Anda di halaman 1dari 11

1. Pre-eklamsi a. Pengertian Pre-eklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria (Saifudin, 2009).

Pre-eklamsia adalah sindrom yang sering dapat, proteinuria dan oedema (atau dua dari gejala ini) yang sering mendahului, usia terjadi setelah usia gestasi 20-40 minggu, kecuali jika terdapat penyakit troplobastik. Wibisono juga menambahkan hipertensi akibat kehamilan dengan proteinuria, oedema, setelah usia 20 minggu dan bukan karena kelainan neurologic. Namun pre-eklamsia juga dapat terjadi pada saat persalinan sampai dengan 10 hari post partum (Sarwono, 2008). b. Klasifikasi Pre-eklamsi Klasifikasi Pre-eklamsi menurut Saifudin (2009) yaitu: 1) Pre-eklamsia ringan, bila disertai dengan keadaan berikut: a) peningkatan tekanan darah sistolik/diastolik 140/160 mmHg. Tekanan diastolik menggambarkan resistensi perifer, sedangkan tekanan sistolik menggambarkan curah jantung. Timbulnya hipertensi adalah akibat vasospasme menyeluruh dengan ukuran tekan darah 140/90 mmHg selama 6 jam. b) Proteinuria 300 mg/ 24 jam atau 1+ pada dipstick. c) Edema local tidak dimasukan dalam kriteria pre-eklamsia kecuali edema pada lengan, muka dan perut, edema generalisata. 2) Pre-eklamsia berat digolongkan dengan satu atau lebih gejala berikut:

a. Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah abaring. b. Proteinuria lebih 5g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif. c. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500cc/jam. d. Kenaikan kadar kreatinin plasma. e. Gangguan visus dan serebral. f. Nyeri gastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen.

g. Trombositopenia berat: <100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat. c. Etiologi Sampai saat ini penyebab pre-eklamsia dan eklamsia belum diketahui secara pasti (Saifudin, 2009). d. Patofisiologi Kegagalan invansi sel trofoblas pada dinding arteri spiralis (Invasi trofoblastik abnormal ke dalam vasa uterina) sehingga tidak dapat melebar sempurna menyebabkan aliran darah dalam ruangan intervilus plasenta tidak adekuat akibatnya terjadi hipoksia plasenta. Hipoksia plasenta yang berkelanjutan menyebabkan terjadinya oksidativ stress dan dapat merangsang terjadinya kerusakan endotel pembuluh darah (disfungsi endotel). Jika prosesnya berlanjut dapat menyebabkan kegagalan organ pada ginjal (proteinuria, gagal ginjal), pnyempitan darah sistemik (hipertensi), pada darah (trombositopenia dan koagulopati), iskemia, hepar, dan pada plasenta (gangguan pembuluh janin, hipoksia dan solusio plasenta).

Penyakit vaskuler ibu, gangguan plasenta yang disebabkan factor genetic; imunologi; inflmasi, serta trofoblas berlebihan dapat menyebabkan penurunan perfusi uteroplasenter yang menyebabkan terjadinya aktivasi endotel. Kondisi ini menyebabkan vasosplasme yang berakibat pada terjadinya hipertensi; kejang; oliguria; solusio plasenta; dan iskemia hepar, kebocoran kapiler yng berakibat pada edema; homokonsentrasi; dan proteinuria, aktifitas koagulasi yang berakibat pada trombositopenia (Cunningham, 2009). e. Insidensi Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Eklamsia secara global terjadi pada 0,5% kelahiran hidup (Saifudin, 2009) f. Komplikasi Komplikasi maternal dan janin akibat pre-eklamsia dan eklasmia menurut Saifudin, (2009) adalah sebagai berikut: 1) Maternal Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu akibat pre-eklamsia dan eklamsia adalah solusio plasenta, hipofibrinogemia, hemolisis, perdarahan otak, kelainan mata, edema paru-paru, nekrosis hati, sindroma HELLP, kelaonan ginjal, komplikasi lain seperti lidah tergigit dan fraktur karena jatuh akibat kejang-kejang. Adapun komplikasi terberat adalah kematian ibu. 2) janin Pre-eklamsia and eklamsia pada ibu dapat menyebabka

prematuritas, dismaturitas pada janin dan IUFD. 2. Karakteristik Penderita Pre-eklamsia dan Eklamsia

Karakteristik adalah ciri khusus yang mempunyai sifat khas sesuai denngan perwatakan tertentu (Sasono, 2001) Karakteristik penderita pre-eklamsia dan eklamsia berdasarkan factor resiko adalah sebagai berikut: a. Umur Umur adalah lama hidup atau ada yang dihitung sejak dilahirkan atau diadakan (Depdiknas, 2008). Umur merupakan determinan antara bagi mortalitas dan morbilitas ibu. Umur beresiko masuk kedalam tujuh terlalu pada pendekatan factor resiko untuk kelompok factor resiko I, yaitu primi muda bagi wanita yang pertama kali hamil atau bersalin pada usia <20 tahun, primi tua bagi wanita yang pertama hamil atau bersalin pada usia >35 tahun dan primi tua sekunder bagi wanita yang pernah hamil dan bersalin kemudian kembali hamil dan melahirkan pada usia >35 tahu. Usia <20 tahun dianggap beresiko karena dikhawatirkan organ reproduksi masih belum adekuat untuk menerima terjadinya

kehamilan. Selain itu tidak jarang kehamilan muda adalah sesuatu yang terjadi karena ketidaksengajaan atau tidak direncanakan. Sehingga tidak sedikit pada kehamilan usia muda yang tidak mendapatkan perawatan dengan baik karena berusa untuk ditutuptutupi. Sedangkan pada usia kehamilan >35 tahun, dimana 10% kehamilan terjadi pada usia ini, risiko akan penyulit obstetric serta morbilitas dan mortalias perinatal cenderung meningkat

(Chunningham, 2006). Nulipara terutama usia <20 tahu dan kehamilan yang langsung terjadi setelah perkawinan meningkatkan resiko gangguan akibat kehamilan pada keadaan ketika pembentukan antibody penghambat (blocking antibodiesI) terhadap tempat-tempat antigenic di plasenta

terganggu. Hal ini dapat dimungkinkan apabila tidak terjadi imunisasi yang efektif oleh kehamilan sebelumnya, seperti pada kehamilan pertama atau wanita yang baru menjadi ibu atau ibu dengan pasangan baru ternyata enam sampai delapan kali lebih mudah terkena pre-eklamsia dan eklamsia (Bobak, 2005). Pengamatan Chuningham (2009) terhadap 900 wanita berusia >35 tahun memperlihatkan peningkatan bermakna dalam insiden hipertensi, diabetes, solusio plasenta, persalinan premature, lahir mati dan plasenta previa. Angka kematian ibu lebih tinggi pada wanita berusia 35 tahun atu lebih. Wanita yang lebih tua memperlihatkan peningkatan insiden hipertensi kronik. Seiring dengan pertambahan usia resiko untuk mengalami pre-eklamsia pada hipertensi kronik menjadi lebih besar. Dengan demikian wanita dikedua ujung usia reprodukdi dianggap lebih rentan. b. Paritas Paritas adalah jumlah janin dengan berat badan >500 gram yang pernah dilahirka, hidup maupun mati, bila berat badan tidak diketahui, maka dipakai umur kehamilan >24 minggu (Sumarah, 2008). Paritas merupakan derteminan antara bagi mortalitas dan morbiditas ibu. Paritas kurang dari dua atau leih dari empat tergolong kedalam Kelompok Faktor Risiko I, dalam hal ini dianggap berisiko lebih besar untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan adalah primigravida dan primipaternitas. Hal ini dikaitkan dengan factor imunologi. Hipertensi gestasional paling sering mengenai wanita nulipara. Berdasarkan pemantauan hemodinamik Doppler noninvasive dalam studi longitudinal yang dimulai sejak awal kehamilan pada 400 wanita nulipara, hipertensi gestasional timbul pada 24 wanita, dan 20

mengalami pre-eklamsia. Nulipara dikatakan rentan terhadap kasus pre-eklamsia karena mereka baru pertama kali terpapar oleh villi chorialis (Cunningham, 2006). Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya HLA-G yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas kedalam jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel natural killer. Penurunan ekpresi dapat mengganggu Remodeling Arteri Spiralis yang pada akhirnya dapat menyebabkan disfungsi sel endotel termasuk pada sel endotel kapiler glomerulus. Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membrane basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan preoteinuria (Saifudin, 2009). c. Pendidikan Pendidikan adalah hasil dari belajar formal (Depdiknas, 2008). Pendiddikan merupakan determinan jauh mortalitas dan morbiditas ibu dimana salah satu komplikasi yang dapat mengantarkan ibu pada kematian dan kecacatan adalah pre-eklamsia dan eklamsia. Terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan perawatan untuk pencegahan lebih dan pengobatan. Ibu yang dan berpendidikan pencegahan,

cenderung

melakukan

perawatan

membimbing atau mendorong orang mengubah perilaku untuk mnurunkan risiko kematian daripada ibu yang tidak berpendidikan. Sebagaian besar penyakit dalam praktik pelayanan antenatal dapat dicegah melalui perubahan perilaku dan perubahan kehidupan

lingkungan social dengan penerapan program pendidikan (Mariyah, 2004). Pendidikan merupakan proses social yang dapat menambah dan mengubah pengetahuan akan memperlancar komunikasi.

Sehingga ide-ide dari bidan sebagai informan dapat diterima dengan bai oleh ibu hamil ataupn suami sebagai penerima informasi. d. Sosial Ekonomi Beberapa ahli menyimpulkan bahwa wanita dengan social ekonomi yang lebih baik akan lebih jarang menderita pre-eklamsia, bahkan setelah factor ras ikut diperhitungkan ( mungkin ada perbedaan perlakuan atau akses terhadap berbagai eknik dibanyak negara) (Chunningham, 2006) e. Malnutrisi Hasil pengamatan menyebutkan bahwa makanan yang mengandung protein sebagi penyebab peningkatan insiden preeklamsia (Chunningham, 2006) f. Penyakit Ibu 1) Penyakit Hipertensi Kronik Hipertensi kronik adalah kondisi dimana darah 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 mingu dan tidak terkait dengan penyakit trofoblas gestasional (Wdjanako, 2010). Insiden pre-eklamsia pada wanita dengan hipertensi kronik berfaviriasi karena tidak ada definisi yang pasti. 4%-40% kasus hipertensi kronis akan berkembang menjadi superimposed preeklamsia (Cunningham, 2010). Hipertensi pada kehamilan dapat menyebabkan penurunan ekspresi HLA-G dimana fungsi HLA-G adalah melindungi tofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer ibu. Akibat penurunan ekskresi

HLA-G invasi tofoblas kedalam desidua menjadi terhambat dimana invasi ini sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak dan gembur sehingga memudahkan lumen arteri spinaris mengalami distensi dan dilatasi yang berguna untuk menurunkan tekanan darah, meurunkan resistensi vaskuler, dan meningkatkan aliran darah uteroplasenta. Peristiwa ini disebut Remodeling Arteri Spiralis. Kegagalan Remodering Arteri Spinalis menyebabakan

hipoksia dan iskemia plasenta. Pada kondisi ini akan dihasilkan oksidan atau radikal bebas berupa radikal hidroksil yang toksis yang dapat merusak membrane sel, nucleus, dan protein sel endotel. Salah satu dampak dari hal tersebut adalah munculnya proteinuria. 2) Penyakit Ginjal Kronik Katz dkk (cit, Cunningham, 2006) mengkaji hasil kehamilan pada 89 wanita yang mengidap penyakit ginjal kronik tetapi fungsi ginjalnya secara umum baik. Yang utama sering terjadi preeklamsia, sementara tiga mengalami solusio plasenta.

Cunningham dkk. (2006) melaporkan hasil 37 kehamilan yang mengalami penyulit insufisiensi ginjal sedang (kreatinin serum 1,4 samoai 2,5 mg/dl) atau berat (kreatinin serum lebih dari 2,5 g/dl). Penyulit yang sering terjadi pada wanita ini dalah hipertensi kronik 70%, anemia 75%, pre-eklamsia 60%, kelahiran preterm 35%, dan hambatan pertumbuhan janin 30%. Kerusakan sel glomerulus pada penyakit ginjal mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria (Saifuddin, 2009). 3) Obesitas

Obesitas adalah suatu kondisi dimana nilai Indeks Masa Tumbuh (IMT) melebihi tiga puluh (Kusmiyati, 2008). Penilaian Indeks Masa Tumbuh diperoleh dengan memperhitungkan berat badan sebelum hamil dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m2). Normalnya kenaikan berat badan pada trimester 1-+ 1 kg, pada trimester II adalah 3 kg atau 0,3 kg/minggu, pada trimester III adalah 6 kg atau 0,3-0,5 kg/minggu (Kusmiyati, 2008). Berat badan yang overweight meningkatkan risiko komplikas dalam kehamilan, salah satunya adalah hipertensi dalm kehamilan dan jain besar. Obesitas pada ibu hamil dapat menyebabkan aktivasi endotel dan respon inflamasi sistemik yang berhubungandengan

aterosklerosis. Kadar C-reaktive protein (inflammatory maker) meningkat pada obesitas yang berkaitan dengan pre-eklamsia (Widjarnako, 2010). Hubungan antara berat badan ibu dengan risiko pre-eklamsia bersifat progresif, meningkat dari 4,3% untuk wanita yang Indeks Masa Tumbuhnya kurang dari 19,8 kg/m 2 menjadi 13% untuk mereka yang indeks massanya sama dengan atau lebih dari 35 kg/m2 (Cunningham, 2006). 4) Diabetes Militus Kemugkinan patofisiologinya bukan pre-eklamsia murni,

elainkan disertai kelainan ginjal vaskuler primerakibat diabetesnya (Manuaba, 2003). 5) Riwayat Pre-eklamsia atau Eklamsia pada Kehamilan sebelumnya Wanita yang mengalami pre-eklamsia lebih rentan mengalami penyulit hipertensi pada kehamilan berikutnya. Umunya semakin dini pre-eklamsia didiagnosis saat hamil, semakin besar

kekambuhannya. Sebagai contoh, Sibai dkk. (cit. Cunningham,

2006) mendapatkan bahwa wanita nulipara yang didiagnosis mengidap pre-eklamsia sebelum usia 30 minggu memiliki risiko kekambuhan setinggi 40% pada kehamilan berikutnya. Insiden pre-eklamsia setara tanpa bergantung pada apakah terdapat proteinuria atau tidak sebelumnya. Namun, insiden meningkat secara bermakna pada mereka yang telah mengidap hipertensi paling sedikit 4 tahun atau pernah mengalami pre-eklamsi pada kehamilan sebelumnya. Multipara yang melngalami pre-eklamsia berisiko kehamilan tinggi mngalami kekambuhan pre-eklamsia nuripara pada yang

berikutnya

dibandingkan

dengan

mengalami pre-eklamsia. g. Kelainan bawaan 1) Gemeli Wanita dengan gestasi kembar dua bila dibandingkan dengan yang gestasinya tunggal, memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (3 versus 6%) dan pre-eklamsia (13 versus 5%) yang secara bermakna lebih tinggi Cunningham, 2006). Frekuensi preeklamsia dan eklamsia juga dilaporkan lebih sering pada kehamilan kembar. Penjelasanya bahwa keregangan uterus yang berlebihan menyebabkan iskemia uteri yang dapat menyebabkan terhambatnya perfusi uteroplasenter sehingga terjadi aktivitas endotel. Pada kondisi ini akan dihasilakn oksidan atau radikal bebas berupa radikal hidrosil yang toksis yang dapat merusak membrane sel, nucleus, dan protein sel endotel. Salah satu dampak dari hal tersebut adalah munculnya proteinuria (Saifuddin, 2009). 2) Molahidatidosa

Molahidatidosa merupakan factor resiko untuk terjadinya preeklamsia. Hal inu dikaitkan dengan vilu chorialis yang menjadi lebih banyak sehingga jumlah tempat antigenic yang disediakan oleh palsenta sangat besae dibandingkan dengan jumlah antibody (Chunningham, 2006). h. Genetik Kecenderungan mengidap pre-eklamsia bersifat herediter. Kerentanan terhadap pre-eklamsia tergantung pada gen resesif (Cunningham, 2006). Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalamkehamilan secra familial jika dibandingkan dengan genotip janin (Saifuddin, 2009). Pre-eklamsia dan eklamsia menurun diantara saudara

sekandung perempuan, anak perempuan, dan cucu perempuan (Widjarnako, 2010). Telah terbukti baha ibu yang mengalami preeklamsia 20% anak perempuannya akan mengalami pre-eklamsia juga, sedangkan 8% anak menantunya akan mengalami pre-eklamsia (Saifuddin, 2009).

Anda mungkin juga menyukai