Anda di halaman 1dari 46

A.

IDENTITAS PASIEN
Nama Umur Jenis Kelamin Status Perkawinan Suku Bangsa Agama Pendidikan Alamat : Ny. C : 19 tahun : Perempuan : Kawin : Sunda : Islam : SD : Kp. Cidatar

B. ANAMNESIS
Diambil dari Tanggal : Autoanamnesis dan alloanamnesis (suami pasien) : 25 Maret 2011

Keluhan Utama Panas badan yang hilang timbul sejak 7 hari SMRS. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan panas badan yang hilang timbul sejak 7 hari SMRS. Panas badan dirasakan hilang timbul dan meningkat dari sore hingga malam hari. Awalnya menurut pasien panas badan itu dirasakan selama 2 hari. Kemudian pada keesokan harinya pasien mengaku demamnya sudah turun setelah makan obat penurun panas yang dibeli dari warung. 4 hari kemudian, pasien merasakan panas badan yang kembali muncul dan semakin tinggi. Panas badan ini diikuti dengan keluhan lain seperti mual dan muntah darah yang berwarna kehitaman. Keluhan juga diperberat oleh sakit kepala yang berdenyut di bagian depan kepala dan nyeri pada kedua sendi lutut.

Keluhan disertai nyeri perut dan BAB mencret 2-3 kali tadi pagi. Keluhan BAK tidak ada keluhan. Riwayat BAB berwarna hitam, keluar darah dari hidung dan bintik-bintik merah diakui oleh pasien. Karena kondisinya tidak membaik kemudian pasien di rujuk ke RSU dr. Slamet Garut dengan diagnosis febris e.c demam dengue dengan typoid untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Riwayat batuk-batuk lama disertai keringat malam dan penurun berat badan disangkal. Riwayat sering makan obat warung diakui pasien. Riwayat kontak dengan penderita batuk lama atau batuk berdarah disangkal. Riwayat bepergian ke daerah endemis malaria disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat sakit maag diakui oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada satu orang pun anggota keluarga pasien yang pernah menderita sakit seperti ini.

ANAMNESA SISTEM Kulit Kepala Mata Telinga Hidung Mulut (+), tremor (-) Tenggorokan Leher : t.a.k : KGB tidak teraba membesar Tidak ada deviasi trakea : t.a.k : t.a.k : Konjungtiva tidak anemis Sklera tidak ikterik : t.a.k : t.a.k : Mulosa bibir kering, sianosis (-), lidah kotor, tepi hiperemis

Dada Abdomen Saluran kemih/alat kelamin Extremitas

: t.a.k : mual : t.a.k : akral hangat, udem (-)

Riwayat makanan Frekwensi/hari Jumlah/hari Variasi/hari Nafsu makan Kesulitan Keuangan Pekerjaan Keluarga Lain-lain : Cukup : Ibu rumah tangga : Baik : tidak ada : 2-3x/hari : Cukup : Cukup : Cukup

PEMERIKSAAN JASMANI Pemeriksaan Umum Tinggi Badan Berat badan Tekanan darah Nadi Suhu Pernafasan Keadaan gizi BMI Kesadaran Sianosis Edema umum Habitus : 150 cm : 49 kg : 120/90 mmhg : 96x/menit : 38,8 C : 22 x/menit : baik : 49 / (1.50)2 = 21,7 (normoweight) : Compos mentis : (-) : (-) : Atletikus

Cara berjalan Mobilitas

: Normal : Terbatas (pasien lemas)

ASPEK KEJIWAAN Tingkah laku Alam perasaan Proses pikir : Wajar : Biasa : wajar

KULIT Warna Jaringan parut Suhu raba Keringat Umum Setempat Lapisan lemak : sawo matang : (-) : Hangat : (-) : (-) : cukup Eflorensensi Pigmentasi Pembuluh darah Lembab/kering Turgor Ikterus Edema : (-) : (-) : tidak melebar : Lembab : Cukup baik : (-) : (-)

Pertumbuhan rambut : Normal

KELENJAR GETAH BENING Submandibula, Leher, Supraklavikula, ketiak dan paha : Tidak ada pembesaran

KEPALA Ekspresi wajah Simetris muka Rambut : Wajar : Simetris : Tebal + hitam

Pembuluh darah temporal : Teraba

Mata Exophthalmus Kelopak Konjungtiva Sklera Deviatio konjungtiva Telinga Tuli Selaput pendengaran Lubang Penyumbatan Serumen Perdarahan Cairan Mulut Bibir Tonsil Langit-langit Bau pernafasan Gigi geligi Trismus Faring Selaput lendir Lidah LEHER Tekanan vena jugularis (JVP) Kelenjar Tiroid, Kelenjar limfe : Normal : Tidak teraba pembesaran : Lembab : T1-T1 : Normal : Biasa : Caries (-) : (-) : Tidak hiperemis : (-) : Kotor, tepi hiperemis (+), tremor (+) : (-) : Tidak diperiksa : Normal : (-) : Tidak diperiksa : (-) : (-) : (-) : Normal : Tidak Anemis : Tidak ikterik : Tidak ada Enopthalmus Lensa Visus Gerakan mata Tekanan bola mata Nystagmus : (-) : Keruh : Tidak diperiksa : Normal :Tidak diperiksa : (-)

Lapangan Penglihatan : Sulit dinilai

DADA Bentuk Pembuluh darah Buah dada PARU-PARU Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi JANTUNG Inspeksi Palpasi Perkusi : Ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis tidak teraba : Batas jantung kanan ICS IV linea parasternal dextra Batas jantung kiri ICS V linea midclavicula sinistra Batas jantung atas ICS II linea parasternal sinistra Auskultasi PERUT Inspeksi Auskultasi Palpasi : Datar, lembut : Bising usus (+) normal : Hepar teraba 3 jari dibawah arcus costae Lien tidak teraba membesar Nyeri tekan pada abdomen (+) Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen : BJ I-II murni reguler, Gallop (-), Murmur (-) : Hemithorak kanan = kiri simetris dalam keadaan statis dan dinamis : Fremitus vokal dan taktil kanan = kiri : Sonor pada kedua hemithorak : VBS kanan = kiri, Rh -/-, Wh -/: Simetris : Tidak ada pelebaran : Tidak ada kelainan

PEMBULUH DARAH Arteri Temporalis Arteri Karotis Arteri Brakhialis : Teraba : Teraba : Teraba

Arteri Radialis Arteri Femoralis Arteri Poplitea Arteri Tibialis Posterior

: Teraba : Teraba : Teraba : Tidak diperiksa

ALAT KELAMIN Tidak dilakukan pemeriksaan

ANGGOTA GERAK Lengan kanan/kiri Tonus otot Massa Sendi Gerakan Kekuatan : : : : : +/+ -/+/+ +/+ 5/5

Tungkai dan Kaki kanan/kiri Luka Varises Tonus otot Massa Sendi Gerakan Kekuatan Edema REFLEKS Tidak diperiksa COLOK DUBUR (ATAS INDIKASI) Tidak diperiksa : : : : : : : : -/-/+/+ -/+/+ +/+ 5/5 -/-

LABORATORIUM (26 Maret 2011) Haemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit Eritrosit Imunoserologi widal Anti S.typhi H Anti S.typhi O IgG Dengue IgM Dengue Kimia Klinik AST (SGOT) ALT (SGPT) Gula darah puasa : 74 U/L : 73 U/L : 93 mg/dl : 1/320 : negatif : (-) : (+) : 12.0 gr/dl : 35 % : 8,100 /mm3 : 287.000 /mm3 : 4.53 juta/mm3

RINGKASAN

Pasien perempuan berumur 19 tahun, mengeluh demam 7 hari yang timbul bertahap, hilang timbul dan meningkat pada sore hingga malam hari. Sakit kepala (+), mual (+), muntah (+), nyeri perut dan BAB mencret (+). Riwayat epistaksis (+), Riwayat BAB hitam (+), Riwayat petekie (+), Riwayat gastritis (+), Riwayat sering makan obat warung (+).

Hasil pemeriksaan didapatkan sebagai berikut : KS KU Vital sign : Compos Mentis, : Tampak sakit sedang : TD : 120/90 N : 96 x/menit R : 22 x/menit S Pemeriksaan fisik : Lidah Lab : Hematokrit AST (SGOT) ALT (SGPT) Anti S. Typhi H IgM Dengue : 35 % : 74 U/L : 73 U/L : 1/320 : (+) : kotor (+), tepi hiperemis (+), tremor (-) : 38,8 C

DAFTAR MASALAH SEMENTARA Febris e.c Demam Dengue DD/ Demam Typhoid

PENGKAJIAN
1.

Febris e.c Demam Dengue, berdasarkan: Demam yang hilang timbul selama 7 hari Sakit kepala (+) Hepar teraba 3 cm dibawah arcus costae Riwayat epistaksis Riwayat petekie IgM Dengue (+) Sudah pernah berobat ke dokter dan didiagnosis susp. demam dengue.

DD/ Demam Tifoid Keluhan Gastrointestinal : mual (+), nyeri perut (+), BAB mencret (+) Tifoid tongue : lidah kotor (+), pinggir hiperemis (+), tremor (+) Hepar teraba 3 cm dibawah arcus costae Muntah darah Riwayat BAB hitam

PERENCANAAN

Diagnostik

: Cek darah rutin IgM, IgG Dengue Imunoserologi Widal Gaal Kultur

10

Terapi

: Infus RL 20 gtt/menit Cefotaxime 2 x 1 gr i.v Ondansetron 2 x 4 mg i.v Ranitidin 2 x 1 amp i.v Paracetamol 3 x 500 mg p. O

Edukasi

: Tirah baring Diet makanan lunak Mengkonsumsi makanan yang higienis

PROGNOSIS -

Quo ad vitam Quo ad fungsionam Quo ad sanationam

: ad bonam : ad bonam : ad bonam

11

FOLLOW UP
Tanggal 26-03-2011 Pasien keluhan yang yang Subjektif datang hilang berdenyut dengan timbul. terus Objektif KU : SS KS : CM T : 110/80 mmHg N : 72 x/menit R : 20 x/menit S : 36,9 C Mata : Ca -/- SI -/Paru : VBS ka=ki, Wh -/- Rh -/Cor : BJ I-II murni regular, m(-) g(-) Abdomen : datar, Nyeri tekan (+) BU (+) Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat E/ Tirah baring Diet makanan lunak -Hematemesis Melena T/ Inf RL 20 gtt/min Cefotaxime 2x1 gr Ranitidin 2x1 IV Ondansetron 2x4 Mg Paracetamol 3x500 mg Dd/ demam typoid Analisis -Obs. Febris e.c Demam dengue D/ Cek lab : darah rutin, IgM, IgG dengue, widal, gaal kultur--> menunggu hasil Perencanaan

panas badan

Keluhan disertai pusing menerus. Nyeri ulu hati (+) dan bertambah nyeri bila diisi makanan. Mual dan muntah darah. BAB mencret hitam. dan berwarna sering Riwayat

makan obat warung (+).

12

Tanggal 28-03-2011

Subjektif Keluhan saat ini : -nyeri pada ulu hati -tidak BAB sudah 1 hari -demam berkurang -mulai (-)

Objektif KU : SS KS : CM T : 100/70 mmHg N : 100 x/menit R : 22 x/menit S : 36,9 C Mata : Ca -/- SI -/Paru : VBS ka=ki, Wh -/- Rh -/Cor : BJ I-II murni regular, m(-) g(-) Abdomen : datar, Nyeri tekan (+) BU (+) Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat LAB. (26-03-2011): Hematokrit : 35 % AST(SGOT): 74 U/L ALT(SGPT): 73 U/L Anti S. Typhi H : 1/320 IgM Dengue : (+)

Analisis -Demam Typhoid -Febris e.c Dengue Fever (perbaikan) -Hematemesis Melena (perbaikan) E/ T/

Perencanaan D/ cek darah rutin lengkap

infus RL 20 gtt/min baquinor 2 x 1 iv sistenol 3 x 1 po

Tirah baring

13

Tanggal 29-03-2011

Subjektif Keluhan saat ini : -nyeri pada ulu hati (-) -demam tidak ada -mulai (-) -BAB lancar

Objektif KU : SS KS : CM T : 110/70 mmHg N : 104 x/menit R : 22 x/menit S : 35,7 C Mata : Ca -/- SI -/Paru : VBS ka=ki, Wh -/- Rh -/Cor : BJ I-II murni regular, m(-) g(-) Abdomen : datar, Nyeri tekan (+) BU (+) Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat LAB. (26-03-2011): Hematokrit : 35 % AST(SGOT): 74 U/L ALT(SGPT): 73 U/L Anti S. Typhi H : 1/320 IgM Dengue : (+)

Analisis -Demam Typhoid Bebas demam 3 hari T/ -Febris e.c Dengue Fever (perbaikan) -Hematemesis Melena (perbaikan)

Perencanaan D/ cek darah rutin lengkap

infus RL 20 gtt/min baquinor 2 x 1 iv sistenol 3 x 1 po E/ Tirah baring

14

Tanggal 30-03-2011

Subjektif Keluhan saat ini : -pasien ingin pulang Karena pasien merasa sudah sehat

Objektif KU : SR KS : CM T : 100/70 mmHg N : 110 x/menit R : 20 x/menit S : 37,2 C Mata : Ca -/- SI -/Paru : VBS ka=ki, Wh -/- Rh -/Cor : BJ I-II murni regular, m(-) g(-) Abdomen : datar, Nyeri tekan (+) BU (+) Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat

Analisis -Demam Typhoid Bebas demam 4 hari T/ -Febris e.c Dengue Fever (perbaikan)

Perencanaan D/ cek darah rutin lengkap

infus RL 20 gtt/min baquinor 2 x 1 iv sistenol 3 x 1 po E/ Tirah baring BLPL

15

PEMBAHASAN

I. DEMAM TIFOID

Demam tifoid dikenal sebagai penyakit saluran cerna yang merupakan infeksi sistemik dari bakteri Salmonella typhi. Biasanya tifoid sangat erat kaitannya dengan makanan dan air yang terkontaminasi oleh Salmonella enterica serotipe typhi. Demam tifoid ini juga merupakan penyakit multisistemik yang parah dengan karakter demam yang lama. . berpotensial fatal jika tidak diterapi dan berpotensial fatal jika tidak diterapi. Seperti diketahui demam tifoid disebabkan oleh genom Salmonella. Salmonella merupakan genus yang luas dari batang gram negatif famili enterobacteriaceae. Semua salmonella adalah motil dengan peritrichous flagella kecuali Salmonella typhi . Salmonella memproduksi asam dalam fermentasi glukosa, mereduksi nitrat, dan tidak memproduksi cytochrome oxidase, fakultatif anaerobic serta tidak membuat spora. Genus Salmonella berdasarkan deteksi antigen mayor yang determinan : 1. Somatic O antigen 2. Surface Vi antigen, terbatas pada S. typhi dan S. paratyphi 3. Flagellar H antigen

Patogenesis Semua infeksi Salmonella dimulai dengan menelan organisme yang ada dalam makanan atau minuman yang sudah terkontaminasi. Kuman sebagian dimusnahkan dalm lambung., sebagian lolos masuk ke dalam usus dan kemudian berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan selanjutnya ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat dalam

16

makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama limpa dan hati. Di dalam hati kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian lagi masuk ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif, maka saat fagositosis kuman terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang kemudian akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, maleise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi. Endotoksin kuman dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya.

Diagnosis Tidak adanya gejala yang spesifik membuat penegakan diagnosis tifoid jadi sulit. Pada daerah endemik, demam tanpa penyebab jelas yang berlangsung lebih dari 1 mingggu harus dipikirkan ke arah tifoid hingga benar-benar dibuktikan penyebabnya. Kultur darah adalah cara penegakan diagnosis standar. Pada kultur darah dengan volume 15 ml pada dewasa dapat menegakkan diagnosis tifoid dengan keakuratan 60-80%, kultur sumsum tulang

17

belakang lebih sensitif dengan keakuratan 80-95% bahkan pada pasien yang sudah diberikan antibiotik selama beberapa hari. Kultur darah kurang sensitive daripada sumsum tulang karena jumlah mikroorganisme yang ada pada darah lebih sedikit daripada sumsum tulang. Kesensitifan dari kultur darah lebih tinggi pada minggu pertama timbulnya penyakit. Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil yang negatif tidak menyingkirkan demam tifoid karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif. 2. 3. darah pasien. 4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. Volume darah yang kurang. Bila darah yang dikultur terlalu sedikit maka hasil kultur bisa negatif. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam

Pada tes Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada tes widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tes widal digunakan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : a. Aglutinin O (dari tubuh kuman) b. Aglutinin H (flagela kuman) c. Aglutinin Vi (simpai kuman) Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tes widal yaitu : Pengobatan dini dengan antibiotik. Gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid. Waktu pengambilan darah Daerah endemik atau non endemik Riwayat vaksinasi

18

Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium akabat aglutinasi silang dan

demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi. strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. Kultur sumsum tulang sangat sensitif keakuratannya 80-95 %. Kultur ini digunakan jika kebenaran diagnosis bakteriologik kemelut atau pasien sudah diobati dengan antibiotik. Hanya saja tes ini sangat sakit terasa pada pasien pada waktu pengambilan sampel. Dan sangat dibutuhkan ketrampilan yang tinggi agar saat pengambilan sampel tidak terjadi trauma bahkan komplikasi. Manifestasi Klinis Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi disertai komplikasi hingga kematian. Dalam minggu pertama suhu tubuh meninggi secara bertingkat seperti anak tangga berangsur dari suhu normal hingga mencapai suhu 38-40C. Suhu tubuh lebih tinggi pada sore dan malam hari dibanding pagi hari. Buang air besar biasanya terganggu dan terdapat lidah putih serta kotor, tepi lidah kelihatan merah, tremor, timbul bintik-bintik di dada dan perut pada awal penyakit selama kira-kira 5 hari pertama, kemudian tanda-tanda ini akan menghilang dan bisa menimbulkan infeksi pada kelenjar usus halus. Nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, perasaan tidak enak di perut, batuk, epistaksis, obstipasi atau diare juga terdapat pada minggu pertama. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas lagi berupa demam, bradikardi relatif (nadi tidak meningkat dengan adanya peningkatan suhu), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Dan pada minggu ketiga gejala lebih jelas terlihat yaitu perut akan terasa sakit sekali, nadi cepat dan lemah. Dan pada stadium ini dapat terjadi perdarahan usus lalu disusul kematian.

Penatalaksanaan Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:

19

1. 2.
3.

Istirahat dan perawatan, bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan

penyembuhan. mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Istirahat dan Perawatan Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian dan perlengkapan yang dipakai. Pada pasien dengan kesadaran menurun diperlukan perubahan-perubahan posisi berbaring untuk menghindari komplikasi pneumonia ortostatik dan dekubitus. Diet dan Terapi Penunjang Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Di masa lalu pasien diberi bubur saring kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya nasi disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat secara dini yaitu nasi, lauk-pauk yang rendah selulosa dapat diberikan dengan aman kepada pasien demam tifoid.

Pemberian Antimikroba

Kloramfenikol

20

Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara peroral atau intravena. Untuk strain kuman yang sensitif terhadap kloramfenikol, antibiotika ini memberikan efek klinis paling baik dibandingkan obat lain. Perlu diketahui kloramfenikol mempunyai efek toksik terhadap sumsum tulang. Penggunaan kloramfenikol, demam akan turun rata-rata setelah 5 hari.

Tiamfenikol Dosis dan efektivitas obat ini pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Demam rata-rata akan menurun pada hari ke-5 dan ke-6. Kotrimoksazol Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet. Tiap tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan trimetoprim 80 mg. Obat ini diberikan selama 2 minggu. Ampisilin dan amoksisilin Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBBdan digunakan selama 2 minggu. Sefalosporin generasi ketiga Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson. Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dektrosa 100 cc diberikan selama setengah jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari. Golongan flurokuinolon Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya : Norfloksazin dosis 2 x 400 mg/ hari selama 14 hari

21

Ciprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari Pefloksasin dosis 400 mg/ hari selama 7 hari Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ketiga atau menjelang hari keempat. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan flurokuinolon pertama yang memiliki bioavaibilitas tidak sebaik flurokuinolon yang dikembangkan kemudian. Kombinasi antimikroba Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain tifoid toksik, peritonitis atau perforasi serta syok septik yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella. Kortikosteroid Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.

II. DEMAM DENGUE

& DEMAM BERDARAH DENGUE

Patofisiologi Demam Dengue Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue( DBD) disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah pada peristiwa renjatan yang khas pada DBD. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan

22

memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi aggregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.

Patofisiologi DBD Sistim vaskuler Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi. Tidak terjadinya lesi destruktif nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor:

23

perubahan vaskuler, trombositopeni dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, dan banyak diantaranya penderita menunjukkan koagulogram yang abnormal. Sistim respon imun Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, antihemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect).

Respon Imun Infeksi Virus Dengue (dikutip dari Suroso, Torry C. Panbio Dengue Fever Rapid Strip IgG dan IgM, 2004)

24

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat.

Patogenesis Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai penjamu terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Beberapa faktor resiko yang dilaporkan pada infeksi virus dengue antara lain serotipe virus, antibodi dengue yang telah ada oleh karena infeksi sebelumnya atau antibodi maternal pada bayi, genetic penjamu, usia penjamu, resiko tinggi pada infeksi sekunder, dan resiko tinggi bila tinggal di tempat dengan 2 atau lebih serotipe yang bersirkulasi tinggi secara simultan. Ada beberapa patogenesis yang dianut pada infeksi virus dengue yaitu Teori VirulensiVirus, Secondary Heterologous / Infection Enhancing, Antibody dari Halstead, Teori Immunopatology, Teori Apoptosis, Teori Antigen Antibody, Teori Mediator, Teori Endotoksin, teori hipersensitivitas tipe III dari T.MUDWAL A. Teori Virulensi Virus Virulensi virus adalah penyebab dari segala-galanya. Ada empat macam serotype virus dengue yaitu virus dengue 1,2,3,4. Teori ini menyatakan bahwa keganasan virus lah yang menyebabkan kerusakan jaringan, plasma leakage, trombositopenia dan sebagainya. Untuk di Indonesia diyakini virus dengue 3 lah yang terganas. Thailand virus dengue 2 dan Philiphinna virus dengue 3 dan 4.

25

Kelemahan teori ini adalah: 1. Sering terjadi bahwa infeksi oleh virus yang dianggap ganas tapi hanya 1 kali gigitan (igM +) memberikan gejala klinik yang lebih ringan daripada infeksi virus yang tidak ganas dengan beberapa kali gigitan walaupun dengan serotipe virus yang berlainan. 2. Sering ditemui bahwa pasien yang secara teoritis mempunyai imunitas yang rendah seperti gizi buruk,usia tua memberikan gejala klinik yang lebih ringan walaupun diinfeksi oleh virus dengue yang dianggap ganas berkali-kali, bahkan dari serotipe yang berlainan. Dalam kenyataan hampir tidak pernah kita temui penderita usia tua ( >60tahun) mempunyai gejala klinik DBD yang berat. 3. Orang-orang dengan ras tertentu tidak terkena DBD walaupun tinggal di daerah endemik yang banyak nyamuk Aedes Aegypty. Sehingga teori ini tidak dapat menjelaskan kenapa DBD terutama menyerang Asia Tenggara dan Pasifik Barat bukan Amerika,Eropa dan Australia. B. Teori Secondary Heterologous Infection / Infection Enhancing Antibody Halstead Hipotesis infeksi sekunder menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai resiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/berat. Antibodi heterolog yang ada tidak akan menetralisasi virus dalam tubuh sehingga virus akan bebas berkembang biak dalam sel makrofag. Teori ini ditemukan oleh Halstead pada tahun 1970an. Dasar teori ini bahwa seseorang baru terkena penyakit DBD bila terinfeksi virus dengue minimal dua kali dari tipe virus yang berbeda (terbentuk antibodi non neutralizing). Antibodi non neutralizing akan menyebabkan virus mudah masuk dalam sel target dan terjadi penyebaran komplek imun. Sedangkan apabila hanya terinfeksi oleh virus satu kali saja seseorang tidak akan menderita DBD sebab yang terbentuk adalah antibodi neutralizing. Antibodi neutralizing sebenarnya adalah IgM sedangkan antibodi non neutralizing adalah IgG. Kelihatannya Halstead pada tahun 70an itu memperhatikan bahwa semua penderita yang terkena DBD IgGnya positif. Sedangkan yang IgGnya negatif tidak menderita DBD. Teori ini yang paling banyak dianut pada saat ini. Infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibody anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer antibody IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi

26

dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang selanjutnya akn mengakibatkan aktivasi system komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravascular ke ruang ekstravaskular. Perembesan plasma ini terbeukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi komplemen dapat juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosine difosfat) sehingga trombosit melekat satu sama lain. Adanya trombus ini akan dihancurkan oleh RES (retikuloendotelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit juga menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulasi intravaskular deseminata yang ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Agregasi trombosit juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfunsgi baik. Di sisi lain aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi perdarahan massif pada DBD disebabkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat koagulasi intravascular deseminata), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi. Kelemahan teori ini : 1. Secara teoritis pembentukan antibodi sebenarnya untuk memudahkan fagositosis dari sel makrofag. Oleh karena itu suatu keanehan bila setelah terbentuk antibodi IgG virus justru mudah untuk masuk ke sel target dan bereplikasi. Istilah neutralizing dan non neutralizing tidak ada pada textbook alergi dan imunologi Kalaupun kita ingin mengatakan bahwa setelah terbentuk IgG, penyakit DBD akan semakin berat, itu disebabkan oleh disfungsi sel makrofag akibat terinfeksi oleh virus. Sebagai akibatnya komplek imun akan menyebar ke seluruh tubuh dan terjadi kerusakan jaringan yang luas atau syok. Kerusakan jaringan yang luas disebabkan timbulnya sel-sel makrofag baru yang belum terinfeksi virus dengue yang akan memfagositosis seluruh komplek

27

imun yang telah tersebar tersebut . (identik dengan teori hipersensitivitas tipe III yang dikatakan T.Mudwal) 2. Halstead tidak dapat menjawab kenapa sekarang mulai banyak orang terkena DBD hanya dengan satu kali gigitan saja (IgM positif, IgG negatif). Untuk mencoba menjawab ini Halstead mengatakan bahwa seseorang terkena DBD tergantung genetiknya (tidak harus dua kali atau lebih dari gigitan dari nyamuk Aedes Agypti yang membawa virus dengue dari serotipe yang berbeda). Jadi secara tidak langsung teori Halstead tentang secondary heterologous infection telah gugur. Menurut T.Mudwal apa yang dimaksud genetik oleh Halstead adalah sensitif atau tidaknya seseorang terhadap virus dengue. Yang anehnya sampai sekarang hampir seluruh fakultas kedokteran seluruh dunia mengajarkan bahwa seorang baru terkena DBD bila terjadi secondary heterologous infection dari Halstead.

C.

Teori Apoptosis Teori ini menyatakan bahwa beratnya penyakit DBD disebabkan matinya sel secara fisiologis akibat berbagai macam stimuli yang dikeluarkan dari limfosit sitotoksik. Rusaknya sel target, sel endotel, sel trombosit, dsb bukan oleh karena virus yang hidup dalam sel target atau bukan oleh karena fagosit oleh sel makrofag pada komplek imun yang menempel pada sel itu, tapi oleh karena terprogramnya sel-sel itu untuk mati secara sendirinya akibat virus merangsang sel limfosit sitotoksik untuk mengeluarkan granzim dan fragmentin yang akan mengkode kematian.

28

Kelemahan teori ini : Teori ini tidak mempersoalkan tentang penyebaran komplek imun yang telah jelas-jelas dibuktikan oleh para peneliti dan mengabaikan kemampuan sel-sel fagosit untuk menghancurkan komplek imun tersebut. Secara garis besar teori ini hampir sama dengan teori virulensi virus, sehingga kelemahan teori ini adalah seperti kelemahan pada teori virulensi virus. D. Teori Immunopatologi Teori ini menyatakan bahwa bila seseorang terkena infeksi virus dengue maka hanya ada dua kemungkinan dia menjadi kebal atau menjadi sakit. Kelemahan teori ini : Teori terlalu sederhana dan tidak jelas. E. Teori Mediator/sitokin Dasar dari penyakit DBD adalah keluarnya sitokin. Kelemahan teori ini : Teori ini terlalu sederhana. F. Teori Trombosit Endotel Beratnya penyakit DBD ditentukan oleh adanya kerusakan trombosit dan endotel. Kelemahan teori ini : Terlalu sangat sederhana.

29

G. Teori Endotoksin Endotoksin dari bakteri usus memegang peranan dalam beratnya gejala klinik DBD. Hal ini oleh karena endotoksin akan mengaktifkan kaskade sitokin terutama tumor necrosing factor (TNF) dan interleukin 1 (IL 1). Pada DBD yang syok terdapat 75% endotoksin sedangkan yang tidak syok 60% endotoksin. Pada pendarahan saluran cerna yang berat didapatkan kadar endotoksin yang lebih tinggi dibanding saluran cerna yang ringan walaupun pada kedua hal tersebut jumlah trombositnya sama. Endotoksin dari bakteri usus dapat masuk dalam sirkulasi darah oleh karena terjadinya translokasi bakteri usus ke dalam sirkulasi darah akibat rusaknya lumen usus.

Kelemahan teori ini : 1. Apakah endotoksin yang terukur itu sama efektifnya dengan endotoksin di sirkulasi. Sebab seperti diketahui endotoksin di sirkulasi dapat dikurangi efeknya oleh tubuh dengan cara mengikat endotoksin-endotoksin tersebut dengan plasma protein seperti transferin ADP dan protein-protein lain. Pada penelitian tersebut pada waktu pemeriksaan endotoksin diberikan PCA (preklorik acid) yang mengandung NaOH sehingga ikatan protein-protein plasma dengan endotoksin tersebut terlepas dan berakibat endotoksin yang terukur itu tinggi. Selain itu efek endotoksin dapat diperlemah/dinetralkan oleh antibodi. 2. Naiknya TNF, IL1, IL6, mungkin bukan oleh karena efek endotoksin tersebut (akibat merusak jaringan) tetapi mungkin oleh karena virus antibodi komplek yang mengaktifasi limfosit T (IL1 , IL6 ) dan mengaktifkan makrofag (TNF ) 3. Trombosit yang sama terapi pendarahan yang terjadi pada endotoksin yang lebih tinggi belum tentu karena endotoksinnya atau trombositopenianya sebab hal tersebut hanyalah salah satu faktor yang menyebabkani risiko pendarahan.

30

4.

Teori ini tidak dapat menjelaskan patogenesis dan patofisiologi DBD yang ringan (belum merusak mukosa usus) Sebagai bahan pertimbangan di RSCM pernah dibuktikan bahwa angka mortalitas dan saat morbiditas tidak berebda bermakna pada pasien kanker dengan sepsis dan endotoksin tinggi ketimbang pasien kanker dengan sepsis dan endotoksin rendah.

H. Teori Hipersensitivitas tipe III T.Mudwal Dasar reaksi hipersensitivitas tipe III adalah menyebarnya komplek imun ke seluruh bagian tubuh akibat disfungsi sel fagosit/makrofag. Komplek imun yang telah menyebar ke jaringan dan sirkulasi ini dapat dihancurkan oleh sel fagosit lain dalam hal ini makrofag yang belum terinfeksi oleh virus atau kuman tertentu (sel fagosit yang sehat). Hal ini dapat dilihat misalnya oleh infeksi streptococcus golongan A yang dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi dan ginjal. Pada reaksi Hipersensitivitas tipe III dapat terjadi reaksi autoimun yaitu reaksi tubuh untuk menghancurkan tubuhnya sendiri. Hal ini dimungkinkan oleh karena pada setiap manusia terdapat limfosit autoreaktif yang cenderung akan mengadakan reaksi autoimun. Yang bertindak sebagai limfosit autoreaktif adalah limfosit T Helper. Tidak terjadinya reaksi autoimun pada manusia oleh karena adanya mekanisme homeostasis imnoregulator. Limfosit T supressor akan menekan limfosit autoreaktif untuk tidak mengadakan reaksi autoimun. Komplek imun yang menmpel pada sel atau jaringan tertentu merupakan perangsang yang kuat untuk limfosit autoreaktif mengadakan reaksi autoimun. T.Mudwal mengatakan bahwa dasar patogenesis dan patofisiologi DBD adalah reaksi hipersensitivitas tipe III berdasarkan alasan sebagai berikut : 1. Tidak semua orang atau ras akan terkena DBD. DBD terutama mengenai Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Berarti genetik atau sensitivitas individu paling berperanan ketimbang keganasan virusnya. 2. Jarang dijumpainya pasien usia tua (>60 tahun) yang menderita penyakit DBD berat. Ini menunjukkan bahwa makin kurang imunitas seseorang berarti makin rendah kesensitifannya. 3. Pada umumnya infeksi sekunder atau gigitan nyamuk yang berualng kali menunjukkan gejala klinik yang lebih berat ketimbang infeksi primer atau gigitan nyamuka satu kali

31

saja. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan tempo untuk terbentuknya antibodidan terjadinya reaksi antigen-antibodi. 4. Telah dibuktikan tersebarnya komplek imun pada seluruh jaringan tubuh seperti dinding pembuluh darah, trombosit, pankreas, ginjal, hati dan sebagainya. 5. Diakuinya bahwa sel virus dengue hidup dan berkembang biak dalam sel tentara kita (monosit, makrofag, sel Kupfer). Bukan trombosit sebagai target dari virus dengue. 6. Ditemukannya reaksi autoimun (antibodi trombosit yang positif) pada pasien DBD di 62% sampel penelitiannya. Di mana ini dibuktikan sesuai dengan hasil laboratorium pemeriksaan antibodi trombosit dan adanya pasien-pasien yang mengalami kenaikan dan penurunan tajam dari jumlah trombosit berkali-kali padahal megakariosit sumsum tulang pada saat itu normal. Kenaikan tajam dan penurunan tajam dari jumlah trombosit menunjukkan bahwa antibodi trombosit dapat positif dan negatif secara cepat dan berulang-ulang. 7. Telah dibuktikan bahwa pemberian tranfusi trombosit tidak memberikan kenaikan jumlah trombosit yang signifikan bahkan pada beberapa pasien terjadi penurunan tajam dari jumlah trombosit. 8. Pemberian steroid dosis imunosupresif dalam hal ini metilprednisolon memberikan hasil yang baik terutama bila diberikan kepada pasien DBD < 5 hari. Pada DBD 5 hari penurunan tajam jumlah trombosit tidak terjadi. Bila keganasan virus sebagai sebab maka pemberian metilprednisolon immunosupressif akan memberikan keburukan pada pasien DBD. Sebenarnya tanpa dilakukan penelitian ulang apapun, penelitian T.Mudwal ini tetap lebih rasional secara keilmuan dan lebih kuat karena terbukti secara penelitian. 2 teori yang paling banyak dianut yaitu teori virulensi dan teori secondary infection Halstead sebenarnya tidak melakukan penelitian apapun atau penelitian yang sangat sederhana. Teori virulensi hanya mengamati pasien-pasien DBD dengan gejala klinik berat dan mengisolasi virus pada pasien itu. Begitu juga dengan teori Halstead yang hanya menemukan bahwa pasien yang menderita penyakit DBD ternyata hampir seluruhnya terdapat igG positif yang dikatakannya adalah antibody non neutralizing.

MANIFESTASI KLINIS

32

Infeksi virus dengue mempunyai spektrum klinis yang luas mulai dari asimptomatik (silent dengue infection), demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD), dan demam berdarah dengue disertai syok (sindrom syok dengue, SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2 7 hari, yang diikuti fase kritis selama 2 3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Untuk menegakkan, menurut WHO diagnosa infeksi virus Dengue diperlukan dua kriteria yaitu kriteria klinik dan kriteria laboratorium. Pengembangan tehnologi laboratorium untuk mendiagnosa infeksi virus Dengue terus berlanjut hingga sensitivitas dan spesifitasnya menjadi lebih bagus dengan waktu yang cepat pula. Ada 4 jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan yaitu : uji serologi, isolasi virus, deteksi antigen dan deteksi RNA/DNA menggunakan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah :

Pemeriksaan darah perifer: o leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif ( > 45% dari total leukosit) disertai dengan adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat o trombosit:umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8. o hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit > 20 % dari hematokrit awal, umumnya dimulai hari ke 3 demam. o Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen bila dicurigai terjadinya perdarahan atau kelainan pembekuan darah. o SGOT/SGPT dapat meningkat o Ureum/ keratinin bila didapatkan kelainan fungsi ginjal o Elektrolit sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
o

Golongan darah

Diagnosa pasti adalah dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan RT-PCR (reverse transcriptase polimerase chain

33

reaction) namun karena tekniknya lebih rumit, saat ini tes serologi yang mendeteksi adanya antibodi yang spesifik terhadap dengue berupa IgM dan IgG. IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke 2.

Uji hemaglutinasi inhibisi (uji HI). Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya sensitive namun tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Antibody HI bertahan dalam tubuh lama sekali (> 48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan pada studi sero-epidemiologi. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtif (+) atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi.

Uji komplemen fiksasi (uji CF)


o

Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit dan butuh tenaga berpengalaman. Antibody komplemen fiksasi bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).

Uji neutralisasi
o

Uji ini paling sensitive dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya memakai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Antibody neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dnegan antibody HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan bertahan lama ( > 4-8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama sehingga tidak rutin digunakan.

IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)


o

Banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke-4-5 infeksi virus dengue karena IgM sudah timbul kemudian akan diikuti IgG. Bila IgM negative uji ini perlu diulang. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negative maka dilaporkan sebagai negative. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Sensitivitas uji Mac Elisa sedikit di bawah uji HI dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan uji HI.

IgG Elisa Isolasi Virus

34

Identifikasi Virus, dengan fluorescence antibody technique test secara indirek dengan menggunakan antibody monoclonal.
o

Cara diagnostik baru dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RTPCR) sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap serotype tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus namun pada PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan specimen yang kurang baik bahkan adanya antibody dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR.

Pemeriksaan radiologis: Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma yang hebat, efusi plera dapat terjadi pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG. DIAGNOSIS Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4 6 hari (rentang 3 14 hari), timbul gejala prodomal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.

35

Spektrum Klinis

Manifestasi Klinis Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut: Nyeri kepala Nyeri retro-orbital

DD

Myalgia/arthralgia Ruam kulit Manifestasi perdarahan (ptekie atau uji bendung positif) Leukopenia Pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama. Berdasakan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini ditemui : Demam, atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik. Trombositepenia (jumlah trombosit < 100.000 u/L Terdapat minimal 1 dari manifestasi perdarahan berikut : Uji bendung positif Petekie, ekimosis, atau purpura. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau

DBD

perdarahan dari tepat lain. Hematemesis atau melena. Terdapat minimal 1 tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut : Peningkatan hematokrit > 20 % dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Penurunan hematokrit > 20 % setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia. Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi

SSD

nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun

( 20 mmHg), hipotensi
36

dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1. supresi sumsum tulang
2. destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.

Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana kesesuaian klinis dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.

DERAJAT PENYAKIT INFEKSI VIRUS DENGUE Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue menurut WHO 1997 :

37

PENATALAKSANAAN Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protocol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasaran kriteria : 1. penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi. 2. Praktis dalam pelaksanaannya.
3. Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :


1. Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa Tanpa Syok.

Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
a. Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 150.000,

pasien dapat dipulangkan dengan anjuran control atau berobat jalan ke Poliklinik dalam 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, leukosit, dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instansi Gawat Darurat. b. Hb, Ht normal tapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat. c. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

38

2. Protokol 2. Penanganan Cairan pada Tersangka DBD dewasa di Ruang rawat. Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan massif tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini : Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut : 1500 + {20 x (BB dalam Kg 20)} Contoh volume rumatan untuk BB 55 Kg : 1500 + {20 x (55 20)} = 2200 ml. Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam : a. Bila Hb, Ht meningkat 10 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombosit dilakukan tiap 12 jam.
b. Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan

sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.

39

3. Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%. Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau 3 4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kg/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24 48 jam kemudian. Apabila setelah pemberian terapi awal 6 7 ml/kg/jam tadi keadaan tetap tidak membaik yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah menurun < 20% mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantau kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam tetapi bila keadaan tidak meunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kg/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

40

4. Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa. Perdarahan dan massif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4 5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan seserng mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan thrombosis serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4 6 jam. Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravascular disseminate (KID). Tranfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi factor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dL. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan massif dengan jumlah trombosit < 100.000 /mm3 disertai atau tanpa KID.

5. Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa.

41

Pada kasus Sindrom Syok Dengue (SSD) cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan . selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 4 L/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemstasis, analisa gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin. Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15 20 menit. Bila renjatan telah teatasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi > 20 mmHg, frekuensi nadi < 100 x/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5 1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 120 menit kemudian keadaan tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung data terjadi). Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan 9karena selain proses pathogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.

42

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (intenal bleeding) maka penderita diberikan transfuse darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifatsifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10 20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1 1,51/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15 18 cmH2O. bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunde. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropic/vasopressor.
III. HEMATEMESIS MELENA

Hematemesis adalah muntah darah berwarna hitam ter yang berasal dari saluran makan bagian atas. Melana adalah buang air besar darah berwarna hitam ter juga berasal dari saluran makan bagian atas. Yang dimaksud saluran makan bagian atas yaitu saluran makan diatas (proksimal) ligamentum Treitz , mulai dari yeyunum proksimal , duodenum , gaster , dan esophagus. Penyebab hematemeasis melena dapat berasal dari kelainan varises dan non varises. Kelainan non varises bias disebabkan oleh gastropati hipertensi portal , gastritis erosive , ulkus peptic , stress ulcer , robekan Mallory Weiss , keganasan SMBA , dan penyakit sistemik. Kriteria diagnosis untuk hematemesis melena:

43

Muntah dan BAB darah warna hitam ter Sindrom dyspepsia, bila ada riwayat makan obat NSAID, jamu pegal linu, alcohol, yang menimbulkan erosi atau ulkus peptikum Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, dapat disertai gangguan kesadaran. Dapat terjadi syok hipovolemik, takikardi, perabaan dingin, kulit pucat, kesadaran kompos mentis sampai apatis

Penatalaksanaan Hematemesis Melena Setiap penderita dengan perdarahan saluran makan bagain atas ( SMBA ) Dalam penatalaksanaan hematemesis melena ada 2 tindakan yaitu tindakan umum dan khusus. Tindakan umum bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum pasien, apapun penyebab perdarahannya.Tindakan khusus, biasanya baru dikerjakan setelah diagnosis penyebab perdarahan sudah dapat dipastikan.

Tindakan Umum 1. Infus dan transfuse darah Tinadakan pertama yang dilakukan adalah resusitasi, untuk memulihkan keadaan penderita akibat kehilangan cairan atau syok. Yaitu cairan infuse dekstros 5% atau Ringer laktat atau NACL 0,9% dan transfuse Whole Blood atau Packed Red Cell. 2. Psikoterapi Sebagai akibat perdarahan yang banyak, dapat membuat penderita menjadi gelisah. Maka diperlukan psikoterapi. 3. Istirahat mutlak Istirahat mutlak sangat dianjurkan, sekurang kurangnya selama 3 hari setelah perdarahan berhenti.

44

4. Diet Dianjurkan puasa jika perdarahan belum berhenti. Dan penderita mendapat nutrisi secara parenteral total sampai perdarahan berhenti. Jika perdarahan berhenti, diet bias dimulai dengan diet cair H1/L1. Selanjutnya secara bertahap diet beralih ke makanan padat 5. Pemasangan Nasogastric Tube, kemudian dilakukan lavage Lambung dengan air es yang dimasukkan , di tunggu 5 menit, dan di keluarkan. Ini dilakukan berulang-ulang sampai cairan lambung jernih. Tindakan ini bias diulang 12 jam kemudian jika masih ada perdarahan. 6. Medika mentosa Antasida cair,untuk menetralkan asam lambung. Injeksi Simetidin atau injeksi Ranitidine, yaitu antagonis reseptor H2 untuk mengurangi sekresi asam lambung. Injeksi Traneksamic acid, jika ada peningkatan aktifitas fibrinolisin. Injeksi Vitamin K, jika ada tanda-tanda Sirosis hati. Sterilisasi usus dengan Laktulosa oral serta Clisma tinggi, jika ada tanda-tanda Sirosis hati, ditambahkan Neomycin atau Kanamycin.

Tindakan Khusus Tindakan khusus ini di tujukan pada penyebab perdarahan yang dapat dibagi atas dua penyebab, yaitu karena pecahnya varises esofagus dan bukan karena varises. Pengobatan perdarahan SMBA non varises: 1. Injeksi Simetidin 200mg/8jam atau injeksi Ranitidin 50mg/8jam. Jika perdarahan sudah berhenti dapat diberikan per oral. 2. Antasida, dapat diberikan bila perdarahn sudah berhenti. 3. Selain obat-obat diatas, untuk mengurangi rasa sakit atau pedih dapat diberikan obat golongan anti kolinergik.

45

Bila tata cara tersebut setelah 72 jam pengobatan konservatif tidak berhasil, dan perdarahan masih tetap berlangsung, maka ini indikasi untuk di lakukan pembedahan.

46

Anda mungkin juga menyukai