Anda di halaman 1dari 4

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ-organ lain (WHO, 2003). Kusta memiliki dua macam tipe gejala klinis yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB) (WHO, 1998). Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular dan disebut juga sebagai kusta kering. Sedangkan kusta tipe MB atau kusta basah adalah kusta yang sangat mudah menular. Penyakit kusta masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar masyarakat dunia terutama di negara berkembang, dan Indonesia merupakan penyumbang penyakit kusta setelah India dan Brazil (WHO, 2008). Di Indonesia masih ada 14 provinsi dan 155 kabupaten yang memperlihatkan kecenderungan peningkatan kusta baru, salah satunya adalah propinsi Jawa Timur. Jawa Timur merupakan propinsi dengan jumlah penderita kusta tertinggi di Indonesia, sekitar 30%. Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemis. Kabupaten Lamongan adalah salah satu daerah endemis kusta di pantai utara Jawa Timur dengan prevalensi sebesar 4,25/10.000 penduduk, merupakan peringkat kelima setelah Sampang, Sumenep, Tuban dan Lumajang dengan jumlah penderita terdaftar sebanyak 537 orang (Dinkes Jatim, 2008). Prevalensi Kabupaten Lamongan menunujukkan bahwa daerah tersebut telah mewakili sebagai daerah endemis kusta di Jawa Timur, karena syarat menjadi daerah endemis kusta adalah jika prevalensi > 1/10.000 penduduk. Prevalensi penderita kusta di wilayah puskesmas Brondong Lamongan, saat ini sebesar 10,41/10.000 yang artinya 1

2
dari 10.000 penduduk di Brondong Lamongan yang menderita kusta sebanyak 10 orang. Prevalensi ini merupakan peringkat pertama dari seluruh kabupaten Lamongan (Puskesmas Brondong, 2010). Keberadaan penderita penyakit kusta pada umumnya masih banyak ditakuti dan dikucilkan menjadi perhatian tersendiri bagi peneliti. Hal ini mengingat karena masyarakat sekitar menganggap penyakit tersebut merupakan penyakit yang menakutkan dan harus dijauhi penderitanya. Perlakuan yang tidak adil tersebut menimbulkan masalah sosial yang akhirnya akan mempengaruhi interaksi sosial khususnya bagi penderita kusta. Maryawati dan Suryawati (2003) menyatakan bahwa, Interaksi sosial adalah kontak atau hubungan timbal balik dan respon antar individu, antar kelompok atau antar individu dan kelompok. Interaksi sosial dikategorikan kedalam dua bentuk yaitu asosiatif dan disasosiatif. Interaksi sosial yang bersifat asosiatif yakni yang mengarah kepada bentuk asosiasi serta memiliki tiga dimensi yaitu kerja sama, akomodasi, dan asimilasi. Interaksi yang bersifat disasosiatif yaitu mengarah ke bentuk pertentangan dan juga memiliki tiga dimensi yaitu persaingan, kontravensi serta konflik (Tim Sosiologi, 2002). Banyak faktor yang mempengaruhi interaksi sosial antara lain jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan bentuk tubuh seseorang (Karp dan Yoels, 2007). Penelitian sosial yang berhubungan dengan penyakit kusta pernah dilakukan sebelumnya, diantaranya Kasmadji (2002) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan penderita kusta terhadap gangguan harga diri dengan menggunakan metode korelasi product moment. Fajar (2004) meneliti hubungan antara berbagai faktor sosiokultural terhadap pengobatan dini dan keteraturan berobat pada penderita kusta dengan menggunakan metode regresi logistik. Hasil penelitian Fajar menunjukkan adanya pengaruh antara tingkat pengetahuan rendah, tingkat pengetahuan sedang, tingkat kepercayaan jelek

3
dan sikap yang tidak mendukung terhadap upaya pengobatan dini yang dilakukan oleh penderita kusta. Penelitian ini akan dibahas tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi interaksi sosial bagi penyandang penyakit kusta di Kecamatan Brondong, Lamongan Jawa Timur. Interaksi sosial yang bersifat asosiatif dan disasosiatif masing-masing memiliki tiga dimensi, yang mana secara teori antara dimensi satu dengan yang lain saling terkait. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan pendekatan analisis multivariat atau lebih tepatnya regresi multivariat. Regresi multivariat merupakan model regresi dengan variabel respon lebih dari satu yang saling berkorelasi dan satu atau lebih variabel prediktor (Johnson dan Wichern, 2007). 1.2 Perumusan Masalah Mengacu pada latar belakang yang ada, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik penderita kusta Kecamatan Brondong, Lamongan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial? 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh secara signifikan terhadap interaksi sosial penyandang penyakit kusta di Kecamatan Brondong, Lamongan? 1.3 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian Tugas Akhir ini adalah: 1. Mendapatkan karakteristik penderita kusta Kecamatan Brondong, Lamongan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial. 2. Mengkaji faktor-faktor apa saja yang berpengaruh secara signifikan terhadap interaksi sosial penyandang penyakit kusta di Kecamatan Brondong, Lamongan.

4
1.4 Batasan Masalah Pembahasan dalam penelitian ini agar tidak meluas dan tidak menyimpang dari tujuan, maka dilakukan pembatasan penelitian yaitu sampel yang digunakan adalah pasien yang terdata di Puskemas Brondong yang usianya 14 tahun dan masih dalam pengobatan dalam artian belum sembuh. Usia 14 tahun adalah usia yang sudah mampu untuk mengenal diri dan memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya (Kartono, 1990). 1.5 Manfaat Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yaitu hasil penelitian dapat memberikan gambaran kepada masyarakat umum mengenai interaksi sosial penyandang penyakit kusta.

Anda mungkin juga menyukai