik (Kundu dan Sahoo, 2008). Zat aktif kemudian akan melarut atau terdispersi dengan adanya air ludah, lalu ditelan oleh pasien dan obat akan diabsorpsi seperti umumnya. Untuk proses ini, jumlah air ludah yang sedikit telah mencukupi untuk memungkinkan terjadinya disintegrasi tablet. Oleh karena itu, tidak diperlukan air untuk menelan obat (Koseki, et al., 2008). Hal inilah yang akan mempermudah dan meningkatkan kepatuhan pasien anak-anak ataupun orang tua dalam penggunaan obat. Selain itu, sejumlah bagian obat juga mungkin diabsorpsi di daerah pra-gastrik seperti mulut, faring, dan esofagus ketika air ludah turun ke lambung sehingga ketersediaan hayati obat akan meningkat dan pada akhirnya juga meningkatkan efektivitas terapi.

Universitas Sumatera Utara

2.5.1 Karakteristik Ideal ODT Sediaan ODT berbeda dari tablet konvensional umumnya, maka sediaan ODT harus memiliki beberapa karakteristik yang ideal antara lain: a. disintegrasi harus cepat. Secara umum, hal ini berarti bahwa tablet ODT harus terdisintegrasi dalam waktu kurang dari 1 menit. Namun demikian, akan lebih disukai bila disintegrasi terjadi secepat mungkin di dalam rongga mulut. Begitu juga ODT harus terdisintegrasi dengan sedikit atau tanpa meminum air sama sekali dan dimaksudkan untuk terdispersi dengan air ludah pasien sendiri. b. penutupan rasa (taste-masking) dari senyawa aktif. Hal ini dikarenakan ODT akan mengalami disintegrasi di dalam mulut. Setelah melarut, sediaan diharapkan tidak atau sedikit meninggalkan residu serta rasa enak di mulut. Teknologi penutupan rasa yang ideal hendaknya mampu menghasilkan mouthfeel yang baik dan tidak memberikan sensasi berpasir (grittiness) di mulut. c. kekerasan dan porositas tablet yang optimal. Oleh karena ODT dirancang untuk memiliki waktu disintegrasi dan disolusi yang cepat maka dibutuhkan zat tambahan (excipient) dan struktur tablet dengan porositas yang tinggi, yang dimaksudkan untuk absorpsi air yang cepat ke dalam tablet. d. sensitifitas yang rendah terhadap kelembapan. ODT seringkali sensitif terhadap kelembapan, hal ini disebabkan zat tambahan dengan kelarutan dalam air yang tinggi sehingga sangat rentan terhadap kelembapan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan strategi pengemasan yang baik agar tablet terlindungi dari berbagai pengaruh lingkungan (Fu, et al., 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.5.2 Kelebihan dan Kekurangan Formulasi ODT ODT memiliki semua kelebihan dari bentuk sediaan solida, antara lain ketepatan dosis, kemudahan produksi dan praktis dibawa bepergian. ODT juga memiliki kelebihan formulasi seperti kemudahan penggunaan obat, tidak ada resiko sesak nafas (tersedak) akibat obstruksi fisik bentuk solida di tenggorokan (Fu, et al., 2004), kecepatan absorpsi dan onset obat yang cepat, serta ketersediaan hayati yang tinggi. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, zat aktif dapat

diabsorpsi baik di daerah bukal, faring maupun esofagus selama larutan obat turun ke lambung. Karena absorpsi pra-gastrik akan menghindarkan zat aktif dari metabolisme lintas pertama di hati, maka dosis obat juga dapat dikurangi bila sejumlah besar zat aktif mengalami metabolisme tersebut selama pemberian tablet konvensional (Fu, et al., 2004). Oleh karena itu dalam kasus terapi tertentu, ODT merupakan obat pilihan untuk mendapatkan konsentrasi sistemik yang tinggi secara cepat atau high drug loading (Kundu dan Sahoo, 2008). ODT menawarkan kemudahan bagi pasien yang mengalami kesulitan menelan (disfagia) terutama pasien pediatri dan geriatri serta untuk pasien yang sedang berlibur dan menempuh perjalanan jauh yang kemungkinan besar air minum mungkin sulit diperoleh (Verma dan Garg, 2001). Di samping berbagai kelebihan ODT seperti yang telah disebutkan di atas, sediaan ODT juga memiliki kekurangan yaitu keterbatasan jumlah obat yang dapat diformulasi dalam setiap unit dosisnya. Selain itu, terkait sifat bentuk sediaan ODT yang rapuh (fragile), diperlukan pengemasan khusus dan ini tentu akan menambah biaya produksi.

Universitas Sumatera Utara

2.6 Metoklopramida Metoklopramida hidroklorida merupakan serbuk kristalin berwarna putih atau praktis putih, tak berbau atau praktis tak berbau. Sangat mudah larut dalam air, larut dalam alkohol, agak sukar larut dalam kloroform, praktis tidak larut dalam eter (Ditjen POM, 1995). Metoklopramida pertama kali dideskripsikan oleh Justin-Besanon Dr.Louis dan C. Laville pada tahun 1964. Metoklopramida adalah suatu derivat prokainamid yang merupakan antagonis reseptor dopamin D2, reseptor 5HT3, pelepas asetilkolin dan inhibitor kolinesterase. Struktur kimia Metoklopramida ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Struktur Metoklopramida (Ditjen POM, 1995) Metoklopramida yang merupakan suatu antiemetik, dipilih sebagai model obat dalam penelitian ini, karena metoklopramida dapat diberikan pada pasien mabuk perjalanan yang tidak mempunyai persediaan air pada waktu ingin meminum obat. Contohnya pasien penumpang kapal terbang atau pasien yang sedang menempuh perjalanan jauh. Pada peristiwa-peristiwa seperti itu, metoklopramida merupakan suatu kandidat obat untuk ODT karena memberikan keuntungan pada pasien-pasien tertentu (Alanazi, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai