Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Batik Pekalongan termasuk batik pesisir yang paling kaya akan warna. Sebagaimana ciri khas batik pesisir, ragam hiasnya biasanya bersifat naturalis. Jika dibanding dengan batik pesisir lainnya Batik Pekalongan ini sangat dipengaruhi pendatang keturunan China dan Belanda. Motif Batik Pekalongan sangat bebas, dan menarik, meskipun motifnya terkadang sama dengan batik Solo atau Yogya, seringkali dimodifikasi dengan variasi warna yang atraktif. Tak jarang pada sehelai kain batik dijumpai hingga 8 warna yang berani, dan kombinasi yang dinamis. Motif yang paling populer di dan terkenal dari pekalongan adalah motif batik Jlamprang. Batik Pekalongan banyak dipasarkan hingga ke daerah luar jawa, diantaranya Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Minahasa, hingga Makassar. Biasanya pedagang batik di daerah ini memesan motif yang sesuai dengan selera dan adat daerah masing-masing. Keistimewaan Batik Pekalongan adalah, para pembatiknya selalu mengikuti perkembangan jaman . Misalnya pada waktu penjajahan Jepang, maka lahir batik dengan namaBatik Jawa Hokokai,yaitu batik dengan motif dan warna yang mirip kimono Jepang. Pada umumnya batik jawa hokokai ini merupakan batik pagi-sore. Pada tahun enampuluhan juga diciptakan batik dengan nama tritura. Bahkan pada tahun 2005, sesaat setelah presiden SBY diangkat muncul batik dengan motif SBY yaitu motif batik yang mirip dengankain tenun ikat atau songket. Motif yang cukup populer akhir-akhir ini adalah motif Tsunami. Memang orang Pekalongan tidak pernah kehabisan ide untuk membuat kreasi motif batik.
Batik berasal dari kata Jawa NGEMBAT TITIK (Menghubungkan titik-titik) yang artinya menulis menjadi lukisan, sehingga disebut dengan Batik Tulis. Sedang Batik Cap/Printing adalah Produk Tekstil bermotif Batik. Pada tanggal 2 Oktober 2009, UNESCO telah menetapkan batik sebagai warisan kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non Bendawi (Masterpieces Of The Oral And Intangible Heritage Of Humanity). BATIK, adalah bagian dari budaya bangsa indonesia sejak lama dan merupakan kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi. Wanita Indonesia khususnya jawa dimasa lalu, membuat batik merupakan ketrampilan yang menjadi mata pencarian sehingga membuat batik merupakan pekerjaan eksklusif. Membatik pada awalnya merupakan tradisi keluarga yang turun menurun sehingga dengan melihat suatu motif, bisa diketahui keluarga mana asal batik tersebut. Beberapa motif batik dapat meninjukkan status seseorang, bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tradisional hanya dipakai oleh keluarga tertentu. Sebagai warisan budaya, batik memiliki berbagai motif. Perbedaan ini terjadi karena setiap motif batik memiliki makna tersendiri yang mereka dapat dari leluhur masing-masing seperti penganut Animisme, Dinamisme, Hindu, Budha maupun Islam. Batik Tradisional mampu mempertahankan corak dan lambang karena masih dipakai dalam upacara adat.
Ragam Corak Batik Ragam corak dan warna batik juga dipengaruhi oleh bangsa asing. Masa lalu, batik memiliki corak dan warna terbatas dan hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun untuk batik pesisir yang mampu menyerap berbagai pengaruh luar seperti pengaruh dari pedagang asing.
Warna Merah cerah dipopulerkan oleh bangsa Tionghoa, yang sekaligus mempopulerkan corak Phoenix. Minat bangsa Eropa terhadap batik menghasilkan corak Bunga seperti bunga Tulip, Gedung, Kereta Kuda, warna biru kesukaan bangsa Eropa dan yang lainnya. Di Jawa Timur, sejarah Batik sangat erat kaitannya dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan sesudahnya. Batik sudah dikenal pada abad XVII di kerajaan Majapahit. Pada saat itu batik dikerjakan oleh kalangan kerajaan, hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena pengikut raja banyak yang tinggal di luar keraton, maka seni batik dibawa keluar keraton dan dikerjakan ditempat masing-masing. Dengan keterbukaan tersebut, seni batik ditiru oleh masyarakat setempat yang akhirnya meluas menjadi pekerjaan kaum perempuan dalam rumah tangga untuk mengisi waktu senggang. Batik yang dulu hanya dipakai oleh keluarga kerajaan, akhirnya menjadi pakaian rakyat. Bahan kain putih pada waktu itu adalah hasil tenunan sendiri, sedang bahan pewarna diambil dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia. Tradisi tenun ini masih dipakai di Jawa Timur yakni daerah Tuban. Dalam buku Batik Fabled Cloth Of Java karangan Inger Mc Cabe Elliot, dikatakan bahwa pada pertengahan abad ke -19, batik Tuban mirip dengan batik Cirebon. Kemiripan batik ini ada pada penggunaan benang pintal dan penggunaan warna Merah dan Biru pada proses pencelupan. Pada perkembangan jaman, batik Cirebon mengalami perubahan yang signifikan, sedang batik Tuban tetap mempertahankan cara pengolahan dan hingga sekarang masih eksis sebagai batik motif pesisir dan dikenal dengan Tenun Gedog Tuban. Batik Jawa Timur mempunyai sedikit perbedaan dengan batik Jawa Tengah. Batik Jawa Tengah pedalaman Solo dan Jogja, menggunakan warna Sogan, Indigo, Hitam dan Putih serta moif dasar yang relatif terikat pada pakem tententu. Sedabatik Jawa Timur mempunyai motif bebas tanpa terikat pakem tertentu. Sampai saat ini Jawa Timur mempunyai unit usaha batik tenun dan bordir sebanyak +- 5.926 unit usaha yang tersebar di daerah kabupaten/kota. Dan diperkirakan memiliki motif +- 2.500 motif batik khas daerah dari 38 daerah kabupaten/kota di Jawa Timur.. Jumlah tenaga kerja yang terserap oleh IKM Batik, Tenun dan Bordir tersebut sebanyak +- 23.000 tenaga kerja. Daerah Jawa Timur yang tercatat memiliki sejarah penghasil batik yakni Sumenep (Pekandangan), Sampang, Bangkalan (Tanjung Bumi), Pamekasan, Gresik, Sidoarjo (Jetis dan Sekardangan), Porong (Kedung Cangkring), Mojokerto (Mojosari), Jomabang, Kediri, Trenggalek, Pacitan, Banyuwangi, Bondowoso (Maesan), Lumajang, Tulungagung, Magetan, Ponorogo.
SEJARAH BATIK JAWA TIMUR Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009. Kata "batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba", yang bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna "titik".
Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal.[2]. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.[3] Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. [2]Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat batik.[4] G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.[4] Detil ukiran kain yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita, arca dewi kebijaksanaan buddhis dari Jawa Timur abad ke-13. Detil pakaian menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa yang dapat ditemukan kini. Hal ini menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat dengan canting telah dikenal di Jawa sejak
abad ke-13 atau bahkan lebih awal. Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa.[5] Oleh beberapa penafsir,who? serasah itu ditafsirkan sebagai batik. Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.[2] Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.
BATIK DAYAK
2. Motif Pengaruh budaya Tionghoa terlihat jelas pada motif burung Hong, banji, bunga seruni, dan liong. Motif-motif itu dicipta oleh Na Li Ni dan menjadi ciri yang sangat khas dan unik dari batik Lasem hingga saat ini. Kisah percintaan Sam Pek Eng Tay, alias legenda klasik dari Negeri Cina, juga pernah menjadi motif yang cukup populer pada batik Lasem. Selain motif-motif tersebut, terdapat beberapa nama motif batik Lasem yang terkenal, seperti motif Watu Pecah, Naga Kricak, Ceplok Piring, Sekar Jagat, Kawung Lerek Sekar paksi, serta Terang Bulan. Batik Lasem juga mendapat pengaruh dari motif batik Solo dan Yogyakarta. Ornamen kawung dan parang kerap ditemui dalam batik Lasem. 3. Warna Warna paling menonjol pada batik Lasem dan menjadi ciri khas yang jarang ditemui pada batik dari daerah lain adalah warnanya. Merah, menyerupai warna darah ayam. Selain itu, warna batik Lasem didominasi warna khas pesisir yaitu kombinasi merah, kuning, biru, dan hijau. 4. Sentra Batik Tulis Lasem Sebanyak 1.175 unit usaha batik tulis tersebar di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Lasem dan Pancur, dengan kapasitas produksi nyaris menembus angka 40.000 potong per tahun. Jika tak punya cukup waktu untuk menjelajahi satu persatu tempat workshop pengrajin, datang saja ke Show Room Batik Tulis Lasem Kabupaten Rembang yang terdapat di Jl. Raya Kecamatan Lasem. Menempati bekas kantor kecamatan Lasem, aneka batik produksi pengrajin Lasem dipamerkan dan dijual. 5. Membeli Online Batik Lasem Bagaimana kalau kita jauh dari Rembang, atau tidak ada rencana untuk berkunjung ke kota itu? Jangan khawatir. Kita bisa kok, mendapatkan batik-batik cantik ini hanya dengan menggerakkan jarimu. Yup, koneksi internet adalah solusinya. Sudah banyak kok, toko online yang menjual aneka Batik Lasem. Tapi ingat, teliti sebelum membeli, ya. Beli di toko batik online terpercaya dengan koleksi yang benar-benar spesial seperti di http://batikindonesia.com.
Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerjaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta. Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-20 dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia I habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam, banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda. Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan di tempatnya masing-masing. Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.
Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit. Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan di sekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal di wilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli. Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Di luar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-19 ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya. Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia I yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya di pasar Porong Sidoarjo. Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan. Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Tempat pembatikan yang dikenal sejak lebih dari seabad lalu adalah di desa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar pesat di daerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta. Ketika berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri ke arah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kyai yang statusnya turun-temurun. Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Salah satu sentra batik sejak dahulu ada di daerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Solo yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-19. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Solo yang menetap di daerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis. Jaman Penyebaran Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan. Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo. Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. Di samping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar di pesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni batik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama. Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain: pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kain putihnya juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih impor baru dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-
pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusahapengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.