Anda di halaman 1dari 52

1 BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang dan Rumusan Masalah


Dalam masyarakat lama, terjadi segolongan masyarakat adalah dengan cara mengikat atau integratif. Dalam masyarakat seperti ini manusia tunduk kepada aturan-aturan dan adat kebiasaan golongan, tempat mereka hidup. Hal ini dilakukan karena mereka menginginkan kehidupan yang stabil, kokoh, dan harmonis. Jika hal itu tercapai, manusia dalam masyarakat itu tidak terlihat peranannya, yang lebih jelas tampak ke luar justru kebersamaannya. Segala macam masalah menjadi masalah bersama dan harus diselesaikan bersama. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kepentingan para anggota masyarakat, bukan nilai yang dianggap penting dalam satu anggota masyarakat sebagai individu, sebagai pribadi. Individu atau perseorangan berusaha mematuhi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat karena dia berusaha untuk mengelompokkan diri dengan anggota masyarakat yang ada, yang sangat mementingkan kepentingan bersama bukan kepentingan diri sendiri. Nilai budaya merupakan nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Julianto (2001:8-25) mengemukakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Jadi, nilai budaya adalah suatu yang dianggap sangat berpengaruh dan dijadikan pegangan bagi suatu masyarakat. Selanjutnya koentjaraningrat (dalam

Danandjaja,

James.

1984)

mengemukakan suatu sistem nilai-nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang

2
harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturanaturan khusus, hukum, dan nilai budaya itu. Danandjaja, James. 1984, mengungkapkan bahwa nilai budaya dikelompokkan ke dalam lima pola hubungan, yaitu; (1) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam, (3) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, (4) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain atau sesamanya, (5) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Sebuah karya sastra dapat tercipta dari pengalaman pribadi pengarang ataupun dari fenomena-fenomena kehidupan yang ada dalam masyarakat sekitarnya. Selain itu karya tulis sastra dapat juga lahir dari ide-ide atau nilai hakiki karya sastra lama lewat pemahaman dan penafsiran sistematis yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Untuk lebih memahami isi yang terkandung dalam sebuah karya sastra, pembaca memerlukan pengetahuan dan pengalaman apresiasi sastra yaitu kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya yang berhubungan dengan sastra. Hal tersebut dapat dimaknakan sebagai usaha untuk memahami, menikmati, dan menghargai atau menilai karya sastra. Suku Gayo mendiami daerah Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah lama dikenal sebagai masyarakat yang mempunyai tradisi sastra dan bahasa pergaulan. Suku Gayo ini telah memiliki sejumlah prosa lisan yang menjadi bagian dari kebudayaan suku itu.

3 Dari sekian banyak sastra, lisan yang ada di kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tersebutlah cerita Reje Linge. Prosa lisan ini memegang peranan dalam kehidupan masyarakat prosa lisan bertujuan untuk mengepresikan perasaan dan pikiran bawah sadar masyarakat, sebagai alat penghibur dan bertanggung jawab dalam membentuk kehidupan batin masyarakat itu. Namun, perubahan zaman mempengaruhi sikap masyarakat terhadap prosa lisan. Pada masa kini, prosa lisan mengalami penurunan pengaruh terutama bagi para remaja. Mereka tidak merasakan lagi keindahan yang terpancar dari sebuah prosa lisan, mereka telah dipengaruhi oleh perkembangan budaya Barat sebagaimana yang disiarkan oleh media-media masa. Kurangnya minat terhadap prosa lisan disebabkan karena (1) kemajuan teknologi komunikasi. Para remaja lebih tertarik membaca surat kabar, majalah, komik, dan lain-lainnya. (2) Pandangan masyarakat yang berubah. Mereka menganggap prosa lisan tidak menyerukan gejolak pikiran dan perasaan masyarakat yang modern. Nida, (dalam Nurgiyantoro,1995:13). Menurut Bascom dalam (Damandjaja,1997:19), prosa lisan atau cerita rakyat berfungsi sebagai sistem proyeksi, alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, alat pendidikan anak sebagai alat pemaksa dan pengawas, norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggaran kolektifnya. Jadi, pelestarian prosa lisan Gayo harus dilakukan mulai sekarang supaya khazanah sastra itu tidak hilang, karya-karya sastra itu dapat diwariskan kepada anak cucu mereka walau hanya melalui cerita lisan, dan menjadi kebanggaan

4 kelompok. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk itu adalah melalui penelitian, penulis kembali menceritakan cerita itu agar cerita itu tidak hilang. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimankah Nilai-nilai Budaya dalam Lingeku Sayang Lingeku Malang Karya Asharyadi ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetehui Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam cerita Reja Linge. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khususnya adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang nilai-nilai budaya dalam cerita Rakyat Gayo Lingeku Malang Karya Asharyadi. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun Manfaat dari penelitian ini supaya dapat menjadi bahan bagi orang yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai sejarah dan nilai budaya yang terkandung dalam cerita Reje linge. Hasil penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi pembaca dan peminat sastra dalam mengkaji nilai-nilai budaya yang terdapat dalam cerita Reje Linge. Penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi peneliti sendiri dalam bidang sastra, khususnya dalam menganalisis Nilai-nilai Budaya yang terkandung dalam cerita Reje Linge. Lingeku Sayang

5 1.5 Anggapan Dasar Anggapan dasar adalah hal yang diyakini kebenarannya oleh populasi yang akan berfungsi sebagai acuan yang dipakai untuk tempat berpijak bagi peneliti dalam pelaksanaan penelitian (Arikunto,1985) yang menjadi anggapan dasar penelitian ini adalah untuk menjelaskan nilai budaya yang terdapat dalam cerita Reje Linge adalah 1. Nilai budaya yang terdapat dalam cerita Reje Linge 2. Cerita rakyat merupakan bagian dari karya sastra yang menampilkan berbagai masalah yang dijumpai dalam kehidupan masa lalu 3. Cerita rakyat merupakan salah satu karya sastra yang mentradisi dalam masyarakat 1.6 Organisasi Penelitian Penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab, yaitu bab I berisikan latar belakang, masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, anggapan dasar, dan laporan organisasi penelitian, serta defenisi istilah. Bab II landasan teoritis yang berisi pengertian kebudayaan, unsur-unsur kebudayaan, wujud dan sifat

kebudayaan, defenisi nilai, jenis-jenis nilai budaya , proses dan perkembangan kebudayaan, dan sejarah singkat tentang kerajaan linge. Bab III. Metode

penelitian, sumber data, teknik penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik pengolahan data . Bab IV terdiri dari pembahasan dan hasil penelitian. Bab V. Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

6 1.7 Definisi istilah Nilai budaya adalah tingkat yang paling abstrak dari adat yang berdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar daru warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap bernilai dalam hidupnya. Cerita rakyat adalah bagian karya sastra yang berupa dongeng-dongeng atau bentuk-bentuk cerita lainnya yang berkembang dikalangan masyarakat tertentu yang disebarluaskan secara lisan dan tulisan. Karena cerita rakyat merupakan bagian dari karya sastra, maka dalam kebudayaan cerita itu termasuk dalam salah satu bagian dari unsur kebudayaan. Cerita rakyat merupakan salah satu perwujudan atau pikiran kelompok masyarakat pendukungnya. Negeri Linge tidak asing jadi bagi seluruh penduduk di tanah Gayo. Negeri Linge adalah satu negeri yang asli dari seluruh kepulauan sumatra. Suatu kerajaan yang tidak diketahui kapan dan siapa yang mendirikannya, bahkan seakan akan seperti suatu kerajaan yang berdiri (terbentuk) dengan sendirinya namun diyakini sebagai cikal bakal sebuah pemerintah yang berasal dari Linge.

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Budaya Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta budhayah yaitu berarti jamak, kata buddhi yang berarit budi atau akal. Dalam bahasa inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan kata cultuur, dalam bahasa Latin berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani). Beberapa ahli budaya memiliki pendapat tersendiri tentang kebudayaan walaupun secara garis besar masih memiliki kesamaan tentang defenisi kebudayaan tersebut. Beberapa pendapat para ahli yang dikutip oleh Elly M. Setiadi dalam bukunya Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar (2007:27) tentang kebudayaan yaitu: Menurut E.B Taylor, Budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, moral, keilmuan, hukum, adat dan istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut R. Linton, Kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dari hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur pembentukan didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya. Koentjaraningrat, mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem dan gagasan, milik diri manusia dengan belajar. Selo Soemahrdjan dan

8 Soelaeman Soermardi, mengatakan kebudayaan adalah keseruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar. Herkovis, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia. Kebudayaan terdiri atas berbagai pola tingkah laku manusia yaitu bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan, dan reaksi yang diperoleh dan diturunkan dan menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompokkelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi. Pusat esensi (titik berat) kebudayaan terdiri atas tradisi, cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai. Ketentuan-ketentuan kebudayaan yang bersifat universal dan dapat diterima oleh pendapat umum adalah sesuatu yang berharga atau baik bagi pencapaian suatu kebudayaan tersebut (Baker,1984). Budaya juga merupakan medium yang diciptakan manusia untuk bertahan(survive). Tak ada yang terbebas dari pengaruh budaya. Budaya merupakan kunci utama dalam peradaban dan medium yang dilalui oleh seluruh peristiwa kehidupan (E. T. Hall,1976). Kementerian Pendidikan Nasional mengatakan Budaya sebagai

keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia

9 sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun non-material. Sebagian besar ahli mengartikan kebudayaan seperti ini kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu teori yang mengatakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks (Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum). Budaya juga merupakan sesuatu yang memberikan identitas kepada masyarakat yang menganutnya dan secara tidak langsung masyarakat tersebut mencerminkan tingkah laku ( karakter ) yang terbangun dalam budaya tersebut. Oleh karena itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional menekankan pendidikan untuk masuk ke wilayah kebudayaan tersebut, seperti disebutkan Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang

10 terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik (Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum).

2.2. Unsur-Unsur Kebudayaan Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan antara lain sebagai berikut:

11 1. Melville J. Herkovixt menyebutkan kebuadayaan meimliki 4 empat unsur pokok, yaitu: Alat-alat teknologi, Sistem ekenomi, Keluarga, Kekuasaan politik. 2. Bronislaw Malinoskiw mengatakan ada beberapa unsur pokok yang meliputi kebudayaan yaitu: Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya, organisasi ekonomi, alat-alat dan lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan, dan organisasi kekuatan (politik). 3. Unsur budaya menurut penyebarannya dalam Koentjaranigrat

(1981:186) adalah Bahasa dan komunikasi, ilmu pengetahuan, Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, organisasi sosial dan agama serta kesenian.

2.3. Kebudayaan Sebagai Peradaban Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.

12 Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitasaktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan". Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih alami," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature) Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia.

13 Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan. Saat ini kebanyakan ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama masing-masing masyarakat memiliki

kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang. 2.4. Wujud Dan Sifat Kebudayaan Kebudayaan mempunyai sifat dan wujud di mana wujud kebudayaan adalah sesuatu yang bisa dirasa dan dilihat dari karya budaya tersebut maupun interaksi sosial masyarakat di suatu daerah. Sedangkan sifat budaya adalah suatu hal yang melekat pada arti budaya tersebut yang bersifat universal, dimana semua kebudayaan di dunia ini selalu memiliki sifat yang sama sehingga dapat disebut kebudayaan. di bawah ini adalah penjelasan yan lebih lengkap tentang wujud dan sifat kebudayaan. 2.4.1 Wujud Kebudayaan Pada penjelasan tentang arti kebudayaan sebelumnya yang secara garis besar adalah hasil karya dari manusia itu sendiri berdasarkan ide dan

14 kreatifitasnya dan diikuti oleh masyarakat sesudahnya, berarti kebudayaan itu sendiri memiliki wujud yang dapat dicontoh maupun hanya sekedar dilihat bekas yang ditinggalkan oleh kebudayaan itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat dikutip oleh Elly M Setiadi dalam bukunya bahwa kebudayaan itu dapat dibagi dalam tiga wujud yaitu : 1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan. Wujud ini menunjukkan ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak tidak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya ada dalam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideal ini juga disebut tata kelakuan, hal ini menunjukkan bahwa budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah pada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ini dapat disebut sebagai adat istiadat, yang sekarang banyak disimpan dalam arsip,tape dan komputer. Kesimpulannya, budaya ideal ini adalah merupakan perwujudan kebudayaan yang besifat abstrak. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kegiatan aktivitas serta tindakan berrpola dari mnusia dalam suatu masyarakat. Wujud ini disebut sisten sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini dapat diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan satu sama

15 lain. Lebih jelasnya tampak dalam bentuk perilaku dan bahasa pada saat mereka berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulannya, sistem sosial merupakan salah satu wujud kebudayaan yang bersfat konkret (nyata) dalam bentuk perilaku dan bahasa. 3. Wujud budaya sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud yang terakhir ini disebut juga sebagai kebudayaan fisik. Wujud budaya ini hampir seluruhnya merupakan hasil fisik (aktifitas perbuatan, dan karaya semua manusia dalam masyarakat). Sifatnya paling nyata daripada wujud budaya sebelumnya karena merupakan benda-benda yang dapat dilihat, diraba dan difoto yang berwujud besar maupun kecil. Contohnya, Candi, kain batik, ornamen rumah adat, dan bangunan yang mengikuti ciri fisik suatu daerah. Kesimpulannya, kebudayaan fisik ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret, dalam bentuk materi/ artefak. 2.4.1.1 Komponen Komponen Kebudayaan Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli atropologi Cateora, yaitu : 1. Kebudayaan Material Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuantemuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah

16 liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. 2. Kebudayaan non-material Kebudayaan non-material adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional. 3. Lembaga Sosial Lembaga sosial dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam konteks berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem sosial yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh di Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memiliki karier.

4. Sistem Kepercayaan Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun sistem

kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi sistem penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan

17 kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi. 5. Estetika Berhubungan dengan seni dan kesenian, musik, cerita, dongeng, hikayat, drama dan taritarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerahan, setiap akan membangun bagunan jenis apa saja harus meletakan janur kuning dan buah buahan, sebagai simbol yang arti di setiap daerah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang, mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut. 6. Bahasa Bahasa merupakan alat pengantar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebut. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.

18

2.4.2 Sifat Kebudayaan Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, seperti di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri dan sifat yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan bersifat universal. Sifat budaya juga menjadi sesuatu itu dapat disebut kebudayaan ataupun bukan, sehingga semua kebudayaan di dunia mutlak harus memiliki sifat-sifat tersebut agar dapat disebut kebudayaan (Setiadi M. Elly,dkk,2007) Sifat-sifat kebudayaan itu antara lain adalah : 1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia. Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya. Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang

dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentukbentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggotaanggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan

19 aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain. 2. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada suatu genersi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan. Seperti halnya kebudayaan yang ada di dunia ini memiliki sesuatu peninggalan untuk terus diikuti dan tidak akan pudar walaupun terkadang masyarakat tidak lagi mengetahui dari mana asal-usul kebudayaan itu, tetapi karena telah melekat dan dijalankan sebagai panduan kehidupan dan identitas karakter si empunya kebudayaan tersebut maka kebudayaan itu tidak akan mati oleh waktu karena telah melekat menjadi identitas masyarakat tersebut. 3. Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. Manusia pada umumnya memiliki sifat meniru dan budaya adalah hasil cipta, rasa, dan karya manusia yang dibutuhkan sebagai model untuk ditiru oleh masyarakat sebagai panduan untuk menempuh berbagai tantangan yang dihadapi oleh suatu masyarakat tersebut. Budaya yang juga memiliki arti sebagai sebuah identitas akan serta merta dibutuhkan oleh masyarakat untuk mendapatkan sebuah identitas atas pola tingkah laku mereka.
4. Budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban, tindakan-

tindakan yang diterima, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakantindakan yang diizinkan.

20 Budaya sebagai hasil cipta manusia juga memiliki aturan, norma atau nilai yang mengatur sebuah masyarakat tentang bertingkah laku, oleh karena itu budaya berisikan tentang pola aturan yang berisikan kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima, larangan yang telah diterima oleh masyarakat yang menganutnya.

2.5. Defenisi Nilai Nilai adalah sesuatu yang baik yang diinginkan, dicita-citakan dan dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyrakat. Karena itu, sesuatu itu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral atau etis), religius (nilai agama) (Setiadi M. Elly, dkk,2007). Nilai di dalam suatu kebudayaan akan menciptakan suatu sistem yang merupakan suatu unsur pokok dari suatu kebudayaan. Pendapat lain dari ahli tentang nilai adalah Theodorson dalam Pelly (1994)
mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsipprinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri.

Pembahasan tentang nilai pada dasarnya merupakan kajian filsafat, khususnya bidang filsafat yang disebut aksiologi. Pertanyaan atau pemikiran kefilsafatan yang cirinya antara lain kritis dan mendalam, di sini dimulai dengan pertanyaan : apakah hakikat nilai itu ?. Dalam berbahasa sehari-hari sering kali

21 kita mendengar atau membaca kata penilaian, yang kata-asalnya adalah nilai. Nilai yang dalam bahasa Inggrisnya adalah value biasa diartikan sebagai harga, penghargaan, atau taksiran. Maksudnya adalah harga yang melekat pada sesuatu atau penghargaan terhadap sesuatu. Bambang Daroeso (2006:20) mengemukakan bahwa nilai adalah suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu, yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang. Darji Darmodiharjo (2005:1) mengatakan bahwa nilai adalah kualitas atau keadaan sesuatu yang bermanfat bagi manusia, baik lahir maupun batin. Sementara itu Widjaja (2005:155) mengemukakan bahwa menilai berati menimbang, yaitu kegiatan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain (sebagai standar), untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu dapat menyatakan : berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, indah atau tidak indah, baik atau tidak baik dan seterusnya. Menurut Fraenkel, sebagaimana dikutip oleh Soenarjati Moehadjir dan Cholisin (1999:25), nilai pada dasarnya disebut sebagai standar penuntun dalam menentukan sesuatu itu baik, indah, berharga atau tidak. Frondizi (1993:1-2) mengemukakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan, apakah sesuatu itu dikatakan bernilai karena memang benar-benar bernilai, atau apakah sesuatu itu karena dinilai maka menjadi bernilai ? Diantara para ahli terdapat perbedaan pendapat tentang sifat nilai dari sesuatu, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa nilai itu bersifat subyektif dan nilai itu bersifat obyektif. Pengertian nilai itu bersifat subyektif artinya bahwa nilai dari suatu obyek itu tergantung pada subyek yang menilainya. Sebagai ilustrasi, pohonpohon kelapa yang batangnya bengkok di suatu pantai sangat mungkin memiliki

22 nilai bagi seorang seniman, tapi tidak bernilai bagi seorang pedagang kayu bangunan. Sebuah bangunan tua warisan zaman Belanda yang sudah keropos sangat mungkin memiliki nilai bagi sejarawan, tapi tidak demikian halnya bagi orang lain. Pandangan bahwa nilai itu subyektif sifatnya antara lain dianut oleh Bertens (1993: 140-141), yang mengatakan bahwa nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya suatu obyek akan dinilai secara berbeda oleh berbagai orang. Untuk memahami tentang nilai, ia membandingkannya dengan fakta. Ia mengilustrasikan dengan obyek peristiwa letusan sebuah gunung pada suatu saat tertentu. Hal itu dapat dipandang sebagai suatu fakta, yang oleh para ahli dapat digambarkan secara obyektif. Misalnya para ahli dapat mengukur tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kekuatan gempa yang menyertai letusan itu, jangka waktu antara setiap letusan dan sebagainya. Selanjutnya bersamaan dengan itu, obyek peristiwa tersebut dapat dipandang sebagai nilai. Bagi wartawan foto, peristiwa letusan gunung tersebut merupakan kesempatan emas untuk mengabadikan kejadian yang langka dan tidak mudah disaksikan oleh setiap orang. Sementara itu bagi petani di sekitarnya, letusan gunung yang debu panasnya menerjang tanaman petani yang hasilnya hampir dipanen, peristiwa itu dipandang sebagai musibah (catatan : ilustrasi yang dicontohkan oleh Bertens tersebut sesungguhnya masih dapat dikritisi, sebab di situ tidak dibedakan antara peristiwa letusan gunung itu sendiri dengan akibat dari letusan gunung). Berdasarkan ilustrasi tersebut, Bertens menyimpulkan bahwa nilai memiliki sekurang-kurangnya tiga ciri., pertama nilai berkaitan dengan subyek. Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka juga tidak ada nilai. Kedua, nilai tampil dalam

23 suatu konteks praktis, dimana subyek ingin membuat sesuatu. Dalam pendekatan yang semata-mata teoritis, tidak akan ada nilai. Dalam hal ini ia mengajukan pertanyaan kepada pandangan idealis, apakah pendekatan yang murni teoritis dapat diwujudkan ? Ketiga, nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Sementara itu menurut para filsuf pada zamanYunani Kuno, seperti Plato dan Aristoles, nilai itu bersifat obyektif. Artinya, nilai suatu obyek itu melekat pada obyeknya dan tidak tergantung pada subyek yang menilainya. Menurut Plato, dunia konsep, dunia ide, dan dunia nilai merupakan dunia yang senyatanya dan tetap. Menurut Brandt, sebagaimana dikutip oleh T. Sulistyono (1995: 14), sifat kekekalan itu melekat pada nilai. Demikian pula pandangan tokoh-tokoh aliran Realisme Modern, seperti Spoulding, hakikat nilai lebih utama dari pada pemahaman psikologis. Pemahaman manusia terhadap suatu obyek hanyalah merupakan bagian dari dunia pengalamannya, yang tidak jarang saling bertentangan serta tidak konsisten. Berbeda dengan manusia yang sifatnya tergantung , maka subsistensi nilai itu bebas dari pemahaman maupun interes manusia. Menghadapi kontroversi pemahaman tentang nilai ini, maka dipihak lain dikenal adanya penggolongan nilai intrinsik dan nilai intrumental. Meskipun telah dibahas seebelumnya, tapi di sini masih perlu dikemukakan pertanyaan, adakah sesuatu yang bernilai, meskipun tidak ada orang yang memberi nilai kepadanya ? Ini berarti, apakah nilai itu terkandung di dalam obyeknya ? Sementara pertanyaan

24 lain, apakah nilai itu merupakan kualitas obyek yang diberikan oleh subyek yang memberinya nilai ? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Kattsoff (2006: 328-329) memberikan ilustrasi tentang nilai sebuah pisau. Apakah suatu pisau dikatakan baik, karena memiliki kualitas pengirisan atau kualitas ketajaman di dalam dirinya? Atau, apakah suatu pisau saya katakan baik, karena dapat saya gunakan untuk mengiris? Terhadap pertanyaan pertama, jika jawabannya ya, maka inilah yang disebut nilai instrinsik. Terhadap pertanyaan kedua, jika jawabannya ya, maka inilah yang disebut nilai instrumental. Diskusi ini masih bisa berlanjut, sebab dalam kenyataannya ada sesuatu yang diinginkan orang meskipun sesuatu yang diinginkan itu secara instrinsik tidak bernilai atau bahkan bersifat merugikan. Pendapat yang lebih komprehensif dan sekaligus mengambil jalan tengah dikemukakan oleh Ducasse, yang menyatakan bahwa nilai itu ditentukan oleh subyek yang menilai dan obyek yang dinilai. Sebagai contoh, emas dan permata itu merupakan barang-barang yang bernilai, akan tetapi nilai dari emas dan permata itu baru akan menjadi nyata (riil) apabila ada subyek yang menilainya. Dengan demikian nilai itu merupakan hasil interaksi antara subyek yang menilai dan dan obyek yang dinilai.
Kesimpulan tentang nilai adalah sesuatu yang memiliki arti kebaikan yang mengikat suatu masyarakat maupun melekat pada suatu benda materi yang memiliki arti tentang keindahan, jadi nilai adalah sesuatu yang berarti baik dan telah diterima oleh umum.

25

2.6. Nilai Budaya Dan Hakekatnya Menurut Koentjaraningrat (1987:85) nilai budaya terdiri dari konsepsi konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai halhal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, caracara, alatalat, dan tujuantujuan pembuatan yang tersedia. Clyde Kluckhohn dalam Pelly (1994:20) mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang halhal yang diinginkan dan tidak diinginkan yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan dan sesama manusia. Sementara itu Sumaatmadja dalam Marpaung (2000:30) mengatakan bahwa pada perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilainilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilainilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya nilainilai itu sangat banyak mempengaruhi

26 tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.

2.6.1. Jenis Jenis Nilai Budaya Suatu nilai apabila sudah membudaya di dalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkah laku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan seharihari, misalnya budaya gotong royong, budaya malas, dan lainlain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu. Sementara itu secara umum ahliahli sosial berasumsi bahwa orientasi nilai budaya merupakan suatu indikator bagi pemahaman tentang kemampuan sumber daya dan kualitas manusia. Dalam konsep manusia seutuhnya yang mencakup dimensi lahiriah dan rohaniah, orientasi nilai merupakan salah satu faktor yang ikut membentuk kondisi dan potensi rohaniah manusia. Dari definisi tentang nilai budaya di atas bahwa nilai budaya mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia baik secara individual, kelompok atau masyarakat, maka nilai-nilai budaya apa saja yang mempengaruhi ataupun yang mengatur manusia. Adapun jenis-jenis nilai budaya yaitu : a. Nilai Sosial Masyarakat Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik/buruk oleh masyarakat.

27 Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas melalui proses menimbang. Hal itu tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. b. Nilai Estetika Nilai estetika adalah nilai yang membahas keindahan. Estetika adalah sebuah filsofi yang mempelajari nilai-nilai keindahan, yang dianggap sebagai penilaian terhadap nilai seni dan rasa. Estetika ibarat nyawa atau jiwa dalam sebuah karya seni jika tidak ada nilai estetika dalam sebuah karya seni maka karya seni tersebut tidak akan menarik dan tidak akan diminati oleh banyak orang. c. Nilai Etika Nilai etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan dapat dinilai tidak baik. Etika juga disebut ilmu norma, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan norma-norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. d. Nilai agama / Religius Nilai agama/religius adalah nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayan atau keyakinan manusia. Nilai agama juga sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, dengan menanamkan nilai agama yang mendalam pada diri kita maka

28 terpancarlah cerminan positif dari diri kita yang lebih baik. e. Nilai Moral Nilai moral adalah suatu bagian dari nilai yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia. Moral selalu berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terikat dengan tingkah laku kehidupan sehari-hari. Nilai juga dapat dibagi berdasarkan sumber nilai itu sendiri yang terlepas dari kebudayaan yang ada sebelum nilai itu muncul, bahkan terkadang nilai itu muncul untuk memenuhi kebutuhan perkembangan masyarakat itu sendiri tanpa ada kaitan dengan nilai yang ada pada masyarakat dimana nilai itu muncul, contohnya adalah paham ideology suatu bangsa. Bahkan ada juga nilai-nilai yang muncul untuk mengganti atau menghapus nilai yang dianut oleh suatu masyarakat dimana nilai itu muncul seperti nilai agama (Islam) yang turun dari ALLAH untuk mengganti nilai yang ada pada saat itu di dunia ini. Oleh karena itu nilai itu terlepas dari nilai yang ada sebelumnya karena nilai itu bersumber dari individuindividu yang mendapatkan pencerahan ataupun pandangan yang berbeda (innovativ) Jenis-jenis nilai dilihat dari sumbernya antara lain :
1.

Nilai Theonom. Adalah nilai sosial yang bersumber dari Tuhan yaitu melalui ajaran yang disampaikan oleh Tuhan melalui agama. Agama berisi nilai-nilai sosial yang memberikan pedoman bagaimana cara bersikap dan bertindak bagi manusia.

29 2. Nilai Heteronom. Adalah nilai sosial yang dirumuskan dari kesepakatan banyak anggota masyarakat. Berisi nilai yang harus dipedomani oleh seluruh warga masyarakat. 3. Nilai Othonom. Adalah nilai sosial yang bersumber dari setiap individu. Contohnya adl J.J Rousseau dari Prancis yang merumuskan konsep Trias Politika, Dr. Sun Yat Sen dari China yang merumuskan konsep San Min Chu I ( nasionalisme, demokrasi dan sosialisme )

2.6.2. Hakekat Nilai Budaya Kluckhohn dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai budaya merupakan sebuah konsep beruanglingkup luas yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilainilai budaya. Secara fungsional sistem nilai ini mendorong individu untuk berperilaku seperti apa yang ditentukan. Mereka percaya, bahwa hanya dengan berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl, dalam Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilainilai tersebut merupakan wujud ideal dari lingkungan sosialnya.

30 Dapat pula dikatakan bahwa sistem nilai budaya suatu masyarakat merupakan wujud konsepsional dari kebudayaan mereka, yang seolaholah berada diluar dan di atas para individu warga masyarakat itu. Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn dalam Pelly (1994) kelima masalah pokok tersebut adalah: (1) masalah hakekat hidup, (2) hakekat kerja atau karya manusia, (3) hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, (5) hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya. Berbagai kebudayaan mengkonsepsikan masalah universal ini dengan berbagai variasi yang berbedabeda. Seperti masalah pertama, yaitu mengenai hakekat hidup manusia. Dalam banyak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Budha misalnya, menganggap hidup itu buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya berusaha untuk memadamkan hidup itu guna mendapatkan nirwana, dan mengesampingkan segala tindakan yang dapat menambah rangkaian hidup kembali (samsara) (Koentjaraningrat,1986).

Pandangan seperti ini sangat mempengaruhi wawasan dan makna kehidupan itu secara keseluruhan. Sebaliknya banyak kebudayaan yang berpendapat bahwa hidup itu baik. Tentu konsepkonsep kebudayaan yang berbeda ini berpengaruh pula pada sikap dan wawasan mereka. Masalah kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive) semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan

31 tetapi ada juga yang menganggap kerja untuk mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kerja untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan kepada status. Masalah ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang memandang penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai fokus usaha dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang berbeda dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya. Masalah keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada yang percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya. Masalah kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah, mengambil keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar individu, cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti terlihat dalam masyarakatmasyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang menekankan hubungan vertikal cenderung untuk mengembangkan orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam

32 masyarakat paternalistik (kebapaan). Tentu saja pandangan ini sangat

mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas sosial masyarakatnya. Inti permasalahan di sini seperti yang dikemukakan oleh Manan dalam Pelly (1994) adalah siapa yang harus mengambil keputusan. Sebaiknya dalam sistem hubungan vertikal keputusan dibuat oleh atasan (senior) untuk semua orang. Tetapi dalam masyarakat yang mementingkan kemandirian individual, maka keputusan dibuat dan diarahkan kepada masing masing individu.

2.6.3. Fungsi Nilai Bagi Suatu Masyarakat Setelah kita menjelaskan tentang nilai-nilai dan jenis nilai-nilai dalam suatu masyarakat maka kita pasti ingin mengetahui apa saja fungsi nilai-nilai tersebut bagi masyarakat yang menganutnya. Adapun fungsi nilai-nilai tersebut bagi masyarakat yang menganutnya antara lain ialah : 1. Alat untuk menentukan harga sosial, kelas sosial seseorang dalam struktur stratifikasi sosial, misalnya upper class, middle class dan lower class. Nilai sebagai alat untuk menentukan status seseorang banyak kita jumpai pada saat ini, bahkan pada dasarnya nilai dibentuk untuk membedakan seseorang berdasarkan ukuran nilai tersebut, seperti dalam nilai Islam status seseorang bukanlah diukur berdasarkan materi tetapi diukur berdasarkan kadar iman seseorang. 2. Mengarahkan masyarakat untuk berpikir dan bertingkah laku dalam masyarakat.

33 Nilai sebagai alat untuk mengarahkan masyarakat untuk berfikir dan bertingkah laku dalam masyarakat tercermin dari kebutuhan masyarakat itu sendiri terhadap nilai tersebut, karena masyarakat tersebut

membutuhkan nilai yang cocok untuk masyarakatnya makanya masyarakat tinggal mengikuti saja arah nilai tersebut karena nilai yang sudah turuntemurun itu pasti cocok untuk masyarakat tersebut, sebagai contoh nilai suku-suku di Indonesia dipenuhi oleh nilai tentang pertanian dan kelautan karena Indonesia adalah sebuah Negara Indonesia. 3. Sebagai alat solidaritas di kalangan anggota masyarakat. Nilai pada suatu masyarakat juga berfungsi menjadi alat solidaritas ini karena setiap masyarakat ingin menjaga identitas mereka yang diwakili oleh sebuah nilai, oleh karena itu di dunia ini banyak fenomena dimana 2 buah masyaraat yang berjauhan jaraknya maupun bahasanya tetapi karena memiliki nilai universal yang sama maka mereka akan menumbuhkan sifat solidaritas mereka, sebagai contohnya adalah solidaritas Negara Indonesia terhadap Bangsa Palestina yang memiliki nilai Universal yang sama yaitu nilai-nilai Islam. 4. Sebagai pembatas dan penekan individu untuk selalu berbuat baik. Nilai adalah suatu hal yang dianggap baik oleh masyarakat yang memeluknya oleh karena itu suatu masyarakat akan selalu berusaha untuk tidak melanggar nilai-nilai tersebut, karena jika mereka melanggarnya maka mereka dianggap oleh suatu masyarakat telah menyalahi suatu nilai

34 yang akan mendapatkan hukuman atas pelanggaran tersebut walaupun hanya hukuman sosial. 5. Sebagai Pendorong. Berkat adanya nilai-niali yang dijunjung tinggi dan dijadikan sebagai cita-cita manusia yang berbudi luhur dan bangsa yang beradab itulah manusia menjadi manusia yang sungguh-sungguh berbudi luhur dan suatu bangsa menjadi bangsa yang sungguh-sungguh berada. Hal tersebut dapat terwujud berkat keberhasilan manusia merealisasikan nilai sosial yang bermutu tinggi.

2.7 Proses Dan Perkembangan Kebudayaan Sebagaimana diketahui bahwa kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia oleh karenanya kebudayaan mengalami perubahan dan

perkembangan sejalan dengan perkembangan manusia itu sendiri. Perkembangan itu dimaksudkan untuk kepentingan manusia itu sendiri, karena kebudayaan dibuat oleh dan untuk manusia. Perkembangan kebudayaan terhadap dinamika kehidupan seseorang bersifat kompleks, memiliki eksistensi dan berkesinambungan dan juga menjadi warisan sosial. Seseorang mampu memengaruhi kebudayaan dan memberikan peluang untuk terjadinya perubahan kebudayaan. Kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok sosial tidak akan terhindar dari pengaruh kebudayaan kelompok-kelompok lain dengan adanya kontak-kontak

35 antar kelompok atau melalui proses difusi. Suatu kelompok sosial akan mengadopsi suatu kebudayaan tertentu apabila kebudayaan tersebut berguna untuk mengatasi atau memenuhi tuntutan yang dihadapinya. 2.8. Kebudayaan Di Antara Masyarakat Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya subkultur disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender, Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa. Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.
2.

1.

Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.

36
3.

Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.

4.

Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

37 BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penggunaan metode deskriptif dimaksudkan untuk mendeskripsikan dan menguraikan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam buku Cerita Rakyat Lingeku Sayang Lingeku Malang Karya Asharyadi.

3.2. Sumber Data Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah buku Cerita Lingeku Sayang Lingeku Malang karya Asharyadi, Penerbit PT.Qinara, Medan tahun 2007. 3.3. Teknik Penelitian 3.3.1. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi. Teknik dokumentasi adalah suatu teknik yang bertujuan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan kuno, transkrip, buku, surat kabar dan sebagainya (Arikunto,1998). Dokumen dalam hal ini adalah buku Cerita Rakyat Lingeku Sayang Lingeku Malang karya Asharyadi.

36

38 3.3.2. Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data dalam penelitian adalah data yang bersifat kualitatif, yaitu data yang menggambarkan pokok permasalahan yang diperoleh dari hasil dokumentasi yang diolah dengan metode deskriptif. Penganalisaan data berdasarkan klasifikasi objek penelitian. Adapun langkah pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menentukan latar belakang kehidupan pengarang dalam buku Cerita Rakyat Lingeku Sayang Lingeku Malang karya Asharyadi. 2. Menentukan nilai-nilai budaya yang terdapat pada buku Cerita Rakyat Lingeku Sayang Lingeku Malang karya Asharyadi. 3. Menentukan apakah nilai-nilai budaya yang ada pada buku Cerita Rakyat Lingeku Sayang Lingeku Malang karya Asharyadi masih ada korelasi dengan keadaan sosial masyarkat Gayo pada saat ini.

39 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data yang akan diolah dan dianalisa pada hasil penelitian ini adalah unsurunsur ekstrinsik dalam novel Lingeku Sayang Lingeku Malang karya Asharyadi. Unsur-unsur ekstrinsik tersebut meliputi latar belakang kehidupan pengarang, unsur-unsur dan nilai-nilai kebudayaan yang terdapat dalam novel Lingeku Sayang Lingeku Malang Karya Asharyadi. Berikut ini akan dibahas unsur-unsur ekstrinsik tersebut. 4.1. Latar Belakang Kehidupan Pengarang (Biografi)

Asharyadi lahir di Buntul Temil Kampung Baru Takengon pada tanggal 18 Oktober 1960 menyelesaikan Pendidikan Dasar di SD Negeri No.5 Bireun, kemudian melanjutkan Ke SMP Negeri 2 Pematang Siantar Tahun 1980 menyelesaikan Pendidikan di SMEA Negeri Takengon. Pada tahun 1981 diangkat sebagai CPNS di kantor PMD Kabupaten Aceh Tengah, selanjutnya menjadi Kaur Pembangunan Kecamatan Bintang pada tahun 1982. Tahun 1985 sebagai Kaur Pembangunan Kecamatan Timang Gajah. Tahun 1990 sebagai Kasubsi Bimbingan Teknis Prasarana Desa Kantor PMD Kabupaten Aceh Tengah. Tahun 1999 menyelesaikan pendidikan S1 Manajemen di STIM Banda Aceh. Tahun 2001 menyelesaikan program S2 Master Business of Administrasion di Jakkarta.

39

40 Karya-karya yang dihasilkan antara lain, tahun 2002 Antara Menepis Tantangan Dan Menuai Harapan. Tahun 2007 mengeluarkan tulisan Pola Pemimpin Dalam Mengelola Pemerintahan Kecamatan Linge Selayang Pandang.

4.2.

Unsur Unsur Kebudayaan.

Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetik. Ketika seorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaannya dan membuktikan bahwa budaya itu dapat dipelajari. Kebudayaan pada hakikatnya adalah cermin dari sekumpulan manusia yang ada di dalamnya. Unsur kebudayaan yang terdapat dalam cerpen Lingeku Sayang Lingeku Malang karya Asharyadi, terlihat sangat kental budaya religius Islam di dalamnya yang menjadi panutan masyarkat di sana. Di wilayah kerajaan Linge ini juga terdapat seorang tokoh kharismatik dibidang agama yang dikenal dengan nama Mersah atau Surau (tempat sarana keagamaan). Pada dasarnya bahwa tempat sarana keagamaan tersebut mempunyai inti memberikan pelajaran keagamaan (Munasoh), yang lambat laun berubah pula menjadi Meunasah.(Asharyadi,hal-11) Kutipan di atas menunjukkan bahwa kedudukan pemimpin agama Islam diakui dan difasilitasi oleh pihak Kerajaan dan diberi kewenangan untuk mengurus keagamaan secara lurus yaitu mengikuti ajaran agama itu tanpa ada pengaruh Kerajaan dalam ajarannya, ini menunjukkan bahwa Kerajaan Linge memang sudah menganut nilai-nilai religius yaitu islam.

41 Pada saat ini daerah Gayo masih menganut nilai-nilai Islam dalam kebudayaannya. Imam mempunyai khatib atau Imem Mude sebagai pengganti. Kita harus hidup dalam kebenaran, orang yang meninggal harus disucikan (dibersihkan). Semasa hidup kita didukung oleh Edet (adat) dan akan didukung Bumi bila telah mati karena suatu sebab. (Asharyadi,hal-21) Kutipan di atas menunjukkan bahwa Kerajaan Linge sudah memikirkan regenerasi para pemimpin Islam untuk tugas-tugas tertentu, seperti penyucian bagi orang yang meninggal, di sini terlihat bahwa Kerajaan Linge sudah memegang nilai-nilai Agama Islam, di mana tata cara penyucian mayat sebelum dikuburkan adalah merupakan nilai-nilai Islam yang berbeda dengan kebudayaan maupun agama selain Islam mengenai tata cara pelaksanaannya. Pada ritual penyucian mayat Kerajaan Linge menyerahkan atau menggunakan ritual Islam ketimbang menciptakan ritual sendiri, ini menandakan nilai-nilai Islam dipakai sepenuhnya oleh kerajaan Linge. Tingkah laku Raja terdahulu yang bersifat positif akan selalu diikuti dan dipertahankan sedangkannya makamnya dirawat dengan baik dan bila perlu diadakan doa bersama untuk membantunya di alam barzah (Alam Kubur). (Asharyadi,hal-21) Kutipan di atas sekali lagi menandakan bahwa Kerajaan Linge sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai religius, yaitu nilai-nilai Islam, di mana sama seperti Kerajaan-kerajaan di Eropa yang menganut niali-nilai religius, yaitu nilai-nilai agama Katholik seperti Kerajaaan di Inggris dan Spanyol. Kecenderungan kerajaan-kerajaan mengadopsi nilai-nilai agama sebagai salah satu hukum bagi Kerajaan mereka karena didasari agama atau

42 kepercayaan mayoritas penduduk kerajaan tersebut atau juga karena

pengaruh agama yang mempengaruhi/ dibawa oleh Raja Kerajaan, karena pada zaman kerajaan dahulu sangat terkenal semboyan agama Raja adalah agama rakyat. Dalam kebudayaan Linge ada juga dikenal Salin Peniri atau ganti rugi atas pembunuhan, seperti hukum Islam yang disebut Diyat. Yang disebut Salin Peniri ialah kalau timbul suatu perkelahian antara satu belah pihak dengan yang lain. Meskipun dalam satu belah pihak yang sama, maka : 1. Dari leher ke atas Rp.20,- = 10 Tail + 1 Kerbau. 2. Dari leher ke pinggang 5 Tail = Rp.10,- + 1 Kambing. 3. Dari pinggang ke kaki 1 Tail = Rp.2,- + 1 ayam. Dan Beras secukupnya. 4.3. Nilai nilai Nilai bukan saja terdapat pada sesuatu yang berwujud (material), tetapi sesuatu yang tidak berwujud pun dapat memiliki nilai bahkan tidak jarang nilainya lebih tinggi dari benda yang berwujud, seperti nilai Religius dan nilai Filosofis. Tujuan inilah yang menjadi harapan, standar, atau ukuran yang harus dicapai. Dengan demikian nilai-nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting bagi manusia. Nilai-nilai yang tampak dalam cerpen Lingeku Sayang Lingeku Malang karya Asharyadi adalah sebagai berikut. 1. Nilai Religius

43 Nilai religius merupakan nilai yang behubungan dengan keIlahian atau keterjalinan dengan Tuhan dan segala ciptaann-Nya. Pengarang menjelaskan nilai religius dalam cerpen ini melalui semboyan-semboyan (pribahasa) Kerjaan Linge. Turuni Firman Ari Tuhen, ,Hadist Ari Nabi, Sabda Ku Ujung Aceh, Inget ku Negeri Linge.(Asharyadi,hal-20) Peribahasa ini memiliki arti AL-Quran dari ALLAH, Hadist melalui Nabi Muhammad, Perintah Raja sampai ke ujung Aceh, Raja Bertempat tinggal di Kerajaan Linge. Berikut ini adalah semboyan raja linge lain yang bersifat religius. Reje atau Edet I atan Astana, Imem atau Hukum I atan Agama. (Asharyadi,hal-21) Peribahasa ini memiliki arti Raja atau Wakil Adat Bersemayam di Istana, Imam atau Wakil Syariat Suci menegakkan Agama. Hal ini menandakan bahwa Kerajaan Linge sudah mengakui status Imam atau pemimpin agama islam yang juga memegang aturan hokum yang diakui dan juga dipakai pada Kerajaan Linge. Setelah Datu Beru menerima kembali Damar Leleh itu, lalu ia pulang kembali ke Linge melalui jalan Anjung (saat ini Tunyang) dan sesampainya diTunyang ia berfikir meskipun ia bawa Damar Leleh ke Linge tentu Baginda Joharsyah tidak akan menerima. Kemudian Datu Beru jatuh sakit dan pada saat itu ia putus harap, dan bermohon kehadirat Ilahi supaya ia mati saja ditempat tersebut, supaya bilamana watunya nanti baik Raja Linge Joharsyah berpergian ke Aceh atau Sultan Aceh Johansyah pergi ke Linge akan dapat melihat makamnya disana. Atas kehendak Allah Swt maka Datu Beru wafat, beberapa dari pengiringnya ada yang pergi ke Linge dank e Aceh guna memberitahukan kepada Raja Linge dan Sultan Aceh bahwa Datu beru telah meninggal dunia di Tunyang. Pada kutipan di atas digambaran bagaimana Datu Beru memohon kepada ALLAH SWT agar mencabut nyawanya ketika ia jatuh sakit dalam perjalanan karena takut abangnya tidak menerima Damar Leleh yang dibawanya, atas

44 kehendak ALLAH maka Datu Beru wafat. Disini kutipan ini menyatakan kuasa Ilahi yang mengabulkan permintaan hamba-Nya, di mana seorang manusia hanya bisa bermohon kepada ALLAH, namun keputusan selalu diserahkan kepada ALLAH SWT. Nilai-nilai yang menandakan penyerahan diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta adalah nilai-nilai Islam yang selaras dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada takdir ALLAH SWT. 2. Nilai Filosofis. Nilai filosofis adalah nilai yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan tentang kebijaksanaan hidup dalam berfikir dan bernalar secara sistematis tentang berbagai hal untuk menyatakan kebenaran dan untuk memperoleh kebenaran. Nilai filosofis yang terlihat dalam cerpen Lingeku Sayang Lingeku Malang karya Asharyadi adalah ketika Raja Aceh Johansyah adik dari Raja Linge Joharsyah meminjam Pusaka Kerajaan Linge yaitu Bawar untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil menangkap gajah untuk diberikan kepadanya, awal maksud Raja Aceh Johansyah hanya ingin meminjam Bawar lalu menirunya dengan mengundang pandai besi seluruh Aceh untuk menirunya tetapi tidak ada yang dapat menirunya, karena takut malu maka Raja Aceh Johansyah memberikan Bawar Asli itu ke Sangeda orang yang berhasil menangkapkan gajah untuknya.

(Asharyadi,hal-17). Akibatnya Raja Linge marah dan memutuskan persaudaraan dengan Johansyah. Ini dapat dilihat dari kutipan dibawah ini. .Baginda Raja Linge bertanya lagi kepada Sultan dimanakah Bawar saya sekarang ? bukankah Bawar itu Sultan pinjam hanya untuk dijadikan

45 contoh saja ? Sultan Aceh menjawab : Tengku Abang, memang Bawar itu saya pinjam sekedar untuk contoh saja, tetapi saya tidak menemukan ahli tukang besi di seluruh Aceh ini yang mampu membuat Bawar yang seperti dimiliki Abang Tengku itu. Oleh karena saya sudah berjanji akan memenuhi permintaan apapun dari Sangeda sebagai upah menangkap gajah, dan sebagai gantinya saya telah berikan kepada saudari kita Damar Leleh (Pusaka Kerajaan Aceh) agar diberikan kepada Tengku Abang. Baginda Joharsyah menjawab saya tidak suka dan tidak ingin Damar Leleh itu, bukankah almarhum Ayah kita dahulu telah membagi pusaka dan jajahan masing-masing, engkau ke Aceh menjadi Sultan dan di Linge menjadi Reje adalah saya. Pada saat itu kedua bersaudara itupun bertengkar mulut. Joharsyah berfikir walaupun mereka berdua berkelahi atau bertengkar mulut tentu tak ada juga hasilnya. Joharsyah selaku Raja Linge mengatakan bahwa Johansyah tidak diakui lagi sebagai Sultn di Aceh dan Joharsyah mengatakan bahwa sekalian rakyat Gayo tidak diizinkan lagi membayar cap dan Usur kepada Sultan di Aceh. Kemudian keduanyapun berpisah dan menjalankan daerahnya masing-masing.(Asharyadi,hal-18-19) Nilai filosofis yang diberikan cerita ini adalah janganlah dengan gampang membuat janji karena janji gampang untuk dibuat tetapi susah untuk ditepati, akibat janji yang dibuat oleh Sultan Aceh Johansyah kepada Sangeda maka putuslah tali persaudaraan Sultan Johansyah dengan abangnya Raja Joharsyah. . Setelah Joharsyah melihat lukisan itu lalu Baginda-pun mengakui bahwa binatang yang serupa ini ada di Gayo. Adapun sebab Raja Linge pada mulanya tidak mengaku tentang keberadaan binatang gajah itu di Gayo disebabkan karena sebagai seorang abang sangat mengetahui sifat adiknya, yakni apabila beliau sudah mengetahui, melihat dan mendengar sesuatu yang diinginkannya, maka beliau harus segera mendapatkannya meskipun hal tersebut sangat sulit ditemukan, sebagaimana binatang gajah yang dimaksud adalah satu binatang yang sukar ditemukan. Kutipan di atas adalah termasuk nilai filosofis yang menyatakan nilai penalaran, di sini Sulatan Joharsyah sudah mengenal sifat adiknya yang selalu mengejar sesuatu yang diinginkannya walaupun susah untuk

46 didapatkan, namun karena telah dibawakan kepadanya bukti kepada dirinya ia juga tidak dapat menolak keberadaan binatang gajah tersebut. Disini kutipan itu menyatakan sebuah penalaran apabila sesuatu sudah terbukti tiada guna lagi untuk mengelak dari sesuatu hal. 3. Nilai Etis. Nilai etis merupakan salah satu nilai yang sangat lazim ditemukan. Hal ini dikarenakan karya sastra sering disebut alat/ media untuk mereprentasikan nilai-nilai kehidupan yang termasuk dalam filsafat kehidupan. Nilai etika dalam karya sastra berkaitan dengan prinsip-prinsip moral yang seharusnya diperankan individu atau kelompok masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam cerpen Lingeku Sayang Lingeku Malang karya Asharyadi nilai etik terlihat pada kutipan. Dimasa itu, sesuai yang telah ditentukan bahwa semua Penghulupenghulu tugasnya setiap tahun harus mengantarkan Cap Usur kepada Sultan Aceh (Sejenis Pajak Penghasilan Sekarang). (Asharyadi,hal-13) Dalam kutipan cerita diatas dijelaskan sudah ada aturan etikanya pada zaman itu bahwa pajak penghasilan juga telah diberlakukan seperti masa kini. Putri Karna, karena seorang perempuan, tidak terdapat keterangan mendapatkan apa yang diberikan raja. Setelah masing-masing anak lelakinya mendapatkan hadiah (pusaka) dan kekuasaan. (Asharyadi,hal-10 Kutipan diatas menjelaska bahwa adat atau etika pada saat itu adalah bersifat Patriarki (Lelaki Yang Diutamakan), pada saat ini juga masih banyak adat yang menggunakan sistem Patriarki.

47

4. Nilai Estetika. Pada dasarnya estetika merupakan cabang ilmu filsafat yang membicarakan keindahan, sedangkan estetis beraitan dengan apresiasi keindahan (alam,seni, dan sastra). Dimensi estetis dipandang sebagai salah satu jenis nilai dan berhubungan dengan aksiologi atau teori nilai. Sementara nilai estetis terlihat jelas dalam cerpen Lingeku Sayang Lingeku Malang karya Asharyadi ketika cerita menjelaskan tentang barang-barang pusaka kerajan. ..Dan ditemukan didalam perut ikan itu emas dan intan permata, sedangkan tujuh buah limau purut dipergunakan Putri Raja untuk berpangir (keramas rambut).(Asharyadi,hal-4). Di saat Raja Linge memerintahkan kepada rakyatnya membuat sebuah istana yang dikenal dengan sebutan Umah Pitu Ruang (Rumah Tujuh Ruangan). Rumah ini sangat sulit untuk dibangun karena untuk membangun istana ini Raja Linge memerlukan pengorbanan yang sangat berat, sesuai dengan makna mimpi bahwa dalam membuat bangunan tersebut harus dikorbankan (sebagai tumbal) seorang anak kesayangan raja yaitu Caya Murni. Alkisah, tatkala Pota Marhum Mahkota Alam beserta istrinya Putri Kaca atau gelar Putri Kawe tepat kembali ke tempat dimana dahulunya asal suara tanpa wujud, daratan berangsur-angsur muncul dari lautan. Air laut surut sehingga daratan yang menjulang tinggi serta pegunungan yang membentang luas dan ketika Pota Marhum Mahkota dan Putri Kawe menjejakkan kakinya, karpe tertusuk (rumput jarum) pertama kali yang dirasakan mengenai kakinya, inilah asal pertama rumput yang ada di wilayah ini. Bawar merupakan tembaga yang memiliki warna keemasan dengan ukiran-ukiran kecil yang teratur yang sangat sulit untuk ditiru bahkan untuk seseorang pandai besi sekali-pun.

48

5. Nilai Sosial Masyarakat Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik/ buruk oleh masyarakat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas melalui proses menimbang. Hal itu tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Seorang imam, wajib diberhentikan apabila ia berbuat salah satu dari yang tersebut dibawah ini : 1. Yang haram dihalalkan. 2. Yang halal diharamkan. Dari kutipan di atas terdapat nilai-nilai sosial bahwa seseorang, setinggi apapun jabatannya ketika sudah melanggar suatu aturan walaupun seseorang tersebut adalah pelaksana aturan tersebut maka konsekwensi dari hukum tersebut juga akan menjatuhkan dia. Disini seseorang dianggap tidak boleh mencampur aduk sesuatu yang haram dengan yang halal, karena hal itu tidak boleh dalam nilai-nilai yang berlaku pada Kerajaan Linge.

49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Cerita rakyat Lingeku Sayang Lingeku Malang menceritakan tentang sejarah berdirinya Kerajaan Linge dan permasalahan yang muncul di dalamnya. Judul Lingeku Sayang Lingeku Malang memiliki arti yang sangat bertolak belakang antara satu frasa dengan frasa lainnya, frasa Lingeku Sayang memiliki arti tentang bagaimana beridirinya kerajaan Linge menjadi Kerajaan Besar dengan banyaknya daerah jajahan dan memiliki perkembangan ekonomi dan

kesejahteraan rakyat yang baik, sedangkan Frasa Lingeku Malang menerangkan tentang hal-hal yang terjadi dalam perjalanan Kerajaan Linge dimana ada Pembuangan seorang anak, pembunuhan anak sebagai tumbal untuk pembuatan sebuah istana yang ambisius, hingga pengingkaran janji yang dilakukan oleh seorang adik terhadap abangnya yang mengakibatkan putusnya tali persaudaraan. Nilai-nilai budaya yang ada pada cerita rakyat Lingeku Sayang Lingeku Malang ada beberapa macam yaitu Nilai Religius, dimana di Gayo sebagai tempat berdirinya Kerajaan Linge masih mengikuti tradisi ini. Nilai Filsofis adalah nilai Universal dimana semua umat manusia haruslah menganutnya, Nilai Etis adalah Nilai yang mencerminkan suatu kebudayaan daerah, dimana nilai ini berbeda pada setiap daerah, Nilai Etis yang terdapat pada Cerita Rakyat Lingeku Sayang Lingeku Malang adalah sebuah Nilai yang bersifat Patriarki dimana seorang lelaki

49

50 lebih diutamakan dari pada perempuan, nilai ini masih sangat kental pada Daerah Gayo dan daerah sekitarnya. Terakhir adalah nilai Estetika diamana

peninggalannya masih banyak terdapat pada museum dan jenis-jenis bangunan masyarakat Gayo.

5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dibuat oleh penulis maka selanjutnya penulis memberikan saran sebagai berikut. 1. Sebagai bacaan maka Cerita Rakyat Lingeku Sayang Lingeku Malang harus menjadi bacaan untuk masyarakat luas karena banyak bercerita tentang nilai-nilai kebudayaan yang positif dan mengingatkan kita pada sejarah. 2. Penulis menyarankan kepada masyarakat agar menggunakan hasil penelitian ini menjadi salah satu literature bacaan maupun referensi jika ingin meneliti lebih lanjut tentang sebuah karya sastra. 3. Penulis menyarankan kepada pembaca untuk mencari sebuah bacaan yang memiliki pesan-pesan positif daripada mencari bacaan yang bersifat fiksi belaka. 4. Peneliti yang akan meneliti tentang kerajaan Linge agar melakukan penelitian secara faktual tidak meneliti tentang karangannya lagi.

51

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian, Jakarta:Rineka Cipta. Asharyadi, 2007, Lingeku Sayang Lingeku Malang, Takengangon : PT. Qinara Badan Penelitian dan Pengembnagan Kurikulum, 2010, Kebudayaan Dan Pendidikan, PT.Gramedia Jakkarta. Bambang Daroeso,2006, Nilai-Nilai Universal, Jakarta: PT.Gramedia. Clyde Kluckhonh,1994, Culture And Society, Associated Press. Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia RMU Gosip. Dongeng Jakarta Graiti Darji Darmadi,2005, Nilai Sebagai Kerangka Filsafat, Jakarta: PT.Gramedia Elly M Setiadi Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, Jakarta:PT. Gramedia Julianto. 2001. Nilai-nilai Budaya yang Dimiliki oleh Wanita jawa dalam Cerita Rakyat Andi-andi Lumut. George Ketsoff,2006, Social Value of The Culture, Jakarta: PT. Gramedia. Koentjaraningrat,2005. Menilai Kebudayaan Nusantara Cet ke II. Jakarta: Kenacana Prenada Media Group. Abed Marpaung, Budaya dan Potensi Terhadap Pembangunan Bangsa, Jakarta:Rineka Cipta Moleong, Lexy. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosda Karya Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yokyakarta:Gajah Mada Universitas Press Setiadi M. Elly, dkk, 2007. Ilmu social dan budaya dasar. Cet ke II. Jakarta: Kenacana Prenada Media Group. Soenarjati Moehadjir, Nilai Sebagai Jati Diri Suatu Bangsa, Jakarta:PT.Gramedia

52

Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Yogyakarta:Nurcahaya. Syukri, 2007. Sarapokat System Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevasinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah, Cita pustaka Media Bandung. 51

Anda mungkin juga menyukai